KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS - IAIN Parerepository.iainpare.ac.id/873/2/Buku Kaidah Kesahihan...
Transcript of KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS - IAIN Parerepository.iainpare.ac.id/873/2/Buku Kaidah Kesahihan...
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 1
Dr. H. Mahsyar Idris, M.Ag
KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz
Editor Dr. Hj.St.Nurhayati Ali, M.Hum Lembaga Penerbitan Universitas Muhammadiyah Parepare
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 2
Idris Mahsyar
Kaidah Kesahihan Matan Hadis. Telaah Kritis
Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz.
Ed.3, Cet III, Umpar Press. 2008-03-000403
X.229 halaman : 13,5x 21cm
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku
ini dengan cara apa pun termasuk dengan
penggunaan mesin photo copy tanpa izin sah dari
penerbit
Cetakan pertama (alfatiyah)Juni 2003
Cetakan kedua (umpar press) Agustus 2007
Cetakan ketiga (umpar press) Maret 2008
Cetakan Keempat (umpar press) Mei 2014
2008.03.0004.003
Umpar Press
Dr.H.Mahsyar Idris,M.Ag
Kaidah Kesahihan Matan Hadis
Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz
Hak Penerbitan pada Umpar Press
Lembaga Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Parepare
(UMPAR)
Alamat:
Kampus II.Jl.Jenderal Ahmad Yani Km.6.Parepare
Tlp.0421-22757/0421.25524
Umpar Press
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 3
Sulsel Parepare
ISBN. 979-3267-59-3
KATA PENGANTAR
الحمـد هلل رب العـالمـين والعـاقبـة للمتقـين والصـالة السـالم
مـد وعلي الـه علي أشـرف األنبيـاء والمرسلـين سيدنـا مح
وصحبـه أجمعـين.Syukur alhamdulillah penulis panjatkan
kehadirat Allah swt., atas rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga buku Kaedah Kesahihan Matan Hadis (Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz) ini dapat diselesaikan sesuai
dengan rencana. Selawat atas junjungan Nabi Besar Muhammad saw., sebagai Nabi terakhir, pelengkap dan penyempurna ajaran sebelumnya menuju keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.
Penulis berharap mudah-mudahan buku ini dapat bernilai ibadah di samping nilai-nilai ilmiah sebagai tugas akademik yang harus ditunaikan. Kedua nilai tersebut merupakan amanah yang harus dijunjung tinggi baik sebagai hamba Allah maupun sebagai akademisi.
Buku ini penulis persembahkan secara khusus kepada Ayahanda Muhammad Idris dan Ibunda Mansuhari yang telah mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberi motivasi dalam menuntut ilmu, meskipun Ibunda telah meninggal
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 4
pada saat penulis menyusun skripsi (tahun 1987).
Secara khusus pula penulis panjatkan do'a kakanda Sanawiah dan saudara-saudaraku serta
isteri tercinta Dr.Hj.St. Nurhayati Ali yang telah mencurahkan perhatian dan bantuannya selama penulis menempuh studi samapai menulis buku ini. Kepada putra dan putri Ahmad Dhya'ulhaq, Awnul Muwaffaq, Nunun Maziyyah dan Wildan an Millah mudah-mudahan senantiasa mendapat
rahmat dari Allah swt. sebab bagaimana pun perhatian dan waktu untuk mereka, senantiasa tersita karena kegiatan studi dan penulisan buku ini, mudah-mudahan ada hikmahnya. Amin Dalam kesempatan ini, penulis juga
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kakak Drs. Marzuki Ali,M.Pd. yang telah membaca naskah ini secara utuh. Tanpa bantuan pihak-pihak yang disebut di atas, penulisan buku ini mungkin tidak akan dapat
diselesaikan dengan saksama. Walaupun demikian, penulis sendirilah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas kandungan studi ini, baik yang menyangkut kekhilafan mau pun kekurangan yang terdapat di dalamnya.
Makassar Maret 2008 Wassalam
Penulis Mahsyar
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 5
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN .......................................
DATA PENERBIT ....................................... KATA PENGANTAR
.......................................
DAFTAR ISI ....................................... DAFTAR TABEL .......................................
PEDOMAN TRANSLITERASI
.......................................
ABSTRAK .......................................
BAB I PENDAHULUAN 15-
A.Latar Belakang Masalah
.....................
15
B. Fokus Kajian ..................... 22
C.Definisi
Operasional dan
Lingkup
Pembahasan
.....................
23
D.Tinjauan Pustaka ..................... 27
E.Pendekatan dan ..................... 28
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 6
Analisis
G.Garis Besar Isi ..................... 33
BAB II KRITIK HADIS DAN SEJARAHNYA
.....................
35
A. Pengertian Kritik Hadis
.....................
35
B. Sistem
Periwayatan
....................
.
39
C. Bentuk dan Cara Periwayatan
.....................
54
D.Sejarah Kritik Hadis
..................... 62
E.Kritik Hadis Sebagai Ijtihad
.....................
72
BAB III TEL TELAAH KRITIS
KAIDAH
KESAHIHAN
MATAN HADIS
.....................
138
A.Nisbah Naqd al-
¦ad³£ dengan Fiqh
al- ¦ad³£
.....................
138
B.Faktor-Faktor
yang
.....................
149
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 7
Mendorong
Perlunya
Penelitian Matan
C.Telaah Terhadap
Pendapat Ulama
TentangKaidah
KesahihanMatan
Hadis
.....................
166
D.Sebab Terjadinya
Kesenjangan
Antara
Kesahihan Sanad
dan
Kesahihan Matan
.....................
108
E.Berbagai Istilah
Hadis
Daif Karena
Kedaifan Matan
.....................
111
BAB IV UNSUR-UNSUR
SY²ª DALAM
KRITIK HADIS
.....................
138
A.Telaah Terhadap Pendapat Ulama Tentang Sy±©
.....................
138 B. Unsur-Unsur Kaidah
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 8
Kesahihan Matan Hadis
..................... 149
C.Telaah Kritis Kaidah Minor Dari Kaidah Mayor Syu©-©
.....................
166
D.Berbagai Hadis yang
Matannya Dianggap
Cacat Karena
Kerusakan Makna
.....................
209
E.Tingkat Akurasi Kaidah Gayr Syu©-© Sebagai Kaidah Kesahihan Matan
.....................
228
BAB V PENUTUP ..................... 236
A.Kesimpulan ..................... 236
B.Implikasi ..................... 239
DAFTAR PUSTAKA .................................... 242 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
....................................
DAFTAR TABEL
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 9
1. Ikhtisar I Tolok Ukur Kesahihan Matan
............... 82
2. Ikhtisar II Butir-Butir Kriteria Syu©-©
……........... 116
3. Ikhtisar III Hubungan antara Unsur-Unsur
Kaidah Kesahihan Dengan Nama-Nama
Hadis Daif Karena Cacat Matan ……. 131
4. Kemungkinan Terwujudnya Unsur N (sy±©
dan ‘illat) Berdasarkan Unsur L (cacat lafal)
dan Unsur M (cacat Makna 134
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 10
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Huruf-huruf bahasa Arab ditransliterasi ke
dalam huruf Latin sebagai berikut:
f = ف z = ز b = ب
q = ق s = س t = ت
k = ك sy = ش £ = ث
l = ل ¡ = ص j = ج
m = م » = ض ¥ = ح
̄ = ط kh = خ n = ن
h = هـ § = ظ d = د
w = و ' = ع © = ذ
y = ي g = غ r = رHamzah ( ء ) yang terletak di awal kata
mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau akhir, maka ditulis dengan tanda ( ' ).
2. Vokal atau bunyi (a), (i) dan (u) ditulis
dengan ketentuan sebagai berikut:
± = a panjang
³ = i panjang
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 11
- = u panjang
3. Syaddah dilambangkan dengan konsonan
ganda.
4. Kata sandang al- (alif l±m ma'rifah) ditulis
dengan huruf kecil bila terletak di tengah kalimat
dan huruf besar (Al-) bila terletak di awal kalimat.
Contohnya:
Menurut pendapat al-Asqal±n³, sanad hadis
itu sahih
Al-Asqal±n³ berpendapat bahwa sanad itu
sahih …
5. T± marb-tah ( ة ) ditransliterasi dengan t.
Tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia
ditrasliterasi dengan h. contoh: Maktabat D±r al-
Nahdah
6. Lafz al-Jal±lah ( هللا ) yang didahului
partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai mudâf iayh
ditransliterasi tanpa huruf hamzah.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 12
Contoh: باهلل = billâh; ديننن هللا =
d³null±h
Adapun t± marb-tah yang
disandarkan kepada lafz al-jal±lah
ditransliterasi dengan huruf t. Contoh:
.rahmatull±h = رحمة هللا
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 13
ABSTRAK
Judul : Kaidah kesahihan matan hadis, Telaah kritis Terhadap kaedah ghairu syudzudz.
Buku ini membahas kaidah kesahihan
matan hadis, Telaah kritis terhadap kaidah ghair
syudzudz sebagai kaidah kesahihan matan hadis.
sy±© (gayr syu©-©) sebagai salah satu kaidah
kesahihan matan hadis. Teknik analisis yang
digunakan adalah teknik analisis fungsional, yakni
hadis dipandang dari sisi fungsinya sebagai
sumber hukum yang kedua sesudah Alquran,
dengan fungsi utamanya adalah menjelaskan
kandungan Alquran dan menetapkan hukum atau
petunjuk yang tidak disebutkan dalam Alqurân.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
holistik yakni melihat kaidah sy±© dalam
berbagai aspek dan ketentuan yang telah
dikemukakan oleh para ulama hadis tentang:
unsur, syarat dan bentuk-bentuk sy±© yang
terdapat dalam suatu hadis, untuk dinyatakan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 14
bahwa hadis tersebut tidak memenuhi unsur
ke¡a¥î¥an matan hadis.
Sy±© (gayr syu©-©) sebagai kaidah
kesahihan hadis, oleh sebagian kalangan dianggap
sebagai kaidah yang hanya berkait dengan kaidah
kesahihan sanad; dengan anggapan tersebut
mereka menudu para ulama kritikus hadis tidak
menghiraukan kritik matan hadis. Tesis ini
menggambarkan bahwa ulama kritikus hadis
bukan mengabaikan kritik matan. Berbagai data
yang diajukan untuk membuktikan bahwa kritik
matan telah adalah sejak masa sahabat sampai
kepada masa ulama mutakaddim³n dan
mutaakhir³n. Upaya kritik matan yang dilakukan
oleh ulama kritikus hadis dapat ditelusuri dari
kaidah kesahihan hadis yang mereka rumuskan.
Perbedaan penilaian terhadap kualitas
matan suatu hadis dan kesenjangan yang terjadi
antara kesahian matan dengan kesahihan sanad
bukan karena kaidah kesahihan sanad atau kaidah
kesahihan matan yang tidak akurat, tetapi terletak
pada: mungkin karena perbedaan penilaian
terwujud tidaknya unsur-unsur yang harus
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 15
dipenuhi suatu hadis yang dinyatakan berkualitas
sahih; atau mungkin perbedaan pemahaman
terhadap kandungan hadis.
Gayr syu©-© sebagai kaidah kesahihan
matan hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi
untuk mendeteksi keautentikan suatu hadis yang
disandarkan kepada Nabi. Ulama hadis tampak
bersikap sangat hati-hati dalam menerapkan
kaidah gayru syu©-©, sikap tersebut terlihat pada
adanya batasan yang ketat tentang suatu hadis
yang dikategorikan tidak memenuhi kaidah
terhindar dari syu©-©.
Penelitian terhadap sy±© suatu hadis
mempunyai metode dan langkah-langkah (tahap-
tahap) yang jelas. Sekiranya metode dan langkah
tersebut diterapkan dengan konsisten maka tidak
akan terjadi kesenjangan antara kesahihan sanad
dengan kesahihan matan.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis meliputi perkataan, perbuatan, taqr³r
dan ihwal Nabi Muhammad saw.1 Periwayatannya
melalui hafalan dan tulisan. Hanya saja pada masa
Nabi, jumlah sahabat yang menulis selain
1Lihat Muhammad Ajj±j al-Khat³b, 'U¡-l al-¦ad³£
‘Ulmuh wa Mu¡ ālah (Beir-t: D±r al-Fikir, 1395 H/1975 M),
h. 19.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 17
jumlahnya sedikit, materi (matan) yang dicatat
masih terbatas. Perhatian sahabat yang pandai
baca tulis pada masa itu lebih difokuskan pada
penulisan Alquran. Tetapi tidak berarti kegiatan
tulis menulis hadis sama sekali tidak dilakukan.2
Ulama hadis telah melakukan penelitian terhadap kegiatan tulis menulis hadis, hasilnya menunjukkan banyak dari kalangan sahabat yang
mempunyai catatan hadis, di antaranya: Ayy-b al-An¡±r³; Ab- Said al-Hudr³; Ab- Bakrah al-Saqaf³; Ab Rafi’; Ab Bakar al-¢idd³q; Al³ bin Ab³ Th±lib; Ab- Hurayrah.3
2Secara umum periwayatan hadis pada masa Nabi
melalui hafalan, tetapi menurut M.M. Azami periwayatan
secara tertulis telah dilakukan sebahagian sahabat,
kemudian diikuti oleh para tabi’³n dan atba' tabi’³n. Uraian
selengkapnya, lihat M.M. Azami Studies in Hadith
Metodology and Literature (Washinton: American Trilis
Publication, 1997), h. 25-26. Lihat juga M.M. Azami Studies
in Earli Hadith Literature dalam Bahasa Arab, Dirâsah fi al-
¦ad³£ al-Nabaw³ wa Tarikh Tadw³n, diterjemahkan oleh Al³
Mu¡ āfa Ya’kub dengan judul, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya (Jakarta: Mu¡ āfa Firdaus, 1994), h. 132-440;
Lihat juga Salim ‘Al³ al-Bahmasawi, al-Sunnat al-Muftarat
‘Alayh (t.tp: D±r al-Buh-£ al-‘Ilmiah, 1979), h. 48-52.
3Ibnu Hajar al-Asqal±n³ mengatakan, “hadis Nabi belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan ābi’³n besar. M. M. Azami mengomentari; apakah beliau tidak mengakui adanya penulisan dan penyusunan hadis dalam buku?; Atau tidak mengakui adanya penulisan hadis pada masa itu secara keseluruhan; Apabila yang dimaksud adalah
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 18
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
penulisan dan penghimpunan hadis secara resmi
dimulai pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar
bin Abdul Az³s. Pendapat tersebut dapat diterima
dengan pengertian suatu gerakan penghimpunan
hadis dalam bentuk buku.4
Para mukharrij bersifat kritik menerima
suatu riwayat karena menurut data-data sejarah,
sejak terjadinya perpecahan umat Islam yang
dipicu oleh arbitrase antara pihak Al³ dengan
pihak Muawiyah mulai timbul usaha-usaha
pemalsuan hadis.5
Ulama hadis telah berusaha menghimpun
hadis-hadis Nabi sesuai dengan cara dan metode
yang mereka tetapkan. Proses penghimpunan
hadis-hadis melalui waktu yang cukup lama (lebih
dari satu abad). Kitab hasil karya para mukharrij,
selain bermacam-macam jenisnya, metode dan
penyusunannya juga berbeda-beda.6
yang pertama maka hal itu dapat diterima; Apabila yang dimaksud adalah yang kedua dengan melihat alasan-alasannya tidak dapat diterima. Uraian selengkapnya Lihat M.M. Azami Studies in Early Hadith, op. cit., h. 109.
4Lihat Ajjaj al-Khat³b op. cit., h. 415-416.
5Ajj±j al-Khat³b, al-Sunnah Qabla al-Tadw³n (Kairo: Maktabah Wahbah 1963), h. 337-340.
6Kitab-kitab hadis hasil karya para mukharrij ada yang dikategorikan sebagai kitab pokok yang enam, yakni:
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 19
Kegiatan penelitian (kritik) hadis
dilakukan dalam rangka menilai apakah hadis
yang dinyatakan bersumber dari Nabi, dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya. Kegiatan
kritik hadis sangat penting, mengingat fungsi dan
kedudukannya sebagai sumber hukum yang kedua
sesudah Alquran.
Objek penelitian hadis, meliputi penelitian
sanad dan matan; Penelitian sanad disebut kritik
ekstern (naqd al-kh±riji) sedangkan kritik matan
disebut kritik intern (naqd al-d±khil³).7
Untuk kepentingan penelitian hadis baik
yang berkaitan dengan sanad, maupun matan,
ulama hadis telah menyusun berbagai kaidah; Hal
mana, kaidah tersebut berproses hingga
berkembang menjadi salah satu cabang dari
‘Ulm al-¦ad³£. Menurut ibn Khaldun, penelitian
ulama hadis terhadap berita yang berhubungan
dengan agama, berpegang pada pembawa berita
(periwayat). Apabila periwayat tergolong orang-
¢a¥³¥ al-Bukh±r³; ¢a¥³¥ Muslim; Sunan Ab- D±wud; Sunan al-Turmuz³; Sunan al-Nas±’³; Sunan Ibn M±jah: Dan ada yang dikategorikan kitab pokok yang lima, yakni selain Sunan Ibn M±jah. Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1999), h. 117-118.
7Dalam literature ‘Ulm al-¦ad³£ kegiatan kritik
hadis digunakan Istilah al-naqd sedangkan istilah yang
popular adalah al-Jarh wa al-ta’dil.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 20
orang yang dapat dipercaya, maka berita yang
disampaikan dinyatakan sa¥ih; Sebaliknya,
apabila periwayat tergolong orang yang tidak
dapat dipercaya, maka berita yang disampaikan
ditolak sebagai hujjah agama.8 Syuhudi Ismail
mengomentari pendapat ibnu Khaldun yang
mengatakan, bahwa penelitian yang dilakukan
ulama hadis hanya terbatas pada penelitian
sanad.9 Jadi kritik yang dilakukan ulama hadis
menurut ibn Khaldun terbatas pada kritik ekstern.
Ahmad Amin mempunyai pandangan yang
sama dengan ibn Khaldun. Menurut Ahmad Amin,
ulama hadis lebih menitik beratkan penelitiannya
terhadap sanad daripada matan hadis. 10 Abdul
Muin al-Bahaî lebih tegas menyatakan bahwa
ulama hadis, hanya meneliti sanad tidak meneliti
matan11.
8Lihat ‘Abdul Rahm±n bin Muhammad bin Khaldun,
Muqaddimah ibn Khaldun (t.tp: D±r al-Fikr, t.th.), h. 37
9Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Ke¡a¥³¥an Sanad
Hadis, Telaah Kritik dengan Tinjauan Pendekatan Ilmu
Sejarah (Jakarta-Indonesia: Bulan Bintang, 1988), h. 5.
10Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Isl±m (Kairo: Maktabat
al-Nahdat al-Mi¡riyah 1975 M), h. 217-218.
11Lihat dalam N-r al-D³n Itr, al-Madkhal il± ‘Ulm al-
¦ad³£ (Mad³nah al-Munawwarah: al-Maktabat al-'Ilmiah
1972), h. 14.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 21
Ulama hadis banyak yang tidak sependapat
dengan pendirian ibn Khaldun, Ahmad Amin dan
Abdul Muin al-Baha³, misalnya; Mu¡¯afa al- ¢ib±’³;
Muhammad Ab- Syuhbah dan N-r al-D³n Itr.
Mereka menyatakan kritikus hadis tidak hanya
meneliti sanad tetapi mereka juga meneliti matan.
12 Sebagai buktinya, kaidah ke¡a¥ihan hadis yang
diciptakan sebagian berkait dengan sanad;
Sebagian berkait dengan matan dan sanad
sekaligus. Kaidah yang berkait dengan matan
adalah terhindar dari sy±© dan terhindar dari
‘illat.13
Hadis yang sanadnya sahih (memenuhi
unsur-unsur kesahihan sanad) maka hadis itu
dapat diterima.14 Syuhudi Ismail mengomentari
pendapat tersebut di atas sebagai sesuatu yang
logis, sebab suatu berita yang telah dipercaya
pembawa dan rangkaian pembawa beritanya,
maka penerima berita tidak memiliki alasan untuk
menolak berita itu. Tetapi dalam kesahihan sanad
hadis kepastian itu tidak selamanya berlaku.
12Lihat ibid., h. 15-17.
13Lihat Zakariyah Yahya al-Nawaw³, ¢a¥³¥ Muslim bi
Syarh al-Nawaw³, Juz I (Mesir: al-Maktabat al-Mi¡riyah
1924), h. 88.
14Lihat M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 7.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 22
Menurut ulama hadis suatu hadis yang sanadnya
sahih belum tentu matannya ¡a¥î¥.15 Muhammad
al-Ghaz±l³ menyatakan tidak ada gunanya hadis
yang sanadnya sahih tetapi matannya cacat.16
Dalam pandangan al-Gaz±l³ sebagaimana
diuraikan dalam kitabnya, al-Sunnah al-Nabawiyah
Bayn Ahl al-¦ad³£ wa Ahl al-Fiqh banyak dijumpai
hadis-hadis yang sanadnya dinyatakan berkualitas
sahih tetapi hadis itu masih perlu diuji.17 Metode
yang digunakan al-Ghaz±l³ berkait dengan kritik
matan hadis; Al-Ghaz±l³ membandingkan matan
hadis dengan ayat-ayat Alquran, kalau demikian
kritik yang digunakan al-Gaz±l³ berkait dengan
kritik matan hadis. Al-Gaz±l³ termasuk ulama
kontemporer yang menolak banyak hadis,
meskipun hadis tersebut oleh ulama mutaqaddim³n
dan muta'akhkhir³n dinyatakan berkualitas sahih.
Yusuf Qard±wi mengomentari sikap orang-
orang yang menolak hadis yang sudah terbukti
kesahihannya dengan menyatakan; menerima
hadis palsu berarti memasukkan hal-hal di luar
15Lihat ibid.
16Syaykh Muhammad al-Gaz±l³, al-Sunnah al-
Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-¦ad³£ (t.t.p: D±r al-
Syur-q, 1989), h 15.
17Lihat ibid.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 23
agama; sebaliknya, menolak hadis sahih sama
dengan mengeluarkan kandungan nilai agama.
Kedua sifat tersebut tidak dapat diterima dan
termasuk perbuatan tercela, sebab sikap pertama
mengandung arti menerima kebatilan sedangkan
sikap yang kedua mengandung arti menolak
kebenaran.18
Banyak kasus yang menjadi kontroversi di
kalangan ulama; di satu pihak dinyatakan hadis
tersebut berkualitas sahih, di pihak lain
dinyatakan hadis tersebut tidak sahih. Alasan
penolakan dapat berupa: Ayat-ayat Alquran, data
sejarah, atau argumen rasional. Penolakan itu
lebih disebabkan penolakan matan hadis.
Terlepas dari adanya kontroversi terhadap
kesahihan suatu hadis, kenyataan itu
menunjukkan adanya kesenjangan antara
kesahihan sanad dengan kesahihan matan suatu
hadis. Menurut Syuhudi Ismail, kesenjangan itu
alternatif penyebabnya dapat berupa:
a. Karena kaidah kesahihan sanad tidak
dilaksanakan secara konsekuen. Bentuk
ketidakkonsekuenan itu dapat berupa, misalnya:
18Lihat Yusuf Qard±wi, Kayfa Nata’amal ma’a
Sunnati al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Bahrun Ab- Bakar
dengan judul, Studi Kritis Assunnah (Bandung: Triguna
Karya 1995), h. 27.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 24
1) Diterapkannya pendapat yang mengatakan
bahwa sahabat Nabi bersifat adil. Kemudian dalam
peraktek terdapat kecenderungan dari ulama hadis
pada umumnya bahwa sahabat Nabi bukan hanya
bersifat adil semata melainkan juga bersifat «±bi ;̄
2) Diterapkannya pendapat yang menyatakan
bahwa hadis mursal sahabi merupakan hadis yang
sanadnya bersambung dari sahabat, bukan
periwayat pertama kepada Nabi;
3) Telah terjadi kesalahan penilaian terhadap
periwayatan tertentu, hal ini mungkin disebabkan;
karena ketentuan al-jarh wa al-ta’d³l tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya; atau
mungkin terjadi kekeliruan penafsiran kata-kata
atau singkatannya; atau huruf yang
menghubungkan periwayat dengan periwayat
terdekat sebelumnya, yang terdapat dalam sanad;
(a) karena terjadi perbedaan pendapat tentang unsur-
unsur kaidah kesahihan sanad hadis itu sendiri,
(b) karena terjadi perbedaan sikap ulama menilai
kualitas periwayat hadis tertentu. Mereka ada
yang bersikap mutasyaddid (ketat); ada yang
bersikap muta¡a¥il (longgar); dan ada yang
bersifat mutawa¡¡it (menengah). Periwayat yang
dinyatakan bersifat £iqah oleh ulama muta¡a¥il
belum tentu dinyatakan £iqah oleh ulama
mutasyaddid, (c) karena telah terjadi periwayatan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 25
hadis secara bi al-ma'na; (d) karena matan hadis
yang bersangkutan berkait dengan masalah n±sikh
mans-kh (yang menghapus dan yang dihapus
hukum berlakunya), atau am dan khas (yang
umum dan yang khusus), atau mujmal dan
mufassal (yang global dan yang rinci); (e) karena
kaidah kesahihan matan hadis yang digunakan
masih belum akurat.19
Enam alternatif kesenjangan tersebut di
atas dapat dikategorikan kepada dua kategori,
yaitu: (1) Kesalahan penilaian terhadap penilaian
sanad atau kesalahan penilaian terhadap matan;
(2) Kaidah kesahihan matan yang digunakan
masih belum memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
B. Fokus Kajian
Bertitik tolak dari latar belakang di atas
maka fokus kajian dalam buku ini adalah dapatkah
kaidah kesahihan matan hadis diterapkan kepada
hadis yang terbukti kesahihan sanadnya? Dari
pokok masalah tersebut dirinci kepada beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Mengapa kaidah terhindar dari syāż
sebagai kaidah kesahihan matan hadis masih perlu
19
Syuhudi Ismail, op. cit., h. 202.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 26
diterapkan kepada hadis yang sudah terbukti
kesahihan sanadnya;
2. Dapatkah kaidah terhindar dari syāż
dinyatakan sebagai kaidah mayor kesahihan matan
hadis;
3. Bagaimana merumuskan kaidah minor
sehingga tidak tumpang tindih.
C. Definisi Operasional dan Lingkup
Pembahasan
Buku ini diberi judul, “Kaidah Kesahihan
Matan Hadis: Telaah Kritis terhadap kaidah Gaya
Syuzuz.” Dari judul tersebut ada beberapa istilah
kunci yang perlu dijelaskan lebih rinci, yaitu:
1. Telaah kritis yang dimaksud adalah
kajian teoritis dilakukan secara kritis.
Kemudian ditelaah dengan menggunakan
pendekatan holistic.
2. Kaidah terhindar dari sy±z.
Syāż (kejanggalan),20 yakni kejanggalan
yang terdapat pada matan hadis berupa
20Kaidah terhindar dari syāż, berkaitan dengan
kaidah ke¡a¥³¥an sanad dan ke¡a¥³han matan hadis. Ulama
berbeda pendapat tentang penerapan istilah syāż; Imām Syāfi’³ sebagai disebutkan al-H±kim al-Naisab-r³ sy±© ialah
hadis yang diriwayatkan seorang periwayat £iqah
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 27
pertentangan makna dengan dalil yang lebih kuat,
seperti: Bertentangan dengan hadis yang lebih
sahih; Atau bertentangan dengan Alquran; atau
bertentangan dengan syara’ yang mempunyai
kedudukan sebagai sumber hukum. Matan hadis
yang dinyatakan syāż adalah hadis yang
mengandung penyendirian (fard) dan
perlawanan.21 Jadi kaidah terhindar dari sy±©
adalah terhindar dari penyendirian yang
mengandung pertentangan makna.
Dalam pada itu perlu dijelaskan kaitannya
dengan hadis sy±© menurut Subh³ ¢alih definisi
hadis sy±© yang dianut mayoritas ulama adalah
yang dikemukakan Ibnu Hajar; juga dianut Imãm
Sy±fi’³; Hadis sy±© adalah hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat terpercaya
berlawanan dengan periwayat-periwayat yang
terpercaya pula.” Jadi periwayat hadis syāż terdiri
dari orang-orang £iqah. Lebih lanjut ibnu ¢al±h
berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak
periwayat yang semuanya £iqah: Ab Ya’la al-Khal³l³
mengatakan, hadis syāż adalah hadis yang hanya mempunyai satu sanad apabila periwayatnya £iqah kehujjahannya
diragukan tetapi apabila periwayatnya tidak £iqah maka
ditolak. Lihat al-Im±m al-H±kim Ab³ ‘Abdillah Muhammad
ibn ‘Abdullah al-H±fi§ al-Naisab-r³, Ma’rifat 'Ulm al-¦ad³£
(Kairo: t.p, 1370), h. 61.
21Lihat Subh³ ¢alih, op. cit., h. 180.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 28
mengatakan, “Apabila periwayat yang dilawan itu
lebih «±bi ̄ maka termasuk syāż yang ditolak,
apabila periwayat yang menyalahi itu adil dan
«±bi ̄maka dia sahih. Apabila kurang «±bi ̄tetapi
tidak terlalu rendah derajat ke«±bi¯annya maka
dia hasan”.22
Dua definisi yang dikemukakan di atas,
tampaknya terdapat kemusykilan definisi: Di satu
sisi hadis syāż dikategorikan hadis diaf; di sisi lain
dikatakan ada yang sahih; ada yang hasan dan ada
yang mungkar. Yang mungkar sudah pasti mard-d
sedangkan yang ¡a¥³¥ dan hasan sudah pasti
maqb-l. Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya
suatu hadis: Ada yang maqb-l, dan ada yang
mard-d. Yang maqb-l terdiri dari dua macam,
yaitu; makbl ma’mlun bih dan maq’bl gayr
ma’m-lun bih. Dua karegori yang terakhir disebut
termasuk kategori sahih. Definisi hadis sy±©
sebagaimana dianut Ibn ¢al±h dapat saja
dikategorikan hadis sahih maqb-l gair ma’mlun
bih dengan pengecualian yang mungkar.
Definisi hadis sy±© selain mengandung
kemusykilan batasan dari segi unsurnya, juga
22Lihat Sayyid ‘Al³ ibn Muhammad ibn ‘Al³ al-Husayn
al-Jurj±n³, ‘Ilmu ‘U¡l al-¦ad³£. (Beir-t: D±r Ibnu Hasan, 1413
H/1992 M), h. 60.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 29
terdapat batasan yang ketat, yakni: perlawanan
makna (al-mukhalaf.). Batasan ini mengandung
pengertian bahwa riwayat tersebut; bertentangan
dengan riwayat yang lain atau hadis lain melalui
sanad yang berbeda; bertentangan dengan
Alquran. Di sinilah letak perbedaan pembahasan
kaidah terhindar dari sy±© sebagai kaidah ke
sahihan matan hadis dengan pembahasan terhadap
hadis sy±© sebagai salah satu bagian dari hadis
daif.
“Matn al-¥ad³£” menurut istilah, adalah
kalimat yang terdapat sesudah berakhirnya sanad
(m± yanta¥i ilayh min al-kal±m).23 Atau lafal hadis
yang di dalamnya mengandung makna tertentu.”24
Jadi matan hadis adalah; sabda, atau perbuatan,
atau taqr³r yang dinukilkan dari Nabi;
Penulisannya dalam kitab-kitab hadis diletakkan
sesudah sanad atau periwayat pertama.
Kritik matan adalah penelitian terhadap
matan hadis dalam rangka menentukan apakah
hadis tersebut dapat dinyatakan sebagai hadis
sahih. Karena penelitian sy±© pada matan hadis
dilakukan setelah sanad hadis tersebut terbukti
23Mahmud al-Tahhan, Tays³r Mu¡ ālah al-¦ad³£
(Beir-t: D±r Alqur±n al-Kar³m, 1399 H/1979 M), h. 16.
24
Lihat Ajj±j al-Khat³b, op. cit., h. 32.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 30
sahih, maka matan hadis yang dimaksud dalam
judul penelitian ini adalah matan hadis yang
sanadnya dinyatakan telah memenuhi unsur
kaidah ke sahihan sanad hadis.
Adapun pengertian operasional judul
“Telaah Kritik Kaidah Terhindar dari sy±© dalam
Kritik Matan Hadis” adalah kajian secara kritis
terhadap salah satu unsur kaidah ke sahihan
hadis, yakni terhindar dari kejanggalan (sy±©).
Adapun lingkup pembahasan meliputi:
a. Argumen-argumen yang mendasari perlunya
penerapan kaidah terhindar dari sy±© sebagai
salah satu kaidah ke sahihan matan hadis, di
samping kaidah terhindar dari 'illat.
b. Pembahasan terhadap unsur-unsur kaidah
minor yang dapat terhimpun pada kaidah
terhindar dari sy±©, telaah terhadap
kemungkinan pengembangan kaidah minor
menjadi sub minor.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil telaah kepustakaan
dapat dinyatakan, bahwa penulis belum
menemukan pembahasan secara khusus tentang
kaidah ke sahihan matan hadis, khususnya kaidah
terhindar dari sy±©. Pembahasan tentang kaidah
terhindar dari sy±© pada umumnya dikaitkan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 31
dengan kesahihan sanad hadis. Syuhudi Ismail
menyatakan, belum ada pembahasan secara
khusus tentang sy±©.
Pembahasan tentang kaidah terhindar dari
sy±© masih ter-serak-serak pada beberapa kitab
‘Ulm al- ¦ad³£ ,misalnya: ‘Ul-m al-¦ad³£ karya Ibn
al-¢al±h diteliti oleh N-r al-D³n ltr; Ma’r³fah ‘Ul-m
al-¦ad³£ karya al-H±kim al-Naisab-r³; Qaw±id fî
‘Ulm al-¦ad³£ karya al-‘Allamah; ‘Ulm al-¦ad³£ wa
Mu¡¯alahuh karya Subh³ al-¢alih, Tadr³b al-R±w³ f³
Syarh al-Taqr³b karya al-Suy-¯³.
Selain kitab-kitab yang disebutkan di atas,
banyak pula kitab-kitab hasil karya ulama
kontemporer yang membahas masalah kritik
matan hadis dengan berbagai metode. Hal mana
menurut M.M. Azami, kesemua metode itu dapat
dikelompokkan kepada metode perbandingan
(croos refrence); Menurut hemat penulis, hadis-
hadis yang dikritik tersebut mengandung sy±©,
dengan demikian metode kritik matan hadis yang
dikembangkan ulama kontemporer berkaitan
dengan kaidah terhindar dari sy±©. Kalau
demikian, hasil kajian ulama kontemporer dapat
pula dijadikan sebagai bahan untuk menganalisa
dan mengembangkan kaidah terhindar dari sy±©
kepada beberapa kaidah minor.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 32
E. Pendekatan dan Analisis
'Ul-m al-¦ad³£, sebagai suatu disiplin ilmu,
objek kajiannya “ontologis”nya, pribadi Nabi
Muhammad saw. dari segi per-kataannya,
perbuatannya, dan taqr³rnya sebagaimana
terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Kitab hadis
tersebut, tidak hanya menghimpun materi hadis
(matan) tetapi juga mengikutsertakan sanad-
sanadnya. Baik sanad maupun matan hadis
keduanya bersifat fakta. Studi hadis memandang
kedua fakta tersebut, tidak saja dalam wujud
benda atau dibendakan, tetapi fakta tersebut
mempunyai hubungan kausal dengan Alquran di
satu sisi dan tugas kerasulan di sisi lain. Hal ini
berarti, hadis Nabi terdiri dari unsur natur
(benda) dan unsur metafisik yakni yang
berhubungan dengan yang transendental.25 Unsur
natural-nya berupa sanad dan matan. Matan
25Studi agama termasuk hadis, selain berisi
keparcayaan juga berisi hal-hal yang dapat dibahas secara
ilmiyah. Lihat Mukti Ali., op. cit., h. 326. ‘Ul-m al-¦ad³£
dinyatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri karena
memenuhi syarat-syarat berdirinya suatu ilmu. Yakni: (1)
secara ekplisit mempunyai objek (ontologis); (2) sistematis
dan punya metode (efistimologis) (3) punya arah (tujuan)
dan kontrol (aksiologi). Lihat John Townsend, Introduction
Teologi Experimental Method for Psikolog and the Sosial
Science (New York: Mecraw. Itill, 1953), h. 5.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 33
terdiri dari dua unsur pula, yakni unsur lafal dan
unsur makna. Unsur yang terakhir disebut (unsur
makna) satu kesatuan dengan wahyu (metafisik).
Unsur-unsur tersebut dipola menjadi dua bagian.
Satu bagian menjadi objek formal, yakni sanad dan
matan. Satu bagian lagi menjadi objek materil,
yakni matan.26
Lafal dan makna atau pola pertama menjadi
wilayah garapan naqd al-¥adis. Matan atau
bagian kedua menjadi wilayah garapan fiqh al-
¥adis.
Tujuan studi hadis (ontologis) dapat pula
dipola menjadi dua bagian, yakni: (1) Kajian
terhadap objek formilnya, berupa upaya
menemukan argumen yang akurat tentang suatu
riwayat yang disandarkan kepada Nabi, bahwa
riwayat tersebut dijamin keabsahannya; (2) Kajian
terhadap objek matrialnya, berupa upaya
menemukan makna yang terkandung dalam
perkataan, perbuatan, dan taqr³r Nabi; Untuk
dijadikan pedoman hidup agar selamat dunia dan
akhirat.
26Pembagian objek kajian kepada objek formil dan objek materil studi agama menurut mukti Ali, terdapat persamaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Lihat Mukti Ali, op. cit., h. 334-335.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 34
Pendekatan yang digunakan bertitik tolak
dari ontologis dan aksiologis studi ‘Ul-m al-¦adis
itu sendiri. Dalam hal ini, matan hadis dari segi
naqd al-¥adis. Dalam perspektif ini, objek di-
pandang sebagai konstruksi ganda. Hal ini berarti
pendekatan yang tepat adalah pendekatan
holistik.27
Dalam menganalisa data-data digunakan
lebih dari satu tehnik analisis, yakni analisis
dilakukan dari berbagai segi dan tetap mengacu
kepada analisis data kualitatif. Data-data tersebut
berupa pernyataan-pernyataan verbal maka
digunakan teknik-teknik analisis sebagai berikut:
(1) Analisis content, teknik ini dimaksudkan untuk
menentukan kriteria syu©-©; dan unsur-unsur
yang mesti terdapat dalam pengertian gayr
syu©-© sebagai kaidah (bukan nama salah satu
27Pendekatan holistik yeng berlandaskan
fenomenologi berusaha menundukkan objek penelitian
dalam suatu konstruksi ganda melihat obkjeknya dalam satu
konteks natural. Penelitian yang berlandaskan realisme
metafisik dilihat dari segi bagaimana penelitian diurus
sangat dekat dengan penelitian yang berlandaskan
fenomonologi dilihat dari segi pembuktian menjadi dekat
kepada rasionalisme. Pendekatan holistik dalam realisme
metafisik selain menundukkan objek dalam kontruksi ganda,
lebih jauh ia mencari makna esensial dari objeknya. Lihat
Noen Muhajir, op. cit., h. 150.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 35
hadis daif); (2) Analisis fungsional, teknik ini
dimaksudkan untuk memilih dan menetapkan
tolok ukur kesahihan matan hadis dari segi kaidah
gayr syu©-© dan untuk memilah-milah kaidah
minor (pengembangan kaidah terhindar dari
sy±©). Selain dua teknik analisis yang disebutkan
digunakan pula metode komparatif; Metode ini
dimaksudkan untuk mencari titik persamaan, dan
titik perbedaan pandangan ulama sehingga
menghasilkan sesuatu kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kesimpulan tersebut mungkin mendukung salah
satu pendapat; atau mengkompromikan pendapat
yang berbeda dengan mengemukakan argumen-
argumen; Mungkin argumen syar’i; atau logika;
dan atau argumen sejarah.
Secara teknis penulisan laporan penelitian
mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiyah (skripsi, tesis dan disertasi) IAIN Alauddin
(edisi revisi).
Agar pembahasan terarah dan sistematis,
maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, membahas faktor-faktor
yang mendorong ulama mengadakan penelitian
hadis. Pembahasan ini dimaksudkan untuk
mengetahui latar belakang pentingnya penelitian
kesahihan hadis, khususnya yang berkenaan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 36
dengan kesahihan matan; Selain itu, dimaksudkan
pula untuk melihat seberapa jauh pengaruh sistem
dan bentuk periwayatan hadis terhadap
pertentangan makna hadis. Pembahasan tersebut
akan berfungsi sebagai bahan telaah tentang
seberapa jauh tingkat akurasi kaidah terhindar
dari sy±© sebagai salah satu kaidah mayor dari
kaidah kesahihan matan hadis. Meteri
pembahasan disajikan pada bab II.
Langkah kedua, membahas masalah pokok
yang diajukan yakni membahas kritik matan hadis,
baik sejarah kritik matan hadis maupun
kemungkinan kesenjangan antara kaidah
kesahihan sanad dengan kaidah kesahihan matan
hadis. Uraian ini ditempatkan pada bab III.
Langkah ketiga, pembahasan butir-butir
masalah yang diajukan, yakni; butir (1), (2) dan
(3). Uraian mengenai butir-butir pertama
merupakan lanjutan uraian bab sebelumnya; yakni
analisa tentang faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan ke¡a¥³¥an sanad dengan
kesahihan matan hadis; uraian butir (2) dan (3)
mengenai telaah kritik terhadap kemungkinan
penerapan kaidah terhindar dari sy±© dan
tingkat akurasinya sebagai salah satu kaidah
kesahihan matan hadis, pada uraian ini pula akan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 37
disinggung kaidah terhindar dari ‘illat. Materi
pembahasan disajikan pada bab IV.
Langkah keempat, menyusun kesimpulan
dari hasil pembahasan bab-bab sebelumnya.
Kesimpulan dirumuskan dalam bentuk pernyataan
yang menjadi jawaban atas masalah yang diajukan
dalam penelitian ini; perumusannya ditempatkan
pada bab V.
Keseluruhan langkah-langkah yang telah
dikemukakan tampak bahwa telaah kritik terhadap
kaidah terhindar dari sy±© dalam kritik matan
hadis, secara khusus disajikan pada bab IV. Uraian
tersebut, tidak utuh sekiranya tidak diuraikan
terlebih dahulu sistem, bentuk periwayatan hadis
dan sejarah kritik matan hadis. Karenanya kedua
hal dimaksud dideskripsikan pada bab II dan III.
Masalah pokok yang diteliti adalah
kemungkinan penerapan kaidah terhindar dari
sy±© sebagai salah satu kaidah kesahihan matan
hadis. Karena itu, hadis Nabi yang dikemukakan
dalam pembahasan tidak ditentukan jumlahnya.
Penukilan hadis didasarkan atas kesesuaian
dengan masalah yang dikaji.
F. Garis-garis Besar Isi
Sesuai dengan masalah yang diangkat
sebagai topik pembahasan maka inti pembahasan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 38
dibagi dua variabel. Yakni: Pertama, terhindar dari
sy±©, yang dibahas pada variabel ini adalah;
kaidah terhindar dari sy±© sebagai kaidah
mayor; selanjutnya dibahas tingkat akurasi
penerapan kaidah terhindar dari sy±© dalam
menentukan kualitas hadis; Kedua, kritik matan
hadis, yang dibahas pada variabel ini: Sejarah
kritik matan hadis; kesenjangan antara kritik
sanad dengan kritik matan hadis; Dalam
sistematika pembahasan; variabel kedua
ditempatkan pada bab III; sedangkan variable
pertama ditempatkan pada bab IV, secara
keseluruhan pembahasan terdiri dari lima bab,
yakni:
Bab pertama, merupakan pendahuluan
yang menjadi pengantar umum kepada isi tulisan,.
bab ini berisi: latar belakang masalah; rumusan
dan kegunaan penelitian; serta garis-garis besar
isi.
Bab kedua berisi; hal-hal yang penting
dikemukakan berkait dengan penelitian, dalam hal
ini; Uraian tentang periwayatan hadis dan faktor-
faktor yang mendorong pentingnya diadakan
penelitian hadis
Bab ketiga berisi; sejarah kritik matan
hadis dan pengkajian data tentang faktor
penyebab terjadinya kesenjangan antara kaidah
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 39
kesahihan sanad dengan kaidah kesahihan matan
hadis.
Bab keempat berisi; pembahasan tentang,
kaidah terhindar dari sy±© sebagai kaidah
kesahihan matan hadis, dan penerapan kaidah
tersebut dalam menentukan sahih tidaknya suatu
hadis.
Bab kelima, sebagai bab penutup di
dalamnya dikemukakan; kesimpulan dan implikasi
pembahasan.
BAB II
KRITIK HADIS
DAN SEJARAHNYA
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 40
A. Pengertian Kritik Hadis
Kritik dalam bahasa Indonesia diartikan
tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan, baik atau buruk terhadap suatu
hasil karya (pendapat).28 Dalam literatur yang
berbahasa Arab, kata naqd, digunakan untuk
pengertian kritik. Misalnya dikatakan, naqada al-
kal±m wa naqada al-syi’ir, yang berarti, dia telah
mengeritik bahasanya dan juga puisinya.29 Kata
naqd dalam bahasa Arab berarti meneliti dengan
seksama, mengeritik dengan memberi ulasan.30
Jadi kritik (naqd) berarti meneliti dengan cermat.
Penelitian hadis disebut naqd al-hadis atau
naqd al-rijal al - hadis. Muhammad bin
Ahmadal - Zahabi dalam
28Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai
Pustaka,1989), h. 466.
29Lihat M.M. Azami, Studies in Hadith Motodologi
and Literature (Wasinton: American Trilis Publication, 1997),
h. 48.
30Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
Arab Bahasa Indonesia (Krapyak Yokyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir, t.th), h. 1551.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 41
Kitabnya yang membahas kualitas para
periwayat hadis
diberi judul Mizan I’tidal³ Naqd al-Rijal.
Naqd al-rijal yang dimaksud adalah kritik atau
usaha penelitian terhadap sanad hadis.
Dalam Alquran dan hadis sebagaimana
dikatakan M.M. Azami, tidak ditemukan kata naqd
dalam pengertian kritik 31 untuk maksud ini,
Alquran menggunakan kata yamiz (bentuk mud±ri’
dari maza) pengertiannya adalah memisahkan
sesuatu dari sesuatu yang lain. Misalnya dalam
QS. Ali Imr±n (3): 179:
ماكان هللا ليذرالمؤمنين على ما انتم عليه حتنى يمياالببينم منن .الطيب
Artinya:
‘Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia mengizinkan yang buruk (munafik) dengan yang baik (mukmin)’.32
Imam Muslim memberi judul bukunya
yang membahas metodologi kritik hadis dengan
judul al-Tamy³z. Penamaan kitab Imam Muslim
31Lihat M.M. Azami, loc. cit..
32Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya
(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Alquran,
1986), h. 107.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 42
menggambarkan bahwa metode kritik hadis adalah
suatu ilmu yang berusaha untuk menjelaskan
mana berita yang disandarkan kepada Nabi, layak
diterima dan mana yang tidak layak diterima.
Kedua istilah yang disebut di atas, yakni
naqd dan al-tamyz tidak populer di kalangan
ulama hadis. Mereka menamakan ilmu yang
berurusan dengan kritik hadis dengan sebutan al-
jarh wa al-ta’d³l.
Secara etimologis kata جننرح merupakan bentuk masdar dari جننرح berarti melukai, yakni
seseorang membuat luka pada tubuh orang lain
yang ditandai dengan mengalirnya darah.
Perkataan atau kalimat جنرح الحناكم ورينرل ال نا berarti hakim dan yang lain, melontarkan هنندsesuatu (penilaian) yang menjatuhkan sifat adil
saksi berupa kedustaan dan sebagainya.33
Sedangkan kata العندل berarti sesuatu yang terdapat
dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus. Orang adil
berarti diterima kesaksiannya.34 Secara etimologi
kata jarh berarti menilai negatif terhadap
sesuatu. Seorang saksi yang dijar¥ berarti
33Muhammad bin Mukarram ibn Mans-r, Lis±n al-
‘Arab, Juz III (Mesir: D±r al-Mi¡riyyah, t.th). h. 246.
34Ibid.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 43
kesaksiannya ditolak. Sebaliknya seorang saksi
yang dita’d³l berarti kesaksiannya diterima.
Menurut istilah ulama hadis sebagaimana
dikemukakan Ajjâj al-Khatib, al-jar¥ berarti
munculnya sifat dalam diri periwayat yang
menodai sifat ‘adilnya atau mencacatkan hafalan
dan kekuatan ingatannya yang menyebabkan
gugur riwayatnya, atau lemah riwayatnya atau
bahkan tertolak riwayatnya. Sedangkan al-'adl
berarti orang yang tidak memiliki sifat yang
mencacatkan keagamaan dan muru’ah-nya.35 Ilmu
yang membahas hal ihwal para periwayat dari segi
diterima atau ditolak riwayatnya disebut ‘Ilmu
Jar¥ wa al-Ta’d³l. Al-Jar¥ adalah al-ta’nu f³ r±’w
sedangkan al-ta’d³l adalah tazkiyah al-r±wi. Ilmu
ini menjadi timbangan untuk mengetahui
periwayat yang dapat diterima dengan periwayat
yang tidak dapat diterima hadisnya.36 Ulama yang
mendalami masalah jarh ta’d³l disebut ulama
Kritikus hadis.
35Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£ Ul-muh wa Mus ālah
(Beir-t: D±r al-Fikr, 1395 H/1975 M), h. 260.
36Lihat al-H±kim al-Naisab-ri, Ma’rifat Ulm al-¦ad³£
(Kairo: tp., 1370 H), h. 52. Lihat juga Ab- Bakar Ahmad bin
Al³ bin ¤abit al-Khat³b al-Bagdad³, Kitab al-Kif±yah f³ ‘Ilm al-
Riw±yah (Mesir: Matbaah al-Sa’adah, 1972), h. 81-101.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 44
Kritik hadis (naqd al-had³s) meliputi krtik
sanad (naqd al sanad) dan kritik matan(naqd al-
matn). Kritik pada bagian sanad (naqd al-sanad)
adalah kritik tentang keadilan, ke«abi¯an dan
ketersambungan sanad. Sedangkan kritik pada
bagian matan (naqd al-matn) adalah kritik
tentang terdapat tidaknya syāż dan 'illat.
Berdasarkan urain di atas, dapat
dinyatakan bahwa kritik hadis adalah usaha
penelitian terhadap sanad dan matan hadis,
sehingga dapat diketahui hadis yang berkualitas
sahih.
B. Sistem Periwayatan
Hadis Nabi sebagaimana terdapat dalam
kitab kitab hadis.Seperti Kitab Muwa¯̄ a karya
Imam M±lik, kitab Sahih al-Bukh±r³, karya Im±m
al-Bukh±r³, Sahih Muslim karya Im±m Muslim,
Sunan Ab- D±wud karya Im±m Ab- D±wud
penulisannya melalui proses kegiatan yang disebut
riw±yat al-¥ad³£ atau biasa disingkat al-riw±yat.37
37
Kata al-riw±yat sandingannya dalam bahasa Indonesia adalah riwayat (hal yang diriwayatkan), r±wi sandingannya adalah periwayat (orang yang melakukan periwayatan). Rawa adalah usaha transformasi (meriwayatkan). Kata al-riw±yat bentuk masdar dari kata kerja rawa dapat berarti al-naqad
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 45
Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
periwayatan, dari kata riwayat yang berarti cerita
atau sejarah.38
Al-riw±yat menurut ahli hadis adalah menerima dan menyampaikan hadis dengan menyandarkan kepada orang yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan ¡³ga al-ad±’.39 Definisi tersebut mengandung empat unsur yaitu;
(1) kegiatan menerima hadis dalam ilmu hadis disebut tahammul; (2) kegiatan menyampaikan hadis yang telah diterimanya dalam ilmu hadis disebut al-ad±’; (3) dalam menyampaikan hadis ia menyebutkan rangkaian periwayat yang menjadi sanadnya; dan (4) dalam menyandarkan berita ia
menggunakan ¡³ga al-ad±’.40 Definisi tersebut
(penukilan), al-zikr (penyebutan) al-fatalah atau al-habl (pintalan), al-nazr (pertimabangan). Lihat Luwis Ma’luf, al-Munjid f³ al-Lugah (Beir-t: D±r al-Masyriq, 1973), h. 289. Lihat juga Ahmad Warson, op. cit., h. 589.
38Departemen Pendidikan dan Kebudayaan op.
cit., h. 751. 39
Lihat N-r al-D³n Itr, Manh±j al-Naqd f³ ‘Ulm al-¦ad³£, diterjemahkan oleh Endang Soetari AD. dengan judul ‘Ul-m al-¦ad-£, jilid I (Cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), h. 169.
40Lihat N-r al-D³n Itr, Manh±j al-Naqd f³ ‘Ulm al-
¦ad³£, diterjemahkan oleh Endang Soetari AD. dengan judul
‘Ul-m al-¦ad-£, jilid I (Cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya,
1995), h. 169.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 46
mengandung empat unsur yaitu; (1) kegiatan
menerima hadis dalam ilmu hadis disebut tahammul; (2) kegiatan menyampaikan hadis yang
telah diterimanya dalam ilmu hadis disebut al-ad±’; (3) dalam menyampaikan hadis ia menyebutkan rangkaian periwayat yang menjadi sanadnya; dan (4) dalam menyandarkan berita ia menggunakan ¡iga al-ad±’.
Berdasarkan batasan yang dikemukakan di
atas, orang yang telah menerima hadis dari
seseorang periwayat (gurunya), tetapi dia tidak
menyampaikan hadis kepada orang lain maka
tidak dapat disebut telah melakukan periwayatan
hadis. Demikian pula, sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis tetapi tidak menyebutkan
rangkaian para periwayat dengan ¡³ganya, tidak
dapat disebut melakukan kegiatan periwayatan
hadis. Jadi, proses periwayatan hadis dimulai dari
sahabat sampai kepada mukharrij.41 Sesudah
41Terdapat perbedaan pengertian R±wi dengan
Mukharrij. R±wi adalah orang yang menyampaikan dan
menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar
atau diterima dari gurunya. Mukharrij adalah orang yang
telah menukil atau mencatat hadis ke dalam kitabnya. Jadi,
mukharrij lebih khusus ditujukan kepada ulama yang
menulis kitab-kitab hadis. Artinya mukharrij otomatis
disebut pula r±wi tetapi r±wi tidak otomatis mukharrij.
Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. II;
Bandung: Angkasa, 1991), h. 17. Dalam pada itu, mukharrij
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 47
mukharrij mentadwinkan hadis-hadis beserta
sanad-sanadnya tidak ada lagi periwayatan hadis.
Sistem periwayatan hadis di dalamnya
terdapat tiga unsur yang menjadi obyek kajian
dalam rij±l al-¥ad³£. Pembahasan ketiga unsur
tersebut, sangat urgen untuk menentukan dapat
tidaknya dipercaya berita yang disampaikan.
Ketiga unsur yang dimaksud adalah (1) kegiatan
tahammul; (2) kegiatan ad±’; (3) ¡iga al-ad±’.
Berikut ini diuraikan ketiga unsur tersebut.
Proses periwayatan hadis dari Nabi sampai
kepada mukharrij disebut tahammul wa al-ad±’ al-
¥ad³£. Para mukharrij tidak saja mencatat matan
hadis melainkan rangkaian nama-nama
periwayatnya dikemukakan secara lengkap. Hadis
yang dikemukakan secara lengkap sanad dan
matannya disebut hadis musnad.
Ulama hadis telah membahas syarat-syarat
sahnya seseorang menerima hadis, umumnya
ulama berpendapat bahwa orang kafir dan anak-
anak sah menerima hadis,42 tetapi tidak sah
dapat pula berarti mengambil suatu hadis dari suatu kitab,
lalu mencari sanad yang lain pada kitab yang lain. Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1394 M), h. 194.
42Lihat Jalal al-D³n ‘Abd al-Rahm±n ibn Ab³ Bakr al-
Suy- ³̄, Tadr³b al-R±wi f³ Syarh Taqr³b al-Nawaw³, Juz II
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 48
meriwayatkan (al-ad±’) hadis. Ulama tidak
merinci syarat-syarat menerima hadis akan tetapi
menurut Nur al-D³n Itr, “tolok ukur kecakapan
menerima hadis adalah tamy³z, yakni suatu
kemampuan yang menjadikan seseorang dapat
memahami dan hafal terhadap apa yang
didengarnya.43 Syuhudi Ismail mengomentari
syarat sah tammul menurut ulama dengan
menyatakan, “ulama memang tidak memberikan
rincian tentang syarat-syarat sahnya penerima
riwayat. Meskipun demikian, dapat dikatakan
bahwa syarat itu sedikitnya;
(a) sehat akal fikirannya; (b) secara fisik dan
mental memungkinkan mampu memahami dengan
baik riwayat hadis yang diterimanya44 Syarat yang
dikemukakan Nur al-D³n Itr dan Syhudi Ismail
tampakanya masih bersifat global. Karena
kemanpuan mamahami sifatnya relatif bagi setiap
orang. Lebih lanjut Syuhudi Ismail menyebutkan
(Cet. II; al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-
‘Ilmiah, 1392 H/1912 M), h. 4. Lihat juga ‘Al³ al-Husayn³,
Ilmu U¡-l al-¦ad³s (Beir-t: D±r Ibn Hasan, 1413 H/1992), h.
76.
43Lihat Nur al-D³n Itr, op. cit.., h. 194.
44Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad
Hadis; Telaah Kritis dengan Tinjauan Pendekatan Ilmu
Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) h. 52.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 49
indikasi kemampuan itu, adalah; “Bagi penerima
riwayat (periwayat) dengan jalan al-sam±’
disyaratkan tahu dan paham baca tulis.45 Kedua
syarat sebagaimana disebutkan Syuhudi Ismail
dapat diketahui dengan meneliti secara cermat
keadaan periwayat saat ia menerima hadis.
Ulama hadis telah membahas cara-cara
penerimaan hadis (¯ariq tahammul al-¥ad³£) dan
menciptakan istilah-istilah khusus dari setiap cara
yang ditempuh para periwayat hadis, umumnya
ulama membagi tata cara penerimaan riwayat
kepada delapan macam; (a) al-sam±’ lafal al-
syaykh; (b) al-qir±’ah ‘al± al-syaykh; (c) al-ij±zah;
(d) al-mun±walah; (e) al-kit±bah, atau al-
muk±tabah menurut istilah ibn Sal±h dan
selainnya; (f) i’lam al-syaykh; (g) al-wasiyyah; (h)
al-wij±dah.46 Masing-masing cara ini memiliki
pengertian dan lambang tertentu.
45Lihat ibid.
46Lihat, al-Suy- ³̄, Tadr³b, h. 160; al-Nawaw³, al-
Taqr³b li al-Nawaw³ Fann U¡-l al-¦ad³£ (Kairo: Abd Rahm±n
Muhammad, t.th), h. 15-21; Ab- al-Fay Muhammad bin
Muhammad bin ‘Al³ al-Haraw³, Jaw±hir al-U¡l f³ ‘Ilm al-
¦ad³£ al-Ras-l (al-Mad³nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-
‘Ilmiah,1373 H), h. 64-77; ‘Al³ al-Husayn³, membagi kepada
tujuh macam dengan tidak memasukkan al-wasiyyah. Lihat
‘Al³ al Hasyimiy, op. cit., h. 77-78; Jamal al-D³n al-Qasim³
membedakan antara al-qir±’a dengan 'arad sedangkan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 50
Al-sam±’ min al-syaykh ialah penerimaan
hadis seorang murid dari guru (al-syaykh) dengan
mendengarkan secara langsung. Hadis itu
didiktekan dalam suatu pengajian (muz±karah),
guru mendiktekan berdasarkan hafalannya atau
mungkin berdasarkan catatannya. Cara belajar
seperti ini guru (al-syaykh) yang aktif sedangkan
murid pasif mendengar, menyimak apa yang
didiktekan oleh gurunya. Bentuk periwayatan
seperti ini, dinilai sebagai cara yang lebih tinggi
kualitasnya oleh mayoritas ulama.47 Penilaian
tersebut, masih perlu dipersoalkan karena hasil
pendengaran seseorang yang dapat dipercaya
ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya
kepekaan alat pendengaran, kejelasan suara yang
didengar, kesungguhan pendengar untuk
memahami apa yang di dengar dan kemampuan
intelektual pendengar untuk memehami apa yang
didengar.48
ulama lain termasuk al-Suy- ī tidak. Lihat Jamal al-D³n al-
Qasim³, Qaw±id al-Tahd³s min Fun-n Mus ālah al-¦ad³£ (t.tp.:
Isa al-B±b³ al-Halab³ wa Syurakah, t.th.), h. 203-204.
47Lihat al-Haraw³, Jaw±hir, h. 685. M.M. Azami,
Studies in Hadith, h. 175. Lihat pula al-Syawk±n³, Irsyad al-
Fu¥-l (Surabaya: Salim bin Saad bin Nabhan wa Awuladu
Ahmad t.th), h. 54.
48Lihat M.M. Azami, Studies in Hadith, h. 19.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 51
Tiga faktor yang mempengaruhi
periwayatan dengan cara al-sam±’ seperti
disebutkan di atas, sangat memungkinkan terjadi
kesalahan dalam periwayatan hadis. Bentuk
kesalahan itu mungkin berupa kesalahan
pendengaran atau kesalahan memahami apa yang
ia dengar dari gurunya. Kesalahan tersebut dapat
menjadi cacat matan hadis.
Al-Qir±’ah ‘al± al-Syaykh (al-qira’ah) ialah
penerimaan hadis dengan cara, murid (periwayat)
membaca baik melalui hafalannya, maupun
melalui catatannya di hadapan guru (al-syaykh).
Sedangkan guru (al-syaykh) yang disodori bacaan
menyimak atau memeriksa dengan cermat, baik
pemeriksaan itu berdasarkan hafalan atau catatan
yang ada padanya.49
Ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-
qir±’ah. Al-Zuhri, Sufy±n bin Uyaynah, al-Bukh±r³
dan beberapa ulama lainnya, menyamakan al-
qir±’ah dengan al-sam±’. al-Suy-ti, Ahmad bin
Hanbal, Ishak bin Rahawayh menilai al-qir±’ah
lebih tinggi dari pada al-sam±.50 Penerimaan
hadis secara al-qir±’ah, murid lebih aktif
49Lihat ibid.
50Lihat al-H±kim al-Naisab-r³, Ma’rifat, h. 257-260.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 52
dibandingkan dengan guru (al-syaykh) yang
berfungsi sebagai pemeriksa hafalan. Cara ini
lebih tertutup peluang terjadi kesalahan. Apakah
ini berarti periwayatan secara al-qir±’ah pasti
terhindar dari kesalahan, sehingga matannya
selamat dari cacat. Hal ini bukan jaminan,
melainkan masih perlu penelitian. Meskipun
seluruh rangkaian periwayat dalam sanad hadis
tersebut penerimaannya melalui al-qir±’ah.
Al-Ij±zah, yakni guru hadis memberikan
izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis
yang ada padanya. Pemberian izin dinyatakan
secara tertulis atau dengan cara lisan.51 Ulama
berbeda pendapat tentang kebolehan al-ij±zah.
Sebahagian ulama menyatakan cara al-ij±zah
tidak dibenarkan, mereka beralasan sekiranya hal
itu boleh dilakukan niscaya ulama hadis tidak
perlu mengadakan perlawatan ke daerah-daerah.
Menurut Syuhudi Ismail, pendapat yang melarang
cara ij±zah memang cukup relevan untuk masa
tertentu saja, tidak untuk selamanya.52 Sebahagian
lagi ulama membolehkan tanpa halangan. Yang
berpendapat seperti ini, misalnya Ibnu Syihab al-
Zuhr³, Makhul, Abban ibn Iyyas, ibn Jurayj, Im±m
51Lihat al-Suy-¯³, Tadr³b, h. 44.
52Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah, h. 56.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 53
M±lik.53 Jenis al-ij±zah ada yang membagi
delapan jenis; sementara ulama yang lain
membagi kepada sembilan jenis. Namun semuanya
tidak lepas dari ij±zah dari guru tertentu.
Al-Mun±walah, yakni seorang guru (al-
syaykh) memberikan sebuah hadis atau beberapa
hadis atau sebuah kitab kepada muridnya.54
Pemberian hadis atau kitab di sini tidak diikuti
dengan pernyataan. Misalnya guru hanya berkata
kepada muridnya, “inilah hadisku” atau “inilah
riwayat yang saya dengar”, tanpa mengatakan
riwayatkanlah! Al-mun±walah semacam ini,
diperselisihkan kebolehannya oleh ulama. Namun
al-mun±walah bersama dengan al-ij±zah (al-
mun±walah al-maqr-na bi al-ij±zah) umumnya
ulama membolehkan.55 Dalam hal ini, ulama
mensyaratkan pernyataan pemberian wewenang
dari guru kepada murid.
Al-Muk±tabah (menulis) atau orang lain
yang menuliskannya kemudian hadis yang ditulis
itu diberikan dan atau dikirimkan kepada
53Lihat Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£, h. 236.
54Ibid., 238.
55Lihat ibid., 239, Syuhudi Ismail, Kaidah, h. 58.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 54
muridnya melalui orang yang dipercaya.56 Al-
Khat³b al-Baqd±di mensyaratkan seharusnya
ditulis sendiri oleh guru. Seandainya ditulis oleh
orang lain, guru harus menjelaskan kepada
muridnya dengan mengatakan, “kitabku ini, yang
aku berikan kepadamu ditulis oleh si fulan”
misalnya.57 cara al-muk±tabah bersama al-ij±za
lebih tinggi kualitasnya dibandingkan al-
muk±tabah tanpa ij±zah.
Al-i’lam, yakni guru (al-syaykh)
memberitahukan kepada muridnya tentang hadis
atau kitab-kitab yang telah diterima tanpa diikuti
dengan pernyataan, agar murid yang diberi tahu
itu meriwayatkan kepada orang lain.58
Perbedaannya dengan al-mun±walah terletak pada
al-mun±walah disyaratkan adanya pemberian
wewenang untuk meriwayatkan, sedangkan al-
i'lam tidak diikuti dengan pemberian wewenang.
Mayoritas ulama membolehkan meriwayatkan
hadis yang diterima melalui cara i’lam. Menurut
56Lihat Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£, Ibid., h. 239-
240.
57Lihat ibid., Selanjutnya lihat juga al-Khat³b al-
Baqd±di, al-Kif±yah, h. 377.
58Lihat al-Suy-¯i, Tadr³b, h. 58. Ajj±j al-Khat³b, U¡-l
al-¦ad³£, h. 241.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 55
mereka, pemberitahuan semacam itu sudah
mengandung pengertian pemberian izin. Menurut
Ajj±j al-Khat³b, tidak bisa meriwayatkan apabila
guru mengatakan, “jangan kamu meriwayatkan.”59
Meskipun sebahagian ulama tidak membenarkan
meriwayatkan hadis yang diterima dengan cara
i’lam, tetapi tidak berkenaan dengan pengamalan
hadis itu. Al-q±di Iy±d mengatakan bahwa para
ulama u¡-l sepakat tentang kewajiban
mengamalkan materi hadis tersebut. Pendapat ini
dianut pula ulama hadis.60
Al-Wa¡iyyah, yakni guru (al-syaykh)
berwasiat tentang hadis-hadis yang ada padanya
kepada seseorang agar hadis tersebut
59Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£, ibid., 242. 60Periwayatan dengan cara i’lam sebelum abad ke IV
H jarang terjadi Apabila terjadi, mereka menjelaskan sewaktu menyampaikannya. Ulama mutaqaddimîn menjelaskan bahwa, dalam kenyataannya cara i’lam tidak pada wilayah yang luas, sebagaimana diduga ulama muta’akhiriin. Diberitahukan bahwa, Hisyam bin Urwah (59-146 H) berkata 16 M Jurayj datang kepadaku membawah sebuah ¡a¥³fah, lalu bertanya wahai Ab- Zar. Apakah ini riwayat-riwayatmu? lalu aku menjawab benar? Kemudian ia pergi.” Hisyam, seorang periwayat £iqah demikian pula ibn Jurayj. Apa yang dilakukan ibn Jurayj itu, yakni datang bertanya tentang hadis yang ada padanya mengandung pengertian bahwa, ia meminta ijazah dan jawaban dari Hisyam berupa pembenaran atas pertanyaan ibn Jurayj. Juga mengandung pengertian pemberian ijazah inilah yang dikenal sebagai metode ibn Jurayj dalam menerapkan cara i’lam dalam tahammul. Lihat Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£, h. 242.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 56
diriwayatkan.61 Cara tahammul seperti ini amat
langkah. Sebahagian ulama membolehkan dan
sebagian lagi tidak.62 Di antara ulama yang
melakukan tahammul dengan cara al-wa¡iyyah
adalah Ayy-b al-Syakh īy±ni menerimah wasiat
dari Ab- Qil±bah Abdullah ibn Zaid al-Jirmi.63
Al-wij±dah, yakni seseorang mendapatkan
hadis tanpa melalui al-sam±’ atau al-ij±zah, atau
al-mun±walah; melainkan mendapat hadis yang
ditulis oleh periwayatnya.64 Menurut Ajjaj al-
Khat³b, hadis yang diriwayatkan secara al-wij±dah
sangat sedikit jumlahnya, itu pun dilakukan
apabila diyakini kesahihan penisbahan kitab
tersebut kepada penulisnya. Di samping itu, tidak
seorang pun yang menggunakan cara al-wij±dah
dengan mengatakan حنندانا atau اخبرنننا; akan tetapi
mereka mengatakan وجندت ىنى كتناب ىنالن atau Ulama membolehkan 65 .قنننرأت ىننني كتننناب ىنننال ن كنننذا
61 Ajj±j, ibid., h. 243. 62 Al-Suy- ī, Tadr³b, h. 60. 63Menurut Ajjaj, penyerahan wasiat itu tidak
menunjukkan kebolehan untuk meriwayatkannya, melainkan pemberi wasiat (guru) hanya hawatir kalau buku tersebut jatuh keterangan orang yang tidak dipercaya. Ajj±j al-Khat³b berkesimpulan, al-wa¡iyyah bukan bentuk tahammul. Lihat Ajjaj, al-Sunnah, h. 343. Lihat juga Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£ h. 243.
64Al-Suy-¯i, Tadr³b, h. 60.
65Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£, h. 245.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 57
periwayatan al-wij±dah dengan beberapa syarat-
syarat yakni: (a) hadis yang didapati harus
diketahui secara pasti siapa periwayatnya; (b) ¡³ga
tahammul yang digunakan harus menunjukkan
bahwa hadis itu diperoleh dengan cara al-
wij±dah.66 Apabila tidak dipenuhi pasti terdapat
ta«lis.
Delapan cara tahammul di atas sekaligus
menggambarkan cara al-ad±’. Kegiatan
menyampaikan hadis (al-ad±’) dapat memilih
salah satu cara tahammul yang ia lakukan atau
yang ia kehendaki. Perlu ditegaskan bahwa tidak
semua yang melakukan tahammul (menerima
hadis) melakukan al-ad±’. Sebaliknya, yang
melakukan al-ad±’ sudah pasti melalui tahammul.
Ulama membedakan syarat-syarat
tahammul dengan syarat-syarat al-ad±’. Syarat
tahammul sebagaimana disebutkan terdahulu tidak
seketat syarat al-ad±’, adapun syarat-syarat al-
ad±’ yang disepakati mayoritas ulama hadis,
ulama u¡ûl dan ulama fiqh se- sebagaimana
disebutkan Ajj±j al-Khat³b sebagai berikut: (a)
ber- agama Islam, (b) balig, (c) adil, (c) berakhlak
(d) «±bi .̄67 Syuhudi Ismail mengemukakan syarat-
66Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan, h. 60.
67Ajj±j, U¡-l al-¦adis, h. 248.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 58
syarat yang lebih rinci, yakni: (a) beragama Islam
(b) balig, (c) berakhlak, (d) tidak fasik, (e)
terhindar dari tingkah laku yang mengurangi
kehormatan (mur-’ah), (f) mampu menyampaikan
hadis yang telah dihafalnya, (g) sekiranya
memiliki catatan hadis maka catatannya itu dapat
dipercaya, dan (h) mengetahui dengan baik yang
merusak maksud hadis yang diriwayatkan secara
makna.68
Syarat-syarat ad±’ tersebut di atas, baik
yang dikemukakan Ajj±j al-Khat³b maupun yang
dikemukakan Syuhudi Ismail semuanya terhimpun
pada istilah ‘adil dan d±bi .̄ Kedua syarat yang
terakhir disebut ‘adil dan d±bi ̄ berhubungan
dengan kepribadian seseorang periwayat hadis
Periwayat hadis menjelaskan metode
tahammul yang digunakan dengan cara
menggunakan istilah-istilah s³ga al-ad±’, siga
tersebut mempunyai kualitas yang berbeda-beda.
Berikut ini dikemukakan contoh-contoh siga yang
dimaksud.
1. S³ga yang digunakan untuk cara al-samâ’
antara lain; (a) سنمع (b) ناحندا (c) حندانى (d) اخبرننى (e) لنننا قننال (f) لننناذكننر . Dua istilah yang terakhir disebut ( لنا قال ) dan ( لنا ذكر ) menurut Ajjaj al-Khatib
68
Syhudi Ismail, Kaidah, h. 51.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 59
jarang digunakan.Tiga istilah dari yang pertama
disebut mempunyai kualitas yang tinggi.69
Sebagaian ulama menilai سمع lebih tinggi dari حد انا
dan اخبرننا. Sebagian yang lain, seperti Ibn Sal±h
menilai حندانا dan اخبرننا lebih tinggi kualitasnya dari
kata سننمع. Menurut Ibn Ka£ir kata حنندانى lebih
tinggi kualitasnya daripada حدانا dan 70.اخبرنا
Dari perbedaan pendapat di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa siga al-ad±’ yang
menunjukkan cara al-sam±’ yang paling tinggi
bobot kualitasnya adalah سمع.
2. Siga yang digunakan untuk cara al-
qir±’ah, di antaranya ada yang disepakati dan ada
yang tidak disepakati ulama. Yang disepakati
adalah 71 ,قننرأت علننى ىننالن وانننا اسننم ىنن قربننه yang pertama
disebut dipakai apabila periwayat membaca
sendiri di hadapan guru (al-syaykh). Sedangkan
yang terakhir disebut dipakai apabila orang lain
yang membacanya. Ada pun periwayat hadir
mendengar bacaan guru (al-syaykh) dan berusaha
menyimak bacaan tersebut.
69Ajj±j, U¡-l al ¦ad³£, loc.cit.,
70Lihat Ahmad Muhammad Sy±kir, al-Bai£ al-¦as³s
Syarh Ihtisar ‘Ulm al-¦ad³£ ibn Kas³r (Beir-t: D±r al-Fikr,
t.th), h. 57.
71Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£, h. 249
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 60
Kata-kata yang tidak disepakati
penggunaannya di antaranya حندانا dan أخبرننا tanpa
diikuti kata-kata lain.72 Sebagaian ulama
menggunakan kata حدانا dan احبرنا untuk al-sam±’.
3. Siga yang digunakan untuk cara al-ij±zah.
Kebanyakan ulama menggunakan حدانا اجازة atau حدانا
انبنانى Al-Baqawiy menggunakan .واجنازلى atau إذنناانباننا dan sebagian lagi menggunakan اجنازة atau Al-Zuhr³ dan M±lik membolehkan .انبننننانىpenggunaan حدانا dan اخبرننا untuk cara al-ij±zah
bersama al-mun±walah.73
4. S³ga yang digunakan untuk cara al-
mun±walah tanpa al-ij±zah اخبرنننا مناولننة atau
ناولننا atauنناولنى sebahagian ulama menggunakan kata
74. عن atau قال
5. S³ga yang digunakan untuk cara al-
muk±tabah misalnya كتنب الني ىنالن atau اخبرننى بنه م نا بنة
atau 75.اخبرنى كتابنه Jumhur ulama hadis membolehkan
penggunaan kata-kata yang semakna.
6. S³ga yang digunakan untuk cara al-i’l±m
ialah اخبرنننا اعالمننا. Dalam hal ini sebagian ulama
72Al-Suy- ī, Tadrib, h. 16-17.
73Ibid., h. 51
74Lihat Ajj±j, U¡-l al-¦adi£, h. 250.
75Syuhudi Ismail, Kaidah , h. 250.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 61
memandang ketentuannya sama dengan
periwayatan yang diterima dengan al-ij±zah.76
7. S³ga yang digunakan untuk cara al-
wa¡iyyah yaitu: أوصى الي ada pula yang memandang
ketentuan s³ga al-wa¡iyyah sama dengan
ketentuan s³ga al-ij±zah.77
8. S³ga yang digunakan untuk cara al-
wij±dah antara lain:
)أ( وجدت ببط ىالن حدّانا ىالن
)ب( وجدت ىى كتاب ىالن بحطه حدانا ىالن
)ث( وجدت من ىالن أو بلغنى عن ىالن
)ج( وجدت ىى نسبة من كتاب ىالن
)ح( وجدت ىى كتاب ظنن أنّه ببّط ىالن.78
Orang yang menemukan naskah itu dapat
menggunakan istilah ىالن قال atau ذكرىالن atau بلغنى 79.عن ىالن
Selain s³ga yang disebutkan di atas, banyak
pula ditemukan harf seperti: ح atau ان عنن حنا dan قنال. Dua harf dari yang pertama disebut ح atau حننا menunjukkan adanya perpindahan dari
76Ibid., Lihat juga Nur al-D³n, Manhaj, h. 210.
77Lihat al-Q±simi, Qaw±id, h.120, lihat juga Nur al-
D³n, 'Ul-m al-¦ad³£ loc.cit.
78Al-Suy- ī, Tadr³b, h. 61.
79Nur al-D³n, 'Ul-m al-¦ad³£, h. 211.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 62
sanad ke sanad yang lain.80 Adapun عنن atau ان atau قننال, sebagian ulama menilai sebagai s³ga yang menunjukkan adanya indikasi keterputusan
sanad, sebagian lagi menilai عننن menunjukkan cara al-sam±, sedangkan أن sama kedudukannya dengan81.إن Untuk menentukan bersambung tidaknya sanad yang menggunakan s³ga: ان ,عنن dan قنال perlu penelitian yang cermat. Terhadap hadis yang menggunakan harf عنن biasa disebut hadis mu’an’an; yang menggunakan harf ان disebut hadis mu'annan.
C. Bentuk-Bentuk Periwayatan
Hadis Nabi berupa perkataan, perbuatan dan
takrirnya yang diriwayatkan.82 Rangkain
periwayat dalam sanad hadis terdiri dari sahabat
sebagai periwayat pertama, kemudian tabi’³n
80Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan, h. 63.
81Nur al-D³n, 'Ul-m al-¦ad³£, h. 211.
82Pengertian hadis secara lengkap dikemukakan dalam kitab Tawjih al-Nazar sebagaimana dikutip M.M. Azami mengatakan bahwa cakupan makna manurut ahli hadis dan ahli fiqh, yakni sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi saw. berupa prilaku, perkataan, persetujuan beliau akan tindakan sahabat, atau diskripsi tentang sifat, atau karakter dan penampilan fisikal Nabi. Menurut ulama fiqh yang terakhir disebut tidak termasuk hadis. Lihat M. M. Azami, Studies in Hadith, h. 3.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 63
sebagai periwayat kedua, atba’ tabi’in sebagai
periwayat ketiga dan selanjutnya ulama
mutaqaddim³n sampai kepada mukharrij
Bagaimana cara dan bentuk periwayatan
hadis, kajian tertuju kepada sahabat sebagai
periwayat pertama sekaligus sebagai saksi primer.
Uraian berikut akan membahas tentang cara
sahabat menerima hadis dan bentuk periwayatan
yang ditempuh.
1. Cara Sahabat Menerima Hadis
Sahabat tidak saja menyakini dan mentaati
Nabi sebagai Rasul, lebih dari itu mereka
menghormati, melindungi dan mencintai Nabi.
Kecintaan kepada Nabi menjadi salah satu faktor
yang mendorong para sahabat untuk mengetahui
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi. Nabi
sendiri giat mengajar para sahabat baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Cara Nabi mengajarkan83 berkaitan
langsung dengan cara sahabat menerima hadis.
83Secara global, cara Nabi mengajarkan hadisnya
dibedakan kepada tiga macam cara yaitu: (1) Cara verbal
‘mendikte’ agar mudah dihafal, Nabi kadang-kadang
mengualangi sampai tiga kali. (2) Cara tertulis, semua surat
yang dibuat Nabi termasuk kategori ini; (3) Cara
demonstrasi praktis umumnya hadis yang berkaitan dengan
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 64
Banyak cara yang dilakukan sahabat mempelajari
hadis, tetapi semua itu tidak lepas dari tiga cara
yaitu: (1) hafalan; (2) catatan; dan (3) praktik.
Berikut ini dijelaskan satu persatu.
Cara pertama, hafalan, yakni Nabi
menjelaskan suatu masalah sahabat menyimak
dengan cermat lalu menghafalnya.84 Cara sahabat
menerima hadis dalam bentuk hafalan diterima
melalui:
a. Majelis atau pengajian yang diadakan
oleh Nabi.85
ibadah praktis masuk kategori ini. penejalasan selengkpnya
lihat M M. Azami Studies in Hadith, h. 9-10.
84Cara ini sesuai kondisi masyarakat Arab pada
masa itu. Bangsa Arab terkenal kuat menghafal.
85Dalam banyak waktu Rasulullah saw. duduk dalam
khalaqah bersama para sahabat untuk mengajar mereka.
Lihat Ibnu Hajar al-Asqal±n³ Fath al-B±r³, bi Syarh ¢ah³h al-
Bukh±r³, Juz I (D±r al-Fikr, t.th), h. 157; Ab- Waqi al-Lay£
juga menuturkan ”Suatu ketika Rasulullah saw., duduk di
Mesjid bersama para sabahat tiba-tiba datang tiga orang.
Dua orang menghadap pada Rasul, salah satu di antara
keduanya melihat tempat kosong pada khalaqah itu, lalu ia
langsung duduk". Riwayat ini menggambarkan bahwa
khalagah yang diadakan Nabi, selalu dipadati oleh para
sahabat. Riwayat ini dapat dilihat dalam, Ab³ Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukh±r³
al-Ja’fiy, ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ bab al-’ilm (Indonesia: D±r al-
Arabiyah, 1981 M/1201 H), h. 8.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 65
b. Nabi menjelaskan persoalan suatu kasus yang
timbul dalam masyarakat atau Nabi menasihati
sahabat karena sikap dan prilaku mereka. Sebagai
contoh, kasus Malik bin al-Huwayri sebagaimana
disebutkan dalam Sahih al-Bukh±r³, kata al-
Huwayri, “saya datang menemui Nabi lalu tinggal
bersama selama 20 malam. Nabi menanyakan
keluarga yang saya tinggalkan, lalu beliau
bersabda:
ارجعوا الى أهل م ىعلموهم ومروهم وصلوا كما رأيتمونى أصلى واذا حضرت الصالة ىليؤذن ل م
86احدكم ام ليؤم م أكبركم.
Sabda Nabi tersebut mengandung nasihat
sekaligus pelajaran tentang salat, khususnya tata
cara salat jamaah. Yang dipahami dari sabda Nabi
tersebut adalah seolah-olah Nabi menyatakan
jangan terlantarkan atau jangan lalai dari
kewajiban terhadap keluarga, disebabkan
menuntut ilmu. Adapun pelajaran yang diajarkan
pada saat itu adalah: (1) salat dilakukan sesuai
dengan cara Nabi salat; (2) perintah azan sebelum
salat; (3) hendaklah salat secara berjamaah, dan
86Dalam banyak waktu Rasulullah saw. duduk dalam
khalaqah bersama para sahabat untuk mengajar mereka.
Lihat Ibn Hajar al-Asqal±n³, Fath al-B±r³, Juz I, h. 157. Lihat
juga al-Bukh±r³, h. 8.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 66
(4) yang menjadi imam adalah yang paling tua
usianya (yang dituakan).
c. Jawaban Nabi atas pertanyaan yang diajukan baik
pertanyaan itu secara langsung maupun tidak
langsung.
Sahabat Nabi selalu berusaha mengadukan
semua persoalan yang dihadapi, termasuk masalah
yang lebih spesifik. Sebagai contoh, hadis yang
diriwayatkan Urwah dari 'Ãisyah r.a Urwah
berkata, “istri Rifaah datang kepada Nabi dan
berkata ‘Rifaah menalakku secara ba’in, kemudian
aku menikah dengan Abdurrahman bin Zubayr dan
ternyata kemaluannya seperti rumbai-rumbai
pakaian. Mendengar pengaduan tersebut Nabi
saw. bersabda:
حتى ذوقى ...أ ريدين أن رجعى الى رىا عة ؟ ال 87عسيلته ويذوق عسيلتك.
Artinya:
“Apakah engkau hendak ruju’ (kembali) dengan Rifa’ah), tidak boleh rujuk kepadanya sehingga engkau merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia merasakan madumu”.
Istri Rifa’ah tidak langsung mengemukakan
pertanyaan, tetapi dalam bentuk pengaduan, yakni
Rifaah mempertanyakan kasus yang dialami, Nabi
87
Al-Buk±hr³, Juz I, h. 147.
-
Pendahuluan
Kaidah Kesahihan Matan Hadis 67
memahami maksudnya, lalu Nabi memberi
penjelasan. Sabda Nabi tersebut didengar sahabat
yang lain termasuk Ab- Bakar dan Kh±lid bin Said.
d. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para
sahabat apa yang terjadi atau dilakukan oleh
Rasulullah saw.
Sahabat banyak merekam hadis dari hasil
penyaksian langsung terhadap peristiwa atau hal-
hal yang berhubungan dengan masalah ibadah,
seperti; salat, zakat, puasa, haji. Dalam hal ini ada
dua macam; pertama, sahabat mendengar bacaan-
bacaan Nabi dalam pelaksanaan ibadah, kemudian
menghafalnya. Jadi lafal-lafal hadis tersebut dari
Nabi (periwayatan bi al-faz); kedua, sahabat
melihat gerakan dan tata cara Nabi melaksanakan
suatu ibadah sahabat berusaha menghafal sam