KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS - IAIN Parerepository.iainpare.ac.id/873/2/Buku Kaidah Kesahihan...

288
Pendahuluan Kaidah Kesahihan Matan Hadis 1 Dr. H. Mahsyar Idris, M.Ag KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz Editor Dr. Hj.St.Nurhayati Ali, M.Hum Lembaga Penerbitan Universitas Muhammadiyah Parepare

Transcript of KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS - IAIN Parerepository.iainpare.ac.id/873/2/Buku Kaidah Kesahihan...

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 1

    Dr. H. Mahsyar Idris, M.Ag

    KAIDAH KESAHIHAN MATAN HADIS Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz

    Editor Dr. Hj.St.Nurhayati Ali, M.Hum Lembaga Penerbitan Universitas Muhammadiyah Parepare

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 2

    Idris Mahsyar

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis. Telaah Kritis

    Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz.

    Ed.3, Cet III, Umpar Press. 2008-03-000403

    X.229 halaman : 13,5x 21cm

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku

    ini dengan cara apa pun termasuk dengan

    penggunaan mesin photo copy tanpa izin sah dari

    penerbit

    Cetakan pertama (alfatiyah)Juni 2003

    Cetakan kedua (umpar press) Agustus 2007

    Cetakan ketiga (umpar press) Maret 2008

    Cetakan Keempat (umpar press) Mei 2014

    2008.03.0004.003

    Umpar Press

    Dr.H.Mahsyar Idris,M.Ag

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis

    Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz

    Hak Penerbitan pada Umpar Press

    Lembaga Penerbitan Universitas Muhammadiyah

    Parepare

    (UMPAR)

    Alamat:

    Kampus II.Jl.Jenderal Ahmad Yani Km.6.Parepare

    Tlp.0421-22757/0421.25524

    Umpar Press

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 3

    Sulsel Parepare

    ISBN. 979-3267-59-3

    KATA PENGANTAR

    الحمـد هلل رب العـالمـين والعـاقبـة للمتقـين والصـالة السـالم

    مـد وعلي الـه علي أشـرف األنبيـاء والمرسلـين سيدنـا مح

    وصحبـه أجمعـين.Syukur alhamdulillah penulis panjatkan

    kehadirat Allah swt., atas rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga buku Kaedah Kesahihan Matan Hadis (Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzudz) ini dapat diselesaikan sesuai

    dengan rencana. Selawat atas junjungan Nabi Besar Muhammad saw., sebagai Nabi terakhir, pelengkap dan penyempurna ajaran sebelumnya menuju keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.

    Penulis berharap mudah-mudahan buku ini dapat bernilai ibadah di samping nilai-nilai ilmiah sebagai tugas akademik yang harus ditunaikan. Kedua nilai tersebut merupakan amanah yang harus dijunjung tinggi baik sebagai hamba Allah maupun sebagai akademisi.

    Buku ini penulis persembahkan secara khusus kepada Ayahanda Muhammad Idris dan Ibunda Mansuhari yang telah mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberi motivasi dalam menuntut ilmu, meskipun Ibunda telah meninggal

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 4

    pada saat penulis menyusun skripsi (tahun 1987).

    Secara khusus pula penulis panjatkan do'a kakanda Sanawiah dan saudara-saudaraku serta

    isteri tercinta Dr.Hj.St. Nurhayati Ali yang telah mencurahkan perhatian dan bantuannya selama penulis menempuh studi samapai menulis buku ini. Kepada putra dan putri Ahmad Dhya'ulhaq, Awnul Muwaffaq, Nunun Maziyyah dan Wildan an Millah mudah-mudahan senantiasa mendapat

    rahmat dari Allah swt. sebab bagaimana pun perhatian dan waktu untuk mereka, senantiasa tersita karena kegiatan studi dan penulisan buku ini, mudah-mudahan ada hikmahnya. Amin Dalam kesempatan ini, penulis juga

    menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kakak Drs. Marzuki Ali,M.Pd. yang telah membaca naskah ini secara utuh. Tanpa bantuan pihak-pihak yang disebut di atas, penulisan buku ini mungkin tidak akan dapat

    diselesaikan dengan saksama. Walaupun demikian, penulis sendirilah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas kandungan studi ini, baik yang menyangkut kekhilafan mau pun kekurangan yang terdapat di dalamnya.

    Makassar Maret 2008 Wassalam

    Penulis Mahsyar

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 5

    DAFTAR ISI

    SAMPUL DEPAN .......................................

    DATA PENERBIT ....................................... KATA PENGANTAR

    .......................................

    DAFTAR ISI ....................................... DAFTAR TABEL .......................................

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    .......................................

    ABSTRAK .......................................

    BAB I PENDAHULUAN 15-

    A.Latar Belakang Masalah

    .....................

    15

    B. Fokus Kajian ..................... 22

    C.Definisi

    Operasional dan

    Lingkup

    Pembahasan

    .....................

    23

    D.Tinjauan Pustaka ..................... 27

    E.Pendekatan dan ..................... 28

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 6

    Analisis

    G.Garis Besar Isi ..................... 33

    BAB II KRITIK HADIS DAN SEJARAHNYA

    .....................

    35

    A. Pengertian Kritik Hadis

    .....................

    35

    B. Sistem

    Periwayatan

    ....................

    .

    39

    C. Bentuk dan Cara Periwayatan

    .....................

    54

    D.Sejarah Kritik Hadis

    ..................... 62

    E.Kritik Hadis Sebagai Ijtihad

    .....................

    72

    BAB III TEL TELAAH KRITIS

    KAIDAH

    KESAHIHAN

    MATAN HADIS

    .....................

    138

    A.Nisbah Naqd al-

    ¦ad³£ dengan Fiqh

    al- ¦ad³£

    .....................

    138

    B.Faktor-Faktor

    yang

    .....................

    149

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 7

    Mendorong

    Perlunya

    Penelitian Matan

    C.Telaah Terhadap

    Pendapat Ulama

    TentangKaidah

    KesahihanMatan

    Hadis

    .....................

    166

    D.Sebab Terjadinya

    Kesenjangan

    Antara

    Kesahihan Sanad

    dan

    Kesahihan Matan

    .....................

    108

    E.Berbagai Istilah

    Hadis

    Daif Karena

    Kedaifan Matan

    .....................

    111

    BAB IV UNSUR-UNSUR

    SY²ª DALAM

    KRITIK HADIS

    .....................

    138

    A.Telaah Terhadap Pendapat Ulama Tentang Sy±©

    .....................

    138 B. Unsur-Unsur Kaidah

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 8

    Kesahihan Matan Hadis

    ..................... 149

    C.Telaah Kritis Kaidah Minor Dari Kaidah Mayor Syu©-©

    .....................

    166

    D.Berbagai Hadis yang

    Matannya Dianggap

    Cacat Karena

    Kerusakan Makna

    .....................

    209

    E.Tingkat Akurasi Kaidah Gayr Syu©-© Sebagai Kaidah Kesahihan Matan

    .....................

    228

    BAB V PENUTUP ..................... 236

    A.Kesimpulan ..................... 236

    B.Implikasi ..................... 239

    DAFTAR PUSTAKA .................................... 242 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    ....................................

    DAFTAR TABEL

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 9

    1. Ikhtisar I Tolok Ukur Kesahihan Matan

    ............... 82

    2. Ikhtisar II Butir-Butir Kriteria Syu©-©

    ……........... 116

    3. Ikhtisar III Hubungan antara Unsur-Unsur

    Kaidah Kesahihan Dengan Nama-Nama

    Hadis Daif Karena Cacat Matan ……. 131

    4. Kemungkinan Terwujudnya Unsur N (sy±©

    dan ‘illat) Berdasarkan Unsur L (cacat lafal)

    dan Unsur M (cacat Makna 134

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 10

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    1. Konsonan

    Huruf-huruf bahasa Arab ditransliterasi ke

    dalam huruf Latin sebagai berikut:

    f = ف z = ز b = ب

    q = ق s = س t = ت

    k = ك sy = ش £ = ث

    l = ل ¡ = ص j = ج

    m = م » = ض ¥ = ح

    ̄ = ط kh = خ n = ن

    h = هـ § = ظ d = د

    w = و ' = ع © = ذ

    y = ي g = غ r = رHamzah ( ء ) yang terletak di awal kata

    mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau akhir, maka ditulis dengan tanda ( ' ).

    2. Vokal atau bunyi (a), (i) dan (u) ditulis

    dengan ketentuan sebagai berikut:

    ± = a panjang

    ³ = i panjang

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 11

    - = u panjang

    3. Syaddah dilambangkan dengan konsonan

    ganda.

    4. Kata sandang al- (alif l±m ma'rifah) ditulis

    dengan huruf kecil bila terletak di tengah kalimat

    dan huruf besar (Al-) bila terletak di awal kalimat.

    Contohnya:

    Menurut pendapat al-Asqal±n³, sanad hadis

    itu sahih

    Al-Asqal±n³ berpendapat bahwa sanad itu

    sahih …

    5. T± marb-tah ( ة ) ditransliterasi dengan t.

    Tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia

    ditrasliterasi dengan h. contoh: Maktabat D±r al-

    Nahdah

    6. Lafz al-Jal±lah ( هللا ) yang didahului

    partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau

    berkedudukan sebagai mudâf iayh

    ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 12

    Contoh: باهلل = billâh; ديننن هللا =

    d³null±h

    Adapun t± marb-tah yang

    disandarkan kepada lafz al-jal±lah

    ditransliterasi dengan huruf t. Contoh:

    .rahmatull±h = رحمة هللا

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 13

    ABSTRAK

    Judul : Kaidah kesahihan matan hadis, Telaah kritis Terhadap kaedah ghairu syudzudz.

    Buku ini membahas kaidah kesahihan

    matan hadis, Telaah kritis terhadap kaidah ghair

    syudzudz sebagai kaidah kesahihan matan hadis.

    sy±© (gayr syu©-©) sebagai salah satu kaidah

    kesahihan matan hadis. Teknik analisis yang

    digunakan adalah teknik analisis fungsional, yakni

    hadis dipandang dari sisi fungsinya sebagai

    sumber hukum yang kedua sesudah Alquran,

    dengan fungsi utamanya adalah menjelaskan

    kandungan Alquran dan menetapkan hukum atau

    petunjuk yang tidak disebutkan dalam Alqurân.

    Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

    holistik yakni melihat kaidah sy±© dalam

    berbagai aspek dan ketentuan yang telah

    dikemukakan oleh para ulama hadis tentang:

    unsur, syarat dan bentuk-bentuk sy±© yang

    terdapat dalam suatu hadis, untuk dinyatakan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 14

    bahwa hadis tersebut tidak memenuhi unsur

    ke¡a¥î¥an matan hadis.

    Sy±© (gayr syu©-©) sebagai kaidah

    kesahihan hadis, oleh sebagian kalangan dianggap

    sebagai kaidah yang hanya berkait dengan kaidah

    kesahihan sanad; dengan anggapan tersebut

    mereka menudu para ulama kritikus hadis tidak

    menghiraukan kritik matan hadis. Tesis ini

    menggambarkan bahwa ulama kritikus hadis

    bukan mengabaikan kritik matan. Berbagai data

    yang diajukan untuk membuktikan bahwa kritik

    matan telah adalah sejak masa sahabat sampai

    kepada masa ulama mutakaddim³n dan

    mutaakhir³n. Upaya kritik matan yang dilakukan

    oleh ulama kritikus hadis dapat ditelusuri dari

    kaidah kesahihan hadis yang mereka rumuskan.

    Perbedaan penilaian terhadap kualitas

    matan suatu hadis dan kesenjangan yang terjadi

    antara kesahian matan dengan kesahihan sanad

    bukan karena kaidah kesahihan sanad atau kaidah

    kesahihan matan yang tidak akurat, tetapi terletak

    pada: mungkin karena perbedaan penilaian

    terwujud tidaknya unsur-unsur yang harus

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 15

    dipenuhi suatu hadis yang dinyatakan berkualitas

    sahih; atau mungkin perbedaan pemahaman

    terhadap kandungan hadis.

    Gayr syu©-© sebagai kaidah kesahihan

    matan hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi

    untuk mendeteksi keautentikan suatu hadis yang

    disandarkan kepada Nabi. Ulama hadis tampak

    bersikap sangat hati-hati dalam menerapkan

    kaidah gayru syu©-©, sikap tersebut terlihat pada

    adanya batasan yang ketat tentang suatu hadis

    yang dikategorikan tidak memenuhi kaidah

    terhindar dari syu©-©.

    Penelitian terhadap sy±© suatu hadis

    mempunyai metode dan langkah-langkah (tahap-

    tahap) yang jelas. Sekiranya metode dan langkah

    tersebut diterapkan dengan konsisten maka tidak

    akan terjadi kesenjangan antara kesahihan sanad

    dengan kesahihan matan.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 16

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Hadis meliputi perkataan, perbuatan, taqr³r

    dan ihwal Nabi Muhammad saw.1 Periwayatannya

    melalui hafalan dan tulisan. Hanya saja pada masa

    Nabi, jumlah sahabat yang menulis selain

    1Lihat Muhammad Ajj±j al-Khat³b, 'U¡-l al-¦ad³£

    ‘Ulmuh wa Mu¡ ālah (Beir-t: D±r al-Fikir, 1395 H/1975 M),

    h. 19.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 17

    jumlahnya sedikit, materi (matan) yang dicatat

    masih terbatas. Perhatian sahabat yang pandai

    baca tulis pada masa itu lebih difokuskan pada

    penulisan Alquran. Tetapi tidak berarti kegiatan

    tulis menulis hadis sama sekali tidak dilakukan.2

    Ulama hadis telah melakukan penelitian terhadap kegiatan tulis menulis hadis, hasilnya menunjukkan banyak dari kalangan sahabat yang

    mempunyai catatan hadis, di antaranya: Ayy-b al-An¡±r³; Ab- Said al-Hudr³; Ab- Bakrah al-Saqaf³; Ab Rafi’; Ab Bakar al-¢idd³q; Al³ bin Ab³ Th±lib; Ab- Hurayrah.3

    2Secara umum periwayatan hadis pada masa Nabi

    melalui hafalan, tetapi menurut M.M. Azami periwayatan

    secara tertulis telah dilakukan sebahagian sahabat,

    kemudian diikuti oleh para tabi’³n dan atba' tabi’³n. Uraian

    selengkapnya, lihat M.M. Azami Studies in Hadith

    Metodology and Literature (Washinton: American Trilis

    Publication, 1997), h. 25-26. Lihat juga M.M. Azami Studies

    in Earli Hadith Literature dalam Bahasa Arab, Dirâsah fi al-

    ¦ad³£ al-Nabaw³ wa Tarikh Tadw³n, diterjemahkan oleh Al³

    Mu¡ āfa Ya’kub dengan judul, Hadis Nabawi dan Sejarah

    Kodifikasinya (Jakarta: Mu¡ āfa Firdaus, 1994), h. 132-440;

    Lihat juga Salim ‘Al³ al-Bahmasawi, al-Sunnat al-Muftarat

    ‘Alayh (t.tp: D±r al-Buh-£ al-‘Ilmiah, 1979), h. 48-52.

    3Ibnu Hajar al-Asqal±n³ mengatakan, “hadis Nabi belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan ābi’³n besar. M. M. Azami mengomentari; apakah beliau tidak mengakui adanya penulisan dan penyusunan hadis dalam buku?; Atau tidak mengakui adanya penulisan hadis pada masa itu secara keseluruhan; Apabila yang dimaksud adalah

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 18

    Mayoritas ulama berpendapat bahwa

    penulisan dan penghimpunan hadis secara resmi

    dimulai pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar

    bin Abdul Az³s. Pendapat tersebut dapat diterima

    dengan pengertian suatu gerakan penghimpunan

    hadis dalam bentuk buku.4

    Para mukharrij bersifat kritik menerima

    suatu riwayat karena menurut data-data sejarah,

    sejak terjadinya perpecahan umat Islam yang

    dipicu oleh arbitrase antara pihak Al³ dengan

    pihak Muawiyah mulai timbul usaha-usaha

    pemalsuan hadis.5

    Ulama hadis telah berusaha menghimpun

    hadis-hadis Nabi sesuai dengan cara dan metode

    yang mereka tetapkan. Proses penghimpunan

    hadis-hadis melalui waktu yang cukup lama (lebih

    dari satu abad). Kitab hasil karya para mukharrij,

    selain bermacam-macam jenisnya, metode dan

    penyusunannya juga berbeda-beda.6

    yang pertama maka hal itu dapat diterima; Apabila yang dimaksud adalah yang kedua dengan melihat alasan-alasannya tidak dapat diterima. Uraian selengkapnya Lihat M.M. Azami Studies in Early Hadith, op. cit., h. 109.

    4Lihat Ajjaj al-Khat³b op. cit., h. 415-416.

    5Ajj±j al-Khat³b, al-Sunnah Qabla al-Tadw³n (Kairo: Maktabah Wahbah 1963), h. 337-340.

    6Kitab-kitab hadis hasil karya para mukharrij ada yang dikategorikan sebagai kitab pokok yang enam, yakni:

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 19

    Kegiatan penelitian (kritik) hadis

    dilakukan dalam rangka menilai apakah hadis

    yang dinyatakan bersumber dari Nabi, dapat

    dipertanggungjawabkan keasliannya. Kegiatan

    kritik hadis sangat penting, mengingat fungsi dan

    kedudukannya sebagai sumber hukum yang kedua

    sesudah Alquran.

    Objek penelitian hadis, meliputi penelitian

    sanad dan matan; Penelitian sanad disebut kritik

    ekstern (naqd al-kh±riji) sedangkan kritik matan

    disebut kritik intern (naqd al-d±khil³).7

    Untuk kepentingan penelitian hadis baik

    yang berkaitan dengan sanad, maupun matan,

    ulama hadis telah menyusun berbagai kaidah; Hal

    mana, kaidah tersebut berproses hingga

    berkembang menjadi salah satu cabang dari

    ‘Ulm al-¦ad³£. Menurut ibn Khaldun, penelitian

    ulama hadis terhadap berita yang berhubungan

    dengan agama, berpegang pada pembawa berita

    (periwayat). Apabila periwayat tergolong orang-

    ¢a¥³¥ al-Bukh±r³; ¢a¥³¥ Muslim; Sunan Ab- D±wud; Sunan al-Turmuz³; Sunan al-Nas±’³; Sunan Ibn M±jah: Dan ada yang dikategorikan kitab pokok yang lima, yakni selain Sunan Ibn M±jah. Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1999), h. 117-118.

    7Dalam literature ‘Ulm al-¦ad³£ kegiatan kritik

    hadis digunakan Istilah al-naqd sedangkan istilah yang

    popular adalah al-Jarh wa al-ta’dil.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 20

    orang yang dapat dipercaya, maka berita yang

    disampaikan dinyatakan sa¥ih; Sebaliknya,

    apabila periwayat tergolong orang yang tidak

    dapat dipercaya, maka berita yang disampaikan

    ditolak sebagai hujjah agama.8 Syuhudi Ismail

    mengomentari pendapat ibnu Khaldun yang

    mengatakan, bahwa penelitian yang dilakukan

    ulama hadis hanya terbatas pada penelitian

    sanad.9 Jadi kritik yang dilakukan ulama hadis

    menurut ibn Khaldun terbatas pada kritik ekstern.

    Ahmad Amin mempunyai pandangan yang

    sama dengan ibn Khaldun. Menurut Ahmad Amin,

    ulama hadis lebih menitik beratkan penelitiannya

    terhadap sanad daripada matan hadis. 10 Abdul

    Muin al-Bahaî lebih tegas menyatakan bahwa

    ulama hadis, hanya meneliti sanad tidak meneliti

    matan11.

    8Lihat ‘Abdul Rahm±n bin Muhammad bin Khaldun,

    Muqaddimah ibn Khaldun (t.tp: D±r al-Fikr, t.th.), h. 37

    9Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Ke¡a¥³¥an Sanad

    Hadis, Telaah Kritik dengan Tinjauan Pendekatan Ilmu

    Sejarah (Jakarta-Indonesia: Bulan Bintang, 1988), h. 5.

    10Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Isl±m (Kairo: Maktabat

    al-Nahdat al-Mi¡riyah 1975 M), h. 217-218.

    11Lihat dalam N-r al-D³n Itr, al-Madkhal il± ‘Ulm al-

    ¦ad³£ (Mad³nah al-Munawwarah: al-Maktabat al-'Ilmiah

    1972), h. 14.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 21

    Ulama hadis banyak yang tidak sependapat

    dengan pendirian ibn Khaldun, Ahmad Amin dan

    Abdul Muin al-Baha³, misalnya; Mu¡¯afa al- ¢ib±’³;

    Muhammad Ab- Syuhbah dan N-r al-D³n Itr.

    Mereka menyatakan kritikus hadis tidak hanya

    meneliti sanad tetapi mereka juga meneliti matan.

    12 Sebagai buktinya, kaidah ke¡a¥ihan hadis yang

    diciptakan sebagian berkait dengan sanad;

    Sebagian berkait dengan matan dan sanad

    sekaligus. Kaidah yang berkait dengan matan

    adalah terhindar dari sy±© dan terhindar dari

    ‘illat.13

    Hadis yang sanadnya sahih (memenuhi

    unsur-unsur kesahihan sanad) maka hadis itu

    dapat diterima.14 Syuhudi Ismail mengomentari

    pendapat tersebut di atas sebagai sesuatu yang

    logis, sebab suatu berita yang telah dipercaya

    pembawa dan rangkaian pembawa beritanya,

    maka penerima berita tidak memiliki alasan untuk

    menolak berita itu. Tetapi dalam kesahihan sanad

    hadis kepastian itu tidak selamanya berlaku.

    12Lihat ibid., h. 15-17.

    13Lihat Zakariyah Yahya al-Nawaw³, ¢a¥³¥ Muslim bi

    Syarh al-Nawaw³, Juz I (Mesir: al-Maktabat al-Mi¡riyah

    1924), h. 88.

    14Lihat M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 7.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 22

    Menurut ulama hadis suatu hadis yang sanadnya

    sahih belum tentu matannya ¡a¥î¥.15 Muhammad

    al-Ghaz±l³ menyatakan tidak ada gunanya hadis

    yang sanadnya sahih tetapi matannya cacat.16

    Dalam pandangan al-Gaz±l³ sebagaimana

    diuraikan dalam kitabnya, al-Sunnah al-Nabawiyah

    Bayn Ahl al-¦ad³£ wa Ahl al-Fiqh banyak dijumpai

    hadis-hadis yang sanadnya dinyatakan berkualitas

    sahih tetapi hadis itu masih perlu diuji.17 Metode

    yang digunakan al-Ghaz±l³ berkait dengan kritik

    matan hadis; Al-Ghaz±l³ membandingkan matan

    hadis dengan ayat-ayat Alquran, kalau demikian

    kritik yang digunakan al-Gaz±l³ berkait dengan

    kritik matan hadis. Al-Gaz±l³ termasuk ulama

    kontemporer yang menolak banyak hadis,

    meskipun hadis tersebut oleh ulama mutaqaddim³n

    dan muta'akhkhir³n dinyatakan berkualitas sahih.

    Yusuf Qard±wi mengomentari sikap orang-

    orang yang menolak hadis yang sudah terbukti

    kesahihannya dengan menyatakan; menerima

    hadis palsu berarti memasukkan hal-hal di luar

    15Lihat ibid.

    16Syaykh Muhammad al-Gaz±l³, al-Sunnah al-

    Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-¦ad³£ (t.t.p: D±r al-

    Syur-q, 1989), h 15.

    17Lihat ibid.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 23

    agama; sebaliknya, menolak hadis sahih sama

    dengan mengeluarkan kandungan nilai agama.

    Kedua sifat tersebut tidak dapat diterima dan

    termasuk perbuatan tercela, sebab sikap pertama

    mengandung arti menerima kebatilan sedangkan

    sikap yang kedua mengandung arti menolak

    kebenaran.18

    Banyak kasus yang menjadi kontroversi di

    kalangan ulama; di satu pihak dinyatakan hadis

    tersebut berkualitas sahih, di pihak lain

    dinyatakan hadis tersebut tidak sahih. Alasan

    penolakan dapat berupa: Ayat-ayat Alquran, data

    sejarah, atau argumen rasional. Penolakan itu

    lebih disebabkan penolakan matan hadis.

    Terlepas dari adanya kontroversi terhadap

    kesahihan suatu hadis, kenyataan itu

    menunjukkan adanya kesenjangan antara

    kesahihan sanad dengan kesahihan matan suatu

    hadis. Menurut Syuhudi Ismail, kesenjangan itu

    alternatif penyebabnya dapat berupa:

    a. Karena kaidah kesahihan sanad tidak

    dilaksanakan secara konsekuen. Bentuk

    ketidakkonsekuenan itu dapat berupa, misalnya:

    18Lihat Yusuf Qard±wi, Kayfa Nata’amal ma’a

    Sunnati al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Bahrun Ab- Bakar

    dengan judul, Studi Kritis Assunnah (Bandung: Triguna

    Karya 1995), h. 27.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 24

    1) Diterapkannya pendapat yang mengatakan

    bahwa sahabat Nabi bersifat adil. Kemudian dalam

    peraktek terdapat kecenderungan dari ulama hadis

    pada umumnya bahwa sahabat Nabi bukan hanya

    bersifat adil semata melainkan juga bersifat «±bi ;̄

    2) Diterapkannya pendapat yang menyatakan

    bahwa hadis mursal sahabi merupakan hadis yang

    sanadnya bersambung dari sahabat, bukan

    periwayat pertama kepada Nabi;

    3) Telah terjadi kesalahan penilaian terhadap

    periwayatan tertentu, hal ini mungkin disebabkan;

    karena ketentuan al-jarh wa al-ta’d³l tidak

    dilaksanakan sebagaimana mestinya; atau

    mungkin terjadi kekeliruan penafsiran kata-kata

    atau singkatannya; atau huruf yang

    menghubungkan periwayat dengan periwayat

    terdekat sebelumnya, yang terdapat dalam sanad;

    (a) karena terjadi perbedaan pendapat tentang unsur-

    unsur kaidah kesahihan sanad hadis itu sendiri,

    (b) karena terjadi perbedaan sikap ulama menilai

    kualitas periwayat hadis tertentu. Mereka ada

    yang bersikap mutasyaddid (ketat); ada yang

    bersikap muta¡a¥il (longgar); dan ada yang

    bersifat mutawa¡¡it (menengah). Periwayat yang

    dinyatakan bersifat £iqah oleh ulama muta¡a¥il

    belum tentu dinyatakan £iqah oleh ulama

    mutasyaddid, (c) karena telah terjadi periwayatan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 25

    hadis secara bi al-ma'na; (d) karena matan hadis

    yang bersangkutan berkait dengan masalah n±sikh

    mans-kh (yang menghapus dan yang dihapus

    hukum berlakunya), atau am dan khas (yang

    umum dan yang khusus), atau mujmal dan

    mufassal (yang global dan yang rinci); (e) karena

    kaidah kesahihan matan hadis yang digunakan

    masih belum akurat.19

    Enam alternatif kesenjangan tersebut di

    atas dapat dikategorikan kepada dua kategori,

    yaitu: (1) Kesalahan penilaian terhadap penilaian

    sanad atau kesalahan penilaian terhadap matan;

    (2) Kaidah kesahihan matan yang digunakan

    masih belum memiliki tingkat akurasi yang tinggi.

    B. Fokus Kajian

    Bertitik tolak dari latar belakang di atas

    maka fokus kajian dalam buku ini adalah dapatkah

    kaidah kesahihan matan hadis diterapkan kepada

    hadis yang terbukti kesahihan sanadnya? Dari

    pokok masalah tersebut dirinci kepada beberapa

    masalah sebagai berikut:

    1. Mengapa kaidah terhindar dari syāż

    sebagai kaidah kesahihan matan hadis masih perlu

    19

    Syuhudi Ismail, op. cit., h. 202.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 26

    diterapkan kepada hadis yang sudah terbukti

    kesahihan sanadnya;

    2. Dapatkah kaidah terhindar dari syāż

    dinyatakan sebagai kaidah mayor kesahihan matan

    hadis;

    3. Bagaimana merumuskan kaidah minor

    sehingga tidak tumpang tindih.

    C. Definisi Operasional dan Lingkup

    Pembahasan

    Buku ini diberi judul, “Kaidah Kesahihan

    Matan Hadis: Telaah Kritis terhadap kaidah Gaya

    Syuzuz.” Dari judul tersebut ada beberapa istilah

    kunci yang perlu dijelaskan lebih rinci, yaitu:

    1. Telaah kritis yang dimaksud adalah

    kajian teoritis dilakukan secara kritis.

    Kemudian ditelaah dengan menggunakan

    pendekatan holistic.

    2. Kaidah terhindar dari sy±z.

    Syāż (kejanggalan),20 yakni kejanggalan

    yang terdapat pada matan hadis berupa

    20Kaidah terhindar dari syāż, berkaitan dengan

    kaidah ke¡a¥³¥an sanad dan ke¡a¥³han matan hadis. Ulama

    berbeda pendapat tentang penerapan istilah syāż; Imām Syāfi’³ sebagai disebutkan al-H±kim al-Naisab-r³ sy±© ialah

    hadis yang diriwayatkan seorang periwayat £iqah

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 27

    pertentangan makna dengan dalil yang lebih kuat,

    seperti: Bertentangan dengan hadis yang lebih

    sahih; Atau bertentangan dengan Alquran; atau

    bertentangan dengan syara’ yang mempunyai

    kedudukan sebagai sumber hukum. Matan hadis

    yang dinyatakan syāż adalah hadis yang

    mengandung penyendirian (fard) dan

    perlawanan.21 Jadi kaidah terhindar dari sy±©

    adalah terhindar dari penyendirian yang

    mengandung pertentangan makna.

    Dalam pada itu perlu dijelaskan kaitannya

    dengan hadis sy±© menurut Subh³ ¢alih definisi

    hadis sy±© yang dianut mayoritas ulama adalah

    yang dikemukakan Ibnu Hajar; juga dianut Imãm

    Sy±fi’³; Hadis sy±© adalah hadis yang

    diriwayatkan oleh periwayat terpercaya

    berlawanan dengan periwayat-periwayat yang

    terpercaya pula.” Jadi periwayat hadis syāż terdiri

    dari orang-orang £iqah. Lebih lanjut ibnu ¢al±h

    berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak

    periwayat yang semuanya £iqah: Ab Ya’la al-Khal³l³

    mengatakan, hadis syāż adalah hadis yang hanya mempunyai satu sanad apabila periwayatnya £iqah kehujjahannya

    diragukan tetapi apabila periwayatnya tidak £iqah maka

    ditolak. Lihat al-Im±m al-H±kim Ab³ ‘Abdillah Muhammad

    ibn ‘Abdullah al-H±fi§ al-Naisab-r³, Ma’rifat 'Ulm al-¦ad³£

    (Kairo: t.p, 1370), h. 61.

    21Lihat Subh³ ¢alih, op. cit., h. 180.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 28

    mengatakan, “Apabila periwayat yang dilawan itu

    lebih «±bi ̄ maka termasuk syāż yang ditolak,

    apabila periwayat yang menyalahi itu adil dan

    «±bi ̄maka dia sahih. Apabila kurang «±bi ̄tetapi

    tidak terlalu rendah derajat ke«±bi¯annya maka

    dia hasan”.22

    Dua definisi yang dikemukakan di atas,

    tampaknya terdapat kemusykilan definisi: Di satu

    sisi hadis syāż dikategorikan hadis diaf; di sisi lain

    dikatakan ada yang sahih; ada yang hasan dan ada

    yang mungkar. Yang mungkar sudah pasti mard-d

    sedangkan yang ¡a¥³¥ dan hasan sudah pasti

    maqb-l. Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya

    suatu hadis: Ada yang maqb-l, dan ada yang

    mard-d. Yang maqb-l terdiri dari dua macam,

    yaitu; makbl ma’mlun bih dan maq’bl gayr

    ma’m-lun bih. Dua karegori yang terakhir disebut

    termasuk kategori sahih. Definisi hadis sy±©

    sebagaimana dianut Ibn ¢al±h dapat saja

    dikategorikan hadis sahih maqb-l gair ma’mlun

    bih dengan pengecualian yang mungkar.

    Definisi hadis sy±© selain mengandung

    kemusykilan batasan dari segi unsurnya, juga

    22Lihat Sayyid ‘Al³ ibn Muhammad ibn ‘Al³ al-Husayn

    al-Jurj±n³, ‘Ilmu ‘U¡l al-¦ad³£. (Beir-t: D±r Ibnu Hasan, 1413

    H/1992 M), h. 60.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 29

    terdapat batasan yang ketat, yakni: perlawanan

    makna (al-mukhalaf.). Batasan ini mengandung

    pengertian bahwa riwayat tersebut; bertentangan

    dengan riwayat yang lain atau hadis lain melalui

    sanad yang berbeda; bertentangan dengan

    Alquran. Di sinilah letak perbedaan pembahasan

    kaidah terhindar dari sy±© sebagai kaidah ke

    sahihan matan hadis dengan pembahasan terhadap

    hadis sy±© sebagai salah satu bagian dari hadis

    daif.

    “Matn al-¥ad³£” menurut istilah, adalah

    kalimat yang terdapat sesudah berakhirnya sanad

    (m± yanta¥i ilayh min al-kal±m).23 Atau lafal hadis

    yang di dalamnya mengandung makna tertentu.”24

    Jadi matan hadis adalah; sabda, atau perbuatan,

    atau taqr³r yang dinukilkan dari Nabi;

    Penulisannya dalam kitab-kitab hadis diletakkan

    sesudah sanad atau periwayat pertama.

    Kritik matan adalah penelitian terhadap

    matan hadis dalam rangka menentukan apakah

    hadis tersebut dapat dinyatakan sebagai hadis

    sahih. Karena penelitian sy±© pada matan hadis

    dilakukan setelah sanad hadis tersebut terbukti

    23Mahmud al-Tahhan, Tays³r Mu¡ ālah al-¦ad³£

    (Beir-t: D±r Alqur±n al-Kar³m, 1399 H/1979 M), h. 16.

    24

    Lihat Ajj±j al-Khat³b, op. cit., h. 32.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 30

    sahih, maka matan hadis yang dimaksud dalam

    judul penelitian ini adalah matan hadis yang

    sanadnya dinyatakan telah memenuhi unsur

    kaidah ke sahihan sanad hadis.

    Adapun pengertian operasional judul

    “Telaah Kritik Kaidah Terhindar dari sy±© dalam

    Kritik Matan Hadis” adalah kajian secara kritis

    terhadap salah satu unsur kaidah ke sahihan

    hadis, yakni terhindar dari kejanggalan (sy±©).

    Adapun lingkup pembahasan meliputi:

    a. Argumen-argumen yang mendasari perlunya

    penerapan kaidah terhindar dari sy±© sebagai

    salah satu kaidah ke sahihan matan hadis, di

    samping kaidah terhindar dari 'illat.

    b. Pembahasan terhadap unsur-unsur kaidah

    minor yang dapat terhimpun pada kaidah

    terhindar dari sy±©, telaah terhadap

    kemungkinan pengembangan kaidah minor

    menjadi sub minor.

    D. Tinjauan Pustaka

    Berdasarkan hasil telaah kepustakaan

    dapat dinyatakan, bahwa penulis belum

    menemukan pembahasan secara khusus tentang

    kaidah ke sahihan matan hadis, khususnya kaidah

    terhindar dari sy±©. Pembahasan tentang kaidah

    terhindar dari sy±© pada umumnya dikaitkan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 31

    dengan kesahihan sanad hadis. Syuhudi Ismail

    menyatakan, belum ada pembahasan secara

    khusus tentang sy±©.

    Pembahasan tentang kaidah terhindar dari

    sy±© masih ter-serak-serak pada beberapa kitab

    ‘Ulm al- ¦ad³£ ,misalnya: ‘Ul-m al-¦ad³£ karya Ibn

    al-¢al±h diteliti oleh N-r al-D³n ltr; Ma’r³fah ‘Ul-m

    al-¦ad³£ karya al-H±kim al-Naisab-r³; Qaw±id fî

    ‘Ulm al-¦ad³£ karya al-‘Allamah; ‘Ulm al-¦ad³£ wa

    Mu¡¯alahuh karya Subh³ al-¢alih, Tadr³b al-R±w³ f³

    Syarh al-Taqr³b karya al-Suy-¯³.

    Selain kitab-kitab yang disebutkan di atas,

    banyak pula kitab-kitab hasil karya ulama

    kontemporer yang membahas masalah kritik

    matan hadis dengan berbagai metode. Hal mana

    menurut M.M. Azami, kesemua metode itu dapat

    dikelompokkan kepada metode perbandingan

    (croos refrence); Menurut hemat penulis, hadis-

    hadis yang dikritik tersebut mengandung sy±©,

    dengan demikian metode kritik matan hadis yang

    dikembangkan ulama kontemporer berkaitan

    dengan kaidah terhindar dari sy±©. Kalau

    demikian, hasil kajian ulama kontemporer dapat

    pula dijadikan sebagai bahan untuk menganalisa

    dan mengembangkan kaidah terhindar dari sy±©

    kepada beberapa kaidah minor.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 32

    E. Pendekatan dan Analisis

    'Ul-m al-¦ad³£, sebagai suatu disiplin ilmu,

    objek kajiannya “ontologis”nya, pribadi Nabi

    Muhammad saw. dari segi per-kataannya,

    perbuatannya, dan taqr³rnya sebagaimana

    terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Kitab hadis

    tersebut, tidak hanya menghimpun materi hadis

    (matan) tetapi juga mengikutsertakan sanad-

    sanadnya. Baik sanad maupun matan hadis

    keduanya bersifat fakta. Studi hadis memandang

    kedua fakta tersebut, tidak saja dalam wujud

    benda atau dibendakan, tetapi fakta tersebut

    mempunyai hubungan kausal dengan Alquran di

    satu sisi dan tugas kerasulan di sisi lain. Hal ini

    berarti, hadis Nabi terdiri dari unsur natur

    (benda) dan unsur metafisik yakni yang

    berhubungan dengan yang transendental.25 Unsur

    natural-nya berupa sanad dan matan. Matan

    25Studi agama termasuk hadis, selain berisi

    keparcayaan juga berisi hal-hal yang dapat dibahas secara

    ilmiyah. Lihat Mukti Ali., op. cit., h. 326. ‘Ul-m al-¦ad³£

    dinyatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri karena

    memenuhi syarat-syarat berdirinya suatu ilmu. Yakni: (1)

    secara ekplisit mempunyai objek (ontologis); (2) sistematis

    dan punya metode (efistimologis) (3) punya arah (tujuan)

    dan kontrol (aksiologi). Lihat John Townsend, Introduction

    Teologi Experimental Method for Psikolog and the Sosial

    Science (New York: Mecraw. Itill, 1953), h. 5.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 33

    terdiri dari dua unsur pula, yakni unsur lafal dan

    unsur makna. Unsur yang terakhir disebut (unsur

    makna) satu kesatuan dengan wahyu (metafisik).

    Unsur-unsur tersebut dipola menjadi dua bagian.

    Satu bagian menjadi objek formal, yakni sanad dan

    matan. Satu bagian lagi menjadi objek materil,

    yakni matan.26

    Lafal dan makna atau pola pertama menjadi

    wilayah garapan naqd al-¥adis. Matan atau

    bagian kedua menjadi wilayah garapan fiqh al-

    ¥adis.

    Tujuan studi hadis (ontologis) dapat pula

    dipola menjadi dua bagian, yakni: (1) Kajian

    terhadap objek formilnya, berupa upaya

    menemukan argumen yang akurat tentang suatu

    riwayat yang disandarkan kepada Nabi, bahwa

    riwayat tersebut dijamin keabsahannya; (2) Kajian

    terhadap objek matrialnya, berupa upaya

    menemukan makna yang terkandung dalam

    perkataan, perbuatan, dan taqr³r Nabi; Untuk

    dijadikan pedoman hidup agar selamat dunia dan

    akhirat.

    26Pembagian objek kajian kepada objek formil dan objek materil studi agama menurut mukti Ali, terdapat persamaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Lihat Mukti Ali, op. cit., h. 334-335.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 34

    Pendekatan yang digunakan bertitik tolak

    dari ontologis dan aksiologis studi ‘Ul-m al-¦adis

    itu sendiri. Dalam hal ini, matan hadis dari segi

    naqd al-¥adis. Dalam perspektif ini, objek di-

    pandang sebagai konstruksi ganda. Hal ini berarti

    pendekatan yang tepat adalah pendekatan

    holistik.27

    Dalam menganalisa data-data digunakan

    lebih dari satu tehnik analisis, yakni analisis

    dilakukan dari berbagai segi dan tetap mengacu

    kepada analisis data kualitatif. Data-data tersebut

    berupa pernyataan-pernyataan verbal maka

    digunakan teknik-teknik analisis sebagai berikut:

    (1) Analisis content, teknik ini dimaksudkan untuk

    menentukan kriteria syu©-©; dan unsur-unsur

    yang mesti terdapat dalam pengertian gayr

    syu©-© sebagai kaidah (bukan nama salah satu

    27Pendekatan holistik yeng berlandaskan

    fenomenologi berusaha menundukkan objek penelitian

    dalam suatu konstruksi ganda melihat obkjeknya dalam satu

    konteks natural. Penelitian yang berlandaskan realisme

    metafisik dilihat dari segi bagaimana penelitian diurus

    sangat dekat dengan penelitian yang berlandaskan

    fenomonologi dilihat dari segi pembuktian menjadi dekat

    kepada rasionalisme. Pendekatan holistik dalam realisme

    metafisik selain menundukkan objek dalam kontruksi ganda,

    lebih jauh ia mencari makna esensial dari objeknya. Lihat

    Noen Muhajir, op. cit., h. 150.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 35

    hadis daif); (2) Analisis fungsional, teknik ini

    dimaksudkan untuk memilih dan menetapkan

    tolok ukur kesahihan matan hadis dari segi kaidah

    gayr syu©-© dan untuk memilah-milah kaidah

    minor (pengembangan kaidah terhindar dari

    sy±©). Selain dua teknik analisis yang disebutkan

    digunakan pula metode komparatif; Metode ini

    dimaksudkan untuk mencari titik persamaan, dan

    titik perbedaan pandangan ulama sehingga

    menghasilkan sesuatu kesimpulan yang dapat

    dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

    Kesimpulan tersebut mungkin mendukung salah

    satu pendapat; atau mengkompromikan pendapat

    yang berbeda dengan mengemukakan argumen-

    argumen; Mungkin argumen syar’i; atau logika;

    dan atau argumen sejarah.

    Secara teknis penulisan laporan penelitian

    mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya

    Ilmiyah (skripsi, tesis dan disertasi) IAIN Alauddin

    (edisi revisi).

    Agar pembahasan terarah dan sistematis,

    maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

    Langkah pertama, membahas faktor-faktor

    yang mendorong ulama mengadakan penelitian

    hadis. Pembahasan ini dimaksudkan untuk

    mengetahui latar belakang pentingnya penelitian

    kesahihan hadis, khususnya yang berkenaan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 36

    dengan kesahihan matan; Selain itu, dimaksudkan

    pula untuk melihat seberapa jauh pengaruh sistem

    dan bentuk periwayatan hadis terhadap

    pertentangan makna hadis. Pembahasan tersebut

    akan berfungsi sebagai bahan telaah tentang

    seberapa jauh tingkat akurasi kaidah terhindar

    dari sy±© sebagai salah satu kaidah mayor dari

    kaidah kesahihan matan hadis. Meteri

    pembahasan disajikan pada bab II.

    Langkah kedua, membahas masalah pokok

    yang diajukan yakni membahas kritik matan hadis,

    baik sejarah kritik matan hadis maupun

    kemungkinan kesenjangan antara kaidah

    kesahihan sanad dengan kaidah kesahihan matan

    hadis. Uraian ini ditempatkan pada bab III.

    Langkah ketiga, pembahasan butir-butir

    masalah yang diajukan, yakni; butir (1), (2) dan

    (3). Uraian mengenai butir-butir pertama

    merupakan lanjutan uraian bab sebelumnya; yakni

    analisa tentang faktor-faktor yang menyebabkan

    terjadinya kesenjangan ke¡a¥³¥an sanad dengan

    kesahihan matan hadis; uraian butir (2) dan (3)

    mengenai telaah kritik terhadap kemungkinan

    penerapan kaidah terhindar dari sy±© dan

    tingkat akurasinya sebagai salah satu kaidah

    kesahihan matan hadis, pada uraian ini pula akan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 37

    disinggung kaidah terhindar dari ‘illat. Materi

    pembahasan disajikan pada bab IV.

    Langkah keempat, menyusun kesimpulan

    dari hasil pembahasan bab-bab sebelumnya.

    Kesimpulan dirumuskan dalam bentuk pernyataan

    yang menjadi jawaban atas masalah yang diajukan

    dalam penelitian ini; perumusannya ditempatkan

    pada bab V.

    Keseluruhan langkah-langkah yang telah

    dikemukakan tampak bahwa telaah kritik terhadap

    kaidah terhindar dari sy±© dalam kritik matan

    hadis, secara khusus disajikan pada bab IV. Uraian

    tersebut, tidak utuh sekiranya tidak diuraikan

    terlebih dahulu sistem, bentuk periwayatan hadis

    dan sejarah kritik matan hadis. Karenanya kedua

    hal dimaksud dideskripsikan pada bab II dan III.

    Masalah pokok yang diteliti adalah

    kemungkinan penerapan kaidah terhindar dari

    sy±© sebagai salah satu kaidah kesahihan matan

    hadis. Karena itu, hadis Nabi yang dikemukakan

    dalam pembahasan tidak ditentukan jumlahnya.

    Penukilan hadis didasarkan atas kesesuaian

    dengan masalah yang dikaji.

    F. Garis-garis Besar Isi

    Sesuai dengan masalah yang diangkat

    sebagai topik pembahasan maka inti pembahasan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 38

    dibagi dua variabel. Yakni: Pertama, terhindar dari

    sy±©, yang dibahas pada variabel ini adalah;

    kaidah terhindar dari sy±© sebagai kaidah

    mayor; selanjutnya dibahas tingkat akurasi

    penerapan kaidah terhindar dari sy±© dalam

    menentukan kualitas hadis; Kedua, kritik matan

    hadis, yang dibahas pada variabel ini: Sejarah

    kritik matan hadis; kesenjangan antara kritik

    sanad dengan kritik matan hadis; Dalam

    sistematika pembahasan; variabel kedua

    ditempatkan pada bab III; sedangkan variable

    pertama ditempatkan pada bab IV, secara

    keseluruhan pembahasan terdiri dari lima bab,

    yakni:

    Bab pertama, merupakan pendahuluan

    yang menjadi pengantar umum kepada isi tulisan,.

    bab ini berisi: latar belakang masalah; rumusan

    dan kegunaan penelitian; serta garis-garis besar

    isi.

    Bab kedua berisi; hal-hal yang penting

    dikemukakan berkait dengan penelitian, dalam hal

    ini; Uraian tentang periwayatan hadis dan faktor-

    faktor yang mendorong pentingnya diadakan

    penelitian hadis

    Bab ketiga berisi; sejarah kritik matan

    hadis dan pengkajian data tentang faktor

    penyebab terjadinya kesenjangan antara kaidah

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 39

    kesahihan sanad dengan kaidah kesahihan matan

    hadis.

    Bab keempat berisi; pembahasan tentang,

    kaidah terhindar dari sy±© sebagai kaidah

    kesahihan matan hadis, dan penerapan kaidah

    tersebut dalam menentukan sahih tidaknya suatu

    hadis.

    Bab kelima, sebagai bab penutup di

    dalamnya dikemukakan; kesimpulan dan implikasi

    pembahasan.

    BAB II

    KRITIK HADIS

    DAN SEJARAHNYA

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 40

    A. Pengertian Kritik Hadis

    Kritik dalam bahasa Indonesia diartikan

    tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan

    pertimbangan, baik atau buruk terhadap suatu

    hasil karya (pendapat).28 Dalam literatur yang

    berbahasa Arab, kata naqd, digunakan untuk

    pengertian kritik. Misalnya dikatakan, naqada al-

    kal±m wa naqada al-syi’ir, yang berarti, dia telah

    mengeritik bahasanya dan juga puisinya.29 Kata

    naqd dalam bahasa Arab berarti meneliti dengan

    seksama, mengeritik dengan memberi ulasan.30

    Jadi kritik (naqd) berarti meneliti dengan cermat.

    Penelitian hadis disebut naqd al-hadis atau

    naqd al-rijal al - hadis. Muhammad bin

    Ahmadal - Zahabi dalam

    28Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus

    Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai

    Pustaka,1989), h. 466.

    29Lihat M.M. Azami, Studies in Hadith Motodologi

    and Literature (Wasinton: American Trilis Publication, 1997),

    h. 48.

    30Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus

    Arab Bahasa Indonesia (Krapyak Yokyakarta: Pondok

    Pesantren al-Munawwir, t.th), h. 1551.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 41

    Kitabnya yang membahas kualitas para

    periwayat hadis

    diberi judul Mizan I’tidal³ Naqd al-Rijal.

    Naqd al-rijal yang dimaksud adalah kritik atau

    usaha penelitian terhadap sanad hadis.

    Dalam Alquran dan hadis sebagaimana

    dikatakan M.M. Azami, tidak ditemukan kata naqd

    dalam pengertian kritik 31 untuk maksud ini,

    Alquran menggunakan kata yamiz (bentuk mud±ri’

    dari maza) pengertiannya adalah memisahkan

    sesuatu dari sesuatu yang lain. Misalnya dalam

    QS. Ali Imr±n (3): 179:

    ماكان هللا ليذرالمؤمنين على ما انتم عليه حتنى يمياالببينم منن .الطيب

    Artinya:

    ‘Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia mengizinkan yang buruk (munafik) dengan yang baik (mukmin)’.32

    Imam Muslim memberi judul bukunya

    yang membahas metodologi kritik hadis dengan

    judul al-Tamy³z. Penamaan kitab Imam Muslim

    31Lihat M.M. Azami, loc. cit..

    32Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya

    (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Alquran,

    1986), h. 107.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 42

    menggambarkan bahwa metode kritik hadis adalah

    suatu ilmu yang berusaha untuk menjelaskan

    mana berita yang disandarkan kepada Nabi, layak

    diterima dan mana yang tidak layak diterima.

    Kedua istilah yang disebut di atas, yakni

    naqd dan al-tamyz tidak populer di kalangan

    ulama hadis. Mereka menamakan ilmu yang

    berurusan dengan kritik hadis dengan sebutan al-

    jarh wa al-ta’d³l.

    Secara etimologis kata جننرح merupakan bentuk masdar dari جننرح berarti melukai, yakni

    seseorang membuat luka pada tubuh orang lain

    yang ditandai dengan mengalirnya darah.

    Perkataan atau kalimat جنرح الحناكم ورينرل ال نا berarti hakim dan yang lain, melontarkan هنندsesuatu (penilaian) yang menjatuhkan sifat adil

    saksi berupa kedustaan dan sebagainya.33

    Sedangkan kata العندل berarti sesuatu yang terdapat

    dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus. Orang adil

    berarti diterima kesaksiannya.34 Secara etimologi

    kata jarh berarti menilai negatif terhadap

    sesuatu. Seorang saksi yang dijar¥ berarti

    33Muhammad bin Mukarram ibn Mans-r, Lis±n al-

    ‘Arab, Juz III (Mesir: D±r al-Mi¡riyyah, t.th). h. 246.

    34Ibid.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 43

    kesaksiannya ditolak. Sebaliknya seorang saksi

    yang dita’d³l berarti kesaksiannya diterima.

    Menurut istilah ulama hadis sebagaimana

    dikemukakan Ajjâj al-Khatib, al-jar¥ berarti

    munculnya sifat dalam diri periwayat yang

    menodai sifat ‘adilnya atau mencacatkan hafalan

    dan kekuatan ingatannya yang menyebabkan

    gugur riwayatnya, atau lemah riwayatnya atau

    bahkan tertolak riwayatnya. Sedangkan al-'adl

    berarti orang yang tidak memiliki sifat yang

    mencacatkan keagamaan dan muru’ah-nya.35 Ilmu

    yang membahas hal ihwal para periwayat dari segi

    diterima atau ditolak riwayatnya disebut ‘Ilmu

    Jar¥ wa al-Ta’d³l. Al-Jar¥ adalah al-ta’nu f³ r±’w

    sedangkan al-ta’d³l adalah tazkiyah al-r±wi. Ilmu

    ini menjadi timbangan untuk mengetahui

    periwayat yang dapat diterima dengan periwayat

    yang tidak dapat diterima hadisnya.36 Ulama yang

    mendalami masalah jarh ta’d³l disebut ulama

    Kritikus hadis.

    35Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£ Ul-muh wa Mus ālah

    (Beir-t: D±r al-Fikr, 1395 H/1975 M), h. 260.

    36Lihat al-H±kim al-Naisab-ri, Ma’rifat Ulm al-¦ad³£

    (Kairo: tp., 1370 H), h. 52. Lihat juga Ab- Bakar Ahmad bin

    Al³ bin ¤abit al-Khat³b al-Bagdad³, Kitab al-Kif±yah f³ ‘Ilm al-

    Riw±yah (Mesir: Matbaah al-Sa’adah, 1972), h. 81-101.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 44

    Kritik hadis (naqd al-had³s) meliputi krtik

    sanad (naqd al sanad) dan kritik matan(naqd al-

    matn). Kritik pada bagian sanad (naqd al-sanad)

    adalah kritik tentang keadilan, ke«abi¯an dan

    ketersambungan sanad. Sedangkan kritik pada

    bagian matan (naqd al-matn) adalah kritik

    tentang terdapat tidaknya syāż dan 'illat.

    Berdasarkan urain di atas, dapat

    dinyatakan bahwa kritik hadis adalah usaha

    penelitian terhadap sanad dan matan hadis,

    sehingga dapat diketahui hadis yang berkualitas

    sahih.

    B. Sistem Periwayatan

    Hadis Nabi sebagaimana terdapat dalam

    kitab kitab hadis.Seperti Kitab Muwa¯̄ a karya

    Imam M±lik, kitab Sahih al-Bukh±r³, karya Im±m

    al-Bukh±r³, Sahih Muslim karya Im±m Muslim,

    Sunan Ab- D±wud karya Im±m Ab- D±wud

    penulisannya melalui proses kegiatan yang disebut

    riw±yat al-¥ad³£ atau biasa disingkat al-riw±yat.37

    37

    Kata al-riw±yat sandingannya dalam bahasa Indonesia adalah riwayat (hal yang diriwayatkan), r±wi sandingannya adalah periwayat (orang yang melakukan periwayatan). Rawa adalah usaha transformasi (meriwayatkan). Kata al-riw±yat bentuk masdar dari kata kerja rawa dapat berarti al-naqad

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 45

    Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan

    periwayatan, dari kata riwayat yang berarti cerita

    atau sejarah.38

    Al-riw±yat menurut ahli hadis adalah menerima dan menyampaikan hadis dengan menyandarkan kepada orang yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan ¡³ga al-ad±’.39 Definisi tersebut mengandung empat unsur yaitu;

    (1) kegiatan menerima hadis dalam ilmu hadis disebut tahammul; (2) kegiatan menyampaikan hadis yang telah diterimanya dalam ilmu hadis disebut al-ad±’; (3) dalam menyampaikan hadis ia menyebutkan rangkaian periwayat yang menjadi sanadnya; dan (4) dalam menyandarkan berita ia

    menggunakan ¡³ga al-ad±’.40 Definisi tersebut

    (penukilan), al-zikr (penyebutan) al-fatalah atau al-habl (pintalan), al-nazr (pertimabangan). Lihat Luwis Ma’luf, al-Munjid f³ al-Lugah (Beir-t: D±r al-Masyriq, 1973), h. 289. Lihat juga Ahmad Warson, op. cit., h. 589.

    38Departemen Pendidikan dan Kebudayaan op.

    cit., h. 751. 39

    Lihat N-r al-D³n Itr, Manh±j al-Naqd f³ ‘Ulm al-¦ad³£, diterjemahkan oleh Endang Soetari AD. dengan judul ‘Ul-m al-¦ad-£, jilid I (Cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), h. 169.

    40Lihat N-r al-D³n Itr, Manh±j al-Naqd f³ ‘Ulm al-

    ¦ad³£, diterjemahkan oleh Endang Soetari AD. dengan judul

    ‘Ul-m al-¦ad-£, jilid I (Cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya,

    1995), h. 169.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 46

    mengandung empat unsur yaitu; (1) kegiatan

    menerima hadis dalam ilmu hadis disebut tahammul; (2) kegiatan menyampaikan hadis yang

    telah diterimanya dalam ilmu hadis disebut al-ad±’; (3) dalam menyampaikan hadis ia menyebutkan rangkaian periwayat yang menjadi sanadnya; dan (4) dalam menyandarkan berita ia menggunakan ¡iga al-ad±’.

    Berdasarkan batasan yang dikemukakan di

    atas, orang yang telah menerima hadis dari

    seseorang periwayat (gurunya), tetapi dia tidak

    menyampaikan hadis kepada orang lain maka

    tidak dapat disebut telah melakukan periwayatan

    hadis. Demikian pula, sekiranya orang tersebut

    menyampaikan hadis tetapi tidak menyebutkan

    rangkaian para periwayat dengan ¡³ganya, tidak

    dapat disebut melakukan kegiatan periwayatan

    hadis. Jadi, proses periwayatan hadis dimulai dari

    sahabat sampai kepada mukharrij.41 Sesudah

    41Terdapat perbedaan pengertian R±wi dengan

    Mukharrij. R±wi adalah orang yang menyampaikan dan

    menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar

    atau diterima dari gurunya. Mukharrij adalah orang yang

    telah menukil atau mencatat hadis ke dalam kitabnya. Jadi,

    mukharrij lebih khusus ditujukan kepada ulama yang

    menulis kitab-kitab hadis. Artinya mukharrij otomatis

    disebut pula r±wi tetapi r±wi tidak otomatis mukharrij.

    Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. II;

    Bandung: Angkasa, 1991), h. 17. Dalam pada itu, mukharrij

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 47

    mukharrij mentadwinkan hadis-hadis beserta

    sanad-sanadnya tidak ada lagi periwayatan hadis.

    Sistem periwayatan hadis di dalamnya

    terdapat tiga unsur yang menjadi obyek kajian

    dalam rij±l al-¥ad³£. Pembahasan ketiga unsur

    tersebut, sangat urgen untuk menentukan dapat

    tidaknya dipercaya berita yang disampaikan.

    Ketiga unsur yang dimaksud adalah (1) kegiatan

    tahammul; (2) kegiatan ad±’; (3) ¡iga al-ad±’.

    Berikut ini diuraikan ketiga unsur tersebut.

    Proses periwayatan hadis dari Nabi sampai

    kepada mukharrij disebut tahammul wa al-ad±’ al-

    ¥ad³£. Para mukharrij tidak saja mencatat matan

    hadis melainkan rangkaian nama-nama

    periwayatnya dikemukakan secara lengkap. Hadis

    yang dikemukakan secara lengkap sanad dan

    matannya disebut hadis musnad.

    Ulama hadis telah membahas syarat-syarat

    sahnya seseorang menerima hadis, umumnya

    ulama berpendapat bahwa orang kafir dan anak-

    anak sah menerima hadis,42 tetapi tidak sah

    dapat pula berarti mengambil suatu hadis dari suatu kitab,

    lalu mencari sanad yang lain pada kitab yang lain. Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1394 M), h. 194.

    42Lihat Jalal al-D³n ‘Abd al-Rahm±n ibn Ab³ Bakr al-

    Suy- ³̄, Tadr³b al-R±wi f³ Syarh Taqr³b al-Nawaw³, Juz II

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 48

    meriwayatkan (al-ad±’) hadis. Ulama tidak

    merinci syarat-syarat menerima hadis akan tetapi

    menurut Nur al-D³n Itr, “tolok ukur kecakapan

    menerima hadis adalah tamy³z, yakni suatu

    kemampuan yang menjadikan seseorang dapat

    memahami dan hafal terhadap apa yang

    didengarnya.43 Syuhudi Ismail mengomentari

    syarat sah tammul menurut ulama dengan

    menyatakan, “ulama memang tidak memberikan

    rincian tentang syarat-syarat sahnya penerima

    riwayat. Meskipun demikian, dapat dikatakan

    bahwa syarat itu sedikitnya;

    (a) sehat akal fikirannya; (b) secara fisik dan

    mental memungkinkan mampu memahami dengan

    baik riwayat hadis yang diterimanya44 Syarat yang

    dikemukakan Nur al-D³n Itr dan Syhudi Ismail

    tampakanya masih bersifat global. Karena

    kemanpuan mamahami sifatnya relatif bagi setiap

    orang. Lebih lanjut Syuhudi Ismail menyebutkan

    (Cet. II; al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-

    ‘Ilmiah, 1392 H/1912 M), h. 4. Lihat juga ‘Al³ al-Husayn³,

    Ilmu U¡-l al-¦ad³s (Beir-t: D±r Ibn Hasan, 1413 H/1992), h.

    76.

    43Lihat Nur al-D³n Itr, op. cit.., h. 194.

    44Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad

    Hadis; Telaah Kritis dengan Tinjauan Pendekatan Ilmu

    Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) h. 52.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 49

    indikasi kemampuan itu, adalah; “Bagi penerima

    riwayat (periwayat) dengan jalan al-sam±’

    disyaratkan tahu dan paham baca tulis.45 Kedua

    syarat sebagaimana disebutkan Syuhudi Ismail

    dapat diketahui dengan meneliti secara cermat

    keadaan periwayat saat ia menerima hadis.

    Ulama hadis telah membahas cara-cara

    penerimaan hadis (¯ariq tahammul al-¥ad³£) dan

    menciptakan istilah-istilah khusus dari setiap cara

    yang ditempuh para periwayat hadis, umumnya

    ulama membagi tata cara penerimaan riwayat

    kepada delapan macam; (a) al-sam±’ lafal al-

    syaykh; (b) al-qir±’ah ‘al± al-syaykh; (c) al-ij±zah;

    (d) al-mun±walah; (e) al-kit±bah, atau al-

    muk±tabah menurut istilah ibn Sal±h dan

    selainnya; (f) i’lam al-syaykh; (g) al-wasiyyah; (h)

    al-wij±dah.46 Masing-masing cara ini memiliki

    pengertian dan lambang tertentu.

    45Lihat ibid.

    46Lihat, al-Suy- ³̄, Tadr³b, h. 160; al-Nawaw³, al-

    Taqr³b li al-Nawaw³ Fann U¡-l al-¦ad³£ (Kairo: Abd Rahm±n

    Muhammad, t.th), h. 15-21; Ab- al-Fay Muhammad bin

    Muhammad bin ‘Al³ al-Haraw³, Jaw±hir al-U¡l f³ ‘Ilm al-

    ¦ad³£ al-Ras-l (al-Mad³nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-

    ‘Ilmiah,1373 H), h. 64-77; ‘Al³ al-Husayn³, membagi kepada

    tujuh macam dengan tidak memasukkan al-wasiyyah. Lihat

    ‘Al³ al Hasyimiy, op. cit., h. 77-78; Jamal al-D³n al-Qasim³

    membedakan antara al-qir±’a dengan 'arad sedangkan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 50

    Al-sam±’ min al-syaykh ialah penerimaan

    hadis seorang murid dari guru (al-syaykh) dengan

    mendengarkan secara langsung. Hadis itu

    didiktekan dalam suatu pengajian (muz±karah),

    guru mendiktekan berdasarkan hafalannya atau

    mungkin berdasarkan catatannya. Cara belajar

    seperti ini guru (al-syaykh) yang aktif sedangkan

    murid pasif mendengar, menyimak apa yang

    didiktekan oleh gurunya. Bentuk periwayatan

    seperti ini, dinilai sebagai cara yang lebih tinggi

    kualitasnya oleh mayoritas ulama.47 Penilaian

    tersebut, masih perlu dipersoalkan karena hasil

    pendengaran seseorang yang dapat dipercaya

    ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya

    kepekaan alat pendengaran, kejelasan suara yang

    didengar, kesungguhan pendengar untuk

    memahami apa yang di dengar dan kemampuan

    intelektual pendengar untuk memehami apa yang

    didengar.48

    ulama lain termasuk al-Suy- ī tidak. Lihat Jamal al-D³n al-

    Qasim³, Qaw±id al-Tahd³s min Fun-n Mus ālah al-¦ad³£ (t.tp.:

    Isa al-B±b³ al-Halab³ wa Syurakah, t.th.), h. 203-204.

    47Lihat al-Haraw³, Jaw±hir, h. 685. M.M. Azami,

    Studies in Hadith, h. 175. Lihat pula al-Syawk±n³, Irsyad al-

    Fu¥-l (Surabaya: Salim bin Saad bin Nabhan wa Awuladu

    Ahmad t.th), h. 54.

    48Lihat M.M. Azami, Studies in Hadith, h. 19.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 51

    Tiga faktor yang mempengaruhi

    periwayatan dengan cara al-sam±’ seperti

    disebutkan di atas, sangat memungkinkan terjadi

    kesalahan dalam periwayatan hadis. Bentuk

    kesalahan itu mungkin berupa kesalahan

    pendengaran atau kesalahan memahami apa yang

    ia dengar dari gurunya. Kesalahan tersebut dapat

    menjadi cacat matan hadis.

    Al-Qir±’ah ‘al± al-Syaykh (al-qira’ah) ialah

    penerimaan hadis dengan cara, murid (periwayat)

    membaca baik melalui hafalannya, maupun

    melalui catatannya di hadapan guru (al-syaykh).

    Sedangkan guru (al-syaykh) yang disodori bacaan

    menyimak atau memeriksa dengan cermat, baik

    pemeriksaan itu berdasarkan hafalan atau catatan

    yang ada padanya.49

    Ulama berbeda pendapat tentang

    kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-

    qir±’ah. Al-Zuhri, Sufy±n bin Uyaynah, al-Bukh±r³

    dan beberapa ulama lainnya, menyamakan al-

    qir±’ah dengan al-sam±’. al-Suy-ti, Ahmad bin

    Hanbal, Ishak bin Rahawayh menilai al-qir±’ah

    lebih tinggi dari pada al-sam±.50 Penerimaan

    hadis secara al-qir±’ah, murid lebih aktif

    49Lihat ibid.

    50Lihat al-H±kim al-Naisab-r³, Ma’rifat, h. 257-260.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 52

    dibandingkan dengan guru (al-syaykh) yang

    berfungsi sebagai pemeriksa hafalan. Cara ini

    lebih tertutup peluang terjadi kesalahan. Apakah

    ini berarti periwayatan secara al-qir±’ah pasti

    terhindar dari kesalahan, sehingga matannya

    selamat dari cacat. Hal ini bukan jaminan,

    melainkan masih perlu penelitian. Meskipun

    seluruh rangkaian periwayat dalam sanad hadis

    tersebut penerimaannya melalui al-qir±’ah.

    Al-Ij±zah, yakni guru hadis memberikan

    izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis

    yang ada padanya. Pemberian izin dinyatakan

    secara tertulis atau dengan cara lisan.51 Ulama

    berbeda pendapat tentang kebolehan al-ij±zah.

    Sebahagian ulama menyatakan cara al-ij±zah

    tidak dibenarkan, mereka beralasan sekiranya hal

    itu boleh dilakukan niscaya ulama hadis tidak

    perlu mengadakan perlawatan ke daerah-daerah.

    Menurut Syuhudi Ismail, pendapat yang melarang

    cara ij±zah memang cukup relevan untuk masa

    tertentu saja, tidak untuk selamanya.52 Sebahagian

    lagi ulama membolehkan tanpa halangan. Yang

    berpendapat seperti ini, misalnya Ibnu Syihab al-

    Zuhr³, Makhul, Abban ibn Iyyas, ibn Jurayj, Im±m

    51Lihat al-Suy-¯³, Tadr³b, h. 44.

    52Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah, h. 56.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 53

    M±lik.53 Jenis al-ij±zah ada yang membagi

    delapan jenis; sementara ulama yang lain

    membagi kepada sembilan jenis. Namun semuanya

    tidak lepas dari ij±zah dari guru tertentu.

    Al-Mun±walah, yakni seorang guru (al-

    syaykh) memberikan sebuah hadis atau beberapa

    hadis atau sebuah kitab kepada muridnya.54

    Pemberian hadis atau kitab di sini tidak diikuti

    dengan pernyataan. Misalnya guru hanya berkata

    kepada muridnya, “inilah hadisku” atau “inilah

    riwayat yang saya dengar”, tanpa mengatakan

    riwayatkanlah! Al-mun±walah semacam ini,

    diperselisihkan kebolehannya oleh ulama. Namun

    al-mun±walah bersama dengan al-ij±zah (al-

    mun±walah al-maqr-na bi al-ij±zah) umumnya

    ulama membolehkan.55 Dalam hal ini, ulama

    mensyaratkan pernyataan pemberian wewenang

    dari guru kepada murid.

    Al-Muk±tabah (menulis) atau orang lain

    yang menuliskannya kemudian hadis yang ditulis

    itu diberikan dan atau dikirimkan kepada

    53Lihat Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£, h. 236.

    54Ibid., 238.

    55Lihat ibid., 239, Syuhudi Ismail, Kaidah, h. 58.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 54

    muridnya melalui orang yang dipercaya.56 Al-

    Khat³b al-Baqd±di mensyaratkan seharusnya

    ditulis sendiri oleh guru. Seandainya ditulis oleh

    orang lain, guru harus menjelaskan kepada

    muridnya dengan mengatakan, “kitabku ini, yang

    aku berikan kepadamu ditulis oleh si fulan”

    misalnya.57 cara al-muk±tabah bersama al-ij±za

    lebih tinggi kualitasnya dibandingkan al-

    muk±tabah tanpa ij±zah.

    Al-i’lam, yakni guru (al-syaykh)

    memberitahukan kepada muridnya tentang hadis

    atau kitab-kitab yang telah diterima tanpa diikuti

    dengan pernyataan, agar murid yang diberi tahu

    itu meriwayatkan kepada orang lain.58

    Perbedaannya dengan al-mun±walah terletak pada

    al-mun±walah disyaratkan adanya pemberian

    wewenang untuk meriwayatkan, sedangkan al-

    i'lam tidak diikuti dengan pemberian wewenang.

    Mayoritas ulama membolehkan meriwayatkan

    hadis yang diterima melalui cara i’lam. Menurut

    56Lihat Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£, Ibid., h. 239-

    240.

    57Lihat ibid., Selanjutnya lihat juga al-Khat³b al-

    Baqd±di, al-Kif±yah, h. 377.

    58Lihat al-Suy-¯i, Tadr³b, h. 58. Ajj±j al-Khat³b, U¡-l

    al-¦ad³£, h. 241.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 55

    mereka, pemberitahuan semacam itu sudah

    mengandung pengertian pemberian izin. Menurut

    Ajj±j al-Khat³b, tidak bisa meriwayatkan apabila

    guru mengatakan, “jangan kamu meriwayatkan.”59

    Meskipun sebahagian ulama tidak membenarkan

    meriwayatkan hadis yang diterima dengan cara

    i’lam, tetapi tidak berkenaan dengan pengamalan

    hadis itu. Al-q±di Iy±d mengatakan bahwa para

    ulama u¡-l sepakat tentang kewajiban

    mengamalkan materi hadis tersebut. Pendapat ini

    dianut pula ulama hadis.60

    Al-Wa¡iyyah, yakni guru (al-syaykh)

    berwasiat tentang hadis-hadis yang ada padanya

    kepada seseorang agar hadis tersebut

    59Ajj±j al-Khat³b, U¡-l al-¦ad³£, ibid., 242. 60Periwayatan dengan cara i’lam sebelum abad ke IV

    H jarang terjadi Apabila terjadi, mereka menjelaskan sewaktu menyampaikannya. Ulama mutaqaddimîn menjelaskan bahwa, dalam kenyataannya cara i’lam tidak pada wilayah yang luas, sebagaimana diduga ulama muta’akhiriin. Diberitahukan bahwa, Hisyam bin Urwah (59-146 H) berkata 16 M Jurayj datang kepadaku membawah sebuah ¡a¥³fah, lalu bertanya wahai Ab- Zar. Apakah ini riwayat-riwayatmu? lalu aku menjawab benar? Kemudian ia pergi.” Hisyam, seorang periwayat £iqah demikian pula ibn Jurayj. Apa yang dilakukan ibn Jurayj itu, yakni datang bertanya tentang hadis yang ada padanya mengandung pengertian bahwa, ia meminta ijazah dan jawaban dari Hisyam berupa pembenaran atas pertanyaan ibn Jurayj. Juga mengandung pengertian pemberian ijazah inilah yang dikenal sebagai metode ibn Jurayj dalam menerapkan cara i’lam dalam tahammul. Lihat Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£, h. 242.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 56

    diriwayatkan.61 Cara tahammul seperti ini amat

    langkah. Sebahagian ulama membolehkan dan

    sebagian lagi tidak.62 Di antara ulama yang

    melakukan tahammul dengan cara al-wa¡iyyah

    adalah Ayy-b al-Syakh īy±ni menerimah wasiat

    dari Ab- Qil±bah Abdullah ibn Zaid al-Jirmi.63

    Al-wij±dah, yakni seseorang mendapatkan

    hadis tanpa melalui al-sam±’ atau al-ij±zah, atau

    al-mun±walah; melainkan mendapat hadis yang

    ditulis oleh periwayatnya.64 Menurut Ajjaj al-

    Khat³b, hadis yang diriwayatkan secara al-wij±dah

    sangat sedikit jumlahnya, itu pun dilakukan

    apabila diyakini kesahihan penisbahan kitab

    tersebut kepada penulisnya. Di samping itu, tidak

    seorang pun yang menggunakan cara al-wij±dah

    dengan mengatakan حنندانا atau اخبرنننا; akan tetapi

    mereka mengatakan وجندت ىنى كتناب ىنالن atau Ulama membolehkan 65 .قنننرأت ىننني كتننناب ىنننال ن كنننذا

    61 Ajj±j, ibid., h. 243. 62 Al-Suy- ī, Tadr³b, h. 60. 63Menurut Ajjaj, penyerahan wasiat itu tidak

    menunjukkan kebolehan untuk meriwayatkannya, melainkan pemberi wasiat (guru) hanya hawatir kalau buku tersebut jatuh keterangan orang yang tidak dipercaya. Ajj±j al-Khat³b berkesimpulan, al-wa¡iyyah bukan bentuk tahammul. Lihat Ajjaj, al-Sunnah, h. 343. Lihat juga Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£ h. 243.

    64Al-Suy-¯i, Tadr³b, h. 60.

    65Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£, h. 245.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 57

    periwayatan al-wij±dah dengan beberapa syarat-

    syarat yakni: (a) hadis yang didapati harus

    diketahui secara pasti siapa periwayatnya; (b) ¡³ga

    tahammul yang digunakan harus menunjukkan

    bahwa hadis itu diperoleh dengan cara al-

    wij±dah.66 Apabila tidak dipenuhi pasti terdapat

    ta«lis.

    Delapan cara tahammul di atas sekaligus

    menggambarkan cara al-ad±’. Kegiatan

    menyampaikan hadis (al-ad±’) dapat memilih

    salah satu cara tahammul yang ia lakukan atau

    yang ia kehendaki. Perlu ditegaskan bahwa tidak

    semua yang melakukan tahammul (menerima

    hadis) melakukan al-ad±’. Sebaliknya, yang

    melakukan al-ad±’ sudah pasti melalui tahammul.

    Ulama membedakan syarat-syarat

    tahammul dengan syarat-syarat al-ad±’. Syarat

    tahammul sebagaimana disebutkan terdahulu tidak

    seketat syarat al-ad±’, adapun syarat-syarat al-

    ad±’ yang disepakati mayoritas ulama hadis,

    ulama u¡ûl dan ulama fiqh se- sebagaimana

    disebutkan Ajj±j al-Khat³b sebagai berikut: (a)

    ber- agama Islam, (b) balig, (c) adil, (c) berakhlak

    (d) «±bi .̄67 Syuhudi Ismail mengemukakan syarat-

    66Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan, h. 60.

    67Ajj±j, U¡-l al-¦adis, h. 248.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 58

    syarat yang lebih rinci, yakni: (a) beragama Islam

    (b) balig, (c) berakhlak, (d) tidak fasik, (e)

    terhindar dari tingkah laku yang mengurangi

    kehormatan (mur-’ah), (f) mampu menyampaikan

    hadis yang telah dihafalnya, (g) sekiranya

    memiliki catatan hadis maka catatannya itu dapat

    dipercaya, dan (h) mengetahui dengan baik yang

    merusak maksud hadis yang diriwayatkan secara

    makna.68

    Syarat-syarat ad±’ tersebut di atas, baik

    yang dikemukakan Ajj±j al-Khat³b maupun yang

    dikemukakan Syuhudi Ismail semuanya terhimpun

    pada istilah ‘adil dan d±bi .̄ Kedua syarat yang

    terakhir disebut ‘adil dan d±bi ̄ berhubungan

    dengan kepribadian seseorang periwayat hadis

    Periwayat hadis menjelaskan metode

    tahammul yang digunakan dengan cara

    menggunakan istilah-istilah s³ga al-ad±’, siga

    tersebut mempunyai kualitas yang berbeda-beda.

    Berikut ini dikemukakan contoh-contoh siga yang

    dimaksud.

    1. S³ga yang digunakan untuk cara al-samâ’

    antara lain; (a) سنمع (b) ناحندا (c) حندانى (d) اخبرننى (e) لنننا قننال (f) لننناذكننر . Dua istilah yang terakhir disebut ( لنا قال ) dan ( لنا ذكر ) menurut Ajjaj al-Khatib

    68

    Syhudi Ismail, Kaidah, h. 51.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 59

    jarang digunakan.Tiga istilah dari yang pertama

    disebut mempunyai kualitas yang tinggi.69

    Sebagaian ulama menilai سمع lebih tinggi dari حد انا

    dan اخبرننا. Sebagian yang lain, seperti Ibn Sal±h

    menilai حندانا dan اخبرننا lebih tinggi kualitasnya dari

    kata سننمع. Menurut Ibn Ka£ir kata حنندانى lebih

    tinggi kualitasnya daripada حدانا dan 70.اخبرنا

    Dari perbedaan pendapat di atas dapat

    diambil kesimpulan bahwa siga al-ad±’ yang

    menunjukkan cara al-sam±’ yang paling tinggi

    bobot kualitasnya adalah سمع.

    2. Siga yang digunakan untuk cara al-

    qir±’ah, di antaranya ada yang disepakati dan ada

    yang tidak disepakati ulama. Yang disepakati

    adalah 71 ,قننرأت علننى ىننالن وانننا اسننم ىنن قربننه yang pertama

    disebut dipakai apabila periwayat membaca

    sendiri di hadapan guru (al-syaykh). Sedangkan

    yang terakhir disebut dipakai apabila orang lain

    yang membacanya. Ada pun periwayat hadir

    mendengar bacaan guru (al-syaykh) dan berusaha

    menyimak bacaan tersebut.

    69Ajj±j, U¡-l al ¦ad³£, loc.cit.,

    70Lihat Ahmad Muhammad Sy±kir, al-Bai£ al-¦as³s

    Syarh Ihtisar ‘Ulm al-¦ad³£ ibn Kas³r (Beir-t: D±r al-Fikr,

    t.th), h. 57.

    71Ajj±j, U¡-l al-¦ad³£, h. 249

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 60

    Kata-kata yang tidak disepakati

    penggunaannya di antaranya حندانا dan أخبرننا tanpa

    diikuti kata-kata lain.72 Sebagaian ulama

    menggunakan kata حدانا dan احبرنا untuk al-sam±’.

    3. Siga yang digunakan untuk cara al-ij±zah.

    Kebanyakan ulama menggunakan حدانا اجازة atau حدانا

    انبنانى Al-Baqawiy menggunakan .واجنازلى atau إذنناانباننا dan sebagian lagi menggunakan اجنازة atau Al-Zuhr³ dan M±lik membolehkan .انبننننانىpenggunaan حدانا dan اخبرننا untuk cara al-ij±zah

    bersama al-mun±walah.73

    4. S³ga yang digunakan untuk cara al-

    mun±walah tanpa al-ij±zah اخبرنننا مناولننة atau

    ناولننا atauنناولنى sebahagian ulama menggunakan kata

    74. عن atau قال

    5. S³ga yang digunakan untuk cara al-

    muk±tabah misalnya كتنب الني ىنالن atau اخبرننى بنه م نا بنة

    atau 75.اخبرنى كتابنه Jumhur ulama hadis membolehkan

    penggunaan kata-kata yang semakna.

    6. S³ga yang digunakan untuk cara al-i’l±m

    ialah اخبرنننا اعالمننا. Dalam hal ini sebagian ulama

    72Al-Suy- ī, Tadrib, h. 16-17.

    73Ibid., h. 51

    74Lihat Ajj±j, U¡-l al-¦adi£, h. 250.

    75Syuhudi Ismail, Kaidah , h. 250.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 61

    memandang ketentuannya sama dengan

    periwayatan yang diterima dengan al-ij±zah.76

    7. S³ga yang digunakan untuk cara al-

    wa¡iyyah yaitu: أوصى الي ada pula yang memandang

    ketentuan s³ga al-wa¡iyyah sama dengan

    ketentuan s³ga al-ij±zah.77

    8. S³ga yang digunakan untuk cara al-

    wij±dah antara lain:

    )أ( وجدت ببط ىالن حدّانا ىالن

    )ب( وجدت ىى كتاب ىالن بحطه حدانا ىالن

    )ث( وجدت من ىالن أو بلغنى عن ىالن

    )ج( وجدت ىى نسبة من كتاب ىالن

    )ح( وجدت ىى كتاب ظنن أنّه ببّط ىالن.78

    Orang yang menemukan naskah itu dapat

    menggunakan istilah ىالن قال atau ذكرىالن atau بلغنى 79.عن ىالن

    Selain s³ga yang disebutkan di atas, banyak

    pula ditemukan harf seperti: ح atau ان عنن حنا dan قنال. Dua harf dari yang pertama disebut ح atau حننا menunjukkan adanya perpindahan dari

    76Ibid., Lihat juga Nur al-D³n, Manhaj, h. 210.

    77Lihat al-Q±simi, Qaw±id, h.120, lihat juga Nur al-

    D³n, 'Ul-m al-¦ad³£ loc.cit.

    78Al-Suy- ī, Tadr³b, h. 61.

    79Nur al-D³n, 'Ul-m al-¦ad³£, h. 211.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 62

    sanad ke sanad yang lain.80 Adapun عنن atau ان atau قننال, sebagian ulama menilai sebagai s³ga yang menunjukkan adanya indikasi keterputusan

    sanad, sebagian lagi menilai عننن menunjukkan cara al-sam±, sedangkan أن sama kedudukannya dengan81.إن Untuk menentukan bersambung tidaknya sanad yang menggunakan s³ga: ان ,عنن dan قنال perlu penelitian yang cermat. Terhadap hadis yang menggunakan harf عنن biasa disebut hadis mu’an’an; yang menggunakan harf ان disebut hadis mu'annan.

    C. Bentuk-Bentuk Periwayatan

    Hadis Nabi berupa perkataan, perbuatan dan

    takrirnya yang diriwayatkan.82 Rangkain

    periwayat dalam sanad hadis terdiri dari sahabat

    sebagai periwayat pertama, kemudian tabi’³n

    80Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan, h. 63.

    81Nur al-D³n, 'Ul-m al-¦ad³£, h. 211.

    82Pengertian hadis secara lengkap dikemukakan dalam kitab Tawjih al-Nazar sebagaimana dikutip M.M. Azami mengatakan bahwa cakupan makna manurut ahli hadis dan ahli fiqh, yakni sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi saw. berupa prilaku, perkataan, persetujuan beliau akan tindakan sahabat, atau diskripsi tentang sifat, atau karakter dan penampilan fisikal Nabi. Menurut ulama fiqh yang terakhir disebut tidak termasuk hadis. Lihat M. M. Azami, Studies in Hadith, h. 3.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 63

    sebagai periwayat kedua, atba’ tabi’in sebagai

    periwayat ketiga dan selanjutnya ulama

    mutaqaddim³n sampai kepada mukharrij

    Bagaimana cara dan bentuk periwayatan

    hadis, kajian tertuju kepada sahabat sebagai

    periwayat pertama sekaligus sebagai saksi primer.

    Uraian berikut akan membahas tentang cara

    sahabat menerima hadis dan bentuk periwayatan

    yang ditempuh.

    1. Cara Sahabat Menerima Hadis

    Sahabat tidak saja menyakini dan mentaati

    Nabi sebagai Rasul, lebih dari itu mereka

    menghormati, melindungi dan mencintai Nabi.

    Kecintaan kepada Nabi menjadi salah satu faktor

    yang mendorong para sahabat untuk mengetahui

    segala sesuatu yang bersumber dari Nabi. Nabi

    sendiri giat mengajar para sahabat baik secara

    langsung maupun tidak langsung.

    Cara Nabi mengajarkan83 berkaitan

    langsung dengan cara sahabat menerima hadis.

    83Secara global, cara Nabi mengajarkan hadisnya

    dibedakan kepada tiga macam cara yaitu: (1) Cara verbal

    ‘mendikte’ agar mudah dihafal, Nabi kadang-kadang

    mengualangi sampai tiga kali. (2) Cara tertulis, semua surat

    yang dibuat Nabi termasuk kategori ini; (3) Cara

    demonstrasi praktis umumnya hadis yang berkaitan dengan

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 64

    Banyak cara yang dilakukan sahabat mempelajari

    hadis, tetapi semua itu tidak lepas dari tiga cara

    yaitu: (1) hafalan; (2) catatan; dan (3) praktik.

    Berikut ini dijelaskan satu persatu.

    Cara pertama, hafalan, yakni Nabi

    menjelaskan suatu masalah sahabat menyimak

    dengan cermat lalu menghafalnya.84 Cara sahabat

    menerima hadis dalam bentuk hafalan diterima

    melalui:

    a. Majelis atau pengajian yang diadakan

    oleh Nabi.85

    ibadah praktis masuk kategori ini. penejalasan selengkpnya

    lihat M M. Azami Studies in Hadith, h. 9-10.

    84Cara ini sesuai kondisi masyarakat Arab pada

    masa itu. Bangsa Arab terkenal kuat menghafal.

    85Dalam banyak waktu Rasulullah saw. duduk dalam

    khalaqah bersama para sahabat untuk mengajar mereka.

    Lihat Ibnu Hajar al-Asqal±n³ Fath al-B±r³, bi Syarh ¢ah³h al-

    Bukh±r³, Juz I (D±r al-Fikr, t.th), h. 157; Ab- Waqi al-Lay£

    juga menuturkan ”Suatu ketika Rasulullah saw., duduk di

    Mesjid bersama para sabahat tiba-tiba datang tiga orang.

    Dua orang menghadap pada Rasul, salah satu di antara

    keduanya melihat tempat kosong pada khalaqah itu, lalu ia

    langsung duduk". Riwayat ini menggambarkan bahwa

    khalagah yang diadakan Nabi, selalu dipadati oleh para

    sahabat. Riwayat ini dapat dilihat dalam, Ab³ Abdullah

    Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukh±r³

    al-Ja’fiy, ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ bab al-’ilm (Indonesia: D±r al-

    Arabiyah, 1981 M/1201 H), h. 8.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 65

    b. Nabi menjelaskan persoalan suatu kasus yang

    timbul dalam masyarakat atau Nabi menasihati

    sahabat karena sikap dan prilaku mereka. Sebagai

    contoh, kasus Malik bin al-Huwayri sebagaimana

    disebutkan dalam Sahih al-Bukh±r³, kata al-

    Huwayri, “saya datang menemui Nabi lalu tinggal

    bersama selama 20 malam. Nabi menanyakan

    keluarga yang saya tinggalkan, lalu beliau

    bersabda:

    ارجعوا الى أهل م ىعلموهم ومروهم وصلوا كما رأيتمونى أصلى واذا حضرت الصالة ىليؤذن ل م

    86احدكم ام ليؤم م أكبركم.

    Sabda Nabi tersebut mengandung nasihat

    sekaligus pelajaran tentang salat, khususnya tata

    cara salat jamaah. Yang dipahami dari sabda Nabi

    tersebut adalah seolah-olah Nabi menyatakan

    jangan terlantarkan atau jangan lalai dari

    kewajiban terhadap keluarga, disebabkan

    menuntut ilmu. Adapun pelajaran yang diajarkan

    pada saat itu adalah: (1) salat dilakukan sesuai

    dengan cara Nabi salat; (2) perintah azan sebelum

    salat; (3) hendaklah salat secara berjamaah, dan

    86Dalam banyak waktu Rasulullah saw. duduk dalam

    khalaqah bersama para sahabat untuk mengajar mereka.

    Lihat Ibn Hajar al-Asqal±n³, Fath al-B±r³, Juz I, h. 157. Lihat

    juga al-Bukh±r³, h. 8.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 66

    (4) yang menjadi imam adalah yang paling tua

    usianya (yang dituakan).

    c. Jawaban Nabi atas pertanyaan yang diajukan baik

    pertanyaan itu secara langsung maupun tidak

    langsung.

    Sahabat Nabi selalu berusaha mengadukan

    semua persoalan yang dihadapi, termasuk masalah

    yang lebih spesifik. Sebagai contoh, hadis yang

    diriwayatkan Urwah dari 'Ãisyah r.a Urwah

    berkata, “istri Rifaah datang kepada Nabi dan

    berkata ‘Rifaah menalakku secara ba’in, kemudian

    aku menikah dengan Abdurrahman bin Zubayr dan

    ternyata kemaluannya seperti rumbai-rumbai

    pakaian. Mendengar pengaduan tersebut Nabi

    saw. bersabda:

    حتى ذوقى ...أ ريدين أن رجعى الى رىا عة ؟ ال 87عسيلته ويذوق عسيلتك.

    Artinya:

    “Apakah engkau hendak ruju’ (kembali) dengan Rifa’ah), tidak boleh rujuk kepadanya sehingga engkau merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia merasakan madumu”.

    Istri Rifa’ah tidak langsung mengemukakan

    pertanyaan, tetapi dalam bentuk pengaduan, yakni

    Rifaah mempertanyakan kasus yang dialami, Nabi

    87

    Al-Buk±hr³, Juz I, h. 147.

  • Pendahuluan

    Kaidah Kesahihan Matan Hadis 67

    memahami maksudnya, lalu Nabi memberi

    penjelasan. Sabda Nabi tersebut didengar sahabat

    yang lain termasuk Ab- Bakar dan Kh±lid bin Said.

    d. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para

    sahabat apa yang terjadi atau dilakukan oleh

    Rasulullah saw.

    Sahabat banyak merekam hadis dari hasil

    penyaksian langsung terhadap peristiwa atau hal-

    hal yang berhubungan dengan masalah ibadah,

    seperti; salat, zakat, puasa, haji. Dalam hal ini ada

    dua macam; pertama, sahabat mendengar bacaan-

    bacaan Nabi dalam pelaksanaan ibadah, kemudian

    menghafalnya. Jadi lafal-lafal hadis tersebut dari

    Nabi (periwayatan bi al-faz); kedua, sahabat

    melihat gerakan dan tata cara Nabi melaksanakan

    suatu ibadah sahabat berusaha menghafal sam