BAB III tesis pemikiran islam

44
92 BAB III GAMBARAN UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL A. Sejarah Lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) Kelahiran JIL diilhami melalui sebuah forum yang sederhana di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur. Forum tersebut membicarakan tentang kondisi sosial yang terjadi saat itu; maraknya kekerasan atas nama agama, gencarnya tuntutan penerapan syari’at Islam di daerah-daerah yang disuarakan individu organisasi Islam militan, dan tak adanya usaha untuk meneruskan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Goenawan Muhamad, redaktur senior majalah Tempo, Ahmad Sahal, editor jurnal Kalam, Nong Darol Mahmada, aktivis perempuan yang bekerja di ISAI (Institut Studi Arus Informasi), dan Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU adalah penggagas kehadiran Komunitas Islam Utan Kayu. Para pemikir muda yang juga membidani kelahiran JIL seperti Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufik Adnan Amal, Saiful Mudjani, Luthfie Assyaukanie. Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas (Assyaukanie,2007:87-88).

Transcript of BAB III tesis pemikiran islam

Page 1: BAB III tesis pemikiran islam

92

BAB III

GAMBARAN UMUM JARINGAN ISLAM LIBERAL

A. Sejarah Lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL)

Kelahiran JIL diilhami melalui sebuah forum yang sederhana di Jalan Utan

Kayu 68H, Jakarta Timur. Forum tersebut membicarakan tentang kondisi sosial

yang terjadi saat itu; maraknya kekerasan atas nama agama, gencarnya tuntutan

penerapan syari’at Islam di daerah-daerah yang disuarakan individu organisasi

Islam militan, dan tak adanya usaha untuk meneruskan gerakan pembaharuan

Islam di Indonesia. Goenawan Muhamad, redaktur senior majalah Tempo, Ahmad

Sahal, editor jurnal Kalam, Nong Darol Mahmada, aktivis perempuan yang

bekerja di ISAI (Institut Studi Arus Informasi), dan Ulil Abshar Abdalla,

intelektual muda NU adalah penggagas kehadiran Komunitas Islam Utan Kayu.

Para pemikir muda yang juga membidani kelahiran JIL seperti Ihsan Ali Fauzi,

Hamid Basyaib, Taufik Adnan Amal, Saiful Mudjani, Luthfie Assyaukanie.

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi ini

melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu:

Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren

dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).

Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam

Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama

organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi

komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal

berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas (Assyaukanie,2007:87-88).

Page 2: BAB III tesis pemikiran islam

93

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa JIL secara

struktural tidaklah membutuhkan banyak orang, melainkan cukup 3 sampai lima

orang. Demikian pula yang disampaikan oleh Abd. Moqsith Ghozali selaku

kordinator JIL setelah Ulil Abshar Abdalla. Berikut ini struktur JIL menurut Abd.

Moqsith Ghozali; Posisi teratas adalah kordinator yang bertugas mengkordinir

proses penyebaran ide atau gagasan JIL ke publik sehingga publik bisa lebih

memahami apa yang dipikirkan oleh JIL terutama tentang wacana ke-Islaman

yang disuarakan oleh JIL. Posisi kordinator saat ini dipegang oleh Abd. Moqsith

Ghozali. Selanjutnya di bawah kordinator adalah Menejer yang bertugas

mengelola program untuk dilaksanakan dalam rangka menyebarkan ide atau

gagasan Islam Liberal. Posisi menajer saat ini di pegang oleh Saidiman. Adapun

di bawah manajer adalah project officier yang bertugas mewadahi berbagai

macam program seperti diskusi, sindikasi media work shop dan yang lainnya.

Posisi project officier saat ini dipegang oleh Maljaul Abrar. Selain struktur

tersebut, JIL juga memiliki bendahara yang bertugas mengatur keuangan

organisasi. Adapun bendahara saat ini dipegang oleh Ade. Struktur kepengurusan

JIL ditentukan dalam rapat bersama setiap dua tahun sekali

(http://turhamunblogspot.blogspot.com di download 5 Juli 2012).

Adapun mereka orang-orang yang di luar struktur tetapi aktif membantu

secara teknis kegiatan JIL adalah: Hamid Basyaib, Luthfie Assyaukanie, Nong

Darol Mahmada, Novriantoni, Anick HT, Burhanudin, Arif Rokhmat widianto,

Lanny Octavia, Umdah El Barorh, M. Guntur Romli dan lain sebagainya

(http://islamlib.com di download 5 Juli 2012).

Page 3: BAB III tesis pemikiran islam

94

Kemunculan istilah Islam Liberal ini, menurut Luthfie mulai dipopulerkan

tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia-tahun 1980-

an, dengan tokoh utamanya adalah Nurcholish Madjid. Kemudian menjadi sumber

rujukan “utama” Jaringan Islam Liberal. Namun demikian Nurcholish sendiri

mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan

gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam

Liberal.

Karena itu menurut penulis, wacana yang di kembangkan Jaringan Islam

Liberal tidak banyak berbeda dengan gagasan-gagasan Islam yang dikembangkan

oleh Nurcholish Madjid dan kelompoknya. Nama “Islam Liberal”

menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan

kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial politik yang menindas.

“Liberal” disini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. JIL percaya bahwa

Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara

berbeda-beda sesuai dengan kebuatuhan penafsirnya (www.islamlib.com, 5 Juli

2012).

Kegiatan awal JIL dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya

(milis) selain menyebarkan gagasannya lewat website. Kemudian talkshow di

radio 68 H dan disiarkan juga oleh radio jaringannya yang semula diikuti oleh 15

radio (Handrianto,2007: xlv). Empat radio di Jabotabek yaitu Radio Attahiriyyah

FM (Radio Islam), Radio Muara FM (Radio Dangdut), Radio Star FM

(Tangerang), Radio Ria FM (Depok), dan enam radio di daerah yaitu Radio Smart

(Manado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Jogyakarta), Radio PTPN (Solo),

Page 4: BAB III tesis pemikiran islam

95

Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh), yang merupakan jaringan 68H.

Lama-lama, jaringan Radio 68H terus bertambah.

Lewat program-programnya, seperti diskusi publik, talkshow, sindikasi

media, dan workshop, JIL berusaha konsisten, mempromosikan dan

menyebarluaskan gagasan-gagasan Nahdah. Perhatian utama JIL adalah

bagaimana menciptakan dan menjaga ruang kebebasan di Indonesia. Sebagaimana

tokoh Islam Liberal awal, JIL meyakini kebebasan adalah kunci bagi

kesejahteraan dan kebahagiaan. Tak ada kebahagiaan tanpa kesejahteraan dan tak

ada kesejahteraan tanpa kebebasan (Assyaukanie,2007:88).

Penyebaran Islam liberal dari Utan Kayu itu kian membesar melalui forum-

forum diskusi dan beragam media. Diskusi pemikiran keislaman digelar setiap

akhir bulan di Teater Utan Kayu dengan mengundang narasumber yang kompeten

dibidangnya. Bahkan sekarang JIL menggelar diskusinya di kampus-kampus dan

pesantren-pesantren. JIL cepat menyebar lewat internet, radio, dan media cetak.

Pengenalan JIL ke masyarakat dirintis lewat surat elektronik di internet.

JIL (Jaringan Islam liberal) juga bekerja sama dengan para intelektual,

penulis, dan akademisi dalam dan luar negeri, untuk menjadi kontributorya

(Husaini,2001:5-6), Mereka adalah sebagai berikut:

1. Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.

2. Charles Kurzman, University of North Carolina.

3. Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

4. Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.

5. Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat,

Jakarta.

6. Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, Jakarta.

7. Edward Said.

8. Djohan Effendi, Deakin University, Australia.

9. Abdullahi Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.

Page 5: BAB III tesis pemikiran islam

96

10. Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.

11. Asghar Ali Engineer.

12. Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

13. Mohammed Arkoun, University of Sorbonne, Prancis.

14. Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.

15. Sadeq Jalal Azam, Damscus University, Suriah.

16. Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta.

17. Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.

18. Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.

19. Budi Munawwar-Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.

20. Ihsan Ali-Fauzi, Ohio University, AS.

21. Taufik Adrian Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.

22. Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.

23. Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.

24. Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.

25. Saiful Mujani, Ohio State University, AS.

26. Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok.

27. Syamsurizal Panggabean, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Nama-nama di atas adalah kontributor Jaringan Islam Liberal, Menyebarkan

gagasan yang pluralis dan inklusif, membuat pemaknaan baru terhadap al-Qur’an

agar lebih bermakna pada masa sekarang, memperjuangkan kebebasan sebagai

hak asasi manusia dan membela kaum minoritas.

Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa tokoh Muhammadiyah juga aktif

mendukung gagasan Islam liberal, seperti Abdul Munir Mulkhan dan Sukidi.

Bahkan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’I Maarif juga dapat dikategorikan

kedalam pendukung gagasan Islam liberal. Seperti diketahui, Ma`arif adalah

pendukung gagasan-gagasan liberal (neomodernisme) Fazlur Rahman. Ia juga

dikenal getol dalam menolak dikembalikannya piagam Jakarta ke dalam konstitusi

(Husaini,2001:6).

B. Landasan Pemikiran Jaringan Islam Liberal

Berikut ini adalah landasan JIL dalam menafsirkan ajaran Islam; (1)

Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (2) Mengutamakan semangat

Page 6: BAB III tesis pemikiran islam

97

religio etik, bukan makna literal teks; (3) Mempercayai kebenaran yang relatif,

terbuka dan plural; (4) Memihak pada yang minoritas dan tertindas; (5) Meyakini

kebebasan beragama; (6) Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas

keagamaan dan politik (http://islamlib.com di download 5 Juli 2012).

Enam landasan JIL inilah yang kemudian menghadirkan berbagai macam

wacana baik dalam bidang aqidah dan juga fiqih yang kemudian di kemukakan di

tengah-tengah masyarakat. Wacana tersebut yang menghadirkan pro dan kontra di

tengah umat Islam. Landasan JIL ini akan penulis analisa pada bab selanjutnya.

C. Tema-Tema Wacana Pemikiran Jaringan Islam Liberal

Menurut penulis, ada beberapa wacana yang diangkat oleh JIL dan wacana-

wacana itu terdapat dalam website Islib.com dan juga pada buku-buku yang di

tulis oleh para aktivis Jaringan Islam liberal. Berikut adalah tema dari wacana-

wacana tersebut :

a. Islam adalah Agama Humanis dan Bukan Agama Kekerasan

Dalam beberapa wacana JIL selalu merespon konflik kemanusian yang

mengatasnamakan agama, JIL sangat mengecam beberapa tindakan anarkis,

diantaranya JIL mengutuk polisi yang membubarkan diskusi yang menghadirkan

Irshad Manji sebagai pembicara. Diskusi tersebut dilaksanakan dalam rangka

peluncuran buku Irshad Manji dalam bahasa Indonesia yang digelar oleh

Komunitas Salihara dan Penerbit ReneBook, pada 4 Mei 2012. Cara polisi

membubarkan diskusi sangat bermasalah dan cenderung menebar ancaman. Polisi

tidak menangkap massa yang masuk dan mencoba mengganggu diskusi, tapi

justru tindakan yang diambil polisi adalah mengakomodir dan tunduk pada

Page 7: BAB III tesis pemikiran islam

98

tuntutan massa dengan membubarkan diskusi. Dan hal ini menciderai kebebasan

berekspresi (http://islamlib.com di download 12 Juli 2012).

Jaringan Islam Liberal (JIL) mengutuk teror bom yang meledak di masjid

dalam kompleks Markas Polisi Resort Cirebon Kota, Jawa Barat, 15 April 2011.

Satu orang tewas dan puluhan polisi terluka, termasuk Kapolres Cirebon, Ajun

Komisaris Besar Herukoco. JIL juga mengecam Teror Bom di Komunitas Utan

Kayu yang ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla, Ledakan bom pada Selasa 15

Maret 2011 tersebut telah menyebabkan seorang warga dan tiga anggota aparat

keamanan cidera, bahkan ada yang menjadi cacat seumur hidup. Tindakan

pengiriman bom merupakan bentuk keji terhadap perjuangan HAM dan

keberagaman di Indonesia (http://islamlib.com di download 12 Juli 2012).

Disamping tindakan pengeboman tersebut, masih banyak lagi tindakan yang

tidak menghargai kemajemukan bangsa Indonesia. Penyerangan terhadap rumah

ibadah khususnya jemaat Kristiani sering terjadi, pada tahun 2008 terdapat 17

tindakan, pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan, pada tahun 2010 terdapat 16

tindakan. Dan juga tindakan penyerangan jemaat Ahmadiyah di Bogor, dan

Tasikmalaya (http://islamlib.com di download 12 Juli 2012).

Tindakan anarkis tersebut disebapkan karena kurang menghargai pluralitas

dan juga sikap keagamaan yang ekslusif. Ditambah lagi dengan keluarnya fatwa

MUI yang melarang masyarakat untuk mengikuti paham liberalisme, sekularisme,

dan pluralisme serta mengharamkan aliran Ahmadiyah dan menganggapnya sesat.

Fatwa tersebut telah memicu kontroversi di masyarakat. fatwa-fatwa itu

berimplikasi bukan hanya terhadap menyempitnya ruang-ruang beragama dan

Page 8: BAB III tesis pemikiran islam

99

solidaritas, tetapi juga terutama terhadap upaya-upaya membangun kembali

tatanan kebangsaan Indonesia di masa depan (http://islamlib.com di download 12

Juli 2012).

Sedangkan JIL mengharafkan berkembangnya pluralisme agama, Menurut

Ulil Abshar Abdalla pluralisme adalah sebuah ide yang tidak dapat dipisahkan

dari gagasan dasar demokrasi. Semangat pokok dalam demokrasi adalah bahwa

setiap individu dan kelompok diberikan hak penuh untuk berpendapat sesuai

dengan keyakinannya. Oleh karena itu dalam setiap Negara demokrasi selalu akan

dijumpai jaminan atas kebebasan berpendapat. (www.ulil.net, didownload pada

tanggal 4 juli 2012).

Wacana tentang pluralisme yang diangkat oleh JIL, lebih difokuskan pada

wilayah keagamaan, tanpa menafikkan keanekaragaman ras dan suku bangsa. Hal

ini dikarenakan Indonesia lebih sering mengalami konflik yang disebabkan oleh

perbedaan agama atau keyakinan di bandingkan dengan sebab-sebab yang lain.

Untuk menghindari terjadinya konflik maka setiap umat Islam wajib

menyampaikan ajaran toleransi ketengah umat. Sebagai ajaran fundamental,

toleransi ditegaskan dalam al-Quran. Menurut al-Quran, perbedaan agama bukan

penghalang untuk merajut tali persaudaraan antar sesama manusia yang berlainan

agama. Nabi Muhammad lahir ke dunia bukan untuk membela satu golongan,

etnis, dan agama tertentu saja, melainkan sebagai rahmatan li al-`alamin.

Tak ada alasan bagi seorang muslim membenci orang lain karena ia bukan

penganut agama Islam. Membiarkan orang lain tetap menganut agama non Islam

adalah bagian dari perintah Islam. Bahkan toleransi yang di tunjukan Islam

Page 9: BAB III tesis pemikiran islam

100

demikian kuat sehingga umat islam dilarang memaki tuhan-tuhan yang disembah

orang-orang Musyrik. Ini dinyatakan alquran :

Artinya: “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka

sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan

melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat

menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah

kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu

mereka kerjakan” (QS. al-An`am (6):108).

Ibn Katsir menegaskan, ayat ini melarang Nabi dan umat Islam mencaci maki

tuhan-tuhan orang Musyrik. Sebab jika mat islam melakukannya, maka orang

Musyrik akan melakukan hal yang sama pada tuhan umat Islam (Ibn katsir, Juz II

:188). Ayat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang

terhadap sesuatu agama harus dilindungi. Menurut Islam, perbedaan ekspresi

berkeyakinan atau berketuhanan tidak membenarkan seseorang mengganggu

orang lain. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama-disamping

bertentangan dengan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk merdeka, juga

berlawan dengan ajaran al-Quran, Allah berfirman :

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena

itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat

yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”

(Qs.al-Baqarah (2):256).

Page 10: BAB III tesis pemikiran islam

101

Abdul moqsith Ghazali mengutip pendapat Abu Muslim dan al-Qaffal yang

terdapat dalam kitab (Mafatih al-ghaib juz IV:16) yang menyatakan bahwa ayat

ini hendak menegaskan keimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan

atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi, ayat ini menyatakan

bahwa pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tak dibenarkan

(Ghazali,2009:217).

Al-Qurtubi (al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Jilid II:239) menjelaskan riwayat

yang menceritakan sebab turunnya ayat ini sebagai berikut : Pertama: Sulaiman

ibn Musa menyatakan, ayat ini dinaskh dengan ayat yang lain yang membolehkan

umat Islam membunuh umat agam lain. Ia menambahkan, Nabi Muhammad telah

memaksa dan memerangi orang-orang non Muslim yang tinggal di arab agar

memeluk Islam. Ibn Katsir mengutip pandangan sekelompok ulama yang

menyatakan bahwa ayat tersebut sudah dinaskh ayat perang (ayat al-qital).

Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru masuk agama Islam. Sekiranya

mereka tidak mau masuk Islam dan tak mau membayar retribusi (jizyat), mereka

wajib diperangi. Ibnu Katsir sendiri berpendirian (Tafsir al-Quran al- Azhim, Juz

I:354), ayat tersebut merupakan perintah agar umat Islam tak memaksa orang lain

masuk Islam.

Kedua, ayat tersebut tak dinaskh. Tapi ia turun secara khusus kepada Ahli

Kitab. Mereka tak bisa dipaksa masuk Islam selama masih membayar retribusi

(jizyat). Pendapat ini dikemukakan al-Sya`bi, Qatadah, al-Hasan, dan al-Dhahhak.

Para ulama tersebut merperkuat argumennya dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari

bapaknya. Ia mendengar Umar ibn Khattab berbincang dengan seorang

Page 11: BAB III tesis pemikiran islam

102

perempuan tua beragama kristen. “Masuk Islamlah, wahai perempuan tua niscaya

engkau akan selamat, karena Allah mengutus Muhammad Saw. Dengan

membawa kebenaran. Lalu perempuan itu berkata, “saya sudah tua renta dan

sebentar lagi kematian akan menjemput.” Umar berkata, “Wahai Allah, saya

bersaksi atas perempuan ini.” Umar kemudian membaca ayat tadi.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut sebagai

berikut : Pertama, diriwayatkan dari Abu Dawud, An-Nasa`i, Ibn Hibban, Ibn

Jarir, dan Ibn Abbas. Alkisah ada seorang perempuan tidak punya anak. Ia

berjanji pada dirinya bahwa sekiranya ia mempunyai anak, maka anaknya akan

dijadikan seorang Yahudi. Ia takkan membiarakan anaknya memeluk agama

selain Yahudi. Dengan latar itu, ayat ini turun sebagai penolakan terhadap

pemaksaan dalam agama. Kedua, ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki

Anshar, Abu Hushain. Dikisahkan, Abu Hushain adalah seorang Muslim yang

memiliki dua anak Kristen. Ia menegaskan kepada nabi apakah dirinya akan

membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut turun firman Allah

tadi yang melarang dalam pemaksaan agama (Tafsir al-Quran al- Azhim, Juz

I:354). Dengan mengetahui sabab al-nuzul tersebut, jelas bahwa pemaksaan dalam

agama tak dibenarkan. Maqsith Ghazali mengutip Ibrahim al-Hafnawi

menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan prinsif dasar ajaran Islam,

sehingga tak ditemukan satu ayatpun dalam al-Quran atau sebuah Hadits yang

bertentangan dengan prinsif dasar ajaran ini (Ghazali,2009:219-221). Dengan ini

bisa dikatakan, beriman bukan merupakan keharusan atau kewajiban sehingga

Page 12: BAB III tesis pemikiran islam

103

perlu dipaksakan dari luar. Beriman merupakan pilihan, kesadaran dan

ketundukan manusia atas ajaran-ajaran Allah.

Setiap orang berhak mempercayai bahwa agama yang ia peluk adalah agama

yang benar. Dengan demikian orang harus menghormati kepercayaan dan pilihan

orang lain yang berbeda. Sebab, keyakinan merupakan perkara pribadi sehingga

tak boleh ada paksaan. Maqsith Ghazali Mengutip Jamal al-Banna (1996:6), Nabi

adalah sekedar penyampai pesan. Dia tak punya kewenangan untuk memaksa

(Ghazali,2009:222). Allah berfirman :

Artinya: “Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah

orang yang memberi peringatan. kamu bukanlah orang yang berkuasa atas

mereka” (QS.al-Ghasyiyah (88):21-22).

Artinya: “dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang

yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa

manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”(QS.

Yunus (10):99).

Moqsith Ghazali mengutip Abdul Karim Soroush (2002:204) membuat

sebuah Ilustrasi. Bahwa sebagaimana seorang manusia menghadapi kematian

secara sendirian, maka memeluk agama pun merupakan hal yang bersifat

individual. Setiap umat beragama memang melakuan aksi dan ritus komunal, tapi

bukan keimanan komunal. Jika ekspresi iman bersifat publik, maka esensi iman

bersifat ghaib dan privat. Bagi Soroush, wilayah iman itu seperti arena akhirat

yang di dalamnya setiap orang dinilai satu-satu (Ghazali,2009:226). Disebutkan

bahwa “tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat secara

sendiri-sendiri” (QS. Maryam(19):95).

Page 13: BAB III tesis pemikiran islam

104

Tidak dibolehkannya melakukan pemaksaan agama ini bisa dimaklumi

karena Allah memposisikan manusia sebagai mahluk berakal. Dengan akalnya,

manusia bisa memilih agama yang terbaik buat dirinya. Karena keimanan

berpangkal pada keyakinan yang terpatri dalam hati, maka yang mengetahui

hakikat keimanan seseorang hanya Allah.

Oleh karena itu, kebebasan beragama dan menghormati kepercayaan orang

lain merupakan ajaran al-Quran. Keharusan membela kebebasan beragama

tersebut diantaranya, dalam al-quran disimpulkan dalam sikap mempertahankan

rumah-rumah peribadatan, seperti biara-biara, sinagog-sinagog, sebagaimana

firman Allah ini, yang oleh Ibn Huwaizmandad dalam tafsir al-Jami` li Ahkam al-

qur`an karya Al-Qurtubi (jilid IV:385) dijadikan sebagai argumen keharusan umat

Islam melindungi tempat-tempat ibadah umat non Muslim:

Artinya: “Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia

dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,

gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang

di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong

orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha

kuat lagi Maha perkasa” (QS. al-Hajj (22):40).

Menurut Maqsith Ghazali, dasar-dasar normatif ini kiranya menginspirasi

nabi ketika menyusun Piagam Madinah bersama umat agama lain. Ia mengutip

Fazlur Rahman (2000:12), piagam itu menjamin kebebasan beragama orang

Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin

dengan kaum Muslimin dan menyerukan kepada orang Islam dan Yahudi agar

Page 14: BAB III tesis pemikiran islam

105

berkerja sama demi keamanan keduanya. Dalam Pasal 25, Piagam Madinah

disebutkan, “Bahwa orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan kaum

muslimin. Orang Yahudi bebas berpegang kepada agama mereka dan orang-orang

Muslim bebas berpegang kepada agama mereka, termasuk pengikut mereka dan

diri mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang aniaya dan durhaka, maka

akibatnya akan ditanggung oleh dirinya dan keluarganya”. Pasal 37 menjelaskan,

orang-orang Muslim dan Yahudi perlu berkerja sama dan saling menolong dalam

menghadapi pihak musuh. Sebuah hadits (shahih al-Bukhari: 803 no 6914)

menyebutkan, “barang siapa membunuh orang non-Muslim yang sudah

berkomitmen tentang kedamaian (mu`ahad) maka ia tak akan pernah mencium

bau harum surga” (Ghazali,2009:227-228).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, kebebasan

beragama bukan hanya mendapat legitimasi nomatif-teologis, melainkan juga

dikukuhkan dari sudut politik. Sebagai produk politik, piagam Madinah

memberikan jaminan konstitusional kebebasan beragama. Itulah yang menjadi

dasar para aktivis JIL dalam mengembangkan paham pluralisme agama. Sehingga

dengan pemahaman tersebut, berbagai konflik keagamaan yang sering terjadi di

Indonesia dapat teratasi.

Wacana yang lain yang sering dikemukakan oleh para aktivis JIL adalah yang

berkaitan dengan pindah agama. Hak memilih suatu agama atau keluar dari suatu

agama merupakan hak yang lekat pada diri setiap orang. Dengan analog bahwa

orang non-Muslim dibolehkan pindah agama, maka seorang Muslim pun mestinya

dibolehkan pindah ke agama non-Islam. Artinya adalah pindah agama adalah hal

Page 15: BAB III tesis pemikiran islam

106

yang diperbolehkan dan merupakan hak seseorang untuk memutuskan untuk

pindah agama apabila agama yang dipeluk sebelumnya dipandang tidak sesuai

lagi dengan dirinya. Menurut Abdul Karim Soroush, suatu agama hendaknya

dipeluk karena pemahaman dan ketulusan dan bukan karena ketakutan

(Soroush,2002:207).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa pindah agama merupakan subversi

keagamaan yang pelakunya harus dihukum, misalnya dengan dibunuh. Dikatakan

pindah agama merupakan tindakan terlarang dan mesti dijauhi umat Islam.

Pendapat ini biasanya didasarkan pada hadits “barang siapa yang mengganti

agama maka bunuhlah” (Shahih Bukhari,804: hadits ke 6922). Ini menunjukkan

begitu seseorang masuk Islam seakan ia masuk masuk kedalam perangkap

sehingga ia tak bisa keluar lagi. Pemerangkapan seperti ini bertentangan dengan

ajaran al-Quran. Allah tak pernah menyuruh membunuh orang Muslim yang

pindah agama. Al-Quran tak menentukan sanksi hukum bagi orang murtad.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tuhan memberi kebebasan kepada manusia

apakah ia beriman atau kafir.

Al-Quran hanya mengingatkan,

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia

mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia

dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di

dalamnya” (QS.al-Baqarah(2):17).

Page 16: BAB III tesis pemikiran islam

107

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang

murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum

yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap

lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap

orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada

celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada

siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi

Maha mengetahui” (QS.al-Maidah(5):54).

Al-Qurthubi berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan prediksi mengenai

akan munculnya orang-orang murtad sepeninggal nabi (Jilid III:59). Hukum

bunuh terhadap orang pindah agama hanya ada dalam hadits dan tidak ada dalam

al-Quran. Terkait dengan hal itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa kalaupun

ada hadits-hadits yang berkaitan dengan pelarangan pindah agama, maka hadits-

hadits tersebut harus dilihat sebagai suatu bentuk kebijaksanaan di dalam menata

suatu masyarakat; bisa saja itu berlaku untuk masyaraka tertentu dan tidak untuk

masyarakat lain. Bahkan, menurut Quraish shihab, kebijakan Rasul pun harus

dilihat apakah ia dalam posisi sebagai rasul, pemberi fatwa, sebagai hakim yang

menetapkan putusan atau sebagai pemimpin suatu masyarakat yang haluan

kebijaksanaannya bisa berbeda dikarenakan perbedaan kondisi suatu masyarakat

dengan masyarakat lain. Dengan pernyataan itu, Quraish Shihab ingin

menegaskan bahwa pelarangan pindah agama tersebut bersifat kontekstual

sehingga tak bisa digunakan sebagai patokan umum yang berlaku di semua situasi

dan kondisi (Gaus AF (edt),1998:190).

Page 17: BAB III tesis pemikiran islam

108

Pada zaman Nabi, tidak pernah membunuh orang yang pindah agama atau

orang yang keluar dari Islam. Nabi menjamin kebebasan beragama, namun bukan

berarti bahwa seseorang bisa memperlakukan agama semena-mena. Karena ketika

seseorang memilih suatu agama, ia terikat oleh aturan agama tersebut dan harus

menerimanya secara keseluruhan. Jika semua umat Muslim memahami pluralisme

ini maka kita tak akan lagi melihat adanya kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah

yang hanya berbeda dalam memahami Mirza Ghulam ahmad.

Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah

sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain

tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-

agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang

menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama

memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama

menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme

agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada

sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan dan setiap

agama punya hak hidup. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa pluralisme tidak

saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain

untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada

kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati

(http://islamlib.com di download 11 Juli 2012). Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman

Page 18: BAB III tesis pemikiran islam

109

atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya

sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat kebaikan.

Allah berfirman dalam QS Mumtahanah : 8 yaitu :

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak

pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang berlaku adil” (QS.Mumtahanah:8).

Dari ayat di atas memberikan pelajaran bahwa Allah memerintahkan untuk

berbuat baik dan berlaku adil. Nilai-nilai kebaikan dan keadilan itu diwujudkan

dengan toleransi beragama yang merupakan salah satu bentuk pluralisme agama.

Toleransi dalam bahasa arab disebut al-tasammuh sesungguhnya merupakan salah

satu diantara inti ajaran dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental

yang lain seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal

(mashlahah ‟ammah), dan keadilan (‟adl).

Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah

tentang pluralisme. Al-Qur’an berpandangan bahwa perbedaan agama bukan

penghalang untuk merajut tali persaudaraan antar sesama manusia yang berlainan

agama. Tuhan menciptakan bumi bukan untuk satu golongan agama tertentu.

Dengan adanya bermacam-macam agama, tidak berarti bahwa Tuhan

membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengkui

eksistensi masing-masing. Manusia dibekali akal, sehingga mampu membedakan

dan memilih agama yang diyakni dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang

kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Menjadi hak setiap orang untuk

Page 19: BAB III tesis pemikiran islam

110

mempercayai bahwa agamanya lah yang paling benar. Namun, dalam waktu yang

bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran

serupa (Ghozali, 2005:43).

Dalam Islam spirit keberagaman dalam agama dapat juga di ambil dari

peristiwa isra`-Mikraj yang menurunkan perintah shalat lima waktu. Diterangkan

bahwa shalat merupakan syariat dari masa ke masa, ini berarti Islam tidak hanya

berdiri berdasarkan suatu fondasi yang tunggal. Dapat dilihat di dalamnya bahwa

Islam sebenarnya bisa dijadikan semacam refleksi agama-agama terdahulu. Dalam

hal ini, ibadah shalat cukup mewakili sejarah pembentukan identitas agama Islam.

Seperti, shalat Shubuh merupakan representasi dari ibadah yang pernah dilakukan

oleh Adam saat turun ke bumi. Shalat Dzuhur merupakan bentuk syukur yang

dilakukan Ibrahim dan Ismail atas ketuntasannya menjalankan perintah Tuhan

untuk membangun rumah ibadah: Ka’bah. Shalat Ashar adalah hal yang dilakukan

oleh Yunus saat mengungkapkan kepasrahan di perut ikan Nun. Shalat Maghrib

merupakan bentuk perenungan dan syukur Isa atas terbebasnya Maryam dari

fitnah dan tuduhan-tuduhan. Serta Shalat Isya adalah ritual syukur Musa yang

selamat dari kejaran Fir’aun (http://islamlib.com di download 11 Juli 2012).

Menyebutkan nama-nama Nabi sebelum Muhammad tentu tidak bisa

dimonopoli oleh Islam itu sendiri. Karena dalam ajaran agama-agama monoteistik

yang tergolong Abrahamik yakni Islam, Kristen dan Yahudi akan bersama-sama

menemukan tokoh-tokoh yang hampir sama, dan disebut Nabi-nabi. Maka jika

mengaitkan sejarah shalat dengan ritual-ritual yang pernah dilakukan oleh nabi-

nabi terdahulu niscaya dengan sendirinya berarti menelusuri hubungan Islam

Page 20: BAB III tesis pemikiran islam

111

dengan agama-agama yang terlahir lebih awal. Di samping itu, keberlangsungan

ajaran Nabi-nabi terdahulu keberadaannya harus diakui melalui para penganutnya

yang hadir dan berdampingan hingga kini. Walhasil, sejarah shalat bisa dijadikan

media refleksi yang strategis mengenai hubungan agama-agama, juga merupakan

ibadah pokok umat Islam yang mengamanatkan tentang penghargaan dan

pengakuan terhadap keberagaman (http://islamlib.com di download 11 Juli 2012).

Nabi Muhammad juga memperoleh pengalaman spiritual dalam peristiwa

isra`-mikraj yang dapat dijadikan sebagai kunci toleransi agama-agama dalam

konteks kekinian. Melalui beberapa „ibrah dan tamtsil (percontohan) juga dialog

Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya menunjukkan tentang pentingnya

tradisi keterbukaan komunikasi antar agama (http://islamlib.com di download 11

Juli 2012).

Dari sejarah isra`-Mikraj juga dapat mengambil pelajaran bahwa Begitu

tingginya Islam mengapresiasi agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé,

mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an

extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut harus

tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan yang

sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau

tauhid atau monoteisme (http://islamlib.com di download 11 Juli 2012). Inti

pokok dari ajaran para Nabi ialah memusatkan penghambaan diri dan pengabdian

mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada

tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan. Perlawanan terhadap tirani

dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh. Karena itu Islam

Page 21: BAB III tesis pemikiran islam

112

dan sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu

cenderung kepada yang suci dan baik. Secara garis besar melalui wacana

pluralisme, JIL mengharapkan adanya kerukunan umat beragama, dengan jalan

saling menghargai dan menghormati hak-hak antar sesama.

b. Persamaan Gender

Salah satu isu yang diangkat oleh JIL adalah gender, yaitu kebebasan

perempuan untuk tampil di ruang publik. Ruang publik yang dimaksud di sini

adalah semua wilayah kehidupan sosial yang memungkinan kita membentuk

opini publik. Menurut para aktivis JIL, pada prinsipnya semua warga masyarakat

boleh memasuki ruang ini, entah itu perempuan maupun laki-laki.

Pembahasan dalam ruang ini adalah persoalan-persoalan yang menyangkut

kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Dalam ruang ini tercipta

iklim demokratis seperti di Indonesia, karena dengan itulah konsensus yang bebas

dari paksaan dan dominasi bisa tercapai dan sesuai dengan hak dan kewajiban

masing-masing individu.

Awal kritik tentang dikotomi publik dan privat ini disampaikan oleh Mary

Walstonecraft, seorang feminis liberal abad kedelapan belas. Dalam masyarakat

yang kontemporer, pertumbuhan kapitalisme dan peraturan-peraturan dalam

sebuah negara menimbulkan kebingungan dalam bentuk dikotomi antara ruang

publik dan domestik. Kemunculan ekonomi pasar, sebagai tanda awal kapitalisme

pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas menganggap sangat penting

pemisahan antara ruang publik dan masyarakat. Kehidupan publik dianggap

berhubungan dengan urusan dan layanan yang diberikan negara. Masyarakat

Page 22: BAB III tesis pemikiran islam

113

menyediakan hak-hak bagi laki-laki, tidak pada perempuan. Padahal hanya sedikit

laki-laki yang berperan dalam ruang publik. Menurut Walstonecraft,

menyingkirkan perempuan dalam ruang publik akan menyuburkan dominasi

terhadap perempuan. Tidak hanya feminis liberal yang mengkritik dikotomi ruang

terhadap perempuan, feminis radikal dan feminis sosial juga melakukan hal yang

sama (Mahmada,2002:47).

Di Indonesia, pembatasan dari ruang publik terhadap perempuan mulai ramai

seiring dengan derasnya tuntutan diberlakukannya syari’at Islam. Dan hijabisasi

(pembatasan) terhadap hak-hak perempuan merupakan agenda pertama dari

penerapan syari’at Islam. Ini bisa kita lihat dalam bentuk diwajibkannya memakai

jilbab, pembatasan ruang gerak dan sebagainya (Mahmada,2002:49).

Fenomena otonomi daerah yang berdampak pada maraknya diskriminasi

perempuan. Nilai-nilai bercorak patriarki ikut mendapatkan tempat di daerah

dengan bentuk peraturan daerah (perda). Di daerah-daerah seperti Bali, Gorontalo,

Kalimantan Tengah, dan Mataram, membangkitan nilai-nilai diskriminatif kepada

perempuan yang diwujudkan dalam bentuk Perda. Perda yang sarat dengan

diskriminasi bisa memicu konflik. Pada dasarnya budaya Indonesia adalah budaya

yang patriarki, hampir semua elemen kehidupan, posisi kaum perempuan selalu

berada di bawah kaum laki-laki. Selain itu faktor agama juga dianggap sebagai

penyebab budaya yang mendiskriminasi perempuan. Penafsiran agama yang

tekstual dijadikan pembenar perlakuan diskriminasi terhadap perempuan

(http://islamlib.com di download 12 Juli 2012).

Page 23: BAB III tesis pemikiran islam

114

Perempuan sering menjadi korban, Contohnya ketika pernikahan beda agama,

perempuan menjadi terdiskriminasi dari kelompoknya. Dalam kelompok Islam

misalnya, perempuan dikucilkan dan tidak diberi warisan. Di NTB banyak kaum

perempuan yang menjadi korban diskriminasi berupa tingginya angka poligami,

pelecehan seksual, dan kekerasan di dalam rumah tangga. Perda-perda syariat

yang awalnya bertujuan mengatur fungsi gender tapi akhirnya

mendiskriminasikan perempuan. Sebagai contoh di Kabupaten Bulukumba,

seorang ibu tukang sayur yang menjadi tulang punggung keluarga ditangkap

karena dianggap berkeliaran pada malam hari akan melakukan maksiat. Padahal

jam tengah malam tersebut adalah waktu untuk mengambil sayuran dari truk

sayur. Contoh seperti ini yang tidak diperhatikan pembuat perda diskriminatif

(http://islamlib.com di download 12 Juli 2012).

Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat dengan jelas terjadinya

kesenjangan antara cita ideal dan realita antara laki-laki dan perempuan. Karena

itu, upaya untuk menghilangkan atau mengurangi adanya kesenjangan tersebut,

adalah pertama melakukan dekonstruksi atau rekonstruksi fikih perempuan

(Rofik,2012:71). Tapi tentu saja ini mengundang kontroversial, maka diperlukan

adanya keberanian untuk melakukan pemihakan pada perempuan.

Para aktivis gender ini menilai bahwa hukum-hukum Islam yang

membedakan antara laki-laki dan wanita perlu ditinjau kembali karena itu

termasuk dalam kategori “bias gender”. Dalam aspek ibadah misalnya,

dipersoalkan: mengapa adzan harus dilakukan oleh laki-laki, mengapa wanita

tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki, mengapa dibedakan cara

Page 24: BAB III tesis pemikiran islam

115

mengingatkan imam yang salah, mengapa shaf wanita harus dibelakang, mengapa

imam dan khatib shalat jumat harus laki-laki, persoalan juga dalam jumlah

kambing aqiqah berbeda antara laki-laki dan wanita, dalam masalah haji, adanya

keharusan wanita ditemani oleh mahramnya, sedang laki-laki tidak. Juga persolan

perbedaan dalam pakaian ihram bagi laki-laki dan perempuan. dalam urusan

rumah tangga juga keharusan bagi istri untuk meminta izin jika hendak keluar

rumah, dalam masalah pernikahan, digugat juga ketiadaan hak talak bagi wanita,

talak seharusnya merupakan hak suami dan istri, artinya jika memang suami

berbuat salah, istri mempunyai hak untuk mentalak (Isnanto (edt.),2004:175).

Seorang ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya qodrati seperti

mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati itu

dapat dilakukan oleh seorang bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti

dengan botol), membimbing, merawat, dan membesarkan, memberi makan dan

minum dan menjaga keselamatan keluarga (Isnanto (edt.),2004:175).

Salah satu ayat yang digugat dan perlu dibenarkan tafsirnya menurut mereka

adalah surah an-Nisa:34 soal kepemimpinan dalam rumah tangga.

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pelindung bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas

sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,

ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,

Page 25: BAB III tesis pemikiran islam

116

oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu

khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka

di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka

mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk

menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar” (QS.

an-Nisa:34).

Mereka menolak jika ayat ini diartikan sebagai keharusan laki-laki sebagai

pemimpin dalam rumah tangga. Para aktivis JIL ini tidak mengakui sifat qodrati

wanita sebagai ibu rumah tangga (Robbatul bayt). Bagi mereka penempatan

wanita sebagai penanggung jawab rumah tangga adalah konsep budaya bukan hal

yang qodrati. Amina wadud menulis tentang hal ini seorang wanita yang

independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin

suatu bangsa menuju upaya masa depan mereka. Demikian juga seorang suami

mungkin saja lebih sabar terhadap anak-anak. Jika tidak selamanya, maka

mungkin secara temporer, misalnya ketika istri jatuh sakit, suami harus

dibolehkan melaksanakan tugas. Sebagaimana kepemimpinan adalah bukan

karakteristik abadi dari semua laki-laki, begitupn perawatan anak bukan

karakteristik abadi dari semua wanita (Isnanto (edt.), 2004:158).

Amina Wadud pernah membuat gebrakan yang kontroversial dengan

mengimami shalat Jumat. Dalam hal ini Luthfi Assyaukanie menganggap bahwa

persoalan “imam perempuan” adalah bagian dari tradisi keagamaan semata, bukan

fondasi asasi dari agama. Ulama sejak lama berdebat soal ini, sama seperti mereka

memperdebatkan soal jilbab, bunga bank, eutanasia dan kawin beda agama.

Namun karena Amina Wadud adalah wanita pertama yang berani membawa

masalah ini dari perdebatan fikih ke dunia nyata hingga menimbulkan kontroversi.

Luthfi menyatakan, perjuangan Amina Wadud patut didukung sebagai bentuk

Page 26: BAB III tesis pemikiran islam

117

menjunjung tinggi kebebasan dan sikap toleran terhadap pemahaman agama yang

orang lain lakukan (Assyaukanie, 2007:30-32).

Amina Wadud adalah salah satu contoh feminis yang berusaha menerapkan

konsep kesetaraan gender dalam Islam untuk disesuaikan dengan nilai-nilai

modern yang berlaku saat ini. karena itulah ia mengkonstruksi hukum baru dalam

persfektif dan kepentingan perempuan. Pemahaman seperti amina wadud inilah

yang dipakai oleh aktivis JIL dalam gerakan kesetaraan gender di Indonesia.

Selain memperjuangkan kebebasan perempuan untuk tampil di ruang publik,

JIL juga mengkritik tajam atas jilbab. Menurut JIL jilbab bukanlah suatu

kewajiban bagi wanita muslim. Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Asymawi

bahwa kewajiban mengenakan jilbab sebagai sebuah hijab atas aurat yang

didasarkan pada hadits, merupakan ijtihad yang lemah. Karena hadist-hadits

tersebut merupakan hadist ahad yang tidak bisa dijadikan landasan hukum tetap.

Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti dalam

kutipannya: ”ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan

mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa

mukanya, yang merupakan singgahsananya, juga aurat. Suara yang merupakan

kekuasaanya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaanya juga aurat. Akhirnya

perempuan serba aurat.” Implikasinya, perempuan tidak bisa melakukan aktivitas

apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Alloh karena aurat

(Mahmada,2005:133).

Pelembagaan jilbab dalam Islam didasarkan pada dua ayat dalam al-Qur'an

yaitu QS. al-Ahzab: 59 dan QS. Al-Nur: 31. Kedua ayat itu turun lebih bersifat

Page 27: BAB III tesis pemikiran islam

118

politis, diskriminatif dan elitis. Bersifat politis sebab ayat-ayat di atas turun untuk

menjawab serangan yang dilancarkan kaum munafik, dalam hal ini Abdullah bin

Ubay dan sahabat-sahabatnya kepada umat Islam. serangan kaum munafik ini

menggunakan kaum perempuan Islam dengan memfitnah istri-istri Nabi,

khususnya Siti Aisyah. Yang pada khirnya turunlah QS. Al-Nur: 11-16. Bersifat

elitis dan diskriminatif karena untuk membedakan perempuan Islam dan non

Islam agar dapat dikenal dan tidak dilecehkan dan untuk membedakan status

perempuan Islam yang merdeka dengan yang budak (Mahmada,2005:131).

Dengan kenyataan yang demikian menurut JIL semakin jelas bahwa

kewajiban tentang penggunaan jilbab bagi perempuan muslim pada saat ini sudah

tidak berlaku dalam tataran hukum wajib. Karena sudah tidak seperti zaman Nabi,

dimana dalam praktiknya syi’ar Islam dalam kondisi terpaksa adalah dengan

peperangan. Dan dalam perang dibutuhkan identitas pembeda antara kawan dan

lawan.

Selain masalah jilbab, JIL juga membahas masalah diskriminasi dan

kekerasan terhadap warga negara karena orientasi seksualnya. Diskriminasi

terhadap minoritas homoseksual diwujudkan dalam aksi-aksi kekerasan dan juga

pada Perda-Perda yang mencantumkan homoseksual dalam kategori perbuatan

cabul dan pelacuran. Dalam UU Pornografi yang telah disahkan pada 30 Oktober

2008 lalu juga mengatakan bahwa homoseksual sebagai penyimpangan seks.

Secara ideal konstitusi mengakui adanya persamaan setiap warga negara, namun

dalam tataran praktis pelaksanaannya kerap kali bertolak belakang. Ini terjadi

karena adanya prasangka-prasangka yang berkembang dalam pola pikir

Page 28: BAB III tesis pemikiran islam

119

masyarakat dan membuat orang merasa boleh memperlakukan orang lain secara

berbeda. Pembedaan itulah yang belakangan menimbulkan diskriminasi kelompok

homoseksual, sekalipun hak bebas dari diskriminasi telah diakui oleh negara

(http://islamlib.com di download 12 Juli 2012).

Prof. Dr. Musdah Mulia yang merupakan dosen UIN Jakarta, menulis di

harian The Jakarta Post, menyatakan bahwa homoseksual dan homoseksualitas

adalah alami dan diciptakan oleh tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.

Menurut beliau para sarjana muslim moderat berpendapat bahwa tidak ada alasan

untuk menolak homoseksual. Mengutip surah al-Hujurat:13 “Wahai manusia!

Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi

Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah maha mengetahui, maha

teliti.” Menurut beliau, salah satu berkah tuhan adalah semua manusia baik laki-

laki maupun wanita adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi

sosial ataupun orientasi seksual (Husaini, 2009:210-211).

Dari pemaparan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa para aktivis

JIL aktif mendukung kesetaraan gender dengan melakukan kajian-kajian dan

rekonstruksi fikih perempuan dan juga mereka membela para homoseksual yang

selama ini para gay dan lesbi ini banyak mendapat perlakuan yang diskriminatif

baik dari masyarakat dan juga pemerintah melalui terbit nya berbagai Perda di

beberapa daerah.

Page 29: BAB III tesis pemikiran islam

120

c. Islam bukan Agama Politik

Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam pengembangan wacana tentang politik

Islam cenderung mengangkat isu demokrasi dan menentang Khilafah. Menurut

Ulil, ide khilafah sebagaimana dibawa oleh Hizbuttahrir adalah ide yang sangat

buruk dan menakutkan. Apalagi inti pokok dari penegakan khilafah ini adalah

untuk menyelenggarakan kehidupan polotik berdasarkan syariat Islam (Abdalla,

2007:143).

Penegakan syaraiat Islam dalam sebuah negara yang plural seperti Indonesia

menurut JlL tidaklah tepat, karena umat Islam harus menghargai mereka yang non

muslim. Di sisi yang lain Nabi Muhammad SAW tidak pernah menetapkan satu

bentuk kekuasaan politik tertentu. Ini dapat kita lihat dalam proses pengangkatan

keempat khalifah, yang semuanya terkesan ad hoc serta tidak ada model yang

secara konsisten diikuti dari waktu ke waktu. Abu bakar di angkat secara

aklamasi, Umar diangkat melalui wasiat, Utsman diangkat melalui tim formatur

yang diprakarsai oleh Umar dan Ali diangkat melalui aklamasi (Jahroni,2007:86).

Menurut Luthfi Assyaukanie, sistem Khilafah telah terbukti gagal dan

berjalan tak sempurna. Bahkan pada masa awal-awal Islam, yakni pada masa

khilafah yang empat (khulafa al-rasyidun) yang kerap dianggap sebagai contoh

ideal, sistem khilafah tidak berjalan secara mulus. Berbagai konflik, keteganggan

politik, dan peperangan mewarnai masa-masa ini. sehingga tiga khilafah terakhir

dari khulafa al-rasyidun semuanya mati terbunuh secara mengenaskan. Jika sistem

khilafah itu memang benar-benar berjalan dengan baik dan ideal, mestinya ada

Page 30: BAB III tesis pemikiran islam

121

sebuah mekanisme politik yang dapat menjamin keamanan pengelola negara dan

ketentraman masyarakatnya (Assyaukanie, 2007:215).

Para intelektual muslim modern seperti Rasyid Ridha dan Abul A`la al-

Maududi mengakui bahwa khilafah adalah sebuah gagasan utopis yang sulit untuk

diterapkan. Berpijak dari pengalaman Jamaludin al-Afgani dengan gagasan Pan-

Islamismenya, para intelektual muslim mencoba bersikap realistis dengan

mengesampingkan ide khilafah dan menggantinya dengan konsep “negara Islam”.

Maka pada paruh pertama abad ke-20 banyak para pemimpin muslim berlomba-

lomba menyuguhkan konsep negara Islam sebagai alternatif dari sistem khilafah

yang tak bisa lagi diterima oleh sebagian besar kaum Muslim. Pada tahun 1902

Arab Saudi memulainya dengan mendeklarasikan diri sebagai “kerajaan Islam”.

Kemudian disusul Pakistan, Sudan, dan Iran yang mendeklarasikan diri sebagai

“republik Islam”. Termasuk di Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an banyak

partai Islam yang mendukung gagasan negara Islam. Namun gagasan tersebut

juga mendapat penolakan di kemuadian hari. Hal ini di sebabkan karena negara-

negara yang menerapkan sistem “negara Islam” seperti Arab Saudi, Pakistan,

Sudan, dan Iran gagal memberikan contoh yang baik dalam bidang sosial, politik

dan ekonomi. Bahkan negara-negara tersebut cenderung memberikan contoh

buruk dengan banyaknya pelanggaran HAM, hilangnya kebebasan, dan kondisi

hidup masyarakatnya terbelakang. Sehingga bisa disimpulkan negara Islam

bukanlah solusi yang baik bagi kehidupan bernegara orang-orang modern

(Assyaukanie, 2007:216-217).

Page 31: BAB III tesis pemikiran islam

122

Sudah jelas bahwa JIL menolak sistem khilafah dan juga negara Islam, yang

semakin lama semakin tak populer. Sebab utama ketidakpopuleran ini adalah

tidak lagi visibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern dimana konsep

negara-bangsa (nation-state) telah menjadi satu konsensus semua orang modern.

Khilafah dianggap sebuah gagasan utopis yang absurd karena mengandaikan

adanya satu payung kekuasaan politik dimana seorang khilafah berkuasa penuh

terhadap negara-negara Muslim di dunia. Pada zaman dahulu saat Islam berjaya,

gagasan khilafah sesungguhnya tak pernah berjalan secara sempurna

(Assyaukanie,2007:213).

Karakter khilafah yang totaliter hanya mungkin terlaksana pada wilayah

geografis yang tidak terlalu luas dan masyarakat politik yang homogen. Karena itu

dalam sejarah Islam, konsep khilafah dalam pengertian yang sesungguhnya hanya

pernah terjadi pada masa empat dasawarsa pertama, yakni pada masa

pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, dan Ali bin Abi

Thalib. Kekurangan lain dari konsep khilafah dan negara Islam adalah pada

karakternya yang eksklusif. Di tengah komunitas politik yang beragam dimana

manusia tidak lagi dilihat berdasarkan afiliasi agamanya, tapi karena statusnya

sebagai warga negara, konsep politik yang mengedepankan afiliasi keagamaan tak

lagi bisa berjalan lancar. Sehingga konsep khilafah dan negara Islam memiliki

persoalan serius menyangkut isu-isu agama dan negara (Assyaukanie, 2007:218).

Dari penjelasan tersebut maka konsep politik masa silam harus dilihat dan

diletakkan pada semangat zamannya. Sehingga soal model politik sepenuhnya

dikembalikan pada ijtihad kaum Muslimin apakah mereka akan mengambil

Page 32: BAB III tesis pemikiran islam

123

bentuk republik, parlementer, atau kerajaan. Yang ditekankan adalah bagaimana

model politik dapat berjalan dan memberikan maslahat kepada orang banyak dan

bukan kepada sekelompok penganut agama tertentu.

Porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, Itu pun berkaitan langsung

dengan kepentingan banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil, bukan

pada tataran model-model politik. Karena itu, telah jelas bahwa politik dan agama

adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan

kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu

yang lain (http://islamlib.com di download 10 Juli 2012). Jadi, pembentukan

negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas

dasar agama.

Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah

diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum

muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan

mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan

keadilan. Al-Quran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi

hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum

lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, serta durhaka. Al-

Quran hanya meletakkan garis besar pada kaum Muslimin, kemudian memberikan

kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak

sampai melanggar batas-batas yang telah ditetapkan (http://islamlib.com di

download 10 Juli 2012).

Page 33: BAB III tesis pemikiran islam

124

Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi perhatian bagi umat Islam

dalam membangun sebuah bangsa dan negara, bukan mementingkan formalisasi

ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, persoalan formalisasi

ideologi Islam dalam kehidupan bernegara tidak menjadi kebutuhan utama dalam

bernegara. Inti pandangan seperti itu terletak pada kesadaran bahwa agama harus

lebih berfungsi nyata dalam kehidupan daripada menjadi formalisasi agama

dalam kehidupan bernegara. Sehingga diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk

membangun pandangan yang bersahabat antara Islam dan kehidupan politik. Hal

itu, menurut Samuel P. Huntington, akan dapat tumbuh dan berkembang jika

mendapat dukungan sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku

berkaitan dengan perkembangan peradaban yang kondusif (http://islamlib.com di

download 10 Juli 2012).

Sejarah menunjukan bahwa dalam Islam bentuk-bentuk kekuasaan berubah

dari masa ke massa. Generasi Sahabat mengembangkan cara-cara yang berbeda

dengan generasi Tabi’in dan seterusnya. Bentuk-bentuk kekuasaan berubah sesuai

dengan situasi dan kondisi. Tidak ada satu bentuk kekuasaan lebih ”Islami” dari

bentuk lainnya dalam pengertian bahwa bentuk kekuasaan tertentu berasal dan

sesuai dengan Islam sementara lainnya tidak. Ini disebabkan kenyataan bahwa

sejak awal Islam tidak memperkenalkan satu bentuk kekuasaan apapun. Islam

hanya menekankan pentingnya moral dalam kekuasaan.

Dari kenyataan ini menurut JIL mengenai politik Islam yang didalamnya

meliputi bentuk negara ataupun pemimpin negara serta segala aturan yang ada di

dalamnya adalah menjadi kewajiban manusia untuk berijtihad dengan yang

Page 34: BAB III tesis pemikiran islam

125

terbaik dan memberikan kemaslahatan umat. JIL beranggapan bahwa politik

merupakan wilayah ijtihad murni dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan

teks suci, politik adalah masalah dunia. Iman tidak menuntut untuk urusan politik.

Dalam ranah demokrasi di Indonesia, Jaringan Islam Liberal memandang

UUD 1945 tidaklah melenceng dari prinsip-prinsip Islam. Jaringan Islam liberal

menerima struktur pemerintah Indonesia sebagai sistem paling ideal dari pada

sistem yang lainnya meskipun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan

pembaruan di masa mendatang. Karena melalui sistem demokrasi, Indonesia

mampu mempersatukan dan mewadahi hak-hak berbagai elemen bangsa yang

bersuku-suku dan terdiri dari berbagai macam agama. UUD apapun yang

diterapkan di Indonesia harus sepenuhnya menjunjung hak-hak politik dan hukum

kaum non muslim.

Konsep demokrasi di Indonesia telah memberikan porsi sama antara warga

muslim dan non muslim. Prinsip persamaan hak di depan hukum (equality before

the law) telah dijunjung tinggi. Jika prinsip ini tidak ada maka perjalanan

demokrasi akan mengalami "sakit-sakitan". Persoalan mengenai siapa yang

menjadi pemimpin adalah pada wilayah arena politik yang prosedural. Welzer

mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang secara

de facto memenangkan persetujuan lebih besar dari rakyat (suara mayoritas

rakyat). Inilah satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasi kekuasaan dalam

demokrasi. Legitimasi sosial politis adalah dari rakyat terbesar (mayoritas)

melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran paling şahīh dalam metode

demokrasi (Nurtjahyo, 2006:64).

Page 35: BAB III tesis pemikiran islam

126

Jelaslah bahwa pemikiran Jaringan Islam liberal mengenai Islam dan pola

implementasinya dalam konteks negara bangsa, sangat memperhatikan konteks

politik dan sosiologis suatu masyarakat. Hal ini bisa muncul karena lebih

menekankan substansi ajaran Islam daripada simbol-simbol formalnya, dimana

teks-teks ajaran diinterpretasikan sesuai dengan konteks kebangsaan yang

melingkupinya.

d. Islam adalah Agama yang Dinamis dan Kontekstual.

Pemahaman keislaman sebaiknya terus-menerus mengalami pembaharuan,

evaluasi, proses belajar-diajar dan dialog untuk menuju kesempurnaan. Sehingga

menghasilkan pemahaman agama yang dinamis dan kontekstual. Suatu kekeliruan

besar yang harus dihindari manakala ada kaum Muslim yang menjadikan

pemahaman keislamannya sebagai “Blue Print”, yang harus dipegangi oleh semua

kaum Muslim. Pemahaman terhadap Islam merupakan satu usaha untuk meraba-

raba maksud Tuhan, yang hal itu bisa benar dan bisa salah. Yang terbaik adalah

bagaimana suasana dialogis dengan pencari kebenaran yang lain terus-menerus

dihidupkan untuk menemukan titik kesalahan pemahaman keislaman kita dalam

rangka mencapai tingkat kebenaran yang lebih sempurna (http://islamlib.com di

download 10 Juli 2012).

Sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi ketidakrelevanan, misalnya

dalam bidang fiqh, fikih disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial berbeda.

Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan

juga bermasalah dari pangkal paradigmanya. (http://islamlib.com, di download tgl

10 Juli 2012).

Page 36: BAB III tesis pemikiran islam

127

Dengan semangat pembaharuan tersebut, Jaringan Islam Liberal setuju

terhadap CLD-KHI (Counter Legal draff- Kompilasi Hukum Islam) yang

beberapa tahun yang lalu sempat di usulkan ke pemerintah Republik Indonesia,

yang kemudian menjadi Pro dan Kontra di kalangan umat Islam.

Jaringan Islam Liberal setuju dengan CLD-KHI Karena sesuai dengan

semangat Islam. CLD-KHI sesuai dengan prinsip persaudaraan (al-ikhwâ),

kesetaraan (al-musâwah) dan keadilan (al-„adâlah). CLD-KHI juga sesuai dengan

HAM dan tidak bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, juga produk

hukum lain seperti UU Perlindungan Anak dan Perempuan. CLD-KHI juga

demokratis, pluralis, inklusif, tidak patriarkhis, dan mengutamakan keadilan dan

kesetaraan gender (http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Dalam CLD-KHI tersebut terlihat pembaharuan dalam bidang ushul fiqh.

Pertama, mengungkap dan merevitalisasi kaidah ushul marjinal yang tidak terliput

secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih. karena banyak kaidah ushul

fikih yang belum difungsikan secara optimal. Kedua, sekiranya usaha pertama

tidak lagi memadai untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya

selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma ushul fikih lama

(http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Selain dalam bidang fiqh, JIL juga menyoroti tentang tafsiran al-quran.

Menurut JIL, Kita memerlukan metodologi sederhana dan ringkas dalam

menafsirkan al-Qur’an, sehingga penafsiran al-Qur’an bisa dilakukan banyak

orang. Misalnya, penting diketahui bahwa Qur’an yang terdiri dari ribuan ayat,

ratusan surat, puluhan fokus perhatian, sekiranya dikategorisasikan hanya terdiri

Page 37: BAB III tesis pemikiran islam

128

dari dua jenis. Pertama, ayat fondasional (ushul al-qur’an). Masuk dalam jenis

kategori pertama ini adalah ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, cinta-kasih,

penegakan keadilan, dukungan terhadap pluralisme, perlindungan terhadap

kelompok minoritas serta yang tertindas. Ayat- ayat ini yang sifatnya abadi, lintas

batas dan lintas agama dan semua agama mengusung pokok-pokok ajaran

fondasional tersebut (http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Kedua, ayat partikular (fushul al-Qur‟an). Ayat al-Qur’an yang tergabung

dalam jaringan ayat partikular adalah ayat yang hidup dalam sebuah konteks

spesifik. Sejumlah pemikir Islam memasukkan ayat jilbab, aurat perempuan,

waris, potong tangan, qisas, ke dalam kategori ayat fushul. Jika mengetahui

bahwa ayat itu bersifat partikular-kontekstual, maka umat Islam seharusnya tak

perlu bersikeras untuk memformalisasikannya dalam sebuah perangkat undang-

undang. Sebab, yang dituju dari sanksi-sanksi hukum dalam al-Qur’an misalnya

adalah untuk menjerakan (zawajir), bukan yang lain. Sehingga menurut JIL, yang

harus menjadi perhatian adalah tujuan hukum dan bukan hurufnya. Jika dengan

hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai, maka kita tak perlu untuk kembali

ke bentuk hukum lama. (http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka harus terus mentransformasikan

alqur`an ke dalam kehidupan nyata. Sehingga perlu beberapa cara sebagai berikut:

Pertama, Alquran tak cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah.

Makna-makna terdalam Alquran harus diungkap. Pengungkapan terhadap makna

Alquran itu bisa dilakukan dengan penghampiran yang bersifat historis. Menurut

Sachiko Murata dan William C. Chittick, ketika orang ingin menyatakan bahwa

Page 38: BAB III tesis pemikiran islam

129

Al-Quran bisa dipahami dengan kondisi-kondisi hostoris, para mufasir Alquran

bisa berkata bahwa lingkungann historis itu dengan sendirinya merupakan ayat-

ayat Allah. Yang satu adalah ayat Tuhan yang terakumulasi dalam kitab suci,

sedangkan yang lain merupakan ayat Tuhan yang terhampar dalam masyarakat

(http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Kedua, umat Islam perlu mengetahui jenis-jenis transformasi yang ditempuh

Al-Quran. Suatu waktu Al-Quran menempuh perubahan secara radikal, dan pada

waktu yang lain perubahan itu dilakukan secara bertahap (http://islamlib.com, di

download tgl 10 Juli 2012). Contohnya perubahan secara radikal adalah Konsep

tauhid yang dikampanyekan Al-Quran tidak dinegosiasikan dengan tradisi

penyembahan patung dan berhala yang sedang berlangsung di lingkungan

masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, disebut dalam Alquran bahwa dosa syirik

adalah dosa yang tak terampuni. Allah berfirman dalam Alquran (al-Nisa’ [4]:

116),

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan

(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi

siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu)

dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”(QS.al-

Nisa[4]:116).

Namun, terhadap perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait dengan tauhid,

Al-Quran melakukan perubahan secara gradual. Misalnya, praktek meminum

khamr yang sudah berlangsung lama bahkan telah menjadi tradisi masyarakat

Arab secara kolektif tak diharamkan Al-Quran secara sekaligus. Al-Quran

Page 39: BAB III tesis pemikiran islam

130

mengawali responsnya dengan menjelaskan sisi-sisi negatif dari minuman khamr,

lalu tak diperkenankannya menimum khamr ketika hendak shalat hingga

dinyatakan bahwa meminum khmar itu adalah haram. Pengaharaman khamr jauh

belakangan, hanya beberapa tahun sebelum Rasulullah meninggal dunia. Ini

karena sejak awal telah dipahami bahwa mengubah kebiasaan masyarakat yang

sudah berakar membutuhkan proses penahapan untuk mengubahnya.

Menurut JIL, Penahapan aturan seperti yang dilakukan Al-Quran ini

diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan publik atau undang-undang dalam

dunia modern sekarang. Artinya, setiap pembuat kebijakan publik perlu

memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan masyarakat sekiranya

sebuah undang-undang hendak diterapkan (http://islamlib.com, di download tgl 10

Juli 2012). Kebijakan publik atau undang-undang yang dibuat tanpa

memperhatikan keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan, maka akan

menyebabkan undang-undang tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat. Salah satu

contohnya adalah undang-undang yang melarang merokok di tempat umum yang

di buat oleh pemerintah DKI Jakarta yang tidak di respon oleh masyarakat.

Ketiga, hermeneutika perlu dipertimbangkan sebagai salah satu metodologi

untuk membaca teks Al-Quran. Abd. Moqsith Ghazali mengutip pendapat Carl

Braaten dalam buku Farid Esack (1969:13-14) mengatakan bahwa Hermeneutika

adalah the science of reflecting on how a word an event in a past time an culture

may be understood and became existentially meaningful in our present situation.

Hemeneutika adalah ilmu yang menggambarkan bagaimana sebuah kata atau

suatu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dipahami dan menjadi bermakna

Page 40: BAB III tesis pemikiran islam

131

secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Rudolf Bultmann berkata,

biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan

masa kini. Ia mengatakan the term hermeneutics is generally used to describe the

attempt to span the gap between past and present (Ghazali,2009:34).

Fazlur Rahman berpendapat, hermeneutika adalah kerja pencarian untuk

menemukan pesan-pesan moral universal teks-teks alquran dengan cara

memperhatikan kondisi obyektif arab sebagai tempat teks itu lahir. Setelah pesan

moral suatu teks diperoleh, maka perlu di transformasikan kedalam konteks

kekinian. Dengan demikian, proses penafsiran (interpretasi) ala Fazlur rahman ini

melibatkan dua pergerakan (a double movement) ; dari masa kini ke periode

alquran dan kembali ke masa kini. Pada titik ini, Fazlur Rahman menekankan

pentingnya perbedaan antara “ideal-moral” yang dituju alquran dan dari ketentuan

legal spesifiknya. Ia menegaskan bahwa tidak cukup memadai untuk

menggunakan teori ushul fikih yang sangan populeh di kalangan ahli fikih, yaitu

qath`iyyat dan zhanni`yyat. Ia telah memodifikasinya dengan teori double

movement dalam formula hubungan yang bersifat rasional-intrinsik antara wilayah

ideal moral al-Quran dan legal spesifiknya (Ghazali,2007:35).

Menurut Amina Wadud Muhsin dalam bukunya “Qur`an dan perempuan”

(1992:4) yang dikutip oleh Abdul Moqsith ghazali menyatakan bahwa

hemeneutika adalah salah satu bentuk penafsiran kitab yang dalam operasionalnya

selalu mempertimbangkan tiga aspek yang saling berkaitan. yaitu, (1) dalam

konteks apa suatu teks ditulis (jika dikaitkan dengan al-Quran, dalam konteks apa

al-Quran itu diwahyukan); (2) bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat)

Page 41: BAB III tesis pemikiran islam

132

tersebut (bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya); (3) bagaimana

spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks. Perbedaan

pendapat ini bisa dilacak dari variasi dalam penekanan ketiga aspek tersebut

(Ghazali,2007:36).

Dalam perkembangannya, hermeneutika lebih banyak berkaitan dengan

proses interpretasi teks. Banyak para penafsir Al-Quran kontemporer berpendapat

bahwa dimensi-dimensi baru dari sebuah teks lama termasuk teks Al-Quran akan

bisa ditemukan jika sang penafsir menggunakan hermeneutika

(http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012). Hermeneutika tentu tak perlu

diposisikan sebagai metode tunggal dan pokok untuk membaca Alquran. Ia harus

di letakkan sebagai pelengkap dari metode penafsiran Alquran yang sudah ada

dalam Islam seperti ushul fikih. Sebab, banyak kata dan kalimat yang tak bisa

ditembus dengan ushul fikih, tapi ia bisa diungkap makna terdalamnya sekiranya

kita menggunakan hermeneutika.

Setelah membahas pemikiran tentang tafsiran al-Qur`an, JIL juga

memberikan pandangan terhadap risalah kenabian. Umat Islam diperintahkan

membaca dua kalimah Syahadat. Syahadat pertama (asyhadu an la ilaha illa

Allah) adalah syahadat primordial. Yaitu janji awal kita untuk bertuhan hanya

kepada Allah Yang Esa, bukan kepada yang lain, sebagaimana dipaparkan ayat

“alastu bi rabbikum qalu bala syahidna”. Sementara syahadat kedua (wa asyhadu

anna Muhammadan Rasulullah) adalah syahadat komunal. Pada syahadat

pertama, umat Islam dengan umat agama lain bisa berjumpa. Sementara, pada

syahadat kedua, umat Islam dengan umat agama lain bisa berpisah. Menurut JIL

Page 42: BAB III tesis pemikiran islam

133

hal ini berarti umat Islam tak bisa memaksa umat agama lain agar meyakini dan

mengakui kenabian Muhammad SAW dan meyakini detail syariat yang

dibawanya. Sehingga mengakui atau tak mengakui kenabian dan syariat

Muhammad SAW lebih merupakan soal umat agama lain tersebut. bukan

persoalan umat Islam (http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Islam adalah agama yang sangat terbuka. Dalam hadits Nabi, umat Islam

diperintahkan untuk mengimani seluruh Nabi-nabi dan utusan Allah. Sejumlah

riwayat menuturkan bahwa tak kurang dari 124 ribu nabi yang dikirim Allah dan

313 rasul yang diutus ke bumi. Jika tak bisa mengetahui seluruh rasul Allah, umat

Islam diperintahkan untuk mengimani 25 rasul yang nama-namanya sudah

tercantum dalam al-Qur’an.

Sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad ada yang baru, dan

sebagiannya yang lain lebih merupakan pengembangan dan modifikasi dari ajaran

para Nabi sebelumnya. Seperti pokok-pokok ajaran moral al-Qur’an sudah ada

dalam mushaf-mushaf yang pertama, yaitu Mushaf Nabi Ibrahim dan Mushaf

Nabi Musa. Jika di ringkas, risalah kenabian yang dibawa Nabi Muhammad

(mungkin juga para Nabi lain) adalah sebagai berikut: Pertama, risalah kenabian

adalah risalah tauhid, bukan risalah syirik. Semua Nabi, termasuk Nabi

Muhammad, membawa ajaran tauhid. Bahwa Tuhan yang kita sembah adalah

Allah Yang Esa. Tetapi, yang problematik selalu pada tingkat konseptualisasinya.

Yahudi, Kristen, dan Islam berbeda dalam merumuskan soal ke-Esa-an Allah.

Sehingga di butuhkan kerendahan hati dari setiap pemeluk agama untuk belajar

menjadi manusia yang tidak menganggap dirinya selalu benar dan konsep

Page 43: BAB III tesis pemikiran islam

134

ketuhannanya yang paling benar (http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli

2012).

Kedua, risalah kenabian adalah risalah kemanusiaan, bukan risalah

pembantaian. Setiap Nabi lahir untuk menegaskan pentingnya penghargaan

terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu poin dalam Khutbah Wada’ Nabi

Muhammad yang terkenal itu adalah penegasannya untuk menghargai manusia. Ia

berkata, inna dima‟akum wa amwalakum wa a‟radlakum haramun „alaikum

kahurmati yawmikum hadza wa baladikum hadza wa syahrikum hadza. Tak boleh

ada darah yang tumpah serta martabat yang ternoda. Sehingga tak menjadikan

jihad fisabilillah sebagai alasan dibalik kekerasan atas nama agama di Indonesia

(http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012).

Ketiga, traktat kenabian adalah traktat etik dan bukan traktat politik. Said al-

Asmawi berkata bahwa Allah menghendaki Islam sebagai agama, tapi para

pemeluknyalah yang membelokkannya menjadi politik-siyasah [inna Allah arada

al-Islam diynan wa arada bihi al-nas an yakuna siyasatan]. Itu sebabnya tak ada

perintah eksplisit dalam al-Qur’an agar Nabi Muhammad mendirikan sebuah

negara (http://islamlib.com, di download tgl 10 Juli 2012). Dengan demikian,

berdirinya negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 tak

bertentangan dengan risalah kenabian. Indonesia memang tak dirancang sebagai

negara Islam. Tapi umat Islam bebas menjalankan ajaran agama Islam. Tak

pernah ada halangan bagi umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam.

Selanjutnya adalah masalah akal, JIL sangat menganjurkan untuk

menggunakan akal semaksimal mungkin dalam memahami teks-teks agama.

Page 44: BAB III tesis pemikiran islam

135

Dengan akalnya manusia bisa menentukan yang baik dan yang tidak. Jalaluddin

Rumi dalam Matsnawi pernah berkata, “Wahai saudara, engkau adalah pikiran itu

sendiri, dirimu selebihnya bukanlah apa-apa kecuali otot dan tulang”. Menurut

Ibnu Bajjah, berfikir adalah fungsi tertinggi manusia. Berfikir akan mengantarkan

manusia berjumpa dengan Tuhan sebagai Sang Akal Aktif (http://islamlib.com, di

download tgl 10 Juli 2012). Apa yang dikatakan para filosof itu paralel dengan

apa yang ditegaskan al-Qur’an. Bahwa Allah telah mengilhamkan kepada manusia

suatu kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk

(fa`alhamaha fujuraha wa taqwaha).

Akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga. Akal

tak hanya berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang baik

dan yang buruk, tapi juga untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa akal, kitab suci tak

mungkin bisa dipahami. Maka benar ketika para ulama menyepakati bahwa

kebebasan berfikir (hifdzl al-„aql) termasuk salah satu pokok ajaran Islam

(maqashid al-syariah). Dengan demikian seharusnya Islam lekat dengan

kebebasan berfikir.