Sejarah Pemikiran Islam

35
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DALAM TEOLOGI, TASAWUF, HUKUM, DAN FILSAFAT Oleh: Suprayetno W A. PEMIKIRAN TEOLOGI Perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 5 periode, yakni periode Rasulullah saw., Khulafa al- Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas, dan periode sesudah Bani ‘Abbas. Pada masa Rasulullah saw. pemikiran teologi dalam Islam merupakan pemikiran yang murni karena mendasarkan hanya pada Rasulullah saw, Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pada masa Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada Alqur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash-nashnya. Pada masa Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. Pada masa Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang 1

Transcript of Sejarah Pemikiran Islam

Page 1: Sejarah Pemikiran Islam

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAMDALAM TEOLOGI, TASAWUF, HUKUM, DAN FILSAFAT

Oleh:Suprayetno W

A. PEMIKIRAN TEOLOGI

Perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 5 periode,

yakni periode Rasulullah saw., Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas, dan

periode sesudah Bani ‘Abbas.

Pada masa Rasulullah saw. pemikiran teologi dalam Islam merupakan pemikiran

yang murni karena mendasarkan hanya pada Rasulullah saw, Pada periode ini tidak ada

perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis.

Pada masa Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan juga belum

terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi

Islam langsung didasarkan pada Alqur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash-

nashnya. Pada masa Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat

Islam, sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing-

masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk

mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu.

Pada masa Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi

penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran

yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini

segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar dan istiţâ‘ah (االستطاعة).

Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain:

1. Qadariyah. Ma’bad al-Juhaniy ( الجهنى معبد ), Ghailân al-Dimasyqiy غيالن)

) dan al-Ja‘ad Ibn Dirham ,(الدمشقي درهم بن الجعد ) dikenal sebagai tokoh awal

dari aliran Qadariyah. Salah satu pemikiran mereka yang sangat kontroversial pada

masa itu adalah bahwa Alqur’an adalah makhluk1 serta kehidupan manusia dibentuk

oleh manusia itu sendiri dan terlepas dari ketentuan Tuhan. Aliran Qadariyah ini

mendapat tantangan keras dari para sahabat Nabi saw, seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar,

Anas ibn Malik, Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah. Para sahabat ini menganjurkan umat

Islam untuk menjauhkan diri dari golongan Qadariyah, tidak memberi salam kepada

1 ‘Abd al-Qâhar ibn Ţâhir ibn Muhammad al-Baghdâdîy Abû Manşûr, al-Farq bain al-Firaq wa bayân al-Firqah al-Nâjiyah, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1977), h. 14.

1

Page 2: Sejarah Pemikiran Islam

mereka, tidak mengunjungi mereka saat sakit, dan tidak mensalatkan jenazah mereka,

sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq wa bayân al-Firqah al-

Nâjiyah.

عم��ر بن الل��ه كعب��د الص��حابة من المت��أخرون منهم وت��برأ

بن وأنس عب��اس وابن هري��رة وأبي الل��ه عب��د بن وج��ابر

الجه��ني ع��امر بن وعقب��ة اوفى ابى ابن الل�ه وعب��د مال�ك

وال القدري��ة على يسلموا ال بأن اخالفهم واوصوا وأقرانهم

2مرضاهم يعودوا وال جنائزهم على يصلوا

2. Jabriah atau Mujbarah atau Mu’aţţilah atau Jahmiyah. Jaham ibn Şafwân ( بن جهم

(ص�فوان yang merupakan tokoh awal dari aliran ini.3 Diantara ciri-ciri ajaran

Jabariyah adalah :

a. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap

perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang

menentukannya.

b. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.

c. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)

d. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.

e. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.

f. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama

penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.

g. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.

h. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.

3. Khawarij. Aliran ini muncul dipenghujung abad pertama Hijriah dan dikenal dengan

pemikirannya yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah

kafir. Berbagai pemikiran mereka yang lain adalah:4

a. Segala perbuatan hamba mengikut kehendak Allah semata-mata.

2 ‘Abd al-Qâhar ibn Ţâhir ibn Muhammad al-Baghdâdîy Abû Manşûr, al-Farq bain al-Firaq wa bayân al-Firqah al-Nâjiyah, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1977), h. 15.

3 ‘Abd al-Qâhar ibn Ţâhir ibn Muhammad al-Baghdâdîy Abû Manşûr, al-Farq bain al-Firaq wa bayân al-Firqah al-Nâjiyah, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1977), h. 16 dan 199.

4 Azwira Abdul Aziz, “Khawarij Modern”, Makalah tidak diterbitkan, , Bangi: Fakulti Pengajian Islam, Jabatan Pengajian Al-Quran dan As-Sunnah, UKM, 2008.

2

Page 3: Sejarah Pemikiran Islam

b. Menolak ijtihad dan berpegang dengan zahir al-Quran.

c. Menolak taklif sebelum diutus Rasul.

d. Menolak adanya azab kubur.

e. Menolak sistim kekhalifahan bagi umat Islam karena tidak diperlukan.

f. Harus membunuh kanak-kanak dan wanita pihak yang menyalahi mereka.

g. Pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka.

h. Tidak sah menikah dengan orang yang tidak mengkafirkan ‘Utsman dan ‘Ali r.a.

i. Semua orang yang menyalahi mereka adalah kafir atau musyrik.

j. Orang yang tidak berhijrah kepada mereka adalah musyrik.

k. Wajib menguji kesetiaan orang yang berhijrah kepada mereka dengan cara

menyuruh orang itu membunuh tawanan. Jika tidak sanggup bermakna munafiq

dan mereka akan membunuhnya.

l. Anak-anak orang yang menyalahi mereka kekal dalam Neraka.

m. Menganggap negeri orang yang menyalahi mereka sebagai negeri kafir.

n. Menggugurkan hukum rajam ke atas penzina yang sudah beristeri.

o. Memotong tangan pencuri sampai ke bahu.

p. Wajib salat dan puasa atas perempuan haid.

q. Wajib qada salat atas perempuan haid sebagaimana qada puasa.

r. Mendakwa ayat 204 surah al-Baqarah khusus untuk Ali r.a.

s. Mendakwa ayat 207 surah al-Baqarah sebagai khusus untuk ‘Abd ar-Rahman Ibn

Muljim (pembunuh Ali r.a.).

t. Penyokong mereka tidak akan masuk neraka Jahannam, jika berdosa mereka akan

diazab dengan azab selain neraka Jahannam.

u. Sebahagian mereka menggugurkan hukum hudud bagi peminum arak, dan

sebagian yang lain pula mengenakan hukuman yang sangat berat.

v. Melakukan dosa kecil secara berterusan adalah suatu kesyirikan bagi yang tidak

menyokong mereka, tetapi bagi para penyokong mereka ia tidak pula dianggap

syirik meskipun melakukan dosa besar.

w. Mengharuskan at-taqiyyah.

x. Harus menikah dengan anak perempuan cucu lelaki (cicit) dan anak perempuan

anak saudara lelaki.

y. Sifat munafik itu hanya khusus bagi golongan yang disebutkan dalam al-Quran.

3

Page 4: Sejarah Pemikiran Islam

4. Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aliran ini dipelopori oleh Hasan al-Basri dengan

pemikiran bahwa orang yang mengerjakan dosa besar hanya digolongkan dan masih

dinyatakan sebagai orang mukmin. Ciri ahlus sunnah wal jama'ah

Ahlus Sunnah adalah mereka yang berpegang teguh dengan tali Allah yang kokoh

Mereka adalah teladan yang shalih yang memberikan petunjuk kepada kebenaran dan

bimbingan ke jalan yang lurus.

Menempuh jalan tengah antara orang yang mengeraskan agama dan yang

meremehkannya terutama tentang sifat-sifat Allah, hak para nabi, perkara halal dan

haram, penciptaan, perintah, janji, ancaman

Bertindak sederhana tentang sunnah Rasul dan mengikutinya dengan sungguh

sekalipun banyak kelompok yang menjerumuskannya dari jalan yang benar.5

5. Mu’tazilah. Dipelopori oleh Washil bin Atha’. Mu’tazilah mempunyai asas dan

landasan yang disebut dengan al-Uşûl al-Khamsah (lima landasan pokok), yaitu:

a. Al-Tauhid, yakni mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil

bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-

masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah.

b. Al-‘Adl (keadilan), yakni keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah,

sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah.

c. Al-Wa’du wa al-Wa’id, yakni wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-

wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam al-jannah, dan

melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di

bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam al-nâr, kekal abadi di dalamnya, dan

tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut

dengan Wa’idiyyah.

d. Manzil bain al-Manzilatain (suatu keadaan di antara dua keadaan), yakni

keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang

melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari

keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di

antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).

e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yakni wajibnya memberontak terhadap pemerintah

(muslim) yang zalim.

5 Lebih lanjut lihat Said al-Qahţani dan Naşir bin Abdul Karim, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Kewajiban Mengikutinya”, Cetakan pertama, (Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003).

4

Page 5: Sejarah Pemikiran Islam

Ciri lain dari Mu‘tazilah :

Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama

Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yah Allah

(dilihatnya Allah) pada hari kiamat, mizan (timbangan amal di hari kiamat), şiraţ

(jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang

Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-

Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain

mutawatir), dan lain sebagainya

Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam

pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka

adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya

Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan

kesyirikan.

Pada periode Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah

penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Dan mulailah filsafat merambah

dalam dunia pemikiran teologi Islam. Tradisi usaha untuk menuliskan pendapat-pendapat

setiap golongan pun mulai merebak, yang antara lain:

1. ‘Amar ibn ‘Ubaid al-Mu‘tazil yang menyusun kitab berisikan penolakan terhadap

faham qadariyah.

2. Hisyam ibn al-Hakam al-Syafi‘I menyusun kitab yang menolak faham mu’tazilah.

3. Abu Hanifah menyusun kitab al-‘Alim wa al-Muta‘alim, dan juga Fiqh al-Akbar yang

isinya mempertahankan faham ahlus sunah wal jama’ah.

4. al-Syafi‘i menyusun kitab Fiqh al-Akbar juga dalam mempertahankan faham ahlus

sunah wal jama’ah.

5. Abu al-Hasan al-Asy‘ari menulis kitab Maqalah al-Islamiyin yang didalamnya ia

menentang pendapat Mu’tazilah yang tadinya ia anut dan beralih ke faham

ahlussunnah wal jama’ah. Dalam menegakkan pandangannya Abu al-Hasan al-

Asy‘ari mengumpulkan dalil-dalil aqli dan naqli untuk menolak faham Mu’tazilah.

Pandangan Abu al-Hasan al-Asy‘ari ini kemudian dikembangkan oleh para

pengikutnya antara lain Abu Bakar al-Baqillani, al-Isfarayin dan Imam al-Haramain

al-Juwaini.

Pada periode setelah Bani ‘Abbas pengikut-pengikut Abu al-Hasan al-Asy‘ari

mengintegrasikan filsafat dan kalam dalam pandangan-pandangan mereka seperti al-

5

Page 6: Sejarah Pemikiran Islam

Baidawi dalam kitab al-Ţawali dan ‘Abduddin al-Ijy dengan kitabnya al-Mawaqif.

Keadaan ini berlangsung sampai awal abad ke 8 Hijriah yakni saat Taqiyuddin Ibnu

Taimiyah dari Damaskus menentang urusan yang berlebih- lebihan dari pihak-pihak yang

mencampur baurkan filsafat dengan kalam, atau menentang usaha-usaha yang

memasukkan prinsip-prinsip filsafat dalam aqidah islamiyah.

Ibnu Taimiyah dikenal sebagai pembela aliran salaf (sahabat, tabi’in, dan imam-

imam mujtahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan-golongan al-Asy’ariyah

dan lain-lain. Jalan yang di tempuh oleh Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh seorang

muridnya yang terkemuka, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Perkembangan pemikiran

teologi Islam kemudian mengalami kefakuman, yang ada hanya terbatas upaya-upaya

penjelasan ma’na-ma’na lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.

Gerakan permurnian teologi Islam kemudian mengalami kemajuan kembali di tangan

Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian di lanjutkan oleh al-Said

Rasyid Ridla. Usaha-usaha mereka kemudian berhasil membangun kembali ilmu-ilmu

agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung kepada mempelajari kitab-kitab Ibnu

Taimiyah dan murid-muridnya. Mereka-mereka inilah yang kemudian dikenal dengan

gerakan Salafiyyin.

B. PEMIKIRAN TASAWUF

Keistimewaan tasawuf sebagai salah satu institusi Islam adalah penekanan pada

aspek psikis spiritual dan cara hidupnya yang lebih mengutamakan aspek psikomotor dan

efeksi, lebih mengutamakan pengagungan Tuhan dan membebaskan diri dari egoisme.

Secara umum tasawuf dibagi atas tiga bagian besar: tasawuf akhlak, tasawuf amali, dan

tasawuf falsafi.

Tasawuf Akhlak

Tasawuf akhlak menekankan para pendalaman dan pengamalan spiritual untuk

membangun akhlak mulia. Hal ini diperlukan dalam upaya mencapai tingkat

kesempurnaan dan kesucian jiwa diperlukan latihan mental yang panjang. Tahap pertama

yang harus dilakukan dalam hal ini adalah pendidikan sikap dan mental dan pendisiplinan

tingkah laku (akhlak) yang ketat.

Salah satu tokoh dalam tasawuf akhlak adalah al-Ghazali. Dalam kitabnya Ihyâ’

‘ulûm al-Dîn pada bab Mengenai Ketecelaan Dunia ( الدنيا ذم كتاب ) ia menekankan

bahwa untuk mencapai kesempurnaan akhlak maka hal utama yang harus dilakukan

6

Page 7: Sejarah Pemikiran Islam

adalah manajemen hawa nafsu dan upaya yang harus dilakukan antara lain adalah

melepaskan kesenangan duniawi untuk mencapai kecintaan pada Allah. Dalam

pandangan al-Ghazali manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsunya

yang ingin menguasai dunia dan berkuasa di dunia sehingga cinta manusia pada dunia

menutupi cintanya kepada Allah. Dan ini merupakan dasar dari kehancuran moral

(akhlak) manusia. 6

Untuk mencapai kesempurnaannya ada beberapa langkah yang harus ditempuh

manusia menurut tasawuf, yakni:

1. Takhalli, yakni pengosongan diri dari semua bentuk kemaksiatan dan melenyapkan

dorongan hawa nafsu.

2. Tahalli, yakni upaya menghiasi diri dengan kebiasaan, sikap dan prilaku yang baik.

Minimal ada 7 sikap harus menjadi hiasan bagi orang-orang yang menekuni jalan sufi,

yakni: tobat, cemas dan harap pada Allah, zuhud, fakir7, sabar, rida, dan muraqabah 8.

3. Tajalli. Tahap ini merupakan tahap tertinggi yakni pengisian rasa cinta dan rindu pada

Allah yang dengan proses ini akan terbuka nur Ilahi pada hati seorang sufi. 9 Tahap ini

merupakan tahap lanjutan dari pencapaian akhlaq al-karimah saat seorang sufi telah

mencapai kesempurnaan jiwa. Tanpa kesempurnaan kesucian jiwa maka tahap tajalli

tidak akan dapat diraih. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam tahap ini,

yakni munajat dan zikir maut.

Tasawuf Amali

Tasawuf amali adalah jalan tasawuf yang harus dilakukan melalui bimbingan guru

tasawuf. Hal ini mengingat bahwa untuk menjalani kehidupan tasawuf ada orang yang

mampu melakukannya sendiri dan ada yang harus dibimbing oleh seorang ahli tasawuf.

Dalam tasawuf amali dikenal strata yang antara lain adalah:

1. Murid. Yakni orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan

amal ibadahnya, dengan memusatkan perhatian dan usahanya ke dalam tujuannya ini,

serta menahan segala kemauannya dengan menggantungkan diri dan hidupnya kepada

6 Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘ulûm al-Dîn, Jilid 3, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, tt), h. 201-211.

7 Menurut al-Kalabazi, fakir adalah sikap merasa puas dan bahagia dengan apa yang dimiliki sehingga tidak meminta yang lain walaupun yang lain itu belum dimilikinya. Lihat al-Kalabazi, Al-Ta‘aruf lî mazhab Ahl al-Şûfiah, (Kairo: Maktab al-Kuliyah al- Azhariyah, 1969), h. 114.

8 Muraqabah menurut Qamar Kailany adalah keadaan yang setiap saat selalu mengintrospeksi diri seberapa jauh perintah Allah telah dilaksanakan dan seberapa banyak larangan Allah telah dijauhi. Lihat Qamar Kailany, Fî al-Taşawuf al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, 1969), h.27.

9 Qamar Kailany, Fî al-Taşawuf al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, 1969), h.61.

7

Page 8: Sejarah Pemikiran Islam

Iradah Allah.10 Dalam kalangan ini murid diklasifikasikan dalam tiga kategori:

pemula, menengah dan tinggi.

2. Syekh/Mursyid. Yakni pemimpin kelompok sufi, pembimbing dan pengawas para

sufi. Hubungan murid dengan syekh/mursyid adalah hubungan penyerahan diri

sepenuhnya, atau dengan kata lain murid harus tunduk, setia dan rela dengan segala

perlakuan syekh kepadanya.

3. Wali dan Quţb. Wali adalah seorang yang telah sampai ke puncak kesucian batin,

memperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia hal-hal ghaib-

ghaib baginya ia telah mendapat karomah. 11 Sedangkan quţb adalah seorang wali

yang telah berfungsi sebagai “Pewaris Nabi” yang melanjutkan perjuangan Nabi.

Tingkat kesucian jiwa, kedalaman ilmu dan ketaatan para quţb hampir sama dengan

Nabi, perbedaannya adalah Nabi memperoleh ilmu melalui wahyu sedang quţb

memperoleh ilmu melalui ilham.

Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi merupakan reaksi sebagian kalangan tasawuf atas teori-teori

teologi yang dikemukakan para filusuf atau mutakallimin yang karena harus

menyesuaikan diri dengan teori filasafat sebagian sifat-sifat Tuhan harus ditanggalkan.

Secara garis besar konsep mereka dalam teologi Islam dapat dibagi kedalam tiga bagian:

konsep etika, konsep estetika dan konsep kesatuan wujud.

Konsep etika tentang Tuhan menyatakan bahwa zat Tuhan merupakan kekuasaan,

daya dan iradat yang mutlak. Tuhan merupakan pencipta dan penguasa tertinggi dalam

segala hal, termasuk dalam hal tingkah laku manusia. Kalangan ini menyatakan bahwa

kehidupan dunia sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan. Mereka memiliki rasa takut

yang luar biasa terhadap dosa dan siksa, sehingga mereka mempasrahkan diri mereka

bulat-bulat pada pengabdian dan pemenuhan cinta pada Tuhan. Hasan Basri merupakan

salah satu tokoh yang mewakili kelompok ini.12

Konsep estetika menyatakan bahwa antara Tuhan dan manusia terdapat jalur

timbal balik. Konsep ini pertama kali dilahirkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Karakteristik

yang menonjol pada konsep ini adalah kecintaan yang luar biasa pada Tuhan. Cinta ini

memenuhi jiwa raga sufi sehingga dalam jiwa tidak ada rasa takut akan siksa Tuhan dan

juga tidak ada rasa untuk mendapat kenikmatan dari Tuhan. Rasa cinta ini merupakan 10 al-Kalabazi, Al-Ta‘aruf lî mazhab Ahl al-Şûfiah, (Kairo: Maktab al-Kuliyah al- Azhariyah, 1969), h. 167.11 al-Kalabazi, Al-Ta‘aruf lî mazhab Ahl al-Şûfiah, (Kairo: Maktab al-Kuliyah al- Azhariyah, 1969), h. 89.12 ‘Abd al-Kadir Mahmud, al-Falsafah al-Şufiyah fî al-Islâm, (ttp: Dâr al-Fiqr al-‘Araby, 1966), h. 307.

8

Page 9: Sejarah Pemikiran Islam

satu-satunya motivator dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia. bagi kalangan ini

Penciptaan adalah pernyataan cinta kasih Allah yang abadi dan terefleksi dalam dunia

empiris. Teori ini lahir di kalangan sufi estetis ini bukan dari pencarian nalar melainkan ia

terhunjam dalam jiwa melalui al-nûr al-anwâr (sinar Ilahiah).13

Konsep kesatuan wujud dipelopori oleh Ibn ‘Arabi yang inti ajarannya adalah,

alam realitas (dunia fenomena) ini merupakan bayangan dari supra-realitas (Tuhan). Satu-

satunya wujud yang hakiki adalah Tuhan dan Tuhan adalah wujud yang tidak dapat diberi

sifat-sifat.14 Atas dasar pemikiran ini maka kalangan ini menyatakan manusia merupakan

refleksi dari hakikat Ilahi. Oleh sebab itu dalam diri manusia terdapat unsur-unsur

ketuhanan karena ia merupakan pancaran dari Nu Ilahi. Itulah sebabnya jiwa manusia

selalu bergerak dan berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya. Konsep ini

secara filsafati telah meluas ke pembahasan metafisika, yakni proses bersatunya manusia

dengan Tuhan sekaligus membahas konsepsi manusia dan Tuhan. Terminologi utama

dalam konsep kesatuan wujud ini adalah: al-fanâ dan al-baqâ, al-ittihad, al-hulul,

wahdah al-wujud, dan al-isyraq.

C. PEMIKIRAN HUKUM

Sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam dibagi atas enam periode:15

1. Periode Rasulullah saw. Pada periode ini perkembangan pemikiran hukum Islam

belum terjadi karena semua persoalan hukum langsung dikembalikan kepada

Rasulullah saw.

2. Periode sahabat besar. Pada masa ini istimbat hukum terbatas pada fatwa-fatwa yang

pernah dikeluarkan oleh para sahabat. Para sahabat bersifat ikhtiyaţ (berhati-hati)

dalam memutuskan suatu perkara hukum. Dan jika suatu persoalan hukum tidak

didapati dalam Alqur’an dan Hadis serta fatwa para sahabat dengan melakukan

permusyawarahan antara para sahabat mereka kemudian mengandalkan qiyas.

Dengan demikian pada masa ini telah ada empat sumber hukum Islam, yakni:

Alqur’an, Sunnah, qiyas, dan Ijma’ sahabat.

3. Periode sahabat kecil dan tabi’in. periode ini diawali pada tahun 41 H sampai awal

abad ke II Hijriah. Periode ini ditandai antara lain dengan timbulnya berbagai

13 A.E. Afifi, Fî al-Taşawuf al-Islâm wa Tarikhi, (Kairo: tnp, 1939), h. 163.14 ‘Abd al-Kadir Mahmud, al-Falsafah al-Şufiyah fî al-Islâm, (ttp: Dâr al-Fiqr al-‘Araby, 1966), h. 307.15 Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri‘ al-Islami, terj. Mohammad Zuhri, (Semarang:

Rajamurah – Alqona’ah, tt.).

9

Page 10: Sejarah Pemikiran Islam

golongan politik dalam umat Islam yang kemudian menjadi golongan teologi dan

dengan ijtihad dan pendapat masing-masing, seperti syiah dan khawarij.

Dalam hal pemikiran hukum Islam pada masa ini terjadi penggunaan ra’yu

dengan cara mengambil ‘illat dan tujuan mengapa hukum-hukum tertentu

disyari’atkan. Oleh sebab itu bagi kalangan ahlu ra’yi ini terkadang mereka menolak

suatu hadis apabila bertentangan dengan pokok-pokok syari’at apa lagi jika hadis itu

bertentangan dengan hadis yang lain. Umumnya prinsip ahli ra’yi dianut oleh

penduduk Iraq.

4. Periode awal abad II sampai pertengahan abad IV Hijriah. Hal utama yang muncul

pada periode ini antara lain penyusunan dan pembukuan Hadis berdasarkan klasifikasi

masing-masing, penyusunan dan pembukuan kitab-kitab Fiqh dan munculnya imam-

imam besar dengan madzhab masing-masing.

Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu

fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu

Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh

utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak

dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl

al-hadits.

Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran

hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume

penggunaan hadist (sebagai salah satu sumber syari'ah). Ini tidak berarti, mereka tidak

mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali tidak menggunakan sumber hukum

itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.

Di pihak lain, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya, mereka dalam

pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber

hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam hal ini qias).

Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut

mengakui keabsahan sumber hukum qias.

Dalam pemikiran hukum Islam di periode ini berkembang metode penetapan

hukum sekunder yang kemudian melahirkan technische-term yang dikenal sampai

sekarang, yang antara lain adalah istihsan, istişlah,

Istihsan sebagai technische-term banyak beredar dikalangan tokoh-tokoh (ulama)

dari aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara

10

Page 11: Sejarah Pemikiran Islam

tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering

mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.

Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan

adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias

biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan

qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan.

Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu

ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena

pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau

mashlahah. Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan,

atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu

merupakan elemen-elemen dalam hukum Istihsan.

Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai

sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran madzhab Hanafiyah.

Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah,

sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda. Imam yang menolak menempatkan

Istihsan adalah Imam Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi

atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi

qias, sudah cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi.

Istişlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan

maşlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah)

menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal

dengan sebutan, al-maşlah al-mursalah atau al-maşalih al-mursalah. Konsep

penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam (madzhab)

Malikiyah. Tapi dapat dicatat bahwa pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan

digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan tabi'in.Dan

ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah

dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran

Zhahiriyyah dan Syi'ah.

Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan bahwa, syari'ah

Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya

maşlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam

kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan manusia

untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali

11

Page 12: Sejarah Pemikiran Islam

hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya

mewujudkan maşlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah

sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari'ah yang

diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum

Islam.

Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis maşlahah, yaitu:

1) Maşlahah yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan

manusia, yaitu:

a. D aruriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya

sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya

(jiwa, raga dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya, nasab

keturunannya dan kepercayaan keagamaannya.

b. Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan

dalam kehidupannya.

c. Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun

dan tata krama dalam kehidupan

2) Maşlahah yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan

dengan maslahah yang diakui terutama pada tingkat pertama.

3) Maşlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.

5. Periode mendirikan dan menguatkan madzhab.

6. Periode keruntuhan Baghdad di tangan Hulagukhan sampai sekarang.

D. PEMIKIRAN FILSAFAT

Khazanah Pemikiran dalam Islam kaya dengan karya dan tradisi filsafat. Sangat

tidak memungkinkan dalam rangkuman ini dipaparkan resume para tokoh dan

pemikirannya dalam bidang filsafat. Oleh sebab itu dalam rangkuman ini hanya

dipaparkan 2 tokoh utama, yakni: Ibn Rusyd untuk mewakili pemikiran filsafat kelasik

Islam, dan Jamaluddin al-Afghani untuk mewakili pemikiran filsafat modern.

Pembahasan juga mencakup pengaruh pemikiran mereka dalam dunia.

Ibn Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M).

Ibn Rusyd adalah model bagi kemandirian akal-fikiran dan sekaligus model bagi

keberanian berfikir, khususnya dalam melawan pemikiran-pemikiran yang telah

terlembaga dalam institusi agama. Keberaniannya mengkritisi kemapanan kekusaan

12

Page 13: Sejarah Pemikiran Islam

agama menginspirasikan orang-orang Eropah pada abad ke-13 dan ke-14 untuk

melakukan hal yang sama kepada kuasa Gereja yang saat itu mendominasi hampir seluruh

aspek kehidupan mereka.

Ibn Rusyd adalah pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas

dalam pengertian yang kemudian dikembangkan para filusuf pencerahan di Eropah. Ia

dilahirkan dan dibesarkan di Cordova, sebuah dinasti Islam di Sepanyol. Ia hidup di

penghujung masa yang biasa dikenal “zaman keemasan Islam” (the Golden Age of Islam).

Ibn Rusyd hidup sekitar satu abad sebelum Baghdad jatuh (1258) atau empat abad

sebelum Granada, benteng terakhir umat Islam di Sepanyol, runtuh (1492).

Ibn Rusyd hidup di tengah kecenderungan kaum Muslim yang semakin antipati

terhadap pemikiran rasional. Pada masa ini, di belahan Timur dunia Islam (masyriq)

filsafat Islam mengalami gempuran sangat keras dari ulama konservatif yang merasa

terancam dengan dominasi “ilmu-ilmu klasik” (‘ulûm al-awail) yang datang dari Yunani.

Para teolog yang didominasi kaum Asy’ariyah menggempur kecenderungan teologi

rasional, khususnya yang dimotori oleh Mu’tazilah.

Hidup di belahan barat (maghrib) yang cukup jauh terpisah dari kemurungan

peradaban Islam, Ibn Rusyd melihat ada ketidaksesuaian dari perilaku kaum Muslim di

Timur. Pada mulanya, ia turut memihak para ulama dan teolog (mutakallimun) yang

berusaha “menghidupkan ilmu-ilmu agama” (ihya ‘ulum al-din) sebagai maklumbalas

(counter attack) dari gelombang Helenisme yang dimotori oleh para filsuf Muslim dan

kaum Mu’tazilah.

Simpatinya kepada Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) disalurkannya dengan

membuat sebuah talkhis (ringkasan) al-Mustasyfa, salah satu karya penting al-Ghazali

dalam bidang ushul fiqh. Tapi sesudah itu dia menyedari ada yang tidak lengkap dari al-

Ghazali dan para teolog yang membabi-buta mengecam para filsuf Yunani dan para

filusuf Muslim lainnya.

Sebuah peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia

diperkenalkan Ibn Tufayl, filsuf Andalusia lainnya, kepada Khalifah Abu Yusuf Ya’qub,

penguasa Marrakesh yang dikenal menggandrungi filsafat. Sang Khalifah bertanya pada

Ibn Rusyd tentang pandangan para filsuf Yunani mengenai penciptaan alam.

Ibn Rusyd begitu malu dan gundah, karena ia tak mampu menjawab pertanyaan

itu. Karena peristiwa inilah kemudian ia bertekad mempelajari filsafat Yunani secara

lebih serius. Ia mempelajari Plato dan mendalami serta mensyarah karya Aristotles,

sehingga kemudian dijuluki “Sang Pensyarah” (El Gran Comento). Ia beralih, dari

13

Page 14: Sejarah Pemikiran Islam

penulis talkhis buku al-Ghazali menjadi penulis talkhis buku-buku Aristotles. Ia pun

mulai mengkritisi al-Ghazali, teolog, dan para fuqaha, yang menurutnya turut

memberikan sumbangan bagi kesesatan (tahafut) pemahaman Muslim terhadap filsafat

dan ilmu pengetahuan.

Ibn Rusyd menulis banyak buku. Ia meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku

dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan masalah-masalah

agama. Kitab fikihnya yang terkenal, Bidayat al-Mujtahid, menjadi rujukan di beberapa

pesantren di Indonesia. Namun, sejauh menyangkut peranan Ibn Rusyd sebagai model

pencerahan, tiga bukunya, yakni:

1. Faşl al-Maqal fî mâ baina al-Hikmah wa al-Syar‘iah min al-Ittisal, yang berisi

tentang persesuaian antara agama dan filsafat.

2. al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî Aqâid Ahl al-Millah yang menguraikan tentang

pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya.

3. dan Tahafut al-Tahafut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, 1180), merupakan

karya yang dikhususkan untuk menentang serangan al-Ghazali atas para filusuf dalam

bukunya Tahafut al-Falasifah.

Ketiga buku ini memuat pandangan-pandangan kontroversial Ibn Rusyd yang pernah

menggemparkan dunia Eropah pada pertengahan abad ke-13.

Dampak langsung dari gagasan-gagasan Ibn Rusyd dapat ditelusuri pada mazhab

pemikiran yang dikenal dengan sebutan “Averoisme.” Istilah Averoisme mulai digunakan

di Eropa pada sekitar tahun 1270, atau setelah 72 tahun Ibn Rusyd meninggal dunia. Kata

yang digunakan adalah “Averroistae” yang sesungguhnya lebih merupakan bentuk

sinisme untuk merujuk para pengikut dan pengagum Ibn Rusyd.

Pada bulan Desember 1270, bishop Stephen Tempier, mengeluarkan pengumuman

tentang ajaran-ajaran heretik. Siapa saja yang mengikuti ajaran ini harus dikirim ke

pengadilan inkuisisi dan dihukum keras. Beberapa ajaran yang dituduh heretik adalah

doktrin tentang jiwa dan intelek yang diajarkan Ibn Rusyd serta doktrin Aristotles tentang

Tuhan. Dalam deklarasi ini, Tempier tidak merinci ajaran-ajaran yang dianggap terlarang.

Tapi, pada Maret 1277, ia mengeluarkan lagi pengumuman lanjutan dengan memberikan

219 daftar ajaran yang dianggap heretik dan pengikutnya harus dihukum seberat-

beratnya. Surat pengumuman kali ini juga mengarah kepada beberapa nama, seperti Siger

of Brabant (w. 1282), pengikut fanatik Ibn Rusyd dan pendiri semacam “Jaringan

Averoisme Paris” dan Boëthius of Dacia (w. 1290), mahasiswa filsafat yang aktif dalam

jaringan itu.

14

Page 15: Sejarah Pemikiran Islam

Siger, Boethius, dan kebanyakan orang yang setuju dengan ke-219 ajaran yang

didaftar Tempier adalah pengikut Averoisme. Sedianya, daftar itu untuk menjaring para

pemikir liberal yang dianggap “telah meresahkan masyarakat Paris.” Tapi, Tempier

agaknya terlalu banyak mendaftar “barang-barang haram” sehingga beberapa petinggi

Gereja yang diam-diam mengagumi Ibn Rusyd juga terkena imbasnya, termasuk Thomas

Aquinas, pemimpin Ordo Dominikan dan filsuf terbesar Abad Pertengahan.

Averoisme memang tidak melulu terkait dengan “intelektual liberal.” Dalam

sejarah filsafat Barat, Averoisme juga dikaitkan dengan pemikiran filsafat keagamaan

yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Averoisme Yahudi” dan “Averoisme

Kristen.”

Averoisme Yahudi lebih mapan ketimbang Averosime Kristian. Mungkin ini ada

kaitannya dengan hubungan ketiga agama itu. Hubungan Islam-Yahudi pada masa itu

cukup baik, terutama di Sepanyol di mana warga Yahudi memiliki keistimewaan yang

sangat besar. Sementara hubungan Islam-Kristian agak buruk, terutama karena dampak

perang salib di Jerusalem dan perluasan imperium Islam ke bumi Eropa (baik yang

dilakukan oleh dinasti Umayyah maupun dinasti Utsmaniyyah).

Averoisme Yahudi berkembang pesat di Andalusia. Para pengikut Averoisme

Yahudi umumnya memandang Ibn Rusyd sejajar dengan filsuf besar mereka, yakni Musa

bin Maymun atau Maimonides (w. 1204) dan Abraham bin Ezra (w. 1167) yang

kebetulan keduanya hidup di Andalusia sezaman dengan Ibn Rusyd. Tokoh-tokoh penting

Averoisme Yahudi adalah Isaac Albalag (akhir abad ke-13) yang menerjemahkkan

Maqasid al-Falasifah, karya Imam al-Ghazali, ke dalam bahasa Ibrani; Joseph ibn Caspi

(l. 1279), Moses Narboni (w. 1362), dan Elijah Delmedi (w. 1493), pengikut Averoisme

Yahudi terakhir.

Sementara itu, Averoisme Kristian sebetulnya merupakan istilah yang agak

paradoks, karena dunia Gereja, khususnya pada abad ke-13 dan ke-14, didominasi oleh

kecenderungan memusuhi ajaran-ajaran Ibn Rusyd dan Aristotles. Tapi, beberapa tokoh

Kristen pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, seperti Thomas Aquinas,

menggandrungi ajaran-ajaran Aristotles (meski dia memposisikan dirinya sebagai musuh

para pengikut Averoisme Latin, khususnya Siger of Brabant). Dan tak ada pengantar

paling baik ke filsafat Aristotles kecuali karya-karya Ibn Rusyd.

Baik Averoisme Yahudi maupun Averoisme Kristen menganggap Ibn Rusyd telah

berjasa menyelesaikan persoalan pelik yang selama berabad-abad menjadi momok bagi

para pemikir agamawan, yakni bagaimana mendamaikan wahyu dengan akal; filsafat

15

Page 16: Sejarah Pemikiran Islam

dengan agama; para nabi dengan Ariestoles. Dalam karyanya, Fasl al-Maqal, yang sudah

diterjemahkan ke berbagai bahasa penting Eropah, Ibn Rusyd menjawab semua persoalan

ini dengan lugas.

Pertama-tama, kunci dari persoalan itu terletak pada persoalan genting lainnya

yang lebih mendasar, yakni apakah benar bahawa mempelajari filsafat itu haram? Untuk

menjawab ini Ibn Rusyd memberikan hipotesis. Menurutnya, secara legal-fikih (syar’i)

belajar filsafat itu punya beberapa kemungkinan: bisa dibolehkan (mubah), dilarang

(mahdzur), dianjurkan (nadb), atau diharuskan (wajib)? Menurut Ibn Rusyd belajar

filsafat hukumnya: wajib atau sunnah. Ibn Rusyd memberikan kesimpulan bahwa tidak

ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama karena mereka semua datang

dari asal yang sama, yakni Tuhan. 16

Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M)

Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-

Afghani. Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India. Meskipun

sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia

tidak melihat kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk

mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di

Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.

Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat

mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh sebab itu

kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu

pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan

oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu

anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan

sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh

gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan

mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu

pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama fakum.

Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran .

Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh

(1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat

16 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosphy, cetakan 2, (New York: Columbia University Press, 1982), 278.

16

Page 17: Sejarah Pemikiran Islam

mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di

sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa

asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu

pengetahuan modern. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh,

dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di

Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.

Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu

pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-

Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat

dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad - untuk menafsirkan kembali Islam

agar memiliki vitalitas baru - dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu

pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu

kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun,

sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum

Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh

dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah

tujuan penggunaannya.

Sebagaimana di banyak bagian dunia Islam lainnya, gagasan Jamaluddin al-

Afghani cukup berpengaruh di Iran. Dalam hal respons terhadap kemodernan, khususnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, gagasan-gagasan al-Afghani digemakan

kembali oleh beberapa pemikir Muslim Iran.

Salah seorang pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l. 1904),

yang lahir sekitar 10 tahun setelah wafatnya al-Afghani. Setelah pecah Revolusi Islam

1979, Bazargan menjadi perdana menteri yang pertama. Namun sesungguhnya,

sebelumnya ia adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20

di Iran, pandangan yang berkembang serupa dengan di dunia Islam umumnya, yaitu

bahwa hasil-hasil temuan dan penerapan ilmu pengetahuan tak bertentangan dengan

Islam, tetapi justru diperlukan untuk membuat masyarakat Islam tak ketinggalan.

Bazargan berusaha memberikan penegasan bahwa yang tak bertentangan dengan Islam

adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen, sementara Islam dianggap

sebagai jalan penyelamatan spiritual. Banyak hasil temuan ilmu pengetahuan telah

diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal terpenting yang dikemukakan Bazargan adalah bahwa

seorang Muslim dapat tetap setia kepada agamanya, dan pada saat yang sama

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

17

Page 18: Sejarah Pemikiran Islam

Periode berikutnya ditandai dengan munculnya Ali Syari’ati (1933-1977) dan

Murtadha Mutahhari (1920-1979). Keduanya adalah pemikir terpenting Iran di zaman

modern. Sebagai ideolog, tema terpenting Syari’ati adalah “kembali ke jati diri yang

sebenarnya,” sementara Mutahhari, sebagai seorang mullah yang cukup akrab dengan

berbagai pemikiran Barat modern, berusaha secara sistematis membangun pandangan

dunia Islam. Gagasan keduanya tak terkesan bersifat apologetis terhadap perkembangan

modern, namun sikapnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat masih berpusat

di sekitar penekanan bahwa keduanya tak bertentangan dengan Islam, dan memiliki

wilayahnya masing-masing.

Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis”

yang ekstrem. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu

pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan

ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid

Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan

perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan

terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka

Islam tak menolaknya.

Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara

umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi

sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti

tetap bertahan, hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir

yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup

memuaskan mereka.

E. PENUTUP

Dari rangkuman sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam nampak bahwa

tradisi keilmuwan melekat dalam diri umat Islam sejak agama ini lahir. Tradisi itu bukan

saja hanya pada tataran empirisme melainkan jauh melesat ke alam meta empiris.

Kebebasan dan keberanian dunia pemikiran Islam telah melahirkan kekayaan yang tidak

ternilai dalam khazanah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Sayangnya,

semua itu saat ini tinggal nostalgia. Dunia Islam kemudian tertinggal dalam ilmu

pengetahuan.

Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para

pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di

18

Page 19: Sejarah Pemikiran Islam

dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah

menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia

Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu

memiliki dua aspek penting.

Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran

Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif - pada beberapa kasus

bahkan berupa benturan fisik - antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti

“kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme”

menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran

gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir

dari keinginan menanggapinya.

Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu,

atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian

para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut

mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di

dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu,

karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa

pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan

ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal

perkembangan intelektual Islam.

Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran

tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat

berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan

di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi

sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil

menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang

ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada

upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.

Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar.

Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis.

Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa

tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut

didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan

bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu.

19

Page 20: Sejarah Pemikiran Islam

Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul. Wacana kedua,

perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an,

yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.

20

Page 21: Sejarah Pemikiran Islam

LITERATUR

Afifi, A.E., Fî al-Taşawuf al-Islâm wa Tarikhi, Kairo: tnp, 1939.

Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Semarang: Toha Putra, 1982.

Aziz, Azwira Abdul, “Khawarij Modern”, Makalah tidak diterbitkan, , Bangi: Fakulti Pengajian Islam, Jabatan Pengajian Al-Quran dan As-Sunnah, UKM, 2008

Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science, terj. Tauhid dan Sains, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994.

Bik, Hudhari, Tarikh al-Tasyri‘ al-Islami, terj. Mohammad Zuhri, Semarang: Rajamurah – Alqona’ah, tt.

Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosphy, cetakan 2, New York: Columbia University Press, 1982.

al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad, Ihyâ’ ‘ulûm al-Dîn, 4 Jilid, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, tt.

HAMKA, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978.

Kailany, Qamar, Fî al-Taşawuf al-Islâm, Kairo: Dâr al-Ma‘arif, 1969.

al-Kalabazi, Al-Ta‘aruf lî mazhab Ahl al-Şûfiah, Kairo: Maktab al-Kuliyah al- Azhariyah, 1969.

Karim, Said al-Qahţani dan Naşir bin Abdul, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Kewajiban Mengikutinya”, Cetakan pertama, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.

Mahmud, ‘Abd al-Kadir, al-Falsafah al-Şufiyah fî al-Islâm, ttp: Dâr al-Fiqr al-‘Araby, 1966.

Abû Manşûr, ‘Abd al-Qâhar ibn Ţâhir ibn Muhammad al-Baghdâdîy, al-Farq bain al-Firaq wa bayân al-Firqah al-Nâjiyah, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1977.

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Cambridge: Harvard University Press, 1968.

Nasution, Harun, Falsafah dan Misticisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.

Saefuddin, A.M., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1987.

21

Page 22: Sejarah Pemikiran Islam

BIODATA PENULIS

Suprayetno W, lahir di Medan pada tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1976 di Sekolah Dasar Islam Persatuan Amal Bakti (PAB) Medan Estate kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di tempat yang sama dan selesai pada tahun 1980. Cita-cita untuk menjadi guru direalisasikan dengan melanjut ke Sekolah Pendidikan Guru Negeri I Medan dan tamat pada tahun 1983. Program Sarjana Strata 1 ditempuh di Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara

dan diselesaikan pada tahun 1990. Tahun 1997 menyelesaikan program Master di Institute of Islamic Studies McGill Univesity, Montreal, Canada. Saat ini sedang menekuni program Doktoral di Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Karya-karya tulis yang pernah dihasilkan antara lain. (1). “Robert J. Sternberg And Ibn Hazm On The Nature Of Love” dalam The Dynamic of Islamic Civilization diterbitkan oleh Titian Ilahi, Yogyakarta tahun 1998. (2) “Perlukah Anak Hukuman Badan ?” dalam Kumpulan Artikel Psikologi Anak diterbitkan oleh Intisari Mediatama, Jakarta tahun 1999. (3) “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren” dalam Pranata Islam di Indonesia yang diterbitkan Logos Wacana Ilmu, Jakarta tahun 2002. (4) “Kepribadian Individu Dan Masyarakat Muslim Dalam Tantangan” dalam Kepribadian dan Pendidikan diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2006. (5) “Tantangan Psikologis Era Reformasi Dalam Penegakan Jati Diri Muslim Indonesia” dalam Pendidikan dan Psikologi Islami diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2007. (6) “Hubungan Interpersonal Konselor-Klien” dalam Pendidikan dan Konseling Islami diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2008. Sejak tahun 1992 sampai saat ini mengabdikan diri di IAIN Sumatera Utara sebagai dosen Psikologi Agama.

22