BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan ...
Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan ...
1
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kejahatan Korporasi Di Dalam Hukum
Positif Di Indonesia
1. Korporasi Sebagai subyek Hukum Dan Pelaku Tindak
Pidana dalam Perundang-undangan di Indonesia
Pengaruh kemajuan globalisai yang semakin pesat
sangat berpengaruh terhadap peradaban dan budaya
manusia, baik dibidang ilmu pengetahuan, teknologi
terutama dibidang teknologi informasi dan komunikasi
juga dibidang transportasi yang melaju semakin
pesatnya, menjadikan bumi ini semakin sempit dan
begitu mudah untuk dijangkau dalam hitungan waktu
yang begitu singkatnya. Globalisasi disegala bidang
berjalan begitu cepat sehingga tidak mungkin suatu
negara mampu mengisolasi diri baik secara politik, sosial
budaya, ekonomi bahkan masalah hukum dalam
keterkaitan antar negara.
Kehidupan ekonomi antar satu negara dengan
negara lain semakin saling bergantung, sehingga
2
ketentuan-ketentuan hukum dibidang perdagangan
internasional dan bisnis transnasional semakin
diperlukan. Pada Jaman dahulu dikenal suatu istilah yang
menyatakan: “ semakin miskin suatu bangsa maka akan
semakin tinggi pula tingkat kejahatan yang terjadi.”
Istilah tersebut sekarang ini hanya berlaku bagi kejahatan
konvensional semata, tetapi tidak berlaku bagi kejahatan
yang bersifat ekstra ordinary crime. Soedjono
Dirdjosisworo mengatakan” :
“ Kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan
ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang
tidak kurang bahaya dan besarnya terhadap korban yang
diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda
kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam
lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahatan
di bidang ekonomi seperti kejahatan Bank, kejahatan
computer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-
barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan
dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran dan
3
berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat
penetrasi dan penyamaran”. 1
Didalam Konggres PBB V tentang Pencegahan
Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum ( the
Prevention of Crime and treatment of Offender) dalam
tahun 1975 kemudian dipertegas kembali dalam
konggres PBB VII tahun 1985, menunjukkan bahwa
terdapat kejahatan-kejahatan bentuk baru yang dilakukan
oleh korporasi yang digerakkan oleh pengusaha
terhormat yang membawa dampak yang sangat negative
pada perekonomian negara yang bersangkutan. 2
Kejahatan Korporasi yang semakin canggih baik bentuk
maupun jenisnya juga berkaitan dengan modus
operandinya sering melampaui batas-batas negara (trans
border crime) dan juga sering dipengaruhi oleh negara
lain akibat era globalisasi. Akibat pengaruh globalisasi
yang semakin melaju tak terbendung ini kejahatan
korporasi yang menonjol adalah yang dikenal dengan
istilah Price Fixing (memainkan harga barang secara
1 Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap kejahatan, Introduksi Hukum
Penanggulangan Kejahatan, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung: hal.65 2 Andi Hamzah, Kejahatan di Bidang Ekonomi Dan Cara Penanggulangannya,
Makalah, Jakarta, 1994, hal. 1.
4
tidak sah), false advertising (penipuan iklan) dan
environmental crime (kejahatan lingkungan hidup). 3
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, bahwa
pembangunan hukum di Indonesia pada hakekatnya
menuntut adanya perubahan sikap mental sedemikian
rupa dan menghendaki agar hukum tidak lagi hanya
dipandang sebagai perangkat norma semata-mata
melainkan hukum harus dipandang sebagai sarana untuk
merubah masyarakat (law as a tool as social
engenering). Hukum tidak lagi berkembang dengan
mengikuti masyarakat, melainkan hukum harus dapat
memberikan arah kepada masyarakat sesuai dengan
tahap-tahap pembangunan yang dilaksanakan.
Sejalan dengan hal tersebut Satjipto Rahardjo
menyatakan : “ Pembangunan hukum mengandung
makna ganda, pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu
usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri
sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayanai
masyarakat pada tingkat perkembangannya yang
3 Dwidja Priyatno, Antisipasi Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi
Dalam Era Globalisasi, Dalam Karya Vira Jati No. 90 Tahun 1995, Bandung:
Seskoad, 1995, hal 47-48.
5
mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai
modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai
suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam
masa pembangunan , yaitu dengan cara turut
mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana
dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang
membangun”. 4
Melihat kenyataan diatas bahwa peranan dunia
usaha swasta dalam pertumbuhannya ternyata lebih
memberikan peranan terhadap suatu badan
hukum/korporasi. Korporasi disini sebagai subyek tindak
pidana masih merupakan hal yang baru. Konsep
korporasi sebagai subyek tindak pidana berkembang
sejalan dengan adanya kejahatan yang menyangkut
korporasi sebagai subyek tindak pidana, yang disebabkan
oleh adanya pengaruh perkembangan dunia usaha baik
nasional maupun internasional yang melaju demikian
pesatnya itu.
Berkaitan dengan hal diatas Andi Hamzah
menyatakan : “ Indonesia dalam perundang-undangannya
4 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983,
hal.231.
6
baru muncul dan dikenal badan hukum/korporasi sebagai
subyek tindak pidana pada tahun 1951 yaitu dalam
undang-undang penimbunan barang-barang dan mulai
dikenal secara luas dalam undang-undang Darurat No. 7
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi”. 5
Selain didalam Undang-Undang Darurat No. 7
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, pengaturan
korporasi sebagai subyek Tindak Pidana juga dapat
ditemukan antara lain dalam Undang-Undang No 11
PNPS tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, Pasal
49 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang
Penyimpanan Narkotika, Undang-undang No 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, kemudian disusul dengan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang Undang
No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-
Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Undang
Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,
5 Andi Hamzah, Tanggung Jawab Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan
Hidup, Makalah disampaikan dalam diskusi dua hari, Masalah-masalah Prosedural
Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Jakarta : Kantor Mentri Negara
KLH, 1989,hal. 32.
7
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Pasal 20 Undang-undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4
Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
2. Formulasi beberapa Perundang-Undangan Tentang
Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana.
Beberapa undang-undang yang ada di Indonesia
sebagaimana kami paparkan diatas telah
memformulasikan didalam masing-masing pasalnya
tentang pengadopsian suatu bentuk pemikiran mengenai
dimungkinkannya korporasi sebagai pelaku tindak
pidana. Pasal-pasal didalam undang-undang dimaksut,
antara lain :
8
a. Pasal 11 Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951
tentang Penimbunan Barang-barang yang berbunyi
sebagai berikut :
1). Bilamana suatu perbuatan yang boleh
dihukum berdasarkan undang-undang ini,
dilakukan oleh suatu badan hukum, maka
tuntutan itu dilakukan dan hukuman
dijatuhkan terhadap badan-badan hukum itu
atau terhadap orang-orang termaksud dalam
ayat (20 pasal ini, atau terhadap kedua
duanya;
2). Suatu perbuatan yang dapat dihukum
berdasarkan undang-undang ini dilakukan
oleh suatu badan hukum, jika dilakukan oleh
seorang atau lebih yang dapat dianggap
bertindak masing-masing atau bersama-sama
melakukan atas nama badan hukum;
b. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 7
Tahun 1965 tentang Tindak Pidana Ekonomi
berbunyi :
9
“ Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh
atau atas nama suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnja,
atau suatu jajasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata
tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan atau jajasan itu, baik
terhadap mereka yang meberi perintah melakukan
tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian
itu, maupun terhadap kedua duanja. “
c. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 11 PNPS
Tahun 1963 tentang Tindak Pidana subversi
(Undang-Undang ini telah dicabut dengan Undang-
Undang No. 26 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999)
berbunyi :
“ Djika suatu tindak pidana subversi dilakukan
oleh atau atas nama suatu badan hukum,
perseroan, perserikatan orang,jajasan, atau
organisasi lainnja, maka tindakan peradilan
dilakukan, baik terhadap badan hukum, perseroan,
10
perserikatan orang, jajasan atau organisasi
lainnja itu, baik terhadap mereka jang member
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau jang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu, maupun terhadap kedua-duanja”.
d Pasal 49 Undang-Undang No.9 Tahun 1976
tentang Penyimpanan Narkotika, berbunyi :
“ Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika
dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang
lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata
tertib, dijatuhkan, baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun
terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin atau
penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian
itu, ataupun terhadap kedua-duanya.
e. Pasal 45 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, berbunyi :
11
“ Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain ancaman pidana denda diperberat
dengan sepertiganya”.
Pada Pasal 46 ayat (1) undang undang ini
menentukan :
“ Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain tuntutan pidana dilakukan dan
sanksi pidana serta tindakan tata tertib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan
baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut
maupun terhadap mereka yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu
atau terhadap kedua-duanya. “
f. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
12
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun2001 mengadopsi pemikiran tersebut
dalam Pasal 20, khususnya ayat (1), berbunyi :
“ Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh
atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya”.
g. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun
2003, Pasal 4 ayat (1) berbunyi :
“ Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus
dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi,
maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap
pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun
terhadap korporasi.”
Setelah mempelajari bunyi undang-undang diatas,
penulis berpendapat, bahwa sebagai berikut:
1. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Tindak Pidana Khusus yang telah menerima korporasi
13
sebagai subyek tindak pidana belum jelas menganut
ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi tertentu.
2. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi, pembuat undang-undang
mengadopsi ajaran identifikasi dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana korporasi dengan kobinasi
ajaran agregasi.
B. Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Kejahatan
Korporasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Eksistensi hukum dalam masyarakat adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Pengaturan
kepentingan-kepentingan ini seharusnya didasarkan pada
keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu
dan melindungi kepentingan masyarakat. Tatanan yang
diciptakan hukum baru menjadi kenyataan manakala subyek
hukum diberi hak dan kewajiban.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hak dan
kewajiban bukanlah merupakan kumpulan kaidah atau
14
peraturan, melainkan perimbangan kekuasaan dalam bentuk
hak individual di satu pihak yang tercermin dalam kewajiban
pada pihak lawan, hak dan kewajiban inilah yang diberikan
oleh hukum.
Secara leksikal, perlindungan diartikan sebagai tempat
berlindung, hal atau perbuatan, melindungi. Perlindungan
diartikan sebagai perbuatan memberi jaminan atau
keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari
pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau
resiko yang mengancamnya.
Perlindungan hukum menurut pendapat Phillipus
Hadjon ada dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat
yaitu: Pertama, perlindungan hukum preventif artinya rakyat
diberi kesempatan mengajukan pendapatnya sebelum
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Kedua,
perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan
sengketa.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
15
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Sedangkan konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Dalam konteks penulisan ini, konsumen
seringkali menjadi korban kejahatan suatu korporasi, maka
sebagai korban konsumen mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum.
Sebagaimana telah disinggung dalam bab terdahulu,
pengertian perlindungan korban menurut Barda Nawawi
Arief, dapat dilihat dari 2 (dua) makna, yaitu :
a. Pertama, dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum
untuk tidak menjadi korban tindak pidana” (berarti
perlindungan Hak Asasi Manusia atau kepentingan
hukum seseorang)
b. Kedua, dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk
memperoleh jaminan/ santunan hukum atas
penderitaan/ kerugian orang yang telah menjadi korban
tindak pidana” (jadi identik dengan “penyantunan
korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan
16
nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin
(antara lain dengan pemaafan) pemberian ganti rugi
(restitusi, kompensasi, jaminan/ santunan kesejahteraan
sosial) dan sebagainya.6
Dalam analisis ini penulis mengacu pada pengertian
perlindungan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Barda
Nawawi Arief tersebut di atas. Artinya pengertian
perlindungan hukum tersebut meliputi perlindungan untuk
tidak menjadi korban tindak pidana dan yang kedua
perlindungan hukum untuk memperoleh jaminan/santunan
hukum atas penderitaan dan atau kerugian orang yang telah
menjadi korban tindak pidana.
Apabila dicermati maka perlindungan hukum
terhadap konsumen tampak pada beberapa aspek, yakni dari
konsideran, dictum pasal-pasal yang tercantum di dalamnya
maupun dalam penjelasan pasal-pasal.
Dalam konsideran huruf d merumuskan bahwa
untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
6 Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung: hal. 56
17
dirinya serta menumbuh kembangkan sikap perilaku usaha
yang bertanggung jawab. Dalam perumusan tersebut maka
dari perspektif perlindungan terhadap korban termasuk pada
usaha untuk tiak menjadi korban tindak pidana.
Kemudian dalam rumusan pasal-pasal ataupun
penjelasannya juga tampak perlindungan hukum bagi
korban. Pasal-pasal dimaksud adalah sebagai berikut :
Pasal 2 :
“ perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta
kepastian hukum.”
Pasal 2 tersebut merumuskan tentang asas-asas
perlindungan konsumen. Dalam penjelasan terhadap pasal
tersebut dinyatakan asas manfaat dimaksudkan untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas
keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
18
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas
keseimbangan dimaksud untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, perilaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas
kesamaan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian
hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Adanya asas-asas hukum yang terdapat di dalamnya
maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum yang
diberikan melalui ketentuan normatif ini sudah termasuk
sebagai perlindungan hukum yang terintegrasikan melalui
sistem hukum. Hal ini berbeda ketika belum terbitnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Artinya, dari segi
kerangka landasan hukum/tata hukum nasional (legal frame
work), sebenarnya tanpa UUPK pun, norma-norma
perlindungan konsumen itu sudah ada, hanya tersebar dalam
19
berbagai instrumen hukum-hukum pokok, tetapi tidak pada
hukum-hukum sektoral.
Az Nasution menyebutkan bahwa hukum
perlindungan konsumen tersebar dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan berbagai cabang hukum perdata,
hukum dagang, hukum pidana, dan hukum administrasi
negara, yang kadang-kadang tampak melindungi konsumen,
atau yang tercampur aduk sehingga memerlukan penafsiran
atau yang hanya sekedar sampiran dari suatu peraturan7.
Betapapun lemahnya instrumen-instrumen hukum pokok
itu, bukan berarti konsumen tak dilindungi hukum. Jadi,
sebelum berlakunya UUPK, perlindungan konsumen di
Indonesia tidak dapat dipandang sebagai suatu perlindungan
konsumen.
Dalam rangka hukum-hukum sektoral, UUPK dapat
dipandang sebagai suatu sistem perlindungan (hukum)
terhadap konsumen. Sebagai suatu bidang hukum baru, ia
setidaknya merupakan hukum-hukum yang dibutuhkan
dibidang ekuin (ekonomi, keuangan dan industri) dan kesra
(kesejahteraan rakyat). David Oughton dan Lowry
7 AZ Nasution, 1986, Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum dan
Pembangunan, hal. 568-581
20
memandang hukum perlindungan konsumen (conumer
protection law) sebagai sebuah fenomena modern yang khas
abad ke- 20, namun sebagaimana ditegaskan dalam
perundang-undangan, perlindungan konsumen itu sendiri
dimulai seabad lebih awal.8
Dalam hubungan ini, A Zen Umar Purba
berpendapat sebagai berikut :”Perlindungan konsumen
sebagai satu konsep terpadu merupakan hal baru, yang
berkembangnya dimulai dari negara-negara maju. Namun
demikian, saat sekarang konsep ini sudah tersebar kebagian
dunia lain. Di Republik Rakyat Cina (RRC) saja, atau
negara yang tidak memiliki ekonomi pasar, konsep
perlindungan konsumen sudah mulai dijabarkan dalam
seperangkat peraturan perundang-undangan.”9
Dalam perspektif yang lain keberadaan asas-asas
hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan
mempunyai posisi yang strategis. Dalam setiap undang-
undang yang dibuat pembentuk undang-undang, biasanya
dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari
8 Davis Oughton dan John Larwy, 1997, Textbook on Consumer Law, Blackstone
Ltd, London, hal. 10-11 9 A Zen Umar Purba, 1992, Perlindungan Konsumen, Sendir-sendi Pokok
Pengaturan Hukum dan Pembangunan, No. 4 Tahun XXII. Hal. 393
21
diterbitkannya undang-undang itu. Asas-asas hukum
merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan-
peraturan pelaksanaannya. Bila asas-asas dikesampaingkan,
maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap
peraturan pelaksanaannya. Sudikno Mertokusumo
memberikan ulasan atas hukum sebagai berikut : “... bahwa
asas hukum bukan merupakan hukum konkret, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat
dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan
dengan mencari sifat-sifat atas ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut”.10
Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo,
Satjipto Rahardjo juga berpendapat bahwa asas hukum
bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa
dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di
10
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, hal. 5-6
22
dalamnya. Asas hukum ini memberi makna etis kepada
peraturan-peraturan hukum serta tata hukum11
.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa
asas hukum ia ibaratkan sebagai “jantung” peraturan hukum
luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti
penerapan peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan
kepada asas hukum. Kedua, karena asas hukum
mengandung tuntutan etis, maka asas diibaratkan sebagai
“jembatan” antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-
cita sosial dan pandangan etis masyarakat12
.
Pasal 3 :
Pasal 3 UUPK merumuskan bahwa perlindungan konsumen
bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian
barang dan/atau jasa;
11
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, hal. 87 12
Ibid, hal. 85
23
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap-sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berushaa;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
Pasal 3 di atas merumuskan tentang tujuan
perlindungan konsumen. Dalam rumusan Pasal 3 UUPK
tampak bahwa dari perspektif perlindungan terhadap korban
termasuk pelaku usaha untuk tidak menjadi korban tindak
pidana. Hal ini tampak antara lain dalam rumusan huruf a
yakni “meningkatkan kesadaran,kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri”. Demikian
24
pula pada rumusan huruf b, c dan d yakni, (b). Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa; (c). Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih menentukan dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen; (d). Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
Apabila dicermati dari aspek yang lain, Pasal 3
UUPK ini menurut Ahmad Miru dan Sutarman Yodo,
merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran
akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan
dibidang hukum perlindungan konsumen13
.
Pasal 4 :
Hak Konsumen adalah :
13
Ahmad Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 35
25
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan / atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan / atau
jasa yang digunakan ;
d) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
e) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
f) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;
g) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan / atau penggantian, apabila barang dan / atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
26
h) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 4 ini jelas menunjukkan adanya perlindungan hukum
bagi konsumen yang meliputi perlindungan hukum untuk
tidak menjadi korban dan perlindungan hukum untuk
memperoleh jaminan/santunan hukum atas
penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban
tindak pidana, antara lain dengan merumuskan hak-hak
yang seharusnya diperoleh oleh konsumen. Hak-hak
tersebut meliputi hak asasi kenyataan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
27
diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang telah diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; serta hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 4 UUPK lebih luas dari pada hak-hak dasar konsumen
sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat J.F Kennedy didepan kongres pada tanggal
15 Maret 1962 yaitu terdiri atas :
a. hak memperoleh keamanan;
b. hak memilih;
c. hak mendapat informasi;
d. hak untuk didengar14
.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari
Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB
pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing Pasal 3, 8,
19, 21 dan Pasal 26 yang diperoleh Organisasi Konsumen
Sedunia (International Organization of Consumers Union –
14
Mariam Darus Badrulzaman, 1986, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat
dari Sudut Perjanjian Baku, Dimuat dalam hasil Simposium Aspek-aspek Masalah
Perlindungan Konsumen, Bina Cipta, Jakarta, hal. 61
28
IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya
yaitu :
a. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih
dan sehat15
.
Di samping itu, masyarakat Eropa juga telah
menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;
b. Hak perlindungan kependingan ekonomi;
c. Hak mendapat ganti rugi;
d. Hak atas penerangan;
e. Hak untuk didengar16
.
Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas
maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam
hak konsumen yakni sebagai berikut :
a. Hak atas keamanan dan keselamatan;
b. Hak untuk memperoleh informasi;
15
C, Tanri dan Sularsi, 1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan
Konsumen, Yayasan Konsumen Indonesia, The Asia Foundation, Jakarta, hal 19-21 16
Mariam Darus Badrulzaman, Op cit, hal. 61
29
c. Hak untuk memilih;
d. Hak untuk didengar;
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih
dan sehat;
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai
tukar yang diberikannya;
j. Hak untuk mendapatkan upah penyelesaian hukum
yang patut17
.
Oleh Ahmadi Miru dikatakan bahwa bagaimanapun
ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah
dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga hak yang menjadi prinsip dasar yaitu :
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari
kerugian, baik kerugian personal maupun kerugian hak
kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan
harga yang wajar;
17
Ahmadi Miru dan Sutarman, Yodo, Op Cit, hal. 40
30
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut
terhadap permasalahan yang dihadapi18
.
Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut
merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana
diatur dalam UUPK, maka hal ini sangat esensial bagi
konsumen, sehingga dapat dijadikan/ merupakan prinsip
perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.
Hal menarik lain yang dapat dibahas disini adalah
adanya perumusan dalam huruf h bahwa konsumen berhak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang tidak
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Namun masih perlu dikaji lebih lanjut apa yang
dimaksud dengan kompensasi. Apakah sama dengan yang
dimaksud dalam perspektif viktimologi. Sebagaimana telah
dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, dalam
viktimologi dikenal pengertian tentang kompensasi.
Elias memberikan pengertian kompensasi sebagai
bagian atas pelayanan korban sebagaimana dilakukan di
18
Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 40
31
Amerika bahwa Victim compensation, ...victims with
goverment payments to restore the losses incurred from
victimization19
.
Doener & Lab, mengatakan tentang kompensasi
terhadap korban bahwa “Victim compensation takes place
when the state, rather than the perpetrator, reimburses the
victim for losses sustained at the hands of the criminal20
.
Graborsky tentang aspek yang dihitungkan dalam
pemberian kompensasi bahwa Crime compensation covers
such items as lost wages, medical bills, prothetics, funeral
expenses and, in some instance, mental health counseling21
.
Pengertian kompensasi serta aspek-aspek yang perlu
diperhitungkan dalam kompensasi juga dikemukakan oleh
Schembri sebagai:”... compensation is a meaningful and
visitable demonstration of societal concern that criminal
wrongs be righted. Adequate compensation should repair
direct damages incurred by the victim, including the cost of
necessary treatment and hospitalization, and loss of
earning; it should provide support for the dependent of
19
Robert Elias, 1996, Community Control, Criminal Justice and Victim Service.
Dalam Form Crime Polisy to Victim Policy Reorientatting the Justice System,
Ezzat Abel, Fattah (ed) Macmillan Press Ltd London, hal. 291 20
William G. Doemer, Steven P, Lab 1998, OP Cit, hal. 83 21
Ibid
32
deceased victims, as well as compensation for pain and
sufferings resulting from the injury or death.22
Kompensasi merujuk pada tanggungjawab atau
kewajiban finansial untuk merehabilitasi warga negara yang
mengalami kerugian bagaikan perusahaan asuransi
menanggung nasabahnya (customer)23
Berkaitan dengan kompensasi dinyatakan oleh
Angkasa bahwa kompensasi dalam perspektif viktimologi
berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari
perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat tersebut merugikan
korban, oleh karena itu dapat disebut kompensasi atas
kerugian fisik, moral, maupun harta benda yang diderita
korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi juga
merupakan suatu indikasi pertanggungjawaban masyarakat
atas tuntutan pembayaran kompensasi yang berkarakter
perdata. Dengan demikian tergambar suatu tujuan non
pidana dalam kasus pidana24
.
Mendasarkan atas pengertian kompensasi dalam
perspektif viktimologi tersebut dan apabila dalam rumusan
22
Anthony J. Schembri, 1976, The Victim and the Criminal Justice System dalam,
Victims and Society, emilio C. Viano (ed) Vissage Press, Inc, Washingtom DC,
hal,. 358 23
Andrew Karmen, 1984, Op Cit, hal. 176 24
Angkasa, 2004, Op cit, hal. 119
33
Pasal 4 huruf h UUPK yang menyatakan konsumen
mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi merupakan
implementasi atas rekomendasi sebagaimana yang ada
dalam berbagai instrumen internasional.
Kompensasi bagi korban sangatlah bermanfaat
karena seperti yang dikemukakan Doerner & Lab, bahwa
kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang
(moneter) dapat dirasakan sebagai obat segala penyakit
(pancea)25
.
Kompensasi yang diterima korban dapat merupakan
pemenuhan atas harapan korban berupa dukungan dari
pemerintah berupa ganti rugi finansial, pemberian informasi
serta perbaikan emosional26
.
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Institut
Studi Internasional Viktimologi (Conclusion and
Recommendations International Study Institute on
Victimology) di Bellagio, Italy tanggal 1 – 12 Juli 1975,
kompensasi sangat diperlukan bagi korban untuk
meringankan kesulitan mereka serta untuk mencapai
keadilan sosial. Kompensasi juga merupakan suatu contoh
25
William G Doener and Steven P, Lab, 1995, Op Cit,. hal. 156 26
Joanna Shapland, Jon Willmore, Petter Duff, 1985, Op Cit, hal. 185
34
nyata tentang kepedulian sosial dari negara untuk
memperbaiki kerugian dan/atau penderitaan korban.
Kompensasi diutamakan diberikan kepada korban yang
langsung menjadi korban, termasuk biaya yang diperlukan
untuk perawatan dan rumah sakit serta hilangnya
pendapatan27
.
Dikatakan oleh Shapland et.al. bahwa kompensasi
bukanlah suatu kebijakan yang dapat menghancurkan sistem
peradilan pidana. Namun sebagai langkah reorientasi
menuju suatu ideologi retributif yang masih memandang
perlu adanya suatu rasa kasih sayang dan usaha membantu
korban28
.
Konsep tersebut di atas telah diadopsi oleh Hodgson
Committee yang menyatakan sebagai berikut : “We believe
that too much attention is paid to punishment and too little
to redressing the wrong done and that nothing like enough
consideration is given to the victim in the criminal justice
process. We find much wisdom in the writings of Jeremy
Bentham. “Compensation”, he wrote, “will answer the
27
Emilio C. Viano, 1976, Victims and Society, Visage Press, inc. Washingtom DC
hal. 624 28
Joanna Shapland, John Willmore, Peter Duff, Op Cit, hal. 181
35
purpose of punishment but punishment will not answer the
purposes of compensation. By compensation there fore the
two great ends of justice are both answered at a time, by
punishment only once”.29
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas
menunjukkan bahwa melalui kompensasi, akan tercapai dua
tujuan keadilan meliputi pemidanaan dan perbaikan bagi
korban.
Selain kompensasi, dalam rumusan Pasal 4 huruf h
juga dinyatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan
ganti kerugian. Ganti kerugian disini tampaknya dapat
dipersamakan dengan restitusi dalam konsep viktimologi.
Dalam perspektif viktimologi restitusi menurut
Angkasa berkaitan dengan perbaikan atau restorasi
perbaikan atas kerugian fisik, moral maupun harta benda,
kedudukan dan hak-hak korban atas serangan pelaku tindak
pidana (penjahat). Restitusi merupakan indikasi
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Restitusi
merupakan indikasi pertanggungjawaban pelaku tindak
29
Ibid
36
pidana yang berkarakter pidana dan menggambarkan suatu
tujuan koreksional dalam kasus pidana.30
Dalam Webster’s World University Dictionary
pengertian restitusi dinyatakan sebagai berikut : Restitution
is the act of restoring to the original owner, making good a
loos, indemnification: restitution is reparation to an
original shape: said of elastic bodies. Synonim
compensation, damages, reparation, return.31
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka
tampak terdapat suatu pengertian yang merupakan hakikat
restitusi yaitu merupakan ganti kerugian dari pelaku
terhadap korbannya untuk tujuan pengembalian semula
yang dapat berupa sejumlah uang dan/atau berupa
pelayanan32
.
Masih berkaitan dengan restitusi, dikatakan pula
oleh para viktimolog antara lain Austern, Schembri dan
Doerner & Lab, Geraborsky serta Galaway sebagaimana
disitir berikut ini.
30
Angkasa, 2004, OP cit, hal. 118 31
Webster, 1985, Word University Dictionnary copyrightm 1965, By Books Inc,
Printed in The United Stated of America, Publisher Indonesia Washingtom DC,
hal. 841 32
Angkasa, Loc Cit, hal. 119-120
37
Pertama, adalah pendapat Austern yang menyatakan
sebagai berikut : Restitution can provide direct monetary
awards to victims, as the person convicted of a crime pay
the victim for the purpose of making the victim whole, or
putting the victim in the same position as before the crime.
Restitution can take many forms, both of money and
services.33
Kedua, adalah Anthony J. Schemberi yang menyatakan : ...
is a sanction permitting a payment of money or anything
done by the offender for purpose of making good the
damage to the victim. Since the purpose is to restore, as far
as possible, the financial, physical or psychological loss.34
Ketiga, pendapat Doerner & Lab, yang menyatakan sebagai
berikut : ... offender restitution involves the transfer of
service or money from the offender to the victim for
damages inflicted by the offender.35
33
David asustern, 1987, The Crime Victim;s Handbook Your Right and the role in
the Criminal Justice System, First Published in simultanioue hardcover and
paperback editions by Viking Penguin Inc, Published Simultanious in Canada, hal.
155 34
Anthony J. Schembri, 1976, The Victim and the Criminal Justice System. Dalam
Victim and Society, emilio C. Viano (ed) Vissage Pers Indonesia,. Washington DC,
hal. 358 35
William G,. Doenner, Steven P, Lab, 1998, Op Cit, hal. 74
38
Keempat, pendapat Graborsky, menyatakan sebagai berikut
:... restitution is the payment of money or provision of
service to a crime victim by offender. The principle of
restitution the offender should hear the cost of “restoring”
the victim ...36
Kelima, pendapat Burt Galaway yang secara komprehensif
menyatakan sebagai berikut : Restitution is defined to mean
a requipment, either imposed by agents of the criminal
justice system, or under taken voluntary by the wrong-doer
but with the consent of the criminal justicesystem, by which
the offender engages is acts designed to make reparation
for harm resulting from the criminal offence. The definition
has three central components: action by oofender which
may the either voluntery or coerced, knowledge and consent
of the agents the criminal offence. The definition has three
central component: action by offender which may be either
voluntery or coerced, knowledge and consent of the agents
36
Peter Grabosky, 1989, Victim dalam The Criminal Justice System Vol two,
George Zdenkovski Chris ronald and Mark Richardson (ed) Pluto Perss Australia,
hal. 151
39
of the criminal justice system and the repairing od
damages37
.
Berdasarkan atas kelima pendapat Victimolog
tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa restitusi pada
hakikatnya merupakan penggantian kerugian yang
dibayarkan oleh para pelaku terhadap korbannya atas
kerugian dan/atau penderitaan korban sebagai usaha
perbaikan yang dinyatakan dalam pemberian sejumlah
uang, barang dan/atau pelayanan38
.
Pengertian restitusi sebagaimana dinyatakan tersebut
di atas senada dengan pengertian restitusi berdasarkan
Kesimpulan dan Rekomendasi Institut Studi International
viktimologi (Conclusion and Recommendations
International Study Institute on Victimology) di Bellagio,
Italy tanggal 1 – 12, bulan Juli 1975 yang menyatakan
bahwa restitusi adalah: “...payment by the offender for or
his working to repair the damage done to the victim-
recognize the victim’s needs and reaffirms social value39
s.
37
John Harding, 1982, Victims and Offenders Needs and Responbility Bedford
Square Pres/NVCO, hal. 16 38
Angkasa, 2004, Loc Cit, hal. 121 39
Emilio C. Viano, 1976, Victims and Society, Visage Pres Inc, Washingtom DC
hal. 626
40
Demikian pula dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power yang tertuang dalam The Protection of Human
Rights in the Administration of Criminal Justice A
Compendium of United Nations Norms and Standards juga
terdapat pengertian tentang restitusi yang tercermin dalam
salah satu rumusan ketentuannya (ketentuan No. 8).
Ketentuan tersebut merumuskan sebagai berikut: Offenders
or third parties responsible for their behaviour should,
where appropriate, makefair restitution to victim, their
families or dependents. Such restitution should include the
return of property or payment for the harm or loss suffered,
reimbursement of expenses incurred as a result of the
victimization, the provision of services and the restoration
of rights.40
Selain ketentuan tersebut masih dalam dokumen The
Protection of Human Rights in the Administration of
Criminal Justice A Compendium of United Nations Norms
and Standards dalam ketentuan No. 9, 10 dan 11 juga
mengatur tentang kompensasi.
40
M. Cherif Basiouni, 1994, OpCit, hal. 279
41
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 9,
menyatakan: “Pemerintah harus mereview kembali
kebiasaan, peraturan dan hak hukumnya untuk
mempertimbangkan restitusi sebagai pilihan hukumnya
yang tersedia dalam kasus pidana, selain sanksi pidana
lainnya.”.
Kemudian dalam deklarasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Nomor 10 menyatakan: “Dalam kasus kerugian
besar terhadap lingkungan, apabila diperintahkan, restitusi
termasuk hingga perbaikan lingkungan, pembangunan
kembali infrastruktur, penggantian fasilitas umum dan
penggantian biaya relokasi, apabila kerugian yang
ditimbulkan mengakibatkan terlepasnya suatu masyarakat”.
Sama halnya dengan kompensasi, restitusi apabila
dapat berjalan dengan efektif maka akan banyak
manfaatnya bagi berbagai pihak meliputi korban,
masyarakat serta pelaku itu sendiri.
Arti pentingnya program restitusi bagi korban dan
pelaku serta masyarakat dinyatakan oleh Doerner & Lab,
sebagai berikut: In general, restitution has enjoyed a warm
reception from victims, offenders, the general public and
42
system personal (Gandy, 1978; Gandy and Gandy, 1980;
Hudsonand Galaway, 1980; Keldgord, 1978; Kigin and
Novak, 1980; Novak, et. Al, 1980).41
Restitusi bermanfaat untuk kepentingan korban dan
pelaku juga dinyatakan oleh Margery Fry. Ia yang mengacu
pada pandangan Schafer (1960) menyatakan bahwa restitusi
merupakan suatu sistem yang akan memberikan keuntungan
kepada korban dan pelaku42
.
Khusus bagi korban, berdasarkan studi Barnet dan
Mc. Donald restitusi dapat merupakan sarana untuk
menolong korban dengan alasan bahwa selama ini korban
hanya merupakan pihak yang dirugikan ketika sistem
peradilan pidana dioperasikan43
.
Kemudian manfaat restitusi bagi pelaku dinyatakan
oleh Margery Fry yang juga berpandangan bahwa walaupun
restitusi tidak dapat menghapus kesalahan pelaku, namun
akan dapat mengobati luka yang ditimbulkan dan memiliki
nilai pendidikan yang baik bagi para pelaku44
.
41
William G, Doener, Seteven P. ab, Op Cit, hal. 77 42
Sandra Walklate, 1989, Victimology, The Victim and The Criminal Justice
Process, Publisherd by the Academic Division of Unwin Hyman Ltd London, UK,
hal. 117 43
Andrew Karmen, Op Cit. hal. 186 44
John Harding, 1982, Op cit, hal. 8
43
Albert Eglash seorang psikolog Amerika
memperkenalkan istilah “Creative restitution” untuk
menjelaskan teori restitusi. Eglash menggambarkan bahwa
restitusi merupakan cara efektif untuk rehabilitasi bagi
pelaku. Pertama restitusi memberikan akses dan
kemampuan bagi pelaku untuk terlibat dalam kegiatan
bermakna yang bermanfaat menegakkan harga diri.
Selanjutnya Eglash yakin bahwa restitusi membuat perasaan
lebih baik. Restitusi merupakan latihan psikologi yang
dapat melatih ego bagi pelaku45
.
Berdasarkan hasil studi (Barnett, 1981; Hofrichter, 1980;
Hudson dan Galaway, 1980) banyak program restitusi
digunakan untuk memberikan keuntungan yang nyata bagi
pelaku46
. Dasar argumennya adalah dengan memberi
restitusi bagi korban yang membutuhkan dirasakan akan
meringankan beban kesalahan pelaku dan dapat diterima di
masyarakat di masa mendatang.
Selain bagi korban dan pelaku, bagi masyarakat atau
pemerintah, program restitusi juga memberikan banyak
manfaat. Beberapa kemampuan program restitusi
45
Ibid 46
William G. Doener, Steven Lab, Op Cit, hal. 75
44
berdasarkan kajian Rowley, Schneider, Erwin and
Schneider, Hudson and Lawrence, bermanfaat menurunkan
angka residivisme, berdasarkan studi title restitusi juga
mempunyai efek pencegahan (deterrence effect) bagi
pelaku. Mempunyai efek pencegahan karena diasumsikan
bahwa seseorang tidak akan kembali melakukan tindak
pidana apabila masa pidananya selesai dijalani.47
Berkaitan dengan hal tersebut di atas yaitu
kompensasi dan restitusi tampaknya terdapat semangat
untuk menyatakan keprihatinan secara internasional
terhadap para korban tindak pidana itu, paralel dengan
keinginan dunia internasional untuk memperbaiki nasib
konsumen di berbagai negara, terutama di negara-negara
berkembang, melalui suatu resolusi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tanggal 18 April 1985 No. 39/248 tentang
Perlindungan Konsumen (The United Nations Guidelines
for Consumer Protection).
Dua diantaranya, enam kepentingan konsumen yang
dikedepankan resolusi itu, yaitu: perlindungan konsumen
dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya
47
William G. Doener, Steven P. Kabupaten, Loc cit,
45
serta tersedianya upaya ganti yang efektif (right to redness),
tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran
viktomologi yang telah berkembang selama ini.
Dengan merujuk pada kedua deklarasi tersebut, hak
korban untuk memperoleh ganti rugi (access to prompt
redness) dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapatkan restitusi (restitution) (Butir A.
8-11).
Restitusi yang dibayarkan pelaku tindak pidana kepada
korban, keluarga yang menjadi tanggungannya
mencakup; pembayaran harta milik, pembayaran atas
kerusakan, kerugian yang diderita, penggantian biaya-
biaya yang ditimbulkan sebagai akibat jatuhnya korban
(seperti: biaya perawatan, biaya pemakaman),
penyediaan jasa (jasa penasehat hukum), dan
pemulihan hak-hak (seperti: penggantian penghasilan
yang hilang, ganti rugi karena cacat). Restitusi menjadi
kewajiban negara untuk membayarkannya kepada
korban, dalam hal terjadi penyalahgunaan secara
melawan hukum kekuasaan umum oleh pejabat-pejabat
pemerintah (public officials) atau wakil-wakilnya yang
46
lain (other agnes), misal: kesesatan peradilan (judicial
error), dan penangkapan atau penahanan yang
sewenang-wenang (arbitrary arrest or detection).
2. Hak untuk mendapatkan kompensasi (compensation)
(Butir A. 12-13).
Kompensasi merupakan imbalan keuangan dari negara
kepada:
a. Para korban yang menderita luka jasmani berat
atau kemerosotan kesehatan fisiknya atau mental
sebagai akibat kejahatan yang serius;
b. Keluarga, terutama tanggungan dari orang-orang
yang meninggal atau yang menjadi lumpuh secara
fisik atau mental sebagai akibat kejahatan tersebut;
yang berasal dari dana-dana nasional, jika ganti
rugi tidak sepenuhnya tersedia dari pelaku tindak
pidana atau sumber-sumber lain.
Pasal 7 UUPK
Kewajiban Pelaku Usaha adalah :
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan / atau jasa
47
serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan
dan pemeliharaan;
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d) Menjamin mutu barang dan / atau jasa yang
diproduksi dan / atau diperdagagkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan / atau jasa yang
berlaku;
e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/ atau mencoba barang dan / atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan / atau garansi
atas barang yang dibuat dan / atau diperdagangkan;
f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan / atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan / atau jasa
yang diperdagangkan;
g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau
penggantian apabila barang dan / atau jasa yang
diterima atau yang dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
48
Pasal 7 UUPK yang mengatur kewajiban pelaku
usaha dimaksud, tampak adanya perlindungan hukum bagi
konsumen untuk tidak menjadi korban. Bentuk
perlindungannya diimplementasikan dalam aturan bahwa
pelaku usaha harus beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar;
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/
atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
menjami mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta menjamin dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/ atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau diperdagangkan.
Sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan
tersebut antara lain wajib memberi kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan
pemakaian dan pamanfaatan barang dan/atau jasa yang
49
diperdagangkan [Pasal 7 huruf (h)]. Selain itu pelaku usaha
juga wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/
atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
[Pasal 7 huruf (g)].
Pasal 8 UUPK :
1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan / atau
memperdagangkan barang dan / atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan, atau kemajuan sebagaimana
50
dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan
barang dan / atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan / atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau
promosi penjualan barang dan / atau jasa
tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa
atas jangka waktu penggunaan / pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan produksi secara
halal sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat / isi bersih atau netto, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
51
nama dan alamat pelaku usaha, serta
keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang / dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan / atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud
3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas
dan tercemar dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar
4) Pelaku usaha yang melakukan pada ayat (1) dan
ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan /
atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Dalam perumusan Pasal 8 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
52
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh produsen dalam menjalankan usaha produksi barang
dan atau jasa. Beberapa larangan diatur di dalamnya adalah
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau
netto, dan dalam jumlah hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam tabel atau tiket barang tersebut; tidak
sesuai dengan ukuran, takaran timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; tidak sesuai
dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran,
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan
barang dan/ atau jasa tersebut; tidak sesuai dengan mutu,
tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dalam label atau
keterangan barang dan/ atau jasa tersebut; tidak sesuai
dengan janji dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/ atau jasa tersebut; tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu; tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
53
“halal” yang dicantumkan dalam label; tidak memasang
label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan
alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/
dibuat.
Larangan lainnya pelaku usaha dilarang
memperdangangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang yang dimaksud. Pelaku usaha juga
dilarang memperdangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas tersemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang yang dimaksud.
Pada intinya menurut Nurmadjito substansi pasal
ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi barang
dan/atau jasa yang dimaksud yaitu untuk mengupayakan
agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat
merupakan produksi yang layak edar. Antara lain asal usul
54
kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui
label, etiket, iklan dan lain sebagainya48
.
Atas pelanggaran aturan tersebut maka sanksinya
dirumuskan dala ayat (4) dilarang memperdangkan barang
dan/atau jasa serta wajib menariknya diperadaran.
Pasal 9 UUPK
1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan / atau jasa secara
tidak benar dan / atau seolah-olah;
a. Barang tersebut telah memenuhi dan / atau
memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna
tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan / atau
baru;
c. Barang dan / atau jasa tersebut telah
mendapatkan dan / atau memiliki sponsor,
48
Nurmadjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri
Imaniyati, Penyunting Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung,
hal. 18
55
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu;
d. Barang dan / atau jasa tersebut dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan / atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat
tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari
barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung
merendahkan barang dan / atau jasa lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan,
seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji
yang belum pasti
2) Barang dan / atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
56
3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi,
dan pengiklanan barang dan/ atau jasa tersebut.
Dalam perumusan Pasal 9 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Apabila diketahui bahwa itu
melanggar maka barang dan/jasa sebagaimana dimaksud
dilarang untuk diperdagangkan. Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran tersebut maka dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/ atau jasa
tersebut.
Beberapa larangan diatur di dalamnya adalah
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau
seolah-olah barang tersebut telah memenuhi dan atau
memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu
tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan
baik dan/ atau baru; Barang dan/ atau jasa tersebut telah
57
mendapat dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja,
atau aksesori tertentu; Barang dan/jasa tersebut dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau
afiliasi; Barang dan/atau jasa tersebut tersedia; Barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; Barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
Barang tersebut berasal dari daerah tertentu; Secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/jasa
lain; Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman,
tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek
samping tanpa keterangan lengkap; Menawarkan suatu yang
mengandung janji yang belum pasti.
Larangan terhadap pelaku usaha tersebut di atas
membawa akibat bahwa pelanggaran atas larangan tersebut
dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum. Tujuan
dari peraturan ini menurut Nurmadjito adalah untuk
mengupayakan terciptanya tetib perdangangan dalam
rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. Ketertiban
tersebut sebagai bentuk perlindungan konsumen, karena
larangan itu untuk memastikan bahwa produk yang dijual
58
belikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara tidak
melanggar hukum. Seperti praktik menyesatkan pada saat
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan,
memperdagangkan atau mengedarkan produk barang dan /
atau jasa yang palsu, atau hasil dari suatu kegiatan
pembajakan49
.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai :
a. Harga barang atau tarif suatu barang dan / atau
jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan / atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi
atas suatu barang dan / atau jasa;
d. Bahaya penggunaan barang dan / atau jasa.
49
Ibid
59
Dalam perumusan Pasal 10 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai : Harga atau tarif barang dan/ atau jasa; Kegunaan
suatu barang dan/ atau jasa: Kondisi, tanggungan, jaminan,
hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/ atau jasa;
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/ atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui
cara obral atau lelang, dilarang mengelabui / menyesatkan
konsumen dengan :
a. menyatakan barang dan / atau jasa tersebut seolah-
olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan / atau jasa tersebut seoalah-
olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
60
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan
melainkan dengan maksud untuk menjual barang
lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan
/ atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual
barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau
dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa
yang lain;
f. menaikan harga atau tarif barang dan/ atau jasa
sebelum melakukan obral
Dalam perumusan Pasal 11 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam hal penjualan
yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: menyatakan
barang dan/ atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu; menyatakan barang dan/atau jasa
tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
61
tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan
melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/ atau
jumlah yang cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam
jumlah yang cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
menaikkan harga atau tarif barang dan/ atau jasa sebelum
melakukan obral.
Nurmadjito mengatakan bahwa berbagai macam
cara penjualan tersebut diatas ada kalanya terjadi akses
seperti penjualan obral dilakukan pada saat barangnya
berada dalam posisi over stock atau mode produk tersebut
sudah tidak mutakhir, yang lebih banyak dikenal dengan
istilah cuci gudang (Garage Sale).50
Pasal 12 :
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan / atau jasa dengan harga
atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika
pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk
50
Ibid, hal. 19
62
melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang
ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan
Dalam perumusan Pasal 12 UUPK juga memuat
perlindungan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus
waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak
bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu
dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan.
Pasal 13 :
1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan
atau mengiklankan suatu barang dan / atau jasa
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan / atau jasa secara cuma-cuma dengan
maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya
2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan
atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan / atau jasa
63
Dalam perumusan Pasal 13 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/ atau jasa. Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud
tidak memberikannya atau tidak memberikan sebagaimana
yang dijanjikannya. Pelaku usaha juga dilarang
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat-obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa
pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan/ atau jasa.
Pasal 14 :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa
yang ditujukan utnuk diperdagangkan dengan memberikan
hadiah melalui undian, dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
64
c. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai
hadiah yang dijanjikan
Dalam perumusan Pasal 14 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang
untuk: tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu yang dijanjikan; mengumumkan hasilnya tidak
melalui media massa; memberikan hadiah tidak sesuai
dengan yang dijanjikan; menganti hadiah yang tidak setara
dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa
dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain
yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen
Dalam perumusan Pasal 15 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
65
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa
melalui pesanan dilarang untuk :
a. Tidak menepati pesanan dan / atau kesepakatan
waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan / atau
prestasi
Dalam perumusan Pasal 16 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak
menepati barang dan/ atau kesepakatan waktu penyelesaian
66
sesuai yang dijanjikan; tidak menepati janji atas suatu
pelayanan dan/ atau prestasi.
Pasal 17
1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan
yang :
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas,
kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan / atau tarif jasa, serta ketepatan waktu
penerimaan barang dan / atau jasa;
b. Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang
dan / atau jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak
tepat mengenai barang dan / atau jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko
pemakaian barang dan / atau jasa;
e. Mengekspoitasi kejadian dan / atau seseorang
tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan
yang bersangkutan;
f. Melanggar etika dan / atau ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai periklanan.
67
2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan
peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan
pada ayat (1)
Dalam perumusan Pasal 17 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha periklanan dilarang
memproduksi iklan yang : mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/
atau jasa, serta ketepatan waktu penarikan barang dan/ atau
jasa; mengelabui jaminan/ garansi terhadap barang dan/ atau
jasa; memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat
mengenai barang dan/ atau jasa; tidak memuat informasi
mengenai risiko pemakaian barang dan/ atau jasa;
mengekploitasi kejadian dan/ atau seseorang tanpa seizin
yang berwenang atau bertujuan yang bersangkutan;
melanggar etika dan/ atau ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai periklanan.
Dalam praktek iklan dapat merugikan konsumen,
namun bagi banyak produsen di Indonesia, iklan seolah-
68
olah dianggap sebagai alat promosi yang tidak memiliki
akibat hukum51
.
Iklan yang dapat merugikan konsumen dapat berupa
bait advertising, blind advertising dan false advertising.
Bait advertising, adalah suatu iklan yang menarik,
tetapi penawaran yang disampaikan tidak jujur untuk
menjual produk karena pengiklan tidak bermaksud menjual
barang yang diiklankan. Tujuan agar konsumen mengganti
membeli barang yang diiklankan dengan barang jualan
lainnya yang biasanya lebih mahal atau lebih
menguntungkan pengiklan52
.
Blind advesiting, adalah suatu iklan yang cenderung
membujuk konsumen untuk berhubungan dengan
pengiklanan namun tidak menyatakan tujuan utama iklan
tersebut untuk menjual barang atau jasa, dan tidak
menyatakan identitas pengiklan.
False adversiting, adalah jika representasi tentang
fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk
membujuk pembeli barang yang diiklankan, dan bujukan
51
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004, Op cit, hal. 125 52
Stanley Morganster, 1978. Legal Protection for the Consumer, Second Edition,
Oceana Publications, Inc, Dobbc Ferry New York, hal. 22
69
pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas
dasar tindakan kecurangan atau penipuan.53
Pasal 18
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan / atau perjanjian apabila;
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala
53
Milton Handler, 1972, Business Tort, Case dan Materials, Foundation Pres New
York, hal. 475
70
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harga kekayaan konsumen yang menjadi objek
jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit dilihat atau tidak
71
dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti
3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.
Dalam perumusan Pasal 18 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdangangkan
dilarang membuat atu mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan
pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen; menyatakan bahwa pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh
72
konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa dan mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/ atau perubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh palaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa
tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pasal 19
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan / atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan / atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;
73
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pengambilan uang atau penggantian
barang dan / atau jasa yang sejenis setara lainnya,
atau perawatan kesehatan dan / atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku;
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan;
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahan konsumen.
Dalam perumusan Pasal 19 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
mendapatkan ganti kerugian apabila pelaku usaha
menghasilkan produk yang rusak, mencemari atau
74
menimbulkan kerugian akibat mengkonsumsi produk
tersebut. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa
pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud
dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang
dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilaianya, atau
perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dala tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Walaupun ganti
kerugian sudah dilakukan oleh pihak pelaku usaha namun
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya
unsur kesalahan.
Dalam perspektif viktimologi konsep ganti rugi
kerugian ini tampaknya dapat dipersamakan dengan
restitusi. Dalam perspektif viktimotologi restitusi berkaitan
dengan perbaikan atau restorasi perbaikan atas kerugian
fisik, moral ataupun harta benda, kedudukan dan hak-hak
75
korban pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Restitusi
merupakan suatu tindakan restitutif terhadap pelaku tindak
pidana yang berkarakter pidana dan menggambarkan suatu
tujuan koreksional dalam kasus pidana54
.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan
yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh
iklan tersebut
Dalam perumusan Pasal 20 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Dalam ketentuan Pasal 20 dirumuskan
bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas
iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan
oleh iklan tersebut :
Pasal 21
1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat
barang yang diimpor apabila importasi barang
54
Angkasa, 2004, Loc Cit, hal. 118
76
tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
produsen luar negeri
2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia
jasa asing apabila penyediaan jasa barang tersebut
tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan jasa asing
Dalam perumusan Pasal 21 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
pelaku usaha dalam menjalankan usaha produsi barang dan/
atau jasa. Dalam perumusan pasal 21 dinyatakan bahwa
importir apabila importasi barang bertanggung jawab
sebagai pembuat barang yang impor apabila importasi
barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
produsenluar negeri; impor jasa bertanggung jawab sebagai
penyedia jasa asing apabila penyedia jasa asing tersebut
tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa
asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan
77
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan
bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Dalam perumusan Pasal 22 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) yang
dapat diartikan sebagai upaya perlindungan dalam rangka
untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas
penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban
tindak pidana dengan memberikan peluang yang besar
dalam hal beban pembuktian. Pasal 22 mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
kasus pidana sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (4),
Pasal 20, Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan / atau memberi tanggapan
dan / atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntunan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan
78
ke badan peradilan setempat di tempat kedudukan
konsumen.
Dalam rumusan Pasal 23 UUPK juga tampak adanya
usaha perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen)
untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap pelaku usaha
yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen yaitu dapat digugat melalui badan
penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.
Pasal 24 :
1) Pelaku usaha yang menjual barang dan / atau jasa
kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan / atau gugatan konsumen
apabila;
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen
tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan / atau jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli
tidak mengetahui adanya perubahan barang
dan / atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
79
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu,
dan komposisi.
2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan / atau gugatan konsumen apabila pelaku
usaha lain yang membeli barang dan/ atau jasa
menjual kembali kepada konsumen dengan
melakukan perubahan atas barang dan / atau jasa
tersebut.
Dalam rumusan Pasal 24 UUPK tampaknya juga
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
(konsumen) untuk mendapatkan ganti rugi terhadap pelaku
usaha yang menimbulkan kerugian melalui gugatan ganti
rugi. Dalam ketentuan tersebut antara lain mengatur bahwa
pelaku usaha yang menjual barang dan/ atau jasa kepada
pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/ atau gugatan konsumen apabila : pelaku usaha lain
menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apapun atas barang dan/ atau jasa tersebut; pelaku usaha
lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
80
perubahan barang dan/ atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu dan komposisi.
Pasal 25 :
1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang
pemanfaatannya berkelanjutan dalam batasa waktu
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan / atau fasilitas purna
jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai
dengan yang diperjanjikan.
2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan /
atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha
tersebut:
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan
atau garansi yang diperjanjikan.
Dalam rumusan Pasal 25 UUPK tampaknya juga
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
(konsumen) untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap
pelaku usaha dengan mengatur pelaku usaha yang
81
memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan/ atau fasilitas penjualan dan
wajib memenuhi jaminan garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib
memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati
dan/atau yang diperjanjikan
Dalam rumusan pasal 26 UUPK juga memuat
perlindungan hukum bagi masyarakat (konsumen) untuk
tidak menjadi korban kejahatan korporasi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha produksi
barang dan/atau jasa. Pengaturannya bagi pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/ atau
garansi yang disepakati dan/ atau yang diperjanjikan.
Selain ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal
tersebut di atas, UUPK tampaknya juga menunjuk suatu
lembaga yang berfungsi untuk lebih memperkuat dalam
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
(konsumen) untuk tidak menjadi korban kejahatan
82
korporasi. Lembaga dalam hal ini yang dimaksud adalah
Kementrian yang dilaksanakan oleh menteri dan/atau
menteri teknis terkait. Pembinaan ini antara lain diupayakan
agar tercipta iklim usaha dan timbulnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dengan konsumen;
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat; meningkatnya kualitas sumber daya manusia
serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan
dibidang perlindungan konsumen. Selain itu dalam
pengaturan selanjutnya tampak bahwa pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangannya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Hal ini sebagaimana tampak dalam ketentuan Pasal 29 dan
Pasal 30 UUPK Bab VII tentang pembinaan dan
Pengawasan yang rumusan selengkapnya adalah sebagai
berikut :
Pasal 29
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
83
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku
usaha serta dilaksanakan kewajiban konsumen dan
pelaku usaha;
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud ayat
(1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis
terkait;
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen;
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya
untuk :
a. Terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan
yang sehat antara pelaku usaha dengan
konsumen;
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat;
c. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia
serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan dibidang perlindungan konsumen.
84
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan
penyelenggaraan perlindungan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penetapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat;
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/ atau
menteri teknis terkait;
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat
dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang
berdasar dipasar;
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri
85
teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(5) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan dalam
pasal-pasal tersebut di atas, dalam perumusan pasal
selanjutnya UUPK tempaknya juga menunjukkan suatu
lembaga yang bernama Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dalam rangka mengembangkan upaya
perlindungan konsumen. Badan Perlindungan Konsumen
Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan
perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi
memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah
dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia. Untuk melanjutkan fungsi sebagaimana
dimaksud maka Badan Perlindungan Konsumen Nasional
mempunyai tugas : Memberikan saran dan rekomendasi
kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan
dibidang perlindungan konsumen; Melakukan penelitian
86
dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku dibidang perlindungan konsumen;
Melaksanakan penelitian terhadap barang dan/atau jasa
yang menyangkut keselamatan konsumen; Mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat; Menyebarluaskan informasi melalui media
mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan
sikap keberpihakan kepada konsumen; Menerima
pengaduan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha; Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan
konsumen. Dalam melaksnakan tugas, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat berkerjasama dengan konsumen
internasional.
Pengaturan tersebut di atas secara lengkap dirumuskan
dalam Bab VIII tentang Badan Perlindungan Konsumen
Nasional sebagai berikut :
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
87
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di
Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan Bertanggung
jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai
fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan
konsumen di Indonesia.
Pasal 34
(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen
Nasional mempunyai tugas :
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada
pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan dibidang perlindungan konsumen;
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap
barang dan/ atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
c. Mendorong berkembangnya lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
88
d. Menyebarluaskan informasi melalui media
mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keprihatinan kepada
konsumen;
e. Menerima pengaduan tentang perlindungan
konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
atau pelaku usaha;
f. Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan
konsumen.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi
konsumen interasional.
Dalam pasal yang lain juga diatur tentang perlindungan
hukum bagi konsumen sebagai korban dengan memberi
kesempatan mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
89
di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana
diatur dalam undang-undang. Apabila telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau para pihak yang bersengketa.
Dalam pasal berikutnya juga mengatur tentang pihak-pihak
yang dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha
yang meliputi atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh : seseorang konsumen yang dirugikan atau
ahli waris yang bersangkutan; sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan bersama; lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya; Pemerintah dan/atau
instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
90
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Perlindungan hukum tersebut tampak pada ketentuan pasal-
pasal berikut yang rumusannya secara lengkap sebagai
berikut :
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum;
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui peradilan atau di luar peradilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa;
(3) Penyelesaian sengketa di luar peradilan sebagaimana
dimaksud ayat (2) tidak menghilangkan tanggung
jawab pidana sebagaimana diatur undang-undang;
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
91
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh :
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris
yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan bersama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen
dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila
barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit;
92
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
atau pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf
b, huruf c, dan huruf d diajukan kepada peradilan
umum;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang
besar dan/ atau korban yang tidak sedikit sebagaimana
dimaksud ayat (1) huruf d diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pada pasal selanjutnya juga tampak sebagai perlindungan
hukum berupa penyelesaian sengketa di luar pengadilan
adanya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tidak terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Pasal yang
dimaksud adalah Pasal 47 yang secara lengkap
perumusannya adalah sebagai berikut :
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tidak terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
93
Dalam pasal selanjutnya UUPK memberikan
perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam arti
perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak
pidana (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia atau
kepentingan hukum seseorang) dengan perumusan sanksi.
Dasar pemikirannya penetapan ancaman sanksi pada suatu
peraturan perundang-undangan dapat berfungsi pula sebagai
general prevention. Di sisi lain ketika sangsi yang sudah
dirumuskan efektif berlaku maka dapat dikatakan pula
sebagai perlindungan hukum untuk memperoleh jaminan/
santunan hukum atas penderitaan/ kerugian orang yang
telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan
“penyantunan korban”). Perumusan sanksi ini tampak pada
perumusan Pasal 60 hingga Pasal 63. Pasal yang dimaksud
merumuskan sebagai berikut :
Pasal 60
(1) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku
usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 20, Pasal 25, Pasal 26;
94
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi
paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah);
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/ atau pengurusnya.
Pasal 62
(1) Pelaku usaha melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13
ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah);
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, ayat (1),
Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf
f dipidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana
95
denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah);
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatan luka berat,
sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud Pasal 62,
dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa :
(1) Perampasan barang tertentu;
(2) Pengumuman keputusan hakim;
(3) Pembayaran ganti rugi;
(4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
(5) Kewajiban penarikan barang dan perdaran; atau
(6) Pencabutan izin usaha.
Perumusan Pasal 61 tersebut di atas menunjukkan
bahwa terdapat suatu bentuk pertanggungjawaban pidana
yang tidak saja dapat dikenakan terhadap pengurus, akan
tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini menurut Nurmadjito
96
merupakan upaya yang bertujuan menciptakan sistem bagi
perlindungan konsumen. 55
Kemudian dalam Pasal 62, telah memberlakukan
dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana
sebagaimana diatur dalam KUHP, sementara di luar dari
tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan hukum
pidana sebagaimana diatur dalam UUPK.
Berdasarkan paparan tersebut di atas maka dapat
dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen secara normatif telah
memberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum
disini dapat diliht dari 2 (dua) makna. Pertama dapat
diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi
korban tindak pidana” (berarti perlindungan Hak Asasi
Manusia atau kepentingan hukum seseorang). Ketentuan
yang demikian diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
55
Nurmadjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dkk (penyunting)
Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal. 30
97
18, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 26. Kedua, dapat diartikan
sebagai “Perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan
hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi
korban tindak pidana” (jadi identik dengan “penyantunan
korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan
nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin
(antara lain dengan pemanfaatan) pemberian ganti rugi
(restiusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan
sosial) dan sebagainya. Ketentuan demikian diatur dalam
Pasal 19, Pasal 22 sampai dengan Pasal 25, Pasal 29 sampai
dengan Pasal 34, Pasal 45 sampai dengan Pasal 47, Pasal 60
sampai dengan Pasal 63.
Hak korban akan ganti rugi menurut Barda Nawawi
Arief pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak
asasi dibidang kesejahteraan/jaminan sosial (social
security), seperti terlihat misalnya dalam Artikel 25
Universal Declaration of Human Rights (UDHR). 56
Ketentuan sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam UUPK tersebut menunjukkan adanya keselarasan
dengan dokumen-dokumen international maupun
56
Barda Nawawi Arief, Op cit, hal. 56
98
kecenderungan international serta rekomendasi dari para
viktimolog maupun pakar hukum pidana.
Dalam Magna Charta for Victim merumuskan hak-
hak korban yang mempunyai prinsip-prinsip umum sebagai
berikut :
(1) Hak-hak korban didasarkan pada hak untuk hidup,
kemerdekaan, keamanan pribadi dan kesejahteraan;
(2) Tugas negara berkisar dari kewajiban hukum, tanggung
jawab bersama dan kesetiakawanan sosial;
(3) Korban berhak mendapat ganti rugi dari pelaku;
(4) Korban berhak mendapat ganti rugi dari negara;
(5) Korban berhak atas bantuan dalam penyembuhannya;
(6) Korban berhak atas perlakuan adil dihadapan hukum;
(7) Korban berhak atas keadilan;
(8) Korban dan keluarganya berhak mengetahui fakta-fakta
disekitar keadaan;
(9) Korban berhak atas pengakun dan bantuan dari
masyarakat nasional dan internasional;
(10) Korban berhak atas perlindungan dan tindakan
pencegahan;
99
(11) Korban tidak boleh ditolak pelayanan sosial dasar dan
akses ke bantuan pengadilan dan pemerintah hanya
karena tidak mempunyai rumah;
(12) Hak-hak korban dan tugas negara tidak tentu
tergantung dari penyelidikan pertanggung jawaban
pidana atau kesalahan pelaku, atau dari pengenalan atau
penahanan tersangka;
(13) Hak-hak ini berlaku bagi keluarga dekat korban, dan
orang-orang yang sangat dekat dengan korban karena
menderita akibat viktimisasi
(14) Hak-hak ini berlaku bagi orang-orang yang dirugikan
dalam campur tangan membantu korban dalam
kesukaran atau yang berusaha mencegah terjadinya
korban akibat tindak pidana, dan yang membantu dalam
penegakan hukum
(15) Penderitaan korban memerlukan tindakan atau
pertolongan dan kerja sama internasional 57
.
Selain itu dalam instrument internasional lainnya
juga merumuskan tentang hak-hak korban sebagaimana
yang tertuang dalam The Protection of Human Rights in the
57
Stephen Schalfer, 1968, Op Cit, hal. 253
100
Administration of Criminal Justistice A Compendium of
United Nations Norns and Standards58
.
Selanjutnya hak-hak korban juga tertuang dalam
“Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of
Crime and Abus of Power” tersebar pada beberapa
ketentuan yang mengatur tentang kesempatan mendapat
keadilan dan perlakuan yang adil (Access to justice and fair
treatment)” memperoleh restitusi (Restitution); mendapat
kompensasi (Compensation); aturan umum (General
Clause); memperoleh asistensi (Assistence).
Hak-hak korban juga dinyatakan oleh Bambang
Poernomo yang menyatakan bahwa korban mempunyai
hak-hak antara lain :
(1) Mendapatkan kompensasi atau penderitaannya, sesuai
kemampuan pembuat korban memberi kompensasi dan
taraf keterlibatan korban dalam terjadinya tindak
pidana;
(2) Menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat
korban (karena korban tidak memerlukannya);
58
M. Cherif Bassiouni, Inc, irving on 1994, The Protection of Human rights in the
Administration of Criminal Justice A Compedium of United States Norms and
Standards, Transnational Publisher Hudson, New York, hal. 277-333
101
(3) Mendapat kompensasi untuk ahli warisnya (bila korban
meninggal dunia akibat tindak pidana tersebut);
(4) Mendapat pembinaan dan rehabilitasi;
(5) Mendapat kembali hak miliknya;
(6) Menolak menjadi saksi bila akan membahayakan
dirinya;
(7) Mendapat perlindungan dari ancaman pihak pembuat
korban bila melapor dan menjadi saksi;
(8) Mendapat bantuan penasihat hukum;
(9) Menggunakan upaya hukum (rechtsmiddenlen)59
Di Inggris sendiri pada tahun 1990 telah
dideklarasikan The Victims Charter. yang juga telah
diperbaharui pada bulan Juni 1996. Ketentuan-ketentuan
program tersebut antara lain mengemukakan sebagai berikut
:
(1) Korban harus diberitahukan : a) rincian petugas yang
menangani tindak pidana atau kejahatan; b) rincian
kerugian yang dialami korban; c) rincian perkembangan
kasus (the progres of a case) tanggal-tanggal
59
Bambang Poernomo, tanpa tahun, Hukum dan Victimologi (The Legal Victims)
Program Pascasarjana BKU Hukum Pidana- Hukum Bisnis Universitas Padjajaran
Bandung, 24
102
persidangan (trial dates) peradilan (bail), dan putusan
pemindanaan (sentencing decisions).
(2) Pengadilan harus mempertimbangkan
perintah/hukuman untuk membayar ganti rugi kepada
korban, jika pengadilan menjatuhkan pidana kepada
terdakwa.