BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

22
33 FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN BAB III

Transcript of BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

Page 1: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

33

FORMULASI,IMPLEMENTASI, DAN

EVALUASI KEBIJAKAN

BAB III

Page 2: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

34

Page 3: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

35

FORMULASI, IMPLEMENTASI,DAN EVALUASI KEBIJAKAN

Bab III

3.1 FORMULASI KEBIJAKAN

Formulasi kebjakan publik ialah langkah paling awal dalam proseskebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karenanya apa yang terjadipada fase ini akan sangat menentukan keberhasilan kebijakan publik yangdibuat pada masa yang akan datang. Formulasi menurut Anderson dalamWinarno (2007:93) merupakan upaya menjawab pertanyaan bagaimanaberbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkandan siapa yang berpartisipasi. Formulasi kebijakan sebagai bagian dalamproses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena im-plementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila ta-hap formulasi kebijakan telah selesai. Disamping itu kegagalan suatukebijakan/program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besarbersumber pada ketidaksempurnaan pengelolaan tahap formulasi (Wibawa,1994:2).

Tjokroamidjojo dalam Islamy (1991:24) mengatakan bahwa policyformulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaiantindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus me-nerus dan tidak pernah selesai. Dalam hal ini didalamnya termasukpembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakannegara (publik). Udoji dalam Wahab (2001:17) merumuskan bahwa

Page 4: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

36

pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole process of articulatingand defining problems, formulating possible solution into politicaldemands, channeling those demands into the political system, seekingsanctions or legtimation of the preffered course of actions, legtimationand implementation, monitoring and review (feedback)”.

Tahapan tersebut mencerminkan aktivitas yang berlangsung terjadisepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya,dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama(penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.

1. Tahap-tahap formulasi kebijakan

Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989:53)dapat dipandang dalam 2 macam kegiatan. Pertama, memutuskan secaraumum apa yang ada dan harus dilakukan/perumusan diarahkan untukmemperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih,suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses keseluruhannya.Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan men-cakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk me-nyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih.Sejalan dengan pendapat Winarno, kemudian Islamy (1991:77) membagiproses formulasi kebijakan kedalam tahap perumusan masalah kebijakan,penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahankebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.

1) Perumusan masalah kebijakan

Pada prinsipnya suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapatmenimbulkan satu/beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalahpublik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektif saja tetapi juga sub-yektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandangsebagai suatu masalah yang patut dipecahkan/dicarikan jalan keluarnya.Oleh karenanya, suatu probem untuk bisa berubah menjadi problem umumtidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu masalahyang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political willuntuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi. Problem tersebutditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia mem-

Page 5: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

37

perjuangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan, memasuk-kannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi ke-bijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiappembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan di-pecahkan kemudia membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadapproblem tersebut.

Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalahkebijakan dengan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifatdari masalah tersebut, sehingga akan mempermudah dalam menentukansifat proses perumusan kebijakan.

2) Penyusunan agenda pemerintah

Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyakjumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukanproblem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk di-perhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintahini mempunyai sifat yang khas, lebih konkrit dan terbatas jumlahnya.Anderson (1966: 57-59) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkanproblem umum yang bisa masuk dalam agenda pemerintah, yakni:

1. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok,dimana kelompok tersebut mengadakan reaksi dan menuntut tin-dakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ke-tidakseimbangan tersebut.

2. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang pentingdalam penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpinpolitik didorong atas pertimbangkan keuntungan politik atau ke-teribatannya untuk memperhatikan kepentingan umum, sehinggamereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskandan mengusulkan usaha pemecahannya.

3. Timbulnya krisis/peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan per-hatian besar pada masyarakat, sehingga memaksa para pembuatkeputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peris-tiwa/krisis tersebut dengan memasukkan dalam agenda pemerintah.

4. Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan,sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan untuk me-masukannya dalam agenda pemerintah

Page 6: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

38

5. Masalah-masalah khusus/isu-isu politik yang timbul dalam mas-yarakat, sehingga menarik perhatian media massa dan men-jadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah/isu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatianmasyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah/isutersebut.3) Perumusan usulan kebijakan

Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan se-rangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi:

a. Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahanmasalah. Terhadap problem yang hampir sama/mirip, dapat sajadipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapiterhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakandituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasikanalternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelaskarakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelaspada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses pe-rumusan alternatif.

b. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakanitu jelas pengertiannya sebab semakin mudah pembuat kebijakanmenilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif darimasing-masing alternatif tersebut.

c. Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiapalternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilaibobot kebaikan dan kekuranagnnya masing-masing, sehingga denganmengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif makapara pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif mana yanglebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapatmelakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, makadibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan.

d. Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alterntif yangmemuaskan/yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulahdapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam me-lakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yangtelah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebija-kan yang tekah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan mem-

Page 7: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

39

berikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskanselalu bersifat obyektif dan subyektif dalam artian bahwa pembuatkebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan ke-mampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertim-bangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperolehpengaruh sebagai konsekuensi dari pilihannya.4) Pengesahan Kebijakan

Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakanproses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principlesor accepted standars). Landasan utama untuk melakukan pengesahanadalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologinegara, sistem politik dan sebagainya.

Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan ke-giatan persuasion dan bargaining (Andersson, 1966:80). Persuasiondiartikan sebagai “usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang se-suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang sehingga mereka maumenerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan bargaining diterjemah-kan sebagai “suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyaikekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya se-bagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskanserangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidakterlalu ideal bagi mereka. Yang termasuk ke dalam kategori bargainingadalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take andgive) dan kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining,kedua-duanya saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atauproses tersebut akan dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.

2. Hal-Hal yang mempengaruhi proses formulasi kebijakan

Menurut Nigro and Negro (Islam, 1991:25), faktor-faktor yang ber-pengaruh terhadap proses fomulasi kebijakan adalah:

a) Adanya pengaruh tekanan dari luar

Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “ratio-nale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputu-

Page 8: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

40

san harus mempertimbangkan alternatif yang akan dipilih berdasarkanpenilaian yang rasional, namun proses dan formulasi tidak bisa dipisah-kan sehingga menimbulkan tekanan dari luar dan ikut berpengaruh ter-hadap proses formulasi kebijakan.

b) Adanya pengaruh kebiasaan lama

Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sum-berdaya waktu terhadap suatu program kegiatan tertentu cenderung akanselalu diikuti, meskipun keputusan tersebut telah dikritik sebagai suatuyang salah sehingga perlu dirubah. Apalagi jika suatu kebijakan dipandangmemuaskan.

c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

Berbagai macam kepumsan yang dibuat oleh pembuat keputusanbanyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya seperti dalam proses pe-nerimaan atau pengangkatan pegawai baru. Seringkali faktor sifat-sifatpribadi pembuat keputusan berperan besar.

d) Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat ber-pengaruh. bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan denganmempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya beradadiluar proses formulasi kebijakan.

e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu ber-pengaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yangbekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai de-ngan keadaan di lapangan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiranbahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akandisalahgunakan.

3.2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Menurut Grindle dalam Solichin (2005:45), implementasi kebijakansesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanismepenjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin

Page 9: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

41

lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkutmasalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa darikebijakan. Oleh karena im tidak terlalu salah jika dikatakan implementasikebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proseskebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnyabila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan adalahsuatu proses yang tidak sederhana.

Solichin (2005:45) mengatakan, implementasi kebijakan perlu di-lakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kom-petensi dan berwawasan pemberdayaan Untuk mengimplementasikansuatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerjamaupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktifdalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah prosesinleraksi antara suatu tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya.Penerapan merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan-hubunganlebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungan tindakandengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yangmudah terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk mem-buat kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk me-laksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orangtermasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya adalah kesulitandalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang dapat menyebabkankonflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Menurut Nugroho (2012:674), jika kita sudah mempunyai konsepyang baik, 60 % keberhasilan sudah ada ditangan. Namun, yang 60 %itupun akan hangus jika 40 % implementasinya tidak konsisten dengankonsep. Malangnya lagi ada banyak peneliti yang menemukan bahwadari konsep-konsep perencanaan rata-rata konsisten implementasi antara10-20% saja. Dari sin kita melihat implementasi kebijakan itu memangkrusial.

Definisi dan konsep implomentasi kebijakan publik ini sangat ber-variasi Menurul Van Meter dan Van Horn yang dalam Fadillah (2001:81) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan danpengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan.

Page 10: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

42

Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai :“Policy implementation encompasses those actions by public or privateindividuals (or group) that am dimcted all the achievement of objectives setforth in priorpolicy decisions” (pernyataan ini memberikan maknabahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakanyang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompokpemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya mjuan dansasaran, yang menkadi prioritas dalam keputusan kebijakan).

Pada prinsipnya Matriks Matland memiliki “lima tepat” yang perludipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :

1 . Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat

Ketepalan kebijakan dinilai dari :

a. Sejauhmana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang me-mang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanya-annya adalah how excellent is the policy?

b. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dcngankarakter masalah yang hendak dipecahkan.

c. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewena-ngan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.2. Tepat pelaksana

Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerima. Ada tigalembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antarpemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang di-swastakan.

3. Tepat target

a. Apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan,apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang lain/atautidak bertentangan dengan intervensi kebijakan yang lain.

b. Apakah targetnya dalam kondisi siap diintervensi atau tidak. Ke-siapan tidak hanya dalam arti secara alami namun juga apakahkondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak.

c. Apakah intansi implementasi kcbijakan bersifat baru atau memper-barui implemenlasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebi-jakan yang tampaknya baru, namun pada prinsipnya mengulang

Page 11: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

43

kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengankebijakan sebelumnya.4. Tepat lingkungan

Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yakni:a. Lingkungan kebijakan

Interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan lembaga terkait.Calista menyebutnya, sebagai variabel endogen, yaitu authoritati arra-ngement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan,network composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring dariberbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupunmasyarakat, implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yangberkenaan dengan implementasi kebijakan.

b. Lingkungan eksternal

Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen yangterdiri dari public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan danimplemenlasi kebijakan. Interpretive institutions yang berkenaan denganinterpretasi lembaga-lembaga strategis dalam mayarakat seperti mediamassa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan. Dalam meng-interpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individual,yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran pentingdalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.

5. Tepat proses

Secara umum implememasi kebijakan publik terdiri atas tiga, yaitu:

a.Policy acceptance

Publik memahami kebijakan sebagai sebuah “aturan main” yangdiperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakansebagai tugas yang harus dilaksanakan.

b.Policy adoption

Publik menerima kebijakan sebagai sebuah “aturan main” yang di-perlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakansebagai tugas yang harus dilaksanakan.

Page 12: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

44

c. Strategic readiness

Publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari kebijakan, disisi lain birokat on the street (atau birokrat pelaksana) siap menjadipelaksana kebijakan. Lima “tepat” tersebut masih perlu didukung olehtiga jenis dukungan, yaitu:

1. Dukungan politik2. Dukungan strategik dan3. Dukungan teknis

Widodo (2010:88) memberikan kesimpulan bahwa implementasimerupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang termasukmanusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pe-merintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses tersebut di-lakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya olehpembuat kebijakan. Sebuah implementasi kebijakan yang melibatkanbanyak organisasi dan tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapasudut pandang. Menurut Wahab (2005:63) implementasi kebijakan dapatdilihat dari sudut pandang: (l) pembuat kebijakan, (2) pejabat-pejabatpelaksana di lapangan, dan (3) sasaran kebijakan (ranger group).Perhatian utama pembuat kebijakan, menurut Wahab (2005:63), mem-fokuskan diri pada sejauhmana kebijakan tersebut telah tercapai danapa alasan yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kebijakantersebut.

Dari sudut pandang implementor, menurut Wahab (2005:64),implementasi akan terfokus pada tindakan pejabat dan instansi di lapa-ngan untuk mencapai keberhasilan program. Sementara dari sudut pandangtarget groups, implementasi akan lebih dipusatkan pada apakah imple-mentasi kebijakan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya danberdampak positif panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk penda-patan mereka.

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaianstandar dan sasaran kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu me-langkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturanmenuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerjaprogram. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui seberapa besar

Page 13: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

45

keberhasilan program yang telah dicapai. Ripley dan Franklin (1986:89) dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan(Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keber-hasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditunjukan dari tigafaktor, yaitu:

1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasidari kepatuhan strect level bureau crats terhadap atasan mereka.

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dantiadanya persoalan.

3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang me-muaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yangdiharapkan.

Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastiandalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehinggakurang hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali terhadap kinerjakebijakan tersebut. Kemudian sebaliknya Marse dalam Solichin (2002:19) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkankegagalan dalam implementasi kebijakan, yaitu:

1. Isu kebijakanImplementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapanatau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itusendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumberdaya pembantu.

2. InformasiKekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanyagambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupunkepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakan-nya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

3. DukunganImplementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksa-naannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.

Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam prosesimplementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam me-rumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalampenerapan kebijakan sebagian besar terletak pada awal perumusan

Page 14: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

46

kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja maksimaldan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Perlu disadari bahwa dalam melaksanakan implementasi suatu ke-bijakan tidak selalu berjalan mulus. Banyak faktor yang dapat mem-pengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Untuk meng-gambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruhpenting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyeder-hanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasikebijakan. Terdapat banyak model implementasi menurut para ahli,diantaranya model implementasi kebijakan publik menurut GeorgeEdward III dalam Widodo (2010:96) terdapat 4 faktor yang mempe-ngaruhi keberhasilan atau kegagalan imple-mentasi kebijakan antara lain,yaitu faktor: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4)struktur birokrasi.

a. Komunikasi

Menurut Edward III dalam Widodo (2010: 97), komunikasi diartikansebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan.Informasi mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam Widodo(2010: 97) perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelakukebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan danlakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasarankebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Menurut EdwardIII dalam Widodo (2010: 97), komunikasi kebijakan memiliki beberapadimensi, antara lain dimensi transmisi (trasmission), kejelasan (clarity)dan konsistensi (consistency).

1) Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikantidak hanya disampaikan kepada pelaksana (implementors) ke-bijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran ke-bijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik secara langsungmaupun tidak langsung.

2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yangditransmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yangberkepentingan secara jelas sehingga diantara mereka mengetahuiapa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta substansi darikebijakan publik tersebut sehingga masing-masing akan mengetahui

Page 15: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

47

apa yang harus dipersiapkan serta dilaksanakan untuk mensukseskankebijakan tersebut secara efektif dan efisien.

3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan yangdiambil tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksanakebijakan, target grup dan pihak-pihak yang berkepentingan.

b. Sumberdaya

Edward III dalam Widodo (2010: 98) mengemukakan bahwa faktorsumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan.Menurut Edward III bahwa sumberdaya tersebut meliputi sumberdayamanusia, sumberdaya anggaran, dan sumberdaya peralatan dan sum-berdaya kewenangan.

1) Sumberdaya ManusiaSumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang mem-pengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III dalamWidodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the mostessentialresources in implementing policy is staff”. Edward IIIdalamWidodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear andconsistent implementation order are and no matter accuratelytheyare transmitted, if personnel responsible for carrying outpolicieslack the resources to do an effective job, implementingwill noteffective”.

2) Sumberdaya AnggaranEdward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan dalam ke-simpulan studinya: “budgetary limitation, and citizen oppositionlimit the acquisition of adequate facilities. This is turn limitthequality of service that implementor can be provide to public”.Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia me-nyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepadamasyarakat juga terbatas. Edward III dalam Widodo (2010: 100)menyatakan bahwa “newtowns studies suggest that the limitedsupply of federal incentiveswas a major contributor to the failureof the program”. MenurutEdward III, terbatasnya insentif yangdiberikan kepada implementor merupakan penyebab utama gagal-nya pelaksanaan program. Edward III dalam Widodo (2010:101)menyimpulkan bahwa terbatasnya sumber daya anggaran akan

Page 16: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

48

mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disampingprogram tidak bias dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan ang-garan menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah.

3) Sumberdaya PeralatanEdward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan bahwa sumber-daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk operasio-nalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah,dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikanpelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward III dalamWidodo (2010: 102) menyatakan: Physical facilities may also becritical resources implementation. An implementor may havesufficient staff, may understand what he supposed to do, mayhave authority toexercise his task, but without the necessarybuilding, equipment, supplies and even green space implemen-tation will not succeed.

4) Sumberdaya KewenanganSumberdaya lain yang cukup penting dalam menentukan keberha-silan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan. MenurutEdward III dalam Widodo (2010:103) menyatakan bahwa: Kewe-nangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiriyang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itudalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan ini menjadipenting ketika mereka dihadapkan suatu masalahdan mengharuskanuntuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan. Oleh karenaitu, pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukupuntuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakan kebijakanyang menjadi kewenangannya.

c. Disposisi

Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010:104) dikatakan sebagai kemauan, keinginan dan kecenderungan paraperlaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.Edward III dalam Widodo (2010: 104-105) mengatakan jika implementasikebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (im-

Page 17: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

49

plementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan danmempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapimereka juga harus mempunyai kemauan untuk melaksanakan kebijakantersebut. Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agus-tinus (2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakanterdiri dari:

1) Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan me-nimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasikebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakanyang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslahorang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telahditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.

2) Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk me-ngatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memani-pulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepen-tingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pem-buat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan.Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkinakan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksanamenjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upayamemenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

d. Struktur Birokrasi

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidenti-fikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadapbirokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani ke-perluan-keperluan publik (public affair).

2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasikebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-bedadalam setiap hierarkinya.

3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan

Page 18: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

50

begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh

dari pihak luar.

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatukebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apadanbagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan untuk me-lakukannya, namun Edward III dalam Widodo (2010:106) menyatakanbahwa implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karenaketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur birokasi ini menurut EdwardIII dalam Widodo (2010: 106) mencakup aspek-aspek seperti strukturbirokrasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasidan sebagainya.

Menurut Edward III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karak-teristik utama dari birokrasi, yakni Standard Operational Procedure(SOP) dan fragmentasi. Menurut Winarno (2005:150), Standard ope-rational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internalakan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalamorganisasi kerja yang kompleks dan luas. Edward III dalam Widodo(2010:107) menyatakan bahwa demikian pula dengan jelas tidaknyastandar operasi, baik menyangkut mekanisme, system dan prosedurpelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan,dan tanggung jawab diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungandiantara organisasi pelaksana satu dengan yang lainnya ikut pula me-nentukan keberhasilan implementasi kebjakan.

Namun berdasakan hasil penelitian Edward III dalam Winarno(2005: 152) menjelaskan bahwa SOP sangat mungkin dapat menjadikendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-carakerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan pe-rubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakinbesar pula probabilitas SOP menghambat implementasi.

Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa frag-mentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepadabeberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Edward

Page 19: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

51

III dalam Widodo (2010:106), mengatakan bahwa struktur birokrasi yangterfragmentasi (terpecah-pecah atau tersebar) dapat meningkatkan gagal-nya komunikasi, karena kesempatan untuk instruksinya terdistorsi sangatbesar. Semakin terdistorsi dalam pelaksanaan kebijakan, semakin mem-butuhkan koordinasi yang intensif.

Dari pendapat Edward III itu terungkap bahwa agar implementasikebijakan menjadi efektif, maka para pihak yang bertanggung jawab ataspelaksanaan suatu keputusan dan harus benar-benar memahami apa yangharus dilakukan. Untuk itu, arahan terhadap implementasi kebijakan harusditransmisikan secara tepat, jelas, akurat dan konsisten. Dengan demikiansuatu pola komunikasi yang tepat, jelas, akurat dan konsisten merupakanhal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mengkomunikasikan suatukeputusan dari satu pihak kepada para pihak yang terlibat dengan ke-putusan tersebut.

3.3. EVALUASI KEBIJAKAN

Evaluasi merupakan salah satu tingkatan di dalam proses kebijakanpublik, evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakanatau program itu berjalan dengan baik atau tidak. Islamy (2000) me-ngatakan bahwa penelitian (evaluasi) kebijakan adalah merupakanlangkah terakhir dari suatu proses kebijakan. Salah satu aktivitas fu-ngsional, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan dengan mengikutiaktivitas-aktivitas sebelumnya, yaitu pengesahan (formulasi) dan pe-laksananan (implementasi) kebijakan, tetapi dapat terjadi pada seluruhaktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijakan.

Evaluasi kebijakan dapat mencangkup tentang isi kebijakan, pelak-sanaan kebijakan, dan dampak kebijakan. Jadi evaluasi kebijakan bisadilakukan pada fase perumusan masalah, formulasi usulan kebijakan,implementasi kebijakan, legitimasi kebijakan dan seterusnya. Evaluasimenurut Dunn yang dikutif oleh Riant Nugroho dalam bukunya KebijakanPublik (Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi) mendefinisikan evaluasisebagai suatu hal yang berhubungan, masing-masing merujuk padaaplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Se-cara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penafsiran (app-

Page 20: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

52

raisal), pemberian angka (ratting) dan penilaian (assesment), kata-katayang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam artisatuan lainnya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan denganproduksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan (Nugroho,2003:181).

Dalam mengevaluasi suatu kebijakan, analisis akan dihadapkan padatiga aspek, yaitu :

1. Aspek perumusan kebijakan, pada aspek ini analis berusahamencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan, siapayang paling berperan dan untuk siapa kebijakan tersebut dibuat.

2. Aspek implementasi kebijakan, pada aspek ini analis berusahauntuk mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dilak-sanakan, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya dan bagaimanaperformance dari kebijakan tersebut. Aspek ini merupakan proseslanjutan dari tahap formulasi kebijakan. Pada tahap formulasiditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan sedangkan pada tahapimplementasi kebijakan, tindakan (action) diselenggarakan dalammencapai tujuan.

Menurut Bressman dan Wildavsky (Jones, 1991), implementasiadalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakanyang mampu mencapai tujuan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan,para ahli kebijakan publik banyak menggunakan model implementasiyang salah satunya adalah model Grindle (1980). Model Grindlemenyajikan 3 (tiga) komponen kelayakan, yaitu :

1) tujuan kebijakan,2) aktivitas pelaksanaan yang dipengaruhi oleh content yang terdiri

atas: kepentingan yang dipengaruhi, tipe manfaat, derajat peru-bahan, posisi pengambilan keputusan, pelaksanaan program,sumber daya yang dilibatkan, dan context yang terdiri atas: ke-kuasaan, kepentingan dan strategi yang dilakukan pelaksana; karak-teristik rezim dan lembaga; compliance serta responsiveness.Model ini menggambarkan semua variabel yang berpengaruh dalampencapaian tujuan dan hasil kebijakan.

3. Aspek evaluasi, pada aspek ini analis berusaha untuk mengetahuiapa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baikdampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Page 21: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

53

Evaluasi kebijakan menurut Samudra, dkk (1994) dilakukan untukmengetahui : 1) proses pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi; 3)konsekuensi kebijakan ; 4) efektivitas dampak kebijakan. Evaluasi padatahap pertama, dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan dilaksana-kan, kedua evaluasi tersebut evaluasi sumatif dan formatif, evaluasi untuktahap kedua disebut evaluasi implementasi, evaluasi ketiga dan keempatdi-sebut evaluasi dampak kebijakan.

Sedangkan evaluasi menurut Limberry dalam Santoso (1992),analisis evaluasi kebijakan mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatukebijakan dan membahas hubungan antara cara-cara yang digunakandengan hasil yang dicapai. Dengan demikian, studi evaluasi kebijakanmenurut Sudiyono (1992) merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatifsehingga konsekuensinya lebih restrospeksi dibandingkan prospeksi. Dandalam mengevaluasi seorang analis berusaha mengidentifikasi efek yangsemula direncanakan untuk merealisir suatu keberhasilan dan dampakapa yang ditimbulkan dari akibat suatu kebijakan.

Studi evaluasi ini mempunyai 2 (dua) pendekatan (Sudiyono,1992),yaitu:

1. Pendekatan kepatuhan, asumsinya apabila para pelaksana me-matuhi semua petunjuk atau aturan yang diberikan, maka imple-mentasi sudah dinilai berhasil. Kemudian pendekatan ini disem-purnakan lagi dengan adanya pengaruh : a) ekstern, kekuatan nonbirokrasi dalam pencapaian tujuan, b) intern, program yangdimaksudkan untuk melaksanakan suatu kebijakan sering tidakterdesain dengan baik sehingga perilaku yang baik dari parapelaksana (birokrasi) tetap tidak akan berhasil dalam mencapaitujuan kebijakan.

2. Pendekatan perspektif, “what’s happening (apa yang terjadi). Pen-dekatan ini menggambarkan pelaksanaan suatu kebijakan dariseluruh aspek karena implementasi kebijakan melibatkan beragamvariabel dan faktor.

Dalam studi evaluasi, menurut Finsterbusch dan Motz (dalam Sa-mudra dkk, 1994) terdapat 4 (empat) jenis evaluasi, yaitu :

1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang me-lakukan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelahmeneliti setiap variabel yang dijadikan kriteria program. Sehingga

Page 22: BAB III FORMULASI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEBIJAKAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

54

analis tidak mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaranterhadap program.

2. Single program befora-after, merupakan penyempurnaan dari jenispertama, yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktusebelum dan setelah program berlangsung.

3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasikedua tapi tidak untuk yang pertama dan analisis hanya melihatsisi keadaan sasaran bukan sasarannya.

4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain sehingga informasi yang diperoleh adalah efek program terhadapkelompok sasaran.