BAB III 2100023 -...
Transcript of BAB III 2100023 -...
32
BAB III
NALAR BAYANI DALAM METODOLOGI ISTINBATH
HUKUM ISLAM
A. Metodologi Istinbath Hukum Islam
Metode berarti cara yang teratur untuk mencapai maksud.
Metodologi adalah ilmu tentang metode.1 Kata Istimbath diderivasi dari
bahasa Arab yang berarti mengeluarkan dan menarik. Secara terminologi
berarti upaya mengeluarkan hukum dari dalil nash. istinbath juga dapat
diartikan sebagai ijtihad. Artinya, bahwa istimbath merupakan suatu proses
dan upaya mengambil hukum dari dalil-dalil tertentu dengan menggunakan
metodologi istinbat yang telah dirumuskan dalam Ilmu Ushul Fiqh.2 Berarti
Metodologi Istinbath Hukum Islam adalah ilmu tentang metode-metode
penggalian hukum Islam dari dalil-dalil nash, yang merupakan sumber
hukum Islam.
Sebelum kita berbicara lebih jauh, hendaknya kita bedakan dulu
pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang
membahas tentang kaidah bagaimana menggali hukum Islam dari dalil-dalil
yang terperinci.3 Sedangkan Ilmu Fiqh adalah ilmu yang mempelajari
1 Drs. Suparno E.P, Glosarium – Kata Serapan Dari Bahasa Barat Dengan
Etimologinya, Semarang: Media Wiyata, hlm.100 2 Dr. Mochtar Effendy, S.E, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku 2, Palembang:
Penerbit: Universitas Sriwidjaya, Cet.I, Ed.2, 2001, hlm.528 3 M. Jawad Mughniyah, Ilmu Ushul Fiqh fi Tsawbihi al-Jadidah, Beirut: Dar al-Ilmi li
al-Mala’in, hlm. 15. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu, dengan beberapa kaidah dan pembahasan tentang bagaimana cara mengambil hukum syar’I yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang terperinci. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, hlm.12
33
Hukum Syari’at yang bersifat amaliah (perbuatan) yang diperoleh dari dalil-
dalil hukum yang terinci dari ilmu tersebut.4
Yang menjadi obyek kajian Ilmu Ushul Fiqh adalah dalil-dalil
syara’, sebagai landasan hukum, dan tata cara istimbath hukumnya.
Sedangkan obyek kajian Fiqh adalah perbuatan mukallaf (orang yang sudah
dapat dibebani suatu aturan hukum) yang ditetapkan oleh Hukum Syara’.
Tujuan Ilmu Ushul Fiqh adalah pengaplikasian kaidah-kaidah terhadap dalil-
dalil yang menunjukkan hukum syara’. Sedang tujuan Fiqh adalah aplikasi
hukum-hukum syara’ terhadap ucapan dan perbuatan manusia.5 Kedua ilmu
tersebut berkembang seiring dengan perkembangan Islam.6
a. Sumber Hukum Islam
Dalam perkembangan sejarahnya, para Ahli Ushul memakai
dan menetapkan beberapa Sumber Hukum sebagai dasar ketika mereka
melakukan Istimbath. Sumber Hukum atau Dalil adalah sesuatu yang
menjadi dasar hukum syara’ (yang berbentuk perbuatan), baik (proses
penunjukkannya) melalui jalan Qath’i atau Dzanni. Sumber-sumber
Hukum Islam Antara lain:
1. Sumber hukum yang disepakati antara lain: Al-Qur’an, Sunah, Ijma’
dan Qiyas.
2. Sumber hukum yang tidak disepakati – tidak disepakati karena hanya
beberapa Mujtahid yang memakainya, yang lain tidak – antara lain:
4 Drs. H.A. Syafi’i Karim, Fiqh –Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet.II, 2001,
hlm.11 5 Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.12-14 6 Ibid, hlm.15
34
Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, Urf, Madzhab al-Sahabi dan
Syar’u Man Qablana.7
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan oleh Ruhul Amin
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mu’jizat kerasulannya, dan
membacanya adalah ibadah.8 Semua Ahli Ushul Sepakat menjadikan Al-
Qur’an sebagai Hujjah yang kuat bagi mereka dan bahwa ia dan hukum-
hukum di dalamnya wajib ditaati.9
Hadits adalah apa saja yang dikembalikan (bersumber) kepada
Nabi baik berupa ucapan, tingkah laku dan atau ketetapan.10 Seluruh
umat muslimin sepakat bahwa hadits adalah hujjah bagi kaum muslimin
dan sebagai sumber syari’at bagi hukum-hukum syara’.11
Ijma adalah persesuaian faham para mujtahid dari kaum
muslimin pada suatu masa, mengenai suatu hukum.12 Ijma harus
memenuhi empat hal:
1. Harus ada beberapa mujtahid dalam suatu waktu.
2. Seluruh mujtahid harus bersepakat mengenai suatu hukum.
3. Kesepakatan mereka harus dengan pernyataan yang jelas.
7 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, tt, hlm.20-22 8 Drs. H.A. Syafi’i Karim, Fiqh – Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, Cet.II, 2001,
hlm.57 9 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’aif, Cet.4, 1997, hlm.33 10 Dr. Mahmud Al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, Al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa
al-Tawzi’: Daru al-Fikr, hlm.14 11 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.40. Wael B. Hallaq
menyebutkan bahwa Ushul Fiqh bermula dari persoalan yang ditinggalkan teologi, dengan mengasumsikan kebenaran-kebenaran postulat teologi. Salah satunya, kebenaran dan keotoritatifan Qur’an dan Hadits sebagai dasar hukum Islam. Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, Terj. Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2000, hlm.86
12 Prof. Dr. Ahmad Syalaby, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Terj. Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Jayamurni, Cet.II,1974, hlm.88
35
4. Kesepakatan tersebut harus merupakan kesepakatan seluruh
mujtahid.
Jika keempat syarat tersebut terpenuhi maka hukum yang ditetapkan
dengan ijma wajib diikuti. Karena hukum tersebut bersifat Qath’i, tidak
boleh bertolak belakang darinya dan dihapus.13
Qiyas (penalaran analogi) adalah pengambilan kesimpulan dari
suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam suatu preseden, hingga
suatu kasus yang baru dapat dipersamakan dengannya karena persamaan
‘ilat (Ratio Legis).14 Rukun-rukun qiyas antara lain :
1. Al-Aslu (pokok) adalah sesuatu (perkara) yang dilegitimasi nash.
2. Al-Far’u (cabang) adalah kasus yang dipertautkan dengan al-Aslu.
3. Hukmu al-Asli adalah ketentuan hukum atas perkara yang
mempunyai legalitas nash.
4. Al-‘Ilat adalah sesuatu yang menghubungkan antara al-Aslu dan al-
Far’u.
Menurut jumhur, Qiyas dapat dijadikan sumber hukum, keempat setelah
Ijma.15
Istihsan adalah kembalinya seorang Mujtahid dari ketetapan
Qiyas Jali kepada Qiyas Khafi, atau dari Dalil Kulli kepada Dalil Juz’I
berdasarkan dalil. Istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri
(dapat menetapkan hukum dengan sendirinya). Karena hukum yang
13 Abdul Wahab Khalaf,Op.Cit,hlm.45-47 14 Fazlur Rahman, Islam, 1968, Terj. Islam, Bandung: Pustaka, Cet.IV, 2000, hlm.94 15 Prof. Dr. Ahmad Syalaby, Op.Cit, hlm.84
36
ditetapkan olehnya berdasarkan Qiyas Khafi. Istihsan dipakai oleh
kebanyakan golongan Hanafiyah.16
Maslahah Mursalah adalah memelihara maksud Syari’ dengan
jalan menolak segala yang merusakkan makhluk.17 Menurut Prof Ahmad
Syalabi, maslahah Mursalah adalah tiap-tiap maslahah yang tidak
dianjurkan (dituturkan) oleh nash untuk tidak memperhatikannya atau
memperhatikannya. Imam Malik berpegang pada maslahah mursalah
dalam menetapkan hukum. Dia memberi tiga syarat:
1. Tidak bertentangan dengan salah satu dalil
2. Untuk menarik manfaat dan menolak suatu madharat
3. Tidak menyinggung persoalan ibadah18
Abdul Wahab Khalaf memberi syarat dalam menggunakan
maslahah mursalah sebagai hujjah:
1. Maslahah harus nyata, bukan yang dipersangkakan (perkiraan)
2. Maslahah harus bersifat umum, bukan kepentingan pribadi
3. Maslahah tidak bertentangan dengan nash.19
Istishab adalah adalah menetapkan hukum sesuatu menurut
keadaan menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil
yang merubahnya. Istishab bukan untuk menetapkan suatu hukum baru,
tetapi melanjutkan berlakunya suatu hukum yang telah ada. Menurut
Ulama Hanafiyah istishab dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat
16 Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.79-82 17 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, Cet.II, 2001, hlm.219 18 Prof. Dr. Ahmad Syalaby, Op.Cit, hlm.94 19 Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, 86-87
37
hukum dari penetapan hukum yang berbeda dengan yang dulu, bukan
untuk menetapkan hukum.20
Urf adalah keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia,
dibenarkan oleh akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera, atau
kebiasaan yang sudah berulang-ulang dalam masyarakat.21 Menurut
Abdul Wahab Khalaf, Urf ada dua; Pertama, Urf Sahih yaitu adat yang
tidak bertentangan dengan syara’. Urf ini harus dijaga dalam
pensyari’atan. Kedua, Urf Fasid adalah adat yang bertentangan dengan
syara’. Urf ini tidak wajib dijaga (menjadi pertimbangan hukum).22
Para Ulama sepakat bahwa perkataan (ketetapan hukum)
Sahabat yang bukan didasarkan pada fikiran semata adalah Hujjah bagi
umat Islam. hal ini berdasarkan asumsi bahwa apa yang dikatakan
Sahabat berasal dari apa yang mereka dengar dari Nabi. Yang
diperselisihkan adalah pendapat sahabat yang berupa hasil Ijtihad
sendiri.23
Syar’u Man Qablana (syari’at umat sebelum kita) dapat
menjadi Hujjah dan kita wajib mengikutinya selama syari’at yang
ditetapkan oleh Al-Qur’an tidak menghapusnya, karena syari’at itupun
adalah ketentuan Allah SWT. Ini pendapat jumhur Hanafiyah, sebagian
Malikiyah dan Syafi’iyah.24
20 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.111-113 21 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Op.Cit. hlm.226 22 Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.89-90 23 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.116-118 24 Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.94
38
b. Metode Istimbath Hukum Islam
Para ahli ushul telah mengembangkan beberapa metode
(penalaran) yang kesemuanya bertujuan guna mengungkap hukum dari
teks-teks suci. Metode tersebut antara lain: pendekatan bi Dalalah al-
Nash dan bi al-Ra’yi; pendekatan Tekstual dan Kontekstual; pendekatan
Bayani, Ta’lili dan Istishlahi.25 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi
membagi Metode Istinbath Hukum Islam menjadi tiga yaitu : Metode
Bayani, Matode Ta’lili dan Metode Istishlahi.26
Metode Bayani adalah metode yang berusaha mengungkap apa
yang ada di balik sebuah teks. Metode ini berguna untuk memahami apa
yang diinginkan Syari’ – pembuat undang-undang yang dalam hal ini
adalah Allah SWT – melalui kajian teks. Karena hal inilah, metode ini
untuk mengetahui apa yang diinginkan Syari’, Ma’ruf al-Dawalibi
menyebutnya metode bayani. Metode ini menjadi sangat penting karena
sumber hukum Islam adalah teks, dimana teks mewakili sesuatu yang
akan disampaikan oleh si Pembuat Teks.27 Dalam Al-Risalah karya
Syafi’i diterangkan bahwa kata “bayani” mempunyai banyak arti. Salah
satunya adalah keterangan Allah SWT dalam al-Qur’an untuk
hambanya. Syafi’i juga menulis beberapa bab mengenai bayani.28
25 Prof, Dr, H.M. Amin Abdullah, et, al, Menggagas Mazhab Jogja, Yogyakarta; Ar-
Ruzz Press, 2002, hlm.50 26 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal Ila Ilmi Ushul Al_fiqh, Cet.5, Dar al-
Ilmi lil Malayin, 1965, hlm.381-382 27 Ibid, hlm.381. lihat M Abed al-Jabiri menggolongkan epistemologi Ushul Fiqh ke
dalam susunan nalar bayani. M. Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-‘Araby, Terj, Formasi Nalar Arab – Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2003, hlm.163-175
28 lihat Al-Syafi’i, al-Risalah , Baeirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.21
39
Metode Ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu
pada penentuan ‘ilat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Atas dasar
‘ilat tersebut, permasalahan hukum yang muncul diupayakan
pemecahannya melalui penalaran analogi terhadap ‘ilat tersebut. Metode
ini mencoba untuk memahami apa yang dikehendaki oleh Syari’ melalui
penalaran logika – menghubungkan masalah yang tidak disebutkan oleh
teks dengan hukum yang dituturkan teks.29 Dalam dataran praktisnya,
penalaran Ta’lili berbentuk Qiyas dan Istihsan.30
Metode Istislahi adalah upaya penggalian hukum yang
bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari Al-
Qur’an dan Hadits. Metode ini digunakan untuk mencari hukum suatu
permasalahan berdasarkan Maslahah Mursalah – setiap kemaslahatan
yang tidak ada dalam nash. Metode ini digunakan ketika penggalian
hukum berhenti, dan tidak ditemukan jawaban atas suatu masalah
dengan metode bayani dan ta’lili – metode ini bagian dari penggunaan
Ra’yu.31 Dalam perkembangan Ushul Fiqh, corak penalaran ini tampak
antara lain dalam metode al-Maslahah al-Mursalah dan al-Dzari’ah.32
Semua ulama sepakat dengan penggunaan metode bayani.
Sedang tentang metode ta’lili dan istishlahi terdapat perbedaan pendapat.
Salah satu menentang penggunaan keduanya adalah kelompok
Dzahiriyah yang digadangi oleh Dawud al-Dzahiri. Menurutnya suatu
29 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Op.Cit, hlm.382 30 Dr. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Cet.I, 1996, hlm.133 31 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Op.Cit 32 Ibid
40
masalah harus didasarkan pada nash yang qath’i tidak boleh dengan
Ijtihad bi al-Ra’yi. Imam Syafi’i sangat ketat dalam penggunaan ra’yu.
Ia hanya berijtihad dengan menganalogikan suatu masalah, yang tidak
disebutkan dalam nash, dengan ketentuan hukum nash. Syafi’i
menentang penggunaan istihsan dan istishlah. Sedang Malikiyah, Ahnaf
dan Hanabilah adalah kelompok yang sangat longgar dalam
menggunakan metode ijtihad. Mereka menerima metode Istihsan,
Istishlah, Qiyasi dan Bayani.33
B. Metode Bayani Ushuliyah
a. Qowa’id al-Lughah Ushuliyah dan Metode Bayani
Kaidah kebahasaan Ushuliyah adalah metode pembacaan teks
yang telah dikembangkan oleh para ahli Ushul Fiqh. kaidah ini adalah
wujud nyata dari upaya para Ushuliyah untuk mengungkap apa yang
dinginkan Syari’ dari nash hukum. Berbeda dengan kaidah kebahasaan
pada umumnya, kaidah ini lebih menekankan kepada upaya mencari dan
memahami makna yang terkandung dalam sebuah teks.
Sejak masa kenabian, para sahabat telah dibiasakan untuk
berijtihad terhadap masalah yang mereka hadapi. Nabi SAW
memberikan kesempatan ijtihad seluas-luasnya kepada sahabat-
sahabatnya.34 Pernah suatu ketika Nabi memerintahkan beberapa
33 Ibid, hlm.435 34 Dr. Muhammad Ali As-sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Terj. Sejarah Fiqh Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet.I, 2003, hlm.53-57. Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hasil ijtihad sahabat merupakan penerapan hukum, bukan Tasyri’. Lihat Prof. Abdul Wahab
41
sahabatnya untuk pergi ke daerah musuh dan melakukan shalat ketika
sampai di tujuan. Waktu asar ketika mereka masih dalam perjalanan.
Akhirnya para sahabat ada yang melakukan shalat sebelum dan sesudah
sampai tujuan.35 Fakta ini menunjukkan kebebasan berijtihad yang
diberikan Nabi terhadap sahabat-sahabatnya. Peristiwa ini juga bisa
diartikan bahwa para sahabat mempunyai kemampuan dan cara yang
berbeda dalam mambaca teks (perintah Nabi SAW).
Dalam membaca nash Qur’an, kadang terjadi perbedaan
pendapat di kalangan sahabat. Seperti persoalan sekitar hal-hal yang
tidak disinggung atau disebutkan dengan kata bermakna ganda. Langkah
yang mereka tempuh adalah menafsirinya dengan hadits atau pendapat
ulama ahli hukum.36
Cara yang digunakan sahabat tersebut, dalam memahami nash
Qur’an diadopsi oleh generasi berikutnya,37 tapi tidak ada satu pun yang
dibukukan. Kaidah kebahasaan ini baru dibukukan pertama kali oleh al-
Syafi’i dalam kitab al-Risalah. Kitab ini merupakan pondasi ilmu ushul
fiqh, karenanya al-Syafi’i disebut sebagai pendiri disiplin keilmuan ini.38
Al-Syafi’i menjelaskan beberapa hal mengenai al-bayan, hadits sebagai
Khalaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami, Terj. Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet.I, 2000, hlm.14
35 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Yurisprudence, Terj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, Cet.I, 1984, hlm.13
36 Ibid, hlm.16 37 Mun’in A. sirry, Sejarah Fiqh Islam – Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti,
Cet.I, 1995, hlm.49 38 Khudari Beik, Op.Cit, hlm.395
42
penjelas al-Qur’an. Beliau juga menerangkan beberapa hal mengenai am
dan khas.39 Imam Syafi’i menawarkan beberapa hal, antara lain:
1. Hukum berasal dari teks yang diwahyukan
2. Hadits merupakan sumber hukum mengikat
3. Tidak ada pertentangan antara Al-Qur’an dan Sunnah
4. Secara Hermeneutis, kedua sumber tersebut saling melengkapi
5. Ijtihad dan Qiyas ditentukan oleh sumber hukum yang diwahyukan40
Kaidah kebahasaan ushuliyah bukan merupakan produk yang
sekaligus jadi di tangan al-Syafi’i. Karena al-Syafi’I hanya memberikan
dasar dan menyebutkan beberapa bagian kecil darinya. Metode ini
kemudian disempurnakan oleh generasi selanjutnya.41 Kaidah
kebahasaan ini lahir dari upaya untuk meminimalisir perbedaan
pemahaman nash Qur’an, khususnya dalam bidang hukum. Yang
menjadi perbedaan di kalangan para ulama dalam membaca maksud
nash Qur’an adalah: kata, makna kata dan ilat, hal yang menghubungkan
antara satu hal dengan yang lain, makna kata tersebut.42
Muhamad Ma’ruf al-Dawalibi menyebut kaidah kebahasaan
ushuliyah dengan sebutan metode bayani. Metode ini berkaitan erat
dengan cara pengungkapan maksud Syari’, menjelaskan dan
39 Lihat al-Syafi’i, al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.21-79 40 Wael B. Hallaq, Op.Cit, hlm.45 41 Seperti Imam Fakhruddin al-Razy menambahkan dalam kitabnya, al-Mahsul fi Ilm
Ushul al-Fiqh, beberapa kaidah dalam pembagian lafad. Lihat Fakhruddin Al-Razy, al-Mahsul fi Ilm Ushul al-Fiqh, Jil.I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm.69-398
42 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Op.Cit, hlm.133
43
menafsirkan. Karena hal inilah, dia menyebut kaidah kebahasaan
ushuliyah dengan qowa’id al-bayan li al-nushush, metode untuk
menjelaskan nash-nash.43 Kaidah ini berhubungan dengan ilmu logika
dan kejernihan pikiran. Jadi qowa’id al-lughah al-ushuliyah dan metode
bayani adalah sama.
b. Metode Bayani
Metode Bayani merupakan topik inti dalam Ilmu Ushul.44
Karena seorang Mujtahid ketika beristimbath tidak akan lepas dari teks.
Memahami teks harus mengetahui makna kata, struktur kebahasaan,
bagaimana dalalah sebuah kata, dan macam dalalah serta kuat dan
lemahnya dalalah tersebut.45 Dua hal yang menjadi fokus utama kajian
ini adalah kata dan makna.
Metode kebahasaan yang dipakai oleh Ushuliyah berbeda
dengan ahli tata bahasa (Al-Nuhat). Karena ahli tata bahasa hanya
mencari struktur kata dan makna. Sedangkan Ahli Ushul tidak hanya
mencari makna kata dari yang tampak – karena makna tersebut
terkadang bukan yang diinginkan Syari’ – tetapi juga juga makna yang
lain, Ushuliyah ingin mengungkap maksud Syari’.46
43 Ibid, hlm.384 44 Imam Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Mesir: Maktabah al-Jindan, t.th.,
hlm.260 45 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Op.Cit, hlm.426 46 Dr. Fathi al-Darini, Al-Manahij al-Ushuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’I al-
Islamy, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadits, 1975, hlm.41
44
Metode ini menjadi sangat signifikan karena nash keislaman
adalah berbentuk teks Arab. Maka untuk memahami dan beristimbath
harus dengan struktur lisan arab (struktur kata). Ada dua cara yang
dikembangkan Ahli Ushul dalam memahami makna teks, yaitu:
1. Memahami struktur teks arab
2. Keterangan dari Rasul tentang makna ayat Al-Qur’an.47
Dalam kajian kebahasaan ushul ada istilah al-Dalalah yaitu
adanya sesuatu menunjukkan adanya sesuatu yang lain, petunjuk dan
yang ditunjuk. Atau memahami sesuatu berdasarkan sesuatu yang lain.48
Dalalah ada kalanya berupa Dalalah Wadl’i (hubungan antara kata dan
makna) dan Ghairu Wadl’i.
Dalalah Wadl’i terbagi menjadi tiga; pertama, ketika lafad
digunakan untuk menunjukkan seluruh (apa yang terkandung) makna
yang diciptakan untuknya disebut Dalalah Muthabiq. Kedua, ketika
suatu kata digunakan untuk menunjukkan kepada sebagian makna
disebut Dalalah Tadhamun. Ketiga, ketika lafad digunakan untuk
menunjukkan kepada makna selain yang diciptakan untuknya, tetapi
mempunyai ketersangkutan secara rasio atau Adat antara makna yang
diciptakan untuknya dengan makna yang lain, disebut Dalalah Iltizam.49
47 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Azali, t.th., hlm.116 48 Ada dialektika antara eksistensi petunjuk terhadap apa yang ditunjuk. Dalam
penerapannya, berubahnya makna suatu kata (yang ditunjuk) bisa disebabkan oleh adanya sesuatu yang lain.
49 Muhammad Mustafa Syalaby, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdah al-“Arabiah, t.th., hlm.367-368
45
Kajian ini sangat erat kaitannya dengan kata-kata dan makna.
Ushuliyin membagi lafad-lafad (kata) berdasarkan beberapa kriteria.
Antara lain:
1. Berdasarkan makna yang diciptakan untuknya (kata)
2. Berdasarkan pemakaian kata (makna yang dipakai)
3. Berdasarkan jelas dan tidaknya makna kata
4. Berdasarkan cara penunjukkan kata kepada makna50
1. Kata Berdasarkan Makna Yang Diciptakan Untuknya
Berdasarkan kriteria ini kata terbagi menjadi empat: Am, Khas dan
Musytarak. Ada yang memasukkan Mu’awal dan Jamak al-Munakar (jamak
yang berbentuk isim nakirah – lawan ma’rifat) kedalam pembagian ini.
Menurut Mustafa Syalabi, Mu’awal adalah bagian dari Musytarak. Karena
Mu’awal sebenarnya adalah Musytarak yang diambil salah satu maknanya
karena ada dalil. Sedang Jamak al-Munakar termasuk Am bagi golongan yang
tidak mensyaratkan makna al-Istighraq (menghabiskan seluruh unit yang
tercover dalam makna), dan bagi yang mensyaratkan makna al-Istighraq,
Jamak al-Munakar termasuk Khas.51
a. Am
Lafad Am adalah suatu lafad yang sengaja diciptakan oleh bahasa
untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan yang
50 Dr. Badran Abu al-‘Ainain Badran, Ushul al-Fiqh al-Islami, Penerbit Universitas
Islam Iskandariah, t.th., hlm.348 51 Muhammad Mustafa syalaby, Op.Cit, hlm.371
46
tidak terbatas dalam jumlah tertentu.52 Menurut Dr. Fathi al-Darini, lafad
yang menunjukkan kuantitas satuan yang terbatas bukan termasuk Am.
Sebuah kata bisa termasuk Am dikarenakan bentuknya (wadl’i) ataupun
ada qarinah, petunjuk.53 Artinya lafad Am bisa berubah, menjadi bukan
Am, kalau ada dalil yang merubahnya.
Keumuman yang dimiliki lafad Am adalah mencakup seluruh
satuan yang dimaksud. Ini berbeda dengan keumuman lafad Mutlak, yang
hanya berkisar pada satuan yang dapat digolongkan kepadanya saja.
Misalnya kata al-insan (seluruh manusia) termasuk kata Am karena
mencakup seluruh satuan yang dikatakan manusia sekaligus. Berbeda
dengan kata insan hanya mencakup unit yang dapat digolongkan padanya,
tidak mencakup seluruh manusia.54
1. Bentuk-bentuk Am (kata yang menunjukkan arti keumuman)
Jenis kata yang menunjukkan arti umum ada beberapa macam, antara
lain:
1. Kata jamak, seperti ��������� , ������ , ��� ����� dan lain-lain.
2. Kata yang menunjukkan jenis sesuatu, seperti ����� (manusia),
������ (perempuan), ���� (unta) dan lain-lain.
52 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’aif, Cet.4, 1997, hlm.218 53 Dr. Fathi al-Darini, Op.Cit, hlm.497 54 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.219
47
3. Kata yang tidak jelas apa yang ditunjuk (mubham)55, seperti kata
pertanyaan �� untuk seseorang dan �� untuk sesuatu. Atau kata
syarat �� (apa saja), ���� (dimana) dll.
4. Isim Mufrad (kata – noun – yang menunjukkan arti satu) yang
diberi al, seperti ������ , ������ , ������� .56
Bentuk lafad Am (sighat dalam al-Qur’an) antara lain :57
1. Lafad kullun dan Jami’un, seperti contoh:
��� �!�� " #�!$#���% &�!��#'()!��!*!�!+�� ,-���!�(.��/0��1��2345�
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan di bumi untuk kamu”. (Al-Baqarah: 29)58
2. Kata jamak yang dita’rifkan dengan alif-lam (al) atau idhafat,
contoh:
������������� ����������������������������
Artinya: Allah SWT. Mensyari’atkan bagimu tentang (pusaka) anak-anakmu”. (an-Nisa’: 11)59
Ulama Ushul menetapkan lafad jamak ini berfaidah umum
berdasarkan ijma Sahabat.60
55 Dalam struktur kata arab ada istilah ma’rifat dan nakirah. Ma’rifat berarti jelas yang
dituju dalam suatu pembicaraan. Sedang Nakirah berarti tidak jelas yang dimaksud dari suatu pembicaraan. Ketidak jelasan ini dalam istilah Ahli Ushul disebut Ibham.
56 Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz.I, Beirut: Dar al-Fikr, hlm.245 57 Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit, hlm.409-415 58 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989,
hlm.13 59 Ibid. hlm.116 60 Ketika itu terjadi perdebatan mengenai pemegang kepemimpinan pasca Nabi Wafat.
Abu Bakar berkata “al-‘Aimatu min Quraisy”, para sahabat memahami bahwa kata tersebut bermakana umum. Artinya seluruh pemimpin harus berasal dari golongan Quraisy. Lihat Dr. Badran Abu al-‘Ainain Badran, Op.Cit, hlm.371-372
48
3. Isim Mufrad yang Dita’rifkan dengan alif-lam Jinsiyah atau
Idhafat, seperti contoh:
���6����!7-�!8!9�!:#�!1#���(;-����-�!8!<!9/0��1��23=>5
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba”. (al-Baqarah: 275)61
4. Isim-isim Maushul seperti �,�� , ��,�� , �%?�� seperti contoh:
!?(��!�� ,-�������!@!�!�#�!<�-� A �(B#�!$ ��!�#C-�!�!?!�����!9#D!<�!�9(�!,!�!9�#'()#� ��!�#�-&!�
����#�!E!9�F�(A#G!</0��1��23HI5
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri iddah) empat bulan sepuluh hari”. (al-Baqarah: 234)62
5. Isim Syarat, seperti contoh:
�'() �(B#�!$ �!&�F�#�!+�#� ����(� B#�(��!�!9��/0��1��23=35�
Artinya: “Dan apa saja, harta yang baik, yang kamu nafkahkan (di Jalan Allah), maka (pahalanya) untuk dirimu sendiri”. (al-Baqarah: 272)63
6. Isim Nakirah dalam kalimat negatif, seperti contoh:
�J?B���K���0�L.�� /'���9���M1���N�9�5�
Artinya: “Tidak ada hijrah (dalam bentuk apapun) setelah Mekah ditaklukkan”. (HR. Bukhari- Muslim)64
Isim Nakirah dalam kalimat negatif termasuk Am, karena secara
bahasa Nakirah menunjukkan individu yang tidak jelas. Ketika dia
61 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.69 62 Ibid, hlm.57 63 Ibid, hlm.272 64 Imam Bukhari, Shohih al-Bukhari, Jld.4, al-Taba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Dar
al-Fikr, hlm.253
49
berada dalam kalimat negatif, kenegatifan tersebut memudarkan
ketidakjelasannya. Akhirnya nakirah dalam kalimat negatif
berimplikasi terhadap seluruh satuan.65
7. Isim-isim Istifham (kata tanya), seperti contoh :
�!� ?!A �O ���!,!.�!�!�!&�#�!����(�!P /��1���2>45 �
Artinya: “Mereka bertanya “siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap Tuhan-tuhan kami ?…”.(al-Anbiya’: 59)66
2. Macam-macam Am
Ditinjau dari segi penggunaanya, lafad Am ada tiga macam:
a. Am Yuradu Bihi al-Am (Am yang benar-benar dimaksudkan untuk
umum) adalah Am yang disertai Qarinah yang menghilangkan
kemungkinan untuk dikhususkan. Seperti contoh :
!A(P#D �� ;-����Q!�!E�-� R� " #�!$#���% &�F@-��!S�#� ��!�!9 /S�.2T5�
Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang yang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberikan rizkinya…”.(Hud: 6).67
Secara akal, semua binatang di bumi diciptakan dan pasti diberi
rizki oleh Allah SWT. Tidak mungkin tidak, karena ini adalah
bagian dari kekuasaan Tuhan.
b. Am Yuradu Bihi al-Khusus (Am, tetapi yang dimaksudkan adalah
khusus) adalah Am yang disertai Qarinah yang menghilangkan
65 Dr. Fathi al-Darini, Op.Cit, hlm.514 66 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.502 67 Ibid, hlm. 327
50
keumumanya dan yang dimaksud adalah sebagian dari satuannya.
Seperti contoh:
� U#�!1#���VW 8� X-����Q!�!E� ;-� �!9/����E�Y24=5�
Artinya: “…….mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”. (Ali Imron: 97)68
Menurut akal, yang diwajibkan untuk melakukan haji (terkena
hukum taklif) adalah orang dewasa dan sempurna akalnya.
c. Am Makhsus atau Am Mutlak (Am yang khusus untuk Am) adalah
Am yang tidak disertai Qarinah yang menghilangkan untuk
dikhususkan dan Qarinah yang menghilangkan keumumannya.
Qarinah ini bisa berupa Qarinah Lafdiyah (tertulis), Aqliyah dan
‘Urfiyah, yang menyatakan keumuman atau kekhususanya. Seperti
contoh:
���F�9(�(P�!@!Z[!Z�-� A �(B#�!$ ��!�#C-�!�!?!��(\!�-�!](�#��!9�/0��1��233̂5� Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menahan diri
(menunggu) sampai tiga kali quru …”.(al-Baqarah: 228)69
Perbedaan Am Yuradu bihil Khusus dan Am al-Makhsus adalah
bahwa Am al-Makhsus masih mencakup seluruh satuan baru
kemudian datang Mukhasisnya. Sedang Am Yuradu Bihil Khusus
sejak awal hanya menunjukkan sebagaian dari satuannya. 70
68 bid, hlm.92 69 Ibid, hlm.55 70Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.250
51
3. Dalalah Am
Secara umum dalalah Am adalah Qath’i, menurut Hanafiyah. Sedang
menurut Jumhur dalalah Am adalah zanniyah.
Bahwa Am Yuradu Bihil Am menunjukkan kepada setiap satuan
dengan qoth’i. Sedang Am Yuradu bihil Khusus menunjukkan kepada
satuan sisa (yang tidak dimaksud) bersifat zanni. Yang menjadi
perbedaan adalah Am Mutlak, apakah termasuk Dalalah Qath’iyah
atau Dzanniyah. Jumhur Hanafiyah berpendapat bahwa Am ini
termasuk Dalalah Qath’iyah. Menurut Syafi’iyah Am ini termasuk
Dalalah Dzanniyah.71
4. Takhsis al-Am
Yang dimaksud Takhsis al-Am adalah mempersempit arti Am kepada
sebagian satuannya berdasarkan dalil. Mukhasis (yang mentakhsis Am)
ada empat macam,Yaitu:
a. Kalam Mustaqil Munfasil, kalimat yang berdiri sendiri dan
terpisah. Seperti contoh:
�����#'(.9(K �#�!&�!��!K!A(G� @!�!�#�!$ ����(�#$!��#'!��-'(Z� \!�!C#_(�#���!��(�#�!��!�� ,-��!9
��0!K#�!��!�� �!�!Z/�����2I5 �
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh (zina) wanita baik-baik dan mereka tidak membawa 4 orang saksi, maka cambuklah dia 80 kali”. (An-Nur:4) 72
71 Muhammad Mustafa Syalabi,Op.Cit, hlm.417 72 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.543
52
Lafad alladzina pada ayat ini ditakhsis oleh Surat An-Nur ayat 6
yang berbunyi:
!�� ,-��!9���(0!S!A!�!&�#'(A(�(B#�!<�-� R�(��!K!A(G�#'(A!��#�()!��#'!�!9�#'(A!��!9#D!<�!��(�#�!��
�-C���!� �!��(;-� R� ;-�� ��F\�!S!A!G�(:!�#�!<�#' . K!8!<!�� P S�/������2T5�
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh (zina) istrinya, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian (yang diperlukan) orang itu adalah empat kali bersumpah atas nama Allah SWT., bahwa dia termasuk orang-orang yang benar”. (An-Nur: 6) 73
b. Kalam Mustaqil Muttasil, yaitu kalimat yang berdiri sendiri tetapi
kalimat ini masih bersambung. Seperti contoh:
�����F�!B!̀�Q!�!E�#9!<��a� �!��!�! �#�!�!9�(;#�(C!�#�!&�!�#A-����('()#� ��!K A!G�#�!�!&
�#� ��b0-K �!&�!�!+(<�F7-�!</0��1��2c >̂5 �
Artinya: “Barang siapa diantara kamu menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka, maka wajib berpuasa) sebanyak hari ( yang ditinggalkan) di hari lain…”. ( al-Baqarah: 185) 74
c. Kalam Ghairu Mustaqil, adalah kalimat yang tidak sempurna.
Bentuk ini ada 5, antara lain:
1. Istisna’ Muttasil, pengecualian yang bersambung. Contoh:
���()#�!�!E� !d#�!�!&� #'()!�#�!�� !A!�9(�� K(�� !0!� e!8� �0!�!L �� !��()!�� #�!<� -� R�#'
!.�(1(?#)!��-�!<�bf!�(��/0��1���23̂ 35
73 Ibid, hlm.544 74 Ibid, hlm.45
53
Artinya: “…Kecuali jika mu’amalah itu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) tidak menulisnya…”. (al-Baqarah: 282)75
2. Syarat, seperti contoh:
-���!AV�!<�!�����(N�(1(?# !&��Qg�!�(��F�!�!<�Q!� R�F�#�!K ��#'(?#�!��!K!���!h R���(�!�Y�!�� ,
/0��1��23̂ 35
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya”. (al-Baqarah: 282)76
3. Sifat, seperti contoh:
�Q-?!8� #'() ��(�(�� !�#�!i� ���(�(�� ��(�(+#K!�� �� ��(�!�Y� !�� ,-��� !AV�!<� !�
��!A �#.!<�Q!�!E���(�6�!�(�!9���(� �#$!?#�!��/�����23=5
Artinya: “Hari orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”. (an-Nur: 27)77
4. Ghayah, pembatasan seperti contoh:
�!j!�#1!��Q-?!8�!�� �6,!�(��-�( �!�!9���(̀!� /���̀ ��2c>5
Artinya: “…Dan kami tidak akan mengadzab, sampai kami mengutus seorang Rasul. (al-Isra’: 15)78
5. Badal Ba’du min al-kul, mengganti keseluruhan dengan
sebagian. Seperti contoh:
75 Ibid, hlm.70 76 Ibid 77 Ibid, hlm.547 78 Ibid, hlm.426
54
�[� 1!̀� ;#�!� R�!k!]!?#̀�� �!�� U#�!1#���VW 8� X-����Q!�!E� ;-� �!9���
/����E�Y24=5
Artinya: “…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah SWT., (yakni bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan kesana. (Ali Imron: 97)79
5. Ma Laisa Bikalam
Sesuatu mempersempit makna keumuman Am tidak selalu berupa
lafad, kalimat. Tetapi ada juga yang bukan berupa kalimat seperti akal,
indera dan adat kebiasaan.80
Menurut ulama Hanafiyah ada tiga kriteria Qasr (mempersempit
keumuman Am). Ketika dalil yang merubah Am dari makna
keumuman adalah kalimat sempurna dan berbarengan waktu turunnya
dengan Am, maka Qasr disini disebut Takhsis (menerangkan bahwa
sejak awal yang dimaksud adalah sebagian satuannya). Ketika dalil
tersebut tidak berbarengan, maka disebut Naskh. Ketika dalil tersebut
bukan kalimat yang sempurna, maka disebut Qasr lil Am. Menurut
Jumhur, semua dalil yang mempersempit makna Am disebut takhsis,
entah itu kalimat sempurna atau tidak, selama waktu turunnya sama.
Ketika tidak sama disebut naskh.81
Terkadang ayat yang ada lafad Am, turun dengan sebab yang khusus.
Dalam hal ini, maka Hukum yang berlaku adalah berdasarkan
79 Ibid, hlm.92 80 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.227-233 81 Muhammad Mustafa Syalabi,Op.Cit, hlm.421
55
keumuman Am bukan khususnya Sebab, al-‘Ibratu bi umumi al-Lafdi
la bi khusus al-sabab.82
b. Khas
Adalah lafad yang diciptakan untuk memberi pengertian satu
satuan yang tertentu, baik berupa Jenis (contoh hewan), Macam (seperti
Insan, rajul), atau jumlah banyak yang terbatas seperti dua, tiga. Lafad
Khas menunjukkan kepada makna dengan Qath’i, bahwa Khas tidak
mungkin menunjuk makna lain kecuali ada dalil. 83
Macam-macam lafad Khas berdasarkan bentuknya antara lain:
Mutlak, Muqayyad, Amr dan nahy.
1. Mutlak dan Muqayyad
Mutlak adalah lafad khas yang menunjukkan kepada satuan tertentu
dan tidak dibatasi keluasan artinya dengan sifat berupa lafdiyah.
Muqayyad adalah Lafad Khas yang dibatasi keluasannya dengan sifat.
Seperti contoh:
��-̀!�!?!��#�!<� �#1!P�#� ��F@!1!P!��(�� �#_!?!&�/@��SL���2H5 �
Artinya: “….maka (wajub atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu bercampur”. (al-Mujadalah: 3).84
��; �#.!<�Q!� R�b@!�-�!�(��b@!� S!9�F@!� �#l(��F@!1!P!��(�� �#_!?!&��$!]!+��� �#l(��!�!?!P�#�!�!9
/�����2435
82 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Quwait; Dar al-Qalam, tt, hlm.189 83 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.204-205 84 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.909
56
Artinya: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya…”. (al-Nisa’: 92)85
Lafad Raqabah pada ayat pertama mencakup semua macam budak,
baik budak kafir, belian, muslim. Sedang lafad raqabatin Mukminatin
menunjukkan budak muslim saja.
Hukum Mutlak tetap pada kemutlakannya selama tidak ada dalil yang
mentaqyidkannya, begitu pun hukum lafad Muqayad. Karena keduanya
adalah Khas, maka termasuk Dalalah Qath’i.86 Terkadang suatu nash
syara’ disebutkan di suatu tempat dengan lafad Mutlak, dan di tempat
lain degan bentuk Muqayyad. Dalam keadaan seperti ini ada beberapa
alternatif:
a. Memenangkan yang Muqayad atas Mutlak, jika:
• Sebab dan hukum keduanya sama, seperti contoh2
()#�!�!E�#U!�6�(8� �� m#� M#���('#_!�!9�(7-K��!9�(@!?#�!�#���('/0Kn���2H5 �
Artinya: “..Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai, darah dan daging babi”. (al-Maidah: 3)87
�-� R�(;(�!�#]!��F' E!o�Q!�!E���-�!_(��-%!� R�!% 89(<�!��% &�(K �!<���#�(P
��@!?#�!��!��()!��#�!<��F�� m#� +�!'#_!��#9!<��8�(B#�!����!S�#9!< /7��p�2cI>5 �
Artinya: “Katakanlah! “tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
85 Ibid, hlm.135 86 Dr. Badran Abu al-‘Ainain Badran, Op.Cit, hlm.351 87 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.157
57
yang mengalir, atau daging babi…”.(al-An’am: 145)88
Sebab adalah sama yaitu keadaan sebagai darah dan hukumnya
sama yaitu haramnya darah.
• Hukumnya sama tetapi sebab untuk menetapkan hukumnya
berbeda. Seperti contoh surat al-Mujadalah ayat 3 menyebutkan
budak dengan bentuk Mutlak dan sebab hukumnya adalah
zihar. Dan surat al-Nisa’ ayat 92 menyebutkan budak dengan
bentuk Muqayad dan sebab hukunya adalah pembunuhan
tersalah.
b. Berlaku sendiri-sendiri (tidak memenangkan Muqayad atas
Mutlak), ketika:
• Hukum dan sebab tidak sama, seperti contoh:
(� �-���!9���!1!�! �!� �����!m!��!�(A!� K#�!<���(�!]#P!&�(@!P �-���!9 /0Kn���2H^5 �
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan”. (al-Maidah: 38)89
!����#'()!.�(�(9� ��(� �#i!&� 0[-C���Q!� R�#'(?#�(P� �!h R� ��(�!�Y�!�� ,-���!AV�!<�
� * &�!�!�#���Q!� R�#'()!� K#�!<!9/0Kn���2T5�
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai dengan siku”. (al-Maidah: 6)90
88 Ibid, hlm.212 89 Ibid, hlm.165 90 Ibid, hlm.158
58
• Hukum tidak sama, tetapi sebab hukumnya sama, seperti
contoh:�91
�(;#� ��#'()� K#�!<!9�#'() .�(�(� ����(_!�#�!&��16�!o���K� �!q���(�-�!�!�! /0Kn���2T5 �
Artinya: “…Maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (al-maidah: 6)92
Hukumnya adalah mengusap tangan, ini berbeda dengan
kalimat sebelumnya (wudhu) hukumnya adalah membasuh
tangan. Sebab keduanya adalah sama yaitu menghilangkan
hadats.
2. Lafad Amr
Adalah lafad yang menunjukkan perintah melakukan sesuatu dari
atasan kepada bawahan (isti’la). Lafad–lafad yang menunjukkan
perintah antara lain; Fi’il Amr, Fi’il Mudhari’ yang diberi Lam Amr,
dan Jumlah Khabariyah yang bermakna perintah. Atau berupa uslub
bahasa arab yang berfaidah memerintah, seperti isim fi’il amr dan kata
yang bermakna perintah r? �s������ .93
Lafad Amr hakikatnya menunjukkan wajib, selama tidak ada Qarinah
yang mengalihkannya kepada arti lain.94 Ketika lafad Amr berada
setelah larangan maka hukumnya tetap menunjukkan kepada wajib, ini
91 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.185-190 92 Departemen Agama RI, Loc.Cit 93 Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit,hlm.378 94 Arti lain seperti sunah, petunjuk, kebolehan, tahdid dll.
59
pendapat Hanafiyah. Sedang menurut Syafi’iyah, Hanabilah dan
Malikiyah Amr ini menunjukkan arti kebolehan.95
Pada dasarnya, secara lughawi (bahasa), Amr tidak menuntut diulang-
ulang dan segera dilaksanakan. Maksud perintah adalah tercapainya
apa yang diperintahkan. Yang menyebabkan Amr menunjukkan
perulangan dan segera dilaksanakan adalah Qarinah di luar Lafad.96
3. Lafad Nahy
Adalah lafad yang menunjukkan perintah meninggalkan sesuatu dari
atasan kepada bawahan.97 Nahy menunjukkan keharaman sesuatu,
menurut Jumhur. Bentuk-bentuk lafad nahy antara lain; fi’I Mudhari’
yang diberi la Nahi, Jumlah Khabariyah yang bermakna melarang dan
kata perintah untuk meninggalkan. Dalalah Nahi menunjukkan arti
perulangan dan kesegeraan.98
c. Musytarak
Adalah lafad yang mempunyai beberapa arti yang berbeda-beda.
Penyebab suatu lafad menjadi Musytarak adalah:
1. Perbedaan penggunaan makna oleh suku-suku bangsa.
2. Lafad itu diciptakan untuk menunjukkan satu arti, kemudian
digunakan untuk makna lain secara majazi.
3. Lafad itu semula mempunyai satu arti, kemudian syara’ memakainya
sebagai istilah dengan makna baru.
95 Dr. Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.219-223 96 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.199 97 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Azali, hlm.181 98 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.233-236
60
4. Lafad tersebut sebenarnya mempunyai arti satu, kemudian sering
digunakan untuk arti lain. Seiring berjalannya waktu, orang-orang lupa
dengan makna asli lafad ini.
Jika ke-musytarakan-nya antara makna asli dan Syara’ maka yang
dipakai adalah makna syara’. Jika antara makna asli, ada dalil yang
menunjukkan kepada salah satu makna, maka yang digunakan adalah
makna yang ditunjuk dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan salah
satu makna, ada dua pendapat:
a. Menurut Hanafiyah, hukumnya berhenti mengamalkan lafad tersebut
sampai ditemukan makna yang dimaksud.
b. Menurut Syafi’i dan Malik, lafad tersebut bisa digunakan kepada
setiap maknanya. 99
2. Kata Berdasarkan Makna Yang Dipakai
Dalam kriteria ini, ahli ushul membagi lafad menjadi empat. Yaitu :
Hakikat, Majaz, Sharih dan Kinayah. Kita akan membicarakan definisi term
tersebut satu-persatu.
a. Hakikat dan Majaz
Hakikat adalah setiap kata yang dipakai sesuai dengan makna yang
diciptakan untuknya. Dalam term ini, hakikat terbagi menjadi; Hakikat
Lughawiyah, digunakannya lafad sesuai makna yang sejak semula
diciptakan oleh budaya untuknya, seperti Insan berarti hewan yang
berakal. Hakikat Syar’iyah, digunakannya lafad sesuai makna yang
99 Muhammad Mustafa Syalaby, Op.Cit, hlm.434-439
61
diciptakan oleh Syara’ (istilah syara’) untuknya, seperti contoh Shalat
bermakna perbuatan ibadah dengan bacaan khusus, yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Hakikat ‘Urfiyah al-Khas, digunakannya
lafad sesuai makna yang diciptakan oleh adat tertentu untuknya, seperti
contoh Rafa’, nasab dan jar dalam istilah ahli nahwu. Hakikat ‘Urfiyah al-
Ammah, digunakannya lafad sesuai dengan makna yang diciptakan oleh
adat umum untuknya, seperti contoh Dabbah berarti hewan berkaki
empat.100
Majaz adalah lafad yeng digunakan tidak sesuai makna yang diciptakan
untuknya karena ada sebab hubungan (tujuan, ‘alaqah). Majaz juga dibagi
menjadi empat. Majaz Lughawi, digunakannya lafad tidak sesuai dengan
makna yang diciptakan untuknya (secara lughawy), seperti contoh Asad
bermakna lelaki yang pemberani. Majaz Syar’i, majaz berdasarkan makna
yang diciptakan syara’, seperti contoh Shalat bermakna doa. Majaz ‘Urf
Khas, majaz berdasarkan makna yang diciptakan oleh adat tertentu, seperti
contoh al-hal (dalam istilah nahwu) berarti keadaan manusia. Majaz ‘Urf
Amm, majaz berdasarkan makna yang diciptakan oleh adat umum, seperti
dabbah berarti orang bodoh.101
Suatu lafad bisa disebut hakikat atau majaz ketika ia dirangkai dalam satu
kalimat atau dipakai dalam suatu pembicaraan.102 Hukum hakikat, wajib
100 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.292-293 101 Ibid, hlm. 293-294 102 Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, Qarinah yang menunjukkan hakikat antara lain:
penggunaan kebiasaan adat, lafad itu sendiri, susunan kalimat, keadaan pembicara dan apa yang dibicarakan. Qarinah yang menunjukkan majaz antara lain: Hissiyah, Aqliyah, ‘Urfiyah dan Syara’. Ibid, hlm.297-299
62
diamalkan sesuai maknanya, baik berupa Am atau khas. Hukum majaz,
diamalkan sesuai maknanya. Apabila suatu lafad bisa diartikan menurut
hakiki dan majazi, maka ia wajib diartikan hakiki.103
b. Sharih dan Kinayah
Sharih adalah lafad yang jelas makna yang diinginkan, baik hakikat atau
majaz. Seperti contoh saya membeli atau saya memakan pohon ini.
Kinayah adalah lafad yang tidak jelas makna yang diinginkan, baik hakikat
atau pun majaz. Seperti contoh perkataan “kawanmu telah menemuiku”
dan “beriddahlah kamu”.
Hukum sharih wajib diamalkan. Dan hukum kinayah tidak wajib
diamalkan, disesuaikan dengan niat pembicara.104
3. Kata Berdasarkan Jelas Dan Tidaknya Makna
A. Pembagian Menurut Ulama Hanafiyah
Yang dimaksud dengan jelas maknanya adalah lafad yang
menunjukkan makna dengan bentuknya (sighatnya) tanpa perlu bantuan
sesuatu yang lain. Yang dimaksud tidak jelas maknanya adalah lafad yang
tidak jelas maknanya karena bentuknya atau yang lain, tidak dapat
diketahui maknanya kecuali dengan bantuan sesuatu yang lain. Lafad yang
jelas maknanya dibagi menjadi empat: zahir, Nash, Mufassar dan
Muhkam. Lafad yang tidak jelas maknanya dibagi empat: Khafi, Musykil,
Mujmal dan Mutasyabih.105
103 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm. 260-261 104 Dr. Badran Abu al-‘Ainain Badran, Op.Cit, hlm.397-398 105 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm. 312
63
a. Zahir
Adalah lafad yang jelas maknanya dengan sendirinya, dengan hanya
melihat dan mendengar. Makna ini adalah makna yang tidak
diinginkan Syari’ dan ia masih menerima ta’wil 106 dan naskh. Untuk
mengetahui makna tersebut diinginkan oleh syari’ adalah dengan
melihat susunan kalimat, sebab turun dan sejarah. Seperti contoh:
�� �!�6����!� ��#'()!��!t!o�!����(_ )#�!&�Q!�!?!�#���% &���(] �#�(��-�!<�#'(?#B +�#� R!9
!k!�(�!9�!u[(Z!9�Q!�#v!��/������2H5 �
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senanngi dua, tiga atau empat”. (al-Nisa’: 3)107
Makna zahirnya adalah dibolehkannya menikah. Hukum lafad zahir
wajib diamalkan selama tidak ada dalil yang merubah kepada makna
lain.108
b. Nash
Adalah lafad yang jelas maknanya dengan sendirinya, makna ini
adalah makna yang diinginkan oleh susunan kalimat, menerima ta’wil
dan Naskh. Seperti contoh surat al-nisa’ ayat 3, makna nash (makna
yang diinginkan) adalah pembatasan poligami. Hukum lafad nash
wajib diamalkan.109
106 yang dimaksud Ta’wil adalah merubah makna lughawi kata kepada makna yang lain
dengan dalil. Ta’wil bisa berupa Takhsis atau Taqyid. Dr. Badran Abu al-‘Aianain Badran, Op.Cit.hlm.400-401
107 Depatemen Agama RI, Op.Cit, hlm.115 108 Dr. Fathi al-Dariny, Al-Manahij al-Ushuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’I al-
Islamy, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadits, 1975, hlm.43-48 109 Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit, hlm.450
64
Perbedaan tafsir dan ta’wil adalah bahwa ta’wil menjelaskan maksud
nash dengan dalil zanni, Ijtihad ulama. Tafsir adalah menjelaskan
maksud nash dengan dalil Qath’i, dari Syari’ sendiri.110 Perbedaan
zahir dan nash adalah kalau makna zahir adalah makna ikutan ( bukan
yang diinginkan susunan kalimat, Syari’). Sedang makna nash adalah
makna asli (yang diinginkan susunan kalimat, syari’).111
c. Mufassar
Adalah lafad yang jelas maknanya, yang dimaksud oleh susunan
kalimat, tidak menerima ta’wil tetapi menerima naskh. Seperti contoh:
��0!K#�!��!�� �!�!Z�#'(.9(K �#�!&�/�����2I5
�
Artinya: “…Maka deralah mereka delapan puluh kali”. (al-Nur: 4)112
Lafad Tsamanina bermakna delapan puluh, termasuk mufasar karena
makna ini yang dimaksud susunan kalimat, tidak boleh kurang atau
lebih.113
d. Muhkam
Adalah lafad yang jelas maknanya, yang dimaksud oleh susunan
kalimat, tidak menerima ta’wil dan naskh. Seperti contoh :
��K!�!<��0!S!A!G�#'(A!����(�!1#�!���!9�/�����2I5 �
Artinya: “…Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya”. (al-Nur: 4)114
110 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.276 111 Dr. Fathi al-Dariny, Op.Cit, hlm.54 112 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.544 113 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Loc.Cit
65
Muhkam dibagi menjadi dua; Muhkam lidhatih, kejelasannya
(kemuhkamannya) datang dari bentuk nash. Muhkam li Ghairih,
kejelasannya karena sesuatu yang lain. yaitu setiap nash yang tidak
menerima naskh karena putusnya wahyu (Nabi SAW wafat).
Tingkatan tertinggi adalah muhkam, mufassar, nash dan dzahir.
Tingkatan yang lebih tinggi dimenangkan ketika bertentangan dengan
tingkat yang lebih rendah.115
e. Khafi
Adalah lafad yang jelas maknanya, tetapi penerapan maknanya kepada
satuan terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafad itu
sendiri. seperti contoh:
!�(A!� K#�!<���(�!]#P!&�(@!P �-���!9�(� �-���!9�/0Kn���2H^5 �
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya”. (al-Maidah: 38)116
Lafad al-Sariq bermakna pencuri, jelas. Kekaburannya adalah
penerapan lafad tersebut, pencuri yang apa dan bagaimana ? apakah
kepada Nasysyal (pencopet) atau Nubassy (pembongkar makam).
Hukum khofi tidak diamalkan kecuali setelah dianalisa
kesamarannya.117
114 Departemen Agama RI, Loc.Cit 115 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.323-324 116 Departemen Agama RI, Op.Cit,hlm.165 117 Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit, hlm.463-465
66
f. Musykil
Adalah lafad yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada arti
yang dikehendaki, harus ada qarinah yang menunjukkan salah satu
maknanya. Penyebab kemusykilan adalah lafad tersebut adalah
musytarak. Seperti contoh:
���F�9(�(P�!@!Z[!Z�-� A �(B#�!$ ��!�#C-�!�!?!��(\!�-�!](�#��!9�/0��1��233̂5�
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…”. (al-Baqarah: 228)118
Cara untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafad adalah dengan
berijtihad. Hukum lafad musykil adalah tidak diamalkan sampai
makna yang diinginkan dapat diketahui.119
g. Mujmal
Adalah lafad yang tidak jelas maknanya karena sighatnya dan tidak
ada Qarinah yang menjelaskannya. Kejelasan makna lafad Mujmal
bergantung pada penjelasan Mutakalim (Syari’) sendiri. Seperti
contoh:
����(X-���� (��()!�� !7#�!�� (@!E �!�#��� !�� !w�!�#S!<� !�!9� (@!E �!�#��� !�� (@!E �!�#��
u�(v#1!�#��� x�!�!B#�! �/@E����2cyI�5�
Artinya: “Hari Kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apa hari kiamat itu? Pada hari itu manusia bagai anai-anai yang bertebaran”. (al-Qari’ah: 1-4)120
118 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.55 119 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.287-289 120 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.1093
67
Lafad al-qari’ah artinya pengetuk pintu, kemudian ditafsirkan oleh
syari’ sendiri pada kalimat berikutnya, berarti hari kiamat. Penyebab
kemujmalan antara lain: Musytarak dan tidak ada Qarinah, kata asing
dan perpindahan dari makna lughawi kepada makna syara’.
Ketika Qarinah tersebut ada dan makna yang diinginkan jelas maka
lafad Mujmal menjadi Mufassar. Hukum lafad mujmal tidak
diamalkan sampai jelas makna yang diinginkan.121
h. Mutasyabih
Adalah lafad yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna
yang dikehendaki dan tidak ada Qarinah yang menjelaskannya dan
Syari’ tidak menjelaskannya. Seperti contoh:
#' A� K#�!<�!�#�!&� ;-����(K!��/J?B��2cz5 �
Artinya: “…Tangan Allah di atas tangan mereka”. (al-Fath: 10)122
Hukum lafad mutasyabih adalah tidak wajib diamalkan dan kita wajib
meyakini kebenaran maksud teks tersebut.123
B. Pembagian Kata Berdasarkan Jelas dan Tidaknya Makna Menurut
Ulama Syafi’iyah
1. Wadhih al-Dilalah
Menurut Ulama Syafi’iyah (jumhur) lafad yang jelas
maknanya terbagi menjadi dua, yaitu zahir dan Nash. zahir adalah
121 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.340-342 122 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.838 123 Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit, hlm.469-472
68
lafad yang menunjukkan kepada makna dengan Dalalah zanniyah,124
baik dalalah tersebut berasal dari bentuknya atau dari adat. Kriteria ini
mencakup term zahir dan Nash menurut Ulama Hanafiyah. Hukum
zahir adalah wajib diamalkan.125
Nash adalah lafad yang menunjukkan makna dengan Dalalah
Qath’iyah.126 Term Mufassar menurut hanafiyah termasuk kriteria ini.
2. Ghairu Wadhih al-Dilalah
Dalam kriteria ini hanya ada satu term yaitu Mujmal. Mujmal
adalah lafad yang tidak terdapat dalalah, yang menunjukkan kepada
salah satu makna. Term ini mencakup tiga macam lafad Khofi menurut
hanafiyah. Mujmal ada tiga macam, yaitu;
a. Kemujmalan yang berasal dari beberapa makna hakikat lafad,
seperti lafad musytarak.
b. Kemujmalan terhadap satuan yang tercakup dalam artinya.
c. Kemujmalan karena suatu lafad mempunyai beberapa arti
majazi.127
4. Kata Berdasarkan Cara Penunjukkan Kata kepada Makna
a. Pembagian Menurut Hanafiyah
Para Ulama berbeda pendapat mengenai ada berapa cara
penunjukkan lafad (dalalah) kepada makna, maksud Syari’. Ulama
124 Maksud Dalalah Dzanniyah adalah ada kemungkinan berubah maknanya dari makna
Dzahir lafad kepada makna yang lain, seperti ditakhsis. 125 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.327 126 Maksud Dalalah Qath’iyah adalah tidak ada kemungkinan untuk menunjukkan
kepada arti lain, seperti ditakhsis. Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit, hlm.473 127 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.345-346
69
Hanafiyah membagi menjadi empat; Ibarat al-Nash, Isyarat al-Nash,
Dalalah al-nash dan Iqtidha’ al-Nash.
Ibarat al-Nash adalah cara penunjukkkan lafad kepada makna
berdasarkan susunan kalimat, tersurat, baik makna asli atau “ikutan”.128
Makna yang dihasilkan dari dalalah ini bersifat Qath’i. Seperti contoh
surat al-Nisa’ ayat 3, dengan memperhatikan apa yang tersurat dalam teks,
dapat diperoleh beberapa makna :
1. Diperbolehkan mengawini wanita yang disenangi,
2. Membatasi jumlah istri sampai empat saja,
3. Wajib hanya mengawini satu orang saja, jika takut tidak dapat berbuat
adil.129
Isyarat al-Nash adalah makna yang ditunjuk lafad tidak dari segi
teks (tersurat), tetapi berupa kesimpulan teks. Dengan kata lain,
pemahaman terhadap teks tetapi teks tidak secara eksplisit
menuturkannya.130 Menurut Mustafa Syalabi makna tersebut, secara rasio
dapat dipahami dari teks.131 Dalalah Isyarat menunjukkan makna dengan
Qath’i. Seperti contoh:
��#� ��-�(A(�!�#� !9�-�(A(P#D ��(;!�� S�(�#�!�#���Q!�!E!9 {9(�#�!��/0��1��23HH5 �
Artinya: “…Dan kewajiban ayah untuk memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (al-Baqarah: 233)132
128 yang dimaksud manan ikutan adalah makna yang tersurat, tetapi bukan makna yang
diinginkan Syari’, makna asli. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa makna asli dapat diketahui dari susunan kalimat, sebab turun ayat dan sejarah. Dr. Fathi al-Dariny, Op.Cit, hlm. 275
129 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.296 130 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Azali, t.th., hlm.141 131 Muhamad Mustafa Syalabi,Op.Cit,hlm.479 132 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.57
70
Makna Isyaratnya adalah ayah menanggung sendiri keperluan memberi
nafkah kepada anak-anaknya.133
Dalalah al-Nash adalah penunjukkan lafad bahwa hukum yang
ditetapkan oleh teks berlaku untuk perbuatan yang tidak ditutur oleh teks,
karena persamaan ilat hukum yang dipahami dari bunyi teks. Ulama
Syafi’iyah menyebutnya Fahwa al-khitab Atau Mafhum Muwafaqah.134
Seperti contoh:
|{(<�!�(A!��#�(�!��[!&�/���̀ ��23H5 �
Artinya: “Maka janganlah kamu sekali-kali mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”…”. (al-Isra’: 23)135
Makna dalalahnya adalah bahwa memukul orang tua juga dilarang.
Iqtida’ al-Nash adalah penunjukkan lafad kepada makna,
kebenaran dan kesahihan teks, dengan bantuan memberi tambahan lafad
agar hukumnya dapat diambil. Indikator diperbolehkannya penambahan
kata antara lain; kebenaran kalam, kebenaran kalam menurut rasio dan
kebenaran kalam menurut Syara’.136 Hukum yang ditetapkan oleh dalalah
ini bersifat Qath’i. Seperti contoh :
�!A� &�-�( �% ?-���!@!�#�!�#��� !$#̀�!9��/} �̀�23̂5�
133 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.297 134 Ulama Syafi’iyah menggolongkan kedalam kriteria Qiyas Jali. Tetapi menurut Dr.
Wahbah Zuhaily, ada perbedaan diantara Dalalah al-nash dan Qiyas Jali. Yaitu, ilat hukum dalam qiyas jali diperoleh dengan cara berIjtihad atau menganalogkan. Sedang ilat hukum dalam dalalah al-nash diperoleh dari pemahaman kata-kata dalam teks tersebut. Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.353-354
135 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.427 136 Dr. Fathi al-Dariny, Op.Cit, hlm. 351-359
71
Artinya: “Dan tanyakanlah negeri yang kami tadinya berada di situ…”. (Yusuf: 82)137
Untuk memperoleh arti yang benar menurut logika harus menambahkan
kata ahlu sebelum lafad al-qaryah.
b. Pembagian Menurut Jumhur (Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah)
Dalalah menurut jumhur dibagi menjadi dua : Dalalah Manthuq
dan Dalalah Mafhum. Dalalah Manthuq adalah penunjukkan lafad kepada
makna yang ditutur oleh teks. Dalalah Mafhum adalah penunjukkan lafad
kepada makna yang tidak ditutur, dipahami dari teks.138
Dalalah mafhum ada dua; Mafhum Muwafaqah dan Mafhum
Makhalafah. Mafhum Muwafaqah adalah penunjukkan lafad bahwa
hukum yang ditetapkan oleh teks berlaku untuk perbuatan yang tidak
ditutur oleh teks, karena persamaan ilat hukum yang dipahami dari bunyi
teks. Mafhum Mukhalafah adalah penunjukan lafad kepada makna, hukum
yang tidak ditutur, yang berkebalikan dengan hukum yang ditutur oleh
teks.
Mafhum Mukhalafah ada lima macam : Mafhum al-Sifat, Mafhum
al-Syarat, Mafhum al-ghayat, Mafhum al-‘Adad dan Mafhum al-Laqab.
Hukum Mafhum Mukhalafah selain Mafhum al-Laqab wajib diamalkan,
menurut Jumhur. Menurut Ulama Hanafiyah, mafhum mukhalafah tidak
dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan.139
137 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.361 138 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.360-361 139 Muhammad Mustafa Syalabi, Op.Cit, hlm.493-500
72
Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, pendapat jumhur lebih baik.
Karena Jumhur memberi syarat ketika kita akan berhujjah dengan Dalalah
Mafhum Mukhalafah, yaitu :
1. Tidak ada ketetapan yang tersurat (mantuq) tersendiri terhadap hukum
yang ditetapkan dengan mafhum mukhalafah.
2. Pembatasan (qayid) tidak berfaidah selain kebalikan dari mantuq.
Seperti faidah menakut-nakuti (targhib) ta’kid al-hal (menguatkan) dan
lain-lain.
3. Qayid disebutkan dengan sempurna.
4. Qayid tidak untuk menjelaskan hal-hal yang umum, hubungan antara
sesuatu dengan sesuatu yang lain secara umum.140
5. Dalalah Ghairu Lafidyah Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa keterangan (al-Bayan) dalam
nash hukum Islam, menjelaskan makna teks dan hukum syara’, ada lima
macam:
1. Bayan Taqrir, menguatkan ucapan seperti menjelaskan kemungkinan
majaz dan khas. Seperti contoh ����������'A� �@)n[����KL�& lafad
jamak, al-Malaikat, sudah menunjukkan Am kemudian dikuatkan dengan
lafad kullu, yang bertujuan menguatkan keumuman lafad jamak tersebut.
2. Bayan Tafsir, keterangan mengenai ketidakjelasan (makna yang
dimaksud) lafad Musytarak, Mujmal dan lainnya.
140 Dr. Wahbah Zuhaily, Op.Cit, hlm.
73
3. Bayan Taghyir, keterangan tentang pengalihan makna, dari makna zahir ke
makna yang lain, dengan perantaraan syarat atau pengecualian yang
bersambung dengan kalimat sebelumnya.
4. Bayan Tabdil, atau Naskh yaitu menghapus hukum syara’ dengan dalil
syara’ yang turun kemudian.
5. Bayan Darurat, keterangan berdasarkan keadaan darurat, dalalah bukan
lafad atau Dalalah al-Sukut (dalalah keadaan diamnya teks).141
Bayan Darurat ini, menurut Ulama Hanafiyah ada 4 macam, yaitu:
1. Tetapnya suatu hukum akibat dari menetapkan suatu hukum yang
berdasar pada lafad dalam teks.
2. Keadaan Rasulullah, tidak menjelaskan hukum suatu peristiwa hukum.
3. Diamnya seseorang yang dianggap sebagai dalalah lafad untuk
menghindari penipuan atau menolak penyiksaan terhadap orang lain.
4. Tidak disebutkan suatu kalimat dalam pembicaraan karena seseorang
sudah terbiasa membuangnya untuk meringkas pembicaraan.142
141 Dr. Wahabah Zuhaily¸ Op.Cit, hlm.199-200 142 Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Dr. Fathurrahman, Op.Cit, hlm.326-328
74
DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Jawad, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh fi Tsawbihi al-Jadidah,
Beirut: Dar al-Ilmi li al-Mala’in
Karim, Syafi’i. H. A. Drs, Fiqh –Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia,
Cet.II, 2001
Sirry, A. Mun’im, Sejarah Fiqh Islam – Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah
Gusti, Cet.I, 1995
Khalaf, Wahab, Abdul. Prof, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami, Terj.
Perkembangan Sejarah Hukum Islam,
Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet.I, 2000
Abdullah, Amin, .H.M. Dr. Prof, et.al, Madzhab Jogja – Menggagas Paradigma
Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-
Ruzz, Cet.I, 2002
Ali As-sayis, Ali, Muhammad. Dr, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Terj. Sejarah Fiqh
Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet.I, 2003
Beik, Khudori, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Sejarah Pembentukan Hukum
Islam, Darul Ihya
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudensi, Terj. Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,
Cet.I, 1984
Ranuwijaya, Utang. Drs. M.A., Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.I,
1996
75
Hallaq. B, Wael, A History of Islamic Legal Theories, Terj. Sejarah Teori
Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet.I, 2000
Al-Maraghi, Mustofa, Abdullah, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin, Terj.
Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,
Yogyakarta: LKPSM, Cet.I, 2001
E.P, Suparno. Drs, Glosarium – Kata Serapan Dari Bahasa Barat Dengan
Etimologinya, Semarang: Media Wiyata
Effendy, Mochtar. Dr. S.E, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku 2, Penerbit:
Universitas Sriwidjaya, Cet.I, Ed.2, 2001
Khalaf, Wahab, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, tt
Al-Thahhan, Mahmud. Dr, Taysir Musthalah al-Hadits, Al-Thaba’ah wa al-
Nasyr wa al-Tawzi’: Daru al-Fikr
Syalaby, Ahmad. Dr. Prof, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Terj. Sejarah Pembinaan
Hukum Islam, Jakarta: Jayamurni, Cet.II,1974
Rahman, Fazlur, Islam, 1968, Terj. Islam, Bandung: Pustaka, Cet.IV, 2000
Ash-Shidiqy, Hasby, Muhammad, Teungku, Pengantar Hukum Islam,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.II, 2001
Al-Jabiri, Abed, Muhammad, Takwin al-Aql al-‘Araby, Terj, Formasi Nalar
Arab – Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan
Pluralisme Wacana Interreligius, Yogyakarta:
IRCiSoD, Cet.I, 2003, hlm.163-175
76
Bakri, Jaya, Asafri. Dr, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 1996
Ghazali, Imam, Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Mesir: Maktabah al-Jindan
Al-Darini, Fathi. Dr, Al-Manahij al-Ushuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi Tasyri’I
al-Islamy, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadits,
1975
Zahrah, Abu, Muhammad, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Azali, tt
Syalaby, Mustafa, Muhammad, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdah
al-“arabiah
Badran, Al-‘Ainain, Abu, Badran. Dr, Ushul al-Fiqh al-Islami, Penerbit
Universitas Islam Iskandariah
Yahya, Mukhtar, Dr. Prof, dan Fathurrahman, Dr. Prof, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Alma’aif,
Cet.4, 1997
Zuhaily, Wahbah. Dr, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz.I, Dar al-Fikr
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra,
1989
Imam Bukhari, Shohih al-Bukhari, Jld.4, al-Taba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’:
Dar al-Fikr
Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Ma’ruf, Muhammad, Al-Madkhal Ila Ilmi
Ushul Al_fiqh, Cet.5, Dar al-Ilmi lil Malayin,
1965
Al-Syafi’i, al-Risalah , Baeirut: Dar al-Fikr, t.th
77
Fakhruddin Al-Razy, al-Mahsul fi Ilm Ushul al-Fiqh, Jil.I, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah