BAB II 2198201 -...
Transcript of BAB II 2198201 -...
21
BAB II
KONSEP PINJAM-MEMINJAM UANG,
KOPERASI DAN BUNGA
A. Pinjam meminjam uang
1. Pengertian pinjam-meminjam uang
Pinjaman menurut etimologi adalah ( ��������� ) diambil dari kata ( �� )
yang berarti datang dan pergi , atau ( ������� ) saling menukar dan mengganti
dalam tradisi pinjam-meminjam uang.1
Pinjam-meminjam menurut ahli fiqih adalah: transaksi antara dua
pihak. Misalnya: orang menyerahkan uang (barang) kepada orang lain secara
sukarela, dan uang (barang) itu dikembalikan lagi kepada pihak pertama
dalam waktu yang berbeda, dengan hal yang serupa.2
Ariyah menurut bahasa adalah pinjaman
1. Menurut Hanafiyah, pinjaman adalah:
���� ���������������� “Memiliki manfaat secara cuma-cuma ”
2. Menurut Malikiyah, pinjaman adalah:
��� ����������������������� “ Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan ”
1 Dr. Rahmat Syafe’i, MA, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 139. 2 Dr. Abu Sura’i Abdul Hadi MA, Bunga Bank dalam Islam, Al- Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 125.
22
3. Menurut Syafi’iyah , pinjaman adalah:
����� ���������� !"�#��$������� �%��&����'�(��������$�������#)�����$*+�
$*+�����,��-.*�������
“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, mungkin untuk dimanfaatkan, tetapi barang yang di pinjamkan dapat dikembalikan kepada pemiliknya”
4. Menurut Hanabilah, pinjaman adalah:
�&�-*�/���*��0����#��� ��*�1��#����������%��
“Kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya”
5. Ibnu Rif ’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pinjaman adalah:
��-.*�������'�(��������$�������2)������$��������%��&�
“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang yang halal, serta zatnya dapat dikembalikan”
6. Menurut al-Mawardi yang dimaksud dengan pinjaman adalah:
�����������+��
“Memberikan manfaat-manfaat.3
Pinjam-meminjam bisa juga diartikan dengan, memberikan sesuatu
yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak
barang (uang), agar dapat dikembalikan barang (uang) itu.4
3 Drs.H.Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm. 91-92. 4 Suwardi K Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 200, hlm.126.
23
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa pinjam-meminjam
merupakan perjanjian timbal balik antara dua pihak. Misalnya: A,
memberikan barang (uang) kepada B, dengan ketentuan B, akan
mengembalikan barang tersebut, sebagaimana barang yang diterimanya.
Sedangkan pinjam-meminjam dalam undang-undang hukum perdata
pasal 1740, dalam pasal tersebut dijelaskan, pinjam pakai adalah perjanjian
dengan memberikan suatu barang kepada pihak lain untuk dipakai dan
dimanfaatkan, dengan cuma-cuma, syaratnya setelah menerima dan memakai
barang tersebut, dalam jangka waktu tertentu harus mengembalikannya.
Definisi pinjam-meminjam adalah pengalihan kepemilikan barang
(uang) dengan pergantian di kemudian hari, tanpa ada tambahan dari barang
yang dipinjamkan.5
Dalam Islam pinjam-meminjam tidaklah dilarang bahkan dianjurkan,
agar terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara yang satu dengan
yang lain.6 karena dengan adanya pinjam-meminjam dapat mempererat
hubungan persaudaraan, dan orang dapat memenuhi kebutuhannya, juga
usahanya.
Dari pendapat di atas dapat difahami bahwa meskipun menggunakan
redaksi yang berbeda, namun materi permasalahannya tentang pinjam-
meminjam sama. Jadi yang dimaksud dengan pinjaman adalah memberikan
5 Murtada Mutahari, Asuransi dan Riba, Pustaka Hidayat, Bandung, 1995, hlm. 67 6 M. Syfi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, EKONOSIA, Yogyakarta, 1999,
hlm. 217.
24
manfaat suatu barang dari seorang kepada orang lain secara cuma-cuma, bila
digantikan dengan sesuatu maka tidak dapat disebut dengan pinjaman.
2. Hukum pinjam-meminjam
Hukum memberi pinjam-meminjam adalah sunah, karena
mengandung unsur kebaikan, yaitu menolong orang yang sedang kesusahan.
Menolong orang yang sedang kesusahan sangat dianjurkan oleh agama.
Seperti yang ada dalam hadist Rasululah SAW:
���#����3��45���6*�*��,���#7���8�9�����3��,�:�4+��;��<���#�
�#������(���=���>*?�#����*?����3��<������@���>*?�#����*?�#����#
6*A������@���,������3��*0���*0���,��*0��BC8�0��-��D��
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda: ‘barang siapa melepaskan orang mukminin suatu kesempitan, yaitu kesempitan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari suatu kesempitan pada hari qiyamat. Dan barang siapa yang memberi kemudahan atas kesukaran seseorang, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat’. (HR. Muslim)7
Pendapat yang sama tentang hukum pinjam-meminjam oleh Sayyid
Sabiq, pinjam- meminjam adalah sunah, sebagaimana yang dikutip oleh Taqy
al-Din, bahwa pinjam-meminjam hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun
landasan hukumnya dalam nash al-Qur’an:
C�6@E�����;FD
7 Drs. H. Ibnu Mas’ud, Drs. H. Zainal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia, Bandung,
hlm. 65.
25
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. al- Maidah: 2)8
3. Rukun dan syarat pinjam-meminjam
Menurut Hanafiyah bahwa rukun pinjam-meminjam adalah , ijab dan
qabul, ijab dan qabul tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada peminjam, ijab qabul dari pinjam-meminjam
cukup diucapkan.9
Adapun menurut golongan Syafi’iyah bahwa rukun pinjam-meminjam
adalah:
a. Kalimat meminjamkan (lafazh), seperti seorang berkata, saya pinjamkan
benda ini kepadamu, dan yang menerima berkata, saya mengakku
berhutang kepadamu.
b. Mu’ir yaitu orang yang meminjamkan, dan Musta’ir yaitu orang yang
menerima uang, syarat bagi yang meminjamkan adalah berhak
menyerahkannya.
Sedangkan syarat bagi pinjam-meminjam adalah:
1) Mu’ir berakal sehat, anak kecil dan orang gila tidak dapat meminjam
kan barang (uang).
8 Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si, op-cit, hlm93. 9Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si, op-cit, hlm. 94.
26
2) Pemegangan barang oleh peminjam, karena pinjam-meminjam adalah
transaksi dalam berbuat kebaikan.
3) Barang (must’ar), yang dapat dimanfaatkan, jika barang yang
dipinjam tidak dimanfaatkan maka pinjam-meminjam tidak sah.10
B. Pengertian koperasi
Koperasi adalah, kerja sama yang beranggotakan orang-orang maupun
badan-badan, dimana ia memberikan kebebasan untuk keluar dan masuk sebagai
anggota.11Kerja sama dalam koperasi ini dilaksanakan berdasarkan prinsip saling
membutuhkan dan kesamaan orang-orang, yang secara bersama-sama
mengupayakan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik yang dalam keperluan
pribadi atau perusahaan. Untuk mencapai tujuan itu dalam koperasi dibutuhkan
kerja sama yang dilakukan secara terus-menerus.
Sedangkan menurut Undang-Undang Koperasi Nomor 25 pada tahun
1992, koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak
sosial, dan beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang merupakan
susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Sedangkan koperasi dalam prakteknya di bagi menjadi lima golongan
yaitu:
1. Koperasi konsumsi
2. Koperasi simpan pinjam uang (koperasi kredit)
10 Dr. Rahmat Syfe’i, op-cit, hlm. 141. 11 Pandji anoraga, SE, MM, H Djoko Sudantoko,S.Sos, MM, koperasi kewirausahaan dan usaha
kecil, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm, 1
27
3. Koperasi produksi
4. Koperasi jasa
5. Koperasi serba usaha
1. Koperasi konsumsi
Koperasi konsumsi adalah, koperasi yang meminjamkan barang-
barang yang di perlukan setiap hari. Misalnya: beras, gula, garam, dan
minyak kelapa.12
2. Koperasi simpan pinjam
Koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit adalah, usaha yang
bergerak pada simpan pinjam uang. koperasi ini didirikan untuk memberi
kesempatan kepada anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dengan
mudah dan murah.
3. Koperasi produksi
Koperasi Produksi adalah, koperasi yang bergerak dalam bidang
kegiatan ekonomi pembuatan dan penjualan barang-barang, baik yang
dilakukan oleh koperasi sebagai organisasi maupun orang-orang (anggota)
koperasi. Contohnya: koperasi peternakan sapi perah, koperasi tahu tempe,
koperasi batik dan lain-lain.
12 Dra, Nanik Widiyanti, Sunindhia, S.H, Koperasi dan Perekonomiaan Indonesia,PT Rineka
Cipta, Jakarta,1992, hlm. 49.
28
4. Koperasi jasa
Koperasi jasa adalah, koperasi yang berusaha dibidang penyediaan
jasa bagi para anggota dan masyarakat umum. Contohnya: Koperasi
angkutan, Koperasi perencanaan, Koperasi Asuransi Indonesia dan lain-lain.
5. Koperasi serba usaha
Koperasi serba usaha atau Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi
yang dibentuk untuk meningkatkan produksi dan kehidupan rakyat di daerah
pedesaan. Koperasi Unit Desa bertujuan, mengembangkan ideologi dan
kehidupan perkoperasian dan mengembangkan kesejahteraan anggota
khususnya, kemampuan daya kreasi, untuk meningkatkan produksi dan
penjualan.
C. Bunga
1. Pengertian bunga
Bunga merupakan kompensasi yang di bayarkan kepada pemberi
pinjaman oleh peminjam atas keuntungan yang ia peroleh dari penggunaan
uang tersebut. Dengan demikian bunga di tentukan oleh besarnya keuntungan
yang tidak terkait dengan jumlah atau nilai pinjaman uang. Dan mereka
menganggap bila mana banyak hal dapat di lakukan dengan menggunakan
uang, banyak pula uang yang dapat di berikan untuk penggunaan tersebut 13.
13 Af Zalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1996,
hlm. 17.
29
Selanjutnya semua uang juga merupakan simpanan yang dapat di karyakan
dan bertalian erat dengan semua nilai pekerjaan.
Sedangkan bunga dalam buku Principles of Economics, adalah harga
yang di bayarkan untuk pemakaian modal dalam pasar cenderung ke tingkat
keseimbangan, sehingga permintaan akan modal seluruhnya dalam pasar
menurut tingkat bunga tertentu, sama dengan pinjaman di peroleh pada
tingkat bunga. Bilamana pasar yang di maksud kecil, misalnya: satu kota
atau satu kegiatan dalam negara yang maju maka permintaan modal
meningkat, di situ akan langsung bertemu dengan penawaran yang meningkat
dari daerah atau usaha sekitarnya. Akan tetapi bila kita memandang negara
besar sebagai pasar modal, maka kita tidak dapat melihat penawaran yang
agregat berubah cepat, dan banyak perubahan dalam tingkat bunga, sebab
modal umum adalah, produk dari bekerja dan menunggu, dan pekerjaan
tambahan serta menunggu tambahan, yang akan terangsang oleh peningkatan
tingkat bunga. Tidak akan segera berjumlah besar bilamana dibandingkan
dengan pekerjaan dan menunggu, hasil persediaan modal total ada
penambahan, permintaan modal yang luas pada umumnya, karena itu akan
bertemu selama waktu tertentu bukan dengan peningkatan permintaan,
melainkan dengan peningkatan tingkat bunga14. Tetapi ada juga pendapat
yang mengatakan bahwa bunga adalah imbalan untuk menunggu
sebagaimana adanya, daripada melihat sebagai imbalan karena tidak
14 John Mainerd Keynes, Teori umum mengenai kesempatan kerja, Bunga dan Uang, Gajahmada
University Pres, hlm. 173-174.
30
menyimpan, sama halnya dengan tingkat-tingkat hasil pinjaman yang
menyangkut derajat resiko yang berbeda-beda. Sewajarnya di pandang bukan
sebagai imbalan untuk menunggu. Karena kesemuanya itu adalah imbalan
bagi resiko yang di tanggung dalam menghadapi salah satu jenis
ketidaktentuan.15
Sedangkan secara leksikal, bunga adalah tanggungan pada pinjaman
uang yang dihitung dari prosentase uang yang di pinjamkan. Pendapat lain
menyatakan bunga yaitu: sejumlah uang yang di bayarkan atau di
kalkulasikan untuk penggunaan modal tersebut, misalnya dinyatakan dengan
satu tingkatan prosentase modal yang bersangkut-paut dengan suku bunga
modal 16.
Sedangkan dalam ilmu ekonomi bunga uang timbul dengan sejumlah
uang pokoknya, yang lazim di sebut dengan istilah kapital atau modal berupa
uang. Dalam dunia ekonomi bunga uang lazim pula disebut dengan istilah
rente. Kebanyakan orang menganggap bahwa bunga itu sebagai harga yang
di bayarkan untuk penggunaan modal uang.
Sedangkan menurut Goed Hart bunga uang atau rente adalah
perbedaan nilai yang tergantung pada perbedaan waktu, berdasarkan atas
perhitungan ekonomi. Menurut Tohar Ibrahim bunga uang atau interes adalah
harga daripada alat produksi modal. Menurut Hermanes, bunga uang adalah
15 John Mainerd Keynes, Ibid., hlm. 169. 16 Editor Anas Hidayat dan Sabirin Malian, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII
Press Yogyakarta, 2000, hlm. 146-147.
31
pendapatan yang di terima oleh pemilik kapital uang karena ia meminjamkan
uangnya kepada orang lain, tentu pemilik kapital uang dapat juga
menggunakan uang itu dalam perusahaannya sendiri. Pemilik kapital uang ini
sudah tentu tak akan menerima bunga, akan tetapi bunga yang tidak di terima
itu diperhitungkan dalam biaya produksi. Perhitungan itu dapat didasarkan
pada bunga yang umum berlaku, jadi bunga itu tidak lain daripada harga yang
di bayarkan untuk menggunakan kapital uang, 17 karena bunga itu
berdasarkan milik orang atas kapital uang. Maka bunga itulah disebut
pendapatan milik.
Jika kita lihat modal yang dipinjam kepada perusahaan, maka
modalnya akan dihitung dengan barang-barang material (bahan-bahan baku)
yang digunakan untuk produksi barang dan jasa. Maka bunga sebagai harga
yang di bayarkan untuk biaya produksi, disini timbul ketidakjelasan karena
modal digunakannya secara konvensional. Memang bahwa uang membeli
barang baik barang-barang produktif maupun barang-barang konsumtif
(sebaliknya barang membeli uang), tetapi benar bahwa uang mambeli buruh
dan tanah sekaligus, bila kita identifikasikan sewa dengan bunga uang, karena
uang membeli mesin-mesin maka dengan analogi yang sama seharusnya kita
mengidentifikasikan bunga dengan tingkat upah dan sewa tanah.18
Sedangkan sewa menurut Ricardo adalah bagian hasil yang di
bayarkan untuk penggunaan kekayaan dan tak dapat rusak, atau disebut
17 Drs. A. Sabirin, Bunga Uang dan Riba Dalam Hukum Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1984,
hlm. 18-19.
32
surplus diferential. Kalau dipandang dari hukum Islam pembayaran sewa
tidaklah bertentangan dengan etika ekonomi Islam, tetapi sepintas baik sewa
maupun bunga kelihatan satu dan sama, karena sewa adalah harta yang di
bayarkan atas peminjaman benda, sedangkan bunga di bayarkan atas modal.19
Modal itu mempunyai potensi untuk dialihkan menjadi harta benda atau
kekayaan apa saja.
Teori abstinence menganggap bunga adalah sejumlah uang yang
diberikan kepada seseorang, karena yang memberi pinjaman telah menahan
keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri, semata-mata untuk memenuhi
keinginan peminjam.
Teori produktif konsumtif menganggap setiap uang yang dipinjamkan
akan membawa keuntungan bagi orang yang dipinjaminya, jadi setiap uang
baik pinjaman produktif maupun konsumtif pasti menambah keuntungan bagi
peminjam.
Teori opportunity menganggap bahwa dengan meminjamkan uangnya
berarti pemberi pinjaman menunggu atau menahan diri untuk tidak
menggunakan modalnya sendiri,20 yang dapat menghasilkan keuntungan.
18 Dr. Monzer Kalf, Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 91-92. 19 Moh. Abdul Manan., Ekonomi Islam Teori dan Praktek, PT Inter Masa, 1992, hlm. 114-115. 20 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, CV Adi Putra, Yogyakarta, 2002,
hlm. 8-10.
33
Dalam praktek bunga merupakan keuntungan yang diperoleh pihak
bank karena jasanya telah meminjamkan uang untuk memperlancar kegiatan
usaha perusahaannya.21
2. Hukum bunga
Banyak tanggapan dan pandangan dari para ulama dan ahli fiqh baik
klasik maupun kontemporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba
atau tidak. Salah satu madzhab pemikiran percaya bahwa riba bukan bunga,
sementara madzhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan antara bunga dan riba.
Untuk mendapat jawaban mengenai apakah bunga itu hukumnya
sama dengan riba, kita harus tahu arti riba dalam perspektif sejarahnya yang
tepat. Arti bebas riba adalah tambahan atau pertumbuhan, namun arti ini tidak
penting dalam penelitian ini karena setiap pertambahan dari pertumbuhan
perdagangan dalam industri tidaklah dilarang. Tetapi digunakannya kata al di
depan riba dalam al-Qur’an menunjukan kenyataan bahwa al dalam riba
mengacu pada perbuatan mengambil sejumlah uang yang berasal dari seorang
yang berhutang secara berlebihan,22kadang dengan unsur paksaan dan
tekanan. Sedangkan bunga menurut sebagian orang boleh diambil karena nilai
kelebihannya tidak terlalu tinggi dan tidak ada unsur paksaan.
21 Suhnawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 27. 22 Moh Abdulmanan, op. cit., hlm. 118-119.
34
Yang menjadi permasalahan adalah, apakah bunga sama dengan riba.
Memang masalah ini sangat menarik untuk dibahas. Dalam buku pedoman
akuntansi syari’ah terdapat berbagai pendapat mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa bunga tidak identik dengan riba
sehingga bunga di bolehkan (halal). Pendapat kedua beranggapan bahwa
bunga belum jelas kedudukannya sehingga bunga diletakkan sebagai sesuatu
yang mutasyabihat (sebaiknya jangan dikerjakan). Dan pendapat ketiga
mengatakan bahwa bunga identik dengan riba, sehingga hukumnya
haram.23Namun dari pendapat-pendapat ini belum ada satupun yang
mendasarkan pada dalil yang jelas dan kuat.
Beberapa ahli hukum Islam berpendapat bahwa pungutan bunga
nyatalah yang harus diharamkan, sedangkan suku bunga nominal yang
mengimbangi laju inflasi tidak diharamkan. Bila suku bunga nominal itu tidak
mengimbangi laju inflasi maka hal ini berarti pada hakekatnya pihak
penabung memberi subsidi kepada pihak yang berhutang.24Abu Sura’i
berpendapat bahwa baik bunga bagi pinjaman konsumtif maupun pinjaman
modal produktif adalah riba, jadi hukumnya sama.25
Sebelum lebih jauh berbicara tentang hukum bunga apakah sama
dengan riba, bisa dilihat lebih dahulu dampak dari bunga karena penciptaan
23 Hartono Widodo, PAS (Pedoman Akuntansi Syari’ah) Panduan Praktis BMT, Mizan, Bandung,
1999, hlm. 44. 24 J.T. Salim, Alih Bahasa, Bisnis Menurut Islam Teori dan Praktek, PT Inter Masa, Jakarta, 1988,
hlm. 42-43. 25 M. Rusli Karim, Berbagai Aspek Ekonomi Islam, PT Tiara Wacana dan P3EI UII, Yogyakarta,
1992, hlm. 121-122.
35
kredit oleh bank-bank. Kemampuan bank menciptakan kredit tidak tergantung
pada syarat-syarat untuk memperluas kemampuannya, karena kemampuan ini
tergantung pada kebiasaan masyarakat yang menyimpan sebagian
pendapatannya dalam bentuk uang tunai, dan menyimpan kelebihannya di
bank. Bagaimanapun juga bunga itu sangat menentukan untuk tujuan-tujuan
kredit serta penawaran dan permintaan. Jika bunga tidak ada, dengan asumsi
bahwa dengan pemenuhan pinjaman bebas bunga tidak dapat menjadi suatu
usaha bank yang utama sebagai perusahaan pencari laba pinjaman. Pinjaman
bank hanya dapat dilakukan untuk kegiatan perusahaan produktif. Kredit
hanya diciptakan sepanjang ada kemungkinan untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat melalui perusahaan produktif.26
Beberapa pendapat atau fatwa juga dikeluarkan oleh para tokoh Islam.
Imam Akbar Syekh Mahmud Syahut, berpendapat bahwa pinjaman berbunga
dibolehkan bila sangat dibutuhkan. Fatwa ini muncul tatkala beliau ditanya
tentang kredit yang berbunga dan kredit suatu negara dari negara lain atau
perorangan serta tentang saham dan surat-surat berharga. Beliau menjawab
ketika al-Qur’an melarang orang-orang mukminin melakukan transaksi
dengan riba, yang pengertiannya telah dibatasi oleh kebiasaan masa turunnya
al-Qur’an yaitu seorang berhutang kepada orang lain kemudian setelah jatuh
tempo debitur mengatakan kepada kreditur, berikanlah perpanjangan waktu
kredit kepadaku maka aku akan tambah bunganya, lalu kedua orang itu
26 Moh. Najetulah Sidiqi, Isues In Islamic Banking, The Islamic Faundation London, London,
1403H/1983M, hlm. 66.
36
melakukannya. Inilah yang dinamakan riba berganda. Kemudian Allah
melarang hal semacam ini dalam Islam. Biasanya terjadinya riba semacam ini
antara sifakir dengan sikaya yang memanfaatkan kesempitan orang dengan
tidak meperdulikan sendi-sendi kasih sayang yang menjadi dasar
pembangunan masyarakat dalam Islam.
Pendapat yang kedua yaitu pendapat Syekh Rasyid Ridla. Beliau
membenarkan kaum muslimin mengambil bunga dari penduduk negeri kafir.
Menurut ketentuan asal syari’at, harta penduduk negeri kafir Harbi boleh
diambil oleh pihak yang menguasainya. Sebabnya adalah kezaliman sikafir
Harbi membahayakan orang muslim. Pendapat lain yang dikemukakan oleh
Rasid Ridla berkenan dengan pinjaman uang untuk investasi sehubungan
dengan itu setelah mengadakan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang riba (bunga) menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam
pengertian riba jika seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang)
untuk di investasikan sambil menetapkan kadar tertentu (prosentase) baginya
dari hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola
dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah
seorang tanpa sebab kecuali keterpaksaannya.
Pendapat yang ketiga dikemukakan oleh Az-Zarka, seorang guru besar
hukum Islam di Universitas Aman Yordania. Beliau pendapat sama dengan
Abdul Hamid Hakim yaitu riba fadl dibolehkan tetapi bersifat sementara,
artinya umat Islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem
bank konvensional, dengan mendirikan bank Islam, sehingga keraguan atau
37
sikap tidak setuju dengan bank konvensional bisa dihilangkan.27 Berbicara
mengenai masalah bunga sebagai riba atau bukan, masuk dalam urusan
keyakinan. Hal ini menjadikan justifikasi bagi beberapa orang untuk
menerima atau menolak bunga sebagai riba. Oleh karena membicarakan
bunga sebagai riba atau bukan oleh sementara pihak akan menyinggung pihak
lain, yang menganggap bunga sebagai riba dan yang menganggap bunga
bukan riba. Karena dalam al-Qur'an atau Hadis tidak ada aturan yang pasti
mengenai hal ini apakah bunga itu riba. Tapi tidak salah kalau kita mengacu
pada pendapat Imam Ghozalli mengenai hukum darurat untuk menentukan
hukum bunga apakah sama dengan riba. 28Menurut pendapat Imam Ghozali,
setiap perkara yang melampaui batas akan menimbulkan sesuatu yang
sebaliknya, dan ulama fiqih telah membuat kaidah bahwa darurat atau
kesukaran akan memberikan kemudahan. Hukum Islam mempunyai ruang
yang luas untuk menyelesaikan perkara-perkara khusus dengan memberikan
kelonggaran dengan sebagian hukum tertentu.
Hujah-hujah diatas mendorong Fitzgerald membuat kesimpulan
bahwa darurat merupakan salah satu sumber hukum. Tidak ada suatu hukum
dalam keadaan darurat adalah merupakan suatu peraturan biasa yang dapat
dilaksanakan dalam kasus-kasus yang mendesak. Ketika dalam peperangan
tentara berkuda diperbolehkan sholat diatas pelana kudanya tanpa harus
turun. Puasa itu wajib, tapi ibadah itu dapat ditangguhkan untuk orang-orang
27 Anas Hidayat dan Sabirin Malian, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII PRES
Yogyakarta, 2000, hlm. 151-152. 28 Heri Sudarsono SE., op. cit., hlm. 13-14.
38
yang berpergian jauh. Begitu juga orang-orang Islam yang kelaparan
diperbolehkan memakan benda-benda yang diharamkan.29
Dari berbagai pendapat tersebut diatas dapat diklarifikasikan tentang
haram halalnya atau boleh tidaknya bunga.
a. Dalam keadaan darurat bunga dibolehkan hukumnya
b. Hanya bunga yang berlipat ganda yang dilarang, adapun suku bunga yang
wajar dan tidak menzalimi diperbolehkan
c. Bunga diberikan sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan untuk
memperoleh keuntungan dari pengolahan dana tersebut
d. Uang dapat di anggap komoditi sebagai mana barang-barang lain, sehingga
dapat disewakan atau di ambil upah atas penggunaannya.
e. Bunga diberikan untuk mengimbangi laju inflasi
f. Bunga di berikan sebagai imbalan atas pengorbanan tidak berpatung
menggunakan pendapatan yang diperoleh.
D. Riba
1. Pengertian riba
Riba menurut bahasa berarti tambahan, bertambah, meningkat,
membesar, dengan kata lain riba adalah penambahan, pembesaran,
peningkatan, perkembangan pemberi pinjaman dari peminjam dari jumlah
pinjaman pokok sebagai imbalan karena meningalkan atau berpisah dari
sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.
29 Dr. M. Muslehudin, Asuransi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1995, hlm. 84-85.
39
Definisi riba menurut syara’ masih menjadi perselisihan para ahli fiqih
sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penerapan
haramnya.
Golongan Hanafi misalnya mendefinisikan, bahwa setiap kelebihan
tanpa adanya imbalan pada takaran dan timbangan yang dilakukan antara
pembeli dan penjual di dalam tukar menukar misalnya, dirham dengan berat
yang sama, dibolehkan.
Menurut golongan Syafi’i riba ialah transaksi dengan imbalan tertentu
yang tidak diketahui kesamaan takarannya, maupun ukurannya, waktu
dilakukan transaksi atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang
yang ditukar salah satunya. Kesamaan takaran atau ukuran yang dimaksud
disini adalah pada barang sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan
perak. Penundaan waktu penyerahan boleh jadi harga dari salah satu barang
itu telah berubah harganya. Menurut golongan Syafi’i sebab larangan ini
berlakunya pada barang makanan, meskipun barang tersebut pengukuranya
menggunakan takaran atau timbangan yang dilakukan tidak secara tunai.
Alasan larangan tersebut pada barang yang sama, adalah hadist Ubadah bin
Shamid, dari Nabi SAW yang artinya : “( emas dengan emas, perak dengan
perak, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, dan beras dengan
beras, garam dengan garam (haruslah sebanding serta tunai )”.
Golongan Maliki dalam definisinya mereka ini hampir sama dengan
golongan Syafi’i, hanya berbeda ilatnya. menurut mereka ilatnya ialah pada
transaksi tidak kontan pada bahan makanan yang tahan lama. Sedangkan yang
40
di maksud dengan ilat tidak kontan yaitu barang yang bernilai seperti
pendapat golongan Syafi’i, termasuk dalam kategori bahan makanan yang
dapat di simpan adalah buah-buahan.
Menurut golongan Hambali riba menurut syara’ adalah tambahan
yang diberikan pada barang tertentu. Yang dimaksud dengan barang tertentu
adalah yang dapat ditukar atau di timbang dengan jumlah yang berbeda.30
Tindakan semacam inilah yang dinamakan riba.
Dalam Islam riba secara khusus merujuk pada kelebihan yang diminta
dengan cara-cara tertentu seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar Asqalani
mengatakan bahwa inti dari pada riba adalah kelebihan, baik itu dalam bentuk
barang maupun uang. Seperti dua rupiah sebagai penukaran satu rupiah.
Sedangkan menurut Syah Waliullah dari Delhi, unsur riba terdapat
dalam hutang yang diberikan dengan persyaratan bahwa peminjaman akan
membayar lebih dari pada apa yang telah diterima dari pemberi pinjaman.31
Walaupun sipeminjam rela memberi tambahan menurut Syeh Waliullah tetap
diharamkan karena dianggap sebagai tambahan.
Persoalan riba ini bukan hanya dibicarakan dalam agama Islam saja
tetapi juga dalam agama Samawi, bahkan sejak zaman kejayaan raja Athena
Salon telah membuat undang-undang yang melarang riba, mereka
menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang
30. Dr Muslehuddin. op. cit., hlm. 24-25. 31 Afzalurahman, op. cit., hlm. 83-84.
41
tersebut tidak turut serta menanggung resiko. Oleh karena itu Aristoteles
berpendapat bahwa wajib bagi kita menolak penabungan uang (riba) karena ia
adalah suatu jalan keuntungan yang lahir dari uang sendiri.32 Karena uang
tidak dipergunakan kecuali untuk tukar menukar dan mendapatkan
keuntungan darinya.
Mohamad Ibnu Abduelah Ibnu al-Arubi al-Maliki dalam kitab Ahkam
al-Qur’an mengatakan pengertian riba secara bahasa adalah tambahan,
sedangkan menurut al-Yani dalam kitabnya Umdatul qari mengatakan bahwa
prinsip utama riba adalah penambahan seperti halnya pendapat yang lain.
Riba menurut syari’ah adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis riil.
Sedangkan menurut pendapat Sayid Sabiq dalam kitab fiqih sunah
tentang riba lebih diperluas lagi bukan hanya pada tambahan saja, tetapi juga
pada tambahan itu sedikit atau banyak, itu dinamakan riba.33
Sedangkan pengertian riba secara etimologis, mengandung arti
sebagai tambahan atau lebihan yang digunakan untuk modal usaha. Dalam
istilah orang jahiliyah ia berarti sebagai lebihan yang dikenakan atas modal,
karena memberi perpanjangan waktu untuk membayar utang, ini disebut riba
nasiah atau tambahan yang dikenakan karena terlambat membayar utang.
Permasalahan ini di larang keras dalam Islam karena di anggap sebagai
32 Editor M. Rusli Karim., Berbagai Aspek Ekonomi Islam, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992,
hlm. 120-121. 33 Heri Sudarsono SE., Ibid., hlm. 1
42
menimbun kekayaan tidak wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa
melakukan tindakan kebajikan.34 Islam membenarkan untuk melakukan
perdagangan tapi melarang riba.
pengertian etimologis di atas memberi gambaran, bahwa riba bisa
dibedakan dengan pengertian yang lain. Dalam kamus, kata etimologis riba
berarti tambahan misalnya “ Al.
Artinya : Si Fulan melebihi Fulan lainya
Contoh lain
Artinya : Besar dan tumbuh
Contoh lain
Artinya : Aku mengambil lebih banyak dari yang kuberikan
Contoh lain : Firman Allah Surat Al- Haqoh 10
Artinya : “ …lalu ia mengambil lebih banyak…”
Dengan memperhatikan riba secara etimologis tersebut, bisa
diketahui pengertian yang kurang dari maksud yang sebenarnya, yaitu bahwa
batas tambahan bukanlah semata-mata yang dikehendaki oleh ahli fiqih.
Karena tambahan dalam pengertian secara umum tidaklah dengan
sendirinya berarti riba. Tetapi yang dimaksud adalah tambahan yang berasal
dari usaha halal yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.35
Sekiranya semua bentuk tambahan haram, tentu perdagangan juga haram.
34 Dr. Muh. Muslihuddin, Sistem Perbangkan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1974, hlm. 76. 35 Dr. Abu Sura’i Abdul Hadi MA., Bunga Bank Dalam Isalm, Al Ikhlas, Surabaya, 1994,
hlm. 21-22.
43
Padahal Islam menghalalkan perdagangan seperti kita ketahui bersama, sebab
menyangkut kepentingan manusia dan diketahui sebagai hak yang di
benarkan oleh agama, karena bersifat dharuri (esensial).
Dalam formula Imam Baihaqi, riba baru dikenakan pada saat
peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan minta perpanjangan waktu.36
Dan sipemberi pinjaman memaksa kepada sipeminjam untuk mengembalikan
lebih dari hutang yang dipinjamkan.
Dr Muhammad Yusuf Musa guru besar pada Universitas Kairo Mesir
berpendapat bahwa arti riba adalah mereka yang berjual beli dengan harga
yang ditempokan apabila sudah datang temponya maka berkata orang yang
menghutangkan kepada orang yang berhutang: “Apakah kau akan bayar
sekarang atau akan engkau tambah pembayaranmu nanti.37 Artinya apabila
akan engkau tambah pembayaranmu nanti maka akan saya tambah temponya.
Pendapat tentang riba ini juga dikeluarkan oleh MA Manan dalam
bukunya Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Menurut MA Manan seperti
pendapat-pendapat yang lain, riba yaitu pertambahan dan pertumbuhan dari
modal awal. 38 Tetapi kata al didepan dalam al-Qur’an menunjukan bahwa
al-Riba mengacu pada perbuatan mengambil sejumlah uang yang berasal dari
seorang yang berhutang sacara berlebihan .
36 Ir. H. Adi Warna Aswar Karim, MA. EP., Ekonomi Islam Sutu Kajian Kontemporer, Gema
Insani Pres, Jakarta, 2001, hlm. 70. 37 Drs Sabirin Harahap, op. cit., hlm. 45. 38 MA. Manan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, PT Diana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,
hlm. 118.
44
Sedangkan menurut pendapat Nazwar Syamsu dalam buku manusia
dan ekonomi, riba meliputi semua keuntungan yang tidak wajar,baik dari
pinjam-meminjam maupun jual-beli atau sewa-menyewa.39 Riba dapat
disamakan dengan “ Ekploitation de I’home Par I’home” pemerasan manusia
oleh sesama manusia.
2. Macam-macam riba
Menurut pendapat para ulama, riba itu ada empat macam:
a. Riba fadhli (menukar dua barang yang sejenis dengan tidak sama).
b. Riba qardhi (meminjamkan dengan cara ada keuntungan bagi yang
mempiutangi).
c. Riba yadh ( bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima).
d. Riba nasa ( penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang )
Pada umumnya ulama membedakan riba itu atas tiga macam , yaitu
Riba fadhl, Riba yadh, Riba nasa ( adapun riba qardhi termasuk Riba nasa)
Ulama Fiqih membagi riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba
fadhl.40 Riba nasiah adalah riba jahiliyah, riba bertempo, Yaitu tambahan
pembayaran kembali sebagai ganti penundaan waktu membayarkannya. Riba
fadhl ialah tambahan yang di peroleh seseorang sebagai hasil penukaran dua
barang yang sejenis.
39 Nazwar Syamsu, Manusia dan Ekonomi.Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 201. 40 Drs Sabirin Harahap. op. cit., hlm. 57-58.
45
Riba nasiah bisa juga diartikan sebagai pembayaran lebih yang di
syaratkan oleh orang yang meminjamkan, sedangkan riba fadhl penukaran
lebih dari satu barang sejenis yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. seperti emas, perak, gandum, beras dan lain-lain.41 Ada juga
ulama atau tokoh yang mengartikan riba sama dengan bunga dan
menyaratkan tiga unsur, yaitu:
a. Kelebihan atau tambahan surplus yang melebihi dari modal yang di
pinjamkan.
b. Ketentuan besarnya surplus tergantung periode waktu.
c. Persetujuan terhadap syarat-syarat pembayaran kelebihan ditentukan.
Ketiga syarat tersebut membentuk riba,42 dan semua bentuk tawar
menawar dan transaksi kredit dalam bentuk uang dan transaksi sejenisnya,
unsur-unsur tersebut dianggap sebagai transaksi riba oleh para ahli fiqih dan
ahli ekonomi.
Dengan demikian yang dinamakan riba adalah tambahan yang di
berikan oleh peminjam kepada yang meminjamkan atas pinjaman pokoknya.
Setiap transaksi yang mengandung unsur lebihan dari pokok pinjaman, dan
jumlah tambahan yang disyaratkan, ini dinamakan riba.43
41 Karnaen Perwatatmadja., Apa dan Bagaimana Bank Islam, PT Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta,
1992, hlm. 9. 42 Afzalur Rahman, loc. Cit., hlm. 86. 43 Dr. Abu Surai Abdul Hadi MA, op. cit., hlm. 22-23.
46
3. Hukum riba
Para ulama fiqih mulai membicarakan tentang riba ketika mereka
membahas berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an
yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya
datang larangan yang tegas pada akhir priode penetapan hukum riba. Riba
pada agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram. Tersebut didalam
perjanjian lama kitab Keluaran ayat 25 pasal 22: ’Bila kamu menghutangi
seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku
laksana seorang pemberi hutang. Janganlah kamu meminta keuntungan
padanya untuk pemilik uang’. Tetapi orang Yahudi beranggapan bahwa riba
itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi
Islam menganggap ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang
berlaku pada golongan tertentu, sebagai mana yang tercantum dalam
perjanjian hanya merupakan ketetapan yang telah di palsukan. Sebab riba ini
diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja, sebab tindakan ini adalah
zalim dan kezaliman diharamkan pada semua orang tanpa pandang bulu.
Dalam hadits qudsi disebutkan: Wahai hambaku ! aku mengharamkan kepada
diriku dan aku telah tetapkan sebagai perbuatan haram ditegah kamu, karena
itu janganlah kamu saling berbuat zalim!.
Islam tidak membedakan manusia karena bangsanya atau warna
kulitnya atau keturunanya, karena semua manusia adalah hamba Allah. Tetapi
umat Yahudi menganggap ada perbedaan besar antara umat Yahudi dengan
umat yang lain, sebagaimana mereka katakan dalam al-Qur’an “kami adalah
47
putra-putra Allah dan kekasihnya”44 Orang Yahudi mengharamkan riba
sesama mereka tetapi menghalalkanya kalau dilakukan pada pihak lain. Hal
inilah yang mendorong umat Yahudi memakan riba dari pihak lain dan
menurut al-Qur’an, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai hal memakan
riba.
Al-Qur’an melarang praktek riba karena riba sama saja dengan
mengajari orang berlaku tidak pernah merasa puas dengan uang. Kekayaan
ditumpuk untuk kepentingan sendiri bukan untuk kemaslahatan bersama.
Orang akhirnya berorientasi pada komersil semata dan keuntungan menjadi
segala-galanya,45 tanpa memikirkan kepentingan orang lain, terutama orang
yang sangat membutuhkan.
Dalam ayat-ayat sebelumnya telah dijelaskan oleh Allah S.W.T,
hukum sedekah dan bagaimana sikap dan prilaku orang yang selalu
bersedekah, menginfaqan harta bendanya semata-mata mengharapkan ridla
Allah. Wajah yang selalu senyum, hati yang ikhlas, jiwa yang suci penuh
kasih sayang, adalah ciri khas orang yang selalu bersedekah, yang dinyatakan
dalam ayat-ayat tersebut. Sebaliknya lawan dari sedekah, ayat-ayat
berikutnya membeberkan secara langsung praktek riba dan pelaku-pelakunya
dengan wajah yang sangat buruk dan hati yang gersang yang menimbulkan
44 Editor Anas Hidayat dan Sabirin Malian, op.cit., hlm. 144-145. 45 M. Umar Capra, Et al., Etika Ekonomi Politik Elemen-Element Pembangunan Masyarakat Islam,
Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 93.
48
kejahatan didalam masyarakat, kerusakan dimuka bumi dan kebinasaan
terhadap hamba-hamba Allah.
Perkara yang paling buruk dan paling jelek diantara perkara Jahiliyah
yang telah di berantas oleh Islam adalah perkara riba, dan tidak ada ancaman
yang paling keras yang terkandung dalam berbagai ayat al-Qur’an, baik dari
segi lafads atau makna, yang tersurat maupun tersirat, melainkan terhadap
riba.
Riba di zaman jahiliyah telah menimbulkan mafsadat dan kejahatan,
akan tetapi ia tidak nampak dalam bentuk wajah-wajah buruk secara merata
didalam masyarakat jahiliyah seperti yang terjadi hari ini di dunia yang
sedang kita huni. Dan tidak pula nampak secara umum dengan wajah penuh
noda dan darah sebagaimana yang kita saksikan didalam masyarakat sekarang
ini.46 Gambaran seram yang terkandung dalam ayat ini tentang sistem riba
yang dibenci, sesungguhnya telah nampak hikmahnya hari ini dari kenyataan
yang terjadi, yaitu kecemasan dan kegoncangan hidup yang di alami manusia.
Disamping itu, semakin besar riba, semakin kecil infaq seseorang,
semakin kecil riba, semakin besar infaq seseorang. Dalam suatu masyarakat
dimana riba telah begitu merajalela tingkat infaqnya akan kecil. Bahkan
kadangkala orang berusaha untuk menghindar membayar zakat yang memang
merupakan kewajibanya. Sebaliknya bila praktek riba dihapuskan dari
praktek perekonomian, infaq akan tumbuh subur. Allah menjanjikan dalam
46 Ahmad Syaefudin, Ekonomi Dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam, CV Rajawali, Jakarta,
1987, hlm. 227-229.
49
al-Qur’an “Allah menghapuskan riba dan menyuburkan sedekah (Q.S 2: 276).
Disini riba sangat terlihat jelas mempengaruhi akal dan pikiran seseorang
untuk berbuat kepada simiskin untuk lebih miskin lagi.
Didalam Al-Wasa’il jilid II halaman 597: Dari Hisam Bilal Hakam,
bahwa ia bertanya kepada Abu Ubaedilah AS tentang alasan diharamkannya
riba, beliau menjawab “Kalau riba dihalalkan, maka manusia akan
meninggalkan perdagangan dan apa-apa yang mereka butuhkan”. Maka Allah
mengharamkan riba agar manusia keluar dari yang haram menuju yang halal,
menuju perdagangan dan jual beli, sehingga hal itu tetap berlaku diantara
mereka dalam bentuk pinjaman.47
Dari Muhammad Bin Sinan: Ali Bin Musa Ar-Ridha menulis surat
kepadanya, diantara jawaban atas masalah-masalah yang dinyatakan tentang:
”Alasan diharamkannya riba yang dilarang Allah yang menyebabkan
kerusakan harta”. Karena mengambil dan memberikan riba adalah kerugian
bagi pembeli dan bagi penjual. Maka Allah S.W.T mengharamkan riba
terhadap hamba-hambanya, karena menyebabkan kerusakan harta.48
Sebagaimana Allah mengharamkan seseorang untuk menyerahkan pada
orang bodoh hartanya karena dikhawatirkan hartanya itu akan musnah,
hingga ia mengerti. Karena alasan ini Allah mengharamkan riba dan
penjualan satu dirham dengan dua dirham.
47 Adiwarman Azwar Karim MA., Ekonomi Mikro Islam, III T Indonesia Bekerjasama Karim Binis
Konsultan, Jakarta, 2002, hlm. 70. 48 Murtadha Muthahari, Pandangan Islam Tentang Asurasi Dan Riba, Pustaka Hidayah, Bandung,
1995, hlm. 245-246.
50
Sementara itu Majlis Tarjih juga telah mengambil keputusan masalah
keuangan secara umum, (1976.) “Riba hukumnya haram dengan nas sharih
al-Qur’an”,49 karena mengeluarkan tambahan pada peminjam uang sangat
menjerat leher peminjam.
Dalam al-Qur’an perbuatan menerima atau membayar riba dengan
tegas diharamkan, dan tidak perlu disangsikan lagi, mengenai pandangan
Nabi Muhammad S.A.W tentang orang-orang yang hidup dari bunga yang
konvensional, di anggap sebagai riba.50
Sedangkan riba menurut Dr. Abu Surai Abdul Hadi M.A dalam
bukunya Bunga Bank dalam Islam ada dua macam riba yaitu: jelas dan samar.
Yang jelas diharamkan karena bahayanya besar, sedangkan yang samar
diharamkan karena menjadi jalan menuju yang jelas, yang pertama haram
karena dzatnya sedangkan yang kedua haram karena menjadi jalan antara.51
E. Hubungan antara pinjam-meminjam uang, bunga dan riba
Evaluasi konsep pinjam-meminjam dan bunga tidak lepas dari
perkembangan lembaga simpan pinjam uang. Lembaga keuangan timbul karena
kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan.
Dalam menjalankan bisnis para pedagang atau pengusaha selalu
membutuhkan modal. Dalam usaha kecil-kecilan biasanya pedagang dapat
49 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori dan Praktek, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001,
hlm. 61-62. 50 Alih Bahasa JT Salim, loc, cit, hlm. 39.
51
mengatasi modalnya sendiri, tetapi apabila usaha sudah menunjukan pada
perkembangan yang besar, maka untuk mengembangkan usahanya biasanya
membutuhkan modal yang cukup besar. Tetapi siapa yang mau meminjamkan
uangnya dengan cuma-cuma, apalagi dalam jumlah yang besar. Dari sinilah
timbul keperluan pinjam-meminjam sebagai perantara mereka yang
membutuhkan modal usaha. kebanyakan pinjam-meminjam ini memakai bunga.
Pinjam-meminjam dalam lembaga simpan pinjam uang (bank), tidak
memandang uang itu untuk keperluan konsumsi, perdagangan atau jasa, tetapi
umumnya pinjaman di berikan untuk kegiatan usaha. Walaupun ada yang
memerlukan untuk keperluan konsumsi, lembaga simpan pinjam hanya bersedia
memberikan jika ada jaminan bahwa hutang itu bisa di bayar.
Lembaga simpan pinjam dalam operasinya harus membayar ongkos
para pegawai untuk memberikan pelayanan, disini dikenal modal murni yaitu
tingkat bunga nominal, di kurangi beberapa ongkos seperti biaya-biaya
administrasi, jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya.52
Ongkos itu termasuk nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga yang
diperlukan untuk menjaga keuntungan uang karena pembayaran dengan cara
angsuran.
Dalam dunia perekonomian pinjam-meminjam uang itu telah menjadi
suatu kebiasaan, tidak jarang diantara para pedagang-pedagang banyak yang
51 Dr. Abu Sura’i Abdul Hadi MA., loc, cit, hlm. 28. 52 Anas Hidayat dan Sabirin Malian, op. cit., hlm. 150.
52
mendasarkan modal usahanya pada uang pinjaman, pedagang besar maupun
kecil, mereka meminjam modal pada siapa saja yang mau meminjamkan.
Agaknya kegiatan pinjam-meminjam uang adalah suatu cara yang
efektif dalam dunia perdagangan dewasa ini, hal ini dapat dilihat pada
kenyataan, bahwa bank misalnya, mendasarkan usahanya pada pekerjaan pinjam
meminjam modal tersebut. Lembaga simpan pinjam uang dipandang orang
sebagai suatu yang menyokong dan menunjang pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi nasional.
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa uang yang dipinjamkan, dapat
memperoleh keuntungan dari uang yang dipinjamkan untuk usaha perdagangan,
oleh karena itu pinjaman itu dikenakan bunga. Berarti bahwa keuntungan yang
diperoleh sipeminjam sebagian diberikan kepada pemilik uang.
Pekerjaan pinjam-meminjam uang dalam Islam bukanlah sesuatu yang
tidak diperkenankan, malah syari’at Islam memberi aturan yang sangat simpatik
soal pinjam-meminjam uang atau utang-piutang.
Bunga dan riba sama-sama dapat timbul dari pinjam-meminjam uang,
oleh karena, pinjam-meminjam uang dapat dipandang sebagai permulaan bagi
timbulnya bunga dan riba.
Hubungan antara bunga uang dan riba dari segi lahiriyah ada pada
pinjam-meminjam uang atau berhutang. Hal ini sekaligus membawakan
persamaan lahiriyah bunga dan riba itu.
53
Persamaan lahiriyah adalah bahwa baik bunga maupun riba sama-sama
merupakan keuntungan bagi pemilik uang pokok yang diperoleh tanpa jerih
payah, kecuali hanya lantaran meminjamkan uang.
Bahwa selain yang tersebut diatas, persamaan antara bunga dan riba,
adalah bunga itu pada umumnya ditetapkan dengan prosentase dari uang pokok,
bukan dari keuntungan yang diperoleh selanjutnya (untuk kegiatan produksi).
Hubungan antara bunga dan riba terdapat pada suatu keadaan, yaitu apabila
suatu kegiatan pinjam-meminjam uang dengan bunga yang pada mulanya bersih
dari cara-cara atau unsur-unsur riba, dalam perkembangan selanjutnya dapat
berubah atau beralih menjadi riba.
Perlu diketahui bahwa bunga tidak hanya dapat timbul dari pinjam-
meminjam, tetapi dapat timbul dari beberapa hal tersebut di bawah ini:
1. Meminjam ke-bank atau pasar-pasar kredit.
2. Menabung ke-bank, koperasi dan sebagainya.
3. Deposito bank pasar-pasar kredit dan sebagainya.
4. Dengan jalan membeli saham atau audit ataupun obligasi suatu perusahaan
dan lain-lain.
Bunga yang timbul dari sumber-sumber tersebut di atas dapat dibedakan
dalam dua jenis.
1. Bunga konsumtif
2. Bunga produktif
54
Adapun bunga sama dengan riba, karena bunga itu bersifat konsumtif
seperti tersebut diatas tadi dan sama dengan riba, tetapi bunga yang diperoleh
dari usaha-usaha produksi dan distribusi diperbolehkan.
Adapun riba selamanya bersifat konsumtif, dan di pungut dari orang-
orang yang meminjamkan uang buat orang yang serba kekurangan dalam
nafkah hidupnya.53 Dengan tanpa perhitungan terlebih dulu akan akibat-
akibatnya.
Karena pekerjaan simpan pinjam selalu menghadap persoalan tukar
menukar uang dan senantiasa berada di pinggir dosa, maka Al-Ghozali
berulangkali memperingatkan supaya segala bankkir dan semua orang yang
berhubungan dengan pekerjaan simpan pinjam uang, yang sangat dekat
hubungannya dengan riba supaya berhati-hati karena merupakan dosa besar.54
Kalau kita hidup dalam dunia simpan pinjam uang, supaya kita berniat jujur
dan memandang usahanya sebagai fardu kifayah, untuk kemaslahatan umat dan
kemajuan hidupnya, jihad, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan dirinya.
53 Drs.Sybirin Harahap, op. cit, hlm. 75-82. 54 H. Zaenal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990,
hlm. 294-295.