DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
-
Upload
ronny-oktahandika -
Category
Documents
-
view
237 -
download
0
Transcript of DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
1/61
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA KEHUTANAN
A. BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN.
Sampai saat ini masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana
kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi
di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa
pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu
persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di t ingkat Pengadilan Negeri dan kemudian
kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa
yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam
pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman
hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan
berikutnya.
Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah
penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan (RKT)
merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi.
Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta
bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan
ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada
pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu.
Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
2/61
izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya
kegiatannya adalah kegiatan ilegal.
Mengenai istilah Tindak Pidana (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
terdahulu) diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda.
Sekalipun demikian tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit
itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht –
WvS), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia (KUHP) dengan UU No. 1 tahun 1981.27
Para ahli hukum nampaknya belum memiliki
kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 (tujuh) istilah
untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan
yang dapat dihukum, delik dan lain-lain28
27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,2001,PT.Raja Grafindo Perswada,Jakarta, hal.67.
28 Ibid ,hal..68
Namun dalam peraturan perundang-undangan
istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana. Secara
sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakan/perbuatan yang dapat
dipidana/dikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala
tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian
pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang,
termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan
karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tiada
satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam perundang-
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
3/61
undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP (UU
No. 1 tahun 1981) t indak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok
yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur
dalam pasal 104 – pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan
sebagai Pelanggaran diatur dalam Pasal 489 – Pasal 569 KUHP. Mengenai pengaturan
perundangan tentang dimana terdapat aturan perbuatan yang dilarang itu ,secara umum
dikategorikan dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 29
1. Tindak Pidana Umum
Dimana secara umum aturan mengenai perbuatan yang dilarang itu diatur dalam
KUHP yang terdiri dari 3 buku,49 Bab, serta 569 Pasal-Pasal yang tercantum dalam
KUHP.
2. Tindak Pidana Khusus
Tindak Pidana khusus ini adalah tindak pidana yang pengaturannya telah dibuat
secara khusus diluar ketentuan KUHP, seperti :
a. UU Kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999
b. UU Tindak Pidana Korupsi yang ditur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 jo. UU
Nomor 21 tahun 2000.
Adapun yang menjadi dasar hukum diaturnya beberapa tindak pidana secara
khusus diluar KUHP adalah sebagimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 103
29 Abdul Khakim, Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, 2005. Penerbit
PT.Citra Adytia Bakti, hal.162
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
4/61
KUHP yang berbunyai :”Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini
berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-
undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan
Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.
Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan
adalah bahwasanya dalam semua pasal yang ada dalam KUHP, kita tidak akan
menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana
kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia
yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya:
a. UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. (Selanjutnya UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya)
b. UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
c. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
d. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pengganti
UU No. 4 tahun 1982).
Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan
khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana
Umum (KUHP – UU No. 1 tahun 1981). Bila kita cermati dalam UU
Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak
termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan
pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
5/61
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya
dalam ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam.
Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang
disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah
segala bentuk tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang
berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang
dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem
pengurusan hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem
penyangga kehidupan. Berbicara mengenai
tindak pidana kehutanan sangat eratlah kajiannya dengan kerusakan hutan . Dalam
berbagai peraturan perundangan di bidang kehutanan istilah “kerusakan hutan”ini
mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan utan yang
berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang
berdampak negatif (merugikan)adalah suatu tindakan nyat melawan hukum dan
bertentangan dengan kebijaksanaan/tanpa adanya persetujuan pemerintah.
Kerusakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif
didalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diantara sifat negatifnya
digolongkan sebagai tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang.
Berbagai faktor penyebab timbulnya kerusakan hutan diantaranya yaitu:
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
6/61
a. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum
meliputi, manusia dan atau badan hukum.
b. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum
meliputi, manusia dan/atau badan hukum.
c. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam (misalnya gempa
bumi,letusan gunung, banjir, dan sebagainya).
d. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon.
Dari keseluruhan makna kerusakan hutan maka istilah perusakan hutan yang dapat
digolongkan sebagai tindak pidana adalah :
a. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan yang bertentangan
dengan aturan didalam hukum perundang-undangan yang berlaku;
b. Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah
dirumuskan didalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus.
Antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.
Dalam Pasal 50 UU kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang
dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan.
Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah
melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada Pasal 38 ayat 4
disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung
secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU Kehutanan tentang ancaman
hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam Pasal 50 dan Pasal 38
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
7/61
ayat (4) UU Kehutanan. Dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 UU Konservasi
Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya juga dicantumkan tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam Pasal 40 ditegaskan
tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam Pasal 40 ayat (5) disebutkan istilah
tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang
kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana
tindak pidana di bidang lainnya.
Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam
pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu
tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa Pasal menyangkut Ketentuan
Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk
menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat
(2), Pasal 45 dan Pasal 46 ayat (1) dan (2). Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan
Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa penulisan
karya ilmiah ini lebih difokuskan pada persoalan kehutanan yang terkait masalah Ilegal
Logging olek karenanya pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang erat
kaitannya dengan pelanggaran yang sering terjadi dalam bidang kehutanan antara lain :
a. masalah Ilegal logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
8/61
b. masalah surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut harus
disertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang
bersangkutan
c. mengenai masalah Surat Keterangan Hasil Hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang
akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh
atau memiliki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah
setempat.
Masalah Ilegal Logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar
yang dilakukan tanpa ijin dari instansi/pejabat kehutanan, digolongkan sebagai tindakan
yang melawan hukum. Termasuk, perbuatan penebangan liar dilakukan subjek hukum
yang telah memperoleh ijin menebang namun melampaui batas/target yang diberikan
instansi/pejabat kehutanan.30
Pengertian Ilegal Logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak
secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun terminologi illegal logging dapat
dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahas inggris. Dalam The Contemporary
English Indonesia Dictionary, illegal artinya tidak sah, dilarang, atau bertentangan
dengan hukum atau haram. Dalam black’s Laws Dictionary illegal artinya “forbidden by
law;unlawful” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam bahasa
Inggris artinya menebang kayu dan membawa ketempat gergajian.
31
30Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1994,Penerbit Rineka Cipta,Jakarta,
hal.45-4631 IGM Nurdjana,Korupsi dan Ilegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,2005,Penerbit Pustaka
Belajar,Yokyakarta,hal.13
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
9/61
Dalam inpres RI No.5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu
Ilegal (Ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Lauser
dan Taman Nasional Tanjung Putting, istilah Illegal Logging disamakan dengan istilah
penebangan kayu illegal, istilah iilegal logging disinonimkan dengan penebangan kayu
ilegal..
Ilegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh
Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest watch (GFW) yaitu untuk
menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan
pemenenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum
Indonesia. Lebih lanjut FWI ilegal logging menjadi dua yaitu:
Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan
dalam ijin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang
oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.32
Gambaran ilegal logging menurut pendapat ini menunjukkan adanya rangkaian
suatu kegiatan yang merupakan suatu rantai yang saling terkait, mulai dari sumber atau
Luasnya jaringan kejahatan ilegal logging yang mencerminkan luasnya pengertian
dari ilegal logging itu sendiri menurut Haba, ilegal logging digambarkan bahwa:
Penebangan liar “…occur right through the chain from source to costumer, from illegal
extraction, ilegal transport and processing throught to ileggl export and sale, where
timber is often laundered before entering the legal market”.
32 Ibid ,hal.14
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
10/61
produser kayu ilegal atau yang melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke
konsumen atau pengguna bahan baku kayu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulakan bahwa ilegal
logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ketempat
pengelolaan hinnga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai ijin dari pihak yang
berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan Ilegal Logging tersebut antara
lain:
1. adanya suatu kegiatan.
2. menebang kayu.
3. mengangkut kayu.
4. pengolahan kayu.
5. penjualan kayu.
6. pembelian kayu.
7. dapat merusak hutan.
8. ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku.33
Perlu kita ketahui penyebab kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya disebabkan
oleh praktik illegal logging, tetapi juga disebabkan praktik destructive logging yang
dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin resmi dari pemerintah. Destructive
logging mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan illegal logging, yaitu
33 Ibid ,hal.15
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
11/61
penebangan hutan secara liar. Namun, ada perbedaan yang mendasar diantara kedua
istilah tersebut. Istilah destructive logging dipakai untuk menggambarkan penebangan
hutan secara liar yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi
dari pemerintah.
Istilah ini tentu berbeda dengan praktik illegal logging yang dilakukan oleh
perusahaan yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah untuk menebang hutan.
Contoh kasus terkait praktik destructive logging adalah kasus Adelin Lis yang pernah
ramai dibicarakan di media cetak maupun media elektronik
Selanjutnya terkait masalah Surat Perizinan Pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan, dalam Pasal 26 ayat (2) UU Kehutanan disebutkan bahwa Pemanfaatan
hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pemberian izin ini di atur juga dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34
Tahun 2002 jo Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaan Hutan,
dinyatakan bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang
meliputi :
a. IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan)
b. IUPJL ( Izin Usaha Pemnafaatan Jasa Lingkungan)
c. IUPHHK ( Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu)
d. IPHHK ( Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) dan
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
12/61
e. IPHHBK ( Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu)34
f. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK).
Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.01/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional, tanggal 22 Januari
2008, dalam penyusunan rencana usaha pemanfaatan hutan ada beberapa ijin antara lain:
a. Izin usaha pemanfaatan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan (IUPHHK-HA);
b. Izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam
(IUPPHHK-RE);
c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT);
d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-
HTR);
e. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL);
35
1. Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1).
Beberapa perijinan dalam bidang kehutanan yang dapat lihat pada Undang-
undang Kehutanan antara lain:
2.
Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 29 ayat(2).
3. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu Pasal 27 ayat (3).
34 Ibid , hal.11535 Ibid , hal 425
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
13/61
4. Izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan Pasal 29 ayat (4).
5. Izin pinjam pakai kawasan Pasal 38 ayat (3) dan (5).
6. Izin pertambangan Pasal 42 ayat (2), dan
7. Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia kepada peneliti asing Pasal 54 ayat
(2).
Terkait dalam pemanfaatan hutan lindung, ada beberapa izin yang harus dipenuhi,
yakni Pasal 26 ayat (2) UU Kehutanan, bahwa pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan
melalui:
a.
Perizinan usaha pemanfaatan kawasan.
b. Perizinan usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan
c. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Kemudian berkaitan dengan izin pada Pasal 26 ayat (2), maka dalam Pasal 27
UU Kehutanan dijelaskan beberapa izin dalam pemanfaatan hutan lindung dan dapat
diberikan kepada siapa ijin tersebut yang meliputi:
(1) Izin usaha pemanfatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dapat diberikan kepada;
a. perorangan;
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dalam pasal 26 ayat (2) dapat
diberikan kepada;
a. Perorangan;
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
14/61
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMS);
d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan;
b. koperasi.36
Mengenai tindak pidana di bidang kehutanan ini (ilegal logging) sebenarnya jauh
sebelum lahirnya UU Kehutanan telah diatur dalam KUHP Indonesia meskipun
pengaturannya masih bersifat umum. Adapun ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang dapat dikenakan pada pelaku Ilegal logging dalam KUHP dapat dilihat
dalam pasl-pasal sebagai berikut :
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat
setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS
Indonesia.
Dengan demikian, perijinan lingkungan kehutanan akan menjadi sarana hukum
yang paling banyak digunakan dalam hukum kehutanan yuridis untuk mengendalikan
tingkah laku warganya dan contoh yang representatif dalam merefleksikan tentang
kebersamaan fungsi normatif hukum lingkungan kehutanan.
36 Ibid , hal. 15
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
15/61
1) Pasal 406-412 mengenai pengrusakan.
2) Pasal 362-367 mengenai pencurian.
3) Pasal 263-276 mengenai pemalsuan.
4) Pasal 372-377 mengenai penggelapan
5) Pasal 480 mengenai penadahan
6) Pasal 187 dan Pasal 188 mengenai pembakaran yang mengakibatkan banjir.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup konsep ilegal logging dijelaskan lebih umum yaitu melarang seseorang untuk
merusak hutan. Bentuk-bentuk tindak pidana kehutanan dalam kegiatan ilegal logging
meliputi:
1) Melakukan penebangan tanpa izin.
2) Melakukan penebangan kayu di luar izin konsesi.
3) Mengangkut kayu tanpa SKSHH.
4) Mengangkut kayu dengan SKSHH palsu.
5) Mengangkut kayu dengan jumlah yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam
SKSHH.
6) Menggunakan satu SKSHH berulang-ulang.
7) Menggunakan dokumen pengganti SKSHH.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
16/61
Untuk mengetahui secara jelas perbuatan apa yang termasuk dalam kategori
tindak pidana dalam bidang kehutanan maka akan dikaitkan dengan UU Kehutanan.
Mengenai perbuatan apa saja yang dilarang terinci secara jelas dalam Pasal 50 ayat (3)
UU Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait
dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5-
10 miliar. Adapun bunyi dari Pasal 50 ayat (3) tersebut adalah sebagai berikut:
Setiap orang dilarang :
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau mendudukli kawasan hutan secara tidak
sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai
dengan :
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai didaerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kanan tepi sungai;
4. 50 (limapuluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kalim kedalaman jurang dari tepi jurang;
6.
130 (seratus tiga puluh) kaliselisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai;
d. membakar hutan;
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
17/61
e. menebang pohon atau memanen atau memunguthasil hutan didalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima,membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,menyimpan, atau
memiliki hasil hutan yang diketahiu atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang didalam kawasn hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. mengembalakan ternak didalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secar khusus
untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan didalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat
yang berwenang;
k.
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
menbelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat ynag berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta
membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedealam kawasan
hutan; dan
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
18/61
m. mengeluarkan, mambawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang
dilindungi undang-undang yang bersal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.37
Terkait pengelompokan jenis-jenis perbuatan yang dilarang didalam aturan diatas
yakni menyangkut masalah perlindungan hutan, berdasarkan PP Nomor 28 tahun 1985
Tentang Perlindungan Hutan mengandung unsur pidana khusus. Bentuk tindak pidana
secara tegas dirumuskan secara pasal demi pasal. Sedangkan, jenis-jenis tindakan yang
dibolehkan didalam aturan hukum perlindungan hutan tersebut, yakni subjek hukum yang
bertindak secara sah memilki kewenangan menurut aturan yang berlaku.38
1. Dilarang memotong,memindahakan, merusak, atau menghilangkan tanda batas
kawsan hutan, kecuali dengan kewenangan yang sah.
Prinsip
pengecualian hukum yang berlaku di dalam PP Nomor 28 tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan, diantaranya terkandung sebagai berikut :
2.
Dilarang mnduduki tanah dan mengerjakan tanah kawasan hutan, kecuali mendapat
izin.
3. Dilarang melaukan penambangan bahan galian dan eksploitasi tanah kawasan hutan,
kecuali mendapat izin.
4. Dilarang membakar didalam hutan kecuali mendapat izin dan kewenangan yang sah.
5. Dilarang mengambil/ memungut hasil hutan kecuali mendapt izin dari pejabat yang
berwenang.
37 Undang-Undang No.41 tahun 1991 Tentang Kehutanan 38Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1996,Rineka Cipta,jakarta,hal.11
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
19/61
6. Dilarang membawa alat-alat yang lazim digunalkan untuk meotong, menebang, dan
memebelah pohon di dalam kawasn hutan, keculai petugas kehutanan atau orang-
orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di kawasan
hutan.
7. Dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan, kecuali mendapat izin
dari pejabat yang berwenang.
8. Dilarang mengambalakan ternak, mengambil rumpu, serash dan makanna ternak
lainnya dari dalam hutan, kecuali pada tempat tertentu yang ditunjuk oleh pejabat
yang berwenang.
9. Dilarang mengangkut hasil hutan, kecuali memiliki surat izin berupa keterangan
sahnya hasil hutan dari pejabat yang berwenang.39
Perihal masalah perusakan hutan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 50 ayat
(3) diatas, maka perlu kita mengetahui tentang klasifikasi dari jenis-jenis hutan itu sendiri
sesuai denga ketentuan UU Kehutanan. Dalam UU Kehutanan ini jenis-jenis hutan
diuraikan mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9, yang mana ditentukan didalamnya
ada 4 (empat) jenis hutan yaitu berdasarkan : (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan
khusus, (4) pengaturan iklim mikro, estetika,dan resapan air. Keempat jenis hutan itu
dikemukakan berikut ini :
1. Hutan berdasarkan statusnya (Pasal 5)
Yang dimaksud dengan hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan
yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi
39 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
20/61
yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungann terhadap hutan
tersebut.
Hutan berdasarkan statusnya dibagi dua macam, yaitu hutan negara dan hutan hak.
a. Hutan Hak
Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah (Pasal 5 ayat(1)
b. Hutan Negara
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah. Yang termasuk dalm kualisifikasi hutan negara adalah hutan adat,
hutan desa, dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat adalah hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap).
Hutan desa adalah hutan negara yang dikelolah oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraaan desa. Hutan kemasyarakatan adalah hutan yang pemanfaatannya
untuk memberdayakan masyarakat.
2. Hutan berdasarkan Fungsinya (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7).
Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada
kegunaannya. Hutan ini dapt digolongkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu hutan
konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
a. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
21/61
Hutan konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
(1) Kawasan hutan suaka alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu yangmempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
(2) Kawasan hutan pelestarian alam.
adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
(3) Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
b. Hutan lindung adalah kawasn hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan)air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.
c. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
22/61
3. Hutan berdasarkan tujuan khusus, yaitu penggunaan hutan untuk keperluan penelitian
dan pengembangan, pendidikan, dan latihan, serta untuk kepentingan religi dan
budaya setempat (Pasal 8). Syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
4. Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air disetiap kota
ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
Hutan kota adalah hutan yang berfunfsi untuk pengaturan iklim mikro, estetika, dan
resapan air (Pasal 9 ).40
a. Mengerjakan/Menduduki hutan lindung
Terkait dengan tindak pidana terhadap hutan ini juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 yakni pada Pasal 18 yang didalamnya memuat 5 ayat
dalam merumuskan perbuatan apa yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana
terhadap hutan.
Adapun kelima ayat tersebut pada intinya mengatur secara rinci hal-hal sebagai
berikut:
b. Membakar hutan lindung.
c. Menegrjakan/menduduki hutan (bukan hutan lindung)
d. Salah penggunaan kawasan hutan
e. Melakukan eksplorasi dan eksploitasi hutanh tanpa persetujuan menteri
f.
Eksplorasi dan eksploitasi hutan tidak sesuai dengan petunjuk menteri
g. Penggunaan alat-alat yang dapat merusak hutan
h. Penebangan pohon pelindung
40 Undang-undang No.41 tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
23/61
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
24/61
d. Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan
keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain
e. Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah
yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu
bulau, kayu gergajian, kayu lapis, dan kayu pulp.Termasuk juga benda-benda
tambang yang berada dihutan juga dikuasai oleh negara42
Dalam pengertian yang lebih luas persepsi terhadap “hasil hutan”digambarkan
sebagai berikut :
a.
Hasil hutan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (13) dan termaktub dalam penjelasan
Pasal 4 UU Kehutanan yang terdiri dari benda-benda hayati, nonhayati, dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan, yang dapat juga diistilahkan dengan
hasil hutan langsung.
b. Hasil hutan berupa “dana” yang wajib dibayar karena mengambil hasil hutan baik
berupa Dana Reboisasi maupun IHH (Iuran Hasil Hutan) dan dana wajib lainnya.
Adapun Tindak Pidana terhadap Hasil Hutan ini dibagi atas Tindak pidana
terhadap hasil hutan langsung dan tindak pidana terhadap hasil hutan tidak langsung.
a. Tindak Pidana terhadap Hasil Hutan Langsung
Yang termasuk dalam tindak pidana terhadap hasil hutan langsung adalah sebagai
berikut :
a. Penebangan pohon dalam hutan lindung
42 Hadi setia Tunggal, Himpunan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Kehutanan, 2009,
Harvindo, Jakarta, hal.51
(Bandingkan dengan UU No.5 Tahun 1967)
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
25/61
b. Penebangan pohon dalam hutan bukan hutan lindung
c. Menguasai/mengangkut hasil hutan
d. Mengambil hsil hutan tanpa izin
e. Membawa alat penebang di kawasan hutan
f. Tindak pidana terhadap tumbuhan yang dilindungi43
b. Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan Tak Langsung
Sebagaimana ditentukan peraturan, peranan Pengusaha Industrian Pengolahan Kayu
Hulu (IPKH) sangat besar dalam pemungutan/penyetoran Dana Reboisasi (DR) dan
dana Iuran Hasil Hutan (IHH). Namun, perlu disadari bahwa hal tersebut bukan
tidak beresiko jika dipandang dari segi kebutuhan akan dana dalam pelaksanaan
PELITA-PELITA yang sedang berjalan. Kemungkinan lebih kecil resiko jika
dipungut berdasarkan LPH (Laporan Hasil Produksi)
Resiko dalam menjalankan suatu perusahaan adalah hal yang lumrah tetapi
berkenaan dengan hak yang telah dimiliki Negara yang berupa kewajiban orang yang
telah ditentukan, bukan merupakan resiko tetapi perbuatan tercela yang patut dihukum
karena tidaka menjalankan kewajiban terhadap Negara.
Dengan demikin dapat dipahami jika menipulasi terhadap perhitungan DR atau
perhitungan IHH merupakn tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dapat
dilakukan oleh :
a. Pengusaha IPKH
43 Laden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan , dan Satwa, 1995, Penerbit
Erlangga, Jakarta hal.44.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
26/61
b. Aparat Kehutanan
Pengusaha IPKH44
Persamaan antar ketiga unsur tersebut meliputi suatu rangkaian aturan tentang
tingkah laku, yang diikuti oleh sekelompok tertentu.Dengan demikian sistem yang
B. KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK
PIDANA DIBIDANG KEHUTANAN.
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan
dengan tindak pidana. Walaupun didalam pengertian tindak pidana tidak termasuk
masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya
suatu perbuatan
Kata pertanggungjawaban itu berasal dari kata bertanggungjawab, yaitu dimana
menurut Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa kesalahan pertanggungjawaban dan pidana
merupakan ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari baik
moral, agama, dan hukum.
Ketiga unsur tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dan berakar
dalam suatu keadaan yang sama yaitu pidananya pelanggaran terhadap suatu sistem
aturan.atuiran-aturan tersebut dapat bersifat luas dan beraneka ragam yang meliputi
bidang hukm perdata dan hukum pidana aturan moral dan masih banyak lagi.
44 ibid ,hal44
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
27/61
melahirkan konsep tentang kesalahan, pertanggungjawaban, dan pemidanaan itu adalah
sisitem normatif.45
1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut sebagian besar anggota masyarakat secara
menyolok dianggap membahayakan masyarakat, dianggap penting oleh masyarakat.
Bertanggungjawab atas suatu tindak pidana berarti bahwa yang bersangkutan
secara sah dapat dikenai pidana karena tindakan yang telah dilakukannya itu.Suatu tindak
pidana dapat dikenakan saksi secara sah apabila untuk tindakan tersebut sudah ada
aturannya dalam suatu sistem hubungan tersebut dan sisitem hukum hukum itu berlaku
atas tindaklan yang dilakukan itu. Dengan perkataan lain, tindakan itu tidak dibenarkan
oleh sistem tersebut. Inilah konsep dasrnya. Hukum bertujuan untuk mencapai keadilan
dan keadilan lazim diartikan kesamaan.
Dalam penggunaan saksi pidana sebagai salah satu sarana sanksi sosial dalam
segala keterbatasan, Muladi mengatakan bahwa syarat-syarat pengguinaan saksi pidana
secara optimal harus mencakup hal-hal :
2. Penerapan asaksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang, konsisten dengan tujuan-
tujuan pemidanaan.
3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut, tidak akan menghalangi atau merintangi
perilaku masyarakat yang diinginkan.
4.
Perilaku tersebut dapat dipahami melalui cara yang tidak berat sebelah dan tidak
bersifat diskriminatif.
45 Koenadi Hardjasoemantri,1992. Hukum Tata Lingkungan, Penerbit gajah Mada, hal.20.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
28/61
5. Pengaturannya melalui proses hukum pidana, tidak akan memberikan kesan
memperberat, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
6. Tidak ada pilaihan-pilihan yang beralaskan dari saksi pidana tersebut, untuk
menghadapi perilaku tersebut.46
Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak
diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana
khusus (tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam konotasi biologis
yang alami (natuurlijke persoon)).
47
(1) Apakah suatu korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana mengingat korporasi
tidak dapat bertindak sendiri kecuali melalui pengurus atau pegawainya da juga
korporasi tidak memiliki kalbu?
Berkaitan dengan hukum pidana, ada beberapa pertanyaan yang menyangkut
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:
(2)
Dalam hal bagaimana perbuatan yang dilakukan oleh personel korporasi itu
pertanggungjawaban pidanaya dapat dibebankan hanya kepada korporasi;Atau
dengan kata lain, dalam hal bagaimana pertanggungjawaban itu dapat dibebankan
kepada personel korporasi itu. Atau dengan kata lain pula, dalam hal bagaimana
pertanggungjawaban itu dapat dibebankan baik kepada personel korporasi itu
maupun kepada korporasi yang bersangkutan?
46 H.Setiyono,Kejahatan Korpprasi,2005,Penerbit PT.Bayu Media,Malang,hal.117.47
Nurasiah Harahap, Analisis Hukum Tanggung Jawab PT dalam Pengelolaan Lingkungan
hidup http://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journal review & id:1948&task:view, diakses tanggal
9 November 2009
Universitas Sumatera Utara
http://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journalhttp://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journalhttp://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journalhttp://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journal
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
29/61
(3) Doktrin atau ajaran, atau teori, atau prinsip apa yang dapat dijadikan landasan
pembenar untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi?
(4) Apa bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi?48
J.C.Coffee Jr.dalam bukunya yang ditulis tahun 1981 sebagaimana dikutip oleh
Frank dan Lynch mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi
(corporate criminal responsibility) telah menjadi suatu issue yang makin menarik
perhatian akademisi selama bertahun-tahun. Masalah pertanggungjawaban pidana dari
suatu korporasi telah menjadi perdebatan yang panjang sejak ratusan tahun yang lampau
dan ternyata sampai dengan sekarang belum juga usai.
49
Dalam membicarakan masalah korporasi/badan hukum sebagai pelaku tindak
pidana Mardjono Reksodiputro, menyatakan pula bahwa, cara berpikir dalam hukum
perdata dapat diambil alih kedalam hukum pidana. Menurut beliau pada mulanya dalam
hukum perdata juga terjadi perbedaan pendapat apakah apakah suatu badan hukum dapat
melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig hendelen). Namun, melalui asas
kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (belijkneid) sebagai dasar utama, mak ilmu hukm
perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat dianggap bersalah merupakan
perbuatan melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas perekonomian. Ajaran ini
mendasarkan diri pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak
hanya melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan
48 Sutan Remy Sjahdeini,Pertanggungjawaban Pidana Korpor asi, 2006,Penerbit PT.Grafiti
Pers,jakrta,hal.52.49 Ibid, hal 53.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
30/61
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
31/61
Berdasarkan teori Hukum Pidana, terdapat dua kriteria untuk menentukan
koperasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu kriteria Roling dan kriteria Kawat (iron
wire).
Menurut Kriteria Riling, korporasi daapt dimintakan pertanggungjawaban pidana
apabila perbuatannyang dilarang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi
atau untuk mencapai tujuan korporasi.
Berdasarkan teori Kawat Duri, korporasi dapat dijatuhkan hukuman pidana
apabila dipenuhu dua syarat. Pertama, korporsi memiliki kekuasaan (power) baik secara
de jure maupun secar de fakto untuk mencegah atau menghentikan pelaku untuk
melakuakan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Kedua, korporasi menerima
tindakan pelaku (acceptance) sebagai bagian dari kebujakan korporasi. Contoh, kasus
Leeuwaarden yang terjadi pada tahun 1987 dimana dalam kasus ini, montor pembersih
tabung gas oksigen disebuah rumah sakit menukar sambunganngas oksigen dengan gas
lain. Ini berakibat pada meninggalnya salah satu pasien dirumah sakit itu. Karena
perbuatan itu dilakukan sesuai dengan kebijakan rumah sakit, maka pengadilan
menghukum rumah sakit karena telah melakukan tindak pidana korporasi.51
Menurut R.Ali Rido pertanggungjawaban pidana badan hukum itu ada , jika
organ itu bertindak sedemikian dalam batas-batas suasana formal dari wewenangnya,
tetapi organ dalam menyelenggarakan tugasnya yang mengikat badan hukum, organ
dapat melakukan kesalahan-kesalahan pribadi yang merugikan badan hukum dan
merupakan perbuatan melawan hukum yang mewajibkan mereka untuk mengganti
51 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,2008,Penerbit Sinar garafika,Jakarta,
hal.126.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
32/61
kerugian secara probadi pula. Jadi, organ yang merlakukan perbuatan itu masih dalam
batas-batas wewenangnya, disamping pertanggungjawaban badan hukum, orang secara
pribadi mungkin saja harus bertanggungjawab sendiri atas perbuatan melanggar hukum52
a. Apabila perbuatan melanggar hukum itu merupakan pelanggaran atas hak suatu
pelanggaran dari norma, yang hanya ditujukan kepada badan hukum.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaannya bilakah oragan dikatakan mempunyai
kesalahan pribadi?Paul Scholten memecahkan persoalan ini dengan secara negatif.
Kesalahan pribadi itu tidak ada :
b. Apabila perbuatan melawan hukum itu merupakan pelanggaran atas hak suatu
subjek hukum lain dan pelanggaran itu justru terjadi pada waktu melaksanakan atau
mempertahankan hak-hak dari badan hukum.
c. Apabila organ bertindak atas perintah jabatan yang mengikat (dari organ yang lebih
tinggi, misalnya rapat umum anggota)
d. Apabila tindakannya yang bersifat perbuatan melanggar hukum itu unsur-unsurnya
terdapat pada badan hukum, tetapi tidak pada organ secara pribadi.
Dalam keseluruhannya perbuatan organ badan hukum dapat dibagi dalam
beberapa kategori, yaitu :
a. perbuatan orang yang dilakukan dalam batas-batas wewenangnya, badan hukum
terkait dan bertanggungjawab.
52 Dwidja Priyatno , op cit, hal.76
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
33/61
b. Perbuatan organ diluar wewenangnya tetapi kemudian disahkan oleh organ yang
lebih tinggi atau perbuatan itu menguntungkan badan hukum. Dalam hal ini badan
hukum terikat.
c. Perbuatan organ diluar wewenangnya, dengan pihak ketiga beritikad baik yang
berakibat merugikan,badan hukum tidak terikat. Mereka secara pribadi
bertanggungjawab tanggung menanggung dan sepenuhnya terhadap pihak ketiga
d. Tindakan organ yang merupakan perbuatanmelanggar hukum dalam batas-batas
wewenangnya, badan hukum terikat dan bertanggungjawab
e.
Tindakan organ yang merupakan perbuatanmelanggar hukum diluar wewenangnya,
badan hukum tidak terikat .Organ secara pribadi bertanggungjawab tanggung
menanggung dan sepenuhnya terhadap pihak ketiga.
f. Tindakan organ yang merupakan perbuatan melanggar hukum dalam batas-batas
wewenangnya, tetapi ada kesalahan pribadi dari organ, badan hukum tetap terikat.
Namun disamping pertanggungjawaban badan hukum mereka secar pribadi
bertanggungjawab pula. Badan hukum yang telah membayar ganti kerugian kepada
pihak ketiga,berhak menuntut kembali kepada organ secra pribadi.
g. Perbuatan organ dalam batas-batas wewenagngnya yang bertindak lalai (melalaikan
kewajiban) atau kurang hati-hati yang menimbulakan kerugian bagi badan hukum,
badan hukum tetap terikat. Disamping badan hukum. ada pertanggungjawaban
pribadi.53
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang masih jadi
masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontara. Terlepas dari pro dan kontra terhadap
53 Ibid ,hal.77
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
34/61
pertanggungjawaban kiorporasi sebagi subjek hukum pidana, Oemar Sono Adji
berpendapat”….kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan ,
didasarkan tidak saja atas pertimbangan-petimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-
dasar teoritis dapat dibenarkan”
Sehubungan dengan korporasi yang dijatuhi hukuman, ternyata dalam praktik
belum ada putusab pengadilan atau yirisprudensinya. Akan tetapi nengenai kedudukan
badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat suatu putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1996
dalam perkara PT.Kosmo dan PT.Sinar Sahara, yang meneyatakan, “Suatu badan hukum
tidak dapat disita”. Pandangan MA tersebut menurut Setiyono tepat sekali, sebab yang
dapat disita adalah barang atau benda, akan tetapi merupakan “subejk hukum”. Putusan
MA itu menbegaskan bahawa Badan Hukum Korporasi merupakan subjek hukum dalam
hukum pidana. Dengan putusan MA tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa
korporasi sebagi subjek hukum pidana.Walaupun demikian, penegrtian korporasi sebagai
subjek tindak pidana tidak sebatas pengakuan yuridis. Perbedaan subjek tindak pidana
dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat), dan yang bertanggungtjawab.
Oleh karena itu pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana tergantung peda cara
atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidan yang akan digunakan.54
Meneganai masalah penahana terhadap pelaku tinfdak pidana kehutanna ini hanya
dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan
atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan
54 H.Setiyono,Kejahatan Korporasi,2002,Penerbit Averroes Press,Malang,hal.14
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
35/61
pidana penjara lima tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) KUHAP). Untuk itu perlu
diketahui apa saja dari tindak pidana bidang kehutanan dan konservasi yang masuk dalam
kategori dimaksud.
Daftar Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan yang pelakunya dapat ditahan yaitu:
1. Dengan Sengaja melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka
(Pasal 38 ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat
(6));
2. Dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)),
diancam diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1));
3. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan yang
dilakukan oleh Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 50 ayat
(2)), diancam diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1));
4. Dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah; (Pasal 50 (3) huruf a), diancam diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (2));
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
36/61
5. Dengan sengaja merambah kawasan hutan (Pasal 50 (3) huruf b), diancam diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (2));
6. Dengan sengaja melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan:500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;200 (dua
ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;100 (seratus)
meter dari kiri kanan tepi sungai;50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak
sungai;2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;130 (seratus tiga puluh) kali
selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai(Pasal 50 (3) huruf c),
diancam diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (2));
7. Dengan Sengaja membakar Hutan (Pasal 50 (3) huruf d) diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (3));
8. Karena kelalaiannya membakar Hutan (Pasal 50 (3) huruf d), diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00
(satu milyar lima ratus juta rupiah). (Pasal 78 ayat (4));
9. Dengan Sengaja menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 (3) huruf
e), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (5))
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
37/61
10. Dengan Sengaja menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 50 (3)
huruf f), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (5));
11. Dengan Sengaja melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 (3)
huruf g), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (6));
12. Dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (Pasal 50 (3)
huruf H), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (7);
13. Dengan Sengaja membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 (3) huruf j) diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (9))
Sedangkan Tindak Pidana dalam UU No. 5 tahun 1990 yang pelakunya dapat
ditahan adalah:
1. Dengan Sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 (1); diancam dengan pidana
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
38/61
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1));
2. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan zona inti taman nasional. (Pasal 33 (1)), diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1));
3. Dengan sengaja mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; (Pasal 21 (1) huruf a), diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
4. Dengan Sengaja mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia. (Pasal 21 (1) huruf b), diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
5. Dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
39/61
6. Dengan Sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2)
huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
7. Dengan Sengaja mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia(Pasal 21 ayat (2) huruf c);
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
8. Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
9. Dengan Sengaja mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi (Pasal 21
ayat (2) huruf e), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
10. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata
alam (Pasal 33 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
40/61
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat
(2));
Pada Undang-undang No. 5 th 1990 perbedaan antara pelaku tindak pidana yang
dapat ditahan dengan yang tidak dapat di tahan hanya permasalahan kesalahan (sengaja
atau karena kelalaiannya) yang tempatnya ada didalam batin/hati/pikiran/niat tersangka
Dalam konsep pertanggungjawaban pidana korporasi ini dikenal adanya beberapa
asas utama yang menjadi dasar teori atau falsafah pembenaran dalam dibebankannya
pertanggungjawaban pidana pada korporasi yaitu Doktrin Strict Liability dan Doktrin
Vicarious Liability.
1. Doktrin Strict Liability
Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan pertanggungjawaban
pidana yang dilakukanoleh seseorang yang bekerja dilingkungan suatu korporasi kepada
korporasi tempat seseorang bekerja adalah dengan menerapkan doktrine of strict of
liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebenkan kepada pelaku tindak pidana yang
bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau
kelalaian) pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability
pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidaka dipermasalahkan , maka strict liability
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
41/61
disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia oleh Prof.Dr.Sutan Remy
idsebut ertanggungjawaban mutlak.55
“Any act whatever done by man which causus demage to another obliges him by whose
fault the damage was caused to repair it”.
Menurut sejarahnya, prinsip tanggungjawab yang didasarkan adanya unsur
kesalahan pada mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia. Dalam
bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap awal dari hukum Romawi
(abad kedua sebelum Masehi) termasuk didalamnya doktrin didalamnya mengnai “culpa”
dalam Lex Aquila menentukan bahwa kerugian sebagi kesalahan seseorang baik
disengaja atau tidak, secra hukum harus dibeeri santunan. Prinsip ini kemudian menjadi
hukum Romawi Modern seperti terdapat dalam Psala 1382 Code Napoleon 1804 yanmg
berbunyi :
56
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam hukum pidana
berlaku asas:”actus non facit reum,nisi mens sit rea” atau”tiada pidana tanpa kesalahan”,
yaitu yang dikenal dengan sebagai doktrine of mens rea. Dalam perkembangan hukum
pidana yang terjado belakangan dikenal pula tindak pidana yang pertanggungjawaban
pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memili mens
rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dibuktikan bahawa pelaku tindak pidana telah
melakukan perbuatan ynag dilarang oleh ketentuan pidana atau atau tidak melakukan
perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian
55 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Koprporasi,2006, Penerbit Grafiti
Pers,jakarta.hal.7856 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Di Indonesia,2004, Penerbit CV.Utomo,Bandung,hal.107
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
42/61
itu disebut offences of strict liability atau sering dikenal juga sebagai offence of absolute
probibition.
Tentang masalah prinsip tanggung jawab mutlak ini E.Sefullah Wiradipradja,
menyatakan :”prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability with out fault)
didalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability”.Dengan
prinsip tanggungjawab mutlak dimaksudkan tanggungjawab tanpa keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain,suati prinsip tanggung
jawab yang memandang :kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk
dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.
Barda Nawawi Arief menayatakan bahwa seiring dipersoalkan apakan strict
liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama mangatakan bahwa strict liability meupakan absolute liability.
Alasan atau dasar pemikirannya ialah bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang
telah melakukan perbuatan yang terlarang (actus reus) sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang sudah dapatv dipidana tanpa harus mempersoalkan apakah
sipelaku mempunyai kesalahan(mensrea) atau tidak. Jadi seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
43/61
Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absoplute liability,
artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak
harus atau belum tentu dipidana.57
b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat dijukan alasan
pembenar untuk “kenyataan khusus”(particular fact) yang dinyatakann
terlarang mneurut undang-undang, misalnya dengan mengajukan adanya
“reasonable mistake”, tetapi tetap dapat mengajukan alasna pembelaan untuk
Pendapat kedua ini antara lain dikemukakan oleh J.C.Smith dan Brian
Hogan.Ada dua lasan yang dikemukakan mereka, yaitu:
a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara srtict liability apabila
tidak ada mens rea yang dibuktikan secara satu-satunya untuk unsur actus reus
yang bersangkutan.Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan
salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa mens rea itu tidak
disyaratkan sebagi unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu.Misal A
dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk
dimakan”(misal membahayakan jiwa/nyawa orang lain). Tindak pidana ini
menurut hukum inggris termasuk tindak pidana yang dapat
dipertanggunhjawabkan secara strict liability. Dalam hal ini tidaka perlu dibuktikan
bahwa A menngetahui bahwa daging tiu t idak layak untuk dikonsumsi, tetapi harus
dibuktikan, bahwa A sekurang-kurangnya memang menghendaki (sengaja) untuk
menjual daging itu. Jadi jelas dalam hal ini strict liability tidaka bersifat absolut.
57 Barda Nawawai Arief,Perbandingan Hukum Pidana, 1990, Penerbit Rajawali Press,
Jakarta,hal.31
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
44/61
keadaan-keadaan lainnya.Misal dalam kasus mengendarai kendaraan itu dalam
keadaan “automatism”.Misal lain A mebuk-mabukan dirimahnya sendiri tetapi dalam
keadaan tidak sadar (pingsan) dan diletakkan dijalan raya. Dalam hal ini memang
ada strict liability ( yaitu berada dijalan raya dalam keadaan mabuk), tetapi A dapat
mengajukan pembelaan berdasarkan compulsion. Jadi dalam hal ini pun strict liability
bukan absolute liability58
58 Dwidja priyatno, op cit , hal.108
2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)
Ajaran kedua untuk memberikan pembenaran bagi pembebaban
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah doctrine of vicariouas lability.
Doktrin atau ajaran “vicarious liability” adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana
dan tindaka pidana yang dilakuakn , misal oleh A kepada B.
Doktrin ini juga dikenal dengan sisitem peretanggungjawaban pengganti dimana
pertanggungjawaban sesorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tinadakan
orang lain (a vicarious laiability is one whwre is person, though without personal fault, is
more liable for the conduct of another) .
Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan “pertanggungjawaban
hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal
responsibility of one personfor the wrongful acts of another) .Atau sering disingkat
“pertanggungjawaban pengganti”
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
45/61
Menurut asas umum yang erlaku dalam hukum pidana Inggris,s eseorang tidaka
dapt dipertanggungjawabkannatas atas perbuatan yang dilakukan bawajhannya yang telah
melakukan perbuatan tanpa sepengetuhuannya atau tanpa otorisasi. Hal ini antara alain
yang dikemukanan sebgai perimbangan hukum dalam perkara R v Huggins (1970) 2 Ld
Raym 1574. Namun demikian, ada penegevualian terhadap asas umum tersebut. Dalam
perkembangan yang terjadi dalam hukum pidana, ternyata pada saat ini, berdasarkan asas
yang menyimpang dari asas umum tersebut diatas, suatu pihak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain.
Dalam common law, seorang pemberi kerja (employer) bertanggung jawab secra
vicarious atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan ganguan
publik atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat merusak nama baik orang lain
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,menurut ajaran pertanggung jawaban
vicarious ,seseorang dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang
lain.Apabila teori ini diterapkan pada korporasi,berarti korporasi dimungkinkan harus
bertangggung jawab atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh para
pegawainya,kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab
kepada korporasi tersebut. Doktrin ini, yang semula dikembangkan berkaitan dengan
konteks pertanggungjawaban melawan hukum (tortious liability) dalam hukum perdata,
dengan ragu-ragu telah diambil alih kedalam hukum pidana terutama apabila tindak
pidana tersebut adalah jenis tindak pidana yang merupakan absolute liability offences
(strict liabilty),yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea bagi
pemidanaan nya
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
46/61
Doktrin pertanggung jawaban vicarious sering kali dikeritik oleh mereka yang
berpendirian bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral yang berlaku dalam
sistem keadilaan (Justice system), yang didasarkan pada pemidanaan (punishment ) atas
kesalahan manusia (individual fault) untuk mempertanggung jawabkan seseorang karna
telah melakukan perbuatan tertentu (yang dilarang oleh hukum) atau tidak melakukan
perbuatan tertentu (yang diwajibkan oleh hukum). Teori ini secara serius dianggap
menyimpang dari doktrin mens rea karena teori berpendirian bahwa kesalahan manusia
secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan
kesalahan apapun.
59
a) Ketentuan umum yang berlaku menurut common law ialah,bahwa seseorang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara vicorious untuk tindak pidana yang dilakukan
oleh pelayan/buruhnya.Jadi dalam hal ini tetap berlaku prinsip mens rea .Perkecualian
terhadap ketentuan hukum diatas, artinya seseorang dipertanggungjawabkan atas
perbuatan salah orang lain, adalah dalam tindak pidana terhadap public
nuisance(yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan ganguan substansial terhadap
penduduk atau menimbulkan bahaya terhadap kehidupan, kesehatan, dan harta
benda). Dengan demikian seorang majikan (X) dipertanggungjawabkan atas public
nuisance yang disebabakan oleh pelayannya (Y) seklaipun dalam melakukan
perbuatannya itu Y tidak mematuhi petunjuk atau perintah X.
Selanjutnya seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain
adalah dalam hal- hal sebagai berikut:
59 Sutan Remy Sjahdeini, op cit , hal.87
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
47/61
Jadi, pada prinsipnaya menurut common law seseorang majikan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana)yang dilakukan oleh
pelayannya. Namun ada perkecualiannya yaitu dalam hal publik nuisance dan juga
criminal libel. Dalam kedua tindak pidana ini, seorang majikan bertanggungjawab
atas atas perbuatan pelayan/buruhnya sekalipun secara personal dan secara tidak
langsung tidak bersalah.
b) Menurut Undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi dalam hal
sebagai berikut:
1.
seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan (the delegation
principle).
2. seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secra
fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum
perbuatan buruhnya itun dipandang sebagai perbuatan majikan (the
servant’s act is the master’s act in law). Jadi apabila si pekerja sebagai
pembuat meteril/fisik (auctor fisicus) dan majikan sebagi pembuat intelektual
(auctor intellectualis).60
Berkaitan dengan penerapan ajaran pertanggungjawaban vikariouis dalam rangka
pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi, Eric Colvin, dalam tulisannya
tahun 1999 sebagaimana dikutip oleh Clarkson dan Keating mengemukan
“pertanggungjawaban vikarious korporasi dikritik bahawa doktrin tersebut bersifat baik
underinclusive maupun overinclisive. Dikatakan underinclisive karena
60 Dwidja priyatno, op cit, hal.102
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
48/61
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya melalui pertanggungjawaban pidana dari
pihak lain. Sementara itu, tindak pidana menuntut adanya sutu bentuk kesalahan yang
hanya terdapat pada pelaku yang merupakan orang (manusia). Apabila tidak terdapat
unsur kesalahan pada orang yang bersangkutan, maka juga tidak terdapat
pertanggungjawaban korporasi dengan tidak mempersoalkan tingkat kesalahan dari
korporasi tersebut. Sementara itu pertanggungjawaban vikarious juga bersifat
overinclisive karena apabila terdapat pertanggungjwaban seorang, maka
pertanggungjawaban pidana korporasi akan mengikuti sekalipun tidak terdapat unsur
kesalahan pada korporasi. Keberatan umum terhadap pertanggungjawaban vikarious
dalam hukum pidana berlaku bagi korporasi sebagaimana hal itu berlaku bagi para
terdakwa (yang merupakan manusia). Karakteristik korporasi tidak memisahkannya dari
pencelaan dan dari konsekuensi-konsekuensi yang timbul sebagai akibat yang
dilakukannya dakwaan pidana terhadap korporasi tersebut.
Berkenaan dengan pendapat Eric Colvin tersebut diatas Clarkson dan Keating
menegemukakan salah satu contoh overclusiveness dari doktrin pertanggungjawaban
vikarious,yaitu mungkin suatu perusahaan harus bertanggungjawab atas dilakukannya
suatu tindak pidana meskipun perusahan tersebut telah memiliki kebijakan-kebijakan
yang ajelas dan telah mengeluarkan intruksi-intruksi yang jelas pula untuk mencegah
jangan sampai dilakukannya perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum (wrong doing)
oleh para pegawainya. Menurut Clarkson dan Keating hampir tidak dapat dibenarkan
untuk membebankan tanggungjawab kepada sebuah perusahaan atas perbuatan-perbuatan
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
49/61
yang dilakukan oleh para pegawai bawahan yang melanggar peratuaran-peraturan
perusahaan dan melakukan tindak pidana. 61
61 Sutan Remy Sjahdeini , op cit, hal.96
Sekalipun penerapan ajaran vikarious bagi pembenaran pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepda korporasi sudah diterima secara luas, tetpai kalangan
ahli hukum dan pera –pembuat undang-undang masih mencari-cari doktrin-doktrin lain
yang lebih memuaskan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibenarkan dibebankan
kepada korporasi. Untuk keperluan itu, telah dikembangkan beberapa doktrin atau ajaran
yang selanjutnya akan kita bahas secara ringkas.
3. Doktrin Deligasi (doktrine of Deligation)
Doktrin deligasi merupakan salah satu alasan pemebenar untuk dapat mebebankan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai korporasi. Menurt doktrin
tersebut, alasna untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepad korporasi
adalah adanya pendelegasian wewnang dari seseorang kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya,misalnya saja dalam hal ini pendelegasian
wewenang dari seorang pemberi kerja, yang wewenang itu diperolehnya karena ia
mempunyai suatu izin usaha, kepada bawahannya. Pendelegasian wewenang oleh
seorang pemberi kerja kepada bawahannya merupakan alasan pembenarbagi dapat
dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja itu atas perbuatn
pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
50/61
4. Doktrine Identifikasi (doktrine of Identification)
Dalam rangka mempertanggungjawabakan korporasi secar pidana, di Negara
Anglo Saxon seperi di Inggris dikenal dengan konsep direct corporate criminal liability
atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat
melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan
erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan
yang demikian. Mereka tidak sebagi pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawabhan
perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini dikeanl dengaan nama
“The Identification doctrine” atau doktrin identifikasi.
Perundang-undangan sekarang Mengakui bahwa perbuatan dan sikap batin dari
orang tertentu berhubungan erat dengan korporasi dan dengan pengelolaan urusan
korporsi, dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi. Orang-orang tiu dapat
disebut sebagi “senior officers”dari perusahaan.
Doktrin ini merupaka dasar pertanggungjawaban korporasi terhadp tindak pidana .
Oleh karena itu telah dikemukakan, bahwa perusahaan bertanggungjawab atas tindak
pidan yang dilakukan oleh pejabta senior di dalam perusahaan sepanjang ia melakukan
dalam ruang lingkup kewenagna atau dalam urusan tarnsaksi perusahaan..
Perbuatan/delik dan kesalahan/sikap batin pejabat senior dipandang sebagai sikap batin
dan perbuatan perusahaan. Unsur-unsur tindaka oidana dapat dikumpulkan dari perbuatan
dan sikap batin dari beberapa pejabat senior.
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
51/61
Mengutip pendapat dari Michael J.Allen mengatakan bahwa korporasi hanya
bertanggungjawab jika orang di identifikasi dengan korporasi;bertindak dalam ruang
lingkup jabatannya;korporasi tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang itu dalam kapsitas pribadinya.(the corporation will only be liabel
where the person identified with it was acting within the scope of this office;it will not
liabel for acts which he did in his personal capacity)
Dalam menentukan apakah seseorang berindak sebagai perusahaan atau hanya
sebagai karyawan ataui agennya , harus dibedakan antara mereaka yang mewakili pikiran
perusahaan dan mereka yang mewakili tangannya.
Perusahaan dalam bayak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan
memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalaikan apa yang dilakukannya. Ia juga
memiliki tantgan yang memegang alat dan bertindak sesuaidengan arahan dari pusat
syaraf itu. Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu hanya lah karyawan dan agen
yang tidak lebih dari tangan yang melakukan pekerjaanya dan tidak dapatt dikatakan
sikap batin atau kehendaka perusahaan. Pihak lain merupaka Direktur dan Manajer yang
mewakili sikap batin yang mengarahkan dan mewakili kehendak perasaan dan
mengendalaikan apa yang dilakukan. Sikap batin/keadaan jiwa para manajer ini
merupajkan sikap batin/keadaan jiwa perusahaan dan diberlakukan demikian menurut
undang-undang.
Oleh karena itu dalam kasus-kasus dimana undang-undang mensyaratkan
kesalahan seseorang dalam pertanggungjawaban di bidang kerugian/perdata, mak
kesalahan manajer dipandang sebagai kesalahan perusahaan. Demikian juga dalam
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
52/61
bidang hukum pidana, mka kesalahan para direktur dan manajer itu dipandang sebagi
kiesalahan perusahan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk tujuan-tujuan hukum, pejabat
senior adalah orang-orang yang mengendalaikan perusahaan baik sendiri maupun
bersama pejabat senior lainnya. Ia mewakili “sikap batin dan kehendak” perusahaan, dan
ia dibedakan dari mereka yang “semata-mata sebagai pegawai dan agen” dari perusahaan
yang harus melaksanakan petunjuk-petunjuk dari pejabat senior. Pada umumnya, para
pengendali perusahaan adalaaah “para direktur dan manajer”.62
4. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.
Sehubungan dengan masalah pidana dan pemidanaan, apa dan bagaimana pidana
dan pemidanaan yang tepat dan dapat dijatuhkan terhadap korporasi, Sudarto
menyatakan bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai sebjek hukum pidana, maka
pidana yang dapat ditepkan tetap akan mengingat sifat korporasi.
Mengenai kepada siapa pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi telah
disebutkan kiranya pada beb terdahulu Berkenaan dengan pembebanan ini terdapat 3
(tiga) sistem yaitu :
5. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.
6. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
Ad.1.
Dalam KUHP dikenal bahwa subjek tindak pidana yang dikenal adalah manusia.
Apabila dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
62 Dwidja priyatno, op cit , hal.89
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
53/61
bertanggungjawab , kepada penguirus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu.
Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus
yang tidak memenuhi kewajiban itu out diancam dengan pidana. Dasar pemikirannya
adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapt dipertanggungjawabkan terhadap suatu
pelanggaran, melainkan penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya
penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
Didalam KUHP, sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 169 KUHP ; turut serta
dalam perkumpulan yang terlarang, Pasal 398 KUHP dan Pasal 399 KUHP ; tindak
pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebaginya yang
dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Pada Pasal 392 KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana
pengusa/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya.
Pasal 392 KUHP ,berbunyi :
“Seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai
andil Indonesia atau koperasi yang dengan sengaja mengumumkan keadaan atau neraca
yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”
Ad.2.
Dalam model korporasi sebagi pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab,
mak ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai
yang bertanggungjawab yang dipandang dilakukajnoleh korporasi adalah apa yang
dilakukanoleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
54/61
dasrnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut.Sifat dari
perbuatan itu adalah “onpersoonlijk ”. Oarang yang memimpin korporasi
bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang
dilakukannya perbuatan itu.
Ad.3.
Dalam model ini, korporasi sebagi pembuat dan juga sebagi yang
bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi
itu sendiri,myaitu bahwa untuk delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja yang dapat
dipidana ternyata tidak cukup. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang
cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh
undang-undang itu. Ternyata dipidananya pengurus tidak ahanya cukup untuk
mengadakan repressi terhadap dselik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan menidana korporasi, dan
pengurus atau pengurus saja. Pendapat-pendapat yang menyetujui tanggung akibat
pidana dari korporsi, dapat dikemukakan sebagi berikut :
1. Tanpa tanggung akibat pidana dari korporsi, mak akan terdapat kekosongan
pemidanaan jika korporasi adalah pemilik atau pemegang izin.
2.
Jelas, bahwa korporasi adalah pelaku fungsional dan menerima keuntungan dari
berbagai kegiatan termasuk yangt bersifat pidana.
3. Pertimbangan praktis :
Universitas Sumatera Utara
-
8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA
55/61
a. Tidak mudah untuk menelusuri garis perintah dalam hal terjadi kejahatan dalam
korporasi.
b. Pidana terhadap pengurus korporasi tidak mempengaruhi perbuatan korporasi.
4. Selaras dengan perkembangan dalam hukum perdata.63
(a) Yang satu-satunya ancaman pidananya yang bisa dikenakan kepada orang biasa.
Selajutnya dalam teori, korporasi dapat melakukan tindak pidana apa saja, tetapi
ada pembatasannya. Tindak-tindak pidana yang tidak bisa dilakukan oleh korporasi
adalah tindak pidana:
(b) Yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigami dan perkosaan.
Tentang hal ini Arief menyatakan meski padasasnya korporsi bisa
dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa
pengecualiannya yaitu;
(a) Dalam perkara-perkara yang menuntut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh
korporasi, misalnya bigami, pemerkosaan, sumpah palsu, serta
(b) Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin
dikenakan pada korporasi, misalnya pidana penjara atu pidana mati.
Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track sistem) dalam
pemidanan, dalam arti disamping pidana dapat pula dikenalkan berbagai tindakan kepada
pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi
seb