BAB IV -...
Transcript of BAB IV -...
56
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN M. DAWAM RAHARDJO
TENTANG BUNGA BANK RELEVANSINYA DENGAN KONTEK
KEKINIAN
A. Analisis Terhadap karya dan Pemikiran M. Dawam Rahardjo
M. Dawam Rahardjo sebagai insan akademika telah menorehkan karya
yang sangat banyak, khususnya yang berhubungan dengan ekonomi. Disamping
sebagai penulis yang produktif, ia juga sering memberi kata pengantar buku
karya-karya penulis lain. Dan sudah banyak ide tulisannya dimuat di surat kabar.
Hal ini menandakan bahwa Dawam termasuk di antara pemikir yang mempunyai
pengaruh di bumi nusantara ini.
Meskipun karya-karya Dawam Rahardjo yang terbanyak adalah
mengenai ekonomi dan sosial (sebagai spesialisnya), namun beliau juga menulis
karya-karya tentang keagamaan. Berangkat dari karya di bidang tafsir al-Qur’an
(ensiklopedi al-Qur’an) menghantarkan dia lebih dikenal sebagai ensiklopedis.
karyanya di bidang tafsir tersebut merupakan karya monumentalnya.
Untuk memposisikan pemikiran Dawam Rahardjo, terlebih dahulu perlu
dicermati beberapa hal. Pertama, kontinuitas pemikiran Dawam Rahardjo
terhadap perkembangan pemikiran ekonomi Islam yang dikembangkan oleh para
ulama’ atau kaum cendekia. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran
seseorang pada suatu masa sedikit banyak juga dipengaruhi oleh perkembangan
pemikiran para tokoh sebelumnya.
57
Kedua, kita juga perlu mencermati latar belakang kehidupan dan latar
belakang pemikirannya. Bagaimana pun juga latar belakang kehidupan seseorang
sangat mempengaruhi pola pikirnya. Manusia adalah produk kehidupan sosialnya
dan bukan produk nenek moyangnya. Sedangkan latar belakang pemikiran
memberikan pengaruh pada seseorang untuk mencurahkan ide pokok
pemikirannya pada satu bidang pemikiran tertentu yang dominan. Sebagaimana
disebutkan M. Dawam Rahardjo sebagai seorang akademik yang berangkat dari
latar belakang agamis dan pernah mengenyam pendidikan “sekuler “ di Amerika
Serikat mendorong dia dalam memahami setiap problem atau permasalahan,
tidak hanya dari satu sisi dan meniadakan sisi lainnya. Artinya disamping dia
menggunakan pendekatan atau dasar-dasar dari al-Qur’an dan hadits yang
dipelajari dan diyakininya, juga melihat kenyataan empiris yang terjadi dalam
masyarakat karena ia juga pernah berkecimpung dan aktif di LSM dan tercatat
aktif dikelompok diskusi yang dipimpin oleh AliYafie. Dan kelompok diskusi ini
tidak takut untuk dicap sebagai telah keluar dari jalur teks-teks
keagamaan.karena menurut sebagian orang kelompok ini terlalu berani dalam
memahami agama sampai tingkat yang paling fundamental.
Terkait dengan hal ini, Dawam Rahardjo dalam memahami al-Qur’an
adalah secara kontekstual. Bahkan tidak jarang, seakan-akan pemahaman atau
penafsiran beliau terhadap kitabullah ini dinilai sudah sangat berani melewati
batas-batas yang menurut sebagian ulama’ bukan sebagai obyek ijtihad. Dalam
hal ini, misalnya ayat riba dalam al-Qur’an sudah jelas dan gamblang dan ayat
58
tersebut adalah qoth’y dilalahnya, sehingga tidak berhak untuk diijtihadi lagi,
namun ayat tersebut oleh Dawam masih bisa menimbulkan penafsiran baru.
Bagi Dawam Rahardjo sendiri, penafsiran atas al-Qur’an ini bukan
dimonopoli oleh mufassirun yang sudah telah memenuhi kriteria atau syarat-
syarat yang telah ditetapkan untuk boleh menafsirkan kitabullah ini. Tapi, setiap
pribadi berhak untuk bisa masuk atau berhubungan langsung dengan al-Qur’an.1
Pendapat Dawam di atas ini bagus dan perlu untuk direalisasikan, namun
tidak semua orang mempunyai tingkat intelektual yang sama. Kadang membaca
al-Qur’an saja belum begitu benar apalagi sampai mempelajari kandungannya
atau tafsirnya. Dan untuk kesana sebagaimana yang diharapkan Dawam Rahardjo
perlu proses yang lama.
Sebagai seorang muslim, Dawam Rahardjo dalam memahami
permasalahan sosial keagamaan pada dasarnya berlandaskan atau berangkat dari
nash-nash keagamaan yakni al-Qur’an dan hadits. Namun pemahaman Dawam
Rahardjo terhadap al-Qur’an ini secara kontekstual bukan tektual yang
didasarkan pada kenyataan empiris.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran M. Dawam
Rahardjo adalah pragmatis. Dan pendekatan yang digunakannya adalah Rasional
Sosial Ekonomi – Religius.
1 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Jakarta : Paramadina, 1996, hlm. 21
59
B. Analisis Pandangan M. Dawam Rahardjo Tentang Bunga Bank
Relevansinya dengan kontek kekinian
Al-Qur’an banyak memberikan penjelasan atau solusi terhadap
permasalahan umat meskipun hanya secara universal. Terhadap nash-nash yang
universal tersebut maka fungsi hadits diperlukan untuk menjelaskan maksud atau
arti dari nash-nash tersebut yang masih ‘am (umum).
Apabila dari kedua sumber tersebut yakni al-Qur’an dan hadits tidak
ditemukan jawaban dari problematika umat, maka ijtihad dari kedua sumber
tersebut perlu dilakukan untuk memecahkan problematika umat.
Pada dasarnya obyek ijtihad adalah dalam bidang mu’amalah saja. Cara
dan teknis pelaksanaan dari urusan mu’amalah mungkin ada perubahan, sesuai
dengan perkembangan zaman. Namun garis-garis pokok yang mendasar tetap
tidak bisa diqiyas atau diijtihadi. Misalnya dalam urusan pernikahan, walimatul
‘ursyi harus ada dan tidak boleh diatur sesuai dengan keinginan sendiri.
Bagaimana ‘aqid, ijab-qabul, dan mahar. Semua itu telah ada garis dan
ketentuannya.2
Meskipun bidang akidah dan ibadah bukan merupakan obyek ijtihad,
namun kedua bidang ini boleh diijtihadi tetapi terbatas dalam masalah sanad dan
pen-shahihan atau pentarjihan saja.3
2 Umar Hasyim, Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan Wajib Bermadzab dan Pintu
Ijtihad Tertutup, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, hlm. 130 3 Masalah akidah dan ibadah boleh dilakukan ijtihad dengan ketentuan sebagai berikut.
Pertama, nash yang berisi atau menyinggung materi yang bersangkutan zhanny kedudukannya atau pun dari segi pengertiannya. Apabila nash tersebut itu berupa hadits maka ijtihad dalam hal ini adalah dalam segi sanad dan pen-shahihannya, dari segi riwayat dan dirayahnya dan juga pengertian hukumnya. Kedua, ada nash yang qoth’iy, baik ayat al-Qur’an maupun hadits, tetapi zhanni pengertiannya, maka ijtihad dalam bidang ini adalah dalam segi pengertiannya, kemudian dihubungkan dengan qorinah-qorinah yang yang mendukung pengertian yang ada hubungannya
60
Bunga bank, pada satu sisi merupakan permasalahan ekonomi juga
sebagai permasalahan hukum Islam. Sebagai masalah hukum Islam, bunga bank
bisa masuk dalam lingkaran riba yang diharamkan Islam.
Dalam bunga bank ini setidaknya ada dua versi pendapat, ada sebagian
pendapat ulama’ yang mengharamkan bunga bank dan sebagian yang lain
menghalalkannya.
Perbedaan pendapat ini tidak terlepas dari pemahaman mereka tentang
illat hukum mengenai riba. Secara garis besar terdapat dua paradigma hukum
Islam mengenai bunga bank. Pertama, paradigma tekstual yang memahami bunga
bank secara induktif. Dan ini berpegang pada konsep setiap utang piutang yang
disertai manfaat atau tambahan adalah riba. Sesungguhnya pendekatan induktif
ini berpijak pada teori qiyas yang bersandar pada illat jali (illat yang jelas).
Dalam hal riba dan bunga bank keduanya disatukan olleh illat ziyadah
(tambahan).
Kedua, paradigma kontekstual yang memahami bunga bank secara
deduktif . Dengan menguji persangkaan qiyas pada bunga bank terhadap
keharaman riba dengan menguji konteks masing-masing. Konteks keharaman
riba dalam al-Qur’an adalah memungut tambahan hutang kepada pihak-pihak
dengan hukum yang dicari. Ketiga, ada nash zhanni tetapi pengertiannya qoth’iy, ini hanya terdapat dalam hadits, maka ijtihad dalam bidang ini adalah dari segi sanad dan pen-shahihan hadits. Keempat, jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para mujtahid dalam suatu masalah, kita bisa menyelidiki dalil-dalil yang menjadi pegangan mereka. Kemudian dilakukan tarjih berdasarkan kaidah-kaidah yang dipegang oleh ulama Mujtahid. Maka dalil yang ternyata kuat hendaknya dipegangi dan yang lemah kita tinggalkan. Atau apabila masalahnya terletak pada perbedaan pengertiannya, maka yang lebih mendekati maksud dan jiwa syari’at serta yang lebih dapat diterima oleh akal sehat, itulah yang kita terima. Lihat Umar Hasyim, ibid, hlm 136-137
61
yang seharusnya ditolong, sehingga mereka menyimpulkan illat keharaman riba
adalah bersifat zulm (kesengsaraan) bukan pada illat ziyadah.4
Terkait dengan illat hukum riba seperti di atas ini yang dikaitkan dengan
bunga bank M. Zuhri mempunyai pendapat yang moderat dengan dilandasi pada
akhir Q.S. 2: 278 yaitu latazlimuna wa latuzlamun, yakni sekecil atau seminimal
apapun tambahan itu (bunga) apabila mendatangkan kesengsaraan (zulm)
termasuk riba. Ia menambahkan, karena pada waktu Rasullah riba selalu
mengambil bentuk ad’afan muda’afan, tidak dalam bentuk lain maka sifat ini
disebut dalam al-Qur’an.5 Oleh karena itu ad’afan muda’afan relevan dengan
ketidakadilan. Senada dengan Fuad Zein, M. Zuhri juga menitikkan bahwa illat
keharaman riba termasuk bunga bank lebih pada zulm bukan pada ziyadah atau
surplusnya.
Perbedaan pemahaman terhadap illat hukum yang ada dalam al-Qur’an
dan hadits serta penempatan kronologis turunnya nash-nash yang menjelaskan
tentang riba akan berpengaruh sekali terhadap hasil ijtihad atau pemikiran
seseorang terhadap persoalan bunga bank ini. Namun ada satu kesepakatan yang
dapat ditemukan dan mereka mengakui bahwa riba hukumnya adalah haram.
Kalaupun ada perbedaan pendapat ulama’ hal itu bukanlah mengenai haramnya
riba, melainkan terhadap rincian bentuk-bentuk riba apalagi jika riba ini
dikaitkan dengan masalah bunga bank.
4 Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh Dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam
Ainurrofiq (eds), Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Modern, Yogyakarta: Ar- Ruz Press, 2002, hlm 176
5 M. Zuhri, Riba Dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipasif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 2
62
Dawam Rahardjo berbeda dengan ulama’ lain dalam menempatkan
kronologis turunnya ayat riba dalam al-Qur’an. Baginya ayat riba yang pertama
turun adalah tertuang dalam surat al-Rum: 39. Ayat kedua adalah yang tertuang
dalam surat al-Baqarah: 275, 276, 278 dan 280 kemudian disusul surat Ali-
Imron: 130 dan surat al-Nisa’: 161 ditempatkan oleh Dawam Rahardjo sebagai
tahap terakhir.6
Penempatan terhadap kronologis turunnya ayat riba tersebut merupakan
di antara poin yang bisa menentukan suatu pendapat akhir ulama’ atau kaum
cendekia tentang bunga bank. Menurut Quraish Shihab bahwa turunnya satu
surat mendahului ayat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat
pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat
dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Dengan demikian tokoh yang
pernah menjabat sebagai menteri agama ini tidak sependapat dengan pernyataan
al- Shabuni mengenai kronologis turunnya ayat riba, kemudian dikaitkan dengan
bunga bank.7
Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan pembahasan secara singkat
tentang riba yang diharamkan al-Qur’an dapat ditemukan dengan menganalisis
kandungan ayat-ayat Ali- Imron: 130 dan al-Baqarah: 278 atau lebih khusus lagi
6 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi AlQur’an…., op.cit., hlm. 597 7 kronologis turunnya ayat riba menurut Al- Shabuni, pertama Al- Rum: 39, kemudian
disusul dengan isyarat tentang keharaman riba (Al-Nisa’ : 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit , dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali ‘Imran : 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah : 278-279). Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 260
63
memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu ad’afan muda’afan, ma
baqiya mi al-riba dan falakum ru’usu amwalikum, la tazlimuna wala tuzlamun.8
Berdasarkan kronologis turunnya ayat riba yang diungkapkan oleh
Dawam Rahardjo sebagaimana disebutkan di atas (Bab II) dapat diketahui bahwa
Dawam dalam memahami pelarangan atau pengharaman riba dalam al-Qur’an,
beliau di sini lebih menekankan pada kalimat “ad’afan muda’afan” sebagai
syarat pelarangan atau pengharaman riba tersebut. Sehingga konsekuensinya riba
yang tidak berlipat ganda tidaklah haram, termasuk dalam hal ini bunga bank
yang tingkatnya wajar.9
Berarti dalam hal ini secara tidak langsung sebenarnya Dawam Rahardjo
menggunakan penalaran hukum mafhum mukhalafah yaitu menggunakan logika
terbalik. La tazlimuna wa latuzlamun dalam surat al-Baqarah: 279 dipahami
Dawam Rahardjo sebagai kode etik yang harus dijaga dalam bertransaksi
mu’amalat, termasuk dalam masalah pinjam meminjam atau hutang piutang,
yang artinya debitur dan kreditur tidak saling merugikan, malah dianjurkan harus
saling menguntungkan.
Seiring hal ini Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa mu’amalat
dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, bukannya mengambil
kesempatan dalam kesempitan.10
8 Ibid, hlm. 261 9 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Asep Gunawan dan M.
Deden Ridwan (peny), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 420-421 10 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta :
Kepustakaan Hukum UII, 1993, hlm. 10
64
Riba disini dipahami oleh Dawam Rahardjo bukan sebagai sesuatu yang
bertambah secara kuantitatif semata, tetapi juga harus dipahami secara kualitatif
dengan sifat yang mengikutinya, seperti eksploitasi, darar dan zulm. Sifat-sifat
inilah yang oleh Islam harus ditiadakan dari berbagai kegiatan mu’amalat
termasuk utang-piutang.
Berbedanya pendapat Dawam dengan ulama’ kebanyakan, khususnya
dengan pendapatnya Ali Ashobuni, dapat dipahami karena Dawam lebih
mengedepankan aspek moralitas, dibanding dengan aspek legal formal atau
otoritas fiqh semata. Di samping itu juga, karena Dawam Rahardjo menempatkan
ayat pelarangan riba yang ada dalam surat al-Baqarah secara kronologis pada
tahap kedua, bukan yang terakhir seperti ulama’ pada umumnya.
Sedangkan ayat pelarangan atau pengharaman riba yang terakhir
menurutnya terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 160-161.
Terkait dengan dua ayat terakhir ini, Dawam menyatakan bahwa
sekalipun riba itu telah berkali-kali dinyatakan terlarang oleh Allah, namun
sebagian orang masih tetap menjalankannya. Secara eksplisit, hal ini sebenarnya
memang menunjuk kepada orang-orang Yahudi.11 Namun secara implisit Allah
bermaksud memberikan pelajaran kepada umat Islam, bahwa persoalan riba tidak
bisa dilepaskan atau dimusnahkan dari kehidupan manusia, baik masa lalu, masa
sekarang atau di masa yang akan datang. Agar tidak terkena laknat Allah, yang
harus diusahakan dan dcilakukan adalah menimalisir praktek-praktek riba
11 M. Dawam Rahardjo, Prespektif Deklarasi Makkah menuju Ekonomi Islam, Bandung:
Mizan, 1989, hlm. 134
65
tersebut. Upaya tertsebut kini bisa diwujudkan dengan didirikannya bank, yakni
bank non ribawi atau bank bebas bunga (bagi hasil).
Pemikiran Dawam Rahadjo mengenai institusi bank baik bank
konvensional maupun bank Islam sebagai pembebas, rupanya beliau terinspirasi
oleh perilaku praktek liar yang sudah merajalela di tengah-tengah masyarakat
dan membuat kehidupan ekonomi masyarakat terbelenggu dan tergantung pada
kaum rentenir (lintah darat). Sehingga cocok kalau Dawam mengategorikan
kehidupan ekonomi mereka menjadi fi al- riqab sebagaimana digambarkan
dalam surat at-taubat : 61.12
Transaksi liar seperti ini jelas dilarang keras oleh Islam karena banyak
mengandung banyak mudharat sebagaimana di sabdakan oleh nabi SAW.13
رالضرروالضرا “Tidak boleh membuat kemadlaratan dan membalas kemadlaratan”.
(HR. Ibn Majah).
Sementara dengan berdirinya lembaga keuangan seperti bank, Dawam
melihat terdapat adanya kemaslahatan yang membawa kepada kesejahteraan
ekonomi umat (maslahat al- ammah). Apalagi dengan berdirinya bank diatur atas
dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku secara logika mustahil
perundang-undangan itu dibuat untuk kesengsaraan masyarakat, maka jelaslah
12 Ibid, hlm. 136 13 Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, kitab al-Ahkam, bab man bana fi haqqi ma yadur bi jarihi,
Beirut: Dar al-Fikr,tt, hlm. 784
66
bank di sini berfungsi sebagai pembebas dari fi al-riqab tersebut. Sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Balad ayat 13.14
Dan hal ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh15
الضرر اال شديزال بالضرراالخف“kemadlaratan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan
kemadlaratan yang lebih ringan”.
Bank menurut Dawam merupakan lembaga yang melaksanakan
perdagangan. Hanya saja yang diperjual-belikan adalah uang dan melayani jasa
lainnya. Perdagangan merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan al-Qur’an
agar masyarakat tidak melakukan riba.
Uang bagi Dawam merupakan komoditi yang bisa diperdagangkan atau
disewakan16. Oleh karenanya bunga bank sebagai komisi atau keuntungan dalam
perdagangan tersebut dibolehkan (halal) dan jual beli keuangan yang dilakukan
oleh bank bukanlah riba.17
Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Dawam Rahardjo dalam
menghalalkan bunga bank, dia menggunakan dasar tentang perdagangan (tijarah)
secara umum.
Perdagangan harus dilakukan berdasarkan kerelaan pihak pembeli dan
penjual, sehingga tidak ada pihak yang merasa dianiaya atau dipaksa oleh yang
lain. Apabila jual beli barang dengan mengambil keuntungan dihalalkan oleh
14 M. Dawam Rahardjo, Prespektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, op.cit., hlm.
137 15 Asjumi A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintanng, 1976, hlm 82 16M. Dawam Rahardjo, Prespektif Deklaras Makkah Menuju Ekonomi Islam., op.cit., hlm.
130 17 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, op.cit, hlm. 606
67
agama asal dilakukan secara bersih dan sukarela oleh pihak-pihak yang
melakukan transaksi, maka jual beli atau pinjam meminjam uang pun
dibolehkan.18 Hal ini didasarkan pada surat al- Nisa: 29.
Menurut Sjafruddin Prawiranegara, tidak mungkin Allah melarang
manusia memperoleh keuntungan dari uang. Uang sifatnya tidak beda dengan
alat-alat lain seperti pisau, mobil, bajak, traktor, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu uang bisa dijual dan dapat dibeli atau dapat disewakan. Dari jual beli atau
persewaan ini nantinya akan memperoleh uang jasa, atau bunga yang tertentu,
yakni uang jasa yang normal dalam perdagangan barang atau uang.19
Terkait dengan mengambil kredit pada bank Sjafruddin menambahkan
orang yang waras pikirannya pada umunya hanya akan meminjam untuk tujuan-
tujuan yang produktif atau usaha-usaha yang membawa keuntungan. Oleh karena
itu debitur bersedia untuk membayar bunga asal tingkat bunga itu lebih rendah
dari tingkat laba yang dapat dicapai dalam usaha yang direncanakan.20
Abdul Manan membantah pendapat di atas, menurutnya uang hanya
sebagai alat tukar bukan suatu komoditi. Oleh karenanya, uang sendiri tidak
menghasilkan suatu apapun, sehingga bunga pada uang yang dipinjam dan
dipinjamkan adalah dilarang.21
Namun ada sebagian tokoh yang keberatan dengan pendapat di atas ini,
minimal ada dua akibat yang sangat buruk yang ditimbulkan sistem perbankan
18 Sjafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan keuangan: Makna Ekonomi Islam, Jakarta: CV
Haji Masagung, Cet. I, 1998, hlm. 315 19 Ibid, hlm. 314 20 Ibid 21 Abdul Manan, Islamic Economics Theory And Practice, terj. Sonhadji dkk, Teori dan
Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti, 1997, hlm. 162
68
yang menggunakan sistem bunga. Pertama investor mengalami ketidakpastian,
sebab hasil usahanya tidak bisa diramalkan secara pasti. Sementara bunga bank,
sebagai sumber dana dari usahanya harus dibayar terus tanpa memandang,
apakah usahanya mendapat keuntungan atau tidak. Kedua, dari bunga tetap yang
harus dibayar tersebut, mengakibatkan tingginya biaya tambahan produksi dan
sekaligus mengakibatkan tingginya upah buruh. Sementara dibalik semua
konsekuensi itu, bank tidak mau tahu dengan keberadaan perusahaan. Dengan
demikian, maka akibat selanjutnya dari sstem ini adalah munculnya
ketidakadilan antara pihak bank sebagai pemilik modal dengan pihak perusahaan
sebagai lembaga yang yang memintal kredit.22
Terkait dengan bank non bunga Dawam menyatakan hal tersebut tidak
ada perbedaan yang prinsipil, hanya perbedaan istilah, hakekatnya adalah sama
yakni mencari keuntungan dalam bisnis. Sebagai lembaga yang sama-sama
bergerak dalam bisnis, tentunya tidak ada yang mau rugi, termasuk bank
syari’ah. Walaupun dalam bank bebas bunga yang melakukan profit loss sharing
pada dasarnya berusaha menghindari kerugian seminimal mungkin, buktinya
tetap menggunakan jaminan juga terhadap debitur.23
Status hukum riba memang sudah disepakati adalah haram. Namun yang
menjadi persoalan riba yang mana, karena al-Qur’an tidak menjelaskan secara
rinci kecuali riba nasiah. Sementara para pemikir modern24 menyatakan
22 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami sebuah studi atas pemikiran M. Abduh,
Yogyakarta: Puataka Pelajar, Cet. I, 1996, hlm. 67 23 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi,op.cit , hlm. 423 24Di antaranya Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Mustofa al-Maraghi, M. Hamka dan
Munawir Sjadzali.
69
diharamkan riba karena dua alasan. Pertama, adanya ad’afan muda’afan dan
kedua, la tazlimuna wa latuzlamun.
Dengan demikian berdirinya bank sebagai hasil peradaban manusia,
walaupun tetap mempraktekkan riba, namun pada hakekatnya justru bank ini
berusaha menghilangkan unsur riba yang diharamkan.
Ketika menulis rahasia diharamkannya riba al-Shobuni rupanya
berangkat dari kekhawatiran juga terhadap dampak negatif yang ditimbulkan
oleh bahaya riba pada kehidupan masyarakat. Kekhawatiran al-Shobuni dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Akan melahirkan sifat individualis dan kapitalis serta tak peduli pada
kepentingan orang lain.
2. Akan memusnahkan sifat tolong menolong dan cinta mencintai antara
sesama manusia
3. Akan melahirkan kesenjangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat, yang
kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Kekhawatiran al-Shabuni ini rasional jika dikaitkan dengan praktek riba
jahiliyah, mindering, ijon dan rentenir. Namun ketika dikaitkan pada praktek
perbankan sekarang, penulis kira tidaklah tepat, karena justru perbankan
berusaha menghilangkan terjadinya kehawatiran-kehawatiran al-Shobuni.
Kemudian masalah transaksi dalam perbankan, bila dilihat secara hukum
sudah Islami, karena unsur kesukarelaan dalam transaksi itu sebenarnya sudah
terpenuhi dan terjaga. Adapun sebagian ulama’ yang mengharamkan penetapan
kelebihan atau bunga di muka dalam transksi itu pada dasarnya untuk
70
menghindari adanya unsur pemaksaan. Sementara penetapan bunga di muka
dalam transaksi bank tidak ada lagi unsur keterpaksaan, karena tarif bunga sudah
diumumkan lebih dahulu. Menurut Abdullah Ahmad sebagaimana dikutip oleh
Hamzah Ya’qub menyatakan adanya tarif bunga yang sudah diumumkan lebih
dahulu, lalu orang datang ke bank untuk meminjam uang. Berarti mereka sudah
menunjukkan adanya kesanggupan dan kesukarelaan.25 Seiring hal ini, Quraisy
Shihab menyatakan penetapan kelebihan dimuka tidaklah menjadi masalah selagi
saling menguntungkan.26
Selain al-Qur’an, argumen yang dipakai Dawam dalam membolehkan
bunga bank adalah riwayat yang menceritakan hutang-piutangnya Rasulullah
SAW dengan Jabir.
اتيت النيب صلىاهللا عليه واله وسلم وكان ىل : عـن جابر رضىاهللا عنه قال
27عليه دين فقضاىن وزادين
“Saya datang kepada Nabi SAW. sedang ia berhutang kepadaku. Maka
ia bayar kepada saya serta ia tambah”. Hadits tersebut yang dipakai Dawam untuk menyatakan bahwa tidak
setiap tambahan dalam pengembalian pinjaman itu termasuk kategori riba apabila
dilakukan secara sukarela. Oleh karenanya apabila debitur datang ke bank dan ia
25 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, bandung: CV.Diponegoro, 1999, hlm.
198 26 Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, op.cit., hlm. 267 27 Muhammad bin Ali al-Syawkaniy, Nail al-Author, Jilid V, Beirut: Dar al- Kutub al-
Ilmiyyah, t.th, hlm.246
71
sudah sepakat dengan sistem, sifat dan cara pembayaran bunga tersebut, maka
bunga ini tidak lagi bisa disebut riba.28
Namun berkenaan dengan hadits yang dijadikan dasar pijakan Dawam di
atas itu, menurut M. Thalib kasus Nabi SAW ini tidak bisa dijadikan pegangan
dibolehkannya sistem bunga pinjaman. Kalau toh kita ingin memberikan
pelunasan hutang melebihi dari hutangnya itu hanya bersifat sukarela. Kasus
melebihkan pelunasan hutang tidak bisa dijadikan dasar dibolehkannya sistem
bunga. Karena perintah melebihkan tersebut hanya bersifat sukarela sedangkan
pemberian bunga -sebagaimana dilakukan oleh bank- merupakan syarat mutlak.29
Dalam membahas riba dan bunga bank Dawam juga melihat kenyataan
empiris yang ada dalam masyarakat. Yaitu praktek riba liar (mindering, rentenir
dan ijon) tanpa dibingkai undang-undang dengan praktek perbankan yang
tentunya dibingkai oleh undang-undang. Dimana prosentase tambahan (riba)
yang dipungut oleh bank relatif kecil daripada yang diminta oleh praktek riba liar
atau informal diluar lembaga perbankan.. Hal ini didasarkan pada kenyataan
empiris yang terjadi di masyarakat. Riba yang di pungut oleh bank relatif kecil
yaitu kira-kira 2 % perbulan sedangkan pada sistem ijon atau maklun, mindering
ribanya lebih besar berkisar antara 30 sampai 60 persen perbulan.30 Bagi Dawam
praktek ijon, mindering dan rentenir inilah yang disebut sebagai riba ad’afan
muda’afan yang dilarang oleh Islam.
28 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, op.cit., hlm. 422 29 M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan Manajemen Islamy, Solo : Pustaka Mantiq, 1992,
hlm. 145 30 M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, op.cit., hlm.
135
72
Melihat kenyataan tersebut yakni antara tambahan praktek liar dan
lembaga bank, maka yang terakhir yaitu tambahan pada lembaga bank yang lebih
sedikit atau kecil prosentasenya terdapat maslahat bagi masyarakat untuk
perkembangan perekonomiannya.
Maslahat yang dibenarkan agana adalah maslahat untuk memelihara lima
masalah pokok yaitu : agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.31
Di antara kemaslahatan yang bertalian dengan harta ialah memelihara dan
menghindarkan harta dari pencurian, memperkembangkannya, menumbuhkan
dan memenuhi kepentingan umum dengan harta dan lain-lain.
M. Dawam Rahardjo sebagai ahli ekonom dalam menghalalkan bunga
bank tentunya pengaruh pemikiran para ekonom sebelumnya pun secara tidak
langsung mempengaruhi pemikirannya. Artinya dalam membolehkan bunga bank
Dawam Rahardjo mengikuti teori opportunity cost dan teori inflasi. Dimana
dalam teori opportunity cost ini dinyatakan bahwa dengan meminjamkan
uangnya, sebenarnya kreditor menahan diri untuk tidak menggunakan modalnya
untuk memenuhi keinginan sendiri, namun modal tersebut dipinjamkan kepada
debitor supaya debitor mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan
dari pinjaman tersebut, yang didasarkan pada lamanya peminjaman, sehingga
pemberi pinjaman dianggap berhak mengenakan harga sesuai dengan lamanya
waktu pinjaman.32
31 Ahmad Sukarja, Riba, Bunga Bank dan Kredit Perumahan, dalam Chuzaimah T , Yanggo
dan Hafiz Anshari (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 42
32 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 9
73
Dari teori di atas ini dapat dipahami bahwa semakin lama waktu
peminjaman maka semakin besar pula kompensasi atau bunga yang diminta oleh
pemberi pinjaman.
Teori opportunity cost ini menurut Heri Sudarsono33 sedikitnya
mempunyai dua kelemahan. Pertama, waktu tidak bisa dijadikan dasar bagi
peminjam untuk mendapatkan keuntungan usahanya. Bisa saja dengan bekerja
keras dengan waktu yang telah ditentukan pengusaha akan mendapat keuntungan
yang diharapkan, akan tetapi keberadaan usaha selain dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi juga kondisi non ekonomi.
Kedua, pengaruhnya waktu dalam suatu bidang usaha berbeda-beda,
untuk itu tidak bisa disamaratakan keuntungan-kerugian yang diperoleh dari
setiap usaha.
Sedangkan teori inflasi ini menganggap bahwa uang di masa datang
nilainya akan menurun. Oleh karenanya menurut paham ini, mengambil
tambahan dari uang yang dipinjamkan merupakan sesuatu yang logis sebagai
kompensasi penurunan nilai uang selama dipinjamkan.34
Argumentasi tersebut sangat tepat seandainya dalam dunia ekonomi yang
terjadi hanyalah inflasi saja tanpa ada deflasi atau stabilitas.
Meskipun bank memberi maslahat bagi manusia dalam berbisnis (untuk
kegiatan produktif bukan konsumtif), namun penetapan bunga di awal
menimbulkan kecemasan tersendiri dari pihak peminjam meskipun untuk
33 Ibid, hlm. 9-10 34 Ibid, hlm. 11
74
kegiatan produktif, karena dalam berusaha, pasti akan ditemukan dua
kemungkinan yaitu untung dan rugi.
Terkait dengan permasalahan di atas, Ahmad Sukarja menyatakan bahwa
bunga bank termasuk riba khafi. Riba khafi dibolehkan apabila ada maslahat.
Sebagaiman kaidah usul fiqh “ma hurrima lisaddi al-dzari’ah ubiha lil hajjah
awi al-maslahat” [sesuatu yang diharamkan karena antisipasi dibolehkan karena
hajat dan kemaslahatan].35
Penulis sepakat dengan Ahmad Sukarja yang menyatakan bahwa orang
yang menyimpan uang di bank untuk lebih amannya uang, lalu mendapat
tambahan adalah halal karena maslahat. Peminjam yang mengembalikan
pinjaman dengan memberikan sekadarnya, juga halal karena maslahat, antara
lain untuk mengimbangi kemerosotan nilai uang yang makin lama makin
menurun. Dengan demikian orang yang meminjamkan tidak dirugikan sesuai
statemen dalam al-Qur’an “la tazlimuna wa la tuzlamuna”. Orang yang
meminjamkan akan dirugikan jika uang yang dipinjamkan sekian lama,
dikembalikan sejumlah itu pula, padahal nilai uang selalu menurun. Adanya
tambahan dalam hal seperti ini dibolehkan karena kemaslahatan. Kalau orang
atau lembaga bank yang meminjamkan tidak mau menerima tambahan, itu
merupakan sikap positif dan kebaikan tersendiri baginya. Kalau ia menerimanya,
ia bukan memakan riba yang diharamkan.
Bagi penulis riba atau bunga yang kecil atau besar prosentasenya (jaliy
dan khafi) adalah haram. Yang besar haram karena dzatnya dan yang kecil juga
35 Ahmad Sukarja, Riba……, opcit, hlm. 42
75
haram karena untuk mencegah atau menutup terjadinya riba yang besar.
Sebagaimana pendapat Ibnu Qayyim:36
“Riba terbagi dua macam : jaliy dan khafi. Riba jaliy diharamkan karena adanya
kemudharatan yang besar. Riba khafi diharamkan karena akan membawa kepada riba
jaliy. Diharamkan riba jaliy karena asal, diharamkan riba khafi karena menjadi wasilah
[perantara]”.
Usaha-usaha kongkret kearah pembebasan umat dari jebakan riba plus
dosa karena memakan uang haram belum optimal sehingga sebagian ulama’
membolehkan berhubungan dengan bank konvensional dengan alasan darurat.
Meskipun demikian, pembolehan yang yang dikemukakan ulama’ itu bukan
menjadi garansi seseorang terbebas dari dosa melainkan bersifat khiyar, boleh
bermuamalat atau bermitra dengan bank konvensional tatapi tidak boleh
mengharapkan bunga sebagai prioritas.
Relevansi pandangan Dawam Rahardjo tersebut dengan konteks sekarang
bisa dilihat dan dirasakan hasilnya sekarang. Misalnya, pertama, sudah adanya
kesadaran masyarakat Islam Indonesia yang sudah mulai menerima kehadiran
institusi perbankan, baik terhadap bank konvensional yang menerapkan sistem
bunga dan bank Islam (bagi hasil). Mereka menggunakan institusi perbankan
sebagai mitra kerja dalam mengembangkan dan memajukan usaha
perekonomiannya. Seperti sekarang banyaknya pemberian kredit dari pemerintah
melalui BRI, BPR dan koperasi kepada masyarakat lapisan bawah dengan
programnya memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM). Sehingga segala
36 Ibn Qoyyim, I’lam al-Muwaqqi’in, Beirut : Dar al-kutub al-ilmiyyah, Juz I,tth, hlm. 103
76
bentuk tindakan dari para rentenir yang merapuhkan sendi perekonomian bisa
diminimalisir.
Kedua, adanya kesadaran dari sebagian besar ulama’ dan kaum cendekia
dalam melihat secara obyektif terhadap permasalahan tersebut. Hal ini dapat
dirasakan meskipun mereka berbeda pendapat tentang eksistensi perbankan baik
bank konvensional maupun bank Islam atau Syari’ah yang dalam operasionalnya
menggunakan sistem bunga maupun bagi hasil. Khususnya, bunga bank yang
sempat dijadikan perdebatan oleh para ulama’ dan menghabiskan waktu yang
lama dan belum ada titik temu atau kesepakatan para ulama’ tentang status
hukumnya. Sekarang kontroversi tersebut memudar, mereka memahami dan
menghargai setiap pendapat masing-masing ulama’. Dengan sikap seperti ini
akan membawa pada iklim yang sehat dalam praktek perbankan.
Ketiga, lahirnya Undang-undang perbankan No. 10 tahun 1998 sebagai
hasil revisi dari UU perbankan No. 7 tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut
memberikan aturan main tentang operasionalisasi perbankan nasional, khususnya
memberikan hukum terhadap eksistensi bank syari’ah agar maju bersama-sama
dengan bank konvensional.
Terkait dengan bank syari’ah maupun bank konvensoinal, Fazlur Rahman
sebagimana dikutip oleh Taufiq Adnan menyatakan bahwa suatu sistem ekonomi
dapat disusun dengan menghapus bunga bank kalau masyarakat sudah
terkontruksi oleh pola Islam, tetapi kalau masyarakat belum terkontruksi
berdasarkan pola Islam, maka akan merupakan langkah yang bunuh diri bagi
kesejahteraan ekonomi masyarakat dan sistem finansial negara. Hal ini juga
77
bertentangan dengan spirit dan tujuan al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad
SAW.37
Bagaimanapun sistem bunga dalam perbankan harus dihilangkan sebab
dengan sistem tersebut banyak unsur negatifnya daripada unsur positifnya.
Namun untuk menghilangkan sistem bunga tersebut dibutuhkan waktu yang lama
dan perlu dukungan dari semua pihak khususnya umat Islam sendiri dan umara’
pada umumnya.
37 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1989, hlm. 94