BAB II_2007ipa-3.pdf
Transcript of BAB II_2007ipa-3.pdf
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang
surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan
hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh
dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti
delta dan estuaria.
Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1)
satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat
mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih
jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di
habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa
darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya
bersifat sementara atau tetap.
2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi
Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung
estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat
mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh
kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis
tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa.
Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap
keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar
horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke
permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan
pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan
ceriops tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan
bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar.
Komposisi mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya,
tergantung dari keadaan fisiografis pantai dan dinamika pasang surut, sehingga
di satu tempat terdapat jalur mangrove yang lebih lebar daripada di tempat
lainnya. Di sepanjang pantai yang lurus dan tidak berombak, jalur mangrove
13
kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta dimana banyak
arus, lumut ditemukan pada kebanyakan pohon mangrove seperti R. apiculata
dan R. mucronata. Lumut yang terdapat di hutang mangrove meliputi 5 jenis
lumut daun dan 21 jenis lumut hati yang sifatnya mirip lumut daun.
Hutan mangrove dijumpai zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi,
frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas
sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dinamika
penyebaran propagule, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh
organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan tertentu dapat
dijumpai hanya satu zone. Pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain
pada: frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan
memperhatikan frekuensi penggenangan air, dan berdasarkan nama genus
pohon yang dominan.
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung untuk tumbuh dalam kelompok-
kelompok, zone-zone atau jalur-jalur sejajar pantai. Di pantai yang landai dengan
kemiringan membawa lumpur dan pasir, hutan mangrove merupakan jalur yang
lebih lebar. Ada tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan penyebaran
jenis-jenis mangrove adalah: (1) kondisi dan tipe tanah: keras atau lembek,
berpasir atau berlumpur, (2) salinitas: variasi rata-rata harian maupun tahunan;
frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan, dan (3) ketahanan jenis-jenis
mangrove terhadap arus dan ombak.
Ketergantungan terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora.
Sebagai contoh, R. mucronata merupakan ciri umum untuk tanah yang
berlumpur dalam R. apiculata berlumpur dangkal, sedangkan R. stylosa erat
hubungannya dengan pantai yang berpasir atau berkarang yang sudah memiliki
lapisan lumpur atau pasar. Terhadap kadar garam (salinitas), ketergantungan
ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai ataupun danau dengan laut
bebas mendadak terputus, sehingga salinitas menurun karena kurangnya
pengaruh pasang surut, maka jenis Rhizophora spp., akan mati dan
permudaannya diganti oleh jenis yang dapat bertoleransi terhadap salinitas tanah
yang kurang peka terhadap kadar garam, seperti Lumnitzera sp., Xylocarpus
granatum. Meskipun komposisinya berbeda dari satu tempat dengan tempat
lainnya, dapat disebutkan bahwa anggota komunitas tumbuhan mangrove di
Indonesia paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba, 9 jenis
liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
14
Disamping tumbuhan tinggi, juga ditemukan berbagai ganggang dan
lumut (lumut daun dan lumut hati). Beberapa dari ganggang telah beradaptasi
untuk kehidupan dalam kondisi air payau dan jenis-jenis ini dapat melimpah
ringan, khususnya pada hutan yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh
Avicennia yang seringkali tumbuh berasosiasi dengan Sonneratia jika kondisi
lumpurnya kaya akan bahan organik. Pada zone ini, Avicennia marina umumnya
tumbuh pada lumpur yang kokoh, sedangkan pada lumpur yang lebih lunak
tumbuh A. alba. Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica dapat
membentuk tegakan-tegakan hampir murni pada tanah lempung yang kokoh
yang biasanya sewaktu-waktu dicapai air pasang. Lebih ke arah darat B.
cylindrica bercamur dengan R. apiculata, R. mucronata, B. parviflora dan X.
granatum. Zone batas antara hutan mangrove dan hutan pedalaman ditandai
oleh adanya Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, X. Moluccensis, Intsia bijuga,
Ficus retusa, Pandanus sp., Calamus sp., dan Oncosperma tigillaria.
Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti
primata, reptil dan burung. Hutan mangrove merupakan salah satu komponen
ekosistem estuaria yang sangat penting bagi kehidupan burung-burung air
termasuk pula burung-burung yang melakukan migrasi. Disamping sebagai
tempat berlindung dan mencari makan, hutan mangrove juga mempunyai peran
yang sangat penting bagi burung-burung air yang tidak melakukan migrasi, yaitu
sebagai tempat berkembang biak (kawin dan bersarang). Kemunduran potensi
(luas, penyebaran dan degradasi) hutan mangrove menyebabkan semakin
terancamnya kelestarian berbagai jenis burung air. Hasil penelitian Alikodra et al.
(1990) di hutan mangrove muara Cimanuk (Jawa Barat) dan di Segara Anakan
(Jawa Tengah) berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung wader, 12
jenis diantaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di pantai
Sulawesi, Whitten (1987) melaporkan adanya 34 jenis burung pantai yang
tergolong dalam burung migrasi.
Jenis primata yang seringkali dijumpai di hutan mangrove di Pulau Jawa
dan Pulau Sumatera adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), sedangkan
di hutan mangrove di Pulau Kalimantan, selain kera ekor panjang juga terdapat
bekantan (Nasalis larvatus) sebagai primata yang endemik dan langka. Di
beberapa kawasan konservasi, seperti di hutan mangrove Angke Kapuk, Taman
Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon terdapat Lutung (Presbytis
cristata) merupakan jenis primata yang sering dijumpai. Hutan mangrove dihuni
15
pula oleh berbagai jenis reptil seperti biawak (Varanus salvator), kadal (Mabouya
fasciata) dan berbagai jenis ular (Boiga dendrophila). Hewan terbesar yang hidup
di rawa-rawa hutan mangrove adalah buaya muara (Crocodilus porosus).
Mengenai potensi kayu, Rambe et al., (1983) melaporkan bahwa
berdasarkan hasil cruising di 6 provinsi (Aceh, Riau, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya) pada pohon-pohon
berdiameter 10 cm ke atas. Secara detail disajikan data seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia
Jenis Kerapatan (individu/ha) Potensi (m3/ha) Avicennia spp. (6 - 45) 11 . 60 (1 - 17) Sonneratia spp. (2 - 23) 7 . 58 (1 - 12) Rhizophora spp. (37 - 185) 40 . 72 (19 - 90) Bruguiera spp. (7 - 125) 3 . 61 (3 - 29)
Sumber: Sukarjo (1999)
Data Potensi hutan mangrove terbesar yang pernah disurvei (135,5
m3/ha) terdapat di Kalimantan Selatan. Sedangkan kerapatan pohon yang cukup
tinggi terdapat di hutan mangrove di Aceh, Riau, Kalimantan Barat (estuaria
Sungai Kapuas), Kalimantan Timur (estuaria Sungai Sesayap), Jawa Tengah
(Segara Anakan), Bali (Benua), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni dan Cendrawasih),
potensi rata-ratanya lebih dari 40 m3/ha (Sukarjo, 1999).
2.1.2 Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang dipengaruhi pasang-surut air laut
(Chapman, 1977). Tipe hutan ini disamping mempunyai fungsi ekonomis melalui
hasil berupa kayu dan hasil hutan ikutannya juga mempunyai fungsi ekologis
yang sangat penting sebagai interface antara ekosistem daratan dengan
ekosistem lautan. Dengan demikian di dalam ekosistem mangrove paling sedikit
terdapat lima unsur ekosistem yang saling kait-mengkait yaitu flora, fauna,
perairan, daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidup bergantung pada
ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena di
dalam ekosistem mangrove terdapat dua tipe karakteristik ekosistem yaitu
karakteristik ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan
jenis-jenis biota yang hidup di habitat mangrove terdiri atas biota darat dan biota
16
laut. Penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem
mangrove adalah biota laut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian-
penelitian mengenai biota di habitat mangrove masih sangat terbatas dan jauh
tertinggal dibandingkan dengan penelitian-penelitian mengenai vegetasi
mangrove. Oleh karena itu, informasi mengenai biota mangrove yang disajikan
belum mencerminkan kekayaan biota di ekosistem mangrove yang
sesungguhnya. Walaupun demikian informasi mengenai biota mangrove
seyogyanya dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus
dipertimbangkan di dalam program pengelolaan hutan mangrove secara
berkesinambungan.
Ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni: (1)
Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga, (2)
Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan
cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga
(terutama nyamuk), (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan
keong/kerang, (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai
habitat kepiting dan katak, dan (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan
ikan/udang (Chapman, 1977).
Peranan penting dan ekosistem mangrove dalam menunjang kehidupan
biota laut sudah diyakini secara luas. Tetapi, sebenarnya habitat utama dan
ekosistem mengrove yang penting dan langsung menunjang kehidupan biota laut
adalah saluran-saluran air yang merupakan bagian integral dan ekosistem
mangrove tersebut. Dalam hal ini nampaknya vegetasi mangrove lebih berperan
sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluran-
saluran air tersebut.
Kartodiharjo (2000) dalam Hamilton dan Snedaker (1984), melaporkan
bahwa kelimpahan individu dan keragaman jenis biota laut tertinggi berada pada
estuaria dengan kedalaman 0,3 sampai 1,5 m. Kondisi estuaria dengan
kedalaman tersebut cenderung akan semakin banyak dijumpai di lokasi-lokasi
ekosistem mangrove yang berjarak semakin jauh dari pantai.
Di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove
baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove. Jenis-jenis tumbuhan
mangrove tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana
(tumbuhan pemanjat), 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis
herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis tema pada lampiran 2.1.
17
Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di
Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data pada lampiran 1
tersebut jumlah jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama tersebut adalah 27
jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatera, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di
Sulawesi, 28 jenis di Maluku, dan 21 jenis di Irian Jaya (Sukarjo, 1999).
Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di
Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada
sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu
konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi
Bruguiera, dan konsosiasi Nypa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di
Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dengan Rhizophora spp. sering
ditemukan terutama di zone terdalam. Segi keanekaragaman jenis, zone transisi
(peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zone dengan
jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak
khas habitat mangrove.
Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas
(berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda dan suatu
tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dan beberapa puluh meter
sampai beberapa kilometer dan garis pantai. Berdasarkan data jenis-jenis
tumbuhan mangrove yang sudah dilaporkan saat ini oleh beberapa peneliti di
berbagai daerah di pulau-pulau utama di Indonesia, secara umum dapat
dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian tersebut cukup mewakili keanekaragaman
jenis mangrove di Indonesia. Walaupun demikian, eksplorasi jenis tumbuhan
mangrove di berbagai daerah seyogyanya harus terus dilakukan untuk
mendapatkan data jenis tumbuhan mangrove selengkap-lengkapnya.
Penelitian mengenai fauna hutan mangrove di Indonesia masih terbatas
baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil
penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus
dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung
Karawang, Segara Anakan, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut),
Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatera (Lampung,
Sumatera Selatan), dan Kalimantan.
Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan
fauna laut (Macnae, 1968) - Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang
(Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.
18
Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan
Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan
Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna
laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.
Alikodra et al. (1990) melaporkan adanya 45 jenis ikan dan 37 jenis famili
di Segara Anakan Cilacap dengan jenis-jenis ikan dominan seperti belanak
(Mugil sp.), boyor (Sillago sp.), tombol (Johnius sp.), susur-wedi (Trachiphalus
sp.), lidah (Cynoglossus sp.), lea (Setipine sp.), dan petek (Leiognathus sp.)
Soerianegara et al.,. (1985) melaporkan adanya sekitar 41 jenis ikan dari 26
famili, 4 jenis udang dari 3 famili, dan 3 jenis kerang di Muara Sungai Saleh,
Sumatera Selatan.
Alikodra (1999) melaporkan adanya sekitar 30 jenis burung di hutan
mangrove Segara Anakan - Jawa Tengah dan 28 jenis burung di hutan
mangrove Muara Cimanuk - Jawa Barat. Selain itu, di hutan mangrove juga
ditemukan jenis kera ekor panjang (Macaca sp.) seperti di Riau, bekantan
(Nasalis larvatus) yang endemik di hutan mangrove di Kalimantan
(Soemodihardjo et al., 1993), mamalia, reptilia dan lain-lain.
Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan
fauna laut (Macnae, 1968) bahwa umumnya fauna darat hanya menggunakan
ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan perlindungan. Di
Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat yang seluruh siklus hidupnya
bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang
penyebarannya terbatas di Kalimantan.
Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah
Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp.,
dan Halcyon chioris. Jenis-jenis fauna ampibi yang sering ditemukan di
mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis. Jenis-jenis reptilia yang
sering dijumpai adalah Crocodilus porosus, Varanus salvator, Trimeresurus
wagleri, T. purpureomaculatus, Boiga dendrophila, Fordonia leucobalia, Bitia
hydroides, dan Cerberus rhynchops.
Beberapa jenis mamalia yang dijumpai di mangrove adalah Nasalis
larvatus, Presbytis cristatus, Cercopithecus mitis, Macaca irus, Sus scrofa,
Tragulus sp., Pteropsus spp., Fells viverrima, dan Herpestes spp. Banyak jenis
serangga yang menghuni habitat mangrove, yang umumnya didominasi oleh
19
nyamuk. Jenis serangga lain adalah semut (Aedes pembaensis, Anopheles spp.,
Culicoides spp.).
Fauna laut merupakan elemen utama dan fauna ekosistem mangrove.
Fauna laut di mengrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di
lobang-lobang di dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di
permukaan tanah. Fauna umumnya didominasi oleh Crustacece. Selain itu,
komunitas infauna mangrove terdiri atas beberapa jenis Bivalvia dan satu genus
ikan. Sedangkan komunitas epifauna mangrove didominasi moluska (dalam hal
ini Gastropoda) dan beberapa jenis kepiting.
Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran,
yaitu fauna yang menyebar secara vertikal dan fauna yang menyebar secara
horizontal. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan
ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-
keongan, seperti Littorina scrabra, L. melanostona, L. undulata, Cerithidea spp.,
Nerita birmanica, Chthalmus withersii, Murex adustus, Balanus amphitrite,
Crassostraea cucullata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus.
Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam
substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (a) mintakan
pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp,
Uca lactea, U. bellator), (b) hutan Bruguiera dan Semak Ceriop (Sarmatium spp.,
Helice spp., Ilyograpsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus frontalis, M.
thukuhar, M. messor, Cleistostoma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax spp.,
Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostoma depressum,
Utica spp., Telescopium telescopium, Uca spp., Cerithidea spp.), (c) hutan
Rhizophora (Metopograpsus latifrons, Alpheid prawa, Macrophthalmus
spp.,Telescopium telescopium), dan (d) mintakat pinggir pantai dan saluran
(Scartelaos viridis, Macrophthalmus Iatreillei, Boleophthalmus boddaerti, Uca
dussumieri, Periophthalmus chrysospilos, Tachypleus gigas, Cerberus
rhynchops, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus,
Eurycarcinus integrifrons, Heteropanope eucratoides).
2.1.3 Peranan mangrove bagi biota laut Gambaran umum peranan suatu habitat mangrove bagi biota laut dapat
dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih
mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah
20
vegetasi (termasuk kotoran/sisa tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah
ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana
detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya
konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer
sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.
Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas
alga di lumpur di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan
laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-organic compound) dari laut dan
daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat
mangrove.
Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat
dilihat dan produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali
lipat produktivitas serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7
ton/ha per tahun (Kusmana, 1993). Kondisi habitat mangrove seperti ini
mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan
nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk
menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.
Kusmana (2000), menyatakan bahwa seperti sudah diketahui secara
umum bahwa ekosistem mangrove merupakan interface antara ekosistem
daratan dengan ekosistem laut. Oleh karena itu, habitat-habitat lain yang
berinteraksi dengan habitat mangrove berasal dan ekosistem daratan dan lautan.
Hutan mangrove akan berkembang baik di muara-muara sungai, karena
di muara tersebut arus airnya cukup tenang yang mengakibatkan sedimentasi
sering terjadi. Proses sedimentasi ini memberikan, peluang pada jenis-jenis
pohon mangrove pionir untuk menginvasi lahan tersebut, misal jenis api-api
(Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.). Apabila sedimentasi ini tidak
terkendali, maka akan terjadi pergantian komunitas mangrove dengan jenis-jenis
pohon yang bertoleransi terhadap salinitas yang kecil (Bruguiera spp.,
Xylocarpus sp.) yang selanjutnya secara bertahap akan terjadi pergantian tipe
hutan dari hutan mangrove menjadi hutan daratan.
Dalam kaitannya dengan lingkungan perairan payau sebagai bagian
integral dan ekosistem hutan mangrove, air sungai yang banyak mengandung
lumpur (penetrasi cahaya ke dalam air berkurang) akan mengakibatkan
produktivitas primer perairan tersebut berkurang. Sejalan dengan proses
sedimentasi yang terus-menerus terjadi yang mengakibatkan terjadinya
21
pergantian secara bertahap dari tipe hutan mangrove ke hutan daratan, maka
lingkungan perairan payau beserta biota lautnya secara bertahap akan lenyap.
Estuaria merupakan suatu habitat akuatik yang tinggi produktivitas
primernya. Tipe habitat ini umumnya berasosiasi dengan habitat mangrove.
Nampaknya tipe habitat estuaria ini memberikan kondisi tempat hidup yang baik
untuk banyak jenis pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan
habitat mangrove. Seagrass menunjang produktivitas mangrove melalui dua
cara, yaitu: (1) memperkecil arus air laut dan daya dorong ombak, dan (2)
menambah serasah sebagai input energi ke habitat mangrove. Fenomena
semacam ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove.
Hutan mangrove yang lebat umumnya dijumpai di pantai-pantai yang
terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Dalam hal ini, secara fisik terumbu
karang akan menahan hempasan ombak sehingga perairan di belakang karang
tersebut akan berarus tenang yang mana kondisi seperti ini akan memberikan
peluang yang baik untuk tumbuhnya pohon-pohon mangrove dan biota laut yang
berasosiasi dengan habitat mangrove tersebut. Secara simultan keterkaitan
antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem lainnya akan menyebabkan
terbentuknya tiga macam tipe ekosistem yang saling berinteraksi dengan habitat
mangrove yaitu benthic ecosystem, pelagic ecosystem, dan supratidal
ecosystem.
Manfaat mangrove dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek
ekologis, aspek ekonomis dan pemenuhan sebagai pangan. Manfaat ekologis
mangrove adalah: (a) sebagai bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik
yang bersangkutan, (b) sebagai daerah pembiakan bagi berbagai binatang
terutama ikan dan udang, (c) merupakan lingkungan yang sangat heterogen
secara fisik memberikan berbagai macam relung, tempat perlindungan, daerah
khusus yang digunakan oleh spesies lainnya, (d) memberikan perlindungan
pantai (mencegah erosi) selama banjir bandang dan badai, (e) sebagai
penangkap sedimen menyebabkan pertambahan tanah (akresi), (f) menyaring
bahan-bahan pencemar dan hara yang dapat masuk wilayah pantai atau perairan
(menjadi suatu masalah jika ketidaksediaan hara dan bahan pencemar
berlebihan ada di perairan), dan (g) penyangga penting bagi hutan rawa yang
tidak toleran dengan air asin (Rawana et al., 2001).
Manfaat ekonomis yang dapat diperoleh dari hutan mangrove diantaranya
dapat diambil dari tumbuhan mangrove, tumbuhan bukan mangrove dan dari
22
hewan yang hidup disekitar hutan mangrove. Beberapa manfaat dari hutan
mangrove antara lain adalah sebagai: bahan bakar, konstruksi, produksi kertas,
alat rumah tangga, obat-obatan tradisional, pupuk hijau, pakan ternak,
peternakan lebah.
Pada hutan mangrove selain tumbuhan mangrove, tumbuhan lain yang
berada di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi
adalah rumput got-got dan nipah. Manfaat ekonomi dari hewan yang hidup di
sekitar hutan mangrove di antaranya: sirip ikan sebagai bahan makanan dan
pupuk, krustase sebagai bahan makanan, lebah penghasil madu dan lilin,
unggas sebagai bahan makanan dan kerajinan bulu unggas yang bernilai
estetika atau keindahan.
Mangrove mempunyai peran yang sangat strategis baik dari aspek
lingkungan, ekonomi dan sosial. Beberapa fungsi utama mangrove yaitu: (1) filter
air asin (menghasilkan air payau, mengendalikan intrusi air laut, melindungi
abrasi pantai), (2) media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna (biologi
dan mikrobiologi), dan (3) ekotourisme.
Sebagian besar tanaman mempunyai toleransi yang rendah terhadap
garam, tetapi dalam mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang
naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar
dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam.
Tanaman mangrove dapat tumbuh ideal apabila airnya terdiri atas 50% air tawar
dan 50% air laut. Mangrove dapat menyerap air asin dan CO2 untuk keperluan
fotosintesisnya. Selain menurunkan kadar garam dan menghasilkan air bersih,
mangrove juga turut menyerap gas rumah kaca yang saat ini dituding sebagai
salah satu penyebab pemanasan global (Ball et al., 1997). Indikasi penyerapan
air garam terlihat dari konsentrasi lapisan garam pada permukaan daun.
Menyimpan air asin daun yang tebal, rambut yang berfungsi mengurangi
transpirasi. Bahkan ada beberapa spesies yang dapat menyimpan air di jaringan
internalnya.
Media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna in-situ (biologi dan
mikrobiologi). Siklus flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi). Mangrove
merupakan sumber makanan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi
sisa tanaman dan hewan. Interaksi komponen tersebut menjadikan mangrove
sebagai habitat pantai yang sangat penting.
23
Ekoturisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara dari sektor
non-migas yang tidak terkena dampak resesi. Pengembangan sumberdaya
mangrove dengan segala komponen flora dan fauna yang ada dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata. Di negara-negara maju
ekotourisme kawasan mangrove dapat sejajar dengan tujuan wisata lainnya,
karena di kawasan tersebut dapat dikembangkan berbagai hal menyangkut ikan,
pengembangan reptil dan sebagainya.
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
2.2.1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam
Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan
yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat
bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka
penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi,
seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
sehingga menjamin generasi yang akan datang.
Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi
pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi
tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat
serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan
kesinambungan dari sumberdaya alam menjadi sangat krusial bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja
pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah.
Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian
manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu
saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam
pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan
manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah
menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999).
Hukum dasar manusia dan alam adalah bahwa manusia memiliki
kebutuhan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan sumberdaya alam ada
batasnya bahkan dapat mengalami kelangkaan. Untuk itu harus melakukan
pilihan yang cermat. Pilihan ini harus memperhatikan apa yang diinginkan dan
apa yang dibutuhkan, dan kepentingan dimensi lain yaitu perlindungan,
24
pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra,
1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai, yaitu dengan
mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak
secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.
2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik
formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja
pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada
pemahaman yang jeias dan pasti. Aturan-aturan dalam kelembagaan
dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasi-
organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk
memenangkan permainan itu.
Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan
yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap
pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang
telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan
atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kelompok-kelompok
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga
diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur
hubungan antar manusia yang berkelompok pada suatu kelompok
kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu
jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok
manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta
pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya.
Sanim (1999) menyebutkan bahwa pada dasarnya kelembagaan
mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (1) Memberikan pedoman kepada
anggota-anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku
atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat
terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan, (2)
Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan, dan (3) Memberikan
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial
25
artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-
anggotanya.
Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap
efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban
terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan
gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung
perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari
kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain
sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam
masyarakat dan sistem.
GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu
kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan
suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud
melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3)
mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5)
mempunyai karakteristik tertentu.
Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut
Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah:
a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan
seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para
peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala
ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan
untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam
organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan
sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan
sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-
masing pihak.
b. Hak kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap
sumberdaya tertentu yang diatur oleh peraturan, adat dan tradisi atau
konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu
tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak atau hak penguasaan, apabila
tanpa pengesahan dan masyarakat sekitarnya. lmplikasinya adalah (1) hak
seorang adalah kewajiban orang dan (2) hak yang tercermin oleh kepemilikan
adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Bahwa property
26
right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil
produksi dan lain-lain.
c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang
digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi
atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam
masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999).
Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan
mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2)
regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan
harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam
mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga
yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem
kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap
aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu
sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol.
Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam
penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang
menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya
atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik
individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang
diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan
sumberdaya (Sanim, 1999).
Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik
yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada
pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal,
(2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan
perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan
hak-hak kepemilikan.
Di sisi lain peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam,
diupayakan untuk (1) membangun kerangka umum pemanfaatan sumberdaya
alam agar sistem dan prosedur pendayagunaan sumberdaya alam lebih etis, (2)
mengarahkan dan mengatur pelaku pengguna sumberdaya alam sesuai dengan
27
segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan
sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi
sumberdaya alam dan perlindungan sumberdaya alam) dan teknologi
pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke
dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk
menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam.
Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan
biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni
(1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera
atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial;
manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit
(remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas
atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat
bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat
bertambah pada orang lain.
Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan
fungsi ekosistem, yaitu keterkaitan keanekaragaman, keselarasan, dan
keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan
terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak
Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif
dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan
tercapainya transgenerational equity, sehingga kualitas dan kuantitas
sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan
jangka panjang, karena perubahan lingkungan berlangsung penciutan
sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara
eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai
sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan hal-
hal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi
secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan.
Di dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak mudah untuk menentukan
lembaga-lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan
kelembagaannya. Kejelian dalam menentukan hal tersebut sangat esensial
dalam mengevaluasi kelembagaan lokal. Ada beberapa hal yang perlu dikaji,
yakni (1) pembatasan sumberdaya dan penggunaannya, (2) distribusi biaya dan
28
manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan
(5) pertimbangan pemilikan bersama.
Eksistensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan
dalam pengelolaan sumberdaya, (2) munculnya kegagalan pasar, (3)
kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya
memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan
permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat
keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai
kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.
2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan
partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk
merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di
negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih
banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al.,
1997).
Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup
keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk
memberi konstribusi dalam pembangunan dan kesediaan untuk turut
bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah
kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan
kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli
dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam
pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau
bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat
dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program.
Secara umum keempat macam ketertibatan ini mengarah kepada
partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan
Iingkungan pesisir. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) setidaknya memiliki tiga
alasan utama, yaitu: (1) Sebagai Iangkah awal mempersiapkan masyarakat
29
untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat
terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat
untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat
setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam
menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan
di wilayah mereka.
Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan
terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama
pendukungnya, yaitu:
1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu
yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia.
Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya,
sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan,
namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak
perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan
keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk
berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif
terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi
dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan
sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata
lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978).
Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa
jauh impresi suatu objek membuat arti.
2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, keterampilan,
pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan
tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan.
Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah
tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan
dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan
pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan
menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat.
3. Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama faktor
30
ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang
mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan,
birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor
sosial budaya masyarakat.
Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat
adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam
program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya
menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses
pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan
pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal.
Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi,
terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredaman, kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi
manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi
menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai
tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat
didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan
dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika
partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan
dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai
tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini
memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan
kemitraan dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pengambil
keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam
proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh
mengelola suatu objek kebijakan tertentu.
Partisipasi daIam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan
memberikan kesempatan kepada masyarakat mengemukakan pendapat dan
aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi
kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi
31
dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan
masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah
disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah
partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah
dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di
masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan.
Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi
masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan
pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat
terlibat pada semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan
sampai pada pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam
suatu kegiatan, maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung
jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan.
Visi yang mendasari model strategi pemberdayaan masyarakat adalah
segenap upaya pembangunan yang diselenggarakan harus diarahkan langsung
pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Komponen-
komponen yang masih tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan
kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan keseluruhan
potensinya atau dengan kata lain memberdayakannya.
Canter (1977), Comick (1979) dan Coulet (1989), Wengert (1979) dalam
Santoso (1993) merinci peran serta masyarakat sebagai berikut :
1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini
berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan
yang tepat dan baik untuk diiaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu
pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau
terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk
dikonsultasi.
2) Peran serta masyarakat sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan
bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan
dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu pemahaman
bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses
pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan
32
pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan
tersebut akan memiliki kredibilitas.
3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat
didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi
dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu
pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat,
sehingga pandangan dan preferensi dan masyarakat tersebut adalah
masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks
ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk
mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha Pencapaian konsensus
dan pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini
adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan
toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan.
5) Peran serta masyarakat sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta
masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah
psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak
percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan sebagai komponen
penting dalam masyarakat.
6) Pemberian wewenang kepada masyarakat. Disamping dikehendak terjadinya
perubahan sikap dan perilaku dan institusi pemerintah seperti telah
dipaparkan diatas secara teoritik kepada pihak masyarakat perlu terus
diberdayakan kesadarannya serta didorong tanggung jawab dan
kemandiriannya.
Secara konseptual Iangkah pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan
melalui suatu strategi pemberian wewenang demokrasi partisipatif. Osborn
(1996) menyebut langkah trersebut sebagai perwujudan model great society.
Pertimbangan perwujudan model great society ini menjadi penting karena
didasarkan kepada beberapa alasan pertimbangan sebagai berikut: (1)
komunitas masyarakat memiliki komitmen lebih besar terhadap anggotanya
ketimbang sistem birokrasi; (2) komunitas masyarakat Iebih memahami
masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (3) birokrasi akan lebih
memfokuskan memberikan pelayanan, sedangkan masyarakat akan lebih pada
memecahkan masalahnya; (4) birokrasi sebaiknya menawarkan pelayanan,
sedangkan masyarakat lebih menawarkan kepedulian; (5) komunitas lebih
33
fleksibel dan kreatif dalam menangani masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi
pelayanan; (6) biaya yang dibutuhkan oleh komunitas lebih murah daripada biaya
yang dibutuhkan oleh pelayanan birokrasi; (7) standar perilaku komunitas Iebih
efektif daripada pelayanan birokrasi; dan (8) komunitas masyarakat dapat Iebih
memfokuskan pada kapasitas dan sistem pelayanan Iebih pada kekurangan.
Perpaduan antar stakeholders dalam mengembangkan potensi daerah
serta sektor-sektor kegiatan usaha strategis maupun dalam menanggulangi
permasalahan serta persoalan Iingkungan yang ada di daerah dapat diwujudkan
melalui kerjasama antar ketiganya secara sinergis. Secara kualitatif, tolok ukur
keberhasilan kerjasama secara sinergis tadi adalah terciptanya suatu kondisi
segi harmonis berupa kemakmuran bagi wilayah dan kesejahteraan bagi
masyarakat serta keuntungan bagi pengusaha. Tingkat pelibatan masyarakat
yang diharapkan dan dimungkinkan harus ditentukan.
Pengelola tradisional biasanya enggan untuk melewati tingkat pelibatan
masyarakat, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis dan
membuang-buang waktu. Pengelola pada dasarnya mempunyai tanggung jawab
untuk melakukan pendekatan partisipasi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah
ilmiah, dan Iembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum
yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin
meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang Iebih
bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian
kekuasaan. Pelimpahan atau alokasi kembali kekuasaan itu menimbulkan isu
tentang apakah kelompok yang diberikan kepercayaan dan kekuasaan dapat
dipercaya.
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan
membutuhkan waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat
terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat
memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove.
Namun hal tersebut sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang
karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat
yang merupakan jaminan kelangsungan rehabilitasi mangrove.
Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan
masyarakat dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan
mangrove secara lestari. Dengan pola pendekatan pengelolaan berbasiskan
34
masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dan aspirasi
masyarakat. Pola pendekatan ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (1)
program perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa (P3MD), dan
(2) pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). PRA secara harfiah diartikan
sebagai cara untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan
partisipasi masyarakat.
PRA secara luas diartikan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik
pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi
program pembangunan masyarakat, sehingga dengan PRA dimaksudkan untuk
memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka
sendiri dan sering juga untuk merencanakan dan mengambil tindakan.
2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah
sumber daya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan
mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1987). Dahuri (2001)
menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove,
adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian
hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivtas
mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan
hasil panen.
Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal
ini sebagai Iangkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan
mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan
konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan
tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi
keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya (Saenger et al., 1983).
Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan
mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana
pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam
rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang
kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang
akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat
perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi Iangsung dan dipertimbangkan
35
dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama
dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan
berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999).
Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan
ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger,
et al., (1983) mengatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup
wilayah yang Iebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal
merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan.
Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang
diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan
masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan hutan mangrove
tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses
kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara Iangsung
maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat
menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan
menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi
diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna (Ahson, 1993).
Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk
kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi
tunggal yang sempit dan berjangka pendek Dahuri, et al., (2001). Pengelolaan
multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga
membuka pilihan yang Iebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam
pengelolaan hutan mangrove.
Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks
untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar
kawasan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi
memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan
Iebih dirasakan manfaatnya apabila Iebih berpihak pada institusi yang paling
rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus
diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah
menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan
mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan
mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.
36
2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove
Pemanfaatan hutan mangrove bergantung sepenuhnya pada
perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem
mangrove (Dahuri, 2001). Kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi
beberapa peruntukkan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan wisata dan
hutan suaka alam (Alikodra, 1999). Kegiatan penataan hutan ini berdasarkan
pedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.
60/Kpts/DJ/I/1978 dengan memperhatikan usulan dan pertimbangan Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam. Selain tipe-tipe hutan di atas, hutan
mangrove di Indonesia juga ada yang tumbuh di kawasan non kehutanan yaitu
rakyat.
Hutan mangrove yang terletak di hutan produksi digunakan untuk
menghasilkan keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk kepentingan
pembangunan industri serta ekspor. Hasil hutan mangrove di hutan produksi
dapat berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar, arang dan kulit kayu yang
mengandung zat penyamak atua tanin.
Di Indonesia, hutan mangrove ini dapat dibedakan menjadi tiga macam
berdasarkan sifat pengelolaannya, yaitu IUPHHK, IUPHHT, dan Perum
Perhutani. Pengelolaan oleh IUPHHK dan IUPHHT biasanya diterapkan pada
hutan mangrove yang terletak di luar Pulau Jawa yang masuk dalam areal
konsesi pemegang IUPHHK dan IUPHHT. Sedangkan di Pulau Jawa,
pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada Perum Perhutani.
Sistem silvikultural yang digunakan dalam pengelolaan hutan ini adalah
sistem pohon induk (seed trees method). Sistem ini berdasarkan pada Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei
1978 yang mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan mangrove
sebagai suatu keterpaduan pekerjaan.
Hutan mangrove yang boleh ditebang harus terletak mulai dari jarak 50 m
dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai dan 10 m dari tepi hutan yang
menghadap ke tepi sungai, alur air dan jalan raya. Penebangan dilakukan
dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha setelah itu areal ditutup
terhadap penebangan. Pohon yang ditebang berdiameter minimal 10 cm pada
ketinggian 20 cm di atas pangkal akar tunjang atau banir. Pada umur 15-20
tahun setelah penebangan dilakukan penjarangan, kemudian ditutup kembali
terhadap penebangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.
37
Pembangunan hutan tanaman industri hutan mangrove dapat
dilaksanakan di lahan non produktif, namun masih layak atau cocok untuk
ditanami dengan jenis pohon mangrove dan terletak tidak jauh dari tepi sungai
yang masih digenangi oleh air laut saat pasang. Kegiatan dalam IUPHHK dan
IUPHHT ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan.
Luas hutan mangrove di Pulau Jawa adalah 70.502 ha yang tersebar di
Unit I Jawa Tengah sebesar 16.513 ha, Unit II Jawa Timur sebesar 20.994 ha
dan Unit III Jawa Barat seluas 32.995 ha (Perhutani, 1996). Pola pengelolaan
hutan mangrove di ketiga unit tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisi
setempat. Hutan mangrove di Unit I dan II sedikit terpengaruh oleh pasang surut,
sedangkan di Unit III Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh pasang surut.
Sehingga pengelolaan hutan mangrove di Unit III dilakukan dengan model
empang parit (sylvofishery).
Model empang parit ini pada intinya melibatkan masyarakat secara
langsung berperan serta dalam pembangunan hutan, dimana 20% dari luas
lahan digunakan untuk tambak dan sisanya (80%) ditanami dengan vegetasi
mangrove. Perbandingan luas antara tegakan mangrove dengan empang adalah
4:1. Penanaman dilakukan dengan jarak 5 x 2 meter. Jenis-jenis vegetasi yang
ditanam adalah Sonneratia sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp.,
Ceriops sp., Avicenia sp., dan Xylocarpus sp.
Dalam sistem ini, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok
Tani Hutan (KTH) yang terdiri atas 16-25 KK tiap KTH. Tiap KK diberi lahan
garapan seluas + 5 ha dan pada tahap awal Perum Perhutani memberi bantuan
gratis berupa pupuk 450 kg/ha dan kredit tanpa bunga berupa benih ikan sesuai
dengan kebutuhan. Biaya pengolahan tanah sepenuhnya tanggungan petani,
sedangkan biaya penanaman vegetasi mangrove ditanggung oleh Perum
Perhutani.
Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas
yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun
bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
memelihara kesuburan tanah (Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990).
Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan yang
mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan
pantai berhutan bakau.
38
Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-
kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak
sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman
berupa jalan inspeksi selebar 10-15 meter. Kriteria kawasan pantai perhutani
bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan
terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
Di dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan budidaya kecuali yang
tidak mengganggu fungsi lindung. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus
mematuhi ketentuan-ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung maka harus dicegah
perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan
yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air
tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.
Hutan suaka alam adalah hutan yang karena sifatnya diperuntukkan
secara khusus untuk melindungi alam hayati dan manfaat-manfaat lainnya (UU
No. 5 tahun 1967). Hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka
margasatwa. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami. Sedangkan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang
untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai
upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam cagar alam adalah untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan
kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Fungsi penunjang budidaya dapat
dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam
cagar alam untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran. Sedangkan
kegiatan boleh yang dilakukan di suaka margasatwa hampir sama dengan cagar
alam dengan tambahan diperbolehkannya kegiatan wisata secara terbatas yaitu
kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka
margasatwa dengan persyaratan tertentu.
39
Hutan ini berfungsi sebagai hutan yang dapat memenuhi kepentingan
rekreasi dan kebudayaan. Dalam fungsi ini terdapat unsur komersial, sehingga
dalam pengelolaannya termasuk kegiatan bidang pengusahaan. Prinsipnya
adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya, keserbagunaan manfaat secara
lestari baik spiritual dan material tanpa mengganggu kelestarian hutannya.
Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata,
hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan. Kawasan ini
dapat berupa hutan produksi yang dikonversi atau areal dengan tujuan
penggunaan lain. Hutan mangrove di kawasan ini biasanya dijadikan sebagai
daerah permukiman, industri, areal persawahan pasang surut, areal
pertambakan dan sebagainya. Pola pengelolaan di kawasan ini cenderung
merusak dan menurunkan fungsi serta luas hutan mangrove, termasuk
meniadakan jalur hijau mangrove. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan dan
tujuan pemilik hutan mangrove tersebut.
Bagi petani tambak yang memelihara ikan dan udang secara intensif,
keberadaan hutan mangrove sangat mengganggu karena dijadikan sebagai
tempat persembunyian hama dan penyakit. Sehingga mereka menebang habis
vegetasi mangrove di tambaknya. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dan
konflik kepentingan mengenai status serta pemanfaatan hutan mangrove
diantara berbagai sektor pemerintahan mengakibatkan pengelolaan yang
serampangan, tidak terpadu dan tidak memperhatikan kelestarian hasil.
2.5 Kebijakan Publik
Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu
(Anderson, 1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai
hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan
pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Santoso (1993) dengan mengkomparasi berbagai definisi yang
dikemukakan para ahli menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan
40
mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu 1) para ahli
yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah
disebut kebijakan publik, 2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada
pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori
kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang
kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai
tujuan dan maksud tertentu. Sedangkan kubu lainnya menganggap kebijakan
publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.
Penjelasan lebih lanjut dan pandangan kelompok pertama para ahli
tersebut adalah melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan yaitu perumusan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian, dengan kata lain bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dan para pembuat keputusan
kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Padangan dan kelompok kedua menyatakan kebijakan
publik terdiri dan keputusan dan tindakan artinya kebijakan publik sebagai suatu
hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa
diramalkan.
Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua
harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik
dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka
atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus
dibatasi. Ada juga dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada
dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang
mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok
diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau juga dinamakan dampak yang
melimpah (externalities or spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin
mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan-keadaan
dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak
berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang;
(4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya
tidak Iangsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program
tersebut dan ada biaya tidak Iangsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh
pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai
dampak terhadap biaya-biaya yang tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan
oleh semua pihak.
41
Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab
pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau
pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa
bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan
apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat
diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi
tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil
kebijakan, dan kinerja kebijakan.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan
masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan
informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif
kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; (3) rekomendasi (preskripsi)
menyediakan informsi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di
masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi)
menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi
mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu
terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi
juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis
sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk
menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga
macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama
untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya
dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan
yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal
mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, dapat digunakan satu atau lebih dari
tiga pendekatan analisis, yaitu:
1) Pendekatan empiris: ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab
dan akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan utama bersifat faktual dan
macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif.
42
2) Pendekatan valuatif: ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa
kebijakan. Pertanyaan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tipe
informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.
3) Pendekatan normatif: ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan
yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, dan informasi
yang dihasilkan bersifat preskriptif.
Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui
apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal
tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang
berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran
yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan
akibat dari tindakan pemerintah.
Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu : (1) analisis prospektif, (2) analisis
retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif
merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi
informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya
berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan
dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara
utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis
prospektif dan retrospektif.
Kebijakan pembangunan kehutanan yang diterapkan selama lebih dari 30
tahun ternyata belum mampu mewujudkan keberpihakan kepada rakyat karena
masih beriorentasi sentralistik. Oleh karena itu, dalam era reformasi saat ini
rakyat menginginkan terjadinya perubahan dalam pembangunan kehutanan
(Alikodra, 2000). Perubahan kebijakan yang diperlukan diharapkan mampu
memenuhi harapan: (1) menghilangkan dan mencegah terjadinya kolusi, korupsi
dan nepotisme di lingkungan institusi kehutanan, (2) menerapkan asas-asas
profesionalisme dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, (3) memberikan
manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi rakyat serta mengembangkan
peran serta rakyat dalam segala aspek pembangunan kehutanan, dan (4)
menjaga dan menjamin terwujudnya kelestarian sumber daya hutan.
Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPP-
Mangrove (2001) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini
dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas,
terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan.
43
Bahkan dengan berkembangnya IUPHHK, IUPHHT sebagian besar dari mata
pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis
menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli
terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan
menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan
keabsahannya.