BAB II_2007ipa-3.pdf

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria. Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1) satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya bersifat sementara atau tetap. 2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa. Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan ceriops tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar. Komposisi mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, tergantung dari keadaan fisiografis pantai dan dinamika pasang surut, sehingga di satu tempat terdapat jalur mangrove yang lebih lebar daripada di tempat lainnya. Di sepanjang pantai yang lurus dan tidak berombak, jalur mangrove

Transcript of BAB II_2007ipa-3.pdf

Page 1: BAB II_2007ipa-3.pdf

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang

surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan

hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh

dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti

delta dan estuaria.

Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1)

satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat

mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih

jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di

habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa

darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya

bersifat sementara atau tetap.

2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi

Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung

estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat

mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh

kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis

tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa.

Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap

keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar

horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke

permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan

pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan

ceriops tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan

bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar.

Komposisi mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya,

tergantung dari keadaan fisiografis pantai dan dinamika pasang surut, sehingga

di satu tempat terdapat jalur mangrove yang lebih lebar daripada di tempat

lainnya. Di sepanjang pantai yang lurus dan tidak berombak, jalur mangrove

Page 2: BAB II_2007ipa-3.pdf

13

kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta dimana banyak

arus, lumut ditemukan pada kebanyakan pohon mangrove seperti R. apiculata

dan R. mucronata. Lumut yang terdapat di hutang mangrove meliputi 5 jenis

lumut daun dan 21 jenis lumut hati yang sifatnya mirip lumut daun.

Hutan mangrove dijumpai zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi,

frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas

sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dinamika

penyebaran propagule, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh

organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan tertentu dapat

dijumpai hanya satu zone. Pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain

pada: frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan

memperhatikan frekuensi penggenangan air, dan berdasarkan nama genus

pohon yang dominan.

Jenis-jenis pohon mangrove cenderung untuk tumbuh dalam kelompok-

kelompok, zone-zone atau jalur-jalur sejajar pantai. Di pantai yang landai dengan

kemiringan membawa lumpur dan pasir, hutan mangrove merupakan jalur yang

lebih lebar. Ada tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan penyebaran

jenis-jenis mangrove adalah: (1) kondisi dan tipe tanah: keras atau lembek,

berpasir atau berlumpur, (2) salinitas: variasi rata-rata harian maupun tahunan;

frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan, dan (3) ketahanan jenis-jenis

mangrove terhadap arus dan ombak.

Ketergantungan terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora.

Sebagai contoh, R. mucronata merupakan ciri umum untuk tanah yang

berlumpur dalam R. apiculata berlumpur dangkal, sedangkan R. stylosa erat

hubungannya dengan pantai yang berpasir atau berkarang yang sudah memiliki

lapisan lumpur atau pasar. Terhadap kadar garam (salinitas), ketergantungan

ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai ataupun danau dengan laut

bebas mendadak terputus, sehingga salinitas menurun karena kurangnya

pengaruh pasang surut, maka jenis Rhizophora spp., akan mati dan

permudaannya diganti oleh jenis yang dapat bertoleransi terhadap salinitas tanah

yang kurang peka terhadap kadar garam, seperti Lumnitzera sp., Xylocarpus

granatum. Meskipun komposisinya berbeda dari satu tempat dengan tempat

lainnya, dapat disebutkan bahwa anggota komunitas tumbuhan mangrove di

Indonesia paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba, 9 jenis

liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Page 3: BAB II_2007ipa-3.pdf

14

Disamping tumbuhan tinggi, juga ditemukan berbagai ganggang dan

lumut (lumut daun dan lumut hati). Beberapa dari ganggang telah beradaptasi

untuk kehidupan dalam kondisi air payau dan jenis-jenis ini dapat melimpah

ringan, khususnya pada hutan yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh

Avicennia yang seringkali tumbuh berasosiasi dengan Sonneratia jika kondisi

lumpurnya kaya akan bahan organik. Pada zone ini, Avicennia marina umumnya

tumbuh pada lumpur yang kokoh, sedangkan pada lumpur yang lebih lunak

tumbuh A. alba. Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica dapat

membentuk tegakan-tegakan hampir murni pada tanah lempung yang kokoh

yang biasanya sewaktu-waktu dicapai air pasang. Lebih ke arah darat B.

cylindrica bercamur dengan R. apiculata, R. mucronata, B. parviflora dan X.

granatum. Zone batas antara hutan mangrove dan hutan pedalaman ditandai

oleh adanya Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, X. Moluccensis, Intsia bijuga,

Ficus retusa, Pandanus sp., Calamus sp., dan Oncosperma tigillaria.

Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti

primata, reptil dan burung. Hutan mangrove merupakan salah satu komponen

ekosistem estuaria yang sangat penting bagi kehidupan burung-burung air

termasuk pula burung-burung yang melakukan migrasi. Disamping sebagai

tempat berlindung dan mencari makan, hutan mangrove juga mempunyai peran

yang sangat penting bagi burung-burung air yang tidak melakukan migrasi, yaitu

sebagai tempat berkembang biak (kawin dan bersarang). Kemunduran potensi

(luas, penyebaran dan degradasi) hutan mangrove menyebabkan semakin

terancamnya kelestarian berbagai jenis burung air. Hasil penelitian Alikodra et al.

(1990) di hutan mangrove muara Cimanuk (Jawa Barat) dan di Segara Anakan

(Jawa Tengah) berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung wader, 12

jenis diantaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di pantai

Sulawesi, Whitten (1987) melaporkan adanya 34 jenis burung pantai yang

tergolong dalam burung migrasi.

Jenis primata yang seringkali dijumpai di hutan mangrove di Pulau Jawa

dan Pulau Sumatera adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), sedangkan

di hutan mangrove di Pulau Kalimantan, selain kera ekor panjang juga terdapat

bekantan (Nasalis larvatus) sebagai primata yang endemik dan langka. Di

beberapa kawasan konservasi, seperti di hutan mangrove Angke Kapuk, Taman

Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon terdapat Lutung (Presbytis

cristata) merupakan jenis primata yang sering dijumpai. Hutan mangrove dihuni

Page 4: BAB II_2007ipa-3.pdf

15

pula oleh berbagai jenis reptil seperti biawak (Varanus salvator), kadal (Mabouya

fasciata) dan berbagai jenis ular (Boiga dendrophila). Hewan terbesar yang hidup

di rawa-rawa hutan mangrove adalah buaya muara (Crocodilus porosus).

Mengenai potensi kayu, Rambe et al., (1983) melaporkan bahwa

berdasarkan hasil cruising di 6 provinsi (Aceh, Riau, Sulawesi Selatan,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya) pada pohon-pohon

berdiameter 10 cm ke atas. Secara detail disajikan data seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia

Jenis Kerapatan (individu/ha) Potensi (m3/ha) Avicennia spp. (6 - 45) 11 . 60 (1 - 17) Sonneratia spp. (2 - 23) 7 . 58 (1 - 12) Rhizophora spp. (37 - 185) 40 . 72 (19 - 90) Bruguiera spp. (7 - 125) 3 . 61 (3 - 29)

Sumber: Sukarjo (1999)

Data Potensi hutan mangrove terbesar yang pernah disurvei (135,5

m3/ha) terdapat di Kalimantan Selatan. Sedangkan kerapatan pohon yang cukup

tinggi terdapat di hutan mangrove di Aceh, Riau, Kalimantan Barat (estuaria

Sungai Kapuas), Kalimantan Timur (estuaria Sungai Sesayap), Jawa Tengah

(Segara Anakan), Bali (Benua), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni dan Cendrawasih),

potensi rata-ratanya lebih dari 40 m3/ha (Sukarjo, 1999).

2.1.2 Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang dipengaruhi pasang-surut air laut

(Chapman, 1977). Tipe hutan ini disamping mempunyai fungsi ekonomis melalui

hasil berupa kayu dan hasil hutan ikutannya juga mempunyai fungsi ekologis

yang sangat penting sebagai interface antara ekosistem daratan dengan

ekosistem lautan. Dengan demikian di dalam ekosistem mangrove paling sedikit

terdapat lima unsur ekosistem yang saling kait-mengkait yaitu flora, fauna,

perairan, daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidup bergantung pada

ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena di

dalam ekosistem mangrove terdapat dua tipe karakteristik ekosistem yaitu

karakteristik ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan

jenis-jenis biota yang hidup di habitat mangrove terdiri atas biota darat dan biota

Page 5: BAB II_2007ipa-3.pdf

16

laut. Penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem

mangrove adalah biota laut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian-

penelitian mengenai biota di habitat mangrove masih sangat terbatas dan jauh

tertinggal dibandingkan dengan penelitian-penelitian mengenai vegetasi

mangrove. Oleh karena itu, informasi mengenai biota mangrove yang disajikan

belum mencerminkan kekayaan biota di ekosistem mangrove yang

sesungguhnya. Walaupun demikian informasi mengenai biota mangrove

seyogyanya dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus

dipertimbangkan di dalam program pengelolaan hutan mangrove secara

berkesinambungan.

Ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni: (1)

Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga, (2)

Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan

cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga

(terutama nyamuk), (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan

keong/kerang, (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai

habitat kepiting dan katak, dan (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan

ikan/udang (Chapman, 1977).

Peranan penting dan ekosistem mangrove dalam menunjang kehidupan

biota laut sudah diyakini secara luas. Tetapi, sebenarnya habitat utama dan

ekosistem mengrove yang penting dan langsung menunjang kehidupan biota laut

adalah saluran-saluran air yang merupakan bagian integral dan ekosistem

mangrove tersebut. Dalam hal ini nampaknya vegetasi mangrove lebih berperan

sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluran-

saluran air tersebut.

Kartodiharjo (2000) dalam Hamilton dan Snedaker (1984), melaporkan

bahwa kelimpahan individu dan keragaman jenis biota laut tertinggi berada pada

estuaria dengan kedalaman 0,3 sampai 1,5 m. Kondisi estuaria dengan

kedalaman tersebut cenderung akan semakin banyak dijumpai di lokasi-lokasi

ekosistem mangrove yang berjarak semakin jauh dari pantai.

Di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove

baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove. Jenis-jenis tumbuhan

mangrove tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana

(tumbuhan pemanjat), 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis

herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis tema pada lampiran 2.1.

Page 6: BAB II_2007ipa-3.pdf

17

Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di

Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data pada lampiran 1

tersebut jumlah jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama tersebut adalah 27

jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatera, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di

Sulawesi, 28 jenis di Maluku, dan 21 jenis di Irian Jaya (Sukarjo, 1999).

Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di

Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada

sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu

konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi

Bruguiera, dan konsosiasi Nypa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di

Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dengan Rhizophora spp. sering

ditemukan terutama di zone terdalam. Segi keanekaragaman jenis, zone transisi

(peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zone dengan

jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak

khas habitat mangrove.

Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas

(berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda dan suatu

tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dan beberapa puluh meter

sampai beberapa kilometer dan garis pantai. Berdasarkan data jenis-jenis

tumbuhan mangrove yang sudah dilaporkan saat ini oleh beberapa peneliti di

berbagai daerah di pulau-pulau utama di Indonesia, secara umum dapat

dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian tersebut cukup mewakili keanekaragaman

jenis mangrove di Indonesia. Walaupun demikian, eksplorasi jenis tumbuhan

mangrove di berbagai daerah seyogyanya harus terus dilakukan untuk

mendapatkan data jenis tumbuhan mangrove selengkap-lengkapnya.

Penelitian mengenai fauna hutan mangrove di Indonesia masih terbatas

baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil

penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus

dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung

Karawang, Segara Anakan, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut),

Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatera (Lampung,

Sumatera Selatan), dan Kalimantan.

Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan

fauna laut (Macnae, 1968) - Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang

(Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.

Page 7: BAB II_2007ipa-3.pdf

18

Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan

Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan

Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna

laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.

Alikodra et al. (1990) melaporkan adanya 45 jenis ikan dan 37 jenis famili

di Segara Anakan Cilacap dengan jenis-jenis ikan dominan seperti belanak

(Mugil sp.), boyor (Sillago sp.), tombol (Johnius sp.), susur-wedi (Trachiphalus

sp.), lidah (Cynoglossus sp.), lea (Setipine sp.), dan petek (Leiognathus sp.)

Soerianegara et al.,. (1985) melaporkan adanya sekitar 41 jenis ikan dari 26

famili, 4 jenis udang dari 3 famili, dan 3 jenis kerang di Muara Sungai Saleh,

Sumatera Selatan.

Alikodra (1999) melaporkan adanya sekitar 30 jenis burung di hutan

mangrove Segara Anakan - Jawa Tengah dan 28 jenis burung di hutan

mangrove Muara Cimanuk - Jawa Barat. Selain itu, di hutan mangrove juga

ditemukan jenis kera ekor panjang (Macaca sp.) seperti di Riau, bekantan

(Nasalis larvatus) yang endemik di hutan mangrove di Kalimantan

(Soemodihardjo et al., 1993), mamalia, reptilia dan lain-lain.

Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan

fauna laut (Macnae, 1968) bahwa umumnya fauna darat hanya menggunakan

ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan perlindungan. Di

Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat yang seluruh siklus hidupnya

bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang

penyebarannya terbatas di Kalimantan.

Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah

Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp.,

dan Halcyon chioris. Jenis-jenis fauna ampibi yang sering ditemukan di

mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis. Jenis-jenis reptilia yang

sering dijumpai adalah Crocodilus porosus, Varanus salvator, Trimeresurus

wagleri, T. purpureomaculatus, Boiga dendrophila, Fordonia leucobalia, Bitia

hydroides, dan Cerberus rhynchops.

Beberapa jenis mamalia yang dijumpai di mangrove adalah Nasalis

larvatus, Presbytis cristatus, Cercopithecus mitis, Macaca irus, Sus scrofa,

Tragulus sp., Pteropsus spp., Fells viverrima, dan Herpestes spp. Banyak jenis

serangga yang menghuni habitat mangrove, yang umumnya didominasi oleh

Page 8: BAB II_2007ipa-3.pdf

19

nyamuk. Jenis serangga lain adalah semut (Aedes pembaensis, Anopheles spp.,

Culicoides spp.).

Fauna laut merupakan elemen utama dan fauna ekosistem mangrove.

Fauna laut di mengrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di

lobang-lobang di dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di

permukaan tanah. Fauna umumnya didominasi oleh Crustacece. Selain itu,

komunitas infauna mangrove terdiri atas beberapa jenis Bivalvia dan satu genus

ikan. Sedangkan komunitas epifauna mangrove didominasi moluska (dalam hal

ini Gastropoda) dan beberapa jenis kepiting.

Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran,

yaitu fauna yang menyebar secara vertikal dan fauna yang menyebar secara

horizontal. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan

ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-

keongan, seperti Littorina scrabra, L. melanostona, L. undulata, Cerithidea spp.,

Nerita birmanica, Chthalmus withersii, Murex adustus, Balanus amphitrite,

Crassostraea cucullata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus.

Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam

substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (a) mintakan

pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp,

Uca lactea, U. bellator), (b) hutan Bruguiera dan Semak Ceriop (Sarmatium spp.,

Helice spp., Ilyograpsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus frontalis, M.

thukuhar, M. messor, Cleistostoma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax spp.,

Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostoma depressum,

Utica spp., Telescopium telescopium, Uca spp., Cerithidea spp.), (c) hutan

Rhizophora (Metopograpsus latifrons, Alpheid prawa, Macrophthalmus

spp.,Telescopium telescopium), dan (d) mintakat pinggir pantai dan saluran

(Scartelaos viridis, Macrophthalmus Iatreillei, Boleophthalmus boddaerti, Uca

dussumieri, Periophthalmus chrysospilos, Tachypleus gigas, Cerberus

rhynchops, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus,

Eurycarcinus integrifrons, Heteropanope eucratoides).

2.1.3 Peranan mangrove bagi biota laut Gambaran umum peranan suatu habitat mangrove bagi biota laut dapat

dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih

mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah

Page 9: BAB II_2007ipa-3.pdf

20

vegetasi (termasuk kotoran/sisa tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah

ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana

detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya

konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer

sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.

Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas

alga di lumpur di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan

laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-organic compound) dari laut dan

daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat

mangrove.

Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat

dilihat dan produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali

lipat produktivitas serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7

ton/ha per tahun (Kusmana, 1993). Kondisi habitat mangrove seperti ini

mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan

nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk

menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.

Kusmana (2000), menyatakan bahwa seperti sudah diketahui secara

umum bahwa ekosistem mangrove merupakan interface antara ekosistem

daratan dengan ekosistem laut. Oleh karena itu, habitat-habitat lain yang

berinteraksi dengan habitat mangrove berasal dan ekosistem daratan dan lautan.

Hutan mangrove akan berkembang baik di muara-muara sungai, karena

di muara tersebut arus airnya cukup tenang yang mengakibatkan sedimentasi

sering terjadi. Proses sedimentasi ini memberikan, peluang pada jenis-jenis

pohon mangrove pionir untuk menginvasi lahan tersebut, misal jenis api-api

(Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.). Apabila sedimentasi ini tidak

terkendali, maka akan terjadi pergantian komunitas mangrove dengan jenis-jenis

pohon yang bertoleransi terhadap salinitas yang kecil (Bruguiera spp.,

Xylocarpus sp.) yang selanjutnya secara bertahap akan terjadi pergantian tipe

hutan dari hutan mangrove menjadi hutan daratan.

Dalam kaitannya dengan lingkungan perairan payau sebagai bagian

integral dan ekosistem hutan mangrove, air sungai yang banyak mengandung

lumpur (penetrasi cahaya ke dalam air berkurang) akan mengakibatkan

produktivitas primer perairan tersebut berkurang. Sejalan dengan proses

sedimentasi yang terus-menerus terjadi yang mengakibatkan terjadinya

Page 10: BAB II_2007ipa-3.pdf

21

pergantian secara bertahap dari tipe hutan mangrove ke hutan daratan, maka

lingkungan perairan payau beserta biota lautnya secara bertahap akan lenyap.

Estuaria merupakan suatu habitat akuatik yang tinggi produktivitas

primernya. Tipe habitat ini umumnya berasosiasi dengan habitat mangrove.

Nampaknya tipe habitat estuaria ini memberikan kondisi tempat hidup yang baik

untuk banyak jenis pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan

habitat mangrove. Seagrass menunjang produktivitas mangrove melalui dua

cara, yaitu: (1) memperkecil arus air laut dan daya dorong ombak, dan (2)

menambah serasah sebagai input energi ke habitat mangrove. Fenomena

semacam ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove.

Hutan mangrove yang lebat umumnya dijumpai di pantai-pantai yang

terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Dalam hal ini, secara fisik terumbu

karang akan menahan hempasan ombak sehingga perairan di belakang karang

tersebut akan berarus tenang yang mana kondisi seperti ini akan memberikan

peluang yang baik untuk tumbuhnya pohon-pohon mangrove dan biota laut yang

berasosiasi dengan habitat mangrove tersebut. Secara simultan keterkaitan

antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem lainnya akan menyebabkan

terbentuknya tiga macam tipe ekosistem yang saling berinteraksi dengan habitat

mangrove yaitu benthic ecosystem, pelagic ecosystem, dan supratidal

ecosystem.

Manfaat mangrove dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek

ekologis, aspek ekonomis dan pemenuhan sebagai pangan. Manfaat ekologis

mangrove adalah: (a) sebagai bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik

yang bersangkutan, (b) sebagai daerah pembiakan bagi berbagai binatang

terutama ikan dan udang, (c) merupakan lingkungan yang sangat heterogen

secara fisik memberikan berbagai macam relung, tempat perlindungan, daerah

khusus yang digunakan oleh spesies lainnya, (d) memberikan perlindungan

pantai (mencegah erosi) selama banjir bandang dan badai, (e) sebagai

penangkap sedimen menyebabkan pertambahan tanah (akresi), (f) menyaring

bahan-bahan pencemar dan hara yang dapat masuk wilayah pantai atau perairan

(menjadi suatu masalah jika ketidaksediaan hara dan bahan pencemar

berlebihan ada di perairan), dan (g) penyangga penting bagi hutan rawa yang

tidak toleran dengan air asin (Rawana et al., 2001).

Manfaat ekonomis yang dapat diperoleh dari hutan mangrove diantaranya

dapat diambil dari tumbuhan mangrove, tumbuhan bukan mangrove dan dari

Page 11: BAB II_2007ipa-3.pdf

22

hewan yang hidup disekitar hutan mangrove. Beberapa manfaat dari hutan

mangrove antara lain adalah sebagai: bahan bakar, konstruksi, produksi kertas,

alat rumah tangga, obat-obatan tradisional, pupuk hijau, pakan ternak,

peternakan lebah.

Pada hutan mangrove selain tumbuhan mangrove, tumbuhan lain yang

berada di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi

adalah rumput got-got dan nipah. Manfaat ekonomi dari hewan yang hidup di

sekitar hutan mangrove di antaranya: sirip ikan sebagai bahan makanan dan

pupuk, krustase sebagai bahan makanan, lebah penghasil madu dan lilin,

unggas sebagai bahan makanan dan kerajinan bulu unggas yang bernilai

estetika atau keindahan.

Mangrove mempunyai peran yang sangat strategis baik dari aspek

lingkungan, ekonomi dan sosial. Beberapa fungsi utama mangrove yaitu: (1) filter

air asin (menghasilkan air payau, mengendalikan intrusi air laut, melindungi

abrasi pantai), (2) media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna (biologi

dan mikrobiologi), dan (3) ekotourisme.

Sebagian besar tanaman mempunyai toleransi yang rendah terhadap

garam, tetapi dalam mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang

naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar

dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam.

Tanaman mangrove dapat tumbuh ideal apabila airnya terdiri atas 50% air tawar

dan 50% air laut. Mangrove dapat menyerap air asin dan CO2 untuk keperluan

fotosintesisnya. Selain menurunkan kadar garam dan menghasilkan air bersih,

mangrove juga turut menyerap gas rumah kaca yang saat ini dituding sebagai

salah satu penyebab pemanasan global (Ball et al., 1997). Indikasi penyerapan

air garam terlihat dari konsentrasi lapisan garam pada permukaan daun.

Menyimpan air asin daun yang tebal, rambut yang berfungsi mengurangi

transpirasi. Bahkan ada beberapa spesies yang dapat menyimpan air di jaringan

internalnya.

Media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna in-situ (biologi dan

mikrobiologi). Siklus flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi). Mangrove

merupakan sumber makanan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi

sisa tanaman dan hewan. Interaksi komponen tersebut menjadikan mangrove

sebagai habitat pantai yang sangat penting.

Page 12: BAB II_2007ipa-3.pdf

23

Ekoturisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara dari sektor

non-migas yang tidak terkena dampak resesi. Pengembangan sumberdaya

mangrove dengan segala komponen flora dan fauna yang ada dapat

dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata. Di negara-negara maju

ekotourisme kawasan mangrove dapat sejajar dengan tujuan wisata lainnya,

karena di kawasan tersebut dapat dikembangkan berbagai hal menyangkut ikan,

pengembangan reptil dan sebagainya.

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan

2.2.1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam

Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan

yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat

bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka

penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi,

seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan

sehingga menjamin generasi yang akan datang.

Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi

pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi

tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat

serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan

kesinambungan dari sumberdaya alam menjadi sangat krusial bagi

kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja

pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah.

Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian

manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu

saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam

pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan

manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah

menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999).

Hukum dasar manusia dan alam adalah bahwa manusia memiliki

kebutuhan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan sumberdaya alam ada

batasnya bahkan dapat mengalami kelangkaan. Untuk itu harus melakukan

pilihan yang cermat. Pilihan ini harus memperhatikan apa yang diinginkan dan

apa yang dibutuhkan, dan kepentingan dimensi lain yaitu perlindungan,

Page 13: BAB II_2007ipa-3.pdf

24

pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra,

1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan

dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai, yaitu dengan

mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak

secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.

2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik

formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja

pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada

pemahaman yang jeias dan pasti. Aturan-aturan dalam kelembagaan

dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasi-

organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk

memenangkan permainan itu.

Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan

yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan

bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap

pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang

telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan

atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang

berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kelompok-kelompok

kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga

diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur

hubungan antar manusia yang berkelompok pada suatu kelompok

kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu

jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok

manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta

pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya.

Sanim (1999) menyebutkan bahwa pada dasarnya kelembagaan

mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (1) Memberikan pedoman kepada

anggota-anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku

atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat

terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan, (2)

Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan, dan (3) Memberikan

pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial

Page 14: BAB II_2007ipa-3.pdf

25

artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-

anggotanya.

Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap

efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban

terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan

gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung

perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari

kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain

sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam

masyarakat dan sistem.

GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu

kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan

suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud

melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3)

mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5)

mempunyai karakteristik tertentu.

Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut

Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah:

a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan

seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para

peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala

ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan

untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam

organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan

sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan

sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-

masing pihak.

b. Hak kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap

sumberdaya tertentu yang diatur oleh peraturan, adat dan tradisi atau

konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu

tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak atau hak penguasaan, apabila

tanpa pengesahan dan masyarakat sekitarnya. lmplikasinya adalah (1) hak

seorang adalah kewajiban orang dan (2) hak yang tercermin oleh kepemilikan

adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Bahwa property

Page 15: BAB II_2007ipa-3.pdf

26

right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil

produksi dan lain-lain.

c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses

pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya

terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang

digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi

atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam

masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999).

Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan

mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2)

regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan

harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam

mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga

yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem

kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap

aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu

sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol.

Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam

penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang

menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya

atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik

individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang

diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan

sumberdaya (Sanim, 1999).

Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik

yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada

pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal,

(2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan

perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan

hak-hak kepemilikan.

Di sisi lain peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam,

diupayakan untuk (1) membangun kerangka umum pemanfaatan sumberdaya

alam agar sistem dan prosedur pendayagunaan sumberdaya alam lebih etis, (2)

mengarahkan dan mengatur pelaku pengguna sumberdaya alam sesuai dengan

Page 16: BAB II_2007ipa-3.pdf

27

segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan

sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi

sumberdaya alam dan perlindungan sumberdaya alam) dan teknologi

pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke

dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk

menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam.

Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan

biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni

(1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera

atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial;

manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit

(remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas

atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat

bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat

bertambah pada orang lain.

Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan

fungsi ekosistem, yaitu keterkaitan keanekaragaman, keselarasan, dan

keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan

terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak

Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif

dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan

tercapainya transgenerational equity, sehingga kualitas dan kuantitas

sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan

jangka panjang, karena perubahan lingkungan berlangsung penciutan

sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara

eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai

sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan hal-

hal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi

secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan.

Di dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak mudah untuk menentukan

lembaga-lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan

kelembagaannya. Kejelian dalam menentukan hal tersebut sangat esensial

dalam mengevaluasi kelembagaan lokal. Ada beberapa hal yang perlu dikaji,

yakni (1) pembatasan sumberdaya dan penggunaannya, (2) distribusi biaya dan

Page 17: BAB II_2007ipa-3.pdf

28

manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan

(5) pertimbangan pemilikan bersama.

Eksistensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pengelolaan

sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan

dalam pengelolaan sumberdaya, (2) munculnya kegagalan pasar, (3)

kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya

memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan

permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat

keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai

kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.

2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan

partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk

merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di

negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih

banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al.,

1997).

Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup

keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk

memberi konstribusi dalam pembangunan dan kesediaan untuk turut

bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah

kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan

kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli

dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah.

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan

keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam

pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau

bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat

dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program.

Secara umum keempat macam ketertibatan ini mengarah kepada

partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Pentingnya keterlibatan

masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan

Iingkungan pesisir. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) setidaknya memiliki tiga

alasan utama, yaitu: (1) Sebagai Iangkah awal mempersiapkan masyarakat

Page 18: BAB II_2007ipa-3.pdf

29

untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat

terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat

untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat

setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam

menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan

di wilayah mereka.

Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan

terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama

pendukungnya, yaitu:

1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu

yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia.

Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya,

sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan,

namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak

perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan

keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk

berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif

terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi

dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan

sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata

lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978).

Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa

jauh impresi suatu objek membuat arti.

2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan

tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor

pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, keterampilan,

pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan

tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan.

Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah

tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan

dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan

pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan

menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat.

3. Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan

dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama faktor

Page 19: BAB II_2007ipa-3.pdf

30

ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk

berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang

mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan,

birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong

masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor

sosial budaya masyarakat.

Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat

adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam

program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya

menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses

pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan

pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal.

Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi,

terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredaman, kemitraan,

pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi

manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi

menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai

tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat

didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki

kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan

dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika

partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan

dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan,

pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai

tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini

memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan

kemitraan dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pengambil

keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam

proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh

mengelola suatu objek kebijakan tertentu.

Partisipasi daIam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan

memberikan kesempatan kepada masyarakat mengemukakan pendapat dan

aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi

kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi

Page 20: BAB II_2007ipa-3.pdf

31

dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan

masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah

disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah

partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah

dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di

masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan.

Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi

masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan

pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat

terlibat pada semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan

sampai pada pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam

suatu kegiatan, maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung

jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan.

Visi yang mendasari model strategi pemberdayaan masyarakat adalah

segenap upaya pembangunan yang diselenggarakan harus diarahkan langsung

pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Komponen-

komponen yang masih tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan

kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan keseluruhan

potensinya atau dengan kata lain memberdayakannya.

Canter (1977), Comick (1979) dan Coulet (1989), Wengert (1979) dalam

Santoso (1993) merinci peran serta masyarakat sebagai berikut :

1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini

berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan

yang tepat dan baik untuk diiaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu

pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau

terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk

dikonsultasi.

2) Peran serta masyarakat sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan

bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan

dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu pemahaman

bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses

pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan

Page 21: BAB II_2007ipa-3.pdf

32

pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan

tersebut akan memiliki kredibilitas.

3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat

didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi

dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu

pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat,

sehingga pandangan dan preferensi dan masyarakat tersebut adalah

masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.

4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks

ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk

mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha Pencapaian konsensus

dan pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini

adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan

toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan.

5) Peran serta masyarakat sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta

masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah

psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak

percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan sebagai komponen

penting dalam masyarakat.

6) Pemberian wewenang kepada masyarakat. Disamping dikehendak terjadinya

perubahan sikap dan perilaku dan institusi pemerintah seperti telah

dipaparkan diatas secara teoritik kepada pihak masyarakat perlu terus

diberdayakan kesadarannya serta didorong tanggung jawab dan

kemandiriannya.

Secara konseptual Iangkah pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan

melalui suatu strategi pemberian wewenang demokrasi partisipatif. Osborn

(1996) menyebut langkah trersebut sebagai perwujudan model great society.

Pertimbangan perwujudan model great society ini menjadi penting karena

didasarkan kepada beberapa alasan pertimbangan sebagai berikut: (1)

komunitas masyarakat memiliki komitmen lebih besar terhadap anggotanya

ketimbang sistem birokrasi; (2) komunitas masyarakat Iebih memahami

masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (3) birokrasi akan lebih

memfokuskan memberikan pelayanan, sedangkan masyarakat akan lebih pada

memecahkan masalahnya; (4) birokrasi sebaiknya menawarkan pelayanan,

sedangkan masyarakat lebih menawarkan kepedulian; (5) komunitas lebih

Page 22: BAB II_2007ipa-3.pdf

33

fleksibel dan kreatif dalam menangani masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi

pelayanan; (6) biaya yang dibutuhkan oleh komunitas lebih murah daripada biaya

yang dibutuhkan oleh pelayanan birokrasi; (7) standar perilaku komunitas Iebih

efektif daripada pelayanan birokrasi; dan (8) komunitas masyarakat dapat Iebih

memfokuskan pada kapasitas dan sistem pelayanan Iebih pada kekurangan.

Perpaduan antar stakeholders dalam mengembangkan potensi daerah

serta sektor-sektor kegiatan usaha strategis maupun dalam menanggulangi

permasalahan serta persoalan Iingkungan yang ada di daerah dapat diwujudkan

melalui kerjasama antar ketiganya secara sinergis. Secara kualitatif, tolok ukur

keberhasilan kerjasama secara sinergis tadi adalah terciptanya suatu kondisi

segi harmonis berupa kemakmuran bagi wilayah dan kesejahteraan bagi

masyarakat serta keuntungan bagi pengusaha. Tingkat pelibatan masyarakat

yang diharapkan dan dimungkinkan harus ditentukan.

Pengelola tradisional biasanya enggan untuk melewati tingkat pelibatan

masyarakat, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis dan

membuang-buang waktu. Pengelola pada dasarnya mempunyai tanggung jawab

untuk melakukan pendekatan partisipasi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah

ilmiah, dan Iembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum

yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin

meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang Iebih

bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian

kekuasaan. Pelimpahan atau alokasi kembali kekuasaan itu menimbulkan isu

tentang apakah kelompok yang diberikan kepercayaan dan kekuasaan dapat

dipercaya.

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan

membutuhkan waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat

terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat

memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove.

Namun hal tersebut sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang

karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat

yang merupakan jaminan kelangsungan rehabilitasi mangrove.

Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan

masyarakat dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan

mangrove secara lestari. Dengan pola pendekatan pengelolaan berbasiskan

Page 23: BAB II_2007ipa-3.pdf

34

masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dan aspirasi

masyarakat. Pola pendekatan ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (1)

program perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa (P3MD), dan

(2) pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). PRA secara harfiah diartikan

sebagai cara untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan

partisipasi masyarakat.

PRA secara luas diartikan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik

pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama

kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi

program pembangunan masyarakat, sehingga dengan PRA dimaksudkan untuk

memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka

sendiri dan sering juga untuk merencanakan dan mengambil tindakan.

2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah

sumber daya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan

mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1987). Dahuri (2001)

menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove,

adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian

hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivtas

mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan

hasil panen.

Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal

ini sebagai Iangkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan

mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan

konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan

tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi

keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya (Saenger et al., 1983).

Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan

mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana

pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam

rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang

kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang

akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat

perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi Iangsung dan dipertimbangkan

Page 24: BAB II_2007ipa-3.pdf

35

dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama

dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan

berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999).

Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan

ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger,

et al., (1983) mengatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup

wilayah yang Iebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal

merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan.

Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang

diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan

masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan hutan mangrove

tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses

kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara Iangsung

maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat

menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan

menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi

diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna (Ahson, 1993).

Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk

kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi

tunggal yang sempit dan berjangka pendek Dahuri, et al., (2001). Pengelolaan

multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga

membuka pilihan yang Iebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam

pengelolaan hutan mangrove.

Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks

untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat

akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar

kawasan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi

memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan

Iebih dirasakan manfaatnya apabila Iebih berpihak pada institusi yang paling

rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus

diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah

menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan

mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan

mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.

Page 25: BAB II_2007ipa-3.pdf

36

2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove

Pemanfaatan hutan mangrove bergantung sepenuhnya pada

perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem

mangrove (Dahuri, 2001). Kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi

beberapa peruntukkan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan wisata dan

hutan suaka alam (Alikodra, 1999). Kegiatan penataan hutan ini berdasarkan

pedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.

60/Kpts/DJ/I/1978 dengan memperhatikan usulan dan pertimbangan Direktorat

Perlindungan dan Pengawetan Alam. Selain tipe-tipe hutan di atas, hutan

mangrove di Indonesia juga ada yang tumbuh di kawasan non kehutanan yaitu

rakyat.

Hutan mangrove yang terletak di hutan produksi digunakan untuk

menghasilkan keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk kepentingan

pembangunan industri serta ekspor. Hasil hutan mangrove di hutan produksi

dapat berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar, arang dan kulit kayu yang

mengandung zat penyamak atua tanin.

Di Indonesia, hutan mangrove ini dapat dibedakan menjadi tiga macam

berdasarkan sifat pengelolaannya, yaitu IUPHHK, IUPHHT, dan Perum

Perhutani. Pengelolaan oleh IUPHHK dan IUPHHT biasanya diterapkan pada

hutan mangrove yang terletak di luar Pulau Jawa yang masuk dalam areal

konsesi pemegang IUPHHK dan IUPHHT. Sedangkan di Pulau Jawa,

pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada Perum Perhutani.

Sistem silvikultural yang digunakan dalam pengelolaan hutan ini adalah

sistem pohon induk (seed trees method). Sistem ini berdasarkan pada Surat

Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei

1978 yang mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan mangrove

sebagai suatu keterpaduan pekerjaan.

Hutan mangrove yang boleh ditebang harus terletak mulai dari jarak 50 m

dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai dan 10 m dari tepi hutan yang

menghadap ke tepi sungai, alur air dan jalan raya. Penebangan dilakukan

dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha setelah itu areal ditutup

terhadap penebangan. Pohon yang ditebang berdiameter minimal 10 cm pada

ketinggian 20 cm di atas pangkal akar tunjang atau banir. Pada umur 15-20

tahun setelah penebangan dilakukan penjarangan, kemudian ditutup kembali

terhadap penebangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.

Page 26: BAB II_2007ipa-3.pdf

37

Pembangunan hutan tanaman industri hutan mangrove dapat

dilaksanakan di lahan non produktif, namun masih layak atau cocok untuk

ditanami dengan jenis pohon mangrove dan terletak tidak jauh dari tepi sungai

yang masih digenangi oleh air laut saat pasang. Kegiatan dalam IUPHHK dan

IUPHHT ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman,

pemeliharaan dan pemanenan.

Luas hutan mangrove di Pulau Jawa adalah 70.502 ha yang tersebar di

Unit I Jawa Tengah sebesar 16.513 ha, Unit II Jawa Timur sebesar 20.994 ha

dan Unit III Jawa Barat seluas 32.995 ha (Perhutani, 1996). Pola pengelolaan

hutan mangrove di ketiga unit tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisi

setempat. Hutan mangrove di Unit I dan II sedikit terpengaruh oleh pasang surut,

sedangkan di Unit III Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh pasang surut.

Sehingga pengelolaan hutan mangrove di Unit III dilakukan dengan model

empang parit (sylvofishery).

Model empang parit ini pada intinya melibatkan masyarakat secara

langsung berperan serta dalam pembangunan hutan, dimana 20% dari luas

lahan digunakan untuk tambak dan sisanya (80%) ditanami dengan vegetasi

mangrove. Perbandingan luas antara tegakan mangrove dengan empang adalah

4:1. Penanaman dilakukan dengan jarak 5 x 2 meter. Jenis-jenis vegetasi yang

ditanam adalah Sonneratia sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp.,

Ceriops sp., Avicenia sp., dan Xylocarpus sp.

Dalam sistem ini, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok

Tani Hutan (KTH) yang terdiri atas 16-25 KK tiap KTH. Tiap KK diberi lahan

garapan seluas + 5 ha dan pada tahap awal Perum Perhutani memberi bantuan

gratis berupa pupuk 450 kg/ha dan kredit tanpa bunga berupa benih ikan sesuai

dengan kebutuhan. Biaya pengolahan tanah sepenuhnya tanggungan petani,

sedangkan biaya penanaman vegetasi mangrove ditanggung oleh Perum

Perhutani.

Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas

yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun

bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta

memelihara kesuburan tanah (Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990).

Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan yang

mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan

pantai berhutan bakau.

Page 27: BAB II_2007ipa-3.pdf

38

Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya

proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik

pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-

kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak

sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman

berupa jalan inspeksi selebar 10-15 meter. Kriteria kawasan pantai perhutani

bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan

terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Di dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan budidaya kecuali yang

tidak mengganggu fungsi lindung. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus

mematuhi ketentuan-ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung maka harus dicegah

perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan

yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air

tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.

Hutan suaka alam adalah hutan yang karena sifatnya diperuntukkan

secara khusus untuk melindungi alam hayati dan manfaat-manfaat lainnya (UU

No. 5 tahun 1967). Hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka

margasatwa. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan

alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau

ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung

secara alami. Sedangkan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang

mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang

untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai

upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam cagar alam adalah untuk

kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan

kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Fungsi penunjang budidaya dapat

dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam

cagar alam untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran. Sedangkan

kegiatan boleh yang dilakukan di suaka margasatwa hampir sama dengan cagar

alam dengan tambahan diperbolehkannya kegiatan wisata secara terbatas yaitu

kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka

margasatwa dengan persyaratan tertentu.

Page 28: BAB II_2007ipa-3.pdf

39

Hutan ini berfungsi sebagai hutan yang dapat memenuhi kepentingan

rekreasi dan kebudayaan. Dalam fungsi ini terdapat unsur komersial, sehingga

dalam pengelolaannya termasuk kegiatan bidang pengusahaan. Prinsipnya

adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya, keserbagunaan manfaat secara

lestari baik spiritual dan material tanpa mengganggu kelestarian hutannya.

Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata,

hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan. Kawasan ini

dapat berupa hutan produksi yang dikonversi atau areal dengan tujuan

penggunaan lain. Hutan mangrove di kawasan ini biasanya dijadikan sebagai

daerah permukiman, industri, areal persawahan pasang surut, areal

pertambakan dan sebagainya. Pola pengelolaan di kawasan ini cenderung

merusak dan menurunkan fungsi serta luas hutan mangrove, termasuk

meniadakan jalur hijau mangrove. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan dan

tujuan pemilik hutan mangrove tersebut.

Bagi petani tambak yang memelihara ikan dan udang secara intensif,

keberadaan hutan mangrove sangat mengganggu karena dijadikan sebagai

tempat persembunyian hama dan penyakit. Sehingga mereka menebang habis

vegetasi mangrove di tambaknya. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dan

konflik kepentingan mengenai status serta pemanfaatan hutan mangrove

diantara berbagai sektor pemerintahan mengakibatkan pengelolaan yang

serampangan, tidak terpadu dan tidak memperhatikan kelestarian hasil.

2.5 Kebijakan Publik

Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk perilaku

seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu

(Anderson, 1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai

hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan

pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang

mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor

dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Santoso (1993) dengan mengkomparasi berbagai definisi yang

dikemukakan para ahli menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan

Page 29: BAB II_2007ipa-3.pdf

40

mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu 1) para ahli

yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah

disebut kebijakan publik, 2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada

pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori

kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang

kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai

tujuan dan maksud tertentu. Sedangkan kubu lainnya menganggap kebijakan

publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.

Penjelasan lebih lanjut dan pandangan kelompok pertama para ahli

tersebut adalah melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan yaitu perumusan

kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian, dengan kata lain bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dan para pembuat keputusan

kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk

mencapai tujuan tersebut. Padangan dan kelompok kedua menyatakan kebijakan

publik terdiri dan keputusan dan tindakan artinya kebijakan publik sebagai suatu

hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa

diramalkan.

Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua

harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik

dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka

atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus

dibatasi. Ada juga dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada

dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang

mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok

diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau juga dinamakan dampak yang

melimpah (externalities or spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin

mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan-keadaan

dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak

berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang;

(4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya

tidak Iangsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program

tersebut dan ada biaya tidak Iangsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh

pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai

dampak terhadap biaya-biaya yang tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan

oleh semua pihak.

Page 30: BAB II_2007ipa-3.pdf

41

Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab

pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau

pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa

bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan

apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat

diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi

tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil

kebijakan, dan kinerja kebijakan.

Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang

lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan

masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang

menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan

informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif

kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; (3) rekomendasi (preskripsi)

menyediakan informsi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di

masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi)

menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari

diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi

mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang

tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu

terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi

juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis

sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk

menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga

macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama

untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya

dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan

yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal

mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, dapat digunakan satu atau lebih dari

tiga pendekatan analisis, yaitu:

1) Pendekatan empiris: ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab

dan akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan utama bersifat faktual dan

macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif.

Page 31: BAB II_2007ipa-3.pdf

42

2) Pendekatan valuatif: ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa

kebijakan. Pertanyaan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tipe

informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.

3) Pendekatan normatif: ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan

yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, dan informasi

yang dihasilkan bersifat preskriptif.

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui

apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal

tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang

berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran

yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan

akibat dari tindakan pemerintah.

Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu : (1) analisis prospektif, (2) analisis

retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif

merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi

informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya

berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan

dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara

utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis

prospektif dan retrospektif.

Kebijakan pembangunan kehutanan yang diterapkan selama lebih dari 30

tahun ternyata belum mampu mewujudkan keberpihakan kepada rakyat karena

masih beriorentasi sentralistik. Oleh karena itu, dalam era reformasi saat ini

rakyat menginginkan terjadinya perubahan dalam pembangunan kehutanan

(Alikodra, 2000). Perubahan kebijakan yang diperlukan diharapkan mampu

memenuhi harapan: (1) menghilangkan dan mencegah terjadinya kolusi, korupsi

dan nepotisme di lingkungan institusi kehutanan, (2) menerapkan asas-asas

profesionalisme dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, (3) memberikan

manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi rakyat serta mengembangkan

peran serta rakyat dalam segala aspek pembangunan kehutanan, dan (4)

menjaga dan menjamin terwujudnya kelestarian sumber daya hutan.

Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPP-

Mangrove (2001) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini

dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas,

terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan.

Page 32: BAB II_2007ipa-3.pdf

43

Bahkan dengan berkembangnya IUPHHK, IUPHHT sebagian besar dari mata

pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis

menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli

terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan

menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan

keabsahannya.