BAB II_2007syr-3.pdf

50
5 2. TINJAUAN PUSTAKA Off-Odor Secara umum off-odor pada bahan pangan dapat dipahami sebagai odor atau bau yang tidak diharapkan atau yang tidak semestinya terdapat pada bahan tersebut. Off-odor dapat pula dimaksudkan sebagai odor yang menyebabkan adanya penolakan terhadap bahan pangan. Odor atau bau yang menyebabkan suatu bahan pangan tidak disukai, oleh Kilcast (1993) dibedakan antara yang disebut dengan “taint” dan yang “off-odor”. Taint didefinisikan sebagai bau asing pada bahan pangan. Bau ini terjadi karena ada suatu substansi dari luar masuk mencemari bahan pangan. Dengan adanya substansi asing menyebabkan bau yang dihasilkan menjadi tidak menyenangkan. Sebaliknya, off-odor diartikan sebagai odor atau bau yang tidak disukai yang dihasilkan oleh bahan pangan itu sendiri. Dalam perspektif ilmu pangan khususnya yang mempelajari cita rasa atau flavor bahan pangan, odor merupakan bagian yang terintegrasi dalam kinerja sensasi manusia secara menyeluruh yang menghasilkan sensasi terhadap suatu bahan pangan. Pengetahuan terhadap baurasa atau cita rasa (flavor) menjadi penting karena telah diketahui bahwa kesukaan atau penerimaan manusia terhadap suatu bahan pangan bukan semata-mata ditentukan oleh nilai nutrisinya saja, akan tetapi sangat dipengaruhi pula oleh keberadaannya untuk menimbulkan rangsangan manusia sehingga menghasilkan suatu sensasi cita rasa terhadap bahan pangan tersebut. Bahkan rangsangan cita rasa ini menjadi sangat penting dan yang paling umum dalam memberi pengaruh dan kesan awal bagi manusia ketika akan mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi bahan pangan itu. Pada kondisi normal, sensasi cita rasa melibatkan integrasi kerja dari komponen indera manusia, baik dalam sistem fisiologis ataupun psikoligis (Thomson 1986; Hui 1992). Indera manusia terdiri atas indera pencecap (lidah), penghidu (hidung), penglihatan (mata), pendengaran (telinga), dan peraba (kulit). Thomson (1986) mendefinisikan cita rasa sebagai pengalaman manusia yang utuh yang timbul akibat adanya stimulasi terhadap indera perasa dan penghidu, serta indera lainnya. Kesan flavor dari bahan makanan yang tertangkap oleh indera, akan terekam dalam otak manusia sebagai penanda sifat bahan tersebut. Dengan pengertian seperti itu, flavor dipandang sebagai suatu fenomena yang

Transcript of BAB II_2007syr-3.pdf

Page 1: BAB II_2007syr-3.pdf

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

Off-Odor Secara umum off-odor pada bahan pangan dapat dipahami sebagai odor

atau bau yang tidak diharapkan atau yang tidak semestinya terdapat pada bahan

tersebut. Off-odor dapat pula dimaksudkan sebagai odor yang menyebabkan

adanya penolakan terhadap bahan pangan. Odor atau bau yang menyebabkan

suatu bahan pangan tidak disukai, oleh Kilcast (1993) dibedakan antara yang

disebut dengan “taint” dan yang “off-odor”. Taint didefinisikan sebagai bau asing

pada bahan pangan. Bau ini terjadi karena ada suatu substansi dari luar masuk

mencemari bahan pangan. Dengan adanya substansi asing menyebabkan bau

yang dihasilkan menjadi tidak menyenangkan. Sebaliknya, off-odor diartikan

sebagai odor atau bau yang tidak disukai yang dihasilkan oleh bahan pangan itu

sendiri.

Dalam perspektif ilmu pangan khususnya yang mempelajari cita rasa atau

flavor bahan pangan, odor merupakan bagian yang terintegrasi dalam kinerja

sensasi manusia secara menyeluruh yang menghasilkan sensasi terhadap suatu

bahan pangan. Pengetahuan terhadap baurasa atau cita rasa (flavor) menjadi

penting karena telah diketahui bahwa kesukaan atau penerimaan manusia

terhadap suatu bahan pangan bukan semata-mata ditentukan oleh nilai

nutrisinya saja, akan tetapi sangat dipengaruhi pula oleh keberadaannya untuk

menimbulkan rangsangan manusia sehingga menghasilkan suatu sensasi cita

rasa terhadap bahan pangan tersebut. Bahkan rangsangan cita rasa ini menjadi

sangat penting dan yang paling umum dalam memberi pengaruh dan kesan awal

bagi manusia ketika akan mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau tidak

mengkonsumsi bahan pangan itu.

Pada kondisi normal, sensasi cita rasa melibatkan integrasi kerja dari

komponen indera manusia, baik dalam sistem fisiologis ataupun psikoligis

(Thomson 1986; Hui 1992). Indera manusia terdiri atas indera pencecap (lidah),

penghidu (hidung), penglihatan (mata), pendengaran (telinga), dan peraba (kulit).

Thomson (1986) mendefinisikan cita rasa sebagai pengalaman manusia yang

utuh yang timbul akibat adanya stimulasi terhadap indera perasa dan penghidu,

serta indera lainnya. Kesan flavor dari bahan makanan yang tertangkap oleh

indera, akan terekam dalam otak manusia sebagai penanda sifat bahan tersebut.

Dengan pengertian seperti itu, flavor dipandang sebagai suatu fenomena yang

Page 2: BAB II_2007syr-3.pdf

6

terjadi atau muncul sebagai akibat dari adanya interaksi antara makanan dan

manusia.

Sensasi rasa (taste) ditimbulkan oleh senyawa-senyawa kimia yang

mudah larut atau yang tidak volatil (non-volatile). Sensasi ini diterima oleh indera

pencecap (lidah). Empat rasa dasar yang umum dikenal oleh manusia yaitu

manis, pahit, asam, dan asin. Kemudian sejalan dengan perkembangan budaya

manusia, diperkenalkan pula satu jenis rasa yang disebut dengan rasa umami

(lezat). Berbeda dengan rasa, sensasi bau (odor) dihasilkan dari senyawa-

senyawa yang bersifat volatil. Rangsangan senyawa-senyawa penghasil bau

ditangkap oleh indera penghidu atau penciuman (hidung) yang kemudian

diteruskan ke saraf-saraf pusat. Pada awalnya manusia hanya mengenal empat

jenis bau, yakni harum, asam, tengik, dan hangus. Setelah itu berkembang

menjadi tujuh. Bahkan sekarang ini telah teridentifikasi tidak kurang dari 50

sensasi odor (Tortora dan Anagnostakos 1990). Jenis bau yang tertangkap

merupakan akibat dari pengaruh satu senyawa saja atau kombinasi dari berbagai

ratusan senyawa flavor yang hingga kini telah teridentifikasi, misalnya untuk

flavor daging sapi terdapat lebih dari 1000 senyawa volatil (Mottram 1998), untuk

daging ayam tidak kurang dari 450 senyawa volatil (Chen dan Ho 1998).

Perhatian dan kewaspadaan manusia terhadap sesuatu yang hendak

dimakan, umumnya bermula dari penciuman. Setelah makanan dikunyah di

dalam mulut, sejumlah senyawa volatil dari makanan tersebut akan mengalir

dalam rongga mulut, dan masuk pula ke rongga hidung dan ditangkap oleh epitel

olfaktori (Gambar 1).

Kedinamisan proses-proses biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung

di dalam ataupun yang berasal dari luar bahan pangan akan sangat

mempengaruhi kondisi flavornya. Bilamana pengaruh itu sampai menimbulkan

flavor yang berbeda dari kesan yang telah dikenal dari bahan itu, maka flavor

tersebut dikategorikan sebagai flavor yang menyimpang yang diistilahkan dengan

sebutan off-flavor (Nii 1978; Kilcast 1993). Penyimpangan flavor yang berkaitan

dengan penyimpangan rasa diberi istilah off-taste; sedangkan yang berkaitan

dengan bau, off-odor.

Page 3: BAB II_2007syr-3.pdf

7

Gambar 1 Anatomi sistem olfaktori. Sinyal dihasilkan oleh sekitar 1000 jenis sel-sel sensori yang melalui cribriform masuk ke dalam bulbus olfaktori dimana akan disaring melalui glomeruli sebelum diteruskan ke pusat olfaktori yang lebih tinggi (Meilgaard et al. 1999).

Penetapan batas cita rasa antara flavor dan off-flavor seringkali tidak

mudah untuk dilakukan. Dari bahan makanan yang sama, bisa kepada

seseorang menimbulkan sensasi flavor, tetapi kepada orang yang lain, off-flavor.

Hal seperti ini menyebabkan pemahaman terhadap flavor dan off-flavor

dipandang sebagai sesuatu yang bersifat subyektif. Oleh sebab itu dalam

mempelajari flavor dan off-flavor, penetapannya dilakukan berdasarkan indikasi

yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat (Bernardo-Gil 1997).

Beberapa kesan off-flavor bahan pangan yang seringkali merupakan masalah

bagi konsumen yaitu seperti desinfektan, basi, berlumut, bau tanah, bau feses,

rasa logam (metalik), amis, bau cat, dan bau plastik.

Meskipun dampak negatif off-flavor dalam industri pangan sangat

signifikan, senyawa pembentuknya merupakan komponen yang sangat kecil

dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain dalam susunan komposisi zat-zat

makanannya. Menurut Teranishi (1978), komponen senyawa-senyawa flavor

dalam suatu bahan makanan berkisar antara 10-6 sampai 10-14 persen. Hal ini

cribriform bulbus olfaktori

glomeruli saraf ke pusat

olfaktori

rongga turbinatas

epitel olfaktori

Page 4: BAB II_2007syr-3.pdf

8

jauh lebih kecil dibandingkan dengan komponen zat-zat makanan lain seperti

protein, lipid, karbohidrat, ataupun air, yang dapat mencapai 25 sampai 95

persen. Oleh karena itu penelitian-penelitian yang ditujukan untuk

mengidentifikasi senyawa-senyawa off-flavor seringkali merupakan tantangan

utama bagi peneliti pangan, yang dalam melaksanakan penelitian-penelitian

tersebut sangat memerlukan penggunaan beberapa instrumen canggih seperti

gas kromatografi (GC) atau kombinsasi gas kromatografi dan spektrometer

massa (GC-MS).

Faktor Penentu Karakteristik dan Penyebab Off-odor pada Daging Secara umum, pembentukan karakteristik off-odor pada daging dari

setiap spesies ternak disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti: genetik, pakan,

perubahan kimia dalam daging, kontaminasi dengan lingkungan, dan aktivitas

mikroorganisme (Sink 1979; Heath dan Reineccius 1986). Beberapa dari faktor

tersebut dapat dimodifikasi atau dikontrol secara teknis atau relatif sedikit lebih

mudah, namun ada beberapa faktor yang untuk mengatasinya memerlukan

kajian yang lebih mendalam dan prinsipil. Faktor-faktor penyebab off-odor akibat

terkontaminasi dengan lingkungan, seperti terkontaminasi dengan udara, air,

atau bahan-bahan kimia (desinfektan, detergen), dalam mengatasinya lebih

memerlukan pendekatan manajemen. Sedangkan, bilamana hal itu dipengaruhi

oleh faktor genetis atau perubahan-perubahan dalam daging, maka untuk

mengatasinya diperlukan suatu penelitian yang cermat (Mottram 1998).

Faktor Genetik (Spesies) Sumbangan faktor genetik yang meliputi spesies dan jenis kelamin ternak

terhadap sensasi off-odor daging merupakan faktor yang memberi karakteristik

spesifik off-odor bagi setiap spesies ternak (MacLeod 1986). Karakterisasi

dengan analisis sensori oleh Bailey et al. (1992) diperoleh bahwa terdapat

perbedaan odor yang signifikan yang dihasilkan dari pemanasan lemak sapi,

babi, dan domba. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa

lemak domba yang didominasi oleh asam-asam lemak jenuh menghasilkan

sedikit senyawa-senyawa karbonil; sedangkan, lemak babi yang kaya asam-

asam lemak tidak jenuh lebih banyak memproduksi senyawa-senyawa karbonil.

Dua jenis off-odor yang sangat berhubungan dengan spesies ternak, yaitu “boar

taint” (bau jantan) pada ternak babi, dan “lamb odor” pada domba.

Page 5: BAB II_2007syr-3.pdf

9

Pada daging yang berasal dari ternak babi jantan yang tidak dikastrasi

terdeteksi suatu jenis off-odor khas, yang baunya dideskripsi seperti bau keringat

atau bau urin. Bau yang tidak disukai ini disebut sebagai bau jantan atau yang

dikenal dalam beberapa istilah seperti boar taint, boar odor, atau male sex odor

(Bailey et al. 1992). Bau ini sangat terkait dengan fraksi nonsaponifabel yang

terkandung dalam jaringan lemak babi jantan. Reineccius (1979) menyebutkan

beberapa senyawa yang sudah diidentifikasi berperan sebagai penyebab odor

boar taint adalah C19-16-ene steroid, 5α-androst-16-ene-3-one (androstenon),

dan 3α-hydroxy-5α-androst-16-ene. Menurut Bailey et al. (1992) senyawa

C19-16 steroid disintesis di dalam sel-sel Leydig testes dan diangkut untuk

disimpan ke dalam jaringan adiposa. Dalam penelitian terbaru diperoleh bahwa

boar odor disebabkan pula oleh beberapa senyawa lain, yaitu: androstenon,

skatol, dan indol. Bahkan dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa

androstenon dan skatol merupakan dua senyawa yang sangat dominan dalam

menghasilkan boar odor. Analisis korelasi yang dilakukan didapatkan bahwa

koefisien korelasi antara level androstenon lemak dan intensitas boar taint

berkisar 0.4 sampai 0.7 (Nijssen 1991; Babol et al. 1999).

Analisis terhadap penyebab off-odor pada daging domba ditemukan

bahwa komponen asam-asam lemak sangat bertanggung jawab. Reineccius

(1979) melaporkan bahwa komponen asam-asam lemak yang dideteksi dengan

spektrometer massa dan diverifikasi melalui pengujian organoleptik, semuanya

menunjukkan asam 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat terlibat dalam

pembentukan mutton odor. Semakin dewasa umur domba, semakin tinggi

intensitas mutton odor tersebut.

Pengaruh mutton odor ini sangat jelas terlihat pada industri peternakan

domba di Amerika Serikat. Keterbatasan dalam meningkatkan permintaan

konsumen terhadap daging domba sangat disebabkan oleh adanya mutton odor,

odor yang sangat tidak disukai oleh sebagian besar konsumen daging di negara

tersebut (Reineccius 1979; Bailey et al. 1992).

Secara teoritis, Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa flavor karakteristik

domba terkonsentrasi pada jaringan-jaringan adiposa. Namun ada pendapat lain

yang menyebutkan bahwa flavor tersebut berasal dari hidrolisis protein dan

bahkan tidak terkait sama sekali dengan lemak. Pendapat demikian didukung

oleh beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa yang

mengandung sulfur merupakan komponen penting dalam penghasil mutton odor

Page 6: BAB II_2007syr-3.pdf

10

pada domba. Juga dikemukakan bahwa domba membutuhkan sulfur yang cukup

tinggi dalam pakannya, yang diperlukan untuk produksi wool.

Kajian terhadap asam lemak 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat,

diperoleh bahwa kedua asam lemak tersebut terdeteksi pula pada daging

kambing. Meskipun demikian karena levelnya yang berbeda, off-odor dari kedua

daging tersebut berbeda pula (Bailey et al. 1992).

Penelitian yang dilakukan oleh Intarapichet et al. (1994) terhadap ternak

kambing untuk mempelajari pengaruh genetik terhadap karakteristik sensori

memperlihatkan bahwa perbedaan genetik menghasilkan sifat aroma yang

berbeda. Aroma daging yang berasal dari kambing anglo-nubian lebih disukai

daripada aroma dari daging kambing lokal. Analisis organoleptik dengan uji

skalar garis sepanjang enam inch (sekitar 15 cm), diperoleh bahwa intensitas

flavor pahit (pungent) lebih tinggi pada daging kambing lokal (2.77) dibandingkan

dengan yang terdapat pada daging kambing anglo-nubian (2.11).

Perbedaan flavor dan odor pada berbagai spesies ternak unggas lebih

diakibatkan oleh komposisi kimia daging, terutama kandungan lemaknya. Hal ini

dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lukman (1995) yang

melaporkan terdapat perbedaan komposisi kimia daging yang sangat nyata

antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Melalui hasil penelitian tersebut diperoleh

bahwa kadar lemak itik, terutama lemak intramusculer, sangat nyata (p < 0.01)

lebih tinggi daripada kadar lemak ayam.

Penelitian Abdelsamie dan Farrell (1985) menyimpulkan bahwa bangsa-

bangsa (breed) itik lokal mempunyai lemak daging lebih rendah daripada

bangsa-bangsa itik moderen. Selain dipengaruhi oleh jenis bangsa, menurut

Abdelsamie dan Farrell (1985), perbedaan komposisi lemak daging pada itik

dipengaruhi pula oleh umur dan jenis kelamin. Proses pembentukan lemak pada

itik betina umumnya lebih awal daripada itik jantan. Sampai umur lima minggu,

pembentukan lemak tubuh pada itik peking betina lebih tinggi daripada itik peking

jantan. Setelah itu laju pembentukan lemak tubuh pada betina menurun,

sebaliknya pada yang jantan meningkat. Meskipun demikian, hasil analisis ini

masih kontraversial hingga sekarang.

Perbandingan komposisi asam-asam lemak pada itik dari beberapa hasil

penelitian dan dibandingkan dengan ternak ayam diperlihatkan pada Tabel 1.

Pada tabel ini terlihat bahwa secara rata-rata ternak itik memiliki kandungan

Page 7: BAB II_2007syr-3.pdf

11

asam-asam lemak jenuh lebih tinggi daripada ternak ayam, sebaliknya rendah

pada asam-asam lemak tidak jenuh.

Tabel 1 Komposisi asam-asam lemak pada daging ayam broiler vs itik

A1) B2) C3) D4)

Asam-asam Lemak

Simbol Ayam Itik Paha

Itik (k) Dada Itik (k)

Itik (k)

Itik (tk)

Itik (k)

JENUH (SFA):

Miristat 14 : 0 0.6 0.7 1.16 1.16 0.2 0.5 0.7

Palmitat 16 : 0 14.8 26.0 25.9 26.4 21.4 28.3 26.0

Stearat 18 : 0 6.8 8.25 6.07 5.25 5.6 17.9 8.7

MUFA:

Palmitoleat 16 : 1 2.4 4.0 2.21 1.73 4.8 5.1 4.2

Oleat 18 : 1 25.9 46.2 41.2 39.9 52.8 30.6 45.4

PUFA

Linoleat 18 : 2 42.6 12.95 19.5 22.2 14.3 15.1 12.7

Linolenat 18 : 3 5.4 1.0 0.55 0.67 0.6 1.9 1.1

Total SFA 22.2 34.95 33.13 32.81 27.2 46.7 35.4

Total UFA 76.3 64.15 63.46 64.50 72.5 52.7 63.4

1)Abdelsamie dan Farrell (1985); 2)Hustiany (2001); 3)Pereira dan Stadelman (1976); 4)Decker dan Cantor (1992). K: kulit, tk: tanpa kulit, SFA: saturated fatty acid (asam lemak jenuh), UFA: unsaturated fatty acid (asam lemak tidak jenuh), MUFA: Monounsaturated Fatty Acids, PUFA: Polyunsaturated Fatty Acids.

Abdelsamie dan Farrell (1985) juga melaporkan bahwa pada umur enam

minggu, kandungan lemak itik alabio betina lebih tinggi daripada alabio jantan,

tetapi pada umur 16 minggu terjadi sebaliknya. Pola ini berbeda pada itik hasil

persilangan. Kandungan lemak pada itik jantan hasil persilangan peking dan

alabio pada umur enam minggu lebih rendah, kemudian pada umur 10 minggu

meningkat, akan tetapi pada umur 16 minggu kandungan lemak betinanya lebih

tinggi. Pola ini berbeda pula pada itik hasil persilangan entok (Cairina moschata)

dan alabio. Pada ternak hasil persilangan entok dan alabio, sejak umur enam

minggu sampai dipotong pada umur 16 minggu, kandungan lemak ternak

betinanya lebih tinggi daripada yang jantan. Penelitian yang dilakukan oleh

Page 8: BAB II_2007syr-3.pdf

12

Hartatie et al. (1987) memperlihatkan bahwa secara rata-rata persentase

kandungan lemak daging pada itik mojosari betina pada berbagai umur

pemotongan lebih tinggi daripada yang jantan; meskipun untuk bobot karkas, itik

mojosari jantan lebih besar.

Itik Alabio (Anas platyrynchos borneo). Itik ini merupakan salah satu

galur itik lokal Indonesia yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong

sebagai jenis itik penghasil telur, itik alabio juga memiliki potensi yang sangat

baik sebagai penghasil daging. Nama itik ini diambil dari nama sebuah daerah di

Kalimantan yaitu tepatnya Kecamatan Alabio yang terletak di Kabupaten Hulu

Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Wilayahnya berawa dan beriklim

hutan hujan tropis. Tempat ini merupakan daerah pengembangan utama dan

pusat pemasaran itik alabio (Wasito dan Rohaeni 1994).

Potensi itik alabio yang besar, baik sebagai penghasil telur maupun

daging, menyebabkan itik ini mulai dikembangkan pula di wilayah Pulau Jawa

berdampingan dengan itik-itik lokal yang ada di daerah tersebut. Penelitian yang

dilakukan oleh Brahmantijo dan Prasetyo (2002) mendapatkan bahwa itik alabio

memiliki daya tetas hampir mencapai rata-rata 49%, hal ini sangat nyata lebih

tinggi (P < 0.01) dibandingkan dengan daya tetas itik mojosari (salah satu itik

lokal di Pulau Jawa) yang hanya mencapai sekitar 41%. Bahkan Setioko dan

Rohaeni (2002) melaporkan bahwa kemampuan daya tetas itik alabio mencapai

sekitar 67%.

Gambar 2 Itik jantan alabio anak dan dewasa.

Page 9: BAB II_2007syr-3.pdf

13

Secara morfologi, itik alabio ini sangat mudah dibedakan dengan itik lokal

jawa pada umumnya. Itik alabio yang masih anak (umur 1-2 minggu), bulu

bagian leher, dada dan perut berwarna kuning, sedangkan bulu sayap dan

punggungnya berwana coklat. Setelah dewasa, bulu kuning pada bagian leher

berubah menjadi keputihan, bagian dada coklat cerah, sedangkan bulu bagian

punggungnya keabu-abuan, dan di ujung-ujung sayapnya terdapat kombinasi

warna hijau kebiru-biruan. Warna paruh dan shank-nya kuning.

Mengoptimalkan potensi itik alabio yang dipelihara di Pulau Jawa, para

peternak dan juga beberapa peneliti menyilangkannya dengan itik-itik lokal yang

berasal dari Pulau Jawa itu sendiri, salah satunya yaitu dengan itik mojosari.

Hasil persilangan kedua jenis itik lokal ini disebut dengan nama itik MA. Itik MA

sebagai hasil persilangan ini memiliki nilai konversi pakan yang lebih baik dari

kedua tetuanya, yaitu itik alabio dan itik mojosari (Ketaren dan Prasetyo 2002).

Itik Cihateup (Anas platyrynchos javanica). Sesuai dengan namanya,

itik ini berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten

Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain di Kabupaten Tasikmalaya, itik ini juga

berkembang pesat di Kabupaten Garut. Oleh masyarakat setempat itik ini

disebut juga dengan nama itik gunung, karena ternak ini mampu beradaptasi

dengan baik pada suhu dingin daerah pegunungan.

Gambar 3 Itik cihateup anak dan dewasa.

Page 10: BAB II_2007syr-3.pdf

14

Dari potensi produksi, itik cihateup lebih ditujukan sebagai itik petelur,

dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun. Akan tetapi kemampuan

pertumbuhan yang cukup baik pada ternak jantannya, itik ini mulai dikembangkan

pula sebagai penghasil daging. Bobot potong itik cihateup jantan berkisar antara

1470 – 1550 gram, dengan nilai konversi ransum sekitar 6.7 (Wulandari et al.

2005).

Berdasarkan ciri-ciri fisik secara umum, itik cihateup mirip dengan itik-itik

jawa lainnya, seperti itik kerawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun

demikian, secara genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut

(Muzani 2005). Bulu itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shank-

nya berwarna hitam. Warna itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu

disekitar kepala mengarah kehitaman; akan tetapi yang betina, warna bulunya

lebih cerah. Bentuk badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya,

yakni berbadan langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Kalau

berjalan lebih tegak dibandingkan dengan itik alabio. Lebih dekatnya kesamaan

sifat antara itik cihateup dengan beberapa itik di sekitar Jawa Barat dan Jawa

Tengah dibandingkan dengan itik alabio, sebab dalam dendogram, jarak genetika

antara itik cihateup dengan itik-itik lokal yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa

Tengah lebih dekat dibandingkan antara itik cihateup dengan itik alabio (Hetzel

1985).

Beberapa ukuran tubuh itik cihateup, misalnya lingkar dada, lebih besar

dari itik cirebon maupun itik mojosari (Muzani 2005), dapat menjadi indikasi

bahwa itik cihateup memiliki cukup potensi penghasil daging yang lebih baik

daripada itik cirebon dan mojosari.

Faktor Pakan Pembentukan off-odor yang dipengaruhi oleh pakan lebih sering dan

mudah terjadi pada unggas. Bau apek atau amis dapat dengan sangat mudah

dirasakan pada telur maupun daging broiler bilamana pakan yang diberikan

kepada ternaknya berpotensi menghasilkan senyawa-senyawa off-odor itu. Bau

amis atau anyir pada daging kalkun yang disebabkan oleh pakan yang

mengandung tepung ikan atau minyak ikan yang relatif tinggi, sudah mulai

diketahui pada tahun 1937 (Asmundson dan Jukes 1938); bahkan, pada daging

ayam, bau tersebut sudah dikenal sejak tahun 1926 (Marble et al. 1938).

Pengaruh tepung dan minyak ikan terhadap produksi off-odor pada daging ayam

Page 11: BAB II_2007syr-3.pdf

15

dilaporkan pula oleh Hardin et al. (1964) yang menyebutkan bahwa produksi off-

odor dapat dideteksi pada ransum yang berkomposisi kombinasi 15% tepung

ikan dan 1.5% minyak ikan. Dari sejumlah penelitian yang sudah dilakukan,

dapat disimpulkan bahwa pengaruh tepung ikan jauh lebih rendah dibandingkan

dengan minyak ikan dalam menghasilkan off-odor pada daging. Hal ini juga

dibuktikan oleh Fry et al. (1965) yang memperlihatkan bahwa pemakaian tepung

ikan sampai 25.25 % sebagai pengganti 100% tepung kedelai, tetapi tanpa

menggunakan minyak ikan, tidak menghasilkan bau amis pada daging broiler.

Selain disebabkan oleh ransum yang mengandung tepung atau minyak

ikan yang tinggi, bau anyir (fishy) dapat juga terjadi dari bahan-bahan makanan

lain, terutama biji-bijian yang mengandung minyak yang tinggi. Hawrysh et al.

(1975) melaporkan bahwa penggunaan rapeseed sebanyak 10% dalam ransum

ayam petelur White Plymouth Rocks menyebabkan adanya bau amis yang dapat

terdeteksi pada telurnya. Demikian pula Bailey et al. (1992) menyebutkan bahwa

pemberian beberapa jenis pakan seperti kedelai mentah, minyak kanola, rumput-

rumput pastura dapat menghasilkan flavor yang tidak disukai konsumen pada

daging-daging merah, seperti sapi, domba, dan kambing. Sejumlah penelitian

yang dirangkum oleh Bailey et al. (1992) memperlihatkan bahwa daging sapi

yang berasal dari ternak yang digemukkan dengan hijaun berenergi rendah

seringkali memiliki flavor yang menyimpang, seperti grassy, milky-oily, sour,

fishy, sweet, dan gamey. untuk mengatasi hal ini, seringkali peternak harus

memberi tambahan biji-bijian kepada ternak sapi, baik yang dipelihara di pastura

ataupun pada sistem feedlot.

Pengaruh jenis pakan dalam menghasilkan off-flavor pada daging sapi

yaitu dengan adanya perubahan-perubahan kimia dalam daging sapi, seperti

perubahan kandungan karbohidrat atau komposisi asam-asam lemak daging.

Pemberian jagung berenergi tinggi dapat menghasilkan daging sapi dengan

kandungan glikogen dan gula tereduksi yang sangat tinggi. Pada proses

glikolisis anaerobik saat postmortem, glikogen daging akan diubah menjadi asam

laktat yang menyebabkan daging menjadi terasa asam. Hal serupa diperlihatkan

pula oleh Bou et al. (2001) bahwa jenis sumber lemak pakan mempengaruhi

komposisi asam lemak daging dan kestabilan oksidatif, yang pada akhirnya ikut

menentukan terbentuknya off-odor pada daging. Pendapat yang agak berbeda

dijumpai dalam penelitian Ruiz et al. (2001) yang menyimpulkan bahwa untuk

masa penyimpanan daging ayam broiler yang relatif pendek, perbedaan jenis

Page 12: BAB II_2007syr-3.pdf

16

lemak berdasarkan derajat ketidakjenuhannya tidak begitu berpengaruh terhadap

ketengikan. Meskipun dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa daging ayam

broiler yang berasal dari ternak yang disuplementasi dengan vitamin E

menghasilkan derajat ketengikan yang lebih rendah daripada daging dari ternak

yang tidak diberi suplementasi vitamin E.

Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa asam-asam lemak merupakan

sumber utama flavor daging sapi yang terbentuk dari senyawa-senyawa karbonil.

Oksidasi yang terjadi pada asam-asam lemak tidak jenuh pada daging

menghasilkan off-odor. Sebagai contoh, bau grassy pada daging sapi

merupakan akibat terdegradasinya asam-asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG)

karena pemanasan.

Pengamatan yang dilakukan pada domba memperlihatkan bahwa ternak

yang lebih banyak diberi leguminosa (misalnya: clover, alfalfa) mempunyai

intensitas off-odor yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi rumput-

rumputan. Demikian pula, daging domba yang berasal dari ternak yang

mengkonsumsi biji-bijian, flavornya lebih disukai daripada yang mengkonsumsi

leguminosa. Namun pemberian biji-bijian yang berlebihan, terutama yang

berenergi tinggi, akan mempengaruhi komposisi asam-asam lemak pada lemak

subkutan domba, yang menyebabkan lemak tersebut menjadi lunak dan

berminyak (Young dan Braggins 1998).

Cendawan Pithomyces chartarum yang banyak tumbuh pada bahan-

bahan pakan di pastura telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab off-odor

pada daging domba. Meskipun demikian, kejadian oleh cendawan ini hanya

tampak pada saa-saat tertentu, yaitu pada musim yang cocok bagi

pertumbuhannya (Bailey et al. 1992).

Seperti pada unggas, pemberian ransum dengan kandungan tepung ikan

yang berlebihan kepada ternak babi dapat juga menghasilkan off-flavor pada

dagingnya. Hasil penelitian pada ternak babi yang dilaporkan oleh Bailey et al.

(1992) merekomendasikan bahwa untuk mencegah munculnya off-flavor,

pemberian tepung ikan tidak melebihi dari 5% dalam ransum. Tetapi pada

penelitian yang menggunakan tepung silase ikan, diperoleh bahwa penggantian

tepung kedelai dengan tepung silase ikan sampai pada tingkat 9% tidak

megubah flavor daging babi.

Page 13: BAB II_2007syr-3.pdf

17

Perubahan Kimia Pembentukan off-flavor atau khususnya off-odor pada bahan pangan

secara umum, termasuk daging, dapat berlangsung karena terjadi perubahan-

perubahan atas komponen-komponen organik yang terkandung dalam bahan

pangan tersebut. Perubahan-perubahan seperti itu dapat terjadi melalui

beberapa mekanisme, yaitu oksidasi lipid, pencoklatan nonenzimatik, perubahan

enzimatis, dan reaksi fotokatalisis (Heath dan Reineccius 1986).

Pada daging, pembentukan off-odor karena adanya perubahan kimia

lebih banyak disebabkan oleh oksidasi lipid, dibandingkan dengan karena proses

yang lain. Berlangsungnya oksidasi lipid pada daging menurut Apriyantono dan

Lingganingrum (2002) secara garis besar dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti: komposisi asam lemak daging, kandungan prooksidan dan antioksidan,

dan temperatur. Mekanisme pembentukan off-odor melalui proses oksidasi lipid

yang lebih rinci akan dibahas dalam bagian berikut dari bab Tinjauan Pustaka ini.

Dua jenis off-odor penting pada daging yang dapat terjadi akibat oksidasi

lipid yaitu ketengikan (rancidity) dan warmed-over flavor (WOF). Oksidasi lipid

pada daging menjadi masalah yang sangat serius, karena dengannya terjadinya

penurunan kualitas daging, yang bukan saja karena adanya penyimpangan

terhadap flavor, tetapi juga karena terkait dengan adanya perubahan di dalam

tekstur dan warna daging, yang berkonsekuensi pada penolakan konsumen

terhadap daging tersebut.

Reaksi pencoklatan nonenzimatis sekalipun berperan penting dalam

pembentukan flavor aroma, namun tidak jarang pula, reaksi tersebut menjadi

penyebab munculnya off-odor pada bahan pangan. Off-odor yang terjadi melalui

reaksi ini, seringkali dijumpai pada daging yang diproses dengan teknologi

pengalengan. Off-odor yang menjadi karakteristik dari reaksi pencoklatan

enzimatik diistilahkan dengan stale, atau hilangnya sifat segar pangan. Dua

senyawa kimia yang paling berkontribusi melalui proses pencoklatan enzimatik

adalah benzotiasol dan O-aminoaseptopenon.

Pada mekanisme yang lain, reaksi enzimatik dalam pembentukan off-odor

lebih terkait dengan fungsinya sebagai katalis dalam oksidasi lipid, yang antara

lain bekerja mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+. Salah satu jenis enzim yang

terlibat dalam oksidasi asam-asam lemak pada daging ayam yaitu enzim

lipoksigenase (Gray dan Pearson 1994).

Page 14: BAB II_2007syr-3.pdf

18

Faktor Pengolahan (Processing) Prosedur atau metode yang digunakan dalam pengolahan daging dapat

mempengaruhi flavor daging yaitu melalui perubahan pada komposisi sistem

flavor, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Perubahan komposisi itu dapat

berupa perubahan kimia atau hilangnya beberapa senyawa flavor (Bailey et al.

1992).

Salah satu metode pengolahan daging yang paling banyak mendapat

perhatian terhadap dampaknya dalam menghasilkan off-flavor yaitu metode

iradiasi. Pada prinsipnya metode ini digunakan terutama untuk mengontrol

Salmonella atau beberapa mikroorganisme patogen yang terdapat pada daging.

Beberapa off-odor yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan iradiasi pada daging

yaitu seperti “metallic”, “sulfide”, “wet dog”, “wet grain”, “goaty”, atau “burnt”.

Hasil-hasil penelitian yang dirangkum oleh Bailey et al. (1992) menyebutkan

bahwa asumsi yang dipakai untuk menjelaskan pembentukan off-odor pada

daging yang diiradiasi yaitu sebagai hasil dari meningkatnya oksidasi radikal

bebas dalam jaringan adiposa. Asumsi ini dibenarkan dengan berbagai

penelitian yang menggunakan antioksidan dapat mengurangi off-odor pada

daging yang diiradiasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ahn et al. (1997)

memperlihatkan bahwa penggunaan dl-α-tokoferol asetat pada level di atas

200 IU/kg sebagai antioksidan dalam ransum dapat mengurangi oksidasi lipid

dan volatil total pada daging kalkun setelah disimpan selama tujuh hari.

Meskipun sudah banyak penelitian yang dikembangkan dalam mengatasi

off-odor sebagai akibat dari iradiasi, sampai saat ini belum dapat diidentifikasi

secara pasti senyawa-senyawa “character impact” dari off-odor tersebut. Oleh

karena itu satu-satunya rekomendasi yang masih berlaku dalam pelaksanaan

iradiasi yaitu dengan menggunakan iradiasi pada kondisi vakum pada temperatur

beku (Reinneccius 1979; Bailey et al. 1992).

Jenis off-odor lain yang sering pula terdeteksi dalam pengolahan daging

yaitu off-odor yang terjadi pada daging yang dikalengkan; off-odor jenis ini diberi

istilah “retort flavor”. Sekalipun off-odor ini sangat tidak disukai oleh konsumen,

penelitian untuk mengidentifikasi senyawa kimia yang bertanggung jawab

terhadap pembentukan off-odor tersebut masih sangat sedikit. Pendugaan yang

sementara ini diterima bahwa “retart off-odor” disebabkan oleh perlakuan

pemanasan saat dilakukan sterilisasi. Penelitian pada daging sapi diperoleh

bahwa daging sapi yang dikalengkan dengan cara konvensional mengandung

Page 15: BAB II_2007syr-3.pdf

19

hidrogen sulfida yang lebih tinggi daripada yang dikalengkan dengan

menggunakan metode pemanasan tinggi dalam waktu singkat (Bailey et al.

1992).

Daging yang dimasak dengan menggunakan mikrowave juga merupakan

salah satu penyebab terjadinya off-odor pada bahan pangan itu. Daging yang

diolah dengan mikrowave mempunyai kandungan senyawa-senyawa off-odor

yang tinggi, seperti alkana, pirazin dan alkohol. Untuk mengatasi hal ini,

beberapa produk mikrowave dirancang sedemikian rupa sehingga dampak off-

odor-nya dapat dikurangi (Hornstein dan Wasserman 1987).

Pengaruh Mikroorganisme Penyimpanan daging sangat dibatasi karena pengaruh pertumbuhan

mikrooraganisme. Masa simpan daging segar pada temperatur 4oC biasanya

hanya sekitar 3 sampai 4 hari. Kelompok mikroorganisme yang sering dijumpai

pada daging-daging yang disimpan secara aerobik yaitu antara lain

Pseudomonas, Moraxella, dan Accinetobactor. Sedangkan pada penyimpanan

anaerobik lebih didominasi oleh kelompok Lactobacilli.

Prekursor utama bagi perkembangan off-odor oleh bakteri adalah asam-

asam amino yang dihasilkan dari degradasi protein. Sebagai contoh,

Pseudomonas fragi sangat dipastikan sebagai penyebab pembusukan daging.

Mikroorganisme ini berfungsi meningkatkan aktivitas enzim proteolitik yang

menyebabkan pula meningkatnya kandungan asam-asam amino bebas dalam

daging. Pada daging ayam, bakteri Pseudomonas putrifaciens berperan

menghasilkan senyawa-senyawa volatil seperti metil merkaptan, dimetil disulfida,

metanol, etanol, dan hidrogen sulfida (Bailey et al. 1992).

Aktivitas mikroba dalam berperan menghasilkan off-odor pada daging

dapat terjadi melalui beberapa cara seperti, proses fermentasi yang tidak tepat,

pemasakan yang tidak sempurna, atau terkontaminasinya bahan pangan dengan

produk-produk metabolis yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroba.

Mikroorganisme mempunyai kemampuan yang sangat beragam dalam

menghasilkan off-odor, bergantung pada komponen metabolis yang dihasilkan

dan dikeluarkan ke dalam media pertumbuhannya. Sebagai contoh, ayam yang

dipelihara dengan menggunakan sistem lantai beralas (litter floor) dari bahan

ampas gergaji, pada dagingnya sangat mudah terkontaminasi oleh jamur

(Reineccius 1994).

Page 16: BAB II_2007syr-3.pdf

20

Pembentukan Aroma dan Off-Odor Daging

Aroma daging dimaksudkan sebagai odor yang menghasilkan sensasi

khas daging yang diterima oleh manusia. Aroma dihasilkan oleh senyawa-

senyawa volatil yang sebagian besar diproduksi melalui degradasi prekursor

lipid. Mottram (1991) menyebutkan bahwa lipid menghasilkan senyawa-senyawa

volatil yang memberikan sensasi flavor karakteristik dari setiap spesies ternak

yang berbeda; sedangkan, lean (daging tanpa lemak) bertanggung jawab

memberikan flavor dasar yang umum terdapat pada daging semua spesies

ternak.

Peran lemak dalam pembentukan aroma yang dihasilkan oleh daging,

menurut Mottram (1991), hal itu dikaitkan dengan fungsi lemak sebagai pelarut

bagi senyawa-senyawa aroma yang diproduksi, baik itu aroma yang berasal dari

luar maupun sebagai bagian dari reaksi-reaksi pembentuk flavor di dalam daging.

Namun sejalan dengan kemajuan penelitian flavor daging, mekanisme tersebut

dianggap sebagai asumsi yang amat sederhana. Sebaliknya, proses

pembentukan flavor pada daging sesungguhnya merupakan suatu interaksi yang

bersifat kompleks antara senyawa-senyawa yang berasal dari lipid dan

komponen-komponen yang berasal dari lean ( Waserman 1979; Mottram 1991).

Hal ini dimaksudkan bahwa pembentukan aroma tersebut merupakan interaksi

yang berlangsung antara gugus-gugus amino yang terdapat pada protein dengan

gugus-gugus karbonil yang berasal dari lipid. Sebagai contoh, aroma ayam

dihasilkan dari reaksi yang terjadi antara hidrogen sulfida dari asam amino

bersulfur dengan karbonil yang berasal dari degradasi asam lemak oleh

pemanasan.

Kelompok lemak yang berperan dalam pembentukan aroma, tidak saja

didominasi oleh lemak-lemak trigliserida (lemak netral/lemak sederhana); akan

tetapi beberapa penelitian memperlihatkan bahwa, kelompok fosfolipid turut andil

pula di dalam pembentukan aroma pada daging yang dimasak. Farmer (1999)

menyebutkan bahwa semakin banyak terdapat fosfolipid tak jenuh di dalam

daging, semakin pentingnya perannya dalam pembentukan flavor.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian terhadap pembentukan aroma

daging, Mottram (1991) menyebutkan bahwa sejumlah reaksi yang dapat

menghasilkan senyawa-senyawa volatil odor pada daging yaitu: reaksi

pemanasan, pirolisis asam amino dan peptida, degradasi gula, reaksi Maillard,

Page 17: BAB II_2007syr-3.pdf

21

degradasi Strecker, degradasi tiamina, dan degradasi lipid. Dari semua reaksi

tersebut yang memungkinkan terbentuknya aroma daging, reaksi Maillard dan

degradasi lipid merupakan dua reaksi penting.

Reaksi Maillard Reaksi Maillard, reaksi yang berlangsung antara gula tereduksi dan

senyawa amino, merupakan jalur pembentukan flavor yang sangat penting dalam

bahan pangan, khususnya daging yang dimasak. Reaksi ini pertama kali

dijelaskan oleh seorang ahli kimia Perancis, Louis Maillard, pada tahun 1912,

yang menemukan adanya pembentukan warna oleh melanoidin akibat

pemanasan larutan glukosa dan glisina.

Secara garis besar, alur interaksi lipid dalam reaksi Maillard adalah

sebagai berikut: (1) reaksi senyawa karbonil lipid dengan gugus amino sisteina

dan amonia yang dihasilkan dari degradasi Strecker; (2) reaksi gugus amino

fosfatidiletanolamina dengan senyawa karbonil gula; (3) interaksi radikal bebas

dari lipid yang teroksidasi dalam reaksi Maillard; dan (4) reaksi hidroksi dan

karbonil lipid dengan hidrogen sulfida bebas. Skema pembentukan flavor melalui

reaksi Maillard diperlihatkan pada Gambar 4.

Heath dan Reineccius (1986) menyatakan bahwa dari sekitar 3000

senyawa volatil yang teridentifikasi dalam bahan pangan, dua pertiganya adalah

hasil dari reaksi Maillard. Komponen-komponen flavor yang paling banyak

terbentuk dari reaksi ini, yaitu antara lain: alifatik, aldehid, dan keton.

Sebagian besar dari senyawa−senyawa yang menentukan flavor daging

melalui reaksi Maillard adalah senyawa−senyawa N, S, O − heterosiklik dan

bahan−bahan lain yang mengandung sulfur. Prekursor−prekursor penting untuk

pembentukan senyawa−senyawa flavor pada daging dikelompokan atas

kelompok senyawa−senyawa yang larut air, seperti gula, asam−asam amino,

gula fosfat dan komponen−komponen asam nukleat, dan kelompok

senyawa−senyawa lipid.

Odor sulfuris yang dihasilkan melalui reaksi asam-asam amino bersulfur

dengan gula, sangat penting bagi pembentukan flavor daging yang dimasak.

Hidrogen sulfida yang terbentuk dari reaksi sisteina dengan senyawa karbonil

merupakan komponen utama aroma daging.

Page 18: BAB II_2007syr-3.pdf

22

Gambar 4 Pembentukan senyawa−senyawa flavor pada daging melalui reaksi Maillard dari gula dan amin (Bailey 1998).

Melalui penelitian yang dilakukan dalam bentuk sistem−sistem model,

diperoleh bahwa kelompok lipid yang berperan adalah fosfolipid dan beberapa

hasil degradasinya seperti aldehid, keton, dan alkohol. Senyawa−senyawa ini

akan bereaksi dengan produk−produk hasil reaksi Maillard seperti hidrogen

sulfida dan amonia menghasilkan komponen−komponen pembentuk aroma pada

daging. Salah satu senyawa volatil flavor yang seringkali ditemukan pada daging

yang dimasak yaitu 2−pentilpiridin; senyawa ini terbentuk dari reaksi

2,4−dekadienal dan amonia. Flavor pada ayam goreng dipengaruhi oleh

5−butil−3−metil−1,2,4−tritiolan yang terbentuk dari reaksi senyawa−senyawa

aldehid dengan hidrogen sulfida.

Gula reduksi + α-asam amino N-gula amin

Intermediet Amadori dan Heynes

1-Deoksiredukton Degradasi strecker 1-Deoksioson 3-Deoksioson

Retro-aldolisasi Dikarbonil (diasetil, dihidroksiaseton glioksal)

Aldehid (Asetaldehid)Metional Amonia

Hidrogen disulfida

HD-fone HM-fone Isomaltol

Maltol Siklotene

2-Furfurals Asetaldehid

Produk degradasi Strecker

H2S NH3

CH3SH

Aldehid

Pirazin N,S,O-heterosiklik

Senyawa siklik sulfur Sulfida

Senyawa Flavor Daging

Senyawa sulfur siklik N, S, O-heterosiklik

4-Mercapto-5-metiltetrahidro-3-furanon 2,5-Dimetil-2,4-dihidroksi-3-(2H)-tiopenon2-Metil-3-furantiol 2-Furfuriltiol 2-Metil-3-(metiltio)-furan 2-metil-3-(metilditio)-furan

Bis-(2-metil-3-furil)-disulfida 2-Furfuril-2-metil-3-furil-disulfida 1,2,4-Tritiolan 1,2,4,6-Tetratiepan 1-(2-Metil-2-tieniltio)-etanetiol 1-(2-Metil-3-furiltiol)-etanetiol

Page 19: BAB II_2007syr-3.pdf

23

Degradasi Lipid Mekanisme lain dalam pembentukan volatil aroma ketika daging dimasak

yaitu oksidasi rantai-asil lipid tidak jenuh. Senyawa-senyawa volatil aroma yang

terbentuk melalui reaksi lipid ini umumnya mengikuti jalur yang sama; baik itu

yang melalui reaksi oksidasi termal, maupun oksidasi ketengikan. Perbedaan

yang tidak begitu tampak dalam mekanisme kedua reaksi tersebut, menghasilkan

profil volatil yang berbeda (Mottram 1998).

Pemecahan rantai alkil lipid tidak jenuh melibatkan mekanisme radikal

bebas. Reaksi ini diawali ketika satu atom hidrogen labil diambil dari bagian lipid,

sehingga menghasilkan radikal lipid, dengan persamaan:

RH R• + H•

Selanjutnya reaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksil, dan kemudian

diikuti dengan pengambilan hidrogen yang lain dari molekul lipid. Hidroperoksida

dan radikal bebas lain yang terbentuk menghasilkan suatu reaksi berantai yang

berkesinambungan:

R• + O2 ROO•

ROO• + RH ROOH + H•

(Keterangan: RH = asam lemak; R. = radikal alkil, ROO

. = radikal peroksil)

Secara umum flavor daging mentah adalah bland, metalic, dan sedikit

berasa asin. Flavor daging yang diinginkan baru terbentuk dan terdeteksi setelah

daging dimasak. Pembentukan flavor seperti itu selain melalui proses oksidasi

termal, juga melalui proses reaksi lemak dengan senyawa-senyawa lain yang

terdapat di dalam jaringan daging. Dengan pemanasan terbentuklah komponen-

komponen volatil yang berasal dari sejumlah prekursor larut air, seperti tiamina,

glikogen, glikoprotein, nukleotida, nukleosida, gula bebas, asam-asam amino,

peptida, gula fosfat, amin, dan asam-asam amino. Prekursor ini bereaksi dalam

daging selama proses pemanasan. Dalam reaksi primer, interaksi komponen

prekursor membentuk senyawa-senyawa intermediet yang dapat bereaksi

selanjutnya dengan produk-produk degradasi lain menghasilkan campuran volatil

kompleks yang berfungsi dalam pembentukan flavor daging. Apriyantono et al.

(1994) dalam mencari prekursor utama pembentuk flavor daging ayam

menyimpulkan bahwa flavor daging ayam terbentuk melalui interaksi antara

lemak (asam oleat dan linoleat) dengan sisteina dan glukosa.

Page 20: BAB II_2007syr-3.pdf

24

Produksi aroma dari fraksi−fraksi lipid seperti yang berasal dari jaringan

adiposa dan lean masih terus dipelajari. Pemanasan terhadap lemak daging

menghasilkan sifat−sifat aroma yang berbeda−beda antar jenis daging.

Aroma−aroma tersebut memberi ciri khas bagi setiap daging. Lemak−lemak

pada daging yang berperan dalam pembentukan aroma adalah lemak−lemak

subkutan, lemak yang terdeposit dalam jaringan, triasilgliserol, dan fosfolipid.

Pemecahan oksidatif terhadap rantai−rantai alkil lipid tak jenuh meliputi

mekanisme radikal bebas dan pembentukan senyawa−senyawa intermediet

hidroperoksida. Dekomposisi hidroperoksida akan melibatkan mekanisme

radikal bebas lanjut dan pembentukan produk−produk nonradikal termasuk di

dalamnya adalah senyawa−senyawa aroma (Grosch 1982; Mottram 1998).

Degradasi hidroperoksida dimulai dengan proses homolisis yang menghasilkan

satu radikal alkoksi (RO.) dan satu radikal hidroksi (.OH). Proses selanjutnya

adalah terjadi pemecahan pada rantai asam−asam lemak yang berikatan dengan

radikal alkoksi. Sifat volatil yang berasal dari suatu hidroperoksida bergantung

pada komposisi rantai alkil dan posisi dimana terjadi pembelahan rantai.

Mekanisme degradasi hidroperoksida ditunjukkan pada Gambar 5. Posisi

pembelahan rantai dapat terjadi pada dua tempat, di sebelah kanan radikal

alkoksi (posisi A) atau di sebelah kiri (posisi B).

Jika gugus alkil jenuh dan pembelahan terjadi pada posisi A maka akan

menghasilkan suatu aldehid jenuh; sedangkan apabila pembelahan terjadi di

posisi B akan menghasilkan satu radikal akil yang dapat diikuti dengan

pembentukan satu senyawa alkana. Alternatif lain, apabila alkil radikal bereaksi

dengan oksigen akan menghasilkan satu senyawa hidroperoksida. Pada tahap

berikut, hidroperoksida pecah dan menghasilkan radikal alkoksi yang dapat

memproduksi senyawa−senyawa nonradikal yang lebih stabil seperti alkohol dan

aldehid. Senyawa−senyawa lain yang dapat terbentuk melalui reaksi ini yaitu

keton, furan dan senyawa−senyawa aromatik dari hidrokarbon dan aldehid.

Meskipun pada daging yang dimasak ditemukan banyak sekali senyawa

volatil, hanya sedikit saja yang memberi pengaruh terhadap flavor daging; sebab,

umumnya senyawa−senyawa yang lain merupakan senyawa−senyawa yang

mempunyai batas ambang odor yang tinggi. Senyawa−senyawa yang

mempunyai batas ambang rendah yang berpengaruh langsung terhadap flavor

adalah aldehid, alkohol tak jenuh, keton dan lakton.

Page 21: BAB II_2007syr-3.pdf

25

Gambar 5 Pembentukan volatil melalui pemecahan hidroperoksida lipid sederhana (Mottram 1998).

Identifikasi terhadap senyawa−senyawa flavor pada daging unggas

ditemukan bahwa beberapa senyawa yang berpengaruh adalah

2−metil−3−furantiol, 2−furfuritiol, metional, 2,4,5−trimetiltiazol, nonanal, dan

lain−lain. Senyawa yang paling penting yang memberi aroma khas pada ayam

yaitu 2−metil−3−furantiol (Chen dan Ho 1998). Sedangkan pada itik, belum

banyak penelitian yang berkaitan dengan flavor. Penelitian yang dilakukan oleh

Wu dan Liou (1992) melaporkan bahwa senyawa−senyawa volatil pada daging

itik sebagian besar merupakan hasil oksidasi lipid. Senyawa penentu flavor pada

daging itik berasal dari kelompok indol, yang merupakan satu−satunya senyawa

pada daging itik yang mengandung nitrogen. Melalui proses pemanasan

senyawa indol akan dipecah membentuk senyawa−senyawa heterosiklik, yakni

pirazina, piridina, dan tiazol.

Page 22: BAB II_2007syr-3.pdf

26

Oksidasi Lipid Pembentuk Off-Odor Oksidasi lipid merupakan reaksi utama perusakan bahan pangan yang

menyebabkan penurunan kualitas yang signifikan. Kerusakan oksidatif pada

lemak daging akan berakibat pada pembentukan senyawa-senyawa off-odor dan

hilangnya aroma khas daging. Oksidasi lemak berlangsung pada bagian yang

tidak jenuh dan kemudian diikuti dengan pembentukan radikal bebas. Dua

produk penting dari reaksi-reaksi oksidasi yaitu hidroperoksida dan senyawa-

senyawa volatil. Hidroperoksida dihasilkan pada reaksi primer. Senyawa ini

berfungsi dalam propagasi reaksi-reaksi autokatalitik; sedangkan, senyawa-

senyawa volatil seperti aldehid dan keton terbentuk pada reaksi sekunder; dan

merupakan sumber terbentuknya off-odor (Gray dan Pearson 1994). Beberapa

jenis istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya perubahan odor daging,

khususnya pada daging yang dipanaskan kembali, yaitu antara lain: odor

teroksidasi, tengik, off-odor, terlalu masak (WOF, warmed-over flavor), basi, dan

apek. Umumnya istilah-istilah yang dipakai sulit didefinisikan secara tegas.

Dua bentuk hasil oksidasi lipid pada daging yang menimbulkan off-odor

pada daging, yaitu ketengikan (rancidity) dan WOF. Ketengikan merupakan

ukuran penilaian sensori terhadap kualitas yang tidak dikehendaki dari bahan

pangan berlemak dan berminyak. Terdapat tiga jenis ketengikan yang berbeda

yang terkait dengan kerusakan flavor lipid. Pertama, ketengikan yang terjadi

melalui proses penyerapan oleh lemak daging (terkontaminasi) terhadap bahan-

bahan larut lemak. Ketengikan jenis ini disebut dengan taint. Kejadian seperti ini

umumnya pada daging-daging yang diolah atau yang disimpan. Kedua,

ketengikan yang terbentuk oleh adanya reaksi-reaksi hidrolitik yang dikatalisis

oleh enzim lipase; atau yang disebut dengan ketengikan hidrolitik. Ketengikan

seperti ini tidak umum terjadi pada daging segar, kecuali setelah pembusukan

oleh mikroba. Ketiga, ketengikan yang terjadi oleh adanya perubahan-

perubahan dalam lipid sebagai akibat dari interaksinya dengan oksigen atmosfir;

atau yang dikenal dengan ketengikan oksidatif (Hamilton 1983; Bailey et al.

1992).

Ketengikan oksidatif berbeda dari reaksi-reaksi oksidasi yang

menyebabkan WOF. Ketengikan yang terjadi secara oksidatif merupakan suatu

proses degradasi lambat dari asam-asam lemak tidak jenuh pada daging

mentah, yang kemudian proses tersebut berlanjut pada pembentukan radikal

Page 23: BAB II_2007syr-3.pdf

27

bebas dan hidroperoksida. Hasil-hasil reaksi dari proses lanjutan inilah yang

menghasilkan senyawa-senyawa volatil off-odor, yang terdiri atas aldehid,

alkohol, hidrokarbon, dan asam-asam.

Berges (1999) menjelaskan bahwa oksidasi lipid merupakan suatu proses

autokatalitik yang terjadi di dalam membran-membran biologis. Umumnya

oksigen yang digunakan oleh sel tereduksi di dalam mitokondria. Sebagian kecil

digunakan oleh reaksi-reaksi yang terjadi di dalam sitosol, nukleus, dan membran

sel. Oksigen pada membran sel menerima empat elektron setelah menghasilkan

sejumlah molekul NADH yang diperlukan untuk peningkatan energi ATP. Melalui

kerja enzim-enzim tertentu, NADH akan menerima hanya satu elektron yang

menyebabkan meningkatnya produksi anion superoksida (O2-•), atau hidrogen

peroksida (H2O2). Anion O2-• merupakan salah satu dari radikal-radikal bebas

yang mengawali terjadinya proses-proses oksidasi di dalam sel. Anion-anion

tersebut bilamana bereaksi dengan H2O2 membentuk senyawa yang lebih agresif

yaitu radikal hidroksi (•OH). Mekanisme proses oksidasi asam-asam lemak dan

pembentukan produk senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan off-odor

diperlihatkan pada Gambar 6.

Selanjutnya Berges (1999) menyimpulkan bahwa proses oksidasi dapat

terjadi pada ternak apabila didukung oleh sejumlah faktor penyebab yang antara

lain adalah: tingkat kejenuhan asam lemak pada daging; radikal bebas,

mioglobin, hemoglobin, sitokrom, logam-logam berat, seperti: besi, tembaga, dan

logam-logam berat lain; kondisi ternak saat pemotongan (stress, pH, temperatur

karkas, rangsangan elektrikal); dan, hilangnya integritas membran otot yang

disebabkan oleh penggilingan, pengolahan, dan pemasakan.

Sebagai akibat dari peroksidasi yang terjadi pada ternak hidup dan

ketengikan oksidatif yang mulai berlangsung sesaat setelah ternak dipotong,

asam-asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) terdekomposisi menjadi senyawa-

senyawa dengan rantai yang lebih pendek, seperti aldehid, keton, dll, yang mana

merupakan senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan odor dan rasa yang

tidak disukai. Odor dan rasa seperti itu menyebabkan penerimaan daging oleh

konsumen berkurang.

Page 24: BAB II_2007syr-3.pdf

28

PUFA - RH

Radikal Asam Lemak - R

Radikal Peroksida - ROO

Hidroperoksida + Radikal Asam Lemak ROOH R

Aldehid, Keton, Asam, polimer, dll

+ Oksigen

Fe2+ Cu+ + PUFA RH

Gambar 6 Mekanisme oksidasi asam lemak (Berges 1999).

Ketengikan oksidatif merupakan faktor pembatas dalam memperpanjang

penyimpanan daging segar pada temperatur beku. Bou et al. (2001)

mengemukakan bahwa oksidasi lipid merupakan penyebab utama pada

kerusakan produk-produk unggas, terutama dalam menghasilkan odor atau flavor

yang tidak disukai konsumen, serta menyebabkan masa simpan yang pendek.

Oleh karena itu dalam prosedur pengolahan yang sudah dilakukan secara

moderen, biasanya terdapat perlakuan-perlakuan awal sebelum penyimpanan

yang ditujukan untuk memperpanjang masa simpan daging. Beberapa prosedur

tersebut yaitu seperti pengepakan vakum dan pengepakan atmosfir terkontrol

dengan karbon dioksida dan nitrogen (Bailey et al. 1992).

Masalah ketengikan pada daging unggas dan upaya-upaya untuk

mengatasinya sejak tahun 1940-an sudah mulai mendapatkan perhatian dari

sejumlah peneliti. Kummerow et al. (1948) telah mempelajari pengaruh berbagai

Page 25: BAB II_2007syr-3.pdf

29

jenis pakan terhadap derajat ketengikan pada daging kalkun. Kemudian pada

1970-an Marusich et al. (1975) mengembangkan penelitian serupa melalui

penggunaan vitamin E dalam mengatasi ketengikan pada ayam broiler dan

kalkun. Dari sejumlah penelitian mengenai ketengikan pada daging diperoleh

bahwa laju ketengikan oksidasi mempunyai hubungan yang erat dengan

peningkatan senyawa asam 2-thiobarbiturat (TBA). Oleh karena itu untuk

menetapkan laju oksidasi pada suatu produk daging dilakukan pengukuran

terhadap nilai TBA. Nijssen (1991) melaporkan bahwa dari penelitian yang telah

dilakukan didapatkan bahwa pada jaringan broiler, peningkatan nilai TBA paling

tinggi pada hati dan daging dada, kemudian diikuti oleh daging paha, kulit, dan

lemak depot. Dari penelitian tersebut diperoleh juga bahwa laju oksidasi selama

penyimpanan berkorelasi positif dengan kandungan protein, air, fosfolipid dan

besi nonheme; sebaliknya berkorelasi negatif dengan lipid.

Bentuk off-flavor lain yang seringkali terjadi pada daging yaitu yang

diistilahkan dengan “warmed-over flavor” (WOF). Istilah ini pertama kali

digunakan pada 1958 oleh Tims dan Watts (Pearson et al. 1977). WOF

seringkali terjadi pada daging yang sudah dimasak dan disimpan dalam lemari

pendingin dengan temperatur 4oC selama 48 jam, dan dipanaskan kembali.

Meskipun pada awalnya, off-flavor ini lebih dijumpai pada daging yang telah

dimasak, namun kini ditemui juga pada daging mentah yang digiling dan terkena

kontak dengan udara (Cross et al. 1987). Kesan flavor yang ditangkap

konsumen terhadap WOF yaitu serupa dengan flavor daging panggang atau

steak yang terlalu masak (lama dipanggang), atau ada pula konsumen yang

mendeskripsi sebagai flavor tengik. Penelitian yang dikembangkan dalam

mempelajari WOF didapatkan bahwa penyebab utama adalah akibat lemak

daging yang teroksidasi dan berkorelasi pula dengan intensitas pemanasan

(Cross et al. 1987).

Tidak seperti ketengikan oksidatif yang lebih lambat pembentukannya dan

yang umum terjadi pada daging mentah, WOF merupakan off-flavor yang lebih

cepat terbentuk dan pada daging yang sudah dimasak. Dari penelitian-penelitian

sensori mengenai WOF diperoleh beberapa bahasa flavor yang dapat digunakan

untuk mendeskripsikannya yaitu seperti “warmed-over”, “rancid”, dan “oxidized”.

Page 26: BAB II_2007syr-3.pdf

30

Katalis Oksidasi Laju dan tingkat oksidasi lipid daging bergantung pada sejumlah faktor, di

antaranya yang terpenting adalah tingkat asam-lemak tidak jenuh jamak yang

terkandung dalam daging (Gray dan Pearson 1994). Sudah sejak lama diketahui

bahwa kelompok lipid yang terlibat sebagai penyebab kerusakan flavor pada

daging yang dimasak adalah asam-asam lemak tidak jenuh, terutama sebagai

fosfolipid yang terdapat pada jaringan lean dan lipid tingkat sel.

Pembentukan off-odor ketengikan berbeda bergantung spesies, karena

adanya perbedaan dalam kandungan fosfolipid dan komposisi asam lemak.

Kerentanan fosfolipid terhadap oksidasi merupakan bagian dari tingginya asam

lemak tidak jenuh jamak, khususnya asam linoleat dan arakidonat (Igene dan

Pearson 1979). Sebagai contoh, fosfolipid pada daging sapi mengandung asam

lemak tidak jenuh 15 persen lebih banyak daripada triasilgliserol-nya.

Selain itu, kerentanan fosfolipid terhadap oksidasi juga terkait dengan

posisinya di dalam membran yang dekat dengan katalis-katalis oksidasi jaringan.

Kerusakan membran dan pengeksposan fosfolipid terhadap oksigen, enzim,

pigmen heme dan ion-ion logam, dapat merupakan faktor penyebab cepatnya

terjadi ketengikan, termasuk kerusakan pada daging mentah (Asghar et al.

1988).

Hal yang banyak mendapat perhatian dari faktor-faktor pendukung proses

oksidasi yaitu unsur-unsur katalis. Teori yang telah berkembang sejak lama

bahwa oksidasi lipid sangat dipengaruhi oleh beberapa katalis heme, seperti:

hemoglobin, mioglobin, dan sitokrom. Daging mengandung besi nonheme dan

besi heme. Dalam oksidasi lipid daging, besi nonheme lebih berperan dalam

mempercepat berjalannya oksidasi. Pemasakan daging dapat mempercepat

terjadinya oksidasi, karena dengan pemanasan molekul-molekul heme menjadi

rusak, tetapi sebaliknya meningkatkan besi nonheme.

Pigmen heme akan berperan efektif sebagai katalis dalam oksidasi

bilamana terdapat hidrogen peroksida, terutama jika hidrogen peroksida

dikombinasikan dengan metmioglobin teraktivasi, yang dikenal sebagai kation

radikal porpirin. Metmioglobin teraktivasi umumnya berfungsi sebagai katalis

oksidasi lipid pada daging mentah.

Katalis lain yang juga berpengaruh dalam proses oksidasi lipid daging

adalah ferritin, yaitu besi terlarut yang terkandung dalam protein yang tersimpan

dalam hati, limpa, dan otot rangka. Kandungan ion besi dalam ferritin

Page 27: BAB II_2007syr-3.pdf

31

yaitu 4500 ion per molekul protein. Ferritin membebaskan besi sebagai Fe2+

dengan tersedianya agen-agen pereduksi seperti askorbat, anion superoksida,

dan tiol.

Fungsi ferritin sebagai katalis dalam oksidasi lipid sangat efektif pada

daging yang dimasak. Pemanasan merusak molekul-molekul ferritin dan

membebaskan besi yang kemudian mengkatalisis oksidasi lipid diikuti dengan

pembentukan off-odor. Ion-ion fero (Fe2+) bekerja memutuskan ikatan O – O dan

membentuk radikal alkoksi yang sangat reaktif untuk reaksi propagasi;

sedangkan ion feri (Fe3+) membentuk radikal peroksil (LOO.) dan radikal alkoksi,

(LO.) sebagaimana diperlihatkan dalam persamaan berikut:

LOOH + Fe2+ LO• + OHֿ + Fe3+

LOOH + Fe3+ LOO• + H+ + Fe2+

Ketersediaan Fe2+ dapat pula dihasilkan melalui proses katalisasi

pentransferan satu elektron dari NADPH ke Fe3+ dengan bantuan enzim NADPH-

sitokrom P-450 reduktase. Reaksi ion-ion Fe2+ dengan oksigen menghasilkan

senyawa-senyawa radikal yang dapat mengambil hidrogen dari asam-asam

lemak tidak jenuh jamak untuk memulai oksidasi.

Flavor dan Off-flavor Daging Itik Secara umum telah diterima bahwa asal mula itik domestik saat ini

berasal dari mallard berkepala hijau yaitu Anas platyrhynchos platyrhynchos.

Hampir di sebagian besar dunia sudah memanfaatkan fungsi ternak itik,

khususnya dalam fungsi sebagai penyedia daging dan telur. Hanya saja sampai

sekarang di beberapa daerah, misalnya di Indonesia, peran itik yang lebih

menonjol adalah sebagai ternak penghasil telur dan dalam mengusahakannya

masih pada skala kecil. Hal ini juga terkait dengan masih terbatasnya konsumen

daging itik. Namun di sebagian negara, sebagai contoh di Thailand, untuk

memenuhi permintaan daging itik yang tinggi, saat ini sudah dihasilkan itik

broiler yang diusahakan pada skala komersil (Bird 1995; Hardjosworo dan

Rukmiasih 2000).

Daging itik umumnya mempunyai warna lebih gelap atau yang dikenal

sebagai daging merah (red meat) dibandingkan daging ayam. Sekalipun

Page 28: BAB II_2007syr-3.pdf

32

demikian, komposisi nutrisi daging itik, khususnya protein, tidak berbeda dengan

protein yang terkandung pada daging ayam (21.4% vs 20.8%). Hanya saja,

untuk kadar lemak, daging itik memiliki kandungan lemak dua kali lebih tinggi

daripada daging ayam (8.2% vs 4.8%); tetapi kandungan tersebut masih jauh

lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan lemak pada daging sapi

(17%), domba (22.4%) ataupun babi (32%) (Srigandono 1997).

Kandungan lemak yang relatif tinggi pada daging itik bilamana

dibandingkan dengan yang terdapat pada daging ayam, merupakan salah satu

kendala kurang tertariknya konsumen pada daging itik. Selain itu, banyak

konsumen tidak menyukai daging itik karena ada kesan bahwa daging tersebut

mempunyai flavor amis atau anyir. Sehingga seringkali ternak itik sebelum diolah

dianjurkan untuk dipanggang atau dengan membuang kelenjar ekornya (tunggir,

eropygium) (Samosir 1993; Srigandono 1997).

Lemak pada ternak itik ini merupakan prekursor utama dalam

pembentukan flavor maupun off-flavor pada daging itik. Hal ini diperlihatkan oleh

Wu dan Liou (1992) yang dari penelitiannya menyimpulkan bahwa senyawa-

senyawa volatil yang terbentuk pada daging itik sebagian besar adalah hasil

degradasi asam-asam lemak. Komponen-komponen volatil tersebut terdiri atas

aldehid, alkohol, keton, hidrokarbon, ester, dan furan. Hasil penelitian seperti ini

didapatkan juga oleh Hustiany (2001) yang melaporkan bahwa kelompok-

kelompok volatil dari daging bagian paha dan dada itik terdiri atas aldehid,

alkohol, keton, asam karboksilat dan hidrokarbon. Menurut Wu dan Liou (1992),

satu-satunya volatil bernitrogen yang teridentifikasi pada daging dan jaringan

lemak itik adalah indol, yang juga sekaligus berperan dalam memberi aroma

spesifik pada daging itik, karena menghasilkan odor yang sangat tajam. Secara

kualitatif, senyawa indol pada itik lebih tinggi pada bagian daging (0.73%)

dibandingkan dengan pada jaringan lemaknya (0.37%); akan tetapi secara

kuantitatif terjadi sebaliknya, jaringan lemak mengandung senyawa indol lebih

tinggi daripada dagingnya (2.28 vs 1.72 ppb).

Kandungan lemak yang tinggi, terutama asam-asam lemak tidak jenuh,

sangat memberi kecenderungan pada daging itik untuk menghasilkan off-odor.

Hustiany (2001) melaporkan bahwa pada daging itik, total asam lemak tidak

jenuh lebih tinggi daripada total asam lemak jenuhnya. Pada daging bagian

dada dan paha ternak itik-jawa betina afkir berkulit, total asam lemak tidak jenuh

adalah 5058.8 mg dan 4830.9 mg, sedangkan asam lemak jenuhnya

Page 29: BAB II_2007syr-3.pdf

33

adalah 2695.8 mg dan 2491.3 mg asam lemak per 100 gram daging segar,

secara berturut-turut.

Komponen-komponen off-odor pada daging itik yang berhasil diidentifikasi

oleh Hustiany (2001) terdapat sebanyak 9 komponen, yaitu (E)-4-penten-2-ol,

1-pentanol, heksanal, (E)-1-okten-3-ol, nonanal, (E)-2-okten-1-ol, (E)-2-dekenal,

(E)-2-nonen-1-ol, dan trans-2-undekanal. Meskipun demikian, menurut Hustiany

(2001), masih terdapat pula dua komponen penghasil off-odor dengan nilai LRI

1104 dan 1123, yang tidak terdeteksi oleh GC-MS. Kualitas off-odor yang

dihasilkan oleh senyawa-senyawa tersebut diidentifikasi sebagai bau green,

grassy, langu (beany), apek (musty), amis (fishy), pesing (urine-like, ammonia,

ubi jalar (sweet potatoe), dan unpleasant.

Pengurangan dan Pencegahan Off-odor Daging Pengaruh flavor terhadap penerimaan daging oleh konsumen sangat

memegang peran penting. Keputusan konsumen untuk memilih jenis daging

atau bagian potongannya sangat dipengaruhi oleh flavor dari daging tersebut,

terlepas dari faktor-faktor lain seperti budaya dan ekonomi. Berdasarkan aturan

atau norma-norma yang berlaku secara religi ataupun adat-istiadat, konsumen

dibatasi untuk tidak mengkonsumsi daging-daging tertentu. Demikian pula

dengan pertimbangan ekonomis, konsumen terpaksa harus memilih daging yang

lebih terjangkau harganya.

Adanya bau yang tidak disukai atau yang tidak diharapkan atau yang

disebut dengan off-odor pada daging akan menjadi dasar bagi konsumen untuk

tidak menerima atau mengonsumsi daging tersebut, sehingga hal ini menjadi

penting bagi peternak atau produsen daging untuk menyediakan daging dengan

flavor yang lebih dapat diterima. Masalah off-odor pada daging sesungguhnya

sudah sejak lama menjadi perhatian produsen daging maupun para ahli pangan.

Sampai sekarang masalah tersebut terus dikembangkan dalam upaya

menemukan metode-metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengatasinya.

Langkah awal dalam usaha mencegah atau mengatasi off-odor pada

daging yaitu dengan mengembangkan terlebih dahulu pemahaman terhadap

mekanisme pembentukan off-odor secara terintegrasi. Strategi seperti ini akan

sangat membantu didalam penyusunan program yang tepat untuk mengatasi

masalah off-odor tersebut. Pendekatan terintegrasi perlu dilakukan dengan

memperhatikan asal-usul pembentukan off-odor yang sangat bervariasi.

Page 30: BAB II_2007syr-3.pdf

34

Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab off-odor pada bahan pangan dan

secara khusus pada daging yaitu: terkontaminasi dengan lingkungan (off-taint),

proses pengolahan, genetika, pakan, oksidasi lipid, reaksi-reaksi enzimatis dan

nonenzimatis, dan mikroorganisme (Reineccius 1979; Heath dan Reineccius

1986).

Beberapa bentuk pendekatan yang digunakan untuk pencegahan dan

pengatasian off-odor yaitu pendekatan teknis, biologis, dan kimia. Pemilihan

terhadap bentuk pendekatan haruslah berdasar pada penyebab masalah off-

odor. Penyebab off-odor yang diakibatkan karena terkontaminasinya daging

dengan lingkungan, jenis pakan, proses dan metode pengolahan, dan

mikroorganisme, cenderung diatasi dengan pendekatan teknis, seperti perbaikan

managemen pemeliharaan, perkandangan, teknologi pengolahan, dan deregulasi

sistem sanitasi. Apabila off-odor terjadi karena faktor-faktor genetis, pendekatan

biologis dapat digunakan. Sebagai contoh, dengan sistem seleksi dan program

pemuliabiakan dapat dikembangkan ternak-ternak yang memiliki potensi

penghasil daging dengan kualitas terbaik.

Demikian pula, apabila penyebab off-odor terjadi karena mekanisme

reaksi kimia dalam tubuh, pendekatan yang dapat digunakan yaitu berupa suatu

pendekatan kimia. Off-flavor atau off-odor yang terbentuk akibat perubahan-

perubahan kimia karena berlangsungnya proses oksidasi lipid dalam daging,

pendekatan yang digunakan haruslah berupa pendekatan yang dapat memberi

pencegahan atau penundaan terhadap terjadinya proses tersebut.

Pertimbangan utama untuk menetapkan program pendekatan yang tepat

dalam mengatasi off-odor pada daging yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor

penyebabnya yang dominan. Pada daging sebagian besar senyawa, baik odor

maupun off-odor, terbentuk melalui proses degradasi lipid. Oleh karena itu,

penelitian-penelitian yang terus dikembangkan sampai saat ini lebih berfokus

pada hal-hal yang berkaitan dengan degradasi lipid.

Proses pembentukan off-odor daging melalui degradasi lipid yang penting

yaitu proses oksidasi. Menurut Reineccius (1979) reaksi oksidasi yang

menyebabkan terbentuknya off-odor pada daging meliputi oksidasi ketengikan

dan oksidasi warmed-over flavor (WOF). Dengan demikian, upaya yang perlu

dilakukan untuk mengatasi masalah off-odor haruslah berupa sesuatu yang

dapat menghambat keberlangsungan proses-proses yang terkait dengan

terjadinya oksidasi lipid dalam daging.

Page 31: BAB II_2007syr-3.pdf

35

Proses-proses oksidatif dan akumulasi produk-produk oksidasi lipid sudah

mulai terjadi pada ternak yang masih hidup dan terus berlangsung saat ternak

dipotong dan bahkan saat sistem-sistem homeostatik tubuh telah berhenti

berfungsi. Laju proses oksidasi bergantung pada keaksesan terhadap oksigen,

kandungan prooksidan dan antioksidan dalam tubuh, dan kondisi-kondisi

pengolahan serta penyimpanan daging.

Potensi terjadinya oksidasi lipid pada daging bervariasi diantara spesies

ternak. Perbedaan ini bergantung pada sejumlah faktor baik yang dapat dikontrol

maupun tidak, yaitu seperti struktur jaringan daging, kandungan lemak,

komposisi asam-asam lemak, pakan ternak, kandungan prooksidan dan

antioksidan dalam otot, serta kondisi pada saat pemotongan, pelayuan karkas,

dan penyimpanan (Skibsted et al. 1998).

Oleh karena itu, untuk mengatasi secara optimal masalah oksidasi lipid

pada daging, pemahaman terhadap saat mana terjadinya proses tersebut

sangatlah diperlukan. Gambar 7 memperlihatkan peluang terjadinya proses

oksidasi lipid dalam suatu rantai produksi daging. Bagian dari rantai produksi

dimana potensi terjadinya oksidasi lipid disebut dengan titik kontrol kritis.

Dengan merujuk pada titik kontrol sebagaimana diidentifikasi pada

Gambar 7, akan sangat membantu dalam pelaksanaan upaya pengatasian

masalah oksidasi lipid secara terarah dan sistematis. Titik kontrol dalam rantai

produksi daging dimana terdapat kemungkinan terjadinya oksidasi lipid yaitu: (1)

pemberian pakan, (2) penanganan terhadap daging segar dan beku, (3) proses

pengolahan daging, dan (4) proses pengepakan dan penyimpanan. Titik−titik

kontrol tersebut dapat menjadi acuan dan pemilihan terhadap program

pengendalian oksidasi lipid sekaligus untuk mengatasi persoalan off−flavor pada

daging.

Pembahasan dalam bahan diskusi ini meskipun hanya difokuskan pada

penghambatan oksidasi melalui tahapan pemberian pakan, beberapa contoh dari

tahapan yang lain disajikan pula. Pembatasan ini didasarkan bahwa

penggunaan bahan−bahan antioksidan lebih efektif dengan cara pemberian

melalui makanan (proses in vivo) dibandingkan dengan ketiga tahapan lainnya

(Skibsted et al. 1998).

Page 32: BAB II_2007syr-3.pdf

36

Rantai Produksi Titik Kontrol Kritis

Gambar 7 Titik kontrol kritis sepanjang rantai produksi dari ternak sampai menjadi makanan (Skibsted et al. 1998).

Antioksidan

Sampai saat ini, antioksidan merupakan satu-satunya bahan yang diakui

sangat efektif dalam mengendalikan oksidasi lipid pada daging. Tanpa

pengontrolan terhadap oksidasi lipid menyebabkan kualitas daging, terutama

kualitas organoleptik seperti flavor dan warna daging menurun (Berges 1999).

Bahan pakan yang banyak digunakan dalam bentuk suplemen yang sekaligus

berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin E (tokoferol). Berbagai penelitian

penggunaan vitamin E pada beberapa jenis ternak seperti ayam, kalkun, babi,

sapi, dan ikan, memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh signifikan dari vitamin

Pengolahan: Pemanasan Pemotongan/pengirisan Perlakuan tekanan Penambahan antioksidan dan bahan pengawet

Pengepakan dan Penyimpanan:

Cahaya Ketersediaan oksigen Temperatur Pertumbuhan mikroba

Perlakuan Pakan: Antioksidan (tokoferol, asam askorbat, karotenoid, dan polifenol) Prooksidan (Fe dan Cu)

Proses Pemotongan: Metode Pemisahan Tulang Laju Pelayuan/pendinginan

Daging Mentah

Ternak

Produk daging

Pangan/makanan

Page 33: BAB II_2007syr-3.pdf

37

E terhadap penurunan oksidasi lipid di dalam daging dan jaringan adiposa

ternak−ternak tersebut (Skibsted et al. 1998).

Secara garis besar Kochhar dan Rossell (1990) mengklasifikasi

antioksidan ke dalam lima jenis, yaitu:

1. Antioksidan primer: termasuk dalam kelompok ini adalah senyawa−senyawa

fenolik yang berfungsi memutuskan rantai radikal bebas dalam oksidasi lipid.

Senyawa−senyawa dalam kelompok ini yaitu seperti tokoferol (alami dan

sintetis), butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT),

tertiary butyl hydroquinone (TBHQ), dll.

2. Penangkap oksigen (Oxygen Scavenger): Contohnya adalah vitamin C,

askorbil palmitat. Senyawa−senyawa dalam kelompok ini bereaksi dengan

oksigen dan menempatkannya di dalam sistem tertutup. Kelompok antioksidan

ini disebut juga sebagai antioksidan sinergistik (Rajalakshmi dan Narasimhan

1995).

3. Antioksidan sekunder: Kelompok ini berfungsi mendekomposisi hidrofenolik

lipid sehingga menghasilkan produk akhir yang lebih stabil. Contoh: asam dilauril

tiopropionat, dan asam tiodipropionat.

4. Antioksidan enzim: Senyawa dalam kelompok ini berfungsi menghilangkan

oksigen−oksigen dengan menggunakan enzim misalnya enzim glukosa oksidase

dan enzim superoksida dismutase. Beberapa enzim yang tergolong dalam

kelompok ini yaitu: enzim katalase, enzim glutation peroksidase, dll.

5. Pengikat logam (chelating agent) atau sekuestran: Fungsi dari kelompok ini

yaitu mengikat ion−ion logam seperti tembaga dan besi yang merupakan ion−ion

logam katalis dalam oksidasi lipid. Contoh senyawa dalam kelompok ini yaitu

asam sitrat, asam−asam amino, asam etilen diaminotetra asetat (EDTA), dll.

Berdasarkan pada sumber dari mana diperoleh, antioksidan dibedakan

dalam dua kelompok besar, yaitu antioksidan sintetis (konvensional) dan

antioksidan alami. Penggunaan antioksidan alami lebih populer daripada yang

sintetis. Pertimbangan terhadap kesehatan, penggunaan antioksidan terutama

yang sintetis sangat dibatasi. Beberapa jenis antioksidan sintetis yang tersedia

secara komersil dan aman digunakan yaitu BHT, BHA, TBHQ, dan

DL−α−tokoferol.

Antioksidan alami berasal dari berbagai sumber seperti dari

sayur−sayuran, buah−buahan, minyak biji−bijian, rempah−rempah,

Page 34: BAB II_2007syr-3.pdf

38

tanaman−tanaman herba, hidrolisat protein, dan juga hasil−hasil reaksi

nonenzimatik browning. Senyawa−senyawa seperti vitamin E, vitamin C, dan

minyak nabati yang kaya beta−karoten merupakan antioksidan alami yang sudah

sangat umum digunakan dan luas aplikasinya.

Senyawa−senyawa antioksidan mengurangi oksidasi lemak dengan

mengoksidasikan dirinya atau dengan mendonasikan hidrogen kepada

radikal−radikal bebas asam−asam lemak agar mempercepat reaksi berantai

radikal bebas langsung berada pada tahapan terminal. Dengan kata lain,

antioksidan menghentikan proses berantai dari reaksi radikal bebas

(Bernardo−Gil 1997).

Mekanisme Kerja Antioksidan Aktivitas antioksidan dalam fungsinya menghambat reaksi oksidasi

sangatlah relevan dengan proses−proses yang berlangsung dalam oksidasi itu

sendiri. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa proses oksidasi

berlangsung sebagai suatu reaksi yang berawal dari reaksi inisiasi atau reaksi

pembentukan radikal; kemudian berlanjut ke tahapan propagasi atau

pengubahan suatu radikal menjadi radikal lain; dan tahap terakhir atau terminasi,

yaitu dimana kombinasi dua radikal membentuk produk yang lebih stabil.

Antioksidan primer bekerja dengan mengubah radikal−radikal lipid

menjadi produk yang lebih stabil. Proses ini dapat dilakukan dimana antioksidan

berfungsi sebagai donor atom hidrogen kepada radikal lipid dengan mengikuti

persamaan reaksi sebagai berikut:

RO• + AH ROH + A•

Radikal fenoksil (A•) yang terbentuk lebih stabil sehingga dapat

mengurangi laju propagasi dari rangkaian reaksi otoksidasi (Gordon 1990).

Kelompok antioksidan yang bekerja sebagai penangkap oksigen juga

dapat diandalkan dalam penghambatan oksidasi lipid. Senyawa β−karoten

merupakan salah satu contoh penting dalam kelompok ini.

Berbeda dengan antioksidan primer, antioksidan sekunder bekerja secara

tidak langsung terhadap aktivitas radikal dalam menghambat oksidasi.

Antioksidan sekunder bekerja dengan memproses senyawa−senyawa tertentu

agar tidak berpotensi membentuk suatu radikal. Proses ini dapat berlangsung

dalam beberapa mekanisme, misalnya antara lain pengikatan ion−ion logam

Page 35: BAB II_2007syr-3.pdf

39

yang berfungsi sebagai pengaktif enzim yang dapat mengkatalis suatu reaksi

penghasil radikal, atau dengan mendekomposisi hidroperoksida menjadi

senyawa yang bersifat nonradikal. Contoh bahan yang bekerja sebagai

antioksidan sekunder yaitu vitamin C, EDTA dan asam sitrat. Aktivitas

antioksidan sekunder akan bertambah efektif bilamana disertai dengan adanya

antioksidan primer. Hal ini dibuktikan bahwa aktivitas vitamin C sebagai agen

pereduksi dapat semakin efektif bilamana terdapat bersama vitamin E (Gordon

1990).

Senyawa−senyawa pengikat logam yang membentuk suatu ikatan−σ

dengan suatu logam merupakan antioksidan sekunder yang efektif, sebab dapat

menurunkan potensial redoks. Oleh karena itu, bentuk−bentuk teroksidasi dari

ion−ion logam dapat distabilkan. Sebab sebaliknya bilamana chelating agent

membentuk suatu π−kompleks, justru akan meningkatkan potensial redoks, dan

karenanya akan mempunyai efek sebagai prooksidan.

Enzim superoksida dismutase dan enzim katalase juga memainkan

peranan penting dalam menghambat proses oksidasi lipid. Radikal superoksida

(O2•−) yang diproduksi oleh enzim xantin oksidase dan hidrogen peroksida dapat

dihilangkan oleh enzim superoksida dismutase seperti terlihat pada persamaan

berikut:

Superoksida dismutase

2 O2•− + 2 H+ H2O2 + 3O2

Hampir serupa dengan enzim superoksida dismutase, enzim katalase

berfungsi mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen, sebagaimana

dalam persamaan berikut:

katalase

2H2O2 2H2O + 3O2

Aplikasi Antioksidan dalam Upaya Menghambat Oksidasi Lipid Penelitian yang dilakukan oleh Webb et al. (1972) yang mempelajari

pengaruh suplementasi vitamin E pada kalkun memperlihatkan bahwa pemberian

vitamin E sebanyak 10 IU atau 100 IU, baik dengan penambahan langsung ke

dalam pakan maupun diinjeksi, menurunkan proses oksidasi lipid yang

Page 36: BAB II_2007syr-3.pdf

40

ditunjukkan dengan menurunnya nilai asam tioabarbiturat (TBA) secara

signifikan. Hasil penelitian itu juga memperlihatkan bahwa dosis pemberian

vitamin E menurunkan secara nyata off-odor daging kalkun. Dilaporkan pula

bahwa kadar off-odor dipengaruhi oleh bagian potongan daging dan jenis

kelamin ternak. Potongan daging pada bagian paha memiliki nilai off-odor lebih

tinggi daripada bagian dada; demikian pula kalkun betina mempunyai derajat off-

odor yang lebih tinggi daripada kalkun jantan (Tabel 2).

Pencegahan oksidasi lipid di dalam daging ayam dengan pemberian

vitamin E juga diperlihatkan oleh Sheehy et al. (1993) yang mengkombinasikan

vitamin E dengan minyak nabati yang dipanaskan dan menyimpulkan bahwa

kadar α−tokoferol dalam plasma berkorelasi dengan kadar α−tokoferol di dalam

otot paha dan dada ayam. Demikian pula Whang et al. (1986) melaporkan

bahwa pemberian α−tokoferol memperlambat laju oksidasi pada daging babi

yang setelah dimasak disimpan pada suhu 4oC atau −20oC. Pemberian

α−tokoferol sampai level 200 ppm, mampu memperpanjang daya simpannya

sampai 60 hari.

Tabel 2 Nilai tengah flavor, off−flavor dan off−odor berdasar perlakuan

Perlakuan pemberian vitamin E

Parameter

Sex

Kontrol Oral Injeksi

10 IU 100 IU 10 IU 100 IU

Flavor F 4.79a 5.01ab 5.50c 5.16bc 5.21bc

M 4.90a 4.89a 4.90a 5.22a 4.88a

Off−flavor F 2.89a 2.66ab 2.13ab 2.41bc 2.04c

M 2.26a 2.06a 2.11a 1.67b 2.26a

Off−odor F 2.00a 2.05a 1.69b 1.74b 1.76b

M 1.71a 1.50a 1.43a 1.40a 1.46a

a nilai yang tidak diikuti dengan huruf yang sama menyatakan adanya perbedaan sangat nyata pada p < 0.01 ( Webb et al. 1972).

Penurunan senyawa-senyawa volatil off-odor pada daging ayam juga

diperlihatkan oleh De Winne dan Dirinck (1996) dengan pemberian vitamin E

Page 37: BAB II_2007syr-3.pdf

41

(Tabel 3). Konsentrasi senyawa−senyawa aldehid tak jenuh pada ayam seperti

2-heptenal, 2-oktenal, 2-nonenal, 2-dekenal, dan 2-undekenal, jauh lebih kecil

pada ayam−ayam yang diberi vitamin E dibandingkan kontrol. Hasil ini juga

sangat relevan pada pengujian off-flavor, sebab pada daging yang

disuplementasi vitamin E flavornya lebih baik daripada kontrol.

Pengaruh suplementasi vitamin E terhadap pengendalian ketengikan

pada daging unggas diperlihatkan dalam penelitian Marusich et al. (1975) yang

melaporkan bahwa pemberian vitamin E pada level 40 IU/kg selama 8 minggu

atau 160 IU/kg selama 5 hari sangat efektif dalam menunda terjadinya

ketengikan pada ternak ayam. Sedangkan pada kalkun pemberian suplementasi

vitamin E pada level 200 IU/kg selama 4 minggu atau 400 IU/kg selama 3 minggu

memberi hasil yang sangat baik dalam menghambat proses ketengikan. Melalui

penelitian ini Marusich et al. (1975) menyimpulkan bahwa baik tokoferol bebas

dan asetat ester-nya sangat efektif dan serupa sebagai pakan sumber

antioksidan yang berfungsi dalam menunda pembentukan malonaldehid selama

penyimpanan pada suhu 1oC.

Kadar pembentukan malonaldehid diukur berdasarkan nilai TBA yang

sangat berkorelasi dengan derajat off-flavor dan off-odor. Hasil penelitian

Marusich et al. (1975) menunjukkan pula bahwa meningkatnya kandungan

malonaldehid atau TBA akan sejalan dengan meningkatnya oksidasi lipid

jaringan.

Upaya penghambatan ketengikan pada daging dengan antioksidan juga

dilakukan oleh Younathan et al. (1980) dengan mengaplikasikan beberapa bahan

sayuran seperti jus bawang, kentang, dan ubijalar sebagai sumber antioksidan

untuk daging kalkun dan sapi. Hasil penelitian yang dilakukan memperlihatkan

bahwa penggunaan bahan-bahan sayuran yang banyak mengandung pigmen

flavonoid itu cukup efektif dalam mengontrol laju ketengikan dari daging kalkun

dan sapi yang disimpan dalam beberapa waktu, yang diukur dengan nilai TBA.

Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara nilai TBA

daging dan kualitas organoleptiknya. Adanya korelasi antara nilai organoleptik

dan TBA pada daging juga diamati dalam penelitian yang dilakukan pada ayam

broiler (Bou et al. 2001) dan pada sapi (Scollan et al. 2005).

Page 38: BAB II_2007syr-3.pdf

42

Tabel 3 Nilai tengah konsentrasi senyawa−senyawa aldehid jenuh dan tak jenuh pada paha dan dada ayam1)

Paha Dada

Senyawa volatil Kontrol Vitamin E Kontrol Vitamin E

Aldehid jenuh Pentanal 0.145 0.032 0.069 < 0.010

Heksanal 0.959 0.176 0.376 0.102

Heptanal 0.174 0.035 0.092 0.051

Oktanal 0.198 0.043 0.108 0.042

Nonanal 0.431 0.091 0.216 0.067

Aldehid tak jenuh

2−heptenal 0.151 0.034 0.069 < 0.010

2−oktenal 0.305 0.038 0.113 < 0.010

2−nonenal 0.115 0.023 0.076 < 0.010

2−dekenal 0.214 0.030 0.146 < 0.010

cis,trans−2,4−dekadienal 0.111 < 0.010 0.057 < 0.010

trans,trans−2,4−dekadienal 0.525 0.037 0.141 < 0.010

2−undekenal 0.154 0.024 0.125 < 0.010

Sumber: 1) De Winne dan Dirinck (1996)

Menurut O’Neill et al. (1998) peningkatan komposisi lemak jenuh pada

ayam tidak mempengaruhi mutu daging dengan adanya suplementasi vitamin E.

Dalam penelitian ini juga diperlihatkan bahwa pembentukan WOF dapat

berkurang dengan pemberian vitamin E. Ruiz et al. (2001) melaporkan pula

bahwa pemberian ransum yang kaya vitamin E dapat meniadakan pengaruh

suplementasi lemak terhadap kualitas daging ayam. Demikian pula Chan et al.

(1995) melaporkan bahwa suplementasi vitamin E dapat mempertahankan dan

memperbaiki kualitas produk daging, sebab ditemukan bahwa steak sapi dari

ternak yang disuplementasi vitamin E lebih disukai oleh konsumen.

Penelitian pada daging sapi oleh Arnold et al. (1993) memperlihatkan

bahwa tidak terdapat perbedaan dalam intensitas off-flavor pada daging yang

disimpan pada suhu −20oC antara yang tanpa diberi vitamin E dengan masa

simpan dua hari dengan yang diberi vitamin E 500 IU/hari untuk masa

penyimpanan lima hari.

Page 39: BAB II_2007syr-3.pdf

43

OR3

HO

R2

R1

Fungsi dan Mekanisme Kerja Vitamin E Secara garis besar vitamin E dikelompokkan ke dalam dua kelas, yaitu

tokol dan tokotrienol (trienol). Kelompok tokol mempunyai rantai samping jenuh;

sedangkan kelompok tokotrienol mempunyai rantai samping tidak jenuh.

Senyawa-senyawa dalam kelompok tokol, terutama α-tokoferol, lebih dikenal

dibandingkan dengan yang dalam kelompok trienol. Aktivitas α-tokoferol paling

besar diantara anggota tokol yang lain, yakni β, γ, dan δ -tokoferol. Penamaan

jenis tokoferol didasarkan atas jumlah dan posisi dari gugus metilnya,

sebagaimana pada Gambar 8.

Penyerapan vitamin E sebagai alkohol bebas terjadi terutama di jejunum

melalui difusi pasif. Tokoferol yang terabsorpsi digabungkan ke dalam kilomikron

yang terdapat di dalam enterosit (mukosa), dan dibawa melalui limfa (cairan

getah bening) ke dalam sirkulasi sistem limfatik. Selanjutnya tokoferol akan

didistribusi ke dalam jaringan tubuh dengan transpor LDL; di sini tokoferol

sekaligus berfungsi melindungi LDL dari oksidasi. Di dalam sitoplasma, vitamin

E terikat pada “tochopherol-binding protein”, sebagai alat transpornya. Selain

terdapat dalam plasma, vitamin E banyak dijumpai dalam mitokondria. Organ

dimana vitamin E banyak tersimpan yaitu di jaringan adiposa. Konsentrasi

vitamin E di jaringan ini meningkat linier sejalan dengan peningkatan level

vitamin E dalam pakan (Surai 2003).

Gambar 8 Struktur bangun tokoferol.

Keterangan:

Senyawa R1 R2 R3 α-tokoferol CH3 CH3 CH3 β-tokoferol CH3 H CH3 γ-tokoferol H CH3 CH3 δ-tokoferol H H CH3

Page 40: BAB II_2007syr-3.pdf

44

Perbedaan afinitas tokoferol terhadap membran sel pada berbagai organ

dan jaringan menghasilkan konsentrasi tokoferol yang berbeda pada lokasi yang

berbeda. Dua faktor penting yang menentukan konsentrasi tokoferol dalam

jaringan yaitu lama periode pemberian dan jumlahnya yang ditambahkan ke

dalam makanan. Hasil penelitian yang diacu oleh Berges (1999) melaporkan

bahwa dengan mengsuplementasikan 200 mg α-tokoferol asetat/kg pakan broiler

dalam periode yang berbeda (1, 2, 3, 4, dan 5 minggu sebelum pemotongan)

diperoleh bahwa konsentasi α-tokoferol berbeda-beda di antara jaringan.

Konsentrasi paling tinggi terdapat di dalam jantung dan terendah di dalam otak.

Konsentrasi sedang dijumpai pada paru-paru, hati, paha, dan dada. Pada

jantung, konsentrasi tertinggi dicapai pada suplementasi tiga minggu sebelum

pemotongan, sedangkan pada paha dan dada, konsentrasi tertinggi baru dapat

dicapai pada peride empat minggu sebelum pemotongan. Sheldon (1984)

mengemukakan bahwa daging paha kalkun dapat mengandung α-tokoferol

sampai enam kali lebih tinggi daripada yang terdapat pada bagian dada atau

lemaknya. Kenyataan ini dijelaskan dengan berasumsi bahwa adanya

vaskularitas yang lebih besar pada kaki kalkun dibandingkan dengan bagian

tubuh yang lain.

Berdasarkan pada bangsa ternak, Berges (1999) menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan di antara ayam dan kalkun dalam mendeposisikan vitamin E.

Kalkun kurang efisien dalam mendeposisikan α-tokoferol, baik pada lemak

ataupun pada ototnya. Rendahnya vitamin E dalam kalkun disebabkan oleh

tingginya metabolisme α-tokoferol pada ternak ini dibandingkan dengan ayam.

Oleh karena itu Sheldon (1984) menyatakan bahwa daging kalkun sangat rentan

terhadap oksidasi. Sehingga kepada ternak ini pemberian vitamin E perlu

disediakan dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang

diberikan kepada ternak ayam.

Fosfolipid pada membran sel lebih banyak mengandung asam-asam

lemak tak jenuh; sehingga adanya vitamin E sangat berguna untuk melindungi

membran dari kerusakan akibat oksidasi. Membran sel sangat sensitif terhadap

oksidasi, terutama bila bereaksi dengan radikal yang terdapat di dalam tubuh,

khususnya radikal hidroksi (OH•). Mekanisme oksidasi lipid membran dapat

dijelaskan berikut ini:

Page 41: BAB II_2007syr-3.pdf

45

1) Pada tahapan inisiasi senyawa lipid organik (LH) bereaksi dengan radikal

hidroksi (OH.) bebas, yang menghasilkan terbentuknya suatu radikal lipid

dan air, dengan persamaan:

LH + OH• L• + H2O

2) Atau suatu kemungkinan lain, senyawa lipid (LH) bereaksi dengan

oksigen dan menghasilkan radikal lipid dan radikal hidroperoksi (HO2.).

LH + O2 L• + HO2•

Sekali radikal lipid terbentuk, mereka dapat bereaksi membentuk radikal-

radikal tambahan dalam reaksi atau tahapan propagasi.

3) Radikal lipid bereaksi dengan oksigen dalam reaksi propagasi

membentuk radikal peroksil (LOO.)

L• + O2 LOO•

4) Radikal peroksil lipid dapat pula dihasilkan dari reaksi antara Fe3+ dengan

hidroperoksida lipid (LOOH).

Fe3+ + LOOH Fe2+ + LOO•

Radikal peroksil yang terbentuk dapat menarik satu atom hidrogen dari

senyawa organik lain termasuk dari lemak jenuh di dalam membran untuk

menghasilkan suatu reaksi berantai dengan radikal lipid (L•).

LOO• + LH L• + LOOH

Reaksi berantai yang melibatkan radikal lipid (L•) harus dihentikan untuk

mencegah kerusakan sel. Peranan vitamin E diperlukan dalam proses ini.

Vitamin E yang terdapat di dalam membran berperan untuk memutus rantai

radikal dengan bereaksi dengan radikal peroksil (LOO•) dan mencegah

penarikan hidrogen dari asam-asam lemak atau senyawa organik lainnya.

Dengan demikian dalam hal ini vitamin E berperan menghentikan reaksi pada

rantai propagasi. Namun vitamin E belum efektif dalam menghentikan produksi

radikal hidroksi (OH•) atau radikal alkoksi (LO•). Reaksi vitamin E (EH, status

tereduksi) dengan radikal peroksi lipid atau nonlipid sebagai berikut:

LOO• + EH LOOH + E•

atau

ROO• + EH ROOH + E•

Page 42: BAB II_2007syr-3.pdf

46

E• adalah vitamin E yang tereduksi. Pereduksian ini memerlukan adanya

vitamin C, glutation (GSH), dan NADPH. Proses yang sedemikian tadi seringkali

disebut sebagai “free-radical scavenging”. Terminasi dicapai ketika dua radikal

bebas bergabung membentuk suatu molekul yang bukan lagi sebagai radikal

bebas atau yang tidak dapat lagi melanjutkan reaksi (Groff dan Gropper 2000).

Gambar 9 memperlihatkan reaksi berantai pada tahapan inisiasi yang

disebabkan oleh radikal bebas hidroksi menyerang suatu asam lemak tak jenuh.

Radikal hidroksi air

OH• H2O

CH3CH = CHCH2(CH2)nCOOH CH3CH = CHĊH(CH2)nCOOH

Asam lemak tak jenuh radikal lipid O2 (LH) (L•)

Reaksi rantai berlanjut LH O — OH• O — O │ │ CH3CH = CHCH(CH2)nCOOH CH3CH = CHCH(CH2)nCOOH Hidroperoksida lipid Radikal peroksil lipid (LOOH) (LOO•) L•

Gambar 9 Reaksi inisiasi dan berantai yang disebabkan oleh radikal bebas hidroksi menyerang asam lemak tak jenuh (Groff dan Gropper 2000).

Metabolisme Vitamin E Penyerapan tokoferol terjadi pada sistem limfatik dimana tokoferol dibawa

sebagai suatu kompleks lipoprotein. Efisiensi penyerapan tokoferol dipengaruhi

oleh pencernaan dan penyerapan lipid. Senyawa-senyawa trigliserida umumnya

meningkatkan penyerapan tokoferol; sebaliknya asam lemak tak jenuh

menghambatnya (Machlin 1990).

Page 43: BAB II_2007syr-3.pdf

47

Pada ternak, vitamin E lebih siap diserap dalam bentuk emulsi cairan

daripada yang dalam bentuk larutan minyak; karena itu pada ternak biasanya

vitamin E diberikan dalam bentuk tokoferol asetat yang lebih mudah dihidrolisis

dengan enzim esterase yang terdapat pada mukosa duodenum.

Sirkulasi vitamin E berlangsung melalui limfa dan darah yang tergabung

dalam lipoprotein. Perletakan tokoferol oleh jaringan bervariasi sejalan dengan

pengambilan tokoferol. Konsentrasi vitamin E banyak terdapat pada kelenjar

adrenal, pituitari, dan testis; dengan konsentrasi tertinggi dalam membran sel

seperti mitokondria dan mikrosom.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa α-tokoferol dapat berfungsi

sebagai antioksidan secara in vivo. Asam-asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA)

paling sensitif terhadap oksidasi. Semakin banyak ikatan rangkap, semakin

besar konsentrasi terhadap oksidasi. Faktor-faktor pendukung yang makin

meningkatkan fungsi vitamin E yaitu dengan tersedianya beberapa enzim, seperti

enzim superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation

reduktase.

Rantai cincin tokoferol atau kromonal terdapat pada permukaan membran

yang polar dan rantai samping fitil berinteraksi dengan PUFA dari fosfolipid di

dalam membran nonpolar. Satu aspek penting yang membuat α-tokoferol sangat

unik sebagai antioksidan in vivo adalah kemampuannya untuk dihasilkan dari

radikal tokoperoksi oleh vitamin C dengan glutation tereduksi.

Ada atau tidaknya vitamin E dalam jaringan ternak merupakan faktor yang

sangat kritis terhadap stabilitas lipid selama penyimpanan daging. Dengan

menangkap radikal-radikal bebas, vitamin E melindungi asam-asam lemak dan

kolesterol dari oksidasi. Dalam proses ini vitamin E melepaskan satu atom

hidrogen yang kemudian ditangkap oleh suatu radikal peroksil, selanjutnya

tereduksi membentuk hidroperoksida. Radikal vitamin E bersifat stabil dan tidak

bereaksi dengan asam-asam lemak PUFA. Vitamin E dapat juga bereaksi

dengan radikal-radikal lain, yang dengan ini, reaksi rantai oksidasi lipid dapat

dihentikan. Proses mekanisme reaksi vitamin E dengan suatu senyawa radikal

diperlihatkan dalam Gambar 10.

Page 44: BAB II_2007syr-3.pdf

48

Gambar 10 Mekanisme efek antioksidan vitamin E.

Interaksi Vitamin E dengan Vitamin Antioksidan yang Lain Metabolisme unsur-unsur nutrisi sesuai fungsinya masing-masing di

dalam tubuh, telah diketahui bahwa mereka tidak bekerja sendiri. Sebaliknya

unsur-unsur tersebut akan bekerja secara interaksi, apakah itu dalam bentuk

sinergis atau antagonis antara satu unsur dengan unsur lainnya. Demikian

halnya dengan vitamin. Berperan sebagai senyawa antioksidan di dalam tubuh,

setiap vitamin akan bekerja secara interaksi, baik dengan sesama unsur vitamin

atau dengan unsur lain, misalnya dengan mineral, untuk menghasilkan fungsinya

sebagai antioksidan secara optimal (Machlin dan Langseth 1988).

Interaksi antara senyawa-senyawa vitamin dapat berlangsung pada

proses absorpsi. metabolisme, katabolisme, dan ekskresi. Satu vitamin mungkin

saja diperlukan untuk optimalisasi absorpsi dari vitamin lain, atau satu vitamin

diperlukan untuk melindungi katabolisme berlebih dari vitamin yang lain. Sebagai

contoh, vitamin C berperan melindungi kerusakan vitamin E, sedangkan vitamin

E berfungsi melindungi vitamin A (Leung et al. 1981; Abawi et al. 1985; Lambelet

et al. 1985).

ROOH

Senyawa intermediet sangat stabil

OCH3

HO

CH3

CH3

ROO

OCH3

O.

CH3

CH3

ROO

ROOHTerminal

OCH3

O.

CH3

CH3

Page 45: BAB II_2007syr-3.pdf

49

Interaksi Vitamin E dengan Vitamin C Vitamin C atau yang dikenal pula sebagai L-ascorbic acid dengan struktur

molekul pada Gambar 11, merupakan vitamin yang bersifat larut air dan sebagai

antioksidan yang penting dalam cairan ekstraseluler. Vitamin C sangat efisien

dalam menangkap beberapa senyawa seperti: superoksida, hidrogen peroksida,

radikal hidroksi, dan radikal peroksil (Sies dan Stahl 1995). Akan tetapi menurut

Bou et al. (2001) aplikasi vitamin C sebagai antioksidan pada ternak untuk

menghambat oksidasi masih sedikit yang dilakukan penenelitiannya.

Gambar 11 Struktur molekul vitamin C.

Penelitian yang dilakukan secara in-vitro diperoleh bahwa interaksi antara

vitamin E dan C bersifat sinergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan. Vitamin

E berperan sebagai antioksidan lipofilik, sedangkan vitamin C sebagai

antioksidan hidrofilik (Niki et al. 1995). Hasil beberapa penelitian yang disitir oleh

Machlin dan Langseth (1988) memperlihatkan bahwa kombinasi vitamin E dan C

lebih efektif dalam menekan terjadinya peroksidasi pada mikrosoma hati tikus

daripada kedua vitamin tersebut apabila diberikan secara sendiri-sendiri. Dalam

penelitian in-vitro yang lain diperlihatkan bahwa vitamin E dan C berfungsi

sebagai penangkap radikal bebas dan bekerja secara sinergistik dalam

antioksidasi lipid. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan pada manusia,

diperoleh bahwa suplementasi kedua vitamin tersebut secara sinergis

menurunkan lipid peroksida.

Vitamin C diketahui berperan meregenerasikan tokoferol dari radikal

tokoperoksil, sehingga dapat mempertahankan keaktifan vitamin E sebagai

antioksidan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa vitamin C membantu

mengendalikan peroksidasi lipid. Hasil seperti dalam penelitian Reinton dan

Rogstad (1981) yang menggunakan kombinasi tokoferol dan asam askorbat

O

HO

O OH

OH

OH

Page 46: BAB II_2007syr-3.pdf

50

(Z)(E) (E) (E) (E) (E)

(E)(E)

(E)(E)

(Z)H3C CH3

H3C CH3

CH3

H3CCH3 CH3

CH3 CH3

diperoleh bahwa kombinasi tersebut dapat menghasilkan efek penghambatan

terhadap oksidasi asam lemak yang disimpan dalam beberapa lama waktu. Hal

yang sama dikemukakan pula oleh Sies dan Stahl (1995) bahwa vitamin C

berfungsi melindungi membran terhadap peroksidasi melalui peningkatan

aktivitas tokoferol. Kemampuan vitamin C yang dapat menurunkan pembentukan

radikal tokoperoksil, memfungsikannya mempertahankan aktivitas penangkapan

radikal oleh tokoferol. Radikal tokoperoksil yang terbentuk dalam membran

diduga bereaksi dengan asam askorbat dan kemudian menghasilkan tokoferol.

Namun demikian hipotesis ini masih terus perlu dikaji.

Interaksi Vitamin E dengan Vitamin A (β-Karoten) Senyawa β-karoten merupakan salah satu dari sekitar 500 senyawa

karotenoid alami atau sebagai senyawa provitamin A yang paling aktif. Sifat

penting dari senyawa ini adalah lipofilik dan memiliki ikatan rangkap konjugasi.

Dari beberapa bentuk struktur isomer molekul β-karoten, isomer bentuk all-trans

(Gambar 12) memiliki sifat aktif yang tinggi. Pada struktur β-karoten, terlihat

bahwa senyawa tersebut terdiri atas dua cincin β-ionon dan 18 rantai karbon.

Gambar 12 Struktur bangun senyawa all-trans β-karoten.

Sebagai senyawa antioksidan, β-karoten lebih terbatas bekerja pada

kondisi rendah oksigen. Pada kondisi oksigen yang tinggi, β-karoten justru dapat

menjadi prooksidan. Oleh karenanya senyawa ini sangat sensitif mengalami

dekomposisi oksidatif apabila terkena udara. Sifat ini dimungkinkan terjadi

karena struktur molekulnya yang berikatan rangkap konjugasi (Madhavi et al.

1996). Selain itu juga, β-karoten sangat sensitif terhadap cahaya, temperatur

dan kondisi asam. Penelitian memperlihatkan bahwa pada temperatur 45oC

dalam kondisi terkena udara, senyawa β-karoten menjadi rusak total setelah 6

minggu.

Page 47: BAB II_2007syr-3.pdf

51

Hasil penelitian Niki et al. (1995) memperlihatkan bahwa sifat

penghambatan oksidasi oleh β-karoten dalam minyak kedelai dapat diperpanjang

apabila dikombinasikan dengan tokoferol. Demikian juga penggunaannya bagi

kesehatan manusia terutama dalam mengatasi beberapa penyakit seperti

kanker, kardiovaskular, dan katarak. Sies dan Krinsky (1995) melaporkan bahwa

β-karoten efektif untuk hal itu, terutama bilamana diaplikasikan bersama

tokoferol.

Efek sinergistik antioksidan dari kombinasi vitamin E dan β-karoten

bersifat aditif dalam oksidasi lipid, dibandingkan apabila kedua senyawa tersebut

berada secara individu. Namun efek ini tidak sebesar apabila kombinasi tersebut

adalah vitamin E dan vitamin C (Niki et al. 1995). Mekanisme sinergistik antara

ketiga vitamin tersebut dalam perannya sebagai antioksidan diperlihatkan dalam

Gambar 13.

C• C

Air

LOOH LH LOOH E E•

LH oksidasi berantai Permukaan LH L• LO2

• LO2

• E• BO2• B•

B B• BO2

• BOOH O2 LH Interior oksidasi berantai Gambar 13 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh

kombinasi β-karoten (B), vitamin C (C), dan vitamin E (E). LH = Lipid; L• = radikal lipid; LO2

• = radikal lipid peroksil; LOOH = lipid hidroperoksida; B• = radikal derivasi β- karoten; BO2

• = radikal β-karoten peroksil; BOOH = β-karoten hidroperoksida; E• = radikal vitamin E; C• = radikal vitamin C (Niki et al.1995).

Page 48: BAB II_2007syr-3.pdf

52

Peranan β-karoten sebagai antioksidan untuk menangkap radikal, bukan

dengan menggunakan donasi atom hidrogen, tetapi dengan penambahan ikatan

rangkap membentuk radikal karbon terpusat. Karena itu aktivitas antioksidan β-

karoten lebih tinggi pada tekanan oksigen yang lebih rendah.

Sifat sinergistik vitamin E dan β-karoten dapat pula dilihat pada kerjanya

di dalam membran dan LDL. Pada kondisi ini, vitamin E dan β-karoten bekerja

pada bagian yang berbeda. Vitamin E bekerja pada permukaan, sedangkan β-

karoten bekerja di bagian dalam membran (Niki et al.1995)

Analisis Sensori Off-Odor Salah satu cara yang dapat dipakai untuk menilai intensitas off−odor yaitu

dengan menggunakan teknik sensori. Metode ini dilakukan dengan melibatkan

sejumlah orang (panelis) yang mampu mendeteksi dan mendeskripsi off−odor.

Sistem analisis sensori pada prinsipnya mencakup faktor fisiologis dan

psikologis. Lima jenis masalah berbeda dimana teknik sensori diterapkan, yaitu:

(1) pengembangan produk baru, (2) usaha pengurangan biaya, (3) peningkatan

kualitas, (4) evaluasi penerimaan produk, dan (5) kontrol kualitas dan jaminan.

Pendekatan yang paling mudah dalam analisis sensori, baik praktis

maupun teoritis, dibedakan dalam empat bidang utama, yaitu:

1. Analisis Deskriptif: suatu analisis dengan menghasilkan bahasa

makanan atau minuman. Jadi bagaimana

seseorang menjelaskan persepsinya tentang

makanan yang diujinya.

2. Pengukuran Intensitas: Persepsi sensori dengan menggunakan skala yang

memperlihatkan bagaimana rangsangan fisik

berkembang menghasilkan respon sensori.

3. Pengukuran Hedonik: Metode analisis yang menguji suka atau tidak suka

4. Analisis GC-Sniffing: Teknik GCO yang menggabungkan instrumentasi

dan manusia.

Pengembangan terhadap kualitas hasil penelitian flavor terus meningkat,

khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini sejalan dengan

ditemukannya berbagai metode-metode baru dalam pengujian sensori. Aspek-

Page 49: BAB II_2007syr-3.pdf

53

aspek metode pengujian yang lebih banyak mendapat perhatian yaitu: uji

pembedaan, ranking dan rating, dan profil.

Uji pembedaan biasanya dilakukan dengan melibatkan jumlah panelis

asesor yang lebih sedikit, bahkan seringkali tidak harus diperlukan mereka yang

berpengalaman. Metode uji pembedaan yang paling banyak dipakai yaitu: uji

segitiga (triangular), uji berpasangan, dan metode duo-trio. Sampel yang diuji

dengan metode ini harus diberi kode sedemikian rupa agar gambarannya tidak

menimbulkan bias. Pembanding berpasangan jarang digunakan dalam uji

pembedaan karena tidak adanya hipotesis nol yang dibangun dengan

penggunaan metode tersebut. Hasil dari pengujian berpasangan ini semata-

mata hanya di dasarkan pada peluang saja.

Metode penjenjangan dan rating umumnya dilaksanakan dengan

menggunakan panelis yang terlatih baik dan berpengalaman. Peran utama

panelis dalam metode ini yaitu mengevaluasi dan menempatkan secara berurut

intensitas dari sifat-sifat spesifik (berjenjang, ranking), mengkuantifikasi dan

memberi skor (rating), serta mengklasifikasi (grading). Hasil penilaian panelis

biasanya dibuat dalam bentuk skala atau grafik. Skala kategori dipakai secara

luas dalam berbagai bidang pengolahan makanan yang produknya memiliki sifat-

sifat multivariat yang mempengaruhi kualitas produk tersebut. Shand (1985)

menyebutkan bahwa evaluasi dengan menggunakan sistem skala mempunyai

dua kelemahan, yaitu: (a) panelis seringkali menghindari menggunakan nilai-nilai

ujung dari skala, sehingga hasil terhadap kategori dan pengaruhnya dapat

menghasilkan rating yang bias; (b) interval di dalam skala bisa saja tidak

seimbang dalam derajat subyektivitasnya, sekalipun analisis datanya didasarkan

pada asumsi tersebut.

Penyempurnaan dalam metode skala oleh Stone et al. (1980) dipakai

skala semistruktur. Metode ini lebih sensitif terhadap produk yang berbeda

dibandingkan dengan metode skala terstruktur. Metode skala semistruktur juga

mengurangi kelemahan dalam hal keseimbangan interval skala, karena dengan

metode ini panelis lebih bebas dalam menentukan nilai skala dari suatu

pengujian produk.

Metode profil yang digunakan secara analisis deskriptif akan lebih

memampukan peneliti untuk mengidentifikasi dan menguraikan secara

kuantifikasi suatu produk berdasarkan kualitas visual, tekstur, auditori, olfaktori

dan gustatori. Metode ini lebih banyak bergantung pada istilah-istilah kualitas

Page 50: BAB II_2007syr-3.pdf

54

yang telah dikembangkan sebelumnya, dan biasanya tiap-tiap industri

mengembangkan istilah-istilah yang lebih sesuai dengan industri tersebut. Oleh

karena itu, satu masalah penting yang dijumpai dalam metode ini yaitu adanya

keragaman yang luas, sehingga seringkali menjadi kendala dalam analisis

statistik (Meilgaard et al. 1999)