BAB II TINJAUAN PUSTAKA A....

23
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2007). 2. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham tehadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A....

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior)

(Notoatmodjo, 2007).

2. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif

Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan.

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk

mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan

sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintepretasikan

materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham tehadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

9

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real (sebenarnya). Aplikasi

di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,

rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang

lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis

ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi barudari

formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya

terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat

membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang

kekurangan gizi, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak

mau ikut KB dan sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan

dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang

ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman

pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan

dengan tingkatan-tingkatan di atas.

10

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Iqbal (2011) terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi

pengetahuan yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang

lain agar dapat memahami sesuatu hal. Bahwa semakin tinggi pendidikan

seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada

akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak.

Sebaliknya, jika pendidikan yang rendah, maka akan menghambat

perkembangan orang tersebut terhadap penerimaan infomasi dan nilai-

nilai yang baru diperkenalkan.

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

c. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek

fisik dan psikologi (mental). Pada aspek psikologis atau mental, taraf

berpikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa.

d. Minat

Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap

sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni

sesuatu hal, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih

mendalam.

e. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam

berinteraksi dengan lingkungannya.

f. Kebudayaan lingkungan sekitar

Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau

sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat tinggal sangat

berpengaruh besar dalam pembentukan sikap.

11

g. Informasi

Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat

seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.

4. Kategori Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto (2006), kategori pengetahuan dapat ditentukan dengan

kriteria sebagai berikut :

a. Baik bila nilai akumulasi 80% – 100%

b. Sedang bila nilai akumulasi 60% – 80%

c. Kurang bila nilai akumilasi <60%

B. Sikap

1. Pengertian

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung

dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang

tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi

terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari merupakan

reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah

seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan

kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan

motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan

reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).

2. Komponen Pokok Sikap

Allort (1954) dalam Notoatmodjo (2007), menjelaskan bahwa sikap itu

mempunyai 3 komponen pokok, yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

12

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

3. Berbagai Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari berbagai tingkatan antara

lain:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan

suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang

diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti

bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang

mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk

pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang

gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap

positif terhadap gizi anak.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

13

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap.

Menurut Azwar (2001), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap,

yaitu :

a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komoponen

sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang dianggap

penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak,

tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan

atau seseorang yang berarti khusus bagi kita akan mempengaruhi

pembentkan sikap kita terhadap sesuatu. Contoh : Orang tua, teman

sebaya, teman dekat, guru, istri, suami dan lain-lain.

c. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh

besar terhadap pembentukan sikap kita.

d. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,

radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar

dalam pembentukan opini dan kepercayaan. Adanya informasi baru

mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya

sikap terhadap hal tersebut.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu system

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya

meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam arti individu.

f. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang sesuatu bentuk sikap

14

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai

penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

5. Pengukuran sikap

Menurut Azwar (2010), salah satu aspek yang sangat penting guna

memahami sikap dan perilaku manusia adalah pengungkapan (assesmant)

atau pengukuran (measurement) sikap. Sikap merupakan respons evaluatif

yang dapat berbentuk positif maupun negatif. Sikap mempunyai arah,

artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau

tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak

terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju,

mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap

yang arahnya positif sebaiknya mereka yang tidak setuju atau tidak

mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap arahnya positif sebaiknya

mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki

sikap yang arahnya positif.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap

seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan

sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap

mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap,

yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap.

Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya

pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap

yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap.

Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel.

Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan

favourable dan tidak favourable dalam jumlah yang seimbang. Dengan

demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua

negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama

sekali obyek sikap (Azwar, 2010 ).

15

C. Perilaku

1. Batasan Perilaku

Perilaku adalah segala bentuk tanggapan dari individu terhadap

lingkungannya (Budioro, 2007). Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo

(2007) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu

organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama

dengan sikap. Perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan

berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan

dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons. Skinner

(1938) membedakan adanya dua respons:

a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya: makanan yang

lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan

mata tertutup, dan sebagainya.

b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul

dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang

tertentu. Misalnya: apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan

tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya) kemudian

memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas

kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.

2. Proses Adopsi Perilaku

Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam

diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,

16

b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus,

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,

d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesedaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku pada manusia dipengaruhi beberapa faktor. Lawrence Green yang

dikutip oleh Soekidjo Notoatmojo (2007) membagi faktor-faktor tersebut

menjadi tiga bagian, yang meliputi faktor predisposisi (predisposing

factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor pendorong

(reinforcing factors).

a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)

Merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku yang meliputi

pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan

kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,

tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut

mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam perilaku kesehatan.

b. Faktor Pendukung (enabling factors)

Merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Faktor ini

meliputi ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan,

misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan

tinja dan sebagainya.

c. Faktor Pendorong (reinforcing factors)

Merupakan faktor yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku.

Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan maupun tokoh

masyarakat. Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang

17

lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi

pendidikan membagi perilaku kedalam 3 domain (ranah atau kawasan),

meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyi batasan yang jelas

dan tegas. Ketiga domain itu adalah pengetahuan, sikap dan perilaku

(Notoatmodjo, 2007).

4. Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3

kelompok.

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau

menjaga kesehatan agar agar tidak sakit dan usaha untuk menyembuhkan

bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kasehatan terdiri 3 aspek yaitu:

perilaku pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan

perilaku gizi (makanan dan minuman).

b. Perilaku pencarian dan penggunaan system atau fasilitas pelayanan

kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health

seeking behavior). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan

seseorang pada saat menderita penyakit. Perilaku ini dimulai dari

mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar

negeri.

c. Perilaku kesehatan lingkungan

Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social budaya, dan

sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi

kesehatannya.

D. Perilaku Pencegahan

Menurut Noor (2006) Perilaku pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih

dahulu sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah-langkah untuk

pencegahan haruslah didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari

18

hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologis.

Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum,yakni:

1. Pencegahan tingkat pertama

Saran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab,

lingkungan serta faktor pejamu.

a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk

mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah

mungkin dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi,

yang bertujuan untuk menghilangkan mokro-organisme penyebab

penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan

menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan,

di samping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan

rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi/menghilangkan

sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta

pemusnahan sumber yang ada (biasanya pada binatang yang menderita),

serta mengurangi/menghindari perilaku yang dapat meningkatkan risiko

perorangan dan masyarakat.

b. Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik

seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta

bentuk pemukiman lainya. Perbaikan dan peningkatan lingkungan

biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta

peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga,

hubungan antarindividu dan kehidupan sosial masyarakat.

c. Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi,

status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian

imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan

status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari

pengaruh faktor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui

peningkatan kualitas gizi, serta olah raga kesehatan.

19

2. Pencegahan tingkat kedua

Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan pada mereka yang menderita

atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa

tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi

diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya

penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta mencegah terjadinya

akibat samping atau komlpikasi.

a. pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha

surveilans penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan

kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI, mahasiswa dsb), penyaringan

(screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta

pengobatan dan perawatan yang efektif.

b. Pemberiann chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai

berada pada proses prepatogenesis dan patognesi penyakit tertentu.

3. Pencegahan tingkat ketiga

Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit tertentu

dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan

permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah

kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses

penyakit lebih lanjut seperti pada penderita diabetes melitus (kencing

manis), penderita tuberkulosis paru yang berat, penderita penyakit measles

agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya. Pada tingkat ini juga

dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari

penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha

pengembangan fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang

meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis serta

rahabilitasi sosial.

20

E. Hepatitis B

1. Pengertian

Menurut Smeltzer dan Bare (2001) menyatakan bahwa hepatitis merupakan

inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis

biokimia serta seluler. Infeksi virus hepatitis B merupakan penyakit infeksi

disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) yang dapat menimbulkan

peradangan dan bahkan kerusakan sel-sel hati atau hepatitis (Cahyono,

2010).

2. Virus Hepatitis B

Dalam buku Brunner & Suddarth (2002), komponen virus hepatitis B

(VHB) merupakan virus DNA yang tersusun dari partikel antigen berikut

ini:

a. HBcAg : antigen inti (core) hepatitis B (material antigen terdapat di inti

sebelah dalam/ inner core)

b. HBsAg : antigen permukaan (surface) hepatitis B (material antigen pada

permukaan HBV)

c. HBeAg : protein independen yang beredar dalam darah

d. HBxAg : produk genetik dari gen X pada HBV/DNA.

Setiap antigen menimbulkan antibodi spesifiknya sebagai berikut :

a. Anti-HBc : antibodi terhadap antigen inti atau HBV, anti HBc akan

bertahan selama fase akut, dapat menunjukkan virus hepatitis B yang

berlanjut dalam hati.

b. Anti-HBs : antibodi terhadap permukaan tertentu pada HBV, terdeteksi

selama fase konvalesensi lanjut, biasanya menunjukkan pemulihan dan

pembentukan imunitas.

c. Anti-HBe : antibodi terhadap antigen e hepatitis B, biasanya menyatakan

penurunan infektifitas.

d. Anti-HBxAg : antibodi terhadap antigen x hepatitis B, dapat

menunjukkan replikasi HBV yang tengah berlangsung.

21

Diagnosis pasti hepatitis virus B dapat diketahui dengan pemeriksaan

HBsAg. Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk diagnosis hepatitis B, yaitu

serologi atau test darah dan biopsi liver atau pengambilan sempel jaringan

liver. Diagnosis virus hepatitis B dimulai dengan test darah (serology).

Serum darah pasien diperiksa dan mereka yang terkena HVB kronis ataupun

akut, pasti di dalam darahnya akan ditemukan hepatitis B surface antigen

(HBsAg). HBsAg pada penderita akut bisa dideteksi beberapa minggu

setelah infeksi dan munculnya bersama dengan timbulnya gejala hepatitis.

Untuk memastikan diagnosa yang ke dua, maka dilakukan biopsi pada liver.

Penderita kronis (tanpa gejala, HBsAg positif, dan terdapat aktifitas

aminotransparase serum yang normal) biasanya tidak mengalami atau

sedikit peradangan saat jaringannya diambil lewat biopsi. Pada pasien

tersebut yang terlihat adalah “sel kaca buram” yaitu sel liver yang

didalamnya terdapat sejumlah besar HBsAg yang sedang disintesa. HBsAg

muncul dalam sirkulasi darah pada 80% hingga 90% pasien yang terinfeksi

1 hingga 10 minggu setelah kontak dengan HBV dan 2 hingga 8 minggu

sebelum munculnya gejala atau meningkatnya kadar transferase

(transminase). Orang-orang dengan HBsAg yang bertahan selama 6 bulan

atau lebih sesudah mengalami infeksi akut dinyatakan sebagai karier HBsAg

(Bar, 2002).

HBcAg merupakan antigen HBV yang muncul berikutnya dalam serum.

Biasanya antigen ini muncul dalam waktu 1 minggu setelah munculnya

HBsAg dan sebelum terjadinya perubahan kadar aminotransferase untuk

kemudian menghilang dari serum dalam waktu 2 minggu. DNA HBV yang

terdeteksi lewat pemeriksaan reaksi rantai polymerase (PCR ; polymerase

chain reaction), muncul dalam serum pada saat kurang lebih HBcAg.

HBcAg tidak selalu terdeteksi dalam serum pada infeksi HBV . Sekitar 15%

dari orang-orang dewasa di Amerika menunjukkan hasil pemeriksaan anti-

HBs yang positif, yang menunjukkan bahwa meraka pernah menderita

22

hepatitis B. Anti-HBs positif pada 2/3 dari pemakai obat bius IV (Bar,

2002).

3. Penyebab Hepatitis

Menurut Sari (2008), penyebab hepatitis adalah infeksi virus, penyakit lain

yang mungkin timbul, alkohol, obat-obatan atau zat kimia dan penyakit

autoimun.

a. Infeksi Virus

Sebagian besar kasus hepatitis disebabkan oleh virus yang dibedakan

jenisnya menurut abjad, yakni virus hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G.

diantara ketujuh jenis hepatitis tersebut, hepatitis A, B, C merupakan

jenis terbanyak yang sering dijumpai. Adapun hepatitis F masih jarang

ditemukan. Para ahli pun masih memperdebatkan apakah hepatitis F

merupakan jenis hepatitis yang terpisah. Hepatitis B merupakan tipe

hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan

hepatitis jenis lainnya. Virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius, yakni

lebih berpotensi menyebabkan infeksi dibandingkan virus HIV karena

mas tunasnya cukup pendek, yaitu sekitar 3 bulan. Virus ini ditemukan di

dalam darah, air ludah, air susu ibu, cairan sperma, atau vagina penderita.

b. Penyakit lain yang mungkin timbul

Hati merupakan organ penting dengan fungsi yang beragam maka

beberapa penyakit atau gangguan metabolisme tubuh dapat menyebabkan

komplikasi pada hati. Diabetes melitus, hiperlipidemia (kadar lemak,

termasuk kolesterol dan trigliserida, dalam darah menjadi tinggi atau

berlabihan), dan obesitas sering terkait dengan penyakit hati. Ketiga

kelainan ini membebani kerja hati dalam metabolisme lemak. Akibatnya,

akan terjadi kebocoran sel-sel yang berlanjut dengan kerusakan sel dan

peradangan hati yang disebut steatohepatis. Kehidupan yang serba sibuk

terutama di kota besar, telah melahirkan budaya instan termasuk dalam

hal makanan. Saat ini tersedia banyak restoran cepat saji yang

menyediakan makanan dengan komposisi gizi tidak berimbang, yaitu

23

mengandung lemak sebagai komponen terbanyak. Hal ini turut

memberikan kontribusi meningkatnya kasus steatohepatis.

c. Alkohol

Minuman beralkohol dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati.

Hepatitis alkohol dapat terjadi akibat konsumsi alkohol yang berlebihan

atau dalam jangka waktu lama. Sejumlah zat tersebut dapat bersifat racun

sehingga menyebakan kerusakan sel hati.

d. Obat-obatan atau zat kimia

Sejumlah obat atau zat kimia dapat menyebabkan hepatitis. Sesuai

dengan fungsi hati yang berperan dalam metabolisme, penetralisir, atau

dalam detoksifikasi zat kimia, termasuk obat. Oleh karenanya, zat kimia

dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti reaksi karena infeksi virus

hepatitis. Gejala dapat terasa kapan pun dalam waktu 2 minggu-6 bulan

setelah obat diberikan. Pada sebagian besar kasus, gejala hepatitis

sembuh atau menghilang setelah pemberian obat tersebut dihentikan.

Namun, ada juga yang berkembang menjadi penyakit hati serius, jika

penyakit hati terlanjur parah. Obat-obat yang cenderung berinteraksi

dengan sel-sel hati, antara lain halotan (sering digunakan sebagai obat

bius), isoniasid (antibiotik untuk TBC), metildopa (obat anti hipertensi),

fenitoin, dan asam valproat (obat anti epilepsi), serta parasetamol (pereda

demam). Parasetamol merupakan obat yang aman jika dikonsumsi sesuai

dosis yang dianjurkan. Namun, jika dosis berlebihan terlebih jika

dikonsumsi bersama alkohol, dapat menyebabkan kerusakan hati yang

cukup parah bahkan kematian. Demikian pula sejumlah zat-zat polutan

lainnya, saperti alfatoksin, arsen, karbon tetraklorida, tembaga, atau vinil

klorida dapat merusak sel-sel hati.

e. Penyakit autoimun

Hepatitis autoimun terjadi karena adanya gangguan pada sistem

kekebalan (imunitas) yang merupakan kelainan genetik. Pada kasus

autoimun, sitem kekabalan tubuh justru menyerang sel atau jaringan

tubuh itu sendiri (dalam hal ini adalah hati). Gangguan ini terjadi karena

24

ada faktor pencetus, yakni kemungkina suatu virus atau zat kimia

tertentu. Sekitar 30% kasus hepatitis autoimun mempunyai gangguan

autoimun pada organ tubuh lain.

4. Penularan Virus Hepatitis B

Penularan hepatitis B terjadi melalui kontak darah, cairan tubuh, maupun

material lain yang terinfeksi, seperti jarum suntik, alat-alat bedah, alat-alat

dokter gigi, jarum akupuntur, jarum tato, maupun jarum tindik telinga yang

tidak steril. Demikian juga penggunaan bersama alat-alat yang dapat

menimbulkan luka atau lecet milik individu yang terinfeksi, seperti pisau

cukur, gunting kuku, atau sikat gigi, dapat menjadi media penularan HVB.

Penularan hepatitis B juga terdapat pada bayi yang dilahirkan ibu yang

menderita hepatitis B. Mengingat HVB dapat ditemukan pada cairan sperma

ataupun vagina maka penularan juga dapat terjadi melalui hubungan seksual

maupun pada saat proses persalinan (Sari, 2008). Individu yang berada

dalam lingkungan tertentu atau mempunnyai kebiasaan tertentu, atau sedang

menderita penyakit tertentu berisiko tertular virus hepatitis B. mereka ini

adalah bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif, mereka yang

tinggal di daerah endemis hepatitis B, indivudu yang sering berganti

pasangan seksual, suami/istri atau anggota keluarga penderita infeksi VHB

kronis, penderita yang sering mendapatkan transfusi darah (hemophilia,

anemia aplastik, thalasemia, dan sebagainya), penderita gagal ginjal yang

mengalami hemodialisis, petugas kesehatan (dokter, perawat, dan

sebagainya), pecandu narkotika (Cahyono, 2010).

5. Tanda dan gejala klinis

Menurut Baradero, Wilfrid dan Siswadi (2008) tanda-tanda hepatitis virus B

dikelompokkan dalam tiga tahap yaitu tahap pra-kiterik, ikterik dan pasca

ikterik:

a. Tahap pra-ikterik (tahap prodromal) yang berlangsung selama satu

minggu, seperti anoreksia(merupakan tanda utama), suhu tubuh

25

meningkat disertai menggigil, mual dan muntah, kesulitan mencerna

makanan (dispepsia), nyeri sendi (artralgia), nyeri tekan pada hepar,

cepat lelah, malaise, dan hilang minat, serta berat badan menurun.

b. Tahap ikterik dimulai dengan timbulnya ikterik yang berlangsung selama

46 minggu. Pada tahap ini, tanda tahap pre-ikterik akan berkurang,

kecuali anoreksia, mual, muntah, dispepsia, rasa lemah, dan malaise

makin bertambah. Ikterik timbul karena gangguan metabolisme bilirubin.

Urin penderita berwarna kuning tua, transminase serum (ALT dan AST)

dan alkalin fosfatase meningkat, serta masa protombin memanjang

c. Tahap pasca-ikterik atau tahap penyembuhan. Tahap ini dimulai ketika

ikterik telah hilang.

6. Komplikasi

Komplikasi hepatitis yang paling sering adalah sirosis. Sel hati yang normal

ketika mengalami kerusakan akan digantikan oleh sel-sel sehat yang baru.

Pada sirosis, kerusakan sel hati diganti oleh jarigan parut (sikatrik). Semakin

parah kerusakan, semakin besar jaringan parut yang terbentuk dan semakin

berkurang jumlah sel hati yang sehat. Pengurangan ini akan berdampak pada

penurunan sejumlah fungsi hati sehingga menimbulkan sejumlah gangguan

pada fungsi tubuh secara keseluruhan (Sari, 2008). Komplikasi lain menurut

Cahyono (2010), pada hepatitis B kronis yang tidak diatasi, dapat terjadi

perdarahan varises lambung, gangguan sistem saraf pusat berupa kejang,

serta penurunan kesadaran sampai koma.

F. Pencegahan Hepatitis B

Tujuan pencegahan adalah memutuskan rantai penularan, melindungi individu

yang berisiko tinggi melalui imunisasi aktif vaksin hepatitis B, imunisasi pasif

bagi individu yang tidak terlindung namun terpajan virus hepatitis B (Bar,

2002). Pencegahan terhadap penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu imunisasi, tidak menggunakan barang orang lain, lakukan

hubungan seks yang aman, jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis,

26

bersihkan ceceran darah, membiasakan diri untuk mencuci tangan,

menganggap feses, urin, cairan tubuh lainnya potensial untuk infeksi dan

membuang secara benar barang-barang seperti jarum dan alat lain yang

terinfeksi.

1. Imunisasi

Imunisasi hepatitis B yang lengkap dapat mencegah infeksi virus hepatitis B

selama 15 tahun. Imunisasi hepatitis B yang lengkap untuk bayi diberikan 3

kali, imunisasi yang pertama dan kedua diberikan berturut-turut dengan

selang waktu 1 bulan. Sementara imunisasi ketiga diberikan setelah 5 bulan

sejak imunisasi kedua (Sari, 2008).

Pemberian imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin, umumnya pada

bayi, mulai diberikan saat usia 2 minggu. Saat ini ada himbauan agar bayi

diimunisasi hepatitis B pada saat akan pulang dari rumah sakit/rumah

bersalin. Tujuannya agar bayi sedini mungkin mendapat perlindungan dari

hepatitis B (Sari, 2008). Pemberian imunisasi pada orang dewasa, sebelum

imunisasi diberikan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar anti-HBs, yakni

HBs-Ag. Jika HBSAg positif maka imunisasi hepatitis B tidak perlu

diberikan lagi. Imunisasi diberikan jika kekebalan tubuh kurang atau di

bawah standar. Kadar anti-HBs yang cukup untuk memberikan

perlindungan terhadap hepatitis B adalah 10 m IU/ml. namun kendalanya,

pemeriksaan laboratorium tersebut sering kali harganya jauh lebih mahal

dari biaya vaksin hepatitis B itu sendiri. Dengan demikian, jika memang

individu tersebut termasuk golongan yang berisiko tinggi tertular virus

hepatitis B maka imunisasi bisa langsung diberikan tanpa harus dilakukan

pemeriksaan laboratorium (Sari, 2008).

2. Tidak menggunakan barang orang lain

Biasakanlah tidak menggunakan barang-barang pribadi milik orang lain. Hal

ini disebabkan kita tidak pernah tahu apakah seseorang itu terinfeksi virus

27

hepatitis B atau tidak. Pisau cukur, gunting rambut, gunting kuku, sikat gigi,

atau barang lain yang dapat menyebabkan luka dapat menjadi media

penularan (Sari, 2008).

3. Lakukan hubungan seks yang aman

Hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, terlebih jika dengan

pekerja seks, akan berisiko tinggi tertular hepatitis B. jika ternyata suami

atau istri terinfeksi hepatitis B maka sang suami wajib memakai kondom

saat berhubungan seksual (Sari, 2008).

4. Jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis

Individu dengan terinfeksi hepatitis B jangan menjadi donor darah karena

akan menyebarkan penyakit tersebut. Palang Merah Indonesia akan

melakukan serangkaian pemeriksaan pada darah yang didonorkan. Jika

ternyata sejumlah darah pada bank darah terinfeksi virus hepatitis maka

darah tersebut akan dimusnahkan. hal ini bisa saja terjadi jika pendonor

tidak tahu bahwa dirinya carrier hepatitis B dan terlanjur mendonorkan

darahnya (Sari, 2008).

5. Bersihkan ceceran darah

Jika terdapat ceceran atau pun cipratan darah, sekecil apa pun, harus

langsung dibersihkan. Penggunaan larutan pemutih pakaian untuk

membersihkan cipratan darah tersebut diyakini dapat membunuh virus (Sari,

2008).

6. Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan cara yang benar

(Baradero, Dayrit dan Siswadi, 2008)

7. Feses, urin, cairan tubuh lainnya harus dianggap potensial untuk infeksi dan

harus ada cara yang tepat untuk pembuangannya. Kamar-kamar kecil harus

28

dilengkapi dengan septic tank untuk mencegah kontaminasi air dan

makanan (Baradero dkk, 2008).

8. Hepatitis B ditularkan secara parenteral (suntikan dan tusukan), hepatitis

non-A dan non-B, hepatitis delta, dan mungkin hepatitis A dapat ditularkan

melalui jarum atau alat-alat lain yang terinfeksi. Barang-barang ini harus

dibuang dengan cara yang benar. Perawat harus hati-hati jangan sampai

pasien atau orang lain tertusuk jarum yang telah digunakan. Sebaiknya

sebelum jarum, spuit, dan sebagainya dibuang, dimasukkan ke dalam

kantong yang diberi tanda “Barang Terkontaminasi (Baradero dkk, 2008).

G. Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Perilaku Pencegahan Hepatitis B

Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima

atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap

(Notoatmodjo, 2007) yaitu pengetahuan, sikap dan praktik. Orang akan

melakukan pencegahan Hepatitis B apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya

bila tidak melakukan pencegahan hepatitis B. Setelah seseorang mengetahui

pencegahan hepatitis B, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap

pencegahan hepatitis B tersebut. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau

objek pencegahan hepatitis B, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat

terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melakukan

atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah

yang disebut praktik (practice) pencegahan hepatitis B, atau dapat juga

dikatakan perilaku pencegahan hepatitis B.

29

H. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Skema 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007)

I. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Skema 2.2 Kerangka Konsep

J. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan oleh peneliti ada dua kategori, yaitu :

1. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas atau independent merupakan suatu variabel yang menjadi

sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas

dalam mempengaruhi variabel lain. Variabel independen (bebas) dalam

penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap.

Faktor Predisposisi (predisposing factors):

1. Pengetahuan

2. Sikap

3. Tradisi dan kepercayaan

4. Nilai

5. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi

Perilaku Pencegahan

Hepatitis B

Pengetahuan

Perilaku Pencegahan

Hepatitis B

Faktor pendorong (reinforcing factors):

Perilaku petugas kesehatan maupun

tokoh masyarakat

Faktor pendukung (enabling factors):

Ketersediaan sumber atau fasilitas

Sikap

30

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi

atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung

dari variabel bebas terhadap perubahan. Variabel terikat dalam penelitian ini

adalah perilaku pencegahan hepatitis B.

K. Hipotesis

Berdasarkan dari kerangka konsep penelitian di atas, maka hipotesis yang

dapat dirumuskan adalah :

1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan hepatitis B

pada mahasiswa Keperawatan FIKKES di UNIMUS.

2. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan hepatitis B pada

mahasiswa Keperawatan FIKKES di UNIMUS.