Oleh Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Nip. 132 259 569

24
MANAJEMEN HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT Oleh Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Nip. 132 259 569 KARYA ILMIAH Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008

Transcript of Oleh Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Nip. 132 259 569

MANAJEMEN HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT

Oleh

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Nip. 132 259 569

KARYA ILMIAH

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis pankatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan sekian banyak karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan Karya Ilmiah ini. Karya ilmiah ini diberi judul “MANAJEMEN HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT” dengan pokok pembahasannya pada pengaruh manajemen hidrologi di kawasan gambut terhadap kebakaran di lahan gambut. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Selain itu penulis juga berharap agar karya ilmiah ini dapat membantu mahasiswa yang sedang melaksanakan penelitian atau pembuatan karya ilmiah yang terkait dengan iklim mikro. Demikianlah karya tulis ini dibuat semoga bermanfaat.

Medan, April 2008 Penulis

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................. ii DAFTAR TABEL ..................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv

Pendahuluan ................................................................................ 1

Mengapa Lahan Gambut Yang Biasanya Tahan-Api Bisa Terbakar? . 3

Pemadaman Kebakaran di Lahan Gambut .......................................... 9

Menjadikan lahan gambut tahan kebakaran ........................................ 11

Praktek-Praktek Pengelolaan yang Lestari Melalui Manajemen Hidrologi .................................................................................. 12

Penutup ................................................................................ 18

Daftar Pustaka ................................................................................ 18

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kebutuhan Tinggi Muka Air Tanaman Yang ditanam di Lahan Gambut (Ambak and Melling, 2000)......................................... 16

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Hipothetis dari Gundukan Gambut/Peat Dome (Lee,2004). ............................................................................... 5

Gambar 2. Pengaruh Drainase Terhadap Lahan gambut (a) pembuatan drainase dan penanaman dilakukan di bagian babawah dome, (b) Penananan dan pembuatan drainasi dilakukan di bagain atas dome (Lee,2004) .............................................................. 7

Gambar 3. Skenario yang umum terjadi dimana drainase yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya kebakaran di lahan gambut (Lee,2004)

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

MANAJEMEN HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT

Oleh

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si (Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara)

Pendahuluan Indonesia memiliki kawasan gambut dan lahan basah air tawar yang sangat luas,

yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10 persen dari luas wilayah Negara. Delapan

puluh sembilan persen diantaranya berupa lahan gambut, yang sebagian besar

terletak di Papua Barat, Sumatra dan Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini

secara alami tertutup rapat oleh vegetasi hutan dan seringkali memiliki jenis-jenis

kayu bernilai tinggi. Hutan-hutan ini memainkan peranan penting sebagai tempat

penyimpan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, dan sebagai pengatur

hidrologi. Hutan-hutan ini juga berfungsi sebagai tempat pemuliaan untuk ikan-

ikan yang dipasarkan di dalam negeri maupun untuk ekspor. Banyak orang yang

bergantung kepada lahan-lahan basah ini untuk mendukung kehidupannya,

umumnya dalam kegiatan perikanan, pembalakan dan pertanian (Chokkalingam

dan Suyanto, 2004)

Tanah gambut telah banyak mengalami perubahan dengan cara direklamasi untuk

dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan khususnya lahan-lahan gambut yang

terdapat di Malaysia dan Indonesia. Seiring dengan semakin menurunnya lahan-

lahan yang baik untuk kegiatan budidaya pertanian, maka tekanan terhadap lahan

gambut menjadi tidak bisa terelakkan lagi.

Lee (2004) mengemukakan bahwa masalah umum yang dihadapi dalam

pengembangan perkebunan dan pertanian lainnya di lahan gambut adalah :

a. Tahap Persiapan Lahan

Tidak punya aksesibilitas yang baik untuk transportasi alat-alat berat

Batang-batang pohon menghalangi penanaman secara mekanis

Membutuhkan Kapur yang banyak (kondisi tanah sangat asam)

Membutuhkan input pemupukan yang tinggi (kekurangan nutrisi)

Dasarnya adalah tanah sulfat yang masam

Manajemen hidrologinya yang komplek

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

b. Tahap Pembangunan Kebun Sawit

Mid-Crown Chlorosis (defisiensi tembaga)

Gambut kuning/peat yellow (kekurangan seng)

Pertumbuhan sawit yang lebih lambat mencapai tua (mature)

dibandingkan dengan sawit yang ditanam di tanah-tanah mineral, selain

itu produksinya juga akan terus menerus mengalami penurunan sampai

pada tingkat yang tidak ekonomis

Sawit juga akan condong (leaning).

c. Ancaman terhadap pengembangan gambut

Pengeringan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan untuk

penanaman sawit pada lahan gambut

Akan mempengaruhi regim hidrologi dari kubah gambut (peat dome) dan

ekosistemnya

Drainase akan menurunkan air tanah (water table), sehingga tanah

gambut akan menjadi kering dan akan mudah terbakar.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jamaludin (2002) yang mengemukakan

bahwa hambatan utama dalam pengembangan gambut tropis seperti di Serawak

Malaysia dapat disarikan sebagai berikut :

Pemborosan sumberdaya alam gambut sebagai akibat drainase. Dalam

hal ini termasuk subsiden selama penyusutan, pemadatan, dekomposisi,

leaching, pengeringan yang tak dapat balik/irreversible drying serta

kehilangan materi gambut selama proses reklamasi.

Banjir dan bahaya air permukaan yang dangkal oleh karena elevasinya

yang rendah, situasi topografi dan hujan yang lebat.

Kapasitas-bawa tanah (soil bearing capacity) yang rendah (hanya 7,7

KN/m2 di permukaan) dan mempunyai trafficability rendah oleh karena

keberadaan dari kayu-kayu yang tidak terdekomposisi atau

terdekomposisi sebagaian di dalam tanah, sehingga akan menghambat

proses pertanian dengan cara mekanisasi.

Mempunyai kesuburan yang rendah, kondisi kemasaman yang tinggi

(pH-nya rendah) dan juga masalah sisa-sisa akar yang tertinggal dari

tanaman-tanaman keras musiman.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Di Serawak, satu tubuh individu gambut berkisar antara beberapa sampai 100.000

hektar dan pada umumnya mempunyai permukaan yang berbentuk

kubah/gundukan (dome-shape). Gambut pada umumnya diklasifikasikan sebagai

gambut ombrogen atau gambut penerima hujan dimana gambut tipe ini akan

mempunyai kandungan nutrisi yang rendah. Dikarenakan oleh geomorfologi pesisir

dan endapan alluvial sering kali gambut ini bentuknya akan memanjang dan

irregular/tidak teratur daripada yang berbentuk membulat. Kedalaman gambut

akan lebih rendah di daerah dekat pantai/pesisir dan akan semakin meningkat

kearah dalam, dan pada lokasi-lokasi tertentu dapat mencapai 20 meter. Air akan

memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan dan pemeliharaan

gambut tropis (Huat, 2003).

Lebih lanjut (Huat, 2003) mengemukakan bahwa keseimbangan antara hujan dan

evapotranspirasi adalah hal yang kritis bagi kelestarian gambut. Hujan dan

topografi permukaan akan mengatur karakteristik dari keseluruhan hidrologi dari

lahan gambut/peat land. Lahan gambut/peatland juga sering dikenal dengan istilah

lahan basah/wetland dikarenakan oleh kondisi air tanahnya (water table) yang

mendekati atau berada diatas dari permukaan gambut sepanjang tahun dan

berfluktuasi seiring dengan intensitas dan frekuensi curah hujan. Dari kacamata

sifat-sifat fisikanya, gambut di wilayah tropis pada umumnya adalah non homogen

bila dibandingkan dengan gambut dari wilayah temperate. Sifat-sifat fisikanya

tergantung dari banyak faktor seperti kandungan kayu, derajat

pembusukan/humification, bulk density, porositas, sifat menahan air/water holding

properties, dan hidrologinya (Huat, 2003).

Jinu (2002) mengemukakan bahwa persoalan di tanah gambut yang rata-rata

kedalaman 20 meter ke dalam bumi sangat sulit ditumbuhi komoditas keras. Di

samping sulit hidup karena kadar tanah sangat asam, juga tanah lemah. Ditiup

angin berkecepatan 15 km per jam saja, dipastikan banyak tumbang. Pengalaman

pengusaha perkebunan yang beroperasi di Kotawaringin Barat dan Kotawaringin

Timur, mereka mengeluhkan areal tanah gambut. Sawitnya sulit hidup dan sangat

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

rawan tumbang. Bahkan ada perusahaan perkebunan yang sampai tiga kali

merehab kebunnya karena tumbang.

Mengapa Lahan Gambut Yang Biasanya Tahan-Api Bisa Terbakar?

Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada

tahun-tahun yang luar biasa keringnya. Hal ini ditunjukkan secara tragis selama

terjadinya perang Vietnam, dimana hutan-hutan rawa gambut disemprot oleh

bahan-bahan kimia dan dibakar oleh bom napalm. Kebakaran-kebakaran yang

terjadi kemudian di’tahan’ oleh rawa-rawa gambut alami yang basah (Burning

Issues, 2003).

Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha

pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasan-kawasan gambut yang

dibalak dan dikeringkan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, di kawasan-

kawasan tersebut digali kanal-kanal untuk mengeringkannya, menyediakan akses

untuk pembalakan, dan untuk meyiapkan lahan bagi usaha-usaha pertanian.

Langkah pertama ini bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air

tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi/pengairan di lahan-

lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air

tanah. Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang

seperti spon dan dengan demikian juga kemampuannya untuk mengatur keluar-

masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah

menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan

kerusakan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat

gangguan yang terjadi (Burning Issues, 2003).

Saharjo (2003) mengemukakan bahwa karena gambut merupakan bahan bakar

yang terdapat di bawah permukaan, maka gambut juga merupakan salah satu

bahan bakar yang menyusun bahan bakar bawah. Bahan bakar bawah memiliki

kadar air yang tinggi daripada bahan bakar permukaan (serasah, ranting, log) dan

bahan bakar tajuk (tajuk pohon, daun, lumut, dan efifit). Bila terjadi kebakaran

pada bahan bakar bawah ini, yang biasa dikenal dengan istilah kebakaran bawah

(ground fire), maka kebakarannya akan terjadi secara perlahan-lahan karena tidak

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

dipengaruhi angin (berada di bawah permukaan) sehingga pola penyebarannya

tidak menentu serta sukar pula untuk menentukan di mana kebakaran itu

sesungguhnya terjadi karena yang tampak adalah hanya asap berwarna putih yang

terdapat di atas permukaan. Pola pembakaran ini biasa dikenal dengan istilah

smoldering combustion, pembakaran yang tanpa dibantu oleh oksigen (angin).

Tentu saja kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi berawal

dari kebakaran yang biasanya terjadi di permukaan. Penetrasi panas akibat dari

kebakaran yang terjadi di permukaan akan dialirkan ke bawah permukaan melalui

pori-pori gambut, log tertimbun yang terbakar, juga dapat melalui akar semak

belukar yang bagian atasnya terbakar. Penetrasi panas bisa dialirkan ke bawah

permukaan bila kadar air gambut cukup rendah sehingga memungkinkan

combustion terjadi, namun bila kadar airnya tinggi maka penetrasi panas akan

terhambat (Saharjo, 2003)..

Kebakaran permukaan akan berubah menjadi kebakaran bawah bila tingkat

permukaan air di bawah permukaan semakin turun akibat berkurangnya cadangan

air yang terdapat di gambut. Sehingga bisa dimengerti pada beberapa masyarakat

tradisional, mereka enggan membakar di lahan gambut ketika musim kemarau tiba

sebab ketebalan gambut yang terbakar akan makin besar dibandingkan dengan

kalau mereka bakar pada saat masih turun hujan (namun tidak lebat). Adapun

bagi perusahaan perkebunan (sawit) tinggi muka air dapat diatur melalui kanal

yang mereka buat (Saharjo, 2003).

Untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana pengaruh pembuatan kanal-

kanal terhadap kebakaran dapat dilihat dalam beberapa gambar berikut :

STRUKTUR HIPOTHETIS DARI PEAT DOME

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kondisi alamiah yang tidak terganggu, maka

aliran air di Peat dome akan berada pada kondisi yang setimbang (Equilibrium).

Kondisi ini memungkinkan sistem hidrologi lahan gambut untuk dapat

mempertahankan kondisi kadar airnya pada tingkatan dimana api sulit untuk bisa

membakarnya. Kadar air gambut pada musim kemarau yang cukup panjang pun

sebenarnya masih bisa dipertahankan, sebab kehilangan air karena

evapotranspirasi dari lahan gambut tidak secepat laju kehilangan air akibat

drainase. Oleh karenanya kebakaran yang ada sekarang lebih banyak diakibatkan

oleh karena perubahan struktur gambut dan terganggunya sistem hidrologi.

Adapun Pengaruh dari pembuatan drainase dan penanaman kelapa sawit terhadap

sistem hidrologi gambut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika tejadi kanalisasi di bagian bawah kubah

maka air akan tertarik keluar dari sistem gambut, gambut akan mengalami

subsidence, selain itu juga akan terganggunya regim hidrologi. Sedangkan jika

pembuatan kanal dilakukan di bagian lereng dome maka dampak negatifnya akan

lebih buruk yaitu air akan dengan cepat keluar dari sistem gambut, dome akan

mengalami keruntuhan/collapse, dan hilangnya fungsi gambut sebagai pengatur

tata air. Oleh karena itu pengeringan lahan gambut dengan pembuatan kanal

maupun pembuatan sekat bakar dengan pembuatan parit-parit akan berisiko

menimbulkan kebakaran hutan manakala pengaturan airnya tidak dilakukan

dengan baik.

Pembuatan parit dan kanal pada dasarnya merupakan manajemen yang tepat agar

lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian dan perkebunan.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Namun skala usaha yang bisa diusahakan seharusnya tidak boleh terlalu luas dan

lahan gambutnya masih terpengaruh oleh pasang surut air sungai, sehingga pada

kondisi tertentu ketika air sungai pasang air bisa dibendung untuk bisa

dimanfaatkan pada saat musim kemarau, selain itu tingkat kesuburannya juga

relatif lebih baik dibandingkan gambut di daerah pedalaman sebagai akibat adanya

suplai hara dari endapan sungai. Oleh karena itu bisa dimengerti kenapa

pembuatan kanal-kanal di lahan gambut Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta

hektar di Kalimantan Tengah mengalami kegagalan dan arealnya sering terjadi

kebakaran dikarenakan manajemen hidrologinya yang tidak tepat.

PENGARUH DRAINASE TERHADAP LAHAN GAMBUT

Air akan tertarik keluar dari sistem gambut

Gambut akan mengalamai subsidence

Terganggunya regim hidrologi

A

B

Air akan dengan cepat tertarik keluar dari sistem gambut

Peat dome akan runtuh (collapse)

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Hilangnya fungsi alami dari lahan gambut (sebagai pengatur tata air

Gambar 2 Pengaruh Drainase Terhadap Lahan gambut (a)

Sedangkan gambaran bagaimana drainase yang tidak terkontrol menyebabkan

terjadinya kebakaran hutan di lahan gambut, dapat dilihat pada ilustrasi seperti

pada Gambar 3.

SKENARIO YANG SEKARANG UMUM TERJADI – DRAINASE YANG TIDAK TERKONTROL AKAN MENYEBABKAN

KEBAKARAN GAMBUT

Gambar 3. Skenario yang umum terjadi dimana drainase yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya kebakaran di lahan gambut (Lee,2004).

Terlihat bahwa aspek utama yang menyebabkan kebakaran hutan adalah

keluarnya air dari suatu sistem gambut, kemudian terjadi pengeringan dan

penurunan kadar air yang pada akhirnya akan memudahkan gambut untuk

terbakar.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Selain itu kanal-kanal yang digali memberikan akses terhadap kawasan-kawasan

gambut yang dulu tidak tersentuh. Meningkatnya akses manusia memungkinkan

terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan, yang akan mengganggu

keseimbangan alami dari ekosistem rawa gambut. Jinu (2002) mengemukakan

contoh tentang pengaruh dari pembukaan lahan gambut sejuta hektar dan

pembuatan kanal-kanal di lahan tersebut, yaitu Sungai Barito (sepanjang 900 km),

Sungai Kapuas (600 km), dan Kahayan (600 km), mulai kehilangan fungsi

ekonomisnya. Masalahnya, permukaan air ketiga sungai tersebut berfluktuasi

hanya dengan hitungan jam atau hari. Sungai Kahayan, misalnya, dalam kurun

waktu 10 tahun terakhir, belum pernah terjadi air kering hanya dalam hitungan

hari. Biasanya, kalau terjadi kekeringan ada proses dalam beberapa minggu, tetapi

sekarang hanya dalam dua hari, air Sungai Kahayan seperti hilang tersedot.

Sebaliknya, air Sungai Kahayan bisa meluap dalam hitungan jam atau hari

sehingga membuat porak-poranda warga yang bermukim di tepian sungai tersebut.

Tidak ramahnya Sungai Kahayan tersebut sangat boleh jadi akibat pembukaan

lahan gambut sejuta hektar di samping eksploitasi hutan secara besar-besaran di

bagian hulu sungai. Perubahan itu dirasakan masyarakat setelah mega proyek itu

dibuka mulai tahun 1997. Persoalan yang terjadi di Sungai Kahayan mewakili

persoalan yang terjadi di Sungai Barito dan Kapuas.

Dampak lingkungan lainnya, di kawasan PLG itu sendiri sering terjadi banjir besar.

Sawah petani yang siap panen, mendadak berubah jadi danau karena banjir.

Biasanya, banjir datang sekali dalam setahun, terutama musim hujan. Sekarang

kasus bencana banjir bisa terjadi sampai lima kali dalam setahun, seperti yang

dialami pada tahun 2001 (Jinu, 2002).

Pemadaman Kebakaran di Lahan Gambut

Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat

menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka panjang. Gambut terbakar diatas

dan dibawah permukaan, dan karena itu sulit untuk dipadamkan. Metode-metode

pemadaman kebakaran yang mungkin diterapkan juga mahal. Untuk

mengendalikan kebakaran di lahan gambut secara efektif, orang harus menggali

gambut yang terbakar atau menggenanginya dengan air. Akan tetapi, dalam

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

musim-musim kering (yaitu ketika kebakaran terjadi), air jarang tersedia dan

karena itu menggenangi lahan gambut bukanlah suatu opsi yang dapat dilakukan.

Untuk mengatasi kebakaran lahan dan bencana asap tebal yang setiap tahun

terjadi di Kalimantan Tengah, kanal-kanal pada Proyek Lahan Gambut (PLG)

Sejuta Hektar di Kabupaten Kuala Kapuas dibendung. Pembukaan kanal-kanal

pada masa Orde Baru yang lebarnya 10-30 meter dan panjangnya telah mencapai

4.500 kilometer tersebut, diyakini telah menyebabkan lahan gambut terkelupas,

cadangan air pada lahan gambut terkuras dan akhirnya menyebabkan kebakaran.

Bendungan atau tabat dalam bahasa Dayak, dilakukan secara tradisional dengan

menggunakan kayu dan ribuan karung tanah. Meski demikian, penabatan yang

melibatkan masyarakat lokal ini berjalan efektif karena bendungan atau tabat

mampu menahan terkurasnya cadangan air pada lahan gambut agar tidak mengalir

ke Sungai Mentangai dan terus ke Sungai Kapuas. Berkat bendung tradisional ini,

pada kanal-kanal terbentuk semacam kolam yang panjangnya bisa mencapai enam

kilometer dengan kedalaman sekitar satu sampai empat meter itu berfungsi sebagai

sekat bakar agar api tidak menjalar dari satu areal ke areal lain (Kompas-Online,

2004).

Beberapa teknik yang lain untuk pemadaman kebakaran di kawasan gambut

memerlukan adanya penggalian kanal tambahan (sebagai akses ke lokasi

kebakaran). Kadang-kadang, air asin juga dipompa masuk untuk menggenangi

kawasan tersebut. Kedua teknik tersebut tampaknya menyebabkan degradasi lebih

lanjut dari kawasan gambut. Apabila api di lahan gambut tidak dapat

dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala dibawah permukaan dalam waktu

yang lama (bahkan tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca

menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala dibawah permukaan merusak sistem

perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian

tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau

sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensial bagi kebakaran

berikutnya.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Oleh karena itu, pengaturan air di lahan gambut harus bisa benar-benar dilakukan

dan dijaga keseimbangannya. Kelalaian dalam pengaturan kadar air akan dapat

menimbulkan bencana yang sangat merugikan baik berupa kebakaran gambut

maupun banjir. Banjir bisa terjadi sebagai akibat terbuka dan terbakarnya lahan

gambut sehingga siklus hidrologi di lahan gambut menjadi terganggu dimana pada

saat musim hujan air tidak bisa disimpan karena ketebalan gambut yang semakin

tipis maupun telah hilang sedangkan pada musim kemarau tidak banyak cadangan

air tanah yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kondisi gambut supaya tahan

terhadap kebakaran.

Menjadikan lahan gambut tahan kebakaran

Secara ekologi, pembakaran rawa-gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang

unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan

pencegahan banjir). Dalam hal ini, pemilahan antara sebab dan akibat harus

dilakukan secara hati-hati. Sebab-sebab dasar dari reduksi keanekaragaman jenis

hayati adalah salah pengelolaan dari kawasan-kawasan rawa-gambut serta

perencanaan tata-guna lahan yang memungkinkan terjadinya pengkonversian

kawasan-kawasan tersebut. Kebakaran mengikuti dan memperbesar dampak-

dampak negatif dari drainase (pengeringan air) dan mempercepat degradasi

kawasan-kawasan rawa-gambut.

Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan

cara mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian

khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang

sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan

konversi kawasan rawa-gambut harus dicegah. Apabila gambut menjadi kering

secara berlebihan, mereka akan kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya

yang menyerupai spon dan tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut

yang terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang

rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secara teratur dan karenanya

menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya. Penggunaan api di

kawasan gambut oleh masyarakat lokal hanya dapat dicegah apabila sumber

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

penghidupan alternatif dapat disediakan. Saat ini masih belum jelas apa bentuk

sumber penghidupan alternatif tersebut (Burning Issues, 2003).

Beberapa negara telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi

sehubungan dengan kebakaran di lahan gambut. Mereka secara khusus telah

melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan gambut,

namun anehnya tetap mengijinkan pengkonversian dan pegembangan kawasan-

kawasan tersebut. Malaysia dan Indonesia adalah negara-negara dimana hukum

yang berlaku melarang sepenuhnya penggunaan api di kawasan-kawasan gambut,

namun kegiatan-kegiatan pengeringan/drainasi dan pengembangan masih

diijinkan. Oleh karena adanya kontradiksi kepentingan tersebut jalan yang terbaik

adalah dengan Win-Win Solution antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan

lingkungan. Dari aspek hidrologi hal ini bisa dilakukan dengan manajemen

hidrologi yang baik.

Praktek-Praktek Pengelolaan yang Lestari

Melalui Manajemen Hidrologi

Ambak dan Melling (2000) mengemukakan bahwa sebenarnya istilah pertanian

yang lestari (sustainable agriculture) kemungkinan tidak akan bisa diterapkan

untuk kegiatan pertanian di lahan gambut oleh karena lahan akan menyusut dan

mengalami subsiden pada saat kegiatan pertanian dikembangkan. Namun

demikian, sebaiknya di bangun suatu cara untuk memperpanjang umur pakai dari

gambut dengan meminimalkan laju subsiden yang dapat dilakukan dengan

mengadopsi strategi yang tepat melalui manajemen air, tanah dan tanaman.

Menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui kondisi dari air tanah

(groundwater) dan juga air permukaan, bentuk dan ksaran fluktuasinya, pengaruh

dari saluran terhadap daerah di sekitarnya di lahan gambut. Kondisi hidrologi

akan memainkan peranan penting dalam pergerakan banyak substansi, kelestarian

dari gambut itu sendiri dan produktifitas pertanian (Inoue, 2000).

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Berkaitan dengan manajemen hidrologi di kawasan gambut untuk kegiatan

pertanian, maka berikut adalah beberapa strategi tentang manajemen air yang

bisa dilakukan (Ambak and Melling, 2000) :

Manajemen Air

Manajemen air adalah faktor yang paling penting dan kritis bagi pertumbuhan dan

produksi tanaman di lahan gambut. Hal ini tidak hanya sebatas pada tinggi

rendahnya permukaan air tanah namun juga mempunyai pengaruh yang nyata

terhadap manajemen tanaman, subsiden gambut dan irreversible drying dari

gambut tersebut. Manajemen air yang tidak efisien pada saat ketersediaan air

sangat terbatas atau pada saat air berlimpah adalah salah satu dari faktor utama

yang membatasi hasil pertanian. Oleh karena itu sistem manajemen air yang baik

memerlukan sistem drainase yang berfungsi dengan baik.

1. Drainase dan Drainability

Drainase adalah merupakan prasyarat untuk berbagai penggunaan bagi

kegiatan pertanian di lahan gambut. Tanpa drainase yang mapan, maka

penanaman dengan tanaman yang biasa di tanam di lahan kering akan sulit

dilakukan, sebagaimana gambut yang terdapat di Malaysia yang terbentuk di

daerah dataran rendah dengan kondisi permukaan air tanah normalnya lebih

tinggi dari permukaan tanah serta berfluktuasi tergantung pada hujan.

Drainase merupakan aspek yang penting dari manajemen air untuk

pengembangan kegiatan pertanian di lahan gambut. Jaringan drainase untuk

pertanian di lahan gambut harus bisa lebih rendah dari muka air tanah yang

juga bisa dipergunakan untuk mengalirkan air pada saat hujan lebat yang

biasanya menimbulkan banjir/genangan. Hal ini penting untuk menjaga agar

tanaman pertanian tidak rusak, karena sebagian besar dari tanaman-tanaman

tersebut tidak bisa terlalu lama tergenang air. Jaringan drainase juga harus

bisa dipergunakan untuk mengeringkan air-air genangan dengan waktu yang

cepat, sebab keterlabatan pengeringan akan menyebabkan produksi pertanian

menurun atau tanaman mengalami sekarat.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Sistem drainase terdiri dari jaringan yang menghubungkan antara berbagai

petak, saluran pengumpul dan saluran utama (main drains). Intensitasnya

tergantung pada kondisi alamiah tanah dan hujan. Sistem drainase harus

didesain untuk mengatasi kondisi hujan lebat yang tidak umum yaitu hujan

yang bisa mencapai 4000-5000 mm/tahun untuk meminimalisasi efek dari banjir

sesaat. Hujan yang demikian tidak tersebar secara merata sepanjang tahun.

Karena terdapat musim hujan dan musim kering/kemarau, oleh karena itu

sistem drainase juga harus didesain untuk bisa mengatasi hal ini.

Sistem drainase juga harus terdiri dari saluran-saluran yang dangkal dan juga

dengan jarak yang lebih sempit daripada saluran yang dalam dan jaraknya

lebar (Ritzema et al, 1988 dalam Ambak dan Melling, 2000), sehingga akan lebih

mudah untuk membangun bangunan pengatur tinggi muka air yang melintas

saluran. Untuk mengatur tinggi muka air dan menjaga masuknya air pasang

dari sungai, yang dibeberapa tempat adalah berupa air payau, maka pintu air

juga harus dibuat di ujung dari saluran utama menuju ke sungai.

Penghilangan lumpur juga perlu dilakukan. Gulma juga merupakan problem

utama. Jika gulma-gulma tersebut tidak diperiksa, maka dapat menghambat

sistem drainase, yang tentunya akan mempengaruhi kapasitas maupun laju

aliran. Oleh karena itu pembabatan rumput diperlukan untuk menjaga saluran

tetap dalam kondisi baik.

Konsekuensi dari drainase adalah mengeluarkan air dari hutan rawa gambut

yang mana air ini merupakan dasar dari keberadaannya. Drainase akan

memicu suatu proses yang tidak bisa dielakkan yaitu irreversible subsidence,

yang mana hal ini akan bertentangan dan menjadi penghambat bagi kegiatan

pengembangan dan penggunaan lahan gambut untuk pertanian (Andriesse,

1988 dalam Ambak and Melling, 2000). Oleh karena itu menjadi sangat

penting untuk menghindari kondisi gambut yang terlampau kering.

Pengeringan yang berlebihan akan mengakibatkan subsiden dan banjir,

menurunkan water holding capacity, meningkatkan keberadaan tanah-tanah

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

sulfat masam, kebakaran hutan, irreversible drying, serangan hama dan

penyakit, ketidakseimbangan nutrisi dan penurunan hasil tanaman. Fenomena

ini mempunyai dampak terhadap penggunaan yang lestari dari tanah gambut

untuk pertanian dan secara nyata akan memperpendek nilai ekononis dari

lahan.

Dalam perencanaan pembuatan drainase di lahan gambut, penting juga untuk

mempertimbangkan potensi drainability dari suatu areal tertentu yang dapat

lestari. Dalam konteks ini, drainability yang lestari mengacu pada drainase

gravitasi, yang mana hanya akan mungkin dan ekonomis jika lapisan tanah

mineral subsoil-nya berada diatas rata-rata tinggi muka air dari badan air

terdekat dimana air drainase dilewatkan (discharge). Hal ini disebakan oleh

karena permukaan tanah masih akan berada diatas ketinggian tersebut

meskipun seluruh gambut hilang terdekomposisi. Oleh karena itu drainase

dengan gravitasi (gravity drainage) dapat lestari hampir untuk jangka waktu

yang tidak tertentu. Namun demikian hal ini bisa menjadi sulit dan tidak

ekonomis atau bahkan menjadi tidak mungkin untuk dikembangkan jika

gambutnya berada dibawah rata-rata tinggi muka air. Graviy drainage juga

akan menjadi sulit manakala lokasinya jauh dari badan-badan air dikarenakan

oleh adanya tambahan hydraulic head sekitar 20 cm per kilometer. Jika hal ini

terjadi, maka areal tersebut akan tergenang dan pengembangan areal pertanian

di tempat tersebut akan gagal kecuali pengukuran dan perhitungan yang mahal

terhadap kemungkinan bunding dan pemompaan dilakukan.

2. Water-Table Control

Jika drainase merupakan hal penting, maka perawatan agar tinggi air tanah

tetap konstan dengan kisaran yang optimal untuk produksi tanaman juga

penting. Tinggi air tanah harus dijaga supaya setinggi mungkin dengan

menggunakan struktur pengatur tinggi air yang memadai. Sejumlah weirs

dibuat melintang saluran penampung (collection drain) di posisi-posisi yang

strategis untuk menjaga kebutuhan tinggi air dan juga dapat mengatur tinggi

air lebih tinggi selama periode hujan yang rendah yaitu dalam rangka menjaga

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

supaya tidak terjadi over drainage. Sebagai contoh dari sistem manajemen air,

didasarkan pada prinsip desain yang sama dapat ditemukan di United

Plantation di Perak (Singh et al., 1986 dalam Ambak and Melling, 2000). Di

kebun kelapa sawit mereka yang di tanam di lahan gambut, mereka

membangun sejumlah bangunan di saluran penampung untuk mengontrol tinggi

air dalam blok seluas 50 Ha. Di dalam blok, sistem drainase tersier yang

intensif, dengan jarak 30 meter, dijaga kedalaman air tanahnya pada 0,6 sampai

0,9 dibawah permukaan tanah.

Kebutuhan akan tinggi muka air berbeda tergantung jenis tanaman yang

dibudidayakan. Tinggi muka air yang optimal bervariasi seiring dengan

kedalaman dari zona perakaran tanaman. Selain itu juga mempunyai

kebutuhan yang bervariasi secara temporal tergantung pada fase pertumbuhan

tanaman dan juga aktifitas pengolahan tanah seperti penugalan dan

pemanenan. Idealnya, muka air sebaiknya didesain supaya berada sekitar 20

cm dibawah zona perakaran tanaman setelah mempertimbangkan laju dari

capillary rise (perambatan air kapiler keatas) dan Capillary fringe (perambatan

air kapiler ke samping/pinggir) di lahan gambut tersebut. Beberapa rata-rata

muka air optimum untuk keragaan terbaik dari beberapa tanaman pertanian

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Tinggi Muka Air Tanaman Yang ditanam di Lahan Gambut (Ambak and Melling, 2000)

Tanaman Kedalaman Muka air (cm) Referensi Kelapa Sawit 50 – 75 Singh et al (1986) Nanas 60 – 90 Tay (1980); Zahari et al. (1989) Sagu 20 – 40 Melling, et al.(1998) Singkong/Ketela 15 – 30 Tan and Ambak (1989);

Zahari et al. (1989) Kacang Tanah 65 – 85 Ambak et al. (1992) Kedelai 25 – 45 Ambak et al.(op cit) Gandum 75 Ambak et al.(op cit) Ubi Jalar 25 Ambak et al.(op cit) Asparagus 25 Ambak et al.(op cit) Sayur-Sayuran 30 - 60 Leong and Ambak (1987)

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Jatuhnya muka air terlalu rendah di bawah zona perakaran karena subsiden

juga akan berdampak pada hasil pertanian yang diusahakan, khususnya selama

musim kering. Rendahnya konduktansi aliran air keatas dari gambut juga

akan berdampak pada terhambatnya pengisian air di zona perakaran tanaman

melalui capillary rise, hal ini akan mengakibatkan tanaman menjadi stress air.

Muka air perlu dijaga pada kondisi yang setinggi mungkin namun konsisten

dengan pertumbuhan tanaman. Selama musim kering, muka air sebaiknya

lebih tinggi lagi untuk mencegah terjadinya kebakaran gambut.

Pemilihan jenis tanaman yang akan di kembangkan pada suatu lahan gambut

yang khusus menjadi sangat penting. Pemilihan ini tentunya akan

menentukan kebutuhan dari kedalaman drainasenya. Menjadi sesuatu yang

tidak bijaksana manakala mengembangkan tanaman pada lokasi gambut yang

sama dengan kedalaman perakaran tanaman akan muka air sedalam 75 cm

(misalnya untuk kelapa sawit), jika di perkebunan sekitarnya sedang dicoba

untuk menjaga agar tinggi muka air pada kedalaman 30 cm (misalnya untuk

sagu). Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik tentang kebutuhan air.

Pemiihan tanaman dalam hubungannya dengan lokasi daerah tangkapan juga

harus dipertimbangkan dengan baik supaya tidak mempengaruhi fungsi dari

rawa gambut sebagai sumber pasokan air. Hama seperti tikus (utamanya

Rattus tiomanicus) dan rayap (Coptotermes curvignatus) dapat dikurangi atau

dicegah dengan muka air yang tinggi serta manajemen air yang baik.

Penjagaan muka air setinggi mungkin juga dapat mendorong pertumbuhan

Nephrolepsis dengan cepat, yang akan menutup permukaan gambut sehingga

permukaan gambut tidak terbuka, selain itu juga akan menjaga lingkungan

menjadi lebih dingin. Pemamaparan permukaan gambut di bawah matahari

langsung akan mcenderung membentuk organic crusting yang mana hal ini

akan berakibat pada semakin menurunnya infiltrasi dan meningkatkan aliran

permukaan dan juga tentunya akan meningkatkan erosi gambut. Tanaman

penutup legum tidak dianjurkan sebab dapat meningkatkan laju mineralisasi

gambut, yang pada akhirnya akan meningkatkan laju subsiden.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

3. Irigasi

Manakala tinggi muka air tidak bisa dikontrol dan selalu berada jauh di bawah

dari kedalaman yang dibutuhkan, maka irigasi perlu dilakukan, khususnya bagi

pertanaman yang berdaur pendek (tanaman semusim). Hal ini penting untuk

menjaga suplai air bagi pertumbuhan tanaman sebagaimana juga untuk

menjaga pengeringan yang berlebihan di lapisan top soil.

Untuk tanaman tahunan, maka perhitungan irigasi harus dipertimbangkan.

Jadwal penanaman dan sistem irigasi yang dibutuhkan harus

memperhitungkan jumlah air tanah yang tersedia di atas tinggi muka air,

jumlah air hujan beserta distribusinya dan evapotranspirasi dari areal tersebut.

Harus terdapat pengatur perhitungan yang memadai terhadap suplai air dari

sumber-sumber yang ada untuk irigasi balik khususnya pada saat musim

kering.

4. Banjir (Flooding)

Dalam rangka meminimalkan terjadinya subsiden tanah, maka pendekatan

yang paling baik adalah dengan cara membanjiri tanah dan mengadopsi

penggunaan akuatik dari lahan gambut seperti penanaman dengan tanaman

yang Hidrofilik (suka-air) atau tanaman yang tolerant terhadap air dan secara

ekonomis juga penting, misalnya Chinese water chestnuts (Eleocharis tuberosa),

Chinese spinach (Amaranthus hybridus), Kangkung (Ipomoea aquatica), water

cress dan lain-lain.

Penutup

Manajemen air di kawasan gambut memegang peranan yang sangat penting

baik bagi pertumbuhan tanaman maupun bagi usaha pencegahan kebakaran

hutan. Semakin baik manajemen air yang diterapkan maka produktifitas hasil

pertanian dan perkebunan juga akan semakin baik disamping bahaya

kebakaran lahan gambut bisa dihindari. Sebaliknya jika manajemen airnya

jelek maka produktifitas pertanian juga akan menurun dan kemungkinan

bahaya kebakaran gambut bisa terjadi.

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008

Daftar Pustaka

Ambak, K and Melling, J. 2000. Management Practices for Sustainable Cultivation of Crop Plants on Tropical Peatland. In Proceedings of the International Symposium on TROPICAL PEATLANDS. Bogor, Indonesia, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian Institute of Sciences. pp. 119-134 (2000)

Burning Issues. 2003. Membakar lahan gambut sama artinya dengan membuat

polusi asap. Project Officer, Project FireFight South East Asia N0. 7 Mei 2003.

Chokkalingam, U dan Suyanto. 2004. Kebakaran, mata pencaharian, dan

kerusakan lingkungan pada lahan basah di Indonesia: lingkaran yang tiada berujung pangkal. Fire Brief. Nomor 4. Oktober 2004.

Huat, B. K. 2003. An Integrated Approach Needed For Peatland Development.

Sunday Tribune (9 March 2003). http://www.eng.upm.edu.my/asset2/ archives/12.Anintegratedapproach.htm

Inoue, K. Discussion on Rural Development of Peat Swamp Area of Central

Kalimantan from Hydrological Aspect. In Proceedings of the International Symposium on TROPICAL PEATLANDS. Bogor, Indonesia, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian Institute of Sciences. pp. 145-149 (2000)

Jamaludin B. J. 2002. Sarawak : Peat Agricultural Use. STRAPEAT. March 2002.

MARDI. Malaysia.. Jinu, A. 2002. Proyek PLG Sejuta Hektar Dari "Lumbung Beras" Berubah Jadi

Lumbung Masalah. Kompas-Online, Rabu 20 Pebruari 2002. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0202/20/ daerah/dari28.htm

Kompas-Online, 14 Oktober 2004. Atasi Kebakaran, Kanal Lahan Gambut Sejuta

Hektar Dibendung. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/14/daerah/1325305.htm.

Lee, D. 2004. Concept Proposal : Reducing Impacts and Enhancing Sustainable

Management of Oil Palm. Presentation Matter on 2nd Round Table Meeting on Sustainable Palm Oil. 5-6th October 2004 – Grand Hyatt Jakarta, Indonesia.

Saharjo, B. H. 2003. Kebakaran Gambut. Kompas-Online, 21 Juli 2003.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/21/ilpeng/440416.htm

Bejo Slamet : Manajemen Hidrologi di Lahan Gambut, 2008 USU Repository © 2008