Nuansa 132

13
1 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA NuansA MEMADUKAN IDEALISME, OBJEKTIVITAS DAN KREATIVITAS TABLOID MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG POLITIK MAHASISWA Kritis atau Apatis ? Edisi 132/TH XXV/ 2013 ISSN 0852 - 259 Perjalanan Hal 12 Kudus, Surganya Rokok Kretek Perjalanan Hal 12 Pasar Semawis, Semarak Nuansan Cina Jepret Hal 12 Jepret Hal 13

description

 

Transcript of Nuansa 132

Page 1: Nuansa 132

1NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

NuansANuansAMEMADUKAN IDEALISME, OBJEKTIVITAS DAN KREATIVITAS

TABLOID MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

POLITIK MAHASISWAPOLITIK MAHASISWAKritis atau Apatis ?

Edisi 132/TH XXV/ 2013

ISSN 0852 - 259

Perjalanan Hal 12Kudus, Surganya Rokok Kretek

Perjalanan Hal 12

Pasar Semawis, Semarak Nuansan CinaJepret Hal 12Jepret Hal 13

Page 2: Nuansa 132

2 3NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

NUANSAMemadukan Idealisme, Objektivitas,

dan Kreativitas

Tabloid Mahasiswa Nuansa diterbitkan oleh : Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri SemarangMerupakan media komunikasi, informasi, dan kreasi sivitas akademika yang memadukan idealism, objektivitas, dan kreativitas mahasiswa. Terbit berdasarkan SK Rektor IKIP Semarang Nomor 53/1983.

Alamat RedaksiKantor BP2M Unnes, gedung UKM Lt. 2 Kampus Unnes Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229

Telp. (024) 70789389Website: www.bp2munnes.com

Email: [email protected]

Wah, Unnes perbanyak ge-dung.iya dong.. kan mahasiswanya banyak

Sekarang masuk Unnes jalan kaki.Ah, apa iya?

Mau naik bus Unnes, nunggu-nya dimana ya ?Kalau bisa sih di halte, tapi kalau nggak bisa ya nggak apa-apa

Siapa yang tidak kenal dengan salah satu program konservasi yang berbunyi One Man One Tree? Slogan tersebut adalah

salah satu upaya Unnes sebagai universi-tas konservasi dalam menyelenggarakan program konservasinya. Program ini sebagai wujud kecintaan Unnes pada lingkungan. Dengan ditanamnya pohon-pohon di lingkungan kampus, diharap-kan generasi mendatang masih bisa me-nikmati dan menghirup sejuknya oksigen.

Perlu kita sadari, terlaksananya pro-gram One Man One Tree selain menim-bulkan dampak yang positif, ternyata juga

menimbulkan dampak yang negatif. Pohon-pohon yang kian tinggi,

akar-akar yang kian kuat dan daun-

d a u n

y a n g lebat, ba-nyak menyum-bangkan sampah ran-ting dan dedaunan. Terlebih jika musim kema-rau tiba, daun-daun kering yang berjatuhan menghiasi lingkungan kampus tercinta ini. Pada akhirnya sampah-sampah itu pun hanya dibakar sia-sia atau sebagian kecil dibuat pupuk kompos. Padahal, sebenarnya daun-daun kering itu bisa dijadikan hasta karya yang bernilai seni tinggi. Namun sayang, tak banyak yang memanfaatkannya.

Sejenak saya berpikir, bagaimana se-andainya program One Man One Tree

“One Man One Trush”

Sebagai mahasiswa pastinya menginginkan agar bisa cepat lulus dan mendapatkan peker-

jaan dengan mudah serta sesuai dengan bidangnya. Apalagi banyak mahasiswa dan sebagian masyarakat yang memiliki pandangan dengan kuliah seseorang nantinya lebih mu-dah mendapatkan pekerjaan diban-dingkan orang yang hanya lulus SD, SMP, atau SMA. Meskipun pada kenyataannya masih banyak maha-siswa yang telah lulus sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Oleh karena itu, menjadi sarjana tidak menjamin se-seorang akan mendapatkan peker-jaan dengan mudah.

Sedangkan perguruan tinggi berharap kelak lulusannya memi-liki kompetensi dan daya kreativitas yang tinggi. Karena dengan begitu, perguruan tinggi merasa telah ber-hasil mengarahkan mahasiswanya dengan baik dan benar. Universitas sebagai perantara untuk mencetak generasi baru yang akan memajukan negara. Maka dari itu, untuk dapat mencapai tujuan tersebut sebagian jurusan menerapkan kebijakan-ke-

Nadlifatun NuroniyahMahasiswa Sejarah 2011

Fakultas Ilmu Sosial

Naili RohmahMahasiswi PG PAUD 2009Fakultas Ilmu Pendidikan

dibarengi juga dengan program One Man One Trush? Mungkin akan terjadi ke-sinambungan sebuah program. Program ini tidak hanya berlaku pada sampah dedaunan yang berguguran, tapi berlaku juga bagi sampah plastik, kertas, botol, dan sebagainya. Jika tiap orang mau mengam-bil satu sampah daun atau sampah apapun ketika menemuinya di jalan, bisa dibayangkan betapa bersihnya kam-pus tercinta ini. Apalagi dengan adanya program berjalan kaki atau bersepeda di area kampus. Tentunya program tersebut sangat mendukung program One Man One Trush ini. Apa beratnya sih, jika seorang pejalan kaki memungut satu sampah saja? Saya yakin berat satu sampah daun atau plastik tidak akan melebihi berat tas yang kita bawa. Setelah itu buanglah sampah tersebut di tempat sampah, toh di Unnes tersedia banyak tempat sampah. Bagaimana, tidak merepotkan, bukan?

Namun permasalahannya sekarang, tak banyak dari kita yang menyadari pentingnya kebersihan. Bukankah kita sudah tahu kebersihan itu sebagian dari iman? Lalu, mengapa kita masih tega membiarkan sampah berserakan di jalan? Atau bahkan kita sendiri yang sengaja membuang sampah sembarangan, me- ninggalkan bungkus permen di laci meja, meninggalkan bungkus jajan di taman, dan lain-lain. Teman, kita semua orang yang beriman, bukan? Kalau begitu, mari kita pungut sampah yang ada di hada-pan kita, lalu buanglah pada tempatnya.

Lulus dengan Keterampilan Plusbijakan tertentu untuk meluluskan mahasiswanya.

Seperti halnya yang terjadi di Ju-rusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Untuk mampu lulus kuliah tidak hanya dengan ujian skripsi saja. Na-mun, ada ujian UKDBI yang meng-haruskan semua mahasiswa untuk mengikutinya sebagai syarat kelulu-san. Selain itu, di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum juga menerap-kan Ujian Komprehensif untuk ma-hasiswanya.

Menurut pan-dangan saya ada dua faktor yang melatarbelakangi diterapkannya ke-bijakan tersebut, yaitu faktor in-ternal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari jurusan atau pun fakultas yang ingin membekali mahasiswa de-ngan kemampuan tambahan yang nantinya berguna

di dunia kerja. Selain itu, dengan adanya kebijakan tersebut dapat menumbuhkan rasa tanggug jawab bagi mahasiswa. Sehingga, diharap-kan kelak lulusan mampu bertang-gung jawab dengan pekerjaannya. Selanjutnya dari faktor eksternal, saya melihat hal tersebut merupakan sebuah formalitas guna menaikkan nama jurusan yang bersangkutan.

Yang perlu dipertanyakan seka-rang, apakah dengan adanya ujian tambahan tersebut akan benar-benar

menambah kualitas dari lulusannya? Dan mampukah bersaing di dunia kerja? Pada-hal dalam ujian terse-but perlu ketekunan yang penuh dari ma-hasiswanya. Mereka harus lebih giat lagi agar bisa lulus ujian tersebut. Awalnya saya sempat kaget ketika saya mende-ngar ada mahasiswa yang harus berulang-kali mengikuti ujian UKDBI untuk dapat

lulus. Dalam hati saya berkata sesulit itukah apa untuk bisa lulus sampai harus mengulangnya berapa kali?

Barangkali mahasiswa lain yang tidak memperoleh ujian tambahan tersebut akan merasa kaget seperti yang terjadi pada saya. Apalagi jika mengetahui ujian tersebut menjadi salah satu syarat kelulusan. Sudah pasti akan muncul pro dan kontra. Mau bagaimana lagi? Kebijakan tetap kebijakan dan harus tetap diikuti. Karena hal tersebut merupakan kebi-jakan yang tidak bisa diganggu gugat oleh mahasiswanya. Jadi, mau tidak mau harus tetap mengikutinya agar bisa mendapatkan gelar sarjana.

Meskipun begitu, setidaknya diberikannya suatu penghargaan se-bagai nilai plus bagi mahasiswa yang telah berusaha keras mengikuti ujian tersebut, hingga akhirnya bisa lulus. Karena sudah sepatutnya kita mem-berikan penghargaan atas kerja keras mereka.

Tesa

Nadlifatun NuroniyahMahasiswa Sejarah 2011

“Selamat datang di kampus konservasi”. Sebuah sapaan hangat untuk setiap orang

yang datang ke kampus tercinta ini. Ya, “Konservasi” kini menjadi sebuah integritas luhur bagi Univer-sitas Negeri Semarang.

Lalu, sebenarnya apa sih konser-vasi itu? Sebagian orang me-maknainya dengan sesuatu yang erat kaitannya dengan alam, lingkungan, dan seba-gainya. Pada hakikatnya, k o n s e r v a s i merupakan peng-gabungan dua kata yaitu con (together) dan servare (keep, save). Sedangkan secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Ing-gris, conservation yang be-rarti pelestarian atau perlin-dungan. Kemudian menurut F.D Roosevelt, konservasi dapat diar-tikan mengenai segala upaya kita dalam hal pemeliharaan secara bijaksana.

Apakah konservasi hanya terkait pada pelestarian ling-kungan? Tentu tidak. Di universitas kebanggaan ini konservasi tak hanya terbatas pada pelestarian lingkungan. Melainkan, ada pula pula konservasi seni budaya, moral, dan lain-lain. Pertanyaannya sekarang, apakah be-nar kalau kampus ini sudah konser-vasi?

Seperti kita ketahui, kampus me-rupakan sarana untuk mengembang-kan potensi baik secara akademik maupun non-akademik. Namun, ba-gaimana jadinya jika kampus dijadi-kan sebagai sarana untuk mengepul-kan asap rokok? Saat jeda kuliah, di sudut-sudut kampus, seperti di ta-man, di kantin, dan tempat-tempat lainnya, menjadi tempat pilihan se-

Biasakan Diri untuk Konservasibagian mahasiswa untuk menghisap rokok.

Sungguh ironis. Kesadaran ma-hasiswa untuk menaati sebuah pera-turan masih sangat minim. Bagi mereka peraturan hanya terbatas pada sebuah tulisan yang terpajang. Itu pun jika mereka tak lupa memba-canya dan mau mentaatinya.

Jika mereka beranggapan bahwa merokok adalah hak

setiap individu, maka seharusnya mereka juga tahu

bahwa di antara hak mereka ada hak-hak

mahasiswa lain untuk menghi-rup udara segar, mendapatkan kesehatan yang baik, dan hak-hak lainnya. Tapi kini hak-hak itu harus terampas oleh para mahasiswa perokok aktif.

Selanjutnya mengenai lun-turnya etika dan moral mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang notabene-nya adalah kaum intelektual, mesti-

nya paham, apa arti etika dan bagaimana menerap-kannya. Namun sayang, etika dan moral yang baik

masih jauh dari harapan. Mulai dari mahasiswa yang terlambat ku-liah, membudidayakan copy-paste da-lam mengerjakan tugas, mencontek saat ujian, dan sebagainya. Tak ha-nya itu, berpakaian yang tidak sopan dan budaya pacaran tak senonoh juga masih menjadi pemandangan yang sering terlihat di kampus konservasi ini.

Sejenak saya berpikir, apakah ini cerminan mahasiswa di kampus kon-servasi? Tidak, bukan? Kalau begitu, mari kita mulai membiasakan diri untuk konservasi.

Ana Nisa FitriatiMahasiswa Ilmu Hukum 2010

Fakultas Hukum

“Mahasiswa a d a l a h Agent of C h a n g e

dan Agent of Social Con-trol. Slogan itu tentu tak asing lagi didengar. Kedua predikat yang melekat dalam diri mahasiswa itu seringkali dibicarakan dalam seminar, perkuliahan, jejaring sosial, atau bahkan meja pemerin-tahan.

Ya, dalam era reformasi ini, mahasiswa yang secara

umum didefinisikan sebagai kaum ter-pelajar memang berpotensi besar sebagai agen pe-rubahan. Maha-

siswa adalah sosok yang kreatif, idealis, dan

berani. Bahkan acap kali ma-hasiswa menjadi inspirator bagi publik dalam mengu-tarakan gagasan dan tuntuta-nnya.

Dalam menjalankan pe-rannya sebagai agen pe-rubahan, mahasiswa tentu memerlukan banyak bekal. Beberapa di antaranya ada-lah kepandaian berbicara di depan umum dan kekriti-san menanggapi berbagai permasalahan. Cara untuk mengasah kedua hal terse-but adalah dengan terjun ke dalam organisasi kemaha-siswaan. Dengan belajar ber-organisasi, social-relationship mahasiswa akan terasah, sehingga mereka dapat men-jadi organisatoris yang da-pat mengelola hubungan masyarakat dengan baik. Se-lain itu, dengan mengikuti or-ganisasi kemahasiswaan kita juga belajar politik.

Seperti kita ketahui bah-wa kampus merupakan suatu tempat di mana mahasiswa mencari ilmu atau belajar sebagai bekal menjalani ke-hidupan sesungguhnya di

masyarakat. Teori yang me-reka dapatkan di bangku ku-liah tentunya bersifat ideal (masih murni dan tidak di-campuri oleh kepentingan apa pun). Itulah sebabnya banyak orang mengatakan mahasiswa memiliki idea-lisme yang tinggi. Pada kon-teks inilah mahasiswa akan terlihat jelas apakah mampu dan pantas meraih predikat agent of change dan agent of social control.

Setelah beberapa bulan lalu tabloid ini mengupas tentang tantangan maha-siswa dalam berwirausaha, kini kami mencoba mengu-pas tentang hal yang erat kaitannya dengan kehidupan politik mahasiswa. NuansA akan mengupasnya melalui perspektif kami. Tentu ada keterbatasan. Oleh karena itulah, kami terbuka meneri-ma masukan. Selamat mem-baca. Salam.

Pembina: Rektor Universitas Negeri Semarang; Penasihat: Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan; Penanggung Jawab: Dr. Cahyo Budi Utomo M.Pd.; Pendamping: Drs. Eko Handoyo, MSi; Pemimpin Umum: Dewi Maghfiroh; Sekretaris Umum: Charisfa Nuzula; Pemimpin Perusahaan: Noor Juni; Bendahara Umum: Andang Firdiansyah; Litbang: Vera Hardiyana; Pemimpin Redaksi: Septi Indrawati; Sekretaris Redaksi: Nadlifatun Nuronniyah; Bendahara Redaksi: iin ; Redaktur Pelaksana: Uswatun Chasanah; Editor: Ambar Kurniawati; Reporter: Ibnu, Uus, Vio, Arum, Dati, Nadlif, Juni, Ambar, Mahda, Septi, Vera, Yusri, Didit, Heru, Sugi; Ilustrator: Arifin;Lay Out: Lutfi Anshori; Cover: Syaifudin.

~ Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini, cerita pendek, puisi, dan naskah lain yang sesuai dengan visi dan misi NuansA. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak menyalahi isi. Semua naskah yang masuk menjadi hak redaksi. Penulis naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sepantasnya

NANSTRIPSlentingan

Surat Pembaca Salam Redaksi

Politik Mahasiswa Kritis atau Apatis ?

Page 3: Nuansa 132

4 5NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Pada dasarnya tujuan utama kuliah adalah mencari ilmu. Banyak ilmu dapat diperoleh

oleh seorang mahasiswa ketika telah menginjakkan kaki di lingkungan kampus. Tak hanya ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan program studi yang ditempuh, berbagai ilmu lain se-bagai bekal kehidupan ke depan juga dapat diperoleh.

Ketika mahasiswa memiliki ke-mauan yang kuat untuk mengum-pulkan ilmu-ilmu lain tersebut, pihak penyelenggara pendidikan tentu ha-rus memberikan media-media untuk mengeksplor kemauan tersebut. Se-perti dengan membuka Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berkaitan dengan minat yang digandrungi ma-hasiswa. Di samping itu, kemam-puan-kemampuan tambahan yang berkaitan dengan ilmu yang digeluti di bangku perkuliahan juga perlu un-tuk ditambahkan.

Salah satu kebijakan di kampus konservasi ini adalah adanya ujian tambahan yang berkaitan dengan ilmu studi pada jurusan-jurusan ter-tentu. Tentu saja ujian tersebut akan memiliki manfaat bagi mahasiswa kelak. Contohnya adalah Ujian Kete-rampilan Dasar Berbahasa Indonesia (UKDBI) pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Ujian Kompre-

Ibnu MajahMahasiswa Sejarah, 2011

Fakultas Ilmu Sosial

Perlu Status yang Jelashensif pada Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Ekonomi (FE). Jika be-lum lulus ujian tersebut, mahasiswa belum dapat menempuh ujian skripsi. Ini selayaknya mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa untuk mendapatkan ge-lar sarjana (untuk S1). Padahal tidak ada bobot Sistem Kredit Semester (SKS) baik dalam ujian Ujian Ke-mampuan Dasar Berbahasa Indone-sia maupun Ujian Komprehensif.

Jika dipikir, dengan adanya ujian tersebut me-mang akan meni-ngkatkan kemam-puan mahasiswa dalam mengelola ilmu yang selama ini ditempuh dalam perkuliahan. Perlu kita ingat kembali bahwa tujuan utama kuliah adalah mencari ilmu sebanyak mungkin, sehingga ujian yang diberlakukan tersebut seharus-nya mampu mendorong mahasiswa untuk menguasai materi yang akan diujikan.

Namun, yang menjadi masalah

saat ini adalah status dari ujian terse-but yang menjadi salah satu syarat lulus kuliah. Kita ketahui bahwa ujian tersebut tidak memiliki bobot SKS. Jika mata kuliah wajib memang ditempuh untuk dapat lulus kuliah,

itu suatu hal yang lumrah, karena di dalamnya pun terkandung SKS. Tetapi jika yang menentukan kelu-lusan mahasiswa tanpa dasar status yang jelas, menurut saya perlu diperta-nyakan.

Jika memang benar yang menjadi dasar dari adanya ujian-ujian tamba-han tersebut adalah untuk meningkat-kan kemampuan mahasiswa jurusan

tertentu, akan lebih baik jika ujian-ujian tersebut dimasukkan ke dalam SKS supaya tidak menimbulkan ber-bagai macam pertanyaan. Sehingga mahasiswa hanya perlu menjalankan aturan pertama yang berupa kewa-jiban untuk lulus mata kuliah wajib yang di dalamnya sudah terdapat mata kuliah seperti Kuliah Kerja Nya-

ta (KKN), ujian-ujian tambahan (se-perti UKDBI dan komprehensif), dan lain-lain sebagai syarat lulus.

Tetapi jika memang ada suatu ke-bijakan lain yang tetap mengharuskan mahasiswa untuk lulus ujian tamba-han tersebut sebagai syarat lulus ku-liah tanpa memasukkannya ke dalam SKS, tentu dapat dipertimbangkan kembali. Di sini yang perlu diperha-tikan adalah seperti apa kebijakan tersebut harus disosialisasikan kepada mahasiswa yang bersangkutan, sehi-ngga ke depan tidak akan ada protes-protes di belakang karena masalah kesalahpahaman.

Selanjutnya mahasiswa jangan sampai memikirkan hal ini berlarut-larut sampai membuat kehilangan waktu belajar. Tugas utama mahasiswa (masih) harus belajar. Aturan apa pun yang kelak akan diterapkan, kita perlu mematuhinya asalkan aturan tersebut memang memiliki dasar manfaat yang jelas dan baik serta tidak merugikan pihak manapun. Begitu pula dengan aturan ujian-ujian tambahan pada be-berapa jurusan tersebut.

Ibnu MajahMahasiswa Sejarah 2011

Peran Mahasiswa dalam Politik di Indonesia

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda menempati peran yang sa-

ngat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan pemuda menjadi tulang punggung dalam perjuangan mela-wan penjajahan Belanda dan Jepang ketika itu. Hingga kini, peran terse-but tetap disandang oleh pemuda Indonesia. Selain sebagai pengon-trol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh peme-rintah/ penguasa, pemuda Indone-sia juga secara aktif melakukan kri-tik, hingga mengganti pemerintahan apabila tidak lagi pro-rakyat. Hal ini dapat dilihat pada kasus jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh gera-kan pemuda, yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan pemuda tahun 1966. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemuda dalam menumbangkan Pemerin-tahan Soeharto 32 tahun kemudian. Peran yang disandang pemuda In-donesia sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kon-trol sosial (Agent of Social Control) hingga saat ini masih efektif. Pemu-da mampu menstimulus partisipasi politik rakyat dalam upaya mengon-trol setiap kebijakan yang dibuat penguasa.

Politik Mahasiswa di Indone-sia

Kehidupan kampus terutama politik kampus tentu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan aktivis mahasiswa, yaitu mereka yang tidak hanya menghabiskan masa kuliah-nya dengan menghadiri kelas-kelas formal di universitas tetapi juga menyibukkan diri dalam organisasi. Mereka bergelut dengan agenda-agenda organisasi, mengikuti ba-nyak forum diskusi, berada di garis terdepan dalam mengkritisi kebi-jakan-kebijakan kampus maupun pemerintah pusat. Selain itu, me-reka juga melakukan advokasi bagi sesama mahasiswa hingga melaku-kan pengabdian masyarakat di luar kampus. Satu hal yang menjadi ciri khas dari para aktivis mahasiswa ini adalah mereka memiliki kesadaran sosial politik yang lebih dibanding mahasiswa pada umumnya. Mereka juga tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut sebagai idealisme. Ke-beradaan para aktivis mahasiswa ini kemudian dapat dikatakan menjadi motor penggerak dinamika sosial politik di kampus. Jika kita mau melihat jauh ke depan, itu artinya keberadaan para aktivis kampus ini juga akan menjadi cikal bakal kon-disi politik negara Indonesia di masa yang akan datang.

Mahasiswa merupakan bagian integral dari perguruan tinggi yang dikenal sebagai simbol intelektua-litas. Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali mempresen-tasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong ma-hasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi dengan cara mere-

ka sendiri. Gerakan dan partisipasi mahasiswa juga pada hakikatnya adalah gerakan intelektual karena intelektualitas merupakan ciri khas yang inheren (melekat/menyatu) dalam diri mahasiswa sebagai kelas menengah terdidik. Oleh karena itu, pergerakan mahasiswa ditun-tut mampu menunjukkan kadar in-telektualnya. Gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan ilmiah yang dibangun di atas basis rasionalitas yang tangguh.

Benedict Anderson, seorang In-donesianist mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Hal ini terlihat dari uraian periodisasi di bawah ini:

Masa Pemerintahan Orde Lama

Karakteristik dari politik pe-muda Indonesia masa Pemerin-tahan Soekarno adalah menginduk kepada partai-partai politik yang tumbuh subur ketika itu. Banyak dari pemuda percaya bahwa deng-an menginduk ke partai politik ter-tentu maka upaya untuk memba-ngun basis kepemimpinan pemuda akan dengan sendirinya berjalan. Hampir semua partai besar seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indone-sia (PKI), hingga partai-partai kecil memiliki organ kepemudaan yang berafiliasi ke partai bersangkutan. Namun langkah tersebut dirasakan oleh para pemuda kurang strate-gis, ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, di mana figur Soekarno menjadi simbol tung-gal negara. Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemuda ketika itu adalah melakukan pengkritisan ter-hadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya. Akan tetapi, sebagaima-na diketahui bersama bahwa lang-kah melakukan tersebut berujung pada konflik pemuda ketika itu. Se-bagian memilih berada di samping Soekarno, sebagian lain memilih berhadap-hadapan dengan Soekar-no. Konflik antarorganisasi pemuda pun pecah, bahkan telah mengarah kepada kriminalisme. Upaya untuk saling menjelek-jelekkan antar or-ganisasi terjadi secara sistematis. Pemuda Rakyat, Gerakan Maha-siswa Nasional Indonesia (GMNI), Barisan Pendukung Soekarno (BPS), berlawanan dengan Himpu-nan Mahasiswa Islam (HMI), serta organisasi pemuda partai yang tidak mendukung kepemimpinan Soekar-no seperti Pemuda Perti, Pemuda Persis, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, dan lain sebagainya

Masa Pemerintahan Orde Baru

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi dengan praktik korupsi yang merajalela. Selain itu, kesenjangan antara rakyat kaya dan miskin juga semakin melebar. Ham-pir selama 32 tahun gerakan ma-hasiswa berusaha dibungkam oleh rezim berkuasa, yaitu Rezim Orde

Baru atau yang biasa dikenal Masa Demokrasi Pancasila.

Awal permulaan pada masa pe-merintahan Orde Baru tahun 1966 ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum yang lebih baik setelah rakyat bersama maha-siswa dan pelajar secara bergelom-bang turun ke jalan menentang kesewenang-wenangan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hu-kum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan kon-sekuen”. Suasana harmonis tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara, maka dari sini-lah mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenangan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata baru dapat dilaksana-kan tahun 1971, karena usaha peng-galangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan wak-tu cukup lama.

Masa pemerintahan yang begitu panjang menjadi arena membung-kam demokrasi dan menenggelam-kan partisipasi masyarakat luas dalam hampir semua sektor kehidu-pan, sampai untuk membangun gedung-gedung SD di seluruh Indo-nesia harus lewat Inpres (instruksi presiden). Maka dapat disaksikan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, ketika terjadi krisis moneter, ekonomi yang dibangun dengan sta-bilitas politik dan keamanan itu ron-tok ibarat bangunan tanpa pondasi yang baru dilanda gempa bumi, rata dengan tanah.

Dapat dikatakan bahwa pada masa Pemerintahan Soeharto, kaum muda mengalami bulan madu poli-tik yang singkat. Perbedaan ideologi di tubuh organisasi pemuda yang dibiarkan tumbuh seirama dengan perkembangan bangsa selama Pe-merintahan Soekarno mulai dibata-si. Hal ini terkait dengan adanya pe-nyederhanaan partai yang dilakukan oleh Pemerintah Soeharto. Pemben-tukan Komite Nasional Pemuda In-donesia (KNPI) sebagai organisasi payung bagi organisasi kepemudaan yang ada menjadi salah satu bentuk pengekangan dan pembatasan hak-hak politik pemuda dan organisasi lainnya. Organisasi-organisasi pe-muda yang menolak kebijakan Soe-harto, kemudian dicap sebagai or-ganisasi pemuda yang tidak bersih dan bukan tidak mungkin diberi cap komunis.

Keputusan untuk menon-ideologikan semua organisasi pe-muda ini kemudian menghasilkan perlawa-nan-perlawanan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Pe-merintahan Soeharto kala itu. Ada tiga karakteristik organisasi pe-muda pasca-pembentukan KNPI. Pertama, organisasi pemuda yang

Bersambung halaman 7

Lulus ujian skripsi tidak menja-min seorang mahasiswa lulus dari universitas, karena pada

kenyataannya masih ada ujian-ujian lain yang menjadi syarat lulus selain ujian skripsi. Seperti Ujian Kemam-puan Dasar Berbahasa Indonesia (UKDBI) pada Jurusan Bahasa Indo-nesia dan Ujian Komprehensif pada Jurusan Hukum, Padahal ujian-ujian tersebut tidak masuk dalam Sistem Kredit Semester (SKS).

Namun, ujian-ujian tersebut sebe-narnya adalah tolok ukur seorang lulu-san. Apakah mereka sudah menguasai dasar keilmuan untuk terjun langsung dalam ranah yang lebih riil pekerjaan yang akan digeluti nantinya. Seperti yang diungkapkan seorang lulusan Ju-rusan Bahasa Indonesia bahwa EYD wajib dikuasai, karena akan sangat berguna nantinya. Begitu pula Ujian Komprehensif yang terdiri atas tiga mata kuliah (Pengantar Hukum In-donesia, Pengantar Ilmu Hukum, dan Ilmu Negara), di mana mata kuliah tersebut termasuk mata kuliah umum. Jadi ujian-ujian yang tidak memiliki bobot SKS tersebut dilaksanakan bu-kan tanpa dasar/alasan.

Segala hal yang telah diterima dalam pembelajaran pastinya memi-liki hikmah tersendiri untuk maha-siswa, hanya saja kembali pada maha-

Tak Ada yang Sia-Siasiswanya bisakah mengambil hikmah itu atau tidak. Seorang mahasiswa khususnya dan pelajar pada umum-nya dianjurkan untuk meresapi, me-mikirkan, dan banyak mengulang apa yang telah disampaikan oleh pengajar. Karena hal tersebut akan membuah-kan kepahaman, di mana seorang mahasiswa nantinya tidak hanya lu-lus untuk mencari pekerjaan saja, melainkan memi-liki ranah yang lebih luas dalam mengaplikasikan ilmunya.

M a h a s i s w a seharusnya bisa m e m p e r o l e h pelajaran dari siapa pun, ka-pan pun, dan dalam keadaan bagaimana pun untuk memper-kaya diri. Seperti pendidikan karakter yang kebanyakan diperoleh bukan dari pendidikan formal, melainkan dari keluarga dan interaksi dengan lingkungan.

Tidak ada kata sia-sia dalam men-cari ilmu. Beberapa hal dapat menjadi pembelajaran observasional bagi ma-hasiswa. Mereka bisa mendapatkan

pengalaman tidak langsung dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidu-pan.

Berbicara tentang aplikasi ilmu, tidak serta merta mahasiswa da-pat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dalam hidupnya. Hanya dengan fondasi yang kuatlah maha-siswa dapat mengaplikasikan ilmu

tersebut dengan ‘be-nar’. Fondasi itu tidak hanya diperoleh dari pembelajaran me-lainkan pengalaman-pengalam lain yang menunjang. Tapi terkadang mahasiswa enggan mencari tam-bahan ilmu terse-but, sehingga dosen memutar otak agar dapat ‘memaksa’ ma-hasiswa mempelajari suatu keterampilan yang dimasukkan da-

lam ujian-ujian yang tidak masuk da-lam SKS tersebut.

Tidak perlu berburuk sangka dulu terhadap ujian-ujian yang menurut beberapa oknum mahasiswa merepot-kan dan sulit dite-rima tersebut. Ten-tunya dosen telah memiliki pertim-bangan yang tidak hanya dipikirkan dalam waktu singkat untuk memutus-

kan memberikan ujian-ujian tersebut.Kembali pada hal yang di-sebutkan

di atas bahwa hikmah selalu ada di balik ilmu yang dipelajari. Tidak ada yang tidak berguna dalam praktik nya-tanya nanti. Mungkin kita tidak bisa merasakannya sekarang, karena ilmu merupakan tabungan jangka panjang. Namun, percayalah kelak kita bisa merasakan buah dari perjuangan kita menuntut ilmu saat ini.

Wakhidati MaimunahMahasiswa Psikologi 2011

Tesa Laporan Utama

Wakhidati MaimunahMahasiswa Psikologi / 2011

Fakultas Ilmu Pendidikan

Tesa Edisi Depan

Mulai tahun ajaran 2013/2014 Unnes mulai memberlakukan kebi-jakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Hal ini menimbulkan berbagai pro dan kontra. Penggolongan ke dalam 5 kategori membuat biaya yang harus ditanggung mahasiswa berbeda-beda. Di sini ada beberapa masalah, seperti bagaimana jika mahasiswa lulus lebih dari 8 semester, mereka harus mem-bayar biaya yang sama pada semester selanjutnya sesuai dengan kategorin-ya.

Menurut Anda, apakah kebijakan UKT meringankan atau malah mem-beratkan mahasiswa ? Tulis pendapat Anda sepanjang 3.500 karakter with space, kirim ke [email protected] atau langsung ke kantor kami, Gedung UKM Lantai 2.

Page 4: Nuansa 132

6 7NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd, mengungkapkan bahwa kampus adalah lembaga

pendidikan, tidak ada politik di kampus, yang ada adalah kajian tentang politik. Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) adalah lembaga yang mengembang-kan kepemimpinan di univer-sitas. Menurutnya pengertian politik adalah cara memper-oleh kekuasaan, sedangkan orientasi di kampus adalah keilmuan, sifatnya objektif, dan keilmiahan. “Mahasiswa digerakkan dalam bidang aka-demis, dengan menghasilkan karya berupa Program Kreati-fitas Mahasiswa (PKM),” jelas-nya. Dia menyatakan perlunya mengkaji politik di universitas agar tidak buta politik. “Ka-jian politik ini bersifat akade-mis, high akademik dengan melakukan kajian-kajian ter-hadap politik, hal ini dibuk-tikan dengan adanya jurusan Ilmu Politik di Unnes,” ung-kapnya, Kamis (21/3).

Menurutnya, gerakan ma-hasiswa ekstra kampus seperti Persatuan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII), Ikatan Pela-jar Nahdatul Ulama / Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama (IPNU/IPPNU), dan Lembaga Masyarakat Desa (LMD) me-rupakan wadah pengemba-ngan berupa komunitas yang terstruktur. “Organisasi ekstra ini memberikan kontribusi terhadap Kedewasaan ma-hasiswa, membentuk jati diri mahasiswa dengan pengem-bangan yang telah diberikan,” ungkapnya.

Lebih lanjut Dia menyata-kan bahwa kampus tidak mem-perbolehkan ada campur tan-gan dari partai dan sekretariat partai di kampus. “Mempela-jari politik berperan untuk me-manajemen diri, untuk mem-punyai karakter pemimpin. Untuk itu mahasiswa di-wajibkan mempunyai sifat kepemimpinan, yaitu sikap yang mampu memimpin dan dipimpin. Sifat kepemimpinan ini akan berguna setelah lulus, karena semua kehidupan di masyarakat perlu kepemimpi-nan,” terangnya.

Pembantu Rektor Bidang

Kemahaiswaan ini juga men-jelaskan bahwa Unnes ada-lah lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi norma-norma kependidikan. “Pema-haman mahasiswa keliru jika ada politisasi di kampus, yang benar adalah adanya kajian politik di kampus. Unnes ber-gerak dalam bidang pendidi-kan, penelitian, dan pengabdi-an masyarakat. Bukan hanya Unnes, melainkan semua per-guruan tinggi pun harus bebas perpolitikan praktis, karena perguruan tinggi adalah lem-baga yang menjunjung tinggi nilai pendidikan,” imbuhnya.

Ada pun menurut Benny Sumardiana, Dosen Fakultas Hukum, Politik Kampus me-rupakan sistem yang dijalank-an oleh aktivis mahasiswa yang dibuat untuk mendapat apa yang dikehendakinya se-cara organisasi, jabatan dalam organisasi, dan ideologi. “Ada banyak alasan mahasiswa mengikuti kegiatan politik kampus. Ada yang memang ingin belajar berorganisasi, mengetahui sistem politik

yang ada di kampus, dan ada pula yang hanya ingin mengisi waktu luang,” ungkap Dosen Pidana ini.

Pengertian politik kampus diungkapkan pula oleh Presi-den BEM KM 2013 Makhmud Kuncahyo. Menurutnya kam-pus tidak hanya untuk tempat calon pendidik, tetapi juga se-bagai miniatur negara, tempat pemerintahan mahasiswa baik tingkat universitas, fakultas, maupun jurusan. “Politik da-lam konteks kampus berbeda dengan negara. Politik kam-pus lebih soft, bernurani, dan berbeda dengan politik di luar sana yang notabene busuk tidak ada harapan. Pelaksa-naan politik di kampus masih murni karena pelaksanaannya adalah mahasiswa yang ber-pikiran idealis,” jelasnya.

Menurutnya, arti dari poli-tik di kampus adalah cara un-tuk mencapai tujuan, dengan melakukan cara atau strategi yang lebih baik, beretika yang tidak ada unsur money politik untuk membentuk opini pub-lik. Uus, Septi

Makna Kajian Politik di Kampus

Banyaknya mahasiswa yang apatis terhadap kehidupan politik di kampus, menurut

Benny Sumardiana, Dosen Pidana Fakultas Hukum kare-na beberapa faktor. Pertama, perilaku aktivis kampus yang kurang simpati terhadap ma-hasiswa lain. Kedua, kurang-nya dukungan dari universitas sehingga mahasiswa cende-rung apatis. Ketiga, tidak adanya paksaan untuk beror-ganisasi. Karena alasan-ala-san itulah, hingga kini masih banyak mahasiswa yang tidak peduli dengan kehidupan poli-tik kampus. Meskipun begitu Benny tetap memberikan pe-san bagi aktivis kampus untuk dapat berpolitik selayaknya politikus kampus, memperta-hankan ideologi, dan menghin-dari politik praktis.

Senada dengan Benny, Su-kari Ketua BEM FE 2011 juga mengungkapkan ada 3 fak-tor yang menyebabkan maha-siswa bersifat apatis terhadap pemilihan lembaga kemaha-siswaan seperti Hima, BEM Fakultas dan BEM Univer-sitas, yaitu kurangnya sosia-lisasi terhadap mahasiswa oleh KPU, kurangnya penoko-han diri calon terhadap maha-siswa, dan ketidaktahuan ma-hasiswa sendiri. “Sosialisasi dari KPU sebenarnya sangat penting. Karena hal itu seba-gai jembatan mahasiswa de-ngan calon yang ada. Namun, biasanya sosialisasi hanya di-lakukan beberapa hari sebe-

Mahasiswa Apatis atau Kritis?lum adanya pemilihan. Selain itu, para calon juga jarang sekali yang turun langsung agar mahasiswa dapat me-ngenalnya. Sedangkan, maha-siswa sendiri juga kebanyakan setelah kuliah langsung pu-lang dan jarang sekali mau mengerti hal-hal seperti ini,” jelasnya.

Berbeda dengan Dony Kusuma Ari-wibawa, menurut-nya mahasiswa tidak apatis. Dony yang menjabat sebagai Presiden BEM KM 2012 justru menganggap m a h a s i s w a m e m p u n y a i sikap kritis. Dia yakin bahwa se-t iap

mahasiswa memiliki ranah minatnya masing-masing. Se-hingga ketidakikutan maha-siswa dalam Pemira mungkin karena kurang begitu tahu in-formasi tentang hal tersebut.

“Masalah yang sering terjadi sebenarnya

a d a l a h kurangnya komunika-si ketika

melaksana-kan progja

di BEM KM. Sehingga me-n y e b a b k a n kurang mak-simalnya pe-layanan BEM KM terhadap m a h a s i s w a . M e s k i p u n

s e b e n a r n y a kami su-

d a h

berusaha dengan publikasi melalui website, sosialiasi ke BEM-BEM fakultas, dan lain-lain,” imbuhnya.

Rafidika Rizaldi, presiden BEM FBS 2013 yang dilantik awal Maret ini menolak tegas ketika mahasiswa FBS diang-gap apatis terhadap politik kampus. Sependapat dengan Dony, Dia juga mengungkap-kan jika mahasiswa sesung-guhnya justru sangat kritis. Dika, menjelaskan adanya calon tunggal di FBS selama tiga tahun terakhir ini bukan berarti gambaran dari sikap apatis mahasiswa. Lebih lanjut Dika menerangkan bahwa hal itu memang sudah diskenario seperti itu. Banyaknya jurusan di FBS dengan karakteristik yang berbeda, membuat para aktivis FBS sepakat untuk me-munculkan calon tunggal di setiap Pemilu. “Kami berusaha untuk menghindari perpecah-an. Makanya kami munculkan dulu calon-calonnya lalu kami sharing. Karena tujuan kami sama untuk kebaikan FBS, maka kami rembuk bersama untuk menentukan yang ter-baik. Alasan kami yang utama adalah kami tidak ingin keke-luargaan yang sudah terbentuk sejak lama ini, tiba-tiba hancur gara-gara pemilu. Memang kelemahannya kita dianggap apatis dibanding fakultas yang

lain, tapi ya itu tadi kami tidak ingin kekeluargaan di

antara kami pecah,” jelas-nya (20/3). Nadlif, Ibnu,

Ambar.

Untuk mengetahui se-jauh mana pengeta-huan dan tanggapan

mahasiswa Universitas Ne-geri Semarang (Unnes) den-gan dunia perpolitikan di lingkungan kampus, Redaksi Tabloid NuansA mengadakan jejak pendapat melalui me-tode angket. Jejak pendapat dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi maha-siswa Unnes tahun 2013 ka-tegori reguler dan paralel se-banyak 350 responden yang tersebar di 8 fakultas. Polling dilakukan pada Senin (25/3) dengan teknik pengambilan sampel purposive simple ran-dom sampling dengan taraf kepercayaan 95%, namun ha-sil polling tidak mewakili su-ara mahasiswa secara keselu-ruhan.

Mahasiswa Unnes Masih ApatisMengenai pengetahuan

mahasiswa tentang dunia perpolitikan di dunia kampus 35,71% responden tahu, na-mun 33,14% belum tahu dan 25,43% tidak mau tahu de-ngan dunia politik di lingku-ngan kampus.

Di lingkungan Unnes terda-pat lembaga kemahasiswaan yang bergerak di bidang per-politikan baik di tingkat juru-san maupun di tingkat univer-sitas semisal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), namun 49,71% responden me-nyatakan tidak mau bergabung dalam organisasi tersebut, 13,43% menyatakan sudah pernah bergabung dan 31,14% responden belum pernah dan punya keinginan untuk ikut serta.

Ketika ditanya mengenai minat untuk mencalonkan diri sebagai ketua lembaga kemahasiswaan 66,57% res-ponden menyatakan tidak berminat untuk mencalonkan diri, 20,28% belum memikir-kan hal tersebut, dan 7,43% menyatakan berminat untuk mencalonkan diri di salah satu lembaga kemahasiswaan.

Semenjak Makhmud Kun-cahyo dilantik menjadi Presi-den Mahasiswa tahun 2013 pada bulan Januari lalu, 42,28% responden menya-takan sudah tahu namun 36% dari responden tidak mau tahu dan 16% belum tahu.

Pemilihan Raya (Pemira) merupakan pesta demokrasi di Unnes yang diselenggara-kan tiap tahun untuk memi-lih presiden mahasiswa, ketua

HIMA, DPM, dan lain-lain yang mengikutsertakan ma-hasiswa untuk ikut andil di dalamnya. Berdasarkan hasil polling 46% responden me-nyatakan sudah pernah ikut Pemira, namun 33,71% tidak mau ikut andil ketika Pemira diselenggarakan.

Berdasarkan hasil polling dapat ditarik simpulan bahwa mahasiswa Unnes masih be-lum memiliki pengetahuan yang cukup tentang dunia per-politikan di kampus. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya responden yang tidak mau ikut dalam lembaga kemaha-siswaan, namun mahasiswa Unnes sudah memiliki kesa-daran untuk ikut andil dalam Pesta demokrasi kampus yaitu pemira. Litbang

menerima kebijakan yang dibuat dalam menyatukan ideologi, yakni ideologi Pancasila terhadap semua organisasi kepemudaan. Organisasi tersebut antara lain: HMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, dan berbagai organisasi pemuda yang loyal terh-adap kebijakan pemerintahan. Ked-ua, organisasi pemuda yang berbasis di kampus. Organisasi pemuda ini mampu bersembunyi di balik organ-isasi kemahasiswaan yang formal. Organisasi kampus ini justru dalam kurun waktu 32 tahun Pemerin-tahan Soeharto banyak melakukan perlawanan dan penolakan terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Baru tersebut. Tercatat berbagai peristiwa politik yang dilakukan oleh mahasiswa da-lam melakukan oposisi terhadap ke-

bijakan yang dibuat oleh Soeharto, seperti: Pe-ristiwa Lima Belas Janu-ari (Malari) 1974 yang menyebabkan kerusuhan dan sentimen antiproduk Jepang. Peristiwa tahun 1978, yakni serbuan aparat militer dan kepoli-sian ter-hadap kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya. Serta yang terakhir, ke-tika ribuan massa dari berbagai kam-pus menduduki gedung DPR/MPR serta simbol kenegaraan lainnya di berbagai kota, yang mengakibatkan Presiden Soeharto, yang berkuasa lebih dari 32 tahun itu mengundur-kan diri dari kursi kepresidenan.

Peran dan Partisipasi Maha-siswa Dalam Era Pasca-Orde Baru (Era Reformasi)

Era Reformasi atau Orde Refor-masi sering disebut sebagai “Era

Pasca-Orde Baru”. Era Reformasi di Indonesia dimulai pada perte-ngahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Sejak orde re-formasi mahasiswa kembali bebas mengekspresikan dirinya sebagai agen kontrol dan agen perubahan tatanan demokrasi hingga dihasil-kan tatanan politik Indonesia pasca-Reformasi yang lebih demokratis yang diakui oleh dunia internasion-al. Pemuda secara umum didefinisi-kan sebagai mahasiswa atau kaum terpelajar yang memiliki potensi besar dalam proses perubahan. Mahasiswa adalah sosok yang suka berkreasi, idealis dan memiliki ke-beranian serta menjadi inspirator dengan gagasan dan tuntutannya.

Namun, format kehidupan maha-siswa saat ini, sedikit banyak telah terpengaruh oleh sistem kehidupan yang berlaku sekarang, yaitu sistem demokrasi kapitalis.

Di pentas sejarah panggung poli-tik Indonesia, politik kampus men-jadi sebuah keunikan tersendiri bagi sejarah perjalanan politik di Indone-sia. Kentalnya budaya-budaya politik di arena nyata politik praktis Indo-nesia sangat memengaruhi budaya politik yang ada di Kampus. Begini-lah adanya, politik eksternal kampus sangat berpengaruh pada politik internal kampus. Bahkan kampus menjadi sasaran empuk untuk men-jadi ladang kaderisasi partai politik atau organisasi–organisasi politik eksternal kampus.Yusri Maulina.

(dari berbagai sumber)

Peran ....

Laporan Utama Laporan Utama

Page 5: Nuansa 132

8 9NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Politik Kampus Tumbuhkan Jiwa Kepemimpinan Mahasiswa

Biodata NarasumberNama : DR. Eko Handoyo, M.SiTempat, tanggal lahir : Pati, 8 Juni 1964Alamat : Perum Trangkil Gunungpati

SemarangRiwayat Pendidikan : SD Puri SMP Purnama SMA Negeri 1 Pati IKIP Semarang Universitas Gadjah Mada UKSW Salatiga

Prestasi : - Lulusan terbaik S1 - Lulusan terbaik S3 - Dosen teladan - LKT Korpri

Pekerjaan : Pembantu Dekan 1 bidang akademik Fakultas Ilmu So-sial, Dosen Unnes sejak tahun 1988

DR. Eko Handoyo, M.Si

“Politik itu kotor menurut kita yang tidak ada

di dalamnya kini, namun ketika suatu saat nanti kita harus berpolitik, maka terjunlah selami sedalam mungkin.”

Pernahkah Anda ber-temu dengan orang yang apatis terhadap politik, bahkan mereka meman-dang bahwa politik itu ko-tor bahkan lebih buruk dari itu? Politik pada dasarnya merupakan cara atau proses untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Jadi da-lam hal apapun ketika kita berusaha mencapai suatu keinginan dengan meng-gunakan strategi, maka di situlah politik diguna-kan. Namun, masyarakat cenderung berpikir sempit dengan memaknai politik hanya pada cara maupun strategi untuk mendapat-kan kekuasaan. Pola pe-mikiran semacam itulah yang menyebabkan ba-nyak orang menilai bahwa

Politik (Tak Selamanya) Kotorpolitik itu buruk. Karena ketika kita berbicara ten-tang kekuasaan atau tah-ta, maka kita juga akan membicarakan suatu has-rat yang sulit dibendung, sama halnya seperti hasrat ingin mendapatkan harta.

Sementara kampus merupakan suatu tem-pat di mana mahasiswa mencari ilmu atau belajar sebagai bekal menjalani kehidupan sesungguh-nya di masyarakat. Teori yang mereka dapatkan di bangku kuliah tentu-nya bersifat ideal (masih murni dan tidak dicampuri oleh kepentingan apapun), itulah sebabnya banyak orang mengatakan maha-siswa memiliki idealisme yang tinggi. Akan menjadi suatu hal yang tidak tepat ketika kemurnian tersebut dikotori oleh kepentingan-kepentingan tertentu untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah or-ganisasi kemahasiswaan. Lembaga itu jelas meru-pakan tempat di mana ma-hasiswa memoles social relationship-nya, agar ke-tika terjun ke masyarakat mahasiswa-mahasiswa tersebut pun dapat men-jadi organisatoris yang da-pat mengelola hubungan dalam masyarakat dengan baik. Organisasi kemaha-siswaan mengajarkan ban-yak hal kepada mahasiswa, salah satunya politik. Sama seperti organisasi lainnya, organisasi kema-hasiswaan juga menawar-kan posisi-posisi yang cukup menggiurkan untuk di duduki oleh fungsio-narisnya. Posisi menarik itulah yang memancing mahasiswa untuk berpikir strategi apa yang akan di-gunakan untuk mendapat-kan posisi tersebut. Tentu-nya strategi politik yang digunakan harus yang ide-al, karena pada dasarnya mahasiswa sedang dalam proses belajar tidak ber-saing secara nyata. Na-mun ternyata hal tersebut

tidak dimaknai betul oleh para fungsionaris organi-sasi kampus. Mereka jus-tru menggunakan strategi politik yang tidak ideal untuk mendapatkan posisi tersebut. Strategi politik itu bermacam-macam, ada yang mencoba mengenal-kan diri dengan banyak memasang gambar yang tidak beraturan dan jus-tru mengotori lingkung-an, meraup suara dengan memberi sogokan rokok untuk calon pemilihnya, dan parahnya ada yang mencoba meraih suara dengan membuat propa-ganda atas nama kedaera-han, suku, bahkan agama.

Tepat memang ketika adagium/pepatah yang digunakan untuk mem-bela para politisi kampus ini adalah “belajar harus maksimal, tidak setengah-setengah”. Namun disa-dari atau tidak mahasiswa sendiri memiliki dua tang-gung jawab besar, yakni tanggung jawab mem-buat sejarah untuk diri-nya sendiri dan tanggung jawab menjaga beban se-jarah yang telah dibuat oleh pendahulunya. Bu-kan perkara mudah untuk menanggung kedua beban tanggung jawab itu, ka-renanya mahasiswa ditun-tut untuk lebih cerdas dan berkualitas.

Padahal di sisi lain para organisatoris kampus itu juga harus memikir-kan sebuah misi yang lebih penting, yaitu poli-tik praktis yang dikibar-kan oleh partai. Awalnya mereka masuk melalui organisasi kemahasiswaan ekstra kampus kemudian meluas ke organisasi in-tra kampus. Seperti yang kita ketahui Universitas Negeri Semarang (Unnes) saat ini telah berkembang menjadi sebuah univer-sitas besar bertaraf inter-nasional. Unnes sedang gencar melakukan pem-bangunan dan pembena-han di berbagai aspek. Mulai dari penambahan

Benny Sumardiana, S.H., M.H.Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unnes

gedung-gedung, fasilitas belajar-mengajar, sampai pengembangan kualitas tenaga pendidikan dan kependidikan. Unnes se-bagai universitas negeri yang cukup dikenal, tiap tahunnya selalu menarik minat ribuan alumni siswa sekolah mene-ngah. De-ngan seleksi yang ketat kemudian terpilihlah ma-hasiswa yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pada akhirnya, jumlah mahasiswa yang melimpah menjadi modal utama uni-versitas ini untuk berkem-bang menjadi universi-tas besar. Namun, perlu diketahui bahwa modal ini lah yang membuat Unnes menjadi incaran politisi-politisi elit untuk meraup suara mahasiswa sebanyak-banyaknya. Ini-lah yang sebenarnya harus dipikirkan oleh para ma-hasiswa, sebagai garda terdepan perbaikan Indo-nesia menjadikan bangsa yang lebih baik dengan. Salah satunya menghindari perpolitikan elit masuk ke kampus.

Sampai detik ini gera-kan mahasiswa terus be-rada di depan untuk me-ngawal perubahan baik dalam masalah ekonomi, sosial, politik pemerin-tahan, pendidikan, dan semacamnya. Pergerakan semisal meneliti, meng-kritisi, menuntut, menen-tang, bahkan menolak kebijakan-kebijakan yang dilihat tidak sesuai de-ngan nurani masyarakat atau menyimpang dari undang-undang yang ber-laku telah menjadi ritual wajib bagi mahasiswa. Memang status mahasiswa sebagai garda terdepan pe-rubahan bangsa menuntut mahasiswa untuk tetap pada idealismenya. Pada konteks inilah mahasiswa akan terlihat jelas apakah mampu dan pantas meraih predikat agent of change dan agent of social con-trol.

Wawancara Laporan Utama

Dalam lingkungan kampus, banyak mahasiswa yang

berlomba-lomba untuk menjadi politisi kampus seperti pengurus HIMA (Himpunan Mahasiswa), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun Presiden Mahasiswa BEM Universitas. Lembaga Kemahasiswaan tersebut dibangun untuk mengatur organisasi dan menum-buhkan jiwa kepemimpi-nan mahasiswa.

Berikut petikan wawan-cara Tabloid Nuansa den-gan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan, Fakultas Ilmu Sosial, Uni-versitas Negeri Semarang.

Apakah politik kampus itu?

Politik kampus jangan diartikan politik untuk memperoleh kekuasaan, tetapi politik kampus yang dimaksud hanya belajar untuk memimpin.

Mengapa ada politik kampus?

Politik kampus diban-gun bertujuan untuk me-ngajak mahasiswa bela-jar untuk memimpin dan berorganisasi. P o l i t i k

kampus merupakan kebu-tuhan mahasiswa untuk aktualisa-si diri. Maha-siswa yang sudah menda-patkan ilmu dalam perku-liahan juga mendapatkan ilmu dalam berorganisasi.

Bagaimana perkemban-gan politik kampus di Universitas Negeri Se-marang sejak dulu hing-ga sekarang?

Perkembangan politik kampus saat Orde Lama, banyak pengaruh dari par-tai politik yang ada. Partai politik mengajak maha-siswa untuk ikut ke partai politik miliknya. Akibat-nya muncul berbagai per-soalan, mahasiswa saling bermusuhan karena ber-beda pandangan dan ber-beda partai politik. Kemu-dian sering terjadi bentrok antarmahasiwa.

Tetapi setelah diber-lakukannya peraturan dari MKK BKK saat Orde Baru, politik kampus di-tata dan diatur. Mahasiswa dilarang untuk mengikuti partai politik. Tidak ada lagi unsur partai poltik di kampus.

Apakah motivasi ma-

hasiswa menjadi politisi kampus ?

Saya rasa motivasi ma-hasiswa untuk menjadi politisi kampus adalah me-reka ingin lebih terkenal, banyak disukai orang dan tentu saja mendapatkan penghargaan sosial.

Bagaimana alur untuk mencalonkan diri menja-di ketua organisasi kam-pus?

Setiap BEMU, BEM maupun HIMA pasti memiliki syarat-syarat tersendiri untuk mencari calon ketua organisasinya. Mahasiswa yang berminat untuk mencalonkan diri, mengukur diri apakah dia memenuhi persyaratan dan sanggup untuk mengem-ban amanat sebagai ketua organisasi. Apabila ma-hasiswa merasa sanggup, mereka dapat mencalonkan diri. Jika dinyatakan lolos dalam persyaratan, kemu-dian melakukan kampa-nye, debat publik dan tera-khir pemilihan.

Apakah ada organisasi lain yang mengusung calon ketua organisasi

kampus?Menurut saya tidak ada,

mereka hanya mencari pendukung secara keke-luargaan. Mahasiswa yang berminat mencalonkan diri mengajak teman–teman mereka untuk menjadi tim suksesnya.

Darimana dana yang digunakan calon ketua or-ganisasi untuk kepentin-gan kampanye?

Dana untuk kepenti-ngan pembiayaan kampa-nye (pembuatan pamflet, baliho, stiker dan pin) berasal dari dana sendiri, tidak ada dana dari uni-versitas. Karena di kam-pus tidak boleh ada yang namanya money politic (politik uang). Dana itu bisa didapat dari iuran antarteman atau memakai uang pribadi.

Apakah universitas juga ikut berperan dalam pemilihan ketua organ-isasi kampus ?

Universitas ikut ber-peran dalam mengawasi kegiatan pemilihan ke-tua organisasi kampus. Bayuningrum, Frian Violita

NuansA/Arum

Page 6: Nuansa 132

10 11NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Siang itu cuaca cukup terik, pulu-han mahasiswa yang mengena-kan almamater kuning kunyit

tampak berjalan beriringan menuju PDS HB Jassin. Tempat itu terletak di dalam komplek Taman Ismail Marzuki (TIM). PDS HB Jassin agak tersembu-nyi ka-rena berada di lantai dua, tepat-nya di belakang Planetarium. Tangga besi yang sedikit curam satu-satunya penghubung yang bisa kita gunakan untuk sampai ke tempat itu. Sesekali tarikan napas panjang mengiringi per-jalanan ketika menaiki tangga. Ditam-bah lagi cuaca Ja-karta yang sangat panas, membuat perjalanan me-naiki anak tangga semakin berat. Namun, hal itu terbayar lunas ke-tika rombongan kami disambut dengan hangat oleh pegawai-pegawai PDS HB Jassin. Sebuah foto berukuran besar terpajang di dinding tepat di depan pintu masuk. Perawa-kan gagah dan serta tahi lalat besar di pipi bagian bawah menunjukkan bah-wa foto tersebut tak lain dan tak bukan adalah foto HB Jassin.

Oyon Sofyan terlihat energik. Se-nyum di wajahnya mengembang ketika puluhan mahasiswa memasuki Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jas-sin. Dia merupakan salah satu pegawai purnatugas di PDS HB Jassin. Namun, semangatnya yang luar biasa membuat dia ingin terus mengabdikan dirinya di

Oyon Sofyan: “HB Jassin Tinggalkan Harta Karun Untuk Sastra Indonesia”

Pagi itu, mentari bersinar sangat cerah, pantulan cahaya di air menambah keindahan Pantai

Karang Bolong. Pantai ini, terletak di desa Tambak Mulyo, Kecamatan Pu-ring, Kabupaten Kebumen, Jawa Te-ngah. Dari pusat kota Kebumen, pantai

ini berjarak sekitar 40 km dan dapat ditempuh melalui dua jalur transportasi. Pertama, dari Kota Kebumen menuju Kota Gombong kemudian mengam-bil jalur transportasi jurusan Karang Bolong. Kedua, dari Kota Kebumen mengambil jurusan Petanahan, setelah itu mengambil jalur transpor-tasi menuju Pantai Karang Bo-long.

Setelah menempuh per-jalanan sekitar 40 menit deng-an kendaaraan bermotor, rasa-nya semua rasa lelah terbayar begitu melihat keindahan pan-tai Karang Bolong. Sesuai dengan namanya, di pantai ini terdapat karang besar yang bo-long atau berlubang. Bentuk lubangnya menyerupai pintu gua. Di dalam gua tersebut terdapat beberapa patung yang menggambarkan pengambi-lan atau pengunduhan sarang burung lawet. Pantai Karang Bolong memang merupakan sebuah tempat yang identik dengan burung lawet. Sedangkan burung lawet ini adalah burung yang menghasilkan de-visa besar bagi Kabupaten Kebumen. Sebenarnya sarang burung lawet tidak berada di satu tempat dalam gua ini, tapi tempatnya berjarak sekitar 1 km dari Pantai Karang Bolong.

Pantai Karang Bolong memang tidak begitu luas jika dibandingkan dengan pantai-pantai lain di Kebu-men. Namun keindahan karang yang bolong, membuat pantai ini tak per-nah sepi pengunjung, terutama di hari

tempat ini. Usia yang kian senja tidak mengurangi semangat pria berbadan tambun ini, mengenakan setelan kaos hitam dipadu dengan celana jeans ber-warna biru gelap Oyon menyambut kami. Topi bergaris putih yang menu-tupi kepalanya semakin mempertegas citra sastrawan pada dirinya.

Suasana yang tercipta cukup ha-ngat, Oyon mulai bercerita mengenai sosok HB Jassin. Bagi Oyon, dia adalah guru yang sangat bijaksana. Dia tidak pernah meremehkan atau mengang-gap kecil setiap karya yang diciptakan

oleh penga-rang amatiran sekali pun. Pembawaan HB Jassin yang tenang dan bersa-haja membuat Oyon tak bisa menolak ke-tika dimintai tolong untuk membuat tu-lisan. Pada-hal, Oyon sama sekali tidak suka menulis. Saat itu usianya

masih 24 tahun dan dia dipaksa harus membuat sebuah tu-lisan yang akan dimuat di bagian be-lakang buklet musikalisasi sajak-sajak Chairil Anwar yang digarap oleh Agus Sukur. “Saya ingat ketika pertama kali menulis dulu, Pak Jassin yang suar-anya pelan berujar kepada saya, Yon, kalau mau nulis pikiran harus tenang, nggak boleh tegang,” ungkapnya sem-bari menirukan gaya HB Jassin.

Oyon bercerita dengan antusias,

sesekali senyumnya mengembang dan pandangannya menerawang. Kena-ngan akan HB Jassin memantik se-mangatnya untuk terus menceritakan kisah hidup sang Maestro Sastra itu. Oyon sudah bekerja dengan HB Jas-sin sejak masih muda, sehingga sedikit banyak dia tahu tentang kehidupan HB Jassin.

Di dalam ruangan yang tidak be-gitu luas itu, Oyon mulai menceritakan sejarah berdirinya PDS HB Jassin. Ki-sah ini bermula saat HB Jassin masih menjabat sebagai sekretaris majalah Pujangga Baru yang saat itu dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Dia sering menerima tulisan-tulisan dan majalah dari luar. Jika STA menga-takan tulisan tersebut tidak layak ter-bit, HB Jassin tidak lantas membuang karya tersebut, tapi disimpan karena dia menghormati pengarang. HB Jas-sin sangat menghargai sebuah karya. Sehingga dia merasa sayang jika harus membuang karya-karya tersebut. Hal tersebut dilakukannya berulang-ulang, hingga rumahnya penuh dengan karya sastra dari berbagai macam pengarang. Karena merasa rumahnya tidak muat menampung banyaknya karya sastra yang disimpannya, dia menitipkan ke rumah saudaranya. Namun, lama-lama rumah saudaranya pun tidak mampu menampung karya-karya tersebut. Ak-hirnya Ajip Rosidi dibantu gubernur DKI Jakarta saat itu membuka yayasan HB Jassin ini tahun 1971.

Oyon menceritakan kelebihan HB Jassin yang mampu melihat potensi seseorang. Kala itu, HB Jassin yang pernah sekolah HBS di Medan dengan Chairil Anwar menunjukkan puisi-pui-si karya Chairil Anwar untuk dimuat di majalah Pujangga Baru. Namun, hal tersebut ditentang oleh kaum tua

seperti STA, Armyn Pane, dan Sanusi Pane karena tema yang diangkat tidak sesuai dengan tema saat itu. HB Jassin tidak berhenti sampai disitu, dia yakin bahwa Chairil Anwar memiliki potensi luar biasa dalam bersastra. Akhirnya HB Jassin berhasil menjadikan Chairil Anwar sebagai satrawan angkatan ’45.

PDS HB Jassin tersebut kini me-nyimpan puluhan ribu karya sastra In-donesia. sejak tahun 1941, mulai dari kliping, arsip asli, esai, dan sebagai-nya. “Pak Jassin itu bukan orang kaya, tapi dia mampu meninggalkan harta karun untuk sastra Indonesia yang bisa dijadikan bahan studi pelajar, maha-siswa, dan masyarakat,” ungkap Oyon bangga.

Harta karun berupa karya sastra In-donesia yang ditinggalkan HB Jassin tidak hanya dinikmati oleh pelajar da-lam negeri saja, namun berbagai pela-jar, mahasiswa, maupun sastrawan dari luar negeri juga ikut menikmatinya. Hal ini terbukti dengan adanya kunjungan dari beberapa negara seperti Australia, Belanda, dan Jerman beberapa waktu yang lalu. Ambar Kurniawati

Pesona Alami Pantai Karang Bolong dan Pantai Shuwuk

libur. Di sebelah timur pantai terdapat hulu dari sebuah sungai yang bi-asanya digunakan warga sekitar untuk mencari ikan. Sungai ini ber-nama sungai Tilomoyo. Sungai inilah yang menghubungkan pantai Karang Bolong dengan Pantai Shuwuk. Jadi ke-tika mengunjungi Pan-tai Karang Bolong bisa sekaligus mengunjungi Pantai Shuwuk.

Setelah puas me-mandang keindahan karang yang bolong, Saya pun tertarik untuk mengunjungi Pantai Shuwuk. Untuk menuju Pantai Shuwuk terse-but Saya harus menyeberangi hulu sungai yang lebarnya kurang lebih 50 meter. Di sekitar pantai terdapat perahu mesin yang siap mengantar pengunjung untuk menyeberangi hulu sungai. Perahu ini tak hanya mengan-tar pengunjung menyeberangi sungai, tapi juga mengelilingi sepanjang hulu sungai. Cukup dengan membayar Rp

10.000 saya dapat menikmati sensasi naik perahu dengan diiringi keinda-han ombak yang datang dipecah oleh karang-karang. Hal ini membuat hati saya makin dipenuhi rasa kagum. Apalagi ditambah dengan indahnya lambaian pohon kelapa di sepanjang hulu sungai yang semakin membuat hati terasa nyaman.

Bagi Fatudin, salah seorang tu-kang perahu, mengantar para pengu-unjung berkeliling hulu sungai adalah pekerjaan yang menyenangkan. “Saya merasa senang, ketika para pengun-jung kagum dengan keindahan pantai

ini,” ungkap pria yang sudah enam bulan ini menjadi tukang perahu deng-an senyum mengembang (14/4).

Berkeliling dengan perahu selama kurang lebih 20 menit sebenarnya kurang memuaskan hati saya. Namun, semua rasa kurang puas itu terbayar ke-tika melihat keindahan pantai Shuwuk yang tak kalah indah dengan pantai Karang Bolong. Deburan ombak pan-tai yang tak henti-hentinya bergemu-ruh bagai lantunan irama musik alam

yang membuat perasaan damai dan tenteram.

Selain bisa menikmati deburan om-bak pantai yang menawan, di pantai ini juga terdapat Kebun Binatang Mini. Eits, bukan binatangnya yang serba mini ya, tapi lokasinya yang kecil ha-nya sekitar 50x50 meter saja. Jumlah binatangnya pun sedikit, hanya terda-pat dua sampai tiga binatang per jenis-nya. Ada pun jenis binatang yang ada antara lain Burung Kaswari, Kura-ku-ra, Siamang, Buaya, Burung Kakatua, Rusa Tutul, Kanguru, dan lain-lain.

Menurut Supartu, Kepala Desa

Tambak Mulyo, kebun binatang ini diresmikan olehnya dan Cahyo Darso Atmojo, Komandan Kodim 0709 Ke-bumen tanggal 16 Januari 2008. Menu-rutnya dengan adanya kebun binatang, semakin menarik minat pengunjung. Selain kebun binatang, di pantai ini juga terdapat berbagai jenis mainan anak-anak. Tak heran, pantai Shuwuk dan Pantai Karang Bolong tak pernah sepi pengunjung. Apalagi harga tiket masuknya sangat terjangkau, hanya Rp 3500,- per orang.

Bagi pengunjung yang hobi me-mancing, di sini juga merupakan tem-pat yang sangat tepat untuk meman-cing. Spot memancing yang biasanya banyak dipakai pengunjung yaitu di bawah bukit atau pegunungan yang berada di sebelah selatan karang yang bolong. Di tempat itu terdapat banyak batu-batu terjal tinggi yang sangat nyaman untuk melempar mata pancing. Kemudian di pinggir su-ngai, dan dari atas jembatan di jalan sebelum memasuki kawasan pantai Karang Bolong atau dari gerbang Pan-tai Shuwuk.

Setelah berkeliling di Pantai Shuwuk, rasa lelah dan lapar mulai saya rasakan. Saya pun tertarik un-tuk mencoba makanan khas di daerah ini. Sate Yutuk, ya itulah makanan yang selalu dicari para pengunjung. Yutuk merupakan salah satu bina-tang pantai yang banyak terdapat di pantai ini. Bentuknya kecil, sekitar 3 cm, di tubuhnya terdapat cangkang berwarna hitam, sedangkan tubuh da-lamnya berwarna kemerahan. Yutuk diolah menjadi berbagai makanan, ada sate yutuk, rempeyek yutuk, dan yutuk goreng. Rasanya gurih dan re-nyah. Sate Yutuk dijual dengan harga Rp 2500,- per tusuk, rempeyek yutuk goreng Rp 1000,- per buah, dan yu-tuk goreng Rp 500,- per buah. Sangat terjangkau, kan? Makan sepuasnya di sini tidak akan merogoh kocek terlalu dalam. Bagi Anda yang berkunjung ke kota Kebumen, sempatkan lah un-tuk berkunjung ke pantai ini ya. Septi Indrawati

Laporan Khusus Pesona

NuansA /Ambar

NuansA /Ambar

Doc.

NuansA

/Septi

Doc

.

Page 7: Nuansa 132

12 13NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

R okok kretek tentu-nya sudah tak as-ing lagi didengar

telinga kita. Rokok ini berisi tembakau dan cengkeh, lalu jika dibakar akan berbunyi kretek-kretek. Menurut ceri-ta, kretek sendiri ditemukan oleh Haji Jamhuri, salah se-orang warga Kudus. Saat itu, tanpa sengaja dia mencam-pur tembakau dengan ceng-keh untuk melegakan teng-gorokannya akibat batuk. Haji Jamhuri tidak menya-dari bahwa racikannya akan mendunia serta mengan-tarkan Kudus sebagai kota kretek. Bagi Anda pencinta rokok kretek, kota Kudus mungkin bak surganya. Se-lain terdapat berbagai jenis rokok kretek, di Kudus juga terdapat Museum Kretek yang dapat mengenalkan se-jarah panjang tentang rokok kretek.

Museum yang luasnya sekitar 2 hektar ini terletak di Desa Getas Pejaten, Ke-camatan Jati Kudus, Kabu-paten Kudus. Di depannya ada dua bangunan terpisah berarsitektur rumah adat Kudus dan surau gaya Ku-dus. Rumah Adat Kudus ini bernama Gebyok atau Joglo Pencuk dan terbuat dari kayu jati. Rumah yang dibangun dengan meng-gunakan sistem bongkar pasang tanpa paku ini, ken-tal dengan akulturasi seni ukir budaya Islam (Persia), Cina, Eropa dan Indonesia. Bangunan rumah dipenuhi

dengan ukiran-ukiran indah 3D dan 4D yang bermakna dan mengandung nilai filo-sofi hidup. Diantaranya pada Joglo Satru (ruang tamu) ter-dapat satu tiang penyangga

Kudus, Surganya Rokok Kretek

yang disebut Soko Gender sebagai simbol Ketuhanan Yang Esa (Tunggal). Pada Gedongan terdapat 4 buah soko guru yang melam-bangkan agar penghuninya dapat mengendalikan 4 si-fat manusia, yaitu amarah, lawamah (mengoreksi diri sendiri), shofiyah (kelem-butan hati) dan mutmainah (dorongan untuk berbuat kebajikan). Kemudian le-tak kamar mandi di sisi luar juga mempunyai makna pembersihan diri. Uniknya tanaman yang tumbuh di halaman juga punya makna tersendiri. Pohon belim-bing dengan buah 5 seginya untuk mengingatkan peng-huninya akan 5 rukun Islam. Selain itu tumbuhan pandan wangi yang mendominasi halaman, agar penghuninya tetap wangi dan harum

Sedangkan di dalam mu-seum terdapat banyak kolek-

si alat untuk memproduksi rokok kretek. Mulai dari alat giling cengkeh, mesin giling tembakau, alat perajang tem-bakau, dan lain-lain. Selain itu, ada diorama pembuatan

rokok kretek dan pemasa-ran atau penjualan rokok. Di sini, Anda dapat melihat bagaimana proses pengum-pulan tembakau, proses penghancuran, pemadatan dan penggilingan. Kemudi-an, Anda juga akan melihat b a g a i m a n a rokok kretek tersebut sam-pai dijual kepada pe-rokok, de-ngan diora-ma penjualan rokok kretek. S e m u a n y a tertata rapi, indah, dan mengagum-kan.

Di dalam m u s e u m juga terdapat foto-foto dari tokoh-tokoh wiraswasta yang mengem-bangkan rokok kretek. Salah satu tokoh wiraswasta rokok kretek terssebut adalah Niti Soemito. Warga asli Kudus ini, mulai mengembangkan usaha rokok kretek sejak tahun 1906. Saat itu merk rokok kreteknya adalah “Bal Tiga”. Dia pun melakukan promosi yang gencar untuk memajukan usahanya. Mu-lai dari bekerja sama dengan penjaja makanan keliling, membuat gerobak keliling dengan logo perusahaan, menjajakan rokok den-gan mobil keliling, bahkan memberikan sponsor untuk kegiatan seni daerah. Tak di-sangka, keberhasilan rokok “Bal Tiga” ini membuat pe-rusahaan rokok kretek di

K u d u s s e m a k i n b e r k e m -bang pe-sat. Merk r o k o k kretek pun s e m a k i n beragam, s e p e r t i S u k u n , D j a m b u l Bol, De-lima, dan lain-lain.

S e l a i n itu, dalam m u s e u m ini terda-

pat film dokumenter yang memutar tentang sejarah pembuatan rokok kretek dan perkembangannya. Dalam film ini, Anda dapat menge-tahui bagaimana pembua-

tan rokok kretek mulai dari rokok yang terbungkus den-gan klobot (daun jagung kering) sampai dengan pem-buatan sigaret kretek tangan dan mesin. Selain itu banyak ditampilkan pula informasi mengenai jenis tembakau dan cengkeh yang biasa di-gunakan oleh Perusahaan Kretek dalam pembuatan kretek-nya Jadi Anda dapat mempelajari dengan jelas, bagaimana kenikmatan da-lam rokok kretek tercipta.

Museum yang berdiri sejak tahun 1986 ini dires-mikan oleh Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam tanggal 3 Oktober 1986. Menurut Sulikin (48), staf pekerja di Museum Kretek, dahulu tujuan didirikannya

museum kretek bukanlah untuk tempat wisata. Muse-um dibangun untuk menun-jukkan bahwa saat itu kretek berkembang sangat pesat di tanah Jawa, khususnya kota Kudus. Kemudian baru di-jadikan tempat wisata seki-tar tahun 1996 dan masih bertahan sampai sekarang. Museum ini dibuka se-tiap hari mulai pukul 08.00 sampai 16.00. Harga tiket-nya pun sangat terjangkau, hanya Rp 1.500 per orang. Tak heran, museum ini se-lalu ramai dikunjungi para wisatawan baik dari Kudus maupun dari luar Kudus.

Sulikin menambahkan museum ini dulu dikelola oleh kumpulan Perusahaan-Perusahaan Rokok Kudus (PPRK). Namun, sejak ta-hun 2007 sampai sekarang

museum kretek dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Kudus den-gan alasan bahwa museum ini merupakan salah satu tempat wisata di Kudus. Jadi sudah selayaknya pemerin-tah berperan untuk men-gelolanya.

“Saya senang dapat be-kerja di sini. Selain dapat menafkahi keluarga, saya juga dapat membantu men-jaga sejarah rokok yang se-jak dulu sangat membantu perekonomian warga Kudus karena sebagian besar warga bekerja di pabrik rokok,” ungkap pria yang sudah 10 tahun bekerja di Museum Kretek, (16/3).Septi Indrawati, Uswatun

Chasanah

Semarang merupa-kan salah satu kota di Indonesia yang

banyak didiami etnis Cina. Di kota ini banyak berkembang budaya dan tradisi Negeri Tirai Bam-bu. Tradisi tersebut ikut mewarnai kehidupan masyarakat Semarang di tengah beragamnya budaya jawa.

Salah satu tempat yang dikenal banyak di-huni etnis Cina adalah Pecinan. Di tempat ini penuh dengan keunikan dan kekhasan budaya Cina. Ada juga pasar malam yang lebih dike-nal dengan nama Pasar Semawis. Di pasar ini,

Pasar Semawis, Semarak Nuansa Cina

tidak hanya potret ke-hidupan etnis Cina yang disuguhkan, melainkan ada juga sisi lain dari budaya Cina yang be-ragam.

Pasar Semawis, atau dikenal juga sebagai Waroeng Semawis, ada-lah pasar malam yang terletak di daerah Peci-nan, Kota Semarang. Pasar ini merupakan gagasan dari perkumpu-lan “Kopi Semawis (Ko-munitas Pecinan Sema-rang untuk Pariwisata)”. Pasar yang buka setiap hari Jum’at, Sabtu, dan Minggu malam tersebut bermula dari diadakan-nya Pasar Imlek Se-

mawis pada tahun 2004. Kemudian menyusul di-resmikannya Tahun Baru

Imlek sebagai Hari Libur Nasional di Indonesia.

Pasar Semawis me-nyajikan beraneka

jajanan di sepan-jang jalan Gang Wa-rung. Aneka jajanan tersebut di antara-nya pisang plenet khas Semarang, nasi ayam, es puter, kue serabi, aneka sate, bubur kacang hingga menu-menu steamboat yang me-narik untuk dicicipi. Pusat jajanan terpan-jang di Semarang ini buka mulai pukul 18:00 hingga tengah malam.

Namun perlu diperhatikan bagi Anda yang be-

ragama Islam, karena di Pasar Semawis banyak dijual daging yang dila-rang dimakan oleh umat muslim (diharamkan) seperti daging babi. Daging babi yang dijual biasanya dalam bentuk sate babi dan nasi gore-ng babi.

Ada hal lain yang tidak kalah unik di Pasar Semawis ini, yakni adanya stan “Supranatu-ral” yang menyediakan jasa meramal. Berbagai ramalan tentang nasib, rezeki, perdagangan, hingga jodoh disediakan di tempat ini. Budaya Cina yang kental, tak ayal membuat pasar ini semarak nuansa Cina. Angghi Novita

Perjalanan Jepret

NuansA/Uus

NuansA/Uus

NuansA/Uus

Nua

nsA

/Ang

ghi

NuansA

/Angghi

Nua

nsA

/Ang

ghi

Page 8: Nuansa 132

14 15NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Bagi sebagian orang daun yang telah jatuh dari dahannya

dianggap sebagai sampah. Untuk mengatasinya biasa-nya daun-daun itu dikum-pulkan lalu dibakar atau dibuat menjadi pupuk kom-pos. Di antara solusi-solusi tersebut jika ditinjau dari nilai ekonomis tidak meng-

hasilkan pemasukan tamba-han, kecuali apabila pupuk kompos yang dibuat layak untuk diperjualbelikan, itu pun dengan harga yang relatif murah. Berbeda den-gan pandangan kebanyakan orang yang menganggap

Tulang Daun, dari Sampah Menjadi Rupiahdaun jatuh sebagai sampah, Amin Retnoningsih (53) memanfaatkannya sebagai suvenir unik yang mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Membuat kerajinan dari tulang daun (Skeleton Leaves), itulah yang dilaku-kan dosen Biologi, Unnes ini. Menurut alumni S1 Agronomi Institut Pertanian Bogor (IPB) 1983 itu,

di beberapa nega-

r a

kerajinan tulang daun

telah berkem-bang pesat. Bah-

kan di India telah memiliki pabrik khu-sus untuk pengolahan tulang daun.

“Dengan ber-kreasi menggunakan

tulang daun, nilai materi yang dihasilkan akan lebih me-nguntungkan daripada sekadar memanfaatkannya sebagai pupuk kompos. Jadi ketika melihat daun-daun jatuh, saya langsung ber-pikir itu adalah uang yang berjatuhan,” ungkapnya

dengan tersenyum lebar, Senin (18/3).

Selama kurang lebih dua tahun terakhir ini, Ibu dari tiga anak tersebut telah mengembangkan beberapa kreativitas dengan bahan dasar tulang daun. Seperti suvenir berupa rangkaian bunga sebagai undangan pernikahan atau sebagai bros yang dikenakan dalam berbagai acara (korsase), gantungan kunci, hiasan bloknot dan lain-lain. Se-lain itu, dia juga telah meng-gandeng dosen dan bebera-pa mahasiswa Jurusan Seni Rupa untuk bekerja sama dalam pengolahan tulang daun. Doktor dari S3 IPB 2009 tersebut juga berkreasi dengan melukis pada media tulang daun. Lukisan yang dibuat antara lain lukisan wayang, tugu sutera serta beberapa tokoh-tokoh terke-nal.

“Kalau harga jual untuk yang lukisan jelas jauh lebih mahal daripada yang beru-pa suvenir biasa,” ungkap perempuan asli Banyumas ini. Dia mengaku salah satu karya lukisan hasil kerja sama dengan mahasiswa Seni Rupa telah terjual de-

ngan harga Rp 400.000.Dosen yang telah me-

ngajar sejak 1990 tersebut kini sering memberi pelati-han kepada mahasiswanya serta orang-orang yang in-gin belajar membuat kera-jinan dari tulang daun. Dia mengatakan bahwa be-berapa anak didiknya telah berhasil mengembangkan hasil kreativitas dari tulang daun. Bahkan mereka sudah berhasil lolos dalam Pro-gram Mahasiswa Wirausaha (PMW) Unnes dan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dikti.

Proses pembuatan tulang daun dapat dilakukan de-ngan cukup mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama. Pertama, pilihlah jenis daun yang memiliki tulang daun yang keras dan daging daun perkamen (semacam pengganti kertas dari kulit binatang). Kemudian siap-kan air ditambah baking powder dan baking soda, panaskan sampai mendidih. Masukkan daun ke dalam larutan yang telah mendi-dih, kecilkan api. Rebus daun sampai daging daun-nya lunak lalu tiriskan. Da-ging daun yang telah lunak

disikat pelan-pelan dibawah air mengalir sampai seluruh daging daun luruh. Selan-jutnya beri warna (pewarna makanan atau kain, atau pe-mutih) dan keringkan. Sete-lah kering, tulang daun siap untuk dikreasikan sesuai ke-inginan.

“Yang terpenting adalah langkah apa yang selan-jutnya akan kita lakukan pada tulang daun yang telah dibuat, di sini diperlukan kreativitas yang tinggi,” jelas istri dari salah satu Guru Besar Universitas Di-ponegoro (Undip) tersebut.

Selanjutnya Perempuan yang kini menetap di ka-wasan Pondok Bukit Agung Semarang tersebut berharap produk kreativitas tulang daun ke depan dapat men-jadi suvenir khas Unnes. Kini ia juga mulai berino-vasi untuk mengolah tulang daun dengan menyulamnya. Selain itu Perempuan yang berlatarbelakang anak dari seorang penjual bunga di kawasan Kalisari, Semarang tersebut juga mulai melirik kreativitas baru di bidang pembuatan kertas dari daun atau yang akrab disebut de-ngan handmade paper. Ibnu Majah

Suatu hari dalam perjalanan pulang setelah mengajar,

seorang guru berhenti di pinggir jalan. Ternyata ban sepeda motornya bocor. Ia pun mendorong sepeda motornya ke tukang tam-bal ban terdekat.

“Tolong tambal ban motor saya, sepertinya bannya bocor terkena paku,” kata guru itu.

“Baik Pak, silakan duduk dulu,” jawab si tu-kang tambal ban.

“Ngomong-ngomong rumah Bapak di mana?” tanya si tukang tambal ban memulai pembicaraan.

“Kurang lebih 2 km dari sini.”

“Lalu pekerjaan Bapak

Berpikirlah Sederhanaapa?”

“Saya guru di salah satu SMA tak jauh dari sini.”

“Ah, yang benar Pak?” kata tukang tambal ban setengah bercanda.

“Lho, berarti Mas tidak percaya kalau saya ini guru!” ucap guru itu dengan nada marah.

“Bukan seperti itu maksud saya, Pak.”

“Tunggu besok pagi, saya akan buktikan kalau saya ini guru,” ucapnya lagi sembari menye-rahkan beberapa lembar uang dan menyalakan mo-tornya yang sudah selesai ditambal bannya.

Keesokan harinya be-tapa terkejutnya si tukang

Saat ini, berbagai merek produk ru-mah tangga seperti sabun, shampoo,

pembersih lantai detergent, dan sebagainya banyak kita jumpai di masyarakat. Berbagai produk tersebut sangat kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari. Ten-tunya agar badan kita wangi, baju kita bersih, dan setiap sisi rumah kita wangi dan bersih pula. Bersih di sini artinya mematikan bakteri-bakteri pembawa penyakit yang melekat pada tubuh, baju, dan sisi rumah. Na-mun, apakah semua bakteri itu merugikan? Lalu apakah bakteri itu?

Bakteri adalah organis-me uniselluler atau bersel tunggal dan tidak bermem-bran inti serta umumnya tidak memiliki klorofil dan berukuran renik (mikrosko-pis). Jadi bakteri ini hanya bisa dilihat dengan bantuan

Bakteri Tak Hanya Merugikanalat yaitu mik-roskop. Bakteri memiliki uku-ran tubuh yang b e r v a r i a s i antara 0,12 s/d ratusan m i k r o n . U m u m -nya ia m e m i -l i k i ukuran ra ta- ra ta 1 s/d 5 mik-ron. Selain itu, bakteri memiliki bentuk tu-buh yang beraneka ragam, hidup bebas atau parasite dan hidup di lingkungan ek-strim seperti pada mata air panas, kawah, atau gambut dinding.

Perlu kita ketahui bah-wa bakteri bukanlah he-wan maupun tumbuhan. Ia tersendiri dalam suatu kera-jaan yaitu kerajaan monera. Hal ini dikarenakan bakteri

memiliki ciri-ciri tu-buh yang tidak me-nandakan hewan

a t a u tumbu-han.

K i t a juga perlu

tahu bahwa bakteri tidak selalu merugikan. Sebagian ada pula yang mengun-tungkan untuk kehidupan manusia lho. Misalnya

bakteri nitrosocuccus dan nitrosomona. Kedua jenis bakteri ini dapat membantu proses penyuburan tanah karena ia berperan da-lam proses nitrifikasi yang menghasilkan ion nitrat yang dibutuhkan tanaman. Selain itu, bakteri me-nguntungkan lainnya adalah bakteri penghasil antibiotik. Misalnya Bacillus poly-myxa (penghasil antibiotik polimiksin B untuk pengo-batan infeksi bakteri gram negatif), Bacillus subtilis (penghasil antibiotik untuk pengobatan infeksi bakteri gram positif), Streptomyces griseus (penghasil antibiotik streptomisin untuk pengo-batan bakteri gram negatif termasuk bakteri penyebab TBC) dan Streptomyces ri-mosus (penghasil antibiotik terasiklin untuk berbagai bakteri).

Pembuatan zat kimia misalnya aseton dan butanol

juga membutuhkan bakteri yaitu Clostridium acetobu-tylicum. Begitu pula dalam proses pembusukan sampah dan kotoran hewan sehingga menghasilkan energi alter-natif metana berupa biogas membutuhkan bakteri meth-anobacterium. Bahkan pe-nelitian rekayasa genetika dalam bidang kedokteran yang menghasilkan obat-obatan dan produk kimia, disintesis oleh bakteri, mi-salnya enzim, vitamin dan hormon. Selain itu bakteri dapat digunakan untuk pe-nyimpanan data karena DNA bakteri dianggap memiliki ketahanan yang lebih kuat ketimbang menaruh data dalam media penyimpanan biasa. Jadi, masihkah Anda berpikir bahwa bakteri itu merugikan?. Vera Hardi-yana

Pernahkan terpikir dalam benak Anda tentang minuman

yang bernama Es Dewa Cinta? Jika belum pernah terpikir, sempatkanlah diri Anda mengunjungi salah satu rentetan kedai maka-nan dan minuman di sepan-jang Jalan Kelud Raya, Semarang. Salah satu kedai yang unik bertuliskan Es Dewa Cinta.

Kedai yang buka sejak pukul 09.00 hingga 20.00 WIB ini tak pernah sepi pengunjung. Kami pun tertarik untuk mengunjunginya. Ketika kami ta-nyakan mengapa namanya Es Dewa Cinta, Eza (24), sang pemilik kedai tersebut mengaku bahwa di dalam cinta itu tersimpan makna dan ber-bagai cerita. Laki-laki asal Semarang ini pun terinspirasi menciptakan kuliner minuman unik Es Dewa Cinta ini.

Seperti cinta yang me-

Es Dewa Cinta, Berbagai Makna, Berbagai Ceritanyimpan berbagai cerita, Es Dewa Cinta menyimpan berbagai rasa. Es tersebut terdiri atas berbagai bahan, seperti puding, jelly, biji se-lasih, kolang-kaling, cincau, nata de coco, melon, stroberi, dan mutiara. Bahan-bahan itu disusun apik dalam gelas berkaki. Di atasnya diberi serutan es batu, lalu disi-ram dengan sirup frambose warna merah muda. Rasa-

nya manis dan segar. Wah, benar-benar seperti makna cinta yang manis ya?

Anda tertarik untuk mecobanya? Mungkin Es

Dewa Cinta bisa menjadi inspirasi Anda untuk meng-ungkapkan cinta. Harganya cukup terjangkau, hanya Rp 5.000 per gelas.

Ada satu lagi yang menjadi pi-lihan kami, yaitu kedai Bakso Kakap Kang Santri. Jika pada umumnya bakso diproduksi dengan bahan dasar daging sapi, Bakso Kakap memanfaat-kan ikan laut sebagai bahan dasarnya. “Saya leb-ih sering menggunakan ikan kakap merah dan putih,” tutur Bowo (40), pemilik kedai berukuran sekitar 3x3 m itu.

Menurut pria asal Se-marang ini, ide pembuatan Bakso Kakap berawal sejak ia menjalankan usahanya yang bergerak di bidang boga. Saat itu ia sering ke-banjiran orderan berupa makanan dalam katering. Ketika harga bahan ma-kanan mulai naik, bapak dari empat anak ini pun mulai memutar otak untuk

berinovasi memproduksi makanan baru yang belum

terlalu banyak di pasaran. Akhirnya ia memilih ikan laut sebagai bahan dasar bakso karena harganya yang lebih murah diban-ding harga daging sapi.

Meskipun usaha Bakso Kakap ini baru berjalan sekitar dua tahun, namun Bowo sudah memiliki enam franchise yang tersebar di daerah Semarang seperti di Ungaran dan Alun-alun Sayangan. Hal tersebut tak lepas dari keuletan Bowo yang sudah hampir 15 tahun berkecimpung di dunia kuliner. Pria yang

akrab disapa Bung Bowo ini mengaku bahwa Bakso

Kakapnya adalah makanan sehat dan tidak mengandung bahan kimia. Ini terbukti dari hasil penelitian laborato-rium yang pernah dilakukan oleh be-berapa mahasiswa dari Universitas Di-ponegoro.

Bakso Kakap memang cocok dinikmati dalam

segala situasi, baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Rasanya khas, tidak amis, dan baksonya empuk. Apalagi setelah di-siram dengan kuah yang pa-nas, lalu ditambah dengan sambal cabai yang pedas. Hmmmm, sangat menggu-gah selera makan kami.

Bagaimana? Anda ter-tarik mencoba kuliner se-hat ini? Datang saja ke ke-dainya mulai pukul 10.00 – 21.00 WIB. Urusan harga tak perlu dikhawatirkan. Untuk menikmati satu por-si bakso kakap, Anda cukup merogoh kocek Rp 7.000. Nadlifatun Nuronniyah.

menuju kios. “Apakah Anda masih tidak percaya kalau saya ini guru?”

“Maaf, sejak bertemu Bapak saya sudah ya-

kin kalau Bapak adalah guru.”

“Kalau begitu kenapa tadi malam Anda berkata demikian?”

“Seragam yang Bapak kenakan tadi malam bu-kan seragam guru SMA pada umumnya. Kalau tadi malam saya masih tidak yakin, Bapak kan bisa menunjukkan kartu identi-tas Bapak. Bukankah hal-hal kecil seperti itu malah lebih meyakinkan?”

Mendadak wajah sang guru merona merah. Ak-hirnya dengan perasaan malu, ia kembali ke seko-lah bersama murid-mu-ridnya. Vera Hardiyana

tambal ban melihat orang yang kemarin menambalkan ban mem-bawa murid-muridnya

Kreatif

Anekdot

Kuliner

Ragam Pengetahuan

Doc.

Doc.

Nuansa/Ibnu

Page 9: Nuansa 132

16 17NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Sekolah merupakan lembaga un-tuk belajar dan mengajar. Namun,

sistem yang menggunakan peringkat dan hanya melihat aspek penilaian kog-nitif telah membuat proses dalam bela-jar diwarnai dengan kecurangan. Nilai yang menjadi tolok ukur keberhasilan pertama mem-buat siswa melakukan se-gala cara untuk memperoleh nilai yang terbaik. Praktik k e c u r a n g -an timbul mulai dari mengerja-kan tugas de-ngan copy-paste, tes yang di-warnai dengan aksi contek-mencontek dan terakhir mela-lui pendekatan t e r h a d a p guru yang mengampu mata pelajaran agar mem-berikan nilai yang baik.

Proses pembelajaran yang berak-hir dengan kepalsuan nilai telah ter-jadi di lembaga belajar mengajar ini. Semuanya menjadi hal yang lumrah

Menjadi Guru yang Terbaik Untuk Siswa

Di era globalisasi seperti saat ini, tuntutan untuk bersaing secara

bebas semakin berat untuk dijalani oleh Indonesia. Pasalnya keadaan kompetitor-kompetitor asing ba-nyak mengalami kemajuan yang signifikan dalam perjalanan pere-konomian di negaranya. Sebagian besar dari produk mereka telah membanjiri industri pasar dalam negeri dengan harga dan kualitas yang bersaing ketat dengan produk-produk lokal.

Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu bersaing secara pro-fesional pun banyak dilahirkan dari berbagai negara lain, dan saat ini mereka juga turut memegang peran-an penting dalam kehidupan pereko-nomian di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kurang mumpuninya SDM Indonesia dalam memegang peranan di dalam negeri, sehingga orang-orang asing perlu didatang-kan untuk menjabat dalam posisi yang dibutuhkan, yang tak bisa diisi oleh orang dalam. Sungguh kondisi yang sangat ironis bagi negara yang tengah berkembang dengan keadaan ekonomi yang demikian, di mana kita harus mengimpor SDM asing untuk mengolah SDA yang begitu melimpah. Sementara SDM dari

Menoleh ke Belakang Pendidikan Indonesia

Dunia pendidikan kita ter-us berbenah diri dan kian mengalami perkembangan,

seiring dengan berkembangnya tuntutan masyarakat yang semakin kompleks. Dalam proses perkem-bangannya tidak akan terlepas dari sebuah permasalahan klasik yang menunggu untuk segera dise-lesaikan. Kurikulum dianggap bia-ng keladi dari segala permasala-han dalam dunia pendidikan kita. Maraknya tawuran pelajar, seks bebas bahkan sampai kasus korup-si, diduga karena kesalahan kuri-kulum. “Kurikulum pendidikan, haruslah dibenahi” kalimat terse-butlah yang kini kian sering terde-ngar di telinga pelaku pendidikan sebagai pandangan pragmatis un-tuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Seakan menjawab persoalan, Kementrian Pendidikan dan Ke-budayaan segera membentuk tim ahli untuk mengevaluasi kurikulum nasional mulai dari jenjang pen-didikan dasar hingga menengah. Meskipun kenyataan ini disangkal melalui pers staf ahli mendikbud

Kurikulum Di(salah)kan?

“Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan ke-kayaan”. Tentu masih

ingat bukan dengan penggalan lagu di atas ? Lagu tersebut merupakan salah satu lagu sendu, wujud dari kepedulian seorang pengarangnya ke-pada negara Indonesia tercinta. Indo-nesia merupakan negara agraris yang berarti sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam.

Melangkah ke bagian yang lebih luas lagi, kekayaan yang dimiliki In-donesia meliputi pemandangan dara-tan yang melingkupi pemandang-an hutan, gunung, termasuk juga sawah, serta pemandangan perairan yang sangat eksotis. Seakan enggan mengedipkan mata apabila semua itu tak luput dari pandangan kita. Sungguh sangat disayangkan bukan, ketika keindahan yang murni milik Indonesia itu tercemari, hingga pada akhirnya tidak lagi memiliki nilai es-tetik yang tinggi.

dan mewarnai keseharian sekolah. Siswa-siswa yang beraneka ragam ke-cerdasannya berusaha menjadi sera-gam untuk saling bersaing tidak hanya

untuk mendapat nilai terbaik, namun juga demi harga di-

rinya agar dia mendapat pengakuan dan diperha-tikan guru serta teman-

temannya.Guru hanya

mengingat siswa yang aktif, pintar,

dan siswa tertentu saja, apakah guru yang seperti ini

pantas disebut guru profesional? guru adalah kunci utama pemegang kualitas sekolah seharusnya guru mengenal se-

mua siswa dan k a r a k t e -ristiknya,

sehingga siswa tidak merasa tera-baikan. Siswa yang merasa terabaikan tentu tidak akan bersemangat dalam menjalani aktivitas pembelajaran.

Ketegangan selalu mewarnai ke-hidupan siswa di sekolah hal ini dika-

renakan guru tidak mampu mencip-takan suasana yang menyenangkan dalam kegiatan pembelajaran. Materi pembelajaran yang banyak tidak seim-bang dengan waktu yang diberikan menjadikan siswa merasa jenuh dan penat. Guru terlalu terpaku untuk me-nyelesaikan materi yang banyak tanpa memperhatikan pemahaman siswa.

Perulangan adalah kunci utama agar siswa mampu memahami ilmu yang diberikan, sehingga ilmu itu tidak akan menguap begitu saja ketika bel selesai berbunyi. Namun, untuk menyelesaikan semua materi saja sulit apalagi untuk mengulangi mata pela-jaran tersebut? Jadi, bagaimana nasib siswa ini? Ilmu yang seharus-nya diperoleh hanya menjadi angin lalu yang tak tersimpan. K r e a t i v i t a s siswa terpangkas ketika mereka di-paksa untuk bela-jar agar bisa menger-j a k a n

ulangan di setiap bab mata pelajaran. Tuntutan untuk mampu mengerjakan soal agar tidak remidi membuat mereka tidak bebas mengembangkan kreativi-tas karena harus berusaha keras mem-pelajari materi yang diberikan.

Metode pembelajaran yang sering digunakan guru untuk menjelaskan materi pembelajan, awalnya menda-pat respon yang baik dari siswa karena guru menunjukkan kemampuannya dengan sangat baik. Namun, lama-ke-lamaan kebosanan akan hadir dalam hati siswa. Teori itu membosankan, mungkin itulah yang sering dirasakan siswa yang lebih senang praktik dan beraktivitas.

Menjadi guru yang terbaik untuk siswa tentu membuat siswa tidak perlu lagi menggunakan berbagai macam cara yang tidak sportif untuk mem-

peroleh nilai yang terbaik. Namun, siswa tersebut akan berusaha

untuk melakukan proses yang terbaik sehingga akan menda-patkan hasil yang optimal.

dalam negeri malah harus diekspor ke berbagai negara dengan posisi yang sangat jauh berbeda dengan SDM asing yang diimpor.

Kembali lagi pada masalah awal, hal tersebut terjadi sebab kurang-nya komposisi kemampuan SDM Indonesia. Pendidikan yang belum merata menjadi salah satu kendala yang besar dalam mencetak gene-rasi penerus bangsa yang berkuali-tas. Memang, kecerdasan berpikir bangsa Indonesia ketika dilihat dari posisi strategis (yaitu kecerdasan anak bangsa yang berada di dae-rah-daerah maju seperti daerah ibu kota dan sekitarnya) sebagian besar memperlihatkan kecerdasan yang diperkirakan mampu untuk bersa-ing dengan bangsa lain. Namun, saat kita menengok ke belakang, ke daerah-daerah yang jauh dari hing-ar-bingar kehidupan metropolitan, akan kita jumpai betapa banyaknya anak bangsa yang harus berjuang keras demi meraih pendidikan. Kualitas dari sumber didik tersebut masih sangat kurang jika dibanding-kan dengan pendidikan dari posisi strategis, sehingga menyebabkan perbedaan kualitas output yang di-hasilkan. Kondisi-kondisi semacam inilah yang membuat banyak rakyat

Indonesia mengalami penderitaan dalam kemiskinan di tengah-tengah kekayaan SDA yang melimpah.

Menyoroti beberapa program pemerintah yang tengah digalak-kan untuk mengatasi permasala-han pendidikan di Indonesia yang tidak merata, seperti program Sar-jana Mengajar di Daerah Terde-pan, Terluar, Tertinggal (SM3T) tampaknya patut kita beri applause atas berjalannya program tersebut. Setidaknya program tersebut te-lah memberikan kontribusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah-daerah nonstrategis. Se-lain itu, program yang bergerak atas kerjasama dengan para sar-jana fresh graduated tersebut juga turut memberikan pelajaran pada sarjana-sarjana baru terkait dengan pengalaman kerja serta mengenal kehidupan Indonesia secara me-nyeluruh. Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu upaya pemben-tukan karakter para sarjana untuk meningkatkan kualitas diri sehing-ga mampu melahirkan generasi pemimpin bangsa yang mandiri. Dengan demikian, diharapkan ke depan Indonesia akan memiliki SDM yang memadai, bukan hanya dari masyarakat di daerah-daerah

pusat namun juga dari daerah selu-ruh Indonesia.

Memang bukan perkara mudah untuk mewujudkan semua, meski-pun tampaknya program tersebut berjalan lancar jika dilihat dari satu sudut pandang, akan tetapi panda-ngan tersebut belum cukup mampu memastikan bahwa program terse-but benar-benar lancar. Permasala-han yang kerap terjadi tak hanya bersumber dari satu pihak, akan tetapi pelbagai pihak, baik itu pihak pelaksana, perekrut, bahkan sasa-ran yang merupakan penduduk asli daerah. Untuk menumbuhkan mi-nat belajar di kalangan masyarakat pedalaman memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Ba-nyak hal yang sudah menjadi dasar pemikiran mereka untuk tetap ber-tahan hidup meskipun tanpa meng-enyam pendidikan. Di sinilah peran kita sebagai generasi penerus untuk menggugah semangat orang-orang pinggiran supaya terjaga dan senan-tiasa mengenyam pendidikan sam-pai setinggi mungkin.

Ibnu MajahMahasiswa Sejarah 2011

Fakultas Ilmu Sosial

Uswatun ChasanahMahasiswa Kurikulum

dan Teknologi Pendidikan 2011Fakultas Ilmu Pendidikan

Prof. Kacung Marijan bahwa pe-rubahan kurikulum yang akan di-laksanakan itu bukan karena ada tawuran antarpelajar, tetapi pro-sesnya sudah lama sejak tahun 2010 dan kepentingannya sekarang men-jadi diperkuat lagi (Antara, 2/10).

Capra, filsuf saintisme menga-takan bahwa segala kompleksitas timbulnya permasalahan ada-lah bermula pada kekeliruan pe-mikiran. Dalam menyikapi suatu masalah janganlah hanya melihat secara parsial, namun permasala-han tersebut haruslah dilihat se-cara sistemik. Sehingga solusi atau jalan keluar pemecahan masalah pun bersifat menyeluruh tidak per bagian-bagian.

Upaya pembenahan output pen-didikan kita, jangan hanya semata-mata karena kesalahan kurikulum. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kurikulum pendidikan kita masih jauh dari kata ideal, mulai dari permasalahan guru yang lebih menekankan aspek kognitif karena hanya sekadar mengajar, tidak lagi mendidik. Padahal untuk mem-berikan pemahaman yang men-

dalam butuh pendidik. Selain itu, kurikulum hanya mengejar Intele-gence Quations, seharusnya untuk memenuhi kebutuhan masa kini, pendidikan lebih tajam pada Emo-tional Quations. Kurikulum lebih menitikberatkan pada mata pelaja-ran eksak dan pengetahuan sedang nilai-nilai moral dan agama terping-girkan. Sampai pada permasalahan klasik yang terus menuai pro dan kontra di masyarakat yaitu sistem Ujian Nasional yang memicu meni-ngkatnya tingkat stres pada siswa.

Jadi, semestinya pembenahan bidang pendidikan juga harus dii-kuti dengan pembenahan bidang-bidang kehidupan yang lain. Dalam bidang hukum, keadilan harus dite-gakkan walau langit akan runtuh, sehingga seseorang tidak memiliki keberanian untuk melakukan tinda-kan yang melanggar norma; bidang sosial ekonomi, kesejahteraan ada-lah kunci utama dalam meredam konflik horizontal yang merupakan gejolak kecemburuan sosial; serta yang tak kalah pentingnya adalah pembenahan di bidang politik yang sangat berpengaruh terhadap kebi-

jakan pendidikan yang syarat deng-an peran kepentingan.

Jadi, sudah selayaknya perlu dipahami bahwa kurikulum pen-didikan kita mau dibenahi bahkan diganti seribu kali pun, jika tidak diikuti pembenahan bidang-bidang kehidupan yang lain akan terasa sia-sia. Lebih memprihatinkan lagi kalau ujung tombak pelaku pen-didikan (kepala sekolah, guru, dan orang tua siswa) hanya melihat po-tensi anak-anak sebagai robot yang hanya mampu dijejali pengetahuan yang berujung pada pengkhianatan pedagogik. Kurikulum kita harus-lah mengarah pada upaya untuk membangun kesadaran kritis serta membudayakan sikap produktif pengetahuan untuk mencari dan membuktikan teori-teori keilmuan sebelumnya dalam rangka mencari kebenaran meskipun kebenaran itu bersifat temporer.

Mengembalikan Senyum IndonesiaKembali ke Alam

Seiring bertambahnya pengeta-huan masyarakat Indonesia akan pentingnya kesehatan yang bisa di-wujudkan dengan kembali ke alam, hal tersebut menjadi pelung besar, alam Indonesia akan semakin ter-jaga. Didorong pula dengan betapa dekatnya kehidupan manusia dengan alam, merupakan salah satu faktor penting adanya perawatan alam yang lebih intensif lagi.

Perlu kita keta-hui, bahwa kembali ke alam tidak hanya dari segi makanan alam yang kita kon-sumsi, melainkan keseharian hidup kita harus selalu berkaitan dengan alam. Udara yang kita hirup sehari-hari berasal dari gas oksigen yang di-hasilkan oleh proses fotosintesis dari tumbuhan. Jadi, dapat dibayangkan ketika alam tak terawat, ancaman gas CO yang identik dikaitkan dengan penipisan lapisan ozon, pencemaran udara yang tidak sehat apabila kita hirup merupakan dampak adanya pencemaran dan pemeliharaan ling-kungan alam yang belum maksimal.

Keterikatan kita dengan alam sungguh tidak dapat ditawar-tawar lagi. Keputusan untuk kembali ke alam merupakan keputusan terbaik. Karena dengan demikian, selain kita telah berusaha untuk menyelamat-

kan diri, kita pun telah berusaha menyelamatkan saudara kita bahkan makhluk hidup lainnya, baik dari an-caman kepunahan atau hanya seka-dar ancaman kesehatan. Ketika ada sebuah masalah, pasti ada solusi yang dapat ditawarkan. Back to nature itu-lah salah satu solusinya.

Indonesia Tidak TerlelapTak dapat dipungkiri bahwa

setiap manusia cinta akan keinda-han, dan selalu takjub dengan

pesona alam yang tersuguhkan. Per-

lu ditulis di dalam ingatan bahwasa-

nya alam yang indah menuntut kita untuk turun tangan merawat-

nya. Keindahan alam tersebut, ketika tidak dipelihara dan dira-

wat, maka akan rusak.Mendukung Indonesia yang kon-

servatif merupakan salah satu cara menangani masalah alam selama ini. Bukan berarti Indonesia terlelap me-lihat kenyataan bahwa alam sudah mulai tidak bersahabat lagi. Namun Indonesia sedang berpikir bagaimana solusi yang akan dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut. Akhir-nya mulai dari penanaman bakau, penghijauan kembali lahan-lahan yang telah gersang mulai digalak-kan.

Kesadaran penuh akan pentingnya alam menjadikan Indonesia berusaha

untuk semakin menampilkan dirinya sebagai pulau yang hijau dan segar, namun pastinya hal tersebut berpro-ses secara bertahap, tidak semudah membalikkan telapak tangan, dan akan terlaksana secara perlahan.

Negara Indonesia bukan sedang tertidur atau sengaja acuh tak acuh dengan keadaan yang ada saat ini. Segala sesuatu membutuhkan proses, pun demikian halnya dengan perbai-kan. Ketika dikatakan Indonesia te-lah mulai berseri, maka benar adanya, hal itu ditandai dengan adanya se-mangat masyarakat yang tetap mau berjuang untuk menjadikan Indone-sia sebagai Negara yang jauh lebih baik, lebih indah dan lebih segar.

Akhirnya, banyak hal yang masih dapat kita lakukan untuk menjadi-kan tanah air kita ini sebagai sebuah tempat bernaung yang asri, indah, dan hijau. Ketika kita hanya duduk termenung dan menunggu orang lain untuk bergerak, maka takkan ada yang bergerak, karena alam menun-tut kita untuk bergerak dan langsung tandang untuk memperbaiki segala sesuatu yang telah rusak, dan Indo-nesia berharap kita bisa mengembali-kan senyumnya.

“Negara Indonesia bukan sedang tertidur atau sengaja acuh tak acuh dengan keadaan yang ada saat ini. Segala sesuatu membu-tuhkan proses, pun demikian hal-

nya dengan perbaikan.

Achmad FarchanMahasiswa Kurikulum dan

Teknologi Pendidikan 2011Fakultas Ilmu Pendidikan

Winda Dewi PusvitaMahasiswi Pend. Bahasa dan

Sastra IndonesiaFakultas Bahasa dan Seni

Opini Opini

Page 10: Nuansa 132

18 19NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Sebuah negeri yang mempu-nyai julukan negeri zamrud khatulistiwa, sebuah negeri

yang sejahtera aman nan sentosa, negeri kita tercinta, Indonesia. Akan tetapi, jika melihat apa yang tengah terjadi di negeri ini, seakan kita dihempaskan dari mimpi indah negeri idaman. Menurut data Biro Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96%), berkurang 0,89 juta orang (0,53%) dibandingkan deng-an penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49%). Mungkin angka-angka tersebut menunjukkan sebuah pen-capaian pemerintah mengurangi kemiskinan. Tapi, kenyataannya masih jelas apa yang ada di sekitar kita jurang-jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Setiap harinya kita disuguhi tayangan tentang ironi-ironi negeri ini. Mulai dari apa yang menimpa saudara kita di Papua, Mesuji, di Sidoarjo, dan sebagainya. Menge-naskan memang, mimpi indah hidup di negeri surgawi sepertinya hanya

Terpacu semangatLari! Lari! Lari!

Mengejar MimpiTahu apa yang dituju kini

Bunuh malas!Bunuh santai!

Dan lihatlah manusia selalu berlomba-lombaJantung berdegup kencang

Pompa! Pompa!Pompa terus keberanian

Berantas halangan di depanMata terus mengarah ke depan

Tak hiraukan gangguanTerus berkonsentrasi

Melangkah bersama kecepatan

Memandang siluet wajahmuDipotretmu yang kian memudarMenjelma merasuk sanubarikuTerpaku aku memandangAnganku mengembara ke puncak imajikuMembelai wajah potretmu yang kian kusamRindu di hati kian bergejolakMenendang-nendang jiwaSiluet wajahmu menyeketsa mimpikuMembangun kembali mimpi-mimpi yang te-lah runtuhCinta yang telah mengembaraMerasuk kembali ke sukmakuMengukir irama denyut nadi bernada cin-taMenggayung melodi mimpi-mimpiSeluet wajahmu yang mengusamTak akan lepas termakan zamanBiarpun aku kini tidak semuda duluTapi siluet wajahmu terlalu membekas kal-bukuMemberi sentuhan tersendiri bagi jiwaku yang sepi

Tugasku, Tugasmu, Tugas Kita

mimpi belaka. Layaknya hidup sengsara di atas tumpukan emas dan perak. Lalu apa yang salah? Atau siapa yang harus disalahkan? Jawaban dari pertanyaan tersebut kiranya tak perlu dijabarkan dan diperpanjang urusannya. Perlu kita sadari bersama bahwa yang diperlukan saat ini adalah perbua-tan nyata yang setidaknya mampu meringankan beban mereka. Bukan perdebatan panjang yang berakhir pada perumusan akar permasalah-an yang ada, lebih-lebih hanya lon-taran janji-janji tak pasti dari siapa pun.

Negeri ini negeri kita, bukan mi-lik orang lain. Jika semua segi ke-hidupan sudah terasa salah maka menjadi tugas kita untuk “membe-narkannya”. Bukan orang lain. Sia-pa pun kita, mulailah untuk sedikit memperhatikan apa yang terjadi di sekitar kita. Tak perlu bercakap banyak tentang pendidikan karak-ter, nasionalisme, atau pun integri-tas. Hanya sedikit perhatian akan sesama. Ikutlah mengambil andil dalam perubahan menuju kema-juan bersama.

Sebagai mahasiswa contohnya, hidup janganlah hanya terpaku di sekitar kampus saja. Mahasiswa juga hidup dalam masyarakat dan akan hidup dalam masyarakat juga nantinya. Kita tentu ingat akan Sukarni, Singgih dan Wikana. Pemuda-pemuda pemberani yang bertekad baja. Mereka yang saat itu seusia dengan kita mampu berpikir kritis dan berani bertindak mengam-bil risiko. Orang mungkin menyebut mereka “menculik” dua tokoh besar negeri ini. Tapi, sejatinya mereka telah memperjuangkan keinginan terbesar semua rakyat Indonesia, kemerdekaan dan kebebasan dari para imperialis. Sebuah perjuangan sejati yang teramat mulia.

Suatu kewajiban kita bersama untuk menghargai setiap jerih payah pahlawan dalam memper-juangkan kemerdekaan. Kita “han-ya” bertugas meneruskannya lewat perjuangan mengalahkan ego kita sendiri. Membentuk diri yang lebih baik dan berguna bagi sesama ten-tunya.

Seperti Wikana dan kawan-kawannya, mahasiswa harus peka

terhadap lingkungan. Ikut serta dalam kegiatan mayarakat meru-pakan salah satu bentuk pengab-dian yang nyata. Kalaulah per-buatan kita tidak begitu berarti di masyarakat, setidaknya kita telah menunjukkan partisipasi kita. Bu-kankah satu langkah kecil pertama akan menuntun kita pada langkah-langkah besar lainnya nanti. Tak perlu memaksakan diri untuk mem-bantu yang bukan kapasitas kita. Tapi, kita harus tetap ambil andil dalam pembangunan masyarakat.

Sangat jelas ingatan kita tentang apa yang disampaikan The Found-ing Father kita, Sang Proklamator, Ir. Soekarno “Jangan pernah me-nanyakan apa yang bangsa ini te-lah berikan padamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada bangsa ini.” Jika setiap warga negara sadar akan apa yang harus dikerjakan, maka negara ini tidak membutuh-kan waktu lama untuk bangkit dan maju. Oleh karena itu mari berpar-tisipasi membangun negeri.

Amna Aulia Mahasiswa Pend. Sejarah 2011

Fakultas Ilmu Sosial

Melangkah Bersama Kecepatan

SILUET WAJAH

Bahasa merupakan alat komu-nikasi bagi kita semua. Mela-lui bahasa kita bisa menyam-

paikan informasi kepada orang lain. Oleh karena itu, kebenaran berbahasa sangat berpengaruh terhadap kebenaran informasi yang akan disampaikan. Namun, sekarang ini banyak terjadi fenomena bahasa.

Bahasa Indonesia yang dulu dijunjung tinggi sebagai bahasa Persatuan sekarang mulai diselewengkan. Dalam percakapan sehari-hari, Sebagian besar orang lebih suka menggunakan bahasa gaul atau baha-sa asing dibandingkan dengan bahasa Indo-nesia. Apalagi jika kita tengok status-status yang ada di jejaring sosial. Banyak sekali pe-nyelewengan bahasa, mulai dari penulisan kata yang dipadukan dengan angka hingga kata-kata aneh yang sering disebut bahasa gaul. Hal ini biasanya dilakukan oleh ka-langan remaja. Ironisnya, beberapa remaja yang masih loyal terhadap bahasa Indone-sia justru dianggap kuno, kolot, atau zadul (zaman dulu), karena tidak mengikuti tren.

Sebenarnya tak ada salahnya kalangan remaja menciptakan suatu variasi bahasa

Bahasa Indonesia Khasanah Budaya Bangsa

Ambar Kurniawati Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra

Indonesia 2010Fakultas Bahasa dan Seni

(bahasa gaul-red) sendiri atau bisa disebut bahasa prokem (bahasa yang hanya dipakai para remaja sehingga tidak dapat dipahami masyarakat umum), karena itu wujud ek-sistensi mereka. Namun, perlu dicermati bahwa penggunaan variasi bahasa terse-but harus dibarengi dengan pemahaman berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan sampai penggunaan variasi bahasa yang berlebihan justru membuat bahasa Indonesia kehilangan esensinya.

Selain penyelewengan bahasa dalam je-jaring sosial, fenomena bahasa lain yang terjadi adalah penggunaan bahasa asing da-lam percakapan sehari-hari. Banyak orang melakukan hal ini, terutama di kalangan artis. Bahkan ada juga anggota dewan yang melakukan hal ini. Dalam sebuah sesi wawancara di televisi hampir 50% jawaban yang dia berikan menggunakan bahasa a-sing (bahasa Inggris). Mungkin mereka be-ranggapan hal tersebut bisa meningkatkan prestise. Padahal hal tersebut justru mem-perlihatkan betapa tidak loyalnya mereka terhadap bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa gaul dan bahasa

asing dalam percakapan sehari-hari tentu akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa gaul dan bahasa asing yang semakin berkembang pesat di kalangan masyarakat lambat laun akan menggerus bahasa Indonesia. Kosakata bahasa Indonesia yang jarang digunakan akan hilang satu demi satu, seperti kata sangkil dan mangkus yang kini lebih dike-nal dengan kata efektif dan efisien. Kalau sudah begitu, bisa jadi lima puluh tahun ke depan bahasa Indonesia akan masuk dalam museum sejarah. Dikenang sebagai bahasa yang pernah digunakan di Negara ini.

Sebagai generasi penerus bangsa, kita wajib melestarikan khasanah budaya kita salah satunya bahasa Indonesia. Cara yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan bijak berbahasa. Kita gunakan bahasa sesuai dengan situasi dan porsinya.

Semalam aku tak bisa tidurKudengar suara tikus mengerat lumbung padi yang kosong Tetesan air hujan satu-satu dari atap gubuk ter-dengar seperti serbuan tentara NapoleonDan suara kresek..kresek…dari radio butut itu sungguh terbawa mimpikuSang anginpun ikut menggoda, menyeringai menyenggol pohon pisang di kebunTak tahu malu bulan sabit masih melengkungkan senyumannyaSungguh gila malam ini

Aku terbangunBukan oleh kokok ayam yang membuyarkan jin-jin Bandung BandawasaBukan pula oleh seruan azan di surau sebelahAnakku menjerit minta makan dan susuKakaknya masih merengek minta uang SPP

Aku bangun dan aku tertawaKuputar radio butut ini, bernyanyi menyiarkan harga beras naikKulihat koran pembungkus gorengan, gambar presiden tersenyumKumaki foto ayahnya yang tak pernah pulangDan Aku tertawa lagi

seMalam

Uswatun ChasanahMahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan

2011 Fakultas Ilmu Pendidikan

Amalia Lafenia Beauty Mahasiswa IKM 2011Fakultas Ilmu Keolahragaan

Charisfa NuzulaMahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Jawa 2011Fakultas Bahasa dan Seni

Puisi

Budaya Opini

Pikiranku melayangMengenang masa silamCanda tawa mengiringi

Selalu ada kebahagiaan di hatiKini semua bagai mimpi

Meragukan diriPernahkah ini terjadi?

Ataukah hanya halusinasi?Ku terus berlari mengejar mimpi

Berharap waktu berhentiMembiarkanku masuk kembali dalam kenangan

ituBersama mereka, berbahagia

Ku tersadar, panasnya matahari membangunk-anku

Hal ini tak kan terwujud Kenangan hanyalah kenangan

Ku mencoba relakan, mencoba berbahagia di kehidupanku sekarang

Yang juga akan menjadi kenangan

KENANGAN

ChasanahMahasiswa Kurikulum dan Teknologi

Pendidikan 2011Fakultas Ilmu Pendidikan

Kutulis surat cinta iniKala hujan gerimis menyapa

Bersama derai-derainyaMelayarkan perahu-perahu kertas ini

Menanyakan arti cinta kepada dermaga dan labuhannya

Maka kala senja itu, gadis kecil duduk termenungMengayunkan kakinya satu dua

Gadis kecil menunggu labuhan sang pahlawan laut

Hasrat menitipkan surat cintanya pada Ayah di perbatasan gaza,

Ia tak tahu akankah tersampai padanya atau hanya dilayarkan ke laut lepas ,

Ia hanya ingin menulis dan menyampaikan serat rindu dan cintanya

Kala pagi itu, Hujan masih gerimissang kupu bermandikan sayap indahnya

Burung-burung terbang lepas merobohkan tiraninya

Ia tampak bersenda gurau dan malu-malu me-makna Cinta

Menyapu udara dengan sajak-sajak lepasnya

Sayang-sayang kertasku masih terlipat menulis-kan surat ini

Langkah gontai mengelana di kolong langitNyaMenyusur jejak menyaksikan butir-butir cinta

yang mengukir tiap ruhAku belum bisa memakna dan menulis surat

cintaTerdengar sayup-sayup seratan cinta sang pemi-

lik ArsyAku duduk diam terpaku di bawah menaranya

Surat Cinta

Ifa C.N.Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Jawa 2011

Fakultas Bahasa dan Seni

Page 11: Nuansa 132

20 21NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Drama apalagi yang dapat kau pertontonkan? Apa kau tak lelah bercerita di tengah dunia yang semakin fana. Apa kau telah lupa fiksi kini telah menjadi sebuah kesia-siaan. Kenyataan yang ada hanya sebuah kepuingan yang tak memiliki arti. Arti yang ada telah hilang ter-telan sebuah dilema. Dile-matis memang ketika fiksi tak lagi menjadi indah dan dunia semakin menyedih-kan. Drama inikah yang akan kau pertontonkan. Jika memang iya, lanjutkan saja. Tak akan ada artinya aku mencegah. Aku harap cerita akan menjadi indah, atau hanya sebuah pengan-tar yang tak berujung. En-tahlah.

Senja, Fajar, Dewi, Surya, Malam Menjuwita, siapa mereka? Apa kau tak mengenalnya, mereka-lah pelakon utama yang tak terganti setiap harinya. Mereka kan ada di setiap detiknya. Dengarkanlah mereka ketika mereka telah menjadi lakon, lakon dalam sebuah elegi di kehidupan ini. Dengarkan secara perla-han jeritannya, rintihannya, bahkan tawanya. Kau pasti tak akan menduganya jika mereka bisa seperti itu. Tak seperti kau dan kalian kira. Apa kau kira mereka tak sama halnya dengan kita? Kita, sebuah hal antara kau dan aku yang belum tentu menyatu.

Babak inipun, mari kita mulai dan saksikan.

Raihlah sebelum se-makin jatuh ke dalam ke-gelapan malam, pesan Senja kepada sang Fajar. Namun Fajar tetap berjalan, tak memperhatikan. Biar-lah mendingin di kegela-pan malam, pikir Fajar. Senja semakin tak berarti, menjingga dan lama-lama tertelan malam. Sia-sia cin-ta yang ada. Namun jangan kira babak ini berak-hir, sesungguhnya inilah awal dari babak-babak berikut-nya.

Fajar semakin mengu-ning saja menyambut hari ini. Cinta yang dia punya, adalah cinta yang meng-hangatkan, berbeda sekali dengan Sang surya yang cintanya panas membara serta menyengat jiwa dan terlampau mencekik ke-

“Sebuah elegi”rongkongan ketika kau berusaha menaklukannya dalam sebuah permainan bi-bir. Kontras sekali memang dan semakin kontras ketika kau menyadari mereka adalah saudara. Sudah abaikan ikatan persau-daraan Fajar. Disinilah Fajar berdiri dan di-rinya teramat yakin, jika Dewi yang selalu muncul di esok hari itu pasti bertekuk lutut di hadapannya. Bodohnya dia yang lupa, siapa dia se-sungguhnya. Dia bu-kanlah si penguasa dunia seperti Surya, kakaknya itu. Surya yang mampu menak-lukan hati si Dewi itu. Hingga masa telah habis, Dewi masih mencintai surya. Kejam memang. Namun apa dikata, kata akhir telah terucap dari bibir Sang surya.

Fajar lupa segalanya, dia akan sirna tak berdaya ketika Surya menampakan mukanya. Menyinari dunia ini, menghilangkan dia dan menyisakan siang hari yang panas menghangatkan. Dan yakinlah makhluk-makhluk seperti Dewi sangat me-nyukainya. Dan memang Dewi masih mengejarnya barang tentu hanya untuk merasakan kehangatan pa-nas dari Surya. Suryapun tak akan pernah risih untuk satu ini, karena memang dialah pengelana cinta. Pa-tahlah fajar ketika nampak di depannya Dewi sedang merasa hangatnya Surya, tinggallah puing-puing keputusasaan. Inikah yang dirasakan senja ketika dia tertelan gelapnya malam, pikir Fajar.

Kembali pada Senja. Apa yang terjadi padanya? Ba-bak apa yang menantinya?

Senja merintih digelap-nya malam, dia semakin tak berdaya. Kekuatan jingga-nya ditarik secara paksa oleh gelap malam. Sakit, rintih Senja. Aku tak pedu-li, Senja. Kau meraungpun aku tak peduli. Akulah yang berkuasa hingga Fajar me-nampakkan mukanya. Kau mencintai Fajar, bukan? Ujar malam panjang lebar. Pertanyaan yang tak perlu dijawab, tertulis seksama

bahwa Senja teramat mencintai Fajar. Drama apalagi yang dapat dipertontonkan. En-tahlah.

Babak ini paling heboh, coba dengar tawa bahagia Malam. Bahagia sekali dia. Kontrasnya Senja tak ter-tawa, wajahnya jingga tapi pucat sekali guratnya. Ke-cantikannya tak akan ter-lihat lagi, gurat pucat se-makin mencekat wajahnya. Malam semakin sempurna. Malampun semakin terta-wa terbahak-bahak. Kamu bodoh Senja. Sungguh bodoh. Fajar juga bodoh. Kalian semua bodoh, diper-daya oleh cinta. Baiklah Senja, aku akan membalas-kan kesakitanmu itu ter-hadap Fajar. Malam berujar pelan, sambil mengelus-elus pipi adik kesayangan-nya yang memucat tak menjingga. Tidak Malam. Aku baik-baik saja, bela Senja. Sudahlah. Seketika juga, Malam berubah men-jadi Juwita, Dewi Malam. Dan kecantikan malam yang temaram terlukis dari wajahnya. Bukankah aku wanita paling cantik di bumi ini, Senja. Harusnya kamu bangga kepadaku. Aku cantik dan kuat, Senja.

Babakpun terus berlan-jut,

Tidak Malam, jerit Senja. Kau tak boleh mem-

perdayanya. Fajar bukan tandi-nganmu. Kau lebih pantas dengan Surya, sang pengelana cinta dengan kekuatan pa-nasnya itu. Surya, apa

kamu kata. Aku tak sudi dengan Surya. Dia telah

mempermainkan Dewi-Dewi esok hari. Aku muak

d e n g a n -n y a , t e r i a k

malam. Aku akan menarik lelakimu itu,

Senja. Dia akan kuperdaya. Kau adikku Senja, adik yang terlampau lemah. Aku tak sudi kau diperlakukan sep-erti ini oleh Fajar. Aku tak ingin kau menderita. Sudah nikmati saja kesakitanmu malam ini. Aku akan ber-tindak. Malam mengatakan kepada Senja seraya mem-bela tangan kecil Senja.

Kemudian,Fajar, bisik rayu Malam.

Kini berdirilah Dewi Malam Juwita nan temaram, sang penguasa gemerlap malam. Fajar terperangah, tak per-nah menduga. Makhluk nan anggun ini akan meng-hampirinya. Semakin me-nyayat lukanya akibat ulah Surya tempo hari. Memang dia tak akan bertahan lama, ketika berhadapan dengan dua makhluk penguasa itu. Fajar, bisik malam lagi. Menyadarkan Fajar jika ini tidaklah sebuah mimpi in-dah. Tapi apa benar ini Ju-wita Malam?

Kaukah Juwita Malam itu? Apa benar kau Kakak Senja? tanya Fajar. Tangan-nya hendak meyentuh pipi putih temaram itu, bercaha-ya sendu rembulan. Cantik sekali, gumam Fajar. Benar sekali Fajar, kau memang lelaki pintar. Tak salah sen-ja sangat menyukaimu, puji

Malam. Senja menyukaiku? tanya Fajar. Tapi aku tak pernah cinta, Senja dan aku sukar menyatu dengannya, lanjut Fajar. Aku mengerti, Fajar. Adikku memang ter-lampau lemah. Maukah kamu menjadi kekasihku, wahai Fajar?

Kekasihmu, ulang Fajar. Apa kau tak salah, Malam? Aku bukan pengelana cinta setangguh kakakku, Surya. Aku lemah dan be-rada di bawah kekuatan Surya, terang Fajar. Aku tak peduli itu semua, Fajar. Persetan kau lemah. Bagiku kau indah Fajar. Kau telah memperdaya dan membuat adikku terkasih itu hancur. Maukah kau nikmati indah-nya semua ini bersamaku? Malampun meraih tangan Fajar dan mereka menyatu. Fajar lupa segalanya. Ke-cantikan itu telah membu-takannya.

Fajar semakin melemah, dayanya sudah tak ada. Surya mulai mengetahui-nya. Ada ketidakberesan akan semua ini. Pengelana cinta itu sedang bermain menyatu dengan Dewi, dia tersentak. Fajar adikku, gu-mamnya lirih. Sementara itu, Senja yang masih me-rintih-rintih mulai merasa-kan agak baikan. Jingganya mulai mengada. Guratan pucat diwajahnya perlahan sirna. Kecantikannya yang menjingga kembali hadir secara perlahan. Tidak, mungkinkah Fajar telah terperdaya. Kakak, engkau Dewi Malam terkejam yang pernah ada, jerit pilu Senja.

Dan akhirnya,Malam bahagia, terlukis

sekali di wajah cantik nan temaramnya itu. Dendam dan cinta kini telah tiada. Sirna. Aku bahagia. Kan aku temui kau, Senja. Aku kembalikan jinggamu. Agar kau mengerti tentang kein-dahan senja dan keindahan fajar. Cinta yang ada hanya pelengkap.

Sesungguhnya ini semua hanya drama yang dapat dipertontonkan setiap ba-baknya. Tanpa penyelesa-ian. Biarlah mengambang.

“The end”

Amalia Lafenia BeautyMahasiswa IKM /2011

Fakultas Ilmu Keolahragaan

Apa makna konservasi bagi kita? Mungkin sebagian dari kita ada yang menganggap konser-

vasi hanyalah urusan pembuatan taman dan gerakan menanam. Ada pula yang menganggap konservasi adalah urusan penataan parkir dan pengurangan ken-daraan. Sebagian bahkan menganggap konservasi sebagai konservatif.

Konservasi bukan sekadar indahnya taman, hijaunya lingkungan, atau tertib-nya kendaraan. Dalam konteks Univer-sitas Konservasi, makna konservasi di-pahami dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu sebagai upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Objeknya meliputi alam, lingkungan, dan budaya.

Budaya dan konservasi bukan hal yang saling bertentangan. Keduanya bisa dipadukan dalam tema konservasi budaya. Namun apa sebenarnya arti penting konservasi terhadap budaya?

Konservasi Budaya Budaya dimaknai sebagai seperang-

kat gagasan, tindakan, dan karya yang dihasilkan. Jadi ia dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai proses dan ha-sil. Karenanya, budaya bukan sekadar benda mati, melainkan kontinuitas ma-nusia dalam mengembangkan kehidu-pan. Namun apakah sesuatu yang selalu berkembang dapat dikonservasi?

Konservasi budaya diibaratkan sem-prong. Alat dari bambu yang memiliki lubang di kedua ujungnya. Ibu-ibu biasa meniupkan angin melalui semprong

Budaya Peduli, Peduli Budayaagar bara api menyala. Tujuanya untuk menjaga nyala api tetap stabil saat me-masak. Simpulannya, meniup api bukan untuk mematikan, melainkan memberi-kan aliran oksigen untuk tetap menjaga nyalanya. Layaknya semprong, konser-vasi budaya bekerja dengan cara yang hampir sama. Ia bekerja dengan men-jaga capaian dan proses kreatif dalam budaya secara bersama-sama.

Konservasi budaya memiliki dimensi ke belakang dan ke depan. Dimensi ke belakang diwakili oleh proses perlin-dungan dan pengawetan terhadap keari-fan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Sementara itu, dimensi ke depan di-ejawantah-kan dengan menjaga keber-lanjutan budaya.

Konservasi dapat bekerja dalam d i n a m i s n y a b u d a y a . Ia berperan m e n j a g a b u d a y a a g a r t e t a p d i n a -mis tan-pa melupakan pondasi yang te-lah dibangun sebelumnya. Hal ini penting karena masyarakat kita tengah terserang oleh penyakit lena dan lupa.

Lena dan Lupa BudayaSaat ini kita dihadapkan pada gelom-

bang besar globalisasi. Derasnya infor-masi dunia bahkan dapat diakses dari kamar tidur kita. Namun dari aspek bu-daya, globalisasi justru cenderung men-

jadikan masyarakat semakin akultural. Hal ini dikarenakan pembauran budaya melalui beragam media tidak bisa ter-hindari lagi. Akibatnya kita bisa tertular penyakit lena dan lupa.

Lena dan lupa adalah gambaran nya-ta tentang ketidaksadaran dan ketidak-tahuan. Dalam konteks budaya, jika

lena dan lupa sudah terjadi, maka dapat dipastikan masyarakat akan ter-cabut dari akar budayan-

ya. Akibatnya kita akan mengalami krisis bu-daya dan jati diri. Saya khawatir kelak banyak

yang tidak bisa men-jawab pertanyaan “Siapa sebenarnya kita?”

Kini kita bisa temui berbagai gejalanya dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, sebagian

masyarakat sudah tidak mengetahui cara meng-gunakan bahasa daerah-nya. Kita baru menyadari

bahwa kita memiliki budaya saat negara lain mengatasnamakan

budaya kita menjadi milik mereka.

Budaya Peduli, Peduli BudayaKonservasi budaya diwujudkan da-

lam dua wujud, yaitu diwujudkan de-ngan menumbuhkan budaya peduli dan dalam peduli budaya.

Apa bedanya budaya peduli dan peduli budaya? Budaya peduli sering

disebut ide atau gagasan, inti dari buda-ya. Sementara itu, peduli budaya adalah wujud yang kedua, yaitu aktivitas. Se-bagian orang juga menyebutnya sistem sosial. Kemudian jika keduanya dipadu-kan akan terbentuk wujud budaya yang ketiga, yaitu artefak atau budaya fisik. Inilah yang menjadi pertanda terwujud-nya keharmonisan dan keselarasan.

Budaya peduli diperlukan ketika kita ingin mewujudkan peduli budaya. Budaya peduli merupakan satu tatanan gagasan yang mendorong seseorang un-tuk merasa memiliki. Dalam pandangan Jawa, budaya peduli diartikan rumong-so melu handarbeni. Sedangkan peduli budaya diartikan melu hangrungkepi, mulat sariro hangroso wani. Melakukan pembelaan dengan pengorbanan dan keikhlasan serta introspeksi dan refleksi atas tindakan yang kita lakukan.

Budaya peduli dan peduli budaya sebenarnya sederhana secara konsep. Ia bisa diterapkan dalam kehidupan keseharian. Namun, maukah kita seka-rang melakukannya agar tidak terjebak dalam lena dan lupa. Jawabannya ada pada diri pembaca. Di akhir tulisan ini saya hanya bisa berdoa secara sederha-na “semoga Tuhan memberi pencerahan kepada kita”.

Ana rembug dirembug, piye apike, piye penake, murih tujuan mul-ya kelakone. Serangkaian kali-

mat yang terpapar di kalender Unnes, sederhana tapi penuh makna. Me-mang fenomena perselisihan dan atau pertengkaran yang terjadi di tengah masyarakat menjadi fakta yang tidak terbantahkan lagi. Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kecenderungan untuk berkumpul dan bergaul. Masing-masing manusia memiliki karakter individual dan kepentingan personal yang berbeda. Dalam suatu komuni-tas, perbedaan tersebut melahirkan gesekan-gesekan, benturan-benturan karakter dan kepentingan yang menim-bulkan perselisihan, permusuhan dan pertengkaran. Hukum pun menjadi hal yang sangat penting demi tercapainya keadilan dalam penyelesaian perselisi-han tersebut.

Perlu kita ketahui bahwa hukum tidak bersifat statis melainkan dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dan kebutuhan masyarakat. Ketidakmampuan hukum dalam meng-akomodasi perubahan sosial yang ber-gerak dinamis akan menyebabkan ia mengalami kemunduran. Atau dengan kata lain, ia kembali kepada keadaan

Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di Masyarakat

sebelum mengalami kemajuan atau ter-jadi regresi.

Pada hakikatnya, hukum progresif tidak bergerak pada arah legalistik-dogmatis, analitis positivistik, tetapi lebih pada arah sosiologis. Hukum tidak mut-lak digerakkan oleh hukum positif atau hukum peraturan perundang-undang-an, tetapi hukum juga bergerak pada arah nonformal.

Seperti kita ketahui bahwa pe-nyelesaian sengketa dapat ditempuh menggunakan jalur formal dan non-formal. Akan tetapi proses penyelesai-an sengketa secara formal yang paling konvensional adalah litigasi (jalur pengadilan). Jalur ini lebih bersifat win-lose sehingga antarpihak yang berperkara selalu diduduk-kan pada kenyataan bahwa terdapat salah satu pihak yang dirugikan. Lain halnya dengan prinsip dalam mediasi pe-nal yaitu win-win solution. Dengan prinsip tersebut, antara kedua be-lah pihak dapat mewujudkan ke-

pentingan masing-masing tanpa ada pihak yang dirugikan.

Pada kenyataannya mediasi penal memang sesuai dengan hukum adat da-lam kehidupan sehari-hari masyarakat. Walaupun pada umumnya, penyelesai-an sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktik tak jarang pula kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan. Penyelesaian perkara dilakukan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui musyawarah/perdamaian. Selain itu, dapat juga dilakukan melalui lembaga pemaafan yang ada di dalam

masyarakat. Bahkan dalam perkembangan wacana

teoritik dan perkem-bangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada

kecenderungan kuat untuk menggunakan me-diasi penal sebagai salah

satu alternatif penye-lesai-an masalah di bidang hukum pi-dana.

M a s y a r a k a t sendiri telah

mengembangkan ke-

biasaan untuk melakukan musyawarah apabila terjadi setiap perkara baik hu-kum maupun nonhukum. Budaya pe-nyelesaian perkara inilah yang dikenal sebagai bentuk mediasi dalam perkara perdata. Sedangkan, penal mediation menjadi sebuah wacana untuk penye-lesaian perkara pidana. Jadi tidaklah berlebihan jika pada perkembangannya bangsa Indonesia perlu mencari model alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Metode alternatif itu bisa dengan menggali budaya yang berkem-bang di masyarakat.

Mediasi penal merupakan cetusan ide sebagai bentuk penyelesaian perka-ra pidana di luar pengadilan yang me-ngakar dari budaya hukum masyarakat. Hukum lokal yang dihayati sebagai liv-ing wisdom dan living law diharapkan tidak berada pada posisi paling bawah yang disepelekan ketika telah terben-tuk hukum modern yang tertulis. Na-mun, dengan mediasi penal diharapkan masyarakat akan lebih cepat patuh de-ngan hukum yang memang dirasa se-suai dengan kultur hukum yang telah berkembang di masyarakat.

Tsabit Azinar AhmadCentre for Controversial History

Studies;History Department, Semarang

State University

Cahya Wulandari, S.H., M.Hum.Dosen Pidana Fakultas Hukum

Unnes

Budaya Budaya

Cerpen

Page 12: Nuansa 132

22 23NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

Pagi itu cuaca cukup cerah. Kemeriahan mulai nam-pak di depan Gedung E5

Fakultas Teknik Unnes. Pulu-han stan sudah siap me-

nyambut pengunjung dalam acara Geby-ar Teknik Terpadu. Berbagai pernak-pernik dipasang di

dalam stan sebagai magnet yang akan menyedot perhatian

s i v i -tas aka-demika . Namun, t i d a k d e n g -

an stan yang satu ini. Tak b a n y a k

hiasan yang d i p a j a n g . Hanya be-

berapa kotak kaca yang ditata berjajar dan menumpuk ke atas. Tapi siapa sangka, stan itu justru menyedot perhatian banyak mahasiswa.

Puluhan reptil dalam kotak kaca memiliki daya tarik tersen-diri bagi mahasiswa. Bina-tang yang bagi

UREA: “Tak Semua Reptil Berbahaya” sebagian besar orang mengerikan itu tampak jinak. Galih Prata-ma Nuranto dan ketiga anggota UREA lainnya Fabriyan Zulfi, Kholidin, dan Ahmad tampak begitu akrab dengan reptil-reptil itu. Tangannya dengan terampil memindahkan ular dan beberapa reptil lainnya ke dalam kotak kaca,.

Galih merupakan koordi-nator UREA atau Unnes Rep-

til Asociation. UREA adalah sebuah

komunitas pe-cinta reptil.

Komunitas ini terla-

hir pada tang-gal cantik yaitu, 10/10/10. Menurut Galih, ide pembentukan ko-munitas ini sebenarnya sejak Agustus 2009. Namun, resmi

berdirinya tanggal 10 Okto-ber 2010. Menurut mahasiswa FIP ini, tujuan berdirinya UREA adalah untuk menyosialisasikan kepada sivitas akademika dan masyarakat bahwa tidak semua reptil berbahaya. “Dalam komu-nitas pecinta reptil ini, kami ha-nya memelihara reptil yang tidak membahayakan manusia. Kita mainnya genom, jadi pilih ular yang tidak berbisa,” paparnya santai.

UREA yang bermarkas di seki-tar Unnes tepatnya di jalan Sring-ing Patemon itu beranggotakan 60 orang. Anggota UREA Tak hanya mahasiswa Unnes, melainkan ada juga mahasiswa USM, Udinus, dan Akpelni.

“Kami tidak melakukan open re-cruitmen anggota, karena terlalu formal. Siapa saja yang suka rep-til dan ingin gabung, bisa datang langsung ke mabes,” ungkap Ga-lih mantap.

Lelaki berkaca mata itu juga mengungkapkan kalau di da-lam komunitas ini mereka bisa sharing mengenai berbagai hal tentang reptil. Selain di mabes, Galih dan anggota UREA yang lain juga sering nongkrong di samping BNI Unnes tiap Selasa malam dan di embung Rabu sore-nya. “Kami rutin nongkrong di dua tempat itu. Tapi ada catatan-nya, kalau tidak hujan,” ungkap-nya sembari tertawa ngakak.

Di dalam komunitas yang di-gelutinya itu, Galih menerang-kan ada empat jenis reptil yang dipelihara, di antaranya jenis ular, kadal, buaya, dan kura-ku-ra. Dia juga menerangkan untuk jenis ular terdiri atas ular asli In-donesia dan impor. “Ada Sanca Batik, Sanca Bodo, dan Sanca Darah yang warnanya merah itu, semuanya asli Indonesia. Kalau jenis Ball Pyton dan Boa diimpor dari Afrika,” terangnya sembari menunjuk ular di dalam kotak kaca di depannya.

Selain ular ada juga beberapa jenis kadal yang dipelihara, se-perti Panana asli Irian, Iguana, Soalayar, Biawak, dan Timoren-sis. Hal itu diungkapkan Ahmad salah seorang anggota UREA. Galih menambahkan jika bebera-pa jenis reptil ada yang diperjual-belikan. “Kami memiliki banyak Iguana, jadi sebagian kami jual. Kalau semisal ada yang laku, se-bagian uangnya bisa untuk beli gorengan atau permen untuk teman-teman di komunitas,” im-buhnya sembari tersenyum.

Menurut Galih UREA memi-liki program internal yaitu me-nyosialisaasikan reptil kepada siswa PAUD-SD. “Sebelumnya kami pernah sosialisasi di PAUD Ganesa, Jatingaleh. Rencana-nya mulai bulan April ini akan keliling ke PAUD-SD di sekitar Unnes,” terangnya mengakhiri perbincangan.

Ambar Kurniawati

Saya mengenal pertama kali nama Ki Ageng Soerjomentaram dari Ki Said, ketua Taman Siswa Jakarta, sekitar

tahun 1970-an. Ketika itu beliau menceri-takan “local genius” Jawa sudah menyusun strategi kultural minimalis untuk menga-tasi Zaman Malaise yang terjadi di masa ontran-ontran penjajahan Jepang dengan “6 Sa”-nya, yakni: “Sabutuhe, Saperlune, Sacuku-pe, Sapenake, Samesthine, dan Sabenere”. Begit-ulah, tulis Darmanto Jatman dalam pidato Pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Psikologi di Universitas Diponegoro (Un-dip) Semarang pada awal tahun 2008 .

Menjelang akhir tahun 2012 wacana mengenai Psikologi Jawa yang tentunya berkenaan dengan kebudayaan Jawa kem-bali digulirkan Afthonul Afif melalui bu-kunya ‘Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryomentaram’. Judul itu, bagi keba-nyakan pengkaji Psikologi Jawa tentu luar biasa; mengingatkan kembali peristiwa 50 tahun lalu. Ketika itu, seorang tokoh ber-nama Soemantri Hardjoprakoso di Rijk Universiteit Leiden menuliskan disertasi dan berusaha mengeksplisitasi “Candra Jiwa Sunarto” dari Kitab Sasongko Jati Pangestu menjadi psikologi yang sejajar dengan ilmu jiwa Barat yang modern dan positivistik.

Tidak cukup berhenti pada tataran itu, kampanye dan upaya eksternalisasi dari keyakinan ilmiahnya terus dilakukan de-ngan harapan ilmu jiwa Jawa segera dapat mendarah daging menjadi teori atau bah-kan genre dan alat terapi kejiwaan yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Umumnya kaum akademisi menyebut pendekatan yang dipakainya itu Post-collonial. Diakui-nya, kajian tentang kejawaan tidak per-nah membosankan, karena terdapat segi-segi yang terus memikat. Tercatat ada Dr. Simuh yang mengenalkan Sufisme Jawa,

Judul : Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryamentaram

Penulis : Afthonul AfifPenerbit : Kepik, JakartaCetakan : I, Oktober 2012Tebal : x + 158 HalamanHarga : Rp. 45.000ISBN : 978-602-99608-8-4

Kawruh Jiwa sebagai Psikologi Jawa

M. Nafiul HarisMahasiswa Fisip Hubungan Interna-

sional / 2010Universitas Wahid Hasyim, Semarang

S ILUET candi, orang-orang yang berte-riak, bule yang ditahan, anak panah yang menunjuk ke kiblat dan flashback penge-

boman memberi gambaran singkat tentang film ini. Scene padat dan informatif. Secara garis besar film ini berkisah tentang teroris, dan mengand-ung unsur agama. Seting diperlihatkan dengan siluet candi dan semakin jelas ketika Letnan Hasyim (Ario bayu) turun dari Mobil Jendral (Frans Tumbuan) di dekat Tugu Jogja.

Jake (Kellan Lutz), seorang bule yang mengaku sebagai asisten dosen selamat dari aksi pengeboman dan kini menjadi saksi kunci atas tindakan terorisme. Akan tetapi kejanggalan-kejanggalan dirasakan oleh Letnan Hasyim, detektif densus 88. Hasyim ragu atas kesaksian yang diberikan Jake, utamanya ten-tang identitas asli Jake. Hasyim semakin me-naruh kecurigaan ketika mereka diserang, Jake lah yang menyelamatkannya dan menunjuk-kan kepiawaiannya menggunakan senjata api. Meskipun Hasyim masih ragu, pada akhirnya mereka bekerja sama untuk menyelesaikan ka-sus Sultana (Atiqoh Hasiholan).

Musuh mereka adalah Malik (Mickey Rourke), penyandang dana tindak terorisme yang mengincar barang-barang berharga. Malik bekerja sama dengan Wazir (Tio pakusadewo), paman Sultana untuk mengkudeta Sultan Jogja (Rudy Wowor) yang sah. Sebagai imbalannya Wazir memberikan perhiasan kesultanan un-

Judul : Java HeatSutradara : Connor AllynPenulis Naskah : Connor Allyn, Rob AllynRumah Produksi : Margaret HousePemain : Kellan Lutz, Ario Bayu, Mickey Rourke,

Atiqoh Hasiholan, Frans Tum-buan, Tio Pakusadewo, Mike Muliardo, Rio Dewanto.

Rilis : April 2013

PRESPEKTIF BARU TERORISME DENGAN VISUAL APIK

tuk Malik.Brondongan peluru dan ledakan mewarnai

setengah jam pertama film ini. dilanjutkan ke-jadian-kejadian penuh aksi lainnya yang tidak kalah menarik. Pertarungan semakin sengit dan sampai puncaknya ketika perayaan Waisak di Borobudur.

Ide tentang terorisme yang membungkus perampokan dan penculikan memang bagus, masih segar. Apalagi dikaitkan dengan budaya, kudeta, agama, dan gangster, yang cukup rumit. Pada kenyataannya unsur-unsur ini gagal dira-mu dengan apik oleh Rob Allyn (sutradara). Allyn memberikan sisi lain mengenai terorisme yang tidak selalu tentang agama, tetapi yang muncul adalah teroris bergaya muslim yang selalu menenteng senjata kemana-mana.

Java Heat menghabiskan dana mencapai 15 juta dollar, dibintangi artis-artis ternama In-donesia dan Hollywood. Akan tetapi itu saja ternyata tidak cukup membuat film ini bagus

secara keseluruhan. Beberapa h a l yang terkesan kurang dan disayangkan dalam film ini yaitu, Jake, marinir AS yang hanya mengandalkan otot tanpa otak. Hasyim, de-tektif sok pintar dan seenaknya sendiri dalam mengendarai mobil. Sultan Jogja berwajah bule (mungkin salah casting) dan Atiqoh Hasiholan yang hanya diseret-seret kesana kemari. Sayang sumber daya pemain-pemain papan atas ini seolah tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Seperti The Expendables yang banyak pemain bintang tetapi filmnya tidak cukup bagus.

Pada bagian awal sudah terasa alur film agak lambat untuk ukuran film aksi, tetapi ini terobati dengan tabrakan yang disusul baku tembak dan penyergapan teroris. Setelah itu, terlalu banyak berkutat pada latar belakang pe-main dan percakapan.

Film ini memang untuk pasar internasio-nal, tetapi penggunaan bahasa Inggris dalam film kurang tepat. Dapat dimaklumi ketika

bahasa Inggris dipakai ketika adegan bersama Jake dan Malik yang notabene pemain asing, tetapi ketika berbicara dengan sesama orang Indonesia, film ini menunjukkan ketidakkon-sistenan dalam penggunaan bahasa. Terkadang memakai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan sesama orang Indonesia. Yang lebih mengherankan adalah Jendral yang dikatakan sangat nasionalis tetapi menggunakan bahasa Inggris kepada anak buahnya. Ketidaktepatan juga terjadi ketika Hasyim memandikan rekan kerjanya yang Kristen seorang diri di masjid.

Untuk kualitas musik dan gambar, film ini tergolong bagus. Musik mengiringi latar dan suasana film dengan tepat, volumenya pun pas. Apalagi ketika “Kopi Dangdut” dijadikan back-sound pada malam hari. Jogja banget. Lalu untuk masalah gambar, keren. Efek yang tidak over, angel-angel unik, dan detail siap memanjakan mata. Jogja benar-benar dieksploitasi setiap sudutnya, pedesaan, perkotaan, tugu, terowo-ngan bawah tanah hingga kawasan “esek-esek” tidak luput dari bidikan kamera Shane Dalley, director of photography. Bahkan uap air dari ketel yang dibuka pun menjadi gambar yang menarik. Bagaimana dengan Borobudur? Ten-tunya lebih eksotis dan siap memanjakan mata Anda.

Frans Magnis Soeseno dengan Filsafat dan Etika Jawa, Koentjaraningrat dengan Ke-budayaan Jawa, dan ada juga Kawruh Jiwa Jawa yang dibesut Darmanto menjadi Psikologi Jawa.

“Aku” Kramadangsa Ilmu Jiwa Gambar Kramadangsa ada-

lah salah satu bahan yang menjadi kajian Afthonul Afif dalam buku ini. Ilmu itu mengenai jiwa orang; dan jiwa adalah rasa. Rasa itu yang membuat orang berbuat apa saja (hlm; 25). Orang bertindak mencari air minum karena terdorong rasa haus, bertindak mencari bantal untuk tidur ka-rena terdo-rong rasa kantuk; demikian se-terusnya. Maka, dengan demikian, rasa itu menandai hidup seseorang. Kalau hanya ada badan tanpa rasa, itu disebut bangkai atau maneki. Mempelajari tentang rasa ada-lah mempelajari tentang orang, begitulah kurang lebihnya. Sementara itu, kita sendi-ri adalah orang. Jadi, mempelajari tentang orang, dapat dikatakan mempelajari diri sendiri atau mengetahui diri sendiri (pan-gawikan pribadi).

Diri sendiri manakah yang dipelajari? Ialah diri sendiri yang diberi dan memiliki nama khusus. Kalau namanya Mudjahirin, merasa aku si Mudjahirin; kalau namanya Krama, merasa aku si Krama. Rasa yang

bergandengan dengan namanya itu di-sebut Kramadangsa. Kramadangsa itu yang menyahut bila nama kita dipanggil orang, yang menjawab kalau kita ditanya orang. Kramadangsa menyatukan diri de-ngan segala rasa yang timbul dalam diri-nya. Secara panjang lebar struktur jiwa kra-madangsa yang berisi tentang “rasa”, “aku” (kramadangsa), dan “mawas diri” serta ba-gaimana keterkaitannya, itulah yang men-jadi inti kajian psikologi Jawa. Biar tidak selalu dianggap ngelmu atau kawruh, ilmu udik yang tanpa pernah naik kelas menjadi ilmu jiwa yang sejajar dengan psikologi barat (hlm; 45).

Pada akhirnya, kajian tentang Psikolo-gi Jawa--yang juga bermacam ragam (baca: mazhab) nya--memang banyak, utamanya dalam Psikologi Umum, termasuk lan-dasan falsafahnya. Namun, pengetahuan tentang jiwa itu sebagian hanya berhenti pada ta-taran gagasan, konsep yang speku-latif atau ideologis. Karenanya, diperlukan usaha untuk mengeksplisitkan dan men-sistematikan masing-masing wejangan itu untuk kemudian dibangunkan suatu ilmu pengetahuan yang padu, integral meliputi segenap elemen, proses dan struktur ke-jiwaan manusia untuk menjadi Psikologi Jawa umum.

Tentu, mewujudkan hal itu tidak mu-dah, karena kawruh-kawruh jiwa itu berasal dari berbagai babon yang sudah terlebih dahulu didirikan sebagai gagasan ideologi keyakinan. Kita ambil saja misalnya “Can-dra Jiwa Soenarto” atau “Candra Jiwa In-donesia” yang telah “diakui” ilmiah yang sampai hari ini tidak banyak (kalau tidak boleh dibilang tak ada) yang mencang-koknya. Justru sebaliknya, dibalik Candra Jiwa yang ilmiah itu berdiri basis aliran kepercayaan Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal) yang sampai hari ini masih di-masukan dalam kategori “Kebatinan Jawa” atau “Aliran Kepercayaan” yang sedikit banyak telah mengalami “stigma” sebagai komunitas eksklusif.

Apabila buku Afthonul Afif kali ini diak-hiri dengan wacana “Psikologi Jawa” tidaklah berarti bahwa Psikologi Jawa itu yang paling unggul di antara berbagai in-digenous psychology atau etnopsikologi di In-donesia, hanya karena sejak asal mula telah ditumbuhkembangkan dalam budaya Jawa. Sehingga, perlu mengenal budaya Jawa ini dengan jalan menghayatinya, merasakan-nya, sekaligus mengundang yang lain agar ikut mewacanakan psikologi etniknya (etnopsikologinya) serta menerapkanya dalam “sharing” kawruh yang lebih terbuka, saling beri-dapat. Sehingga, diharapkan lahir satu wacana Psikologi Indonesia yang lebih fungsional menuju kehidupan cultural-spiritual humanistic. Satu proses pe-nyempurnaan ilmu pengetahuan seperti yang pernah diutarakan oleh Peter Berger dalam “The Sociology of Knowledge”nya.

Buku

FilemKomunitas Resensi

Mahda HaidarMahasiswa Pend. Bhs dan Sastra 2010

Fakultas Bahasa dan Seni

NuansA/Lutfi

NuansA

/Lutfi

Page 13: Nuansa 132

24 NuansA Edisi 132 TH XXV/ 2013

“Sesekali kutafsir artiini sepi dan itu sepi

berdentingmemagar waktu dan ruang”

(Bandung 1979)Kurang lebih seperti itu bunyinya.

Sebuah sajak pendek yang ditulis Sutan Iwan Soekri Munaf tahun 1979. Jangan tanyakan, saya sudah lahir atau belum di tahun tersebut. Kare-na jawabannya ten-tu belum. Jangankan saya, kedua orang tua saya pun kemungkinan besar belum dipertemukan oleh Dewa Amoer. Dewa yang mengurusi masalah perjodohan bagi masyarakat Yunani, katanya.

Pembahasan kali ini bukan mengenai sajak di atas atau pun Dewa Amoer, ka-rena saya sendiri kurang paham mengenai kedua hal tersebut. Kita bahas yang kita pahami saja, karena kalau tidak paham, nekat membahas bisa jadi hal-hal yang diu-tarakan sesat. Kita bahas yang ringan-ring-an saja. Sambil makan biskuit dan minum kopi. Aduh, nikmatnya.

Kembali ke permasalahan awal, dalam rubrik ini kita akan membicarakan segala sesuatu yang ringan. Mulai dari Sutan Iwan Soekri Munaf, siapakah dia? Sas-trawan jelas. Tapi apa saja karya-karyanya? Masuk dalam angkatan berapakah dia? Wah, belum tahu. Cari buku, buka daftar

Berat = Ringan ?isi, tidak ada, pindah ke buku lain cari lagi tetap tidak ada, aduh pusing jadinya.

Tiba-tiba ada yang protes. Katanya mau membahas yang ringan-ringan saja, buktinya? Baru mulai langsung smack down ini kepala. Ayolah yang ringan, re-nyah, dan mudah dikunyah saja, jangan yang berat, ketat, dan bikin penat.

Baik-baiklah, maaf sudah melanggar kesepakatan awal. Mulai dari paragraf ini sampai akhir nanti kita akan membahas yang ringan-ringan saja. Soalnya yang be-rat-berat bikin cepat tua. Eh, apa iya? Me-mikirkan yang berat-berat mempercepat penuaan? Wah, belum tahu. Cari buku, buka daftar isi, tidak ada, pindah ke buku lain cari lagi tetap tidak ada, aduh pusing jadinya. Sebentar-sebentar sepertinya kita pernah melakukan hal seperti ini sebelum-nya. Kata orang jika kita seperti pernah merasakan kejadian atau peristiwa yang sedang kita alami, itu namanya de javu. Konon de javu terjadi karena pikiran kita terlalu lelah.

De javu cukup familiar di telinga, tapi apa sih maksudnya? Mungkin secara ilmiah atau psikologi bisa diuraikan maksud dari kata tersebut. Hal yang harus kita lakukan adalah cari buku, buka daftar isi, tidak ada, pindah ke buku lain cari lagi tetap tidak ada, aduh pusing jadinya.

Setop-setop, mengapa sejak tadi mem-bahas mengenai cari buku, buka daftar isi, tidak ada, pindah buku lain dan bla bla bla. Ibarat berjalan, kita sudah jalan dua langkah mundur lagi, berjalan lagi mun-dur lagi, kapan sampainya? Katanya mau membahas yang ringan-ringan? Sudah tidak sabar nih.

Aduh kena protes lagi, maaf seperti-nya sejak tadi kita salah membahas topik. Niatnya mau membahas yang ringan-ring-an, tapi yang muncul justru sebaliknya. Baiklah kita akhiri yang berat, kali ini kita akan membahas topik yang seharusnya. Topik yang ringan bukan? Tapi sebentar, topik yang ringan itu yang seperti apa? Ringan itu yang bagaimana? Lhadalah.

Tenang, jangan terburu-buru mencari buku. Kita renungkan terlebih dahulu, Se-menit, dua menit, sejam, sehari, seminggu. Aduh, merenung terlalu lama ternyata berat juga. Padahal kita merenungkan se-suatu yang disebut ringan. Wah, bagaima-na ini. Tulisan saya sudah mulai tidak kon-sisten. Saya mulai bingung membedakan yang ringan dan berat. Atau jangan-jangan ringan sama dengan berat? Atau justru sebaliknya berat sama dengan ringan? Se-makin berat juga.

Sekarang yang saya pusingkan bukan hanya mengenai ringan dan berat me-

lainkan juga bagaimana cara menyudahi tulisan yang semakin liar ini. Saya sendiri pusing, bagaimana dengan Anda? Tapi tenang, saya tidak akan membiarkan Anda pusing terlalu lama karena membaca tu-lisan ini. Saya sedang berusaha mencari titik akhirnya.

Kembali ke laptop, saya mulai panik karena belum menemukan juga akhir yang tepat untuk tulisan ini. Anda, mungkin tak sepanik saya. Tapi bisa dibayangkan, mungkin sudah mulai memaki dalam hati. Mengapa terus membaca tulisan ini. Tena-ng, Anda melakukan hal yang tepat kar-ena saya sedang mencoba mengumpulkan energi saya untuk menyudahi tulisan ini.

Oh, ya saya ingat satu hal, senior saya pernah berkata kepada saya ‘jangan pernah menulis jika apa yang Kau tulis tidak untuk Kau perlihatkan kepada orang lain’. Sekilas deretan kata-kata tersebut terasa biasa saja. Namun, sejatinya tidak demikian bagi saya. Mungkin lantaran itu juga saya berani memperlihatkan tulisan ini kepada Anda. Tulisan ringan yang berat atau tulisan be-rat yang ringan Anda yang memutuskan. Semoga apa yang tersirat dalam tulisan di atas sampai kepada pembaca. Jika pun be-lum, baca sekali lagi. Semoga Anda berun-tung. Salam.[] Ambar Kurniawati

Sejak dulu tradisi Jawa lekat dengan kehidupan penduduk di kota Sra-gen. Hampir di setiap kesempatan,

wayang dan gamelan digunakan sebagai hiburan dalam berbagai acara. Hal ini yang menyebabkan Widodo Sarudining-rat menjadi terbiasa dan semakin ter-pikat oleh keindahan seni Jawa tersebut.

Pria yang akrab dipanggil Widodo ini, sejak kecil memiliki cita–cita sebagai seorang dosen dan dalang. Tidak disang-ka–sangka ternyata semuanya kesampai-an juga. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), dia melanjutkan studi di Uni-versitas Negeri Surakarta (UNS). Setelah menyelesaikan studi S1-nya dengan me-nyabet gelar lulusan terbaik tingkat juru-san Sastra Daerah, Dia melanjutkan stu-di S2-nya di Semarang. Pilihannya jatuh pada program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Semarang (Unnes). Perjalanan studi yang pan-jang mengantarkan W i d o d o meraih salah satu cita-citanya. Dia di-percaya untuk menjadi salah satu Dosen Sastra Jawa di Fakultas Bahasa

Tekuni Kesenian Jawa Sejak Kecildan Seni, Unnes.

Selain menjadi dosen, pria kelahi-ran Sragen, 09 November 1964 ini, juga mendalang di berbagai daerah, bahkan sampai ke Kulonprogo dan Banjarnega-ra. Di rumah tepatnya di daerah Unga-ran, Widodo mempunyai gamelan leng-kap dengan wayangnya. Bahkan setiap malam Rabu dan Minggu rumahnya di-gunakan sebagai tempat berkumpul dan berlatih karawitan, tari, dan pedalangan para seniman Gunungpati. Banyak pula seniman dari luar Semarang yang da-tang untuk ikut berlatih bersama.

Selain itu, Dia juga mulai menga-jarkan kesenian Jawa kepada ketiga anaknya. Kedua putrinya asyik menekuni dunia tari, sementara putranya meneku-ni dunia pendalangan. Bahkan putranya yang sekarang duduk di bangku SMP itu, kini telah menjadi dalang cilik.

Widodo dan putranya menekuni dunia pedalangan bukan sekadar untuk menyalurkan hobi. Dia memiliki tujuan yang jauh lebih besar, yaitu untuk me-lestarikan kesenian Jawa yang semakin lama semakin tergerus oleh tren barat. Widodo mengaku prihatin dengan ba-nyaknya orang yang lebih suka nanggap orkes daripada wayang atau kesenian

Jawa yang lain. “Ini bisa dibilang ke-prihatinan seni. Karena kesenian

Jawa mulai kurang diminati. Sebenarnya para seniman Jawa

butuh banyak dermawan yang mau merangkul mereka,

agar kesenian Jawa tetap ditekuni oleh mereka,” ungkapnya sambil meng-gelengkan kepala. Frian Violita

Putra Putri Kampus (Papika) sudah menjadi hal yang tak asing lagi didengar. Ajang pemilihan Papika

yang digelar setiap dua tahun sekali ini, mampu mengahrumkan nama baik Universitas Negeri Semarang baik di tingkat daerah, nasional, maupun inter-nasional. Betapa tidak, berangkat dari ajang ini, tak sedikit mahasiswa Unnes yang sukses meraih impiannya. Salah satunya Mochamad Risqi Adhi Prata-ma. Mahasiswa semester 6 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris ini berhasil meraih Juara I pada acara Pemilihan Denok Kenang Semarang yang dige-lar di Krakatau Room, Hotel Horison, Jumat (19/4). “Saya tidak menyangka bisa meraih Juara I. Padahal menurut Saya, peserta yang lain juga bagus,” ungkap Risqi den-gan senyum mengembang.

Mahasiswa kelahiran 30 November 1991 ini awalnya tidak menyukai dunia model-ing. Namun, setelah dia ber-hasil menyabet Juara I di acara pemilihan Kartini dan Kartono Fakultas Bahasa dan Seni, dia menjadi tertarik untuk mengi-kuti kompetisi di dunia ini. Atas motivasi teman-teman dan keluargan-ya, mahasiswa yang akrab dis-apa Risqi ini mengi-kuti ajang pemilihan Papika Unnes. Dia pun berhasil meraih Juara

Lillah, Maka Tak Kan LelahII di ajang bergengsi ini dan akhirnya mengikuti ajang pemilihan Denok Ke-nang Semarang. Kini mahasiswa yang memiliki hobi membaca dan menyanyi ini sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ajang pemilihan Mas dan Mbak Jawa Tengah.

Sukses meraih prestasi di berbagai ajang bergengsi tersebut, Risqi menga-ku tidak bercita-cita menjadi model, presenter, atau profesi lain yang ber-hubungan dengan itu. Mahasiswa asal Kebumen ini tetap teguh pada cita-cita yang diimpikannya sejak duduk di bangku SMA, yaitu menjadi dosen. Baginya dosen merupakan profesi yang sangat mulia. Selain menyalurkan ilmu

yang bermanfaat kepada mahasiswa, menjadi dosen juga akan terus

mempelajari ilmu yang berkem-bang di masyarakat sehingga pengetahuannya tak kan per-nah usang.

Bagi Risqi, setelah meraih prestasi tersebut, banyak ke-

giatan dan pengalaman yang tak pernah terpikir olehnya.

Seperti bertemu dengan ba-nyak pejabat, mengha-rumkan nama kampus di berbagai kegiatan, dan sebagainya. Berbagai kegiatan itu membuat Risqi harus pandai me-ng-atur waktu sehingga tidak mengganggu aktivitas ku-liahnya. “Semuanya saya jalani dengan ikhlas. In-sya Allah, lillah tak kan lelah,” ungkapnya meng-akhiri pembicaraaan, Jum’at (16/5). Septi In-drawati.

Profil

Rileks

Nua

nsA

/Vio

Doc.