BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Pengertian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Pengertian...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebisingan
1. Pengertian Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi atau suara yang keberadaannya tidak dikehendaki
(noise is unwanted sound) yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau
alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Kebisingan dalam kesehatan kerja diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan
pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun
secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran) yang berkaitan dengan
faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu (Siregar, 2017:8)
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No. Kep.13/Men/2011
tentang Nilai Ambang Batas faktor fisika ditempat kerja menyatakan bahwa
kebisingan adalah semua bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-
alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan bahaya. Kebisingan adalah 85 dBA untuk waktu pajanan 8 jam
sehari dan 40 jam seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap
tenaga kerja adalah kebisingan, yang mampu menyebabkan berkurangnya
pendengaran.
Menurut (Suma’mur, 2009) kebisingan adalah bunyi atau suara yang
keberadaannya tidak dikehendaki (noise is unwanted sound). Dalam rangka
perlindungan kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua suara
atau bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi
dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan
11
pendengaran terdapat dua karakteristik utama yang menentukan kualitas suatu
bunyi atau suara, yaitu frekuensi dan intensitas. Telinga manusia mampu
mendengar frekuensi bunyi atau suara antara 16-20.000 Hz. Intensitas atau arus
energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu satuan logatismis yang
disebut desibel (dB) dengan membandingkannya dengan kekuatan standar 0,0002
dine (dyne) cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat
didengar telinga normal (Farid, 2018 :9)
2. Jenis-jenis Kebisingan
a. Kebisingan ditempat kerja dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu
Continuous Niose, Intermittent Noise, Impulsive Noise (Angela, 2017:18)
1) Continuous Noise
Continuous Noise merupakan jenis kebisingan yang memiliki tingkat
dan spektum frekuensi konstan. Kebisingan jenis ini memajan pekerja
dengan periode waktu 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.
2) Intermittent Noise
Intermittent Noisemerupakan jenis kebisingan yang memajan pekerja
hanya pada waktu-waktu tertentu selama jam kerja. Contoh pekerja
yang mengalami pajanan kebisingan jenis ini adalah Inspector atau
Plant Supervisor yang secara periodik meninggalkan area kerjanya
yang relatif tenang menuju area kerja yang bising.
3) Impulsive Noise
Impulsive Noisedisebut juga kebisingan dengan Impulsif, yaitu
kebisingan dengan suara hentakan yang keras dan terputus-putus
12
kurang dari 1 detik. Contoh kebisingan jenis ini adalah suara ledakan
dan pukulan palu.
b. Kebisingan dibagi menjadi 5 jenis, yaitu :
1) Kebisingan yang kontinyu dengan spektum frekuensi yang luas,
misalnya mesin-mesin, dapur pijar, dan lain-lain
2) Kebisingan yang kontinyu dengan sektrum frekuensi yang sempit, misal
gergaji serkuler, katup gas, dan lain-lain
3) Kebisingan terputus-putus (Intermittent/Interuted Noise) adalah
kebisingan dimana suara mengeras dan kemungkinan melemah secara
perlahan-lahan, misalnya lalu-lintas, suara kapal terbang di lapangan
udara.
c. Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dibagi atas :
1) Bising yang mengganggu (Irritating Noise)
Intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.
2) Bising yang menutupi(Masking Noise)
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak
langsung bunyi ini akan mempengaruhi kesehatan dan keselamatan
pekerja, karena teriakan isyarat atau tanda bahaya tenggelam dari bising
dari sumber lain.
3) Bising yang merusak (Damaging/Injurious Noise)
Adalah bunyi yang melampaui NAB. Bunyi jelas ini akan
merusak/menurunkan fungsi pendengaran.
13
2. Sumber Kebisingan
Sumber kebisingan bermacam-macam. Di lingkungan kerja, bising dapat
bersumber dari benda-benda maupun situasi yang berada di dalam maupun di luar
lingkungan kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya bising yaitu
mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja, proses-proses kerja, peralatan pabrik,
kendaraan, kegiatan manusia, suara pekerja itu sendiri, dan suara orang yang
berlalu-lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar lingkungan kerja (background
noise).
Kebisingan yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut memiliki
tingkat intensitas yang berbeda dan akan memberikan dampak pada kesehatan
manusia. Sehingga dalam pengujian atau pengontrolan tingkat kebisingan
merupakan hal yang sangat perlu dilakukan agar tidak mengganggu kesehatan dan
tidak menyebabkan kecelakaan kerja di sebuah perusahaan (Siregar, 2017:10).
3. Pengukuran Kebisingan
Pengukuran ada yang hanya bertujuan untuk pengendalian terhadap
lingkungan kerja namun ada juga pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap tenaga kerja yang bersangkutan. Bunyi diukur dengan
satuan yang disebut desibel, dalam hal ini mengukur besarnya tekanan udara
yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan desibel diukur dari 0 sampai 140,
atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh manusia sampai tingkat
bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada telinga manuisa.
Besibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A,B,C. Skala yang
terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA. Pada pengukuran
14
ini dapat digunakan alat “Sound Level Meter”. Alat tersebut dapat mengukur
intensitas kebisingan antara 40-130 dB(A) pada frekuensi antara 20-20.000 Hz.
Sebelum dilakukan pengukuran harus dilakukan countour map lokasi sumber
suara dan sekitarnya. Selanjutya pada waktu pengukuran “Sound Level Meter”
dipasang pada ketinggian ± (140-150 m) atau setinggi telinga (Aggela, 2017 :21)
4. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 70 Tahun 2016 beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam menginterpretasikan NAB kebisingan adalah :
a. NAB kebisingan merupakan dosis efektif panjanan kebisingan dalam
satuan dBA yang diterima oleh telinga (organ pendengaran) dalam
periode waktu tertentu yang tidak boleh dilewati oleh pekerja yang
tidak menggunakan alat pelindung telinga (APT).
b. Apabila seorang pekerja terpajan bising ditempat kerja tanpa
menggunakan alat pelindung telinga (APT) selam 8 jam kerja per hari,
maka NAB pajanan bising yang boleh diterima oleh pekerja tersebut
adalah 85 dBA.
c. Pengukuran tekanan bising lingkungan kerja industri dilakukan dengan
menggunakan sound level meter mengikuti metode yang standar.
d. Pengukuran dosis efektif pajanan bising dilakukan dengan
menggunakan alat monitoring pajanan personal (noise dosimeter).
Pengukuran dosis pajanan dilakukan sesuai dengan satu periode shif
kerja (8 jam per hari). Apabila jam kerja kurang atau lebih dari 8 jam
15
per hari, maka durasi pengukuran dilakukan sesuai dengan lama jam
kerja.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 13 Tahun 2011, Nilai
Ambang Batas (NBA) faktor fisika ditempat kerja, waktu maksimum pekerja
didaerah paparan kebisingan tertentu adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu pemaparan per/hari Intensitas kebisingan dalam dBA
8 Jam 85
4 88
2 91
1 94
30 Menit 97
15 100
7,5 103
3.75 106
1,88 109
0,94 112
28,12 Detik 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Per.13/MEN/X/2011 Tahun 2011
Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat
16
5. Pengaruh Paparan Bising Terhadap Kesehatan Kerja
Kebisingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tenaga kerja, gangguan
atau penyakit yang diakibatkan oleh bising dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Angela, 2017:22)
a. Gangguan Fisiologis
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan fisiologis yaitu Internal Body
Sistem. Internal Body Sistem adalah sistem fisiologis yang terpenting
untuk kehidupan gangguan fisiologis ini dapat menimbulkan kelelahan
dada berdebar, menaikkan denyut jantung, mempercepat pernafasan, sakit
kepala dan kurang nafsu makan. Selain itu juga dapat meningkatkan
tekanan darah, pengerutan saluran darah dikulit, meningkatkan laju
metabolik, menurunkan keaktifan ogan pencernaan dan ketegangan otot.
Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, terlebih
bising yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba. Gangguan
dapat terjadi pada peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,
basa metabolisme, kontruksi pembuluh darah kecil terutama pada tangan
dan kaki dapat menyebabkan pucat.
b. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis akibat bising dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang
konsentrasi, rasa jengkel, rasa khawatir, cemas, susah tidur, mudah marah
dan cepat tersinggung. Menurut EPA kritera kebisingan yang dapat
mengakibatkan gangguan psikologis yaitu 55-65 Db (Arini, 2005 dalam
skripsi Angela, 2017:23)
17
c. Gangguan Komunikasi
Risiko potensial terhadap pendengaran terjadi apabila komunikasi
pembicaraan harus dijalankan dnegan berteriak. Gangguan ini dapat
menimbulkan terganggunya pekerjaan dan kadang-kadang mengakibatkan
salah pengertian yang secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas
dan kuantitas kerja. Agar pembicaraan dapat dimengerti dalam lingkungan
bising, maka pembicaraan harus diperkeras dan harus dalam kata dan
bahas yang mudah dimengerti oleh penerima. Dalam ruangan kerja yang
bising pekerja akan berhubungan pada jarak yang dekat, yaitu kira-kira 1
m. Pada jarak ini komunikasi dapat dcapai dengan suara normal apabila
backround noise paling tinggi 78 dB. Batas maksimal kebisingan dalam
ruang kerja adalah 62 dB, pada level ini komunikasi masih bisa
berlangsung pada jarak 2 m.
d. Gangguan Pendengaran
Kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel rambut di koklea,
bagian dari telinga dalam dan menyebabkan kehilangan pendengaran.
Pada beberapa negara, gangguan pendengaran akibat bising berupa NIHL
merupakan penyakit yang paling umum di bidang industri yang bersifat
irreversible.
18
Menurut Soedirman dan Soema’mur PK (2014), efek bising terhadap
kesehatan terbagi menjadi dua yaitu efek audiotori dan efek non-audiotori,
yaitu :
1) Efek Audiotori
Terhadap tenaga kerja yang terpapar bising, ada dua tipe kehilangan
daya pendengaran, yaitu:
a) Temporary Threshold Shift (THS) atau kehilangan daya pendengaran
yaitu berkurangnya kemampuan mendengar suara yang lemah
b) Noise-induced Permanent Threshold Shift (NIPTS) atau kehilangan
daya dengar menetap, yaitu berkurangnya kemampuan mendengar
suara, yang tidak dapat pulih.
1) Efek Non-audiotori
a) Insiden stress meningkat (ansietas)
b) Perubahan perilaku kejiwaan, seperti perasaan khawatir, penurunan
kemampuan membaca komprehensif, penurunan luasnya perhatian
dan memori, kesulitan memecah masalah, mudah tersinggung setelah
selesai bekerja, tidak sabar, gugup, gangguan ketenangan,
ketidakmampuan menurunkan ketegangan, gangguan kenyamanan,
gangguan konsentrasi, gangguan yang lamban pemulihannya, dan
kehilangan konsentrasi
c) Perubahan pola perilaku, seperti peningkatan agresivitas, penurunan
perilaku menolong, masalah dengan hubungan personal, dan
gangguan komunikasi yang menimbulkan risiko keselamatan
19
d) Perubahan fisiologis pada tubuh, seperti hipertensi, penyakit jantung
iskemik, gangguan peredaran darah/jantung atau kardiovaskular,
gangguan pencernaan, gangguan tidur, perubahan dalam sistem
imun, sakit kepala, dan cacat lahir (suspected)
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran
Seseorang yang terpajan kebisingan tingkat tinggi dalam jangka waktu
yang cukup lama dapat memicu penurunan pendengaran atau ketulian. Banyak
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap derajat atau tingkat keparahan penurunan
pendengaran atau ketulian. Mengukur kesehatan kerja dengan menggunakan tiga
indikator sebagai berikut (Dessler, 2013) :
1. Keadaan dan Kondisi Pekerja
a. Usia
Usia mempunyai pengaruh terhadap gangguan pendengaran. Usia
lebih tua relatif akan mengalami penurunan kepekaan terhadap rangsangan
suara. Penyebab paling umum terjadinya gangguan pendengaran terkait
usia adalah presbycusis. Presbycusis ditandai dengan penurunan persepsi
terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan
bunyi. Presbycusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar
0,5 dB setiap tahun. Oleh karena itu, dalam perhitungan tingkat cacat
maupun kompensasi digunakan faktor koreksi 0,5 dB setiap tahunnya
untuk pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun. Dalam penelitian mengenai
penurunan pendengaran akibat kebisingan faktor usia harus diperhatikan
20
sebagai salah satu faktor counfounding (perancu) yang penting
(Rahmawati, 2015:46)
Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat
terjadi pada telinga. Membran yang ada ditelinga bagian tengah, termasuk
didalamnya gendang telinga menjadi menjadi kurang fleksibel karena
bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil yang terdapat ditelinga
bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian
dalam dimana koklea berada juga mengalami kerusakan. Rusak atau
hilangnya sel-sel rambut inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk
mendengar suara. Perubahan-perubahan pada telinga bagian tengah dan
salam inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan sensitifitas
pendengaran seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Selain itu, pada
orang yang usianya lebih tua ambang reflek akustiknya akan menurun.
Reflek akustik memberikan perlindungan terhadap rangsangan bising yang
berlebihan. Pada orang tua membutuhkan rangsangan bising yang lebih
tinggi untuk menimbulkan reflek akustik dibanding pada orang yang lebih
muda (Rahmawati, 2017:46)
b. Riwayat Kesehatan
Kesehatan kerja adalah kondisi bebas dari gangguan fisik, mental,
emosi atau rasa sakit yang disebabkan lingkungan kerja. Perusahaan
mengenal dua kategori penyakit yang diderita tenaga kerja yaitu : penyakit
umum yang dapat diderita semua orang. Penyakit umum merupakan
tanggung jawab anggota masyarakat karena itu harus mengadakan
21
pemeriksaan sebelum masuk kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat
timbul setelah karyawan yang tadinya terbukti sehat memulai
pekerjaannya, yaitu suatu peradangan sebagian atau seluarh mukosa
telinga tengah. Riwayat penyakit merupakan kondisi kesehatan telinga
pendengar seperti otitis media dan tinnitus yang sedang diderita (Djaafar,
2007)
1) Otitis Media
Otitis media yaitu suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bakteri Stereptococcus
Pneumonia, Haemopilus Influenza atau Staphylococcus aureus. Otitis
media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa)
yang biasanya diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis
media serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin dengan tanpa
antibiotik
2) Tinnitus
Tinnitus adalah suara berdengung disatu atau kedua telinga. Tinnitus
dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakus,
kelebihan aspirin dan infeksi telinga.
c. Masa Keja
Gejala klinis penderita gangguan pendengaran akibat bising
dikeluhkan pekerja setelah bekerja selama 5 tahun dan inipun baru
disadarai setelah pihak lain seperti isteri, anak dan teman bergaul
mengatakan bahwa penderita melalukan suara yang cukup keras untuk
22
mempu mendengar. Tenaga kerja memiliki risiko mengalami NIHL yang
dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa disarari,
penurunan daya pendengaran tergantung dari lamanya pemaparan serta
tingkat kebisingan, sehingga faktor-faktor yang menimbulkan gangguan
pendengaran harus dikurang (Angela, 2017:30).
Penelitian yang dilakukan Pratiwi tahun 2012, didapatkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja terhadap gangguan
pendengaran pada penerbangan pesawat hercules dan helikopter dengan
p=0,015 dan nilai OR 3,48 artinya bahwa penerbangan yang mempunyai
masa kerja ≥ 5 tahun mempunyai risiko terjadinya gangguan pendengaran
(NIHL) 3,48 kali dibandingkan dengan penerbangan yang mempunyai
lama kerja ≤ 5 tahun.
d. Lama Kerja
Lama kerja seseorang sangat menentukan efisiensi dan produktifitas
seseorang. Lama seseorang bekerja sehari secara baik pada umunya 6-8
jam sehari atau 35 – 40 jam seminggu (Aksurali, 2010:16)
Pada intensitas bising diatas 85 dB, lamanya paparan akan berperan
terhadap timbulnya gangguan pendengaran. Makin lama waktu paparan,
maka risiko untuk mengalami ketulian akan semakin meningkat. Untuk
mencegah timbulnya gangguan pendengaran maka pekerja yang bekerja
pada lingkungan dengan intensitas bising 85 dB, dimana intensitas 85 dB
adalah Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan yang mengakibatkan
kerusakan pada reseptor pendengaran corti pada telinga dalam terutama
23
reseptor bunyi berfrekuensi 4000 Hz, durasi paparan perhari dibatasi
sesuai dengan intensitas bising (Aksurali, 2010)
2. Lingkungan Kerja
a. Intensitas Kebisingan
Tingakat kebisingan yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang serius dan bersifat akumulatif
sehingga bila terpapar kebisingan dalam jangka waktu panjang dapat
menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Telinga manusia
mempunyai ambang dengar terendah 0,00002 N/m2 dan tertinggi adalah
200 N/m2. Untuk mempermudah penggunaannya maka digunakan skala
logaritma yang disebut decibel (dB), sehingga peningkatan tiga decibel
pada tingkat suara sudah merupakan penggadaan dari intensitas
kebisingan. Sedangkan untuk menghitungkan sensitifitas telinga manusia
yang berbeda untuk frekuensi berbeda, maka kekuatan atau intensitas
kebisingan diukur dalam satuan dBA (Siregar, 2017:25)
3. Perlindungan Pekerja
a. Alat Pelindung Telinga (APT)
APT merupakan penghalang akustik (Acoustical Barrier) yang dapat
mengurangi jumlah energi suara yang melewati lubang telinga menuju ke
reseptor didalam telinga. Dapat dikatakan bahwa dengan memakai APT
diarea kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima pekerja
dan mengurangi risiko terjadinya penurunan pendengaran akibat bising,
24
demikian pula sebaliknya. Dengan syarat APT tersebut dipakai secara
disiplin dan benar oleh pekerja. Tipe APT yang sering digunakan saat ini
adalah type insert/plug dan muff (Siregar, 2017:27)
Gambar 2.1
Alat Pelindung Telinga
1) Syarat-syarat alat pelindung telinga :
a) Kecocokan : alat pelindung telinga tidak akan memberikan
perlindungan bila tidak dapat menutupi liang telinga rapat-rapat
b) Nyaman dipakai : tenanga kerja tidak akan menggunakan APT ini
jika tidak nyaman dipakai
2) Jenis-jenis alat pelindung telinga
a) Sumbat telinga (earplugs /insert device / aural insertprotector)
Dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga
suara tidakmencapai membran timpani. Sumbat telinga bisa
mengurangi bising s/d 30 dB.
25
b) Tutup telinga (earmuff / protective caps /circumaural protectors)
Menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk
mengurangibising s/d 40- 50 dB frekuensi 100 –8000 Hz.
c) Helmet / enclosure
Menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi
maksimum 35dBA pada 250 Hz sampai 50 dB pada frekuensi tinggi
3) Pemilihan alat pelindung telinga :
a) Earplug bila bising antara 85 –200 Dba
b) Earmuff bila di atas 100 dBA
Pedoman penggunaan APD yang sering digunakan adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.2
Kriteria Penggunaan APD
Dba Pemakaian APD Pemilihan APD
< 85 Tidak wajib/perlu Bebas memilih
85 – 89 Optional Bebas memilih
90 – 94 Wajib Bebas memilih
95 – 99 Wajib Pilihan terbatas
>100 Wajib Pilihan sangat terbatas
Sumber : Siregar (2017)
26
C. Pekerja Di Area Apron
Pekerja di area Apron, yaitu merujuk kepada suatu aktifitas perusahaan
penerbangan yang berkaitan dengan penanganan atau pelayanan terhadap para
penumpang berikut bagasinya, kargo, pos, peralatan pembantu pergerakan
pesawat di darat dan pesawat terbang itu sendiri selama berada di bandara, untuk
keberangkatan (departure) maupun untuk kedatangan atau ketibaan (arrival).
Secara sederhana pekerja di area lapangan terbang atau tata operasi darat adalah
pengetahuan dan keterampilan tentang penanganan pesawat di apron, penanganan
penumpang dan bagasinya di terminal dan kargo serta pos di area kargo (Siregar,
2017:24)
Ruang lingkup dan batasan pekerjaan pekerja di area lapangan terbang,
yaitu pada fase atau tahap pre flight service dan post flight service, merupakan
penanganan penumpang dan pesawat selama berada di bandar udara
1. Pre Flight
Kegiatan penanganan terhadap penumpang berikut bagasinya dan kargo
serta pos dan pesawat sebelum keberangkatan (di bandara asal/origin
station).
2. Post Flight
Kegiatan penanganan terhadap penumpang beserta bagasinya dan kargo
serta pos dan pesawat setelah penerbangan (di bandara
tujuan/destination). Dengan kata lain penanganan penumpang dan
pesawat selama berada di bandara. Secara teknis operasional, aktifitas
dimulai pada saat pesawat (parking stand), mesin pesawat sudah
27
dimatikan, roda pesawat sudah diganjal (block on), serta para penumpang
sudah dipersilahkan untuk turun atau keluar dari pesawat. Maka, pada
saat itu para staf udara sudah memiliki kewenangan untuk mengambil
alih pekerjaan dari PIC (Pilot In Command) beserta cabin crew-nya.
Dengan demikian fase ini dinamakan arrival handling. Dan sebaliknya,
kegiatan atau pekerjaan orang-orang darat berakhir saat pesawat siap-siap
untuk lepas landas, yaitu pada saat pintu pesawat ditutup, mesin
dihidupkan, dan ganjal roda sudah dilepas (block off).
D. Anatomi dan Fisiologi Alat Pendengaran
1. Anatomi Alat Pendengaran
Alat pendengaran pada manusia berupa telinga. Fungsi telinga adalah
untuk secara efisien merubah energi getaran dari gelombang menjadi sinyal listrik
yang dibawa ke otak melalui saraf. Gambar 2.1 adalah diagram telinga manusia.
Telinga dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory
canal), dibatasi oleh membran timpani (Soeripto, 2008). Pada telinga luar,
gelombang bunyi dari luar melambat sepanjang saluran telinga ke gendang telinga
(timpani), yang bergetar sebagai tanggapan terhadap gelombang menimpanya.
Telinga bagian tengah terdiri osicle dari 3 tulang kecil (tulang pendengaran yang
halus) yang dikenal dengan nama martil, landasan (incus), dan sanggurdi (stapes),
yang memindahkan getaran gendang telinga ketelinga dalam jendela oval/oval
window (Soeripto, 2008).
28
Gambar 2.2
Anatomi Telinga Manusia
2. Fisiologi Pendengaran Manusia
Proses pendengaran timbul akibat getaran atmosfer yang dikenal sebagai
gelombang suara yang memiliki kecepatan dan volume yang berbeda. Gelombang
suara bergerak melalui rongga telinga luar (Auris Eksterna) yang menyebabkan
membran timpani bergetar, getar-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan
stapes melalui maleus yang berhubungan dengan membran (Rahmawati, 2015:18).
Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan tulang
memperbesar getaran yang kemudia disalurkan ke fenestra vestibuler menuju
perilimfe. Getaran perilimfe dialirkan menuju endolimfe dalam saluran koklea dan
rangsangan menuju organ korti selanjutnya dihantarkan ke otak. Perasaan
29
pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak. Gelombang
saat menimbulkan bunyi sebagai berikut :
a. Tingkatan suara biasa 80-90 desibel
b. Tingkatan maksimum kegaduhan 130 desibel
3. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang
berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal
memahami pembicaraan. Secara kasar, gradasi gangguan pendengaran karena
bising itu sendiri dapat ditentukan dengan menggunakan parameter percakapan
sehari-hari. Gangguan pendengaran akibat bising adalah gangguan pendengaran
yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka
waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.
Sifat ketulian adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi ada kedua
telinga.
Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah terjadinya kurang
pendengaran disertai tinitus (berdering ditelinga) atau tidak. Bila cukup berat
disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila
sudah lebih berat percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Secara klinis
pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi,
peningkatan ambang dengar sementara dan ambang dengar menetap (Angela,
2017 : 11)
30
4. Pemeriksaan Pendengaran
Menurut (Cameron, dkk, 2003:276) untuk memeriksa pendengaran
diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan
memakai garpu tala atau audiometer nada murni. Kelainan hantaran melalui udara
menyebabkan tuli ondusif, yaitu getaran suara tidak mencapai telinga dalam.
Kelainan ditelinga dalam menyebabkan penurunan pendengaran atau tulisaraf,
yaitu suara mencapai telinga dan tetapi tidak ada sinyal listrik yang dikirim ke
otak (Angela, 2017:12)
Pendengaran pada pekerja dilakukan secara berkala setahun sekali.
a. Audiometer
Salah satu metode untuk memeriksa pendengaran adalah audiometer
nada murni karena mudah diukur, mudah diterangkan, dan mudah
dikontrol. Metode ini dapat untuk mengetahui kelainan pendengaran
(gangguan pendengaran konduksi, saraf maupun campuran).
Terhadap individu yang diperiksa, diperdengarkan bunyi yang dapat
diatur frekuensi dan intensitasnya, sehingga hasil pemeriksaan dapat
berupa pendengaran normal atau dapat diketahui derajat gangguan
pendengarannya. Ausiometer adalah sebuah alat pengeras yang dapat
memberikan sinyal akustik pada telinga melalui telepon-kepala, pengeras-
suara, atau penghantar-tulang. Sinyal suara yang dberikan adalah :
1) Nada dari bentuk sinus dari frekuensi dan intensitas berbeda yang
murni dari alat generator-nada
31
2) Suara-bising yang disaring atau tidak disaring oleh pita saringan
(bandfilter)
3) Pembicaraan yang dikeluarkan melalui pita-pita atau CD-player
Hearing Threshold Limit (HTL) adalah hasil rata-rata frekuensi pada
500Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz atau 4000 Hz dalam dB. Pemeriksaan
audiometri dalam usaha memberikan perlindungan maksimum terhadap
pekerja dilakukan sebagai berikut :
1) Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal didaerah kerja yang
bising (Baseline Audiogram)
2) Secara berkala (periodik/tahunan)
3) Pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA selama 8 jam sehari,
pemeriksaan dilakukan setiap 1 tahun atau 6 bulan tergantung tingkat
intensitas kebisingan
4) Secara khusus pada waktu tertentu
5) Pada akhir masa kerja
b. Tes Garpu Tala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif, antara lain :
1) Tes Rinne
Adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulang pada telinga yang diperiksa.
32
2) Tes Weber
Adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantara
melalui tulang pada telinga yang diperiksa
3) Tes Schwabach
Adalah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan
pemeriksa yang mendengarnya normal. Untuk mendiagnosis gangguan
pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss), pada
pemeriksaan audiologi melalui tes penala didapatkan hasil Rinne
Positif, Weber Lateralisasike telinga yang pendengarannya lebih baik,
dan Schwabach memendek.
Penderita penurunan fungsi pendengaran mengalami beberapa atau sebuah
gejala berikut :
1) Kesulitan dalam mendengarkan percakapan, terutama jika diselingnya
berisik
2) Terdengar gemuruh atau suara berdenging di telinga (tinnitus)
3) Tidak dapat mendengarkan suara televisi atau radio dengan volume
normal
4) Kelelahan dan iritasi karena penderita berusaha keras untuk bisa
mendengar
5) Pusing atau gangguan keseimbangan
33
Tabel 2.3
Klasifikasi Tingkat Keparahan Gangguan Pendengaran
Rentang Batas Atas
Kekuatan Suara yang
Didengar db(A)
Klasifikasi Tingkat Keparahan
Gangguan Sistem Pendengaran
10 – 25 (0-25) Rentang Normal
Gangguan pendengaran ringan :
1. Mengalami sedikit gangguan dalam
membedakan beberapa jenis
konsonan
2. Mengalami sedikit masalah saat
berbicara
26 – 40
41 – 55 Gangguan pendengaran sedang
56 – 70 Gangguan pendengaran cukup serius
71 – 90 Gangguan pendengaran serius
>90 Gangguan pendengaran sangat serius
Sumber : (Cameron,dkk, 2017)
34
E. Kerangka Teori
Gambar 2.3
Sumber : Dessler (2013)
Keadaan dan kondisi pekerja
1. Umur
2. Riwayat Kesehatan
3. Masa Kerka
4. Lama Kerja
Lingkungan Kerja
1. Intensitas Kebisingan
Perlindungan Pekerja
1. Alat Pelindung Telinga
(APT)
Gangguan
Pendengaran
35
F. Kerangka Konsep
Gambar 2.4
Kerangka Konsep
Usia
Riwayat Kesehatan
Masa Kerja
Lama Kerja
Intensitas Kebisingan
Gangguan
Pendengaran
Alat Pelindung Telinga (APT)
36
G. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara usia dengan gangguan pendengaran pada
patugas di Area Apron Bandar Udara Radin Inten II Lampung
2. Terdapat hubungan antara riwayat kesehatan dengan gangguan
pendengaran pada patugas di Area Apron Bandar Udara Radin Inten II
Lampung
3. Terdapat hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada
patugas di Area Apron Bandar Udara Radin Inten II Lampung
4. Terdapat hubungan antara lama kerja dengan gangguan pendengaran pada
patugas di Area Apron Bandar Udara Radin Inten II Lampung
5. Terdapat hubungan antara intensitas kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada patugas di Area Apron Bandar Udara Radin Inten II
Lampung
6. Terdapat hubungan antara alat pelindung telinga (APT) dengan gangguan
pendengaran pada patugas di Area Apron Bandar Udara Radin Inten II
Lampung