BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini...

26
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca 2.1.1 Definisi Musa paradisiaca merupakan tanaman yang berasal dari family Musaceae yang juga tergolong dalam genus Musa (Kumar, 2012). Spesies ini juga merupakan salah satu tanaman paling tua yang diolah dan dibudidayakan (Kumar, 2012). Nama yang berkembang di masyarakat untuk spesies ini adalah pisang raja. Buah pisang raja memiliki beberapa variasi ukuran dan warna ketika matang yaitu kuning, merah, hingga ungu (Kumar, 2012). Pisang menjadi makanan pokok yang penting di beberapa negara bagian di Afrika Barat dan Tengah yang beriklim lembab. Tanaman ini merupakan tanaman paling penting kedua di dunia yang dibudidayakan setelah minyak palem (Akpabio, 2012). Tanaman ini tersebar di 130 negara di seluruh dunia dan mampu tumbuh tegap hingga mencapai tinggi lebih dari 9 meter. Puncak pohonnya diperpanjang dengan juntaian daun yang menggulung hingga mencapai 365 cm dengan lebar mencapai 61 cm (Kumar, 2012). Setiap pohon hanya menghasilkan satu bunga yang berbentuk seperti kantung dengan ujung bawah yang lancip dan berwarna merah hati. Buahnya berbentuk oval dengan ukuran panjang yang beragam, tergantung dari jenisnya (Kumar, 2012). Tanaman pisang memiliki batang semu yang tebal dan berair. Disebut semu karena batang pohon pisang ini tersusun dari lapisan pelepah yang sejatinya

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Musa Paradisiaca

2.1.1 Definisi

Musa paradisiaca merupakan tanaman yang berasal dari family Musaceae

yang juga tergolong dalam genus Musa (Kumar, 2012). Spesies ini juga

merupakan salah satu tanaman paling tua yang diolah dan dibudidayakan (Kumar,

2012). Nama yang berkembang di masyarakat untuk spesies ini adalah pisang raja.

Buah pisang raja memiliki beberapa variasi ukuran dan warna ketika matang yaitu

kuning, merah, hingga ungu (Kumar, 2012).

Pisang menjadi makanan pokok yang penting di beberapa negara bagian di

Afrika Barat dan Tengah yang beriklim lembab. Tanaman ini merupakan tanaman

paling penting kedua di dunia yang dibudidayakan setelah minyak palem

(Akpabio, 2012). Tanaman ini tersebar di 130 negara di seluruh dunia dan mampu

tumbuh tegap hingga mencapai tinggi lebih dari 9 meter. Puncak pohonnya

diperpanjang dengan juntaian daun yang menggulung hingga mencapai 365 cm

dengan lebar mencapai 61 cm (Kumar, 2012). Setiap pohon hanya menghasilkan

satu bunga yang berbentuk seperti kantung dengan ujung bawah yang lancip dan

berwarna merah hati. Buahnya berbentuk oval dengan ukuran panjang yang

beragam, tergantung dari jenisnya (Kumar, 2012).

Tanaman pisang memiliki batang semu yang tebal dan berair. Disebut

semu karena batang pohon pisang ini tersusun dari lapisan pelepah yang sejatinya

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

11

merupakan tulang daun pisang (Sumardi, 2010). Daun pisang sendiri memiliki

bentuk lonjong yang panjang dan lebar dengan tekstur lembab dan halus pada

permukaannya serta tumpul pada bagian ujungnya. Secara morfologi, daun

pisang terdiri dari tangkai daun, tulang daun, dan helai daun (Sumardi, 2010).

Tangkai daun bermanifestasi menjadi batang semu, sedangkan bagian ujungnya

berdiferensiasi menjadi tulang daun. Bentuk tulang daunnya menyirip dengan ibu

tulang yang nyata dan cabang tulang yang halus (Hastari, 2012). Sebagian besar

daun pisang memiliki ukuran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Beberapa

jenis dapat mencapai panjang hingga lebih dari 36 inchi (Gilman, 1994). Namun

bentuk yang panjang dan lebar membuat daun pisang mudah robek jika diterpa

angin. Tulang daun yang menonjol di bagian tengah daun cukup kuat untuk

menopang daun yang panjang dan lebar (Gilman, 1994).

2.1.2 Klasifikasi

Berikut ini merupakan taksonomi pohon pisang:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Species : Musa paradisiaca

2.1.3 Habitat Dan Perkembangbiakan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

12

Tanaman Musa paradisiaca dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim

tropis sehingga tanaman ini dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah di Indonesia

(Menteri Negara Agribisnis dan Teknologi, 2000). Beberapa syarat agar tanaman

pisang dapat tumbuh dengan baik diantaranya:

a. Iklim

Pisang terutama dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis basah, panas,

dan lembab. Namun, dalam kondisi tanpa air, pisang masih dapat tumbuh dengan

cadangan air yang tersimpan dalam batangnya, namun dalam hal ini, produksi

buahnya tidak dapat diharapkan. Angin berkecepatan tinggi dapat merusak

daunnya sehingga berpengaruh pada pertumbuhan bunga dan buahnya. Curah

hujan optimum yang dibutuhkan tanaman pisang untuk tumbuh berkisar antara

1520-3800 mm/tahun ((Menteri Negara Agribisnis dan Teknologi, 2000).

b. Media Tanam

Pisang dapat tumbuh di tanah yang kaya humus dan mengandung kapur.

Pemupukan harus dilakukan secara teratur agar tanaman dapat tumbuh dengan

baik. Air harus tersedia namun tidak boleh menggenang karena genangan air

dapat membuat akar membusuk. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran tinggi

hingga pegunungan dengan ketinggian hingga 2000 m di atas permukaan laut

(Menteri Negara Agribisnis dan Teknologi, 2000).

2.1.4 Kandungan Senyawa

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alisi (2008), daun pisang

memiliki kandungan senyawa glikosida, antosianin, tannin, flavonoid, dan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

13

karbohidrat. Keberadaan tannin, flavonoid, dan saponin diperkirakan berhubungan

dengan aktivitas antimikrobial yang dimiliki oleh daun pisang (Alisi, 2008).

Unsur protein, alkaloid, sterol, flavonoid, dan karbohidrat yang terkandung di

dalam ekstrak daun pisang diduga terkait dengan efek analgesik yang ditimbulkan

oleh ekstrak daun pisang (Gupta, 2011)

2.2 Anatomi Kulit

Kulit, atau yang sering disebut membran kutaneus, membungkus

permukaan luar tubuh dan merupakan organ terluas. Pada dewasa, luas seluruh

kulit mencapai 2 m2 dengan berat antara 4,5 kg hingga 5 kg. Ketebalan kulit

berkisar antara 0,5 mm pada kelopak mata hingga 4 mm pada tumit (Tortora,

2011). Kulit dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu epidermis, dermis, dan

hipodermis.

2.2.1. Epidermis

Epidermis terdiri dari lapisan skuamosa pipih yang rapat. Terdapat empat

sel utama di dalam lapisan ini, yaitu : keratinosit, melanosit, sel langerhans, dan

sel merkel. Sembilan puluh persen sel epidermis merupakan keratinosit yang

tersusun dalam empat hingga lima lapis ke bawah dan memproduksi protein

keratin. Keratin merupakan protein fibrosa yang keras dan berguna dalam

menjaga jaringan dibawahnya dari abrasi, panas, mikroba, dan zat kimia.

Keratinosit juga memproduksi granula lamila yang menyekresi lapisan kedap air

sehingga mengurangi kehilangan dan masuknya air ke dalam kulit.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

14

Sekitar 8% dari lapisan epidermis merupakan melanosit yang merupakan

penghasil pigmen melanin. Melanin adalah pigmen yang dihasilkan oleh sel

melanosit yang memberi warna gelap pada kulit dan melindungi kulit dari sinar

ultra violet. Lapisan epidermis terdiri dari:

a. Stratum korneum: terdiri dari sel gepeng yang mati dan tidak mempunyai inti,

mengandung keratin (sel tanduk). Lapisan ini merupakan lapisan paling luar

dari epidermis.

b. Stratum lusidum: merupakan sel gepeng tanpa inti yang jelas terlihat pada

telapak tangan dan kaki.

c. Stratum granulosum: terdiri dari sel gepeng yang berinti

d. Stratum spinosum: merupakan lapisan paling tebal dan terdiri dari banyak

glikogen. Sel-selnya disebut spinosum selnya berbentuk polygonal dan

mempunyai banyak tanduk (spina)

e. Stratum basale: bentuk selnya lonjong dengan inti yang lonjong, di dalamnya

terdapat melanin. Pada lapisan ini terjadi pembelahan sel yang cepat dan sel

baru akan naik ke lapisan yang lebih atas (Setiadi, 2007).

2.2.2. Lapisan Dermis

Merupakan lapisan kedua setelah epidermis. Dermis dilapisi oleh membran

basalis dan berbatasan langsung dengan subkutis. Dalam lapisan ini terdapat

pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Terdapat juga folikel rambut. Dermis

terdiri dari dua lapisan yaitu:

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

15

a. Pars papilare: merupakan bagian atas dari dermis yang berbatasan dengan

epidermis. Mengandung serabut saraf dan pembuluh darah yang memberi

nutrisi pada epidermis di atasnya.

b. Pars retikulare: merupakan bagian bawah dari dermis dan berbatasan dengan

subkutan. Lapisan ini mengandung serabut kolagen, elastis, dan retikulus.

2.2.3. Lapisan Hypodermis

Disebut juga lapisan subkutis. Terdiri dari kumpulan sel lemak dan

terdapat pula serabut jaringan ikat dermis. Lapisan lemak yang terdapat di lapisan

ini disebut penikulus adiposus yang berguna sebagai shockbeker bila terjadi

tekanan trauma mekanis yang menimpa kulit. (Setiadi, 2007)

2.3 Luka Bakar

2.1.1 Definisi

Luka bakar didefinisikan sebagai suatu trauma pada jaringan kulit atau

mukosa yang disebabkan oleh pengalihan termis baik yang berasal dari api, listrik,

atau benda-benda panas lainnya ke tubuh (Smeltzer & Bare , 2002). Panas dapat

dialihkan melalui hantaran maupun radiasi. Luka bakar dapat dikelompokkan

menjadi luka bakar termal, kimia, dan radiasi. Panas dapat merusak jaringan

dermis melalui proses koagulasi , denaturasi protein, atau ionisasi isi sel. Selain

dermis, jaringan tubuh yang lebih dalam termasuk organ visera dapat mengalami

kerusakan akibat pajanan yang lama dengan agen penyebab (Smeltzer & Bare ,

2002).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

16

2.1.2 Patofisiologi

Pengalihan panas dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang terjadi

akibat koagulasi, denaturasi protein, atau ionisasi isi sel. Kerusakan jaringan ini

dapat berkembang menjadi nekrosis jaringan bahkan kegagalan fungsi organ

(Smeltzer & Bare , 2002). Dalam dan luas luka bakar yang terjadi tergantung dari

suhu dan lamanya kontak dengan agen penyebab. Perubahan patofisiologis akibat

luka bakar yang berat selama awal periode syok mencakup hipoperfusi jaringan

dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung yang

kemudian diikuti dengan fase hiperdinamik dan hipermetabolik (Smeltzer & Bare

, 2002). Pada pasien yang mengalami luka bakar dengan luas kurang dari 20%

dari total luas tubuh biasanya menimbulkan respon yang terutama bersifat lokal

dan respon maksimal terlihat pada luka bakar yang mengenai 60% atau lebih dari

luas permukaan tubuh (Smeltzer & Bare , 2002). Respon sistemik awal pada kasus

luka bakar yang berat meliputi ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya

integritas kapiler kemudian terjadi perpindahan cairan, natrium, dan protein dari

ruang intravaskuler ke interstisial. Hal ini mengarah pada gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit (Smeltzer & Bare , 2002).

Efek dari ketidakstabilan hemodinamika terutama terjadi pada curah

jantung. Penurunan jumlah cairan intravaskular akan menurunkan curah jantung

yang selanjutnya menimbulkan penurunan tekanan darah. Tubuh merespon

dengan melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi perifer

(vasokonstriksi) dan frekuensi denyut nadi (Smeltzer & Bare , 2002).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

17

Umumnya kebocoran cairan terbesar terjadi dalam 24 jam hingga 36 jam

pertama dan puncaknya terjadi pada 6 jam hingga 8 jam. Pada luka bakar dengan

luas kurang dari 30% gangguan integritas kapiler dan perpindahan cairan hanya

terjadi di area luka sehingga pembentukan edema hanya terjadi di daerah luka

(Smeltzer & Bare , 2002). Pada luka bakar yang luas, edema sistemik yang masif

dapat terjadi. Tekanan pada pembuluh darah dan saraf pada ekstremitas distal oleh

edema menyebabkan obstruksi aliran darah dan terjadilah iskemia yang disebut

dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi

pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari jaringan yang terbakar

(Smeltzer & Bare , 2002).

Selain penurunan integritas vaskuler, kehilangan cairan diperparah dengan

evaporasi yang dapat mencapai 3 liter hingga 5 liter atau lebih selama periode 24

jam sebelum permukaan kulit yang terbakar ditutup. Selama fase syok, respon

terhadap resusitasi cairan bervariasi. Hiponatremia kerap terjadi terutama pada

minggu pertama fase akut karena cairan mulai berpindah dari interstisial ke

intravascular (Smeltzer & Bare , 2002). Hiperkalemia tejadi akibat destruksi sel

yang masif (Smeltzer & Bare , 2002).

Kerusakan sel darah merah dan penghancuran sebagian sel darah merah

menginisiasi terjadinya anemia pada pasien luka bakar. Meskipun hal ini terjadi,

namun nilai hematokrit pasien dapat meningkat akibat kehilangan plasma.

Transfusi darah diperlukan untuk mempertahankan kadar hemoglobin darah

dalam kaitannya dengan distribusi oksigen (Smeltzer & Bare , 2002).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

18

Kerusakan sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas yang

kemudian dieksresikan melalui urin. Myoglobin juga akan dilepaskan melalui

urin jika terjadi kerusakan otot misalnya pada luka bakar akibat aliran listrik.

Penggantian volume cairan yang adekuat akan menormalkan aliran darah renal.

Jika aliran darah yang melewati tubulus renal tidak memadai, maka hemoglobin

dan myoglobin akan menyumbat tubulus sehingga dapat terjadi nekrosis tubuler

dan gagal ginjal (Smeltzer & Bare , 2002).

Hilangnya lapisan kulit menyebabkan hilangnya kemampuan tubuh untuk

mengatur suhu pasien cenderung berada pada kondisi hipotermi pada fase awal

setelah luka bakar, namun setelah fase hipermetabolisme terjadi, pasien akan

mengalami kondisi hipertermi meskipun tidak terjadi infeksi (Smeltzer & Bare ,

2002)

2.1.3 Klasifikasi

Luka bakar dapat diklasifikasikan menurut dalamnya kerusakan jaringan

yang terjadi yaitu superficial partial-thickness, deep partial-thickness, full-

thickness. Istilah lain yang juga digunakan dalam menglasifikasikan luka bakar

adalah luka bakar derajat I, derajat II, dan derajat III (Smeltzer & Bare , 2002).

a. Luka bakar derajat I (superficial partial-thickness)

Kerusakan terjadi di lapisan epidermis dan sebagian lapisan dermis. Luka

terasa nyeri, tampak merah dan kering, atau mengalami lepuh/bullae.

b. Luka bakar derajat II (deep partial-thickness)

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

19

Kerusakan yang terjadi tidak hanya meliputi epidermis dan dermis bagian

atas, tapi hingga lapisan dermis yang lebih dalam. Luka terasa nyeri, tampak

merah dan terdapat eksudasi cairan. Folikel rambut masih utuh.

c. Luka bakar derajat III (full-thickness)

Destruksi total pada lapisan epidermis dan dermis, bahkan beberapa hingga

jaringan dibawahnya. Warna luka bakar bervariasi mulai dari putih, merah, coklat,

atau hitam. Daerah luka tidak terasa nyeri karena serabut saraf sudah hancur.

Folikel rambut dan kelenjar keringat turut hancur (Smeltzer & Bare , 2002).

Dalam menentukan kedalaman luka bakar, hal-hal yang perlu

dipertimbangkan yaitu: riwayat terjadinya luka bakar, penyebab luka bakar (api,

air mendidih, sengatan listrik, dll), suhu agen yang menyebabkan luka bakar,

lamanya kontak dengan agen, dan tebalnya kulit (Smeltzer & Bare , 2002).

2.1.4 Proses Penyembuhan

Proses penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasi sesuai dengan

luas dan tingkat keparahan luka. Ada dua jenis luka, yaitu luka dengan jaringan

yang hilang dan luka tanpa jaringan yang hilang (Potter & Perry, 2006). Luka

insisi merupakan contoh luka tanpa jaringan yang hilang. Tepi luka pada luka

insisi menempel sehingga akan mengalami proses penyembuhan primer dengan

waktu penyembuhan yang lebih singkat. Pada luka dengan jaringan yang hilang

seperti pada luka bakar, luka tekan, atau luka laserasi yang parah cenderung akan

mengalami proses penyembuhan sekunder dengan waktu penyembuhan yang

lebih panjang sehingga pada luka ini rentan terjadi infeksi. Pada luka ini tepi luka

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

20

tidak saling berdekatan sehingga luka akan tetap terbuka dan terisi oleh jaringan

parut. Jaringan parut yang luas akan mengganggu fungsi jaringan.

Penyembuhan luka terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap hemostasis dan

perbaikan jaringan (Carville, 2005).

a. Hemostasis

Hemostasis terdiri dari tiga komponen yaitu:

1. Respon vasokonstriksi

Respon ini muncul untuk mengurangi perdarahan dengan adanya spasme

arteri, arteriol, dan kapiler di sekitar luka.

2. Respon platelet

Merupakan proses pembentukan platelet. Jaringan vaskuler yang luka akan

membentuk serat kolagen. Platelet yang berada di area luka akan menempel pada

serat kolagen. Platelet kemudian menghasilkan serotonin dan prostaglandin yang

bertanggung jawab terhadap spasme vaskuler dan penurunan aliran darah ke area

luka.

3. Respon biokimia

Merupakan tahap pembentukan dan penurunan bekuan darah. Proses ini

terkait dengan pembentukan bekuan darah untuk membantu penutupan luka

hingga peluruhan bekuan darah melalui fibrinolisis (Carville, 2005)

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

21

b. Perbaikan Jaringan

Proses perbaikan jaringan merupakan proses normal pada penyembuhan

luka. Proses ini terdiri dari fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi.

1. Fase Inflamasi

Fase ini merupakan fase reaksi tubuh terhadap luka yang berlangsung

mulai beberapa menit setelah cedera hingga selama kurang lebih tiga hari. Fase

inflamasi diawali dengan mengontrol perdarahan (hemostasis) yaitu peningkatan

suplai aliran darah menuju ke area luka yang akan menimbulkan warna

kemerahan pada luka. Peningkatan aliran darah ini juga akan meningkatkan suhu

di area luka. Selanjutnya akan terjadi pelepasan sel leukosit dan serum dari

intravaskular ke area luka sehingga menimbulkan bengkak. Pembengkakan ini

menekan saraf perifer sehingga timbul rasa nyeri. Jadi pada fase inflamasi akut

akan muncul tanda-tanda rubor (kemerahan), kalor (peningkatan suhu), tumor

(bengkak), dolor (nyeri), dan fungsio laesa (penurunan fungsi). Leukosit dapat

tiba di area luka setelah beberapa jam. Leukosit yang mati akan meninggalkan

eksudat enzim berwarna bening yang mampu membunuh bakteri atau membantu

perbaikan jaringan. Pada kondisi inflamasi kronis, leukosit yang mati akan

membentuk pus (eksudat berwarna putih). Hal ini merupakan tanda awal

terjadinya infeksi (Potter & Perry, 2006)

2. Fase Proliferasi

Pada fase ini telah terbentuk pembuluh darah baru dari hasil rekonstruksi.

Fase proliferasi berlangsung 3 hari hingga 24 hari. Aktifitas utama pada fase ini

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

22

adalah mengisi luka dengan jaringan granulasi dan menutup bagian atas luka

dengan epitelisasi. Fibroblast bekerja dengan menyintesis kolagen yang akan

menutup defek luka. Fibrolast membutuhkan vitamin B, C, oksigen, dan asam

amino untuk dapat bekerja dengan baik. Kolagen memberikan kekuatan pada

integritas kulit sehingga luka mulai tertutup dengan jaringan baru (Potter & Perry,

2006)

3. Fase Maturasi

Fase ini merupakan fase akhir dari proses penyembuhan luka primer dan

memerlukan waktu hingga satu tahun tergantung dari keparahan luka. Jaringan

kolagen akan semakin kuat dan melakukan reorganisasi dalam beberapa bulan.

Namun, jaringan yang telah sembuh biasanya tidak memiliki daya elastisitas yang

sama dengan jaringan sebelum mengalami luka. Serat kolagen mengalami

remodeling dan reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal (Potter & Perry,

2006).

Pada luka ringan dengan penyembuhan luka spontan, luka biasanya akan

memasuki fase penyembuhan primer dengan tahap penyembuhan luka dalam

rentang waktu normal. Luka dikatakan sembuh apabila telah terjadi kontinuitas

lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktiitas

yang normal (Smeltzer & Bare, 2002). Pada luka yang bersifat luas dan dalam,

mungkin diperlukan waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan dengan

luka ringan. Luka luas cenderung lebih banyak mengeluarkan cairan dibandingkan

luka tertutup. Pemanjangan fase inflamasi seringkali terjadi dan luka lebih banyak

dipenuhi oleh jaringan granulasi rapuh dibandingkan serat kolagen. Diperlukan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

23

perawatan luka yang lebih intensif jika luka mulai memasuki fase penyembuhan

sekunder untuk menghindari kerusakan jaringan lebih luas dan kontraktur (Potter

& Perry, 2006).

2.1.5 Penatalaksanaan Luka Bakar

Secara umum, terdapat beberapa manajemen klinis yang dapat

memperbaiki prognosis pasien dengan luka bakar, yaitu:

1. Perawatan luka dengan balutan yang menciptakan suasana lembab pada luka

2. Penggunaan antimokrobial topikal

3. Resusitasi cairan yang adekuat

4. Elevasi daerah luka untuk mencegah edema

5. Manajemen penyakit sistemik yang menyertai (misalnya diabetes mellitus)

(Kavanagh, 2012).

Terdapat beberapa metode perawatan luka bakar yang biasa dilakukan

yaitu perawatan luka umum dan pencangkokan kulit. Perawatan luka umum

mencakup pembersihan luka, terapi topikal, pembalutan, dan debridement.

Sedangkan pencangkokan kulit itu sendiri dibedakan menjadi autograft,

homograft, dan heterograft. Dukungan nutrisi juga menjadi faktor penting dalam

proses penyembuhan luka bakar mengingat pasien luka bakar akan mengalami

proses hipermetabolisme (Smeltzer & Bare , 2002).

a. Perawatan Luka Umum

1. Pembersihan Luka

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

24

Untuk pasien dengan luka bakar yang luas, hydrotherapy dengan

perendaman total dilakukan di beberapa rumah sakit sebagai upaya pembersihan

luka. Teknik pelaksanaan hydrotherapy ini dengan menggunakan bak mandi

rendam yang diisi dengan larutan antiseptik seperti betadine atau iodin cair, dapat

juga diisi dengan larutan steril seperti normal saline. Suhu air rendaman

dipertahankan pada 37,80 C dan suhu ruangan harus dijaga antara 26,6

0 C hingga

29,40 C. proses perendaman dibatasi 20 hingga 30 menit untuk menghindari gejala

menggigil (Smeltzer & Bare , 2002).

Penanganan luka bakar harus dilakukan dengan teliti. Ketika jaringan kulit

yang terbakar diangkat, kondisi harus dijaga tetap steril. Kulit di area sekitar luka

harus dibersihkan dari rambut untuk mencegah kontaminasi dari folikel rambut.

Pembersihan luka biasanya dilakukan sehari sekali pada area yang tidak

mengalami pembedahan. Namun saat jaringan nekrotik sudah mulai terpisah

dengan jaringan kulit dibawahnya, pembersihan dan debridement harus lebih

sering (Smeltzer & Bare , 2002).

2. Terapi Antibiotik Topikal

Terapi antibiotik topikal yang bersifat lokal tidak menciptakan suasana

yang steril pada luka tetapi hanya mengurangi koloni bakteri sehingga sistem

kekebalan tubuh pasien yang mengendalikan keseluruhan koloni. Kriteria untuk

pemilihan preparat topikal mencakup hal berikut ini: preparat harus efektif

terhadap mikroorganisme gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa,

Staphylococcus aureus, bahkan jamur; preparat harus efektif secara klinis;

preparat harus mampu menembus eskar namun tidak bersifat racun secara

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

25

sistemik; penggunaan preparat tidak membutuhkan biaya yang besar, dan mudah

dipakai. Beberapa preparat yang sering digunakan diantaranya silver sulfadiazine,

silver nitrat, dan mafenide asetat (Smeltzer & Bare , 2002).

3. Penggantian Balutan

Idealnya, perawat harus menggunakan masker, penutup rambut, apron

plastik sekali pakai, dan sarung tangan steril untuk mencegah kontaminasi pada

luka. Pelepasan balutan kasa yang menempel pada luka dapat didahului dengan

membasahi kasa dengan normal salin sehingga kasa dapat terlepas dengan mudah

dan rasa nyeri dapat berkurang. Pelepasan kasa juga dapat dilakukan setelah

proses perendaman. Balutan kasa yang tersisa dapat dibersihkan dengan perlahan

menggunakan forcep atau tangan yang telah menggunakan sarung tangan steril.

Setelah balutan lama diangkat, perawat dapat melakukan pembersihan luka dan

pemotongan jaringan. Pemotongan jaringan harus dilakukan untuk mengangkat

eskar dan kulit yang sudah mati. Setelah prosedur pembersihan luka selesai

dilakukan, kulit dapat diolesi preparat topikal yang telah diresepkan kemudian

dapat ditutup kembali menggunakan kasa steril (Smeltzer & Bare , 2002).

4. Debridement

Debridement delakukan dengan tujuan untuk menghilangkan jaringan yang

terkontaminasi bakteri sehingga pasien terhindar dari infeksi dan untuk

menghilangkan jaringan yang sudah mati atau eskar.

a) Debridement Alami

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

26

Pada proses alami, jaringan mati dan jaringan sehat dibawahnya akan

terpisah secara spontan. Bakteri yang terdapat di antara jaringan mati dan jaringan

sehat akan mencairkan serabut kolagen yang menahan eskar sehingga eskar akan

terpisah dengan jaringan dibawahnya. Proses pemberian preparat antibiotik akan

memperlambat proses alami ini. Debridement mekanis dan debridement bedah

adalah cara untuk mempercepat proses ini (Smeltzer & Bare , 2002).

b) Debridement Mekanis

Debridement ini menggunakan gunting dan forcep untuk menghilangkan

eskar. Debridement mekanis biasa dilakukan setiap penggantian balutan luka.

Pemotongan jaringan dilakukan hingga area yang terasa sakit dan mengeluarkan

darah. Kasa balutan juga dapat digunakan sebagai debridement. Kasa basah yang

ditempel pada luka hingga mengering akan membersihkan luka dari eksudat dan

eskar terutama saat kasa diangkat. Ada pula preparat debridement enzimatik

topikal yang merupakan enzim proteolitik yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis.

Karena preparat ini tidak bersifat antibakteri, maka penggunaannya harus

dikombinasikan dengan antibiotik topikal (Smeltzer & Bare , 2002).

c) Debridement Bedah

Merupakan proses pembedahan yang melibatkan eksisi primer seluruh

kulit hingga mencapai fascia, atau dengan mengupas lapisan kulit hingga

mencapai jaringan sehat. Setelah eksisi, luka kemudian ditutup dengan graft kulit

atau balutan tergantung indikasi. Prosedur ini membawa resiko perdarahan lebih

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

27

besar, waktu pembiusan dan pembedahan yang lama. Namun proses ini dapat

mempercepat proses perawatan di rumah sakit (Smeltzer & Bare , 2002).

Adapun faktor lain yang mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar

diantaranya nutrisi, infeksi, dan penyakit penyerta. Pasien harus diberi asupan

nutrisi tinggi protein untuk membantu proses penyembuhan luka (Kavanagh,

2012).

f. Pengkajian Luka

Pengkajian luka dilakukan oleh perawat untuk mengobservasi proses

penyembuhan luka. Pengkajian tidak hanya dilakukan pada saat pasien masuk ke

instalasi terkait, namun juga harus dilakukan setiap kali dilakukan perawatan luka.

Beberapa poin yang harus diobservasi dalam proses pengkajian luka yaitu:

1. Tipe Luka

Tipe luka menentukan proses penyembuhan yang akan terjadi dan menjadi

patokan dalam menentukan jenis perawatan luka yang dilakukan oleh perawat.

Secara umum, luka dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu:

a) Luka akut : merupakan luka yang terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan.

Biasanya luka akut mengalami proses penyembuhan primer seperti yang

dijelaskan sebelumnya.

b) Luka kronis: terjadi jika proses normal penyembuhan luka dihambat baik oleh

faktor intrinsik maupun ekstrinsik, sehingga proses penyembuhan mengalami

pemanjangan periode yang mengarah pada proses penyembuhan sekunder

(Carville, 2005)

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

28

2. Etiologi

Pengkajian etiologi luka diperlukan untuk menentukan manajemen

perawatan luka (Carville, 2005)

3. Klasifikasi Luka

Untuk luka bakar klasifikasi luka yang digunakan yaitu superficial partial-

thickness, deep partial-thickness, full-thickness.

4. Luas Luka Bakar

Persentase luas luka bakar ditentukan dengan metode Wallace’s rule of

nines yang mengestimasi setiap bagian tubuh ke dalam area 9% luka bakar,

pengecualian untuk leher dan genitoperineal yang diestimasi menjadi 1%.

Estimasi luas luka bakar berdasarkan metode Wallace adalah kepala 9%, leher

1%, lengan kanan 9%, lengan kiri 9%, badan bagian depan 18%, badan bagian

belakang 18%, kaki kanan 9%, kaki kiri 9%, genitoperineal 1% (Carville, 2005).

5. Penampilan Klinis

Aspek ini dikaji melalui inspeksi pada luka dengan menilai warna dasar

luka. Penilaian warna dasar luka dilakukan setelah irigasi luka dengan interpretasi

sebagai berikut: hitam menunjukkan terdapat jaringan nekrotik, merah

menunjukkan jaringan granulasi, merah muda menunjukkan jaringan epitelisasi,

putih kehijauan menunjukkan terjadinya infeksi yang diikuti dengan tanda-tanda

inflamasi yaitu rubor, kalor, tumor, nyeri, dan eksudat (Carville, 2005).

6. Lokasi Luka

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

29

Luka pada area yang melakukan pergerakan aktif seperti ekstremitas dan

sendi membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama karena regenerasi dan

migrasi sel dirusak oleh adanya pergerakan. Area yang mengalami penekanan

konsisten seperti pinggul dan bokong juga mengalami proses penyembuhan yang

lebih lambat. Proses penyembuhan pada area dengan vaskularisasi yang baik

seperti wajah mengalami penyembuhan luka yang lebih cepat. Pengkajian lokasi

luka digunakan untuk menentukan landmark untuk prosedur lanjutan (Carville,

2005).

7. Dimensi Luka

Dimensi luka yang diukur yaitu lebar luka, panjang luka, diameter luka

(jika luka berbentuk lingkaran), dan kedalaman luka. Pengukuran dilakukan

menggunakan penggaris atau lidi kapas jika terdapat goa (Carville, 2005).

8. Eksudat

Tipe, jumlah, warna, konsistensi, dan bau eksudat harus dikaji dan

didokumentasikan oleh perawat. Tipe eksudat dbagi menjadi 4 tipe yaitu:

a) Serosa: merupakan eksudat berwarna bening, tidak berbau. Eksudat jenis ini

merupakan sekresi normal pada proses inflamasi.

b) Haemoserosa: eksudat serosa yang mengandung bercak darah.

c) Sanguineous: eksudat yang banyak mengandung darah, warna darah

mendominasi dalam eksudat jenis ini.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

30

d) Purulent: berwarna putih kekuningan kadang kehijauan, mengandung sel

darah putih, kadang berbau, merupakan tanda terjadinya infeksi pada luka

(Carville, 2005).

Untuk jumlah eksudat bisa diidentifikasi melalui keadaan balutan luka.

Balutan lama ditimbang kemudian beratnya dibandingkan dengan balutan kering

sehingga didapatkan berat eksudat di dalam balutan. Satu gram diestimasi sama

dengan 1 ml cairan eksudat. Warna eksudat terkait dengan tipe eksudat dan tipe

patogen penyebab infeksi. Sedangkan bau berhubungan dengan adanya kematian

jaringan dan infeksi patogen tertentu (Carville, 2005).

9. Kulit Di Sekitar Luka

Perlu dikaji apakah terjadi perubahan pada warna kulit di sekitar luka

menjadi kemerahan, rasa gatal, nyeri, maupun peningkatan suhu. Semua tanda

tersebut mengarah pada kejadian infeksi (Carville, 2005).

10. Nyeri

Nyeri merupakan indikator penting untuk menilai abnormalitas

penyembuhan luka. Sangat penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dalam

apakah nyeri disebabkan oleh proses penyembuhan luka, trauma, benda asing,

atau infeksi. Pengkajian nyeri dapat dilakukan menggunakan pengkajian verbal

dengan menanyakan langsung pada pasien maupun secara nonverbal yaitu

menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) (Carville, 2005).

2.4 Efek Farmakologis Ekstrak Daun Pisang terhadap Proses Penyembuhan

Luka Bakar

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

31

Daun pisang (Musa paradisiaca) memiliki berbagai senyawa yang

bermanfaat dalam proses penyembuhan luka. Beberapa kandungan daun pisang

(Musa paradisiaca) yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka adalah:

2.4.1. Flavonoid

Flavonoid berperan sebagai antibakteri karena diperkirakan mampu

menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sitoplasma

dengan mengganggu keseimbangan membran dalam dan luar, dan mengganggu

metabolisme bakteri. Dengan terhambatnya sintesis asam nukleat, maka replikasi

dan perkembangan bakteri akan terhambat. Flavonoid juga mengganggu

kestabilan membran dalam dan luar bakteri dan menghambat konsumsi oksigen

pada bakteri aerob sehingga metabolisme bakteri tersebut terhambat (Kumar,

2012). Isoflavon yang merupakan senyawa turunan dari flavonoid yang diketahui

memiliki fungsi sebagai fitoalexin yaitu sebagai antimokroba baik untuk bakteri

maupun jamur sehingga menghambat penyebaran patogen (Hastari, 2012).

2.4.2. Tannin

Tannin menghambat perkembangan bakteri dengan mengganggu stabilisasi

sitoplasma dan membran plasma, menghambat metabolisme dan sintesis enzim

(Puupponen, 2005). Selain itu, tannin juga mempu menginaktifasi mekanisme

adhesion bakteri sehingga menghambat perlekatan bakteri pada jaringan (Min,

2008).

2.4.3. Alkaloid

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

32

Alkaloid dapat mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada

dinding sel bakteri yang menyebabkan tidak sempurnanya lapisan dinding sel

sehingga terjadi kematian sel. Mekanisme ini diduga terkait dengan aktivitas

antibakteri yang dimiliki oleh alkaloid (Min, 2008).

2.5 Mencit

Mencit merupakan hewan yang paling umum digunakan pada penelitian

laboratorium sebagai hewan percobaan, yaitu sekitar 40-80%. Mencit memiliki

banyak keunggulan sebagai hewan percobaan, yaitu siklus hidup yang relatif

pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah

dalam penanganannya. Mencit (Mus muculus) merupakan omnivora alami, sehat,

dan kuat, profilik, kecil, dan jinak. Selain itu, hewan ini juga mudah didapat

dengan harga yang relatif murah dan biaya ransum yang rendah (Tahani, 2013).

Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta ekor berwarna

kemerahan dengan ukuran lebih panjang dari pada badan dan kepala. Mencit

memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan perbedaan dalam proporsi darah

mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya.

Usia 2-4 bulan merupakan usia dewasa bagi mencit sehingga diharapkan proses

absorpsi, metabolism, dan ekskresi berjalan dengan optimal pada usia ini (Tahani,

2013).

Mencit memiliki taksonomi sebagai berikut (Tahani, 2013):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Klas : Mamalia

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

33

Ordo : Rotentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Mencit harus diberikan makan dengan kualitas tetap karena perubahan kualitas

dapat menyebabkan penurunan berat badan dan tenaga. Seekor mencit dewasa

dapat mengkonsumsi pakan 3 gram-5 gram setiap hari. Mencit yang bunting dan

menyusui memerlukan pakan yang lebih banyak. Jenis ransum yang dapat

diberikan untuk mencit adalah ransum ayam komersial (Smith, 1988).

Kandungan protein ransum yang diberikan minimal 16%. Kebutuhan zat-zat

makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 20%-

25%, kadar lemak 10%-12%, kadar pati 44-55%, kadar serat kasar maksimal 4%

dan kadar abu 5%-6% . Berat badan ideal untuk mencit berkisar antara 15-30

gram (Tahani, 2013).

Air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar antara 4

ml-8 ml. Seekor mencit mudah sekali kehilangan air sebab evaporasi tubuhnya

tinggi. Konsumsi air minum yang cukup akan digunakan untuk menjadi stabilitas

suhu tubuh dan untuk melumasi pakan yang dicerna. Air minum juga dibutuhkan

untuk menekan stress pada mencit yang dapat memicu kanibalisme (Tahani,

2013).

Hewan percobaan yang dipelihara untuk tujuan penelitian, umumnya berada

dalam suatu lingkungan yang sempit dan terawasi. Walaupun kehidupannya

diawasi, namun diusahakan agar proses fisiologis dan reproduksi termasuk

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

34

makan, minum, bergerak dan istirahat tidak terganggu. Hewan percobaan

ditempatkan dalam kandang-kandang yang disusun pada rak-rak didalam suatu

ruangan khusus. Kandang harus dirancang untuk dapat memberikan kenyamanan

dan kesejahteraan bagi hewan tersebut (Tahani, 2013).

Mencit-mencit yang dipergunakan untuk penelitian yang lama ditempatkan dalam

kandang yang berukuran 22,5 cm X 10 cm untuk tiga ekor mencit (Tahani, 2013).

Penutup lantai kandang atau bedding, merupakan penyerap untuk menampung

kotoran termasuk air kencing dan sisa-sisa makanan. Pemakaian bedding

mempunyai tiga tujuan, yaitu untuk menyerap kotoran, melengkapi bahan sarang

dan untuk isolasi panas. Bahan untuk bedding ini dapat berasal dari bahan-bahan

limbah industri atau hasil pasca panen, seperti serbuk gergaji kayu, tatal kayu,

sekam padi, potongan jerami kering, tongkol jagung, ampas bit gula kering dan

butiran tanah liat (Tahani, 2013).

Bak makanan berbentuk mangkok atau anyaman kawat yang disediakan dalam

masing-masing kandang. Tempat minum berupa botol dengan ukuran tertentu

diletakkan terbalik dengan mulut botol dipasang selang karet dan ujungnya

disamping dengan pipa kaca (Tahani, 2013).

Penjagaan kesehatan dan kebersihan merupakan tindakan yang sangat penting

dalam suatu pemeliharaan hewan laboratorium dan saran fisik yang

menunjangnya. Ruangan, kandang serta kelengkapannya harus secara rutin

dipelihara. Berbagai macam cara dapat diterapkan, tergantung kepada keperluan,

materi dan biaya (Tahani, 2013).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musa Paradisiaca II.pdf · dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari

35

Cara ideal memegang mencit yaitu dengan memegang bagian tengah ekor mencit.

Leher dipegang dengan tangan kanan dan jangan terlalu ditekan, jari telunjuk dan

ibu jari memegang kuduk dan jari kelingking mengempit ekor (Tahani, 2013).