BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan › bitstream › 123456789...2.1. Kecemasan 2.1.1....

21
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan 2.1.1. Pengertian Kecemasan Kecemasan menurut Freud (1964) seperti yang dikutip oleh Feist (2010) yaitu, merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Sedangkan Sullivan, 1953 mengatakan kecemasan adalah ketegangan yang bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhan dan bertentangan dengan tindakan yang membuat mereka merasa nyaman. Kaplan (1997) berpendapat bahwa kecemasan merupakan suatu sinyal yang memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan adanya tindakan untuk mengatasi ancaman. Videbeck (2008) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Pada saat merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka akan tetapi orang tersebut tidak mengerti mengapa emosi emosi yang

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan › bitstream › 123456789...2.1. Kecemasan 2.1.1....

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Kecemasan

    2.1.1. Pengertian Kecemasan

    Kecemasan menurut Freud (1964) seperti yang

    dikutip oleh Feist (2010) yaitu, merupakan situasi afektif

    yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh

    sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan

    bahaya yang mengancam. Sedangkan Sullivan, 1953

    mengatakan kecemasan adalah ketegangan yang

    bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhan dan

    bertentangan dengan tindakan yang membuat mereka

    merasa nyaman. Kaplan (1997) berpendapat bahwa

    kecemasan merupakan suatu sinyal yang

    memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan

    adanya tindakan untuk mengatasi ancaman.

    Videbeck (2008) menjelaskan bahwa kecemasan

    merupakan perasaan takut yang tidak jelas dan tidak

    didukung oleh situasi. Pada saat merasa cemas, individu

    merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki

    firasat akan ditimpa malapetaka akan tetapi orang

    tersebut tidak mengerti mengapa emosi emosi yang

  • 8

    mengancam tersebut terjadi. Fausiah & Widuri (2005)

    mengutip pendapat dari Davison & Neale, 2001 bahwa,

    kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya

    perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan

    yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.

    Kecemasan adalah suatu perasaan tidak senang

    yang khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya

    atau frustasi yang mengancam, membahayakan rasa

    aman, keseimbangan atau kehidupan individu atau

    kelompok sosialnya Groen (dalam Sumedi, 1990).

    Manusia dalam menjalani hidup terkadang tidak dapat

    terlepas menghadapi masalah. Dampak dari

    ketidakberdayaan menghadapi masalah ini disebabkan

    dirinya mempunyai perasaan akan adanya tekanan,

    seolah-olah ada ketakutan akan bahaya. Ketakutan yang

    berlarut menyebabkan kecemasan yang bisa

    mengganggu pengaturan diri dalam kehidupan. Dari

    beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

    kecemasan adalah respon perasaan yang tidak

    menyenangkan dan tidak nyaman yang dialami oleh

    seseorang akan bahaya yang mengancam.

  • 9

    2.1.2. Tanda dan Gejala

    Dalam kehidupan sehari-hari banyak peristiwa yang

    mungkin membuat kita merasakan kecemasan.

    Kecemasan sering kali disertai gejala fisik seperti sakit

    kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit

    perut, tidak dapat duduk diam atau tidak tenang (Fausiah

    & Widuri, 2005). Kecemasan menyebabkan respon

    kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang tidak nyaman.

    Menurut Peplau dalam Videbeck (2008) ada empat

    tingkat kecemasan.

    a. Tingkat kecemasan ringan

    Respon fisik: ketegangan otot ringan, sadar akan

    lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, perhatian

    penuh.

    Respon kognitif: lapang persepsi luas, terlihat

    tenang, percaya diri, perasaan gagal sedikit,

    waspada dan memperhatikan banyak hal,

    mempertimbangkan informasi, dan tingkat

    pembelajaran optimal.

    Respon emosional: perilaku otomatis, sedikit tidak

    sabar, aktivitas menyendiri, terstimulasi, tenang.

  • 10

    b. Tingkat kecemasan sedang

    Respon fisik: ketegangan otot sedang, tanda-

    tanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai

    berkeringat, sering mondar-mandir, memukul

    tangan, suara berubah: bergetar, nada suara

    tinggi, kewaspadaan dan ketegangan meningkat,

    sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah.

    Respon kognitif: lapang persepsi menurun, tidak

    perhatian secara selektif, fokus terhadap stimulus

    meningkat, rentang perhatian menurun,

    penyelesaian masalah menurun, pembelajaran

    terjadi dengan memfokuskan.

    Respon emosional: tidak nyaman, mudah

    tersinggung, kepercayaan diri goyah, tidak sabar.

    c. Tingkat kecemasan berat

    Respon fisik: ketegangan otot berat, hiperventilasi,

    kontak mata buruk, pengeluaran keringat, bicara

    cepat, nada suara tinggi, tindakan tanpa tujuan

    dan serampangan, rahang menegang,

    menggertakan gigi, kebutuhan ruang gerak

    meningkat, mondar-mandir, berteriak, meremas

    tangan, gemetar.

  • 11

    Respon kognitif: lapang persepsi terbatas, proses

    berpikir terpecah-pecah, sulit berpikir,

    penyelesaian masalah buruk, tidak mampu

    mempertimbangkan informasi, hanya

    memperhatikan ancaman.

    Respon emosional: sangat cemas, agitasi, takut,

    bingung, merasa tidak adekuat, menarik diri,

    penyangkalan, ingin bebas.

    d. Panik

    Respon fisik: flight, fight, atau freeze, ketegangan

    otot sangat berat, agitasi motorik kasar, pupil

    dilatasi, tanda-tanda vital meningkat kemudian

    menurun, tidak dapat tidur, hormon stres dan

    neurotransmiter berkurang, wajah menyeringai,

    mulut ternganga.

    Respon kognitif: persepsi sangat sempit, pikiran

    tidak logis dan terganggu, kepribadian kacau,

    tidak dapat menyelesaikan masalah, fokus pada

    pikiran sendiri, tidak rasional, sulit memahami

    stimulus eksternal, halusinasi, waham,ilusi,

    mungkin terjadi.

    Respon emosional: merasa terbebani, merasa

    tidak mampu dan tidak berdaya, lepas kendali,

  • 12

    mengamuk, putus asa, marah, sangat takut,

    mengharapkan hasil yang buruk, kaget, takut,

    lelah.

    Tingkat kecemasan menurut Stuart (2006) dalam

    Sujono (2009), di bagi menjadi 4 yaitu:

    1. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan

    dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan pada tingkat

    ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

    meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ini

    dapat memotivasi belajar dan menghasilkan

    pertumbuhan dan kreativitas.

    2. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

    memusatkan pada hal yang penting dan

    mengesampingkan yang lain. Seseorang mengalami

    tidak perhatian yang selektif, namun dapat melakukan

    sesuatu yang lebih banyak jika diberi arahan.

    3. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi

    seseorang. Individu cenderung untuk berfokus pada

    sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat

    berpikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan

    untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut

  • 13

    memerlukan banyak pengarahan untuk dapat berfokus

    pada suatu area lain.

    4. Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan

    terperangah, ketakutan dan teror. Karena mengalami

    kehilangan kendali, individu yang mengalami panik

    tidak mampu mengalami sesuatu walaupun dengan

    diberi pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi

    kepribadian dan terjadi peningkatan aktivitas motorik,

    menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang

    lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan

    pemikiran yang rasional.

    Menurut Hawari (2001) pada individu yang mengalami

    kecemasan, gejala yang dikeluhkan penderita di dominasi

    oleh keluhan-keluhan psikis (ketakutan dan

    kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan

    somatis (fisik). Adapun gejala-gejala pada individu yang

    mengalami kecemasan adalah sebagai berikut:

    a. Gejala psikis

    Cemas, khawatir, bimbang, firasat buruk, takut akan

    pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa

    tegang, tidak tenang, gelisah, gerakan sering serba

    salah, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang

    menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat.

  • 14

    b. Gejala somatik

    Rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran

    berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan

    pencernaan, sakit kepala dan sebagainya.

    Selanjutnya, Baihaqin (2005) juga menjelaskan

    bermacam-macam gejala kecemasan yang timbul, antara

    lain:

    a. Gejala psikis

    Berupa perasaan gundah, khawatir, gugup, tegang,

    cemas, tak aman, lekas terkejut, emosi labil

    (perubahan rasa hati berganti-ganti), mudah

    tersinggung, dan perasaan salah tidak pada

    tempatnya.

    b. Gejala somatik

    Berupa keluar keringat dingin, sulit bernafas,

    gangguan lambung, berdebar-debar, tekanan darah

    meningkat dan sebagainya.

    2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

    Menurut Stuart dan Sundeen (2000), faktor-faktor

    yang mempengaruhi kecemasan antara lain:

    a. Usia

    Usia mempengaruhi psikologi seseorang, semakin

    tinggi usia semakin baik kematangan emosi seseorang

  • 15

    serta kemampuan dalam menghadapi berbagai

    persoalan.

    b. Status kesehatan jiwa dan fisik

    Kelelahan fisik dan penyakit dapat menurunkan

    mekanisme pertahanan alami seseorang.

    c. Nilai-nilai budaya dan spiritual

    Budaya dan spiritual mempengaruhi cara pemikiran

    seseorang. Religiusitas yang tinggi menjadikan

    seseorang berpandangan positif atas masalah yang

    dihadapi.

    d. Pendidikan

    Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan

    menyebabkan orang tersebut mudah mengalami

    kecemasan, semakin tingkat pendidikannya tinggi

    akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir.

    e. Dukungan social

    Dukungan sosial dan lingkungan sebagai sumber

    koping, dimana kehadiran orang lain dapat membantu

    seseorang mengurangi kecemasan dan lingkungan

    mempengaruhi area berfikir seseorang.

    f. Tahap perkembangan

    Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah

    dan intensitas stresor yang berbeda sehingga resiko

  • 16

    terjadinya stress pada tiap perkembangan berbeda.

    Pada tingkat perkembangan individu membentuk

    kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap

    stresor.

    g. Pengalaman masa lalu

    Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi

    kemampuan seseorang dalam menghadapi stressor

    yang sama.

    h. Pengetahuan

    Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan dan

    pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi

    masalah.

    i. Metode koping

    Mekanisme koping digunakan seseorang saat

    mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi

    kecemasan secara konstruktif sebagai penyebab

    tersedianya perilaku patologis.

    Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

    kecemasan menurut Priest (dalam Eva dan Kuncoro,

    2006):

  • 17

    a. Keadaan pribadi individu

    Priest mengungkapkan bahwa dalam hal yang

    mempengaruhi kecemasan adalah situasi pada diri

    individu yang dirasakan belum siap untuk dihadapi.

    b. Tingkat pendidikan

    Kondisi kecemasan dialami individu juga dipengaruhi

    oleh perbedaan tingkat pendidikan. Semakin tinggi

    tingkat pendidikannya akan semakin baik

    pemecahannya terhadap masalah yang dihadapi.

    Tingkat pendidikan seseorang akan menentukan

    seberapa jauh wawasan dan pengetahuan oarang

    tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka

    akan membuat seseorang memiliki pengetahuan yang

    semakin luas karena dengan pendidikan yang semakin

    tinggi maka wawasan yang diperoleh akan semakin

    banyak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

    pengetahuan merupakan bagian dari tingkat

    kecemasan.

    c. Pengalaman tidak menyenangkan

    Freud dalam (Hall, 1995) mengatakan bahwa suatu

    pengalaman yang menyulitkan ditimbulkan oleh

    ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari

    tubuh dapat menyebabkan kecemasan. Ketegangan-

  • 18

    ketegangan tersebut akibat dari dorongan-dorongan

    dalam dan luar tubuh.

    d. Dukungan sosial

    Dukungan sosial dari orang-orang disekitar individu

    yaitu orang tua, kakak, adik, kekasih, teman dekat,

    saudara dan masyarakat. Dukungan yang positif

    berhubungan dengan kurangnya kecemasan

    (Garmenzy dan Rutter, 1983).

    2.1.4. Penyebab Kecemasan

    Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami oleh

    siapapun. Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami

    suatu masalah dalam kehidupannya. Berikut ada

    beberapa teori yang mendukung terjadinya kecemasan:

    a. Teori Biologis

    Menurut Sullivan & Coplan (2000) dalam Videbeck

    (2008), kecemasan ditunjukkan melalui adanya

    abnormalitas elektroesenfalografik pada lobus

    temporal yang biasanya berespon terhadap

    karbamazepin (suatu antikonvulsan/anti kejang) atau

    obat-obatan lain dalam kategori ini.

  • 19

    1. Teori Genetik

    Howath & Weissman (2000) mengatakan bahwa

    kecemasan ini mempunyai komponen yang

    diwariskan, karena kerabat tingkat pertama individu

    yang mengalami peningkatan kecemasan memiliki

    kemungkinan lebih tinggi mengalami kecemasan.

    Adanya kemungkinan “sindrom kromosom 13.”

    Kromosom ini dikatakan terlibat dalam hubungan

    genetik yang mungkin pada gangguan panik, sakit

    kepala hebat, dan masalah ginjal, kandung kemih,

    tiroid (Videbeck, 2008).

    2. Teori Neurokimia

    Sullivan & Coplan (2000) mengatakan penyebab

    kecemasan dikarenakan adanya norepinefrin yang

    berlebihan sehingga menimbulkan gangguan panik,

    gangguan kecemasan umum, dan gangguan stres

    pascatrauma (Videbeck, 2008).

    b. Teori Psikodinamik

    1. Psikoanalisis

    Menurut Freud (1936) dalam Videbeck (2008),

    kecemasan dipandang alamiah pada seseorang

    sebagai stimulus untuk perilaku.

  • 20

    Mekanisme pertahanan dibutuhkan untuk

    mengendalikan kesadaran terhadap kecemasan.

    Individu yang mengalami kecemasan ini

    menggunakan salah satu dari beberapa mekanisme

    pertahanan secara berlebihan.

    2. Teori Interpersonal

    Menurut Harry Stack Sullivan (1952) dalam

    Videbeck (2008) berpendapat bahwa kecemasan

    timbul dari masalah-masalah hubungan

    interpersonal. Pada individu dewasa, kecemasan

    muncul saat individu menyesuaikan diri dengan

    norma dan nilai kelompok budayanya. Semakin

    tinggi tingkat kecemasan, semakin rendah pula

    kemampuan untuk mengkomunikasikan dan

    menyelesaikan masalahnya dan semakin besar

    pula terjadinya gangguan kecemasan.

    3. Teori Perilaku

    Menurut ahli teori perilaku, kecemasan dipadang

    sebagai sesuatu yang dipelajari melalui

    pengalaman individu, sebaliknya perilaku dapat

    diubah melalui pengalaman baru. Ahli teori perilaku

    percaya bahwa individu dapat merubah perilaku

  • 21

    maladaptif tanpa memahami penyebab perilaku

    tersebut (Videbeck, 2008).

    2.2. Tuberkulosis Paru

    2.2.1. Pengertian Tuberkulosis

    Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang

    disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Price &

    Standridge, 2006). Tuberkulosis merupakan penyakit

    infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.

    Tuberkulosis juga bisa menular ke bagian tubuh lain,

    seperti otak, ginjal, tulang, saluran pencernaan dan

    kelenjar getah bening. M. tuberculosis adalah agen

    utama penyebab tuberkulosis (Brunner & Suddarth,

    2001). Tuberkulosis (TB Paru) adalah penyakit infeksi

    yang disebabkan oleh M. tuberculosis dengan gejala awal

    yang bervariasi (De jong & Sjamsuhidayat, 2005).

    2.2.2. Morfologi dan Fisiologi M. tuberculosis

    Bakteri penyebab tuberkulosis adalah M.

    tuberculosis. Ada dua macam mikobakterium penyebab

    tuberkulosis, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil bovin

    ini berada di dalam susu sapi yang menderita mastitis

    tuberkulosis, bila susu ini diminum akan menyebabkan

  • 22

    tuberkulosis usus. Sedangkan basil human bisa berada di

    dalam bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari

    penderita TB paru (De jong & Sjamsuhidayat, 2005).

    M. tuberculosis ini mempunyai ukuran panjang 0,5-4 mm

    × lebar 0,3-0,6 mm, berbentuk batang tipis, lurus atau

    agak bengkok, berglanular atau tidak mempunyai

    selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri

    dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini

    mempunyai sifat istimewa, yaitu tahan terhadap

    pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga

    sering disebut BTA (Basil Tahan Asam). Bakteri

    tuberkulosis ini juga tahan dalam keadaan kering dan

    dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri ini mati pada

    pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada

    pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol

    70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2

    jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap,

    tetapi tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara

    (Widoyono, 2008).

    2.2.3. Tanda, Gejala, Diagnosis Awal Terkena TB Paru

    Gejala utama yang akan muncul pada penderita TB

    Paru, diantaranya batuk berdahak lebih dari tiga minggu,

  • 23

    batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak

    bercampur darah, batuk darah, sesak napas, nafsu

    makan menurun, dan malaise (Depkes RI, 2006). Gejala

    lainnya adalah berkeringat pada malam hari, demam

    tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat badan

    (Widoyono, 2008).

    Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan

    dengan ditemukannya TB (BTA) pada pemeriksaan

    dahak secara mikrospkopis. Hasil pemeriksaan dahak

    dinyatakan positif bila ditemukan BTA dalam minimal 2

    dari 3 pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).

    Hasil pemeriksaan dinyatakan positif 2 dari 3 spesimen

    Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Pada

    program TB nasional, penemuan BTA melalui

    pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis

    utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan

    uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

    diagnosis sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan

    mendiagnosa TB Paru hanya berdasarkan pemeriksaan

    foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

    gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering

    terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2006).

  • 24

    2.2.4. Penularan Tuberkulosis Paru

    Penyakit Tuberkulosis ini yang disebabkan oleh

    Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui udara

    (droplet nuclei) saat seorang pasien TB paru dan

    percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut

    terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan

    adalah pasien TB Paru Basil Tahan Asam (TB Paru BTA)

    positif. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat

    berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis

    tersembur dan terhisap ke dalam paru orang yang sehat.

    Dalam sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan

    dahak (Depkes RI, 2006). Masa inkubasinya selama 3-6

    bulan. Penderita TB Paru yang terinfeksi, saat berbicara,

    batuk, bersin, melepaskan droplet besar (lebih besar dari

    100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar akan

    menetap, sedangkan droplet yang kecil tertahan di udara

    dan terhirup oleh individu yang rentan (Brunner &

    Suddarth, 2001).

    2.2.5. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

    I. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

    mikroskopis, yaitu pada TB Paru:

  • 25

    a. Tuberkulosis Paru BTA positif

    1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

    SPS hasilnya BTA positif.

    2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

    dan foto toraks dada menunjukkan gambaran

    tuberkulosis.

    3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

    dan biakan kuman TB positif.

    4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif

    setelah 3 spesimen dahak SPS pada

    pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

    dan tidak ada perbaikan setelah pemberian

    antibiotika non OAT.

    b. Tuberkulosis Paru BTA negatif

    Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru

    BTA positif. Kriteria diagnostik TB Paru BTA

    negatif harus meliputi:

    1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya

    BTA negatif.

    2. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

    tuberkulosis.

    3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian

    antibiotika non OAT.

  • 26

    4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk

    diberi pengobatan.

    II. Klasifikasi tipe pasien

    a. Kasus baru

    Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan

    OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari

    satu bulan (4 minggu).

    b. Kasus kambuh

    Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

    pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

    telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

    lengkap, didagnosis kembali dengan BTA positif.

    c. Kasus setelah putus berobat

    Adalah pasien yang telah berobat dan putus

    berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

    d. Kasus setelah gagal

    Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya

    tetap positif atau kembali menjadi positif pada

    bulan kelima atau selama pengobatan.

    e. Kasus pindahan

    Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang

    memiliki register TB lain untuk melanjutkan

    pengobatanya.

  • 27

    2.2.6. Pengobatan TB Paru

    Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu

    tahap intensif dan lanjutan (Depkes RI, 2006).

    a. Tahap awal (Intensif)

    Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari

    dan perlu pengawasan dalam minum obat untuk

    mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan

    tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, pasien

    menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

    minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif

    menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan.

    b. Tahap lanjutan

    Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat yang

    lebih sedikit, namun dalam waktu yang lebih lama.

    Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman

    persister sehingga mencegah terjadinya

    kekambuhan.