BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

37
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 Pengertian Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau minggu. (Amin & Hardi, 2015). Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Setiati, et all 2015).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Pengertian

Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume

dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal

ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut. Gagal ginjal

kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat

(biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi

dalam beberapa hari atau minggu. (Amin & Hardi, 2015).

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal (Setiati, et all 2015).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

10

Gagal Ginjal Kronik adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus.

Individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan

pemakaian harian obat-obat analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan

gagal ginjal kronik. Apapun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif

yang ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009).

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan gagal ginjal kronik

adalah suatu penyakit yang terjadi karena adanya kerusakan ginjal secara progresif

yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit. Hal ini ditandai dengan adanya

penurunan GFR.

2.1.2 Patofisiologi

Faktor penyebab (glomerulonefritis, diabetes militus, Hipertensi, dll) menyebabkan

sebagian nerfron mengalami kerusakan tetapi masih terdapat beberapa nefron termasuk

glomerulus dan tubulus yang berfungsi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi

mengalami hipertrofi dan mengahasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi

tubulus juga meningkat walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang.

Kompensasi nefron yang masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya

sampai tiga perempat nefron rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang

dapat di reabsorpsi dan mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan haus.

Akhirnya, nefron yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa metabolisme

tidak diekskresikan. Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak

seimbang, perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

11

Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia

sel darah merah dan defisiensi nutrisi. Eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal,

menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Jika produksi

eritropoietin menurun dapat mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan dan

sesak napas.

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar

serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya

meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi

glomerulus maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya kadar serum

kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon

dari kelenjar paratiroid. Tetapi ginjal tidak merespon normal terhadap peningkatan

sekresi parathormon, sehingga kalsium di tulang menurun menyebabkan terjadinya

perubahan tulang dan penyakit tulang

Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia; ginjal mengeluarkan

vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi. Uremic frosts adalah

kristal deposit yang tampak pada pori-pori kulit. Sisa metabolisme yang tidak dapat

diekskresikan oleh ginjal dieksresikan melalui kapiler kulit yang halus sehingga

tampak uremic frosts. Pasien dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat

dapat mengalami tremor otot, kesemutan betis dan kaki, perikarditis dan pleuritis.

Tanda ini dapat hilang apabila kegagalan ginjal ditangani dengan modifikasi diet,

medikasi, dan/atau dialisis.

(Baradero, et all. 2009) & (Nursalam & Batticaca, 2011).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

12

2.1.3 Etiologi

Etiologi gagal ginjal kronik yaitu:

2.1.3.1 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal yang terjadi akibat proses inflamasi

glomerulus. Glomerulonefritis dapat terjadi karena infeksi bakteri dan virus. Jika

proses inflamasi terjadi secara terus menerus maka akan merusak nefron pada ginjal

(LeMone, 2015). Glomerulonefritis mengakibatkan adanya ketidakseimbangan

glomerulotubular sehingga menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume

cairan ekstrasel (Jameson & Loscalzo, 2013).

2.1.3.2 Diabetes melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit berjangka panjang, maka apabila diabaikan

dapat menyebabkan komplikasi pada organ-organ salah satunya pada pembuluh

darah halus. Adanya kerusakan pembuluh darah halus di ginjal menimbulkan

kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah (Marsinta,

Refianti et all, 2014). Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai

dengan hiperglikemi sehingga menyebabkan viskositas darah meningkat, aliran

darah menjadi lambat, dan terjadi iskemik jaringan lama kelamaan menjadi gagal

ginjal kronik (Amin & Hardhi, 2015).

2.1.3.3 Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah. Hipertensi yang terjadi secara terus

menerus dapat mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah dan hilangnya fungsi

ginjal secara progresif (Baradero, et all, 2008). Hipertensi tidak hanya beresiko

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

13

tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti

penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Pada ginjal, hipertensi menyebabkan

terjadinya Vasokontriksi pebuluh darah ginjal yang mengakibatkan aliran darah ke

ginjal menurun sehingga RAA merespon untuk merangsang aldosteron sehingga

terjadi retensi natrium yang menyebabkan edema (Amin & Hardhi, 2015).

2.1.3.4 Obesitas

Obesitas merupakan penyabab terjadinya penyakit ginjal. Pada obesitas, ginjal

juga harus bekerja lebih keras menyaring darah lebih dari normal untuk memenuhi

kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat badan. Peningkatan fungsi ini

dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal kronik

dalam jangka panjang (InfoDatin, 2017).

2.1.4 Manifestasi klinis`

Manifestasi klinis gagal ginjal kronik sebagai berikut:

2.1.4.1 Ketidakseimbangan elektrolit

Keseimbangan elektrolit dikacaukan oleh kerusakan ekskresi dan penggunaan

ginjal. Mekanisme yang berkontribusi terhadap hipokalsemia, konversi 25-

hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25-dihidroksikolekalseferol (penting untuk

menyerap kalsium) menurun sehingga mengakibatkan menurunnya penyerapan

kalsium intestinal. Pada waktu yang sama, fosfat tidak dikeluarkan, yang

mengakibatkan hiperfosfatemia (Black & Hawks, 2014). Ketika GFR turun dan

fungsi ginjal memburuk lebih lanjut, retensi natrium dan air biasa terjadi, yang

membutuhkan batasan garam dan air. Hiperkalemia berkembang saat gagal ginjal

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

14

semakin memburuk. Ekskresi fosfat juga rusak, menyebabkan hiperfosfatemia dan

hipokalsemia. Penurunan absorbsi kalsium akibat kerusakan aktivitasi vitamin D

juga menyebabkan hipokalsemia. (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.2 Perubahan Metabolik

Pada gagal ginjal kronik, kadar BUN dan serum kreatinin meningkat karena produk

sisa metabolisme protein berakumulasi dalam darah. Kadar serum kreatinin adalah

pengukuran yang paling akurat akan fungsi ginjal. Asidosis metabolik terjadi karena

ketidakmampuan ginjal mengeluarkan ion hidrogen. Menurunnya penyerapan

kembali natrium bikarbonat dan menurunnya formasi dihidrogen fosfat dan amonia

berkontribusi pada masalah ini. Asidosis menekan hiperkalemia dan penyerapan

kembali kalsium tulang (Black & Hawks, 2014). Akumulasi produk sisa

metabolisme protein adalah faktor utama yang terlibat pada efek dan manifestasi

uremia. Kadar kreatinin serum dan BUN naik secara signifikan. Kadar asam urat

meningkat, menyebabkan peningkatan risiko gout. Kadar trigliserida darah tinggi

dan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) rendah dibanding normal menyebabkan

percepatan proses aterosklerosis (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.3 Perubahan Hematologis

Dampak gagal ginjal yang utama pada hematologi adalah anemia. Anemia terjadi

karena ginjal tidak mampu memproduksi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut

berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal,

perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat

terjadinya hemolisis, & defisiensi asam folat (Setiati, et all, 2015). Jika anemia tidak

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

15

diobati maka kadar hematokrit menurun menjadi kurang dari 20%. Seringnya

kelelahan, lemas, dan dingin yang tidak tertoleransi menyertai anemia yang

menyebabkan diagnosis gagal ginjal (Black & Hawks, 2014).

2.1.4.4 Perubahan Gastrointestinal

Seluruh sistem gastrointestinal terkena dampak. Anoreksia, mual, muntah, ulserasi

dan perdarahan mulut, cegukan, konstipasi atau diare (Brunner & Suddarth, 2013).

Konstipasi sering diakibatkan oleh zat pengikat fosfat, pembatasan cairan, dan

makanan berserat tinggi (banyak yang kaya kalium dan fosfat), serta penurunan

aktivitas (Black & Hawks, 2014). Penyakit ulkus peptikum khususnya umum pada

pasien uremik. Fetor uremik, bau napas seperti urine seringkali dikaitkan dengan

rasa logam dalam mulut, dapat terjadi. Fetor uremik semakin dapat menyebabkan

anoreksia (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.5 Perubahan imunologi

Uremia meningkatkan resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa metabolik tertahan

merusak semua aspek fungsi imun. Penurunan imunitas terjadi karena sel dan

humoral rusak, serta fungsi fagosit rusak (LeMone, et all, 2015). Rusaknya sistem

imun membuat klien lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa faktor terlibat,

termasuk menurunnya pembentukan antibodi humoral, supresi dari reaksi

hipersensitivitas yang melambat,dan menurunnya fungsi kemotaksis leukosit (Black

& Hawks, 2014).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

16

2.1.4.6 Perubahan Kardiovaskuler

Manifestasi yang paling umum adalah hipertensi disebabkan karena adanya

stimulasi sistem renin-angiotensin, disritmia mungkin disebabkan oleh

hiperkalemia, asidosis, dan menurunnya perfusi koroner. arterosklerosis karena

adanya kelainan metabolisme karbohidrat dan lipid, rusaknya fibrinolisis (yang

mengakibatkan perkembangan mikroemboli) (Black & Hawks, 2014). Pada sistem

kardiovaskuler terjadi hipertensi, pitting edema (kaki dan tangan), edema

periorbital, pembesaran vena-venadi leher, perikarditis, hiperkalemia,

hiperlipidemia (Brunner & Suddarth, 2013).

2.1.4.7 Perubahan pernapasan

Pada sistem pernapasan ditandai dengan ronki basah, sputum yang kental dan

lengket, penurunan reflek batuk, nyeri pleura, sesak nafas, dan takipnea (Brunner &

Suddarth, 2013). Kelebihan cairan dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya

perubahan sistem pernapasan, seperti edema pulmonar. Asidosis metabolik

menyebabkan peningkatan kompensasi pada laju pernapasan karena paru bekerja

untuk membuang kelebihan ion hidrogen (Black & Hawks, 2014).

2.1.4.8 Perubahan Muskuloskeletal

Perubahan muskuloskeletal yang terjadi yaitu kram otot, kehilangan kekuatan otot,

osteodistrofi ginjal, nyeri tulang, & fraktur (Black & Hawks, 2014).

Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia menstimulasi sekresi

hormon paratiroid. Hormon paratiroid menyebabkan peningkatan reabsorpsi

kalsium dari tulang. Reabsorpsi dan remodeling tulang ini, bersamaan dengan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

17

penurunan sintesis vitamin D dan penurunan absorpsi kalsium dari saluran

gastrointestinal, menyebabkan osteodistrofi ginjal. osteodistrofi ditandai dengan

osteomalasia, pelunakan tulang, dan osteoporosis, penurunan massa tulang

(LeMone, et all, 2015).

2.1.4.9 Perubahan Integumen

Kulit juga sering kali kering dan gampang terkelupas, pruritus berat, ekimosis,

purpura, kuku rapuh, rambut kasar dan tipis (Brunner & Suddarth, 2013). Kulit

kering dengan turgor kulit buruk, akibat dehidrasi dan atrofi kelenjar keringat, umum

terjadi. Sisa metabolik yang tidak dieliminasi oleh ginjal oleh ginjal dapat

menumpuk di kulit, yang menyebabkan gatal atau pruritus (LeMone, et all, 2015).

2.1.5 Klasifikasi gagal ginjal kronik

Black & Hawks (2014), Klasifikasi national kidney foundation tentang penyakit gagal

ginjal kronik:

Tabel 2.1

Stadium Deskriptif GFR

1 kerusakan ginjal dengan tingkat filtrasi

glomerulus (GFR) normal

>90 ml/menit/1,73 mm2

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan

GFR ringan

60-89 ml/menit/1,73 mm2

3 Penurunan GFR sedang 30-59 ml/menit/1,73 mm2

4 Penurunan GFR parah 15-29 ml/menit/1,73 mm2

5 Gagal Ginjal Kronik <15 ml/menit/1,73 mm2

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

18

Setiati, et all (2015), Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR,

yang di hitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

GFR (ml/menit/1,73 mm2) = (140-umur) x berat badan

72 x Kreatinin plasma (mg/dl)

*) Pada perempuan dikalikan 0,85

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik, yaitu:

(Yasmara, Nursiswati, & Rosyidah, 2016)

2.1.6.1 Laboratorium:

2.1.6.1.1 Kadar BUN (normal:5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal: 0,5-1,5

mg/dL), natrium (normal: serum:135-145 mmol/L; urine: 40-220

mEq/L/24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L) meningkat.

2.1.6.1.2 Analisi gas darah arteri menunjukkan penurunan pH arteri (normal:

7,35-7,45) dan kadar bikarbonat (normal: 24-28 mEq/L)

2.1.6.1.3 Kadar Hematokrit (normal: wanita=36-46%; pria= 40-50%) dan

hemoglobin (normal: wanita= 12-16 g/dL;pria= 13,5-18 g/dL) rendag;

masa hidup sel darah merah berkurang

2.1.6.1.4 Muncul defek trombositopenia dan trombosit ringan

2.1.6.1.5 Terjadi hiperglikemia dan hipertrigliseridemia

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

19

2.1.6.1.6 Pasien mengalami proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukan

sedimentasi,leukosit, sel darah merah, dan kristal.

2.1.6.2 Radiografi KUB, urografi ekskretorik, nefrotomografi, scan ginjal, dan

arteriografi ginjal menunjukkan penurunan ukuran ginjal

2.1.6.3 Biopsi ginjal memungkinkan identifikasi histologi dari proses penyakit yang

mendasari

2.1.6.4 EEG menunjukkan dugaan perubahan ensefalopati metabolik

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CKD menurut Setiati, et all (2015):

2.1.7.1 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya

penurunan GFR, sehingga pemburukkan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran

ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan

histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.

Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap

penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2.1.7.2 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan GFR pada

pasien gagal ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid

(superimpsed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor

komorbid ini antara lain: gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak

terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat

nefrotoksik.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

20

2.1.7.3 Pembatasan asupan protein

Pembatasan asupan protein mulai di lakukan pada GFR <60 m/menit, sedangkan di

atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein

diberikan 0,6-0,8 g/ kgbb/ hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kal/

kgbb/ hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dapat ditingkatkan.

Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, karena kelebihan protein tidak disimpan

dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama di

ekskresikan melalui ginjal.

2.1.7.4 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang

penting, karena 40-45% kematian pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan

oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi

penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,

pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan elektrolit.

2.1.7.5 Pembatasan cairan dan elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien gagal ginjal kronik, sangat perlu di lakukan. Hal

ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema, dan komplikasi kardiovaskuler.

Elektrolit yang harus di awasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan

kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang

fatal. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium

dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

21

2.1.7.6 Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada GGK stadium 5, yaitu pada GFR <15

ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal

atau transpalantasi ginjal.

Penatalaksanaan GGK yaitu sebagai berikut (Brunner & Suddart, 2013) :

2.1.7.1 Hiperfosfatemia dan hipokalsemia ditangani dengan obat yang dapat

mengikat fosfat dalam saluran cerna; semua agen pengikat harus diberika

bersama makanan.

2.1.7.2 Hipertensi di tangani dengan pengontrolan volume intravaskular dan obat

antihipertensi

2.1.7.3 Gagal jantung dan edema pulmonal ditangani dengan pembatasan cairan, diet

rendah natrium, diuresis, dan dialisis.

2.1.7.4 Asidosis metabolik diatasi, jika perlu, dengan suplemen natrium bikarbonat

atau dialisis

2.1.7.5 Anemia ditangani dengan rekombinan eritropoietin (Epogen); hemoglobin

dan hematokrit dipantau secara berkala.

2.1.7.6 Suplemen besi dapat diresepkan

2.1.7.7 Tekanan darah dan kalium serum dipantau secara terus menerus.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

22

2.2 Hemodialisis

2.2.1 Pengertian

Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, “dialisis” artinya pemisahan zat-

zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah melalui

proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa

mesin dialisis. Hemodialisis di kenal secara awam dengan istilah cuci darah (Yasmara,

Nursiswati, & Arafat, 2016).

Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan

cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif

ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Hal ini dilakukan dengan

menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semi

permeabel (ginjal buatan) (Muttaqin & Sari,2011 dalam Zurmeli, et al, 2012).

Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang

terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh

pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme

untuk membawa darah pasien ke dan dari dializer (tempat terjadinya pertukaran cairan,

elektrolit, dan zat sisa tubuh) (Baradero, 2008).

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan hemodialisis adalah

salah satu tindakan yang dilakukan oleh pasien gagal ginjal kronik untuk

mengeluarkan cairan atau toksin yang berlebih dalam darah dengan cara mengalirkan

darah ke alat dialiser untuk melalui proses penyaringan.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

23

2.2.2 Tujuan Hemodialisis

Tujuan utama dari hemodialisis adalah mengendalikan ureum, kelebihan cairan dan

ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik.

Hemodialisis terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme

tubuh, dan terutama pada penyakit GGK tahap akhir atau stadium 5. Jika tidak

dilakukan terapi pengganti ginjal maka pasien akan meninggal (Sasmita et al,2015).

Sedangkan menurut Rosdahl & Kowalski (2014), tujuan dialisis diantaranya

membuang produk sisa metabolisme protein dalam darah, membuang racun atau

toksin dalam darah, mengeluarkan cairan yang berlebihan, mempertahankan

keseimbangan asam basa.

2.2.3 Indikasi Hemodialisis

Setiati, et all (2015), Hemodialisis dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut:

2.2.3.1 Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan

2.2.3.2 Hiperkalemia yang refrakter (tidak berespon) terhadap restriksi diit dan terapi

farmakologi

2.2.3.3 Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat

2.2.3.4 Hiperfosfatemiayang refrakter terhadap retriksi diit dan terapi pengikat fosfat

2.2.3.5 Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi

2.2.3.6 Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab

yang jelas

2.2.3.7 Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual,

muntah.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

24

2.2.3.8 Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah adanya

gangguan neurologis (Seperti neuropati, ensefalopati), pleuritis atau

perikarditis.

2.2.4 Komplikasi Hemodialisis

Hurst (2015), komplikasi pada hemodialisis yaitu sebagai berikut:

2.2.4.1 Perdarahan di area setelah hemodialisis yang di induksi oleh antikoagulasi

2.2.4.2 Infeksi di setiap akses vena

2.2.4.3 Alergi terhadap heparin memerlukan larutan pegganti yang memiliki

kandungan anti pembekuan (natrium sitrat)

2.2.4.4 Depresi dengan ide bunuh diri

2.2.4.5 Kegagalan akses dialisis: sebagian besar akses dialisis tersumbat

2.2.4.6 Perubahan tingkat kesadaran atau kejang jika BUN dan kreatinin menurun

terlalu cepat

Yasmara, Nursiswati,& Arafat. (2016), tindakan hemodialisis menyebabkan beberapa

komplikasi berikut:

2.2.4.1 Hipotensi

Hipotensi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada saat hemodiaisis

karena adanya kegagalan untuk menjaga volume plasma pada tingkat normal.

Hipotensi bisa disertai dengan gejala seperti kram, pusing, kelelahan yang

berlebihan, dan kelemahan, atau mungkin tidak menunjukkan gejala sama sekali.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

25

2.2.4.2 Sakit dada

Sakit dada selama prosedur hemodialisis harus di curigai sebagai kegawatdaruratan

yang berhubungan dengan angina, infark miokard atau perikarditis.

2.2.4.3 Hipoksemia.

Selama hemodialisis, PaO2 turun menjadi sekitar 10-20 mmHg. Dialisat dengan

asetat dapat menyebabkan hipoksia dalam dua cara, pertama dengan meningkatnya

konsumsi oksigen selama konversi bikarbonat asetat dan kedua oleh hilangnya

intradialitik CO2.

2.2.4.4 Gatal-gatal

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami gatal-gatal pada kulit yang semakin

memburuk selama atau segera setelah hemodialisis. Faktor yang menyebabkannya

adalah kulit kering, deposit kristal kalsium-fosfor, alergi terhadap obat.

2.2.4.5 Anemia

Tidak memiliki cukup sel darah merah dalam darah adalah komplikasi umum dari

gagal ginjal dan hemodialisis. Gagal ginjal mengurangi produksi hormon yang

disebut eritropoietin, yang merangsang pembentukan sel darah merah.

2.2.4.6 Depresi

Perubahan suasana hati umum terjadi pada orang yang mengalami gagal ginjal.

pasien cenderung mengalami depresi dengan perilaku menolak pengobatan

termasuk terapi hemodialisis (Yasmara, Nursiswati,& Arafat, 2016). Walaupun

simptomatologi depresif sering di temukan pada pasien-pasien dialisis, sindrom

depresi klinis terdiri dari anhedonia dan perasaan sedih, tidak berguna, bersalah, dan

putus asa. Dan diikuti oleh gangguan tidur dan nafsu makan.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

26

Depresi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain penurunan fungsi dari

organ tidur, kehilangan sumber nafkah, perubahan gaya hidup dan sebagainya

(Saraha, et all, 2013). Individu yang mengalami depresi dapat dilihat dari gejala

yang muncul yaitu sebagai berikut (Azahra, 2013) :

2.2.4.6.1 Manifestasi emosional, meliputi perubahan perasaan atau tingkah laku

yang merupakan akibat langsung dari keadaan emosi seperti penurunan

mood, tidak lagi merasakan kepuasan, lebih sering menangis, dan

hilangnya respon kegembiraan.

2.2.4.6.2 Manifestasi kognitif, meliputi harapan-harapan yang negatif, menyalahkan

serta mengkritik diri sendiri, tidak dapat membuat keputusan, distorsi

“body image” atau anggapan bahwa dirinya tidak menarik.

2.2.4.6.3 Manifestasi motivasional, meliputi menurunnya minat dan motivasi

terhadap aktivitas, ada dorongan untuk mengundurkan diri dari kegiatan,

lebih suka bersikap pasif dan ada kecenderungan untuk bergantung.

2.2.4.6.4 Manifestasi vegetatif-fisik, meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan

tidur dan mudah merasa lelah.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

27

2.3 Mekanisme Koping

2.3.1 Pengertian

Koping tergantung pada kebutuhan individu. Usia individu dan latar belakang budaya

memengaruhi kebutuhan tersebut. Individu yang sama dapat berkoping secara berbeda

dari satu waktu ke waktu yang lain. Dalam situasi yang penuh tekanan, sebagian besar

individu menggunakan kombinasi koping berfokus pada masalah dan strategi koping

berfokus pada emosi. Dengan kata lain, ketika berada dalam tekanan, seseorang

memperoleh informasi dan mengambil tindakan untuk mengubah situasi, sama baiknya

dengan mengatur emosi yang terkait dengan stres. (Potter & Perry, 2010).

Mekanisme koping adalah semua upaya yang diarahkan untuk mengelola stress yang

dapat bersifat konstruktif atau destruktif. Mekanisme koping yang bersifat konstruktif

ketika ansietas digunakan sebagai tanda peringatan dan individu menerimanya sebagai

tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme koping yang destruktif

mematikan peringatan ansietas dan tidak menyelesaikan konflik, dan mungkin

menggunakan mekanisme koping yang menghindari resolusi (Keliat & Pasaribu, 2016)

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan mekanisme koping

adalah suatu cara yang sering dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi suatu

masalah. Setiap orang mempunyai mekanisme koping berbeda beda, ada yang ingin

menyelesaikan masalah dengan berbagai cara dan ada juga yang membiarkan masalah

tersebut dan tidak ingin diselesaikan. Ketidak mampuan seseorang dalam

menyelesaikan masalah inilah yang menjadi masalah psikologis utama.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

28

2.3.2 Jenis mekanisme koping

Koping dapat adaptif atau maladaptif. Koping adaptif membantu individu untuk

mengatasi stres secara efektif dan mengurangi distress yang ada. Koping maladaptif

dapat menghasilkan distress terhadap individu dan hal lain yang berhubungan dengan

individu (Agung, 2016 ).

Sunaryo (2010), koping adaptif adalah cara seorang individu untuk dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau cara individu untuk dapat mengubah

lingkungan sesuai dengan keinginan dirinya. Sedangkan koping maladaptif adalah

ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan atau mencocokkan diri dengan

lingkungan tempat ia berada. Selain itu maladaptif juga merupakan bentuk

ketidakmampuan seseorang dalam berperilaku untuk menyesuaikan diri sehingga ia

tidak dapat mempertahankan eksistensinya,dan tidak mampu memperoleh

kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah.

Mekanisme koping pasien yang menjalani hemodialisis yaitu Koping maladaptif yang

dijumpai pasien sering mengingkari atau menyangkal, menangis, dan merasa takut

akan kematian (Sasmita, et al, 2015). Mekanisme koping adaptif pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis adalah mampu mengontrol emosi,

bercerita atau berbagi dengan orang lain, memecahkan masalah, menerima dukungan,

memiliki kewaspadaan yang tinggi, lebih perhatian pada masalah dan memiliki

pandangan yang luas (Wutun, et al, 2016).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

29

Pada penelitian yang dilakukan oleh Armiyati & Rahayu (2014) pada pasien yang

menjalani hemodialisis mekanisme koping maladaptif ditunjukkan dengan masih

banyaknya responden yang selalu khawatir dengan kondisinya, tidak mau berbagi

dengan orang lain dan sering putus asa untuk melakukan pengobatan. Sedangkan

mekanisme koping yang adaptif dalam penelitian ini ditunjukan dengan upaya

pasien untuk mencoba berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi

yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi

atau masalah yang sedang dihadapi dengan meningkatkan keimanan seperti

melakukan kegiatan ibadah dan berdoa, melakukan latihan fisik untuk

mengurangi ketegangan, membuat berbagai alternatif tindakan untuk megurangi

situasi yang mengancam, dan mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.

2.3.3 Kategori mekanisme koping

Mekanisme koping dapat dikategorikan sebagai berfokus pada masalah atau tugas dan

berfokus pada emosi atau ego.

2.3.3.1 koping berfokus pada masalah atau tugas

mekanisme koping yang berfokus pada masalah atau tugas merupakan upaya yang

disengaja untuk memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan memuaskan

kebutuhan. Reaksi-reaksi ini mencakup:

2.3.3.1.1 Perilaku menyerang/agresif

Yaitu usaha seseorang mencoba untuk menghilangkan atau mengatasi hambatan

dalam rangka memenuhi kebutuhan. Banyak cara dapat dilakukan untuk

menyerang masalah, dan reaksi ini bersifat destruktif atau konstruktif. Pola

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

30

destruktif biasanya disertai dengan perasaan kemarahan dan permusuhan yang

sangat besar. Sedangkan pola konstruktif mencerminkan pendekatan pemecahan

masalah (Keliat & Pasaribu, 2016). Menurut Hidayat (2014), menyerang yaitu

bertindak menghilangkan, mengatasi stresor, atau memenuhi kebutuhan,

misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli. Pada pasien yang menjalani

hemodialisis pasien sering mengingkari atau menyangkal, menangis, dan

merasa takut akan kematian (Sasmita, et all, 2015). Selain itu juga ada pasien

yang mampu mengontrol emosi, bercerita atau berbagi dengan orang lain,

memecahkan masalah dan menerima dukungan (Wutun, et al, 2016). Sehingga

dari perilaku-perilaku tersebut sangat mempengaruhi kepatuhan diet pasien

dalam menjalani hemodialisis.

2.3.3.1.2 Perilaku menarik diri

Perilaku ini dapat dinyatakan secara fisik atau psikologis. Secara fisik, menarik

diri melibatkan penghindaran diri dari sumber ancaman. Reaksi ini dapat berlaku

untuk stresor biologis, seperti kamar penuh asap rokok, paparan radiasi atau

kontak dengan penyakit menular. Sedangkan cara psikologis, seperti dengan

mengakui kekalahan, menjadi apatis, atau menurunnya aspirasi dan partisipasi

(Keliat & Pasaribu, 2016). Pada pasien yang menjalani hemodialisis selalu

khawatir dengan kondisinya, tidak mau berbagi dengan orang lain dan sering

putus asa untuk melakukan pengobatan (Armiyati & Rahayu, 2014). Dalam

perilaku menarik diri ini pasien akan cenderung untuk kurang patuh pada dietnya

di karenakan sikap putus asa dan tidak mau berbagi dengan orang lain akan

mempengaruhi diet pasien tersebut.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

31

2.3.3.1.3 Kompromi

Yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan, dan

sebagainya (Hidayat , 2014). Ha ini diperlukan dalam situasi yang tidak dapat

diselesaikan melalui serangan atau menarik diri. Reaksi kompromi biasanya

bersifat konstruktif dan sering digunakan dalam situasi pendekatan-pendekatan

dan penghindaran-penghindaran (Keliat & Pasaribu, 2016). Pada pasien yang

menjalani hemodialisis ada yang mencoba menghubungkan situasi atau masalah

yang sedang dihadapi dengan meningkatkan keimanan seperti melakuan kegiatan

ibadan dan berdoa, mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu, mencari

informasi yang lebih banyak tentang masalah yang di hadapi (Armiyati &

Rahayu, 2014). Dalam hal ini akan mempengaruhi kepatuhan diet pasien yang

menjalani hemodialisis akan lebih baik.

2.3.3.2 koping berfokus pada emosi atau ego

Keliat & Pasaribu (2016), mekanisme koping yang berfokus pada emosi atau ego

dikenal sebagai mekanisme pertahanan ego, melindungi orang dari perasaan tidak

mampu dan tidak berharga. Pertahanan ego terdiri dari:

2.3.3.2.1 Kompensasi : proses dimana seseorang menggunakan kelemahan yang

dirasakan dengan penekanan yang kuat atas ciri yang di anggap lebih

menyenangkan.

2.3.3.2.2 Pengingkaran : menghindari realitas yang tidak menyenangkan dengan

mengabaikan atau menolak untuk mengakuinya;mekanisme pertahanan

yang paling sederhana dan paling primitif dari semua mekanisme koping

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

32

2.3.3.2.3 Pengalihan : pengalihan emosi yang seharusnya diarahkan kepada objek

atau orang tertentu ke objek atau orang yang kurang berbahaya

2.3.3.2.4 Disosiasi : pemisahan dari proses kelompok jiwa atau perilaku dari sisa

kesadaran atau identitas orang tersebut.

2.3.3.2.5 Identifikasi : proses dimana orang mencoba untuk menjadi seperti

seseorang yang mereka kagumi dengan mengambil pikiran, tingkah laku,

atau selera orang itu.

2.3.3.2.6 Intelektualisasi : penalaran yang berlebihan atau logika yang digunakan

untuk menghindari pengalaman perasaan yang mengganggu.

2.3.3.2.7 Introjeksi : mengidentifikasi dengan kuat dimana seseorang

menggabungkan kualitas atau nilai-nilai orang lain atau kelompok lain

kedalam struktur egonya sendiri

2.3.3.2.8 Isolasi : memisahkan komponen emosional dari pikiran, yang mungkin

bersifat sementara atau jangka panjang.

2.3.3.2.9 Proyeksi: menghubungkan pikiran atau impuls ke orang lain. Melalui

proses ini seseorang dapat menghubungkan keinginan tak tertahankan,

perasaan emosional, atau motivasi kepada orang lain

2.3.3.2.10 Rasionalisasi : menawarkan penjelasan yang dapat diterima secara sosial

atau tampaknya logis untuk membenarkan atau membuatnya dapat di

terima walaupun impuls, perasaan, perilaku, dan motif tidak dapat

diterima.

2.3.3.2.11 Reaksi formasi : pengembangan pola sikap dan perilaku yang berlawanan

dengan apa yang benar-benar dirasakan atau ingin dilakukan.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

33

2.3.3.2.12 Regresi : kemunduran karakteristik perilaku pada tingkat perkembangan

awal

2.3.3.2.13 Represi : penekanan secara tak sadar hal-hal yang menyakitkan atau

konflik pikiran,impuls, atau memori dari kesadaran. Mekanisme

pertahanan ini adalah pertahanan ego utama, dan mekanisme lainnya

cenderung memperkuatnya.

2.3.3.2.14 Disosiasi : mengamati orang dan situasi sebagai semua baik atau semua

buruk; gagal menginterpretasikan kualitas positif dan negatif dari diri

sendiri

2.3.3.2.15 Sublimasi: penerimaan tujuan pengganti yang disetujui secara sosial untuk

dorongan penyaluran ekspresi normal yang dihambat

2.3.3.2.16 Supresi : suatu proses yang sering didengar sebagai mekanisme

pertahanan, tapi sebenarnya adalah sama dengan represi yang disadari.

Hal ini merupakan penekanan yang disengaja terhadap hal-hal yang

disadari. Kadang-kadang hal itu dapat menyebabkan represi

2.3.3.2.17 Undoing: tindakan atau komunikasi yang sebagian meniadakan kejadian

sebelumnya.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

34

2.3.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping pada pasien

hemodialisis (Agung, 2014):

2.3.4.1 Pendidikan

Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stress atau tidak.

Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi pengontrolan terhadap stressor

lebih baik. Pada penelitian sebelumnya, menunjukan bahwa pada pasien yang

memiliki pendidikan rendah sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak

menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berpendidikan tinggi, sebagian

besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.

2.3.4.2 Jenis kelamin

Ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kontrol diri. Perempuan diberi

penghargaan atas sensitivitas, kelembutan, dan perasaan kasih, sedangkan laki-laki

di dorong untuk menonjolkan emosinya, juga menyembunyikan sisi lembut mereka

dan kebutuhan mereka akan kasih sayang dan kehangatan. Bagi sebagian laki-laki,

kemarahan adalah reaksi emosional terhadap rasa frustasi yang paling bisa di terima

secara luas. Dalam penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pada pasien yang

memiliki jenis kelamin laki-laki sebagian besar memiliki mekanisme koping

menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berjenis kelamin perempuan,

sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

35

2.3.4.3 Pengetahuan

pengetahuan mempengaruhi ketidakseimbangan antara koping individu dengan

banyaknya informasi yang tersedia dapat menghambat kesembuhan. Pada penelitian

sebelumnya, pasien yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian besar memiliki

mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang

berpengetahuan baik, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima

keadaan.

2.3.4.4 Harapan akan self-efficacy

Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan kita terhadap kemampuan

diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan tentang kemampuan diri

untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri

untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif. Dalam penelitian

sebelumnya, pasien yang memiliki harapan rendah, sebagian besar memiliki

mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang memiliki

harapan tinggi, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima

keadaan.

2.3.4.5 Dukungan sosial

Para peneliti percaya bahawa memiliki kontak sosial yang luas membantu

melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stress. Para peneliti di swedia dan

Amerika menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat dukungan sosial yang

lebih tinggi akan mengalami stress yang rendah ketika mengalami stres, dan mereka

akan mengatasi stress atau melakukan koping lebih baik. selain itu dukungan sosial

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

36

juga menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih rendah, mempercepat proses

penyembuhan ketika sakit. Dalam penelitian sebelumnya, pasien yang kurang

memiliki dukungan sosial, sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak

menerima keadaan. sedangkan pada pasien yang banyak memiliki dukungan sosial,

sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.

2.4 Kepatuhan Diet

2.4.1 Pengertian

Kepatuhan berarti pasien harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang

dibutuhkan seperti dalam pengaturan diet nutrisi maupun cairan (Potter & Perry,

2010). Diet merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penatalaksanaan

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Beberapa sumber diet yang

dianjurkan seperti karbohidrat, protein, kalsium, vitamin dan mineral, cairan, dan

lemak. Pentingnya pengaturan konsumsi pangan pasien gagal ginjal dilakukan untuk

membatu mengurangi kerja ginjal jika tidak di patuhi dapat meningkatkan angka

mortalitas pasien gagal ginjal (Panjaitan, et all, 2014). Menurut Yasmini, et all (2016)

kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien dalam mengambil suatu tindakan untuk

pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat dan ketepatan berobat. Kepatuhan

dalam mengurangi asupan cairan dan nutrisi bagi pasien hemodialisis merupakan hal

penting untuk diperhatikan, jika pasien tidak patuh akan terjadi penumpukkan zat-zat

berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam darah.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

37

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan kepatuhan diet pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah suatu perilaku yang

harus dilakukan oleh pasien untuk mengatur asupan nutrisi atau cairan yang masuk,

agar tidak memperburuk kondisi kesehatan pasien.

2.4.2 Tujuan terapi diet

Baradero, et all (2009), tujuan terapi diet pasien dialisis yaitu mengurangi sisa

metabolik yang harus dikeluarkan oleh ginjal, memberi kalori dan protein yang cukup,

mengurangi gangguan cairan dan elektrolit. Menurut Almatsier (2010), yaitu untuk

mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi agar

pasien dapat melakukan aktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,

menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan.

2.4.3 Pertimbangan nutrisi & bahan makanan yang harus di konsumsi pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

2.4.3.1 Pertimbangan nutrisi untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalanai dialisis

(Hurst, 2015):

2.4.3.1.1 Batasi asupan natrium (anjurkan 2 g /hari) Asupan natrium dibatasi untuk

mempertahankan volume cairan ekstraseluler pada kadar normal.

2.4.3.1.2 Batasi asupan kalium seperti buah, tomat, kentang , karena kalium tidak di

ekskresikan dan dapat terkumpul dalam darah

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

38

2.4.3.1.3 Batasi makanan yang mengandung fosfor seperti susu, keju, setiap

makanan tinggi protein, karena ginjal kehilangan kemampuannya untuk

mengatur kadar fosfor.

2.4.3.1.4 Batasi protein, yang akan mengurangi produk sisa nitrogen berupa urea

dan kreatinin

2.4.4 Penatalaksanaan nutrisi dan cairan menurut (LeMone, 2015)

Mempertahankan nutrisi yang cukup dan mencegah kekurangan gizi kalori protein

adalah fokus penatalaksanaan nutrisi selama tahap awal CKD. Saat fungsi ginjal

menurun, eliminasi air, zat terlarut, dan sisa metabolik rusak. Akumulasi zat sisa ini

dalam tubuh menyebabkan gejala uremia. Modifikasi diet dapat memperlambat

perkembangan kerusakan nefron, menurunkan gejala uremia, dan membantu mencegah

komplikasi.

Tidak seperti karbohidrat dan lemak, tubuh tidak dapat menyimpan kelebihan protein.

Protein dalam makanan yang tidak dipakai dipecah menjadi urea dan sisa nitrogen

lainnya, yang kemudian di eliminasi oleh ginjal. Makanan kaya protein juga

mengandung ion anorganik seperti ion hidrogen, fosfat, dan sulfit yang dieliminasi

oleh ginjal.

Penatalaksanaan diet pasien hemodialisis menurut Almatsier, (2010):

2.4.4.1 Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB /hari, bila diperlukan penurunan berat

badan, harus dilakukan secara berangsur (250-500 g/minggu) untuk

mengurangi resiko katabolisme massa tubuh tanpa lemak.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

39

2.4.4.2 Protein yang cukup, untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan

mengganti asam amino yang hilang selama dialisis, yaitu 1-1,2 g/kg BB/hari.

2.4.4.3 Karbohidrat cukup, yaitu 55-75% dari kebutuhan energi total.

2.4.4.4 Lemak normal, yaitu 15-30% dari kebutuhan energi total.

2.4.4.5 Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu, diberikan suplemen kalsium.

2.4.4.6 Fosfor dibatasi, yaitu <17 mg/kg BB /hari

2.4.4.7 Cairan dibatasi, yaitu jumlah urin/24 jam + IWL (±500 – 750 ml)

2.4.4.8 Suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin larut air seperti B6, asam

folat, dan vitamin C.

2.4.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet

Widiany, Fery L (2017) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet pada pasien

yang menjalani hemodialisis yaitu:

2.4.5.1 Pengetahuan

Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

suatu tindakan, perilaku yang didasarkan pengetahuan akan lebih baik dari pada

perilaku yang tidak didasarkan oleh pengetahuan. Klien menggunakan informasi

dan keterampilan untuk membuat keputusan tentang kapan waktu yang tepat untuk

dapat melaksanakan intervensi tertentu. Diluar tindakan hemodialisis, klien

diharapkan dapat mengikuti secara keseluruhan sesuai dengan yang telah

diresepkan, baik obat, diet khusus, keterbatasan cairan, dan perawatan vaskular.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

40

2.4.5.2 Dukungan keluarga

Dukungan keluarga juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan,

diharapkan anggota keluarga mampu untuk meningkatkan dukungannya sehingga

ketidaktaatan terhadap program diet yang akan dilaksanakan lebih dapat dikurangi.

Riset telah menunjukkan bahwa jika kerjasama anggota keluarga sudah terjalin,

ketaatan terhadap program-program medis yang salah satunya adalah program diet

menjadi lebih tinggi. Responden yang memiliki dukungan keluarga yang baik dan

patuh dalam menjalankan diet disebabkan oleh fakror dukungan keluarga yang baik.

Hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan serta

dapat menentukan program pengobatan yang diterima.

2.4.5.3 Sikap

Sikap klien merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya perilaku, maka pasien

GGK yang menjalani terapi hemodialisis yang merasa terancam kesehatannya oleh

penyakit yang diderita dan kepercayaannya terhadap program diet hemodialisis

yang diberikan akan memunculkan sikap baik sehingga cenderung untuk lebih

patuh.

2.4.5.4 Perilaku

Perilaku seseorang dapat terbentuk yang dipengaruhi oleh faktor eksternal

(lingkungan fisik dan nonfisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, dan politik)

dan faktor internal (perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, dan sugesti).

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang diharapkan dapat berpengaruh

positif terhadap perilaku seseorang. Perilaku seseorang akan lebih patuh pada

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

41

dietnya apabila didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif.

Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran

maka untuk berperilaku patuh akan susah terbentuk.

2.5 Hubungan Mekanisme koping dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisis

Pasien yang menjalani hemodialisis otomatis hidupnya bergantung pada mesin. Pola

hidup berubah seperti diet yang ketat, pembatasan cairan, dan kehilangan kebebasan

pribadinya. Pasien akan mengalami kejenuhan atau bosan akibatnya timbulah pikiran-

pikiran negatif, & perilaku yang maladaptif (Agung, 2015). Sehingga dibutuhkan

mekanisme koping untuk menghadapi masalah tersebut, mekanisme koping adalah cara

yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan

perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam (Sasmita, et all, 2015).

Ketidakmampuan seseorang dalam menerapkan mekanisme koping yang baik maka

akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam melakukan diet. Secara umum, kepatuhan

didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,

mengikuti diet, dan melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi

pelayanan kesehatan. ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat

berdampak pada timbulnya malnutrisi (Widiany, 2017).

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

42

2.6 Penelitian Terkait

1. Hubungan penyebab stress dengan mekanisme koping pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Itun Minarti pada tahun 2015 dilakukan

di Rumah Sakit Premier Jatinegara Jakarta dengan jumlah responden sebanyak 84

Responden. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif

analitik dengan uji statistik Chi square. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan hasil

P value kondisi fisik 0,023 , P value psikolog 0,040 dan P value hubungan sosial

0,007 sehingga P value <0,05 maka Ho di tolak sehingga disimpulkan bahwa ada

hubungan penyebab stress dengan mekanisme koping pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis.

2. Hubungan kepatuhan diet dan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afissa Rahma Ayunda dan Dwi

Priyantini pada tahun 2017 dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo

dengan jumlah responden sebanyak 22 responden. Metode penelitian yang digunakan

penelitian ini adalah korelasi dengan rancangan penelitian cross-sectional yang di

ambil dengan teknik purposive sampling. Analisis data yang di gunakan yaitu uji

statistik spearman rho correlation. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa

responden yang patuh dalam melaksanakan diet memiliki kualitas hidup baik

(18,2%), cukup patuh dalam melaksanakan diet memiliki kualitas hidup baik

(50,0%), dan tidak patuh dalam melakukan diet memiliki kualitas hidup kurang

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

43

(31,8%). Berdasarkan hasil uji statistik di peroleh hasil ada hubungan kepatuhan diet

dan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik dengan tingkat kemaknaan P value =

0,000 ( P < 0,05).

3. Mekanisme koping pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yemi ma G.V Wurara, Esrom Kanine,

dan Ferdinand Wowiling pada tahun 2013 dilakukan di Rumah sakit Prof.Dr.R.D

Kandou Manado dengan jumlah responden sebanyak 59 responden. Metode

penelitian yang digunakan penelitian ini adalah metode aksidental sampling yaitu

teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Teknik analisa data yang digunakan

yaitu analisa univariat. Hasil dari penelitian ini yaitu menunjukan bahwa responden

yang menggunakan koping adaptif 27 orang (45,8%), sedangkan yang menggunakan

koping maladaptif 32 orang (54,2%), maka dapat disimpulkan bahwa pasien penyakit

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis lebih banyak menggunakan

mekanisme koping maladaptif.

4. Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Retno Fidyawati dan Ari Susanti pada

tahun 2017 dilakukan di Rumkital Dr.Ramelan Surabaya dengan jumlah responden

sebanyak 107 responden. Metode penelitian yang digunakan yaitu observasional

analitik dengan pendekatan cross sectional. Analisis data penelitian ini menggunakan

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

44

Spearman’s Rho dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan

dukungan sosial keluarga kategori baik dengan kepatuhan diet kategori patuh sebesar

76,2%, sedangkan untuk dukungan sosial keluarga baik dengan kepatuhan diet

kategori cukup patuh sebesar 23.8%. Hasil uji Spearman’s Rho P=0,001 yang berarti

dukungan sosial keluarga berhubungan dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis di Rumkital Dr.Ramelan Surabaya.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...

45

2.7 Kerangka Teori

Sumber: Almatsier, (2010) . Baradero, et all, (2008) . Sunaryo (2010) . Potter & Perry (2010).

Setyaningsih, et all (2011)

Gagal Ginjal Kronik

Penurunan fungsi ginjal.

Disebabkan oleh penyakit

Glomerulofritis, Diabetes,

Hipertensi, dll.

Kepatuhan Pasien

Gagal Ginjal Kronik

Yang Menjalani

Hemodialisis Dalam

Melakukan Diet:

1. Cairan

2. Nutrisi

Mekanisme koping:

1. Koping Maladaptif

2. Koping Adaptif

Hemodialisis

Perubahan

Biopsikososiospiritual