BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 ...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Pengertian
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume
dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal
ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut. Gagal ginjal
kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat
(biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi
dalam beberapa hari atau minggu. (Amin & Hardi, 2015).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal (Setiati, et all 2015).
10
Gagal Ginjal Kronik adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus.
Individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan
pemakaian harian obat-obat analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan
gagal ginjal kronik. Apapun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif
yang ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009).
Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan gagal ginjal kronik
adalah suatu penyakit yang terjadi karena adanya kerusakan ginjal secara progresif
yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit. Hal ini ditandai dengan adanya
penurunan GFR.
2.1.2 Patofisiologi
Faktor penyebab (glomerulonefritis, diabetes militus, Hipertensi, dll) menyebabkan
sebagian nerfron mengalami kerusakan tetapi masih terdapat beberapa nefron termasuk
glomerulus dan tubulus yang berfungsi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi
mengalami hipertrofi dan mengahasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi
tubulus juga meningkat walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang.
Kompensasi nefron yang masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya
sampai tiga perempat nefron rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang
dapat di reabsorpsi dan mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan haus.
Akhirnya, nefron yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa metabolisme
tidak diekskresikan. Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak
seimbang, perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut.
11
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia
sel darah merah dan defisiensi nutrisi. Eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Jika produksi
eritropoietin menurun dapat mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan dan
sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar
serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya
meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
glomerulus maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya kadar serum
kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kelenjar paratiroid. Tetapi ginjal tidak merespon normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon, sehingga kalsium di tulang menurun menyebabkan terjadinya
perubahan tulang dan penyakit tulang
Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia; ginjal mengeluarkan
vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi. Uremic frosts adalah
kristal deposit yang tampak pada pori-pori kulit. Sisa metabolisme yang tidak dapat
diekskresikan oleh ginjal dieksresikan melalui kapiler kulit yang halus sehingga
tampak uremic frosts. Pasien dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat
dapat mengalami tremor otot, kesemutan betis dan kaki, perikarditis dan pleuritis.
Tanda ini dapat hilang apabila kegagalan ginjal ditangani dengan modifikasi diet,
medikasi, dan/atau dialisis.
(Baradero, et all. 2009) & (Nursalam & Batticaca, 2011).
12
2.1.3 Etiologi
Etiologi gagal ginjal kronik yaitu:
2.1.3.1 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal yang terjadi akibat proses inflamasi
glomerulus. Glomerulonefritis dapat terjadi karena infeksi bakteri dan virus. Jika
proses inflamasi terjadi secara terus menerus maka akan merusak nefron pada ginjal
(LeMone, 2015). Glomerulonefritis mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
glomerulotubular sehingga menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume
cairan ekstrasel (Jameson & Loscalzo, 2013).
2.1.3.2 Diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit berjangka panjang, maka apabila diabaikan
dapat menyebabkan komplikasi pada organ-organ salah satunya pada pembuluh
darah halus. Adanya kerusakan pembuluh darah halus di ginjal menimbulkan
kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah (Marsinta,
Refianti et all, 2014). Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemi sehingga menyebabkan viskositas darah meningkat, aliran
darah menjadi lambat, dan terjadi iskemik jaringan lama kelamaan menjadi gagal
ginjal kronik (Amin & Hardhi, 2015).
2.1.3.3 Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah. Hipertensi yang terjadi secara terus
menerus dapat mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah dan hilangnya fungsi
ginjal secara progresif (Baradero, et all, 2008). Hipertensi tidak hanya beresiko
13
tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti
penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Pada ginjal, hipertensi menyebabkan
terjadinya Vasokontriksi pebuluh darah ginjal yang mengakibatkan aliran darah ke
ginjal menurun sehingga RAA merespon untuk merangsang aldosteron sehingga
terjadi retensi natrium yang menyebabkan edema (Amin & Hardhi, 2015).
2.1.3.4 Obesitas
Obesitas merupakan penyabab terjadinya penyakit ginjal. Pada obesitas, ginjal
juga harus bekerja lebih keras menyaring darah lebih dari normal untuk memenuhi
kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat badan. Peningkatan fungsi ini
dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal kronik
dalam jangka panjang (InfoDatin, 2017).
2.1.4 Manifestasi klinis`
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik sebagai berikut:
2.1.4.1 Ketidakseimbangan elektrolit
Keseimbangan elektrolit dikacaukan oleh kerusakan ekskresi dan penggunaan
ginjal. Mekanisme yang berkontribusi terhadap hipokalsemia, konversi 25-
hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25-dihidroksikolekalseferol (penting untuk
menyerap kalsium) menurun sehingga mengakibatkan menurunnya penyerapan
kalsium intestinal. Pada waktu yang sama, fosfat tidak dikeluarkan, yang
mengakibatkan hiperfosfatemia (Black & Hawks, 2014). Ketika GFR turun dan
fungsi ginjal memburuk lebih lanjut, retensi natrium dan air biasa terjadi, yang
membutuhkan batasan garam dan air. Hiperkalemia berkembang saat gagal ginjal
14
semakin memburuk. Ekskresi fosfat juga rusak, menyebabkan hiperfosfatemia dan
hipokalsemia. Penurunan absorbsi kalsium akibat kerusakan aktivitasi vitamin D
juga menyebabkan hipokalsemia. (LeMone, et all, 2015).
2.1.4.2 Perubahan Metabolik
Pada gagal ginjal kronik, kadar BUN dan serum kreatinin meningkat karena produk
sisa metabolisme protein berakumulasi dalam darah. Kadar serum kreatinin adalah
pengukuran yang paling akurat akan fungsi ginjal. Asidosis metabolik terjadi karena
ketidakmampuan ginjal mengeluarkan ion hidrogen. Menurunnya penyerapan
kembali natrium bikarbonat dan menurunnya formasi dihidrogen fosfat dan amonia
berkontribusi pada masalah ini. Asidosis menekan hiperkalemia dan penyerapan
kembali kalsium tulang (Black & Hawks, 2014). Akumulasi produk sisa
metabolisme protein adalah faktor utama yang terlibat pada efek dan manifestasi
uremia. Kadar kreatinin serum dan BUN naik secara signifikan. Kadar asam urat
meningkat, menyebabkan peningkatan risiko gout. Kadar trigliserida darah tinggi
dan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) rendah dibanding normal menyebabkan
percepatan proses aterosklerosis (LeMone, et all, 2015).
2.1.4.3 Perubahan Hematologis
Dampak gagal ginjal yang utama pada hematologi adalah anemia. Anemia terjadi
karena ginjal tidak mampu memproduksi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal,
perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, & defisiensi asam folat (Setiati, et all, 2015). Jika anemia tidak
15
diobati maka kadar hematokrit menurun menjadi kurang dari 20%. Seringnya
kelelahan, lemas, dan dingin yang tidak tertoleransi menyertai anemia yang
menyebabkan diagnosis gagal ginjal (Black & Hawks, 2014).
2.1.4.4 Perubahan Gastrointestinal
Seluruh sistem gastrointestinal terkena dampak. Anoreksia, mual, muntah, ulserasi
dan perdarahan mulut, cegukan, konstipasi atau diare (Brunner & Suddarth, 2013).
Konstipasi sering diakibatkan oleh zat pengikat fosfat, pembatasan cairan, dan
makanan berserat tinggi (banyak yang kaya kalium dan fosfat), serta penurunan
aktivitas (Black & Hawks, 2014). Penyakit ulkus peptikum khususnya umum pada
pasien uremik. Fetor uremik, bau napas seperti urine seringkali dikaitkan dengan
rasa logam dalam mulut, dapat terjadi. Fetor uremik semakin dapat menyebabkan
anoreksia (LeMone, et all, 2015).
2.1.4.5 Perubahan imunologi
Uremia meningkatkan resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa metabolik tertahan
merusak semua aspek fungsi imun. Penurunan imunitas terjadi karena sel dan
humoral rusak, serta fungsi fagosit rusak (LeMone, et all, 2015). Rusaknya sistem
imun membuat klien lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa faktor terlibat,
termasuk menurunnya pembentukan antibodi humoral, supresi dari reaksi
hipersensitivitas yang melambat,dan menurunnya fungsi kemotaksis leukosit (Black
& Hawks, 2014).
16
2.1.4.6 Perubahan Kardiovaskuler
Manifestasi yang paling umum adalah hipertensi disebabkan karena adanya
stimulasi sistem renin-angiotensin, disritmia mungkin disebabkan oleh
hiperkalemia, asidosis, dan menurunnya perfusi koroner. arterosklerosis karena
adanya kelainan metabolisme karbohidrat dan lipid, rusaknya fibrinolisis (yang
mengakibatkan perkembangan mikroemboli) (Black & Hawks, 2014). Pada sistem
kardiovaskuler terjadi hipertensi, pitting edema (kaki dan tangan), edema
periorbital, pembesaran vena-venadi leher, perikarditis, hiperkalemia,
hiperlipidemia (Brunner & Suddarth, 2013).
2.1.4.7 Perubahan pernapasan
Pada sistem pernapasan ditandai dengan ronki basah, sputum yang kental dan
lengket, penurunan reflek batuk, nyeri pleura, sesak nafas, dan takipnea (Brunner &
Suddarth, 2013). Kelebihan cairan dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya
perubahan sistem pernapasan, seperti edema pulmonar. Asidosis metabolik
menyebabkan peningkatan kompensasi pada laju pernapasan karena paru bekerja
untuk membuang kelebihan ion hidrogen (Black & Hawks, 2014).
2.1.4.8 Perubahan Muskuloskeletal
Perubahan muskuloskeletal yang terjadi yaitu kram otot, kehilangan kekuatan otot,
osteodistrofi ginjal, nyeri tulang, & fraktur (Black & Hawks, 2014).
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia menstimulasi sekresi
hormon paratiroid. Hormon paratiroid menyebabkan peningkatan reabsorpsi
kalsium dari tulang. Reabsorpsi dan remodeling tulang ini, bersamaan dengan
17
penurunan sintesis vitamin D dan penurunan absorpsi kalsium dari saluran
gastrointestinal, menyebabkan osteodistrofi ginjal. osteodistrofi ditandai dengan
osteomalasia, pelunakan tulang, dan osteoporosis, penurunan massa tulang
(LeMone, et all, 2015).
2.1.4.9 Perubahan Integumen
Kulit juga sering kali kering dan gampang terkelupas, pruritus berat, ekimosis,
purpura, kuku rapuh, rambut kasar dan tipis (Brunner & Suddarth, 2013). Kulit
kering dengan turgor kulit buruk, akibat dehidrasi dan atrofi kelenjar keringat, umum
terjadi. Sisa metabolik yang tidak dieliminasi oleh ginjal oleh ginjal dapat
menumpuk di kulit, yang menyebabkan gatal atau pruritus (LeMone, et all, 2015).
2.1.5 Klasifikasi gagal ginjal kronik
Black & Hawks (2014), Klasifikasi national kidney foundation tentang penyakit gagal
ginjal kronik:
Tabel 2.1
Stadium Deskriptif GFR
1 kerusakan ginjal dengan tingkat filtrasi
glomerulus (GFR) normal
>90 ml/menit/1,73 mm2
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan
GFR ringan
60-89 ml/menit/1,73 mm2
3 Penurunan GFR sedang 30-59 ml/menit/1,73 mm2
4 Penurunan GFR parah 15-29 ml/menit/1,73 mm2
5 Gagal Ginjal Kronik <15 ml/menit/1,73 mm2
18
Setiati, et all (2015), Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR,
yang di hitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
GFR (ml/menit/1,73 mm2) = (140-umur) x berat badan
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
*) Pada perempuan dikalikan 0,85
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik, yaitu:
(Yasmara, Nursiswati, & Rosyidah, 2016)
2.1.6.1 Laboratorium:
2.1.6.1.1 Kadar BUN (normal:5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal: 0,5-1,5
mg/dL), natrium (normal: serum:135-145 mmol/L; urine: 40-220
mEq/L/24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L) meningkat.
2.1.6.1.2 Analisi gas darah arteri menunjukkan penurunan pH arteri (normal:
7,35-7,45) dan kadar bikarbonat (normal: 24-28 mEq/L)
2.1.6.1.3 Kadar Hematokrit (normal: wanita=36-46%; pria= 40-50%) dan
hemoglobin (normal: wanita= 12-16 g/dL;pria= 13,5-18 g/dL) rendag;
masa hidup sel darah merah berkurang
2.1.6.1.4 Muncul defek trombositopenia dan trombosit ringan
2.1.6.1.5 Terjadi hiperglikemia dan hipertrigliseridemia
19
2.1.6.1.6 Pasien mengalami proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukan
sedimentasi,leukosit, sel darah merah, dan kristal.
2.1.6.2 Radiografi KUB, urografi ekskretorik, nefrotomografi, scan ginjal, dan
arteriografi ginjal menunjukkan penurunan ukuran ginjal
2.1.6.3 Biopsi ginjal memungkinkan identifikasi histologi dari proses penyakit yang
mendasari
2.1.6.4 EEG menunjukkan dugaan perubahan ensefalopati metabolik
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD menurut Setiati, et all (2015):
2.1.7.1 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan GFR, sehingga pemburukkan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran
ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2.1.7.2 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan GFR pada
pasien gagal ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimpsed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain: gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik.
20
2.1.7.3 Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai di lakukan pada GFR <60 m/menit, sedangkan di
atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8 g/ kgbb/ hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kal/
kgbb/ hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dapat ditingkatkan.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, karena kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama di
ekskresikan melalui ginjal.
2.1.7.4 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang
penting, karena 40-45% kematian pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
2.1.7.5 Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien gagal ginjal kronik, sangat perlu di lakukan. Hal
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema, dan komplikasi kardiovaskuler.
Elektrolit yang harus di awasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang
fatal. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
21
2.1.7.6 Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada GGK stadium 5, yaitu pada GFR <15
ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal
atau transpalantasi ginjal.
Penatalaksanaan GGK yaitu sebagai berikut (Brunner & Suddart, 2013) :
2.1.7.1 Hiperfosfatemia dan hipokalsemia ditangani dengan obat yang dapat
mengikat fosfat dalam saluran cerna; semua agen pengikat harus diberika
bersama makanan.
2.1.7.2 Hipertensi di tangani dengan pengontrolan volume intravaskular dan obat
antihipertensi
2.1.7.3 Gagal jantung dan edema pulmonal ditangani dengan pembatasan cairan, diet
rendah natrium, diuresis, dan dialisis.
2.1.7.4 Asidosis metabolik diatasi, jika perlu, dengan suplemen natrium bikarbonat
atau dialisis
2.1.7.5 Anemia ditangani dengan rekombinan eritropoietin (Epogen); hemoglobin
dan hematokrit dipantau secara berkala.
2.1.7.6 Suplemen besi dapat diresepkan
2.1.7.7 Tekanan darah dan kalium serum dipantau secara terus menerus.
22
2.2 Hemodialisis
2.2.1 Pengertian
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, “dialisis” artinya pemisahan zat-
zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah melalui
proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa
mesin dialisis. Hemodialisis di kenal secara awam dengan istilah cuci darah (Yasmara,
Nursiswati, & Arafat, 2016).
Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif
ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semi
permeabel (ginjal buatan) (Muttaqin & Sari,2011 dalam Zurmeli, et al, 2012).
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang
terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh
pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme
untuk membawa darah pasien ke dan dari dializer (tempat terjadinya pertukaran cairan,
elektrolit, dan zat sisa tubuh) (Baradero, 2008).
Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan hemodialisis adalah
salah satu tindakan yang dilakukan oleh pasien gagal ginjal kronik untuk
mengeluarkan cairan atau toksin yang berlebih dalam darah dengan cara mengalirkan
darah ke alat dialiser untuk melalui proses penyaringan.
23
2.2.2 Tujuan Hemodialisis
Tujuan utama dari hemodialisis adalah mengendalikan ureum, kelebihan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik.
Hemodialisis terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme
tubuh, dan terutama pada penyakit GGK tahap akhir atau stadium 5. Jika tidak
dilakukan terapi pengganti ginjal maka pasien akan meninggal (Sasmita et al,2015).
Sedangkan menurut Rosdahl & Kowalski (2014), tujuan dialisis diantaranya
membuang produk sisa metabolisme protein dalam darah, membuang racun atau
toksin dalam darah, mengeluarkan cairan yang berlebihan, mempertahankan
keseimbangan asam basa.
2.2.3 Indikasi Hemodialisis
Setiati, et all (2015), Hemodialisis dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut:
2.2.3.1 Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan
2.2.3.2 Hiperkalemia yang refrakter (tidak berespon) terhadap restriksi diit dan terapi
farmakologi
2.2.3.3 Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat
2.2.3.4 Hiperfosfatemiayang refrakter terhadap retriksi diit dan terapi pengikat fosfat
2.2.3.5 Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi
2.2.3.6 Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab
yang jelas
2.2.3.7 Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual,
muntah.
24
2.2.3.8 Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah adanya
gangguan neurologis (Seperti neuropati, ensefalopati), pleuritis atau
perikarditis.
2.2.4 Komplikasi Hemodialisis
Hurst (2015), komplikasi pada hemodialisis yaitu sebagai berikut:
2.2.4.1 Perdarahan di area setelah hemodialisis yang di induksi oleh antikoagulasi
2.2.4.2 Infeksi di setiap akses vena
2.2.4.3 Alergi terhadap heparin memerlukan larutan pegganti yang memiliki
kandungan anti pembekuan (natrium sitrat)
2.2.4.4 Depresi dengan ide bunuh diri
2.2.4.5 Kegagalan akses dialisis: sebagian besar akses dialisis tersumbat
2.2.4.6 Perubahan tingkat kesadaran atau kejang jika BUN dan kreatinin menurun
terlalu cepat
Yasmara, Nursiswati,& Arafat. (2016), tindakan hemodialisis menyebabkan beberapa
komplikasi berikut:
2.2.4.1 Hipotensi
Hipotensi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada saat hemodiaisis
karena adanya kegagalan untuk menjaga volume plasma pada tingkat normal.
Hipotensi bisa disertai dengan gejala seperti kram, pusing, kelelahan yang
berlebihan, dan kelemahan, atau mungkin tidak menunjukkan gejala sama sekali.
25
2.2.4.2 Sakit dada
Sakit dada selama prosedur hemodialisis harus di curigai sebagai kegawatdaruratan
yang berhubungan dengan angina, infark miokard atau perikarditis.
2.2.4.3 Hipoksemia.
Selama hemodialisis, PaO2 turun menjadi sekitar 10-20 mmHg. Dialisat dengan
asetat dapat menyebabkan hipoksia dalam dua cara, pertama dengan meningkatnya
konsumsi oksigen selama konversi bikarbonat asetat dan kedua oleh hilangnya
intradialitik CO2.
2.2.4.4 Gatal-gatal
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami gatal-gatal pada kulit yang semakin
memburuk selama atau segera setelah hemodialisis. Faktor yang menyebabkannya
adalah kulit kering, deposit kristal kalsium-fosfor, alergi terhadap obat.
2.2.4.5 Anemia
Tidak memiliki cukup sel darah merah dalam darah adalah komplikasi umum dari
gagal ginjal dan hemodialisis. Gagal ginjal mengurangi produksi hormon yang
disebut eritropoietin, yang merangsang pembentukan sel darah merah.
2.2.4.6 Depresi
Perubahan suasana hati umum terjadi pada orang yang mengalami gagal ginjal.
pasien cenderung mengalami depresi dengan perilaku menolak pengobatan
termasuk terapi hemodialisis (Yasmara, Nursiswati,& Arafat, 2016). Walaupun
simptomatologi depresif sering di temukan pada pasien-pasien dialisis, sindrom
depresi klinis terdiri dari anhedonia dan perasaan sedih, tidak berguna, bersalah, dan
putus asa. Dan diikuti oleh gangguan tidur dan nafsu makan.
26
Depresi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain penurunan fungsi dari
organ tidur, kehilangan sumber nafkah, perubahan gaya hidup dan sebagainya
(Saraha, et all, 2013). Individu yang mengalami depresi dapat dilihat dari gejala
yang muncul yaitu sebagai berikut (Azahra, 2013) :
2.2.4.6.1 Manifestasi emosional, meliputi perubahan perasaan atau tingkah laku
yang merupakan akibat langsung dari keadaan emosi seperti penurunan
mood, tidak lagi merasakan kepuasan, lebih sering menangis, dan
hilangnya respon kegembiraan.
2.2.4.6.2 Manifestasi kognitif, meliputi harapan-harapan yang negatif, menyalahkan
serta mengkritik diri sendiri, tidak dapat membuat keputusan, distorsi
“body image” atau anggapan bahwa dirinya tidak menarik.
2.2.4.6.3 Manifestasi motivasional, meliputi menurunnya minat dan motivasi
terhadap aktivitas, ada dorongan untuk mengundurkan diri dari kegiatan,
lebih suka bersikap pasif dan ada kecenderungan untuk bergantung.
2.2.4.6.4 Manifestasi vegetatif-fisik, meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan
tidur dan mudah merasa lelah.
27
2.3 Mekanisme Koping
2.3.1 Pengertian
Koping tergantung pada kebutuhan individu. Usia individu dan latar belakang budaya
memengaruhi kebutuhan tersebut. Individu yang sama dapat berkoping secara berbeda
dari satu waktu ke waktu yang lain. Dalam situasi yang penuh tekanan, sebagian besar
individu menggunakan kombinasi koping berfokus pada masalah dan strategi koping
berfokus pada emosi. Dengan kata lain, ketika berada dalam tekanan, seseorang
memperoleh informasi dan mengambil tindakan untuk mengubah situasi, sama baiknya
dengan mengatur emosi yang terkait dengan stres. (Potter & Perry, 2010).
Mekanisme koping adalah semua upaya yang diarahkan untuk mengelola stress yang
dapat bersifat konstruktif atau destruktif. Mekanisme koping yang bersifat konstruktif
ketika ansietas digunakan sebagai tanda peringatan dan individu menerimanya sebagai
tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme koping yang destruktif
mematikan peringatan ansietas dan tidak menyelesaikan konflik, dan mungkin
menggunakan mekanisme koping yang menghindari resolusi (Keliat & Pasaribu, 2016)
Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan mekanisme koping
adalah suatu cara yang sering dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi suatu
masalah. Setiap orang mempunyai mekanisme koping berbeda beda, ada yang ingin
menyelesaikan masalah dengan berbagai cara dan ada juga yang membiarkan masalah
tersebut dan tidak ingin diselesaikan. Ketidak mampuan seseorang dalam
menyelesaikan masalah inilah yang menjadi masalah psikologis utama.
28
2.3.2 Jenis mekanisme koping
Koping dapat adaptif atau maladaptif. Koping adaptif membantu individu untuk
mengatasi stres secara efektif dan mengurangi distress yang ada. Koping maladaptif
dapat menghasilkan distress terhadap individu dan hal lain yang berhubungan dengan
individu (Agung, 2016 ).
Sunaryo (2010), koping adaptif adalah cara seorang individu untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau cara individu untuk dapat mengubah
lingkungan sesuai dengan keinginan dirinya. Sedangkan koping maladaptif adalah
ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan atau mencocokkan diri dengan
lingkungan tempat ia berada. Selain itu maladaptif juga merupakan bentuk
ketidakmampuan seseorang dalam berperilaku untuk menyesuaikan diri sehingga ia
tidak dapat mempertahankan eksistensinya,dan tidak mampu memperoleh
kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah.
Mekanisme koping pasien yang menjalani hemodialisis yaitu Koping maladaptif yang
dijumpai pasien sering mengingkari atau menyangkal, menangis, dan merasa takut
akan kematian (Sasmita, et al, 2015). Mekanisme koping adaptif pada pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis adalah mampu mengontrol emosi,
bercerita atau berbagi dengan orang lain, memecahkan masalah, menerima dukungan,
memiliki kewaspadaan yang tinggi, lebih perhatian pada masalah dan memiliki
pandangan yang luas (Wutun, et al, 2016).
29
Pada penelitian yang dilakukan oleh Armiyati & Rahayu (2014) pada pasien yang
menjalani hemodialisis mekanisme koping maladaptif ditunjukkan dengan masih
banyaknya responden yang selalu khawatir dengan kondisinya, tidak mau berbagi
dengan orang lain dan sering putus asa untuk melakukan pengobatan. Sedangkan
mekanisme koping yang adaptif dalam penelitian ini ditunjukan dengan upaya
pasien untuk mencoba berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi
yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi
atau masalah yang sedang dihadapi dengan meningkatkan keimanan seperti
melakukan kegiatan ibadah dan berdoa, melakukan latihan fisik untuk
mengurangi ketegangan, membuat berbagai alternatif tindakan untuk megurangi
situasi yang mengancam, dan mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.
2.3.3 Kategori mekanisme koping
Mekanisme koping dapat dikategorikan sebagai berfokus pada masalah atau tugas dan
berfokus pada emosi atau ego.
2.3.3.1 koping berfokus pada masalah atau tugas
mekanisme koping yang berfokus pada masalah atau tugas merupakan upaya yang
disengaja untuk memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan memuaskan
kebutuhan. Reaksi-reaksi ini mencakup:
2.3.3.1.1 Perilaku menyerang/agresif
Yaitu usaha seseorang mencoba untuk menghilangkan atau mengatasi hambatan
dalam rangka memenuhi kebutuhan. Banyak cara dapat dilakukan untuk
menyerang masalah, dan reaksi ini bersifat destruktif atau konstruktif. Pola
30
destruktif biasanya disertai dengan perasaan kemarahan dan permusuhan yang
sangat besar. Sedangkan pola konstruktif mencerminkan pendekatan pemecahan
masalah (Keliat & Pasaribu, 2016). Menurut Hidayat (2014), menyerang yaitu
bertindak menghilangkan, mengatasi stresor, atau memenuhi kebutuhan,
misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli. Pada pasien yang menjalani
hemodialisis pasien sering mengingkari atau menyangkal, menangis, dan
merasa takut akan kematian (Sasmita, et all, 2015). Selain itu juga ada pasien
yang mampu mengontrol emosi, bercerita atau berbagi dengan orang lain,
memecahkan masalah dan menerima dukungan (Wutun, et al, 2016). Sehingga
dari perilaku-perilaku tersebut sangat mempengaruhi kepatuhan diet pasien
dalam menjalani hemodialisis.
2.3.3.1.2 Perilaku menarik diri
Perilaku ini dapat dinyatakan secara fisik atau psikologis. Secara fisik, menarik
diri melibatkan penghindaran diri dari sumber ancaman. Reaksi ini dapat berlaku
untuk stresor biologis, seperti kamar penuh asap rokok, paparan radiasi atau
kontak dengan penyakit menular. Sedangkan cara psikologis, seperti dengan
mengakui kekalahan, menjadi apatis, atau menurunnya aspirasi dan partisipasi
(Keliat & Pasaribu, 2016). Pada pasien yang menjalani hemodialisis selalu
khawatir dengan kondisinya, tidak mau berbagi dengan orang lain dan sering
putus asa untuk melakukan pengobatan (Armiyati & Rahayu, 2014). Dalam
perilaku menarik diri ini pasien akan cenderung untuk kurang patuh pada dietnya
di karenakan sikap putus asa dan tidak mau berbagi dengan orang lain akan
mempengaruhi diet pasien tersebut.
31
2.3.3.1.3 Kompromi
Yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan, dan
sebagainya (Hidayat , 2014). Ha ini diperlukan dalam situasi yang tidak dapat
diselesaikan melalui serangan atau menarik diri. Reaksi kompromi biasanya
bersifat konstruktif dan sering digunakan dalam situasi pendekatan-pendekatan
dan penghindaran-penghindaran (Keliat & Pasaribu, 2016). Pada pasien yang
menjalani hemodialisis ada yang mencoba menghubungkan situasi atau masalah
yang sedang dihadapi dengan meningkatkan keimanan seperti melakuan kegiatan
ibadan dan berdoa, mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu, mencari
informasi yang lebih banyak tentang masalah yang di hadapi (Armiyati &
Rahayu, 2014). Dalam hal ini akan mempengaruhi kepatuhan diet pasien yang
menjalani hemodialisis akan lebih baik.
2.3.3.2 koping berfokus pada emosi atau ego
Keliat & Pasaribu (2016), mekanisme koping yang berfokus pada emosi atau ego
dikenal sebagai mekanisme pertahanan ego, melindungi orang dari perasaan tidak
mampu dan tidak berharga. Pertahanan ego terdiri dari:
2.3.3.2.1 Kompensasi : proses dimana seseorang menggunakan kelemahan yang
dirasakan dengan penekanan yang kuat atas ciri yang di anggap lebih
menyenangkan.
2.3.3.2.2 Pengingkaran : menghindari realitas yang tidak menyenangkan dengan
mengabaikan atau menolak untuk mengakuinya;mekanisme pertahanan
yang paling sederhana dan paling primitif dari semua mekanisme koping
32
2.3.3.2.3 Pengalihan : pengalihan emosi yang seharusnya diarahkan kepada objek
atau orang tertentu ke objek atau orang yang kurang berbahaya
2.3.3.2.4 Disosiasi : pemisahan dari proses kelompok jiwa atau perilaku dari sisa
kesadaran atau identitas orang tersebut.
2.3.3.2.5 Identifikasi : proses dimana orang mencoba untuk menjadi seperti
seseorang yang mereka kagumi dengan mengambil pikiran, tingkah laku,
atau selera orang itu.
2.3.3.2.6 Intelektualisasi : penalaran yang berlebihan atau logika yang digunakan
untuk menghindari pengalaman perasaan yang mengganggu.
2.3.3.2.7 Introjeksi : mengidentifikasi dengan kuat dimana seseorang
menggabungkan kualitas atau nilai-nilai orang lain atau kelompok lain
kedalam struktur egonya sendiri
2.3.3.2.8 Isolasi : memisahkan komponen emosional dari pikiran, yang mungkin
bersifat sementara atau jangka panjang.
2.3.3.2.9 Proyeksi: menghubungkan pikiran atau impuls ke orang lain. Melalui
proses ini seseorang dapat menghubungkan keinginan tak tertahankan,
perasaan emosional, atau motivasi kepada orang lain
2.3.3.2.10 Rasionalisasi : menawarkan penjelasan yang dapat diterima secara sosial
atau tampaknya logis untuk membenarkan atau membuatnya dapat di
terima walaupun impuls, perasaan, perilaku, dan motif tidak dapat
diterima.
2.3.3.2.11 Reaksi formasi : pengembangan pola sikap dan perilaku yang berlawanan
dengan apa yang benar-benar dirasakan atau ingin dilakukan.
33
2.3.3.2.12 Regresi : kemunduran karakteristik perilaku pada tingkat perkembangan
awal
2.3.3.2.13 Represi : penekanan secara tak sadar hal-hal yang menyakitkan atau
konflik pikiran,impuls, atau memori dari kesadaran. Mekanisme
pertahanan ini adalah pertahanan ego utama, dan mekanisme lainnya
cenderung memperkuatnya.
2.3.3.2.14 Disosiasi : mengamati orang dan situasi sebagai semua baik atau semua
buruk; gagal menginterpretasikan kualitas positif dan negatif dari diri
sendiri
2.3.3.2.15 Sublimasi: penerimaan tujuan pengganti yang disetujui secara sosial untuk
dorongan penyaluran ekspresi normal yang dihambat
2.3.3.2.16 Supresi : suatu proses yang sering didengar sebagai mekanisme
pertahanan, tapi sebenarnya adalah sama dengan represi yang disadari.
Hal ini merupakan penekanan yang disengaja terhadap hal-hal yang
disadari. Kadang-kadang hal itu dapat menyebabkan represi
2.3.3.2.17 Undoing: tindakan atau komunikasi yang sebagian meniadakan kejadian
sebelumnya.
34
2.3.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping pada pasien
hemodialisis (Agung, 2014):
2.3.4.1 Pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stress atau tidak.
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi pengontrolan terhadap stressor
lebih baik. Pada penelitian sebelumnya, menunjukan bahwa pada pasien yang
memiliki pendidikan rendah sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak
menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berpendidikan tinggi, sebagian
besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.
2.3.4.2 Jenis kelamin
Ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kontrol diri. Perempuan diberi
penghargaan atas sensitivitas, kelembutan, dan perasaan kasih, sedangkan laki-laki
di dorong untuk menonjolkan emosinya, juga menyembunyikan sisi lembut mereka
dan kebutuhan mereka akan kasih sayang dan kehangatan. Bagi sebagian laki-laki,
kemarahan adalah reaksi emosional terhadap rasa frustasi yang paling bisa di terima
secara luas. Dalam penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pada pasien yang
memiliki jenis kelamin laki-laki sebagian besar memiliki mekanisme koping
menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berjenis kelamin perempuan,
sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan.
35
2.3.4.3 Pengetahuan
pengetahuan mempengaruhi ketidakseimbangan antara koping individu dengan
banyaknya informasi yang tersedia dapat menghambat kesembuhan. Pada penelitian
sebelumnya, pasien yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian besar memiliki
mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang
berpengetahuan baik, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima
keadaan.
2.3.4.4 Harapan akan self-efficacy
Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan kita terhadap kemampuan
diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan tentang kemampuan diri
untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri
untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif. Dalam penelitian
sebelumnya, pasien yang memiliki harapan rendah, sebagian besar memiliki
mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang memiliki
harapan tinggi, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima
keadaan.
2.3.4.5 Dukungan sosial
Para peneliti percaya bahawa memiliki kontak sosial yang luas membantu
melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stress. Para peneliti di swedia dan
Amerika menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat dukungan sosial yang
lebih tinggi akan mengalami stress yang rendah ketika mengalami stres, dan mereka
akan mengatasi stress atau melakukan koping lebih baik. selain itu dukungan sosial
36
juga menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih rendah, mempercepat proses
penyembuhan ketika sakit. Dalam penelitian sebelumnya, pasien yang kurang
memiliki dukungan sosial, sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak
menerima keadaan. sedangkan pada pasien yang banyak memiliki dukungan sosial,
sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.
2.4 Kepatuhan Diet
2.4.1 Pengertian
Kepatuhan berarti pasien harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang
dibutuhkan seperti dalam pengaturan diet nutrisi maupun cairan (Potter & Perry,
2010). Diet merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Beberapa sumber diet yang
dianjurkan seperti karbohidrat, protein, kalsium, vitamin dan mineral, cairan, dan
lemak. Pentingnya pengaturan konsumsi pangan pasien gagal ginjal dilakukan untuk
membatu mengurangi kerja ginjal jika tidak di patuhi dapat meningkatkan angka
mortalitas pasien gagal ginjal (Panjaitan, et all, 2014). Menurut Yasmini, et all (2016)
kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien dalam mengambil suatu tindakan untuk
pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat dan ketepatan berobat. Kepatuhan
dalam mengurangi asupan cairan dan nutrisi bagi pasien hemodialisis merupakan hal
penting untuk diperhatikan, jika pasien tidak patuh akan terjadi penumpukkan zat-zat
berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam darah.
37
Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan kepatuhan diet pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah suatu perilaku yang
harus dilakukan oleh pasien untuk mengatur asupan nutrisi atau cairan yang masuk,
agar tidak memperburuk kondisi kesehatan pasien.
2.4.2 Tujuan terapi diet
Baradero, et all (2009), tujuan terapi diet pasien dialisis yaitu mengurangi sisa
metabolik yang harus dikeluarkan oleh ginjal, memberi kalori dan protein yang cukup,
mengurangi gangguan cairan dan elektrolit. Menurut Almatsier (2010), yaitu untuk
mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi agar
pasien dapat melakukan aktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,
menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan.
2.4.3 Pertimbangan nutrisi & bahan makanan yang harus di konsumsi pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
2.4.3.1 Pertimbangan nutrisi untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalanai dialisis
(Hurst, 2015):
2.4.3.1.1 Batasi asupan natrium (anjurkan 2 g /hari) Asupan natrium dibatasi untuk
mempertahankan volume cairan ekstraseluler pada kadar normal.
2.4.3.1.2 Batasi asupan kalium seperti buah, tomat, kentang , karena kalium tidak di
ekskresikan dan dapat terkumpul dalam darah
38
2.4.3.1.3 Batasi makanan yang mengandung fosfor seperti susu, keju, setiap
makanan tinggi protein, karena ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mengatur kadar fosfor.
2.4.3.1.4 Batasi protein, yang akan mengurangi produk sisa nitrogen berupa urea
dan kreatinin
2.4.4 Penatalaksanaan nutrisi dan cairan menurut (LeMone, 2015)
Mempertahankan nutrisi yang cukup dan mencegah kekurangan gizi kalori protein
adalah fokus penatalaksanaan nutrisi selama tahap awal CKD. Saat fungsi ginjal
menurun, eliminasi air, zat terlarut, dan sisa metabolik rusak. Akumulasi zat sisa ini
dalam tubuh menyebabkan gejala uremia. Modifikasi diet dapat memperlambat
perkembangan kerusakan nefron, menurunkan gejala uremia, dan membantu mencegah
komplikasi.
Tidak seperti karbohidrat dan lemak, tubuh tidak dapat menyimpan kelebihan protein.
Protein dalam makanan yang tidak dipakai dipecah menjadi urea dan sisa nitrogen
lainnya, yang kemudian di eliminasi oleh ginjal. Makanan kaya protein juga
mengandung ion anorganik seperti ion hidrogen, fosfat, dan sulfit yang dieliminasi
oleh ginjal.
Penatalaksanaan diet pasien hemodialisis menurut Almatsier, (2010):
2.4.4.1 Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB /hari, bila diperlukan penurunan berat
badan, harus dilakukan secara berangsur (250-500 g/minggu) untuk
mengurangi resiko katabolisme massa tubuh tanpa lemak.
39
2.4.4.2 Protein yang cukup, untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan
mengganti asam amino yang hilang selama dialisis, yaitu 1-1,2 g/kg BB/hari.
2.4.4.3 Karbohidrat cukup, yaitu 55-75% dari kebutuhan energi total.
2.4.4.4 Lemak normal, yaitu 15-30% dari kebutuhan energi total.
2.4.4.5 Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu, diberikan suplemen kalsium.
2.4.4.6 Fosfor dibatasi, yaitu <17 mg/kg BB /hari
2.4.4.7 Cairan dibatasi, yaitu jumlah urin/24 jam + IWL (±500 – 750 ml)
2.4.4.8 Suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin larut air seperti B6, asam
folat, dan vitamin C.
2.4.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet
Widiany, Fery L (2017) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet pada pasien
yang menjalani hemodialisis yaitu:
2.4.5.1 Pengetahuan
Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
suatu tindakan, perilaku yang didasarkan pengetahuan akan lebih baik dari pada
perilaku yang tidak didasarkan oleh pengetahuan. Klien menggunakan informasi
dan keterampilan untuk membuat keputusan tentang kapan waktu yang tepat untuk
dapat melaksanakan intervensi tertentu. Diluar tindakan hemodialisis, klien
diharapkan dapat mengikuti secara keseluruhan sesuai dengan yang telah
diresepkan, baik obat, diet khusus, keterbatasan cairan, dan perawatan vaskular.
40
2.4.5.2 Dukungan keluarga
Dukungan keluarga juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan,
diharapkan anggota keluarga mampu untuk meningkatkan dukungannya sehingga
ketidaktaatan terhadap program diet yang akan dilaksanakan lebih dapat dikurangi.
Riset telah menunjukkan bahwa jika kerjasama anggota keluarga sudah terjalin,
ketaatan terhadap program-program medis yang salah satunya adalah program diet
menjadi lebih tinggi. Responden yang memiliki dukungan keluarga yang baik dan
patuh dalam menjalankan diet disebabkan oleh fakror dukungan keluarga yang baik.
Hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan serta
dapat menentukan program pengobatan yang diterima.
2.4.5.3 Sikap
Sikap klien merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya perilaku, maka pasien
GGK yang menjalani terapi hemodialisis yang merasa terancam kesehatannya oleh
penyakit yang diderita dan kepercayaannya terhadap program diet hemodialisis
yang diberikan akan memunculkan sikap baik sehingga cenderung untuk lebih
patuh.
2.4.5.4 Perilaku
Perilaku seseorang dapat terbentuk yang dipengaruhi oleh faktor eksternal
(lingkungan fisik dan nonfisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, dan politik)
dan faktor internal (perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, dan sugesti).
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang diharapkan dapat berpengaruh
positif terhadap perilaku seseorang. Perilaku seseorang akan lebih patuh pada
41
dietnya apabila didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif.
Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran
maka untuk berperilaku patuh akan susah terbentuk.
2.5 Hubungan Mekanisme koping dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis
Pasien yang menjalani hemodialisis otomatis hidupnya bergantung pada mesin. Pola
hidup berubah seperti diet yang ketat, pembatasan cairan, dan kehilangan kebebasan
pribadinya. Pasien akan mengalami kejenuhan atau bosan akibatnya timbulah pikiran-
pikiran negatif, & perilaku yang maladaptif (Agung, 2015). Sehingga dibutuhkan
mekanisme koping untuk menghadapi masalah tersebut, mekanisme koping adalah cara
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan
perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam (Sasmita, et all, 2015).
Ketidakmampuan seseorang dalam menerapkan mekanisme koping yang baik maka
akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam melakukan diet. Secara umum, kepatuhan
didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,
mengikuti diet, dan melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi
pelayanan kesehatan. ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat
berdampak pada timbulnya malnutrisi (Widiany, 2017).
42
2.6 Penelitian Terkait
1. Hubungan penyebab stress dengan mekanisme koping pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Itun Minarti pada tahun 2015 dilakukan
di Rumah Sakit Premier Jatinegara Jakarta dengan jumlah responden sebanyak 84
Responden. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif
analitik dengan uji statistik Chi square. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan hasil
P value kondisi fisik 0,023 , P value psikolog 0,040 dan P value hubungan sosial
0,007 sehingga P value <0,05 maka Ho di tolak sehingga disimpulkan bahwa ada
hubungan penyebab stress dengan mekanisme koping pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis.
2. Hubungan kepatuhan diet dan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afissa Rahma Ayunda dan Dwi
Priyantini pada tahun 2017 dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo
dengan jumlah responden sebanyak 22 responden. Metode penelitian yang digunakan
penelitian ini adalah korelasi dengan rancangan penelitian cross-sectional yang di
ambil dengan teknik purposive sampling. Analisis data yang di gunakan yaitu uji
statistik spearman rho correlation. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
responden yang patuh dalam melaksanakan diet memiliki kualitas hidup baik
(18,2%), cukup patuh dalam melaksanakan diet memiliki kualitas hidup baik
(50,0%), dan tidak patuh dalam melakukan diet memiliki kualitas hidup kurang
43
(31,8%). Berdasarkan hasil uji statistik di peroleh hasil ada hubungan kepatuhan diet
dan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik dengan tingkat kemaknaan P value =
0,000 ( P < 0,05).
3. Mekanisme koping pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yemi ma G.V Wurara, Esrom Kanine,
dan Ferdinand Wowiling pada tahun 2013 dilakukan di Rumah sakit Prof.Dr.R.D
Kandou Manado dengan jumlah responden sebanyak 59 responden. Metode
penelitian yang digunakan penelitian ini adalah metode aksidental sampling yaitu
teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Teknik analisa data yang digunakan
yaitu analisa univariat. Hasil dari penelitian ini yaitu menunjukan bahwa responden
yang menggunakan koping adaptif 27 orang (45,8%), sedangkan yang menggunakan
koping maladaptif 32 orang (54,2%), maka dapat disimpulkan bahwa pasien penyakit
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis lebih banyak menggunakan
mekanisme koping maladaptif.
4. Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Retno Fidyawati dan Ari Susanti pada
tahun 2017 dilakukan di Rumkital Dr.Ramelan Surabaya dengan jumlah responden
sebanyak 107 responden. Metode penelitian yang digunakan yaitu observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional. Analisis data penelitian ini menggunakan
44
Spearman’s Rho dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan
dukungan sosial keluarga kategori baik dengan kepatuhan diet kategori patuh sebesar
76,2%, sedangkan untuk dukungan sosial keluarga baik dengan kepatuhan diet
kategori cukup patuh sebesar 23.8%. Hasil uji Spearman’s Rho P=0,001 yang berarti
dukungan sosial keluarga berhubungan dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis di Rumkital Dr.Ramelan Surabaya.
45
2.7 Kerangka Teori
Sumber: Almatsier, (2010) . Baradero, et all, (2008) . Sunaryo (2010) . Potter & Perry (2010).
Setyaningsih, et all (2011)
Gagal Ginjal Kronik
Penurunan fungsi ginjal.
Disebabkan oleh penyakit
Glomerulofritis, Diabetes,
Hipertensi, dll.
Kepatuhan Pasien
Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani
Hemodialisis Dalam
Melakukan Diet:
1. Cairan
2. Nutrisi
Mekanisme koping:
1. Koping Maladaptif
2. Koping Adaptif
Hemodialisis
Perubahan
Biopsikososiospiritual