BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/732/8/6. BAB II.pdf · 2) Atopi/alergi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/732/8/6. BAB II.pdf · 2) Atopi/alergi...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma
1. Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennnya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengise, sak napas, dada terasa berat dan batuk batuk terutama malam hari
dan dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (PDPI, 2003:6). Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi
(peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktifitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang
berupa mengik, batuk, sesak nafas, dan rasa berat di dada terutama pada
malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau
tanpa pengobatan (Depkes, 2009:4).
2. Patofisiologi Asma
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktifitas
bronkus. Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma non alergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin (PDPI, 2003:5).
3. Komordibitas Penyakit Asma
Komorbiditas adalah adanya satu atau lebih gangguan (penyakit) di
samping penyakit primer. Pada penderita asma biasanya sering di jumpai pula
komorbiditas atau penyakit penyerta. Penyakit komordibitas yang sering di
6
7
jumpai pada penderita asma adalah rinosinusitis, GERD, sleep apnea, depresi
dan ansientas, dan adanya komorbid ini dapat menurunkan kualitas hidup
pasien (Global Initiative For Atshma, 2017:62).
4. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor resiko asma di bedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan.
a. Faktor genetik
1) Hiperaktifitas
2) Atopi/alergi bronkus
3) Faktor yang memodifikasi penyakit genetic
4) Jenis kelamin
5) Ras/etnikFaktor lingkungan
b. Faktor lingkungan
1) Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, allernaria/jamur dll)
2) Alergen dluar ruangan (alternaria, tepung sari)
3) Makanan (buah penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur).
4) Obat-obat tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll).
5) Bahan yang mengiritasi (missal parfum, household spray, dan lain-lain)
(Depkes, 2008:7).
5. Gejala Asma
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan gejala awal berupa :
a. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan nafasnya
b. Sesak nafas
c. Batuk terutama pada malam atau dini hari
d. Dahak sulit keluar
e. Rasa berat didada
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa
yang termasuk gejala yang berat adalah :
a. Kesadaran menurun
b. Sianosis (kulit kebiruan, yang di mulai dari sekitar mulut)
8
c. Serangan batuk yang hebat
d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
(Direktorat Binfar, 2007:5).
6. Diagnosis
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik,
pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar
bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya
tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan
yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa
dengan spirometri atau peak expiratory flow meter (Direktorat Binfar, 2007:6).
B. Penggolongan Obat Asma
a. Adrenergik
Adrenergik dengan efek alfa + beta adalah bronkholidator terkuat dengan
kerja cepat tetapi singkat dan di gunakan untuk serangan asma hebat. Contoh:
obat golongan ini adalah adrenalin, efedrin, fenilpropanolamin (Tjay dan
Kirana, 2013:650) isoprenalin, orsiprenalin (IONI, 2017:213).
b. β2 mimetika
Zat-zat ini bekerja selektif terhadap reseptor β2 adrenergik dan praktis
tidak terhadap reseptor –β1. Contoh obat golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, fenoterol, prokaterol, klenbuterol, salmeterol, foemuterol (Tjay dan
Kirana, 2013:650).
c. Antikolinergika
Antikolinergika didalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara
system adrenergik terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan
akibat bronchokonstriksi. Antikolinergik membentuk reseptor muskarin dari
saraf-saraf menjadi dominan dengan efek brochodilatasi. Contoh obat
golongan ini adalah ipratropium, titropium, deptropium (Tjay dan Kirana,
2013:645).
d. Derivate-Xantin
Daya bronkhorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blockade reseptor
adenosine. Selain itu, teofillin seperti kromoglikat yaitu mencegah
9
meningkatnya hiperatifitas dan berdasarkan ini bekerja profilaktis. Contoh
obat golongan inilah teofilin dan aminifilin. (Tjay dan Kirana, 2013:646).
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti peradangan
dan gatal-gatal. Kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan allergen
melalui IgE dapat menyebebkan degranulasi mastcell, juga meningkatkan
kepekaan reseptor-β2 hingga efek β-mimetika diperkuat. Contoh obat untuk
golongan ini adalah hidrokortison, prednisone, dexametason, beklometason,
flutikason, dan budesonid, triamisolon, flunisolida. (Tjay dan Kirana, 2013)
Metilprednisolon, Mumetason furoat(IONI, 2017:227).
f. Mukolitik dan Ekspektoran
Mukolitik dan ekspektoran adalah obat yang mengurangi kekentalan
dahak. Mukolitik merombak mukoproteinnya dan ekpektoran dengan
mengencerkan dahak, sehingga pengeluarannya dipermudah. Obat ini dapat
meringankan perasaan sesak nafas dan terutama berguna pada serangan asma
hebat yang dapat mematikan bila sumbatan lender sedemikian kental tidak
dapat di keluarkan. Contoh obat golongan ini adalah asetilsistein, ,esna,
bromheksin, ambroxol, kaliumiodida dan ammonium klorida (Tjay dan
Kirana, 2013:664).
g. Antihistamin
Obat-obat ini memblokir reseptor-histamin dan dengan demikian
mencegah efek bronkonstriksinya, Antihistamin sangat efektif terhadap
sejumlah gejala rhinitis alergi, urticaria, kepekaan terhadap obat-obat (rash),
pruritus dan gigitan/sengatan serangga. Namun, efeknya pada asma umumnya
terbatas dan kurang memuaskan, karena antihistaminika tidak melawan efek
bronchokonstriksi dari mediator lain yang dilepaskan mastcell. Banyak
antihistaminika juga memiliki daya antikolinergis dan sedative, mungkin
inilah sebabnya mengapa kini masih agak banyak di gunakan pada terapi
pemeliharaan. Contoh obat golongan ini adalah ketotifen dan Oksatomida
(Tjay dan Kirana,2013:661).
10
h. Zat-zat Antileukortein
Pada pasien asma leukortein turut menimblkan bronchokonstriksi dan
eksresi mukus. Antagonis leukortein yang bekerja spesifik dan efektif pada
terapi pemeliharaan asma. Contoh obat golongan ini adalah zafirlukas,
montelukas (Tjay dan Kirana, 2013:649).
7. Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
c. Mengupayakan aktivitas normal termasuk olahraga
d. Menghindari efek samping obat
e. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
f. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma yaitu meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (Depkes, 2009:12-14).
Terapi asma ada dua, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
Terapi non farmakologi meliputi edukasi pasien, pengukuran peak flow meter,
identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus, pemberian oksigen, banyak
minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak, kontrol secara
teratur dan pola hidup sehat (penghentian merokok, menghindari kegemukan,
dan kegiatan fisik misalnya senam asma). Sedangkan terapi farmakologi
meliputi agonis β2, kortikosteroid inhalasi, modifier leukotrien, cromolin dan
nedokromil, teofilin, serta kortikosteroid oral (Depkes, 200912-14).
Penatalaksanaan asma terbagi menjadi dua yaitu terapi farmakologi dan
non farmakologi.
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada asma meliputi
11
1) β2 Agonis kerja pendek adalah bronkodilator paling efektif yang tersedia, β2 –
Adrenergik menstimulasi reseotor adrenergik mengaktifkan adrenal cylcase,
yang menghasilkan peningkatan adenosin siklik intraseluler monofosfat,
menghasilkan relaksasi otot polos, sel mast stabilisasi membran, dan stimulasi
otot rangka.
2) Pemberian aerosol meningkatkan bronkoselektifitas dan memberikan lebih
banyak respon cepat dan perlindungan yang lebih cepat dan perlindungan
yang lebih besar terhadap provokasi yang mendoron bronkospasme (misalkan,
olahraga, tantangan allergen) daripada sistemik administrasi.
3) Albuterol dan β2 selektif short-acting yang di hirup lainnya di indikasikan
untuk asma berat akut dan EIB. Perawatan rutin (empat kali sehari) tidak
meningkatkan kontrol gejala atas penggunaan sesuai kebutuhan.
4) Formoterol dan salmeterol adalah inhalasi β2-agonis kerja panjang untuk
tambahan jangka panjang kontrol untuk pasien dengan gejala yang sudah
menggunakan dosis rendah hingga sedang, kortikosteroid inhalasi sebelum
memajukan ke kortikosteroid inhalasi dosis menengah atau tinggi, agonis β2
kerja pendek harus dilanjutkan untuk eksaserbasi akut. Agen yang bekerja
lama tidak efektif untuk asma berat akut karena dapat memakan waktu hingga
20 menit untuk onset dan 1 hingga 4 jam untuk bronkodilasi maksimum.
5) Pada asma berat akut, nebulisasi terus-menerus dari agonis β2 kerja pendek
(mis., Albuterol) direkomendasikan untuk pasien yang memiliki respons yang
tidak memuaskan setelah tiga dosis (setiap 20 menit) agonis β2 aerosol dan
berpotensi untuk pasien yang datang pertama kali dengan nilai PEF atau FEV1
kurang dari 30% dari yang diperkirakan normal.
6) Agen agonis β2 inhalasi adalah pengobatan pilihan untuk EIB. Agen kerja
pendek memberikan perlindungan lengkap selama minimal 2 jam; agen jangka
panjang memberikan signifikan perlindungan selama 8 hingga 12 jam pada
awalnya, tetapi durasi menurun dengan kronis penggunaan reguler.
7) Pada asma nokturnal, agonis β2 inhalasi kerja jangka panjang lebih disukai
daripada oral, agonis β2 rilis berkelanjutan atau teofilin rilis berkelanjutan.
Namun, nokturnal asma dapat menjadi indikator pengobatan antiinflamasi
yang tidak memadai.
12
b. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada pasien asma meliputi
1) Pendidikan pasien dan pengajaran keterampilan manajemen diri harus menjadi
landasan program perawatan. Program manajemen diri meningkat kepatuhan
terhadap rejimen pengobatan, ketrampilan manajemen diri dan pengunaan
layanan kesehatan.
2) Pengukuran obstruksi airflow obstruktif dengan flow meter di rumah belum
tentu meningkatkan kesehatan pasien. NAEPP menganjurkan pengunaan
pemantauan DTP hanya untuk pasie dengan persisten asma parah yang
mengalami kesulitan obstruksi jalan nafas.
3) Menghindari pemicu alergi yang diketahui dapat meningkatkan gejala, seperti
mengurangi pengunaan obat-obatan, dan mengurangi BHR. Pemicu dari
lingkungan (misalkan, hewan) harus di hindari pada pasien yang sensitif dan
untuk perokok disarankan untuk berhenti merokok.
4) Pasien dengan asma yang berat harus menerima oksigen tambahan terapi
untuk mempertahankan oksigen arteri di atas 90%. Dehidrasi yang signifikan
harus di perbaiki, gravitaasi spesifik urin dapat memandu terapi pada anak-
anak, di antaranya penilaian hidrasi yang sulit (Diporo T Joseph et al, 2007:).
5) Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma.Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk:
a) Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendri)
b) Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma mandiri)
c) Meningkatkan kepuasan
d) Meningatkan rasa percaya diri
e) Meningjatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiiri
f) Membantu pasien adar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma bentuk pemberian edukasi
g) Komunikasi/nasehat saat berobat
h) Ceramah
i) Latihan/training
13
j) Supervise
k) Diskusi
l) Tukar menukar informasi
m) Leaflet,brosur,buku bacaan
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien,upaya meningkatkan
kepatuhan pasien dilakukan dengan:
a) Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan
tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien.
b) Tindak lanjut (follow-up) setiap kunjungan menilai ulang penanganan yang
diberikan dan bagaimana asien melakukannya. Bila mungkin kaitan dengan
perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal baru).
c) Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan membantu
pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma. Identifiksdi dan atasi
hambatan yang yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien
merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
d) Menanyakan kembali rencana penanganan yang disetujui bersama dan yang
akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
e) Mengajak keterlibatan keluarga.
f) Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosial
ekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma.
6) Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi(APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada:
a) Penanganan serangan akut digawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh
pasien di rumah.
b) Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
c) Pemantauan sehari-hari dirumah , idealnya dilakukan pada pasien asma
persisten usia diatas >5 tahun, terutama pada pasien.Setelah perawatan di
rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenala perburukan melalui gejala
padahal beresiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.
14
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantun
pengobatan seperti:
a) Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b) Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
c) Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau
penghentian obat
d) Memutuskan kapanpasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
e) Identifikasi dan mengendalikan factor pencetus
f) Pemberian oksigen
g) Banyak minu untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
h) Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat dapat dilakukan dengan cara penghentian merrokok
menghindari kegemukan,Kegiatan fisik misalnya senam asma (Direktorat
Binfar, 2007).
15
Sumber: Pharmacotherapy Hand Book Edisi 9: 824
Gambar 2.1 Bagan Penatalaksanaan Secara Farmakologi Asma Untuk Usia 5-11 Tahun.
intermitenasma
Asma persisten : pengobatan harian asma untuk usia 5-11 tahunKonsultasi dengan spesialis asma untuk langkah ke 4 atau perawatan yang lebih tinggi. Pertimbangkan konsultasi pada langkah ke 3
Langkah 1Lebih disukai
SABA prn
Langkah 2Lebih disukai
Dosis rendah ICSAlternatif
LTRA , Kromolin,Nedokromil, dan
teofilin
Langkah 3Lebih disukai
Dosis medium ICSAtau
Dosis rendah ICS +salahsatu LTRA
atau teofilin
Langkah 4Lebih disukaiDosis mediumICS +LABA
AtauDosis mediumICS + salahsatu
LTRA atauteofilin
Langkah 5Lebih disukai
Dosis tinggiICS +LABA
AtauDosis tinggi
ICS + salahsatuLTRA atau
teofilin
Langkah 6Lebih disukai
Dosis medium ICS+ LABA +
Kortikosteroid oralAtau
Dosis medium ICS+ salahsatu LTRA
atau teofilin +kortikosteroid oral
Tingkatkan jikaperlu (pertama,cek ketaatan ,
kontrollingkungan dan
kondisikomorbiditas
kurangipemakaian bilamemungkinkan(asma terkontrol
dengan baiksetidaknya 3
bulan
9
Nilaikontrol
Edukasi pasien dan kontrol lingkungan pada setiap langkahLangkah 2-4: Pertimbangan imunoterapi alergen SQ untuk pasien alergi
Keterangan: SABA ( short acting B2 Agonis)ICS ( Inhalasi kortikostaroid)LTRA (Leukotrine receptor antagonis)LABA (Long acting B2 AgonisSQ (Sufficiente quantitate
15
16
Sumber: Pharmacotherapy Hand Book Edisi 9:825
Gambar 2.2 Bagan Penatalaksanaan Secara Farmakologi Asma Untuk Usia > 12 Tahun dan Dewasa
intermitenasma
Asma persisten : pengobatan harian asma untuk usia >12 tahun dan dewasaKonsultasi dengan spesialis asma untuk langkah ke 4 atau perawatan yang lebih tinggi. Pertimbangkan konsultasi pada langkah ke 3
Langkah 1Lebih
disukaiSABA prn
Langkah 2Lebih disukai
Dosis rendah ICSAlternatifKromolin,
Nedokromil,LTRA dan
teofilin
Langkah 3Lebih disukai
Dosis medium ICSAtau
Dosis rendah ICS + LABAAlternatif
Dosis rendah ICS +salahsatu LTRA , teofilin
atau zileuton
Langkah 4Lebih disukaiDosis mediumICS +LABAAlternatif
Dosis mediumICS + salah satuLTRA, teofilinatau zileuton
Langkah 5Lebih disukai
Dosis tinggi ICS+LABA
DanPertimbangkan
penggunaanomalizumab
untuk pasien yangmemiliki alergi
Langkah 6Lebih disukai
Dosis medium ICS+ LABA +
Kortikosteroid oralDan
Pertimbangkanpenggunaan
omalizumab untukpasien yang
memiliki alergi
Tingkatkan jikaperlu (pertama,cek ketaatan ,
controllingkungan dan
kondisikomorbiditas
kurangipemakaian bila
memungkinkaan(asma terkontrol
dengan baiksetidaknya 3
bulan
9
Nilaikontrol
Edukasi pasien dan kontrol lingkungan pada setiap langkahLangkah 2-4: Pertimbangan imunoterapi alergen SQ untuk pasien alergi
Keterangan: SABA ( short acting B2 Agonis)ICS ( Inhalasi kortikostaroid)LTRA (Leukotrine receptor antagonis)LABA (Long acting B2 AgonisSQ (Sufficiente quantitate
16
17
B. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas
glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang
sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein
dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek terhadap
pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Namun, secara umum
efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme
karbohidrat dan efek antiinflamasi (Aprianto, 2016:13)
Kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi di saluran napas, termasuk
eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan
menghambat penarikan sel inflamasi ke saluran napas dan menghambat
keberadaan sel inflamasi di saluran napas. Oleh karena itu, kortikosteroid
mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, sehingga berdampak pada
berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular, penurunan
produksi mukus dan peningkatan respon β-adrenergik (Ikawati Z, 2006:78).
1. Pengunaan kortikosteroid pada Asma Bronkial
Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid dosis
besar harus segera di berikan metil prednisolon-na-suksinat 60-100 m setiap 6
jam dapat diberikan secara IV. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberian
prednison oral 40-60 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap sampai hari ke-10
terapi dapat dihentikan. Terapi non steroid dapat diberikan setelah keadaan
mereda.
Eksaserbasi akut asma dapat diatasi dengan prednison 30mg, 2 kali sehari
selama 5 hari kemudian bila masih perlu dapat diperpanjang 1 minggu dengan
dosis yang lebih rendah. Bila pemberian obat anti-asma lain memberikan
respons yang baik, kortikosteroid dapat dihentikan dengan cara yang benar.
Gejala supresi fungsi adrenal dapat timbul dalam waktu 1-2 minggu,
tergantung besar dosis. Saat ini hampir semua asma dapat diatasi dengan
kortikosteroid inhalasi.
Pasien yang sedang menggunakan glukokortikoid oral harus menurunkan
dosis secara bertahap, bila akan memulai dengan inhalasi beklometason.
Inhalasi ini sering menyebabkan kandidias orofaringstanpa gejala, pencegahan
18
diupayakan dengan berkumur tiap kali sesudah pemakaian (Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, 522).
2. Terapi Kortikosteroid
a. Terapi inhalasi
Konsep-konsep baru tentang patogenesis asma dan hiperraktivitas bronkus
mengarah pada peradangan saluran nafas dengan mekanisme kausatif sentral.
Karena itu kortikosteroid inhalasi telah menjadi mode utama untuk terapi
pasien asma sedang hingga berat. Penggunaan jangka panjang kortikosteroid
inhalasi menurunkan keadaan hiperresponsif saluran napas. Diantara agen-
agen yang ada, beklometason dan budesonid mempunyai rasio resiko
menguntungkan yang lebih baik dari pada triamsinolon atau flunisolid. Pada
umumnya, kemanjuran klinik beklometason dan budesonik tanpak serupa
sementara budesonik mungkin mempunyai efek-efek sistemik yang lebih
sedikit, terutama pada dosis yang lebih tinggi.
Steroid inhalasi dosis tinggi merupakan metode yang disukai untuk
mengobati asma kronis berat. Terapi steroid oral sering dapat di hindari atau
dihentikan dengan terapi inhalasi dosis tinggi (>1.000μg/hari) atau, kalau
diperlukaan sediaan kombinasi streroid inhalasi dan oral. Keduannya dapat di
titrasi untuk mendapatkan dosis yang efektif yang terendah, sehingga didapat
keseimbangan yang lebih baik anatara efek-efek anti asma dan efek
sistemiknnya (Farmakologi & Terapi Pediatri, 336-337).
b. Steroid oral
Kortikoid-kortikoid yang diberikan secara oral akan terus mepunyai
peran dalam penangan pasien asma kronis berat. Penggunaan steroid sejak dini
yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal atau dengan dosis yang
semakin menurun biasannya menimbulkan remisi gejala dengan cepat dan
perawatan di rumah sakit sering tidak diperlukan (Farmakologi & Terapi
Pediatri, 337).
f. Mekanisme kerja
Kortikosteroid berkerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis prtein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang
19
spesifik salam sitoplasma sel dan membentuk kompleks resptor-steroid.
Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju
nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi protein ini yang akan
menghasilkan efek fisiologi steroid.
Pada beberapa jaringan, misalkan hepar, hormon steroid merangsang
tranksripsi dan sintesis protein spesifik pada jaringan lain, mislkan sel limfoid
dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik (Departemen Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI,
511).
g. Indikasi
Terapi pemeliharan dan profilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan kortikosteroid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan
dari penggunaan dosis sitemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi
profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak
diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator
dan obat non steroid lain, pasien yang kadang-kadang mengunakan
kortikosteroid sistemik atau terapi bronchitis non asma (Direktorat Binfar,
2007:40).
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Penggunaan Kortikosteroid
Nama obat Bentuk sediaan DosisDeksametason Tablet Anak-anak
Dewasa
0,5mg-2mg/kg 1hari pakai
0,57-9 mg dalam 2-4 dosis terbagiMetilprednisolon
Tablet Anak- anak
Dewasa
0,117-1,60 mg/kg berat badansetiap hari dalam 4 dosis terbagi
2-60 mg dalam 2-4 dosis berbagiPrednisolon Tablet anak-anak
Dewasa
Untuk asma kurang ≤ 12 tahun 1-2mg perhari setiap 12 jam untuk3-10 hari.
5mg-60mg dalam 4 dosis terbagiTriamsinolon Aerosol oral Anak-anak
Dewasa
0,11-1,6 mg/kg perhari, 3-4 kali
2 inhalasi (kira-kira 200 mcg) 3sampai 4 kali sehari atau 4 ihalasi(400mcg) 2 kali sehari . dosisharian maksimum adalah 16inhalasi (1600 mcg)
20
Nama Obat Bentuk Sediaan DosisBeklometason Aerosol oral Dewasa dan
Anak-anak >12 tahun
Anak 5-11tahun
Pasien yang sebelumnnyamenjalankan terapi asma denganbronkodilator saja 40-80 mcgsehari.Pasien yang sebelumnnya
menjalani terapi asma dengankortikosteroid inhalasi : 40-160mcg sehariPasien yang sebelumnnyamenjalani terapi asma denganbronkodilator saja : 40 mcg sehari.Pasien yang sebelumnnyamenjalani terapi asma dengankortikosteroid inhalasi : 40 mcgsehari.
Budesonid Serbuk dansuspense untukinhalasi
Anak-anak>12 tahun
menjalani terap asma denganbronkodilator saja :200 mcgsehari. Pasien yang sebelumnnyamenjalankan terapi asma dengankortikosteroid inhalasi : 200 mcgsehari. Pasien yang sebelumnnyamenjalankan terapi asma dengankortikosteroid oral : dosismaksimum 400 mcg dua kalisehari
Flutikason Aerosol Usia > 12tahun
Inhaler , 44mcg/1x semprot, 110dan 220Inhaler powder, 50 mcg/1xsemprot, 100 dan 250. Pemakiantiap 12 jam.
Flunisolid Aerosol Anak 6-12tahun>12 tahun
1x semprot (180 mcg)
2x semprot (160 mcg)Mometason Aerosol Dewasa
Anak 4-11tahun≥12 tahun
1x setiap sore (110 mcg/semprot)1x setiap sore (220mcg/semprot)
Sumber : Direktorat Bina Farmasi, 2007:40-45 & Medscape
h. Kontraindikasi
Pemberian dosis tunggal besar bila di perlukan selalu dapat dibenarkan,
keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatife dapat
dilupakan, terutama pada keaadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat
akan di berikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi
relatife yaitu diabetes militus, tukak peptic atau duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan system radio vascular lain patut dapat diperhatikan.
Dalam hal yang terakhir dibutuhkan pertimbangan matang anata resiko
21
keuntungan sebelum di berikan (Departemen Farmakologi Dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran UI, 2016).
i. Efek samping
Efek samping lokal iritasi tenggoroka, suara serak, batuk, mulut kering,
ruam, napas berbunyi, edma wajah dan sindrom. Sistemik berupa depresi
fungsi Hypothalamic pituitary-Adrenal (HPA). Terjadinya kematian yang
disebabkan oleh insufisiensi adrenal dan setelah terjadinya peralihan dan
kortikosteroid sistemik ke aerosol (Departemen Farmakologi Dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran UI, 524).
a. Beclomethason efek samping terjadi pada 3 % pasien atau lebih, seperti sakit
kepala, kongesti nasal, dismenorea, dispepsia, rhinitis, faringitis, batuk, infeksi
saluran pernapasan atas, infeksi virus dan sinusitis.
b. Budesonid efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, seperti nyeri, sakit
punggung, infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk,
konjungtivis, sakit kepala, rhinitis, epistaksis , otitis media, infeksi telinga,
infeksi virus, gejala flu, perubahan suara .
c. Flunisolid efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien seperti palpitasi,
nyeri dada, pusing, iritabilitas, nervous, limbung, mual, muntah, anoreksia,
nyeri dada, infeksi saluran pernapasan atas , kongesti hidung dan sinus.
Pengecapan tidak enak, kehilangan indra penciuman dan pengecapan, edema,
demam, gangguan menstruasi, eksim, gatal-gatal/pruritis, ruam, sakit
tenggorokan, diare, lambung sakit, flu, kandidiasis oral, sakit kepala, rhinitis,
sinusitis, gejala demam, hidung berair, sinusitis, infeksi/kerusakan pada sinus,
suara serak, timbul sputum, pernapasan berbunyi, batuk, bersin dan infeksi
telinga.
d. Flutikason efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien seperti sakit kepala,
faringitis, kongesti hidung, sinusitis, thinitis, infeksi saluran pernapasan atas,
influenza, kandidiasis oral, diare, disfonia, gangguan menstruasi, hidung
berair, rhinitis alergi dan demam.
e. Triamsinolon reaksi efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien seperti
faringitis, sindrom flu, sakit kepala dan sakit punggung (Direktorat Binfar,
2007:19)
22
j. Kontra Indikasi
Bronkospasma akut yang membaik, terapi utama pada status asmatikus,
atau episode asma akut lain yang memerlukan tindakan intensif, hipersensif
terhadap beberapa komponen, infeksi jamursistemik, kultur sputum
menunjukkan hasil positif untuk Candida albicans (Direktorat Binfar,
2007:44).
k. Peringatan
Infeksi terjadi jamur lokal yang disebabkan oleh Candida albicans atau
Apergillus niger pada mulut, faring, dan secara umum pada laring. Kejadian
infeksi secara klinik masih rendah dan mungkin memerlukan terapi anti jamur
atau penghentian terapi aerosol steroid. Penggunaan kortikosteroid inhalasi
harus disertai perhatian, termasuk pada pasien dengan infeksi TB saluran
pernapasan pasif atau aktif, infeksi bakteri, parasit atau virus, atau herpes
simpleks okular.
Asma akut golongan kortikosteroid bukan merupakan bronkodilator dan
tidak digunakan untuk menghilangkan bronkopasma parah. Bronkopasma
dapat terjadi dengan peningkatan mengik (napas berbunyi) setelah pemberian
obat, obati segera dengan bronkodilator inhalasi kerja cepat. Kombinasi
dengan prednisolon terapi kombinasi dari kortikosteroid inhalasi dengan
kostikoseroid sistemik akan meningkatkan risiko supresi HPA, dibandingkan
terapi dengan salah satu obat saja. Penggunaan kortikosteroid inhalasi disertai
perhatian pada pasien yang telah menerima prednison.
Terapi Pengganti perpindahan dari terapi steroid dapat menyebabkan
kekambuhan kondisi alergi yang sebelumnnya ditekan. Selama penghentian
terapi steroid oral ,beberpa pasien mungkin mengalam gejala-gejala tertentu
yang berhubungan dengan penghentian obat tanpa mempengaruhi efek fungsi
pernapasan pada dosis pemeliharaan atau perawatan. Belum ada informasi
yang memadai tentang keamanan penggunaan flutikason dan beklometason
pada anak-anak kurang dari 6 tahun kurang dari 12 tahun. Monitor
pertumbuhan anak-anak dan remaja karena ada bukti bahwa penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi pada waktu lama akan menekan pertumbuhan
(Direktorat Binfar, 2007:44).
23
l. Perhatian
Penghentian steroid, selama penghentian steroid oral ,beberpa pasien
mungkin mengalami gejala penghentian terapi aktif dengan steroid sistemik
(seperti contoh : sakit sendi atau otot, lelah, depresi) tanpa mempengruhi efek
fungsi dari pernapasan pada dosis pemeliharaan atau perawatan. Meskipun
gejala ini bersifat sementara dan tidak parah dapat menimbulkan keparahan
dan bahkan kekambuhan asma jika dosis kortikosteroid sebelumnnya melebihi
dosis prednisone 10 mg/hari atau ekivalen
Suspensi HPA, pada pasien yang responsif, kotikosteroid inhalasi
memerlukan kontrol gejala asma dengan suspense HPA yang rendah. Karena
obat-obat ini diabsorbsi dan bersifat aktif secara sistemik,efek yang
bermanfaat dalam meminimaliskan atau mencegah disfungsi HPA hanya
mungkin jika dosis yang direkomendasikan tidak dilampaui. Observasi pasien
stelah pemakaian atau selama terjadi penurunan fungsi adrenal.
Flunisolid ada kemungkinan absorpsi sistemik yang lebih tinggi, monitor
pasien yang menggunakan flunisolid (ada beberapa bukti terjadi efek steroid
sistemik). Jika hal ini terjadi, hentikan penggunaan obat secara perlahan,
sesuai dengan prosedur penghentian kortikosteroid oral. Jika flunisolid
digunakan dalam waktu yang lama dengan dosis 2 mg/hari, monitoring pasien
secara periodik terhadap efek HPA.
Jarang terjadi khasus glukoma, peningkatan tekanan intraocular dan
katarak juga terjadi setelah pemberian kortikosteroid inhalasi. Efek jangka
panjang, Efek pemakain glukokortikoid inhalasi belum diketahui. Meski
belum ada bukti klinik terjadinya efek samping,efek lokal dan sistemik dari
proses imunologi pada mulut, faring, trakea, dan paru-paru belum diketahui.
Belum ada informasi tentang efek akut, berulang atau kronik pada infeksi
paru-paru (termasuk tuberculosis akut atau tidak aktif) atau efek pada paru-
paru atau jaringan lain akibat penggunaan yang lama.
Paru-paru, Infiltrasi paru-paru dengan eosinofila mungkin terjadi pada
penggunaan beklometason atau flunisolid. Hambatan pada kecepatan
pertumbuhan, ikuti pertumbuhan pda remaja setelah penggunaan kotikosteroid
24
dan pertimbangkan manfaat terapi kortikosteroid dan pengendalian asma
terhadap kemungkinan terjadi hambatan pertumbuhan.
(Direktorat Binfar, 2007:45).
m. Potensi Interaksi Secara Umum
a. Kortikosteroida-Atazolamida (Diamox)
Kombinasi ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan terlalu banyak kalium
dan menahan terlalu banyak natrium.
b. Kortikosteroida-Antasida (yang mengandung magnesium)
Kombinasi ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan terlalu banyak kalium
dan menahan terlalu banyak natrium.
c. Kortikosteroid-Anti koagulan
Efek antikoagulan dapat berkurang, antikoagulan di gunakan untuk
mengencerkan darah dan mencegah terjadinya pembekuan, akibatnya darah
tetap membeku walau pasien diberi antikoagulan.
d. Kortikosteroid-Aspirin
Efek aspirin dapat berkurang, aspirin adalah analgetika golongan salisilat yang
juga berhasiat mengurangi demam dan radang.
e. Kortikosteroida-Barbiturat
Efek kortikosteroida dapat berkurang, Barbiturat digunakan sebagai sedativa
atau obat tidur.
n. Kortikosteroida-Obat Diabetes
Efek obat diabetes dapat berkurang, obat diabetes digunakan untuk
menurunkan kadar gula pada penderita diabetes, akibatnya kadar gula darah
tetap tinggi.
o. Kortikosteroida-Digitalis
Efek digitalis dapat meningkat, digitalis digunakan untuk mengobati layu
jantung dan untuk mengembalikan denyut jantung yang tak teratur ke denyut
normal. Akibatnya, dapat terjadi denyut jantung yang tidak teratur akibat
terlalu banyak digitalis. Obat digitalis yang paling banyak digunakan adalah
lanoxin.
25
p. Kortikosteroid-Deuretika
Kombinasi ini dapat menyebabkan tubuh terlalu banya kehilangan kalium dan
menahan terlalu banyak natrium.
q. Kortikosteroida-Indometasin (indocin)
Efek merugikan dari masing-obat dapat meningkat. Akibatnya meningkatnya
risiko pendarahan lambuung dan pembentukan tukak.
r. Kortikosteroida-Pencahar
Kombinasai ini dapat menyebabkan tubuh terlalu banyak kehilangan kalium
dan menahan terlalu banyak natrium.
s. Kortikosteroida-Levodopa
Kombinasi ini dapat menyebabkan tubuh terlalu banyak kehilangan kalium
dan menahan terlalu banyak natrium.
t. Kortikosteroida-Fenitoin (dilantin)
Efek kortikosteroida dapat berkurang. Fenitoin digunakan untuk
mengendalikan kejang pada kelainan seperti ayan, dua obat sejenis fenitoin
adalah mesantoin (mefenitoin) dan peganone (etotoin).
u. Kortikosteroida-Primidon (mysoline)
Efek kortikosteroida dapat berkurang, primidon di gunakan pada kelainan
seperti ayan.
v. Kortikosteroida-Rifampin (Rifadin, Rimactane)
Efek kortikosteroida dapat berkurang. Rifamin digunakan pada pengobatan
tuberculosis dan diberikan pada pasien yang diduga mengidap meningitis.
w. Kortikosteroida-vaksin cacar
Kombinasi ini dapat menyebabkn meningkatnya kepekaan terhadap infeksi
karena sistem kekebalan tubuh tertekan, ini dapat mengakibatkan infeksi
berbahaya dan mematikan. Interaksi ini dapat pula terjadi dengan sediaan
kortikosteroid tapikal (Harknes Richard, 1989).
C. Formularium
1. Definisi Formularium
Formularium adalah dokumen berisi kumpulan produk obat yang dipilih
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) disertai informasi tambahan penting tentang
26
penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan prosedur berkaitan obat yang
relevan untuk rumah sakit tersebut, yang terus menerus direvisi agar selalu
akomodatif bagi kepentingan penderita dan staf profesional pelayanan
kesehatan, berdasarkan data konsumtif dan data morbiditas serta pertimbangan
klinik staf medik rumah sakit itu. Karena formularium itu merupakan sarana
bagi staf medik, Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dan perawat
menggunakan sistem tersebut adalah penting bahwa formularium harus
lengkap, ringkas, dan mudah digunakan (Siregar, 2003:25-49).
2. Formularium Nasional
Formularium Nasional (Fornas) adalah daftar obat yang disusun
berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh komite nasional penyusunan fornas.
Obat yang masuk dalam daftar obat Fornas adalah obat yang paling berkhasiat,
aman, dan dengan harga terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai
acuan untuk penulisan resep dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Selain itu, fornas adalah bagian dari sistem jaminan sosial nasional (SJSN).
Oleh karena itu, perlu disusun suatu daftar obat yang digunakan sebagai acuan
nasional penggunaan obat dalam pelayanan kesehatan SJSN untuk menjamin
aksesibilitas keterjangkauan dan penggunaan obat secara nasional dalam
formularium nasional (Depkes, 2013:59).
3. Formularium Rumah Sakit
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, formularium rumah sakit disusun
mengacu kepada formularium nasional. Formularium rumah sakit merupakan
daftar obat yang disepakati staf medis, disusun oleh komite/tim farmasi dan
terapi yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit.
4. Pedoman Penyusunan Formularium
Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada
dokter, apoteker, perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam
menerapkan system formularium meliputi:
a. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
27
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung sistem
formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan terapi.
b. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan
tiap-tiap institusi.
c. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh
panitia farmasi dan terapi untuk menguasai sistem formularium yang
dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi.
d. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi
farmasi.
e. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek
terapinya sama, seperti:
1) Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang
sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta.
2) Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus
didasarkan pada pertimbangan farmakologi danterapi.
3) Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat
dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter
untuk mendiagnosa dan mengobati pasien (Depkes RI, 2006:56).
D. Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU No. 44/2009).
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tugas dan fungsi
rumah sakit adalah :
a. Tugas Rumah Sakit
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.
28
b. Fungsi Rumah Sakit
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud, Rumah Sakit
mempunyai fungsi :
1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
3) Penyelenggaraan pendididkan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayaann kesehatan; dan
4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
3. Jenis Rumah Sakit
Berdasarkan UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit
dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya.Berdasarkan
jenis pelayannan yang diberikan , Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah
Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
a. Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud memberikan pelayanan kesehatan
kepada semua bidang dan jenis penyakit.
b. Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah
Sakit publik dan Rumah Sakit privat.
a. Rumah Sakit publik sebagaimana dimaksud dapat dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba.
b. Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.
4. Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Provinsi Lampung merupakan rumah
sakit swasta kelas C. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis terbatas. Rumah sakit ini juga menampung
29
pelayananrujukan dari puskesmas. Rumah sakit ini menyelenggarakan
pelayanan pengobatan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.
Rawat jalan adalah pelayanan medis kepada seorang pasien untuk
tujuan pengamatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan
kesehatan lainnya, tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat inap.
Keuntungannya, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menginap
(opname). Dalam pelayanan pasien rawat jalan terdapat pasien dari IGD dan
poliklinik dengan pembiayaan umum dan BPJS (JKN). Pasien umum adalah
pasien yang pembiayaan nya ditanggung sendiri, sedangkan pasien BPJS
adalah pasien yang pembiayaannya ditanggung oleh BPJS.
30
E. Kerangka teori
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Asma
Non FarmakologiFarmakologi
Obat Asma1. Adrenergik
- Adrenalin - Efedrin- Fenilpropanolamin - Isoprenalin- Orsiprenalin
2. Β2 Mimetika- Salbutamol - Terbutalin- Fenoterol Prokaterol - Klenbuterol- Salmeterol - Formuterol
3. Antikolinergika- Iproptropium - Titropium- Deptropium
4. Derivat-Xantin- Teofilin- Aminifilin
5. Mukolitik Dan Ekspektoran- Asetilsistein - Amroxol- Bromheksin - Kalium Iodide- Kalium Iodide - Mesna
6. Anti Histamin- Ketotifen- Oksatomida
7. Kortikosteroid- Deksametason - Metil
Prednisolon- Prednisolon - Triamsinolon- Beklometason - Budesonid- Flutikason - Flunisolid- Mometason
8. Antileukortein- Zafirlukas - Montelukas
1. Fakor sosio-demografia. Usiab. Jenis kelaminc. Komobiditas
2. FormulariumRumah Sakit
3. Sediaan Obata. Inhalasib. Oral
1.Ketepatanpenggunaanobata. Dosisb. Aturan
Pakaic. Pemilihan
Obat2.Interaksi
obat
Penatalaksanaan
31
F. Kerangka konsep
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
1. Karakteristik pasien pasien asmaberdasarkan rentang jenis kelamin,usia, dan komorbiditas.
2. Kortikosteroid yang di gunakan
3. Bentuk sediaan kortikosteroid yang digunakan.
4. Obat lain selain kortikosteroid yang digunakan.
5. Potensi interaksi obat kortikosteroid
6. Ketepatan penggunaan obatkortikosteroid berdasarkan dosis,aturan pakai dan pemilihan obat.
7. Kesesuaian obat dengan formulariumRumah Sakit.
Gambaran penggunaan obatkortikosteroid pada pasien asma
32
G. Definisi Operasional
Tabel 2.2 Definisi Oprasional
NO VariabelDefinisi
OperasionalCara ukur
Alatukur
Hasil ukurSkalaUkur
1 KarakteristikSosio-DemografiPasienberdasarkan:
- - - - -
a. Jenis Kelamin Sifat jasmaniatau rohaniyangmembedakandua makhluksebagai laki-laki atauperempuan(KBBI)
ObservasiRM
LembarCheck List
1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
b. Umur Lama waktuhidup atauada (sejakdilahirkanataudiadakan)(KBBI)
ObservasiRM
LembarCheck List
1. 0-17 tahun2. 18-65 tahun3.66-79 tahun4.80-99 tahun(MenurutWHO)
Ordinal
c. Komordibitas Penyakityang terjadisecarasimultan ataugangguanyang bersifatbukanbawaan(KBBI)
ObservasiRM
Lembar ChekList
1. Ada2. Tidak ada
Nominal
2 Obat kortikosteroidyang digunakan
Jenis obatkortikosteroidyangdigunakanpada pasiendengandiagnosaasma
ObservasiRM
Lembar CheckList
1.Dexametason2.Metil
Prednisolon3.Prednisone4.Triamsinolon5.Beklometason6.Budesonid7.Flutikason8.Flunisolid9.Mometason
Nominal
3 Bentuk sediaanobat kortikosteroid
Bentukformulasiobat yangsiap diminumatau di pakai
ObservasiRM
Lembar CheckList
1. tablet2. Inhaler
powder3. Inhaler &
Tablet
Nominal
4 Obat selain obatasma
Obat selainasma yangdigunakanpada pasienasma
ObservasiRM
LembarCheck List
1.Ada2.Tidak ada
Nominal
33
5 Potensi InteraksiObat
Potensiinteraksi yangditimbulkandari obat-obatyangdigunakanpasien asma
- ObservasiRM
- Medscape
LembarCheck List
1. Ada2. Tidak ada
Nominal
6 Ketepatanpenggunaankortikosteroidberdasarkan
- - - - -
1. Dosis Takaran obatkortikosteroidyang digunakanuntuk satukali pakai,dan satu haripakai
- ObservasiRM
- MenghitungDosis
- Medscape- Drug
InformationHandbook
LembarCheck List
1. Tepat2. Tidak
tepat
Nominal
2. Aturan pakai Aturanminum obatsesuai sifatkimia obatdankinerjanya
- ObservasiRM
- Medscape- Drug
InformationHandbook
LembarCheck List
1. Tepat2. Tidak
tepat
Nominal
3. Pemilihan obat Pemilihanobatberdasarkanefek terapidankeefektifitasannya
- ObservasiRM
- List obat-obat asmapadaHandbookDipiro
LembarCheck List
1. Tepat2. Tidak
tepat
Nominal
7 Kesesuaian obatdenganformulariumRumah Sakit
Kesesuaianobat yang digunakanberdasarkanformulariumrumah sakit
ObservasiRM
Lembar CheckList
1. Tepat2. Tidak
tepat
Nominal