BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang...
Transcript of BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang...
II - 1
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Prediksi Cuaca Numerik
Prediksi cuaca numerik merupakan basis dari prediksi cuaca yang dilakukan
sekarang ini. Prediksi cuaca numerik dilakukan dengan menyelesaikan
persamaan-persamaan fisis yang menggambarkan tingkah laku dan kondisi
atmosfer. Teknik ini telah diformulasikan oleh Bjerknes pada sekitar awal abad
ke-20, dan solusi naif telah dibuat oleh Richardson pada tahun 1922. Dan prediksi
numerik pertama kali sukses dilakukan pada tahun 1950 oleh sekelompok ahli
meteorologi asal Amerika Serikat: Jule Charney, Philip Thomson, Larry Gates,
seorang ahli meteorologi dan ahli matematika terapan asal Norwegia: Ragnar
Fjörtoft dan John von Neumann, mereka menggunakan ENIAC digital komputer
dalam penelitiannya. Mereka menggunakan bentuk penyederhanaan dari
persamaan dinamika atmosfer berdasarkan persamaan vortisitas barotropik
(Comet, 1999).
Penyederhanaan persamaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi
waktu kerja dan memori komputer, sehingga perhitungannya dapat dilakukan oleh
komputer primitif yang ada pada saat itu. Namun model generasi selanjutnya
menggunakan persamaan dinamika atmosfer dan thermodinamika yang komplit,
sehingga prediksi cuaca numerik memerlukan perkembangan lebih lanjut. Pada
tahun 1955, prediksi cuaca numerik mulai dikembangkan secara operasional
dibawah proyek gabungan dari angkatan udara, angkatan laut, dan badan
meteorologi Amerika Serikat. Dan sekitar tahun 60-an, ketika perkembangan
komputer mulai pesat, metode prediksi ini menjadi sesuatu yang nyata, walau
hanya terbatas pada pusat-pusat penelitian tertentu (Comet, 1999).
II - 2
Numerical Weather Prediction (NWP) mulai menyebar luas dari beberapa pusat
penelitian menjadi lusinan group. Perkembangan dan peningkatan kualitas NWP
selama 40 tahun terakhir disebabkan oleh faktor (Kalnay, 2003), yaitu:
a) Peningkatan kemampuan supercomputer yang mengizinkan resolusi numerik
yang jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam
model atmosfer operasional;
b) Representasi yang lebih baik terhadap proses-proses fisik skala kecil (awan,
presipitasi, transfer panas turbulen, kelembaban, momentum, dan skema
radiasi) dalam model;
c) Penggunaan metode yang lebih akurat dalam asimilasi data, yang
menghasilkan kondisi awal yang jauh lebih baik bagi model;
d) Peningkatan ketersediaan data, terutama data satelit dan data penerbangan di
atas lautan dan belahan bumi bagian selatan.
Setiap prediksi cuaca numerik pasti memerlukan data valid sebagai kondisi awal
(initial state) dan kondisi batas (boundary condition), model yang efisien, dan
tentu saja komputer untuk menjalankannya. Ketiganya merupakan modal utama
dalam melakukan prediksi cuaca secara numerik.
Kelemahan dari metode prediksi cuaca numerik adalah persamaan-persamaan
yang digunakan oleh model biasanya tidak benar-benar menggambarkan keadaan
atmosfer yang sebenarnya. Beberapa pendekatan dan asumsi digunakan untuk
menyederhanakan perhitungan. Beberapa pembatasan juga digunakan untuk
mempermudah perhitungan. Fenomena atmosfer yang tidak bisa diamati secara
langsung tapi memberikan pengaruh pada proses prediksi, harus diperhitungkan
secara numerik. Fenomena semacam ini memerlukan parameterisasi untuk bisa
dimasukkan ke dalam persamaan numerik, biasanya dalam bentuk suatu konstanta
(Junnaedhi, 2006).
Hal-hal semacam ini akan mengarah pada beberapa kesalahan (error) pada hasil
prediksi. Ditambah lagi terdapat gap pada data awal karena kita tidak mungkin
melakukan observasi cuaca di setiap area di atas gunung ataupun lautan. Jika
II - 3
keadaan awal tidak diketahui dengan tepat dan lengkap, maka hasil prediksi tidak
akan seluruhnya akurat (Comet, 1999).
Namun dengan berbagai kemajuan teknik prediksi numerik, kekurangan ini bisa
diminimalisasi. Segala aspek prediksi numerik yang menimbulkan error
diusahakan untuk diperkecil pengaruhnya terhadap model utama. Berbagai teknik
beda hingga dan integrasi waktu dikembangkan untuk tujuan ini. Penggunaan
skema numerik dengan orde yang lebih tinggi juga akan membantu mengurangi
tingkat kesalahan prediksi, namun dengan tetap mempertimbangkan kestabilan
skema itu sendiri (Krishnamurti, 1996).
Pemilihan sistem koordinat biasanya lebih berpengaruh pada apa dan dimana
fenomena ingin diprediksi. Artinya ini mempengaruhi jenis fenomena atmosfer
apa yang ingin dikaji pada prediksi dan dimana lokasi yang ingin diprediksi.
Sistem kartesian biasanya digunakan secara umum untuk koordinat horizontal,
meskipun ada beberapa yang menggunakan sistem koordinat lainnya. Sedangkan
untuk sistem koordinat vertikal biasanya disesuaikan dengan karakteristik
permukaan dan parameter atmosfer yang ingin dikaji. Ada beberapa macam
sistem koordinat vertikal yang sering digunakan, misalnya koordinat tekanan (p),
koordinat sigma (σ), koordinat eta (ή), koordinat isentropik, atau gabungan dari
sistem-sistem koordinat tersebut (hybrid) (Comet,1999). CCAM yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan koordinat vertikal sigma (σ) (Gambar 2.1).
Koordinat sigma ini dihitung dari tekanan (p) dengan rumus:
= tekanan referensi
dimana, = tekanan konstan puncak koordinat
= tekanan referensi di dasar koordinat
Sistem koordinat ini mengikuti kontur permukaan pada bagian dasar koordinat,
sedangkan pada bagian puncak koordinat ini tampak makin mendatar (horizontal).
Secara fisis tekanan pada suatu level sigma merupakan nilai sigma itu dikali
II - 4
tekanan dasar. Misal, tekanan dasar di atas permukaan laut 1000 mb, maka pada
sigma 0,5 di atas laut tekanannya adalah sekitar 500 mb (Junnaedhi, 2006).
Gambar 2.1 Sistem koordinat sigma (σ) (Sumber: Comet Program,1999)
Membuat suatu prediksi yang baik dan akurat merupakan hasil dari proses-proses
kompleks yang melibatkan berbagai prinsip meteorologi dan berbagai sumber
data, termasuk model numerik itu sendiri. Menghasilkan suatu prediksi cuaca
yang baik bukanlah perkara yang mudah, dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang
menggambarkan proses yang begitu rumit dalam melakukan prediksi. Diperlukan
pengalaman, usaha, dan kerjasama yang baik untuk menghasilkan suatu prediksi
yang bermutu.
Gambar 2.2 Komponen prediksi numerik (Sumber: Comet Program, 1999)
II - 5
2.2 Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM)
2.2.1 Sejarah singkat dan karakteristik CCAM
CCAM atau Conformal Cubic Atmospheric Model adalah suatu terobosan dalam
pemodelan meteorologi yang dikembangkan oleh para peneliti dari CSIRO
Marine and Atmospheric Research (CMAR), Australia, selama sepuluh tahun
terakhir. CCAM memiliki lisensi, sehingga tidak sembarang orang dapat
menggunakannya. Pada tahun 2008 model yang memiliki lisensi dari CSIRO ini
telah dibeli oleh Dr. Mezak Arnold Ratag (Indonesia) dan di-install pada server
cumulus.geoph.itb.ac.id Laboratorium Analisis Meteorologi (Weather and
Climate Prediction Laboratory) Program Studi Meteorologi untuk keperluan
penelitian. Sehingga penulis memakai lisensi tersebut dari Beliau dalam penelitian
tugas akhir ini.
CCAM dapat dikatakan unik karena menggunakan grid quasi-uniform atau grid
conformal cubic (Schmidt, 1997). Dengan transformasi yang dilakukan oleh
Schmidt ini CCAM mampu melakukan stretching pada domain yang ingin dikaji.
Dengan cara tersebut, CCAM dapat menghasilkan resolusi yang tinggi pada
daerah manapun dibelahan dunia. Dibandingkan dengan hasil nesting dari
pendekatan yang dilakukan oleh model area terbatas lainnya, CCAM
menghasilkan fleksibelitas yang tinggi untuk dinamika downscaling dari setiap
model iklim global. Karena hanya membutukan sea surface temperatures (SSTs),
distribusi daratan-lautan, dan beberapa bentuk nudging dari host model-nya
(McGregor, 1999). Hal ini menghindari beberapa masalah yang dapat saja muncul
ketika menggunakan area terbatas model iklim regional, seperti refleksi pada
lapisan batas.
Validitas CCAM pada penelitian ini menggunakan validasi yang telah dilakukan
sebelumnya oleh John L. McGregor dari CMAR-Australia. Banyak penelitian
John L. McGregor yang telah dilakukan, mengingat bahwa beliau merupakan
salah satu pelopor peneliti yang mengembangkan model CCAM ini. Gambar 2.3
II - 6
merupakan validasi yang dilakukan menggunakan beberapa host model untuk
parameter curah hujan harian pada setiap periode musiman.
Gambar 2.3 Curah hujan (mm/hari) dari CCAM 60 km domain Australia dan
sekitarnya. (Sumber: McGregor, 2006)
Dalam beberapa tahun terakhir, CCAM sebagai sebuah variable-resolution model
global memilliki berbagai macam keuntungan, yaitu:
a) Menghindari refleksi pada daerah batas model (boundary).
b) Menghindari kesulitan yang dapat mengganggu model dan model yang
dijalankan memiliki bias yang berbeda antara cold biases dan moist biases
yang melekat pada modelnya.
c) Dapat melakukan penyimpanan sesuai kebutuhan (easy located), karena
bahasa scripting-nya menggunakan bahasa pemrograman Bash.
2.2.2 Persamaan pengatur gerak atmosfer
Persamaan dasar yang penting dalam CCAM antara lain adalah momentum
horizontal dan temperatur virtual. Jika ps adalah tekanan permukaan, persamaan
primitif untuk terrain-dengan mengikuti koordinat sigma (σ), σ = p/ps, dapat
dituliskan dengan persamaan-persamaan berikut:
II - 7
Momentum Horizontal
(2.1)
(2.2)
Dimana v adalah geopotensial (termasuk kontribusi temperatur virtual) dan f
adalah parameter Coriolis; Rd adalah konstanta gas untuk udara kering, Tv
temperatur virtual yang dirumuskan oleh:
(2.3)
Dimana T adalah temperatur dan Rv adalah konstanta gas untuk uap air; q adalah
mixing rasio uap air. Bentuk menjelaskan kontribusi yang mungkin dari
parameterisasi fisis. Penjelasan lengkap untuk persamaan-persamaan dalam
CCAM dapat dilihat pada lampiran.
2.2.3 Koordinat dan transformasi koordinat CCAM
Radius bola bumi dirumuskan sebagai R. (X,Y,Z) di defnisikan sebagai koordinat
kartesian “fisis” 3D pada permukaan sperik bola Bumi dengan Z berarah vertikal
ke atas pada panel 1, normal terhadap permukaan Bumi. Masing-masing dari
range (X,Y,Z) antara –R dan R. Pada kasus menggunakan grid yang di-strech,
panel yang beresolusi paling tinggi adalah panel 1. Layout panel CCAM dapat
dilihat pada Gambar 2.4. Penjelasan lengkapnya terdapat pada lampiran.
Gambar 2.4 Layout panel dengan 3 buah orientasi alternatif (Sumber: McGregor. CCAM Geometric Aspects and Dynamical
Formulation. Paper No.70. 2005)
II - 8
Persamaan gerak dituliskan dalam bentuk koordinat panel 2D (χ,y,p) dimana p
adalah jumlah panel 0 ≤ p ≤ 5, dan pada tiap panel 0 ≤ χ ≤ πR/2. Untuk N x N titik
pada setiap panelnya, nilai χ dan y sama pada resolusi grid model yang
dirumuskan dengan .
CCAM diformulasikan pada grid yang seragam, yang diperoleh dengan cara
memproyeksikan suatu sistem kubus ke permukaan bumi, biasa disebut sebagai
proses downscalling. Grid semacam ini ditemukan oleh Rancic dkk (1996),
gridnya isotropik kecuali pada delapan puncak grid tunggalnya (model C48,
dengan titik grid 48 x 48 yang mempunyai resolusi sebesar 208 km). Titik-titik
grid yang digunakan dalam penelitian ini adalah 48x48 (C48) dan 18 level vertikal
koordinat sigma. Dapat diilustrasikan dengan Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Ilustrasi grid box CCAM (Sumber: McGregor, 2005)
Dari ilustrasi Gambar 2.5 dapat dilihat bahwa jumlah titik grid untuk setiap sisi
dari kubus adalah 48x48 titik grid. Kemudian kubus tersebut ditransformasikan ke
bentuk yang menyerupai bola bumi di dalam modelnya. Jika dikalkulasikan, maka
akan didapatkan jumlah seluruh titik dalam model adalah 48 x 48 x 6 x 18 =
248.832 titik. Grid conformal cubic ini memberikan berbagai keuntungan
(McGregor, 2005), antara lain:
a) Tidak ada titik singular (seperti kutub utara atau selatan).
b) Tidak ada boundary yang pokok – CCAM sebagai model global.
c) Grid-nya dapat di-strech untuk resolusi prediksi yang tinggi (s.d 1 km).
d) Streching tersebut dapat ditempatkan di manapun di seluruh belahan bumi.
e) Konveksi cumulus menggunakan skema fluks massa terbaru dari CSIRO,
termasuk downdrafts.
f) Skema vegetasi/kanopi, 6 lapisan untuk temperatur tanah dan 6 lapisan untuk
kelembaban tanah (Richard)
II - 9
Sama seperti model prediksi cuaca pada umumnya, hasil prediksi modelnya
sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, perairan, topografi, tipe tanah, dan tipe
tata guna lahan secara signifikan. CCAM akan menentukan data topografi yang
diperlukan setelah pengguna model menentukan lintang dan bujur daerah
kajiannya. Sebagai catatan bahwa semua koordinat dalam CCAM (termasuk
lintang dan bujur) relatif terhadap topografinya.
CCAM menyimpan data topografi dalam 3 skala yang berbeda, yaitu: resolusi
data topografi 10 km untuk seluruh dunia, 1 km untuk seluruh dunia, dan 250 m
untuk benua Australia. Begitu pula dengan data tata guna lahannya, terdapat data
global resolusi 10 dengan 12 kategori tata guna lahan (SiB), dataset resolusi 6 km
untuk benua Australia dengan 33 kategori tata guna lahan (Gratez), dan dataset
kondisi tanah global dengan 10 kategori Zobler. Dan juga tersedia dataset
ekosistem dari MeteoFrance, yaitu: 1 km data global dengan 215 kategori tata
guna lahan, 10 km dataset tanah global (jenis pasir dan tanah lempung) yang
dikonversikan ke dalam 10 kategori Zobler (McGregor, 2005).
Faktor Schmidt dilambangkan dengan S; contoh nilai dari S adalah: S = 1 (non-
streched), S = 3 (resolusi yang tinggi pada panel 1). Implementasi dari faktor
Schmidt pada CCAM menempatkan sistem koordinat (X,Y,Z) terpusat pada
panel 1. Penjelasan lebih lengkap terdapat pada lampiran.
2.3 Prediksi Ensemble
Sejumlah model prediksi, baik skala global maupun regional, dijalankan untuk
membuat prediksi cuaca di seluruh belahan dunia. Dan dilakukan pula
penggunaan model prediksi ensemble yang dapat berfungsi untuk menentukan
nilai ketepatan hasil prediksi, dengan cara membandingkan hasil prediksi dari
beberapa model prediksi cuaca, ataupun dari berbagai hasil running suatu model
prediksi cuaca, biasa disebut sebagai member (anggota).
II - 10
Tiap model prediksi cuaca tentu saja dimulai dengan syarat awal yang sedikit
berbeda dikarenakan teknik yang juga berbeda dalam mengasimilasi dan
menganalisis data meteorologi. Seperti yang diperlihatkan oleh Edward Lorenz
(Comet, 1999), atmosfer dan model prediksi cuaca numerik bersifat chaotic,
artinya keduanya sangat sensitif terhadap syarat awal. Ini berarti perbedaan kecil
didalam syarat awal dapat menghasilkan perbedaan yang besar dalam rentang
waktu berikutnya.
Disamping itu, tiap model prediksi juga menggunakan metoda yang berbeda
untuk menghitung efek dinamik atmosfer, termasuk perbedaan resolusi vertikal
dan horizontal, dan perbedaan sistem koordinat vertikal. Contohnya, NCEP
(National Centers for Environmental Prediction) menggunakan koordinat sigma
untuk sistem prediksi globalnya, tetapi menggunakan koordinat step-mountain
atau eta untuk model regionalnya (model Eta). Tidak hanya efek dinamis, tiap
model juga memiliki teknik yang berbeda dalam mengestimasi efek dari proses
fisis yang tidak secara rinci dapat dimodelkan. Contohnya proses konveksi, radiasi
matahari dan radiasi gelombang panjang, serta proses microphysics yang
menghasilkan hujan (Kurniaji, 2009).
Satu atau lebih sumber ketidakpastian prediksi cuaca numerik inilah yang menjadi
titik awal tercetusnya ide brilian untuk melakukan prediksi cuaca numerik dengan
metode ensemble. Prediksi ensemble pada dasarnya merupakan suatu proses
running suatu model prediksi cuaca numerik beberapa kali dari intial time yang
sama, namun menggunakan kondisi awal yang sedikit berbeda (seperti yang
terlihat pada Gambar 2.6). Setiap proses running model prediksi dengan
menggunakan berbagai masukan nilai awal akan menghasilkan hasil prediksi yang
disebut sebagai ensemble member (anggota ensemble). Rata-rata dari hasil
running model tersebut dapat digunakan sebagai suatu hasil prediksi yang sering
disebut ensemble mean (Kurniaji, 2009).
II - 11
Gambar 2.6 Ilustrasi proses prediksi menggunakan metode ensemble
(Sumber: Goto, 2007)
Para peneliti juga telah melakukan perbandingan dari satu model prediksi yang
sama dengan running yang berbeda, dengan melihat bagaimana observasi yang
baru dapat mengubah output prediksi model dari waktu ke waktu. Prediksi
ensemble merupakan tools yang relatif baru untuk prediksi operasional berbasis
perbandingan banyak prediksi model secara saintifik dan lebih rapat (Comet,
1999).
Gambar 2.7 Metode prediksi ensemble Lagged Average Forecast (LAF)
(Sumber: Kalnay, 2003)
Pada tahun 1983, Hoffman dan Kalnay menunjukkan metode lagged average
forecast (LAF) dimana prediksi dilakukan tidak hanya pada waktu saat ini (t=0),
tetapi juga waktu-waktu sebelumnya (t= –τ, –2τ, …, – (N – 1) τ), untuk
melakukan prediksi ensemble (Gambar 2.7). Pada setup operasionalnya, τ secara
tipikal merupakan prediksi 6, 12, atau 24 jam-an, sehingga prediksi sudah
tersedia. Keuntungan dari metode LAF ini adalah: (1) kebanyakan prediksi sudah
tersedia pada pusat prediksi, misal: NCEP; (2) sangat mudah untuk dilakukan dan
tidak memerlukan generasi gangguan (perturbation) khusus; (3) terdapat “error
hari ini” pada gangguan (perturbation) (Lyapunov vectors). Kalnay dan Hoffman
melakukan perbandingan LAF dengan metode prediksi Monte Carlo (salah satu
II - 12
metode prediksi ensemble (Leith, 1974)), dan mereka menemukan bahwa rata-rata
prediksi ensemble menggunakan LAF sedikit lebih baik daripada metode Monte
Carlo, namun kelebihan dari LAF adalah skill prediksi yang lebih terlihat, dengan
korelasi antara prediksi dengan waktu observasi pada 50% level adalah 0,68 untuk
Monte Carlo dan 0,79 untuk LAF (Kalnay, 2003).
Gambar 2.8 Diagram spaghetti hasil ensemble
(Sumber: Comet Program, 1999) Produk ensemble seperti diagram spaghetti pada Gambar 2.8 menggunakan
berbagai macam metode statistik dan grafis untuk membandingkan banyak
running model, masing-masing berbasis pada initial condition yang berbeda atau
menggunakan konfigurasi dan/atau parameterisasi model yang berbeda. Secara
bersamaan, mereka dapat memasukkan informasi mengenai tingkat uncertainty
(ketidakpastian) prediksi, hasil prediksi yang bersinggungan, dan probabilitas dari
hasil-hasil prediksi tersebut. Dengan menambahkan hasil prediksi ensemble ke
toolkit NWP, forecaster mendapatkan tingkat informasi yang lain yang dapat
membantu mereka dalam membuat panduan penggunaan NWP yang cerdas dalam
proses prediksi mereka (Comet, 1999).
Ada dua alasan utama yang mendasari pentingnya prediksi ensemble dilakukan.
Pertama adalah ketidakpastian hasil prediksi (uncertainty), yang dapat muncul
dari setiap proses sistem NWP, seperti kumpulan data yang dimiliki (sistem
observasi), asimilasi data (sistem analisis), dan model prediksinya sendiri (proses
dinamik, komputasi, parameterisasi fisis, dll.). Pada penelitian awal yang
dilakukan oleh Lorenz pada tahun 1969 dan 1982, dikemukakan bahwa nilai
II - 13
kesalahan awal dapat berkembang sangat cepat menjadi skala yang berbeda
walaupun nilai kesalahan awal tersebut kecil. Faktanya, kesalahan prediksi akan
meningkat secara berkelanjutan sesuai dengan integrasi model sebelum proses
integrasi ini jenuh. Solusi optimal untuk menangkap serta mengurangi kesalahan
prediksi ini (uncertainty) adalah menggunakan prediksi ensemble pada prediksi
tunggal (deterministik), karena prediksi ensemble menghasilkan sekumpulan (set)
solusi yang acak-bersinggungan-mirip (independen) untuk waktu yang akan
datang (Zhu, 2005).
Alasan yang kedua adalah masalah prediksi itu sendiri. Hasil prediksi yang
memiliki kesalahan untuk rentang waktu prediksi yang lebih lama harus
dikuantifikasi. Berkurangnya kesalahan prediksi ensemble dapat meningkatkan
kemampuan prediksi jauh lebih tinggi (Zhu, 2005).
2.4 Prediksi Peluang Kejadian Hujan
2.4.1 Curah hujan
Curah hujan (presipitasi) didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang
jatuh ke permukaan bumi. Meskipun kabut, embun, dan embun beku (frost) dapat
berperan dalam alih kebebasan (moisture) dari atmosfer ke permukaan bumi,
unsur tersebut tidak ditinjau sebagai presipitasi. Bentuk presipitasi adalah hujan,
gerimis, salju, dan batu es hujan (hail). Hujan adalah bentuk endapan yang sering
dijumpai (Bayong, 2004).
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat penting bagi
kehidupan di bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci =
25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi
permukaan seluas 1 m2 adalah 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam
tanah atau menguap ke atmosfer. Di daerah tropis hujannya lebih lebat daripada di
daerah lintang tinggi (Bayong, 2004).
II - 14
Gerimis dikategorikan sebagai tetes dengan diameter kurang dari 0,5 mm,
intensitasnya 1 mm/jam. Gerimis merupakan tetesan yang sangat kecil dalam
jumlah besar yang tampaknya mengapung mengikuti arus udara. Sedangkan hujan
merupakan tetes dengan diameter lebih dari 0,5 mm, intensitasnya lebih dari 1,25
mm/jam. Tetes hujan lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
gerimis sehingga lebih sedikit mengurangi jarak pandang (visibilitas) kecuali
untuk hujan lebat. Hujan lebat sangat terkait dengan intensitas curah hujan yang
mengguyur cakupan wilayah yang relatif kecil dalam waktu (durasi) yang singkat,
sedangkan curah hujan ringan dan sedang biasanya dikaitkan dengan pola cuaca
yang menyebar luas dengan durasi hujan lebih lama. Karena itu durasi hujan pada
umumnya berbanding terbalik dengan intensitasnya (Bayong, 2004).
Hujan dengan intensitas sangat ringan, terdiri dari tetes-tetes kecil yang hampir
tidak mencapai permukaan tanah disebut gerimis (drizzle). Jika tetes-tetes ini
menguap seluruhnya sebelum mencapai tanah, maka akan terjadi “kabut” (mist)
atau kabut tipis. Sebagian besar hujan di permukaan bumi disebabkan oleh udara
yang tidak stabil secara konvektif atau kondisional, yang berasal dari sumber yang
kompleks, misalnya sumber konveksi, orografi, atau siklonis. Karena itu hujan
konveksi bukan saja disebabkan oleh pemanasan permukaan, melainkan dapat
pula terjadi oleh udara yang naik karena konvergensi di sepanjang front atau
karena orografi (Bayong & Sri Woro, 2006).
2.4.2 Probability of Precipitation (PoP) dan Probabilistic Quantitative
Precipitation Forecast (PQPF)
PoP adalah sebuah pengukuran formal untuk peluang curah hujan yang sering
dikeluarkan oleh model-model prediksi cuaca. Di prediksi cuaca Amerika, PoP
adalah peluang untuk menyatakan bahwa lebih dari 1/100 kemunculan dari satu
inchi curah hujan akan turun pada suatu titik, yang telah dirata-ratakan diatas
wilayah prediksi. Sebagai contoh, jika terdapat peluang 100% hujan pada satu sisi
kota, dan 0% peluang hujan pada sisi lainnya, maka PoP-nya adalah 50%. Peluang
II - 15
50% kejadian badai hujan pada suatu kota pun ditunjukkan dengan PoP 50%
(Amburn, 2007). Definisi secara matematisnya adalah:
Dengan: PoP = Probability of Precipitation
C = Confidence atau tingkat kepercayaan bahwa hujan akan turun
dimanapun pada area prediksinya
A = Persen area yang akan menerima curah hujan yang diprediksi, jika
semuanya muncul.
PQPF menyediakan pendekatan yang paling baik mengenai peluang pada lokasi
manapun yang akan menerima sejumlah curah hujan yang sama atau melebihi
suatu nilai threshold tertentu. PoP merupakan peluang unconditional dari suatu
lokasi yang akan menerima sejumlah curah hujan yang sama atau melebihi suatu
nilai curah hujan tertentu, misal 0,01 inchi. PQPF mirip dengan itu, PQPF
diturunkan dari PoP dan QPF (Quantitative Precipitation Forecast), namun
dihitung untuk peluang dari beberapa nilai curah hujan, misalnya 0,1, 0,5, 1, dan 2
inchi, atau nilai-nilai curah hujan yang lainnya (Amburn, 2007).
Dalam penelitian-penelitian tentang prediksi hujan, digunakan PoP dan PQPF
sebagai metode untuk mencari nilai ketidakpastian prediksi. Secara fundamental,
PoP dihasilkan dari hasil prediksi hujan yang dihasilkan oleh banyak member
(anggota) sehingga muncul nilai probabilitas untuk nilai prediksi hujan tertentu.
Dari hasil PoP tersebut, didapatkan prediksi nilai hujan yang sering muncul.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Tae-Young Goo et al (2007)
menunjukkan nilai threshold hujan dari hasil PoP prediksi untuk 5 harian, yaitu
0,5, 1, 2, 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 mm per hari. Namun, dari hasil tersebut hanya
ditentukan 2 threshold saja, yaitu 1 mm/hari dan 48 mm/hari, dengan masing-
masing sebagai indikator kejadian hujan ringan dan indikator kejadian hujan lebat.
Untuk mengevaluasi hasil tersebut, digunakan metode PQPF. Metode ini
menghitung nilai-nilai kesalahan dan kebenaran dari hasil prediksi hujan. Secara
statistik, metode ini dapat menggunakan threat score sebagai evaluasi hasil
II - 16
prediksinya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuan Heiling et al (2004)
yang menggunakan pendekatan biner (0 dan 1) untuk mengevaluasi threshold
hujan. Kejadian yang teramati (lebih besar dari threshold) diberi nilai “1”,
sebaliknya diberi nilai “0”.