BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang...

16
II - 1 BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik Prediksi cuaca numerik merupakan basis dari prediksi cuaca yang dilakukan sekarang ini. Prediksi cuaca numerik dilakukan dengan menyelesaikan persamaan-persamaan fisis yang menggambarkan tingkah laku dan kondisi atmosfer. Teknik ini telah diformulasikan oleh Bjerknes pada sekitar awal abad ke-20, dan solusi naif telah dibuat oleh Richardson pada tahun 1922. Dan prediksi numerik pertama kali sukses dilakukan pada tahun 1950 oleh sekelompok ahli meteorologi asal Amerika Serikat: Jule Charney, Philip Thomson, Larry Gates, seorang ahli meteorologi dan ahli matematika terapan asal Norwegia: Ragnar Fjörtoft dan John von Neumann, mereka menggunakan ENIAC digital komputer dalam penelitiannya. Mereka menggunakan bentuk penyederhanaan dari persamaan dinamika atmosfer berdasarkan persamaan vortisitas barotropik (Comet, 1999). Penyederhanaan persamaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi waktu kerja dan memori komputer, sehingga perhitungannya dapat dilakukan oleh komputer primitif yang ada pada saat itu. Namun model generasi selanjutnya menggunakan persamaan dinamika atmosfer dan thermodinamika yang komplit, sehingga prediksi cuaca numerik memerlukan perkembangan lebih lanjut. Pada tahun 1955, prediksi cuaca numerik mulai dikembangkan secara operasional dibawah proyek gabungan dari angkatan udara, angkatan laut, dan badan meteorologi Amerika Serikat. Dan sekitar tahun 60-an, ketika perkembangan komputer mulai pesat, metode prediksi ini menjadi sesuatu yang nyata, walau hanya terbatas pada pusat-pusat penelitian tertentu (Comet, 1999).

Transcript of BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang...

Page 1: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 1

BAB II

TEORI DASAR

2.1 Prediksi Cuaca Numerik

Prediksi cuaca numerik merupakan basis dari prediksi cuaca yang dilakukan

sekarang ini. Prediksi cuaca numerik dilakukan dengan menyelesaikan

persamaan-persamaan fisis yang menggambarkan tingkah laku dan kondisi

atmosfer. Teknik ini telah diformulasikan oleh Bjerknes pada sekitar awal abad

ke-20, dan solusi naif telah dibuat oleh Richardson pada tahun 1922. Dan prediksi

numerik pertama kali sukses dilakukan pada tahun 1950 oleh sekelompok ahli

meteorologi asal Amerika Serikat: Jule Charney, Philip Thomson, Larry Gates,

seorang ahli meteorologi dan ahli matematika terapan asal Norwegia: Ragnar

Fjörtoft dan John von Neumann, mereka menggunakan ENIAC digital komputer

dalam penelitiannya. Mereka menggunakan bentuk penyederhanaan dari

persamaan dinamika atmosfer berdasarkan persamaan vortisitas barotropik

(Comet, 1999).

Penyederhanaan persamaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi

waktu kerja dan memori komputer, sehingga perhitungannya dapat dilakukan oleh

komputer primitif yang ada pada saat itu. Namun model generasi selanjutnya

menggunakan persamaan dinamika atmosfer dan thermodinamika yang komplit,

sehingga prediksi cuaca numerik memerlukan perkembangan lebih lanjut. Pada

tahun 1955, prediksi cuaca numerik mulai dikembangkan secara operasional

dibawah proyek gabungan dari angkatan udara, angkatan laut, dan badan

meteorologi Amerika Serikat. Dan sekitar tahun 60-an, ketika perkembangan

komputer mulai pesat, metode prediksi ini menjadi sesuatu yang nyata, walau

hanya terbatas pada pusat-pusat penelitian tertentu (Comet, 1999).

Page 2: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 2

Numerical Weather Prediction (NWP) mulai menyebar luas dari beberapa pusat

penelitian menjadi lusinan group. Perkembangan dan peningkatan kualitas NWP

selama 40 tahun terakhir disebabkan oleh faktor (Kalnay, 2003), yaitu:

a) Peningkatan kemampuan supercomputer yang mengizinkan resolusi numerik

yang jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam

model atmosfer operasional;

b) Representasi yang lebih baik terhadap proses-proses fisik skala kecil (awan,

presipitasi, transfer panas turbulen, kelembaban, momentum, dan skema

radiasi) dalam model;

c) Penggunaan metode yang lebih akurat dalam asimilasi data, yang

menghasilkan kondisi awal yang jauh lebih baik bagi model;

d) Peningkatan ketersediaan data, terutama data satelit dan data penerbangan di

atas lautan dan belahan bumi bagian selatan.

Setiap prediksi cuaca numerik pasti memerlukan data valid sebagai kondisi awal

(initial state) dan kondisi batas (boundary condition), model yang efisien, dan

tentu saja komputer untuk menjalankannya. Ketiganya merupakan modal utama

dalam melakukan prediksi cuaca secara numerik.

Kelemahan dari metode prediksi cuaca numerik adalah persamaan-persamaan

yang digunakan oleh model biasanya tidak benar-benar menggambarkan keadaan

atmosfer yang sebenarnya. Beberapa pendekatan dan asumsi digunakan untuk

menyederhanakan perhitungan. Beberapa pembatasan juga digunakan untuk

mempermudah perhitungan. Fenomena atmosfer yang tidak bisa diamati secara

langsung tapi memberikan pengaruh pada proses prediksi, harus diperhitungkan

secara numerik. Fenomena semacam ini memerlukan parameterisasi untuk bisa

dimasukkan ke dalam persamaan numerik, biasanya dalam bentuk suatu konstanta

(Junnaedhi, 2006).

Hal-hal semacam ini akan mengarah pada beberapa kesalahan (error) pada hasil

prediksi. Ditambah lagi terdapat gap pada data awal karena kita tidak mungkin

melakukan observasi cuaca di setiap area di atas gunung ataupun lautan. Jika

Page 3: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 3

keadaan awal tidak diketahui dengan tepat dan lengkap, maka hasil prediksi tidak

akan seluruhnya akurat (Comet, 1999).

Namun dengan berbagai kemajuan teknik prediksi numerik, kekurangan ini bisa

diminimalisasi. Segala aspek prediksi numerik yang menimbulkan error

diusahakan untuk diperkecil pengaruhnya terhadap model utama. Berbagai teknik

beda hingga dan integrasi waktu dikembangkan untuk tujuan ini. Penggunaan

skema numerik dengan orde yang lebih tinggi juga akan membantu mengurangi

tingkat kesalahan prediksi, namun dengan tetap mempertimbangkan kestabilan

skema itu sendiri (Krishnamurti, 1996).

Pemilihan sistem koordinat biasanya lebih berpengaruh pada apa dan dimana

fenomena ingin diprediksi. Artinya ini mempengaruhi jenis fenomena atmosfer

apa yang ingin dikaji pada prediksi dan dimana lokasi yang ingin diprediksi.

Sistem kartesian biasanya digunakan secara umum untuk koordinat horizontal,

meskipun ada beberapa yang menggunakan sistem koordinat lainnya. Sedangkan

untuk sistem koordinat vertikal biasanya disesuaikan dengan karakteristik

permukaan dan parameter atmosfer yang ingin dikaji. Ada beberapa macam

sistem koordinat vertikal yang sering digunakan, misalnya koordinat tekanan (p),

koordinat sigma (σ), koordinat eta (ή), koordinat isentropik, atau gabungan dari

sistem-sistem koordinat tersebut (hybrid) (Comet,1999). CCAM yang digunakan

dalam penelitian ini menggunakan koordinat vertikal sigma (σ) (Gambar 2.1).

Koordinat sigma ini dihitung dari tekanan (p) dengan rumus:

= tekanan referensi

dimana, = tekanan konstan puncak koordinat

= tekanan referensi di dasar koordinat

Sistem koordinat ini mengikuti kontur permukaan pada bagian dasar koordinat,

sedangkan pada bagian puncak koordinat ini tampak makin mendatar (horizontal).

Secara fisis tekanan pada suatu level sigma merupakan nilai sigma itu dikali

Page 4: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 4

tekanan dasar. Misal, tekanan dasar di atas permukaan laut 1000 mb, maka pada

sigma 0,5 di atas laut tekanannya adalah sekitar 500 mb (Junnaedhi, 2006).

Gambar 2.1 Sistem koordinat sigma (σ) (Sumber: Comet Program,1999)

Membuat suatu prediksi yang baik dan akurat merupakan hasil dari proses-proses

kompleks yang melibatkan berbagai prinsip meteorologi dan berbagai sumber

data, termasuk model numerik itu sendiri. Menghasilkan suatu prediksi cuaca

yang baik bukanlah perkara yang mudah, dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang

menggambarkan proses yang begitu rumit dalam melakukan prediksi. Diperlukan

pengalaman, usaha, dan kerjasama yang baik untuk menghasilkan suatu prediksi

yang bermutu.

Gambar 2.2 Komponen prediksi numerik (Sumber: Comet Program, 1999)

Page 5: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 5

2.2 Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM)

2.2.1 Sejarah singkat dan karakteristik CCAM

CCAM atau Conformal Cubic Atmospheric Model adalah suatu terobosan dalam

pemodelan meteorologi yang dikembangkan oleh para peneliti dari CSIRO

Marine and Atmospheric Research (CMAR), Australia, selama sepuluh tahun

terakhir. CCAM memiliki lisensi, sehingga tidak sembarang orang dapat

menggunakannya. Pada tahun 2008 model yang memiliki lisensi dari CSIRO ini

telah dibeli oleh Dr. Mezak Arnold Ratag (Indonesia) dan di-install pada server

cumulus.geoph.itb.ac.id Laboratorium Analisis Meteorologi (Weather and

Climate Prediction Laboratory) Program Studi Meteorologi untuk keperluan

penelitian. Sehingga penulis memakai lisensi tersebut dari Beliau dalam penelitian

tugas akhir ini.

CCAM dapat dikatakan unik karena menggunakan grid quasi-uniform atau grid

conformal cubic (Schmidt, 1997). Dengan transformasi yang dilakukan oleh

Schmidt ini CCAM mampu melakukan stretching pada domain yang ingin dikaji.

Dengan cara tersebut, CCAM dapat menghasilkan resolusi yang tinggi pada

daerah manapun dibelahan dunia. Dibandingkan dengan hasil nesting dari

pendekatan yang dilakukan oleh model area terbatas lainnya, CCAM

menghasilkan fleksibelitas yang tinggi untuk dinamika downscaling dari setiap

model iklim global. Karena hanya membutukan sea surface temperatures (SSTs),

distribusi daratan-lautan, dan beberapa bentuk nudging dari host model-nya

(McGregor, 1999). Hal ini menghindari beberapa masalah yang dapat saja muncul

ketika menggunakan area terbatas model iklim regional, seperti refleksi pada

lapisan batas.

Validitas CCAM pada penelitian ini menggunakan validasi yang telah dilakukan

sebelumnya oleh John L. McGregor dari CMAR-Australia. Banyak penelitian

John L. McGregor yang telah dilakukan, mengingat bahwa beliau merupakan

salah satu pelopor peneliti yang mengembangkan model CCAM ini. Gambar 2.3

Page 6: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 6

merupakan validasi yang dilakukan menggunakan beberapa host model untuk

parameter curah hujan harian pada setiap periode musiman.

Gambar 2.3 Curah hujan (mm/hari) dari CCAM 60 km domain Australia dan

sekitarnya. (Sumber: McGregor, 2006)

Dalam beberapa tahun terakhir, CCAM sebagai sebuah variable-resolution model

global memilliki berbagai macam keuntungan, yaitu:

a) Menghindari refleksi pada daerah batas model (boundary).

b) Menghindari kesulitan yang dapat mengganggu model dan model yang

dijalankan memiliki bias yang berbeda antara cold biases dan moist biases

yang melekat pada modelnya.

c) Dapat melakukan penyimpanan sesuai kebutuhan (easy located), karena

bahasa scripting-nya menggunakan bahasa pemrograman Bash.

2.2.2 Persamaan pengatur gerak atmosfer

Persamaan dasar yang penting dalam CCAM antara lain adalah momentum

horizontal dan temperatur virtual. Jika ps adalah tekanan permukaan, persamaan

primitif untuk terrain-dengan mengikuti koordinat sigma (σ), σ = p/ps, dapat

dituliskan dengan persamaan-persamaan berikut:

Page 7: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 7

Momentum Horizontal

(2.1)

(2.2)

Dimana v adalah geopotensial (termasuk kontribusi temperatur virtual) dan f

adalah parameter Coriolis; Rd adalah konstanta gas untuk udara kering, Tv

temperatur virtual yang dirumuskan oleh:

(2.3)

Dimana T adalah temperatur dan Rv adalah konstanta gas untuk uap air; q adalah

mixing rasio uap air. Bentuk menjelaskan kontribusi yang mungkin dari

parameterisasi fisis. Penjelasan lengkap untuk persamaan-persamaan dalam

CCAM dapat dilihat pada lampiran.

2.2.3 Koordinat dan transformasi koordinat CCAM

Radius bola bumi dirumuskan sebagai R. (X,Y,Z) di defnisikan sebagai koordinat

kartesian “fisis” 3D pada permukaan sperik bola Bumi dengan Z berarah vertikal

ke atas pada panel 1, normal terhadap permukaan Bumi. Masing-masing dari

range (X,Y,Z) antara –R dan R. Pada kasus menggunakan grid yang di-strech,

panel yang beresolusi paling tinggi adalah panel 1. Layout panel CCAM dapat

dilihat pada Gambar 2.4. Penjelasan lengkapnya terdapat pada lampiran.

Gambar 2.4 Layout panel dengan 3 buah orientasi alternatif (Sumber: McGregor. CCAM Geometric Aspects and Dynamical

Formulation. Paper No.70. 2005)

Page 8: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 8

Persamaan gerak dituliskan dalam bentuk koordinat panel 2D (χ,y,p) dimana p

adalah jumlah panel 0 ≤ p ≤ 5, dan pada tiap panel 0 ≤ χ ≤ πR/2. Untuk N x N titik

pada setiap panelnya, nilai χ dan y sama pada resolusi grid model yang

dirumuskan dengan .

CCAM diformulasikan pada grid yang seragam, yang diperoleh dengan cara

memproyeksikan suatu sistem kubus ke permukaan bumi, biasa disebut sebagai

proses downscalling. Grid semacam ini ditemukan oleh Rancic dkk (1996),

gridnya isotropik kecuali pada delapan puncak grid tunggalnya (model C48,

dengan titik grid 48 x 48 yang mempunyai resolusi sebesar 208 km). Titik-titik

grid yang digunakan dalam penelitian ini adalah 48x48 (C48) dan 18 level vertikal

koordinat sigma. Dapat diilustrasikan dengan Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Ilustrasi grid box CCAM (Sumber: McGregor, 2005)

Dari ilustrasi Gambar 2.5 dapat dilihat bahwa jumlah titik grid untuk setiap sisi

dari kubus adalah 48x48 titik grid. Kemudian kubus tersebut ditransformasikan ke

bentuk yang menyerupai bola bumi di dalam modelnya. Jika dikalkulasikan, maka

akan didapatkan jumlah seluruh titik dalam model adalah 48 x 48 x 6 x 18 =

248.832 titik. Grid conformal cubic ini memberikan berbagai keuntungan

(McGregor, 2005), antara lain:

a) Tidak ada titik singular (seperti kutub utara atau selatan).

b) Tidak ada boundary yang pokok – CCAM sebagai model global.

c) Grid-nya dapat di-strech untuk resolusi prediksi yang tinggi (s.d 1 km).

d) Streching tersebut dapat ditempatkan di manapun di seluruh belahan bumi.

e) Konveksi cumulus menggunakan skema fluks massa terbaru dari CSIRO,

termasuk downdrafts.

f) Skema vegetasi/kanopi, 6 lapisan untuk temperatur tanah dan 6 lapisan untuk

kelembaban tanah (Richard)

Page 9: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 9

Sama seperti model prediksi cuaca pada umumnya, hasil prediksi modelnya

sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, perairan, topografi, tipe tanah, dan tipe

tata guna lahan secara signifikan. CCAM akan menentukan data topografi yang

diperlukan setelah pengguna model menentukan lintang dan bujur daerah

kajiannya. Sebagai catatan bahwa semua koordinat dalam CCAM (termasuk

lintang dan bujur) relatif terhadap topografinya.

CCAM menyimpan data topografi dalam 3 skala yang berbeda, yaitu: resolusi

data topografi 10 km untuk seluruh dunia, 1 km untuk seluruh dunia, dan 250 m

untuk benua Australia. Begitu pula dengan data tata guna lahannya, terdapat data

global resolusi 10 dengan 12 kategori tata guna lahan (SiB), dataset resolusi 6 km

untuk benua Australia dengan 33 kategori tata guna lahan (Gratez), dan dataset

kondisi tanah global dengan 10 kategori Zobler. Dan juga tersedia dataset

ekosistem dari MeteoFrance, yaitu: 1 km data global dengan 215 kategori tata

guna lahan, 10 km dataset tanah global (jenis pasir dan tanah lempung) yang

dikonversikan ke dalam 10 kategori Zobler (McGregor, 2005).

Faktor Schmidt dilambangkan dengan S; contoh nilai dari S adalah: S = 1 (non-

streched), S = 3 (resolusi yang tinggi pada panel 1). Implementasi dari faktor

Schmidt pada CCAM menempatkan sistem koordinat (X,Y,Z) terpusat pada

panel 1. Penjelasan lebih lengkap terdapat pada lampiran.

2.3 Prediksi Ensemble

Sejumlah model prediksi, baik skala global maupun regional, dijalankan untuk

membuat prediksi cuaca di seluruh belahan dunia. Dan dilakukan pula

penggunaan model prediksi ensemble yang dapat berfungsi untuk menentukan

nilai ketepatan hasil prediksi, dengan cara membandingkan hasil prediksi dari

beberapa model prediksi cuaca, ataupun dari berbagai hasil running suatu model

prediksi cuaca, biasa disebut sebagai member (anggota).

Page 10: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 10

Tiap model prediksi cuaca tentu saja dimulai dengan syarat awal yang sedikit

berbeda dikarenakan teknik yang juga berbeda dalam mengasimilasi dan

menganalisis data meteorologi. Seperti yang diperlihatkan oleh Edward Lorenz

(Comet, 1999), atmosfer dan model prediksi cuaca numerik bersifat chaotic,

artinya keduanya sangat sensitif terhadap syarat awal. Ini berarti perbedaan kecil

didalam syarat awal dapat menghasilkan perbedaan yang besar dalam rentang

waktu berikutnya.

Disamping itu, tiap model prediksi juga menggunakan metoda yang berbeda

untuk menghitung efek dinamik atmosfer, termasuk perbedaan resolusi vertikal

dan horizontal, dan perbedaan sistem koordinat vertikal. Contohnya, NCEP

(National Centers for Environmental Prediction) menggunakan koordinat sigma

untuk sistem prediksi globalnya, tetapi menggunakan koordinat step-mountain

atau eta untuk model regionalnya (model Eta). Tidak hanya efek dinamis, tiap

model juga memiliki teknik yang berbeda dalam mengestimasi efek dari proses

fisis yang tidak secara rinci dapat dimodelkan. Contohnya proses konveksi, radiasi

matahari dan radiasi gelombang panjang, serta proses microphysics yang

menghasilkan hujan (Kurniaji, 2009).

Satu atau lebih sumber ketidakpastian prediksi cuaca numerik inilah yang menjadi

titik awal tercetusnya ide brilian untuk melakukan prediksi cuaca numerik dengan

metode ensemble. Prediksi ensemble pada dasarnya merupakan suatu proses

running suatu model prediksi cuaca numerik beberapa kali dari intial time yang

sama, namun menggunakan kondisi awal yang sedikit berbeda (seperti yang

terlihat pada Gambar 2.6). Setiap proses running model prediksi dengan

menggunakan berbagai masukan nilai awal akan menghasilkan hasil prediksi yang

disebut sebagai ensemble member (anggota ensemble). Rata-rata dari hasil

running model tersebut dapat digunakan sebagai suatu hasil prediksi yang sering

disebut ensemble mean (Kurniaji, 2009).

Page 11: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 11

Gambar 2.6 Ilustrasi proses prediksi menggunakan metode ensemble

(Sumber: Goto, 2007)

Para peneliti juga telah melakukan perbandingan dari satu model prediksi yang

sama dengan running yang berbeda, dengan melihat bagaimana observasi yang

baru dapat mengubah output prediksi model dari waktu ke waktu. Prediksi

ensemble merupakan tools yang relatif baru untuk prediksi operasional berbasis

perbandingan banyak prediksi model secara saintifik dan lebih rapat (Comet,

1999).

Gambar 2.7 Metode prediksi ensemble Lagged Average Forecast (LAF)

(Sumber: Kalnay, 2003)

Pada tahun 1983, Hoffman dan Kalnay menunjukkan metode lagged average

forecast (LAF) dimana prediksi dilakukan tidak hanya pada waktu saat ini (t=0),

tetapi juga waktu-waktu sebelumnya (t= –τ, –2τ, …, – (N – 1) τ), untuk

melakukan prediksi ensemble (Gambar 2.7). Pada setup operasionalnya, τ secara

tipikal merupakan prediksi 6, 12, atau 24 jam-an, sehingga prediksi sudah

tersedia. Keuntungan dari metode LAF ini adalah: (1) kebanyakan prediksi sudah

tersedia pada pusat prediksi, misal: NCEP; (2) sangat mudah untuk dilakukan dan

tidak memerlukan generasi gangguan (perturbation) khusus; (3) terdapat “error

hari ini” pada gangguan (perturbation) (Lyapunov vectors). Kalnay dan Hoffman

melakukan perbandingan LAF dengan metode prediksi Monte Carlo (salah satu

Page 12: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 12

metode prediksi ensemble (Leith, 1974)), dan mereka menemukan bahwa rata-rata

prediksi ensemble menggunakan LAF sedikit lebih baik daripada metode Monte

Carlo, namun kelebihan dari LAF adalah skill prediksi yang lebih terlihat, dengan

korelasi antara prediksi dengan waktu observasi pada 50% level adalah 0,68 untuk

Monte Carlo dan 0,79 untuk LAF (Kalnay, 2003).

Gambar 2.8 Diagram spaghetti hasil ensemble

(Sumber: Comet Program, 1999) Produk ensemble seperti diagram spaghetti pada Gambar 2.8 menggunakan

berbagai macam metode statistik dan grafis untuk membandingkan banyak

running model, masing-masing berbasis pada initial condition yang berbeda atau

menggunakan konfigurasi dan/atau parameterisasi model yang berbeda. Secara

bersamaan, mereka dapat memasukkan informasi mengenai tingkat uncertainty

(ketidakpastian) prediksi, hasil prediksi yang bersinggungan, dan probabilitas dari

hasil-hasil prediksi tersebut. Dengan menambahkan hasil prediksi ensemble ke

toolkit NWP, forecaster mendapatkan tingkat informasi yang lain yang dapat

membantu mereka dalam membuat panduan penggunaan NWP yang cerdas dalam

proses prediksi mereka (Comet, 1999).

Ada dua alasan utama yang mendasari pentingnya prediksi ensemble dilakukan.

Pertama adalah ketidakpastian hasil prediksi (uncertainty), yang dapat muncul

dari setiap proses sistem NWP, seperti kumpulan data yang dimiliki (sistem

observasi), asimilasi data (sistem analisis), dan model prediksinya sendiri (proses

dinamik, komputasi, parameterisasi fisis, dll.). Pada penelitian awal yang

dilakukan oleh Lorenz pada tahun 1969 dan 1982, dikemukakan bahwa nilai

Page 13: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 13

kesalahan awal dapat berkembang sangat cepat menjadi skala yang berbeda

walaupun nilai kesalahan awal tersebut kecil. Faktanya, kesalahan prediksi akan

meningkat secara berkelanjutan sesuai dengan integrasi model sebelum proses

integrasi ini jenuh. Solusi optimal untuk menangkap serta mengurangi kesalahan

prediksi ini (uncertainty) adalah menggunakan prediksi ensemble pada prediksi

tunggal (deterministik), karena prediksi ensemble menghasilkan sekumpulan (set)

solusi yang acak-bersinggungan-mirip (independen) untuk waktu yang akan

datang (Zhu, 2005).

Alasan yang kedua adalah masalah prediksi itu sendiri. Hasil prediksi yang

memiliki kesalahan untuk rentang waktu prediksi yang lebih lama harus

dikuantifikasi. Berkurangnya kesalahan prediksi ensemble dapat meningkatkan

kemampuan prediksi jauh lebih tinggi (Zhu, 2005).

2.4 Prediksi Peluang Kejadian Hujan

2.4.1 Curah hujan

Curah hujan (presipitasi) didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang

jatuh ke permukaan bumi. Meskipun kabut, embun, dan embun beku (frost) dapat

berperan dalam alih kebebasan (moisture) dari atmosfer ke permukaan bumi,

unsur tersebut tidak ditinjau sebagai presipitasi. Bentuk presipitasi adalah hujan,

gerimis, salju, dan batu es hujan (hail). Hujan adalah bentuk endapan yang sering

dijumpai (Bayong, 2004).

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat penting bagi

kehidupan di bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci =

25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi

permukaan seluas 1 m2 adalah 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam

tanah atau menguap ke atmosfer. Di daerah tropis hujannya lebih lebat daripada di

daerah lintang tinggi (Bayong, 2004).

Page 14: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 14

Gerimis dikategorikan sebagai tetes dengan diameter kurang dari 0,5 mm,

intensitasnya 1 mm/jam. Gerimis merupakan tetesan yang sangat kecil dalam

jumlah besar yang tampaknya mengapung mengikuti arus udara. Sedangkan hujan

merupakan tetes dengan diameter lebih dari 0,5 mm, intensitasnya lebih dari 1,25

mm/jam. Tetes hujan lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan

gerimis sehingga lebih sedikit mengurangi jarak pandang (visibilitas) kecuali

untuk hujan lebat. Hujan lebat sangat terkait dengan intensitas curah hujan yang

mengguyur cakupan wilayah yang relatif kecil dalam waktu (durasi) yang singkat,

sedangkan curah hujan ringan dan sedang biasanya dikaitkan dengan pola cuaca

yang menyebar luas dengan durasi hujan lebih lama. Karena itu durasi hujan pada

umumnya berbanding terbalik dengan intensitasnya (Bayong, 2004).

Hujan dengan intensitas sangat ringan, terdiri dari tetes-tetes kecil yang hampir

tidak mencapai permukaan tanah disebut gerimis (drizzle). Jika tetes-tetes ini

menguap seluruhnya sebelum mencapai tanah, maka akan terjadi “kabut” (mist)

atau kabut tipis. Sebagian besar hujan di permukaan bumi disebabkan oleh udara

yang tidak stabil secara konvektif atau kondisional, yang berasal dari sumber yang

kompleks, misalnya sumber konveksi, orografi, atau siklonis. Karena itu hujan

konveksi bukan saja disebabkan oleh pemanasan permukaan, melainkan dapat

pula terjadi oleh udara yang naik karena konvergensi di sepanjang front atau

karena orografi (Bayong & Sri Woro, 2006).

2.4.2 Probability of Precipitation (PoP) dan Probabilistic Quantitative

Precipitation Forecast (PQPF)

PoP adalah sebuah pengukuran formal untuk peluang curah hujan yang sering

dikeluarkan oleh model-model prediksi cuaca. Di prediksi cuaca Amerika, PoP

adalah peluang untuk menyatakan bahwa lebih dari 1/100 kemunculan dari satu

inchi curah hujan akan turun pada suatu titik, yang telah dirata-ratakan diatas

wilayah prediksi. Sebagai contoh, jika terdapat peluang 100% hujan pada satu sisi

kota, dan 0% peluang hujan pada sisi lainnya, maka PoP-nya adalah 50%. Peluang

Page 15: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 15

50% kejadian badai hujan pada suatu kota pun ditunjukkan dengan PoP 50%

(Amburn, 2007). Definisi secara matematisnya adalah:

Dengan: PoP = Probability of Precipitation

C = Confidence atau tingkat kepercayaan bahwa hujan akan turun

dimanapun pada area prediksinya

A = Persen area yang akan menerima curah hujan yang diprediksi, jika

semuanya muncul.

PQPF menyediakan pendekatan yang paling baik mengenai peluang pada lokasi

manapun yang akan menerima sejumlah curah hujan yang sama atau melebihi

suatu nilai threshold tertentu. PoP merupakan peluang unconditional dari suatu

lokasi yang akan menerima sejumlah curah hujan yang sama atau melebihi suatu

nilai curah hujan tertentu, misal 0,01 inchi. PQPF mirip dengan itu, PQPF

diturunkan dari PoP dan QPF (Quantitative Precipitation Forecast), namun

dihitung untuk peluang dari beberapa nilai curah hujan, misalnya 0,1, 0,5, 1, dan 2

inchi, atau nilai-nilai curah hujan yang lainnya (Amburn, 2007).

Dalam penelitian-penelitian tentang prediksi hujan, digunakan PoP dan PQPF

sebagai metode untuk mencari nilai ketidakpastian prediksi. Secara fundamental,

PoP dihasilkan dari hasil prediksi hujan yang dihasilkan oleh banyak member

(anggota) sehingga muncul nilai probabilitas untuk nilai prediksi hujan tertentu.

Dari hasil PoP tersebut, didapatkan prediksi nilai hujan yang sering muncul.

Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Tae-Young Goo et al (2007)

menunjukkan nilai threshold hujan dari hasil PoP prediksi untuk 5 harian, yaitu

0,5, 1, 2, 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 mm per hari. Namun, dari hasil tersebut hanya

ditentukan 2 threshold saja, yaitu 1 mm/hari dan 48 mm/hari, dengan masing-

masing sebagai indikator kejadian hujan ringan dan indikator kejadian hujan lebat.

Untuk mengevaluasi hasil tersebut, digunakan metode PQPF. Metode ini

menghitung nilai-nilai kesalahan dan kebenaran dari hasil prediksi hujan. Secara

statistik, metode ini dapat menggunakan threat score sebagai evaluasi hasil

Page 16: BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap

II - 16

prediksinya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuan Heiling et al (2004)

yang menggunakan pendekatan biner (0 dan 1) untuk mengevaluasi threshold

hujan. Kejadian yang teramati (lebih besar dari threshold) diberi nilai “1”,

sebaliknya diberi nilai “0”.