BAB II STRATEGI URBAN RENEWAL - · PDF fileserta menyadarkan pemerintah dalam ... yang satu...

56
10 BAB II STRATEGI URBAN RENEWAL 2.1. Konteks Urban Renewal Dalam sub bab ini, terdapat tiga bahasan utama yang terkait dengan upaya urban renewal. Pertama, pengertian urban renewal dimana tujuannya untuk menjelaskan arti urban renewal. Yang kedua, latar belakang dilakukannya urban renewal. Kemudian yang terakhir, prinsip urban renewal bertujuan untuk menjelaskan bentuk upaya urban renewal dan faktor-faktor yang mempengaruhi penanganannya. 2.1.1 Pengertian Urban Renewal Urban renewal merupakan bentuk intensifikasi kota akibat kebutuhan akan ruang dan pertumbuhan kota yang sangat pesat. Secara sederhana, urban renewal dapat diartikan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali fungsi bagian kota yang telah menurun vitalitasnya. Pengertian tersebut, disimpulkan dari pengertian-pengertian urban renewal berikut ini: 1. Buissink (1985) memberi pengertian bahwa urban renewal merupakan usaha untuk memulihkan kembali bagian kota yang menurun kualitasnya dan tidak terpakai melalui perencanaan kembali bagian kota agar dapat berfungsi kembali dan meningkat nilai ekonominya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pada saat itu. 2. Couch (1990) mengatakan bahwa urban renewal merupakan proses perubahan fisik, perubahan fungsi, dan proses perubahan intensitas pemakaian suatu lahan dan bangunan sebagai upaya peningkatan kualitas sosial ekonomi bagian kota. 3. Sujarto (2002) menyatakan bahwa urban renewal dapat diartikan sebagai pembaharuan kota, yaitu upaya untuk memperbaharui tatanan kehidupan kota, secara menyeluruh menyangkut peningkatan perilaku, pola kehidupan, dan cara hidup perkotaan melalui suatu reformasi tatanan kota secara sosial budaya, sosial ekonomi, dan tatanan lingkungan kota. Dari ketiga pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan urban renewal terkait dengan peningkatan kualitas lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Transcript of BAB II STRATEGI URBAN RENEWAL - · PDF fileserta menyadarkan pemerintah dalam ... yang satu...

10

BAB II

STRATEGI URBAN RENEWAL

2.1. Konteks Urban Renewal

Dalam sub bab ini, terdapat tiga bahasan utama yang terkait dengan upaya urban

renewal. Pertama, pengertian urban renewal dimana tujuannya untuk menjelaskan arti

urban renewal. Yang kedua, latar belakang dilakukannya urban renewal. Kemudian

yang terakhir, prinsip urban renewal bertujuan untuk menjelaskan bentuk upaya urban

renewal dan faktor-faktor yang mempengaruhi penanganannya.

2.1.1 Pengertian Urban Renewal

Urban renewal merupakan bentuk intensifikasi kota akibat kebutuhan akan

ruang dan pertumbuhan kota yang sangat pesat. Secara sederhana, urban renewal dapat

diartikan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali fungsi bagian kota yang telah

menurun vitalitasnya. Pengertian tersebut, disimpulkan dari pengertian-pengertian

urban renewal berikut ini:

1. Buissink (1985) memberi pengertian bahwa urban renewal merupakan usaha untuk

memulihkan kembali bagian kota yang menurun kualitasnya dan tidak terpakai

melalui perencanaan kembali bagian kota agar dapat berfungsi kembali dan

meningkat nilai ekonominya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pada saat itu.

2. Couch (1990) mengatakan bahwa urban renewal merupakan proses perubahan fisik,

perubahan fungsi, dan proses perubahan intensitas pemakaian suatu lahan dan

bangunan sebagai upaya peningkatan kualitas sosial ekonomi bagian kota.

3. Sujarto (2002) menyatakan bahwa urban renewal dapat diartikan sebagai

pembaharuan kota, yaitu upaya untuk memperbaharui tatanan kehidupan kota,

secara menyeluruh menyangkut peningkatan perilaku, pola kehidupan, dan cara

hidup perkotaan melalui suatu reformasi tatanan kota secara sosial budaya, sosial

ekonomi, dan tatanan lingkungan kota.

Dari ketiga pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan urban renewal

terkait dengan peningkatan kualitas lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial-budaya.

11

Dalam hal ini, yang termasuk dalam aspek lingkungan fisik, antara lain kondisi

bangunan, jalan, dan infrastruktur kota lainnya. Kemudian, yang berkaitan dengan aspek

ekonomi, seperti nilai lahan hingga investor. Sementara, yang termasuk dalam aspek

sosial-budaya, diantaranya pola pikir dan cara hidup warga kota. Ketiga aspek tersebut

saling berhubungan satu dengan yang lain guna meningkatkan vitalitas bagian kota.

Sebagai contohnya, pembaharuan kawasan permukiman kumuh di Jefferson,

Loa Angeles. Kawasan tersebut, dirubah menjadi permukiman vertikal yang dilengkapi

fasilitas umum dan komersial (Weaver, 1964; Eisner, 1993). Salah satu cara guna

menarik investornya, melalui peningkatan akses menuju kawasan, sehingga

pencapaiannya mudah. Kemudian untuk menghubungkan permukiman dengan fasilitas

umum dan komersial yang jaraknya berdekatan, maka di buat jalan pejalan kaki.

Penyediaan jalan tersebut, bertujuan juga untuk membiasakan warga berjalan kaki

dalam beraktivitas. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa peningkatan kualitas fisik,

dapat membantu meningkatkan kualitas ekonomi, dan merubah cara hidup warga kota.

2.1.2 Latar Belakang Urban Renewal

Pasca penemuan mesin uap, ekonomi Amerika Serikat beralih dari pertanian ke

industri. Masyarakat dan sumber daya alam mengalami eksploitasi untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup. Pabrik banyak berdiri di perkotaan, akan tetapi karena tenaga kerja

manusia sudah berkurang maka mendorong arus migrasi ke kota. Selama kurun waktu

30 tahun, dari tahun 1900 hingga 1930 jumlah penduduk kota di Amerika Serikat

bertambah sekitar 30 juta penduduk, atau rata-rata pertumbuhan penduduk per tahunnya

mencapai 1 juta orang3.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan sarana dan prasarana

kota bertambah, salah satunya permukiman. Akan tetapi karena, pemerintah kota dan

swasta tidak mampu menyediakan permukiman dalam jumlah cukup, menyebabkan

terbentuknya pemukiman kumuh dalam bentuk rumah petak. Berkembangnya rumah-

rumah petak yang padat di pusat kota, mendorong berkembangnya protes menentang

serta menyadarkan pemerintah dalam memegang tanggung jawab yang semakin besar

3 Judd, Dennis R. dan Swanstrom, Todd. (1994). City, politics, private power, and public policy. Harper Collins. New York.

12

atas perbaikan permukiman kota. Pada tahun 1881, beberapa industrialis Amerika mulai

membangun serta memperbaiki perumahan pekerja mereka (Eisner, 1993). Akan tetapi

jumlah ini sangat sedikit, sehingga tidak banyak memberi sumbangan bagi pemecahan

permukiman di pusat kota.

Perkembangan kota industri di Amerika Serikat kemudian diikuti oleh masa

depresi pada tahun 1930-an. Bagian kota menjadi turun vitalitas dan kualitas fisiknya,

karena berkembangnya permukiman kumuh, pajak dan harga tanah yang tinggi, hingga

kemacetan dan polusi yang ditimbulkan oleh transportasi kota (Wilson, 1966).

Kerusakan fisik terjadi di daerah permukiman kumuh, pusat perdagangan, dan industri.

Kondisi tersebut mendorong terjadinya perpindahan aktivitas ke luar pusat kota,

sehingga tersebar sekumpulan bangunan industri dan perdagangan yang memburuk.

Kondisi kota yang memburuk, mendorong dilakukannya upaya urban renewal

agar vitalitas bagian kota menjadi meningkat kembali. Strategi yang diterapkan dengan

cara mengosongkan daerah kumuh dan usang dan membangun kembali jalan-jalan,

yang kemudian menjual daerah itu kepada developer dengan harga murah (Catanese dan

Snyder, 1979). Dengan demikian, developer bisa membangun kembali bagian kota

menjadi tempat layak huni. Pemerintah kota pun memperoleh manfaat, karena

hilangnya daerah kumuh dan usang, bertambahnya sumber pajak, serta adanya

peningkatan taraf hidup masyarakat.

2.1.3 Prinsip Urban Renewal

Upaya urban renewal pada suatu bagian kota dilakukan berdasarkan penilaian

atas tingkat permasalahan yang dihadapi, tingkat potensi, dan tingkat prospek yang

dimiliki bagian kota tersebut. Hal itu dilakukan guna mengetahui kekuatan dan

kelemahan dari bagian kota yang diremajakan. Tujuannya agar strategi urban renewal

yang dilaksanakan berhasil mengatasi permasalahan dan kelemahan yang ada, serta

vitalitas bagian kota tersebut dapat meningkat.

Penilaian terhadap kondisi bagian kota dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu lokasi,

pelaku, dan waktu (Buissink, 1985). Faktor lokasi terkait dengan masalah fisik,

sementara faktor pelaku terkait dengan masalah pembiayaan. Kemudian faktor waktu

terkait dengan masalah perencanaan dan pelaksanaan. Bentuk penanganan bagian kota

13

yang satu tidak sama dengan bagian kota yang lain, karena urban renewal berangkat

dari kekuatan dan kelemahan yang ada pada ketiga faktor tersebut. Oleh karena itu, sifat

urban renewal adalah custom.

Setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu bagian kota, maka kita bisa

melaksanakan strategi yang tepat untuk meningkatkan vitalitasnya. Strategi urban

renewal dapat dilakukan dalam tiga bentuk (Buissink, 1985). Pertama, dengan

peningkatan efisiensi, keefektifan, dan produktifitas fungsi yang ada pada saat itu. Yang

kedua, dengan menghidupkan kembali fungsi lama yang telah lama pudar. Kemudian

terakhir, dengan memberikan fungsi baru yang menurut pertimbangan akan lebih

efisien, efektif, dan produktif di tempatkan di bagian kota tersebut.

Gambar 2.1. Diagram Kerangka Fikir Urban Renewal

Sumber: Sujarto, Djoko. (2002). Kertas Kerja; Peremajaan Kota. Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung.

Upaya untuk meningkatkan vitalitas bagian kota tidak terbatas pada sektor

ekonomi saja, tetapi juga sektor sosial dan fisik. Pada prinsipnya urban renewal terkait

14

dengan lima upaya pembangunan kota (Wilson, 1966; Eisner, 1993). Pertama,

perbaikan kondisi fisik lahan, guna meningkatkan nilai ekonomi lahan. Yang kedua,

dengan memaksimalkan intensitas bangunan lahan secara efektif dan efisien. Kemudian

ketiga, melakukan restrukturisasi fungsi kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan

kota. Keempat adalah mengembangkan beragam tipe hunian dengan tingkat kepadatan

menengah atau tinggi. Yang terakhir dengan merencanakan fungsi komersial,

perkantoran, hunian, dan pelayanan kota, dan ruang terbuka publik dalam jarak yang

dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

2.2. Faktor-faktor dalam Pelaksanaan Urban Renewal

Dalam sub bab ini, akan dijelaskan lebih jauh mengenai tiga faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan urban renewal. Ketiga faktor tersebut adalah lokasi, pelaku,

dan waktu (Buissink, 1985). Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa urban renewal

berhubungan dengan permasalahan fisik, sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan lainnya,

tetapi yang akan menjadi fokus dalam pembahasan sub bab ini adalah yang terkait

dengan masalah-masalah fisik.

2.2.1 Faktor Lokasi

Faktor lokasi berhubungan dengan tiga faktor perencanaan kota dalam

pelaksanaan urban renewal. Pertama, aksesibilitas yang berhubungan dengan akses

menuju lokasi perencaanaan dan struktur jalan di sekitarnya. Kemudian, peruntukan

lahan berhubungan dengan faktor lingkup kawasan dan hubungan dengan aktivitas lain

di lokasi tersebut. Terakhir, intensitas bangunan berhubungan dengan kepadatan ruang

di lokasi perencanaan yang dapat mempengaruhi kualitas ruang.

Pelaksanaan urban renewal guna meningkatkan vitalitas bagian kota, berdampak

terjadinya perubahan pada 3 faktor perencanaan kota. Pertama, terjadi perubahan pada

peruntukan lahan. Penurunan vitalitas bagian kota telah mendorong dilakukannya

pembaharuan fungsi kegiatan agar menjadi lebih menarik, baik untuk warga kota

maupun para investor (Weaver, 1964; Eisner, 1993). Contoh kasusnya adalah daerah

industri yang usang di ganti fungsinya menjadi mall dan apartemen.

15

Yang kedua, adanya perubahan pada intensitas bangunan. Upaya ini dilakukan

untuk menyelamatkan bagian kota yang menurun vitalitasnya. Tujuannya untuk

mengoptimalkan lahan, sehingga bisa menarik investor. Sebagai contoh, pembaharuan

daerah permukiman kumuh menjadi apartemen 6 lantai di kawasan Jefferson, Los

Angeles, pasca perang dunia ke-2 (Weaver, 1964; Eisner, 1993). Di kawasan sekitarnya

dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, fasilitas umum, dan fasilitas perdagangan.

Kemudian yang terakhir adalah perubahan aksesibilitas. Seiring adanya

perubahan dan peningkatan fungsi kegiatan, maka jangkauan pelayanan ikut meningkat.

Kondisi tersebut akan menimbulkan daya tarik kegiatan, sehingga akan menyebabkan

timbulnya masalah pergerakan orang. Sebagai pencegahannya, perlu direncanakan

aksesibilitas yang baik, bagi kendaraan dan pejalan kaki (Sujarto, 2002).

a) Peruntukan lahan

Perkembangan kota ke arah pinggiran pada masa industrialisasi di Amerika

menyebabkan terpisahnya tempat bekerja dengan tempat bermukim. Hal ini berdampak

pada tidak terciptanya keanekaragaman kegiatan di kota yang mengarah pada matinya

kegiatan di bagian kota lain (Tiesdell, 1996). Sebagai contoh, kegiatan komersial dan

perkantoran di pusat kota akan hidup pada siang hari, karena pada saat itulah waktu

penduduk kota beraktivitas. Kemudian daerah hunian di luar kota menjadi daerah mati,

karena ditinggalkan oleh penghuninya. Sebaliknya, pada malam hari daerah komersial

dan perkantoran akan mati, karena para pekerja telah kembali ke tempat tinggalnya.

Ketika masa depresi, kegiatan menjadi vakum karena banyak aktivitas industri

dan perdagangan yang pindah dari pusat kota ke pinggir kota. Akibat dari perpindahan

aktivitas tersebut, pusat kota menjadi hilang vitalitasnya (Eisner, 1993). Sementara itu

pusat kota masih dipadati oleh permukiman kumuh dan masyarakat miskin. Untuk

mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu strategi dalam upaya urban renewal.

Strategi pertama yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kepadatan

penduduk di pusat kota. Caranya dengan merencanakan daerah industri baru didaerah

pinggiran kota secara teratur yang dilengkapi dengan daerah permukiman pekerja

beserta prasarananya (Eisner, 1993). Upaya tersebut diperkuat dengan adanya peraturan

(Housing Act) mengenai peningkatan standar dan kondisi perumahan dari pemerintah

16

pusat. Melalui strategi ini diharapkan dapat menarik masyarakat dari pusat kota untuk

datang dan menetap di daerah tersebut.

Setelah pusat kegiatan baru dibangun, maka strategi selanjutnya memperbaiki

bagian kota yang mengalami kerusakan fisik dan menurun vitalitasnya. Perbaikan

dilakukan dengan memperbaharui kota kembali dan mempercantik bagian kota. Daerah

industri dan perdagangan yang sudah ditinggalkan mulai ditata ulang kembali

pemanfaatan dan fungsinya agar lebih efektif dan menarik lagi. Kemudian daerah

permukiman kumuh diremajakan, sehingga huniannya menjadi lebih beragam dari

mulai tipe hingga tingkat kepadatannya (Eisner, 1993). Pada daerah permukiman

tersebut disediakan juga berbagai fasilitas pelayanan umum bagi penghuninya.

Dari penelusuran latar belakang urban renewal, diketahui bahwa salah satu

konsep urban renewal untuk meningkatkan vitalitas, dengan cara peruntukan lahan

multi fungsi. Perencanaan fungsi bagian kota dengan peruntukan lahan multi fungsi

melalui penggabungan tempat hunian dengan tempat kerja, dapat memperpendek jarak

tempuh warga kota, menghemat energi, dan mengurangi polusi (Coupland, 1997).

Penggabungan kedua aktivitas tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan aktivitas

pendukung, sehingga memperkaya keragaman aktivitas dan menghidupkan aktivitas

bagian kota dari pagi hingga malam. Aktivitas pendukung yang mungkin untuk

berkembang diantaranya toko-toko, cafe, dan restoran.

Perencanaan kegiatan multi fungsi merupakan salah satu aspek penting dalam

merencanakan suatu bagian kota agar menjadi lebih hidup aktivitasnya. Keuntungan

dari peruntukan lahan multi fungsi adalah tingkat pencapaian tinggi, yang dapat

memberikan kemudahan dan efisien waktu kepada pengguna (Coupland, 1997). Hal

tersebut berkaitan erat dengan peningkatan kualitas ekonomi sebagai bagian dari upaya

urban renewal, karena nilai lahan akan meningkat bila aksesibilitasnya tinggi.

Terdapat tiga kegiatan dalam perencanaan kegiatan multi fungsi yaitu, komersial

yang meliputi komersial-perkantoran dan komersial-retail, hunian, dan fasilitas

pelayanan umum kota. Berdasarkan hasil survey pembangunan multi fungsi di kawasan

perkotaan, fungsi komersial memiliki nilai rata-rata pembangunan sebesar 70%, fungsi

hunian rata-rata pembangunannya sebesar 25%, sementara fungsi pelayanan umum kota

nilai rata-rata pembangunan sebesar 5% (ULI, 1987).

17

Tabel 2.1. Proporsi Fungsi dalam Pembangunan Multi Fungsi

No Proyek Luas Lahan

Hunian Komersial Pelayanan Umum

1 Waterfront Place, Seattle. 1.6 Ha 25 % 72 % 3 %2 Omni Internasional Atalanta 2.3 Ha 30 % 60 % 10 %3 Horton Plaza, California. 4.5 Ha 32 % 66 % 2 %4 IDS Centre Minneapolis. 10.1 Ha 13 % 84 % 3 %5 The Gateaway, Utah. 12.5 Ha 34 % 58 % 8 %6 The Galleria, Houston. 13.3 Ha 21 % 79 % 0 %7 Kensington Galleria, Oklahoma. 19.0 Ha 38 % 55 % 7 %8 Atlanta Galleria 34.4 Ha 14 % 76 % 10 %Nilai rata-rata pembangunan 25 % 70 % 5 %

Sumber: ULI (1987), Mixed-Use Development Handbook.

b) Intensitas Bangunan

Intensitas bangunan dan proporsi kegiatan pada pembangunan multi fungsi

adalah dinamis, artinya intensitas dan proporsi pembangunan lokasi satu dengan lokasi

lain belum tentu sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu tingkat

aksesibilitas (kendaraan dan pejalan kaki), nilai lahan, potensi lokasi dilihat dari tatanan

kota yang lebih luas, daya dukung lahan, serta intervensi teknologi yang dapat

meningkatkan kemampuan lahan4.

Tinggi rendahnya aksesibilitas berbanding lurus dengan intensitas bangunan.

Semakin tinggi aksesibilitas berdampak pada besarnya intensitas bangunan, karena

adanya kemudahan pergerakan orang. Sebaliknya, apabila aksesibilitas rendah maka

intensitas bangunannya tidak akan tinggi, karena sulitnya pergerakan orang dari satu

aktivitas ke aktivitas lain. Lokasi yang memiliki aksesibilitas rendah berdampak pada

sepinya aktivitas, sehingga dapat menyebabkan penurunan vitalitas kota. Lokasi dengan

aksesibilitas tinggi umumnya digunakan untuk fungsi komersial retail dan komersial

perkantoran. Kualitas aksesibilitas dipengaruhi oleh fungsi dan hirarki jalan, serta jarak

dengan sarana transportasi kota (Soesilo, 1999).

Umumnya lokasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi digunakan untuk fungsi

komersial guna memperoleh keuntungan ekonomi, sementara fungsi perumahan

biasanya berada pada lokasi dengan nilai ekonomi rendah. Nilai ekonomi tersebut

dipengaruhi oleh jarak lokasi (lahan perencanaan) terhadap pusat kota atau central

4 Danisworo, Mohammad. (1996). Rangkuman Kuliah AR 602, Teori dan Prinsip Perancangan Kota. Program Magister Arsitektur, Institut Teknologi Bandung.

18

busiess district, sarana transportasi kota, aktivitas lain yang mendukung aktivitas di

lahan tersebut, serta kualitas lingkungan di sekitarnya (Soesilo, 1999). Dalam hal ini

faktor jarak berfungsi secara negatif dalam hubungannya dengan nilai ekonomi lahan,

artinya makin besar jarak-jarak tersebut maka nilai ekonomi lahan menjadi rendah.

Implikasinya, semakin tinggi nilai lahan maka intensitas bangunannya tinggi, begitu

juga sebaliknya.

Potensi lokasi (lahan perencanaan) dilihat berdasarkan fungsi lokasi secara

makro. Berdasarkan fungsinya, perkotaan terdiri atas fungsi perumahan, perdagangan,

jasa, pemerintahan, industri, militer, dan fasilitas umum. Intensitas bangunan pada

fungsi jasa dan perdagangan cenderung tinggi. Kemudian untuk fungsi industri, militer,

dan pemerintahan, intensitas bangunannya termasuk dalam klasifikasi menengah.

Fungsi perumahan dan fasilitas umum merupakan fungsi yang intensitas bangunannya

cenderung rendah5.

Intensitas bangunan berbanding lurus dengan kemampuan daya dukung

lahannya. Daya dukung lahan tersebut ditentukan oleh sifat-sifat tanah meliputi

kemiringan tanah, jenis batuan, jenis tanah, kedalaman tanah keras, dan hidrologi6.

Lahan yang memiliki kemampuan tanah baik, maka intensitas bangunannya akan tinggi.

Sebaliknya, apabila kemampuan tanahnya tidak baik maka intensitas bangunannya akan

rendah. Sebagai contoh, intensitas bangunan di lahan dengan kemiringan tinggi akan

lebih kecil dibandingkan dengan intensitas bangunan di lahan yang memiliki

kemiringan tanah rendah (relatif datar).

Intervensi teknologi dilakukan pada lahan yang memiliki kondisi tanah kurang

baik untuk pembangunan kota. Melalui intervensi teknologi diharapkan kemampuan

daya dukung lahan menjadi meningkat, sehingga intensitas bangunannya pun berubah

dan pembangunan kota dapat dilaksanakan di lahan tersebut (Danisworo, 1996).

c) Aksesibilitas

Peruntukan lahan tidak bisa terlepas dari keberadaan aksesibilitas sebagai jalur

pergerakan orang. Untuk mendukung fungsi perkantoran, komersial, hunian, dan 5 Pemerintah Kota Bandung. (2005). Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pusat Kota Bandung Tahun 2005. 6 Ibid.

19

aktivitas pendukung pada penggunaan lahan multi fungsi, perlu direncanakan

aksesibilitas yang memiliki keragaman rute pencapaian, keragaman suasana, hingga

adanya jalan tembusan (Coupland, 1997). Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan

warga kota pergi berkativitas dari satu fungsi ke fungsi lainnya. Ruang kota yang baik

adalah ruang kota yang memiliki multi akses.

Pencapaian kendaraan

Susunan penempatan kegiatan pada lahan multi fungsi dipengaruhi oleh hirarki

jalan, yaitu berdasarkan fungsi dan sistem jalan. Lokasi (lahan perencanaan) yang

dilalui jalan utama umumnya direncanakan untuk fungsi komersial perkantoran dan

komersial retail, karena nilai ekonomi lahannya tinggi (Coupland, 1997). Sementara

yang tidak dilalui jalan utama, bisa difungsikan untuk fungsi hunian.

Menurut Undang-undang RI No.38 Tahun 2004 tentang jalan, fungsi jalan

terbagi menjadi 4, yaitu jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan.

Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani pergerakan lalu lintas antar kotam,

dengan lebar jalan minimal 8 meter. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang

memiliki lebar jalan minimal 7 meter, dan berfungsi melayani pergerakan lalu lintas

antar wilayah dalam kota. Kemudian, jalan lokal merupakan jalan umum yang melayani

pergerakan lalu lintas antar persil dalam kota. Jalan-jalan yang terintegrasi dapat

mengurangi tingkat kepadatan kendaraan, karena memudahkan pergerakan orang dari

satu aktivitas ke aktivitas lain.

Berdasarkan sistemnya jalan dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.

Jalan primer merupakan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa

untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan

semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan, seperti pusat industri,

terminal barang, pelabuhan, bandara udara, pasar induk, dan pusat perdagangan. Jalan

primer memiliki lebar jalan minimal 8 meter dan panjang jalan minimal 1.2 Kilometer7.

Jalan sekunder merupakan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa

7 -. (1990). Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan Di Wilayah Perkotaan. No. 010/T/BNKT/1990. Pembinaan Jalan Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga.

20

untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Jalan sekunder memiliki lebar jalan

minimal 7 meter8.

Seluruh jalan itu diperuntukan untuk kendaraan pribadi dan umum/transportasi

kota. Pemakaian kendaraan pribadi dalam jumlah besar dapat mengakibatkan terjadinya

kemacetan, polusi udara, hingga kurangnya sarana parkir. Guna menguranginya perlu

ditingkatkan penggunaan transportasi kota, seperti bis. Selain itu, perlu disediakan juga

sarana pendukung, seperti area transit dan jalur pedestrian yang terhubung dengan moda

transportasi lain (kereta bawah tanah) serta tempat kerja (Calthrope, 1993). Transportasi

kota memberikan banyak keuntungan bagi kota, antara lain kapasitas penumpang yang

dilayaninya lebih besar serta membantu menghidupkan aktivitas di sekitar area transit.

Bahaya dan dampak negatif dari kendaraan bukan hanya polusi udara dan suara,

tetapi termasuk bahaya akibat kecepatan laju kendaraan. Tabrakan antar sesama

kendaraan ataupun tertabraknya pejalan kaki oleh kendaraan merupakan bahaya yang

bisa ditimbulkannya. Oleh karena itu, perlu usaha untuk memperlambat laju kendaraan.

Prinsipnya dengan memperpendek jarak antar persimpangan jalan, yaitu jarak panjang

minimumnya 90 meter dan panjang maksimumnya 200 meter (Katz, 1994).

Perencanaan jarak tersebut, bertujuan juga untuk memberikan kemudahan pencapaian

dari satu aktivitas ke aktivitas lain.

Seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan, maka akan meningkatkan

kebutuhan akan sarana parkir. Kekurangan kapasitas jumlah parkir pada fungsi

bangunan dapat memberikan beban baru pada lingkungannya. Maka dari itu, kapasitas

parkir harus direncanakan sesuai dengan fungsi kegiatannya. Kemudian, untuk

menghindari konflik antara kendaraan dengan pejalan kaki, parkir kendaraan dapat

direncanakan di basement, di belakang atau di samping bangunan (Katz, 1994).

Pencapaian pejalan kaki

Terdapat tiga hal yang terkait dengan keberhasilan jalan pejalan kaki dalam

menghidupkan bagian kota, yaitu kualitas fisik, keamanan dan kenyamanan, serta

keragaman aktivitas. Intensitas penggunaan jalan pejalan kaki berbanding lurus dengan

8 -. (1990). Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan Di Wilayah Perkotaan. No. 010/T/BNKT/1990. Pembinaan Jalan Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga.

21

kualitas fisik yang dimilikinya (Zeeger, 2002). Jika memiliki kualitas fisik yang baik

maka dapat mendorong orang untuk pergi dengan berjalan kaki. Sebaliknya, jika tidak

memiliki kualitas yang baik maka orang enggan untuk berjalan kaki dalam melakukan

aktivitas. Street furniture, jalur hijau (pohon), dan lampu penerangan merupakan

elemen-elemen yang dapat meningkatkan kualitas jalan pejalan kaki.

Faktor keselamatan pengguna jalan pejalan kaki tidak hanya dari bahaya akibat

kendaraan bermotor tetapi juga berasal dari tindakan kejahatan manusia. Jalan pejalan

kaki yang sulit pencapaiannya dan tidak memiliki lampu penerangan di malam hari,

umumnya tidak bisa memberikan rasa aman kepada pengguna (Zeeger, 2002). Oleh

karena itu, elemen jalan pejalan kaki bertujuan juga untuk memberikan rasa aman dan

nyaman kepada pengguna.

Untuk menghindari bahaya akibat dari kendaraan bermotor, perlu dibuat batas

yang tegas antara jalan kendaraan dan pejalan kaki. Beberapa perancangannya adalah

pemberian rambu lalu lintas, memperpendek jarak persimpangan, dan penyediaan jalur

hijau diantara kedua jalan sirkulasi. Standar perencanaan jalur hijau, yang dapat

ditanami pepohonan adalah antara 1.8 sampai 2.4 meter (Jacobs, Macdonald, dan Rofe,

2001). Jalur hijau tersebut umumnya ditanami oleh pohon yang berfungsi untuk

mengurangi polusi udara kendaraan dan memberikan kenyamanan dari pengaruh cuaca.

Gambar tampak atas, potongan, dan foto suasana di jalan Saint Michel Paris. Jalan pejalan kaki yang

nyaman, aman, dan memiliki keragaman aktfitas dapat mendorong orang untuk berjalan kaki, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan mengurangi pencemaran polusi udara dan suara.

Gambar 2.2. Saint Michel Paris Sumber: Jacobs, Allan B. (1993), Great Streets, MIT Press, Cambridge. dan www.google.com

22

Keragaman fungsi dan aktivitas sepanjang jalan pejalan kaki diperlukan untuk

mendukung vitalitas kehidupan ruang kota, seperti kafe dan retail (fungsi komersil),

ruang pertunjukan (plaza), dan penjual koran. Keragaman tersebut berpengaruh pada

perancangan lebar jalannya. Lebar standar jalan pejalan kaki untuk fungsi sirkulasi saja

adalah 1.5 – 2.4 meter, sementara jalan pejalan kaki untuk fungsi campuran termasuk

komersil-retail memiliki lebar antara 3.6 – 4.8 meter (De Chiara, 1984; Jacobs, 1993).

Jalan pejalan kaki yang memiliki kualitas fisik baik dan memiliki fungsi beragam dapat

menciptakan identitas suatu bagian kota.

Akses pejalan kaki dan daerah transit adalah dua hal yang saling melengkapi.

Orang harus dengan mudah pergi menuju ke tempat transit melalui jalan pejalan kaki,

untuk menggunakan transportasi umum. Apabila jalan pejalan kaki dan daerah transit

sudah terintegrasi, maka dapat mendorong orang menggunakan transportasi umum

untuk beraktivitas (Zeeger, 2002). Kenyamanan transportasi umum yang sudah baik jika

tidak ditunjang oleh kualitas jalan pejalan kaki dan daerah transit, maka dapat membuat

orang beralih menggunakan moda lain (contoh: kendaraan pribadi).

2.2.2 Faktor Pelaku

Faktor pelaku dalam pelaksanaan urban renewal, terkait dengan sistem

kerjasama dan pengadaan keuangan. Sistem kemitraan antara pemerintah dan swasta

perlu dilaksanakan, karena sulitnya pengadaan lahan dan keuangan. Sistem tersebut bisa

dilakukan melalui tanggung jawab pemerintah dalam pengadaan lahan. Kemudian,

tanggung jawab swasta dalam pengadaan dana, pengadaan lapangan kerja,

meningkatkan kualitas lingkungan, dan pengelolaan proyek peremajaan. Sumber

pembiayaan dalam sistem kerjasama dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu revenue

financing, debt financing, dan equity financing (Hirawan, 1995).

a) Revenue financing

Land readjustment/konsolidasi tanah merupakan salah satu sistem kerjasamanya.

Pada dasarnya program ini bertujuan untuk menata dan mengatur kembali fungsi tanah,

terutama di daerah permukiman penduduk (Blanco, 2005). Melalui konsolidasi tanah,

luas tanah yang dimiliki oleh seseorang akan berkurang tapi nilainya bertambah, karena

23

kualitas lingkungan fisiknya menjadi lebih baik. Keuntungannya, pemerintah dapat

mengatur kepemilikan privat, dapat melibatkan pemilik lahan dalam program, serta

dapat menyeimbangkan nilai lahan kota secara optimal.

b) Debt financing

Ada dua jenis sumber pembiayaannya, yaitu excess condemnation dan linkage.

Excess condemnation dikenal dengan metode pembiayaan secara tidak langsung,

dimana sejumlah tanah diperuntukan pembangunan prasarana dan sejumlah lainnya

diberikan kepada investor untuk pembangunan komersial. Sebagai imbalannya, investor

berkewajiban membangun prasarana yang dibutuhkan. Upaya ini biasa digunakan untuk

membangun kembali daerah kumuh (Hirawan, 1995).

Sedangkan linkage dikenal dengan metode pembiayaan secara langsung.

Investor diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana sejenis di lokasi lain yang

kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di lokasi yang

mereka inginkan (Hirawan, 1995). Metode ini mulai digunakan di Indonesia dalam

pengadaan perumahan. Investor diberikan ijin untuk membangun perumahan mewah

dan sebagai kompensasinya pemerintah mewajibkan investor untuk membangun

perumahan sederhana di lokasi lain.

c) Equity Financing

Joint ventures dan concessions merupakan sumber pembiayaan yang biasa

digunakan dalam sistem kerjasama ini. Sistem joint ventures dilakukan oleh dua belah

pihak atau lebih, yang dapat melibatkan pihak swasta dan pemerintah. Masing-masing

pihak memiliki posisi yang seimbang dalam proyek yang bersangkutan, seperti besarnya

biaya yang dibagi rata atau dalam hal pengambilan keputusan (Rodney dan Clark,

2000). Tujuannya untuk menggabungkan keunggulan dan keahlian masing-masing

pihak, seperti swasta dalam hal keunggulan teknologi dan kemampuan manajemen,

sementara pemerintah dalam hal kewenangan. Dalam pelaksanaanya, sistem ini sering

mengalami kendala, karena salah satu pihak merasa dirugikan dan tidak puas.

Sedangkan dalam sistem concessions, salah satu pihak di berikan kewenangan

guna menjalankan proyek. Dalam hal ini, pemerintah memberikan wewenang kepada

24

swasta untuk membangun, mengembangkan, dan memanfaatkan lahannya dalam kurun

waktu tertentu. Tujuannya untuk mendorong kompetisi pembangunan kota yang

dilakukan swasta dalam memberikan usulan/proposal kepada pemerintah, baik dari segi

pembiayaan atau kualitas perancangannya (Kerf, 1998). Sistem concessions cukup

beragam, diantaranya kontrak jasa, kontrak manajemen, kontrak sewa (leases), BOT

(Built, Operate, Transfer), BOO (Built, Operate, Own), dan divestiture (sektor swasta

mengambil alih seluruh kontrol perusahaan dengan membeli seluruh aset pemerintah).

Beberapa sistem kerjasama yang mulai di terapkan di Indonesia diantaranya

adalah linkage, land readjustment, joint ventures, dan concessions. Sistem kerjasama

linkage masih terbatas dalam sektor perumahan, dimana pemerintah menetapkan perlu

menyeimbangkan pembangunan perumahan mewah, sedang, dan sederhana (Hirawan

1995). Adanya ketentuan ini, secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam

penyediaan rumah sederhana atau sangat sederhana.

Contoh proyek nyata dari kerjasama antara pemerintah dan swasta adalah

Proyek Ex-Bandar Udara Kemayoran Jakarta. Yang menerapkan sistem joint ventures

dalam pelaksanannya (Danisworo, 1996). Dalam kerjasama ini terjadi keseimbangan

antara besarnya sumbangan yang diberikan oleh investor dengan besarnya konsesi yang

diberikan oleh pemerintah kepada investor.

2.2.3 Faktor Waktu

Faktor waktu terkait dengan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses tersebut dapat dipengaruhi oleh

kemampuan dana, pengadaan lahan, serta peran pemerintah (Gale, 1984). Proyek urban

renewal merupakan proyek pembangunan kembali suatu bagian kota dari awal,

sehingga akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apabila memiliki kemampuan

dana yang kuat, maka proses perencanaan dan pelaksanaan dapat berjalan dengan cepat.

Sebaliknya, apabila tidak mimiliki kemampuan dana, maka prosesnya berjalan lambat.

Maka, perlu dilakukan sistem kerjasama dengan investor guna mengatasi masalah dana.

Sedangkan lamanya waktu pengadaan lahan dipengaruhi oleh kepemilikan

lahan. Kondisi yang mungkin terjadi, diantaranya lahan dimiliki oleh private dan

dimiliki oleh pemerintah tetapi sudah menjadi permukiman liar (Gale, 1984). Apabila

25

lahan dimiliki oleh private, pemerintah bisa membeli lahan tersebut. Sedangkan untuk

memindahkan permukiman liar, pemerintah selain memberikan uang pengambilalihan

kembali lahan, perlu juga menyediakan tempat bermukim baru bagi mereka.

Permasalahan kesulitan dana dan pengadaan lahan dapat di atasi apabila

pemerintah ikut serta dalam pelaksanaan urban renewal. Peran pemerintah terutama

dalam hal pemberian kebijakan, seperti kemudahan perizinan, keringanan pajak usaha

dan bangunan, serta kebijakan lain yang mendukung upaya urban renewal (Gale, 1984).

Investor asing maupun lokal banyak yang bekerjasama apabila pemerintah memberikan

kemudahan perizinan usaha maupun bangunan. Begitu juga halnya dengan pengadaan

lahan, apabila ada kepastian hukum dan penegakan peraturan dari pemerintah, maka

akan memudahkan proses pengadaan tanah.

2.3. Studi Banding Proyek Urban Renewal

Studi banding dilakukan untuk melihat sejauh mana kemungkinan suatu bagian

kota untuk dilakukan upaya urban renewal, serta sejauh mana keberhasilan pengadaan

hunian dalam upaya urban renewal. Penentuan objek studi banding adalah dengan cara

mencari objek kawasan yang memiliki kemiripan dalam beberapa aspek dengan lokasi

penelitian. Aspek-aspek tersebut antara lain perencanaan bagian kota melalui

pemanfaatan fungsi campuran, upaya urban renewal melalui pengadaan hunian, lokasi

perencanaan jaraknya dekat dengan stasiun kereta api dan pusat industri, serta properti

pada lokasi perencanaan dimiliki oleh pihak kereta api.

Dari pertimbangan aspek-aspek tersebut, maka diambil 3 objek studi banding:

a) Roppongi Hills di Tokyo merupakan proyek urban renewal di pusat kota melalui

pemanfaatan lahan dengan penggunaan campuran.

b) King’s Cross Central di London merupakan proyek urban renewal di kawasan

stasiun kereta api dengan penggunan campuran.

c) The Makkasan Complex di Bangkok merupakan proyek urban renewal di dekat

pusat kota dengan konsep “city with in city”.

26

2.3.1 Roppongi Hills, Tokyo.

a) Faktor lokasi

Roppongi Hills didirikan di distrik Roppongi, sebuah bagian pusat kota Tokyo

yang terkenal dengan berbagai fasilitas hiburan dan komersial. Daerah ini terbagi

menjadi dua bagian yaitu Utara dan Selatan. Pintu masuk utama berada di daerah Utara,

yang bisa dicapai dari stasiun kereta api bawah tanah maupun jalan utama kota9. Oleh

karena itu, daerah Utara diperuntukan untuk fungsi perkantoran. Di daerah Selatan yang

memiliki suasana lebih tenang difungsikan sebagai daerah hunian agar nyaman dihuni.

Untuk menghubungkan kedua fungsi ini, pada bagian tengahnya diperuntukan untuk

fungsi komersial dan ruang terbuka kota.

b) Faktor pelaku

Permasalahan awal yang dihadapi proyek Roppongi Hills serupa dengan proyek

pembangunan kembali bagian kota lainnya, yaitu kesulitan dalam pengadaan tanah.

Melalui program konsolidasi tanah, Minori Mori telah berhasil merangkul 400 lebih

orang yang memiliki tanah untuk mewujudkan idenya10. Selama pengambilalihan, para

pemilik tanah sudah disediakan fasilitas pengganti. Prinsip kerjasamanya bagi hasil

dengan pemilik tanah, Minori Mori sendiri berfungsi sebagai developer dan investor.

Partisipasi pemilik tanah dilibatkan dalam memberikan persetujuan lokasi konsolidasi

tanah, penyuluhan mengenai rencana pengembangan area dan pembangunan prasarana,

serta pengawasan pada pelaksanaan proyek.

c) Faktor Waktu

Roppongi Hills merupakan salah satu proyek yang dianggap telah berhasil dalam

memperkenalkan budaya hidup vertikal dengan keragaman kebutuhan hidup sehari-hari.

Proyek dengan ide compact city, memerlukan waktu pembangunan yang tidak sebentar

yaitu 17 tahun11. Hal yang mendasarinya adalah untuk lebih memperkenalkan budaya

hidup baru yang dikembangkan di Roppongi Hills kepada warga Tokyo. Tujuannya agar

dalam kurun waktu tersebut terjadi proses adaptasi dari warga kota. 9 http://www.jerde.com/press/ (di akses April 2007). 10 http://www.mori.co.jp/projects/roppongi/en_history.html (di akses April 2007) 11 Ibid.

27

d) Konsep pengembangan

Gambar 2.3. Roppongi Hills, Tokyo.

Sumber: http://www.mori.co.jp (di akses 28 Maret 2007)

Roppongi Hills didirikan oleh Minoru Mori. Proyek ini dinilai berhasil oleh

sebagian pengamat kota Jepang sebagai proyek cukup besar dalam pembangunan

kembali (urban renewal) bagian kota Tokyo sejak perang dunia kedua berakhir.

Pemikiran Minoru Mori berawal dari melihat cara hidup warga kota Tokyo, yang setiap

hari menghabiskan rata-rata 3 jam lebih perjalanan komuter antara rumah dan tempat

kerja12. Dari situ rasa keprihatinan timbul, bahwa warga Tokyo akan jarang berkumpul

dengan keluarganya, untuk pergi ke museum, berbelanja bersama, yang intinya

membuat hidup lebih nikmat. Rasa kagum terhadap arsitek Le Corbusier dan idenya

tentang hidup vertikal merupakan faktor lain yang mengilhami Minoru Mori.

Roppongi Hills didirikan di atas lahan tidak lebih dari 12 hektar. Melalui konsep,

menciptakan bagian kota yang kompak, komplit, dan terintegrasi dalam pola vertikal

sehingga nyaman dan terjangkau untuk dihuni13. Tanpa harus jauh-jauh pergi dari

sebuah lokasi, warga kota bisa melakukan segala aktivitas dengan mudah pada satu

lokasi. Jangka panjangnya, Minori Mori ingin membuat Tokyo sebagai sebuah kota

yang mudah ditinggali melalui sebuah konsep kota kompak (compact city).

Roppongi Hills menggabungkan beberapa fasilitas dalam satu lokasi, seperti

perkantoran, pendidikan, hiburan, dan hunian. Dari keseluruhan luas lahan, hanya 50 %

12 http://www.mori.co.jp/projects/roppongi/en_history.html (di akses April 2007) 13 http://www.roppongihills.com/jp/tour/articles/detail_other16.html (di akses April 2007).

28

saja yang digunakan untuk bangunan sementara sisanya berupa taman dan ruang

terbuka. Upaya ini dilakukan guna mengimbangi keragaman kegiatan dan kepadatan

bangunan di kawasan sekitar. Fasilitas yang dikembangkannya adalah14:

fasilitas perkantoran dan komersial berupa kantor sewa, stasiun TV Asahi,

pertokoan, restoran, kafe, dan bioskop. Luasan areanya mencapai 75% dari luas area

terbangun. Hal tersebut didasarkan pada kepentingan ekonomi, karena daerahnya

berada di pusat kota dan dekat dengan sarana transportasi kota.

fasilitas hunian berupa apartemen dengan 4 tower rendah dan tinggi, yang terdiri

atas 800 kamar. Luasan areanya mencapai 20% dari luas area terbangun.

fasilitas umum berupa museum, perpustakaan, dan observatorium. Luasan areanya

mencapai 5% dari luas area terbangun.

2.3.2 King’s Cross Central (KXC), London.

a) Faktor lokasi

Proyek King’s Cross Central berada pada lahan milik London and Continental

Railways (perusahaan kereta apinya London) dan DHL Exel, sebuah perusahaan yang

bergerak di bidang logistik. King’s Cross Station dan Pancras Station berada di pusat

kota London, dan letaknya saling bersebelahan yang hanya dipisahkan oleh Pancras

road. King’s Cross Station dikenal sebagai sarana transportasi kota yang memiliki

aksesibilitas tinggi. Kawasan perencanaan meliputi kawasan yang berada di sebelah

Utara kedua stasiun tersebut, seluas 27.2 hektar15. Kawasan perencanaan dibatasi oleh

kanal, jalur rel kereta api, dan jalan kendaraan disekililingnya.

Fungsi kawasan sekitarnya berupa bangunan heritage, gudang, fungsi

perindustrian, fungsi komersial, hunian, dan taman. Kawasan ini juga dilalui oleh

Regents Canal. Cubitt’s King’s Cross, Great Northern Hotel, dan St. Pancras Hotel

merupakan bangunan bersejarah yang dilestarikan. Sementara di sebelah Selatan

terdapat Regents Park yang berfungsi sebagai ruang terbuka kota.

14 http://en.wikipedia.org/wiki/Roppongi_Hills (di akses April 2007). 15 -. (2003). Planning Statement. KXC, London. (www.argentkingcross.co.uk., di akses Mei 2007).

29

b) Faktor pelaku

Pembangunan dan pengembangan dilaksanakan oleh Argent (developer) dan

pemilik tanah London and Continental Railways (LCR) dan DHL Exel, melalui sistem

kerjasama joint venture. Dalam sistem kerjasama joint venture semua pihak yang

terlibat memiliki hak dan kewajiban yang sama. Langkah awal yang dilakukan adalah

mereka membuat rencana pengembangan kawasan dan membuat tujuan yang hendak

dicapai dalam proyek ini16. Dalam proses ini, mereka bekerjasama dengan warga

sekitar, masyarakat pengguna transportasi kereta, serta pemerintah setempat agar

pengembangan kawasan sesuai dengan kebutuhan warga kota London.

Pihak LCR dan DHL difokuskan untuk mengembangkan serta membangun

infrastruktur kawasan dan stasiun. Salah satunya melalui penambahan jalur rel kereta

api dan menghubungkan semua stasiun kereta yang ada di London dengan stasiun

King’s Cross17. Bertambahnya jalur rel kereta api, dapat meningkatkan aksesibilitas area

King’s Cross. Argent sebagai developer difokuskan untuk membangun fungsi-fungsi

lain yang telah direncanakan dan desain, seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan.

c) Faktor Waktu

Proyek ini berawal dari ide London and Continental Railways untuk

memanfaatkan area brownfield pada lahan miliknya, agar dapat mendukung fungsi

stasiun. Proses dari pengajuan proposal hingga persetujuan pengembangan memakan

waktu yang tidak sedikit. Dibutuhkan waktu ±17 tahun untuk meyakinkan pemerintah

dan warga kota London sampai proyek ini bisa dibangun, pada pertengahan tahun 2006.

Proses perencanaan masterplannya sendiri memakan kurun waktu hingga 4

tahun dengan melibatkan pihak pemerintah setempat, pemilik lahan, dan forum

masyarakat kota London. Masyarakat ikut berperan serta dalam memberikan masukan

mengenai perencanaan fungsi apa yang harus dibuat, dan menyetujui perencanaan yang

diberikan oleh developer. Affordable housing dan ruang publik merupakan fungsi yang

16 -. (2003). Planning Statement. KXC, London. (www.argentkingcross.co.uk., di akses Mei 2007). 17 Ibid.

30

dianjurkan untuk dikembangkan oleh warga kota18. Hal tersebut berkaitan dengan

fungsi King’s Cross Station sebagai transportasi publik terbesar di kota London.

Proses pembangunan kawasan baru King’s Cross direncanakan akan memakan

waktu kira-kira 15 tahun. Argent selaku pihak developer menyadari bahwa perubahan

dari masterplan awal akan selalu terjadi, setelah pembangunan tahap pertama

dilaksanakan. Maka dari itu, developer akan terus melakukan evaluasi masterplan pasca

tiap tahapan pembangunan King’s Cross Central19. Upaya ini dimaksudkan agar

perencanaan dan pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan proyek ini.

d) Konsep Pengembangan

Gambar 2.4. Masterplan King’s Cross, London.

Sumber: http://www.kingscrosscentral.com dan http://www.argentkingcross.co.uk (di akses Maret 2007)

Revolusi industri dan pembangunan yang mengedepankan kendaraan bermotor

di London, mengakibatkan terciptanya daerah tak bertuan dan menurun kualitas

lingkungannya. King’s Cross Central merupakan salah satu contoh daerah itu. Agar

vitalitasnya meningkat, maka dilakukan urban renewal. Konsep pengembangannya

adalah pembangunan multi fungsi, dengan mengedepankan kemudahan aksesibilitas,

preservasi, keragaman ruang terbuka kota, ramah lingkungan dan hemat energi, serta

18 http://www.kxrlg.org.uk/news/index.htm (di akses Mei 2007). 19 http://www.argentkingscross.com/live/Download/Kings_Cross_Leaflet_2007.pdf (di akses Mei 2007).

31

pembangunan hunian20. Ruang terbuka yang dapat diakses oleh warga kota menjadi

perhatian utama, karena dapat mendorong warga beraktivitas dengan berjalan kaki.

Sekitar 40 % luas area King’s Cross dipergunakan untuk ruang terbuka kota,

seperti 3 buah taman dan ruang terbuka, 5 plaza dan 20 jaringan jalan. Sisanya

diperuntukan untuk pengembangan kegiatan multi fungsi, diantaranya21:

fungsi perkantoran dan komersial, seperti pusat perbelanjaan, restoran, hingga cafe

luasan areanya mencapai 70% dari luas are terbangun. Melalui pengembangan

kegiatan multi fungsi, diperkirakan nantinya dapat mendatangkan 30.000 lowongan

kerja bagi warga kota. Fungsi komersial berada di lantai dasar dan terdapat

diseluruh kawasan. Lantai atasnya digunakan untuk fungsi perkantoran, hunian, dan

fasilitas umum. Fungsi perkantoran dan komersial berada di Utara dan Selatan

kawasan yang dekat dengan jalan utama kota .

fungsi hunian berupa apartemen, luasan areanya mencapai 25% dari luas area

terbangun. Pembangunan apartemen bertujuan untuk menghidupkan kawasan serta

untuk mengurangi jumlah kebutuhan hunian kota London. Apartemen berada di

Utara dan tengah kawasan, karena letaknya dekat dengan kawasan perkantoran.

fungsi umum seperti pusat kebudayaan, sekolah, gedung olahraga, dan pusat

kesehatan memiliki luas area mencapai 5% dari total luas area terbangun.

2.3.3 The Makkasan Complex, Bangkok.

a) Faktor lokasi

The Makkasan Complex lokasinya dekat dengan pusat kota Bangkok yang

memiliki lahan seluas 162 hektar. Lahan yang biasa digunakan sebagai gudang dan

bengkel kereta api dimiliki oleh State Railway of Thailand. Sudah lebih dari satu dekade

lahan tersebut ditinggalkan, sehingga mengalami kerusakan dan memberikan dampak

negatif kepada kawasan sekitarnya seperti polusi udara hingga rasa tidak aman22.

Kondisi tersebut mendorong dilakukannya urban renewal.

20 -. (2004). Regeneration Strategy. Kings Cross Central, London. http://www.argentkingscross.co.uk/live/planning_application/index.cfm?id=149 (di akses Mei 2007). 21 Ibid. 22 www.2bangkok.com (di akses November 2007)

32

Lahan milik State Railway of Thailand (SRT) ini punya banyak potensi, baik dari

segi pencapaian, fungsi kawasan sekitar, hingga jarak terhadap pusat kota. The

Makkasan Complex memiliki bentuk lahan yang memanjang dan dikelilingi oleh jalan

kota dan rel kereta. Kemudian jaraknya dekat dengan daerah Central Business District

serta di kelilingi oleh fungsi komersial dan hunian kepadatan tinggi23. Di sebelah Utara

terdapat Makkasan Lake dan sungai Klong Samsen yang mengalir ke pelabuhan.

b) Faktor pelaku

Permasalahan yang dihadapi proyek Makkasan Complex adalah masalah dana.

Permasalahan ini umumnya serupa dengan proyek sejenis yang lahannya dimilki oleh

negara, karena negara memiliki dana yang terbatas. Akan tetapi setelah menjalani

proses perencanaan sejak tahun 2003, banyak investor yang mengajukan kerjasama.

Pengembangan kawasan dilakukan oleh lebih dari satu investor dengan sistem joint

venture, diantaranya Gordon Wu’s Hopewell Holdings mengembangkan monorail, hotel

dan apartemen dikembangkan Land and House, serta Central Group mengembangkan

mall24. Kemudian perencanaan kawasan akan dilakukan oleh Design Concept Company.

c) Faktor waktu

Proyek pengembangan kawasan seluruhnya ditawarkan kepada pihak swasta

karena pemerintah kota Bangkok dan pemerintah pusat belum pernah melaksanakan

proyek sejenis. Waktu pembangunan direncanakan tidak akan memakan waktu yang

lama, yaitu hanya lima tahun dan dibagi dalam tiga tahapan pembangunan25. Tujuannya

untuk mempercepat peningkatan ekonomi kota Bangkok.

d) Konsep pengembangan

Ada dua konsep besar yang dikembangkan pada Makkasan Complex. Konsep

pertama, “city within city” yang menggabungkan beberapa aktivitas dalam satu lokasi,

seperti pusat bisnis dan perkantoran, apartemen dan hotel, mall dan pusat perbelanjaan,

23 BCI Asia. (2007). architecture@08. BCI Asia Construction Information Pte Ltd, Jakarta. 24 www.2bangkok.com (di akses November 2007) 25 ibid.

33

hingga pusat hiburan (BCI Asia, 2007). Setiap aktivitas tersebut dihubungkan oleh

skywalk sehingga memudahkan pergerakan orang dan terhindar dari pengaruh iklim.

Kemudian konsep yang kedua, menjadikan Makkasan Complex sebagai “all in-

one transportaion terminal”(BCI Asia, 2007). Tujuannya untuk mengurangi tingkat

kepadatan lalu lintas dan meningkatkan aksesibilitas kawasan. Terdapat 3 transportasi

masal yang dikembangkan, yaitu kereta (skytrain, monorail, subway), perahu (water

boat), dan bis kota. Setiap stasiun dari masing-masing moda dihubungkan dengan

stasiun di bagian kota Bangkok lainnya. Salah satunya stasiun monorail yang terhubung

dengan Suvarnabhumi International Airport. Kemudian water boat yang memanfaatkan

sungai Klong Samsen sebagai jalur transportasinya.

Gambar 2.5. The Makkasan Complex Bangkok.

Sumber: BCI Asia. (2007). architecture@08. BCI Asia Construction Information Pte Ltd, Jakarta.

Lokasi yang dekat dengan pusat kota dan daerah CBD mempengaruhi intensitas

pengembangan masing-masing fungsi kegiatan. Fungsi komersial mendominasi

kompleks ini dengan luas area mencapai 75% dari luas area terbangun26. Kemudian

fungsi hunian (apartemen), luas areanya mencapai 20% dari luas area terbangun.

Sedangkan sisanya untuk fungsi pelayanan umum, berupa museum dan perpustakaan.

2.3.4 Kesimpulan Studi Banding

a) Faktor Lokasi

Ketiga proyek sama-sama berada pada lokasi yang memiliki potensi besar, yaitu

dekat dengan sarana transportasi kota dan jalan utama kota. Permasalahan yang

26 www.2bangkok.com (di akses November 2007)

34

dihadapinya pun sama, yaitu aksesibilitas menuju lokasi. Maka guna mendorong

datangnya investor untuk mengembangkan kawasan, dilakukan upaya peningkatan

aksesibilitas agar lebih banyak dan beragam.

b) Faktor Pelaku

Perbedaan sistem kerjasama ketiga proyek, didasari atas perbedaan kepemilikan

tanah. Pada proyek Roppongi Hills, tanah awalnya dimiliki sepenuhnya oleh warga

kota. Namun, melalui sistem konsolidasi tanah, developer dapat mengembangkan tanah-

tanah tersebut. Kemudian pada proyek King’s Cross dan Makkasan Complex, tanah

dimiliki oleh pihak kereta api yang berencana mengembangkan kawasannya, sehingga

yang perlu dilakukan hanya mencari investor yang mau mengembangkan kawasannya.

Kerjasamanya dilakukan dengan sistem joint venture, karena sistem tersebut dinilai

sama-sama menguntungkan oleh kedua belah pihak.

c) Faktor Waktu

Dua proyek peremajaan di London dan Tokyo direncanakan memakan waktu

pembangunan antara 15-17 tahun, sementara di Bangkok memakan waktu 5 tahun.

Yang membedakannya adalah pemerintah kota Bangkok mengharapkan dengan

pembangunan yang lebih cepat dapat segera mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sementara rencana pembangunan di London dan Tokyo bertujuan agar proyek berjalan

dinamis. Maksudnya, pentahapan pembangunannya harus bersinergi dengan kawasan

sekitar yang disesuaikan dengan strategi bisnis dan pertumbuhan aktivitas baru. Selain

itu, jangka waktu yang lama dapat memberikan waktu kepada warga kota untuk

beradaptasi dengan fungsi dan aktivitas yang hadir di lingkungannya.

d) Konsep Pengembangan

Ketiga proyek mengembangkan konsep yang sama yaitu menciptakan kawasan

terpadu melalui pembangunan multi fungsi. Fungsi komersial dan perkantoran berada

pada daerah dengan aksesibilitas tinggi. Fungsi hunian berada di daerah yang jauh dari

jalan utama, dengan maksud memberikan suasana tenang dan bertujuan menghidupkan

kawasan. Ruang terbuka pada ketiga proyek tersebut memakan ruang yang cukup besar,

35

antara 40%-50% dari luas lahan. Ada tiga hal yang mendasarinya. Pertama, sebagai

upaya untuk mengimbangi kepadatan bangunan di sekitar kawasan. Yang kedua, untuk

memenuhi kebutuhan ruang terbuka kota yang dinilai kurang. Kemudian yang terakhir,

untuk menghidupkan vitalitas kawasan sebagai esensi dari upaya urban renewal.

e) Manfaat Studi Banding

Hasil dari kajian studi kasus Roppongi Hills, King’s Cross, dan Makkasan

Complex yang bisa digunakan pada lokasi studi adalah pengembangan multi fungsi

guna menciptakan kawasan terpadu. Melalui ide ini penghuni dapat mengakses

kebutuhan hidup sehari-hari dengan jarak yang dekat dan mudah, mulai dari tinggal,

bekerja, hingga mencari hiburan. Keuntungan lain yang dapat diperoleh adalah

mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan mendorong orang untuk berjalan kaki.

Penempatan fungsi kegiatan menjadi sangat penting, agar dapat meningkatkan

vitalitas kawasan. Berikut ini beberapa strategi penempatan tiap fungsi kegiatannya:

fungsi perkantoran dan komersial diletakan di daerah yang mudah dicapai atau dekat

degan jalur utama kota, dengan alasan pertimbangan nilai ekonomi.

fungsi komersial difungsikan juga sebagai penghubung antara fungsi perkantoran

dan stasiun transportasi kota dengan fungsi hunian. Tujuannya agar penghuni tidak

merasa jenuh dan bosan ketika berangkat atau pulang kerja, karena penghuni dapat

melakukan aktivitas lain seperti window shopping (melihat-lihat etalase toko).

fungsi pelayanan umum diletakan dekat fungsi hunian, agar penghuni mudah

melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki.

2.4 Pengadaan Hunian di Perkotaan

Perkembangan lingkungan hunian di daerah perkotaan tidak terlepas dari

pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan

penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Seiring dengan

pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan

prasarana dan sarana hunian akan meningkat, baik melalui peningkatan maupun

pembangunan baru. Pembangunan dan pengembangan hunian di perkotaan dapat

dilakukan melalui upaya urban renewal (Komarudin, 1997; Santoso, 2002).

36

Terdapat beberapa upaya urban renewal yang terkait dengan pengadaan hunian.

Yang pertama, peremajaan permukiman kumuh yang bertujuan untuk meningkatkan

kualitas kehidupan masyarakat dan ruang kota (Komarudin, 1997). Upaya ini dilakukan

melalui perbaikan lingkungan dan penyediaan prasarana umum. Peremajaan

permukiman kumuh bisa dilaksanakan dengan melakukan relokasi penghuni atau tidak

sama sekali. Upaya merelokasi penghuni ke tempat baru dilaksanakan, apabila tempat

lamanya berada pada daerah ilegal dan berbahaya, seperti di bantaran sungai.

Gambar 2.6. Tanah Abang Jakarta adalah Contoh Peremajaan Permukiman Kumuh

Sumber: Foto koleksi pribadi (Pebruari 2007)

Yang kedua, konsolidasi tanah sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan

langka dan mahalnya tanah di perkotaan. Melalui konsolidasi tanah, tanah dan

lingkungan kota di tata dan di atur kembali pemanfaatannya agar lebih sehat,

menyenangkan dan teratur untuk berbagai keperluan (Komarudin, 1997; Blanco, 2005).

Salah satu prinsip kerjanya dengan pemindahan hak-hak atas tanah tetapi bukan suatu

tindakan penggusuran. Pemilik lahan yang lama dapat tetap tinggal di lokasi yang sudah

dikembangkan fungsi penggunaan dan intensitas pemanfaatannya.

Gambar 2.7. Roppongi Hills Tokyo sebagai Contoh Proyek Konsolidasi Tanah

Sumber: www.roppongihills.com/en/information/ (di akses April 2007)

Kemudian yang ketiga dengan cara membangun rumah susun oleh pemerintah,

dan swasta. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi

kebutuhan fungsi hunian seluruh lapisan masyarakat di perkotaan (Komarudin, 1997).

37

Pemerintah umumnya membangun rusun sederhana untuk masyarakat menengah

kebawah, seperti pembangunan rusun Jatirawsari Jakarta. Kemudian pihak swasta

banyak membangun rusun mewah (apartemen) untuk masyarakat menengah ke atas,

seperti apartmen Ciumbuleuit Bandung (Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Contoh Program Pembangunan Rusun dan Apartemen

Sumber: Indonesia Architecture Magazine, Edisi 9, 2007.

2.5 Klasifikasi Hunian

Hunian berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dan tempat berlindung dari

pengaruh alam, yang terdiri atas struktur bagian dinding dan atap. Model hunian dapat

diklasifikasikan berdasarkan tipologi bangunannya, antara lain:

1. Detached house (rumah tunggal), sebagai tempat tinggal manusia (dalam bentuk

rumah) yang berdiri sendiri pada persilnya dan terpisah dari rumah sebelahnya.

Detached house umumnya dalam bentuk rumah dengan tipe besar dengan luas persil

diatas 400 meter persegi27.

2. Semi detached houses, merupakan rumah yang berada pada 1 persil, yaitu dua unit

rumah tinggal terdapat dalam satu bangunan dan satu atap. Dari segi kepemilikan

rumah biasanya satu persil dibagi menjadi dua kepemilikan sehingga masing-masing

unit rumah mempunyai kepemilikan sendiri28.

3. Terraced house (di Inggirs) atau townhouse (di Amerika Serikat) atau rumah deret,

merupakan tempat tinggal manusia yang bangunan/unit rumahnya menempel satu

27 Baiche, Bousmaha., dan Walliman, Nicholas. (2000). Neufert Architects Data 3rd edition. Blackwell Science, United Kingdom. 28 Ibid.

38

dengan lainnya. Dalam setiap rumah deret biasanya terdapat 6 unit tipe rumah kecil

dengan luas persil di bawah 200 meter persegi (Baiche dan Walliman, 2000).

Gambar 2.9. Detached house (a), Semi detached house (b), dan Terraced house (c)

Sumber: Davies, Llewelyn (2000), Urban Design Compedium, English Partnership, The Housing Corporation, 46.

4. Apartment, adalah sebuah bangunan bertingkat banyak dan terdiri dari beberapa unit

hunian keluarga. Bangunan apartment terdiri atas walk-up apartment yang memilki

ketinggian 3 – 5 lantai, dan elevated apartment yang memiliki ketinggian minimal

enam lantai (De Chiara, 1984). Perencanaan apartmen biasanya terletak pada pusat

kota, yang didasari akan mahalnya harga tanah di perkotaan. Model apartment

cukup bervariasi, yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan penghuninya.

5. Hotel, merupakan hunian yang dikelola secara komersial, untuk disewakan kepada

pengunjung dengan dipungut bayaran. Tipologi hotel beragam yang disesuaikan

berdasarkan fungsi hotel tersebut, seperti resort hotel yang umumnya berupa rumah

tunggal dan city hotel yang memiliki tipologi bangunan tinggi (Hermawan, 1986).

2.5.1 Rumah Susun atau Apartemen

Permasalahan pengadaan hunian di perkotaan karena kecenderungan langkanya

tanah dan tingginya harga tanah di perkotaan. Untuk mengefektifkan penggunaan tanah

yang terbatas, pembangunan hunian dapat dilakukan secara vertikal yaitu dalam bentuk

rumah susun (Komarudin, 1997). Adapun pengertian dari rumah susun, seperti:

a) Sebagai bangunan bertingkat banyak yang tujuan pembangunannya untuk

menyediakan tempat hunian bagi masyarakat.

b) Rumah Susun dapat diartikan sebagai permukiman gedung bertingkat yang

dibangun dalam suatu lingkungan, terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan

secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal, dan merupakan satuan-satuan

yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah, terutama untuk tempat hunian

39

yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. (UU

No.16 Tahun 1985, PP No.4 Tahun 1988).

Rumah susun/apartemen dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologi bangunan.

Klasifikasi rumah susun/apartemen tersebut dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem

kepemilikan, sistem penyusunan lantai, dan sistem pencapaian vertikal.

1) Sistem kepemilikan.

Berdasarkan sistem kepemilikan rumah susun/apartemen dikategorikan jadi 3.

Pertama, rusun/apartemen rental yang di pakai dengan cara di sewa. Dalam sistem ini,

perawatan unit hunian dan beban biaya listrik, air, atau telepon menjadi tanggung

penghuni. Sementara perawatan lingkungan, menjadi tanggung jawab penghuni dan

pemilik rusun/apartemen29.

Sistem yang kedua, coorperative dimana rusun/apartemen dijual kepada suatu

perusahaan untuk disewakan kepada karyawannya. Pihak perusahaan dapat menjual

kembali rusun/apartemen kepada perusahaan lain atau kepada pemilik lama, dengan

sarat seluruh biaya gedung (listrik, air, telepon, dll) sudah dilunasi30.

Sistem yang terkahir, condominium yang di pakai dengan cara di beli. Setiap

pemilik mempunyai surat hipotik, fasilitas milik bersama, serta berhak memindahkan

kepemilikan, menjual kepemilikan, atau menyewakan unit huniannya. Perawatan dan

pengelolaan bangunan menjadi tanggung jawab bersama penghuni31.

2) Sistem penyusunan lantai

Berdasarkan sistem penyusunan lantai, rusun/apartemen dibagi mejadi 3 sistem.

Pertama, simplex Apartment/ Flat yang seluruh ruangannya berada pada satu lantai.

Sistem tersebut banyak dipakai, karena lebih ekonomis dalam pembangunan. Simplex

apartment juga memiliki kemudahan dalam sistem sirkulasi, karena seluruh aktivitas

kegiatan penghuni berada pada satu unit hunian yang satu lantai32.

29 De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Ibid.

40

Yang kedua, duplex apartment dimana ruangannya terdapat pada dua lantai.

Ruag dapur, ruang makan, dan ruang keluarga biasanya terletak pada lantai yang di

bawah. Sementara ruang tidur, dan ruang privat lainnya berada pada lantai yang diatas.

Keuntungan apartemen model ini adalah adanya pemisahan aktivitas yang dapat

memberikan privasi lebih pada penghuninya33.

Kemudian yang terakhir, triplex apartment yang ruangannya terdapat pada tiga

lantai. Apartemen model ini biasanya dikategorikan dengan apartemen mewah pada

high rise apartment karena luas unit hunian yang lebih besar, serta perencanaan dan

perancangan unit hunian yang sengaja dibuat lebih mewah34.

Gambar 2.10. Sistem Penyusunan Lantai Rumah Susun/Apartemen

Sumber: De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York.

3) Sistem pencapaian vertikal

Berdasarkan sistem pencapaiannya, apartemen diklasifikasikan menjadi dua.

Pertama, elevated apartment dimana sistem pencapaian vertikalnya menggunakan

elevator. Sistem ini digunakan pada rusun/apartemen yang memiliki ketinggian lebih

dari 5 lantai. Maksudnya untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi

penghuni menuju unit huniannya35.

Kemudian, walk-up apartment yang memiliki ketinggian bangunan antara 3

sampai 5 lantai dimana sistem pencapaian vertikalnya memakai tangga. Jumlah

ketinggian lantai pada tiap negara tidak sama, karena faktor kenyamanan fisik,

kemampuan ekonomi, dan sosial budaya.

33 De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York. 34 Ibid. 35 Ibid.

41

Walk-up apartment yang banyak dikembangkan di Indonesia memiliki

ketinggian 4-5 lantai, seperti Rusun Tanah Abang, Rusun Kebon Kacang, dan Flat

Sarijadi. Hal yang mendasarinya, untuk memberikan kenyamanan bagi penghuni dalam

mencapai unit huniannya dan penghuni belum terbiasa hidup dengan pola vertikal

(Mauliani, 2002). Keinginan penghuni tinggal dekat dengan tanah mengakibatkan harga

unit hunian di lantai bawah lebih mahal dibanding di lantai atas.

Gambar 2.11. Rusun Tanah Abang (1), Kebon Kacang (2), dan Sarijadi Bandung (3).

Sumber: Foto Koleksi Pribadi

Di India ketinggian lantai walk-up apartment umumnya 3 sampai 4 lantai. Yang

menjadi pertimbangannya adalah biaya pembangunan yang tidak terlalu besar, dapat

menggunakan material lokal, memudahkan dalam perawatan bangunan, serta

memudahkan adaptasi penghuni dalam hidup di hunian vertikal (Vestbro 2004).

Gambar 2.12. Housing-sheikh sarai dan housing cidco new mumbai di India.

Sumber: www.rajrewal.in

Berdasarkan hasil hasil survey lapangan dan literature, di Indonesia terdapat dua

model rusun, yaitu rusun mewah yang dikenal dengan apartment/condominium, serta

rusun sederhana untuk masyarakat menengah ke bawah. Berikut ini merupakan tabel

perbedaan dari kedua model rusun tersebut:

42

Tabel 2.2. Klasifikasi Rumah Susun di Indonesia Rumah Susun Sederhana Rumah Susun Mewah Pengguna Masyarakat berpenghasilan menengah

dan menengah kebawah Masyarakat berpenghasilan

menengah keatas Sistem kepemilikan Rusuna milik dan rusuna sewa

Milik.

Sistem penyusunan lantai

Simplex Simplex/dulex/triplex

Sistem pencapaian vertikal

Tangga dengan ketinggian max. 5 lantai. Elevator dengan ketinggian min. 6 lantai

Elevator / elevated apartment

Ketinggian bangunan

4-5 lantai(low rise) sejak th. 1978. 10 lantai sejak th. 1996 pilot projek DKI

High rise (lebih dari 6 lantai)

Fasilitas penunjang Ruang terbuka, parkir kendaraan bersama, fasilitas sosial, fasilitas

olahraga, dll.

Tempat hiburan, parkir kendaraan pribadi, kolam renang dan fasilitas

olahraga lainnya, restaurant,dll. Sistem Perawatan Gedung

Untuk sistem milik: pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemilik. Untuk sistem sewa : pemeliharaan

menjadi tanggung jawab pengelola.

Pemeliharaan dilakukan oleh pihak yang mengelola rusun tsb.

Luasan unit hunian Minimal 21 m2 dengan mengeluarkan biaya maksimal sekitar 1/3 bagian dari

pendapatan per bulan.

Minimal 36 m2.

Sistem pembangunan

Rusun dapat dibangun dengan dua cara: Dilaksanakan atau disubsidi oleh pihak

Pemerintah/Perumnas. Kerjasama antara pihak swasta dengan

Pemerintah/Perumnas.

Rusun/apartemen dibangun oleh pihak swasta.

Sumber: Analisis Lapangan.

2.5.2 Kepemilikan Rumah Susun Sederhana

Sistem kepemilikan rumah susun sederhana yang ditetapkan oleh Perumnas ada

dua, yaitu milik dan sewa. Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya

masing-masing. Dari segi bisnis, sistem milik dapat memberikan keuntungan bagi

pengelola karena waktu pengembalian modal yang relatif cepat yaitu antara 2-3 tahun.

Sementara sistem sewa pengembalian modalnya relatif lama, yaitu dalam jangka waktu

8-15 tahun (Komarudin, 1997).

Permasalahan rusuna salah satunya dari faktor pengelolaan gedung. Sulitnya

pengelola rusuna dalam mengontrol perilaku penghuni merupakan kekurangan dari

sistem milik. Hal tersebut dikarenakan penghuni (pemilik) merasa berhak melakukan

apa saja pada unit huniannya. Kemudian kerugian dengan sistem sewa adalah pengelola

harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeliharaan dan perawatan bangunan

(Verawati, 2007). Akan tetapi kendali pengelolaan berada di pihak pengelola, sehingga

memudahkan dalam mengontrol perilaku penghuni agar kualitas bangunan tetap terjaga.

43

Semenjak tahun 1995 Perum Perumnas hanya menerapkan sistem sewa pada

bangunan rusuna yang baru. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi pengambilan

keputusan tersebut, diantaranya:

1. Penghuni sebagai pemegang hak milik unit hunian sering memindahtangankan

kepemilikan ke pihak lain, karena alasan keuntungan finansial yang bisa diperoleh.

(Mauliani, 2002). Masyarakat merasakan hidup di rusun memerlukan biaya yang

besar dan tidak sebanding dengan penghasilan mereka yang dapatkan per bulannya.

2. Untuk memudahkan pengelolaan dalam mengontrol perilaku penghuni dan

perawatan bangunan rusuna. Selain itu apabila masa penggunaan bangunan rusuna

telah habis maka pihak Perum Perumnas/pengembang bisa melakukan upaya

peremajaan kembali bangunan rusuna (Verawati, 2007).

Dalam sistem sewa, uang sewa digunakan untuk biaya pengelolaan lingkungan

rusuna. Besarnya uang sewa yang ditetapkan oleh Perumnas, antara 25%-30% dari upah

minimum regional tiap kota. Akan tetapi karena uang sewa tidak cukup untuk menutupi

semua biaya pengelolaan rusun, maka pembiayaannya dibantu oleh subsidi pemerintah

(Komarudin, 1997). Selain itu, subsidi masih diperlukan karena rusuna diperuntukan

untuk masyarakat menengah ke bawah yang secara kemampuan ekonomi masih kurang.

Subsidi tersebut bisa berasal dari pajak properti lain (rumah mewah, fungsi komersil,

dan fungsi perkantoran) yang berada disekitar lingkungannya.

Berikut ini merupakan data beberapa rusunami dan rusunawa di kota Jakarta dan

Bandung, yang dibangun dan dikelola oleh Perumnas.

Tabel 2.3. Studi Banding Rusuna di Jakarta dan Bandung No Tahun Dibangun &

Nama Rusun Luas Lahan

(Ha) Tipe Unit Hunian dan

Jumlah Hunian Keterangan Lain

1 1981 Tanah Abang

3.94 F 36 = 960 unit 4 lantai.

Peremajaan lingkungan. Pengembang Perum Perumnas. Rusuna milik dan rusuna sewa.

2 1982 Klender

9.30 F 36 = 1216 unit F 54 = 64 unit 4 lantai.

Pengembang Perum Perumnas. Rusuna milik dan sewa.

3 1983 Kebon Kacang

1.80 F21 = 128 unit, F36 = 240, F42 = 166 unit, F54 = 66 unit. 4 lantai

Peremajaan lingkungan. Pengembang Perum Perumnas. Rusuna milik dan rusuna sewa.

4 1990 Pulo gadung

2.98 F18 = 154 unit 4 lantai

Peremajaan lingkungan. Pengembang Perum Perumnas. Rusun sewa.

44

5 1991 Kemayoran 1

6.00 F18= 12 blok= 902unit. F21= 6 blok= 600unit F36= 3 blok= 360unit 5 lantai

Pengembang Perum Perumnas. Peremajaan lingkungan. Rusuna milik dan sewa.

6 1998 Kemayoran 2

8.00 F21 F27 F36 F 42 12 lantai

Pengembangan tahap ke-2 oleh Perum Perumnas. Sistem campuran. Rusun milik dan sewa.

7 1996-2000 Pasar Jum’at

0.93 F36 = 120 unit 10 lantai.

Kerjasama antara Dep. Kimpraswil dan Perumnas. Rusun sewa.

8 Bidaracina 2.30 F18 = 688 unit 5 lantai dan 4 blok.

Peremajaan lingkungan oleh Dinas Perumahan DKI Jakarta. Rusun milik dan rusun sewa.

9 2002 Tzu Chi Cengkareng

51.00 F36 = 1100 unit 5 lantai & 55 blok.

Kerjasama antara Yayasan Budha Tzu Chi, Pemda DKI, dam Perum Perumnas. Rusun sewa.

10 Jatirawasari - F36 = 96 unit F21 = 72 unit 6 lantai dan 2 blok.

Pengembang Dinas Perumahan DKI. Rusun sewa. Lantai dasar sebagai daerah fasum dan komersial.

11 Seruni Pulogebang 3000 m2 F21 = 240 unit 5 lantai dan 4 blok.

Pengembang perum Perumnas. Rusun sewa. Lantai dasar sebagai daerah fasum dan komersial.

12 1979 Sarijadi, Bandung.

3.80 F36 = 864 unit 4 lantai dan 9 blok.

Pengembang Perum Perumnas. Rusun milik dan dinas.

13 1990 Industri Dalam, Bandung.

2.40 F18 = 156 unit. 4 lt dan 3 blok.

Rusun sewa.

Sumber: Survey lapangan dan www.perumnas.co.id (di akses Mei 2007).

2.6 Pembangunan Rumah Susun Sederhana

Pembangunan rumah susun sederhana merupakan salah satu upaya dalam

memenuhi kebutuhan hunian pada lahan perkotaan yang terbatas. Pembangunan rusun

menyangkut berbagai aspek non fisik, seperti masalah sosial, ekonomi, kelembagaan,

hingga manusia sebagai penghuni. Selain aspek non fisik terdapat aspek-aspek bersifat

fisik yang perlu diperhatikan, yaitu lokasi dan bangunan rusun (Panudju, 1997). Kedua

aspek fisik tersebut akan dibahas lebih lanjut karena dapat mempengaruhi keberlanjutan

dan kehidupan penghuni rusun, sesuai dengan esensi urban renewal.

45

2.6.1 Lokasi Rumah Susun Sederhana

Yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rumah susun sederhana adalah

menentukan lokasi. Pemilihan lokasi akan menentukan tingkat kenyamanan, keamanan,

ekonomi, keberlanjutan rusun, dan keberhasilan pembangunan rusun. Terdapat dua hal

yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi terkait dengan masalah hubungan

dengan struktur kota, yaitu jarak terhadap tempat kerja dan jarak terhadap fasilitas

pelayanan umum (De Chiara, 1984; Panudju, 1997).

2.6.1.1 Jarak terhadap Tempat Kerja

Penentuan lokasi rusun tidak bisa terlepas dari peraturan dan kebijakan yang

diambil oleh pemerintah, salah satunya berhubungan dengan Rencana Umum Tata

Ruang Kota (RUTRK). Dalam RUTRK setiap kawasan kota telah direncanakan arah

dan kebijaksanaan pembangunannya. Maka penentuan lokasi rusun harus disesuaikan

dengan RUTRK agar fungsi rusun dapat bersinergi dengan fungsi sekitarnya.

Strateginya dengan membangun rusun pada lokasi yang dekat dengan tempat

kerja, seperti daerah perkantoran, komersial, dan industri. Jarak maksimum antara

fungsi hunian dengan tempat kerja adalah 1.6 Km, yang bisa ditempuh dengan berjalan

kaki atau menggunakan kendaraan (De Chiara, 1984). Tujuannya untuk mendorong

penghuni bekerja hanya dengan berjalan kaki, sehingga dapat mengurangi biaya

transportasi kendaraan sehari-hari.

Ada dua faktor yang dapat mendorong penghuni untuk berjalan kaki menuju

tempat kerja. Pertama, kemudahan pencapaian yang terkait dengan kualitas jalan pejalan

kaki yang memberikan rasa aman dan nyaman, serta akses menuju rusun. Intensitas

pemakaian jalan pejalan kaki berbanding lurus dengan kualitas fisik jalannya (Zeeger,

2002). Penghuni akan banyak yang berjalan kaki apabila kualitas fisiknya bagus, dan

akan sedikit penggunanya apabila kualitas fisiknya jelek. Kemudian keragaman akses

menuju rusun dapat memudahkan pergerakan penghuni dari berbagai arah.

Yang kedua, rusun harus memiliki kemudahan pencapaian dari atau menuju

sarana transportasi kota. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat kemampuan ekonomi

penghuni, tidak semua penghuni memiliki kendaraan pribadi untuk pergi bekerja. Oleh

karena itu, jaringan jalan yang ada di sekitar lokasi rusun harus terintegrasi dengan

46

jaringan transportasi kota, termasuk tersedianya sarana transit atau shelter. Jarak rusun

dengan sarana transportasi kota tidak lebih dari 600 meter (De Chiara, 1984).

Keuntungan dari pemanfaatan transportasi kota adalah dapat melayani warga lebih

banyak dan lebih efisien dibanding kendaraan pribadi.

2.6.1.2 Jarak terhadap Fasilitas Pelayanan Umum

Aktivitas hidup sehari-hari penghuni rusun harus bisa terpenuhi, maka dari itu

dalam kompleks rusun harus tersedia sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh

penghuninya. Keragaman sarana dan pasarana yang tersedia berhubungan dengan

tingkat ekonomi penghuni, semakin tinggi kemampuan ekonomi maka fasilitasnya akan

semakin banyak (Panudju, 1997). Begitupun sebaliknya, fasilitas akan terbatas jika

kemampuan ekonominya rendah, seperti pada kompleks rusun masyarakat menengah.

Tabel 2.4. Standar Jarak Maksimal Rusun dengan Fasum Fungsi 200m 400m 600m 800m 1Km 1.2Km 1.4Km. 1.6Km >1.6Km

Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar, SMP SMA Pusat perbelanjaan Tempat Ibadah Rumah Sakit Transportasi kota Taman Kota Tempat Kerja

Keterangan Jarak Maksimum dengan menggunakan kendaraan/transportasi kota. Jarak Maksimum dengan berjalan kaki.

Sumber: De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York.

Atas dasar pertimbangan itu, lokasi rusun untuk masyarakat menengah harus

memperhatikan jaraknya dengan fasilitas pelayanan umum kota yang ada di kawasan

sekitarnya. Penghuni rusun dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan umum kota untuk

aktivitas hidup sehari-hari (Tabel 2.4). Sarana yang disarankan pada komplek rusun

(lebih dari satu masa bangunan) antara lain tempat olahraga dan area bermain, taman,

47

Taman Kanak-kanak, tempat untuk berdagang dan berusaha, tempat ibadah, ruang serba

guna, serta sarana kesehatan36. Tempat berdagang dan berusaha dapat disewakan kepada

penghuni untuk memperoleh penghasilan tambahan. Agar keberlanjutan lingkungan

rusun dapat terjaga, maka sarana tersebut harus tersedia.

2.6.2 Bangunan Rumah Susun Sederhana

Pembangunan rusun diperkotaan yang diperuntukan untuk masyarakat

menengah tidak bisa terlepas dari standar perencanaan bangunan rusun yang ditetapkan

oleh Perum Perumnas. Standar perencanaan bertujuan agar harga sewa rusun dapat

terjangkau oleh kelompok sasaran yang dituju37. Yang perlu diperhatikan adalah

masalah keberlanjutan pada lingkungan rusun. Meskipun dengan adanya keterbatasan

biaya pembangunan, lingkungan rusun yang diciptakan bisa hidup dan memungkinkan

proses keberlanjutan berjalan.

Beberapa aspek fisik yang perlu dipertimbangkan terkait dengan masalah

keberlanjutan dan kenyamanan penghuni rusun, antara lain38:

2.6.2.1 Unit Hunian

Luas unit hunian rusun dibuat dengan mempertimbangkan faktor biaya dan

jumlah penghuni. Besar kecilnya unit hunian akan berimplikasi pada besar kecilnya

biaya sewa yang harus dikeluarkan (Mauliani, 2002). Rusun merupakan hunian yang

diperuntukan untuk masyarakat menengah dan menengah ke bawah. Oleh karena itu,

agar biaya sewa yang dikeluarkan tidak terlalu besar dan tidak membebani penghuni,

maka luas dan desain unit huniannya dibuat seefisien serta sesederhana mungkin.

Kemudian, luas hunian rusun harus disesuaikan dengan jumlah penghuni, guna

memberikan rasa nyaman. Luas unit hunian yang dikembangkan Perumnas ditentukan

berdasarkan standar kebutuhan ruang perorang yaitu 9 m2. Melalui standar tersebut

diperoleh luas minimal unit rusun adalah 21 m2, dengan jumlah maksimal penghuni dua

orang (Puslitbang Permukiman, 2005). Ruang yang disediakan sekurang-kurangnya

terdiri dari ruang serba guna, kamar mandi/wc, dan dapur.

36 Panudju, Bambang. (1997). Rumah Susun di Indonesia. Institut Teknologi Bandung. 37 Ibid. 38 Ibid.

48

Rusun dengan luas unit hunian 21 m2 banyak dikembangkan untuk permukiman

pekerja industri. Hal ini dikarenakan unit huniannya bisa digunakan oleh pekerja pabrik

yang bekerja secara bergantian. Rusun yang mengembangkan unit hunian ini

diantaranya rusun Kebon Kacang, Kemayoran 2, Jatirawasari, dan Seruni Pulogebang.

Unit hunian yang banyak dikembangkan oleh pihak Perumnas memiliki luas

sebesar 36 m2. Dasar pemikirannya, dalam satu keluarga terdiri dari 4 anggota keluarga,

yaitu orang tua ditambah 2 anak. Perencanaan unit hunian 36 m2 dianjurkan bagi

keluarga muda sebagai hunian sementara, sebelum memiliki rumah sendiri di atas tanah

(Komarudin, 1997; Mauliani, 2002). Rusun yang mengembangkan unit hunian ini,

diantaranya rusun Tanah Abang, Kebon Kacang, Kemayoran 1, dan Kemayoran 2.

2.6.2.2 Ketinggian Bangunan

Permasalahan keterbatasan lahan di perkotaan mendorong upaya untuk

memaksimalkan pemanfaatan fungsi lahan, yang berdampak pada tingkat kepadatan.

Tingkat kepadatan menggambarkan perbandingan luas bangunan dengan luas lahan,

jumlah warga, dan ketinggian bangunan. Tingkat kepadatan rusun harus memperhatikan

faktor kenyamanan penghuninya agar unit hunian nyaman untuk ditempati (De Chiara,

1984). Faktor kenyamanan yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan rusun, antara

lain sinar matahari, sirkulasi udara, ruang bersama, ruang terbuka, dan pencapaian.

Ketinggian rusun juga harus memperhatikan faktor sosial budaya. Permasalahan

yang terjadi pada rusun adalah karena faktor terbiasanya penghuni tinggal pada ”landed

houses” yang cenderung memiliki privasi tinggi (Mauliani, 2002). Pada rumah tunggal

orang cenderung memiliki pekarangan sendiri yang dapat dengan leluasa melakukan

kegiatan apa saja. Pada rusun memerlukan tingkat toleransi antar warga yang cukup

tinggi, karena memiliki ruang bersama yang harus dijaga dan dirawat bersama.

Standar ketinggian bangunan rusun di Jakarta dan Bandung yang dikelola oleh

Perumnas umumnya memiliki tingkat ketinggian antara 4-5 lantai (walk-up apartment)

serta 6-10 lantai (elevated apartment). Lokasi lantai unit hunian mempengaruhi harga

sewanya, semakin rendah lokasinya maka akan semakin tinggi harga sewanya (Panudju,

1997). Hal ini disebabkan juga oleh kebiasaan warga hidup dekat dengan tanah.

49

2.6.2.3 Keragaman Fungsi

Keragaman aktivitas diharuskan pada kompleks rusun. Perencanaan penggunaan

campuran terutama komersial pada rusun bertujuan menjadikan kegiatan tersebut

sebagai aset keberlanjutan lingkungan rusun (Panudju, 1997). Umumnya bagian lantai

dasar rusun diperuntukan untuk fungsi komersial dan unit usaha, agar mudah dicapai

penghuni dan untuk menjaga privasi unit hunian yang berada di lantai atas.

Area komersial tersebut disewakan tidak hanya kepada penghuni rusun tetapi

juga kepada pihak luar. Adanya usaha-usaha baru di kompleks rusun dapat berdampak

pada munculnya lapangan kerja baru bagi penghuni kurang mampu (Darrundono, 2007).

Yang paling utama dengan adanya area komersial pada kompleks rusun adalah dapat

mendorong penghuni untuk berusaha dalam meningkatkan kemampuan ekonomi.

Penggunaan lantai dasar tidak hanya diperuntukan untuk komersial tetapi juga

dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan bersama penghuni rusun.

Tujuannya agar lingkungan rusun menjadi lebih hidup. Berikut ini merupakan standar

pembagian penggunaan lantai dasar rusun (Puslitbang Permukiman, 2005):

1. 40% dimanfaatkan untuk kegiatan bersama, fasilitas sosial gedung, kantor

pengelola, area parkir motor, ruang bermain, taman kanak-kanak, dan lain-lain.

2. 60% dimanfaatkan untuk saran yang dapat dikomersialkan atau dijadikan unit usaha,

seperti koperasi, warung, rumah makan, dan lain-lain.

Ruang terbuka yang dapat digunakan sebagai ruang komunal harus disediakan

juga pada kompleks rusun. Ruang terbuka yang disediakan dapat berupa ruang terbuka

hijau, taman bermain, lapangan olahraga, hingga plaza. Luas lahan yang terbangun pada

kompleks rusun maksimal 40% dari total luas lahan, sementara sisanya diperuntukan

untuk ruang terbuka (Puslitbang Permukiman, 2005).

Penyedian ruang terbuka sebagai ruang komunal perlu diperhatikan karena

terkait dengan masalah sosial budaya, dimana kecenderungan masyarakat Indonesia

yang megutamakan kekerabatan. Pola komunal dapat diterjemahkan melalui

perencanaan ruang bersama baik di dalam ataupun di luar gedung untuk bersosialisasi.

Dalam pola komunal ada sesuatu yang menjadi pengikat, antara lain strata yang sama,

profesi yang sama, ataupun pertalian darah. Apabila pola komunal dapat tercipta dalam

lokasi rusun, maka dapat menumbuhkan rasa memiliki bersama terhadap rusun

50

(Mauliani, 2002). Hal tersebut sangat penting bagi keberlanjutan fungsi rusun, dan dapat

mencegah terjadinya perilaku negatif seperti perusakan fasilitas rusun.

2.6.2.4 Perawatan dan pemeliharaan

Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberlanjutan rusun adalah kemudahan

perawatan dan pemeliharaan. Terdapat teori keterikatan dalam permasalahan rusun,

dimana rusun direncanakan dalam satu kesatuan sistem bangunan yang dipergunakan

dan dimiliki bersama. Apabila salah satu penghuni tidak dapat menjaga dan merawat

unit huniannya, akibatnya dapat berdampak pada kualitas unit hunian di sebelahnya

(Catanese dan Snyder, 1979). Kemudian jika terjadi masalah pada salah satu sistem

tersebut, maka pengaruhnya akan dirasakan oleh seluruh penghuni.

Rusun dengan suasana yang bersih dan mudah dalam perawatan akan

memberikan keuntungan. Secara sosial, kondisi rusun yang bersih dan terawat dapat

meningkatkan kualitas interaksi sosial di dalamnya. Secara ekonomi, dapat

mempertahankan dan meningkatkan nilai jual rusun. Kemudian secara arsitektur dan

struktur, kondisi rusun yang terjaga kebersihan dan keawetan utilitasnya akan

meningkatkan performa arsitektur rusun tersebut dan menambah umur struktur. Pada

prinsipnya untuk kemudahan perawatan bangunan tergantung pada (Panudju, 1997):

1. Desain bangunan yang memungkinkan kemudahan perawatan.

2. Penggunaan material yang mudah dibersihkan dan diganti apabila terjadi kerusakan.

3. Tingkat kemampuan ekonomi penghuni untuk menyediakan dana perawatan.

4. Kemungkinan penggunaan alat kebersihan atau pihak yang mengurusi masalah

perawatan bangunan.

2.7 Studi Banding Pembangunan Hunian di Perkotaan

Studi banding pembangunan hunian dilakukan guna mengetahui strategi

pembangunan dan konsep perancangan yang mempengaruhi kualitas lingkungan

binaannya. Studi banding dilakukan pada tiga proyek yaitu The Pinnacle @Duxton

Singapura, Maharashtra Housing Mumbai, dan Rusun Tanah Abang Jakarta. The

Pinnacle @Duxton digunakan sebagai objek studi banding karena keberhasilan negara

Singapura dalam mengoptimalkan lahan terbatas yang ada untuk kebutuhan hunian di

51

perkotaan. Meskipun secara ekonomi dan tingkat sosial berada jauh di atas Negara

Indonesia. Penentuan Maharashtra Housing sebagai objek studi banding, didasarkan

pada kemampuan tingkat ekonomi dan tingkat sosial negara India yang tidak jauh

berbeda dengan negara Indonesia. Kemudian rusun Tanah Abang merupakan salah satu

contoh proyek pembangunan rusun pada daerah pusat kota di Indonesia.

2.7.1 The Pinnacle @Duxton Singapura

a) Sejarah Duxton Plain

Pada pertengahan abad ke-19, dibangun pelabuhan di Tanjong Pagar hingga

daerah tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi kota Singapura. Sampai tahun 1955

daerah tersebut masih menjadi pusat kegiatan ekonomi dan tidak sedikit permasalahan

lingkungan yang timbul, seperti tumbuhnya permukiman kumuh. Setelah kemerdekaan

Singapura, pemerintah melakukan strategi pemecahan masalah hunian di pusat kota.

Salah satu langkah pertamanya dengan meremajakan daerah permukiman kumuh

di sekitar pusat kota oleh Housing Development Board. Kawasan Tanjong Pagar

menjadi satu dari dua pilot proyek upaya peremajaan, melalui pembangunan dua blok

apartemen dengan ketinggian 10 lantai. Diakhir tahun 1963, 334 unit hunian dibangun

menggantikan dua bungalow dan satu blok hunian sepanjang jalan Cantonment Road.

Gambar 2.13. Kondisi Eksisting lahan (kiri) dan Apartemen baru

The Pinnacle@Duxton (kanan). Sumber: URA. (2002). Duxton Plain Public housing Singapore, International Architectural Design

Competition.

Kini setelah lebih dari ¼ abad, dilakukan kembali upaya peremajaan pada blok

hunian tersebut dengan nama The Pinnacle@Duxton. Proyek ini merupakan pilot

proyek program Selective Enbloc Redevelopment Scheme. Duxton Plain dipilih karena

lokasinya dekat pusat kota dan sarana transportasi kota. Tujuannya untuk meningkatkan

kualitas apartemen, kuantitas apartemen, dan menjadi katalis bagi pelaksanaan program

sejenis di blok hunian lainnya.

52

b) Lokasi

Kelebihan lokasinya dekat dengan kawasan Central Business District (CBD) dan

stasiun MRT. Penghuni bisa berjalan kaki menuju Tanjong Pagar MRT untuk bekerja

dan beraktivitas, karena lokasinya hanya berjarak 0.1 Km. Stasiun MRT ini berfungsi

untuk menghubungkan seluruh bagian kota Sigapura. Para pekerja di kawasan CBD

merupakan salah satu target konsumen apartemen, selain penghuni apartemen lama.

Keuntungan lain yang dapat diperoleh penghuni adalah keragaman fasilitas

pelayanan kota yang tersedia disekitar lokasi. Fasilitas perbelanjaan, rekreasi dan

hiburan, serta fasilitas pendidikan terdekat jaraknya kurang dari 0.5 kilometer. Setiap

fungsi fasilitas terdiri lebih dari satu bangunan, sehingga penghuni bisa memilih sesuai

dengan kehendak mereka. Kemudian kantor polisi, kantor pos, dan gereja jaraknya

hanya 200 meter dari lokasi perencanaan39.

c) Unit hunian

Gambar 2.14. Blok Tipikal Apartemen

Sumber: URA. (2002). Duxton Plain Public housing Singapore, International Architectural Design Competition.

Unit hunian pada apartemen ini dapat digunakan dengan sistem beli. Terdapat 2

tipe unit hunian yaitu tipe S1 yang memiliki luasan 93-97m2, dan tipe S2 yang memiliki

luasan 105-108m2. Tipe S1 dan S2 masing-masing akan memiliki jumlah kamar tidur 3

buah, yaitu 1 kamar tidur utama dan 2 kamar tidur anak. Guna menghemat penggunaan

ruang, blok hunian menggunakan koridor tunggal yang berada di tengah gedung. Tiap

unit hunian memiliki orientasi ke luar bangunan, karena memiliki panorama yang cukup

beragam, diantaranya ke pusat kota, china town, dan pantai.

39 http://sg.pagenation.com/sin/Pinnacle@duxton%2050-storey_103.8408_1.277.map

53

Untuk menghemat penggunaan energi listrik, seluruh unit hunian disediakan

lubang ventilasi untuk sirkulasi udara. Masing-masing unit hunian juga memiliki

jendela yang bisa dibuka. Untuk menghindari sinar matahari secara langsung, setiap

bukaan pada bangunan diberikan kanopi. Dengan memperhatikan kondisi iklim tropis,

diharapkan penghuni dapat nyaman tinggal pada apartemen dengan ketinggian 50 lantai.

Gambar 2.15. Penggunaan Kanopi pada Selubung Bangunan

Sumber: URA. (2002). Duxton Plain Public housing Singapore, International Architectural Design Competition.

d) Ketinggian bangunan

Pada umumnya Housing Development Board Singapura membangun apartemen

dengan ketinggian 30 lantai, tetapi ada beberapa yang dibangun hingga 40 lantai pada

lokasi terpilih. The Pinnacle@Duxton secara khusus dibangun dalam 7 blok apartemen

dengan jumlah lantainya 50 tingkat. Ini dimaksudkan untuk merealisasikan Konsep

Perencanaan Tahun 2001 Kota Singapura, yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah

hunian di pusat kota. Pembangunan ini menjadikan Duxton sebagai bangunan

apartemen tertinggi di Singapura, dengan kapasitas 1800 unit hunian di atas lahan seluas

25 hektar. Dimana setiap bloknya dihubungkan dengan jembatan yang berfungsi juga

sebagai taman dan ruang komunal.

e) Keragaman Fungsi

Untuk menghidupkan tujuh blok apartemen disediakan fasilitas penunjang,

seperti pertokoan, food court, child-care centre, dan ruang komunal. Lantai dasar

difokuskan untuk fungsi publik dan komersial, sementara parkir kendaraan berada di

basement. Ruang komunal tidak hanya terdapat di lantai dasar tetapi juga terdapat di

54

lantai 26 dan lantai atap, agar penghuni memperoleh fasilitas yang sama. Ruang

komunal di lantai atas difungsikan sebagai tempat olahraga, lintasan lari, dan taman.

Gambar 2.16. Ruang Komunal dan Fasilitas Penunjang

Sumber: URA. (2002). Duxton Plain Public housing Singapore, International Architectural Design Competition.

2.7.2 Maharasthra Housing India

Maharasthra Housing dirancang oleh arsitek India, Charles Correa yang selalu

mengedepankan konsep efesiensi ruang dan kenyamanan ruangan. Maharashtra

housing merupakan salah satu contoh rusun untuk masyarakat menengah ke bawah.

a) Lokasi

Maharasthra Housing terletak di pusat kota Mumbai. Rumah susun ini dapat

digunakan oleh keluarga yang daerah huniannya sedang diremajakan. Apabila proses

peremajaan dan pembangunan telah selesai, penghuni harus kembali ke daerah hunian

asal. Pembangunan rusun di pusat kota Mumbai ini dibangun atas dasar pertumbuhan

penduduk kota yang lebih cepat dua kali dari daerah pinggiran kota.

b) Unit hunian

Gambar 2.17. Isometri Tipikal Unit Hunian

Sumber: Correa, Charles. (1999). Housing and Urbanisation. Thames & Hudson, London.

Unit hunian dibuat sederhana dengan luas unit hunian hanya 21m2, karena

berfungsi sebagai hunian sementara. Adapun ruang yang disediakan pada tiap unit

55

hunian diperuntukan untuk tidur, memasak, makan, cuci, dan mandi. Aktivitas untuk

belajar dan bermain disediakan di luar unit hunian, pada ruang bersama di setiap lantai.

Gambar 2.18. Konsep Perancangan Koridor, Jendela, dan Pintu.

Sumber: Correa, Charles. (1999). Housing and Urbanisation. Thames & Hudson, London. India memiliki iklim cukup panas disaat musim kemarau, oleh karena itu

diperlukan adanya sirkulasi udara silang pada rancangan bangunannya. Konsep

perancangan yang pertama dengan meggunakan sistem koridor. Koridor selain

berfungsi untuk menghubungkan antar unit bangunan, juga sebagai sirkulasi udara

karena pada koridor terdapat tangga terbuka. Konsep yang kedua, membuat jendela dan

pintu dengan permukaan solid dan berongga. Tujuannya agar udara masih tetap

mengalir meskipun pintu berongga dalam keadaan tertutup.

c) Ketinggian bangunan

Gambar 2.19. Posisi Lift dan Sistem Pemberhentian Lift

Sumber: Correa, Charles. (1999). Housing and Urbanisation. Thames & Hudson, London. Bangunan memiliki ketinggian delapan lantai yang disesuaikan dengan

kebiasaan hidup penghuni golongan menengah ke bawah. Sistem pencapaian vertikal

menggunakan tangga dan elevator, dengan posisi lift berada diantara 2 massa bangunan.

Jumlah liftnya 2 buah, agar apabila salah satu lift tidak bisa berfungsi dapat

menggunakan lift lainnya. Lift hanya berhenti di tiga lantai, yaitu lantai dasar, lantai 3.5

dan lantai 7.5 yang bertujuan untuk menghemat energi listrik dan menjaga umur lift.

56

d) Keragaman Fungsi

Terdapat ruang komunal baik di dalam maupun di luar gedung. Ruang komunal

di dalam gedung dapat digunakan sebagai tempat bermain dan megerjakan tugas anak-

anak sepulang dari sekolah. Selain itu tersedia juga ruang bersama yang diperuntukan

khusus untuk ibu-ibu membuat usaha tambahan, seperti membuat kue jajanan. Ruang

ini terhubung dengan ruang komunal, sehingga memudahkan pengawasan terhadap anak

mereka yang sedang belajar dan bermain. Ruang komunal ini berada pada lantai 4 dan

8, yang berfungsi juga menghubungkan setiap tangga dengan lift.

Gambar 2.20. Perancangan Ruang Komunal

Sumber: Correa, Charles. (1999). Housing and Urbanisation. Thames & Hudson, London.

2.7.3 Rusun Tanah Abang Jakarta

Pembangunan rumah susun Tanah Abang tidak lepas dari usaha untuk mengatasi

masalah kebutuhan perumahan di Jakarta. Masalah perumahan di Jakarta dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pesatnya pertumbuhan penduduk serta

rendahnya kemampuan ekonomi sebagian penduduk Jakarta untuk memiliki rumah

layak. Rusun Tanah Abang yang memiliki lahan seluas 4 hektar, merupakan salah satu

rusun percontohan yang dibangun oleh Perum Perumnas. Rusun ini diperuntukan bagi

golongan ekonomi menengah dan merupakan titik tolak bagi perencanaan rusun

selanjutnya (Panudju, 1997). Penghuninya bersifat heterogen, antara lain pegawai

pemerintah, swasta, dan pedagang dengan latar belakang pendidikan yang beda.

a) Lokasi

Rusun Tanah Abang terletak di pusat kota Jakarta dan tidak jauh dari bundaran

Hotel Indonesia. Lokasi tersebut sangat strategis, karena daerah sekitarnya berfungsi

57

sebagai salah satu pusat bisnis dan komersial. Lokasinya pun mudah dicapai dengan

menggunakan kendaraan pribadi, transportasi kota (termasuk busway), atau jalan kaki.

b) Unit hunian

Gambar 2.21. Denah Unit Hunian Rusun Tanah Abang

Sumber: www.perumnas.co.id

Terdapat dua jenis bentukan massa bangunan pada rusun Tanah Abang dengan

luas unit hunian masing-masing sebesar 36 m2. Bentukan massa yang pertama

berbentuk bujur sangkar dan yang kedua berbentuk persegi panjang (Gambar 2.21).

Pada lahan seluas 4 hektar ini, terdapat 60 blok rusun dengan total jumlah unit hunian

mencapai 960 unit (Panudju, 1997).

Rusun ini diperuntukan untuk satu keluarga dengan jumlah penghuni maksimal

4 orang. Pada kenyataannya, tidak sedikit unit hunian yang dihuni lebih dari 4 orang.

Akibat luas hunian yang tidak seimbang dengan jumlah penghuni, maka penghuni

melakukan perluasan unit hunian. Terutama unit hunian yang di lantai dasar dengan

memanfaatkan benda bersama. Kondisi tersebut sulit dihindari, karena rusun ini dihuni

dengan sistem milik, sehingga penghuni merasa berhak melakukan apa saja terhadap

unit huniannya.

c) Ketinggian bangunan

Rusun Tanah Abang memiliki jumlah lantai sebanyak 4 buah. Harga unit hunian

di lantai dasar lebih mahal dibanding di lantai atas, karena dipengaruhi oleh kemudahan

pencapaian dan kecenderungan orang untuk tinggal di dekat tanah (Komarudin, 1997).

58

Sirkulasi vertikalnya menggunakan tangga, dan untuk mengantisipasi bahaya kebakaran

disediakan tangga darurat khusus dekat unit huniannya.

Gambar 2.22. Ketinggian Bangunan Rusun Tanah Abang

Sumber: Foto Dokumentasi Pribadi (Pebruari 2007)

d) Keragaman fungsi

Gambar 2.23. Fasilitas Penunjang Rusun Tanah Abang

Sumber: Foto Dokumentasi Pribadi (Pebruari 2007)

Pada rusun Tanah Abang fasilitas penunjangnya dibuat terpisah dari blok

huniannya. Seluruh lantai rusun dari lantai satu hingga lantai empat diperuntukan untuk

unit hunian. Fasilitas penunjang yang tersedia diantaranya parkir kendaraan (80 mobil),

masjid, puskesmas, sekolah dasar, madrasah, lapangan olahraga, gedung serba guna,

dan pasar. Jarak pasar dan tempat belanja kebutuhan hidup yang berbeda pada tiap unit

hunian, mendorong berdirinya berbagai usaha berdagang sejenis pada unit-unit hunian.

2.7.4 Kesimpulan Studi Banding

a) Lokasi

Ketiga proyek pembangunan hunian ini sama-sama terletak di pusat kota, yang

membedakannya adalah keragaman fasilitas pendukung di sekitarnya. The

Pinnacle@Duxton dan rusun Tanah Abang memiliki keuntungan karena berada dekat

dengan sarana transportasi kota dan fasilitas pelayanan umum kota.

59

b) Unit hunian

Perbedaan fungsi hunian dan sistem kepemilikan unit hunian mempengaruhi

pada luasan unit huniannya. Pada proyek The Pinnacle@Duxton dan rusun Tanah

Abang, unit huniannya memang dipersiapkan untuk warga kota yang hendak tinggal

tetap disana, sementara pada proyek Maharasthra Housing hanya bersifat hunian

sementara, sebelum mereka memiliki rumah. Pembangunan hunian secara vertikal di

Singapura didasari atas keterbatasan lahan yang dimiliki oleh negara ini.

c) Ketinggian bangunan

Perbedaan ketinggian lantai pada tiga proyek ini karena adanya perbedaan

kondisi sosial budaya yang jauh antara warga India, Indonesia, dan Singapura. Negara

Singapura yang memiliki lahan terbatas, warga kotanya sudah terbiasa untuk hidup

secara vertikal, sementara di India dan Indonesia tidak demikian.

d) Keragaman fungsi

Ketiga proyek berusaha menyediakan fasilitas tambahan yang dapat digunakan

oleh penghuni sebagai tempat untuk bersosialisasi dan beraktivitas. Akan tetapi fasilitas

yang ada pada The Pinnacle @Duxton dan rusun Tanah Abang lebih beragam

dibandingkan dengan Maharasthra Housing. Hal ini dikarenakan penghuni The

Pinnacle @Duxton dan rusun Tanah Abang akan tinggal dalam waktu yang lama

disana, sehingga lingkungan hunian dibuat senyaman mungkin agar dapat

menghidupkan lingkungannya. Faktor lain yang mempengaruhi keragaman fasilitas

adalah kemampuan tingkat ekonomi penghuninya.

e) Manfaat studi banding

Terdapat beberapa hal yang dapat diambil manfaatnya dari hasil kajian studi

banding ini untuk digunakan pada lokasi studi, diantaranya keragaman fungsi, cara

penggunaan lift dan keberlanjutan rusun. Masyarakat India memiliki kesamaan dengan

masyarakat Indonesia, yaitu kebiasaan hidup dekat dengan tanah. Oleh karena itu

ketinggian rusun tidak dibuat terlalu tinggi. Untuk menghemat penggunaan energi listrik

60

dan menjaga umur lift, pemberhentian lift pada Maharasthra Housing hanya

dioperasikan per dua atau tiga lantai.

Pada proyek The Pinnacle @Duxton, seluruh lantai dasar diperuntukan untuk

fungsi umum, seperti pertokoan, tempat makan, fasilitas kesehatan, taman bermain,

hingga tempat bermain. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup penghuni dan

menghidupkan aktivitas di lingkungan rusun, sehingga penghuni tidak perlu keluar

lingkungan hunian dalam mencari kebutuhan hidupnya. Untuk memfasilitasi aktivitas

sosial penghuni disediakan ruang-ruang komunal baik di dalam ataupun di luar rusun.

Salah satu bentuk perencanannya dengan memanfaatkan koridor sebagai ruang komunal

yang dibuat lebih lebar.

Manfaat lain yang dapat diambil adalah keberlanjutan rumah susun. Lokasi ini

telah berhasil dilakukan upaya urban renewal sebanyak dua kali yaitu pada tahun 1960-

an dan tahun 2002 melalui proyek The Pinnacle @Duxton. Setiap kali dilakukan upaya

peremajaan, kapasitasnya terus bertambah disesuaikan dengan kebutuhan hunian di

kawasan tersebut. Upaya tersebut tidak bisa terlepas dari potensi lokasi yang dimiliki

Duxton Plain yaitu posisi lahan yang strategis, sistem sirkulasi dan transportasi kota

Singapura yang baik, dan dekat fungsi pelayanan kota.

61

2.8 Kriteria dan Prinsip Perencanaan

Kriteria dan prinsip perencanaan dari kajian teori serta kajian empiris yang akan digunakan dalam analisis serta penerapan

perencanaan pada lokasi studi, adalah: FAKTOR KOMPONEN VARIABEL INDIKATOR KRITERIA DAN PRINSIP

Peruntukan Lahan

Fungsi Peruntukan lahan kawasan kota hendaknya memiliki keragaman fungsi dengan menggabungkan berbagai fungsi dan aktivitas, guna memperpendek jarak antar aktivitas dan meningkatkan aksesibilitas.

Intensitas Bangunan

Fungsi Intensitas pembangunan kawasan dipengaruhi oleh: tingkat aksesibilitas, nilai lahan, potensi kawasan terhadap kota, daya dukung lahan, intervensi teknologi.

Pembangunan multi fungsi terdiri atas 3 fungsi utama (ULI, 1987), yaitu: 1. Komersial retail dan komersial perkantoran. 2. Fungsi hunian (rumah tunggal, rusun sederhana, dan

apartemen) 3. Fungsi pelayanan umum kota (sekolah, rumah sakit, dll) Proporsi pembangunan multi fungsi adalah (ULI, 1987): Intensitas pembangunan rata-rata fungsi komersial adalah 70%, fungsi hunian adalah 25%, dan fungsi pelayanan umum kota sebesar 5%.

Fungsi Aksesibilitas memiliki fungsi sebagai pengikat, sarana transportasi, infrastruktur kota, dan ruang publik. Jaringan jalan sebagai pembagi dan penghubung segmen kawasan kota.

Perencanaan segmen/blok kawasan kota dibuat dengan ukuran panjang minimum adalah 90 meter dan ukuran panjang maksimum adalah 200 meter (Katz, 1994).

Lokasi

Aksesibilitas/pencapaian

Hirarki jalan, menandakan adanya perbedaan fungsi dan ukuran jalan. Keragaman jaringan sirkulasi kendaraan yang saling terkait dapat mengurangi tingkat kepadatan kendaraan di perkotaan

62

Sarana Pendukung

Tersedianya parkir tempat parkir yang cukup berdasarkan fungsi dan ketentuan yang ada. Perletakan tempat parkir sebaiknya mengutamakan kepentingan jalur pejalan kaki.

Standar jumlah parkir kendaraan berdasarkan Peraturan Daerah No.14 tahun 1998, antara lain: Jasa perdagangan 60m2/1 mobil. Perkantoran 100m2/1mobil. Sekolah 100m2/1 mobil

Menempatkan area parkir kendaraan di basement, samping bangunan, belakang bangunan, atau tengah segmen kawasan(Katz, 1994).

Kualitas Fisik Intensitas penggunaan jalur pejalan kaki berbanding lurus dengan kualitas fisik yang dimilikinya. Kualitas fisik meliputi material, rambu lalu lintas, desain pedestrian, street furniture, elemen seni/art, dan jalur hijau.

Keamanan dan Kenyamanan

Elemen dalam sirkulasi pejalan kaki harus tersedia dengan baik, seperti lampu penerangan, vegetasi, street furniture, ramp dan lainnya. Penggunaan jalur hijau guna memisahkan jalur kendaraan dengan jalur pejalan kaki.

Standar jarak antar lampu penerangan adalah 3 – 105 meter, kemudian standar perbandingan kemiringan ramp untuk perjalan kaki adalah 1:12 sampai 1:10 (Zeeger, 2002). Pemberian rambu lalu lintas pada area tertentu, seperti tempat penyebrangan jalan dan persimpangan kawasan. Ruang terbuka atau jalur hijau sebagai pembatas dan buffer memiliki lebar standar yaitu 18-24 meter. Kemudian standar jarak antar pohon pada jalur hijau adalah 3 – 105 meter (Jacobs, Macdonald, dan Rofe, 2001).

Pencapaian Pejalan kaki

Keragaman Aktivitas

Keragaman fungsi dan aktivitas pada jalur pejalan kaki, berpengaruh pada perencanaan dan perancangan lebar jalurnya.

Lebar standar jalur pedestrian antara 16-24 meter, sementarapedestrian dengan fungsi retail lebarnya 36-48 meter (De Chiara, 1984; Jacobs, 1993).

63

Sarana Pendukung

Tersedianya tempat-tempat peralihan moda yang terintegrasi dengan jalur pejalan kaki. Tersedianya rambu-rambu yag jelas tentang peralihan jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan.

Jarak antar halte/transit transportasi kota maksimal adalah 600 meter (Zeeger, 2002). Pada area transit sebaikya disediakan tempat duduk untuk menunggu.

Revenue financing

Sistem kerjasama Land readjustment Konsolidasi tanah adalah penataan dan pengaturan kembali tanah dan lingkungan kota agar lebih sehat, menyenangkan dan teratur untuk berbagai keperluan (Blanco, 2005). Prinsip kerjanya adalah pemindahan hak-hak atas tanah tetapi bukan suatu tindakan penggusuran, melainkan dapat meningkatkan nilai lahan.

Excess condemnation Prinsip kerjanya adalah sejumlah tanah disisihkan dan diberikan pada investor untuk pembangunan komersial. Sebagai imbalan, investor berkewajiban untuk membangun prasarana yang dibutuhkan pada sebagian tanah lain (Hirawan, 1995).

Debt financing Sistem kerjasama

Linkage

Prinsip kerjanya adalah investor diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis di daerah lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di daerah yang mereka inginkan (Hirawan, 1995).

Joint ventures Joint ventures merupakan sistem kerjasama (patungan) antara dua belah pihak atau lebih, yang dapat melibatkan pihak swasta dan pemerintah. Prinsip kerjanya adalah setiap pihak memiliki posisi yang seimbang dalam proyek yang bersangkutan (Rodney dan Clark, 2000).

Pelaku

Equity financing

Sistem kerjasama

Concessions Prinsip kerjanya adalah pembangunan kota melalui pemberian wewenang oleh pihak pemerintah kepada pihak investor/swasta untuk membangun, mengembangkan, dan memanfaatkan lahannya dalam kurun waktu tertentu (Kerf, 1998).

64

Aspek Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan yang ada pada kawasan tersebut, dll

Lamanya waktu upaya urban renewal di pengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi yang terjadi pada lokasi tersebut (Gale, 1984; Rui, 2003).

Waktu

Aspek kelembagaan pemerintah dan pengelolaan kota

Kondisi kelembagaan pemerintah dan pengelolaan kota, antara lain kepemilikan properti, kebijakan pemerintah, program pemerintah, dll

Lamanya waktu upaya urban renewal di pengaruhi oleh kondisi kelembagaan pemerintah dan pengelolaan kota pada lokasi tersebut (Gale, 1984.; Rui, 2003).

Jarak terhadap tempat kerja

Memiliki prospek kawasan, seperti dekat dengan tempat kerja. Memiliki kemudahan pencapaian. Terkait dengan jaringan jalan dan akses menuju lokasi rusun. Memiliki kemudahan menuju sarana transportasi kota.

Jarak maksimum antara lokasi rusun dengan tempat kerja adalah 1.6 Km (De Chiara, 1984). Jarak maksimal lokasi rusun dengan jaringan jalan adalah 75 meter (De Chiara, 1984). Jarak maksimal; lokasi rusun dengan sarana transportasi kota adalah 600 meter (De Chiara, 1984).

Lokasi Rusuna

Jarak terhadap fasilitas pelayanan umum

Lokasi rusun untuk masyarakat menengah harus memperhatikan jaraknya dengan fasilitas pelayanan umum kota yang ada di kawasan sekitarnya. Kompleks rusun harus menyediakan sarana kebutuhan hidup sehari-hari penghuninya.

Standar jarak maksimal lokasi rusun dengan fungsi sekitar, ditempuh dengan berjalan kaki (De Chiara, 1984): Jarak maksimal dengan Taman Kanak-kanak adalah 400 meter. Jarak maksimal dengan SD dan SMP adalah 1.2 Km. Jarak maksimal dengan SMA adalah 1.6 Km. Jarak maksimal dengan pusat perbelanjaan adalah 800 meter. Jarak maksimal dengan rumah sakit adalah 1.6 Km. Jarak maksimal dengan taman kota adalah 800 meter.

Bangunan Rusuna

Unit hunian Perencanaan unit hunian sebaiknya disesuaikan dengan jumlah penghuni rumah susun tersebut

Asumsi kebutuhan ruang perorangan adalah 9 m2 (Puslitbang Permukiman, 2005). Standar unit hunian 21 m2 dapat dipergunakan oleh dua orang. Standar unit hunian 36 m2 dapat dipergunakan oleh satu keluarga. Dengan asumsi satu keluarga terdiri atas Bapak, Ibu, dan dua orang anak

65

Ketinggian bangunan

Ketinggian bangunan rusun harus memperhatikan aspek sosial, yaitu kebiasaan hidup warga tinggal dekat tanah (landed houses). Tingkat kepadatan menggambarkan perbandingan luas bangunan dengan luas lahan, jumlah warga, dan ketinggian bangunan. Perencanaan kepadatan rusun harus memperhatikan kenyamanan bagi penghuni.

Standar ketinggian bangunan dipengaruhi oleh luas lahan, KDB/BCR, dan KLB/FAR. Standar rusun di Indonesia, yaitu (Puslitbang Permukiman,2005): - walk-up apartment dengan ketinggian 4 -5 lantai, dan - elevated apartment dengan ketinggian ≥ 6 lantai. Sirkulasi udara silang dalam tiap hunian. Setiap ruang pada unit hunian dapat memperoleh terang matahari.

Keragaman fungsi

Perencanaan penggunaan campuran terutama komersil pada kompleks rusuna bertujuan menjadikan kegiatan tersebut sebagai aset keberlanjutan. Perencanaan rusun harus memperhatikan kenyamanan, salah satunya adalah penyediaan ruang terbuka sebagai ruang komunal.

Bagian lantai dasar rusuna diperuntukan untuk fungsi komersil dan unit usaha. Maksimum 60% dari luas total lantai dasar diperuntukan untuk fungsi komersil, dan sisanya untuk fungsi pelayanan umum (Puslitbang Permukiman, 2005). Luas lahan maksimum yang dapat dibangun adalah sebesar 40% dari total luas lahan yang ada, sementara sisanya dapat diperuntukan untuk ruang terbuka atau taman (Puslitbang Permukiman, 2005).

Perawatan dan pemeliharaan

Kondisi rusun yang terawat dapat meningkatkan interaksi warga, mempertahankan nilai hunian, dan usia rusun dapat dipergunakan sesuai yang direncanakan.

Pada prinsipnya untuk kemudahan perawatan bangunan tergantung pada (Panudju, 1997): Desain bangunan yang memungkinkan kemudahan perawatan. Penggunaan material yang mudah dibersihkan dan diganti apabila terjadi kerusakan.

Tingkat kemampuan ekonomi penghuni untuk menyediakan dana bagi perawatan bangunan.

Kemungkinan penggunaan alat-alat kebersihan atau pihak yang mengurusi masalah perawatan bangunan.