URBAN SPARWL.docx

21
URBAN SPARWL 1. Pengertian Urban sprawl adalah suatu proses peluberan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran, dengan kata lain terjadi proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar. Lebih jauh urban sprawl merupakan suatu proses perubahan fungsi dari wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan. Dimana proses terjadinya urban sprawl di mulai sejak tahun 1997, terutama terlihat dari jumlah dan kepadatan penduduk di setiap desa dan Kecamatan Cileunyi secara keseluruhan yang mengarah pada perubahan fungsi wilayah pedesaan menjadi kota menengah dan menuju kota besar. Sedangkan pengaruh urban sprawl terhadap struktur tata ruang dapat dilihat dari 3 (tiga) struktur yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi. Pengaruh urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran permukiman yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi, dengan kata lain terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah tertentu. Dari struktur kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihatkan dengan penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar ke samping kiri kanan jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh urban sprawl adalah terjadinya perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin

Transcript of URBAN SPARWL.docx

Page 1: URBAN SPARWL.docx

URBAN SPARWL

1. Pengertian

Urban sprawl adalah suatu proses peluberan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran, dengan

kata lain terjadi proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar. Lebih jauh urban

sprawl merupakan suatu proses perubahan fungsi dari wilayah pedesaan menjadi wilayah

perkotaan.

Dimana proses terjadinya urban sprawl di mulai sejak tahun 1997, terutama terlihat dari

jumlah dan kepadatan penduduk di setiap desa dan Kecamatan Cileunyi secara keseluruhan

yang mengarah pada perubahan fungsi wilayah pedesaan menjadi kota menengah dan menuju

kota besar. Sedangkan pengaruh urban sprawl terhadap struktur tata ruang dapat dilihat dari 3

(tiga) struktur yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi.

Pengaruh urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran permukiman

yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi, dengan kata lain

terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah tertentu. Dari struktur

kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihatkan dengan penyebaran

lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar ke samping kiri kanan jalan arteri.

Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh urban sprawl adalah terjadinya perubahan pola

kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin

berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan meningkatnya penduduk yang

bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri dan jasa).

Selain perilaku masyarakat mengenai kepemilikan tanah dan transportasi, peran

pemerintahpun ternyata juga turut mengambil andil dalam keberadaan fenomena Urban

sprawl ini. Keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diyakini masih belum dapat

diimplementasikan dalam mencapai tata ruang yang pro-lingkungan. Terlalu banyak

kepentingan sosial ekonomi yang ingin dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sehingga

pada kenyataannya mempengaruhi pelaksanaan RTRW. Hal ini diyakini dapat menyebabkan

fungsi lingkungan terabaikan. Rencana awal yang disusun masih baik dalam teori konsep,

tetapi karena tidak dapat diimplementasikan maka keberadaannya tidak mampu memformat

Page 2: URBAN SPARWL.docx

kota agar dapat terkendali sesuai rencana. Sehingga pemekaran wilayahpun menjadi tidak

terstruktur, tidak sesuai dengan rencana awal pembangunan wilayah tersebut.

2. Karakteristik Urban sprawl

Keberadaan sprawl ditandai dengan adanya beberapa perubahan pola guna lahan yang terjadi

secara serempak, seperti sebagai berikut:

1. Single-use zoning

Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan area

industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya, bidang

besar tanah digunakan sebagai penggunaan lahan tunggal yang saling terpisahkan, antara

ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana

masyarakat yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh,

antara satu dan yang lainnya, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan

bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.

2. Low-density zoning

Sprawl mengonsumsi jauh lebih banyak penggunaan lahan perkapita dibandingkan

perkembangan kota tradisional, karena peraturan penzonaan seharusnya menyatakan

bahwa perkembangan kota seharusnya berada dalam kepadatan penduduk yang rendah.

Definisi yang tepat mengenai kepadatan yang rendah ini relatif, contohnya rumah tinggal

tunggal, yang sangat luas, kurang dari sama dengan 4 unit per are. Bangunan tersebut

memiliki banyak penggunaan lahan dan saling berjauhan satu sama lain, terpisahkan  oleh

halaman rumput, landscape, jalan atau lahan parker yang luas. Lahan parkir yang luas

jelas didesain untuk jumlah mobil yang banyak. Dampak dari perkembangan kepadatan

penduduk yang rendah ini mengalami peningkatan secepat peningkatan populasi pula.

Overall density is often lowered by “leap-frog development”. Pada umumnya,

pengembang membutuhkan kepastian tingkat persentase  bagi pengembangan lahan untuk

Page 3: URBAN SPARWL.docx

penggunaan publik, termasuk jalan raya, lapangan parkir dan gedung sekolah. Dahulu,

saat pemerintah lokal menunjuk suatu lokasi dan ternyata lahannya kurang, mereka dapat

dengan mudah melakukan bernacam jenis perluasan wilayah, karena tidak ada kekuasaan

yang tinggi untuk melakukan penghukuman. Pengembang privat jelas tidak memiliki

kewenangan untuk melakukan hal tersebut.

3. Car-dependent communities

Area yang mengalami Urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan mobil

yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan automobile

dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan nglaju (commuting to

work), membutuhkan mobil sebagai akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan

kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak

cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan

tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki.

3. Dampak-dampak yang terjadi akibat fenomena Urban sprawl

Setiap peristiwa pasti memiliki dampak bagi lingkungan sekitarnya maupun bagi objek itu

sendiri. Sama halnya yang terjadi pada fenomena Urban sprawl ini. Ada beberapa dampak

yang akan saya paparkan mengenai fenomena ini. Dampak positifnya adalah:

1. Bertambahnya jumlah penduduk yang akan meningkatkan kepadatan penduduk diwilayah

tersebut.

2. Semakin berkembangnya wilayah disekitar kota yang terkena dampak, baik perdesaan

maupun perkotaan. Karena akibat  semakin banyak penduduk yang bermukim disana,

semakin banyak aktivitas yang terjadi yang akan meningkatkan perekonomian wilayah.

3. Bertambahnya infrastruktur diwilayah yang terkena dampak, sebagai supply dari

pemerintah setempat akan kebutuhan masyarakatnya.

Namun ternyata, selain memiliki dampak positif, fenomena urban sprawl ini juga memiliki

dampak yang negatif. Bahkan dengan jumlah yang lebih banyak, diantaranya adalah :

Page 4: URBAN SPARWL.docx

1. Semakin berkurangnya lahan subur untuk pertanian dan lahan sebagai habitat bagi

makhluk hidup, selain manusia.

Para petani terkadang lebih memilih untuk menjual sawah mereka untuk pengembangan

perumahan oleh stakeholders dan meningkatkan persediaan keuangan mereka untuk

simpanan dihari tua. Sedangkan kawasan lindung, yang seharusnya memiliki peran untuk

melindungi kawasan, serta habitat yang ada didalamnya, keberadaannya juga semakin

menyempit karena mengalami perubahan guna lahan, yang dimanfaatkan untuk

pembangunan gedung dan perumahan untuk kepentingan manusia.

2. Morfologi kota yang semakin tidak teratur

Akibat terjadinya pemekaran kota keluar area yang tidak diawali dengan rencana

mengakibatkan morfologi kota menjadi tidak teratur. Terjadi banyak perubahan

penggunaan lahan dikawasan yang terkena urban sprawl tersebut, Kondisi existing tidak

lagi sesuai dengan rencana awal guna lahan yang tercantum pada Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW). Para stakeholders umumnya akan berasumsi bahwa nilai guna

ekonomis suatu lahan akan semakin meningkat jika lahan tersebut dijadikan sebagai

perumahan, bahkan area komersil yang tentunya akan menguntungkan bagi mereka.

3. Meningkatnya biaya pajak

lokasi kawasan permukiman yang semakin meluas dan menjauh, terpisah dari pusat kota,

menyebabkan biaya dari penyediaan dan pelayanan fasilitas dan infrastruktur yang

semakin mahal karena ongkos kirimnya yang lebih mahal. Sehingga pemerintah lokalpun

membutuhkan biaya yang ekstra untuk memperluas jaringan pelayanan yang kemudian

meningkatkan harga wajib pajak bagi masyarakat setempat.

4. Meningkatnya tingkat polusi pada tanah, air dan udara serta meningkatnya konsumsi

energi oleh manusia

Semakin banyaknya penduduk yang tinggal disuatu wilayah maka semakin banyak

sumber daya yang dibutuhkan dari alam untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Semakin

Page 5: URBAN SPARWL.docx

banyak juga pengeluaran/ sisa buangan dari proses pengolahannya. Sesuai dengan fungsi

alam yang sebenarnya, yaitu sebagai penyedia sumber daya sekaligus sebagai tempat

penampungan/ limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia tersebut. Oleh karena itu

selain menyebabkan peningkatan polusi dari hasil sisa tersebut, ketersediaan dari energi

dan sumber daya alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari

manusia yang semakin tingi pula.

5. Terjadinya kesenjangan sosial.

Karena adanya kawasan kumuh (slum). Daerah slum / slums adalah daerah yang sifatnya

kumuh tidak beraturan yang terfapat di kota atau perkotaan. Daerah slum umumnya

dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah, terbelakang,

pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya. dan permukiman liar (squatter settlement).

Page 6: URBAN SPARWL.docx

NEW URBANISM

1. Pengertian

New urbanism atau dikenal juga dengan neotraditional development (TND) merupakan paradigma perancangan kawasan permukiman yang berorientasi pada pejalan kaki (pedestrian oriented), penggunaan tata guna lahan yang beragam, atau multi fungsi antara hunian, fasilitas publik, dan fasilitas komersial. Paradigma ini ditawarkan sebagai solusi dari berbagai permasalahan lingkungan dan gaya hidup yang terjadi di Amerika seperti meningkatnya polusi kendaraan bermotor, dan kemacetan yang diakibatan penyebaran permukiman berkepadatan rendah didaerah sub urban Amerika yang telah berkembang semenjak pasca perang dunia ke II (Furuseth, 1997).

Permukiman new urbanist ditandai dengan tujuh parameter, yaitu ukuran (scale), fungsi tata guna lahan yang beragam, pola jalan, pedestrian, karakteristik arsitektural, dan land regulation (Handy, 1991 dalam Furuseth, 1997). Semenjak digagas sampai dengan saat ini, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji konsep new urbanism dan penerapannya. Tulisan ini akan mengulas penelitian-penelitian tentang new urbanism berdasarkan pengelompokan bahasan yang telah dilakukan. Dari jurnal yang telah dikumpulkan, bahasan penelitian dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu:

1. Pengaruh penerapan konsep new urbanism terhadap perilaku masyarakat di lingkungannya

Penelitian-penelitian pada kelompok pertama ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerapan konsep new urbanism seperti pengecilan luas kapling, penggunaan pola jalan grid, dan penyempitan lebar jalan, dan pedestrian oriented terhadap sense of community dan pemilihan moda transportasi penghuninya (travel attitude).

2. New urbanism dari segi finansial dan pemasaran3. New urbanisme, antara konsep dan implementasi serta permasalahan yang timbul

1.1.1. Pengaruh terhadap sense of community

Penelitian yang dilakukan pada sub kelompok ini meneliti pengaruh konsep pedestrian oriented, penyempitan luas kapling, dan penggunaan fungsi lahan yang beragam terhadap sense of community dari penduduknya. Penggagas konsep new urbanism mengharapkan, melalui konsep pedestrian oriented serta penggunaan fungsi lahan beragam untuk berbagai tipe rumah untuk masyarakat dari kalangan social dan tingkat ekonomi akan memperbesar kemungkinan penghuni rumah (tetangga) dengan karakter social dan ekonomi yang berbeda, untuk saling bertemu dan berinteraksi (Lund, 2002; Talen, 1999, 2000). Begitupun dengan penyempitan

Page 7: URBAN SPARWL.docx

luas lahan dan penggunaan fungsi lahan yang beragam antara hunian dan fasilitas umum diharapkan jarak antar rumah akan semakin dekat, sehingga memperbesar kesempatan interaksi antar penghuni lingkungan baik di rumah maupun pada fasilitas umum atau ruang terbuka publik yang disediakan (Talen, 1999). Dengan penelitian yang dilakukan akan diketahui apakah pengaruh yang diberikan oleh penerapan konsep-konsep new urbanism akan sesuai dengan harapan para penggagasnya ataukah tidak.

Beberapa penelitian yang dilakukan pada sub kelompok ini menggunakan metode perbandingan aspek fisik dan perilaku atau kebiasaan masyarakat pada dua lingkungan yang berbeda. Satu kawasan permukiman yang dipilih sebagai sampel dirancang dengan konsep new urbanism dan yang lainnya merupakan konsep sub urban konvensional (Nasar, 2003; Lund, 2002; Kim & Kaplan, 2004). Untuk mengetahui perbedaan sense of community, digunakan metode kuesioner dengan masyarakat new urbanist dan sub urban konvensional sebagai responden. Sedangkan point pertanyaaan yang diberikan seputar intensitas interaksi dan hubungan dengan tetangga, bagaimana aktivitas dalam komunitas, bagaimana menilai atau pengenalan terhadap lingkungan, kepuasan terhadap lingkungan tempat tinggal, serta pertanyaan mengenai karakteristik responden.

Dari hasil penelitian akan diketahui perbedaan karakter fisik dari lingkungan yang dirancang dengan new urbanism dan tidak, dan bagaimana aspek-aspek fisik lingkungan tersebut akan mempengaruhi sense of community yang dirasakan penghuninya. Lebih jauh lagi dapat diketahui apakah sense of community yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman yang dirancang dengan konsep new urbanist akan lebih besar daripada kawasan konvensional sub urban.

Melalui studi literature yang dilakukan dalam beberapa penelitian, sense of community didefinisikan sebagai sebagai sense of belonging seseorang terhadap lingkungan dan komunitas masyarakat dimana ia tinggal. Pengertian tersebut mencakup berbagai hal termasuk diantaranya kepuasan terhadap lingkungan tempat tinggal, rasa memiliki suatu lingkungan dan komunitas, serta pengenalan dan keterikatan secara fisik dan emosional terhadap komunitas dalam lingkungan yang diwujudkan antara lain dalam interaksi sosial yang baik dan keterlibatan dalam komunitas (Kim & Kaplan, 2004; du Toit et al, 2007; Lund, 2002).

Hasil penelitian dari Lund (2002) dan Kim & Kaplan (2004) meyatakan bahwa sense of community yang dirasakan masyarakat pada lingkungan new urbanist lebih besar daripada masyarakat sub urban konvensional. Sebaliknya, Nassar (2003) menemukan bahwa sense of community dirasakan sama baiknya pada masyarakat di kawasan new urbanist maupun sub urban konvensional. Perbedaan hasil penelitian tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan karakteristik personal responden, karena sense of community juga dipengaruhi personal and sosio demographic faktor, misalkan faktor individu seperti usia, tingkat pendidikan dan ekonomi dan faktor lingkungan (Lund 2002).

Kim (2004) menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kepuasan terhadap lingkungan tempat tinggal yang dirasakan oleh penduduk lingkungan new urbanist

Page 8: URBAN SPARWL.docx

dengan penduduk sub urban konvensional. Hal ini mungkin dirasakan karena perbedaan karakter individu yang mendorong perbedaan prioritas dalam memilih lingkungan tempat tinggal. Penduduk new urbanist lebih menginginkan lingkungan dengan sense of community yang tinggi, walaupun dengan luas lahan yang kecil. Sedangkan penduduk pada daerah modern suburb lebih memprioritaskan tempat tinggal dengan lahan yang luas, privacy tinggi, serta jalan yang lebar (Kim, 2004; Audirac, 1999). Hal tersebut pulalah yang mendasari kesimpulan Talen, 1999 bahwa tingginya sense of community pada lingkungan new urbanist belum tentu didorong oleh desain dari aspek fisik lingkungan, tetapi karakter masyarakatnya. Masyarakat yang memilih tinggal di lingkungan new urbanist melihat sense of community sebagai suatu daya tarik utama kawasan ini. Karenanya mereka rela membayar lebih untuk mendapatkan segala sesuatu yang ditawarkan oleh lingkungan new urbanist (Eppli & Tu, 1999) termasuk sense of communitynya. Menurut Talen (1999), masyarakat yang memilih tinggal di kawasan new urbanist merupakan orang-orang yang memang memiliki value terhadap sense of community yang kuat, dan siap dengan kondisi tersebut dan oleh karenanya disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingginya sense of community dengan karakter fisik lingkungan di kawasan new urbanist.

Hess, (2008) meneliti penggunaan jalan raya, halaman dan alley atau jalan kecil di belakang rumah pada kawasan permukiman new urbanist. Ia menemukan bahwa jalan belakang dan alley lebih banyak digunakan untuk keluar masuk rumah, dan juga tempat berinteraksi dengan tetangga. Sedangkan pintu dan halaman depan banyak digunakan sebagai tempat sosialisasi dengan tetangga dan teman-teman misalkan dengan mengadakan barbeque di halaman depan.

1.2. Pengaruh terhadap travel attitude

Salah satu goal yang hendak dicapai oleh new urbanism selain sense of community adalah mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor. Dalam konsep new urbanisme, hal tersebut berusaha dicapai dengan penggunaan fungsi lahan yang beragam dalam kawasan permukiman (Furuseth, 1997; Handy, 1992). Selain ada hunian, juga ada tempat perbelanjaan, rumah makan, klinik, taman, perpustakaan, maupun sekolah dalam radius jarak yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Pola jalan yang digunakan adalah grid, bukan curvilinear seperti pada modern sub urban, sehingga ada lebih banyak alternatif jalan untuk mencapai suatu lokasi dengan jarak tempuh yang lebih singkat. Selain itu lebar jalan raya dikurangi, untuk member tempat bagi pedestrian yang nyaman dengan streetscape yang baik dan terlindung pepohonan. Aturan untuk carport tidak diletakkan didepan rumah, tetapi dibelakang sehingga mempersulit proses mengeluarkan kendaraan pribadi. Konsep perancangan tersebut dibuat agar masyarakat tidak lagi tergantung pada kendaraan pribadi dan lebih memilih berjalan kaki untuk mencapai tempat-tempat umum yang telah disediakan pada kawasan permukiman.

Handy (1992) dan Cervero & Radish (1996) meneliti pengaruh penataan kawasan new urbanist terhadap perilaku berkendara untuk tujuan selain bekerja

Page 9: URBAN SPARWL.docx

(non-work travel) pada kawasan lokal permukiman dan regional kota. Kawasan yang dipilih sebagai sampel adalah kawasan yang dirancang dengan konsep new urbanist (high local accessibility), dan kawasan sub urban (low local accessibility). Pada kawasan sub urban yang digunakan sebagai obyek studi, digunakan pola tata guna lahan seragam, tanpa adanya fasilitas perbelanjaan, perpustakaan, maupun sekolah. Sedangkan pola jalan yang digunakan adalah curvilinear. Metode survey yang digunakan adalah kuesioner dengan masyarakat kawasan new urbanist dan konvensional sub urban sebagai responden. Pertanyaan yang diberikan terkait dengan intensitas mengunjungi tempat publik baik di kawasan pemukiman maupun regional kota, serta moda transportasi apa yang digunakan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pada kawasan new urbanist kebiasaan berjalan kaki ke tempat perbelanjaan maupun fasilitas publik lainnya lebih tinggi daripada pada kawasan sub urban (Handy, 1992; Cervero & Radish,1996; Lund, 2002). Namun kegiatan berjalan kaki ini bukan merupakan pengganti dari penggunaan kendaraan pribadi, melainkan merupakan aktivitas tambahan Handy (1992). Dikatakan demikian, karena walaupun terjadi peningkatan aktivitas berjalan kaki, warga kawasan new urbanist masih menggunakan kendaraan pribadinya secara berkala untuk menuju ke pusat perbelanjaan regional, atau tempat-tempat lain di kota. Artinya perancangan kawasan new urbanist tidak mengurangi intensitas traffic pada kawasan regional kota, namun hanya berpangaruh pada intensitas kegiatan berjalan kaki dalam kawasan yang bersangkutan.

Kawasan new urbanist dengan karakteristiknya yaitu high local accessibility yang ditandai dengan ketersediaan pedestrian yang nyaman dan letak tempat publik yang terjangkau dengan berjalan kaki memberikan opsi bagi penduduknya untuk memilih berjalan kaki atau naik kendaraan pribadi, sedangkan pada kawasan sub urban (low accessibility) tidak, sehingga pilihan terbaik bagi warganya adalah menggunakan moda transportasi pribadi (Cao et al, 2009; Handy, 1992). Karenanya disimpulkan bahwa penataan kawasan permukiman mempengaruhi travel attitude, atau pemilihan moda transportasi bagi warganya(Cao et al, 2009).

Selain dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan, pemilihan moda transportasi juga oleh preferensi individual masyarakat (Cao et al, 2009). Beberapa alasan karena preferensi pribadi seperti penghematan uang untuk biaya bensin dan parkir, ingin mengurangi polusi, merasa lebih praktis berjalan kaki atau naik sepeda sambil menikmati lingkungan sekitar. sedangkan bagi yang memilih menggunakan kendaraan pribadi karena merasa menggunakan mobil sangat perlu untuk menjangkau tempat aktivitasnya yang cukup jauh dan penggunaan kendaraan pribadi dirasakan jauh lebih aman daripada menggunakan sepeda ataupun berjalan kaki.

1.3. Pengaruh pada pembentukan perilaku peduli lingkungan

Page 10: URBAN SPARWL.docx

Salah satu tujuan new urbanism sesuai dalam Congress of New Urbanism (2001) adalah mencapai konservasi lingkungan melalui penerapan konsep desainnya (Youngentob & Hostetler, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Youngentob & Hostetler, (2005) membandingkan perilaku ramah lingkungan antara warga kawasan traditional, sub urban, dan new urbanist. Metode yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan seputar perilaku terhadap lingkungan, sense of community, dan pengetahuan serta pengenalan akan kondisi lingkungan. Hasilnya memang warga new urbanist unggul dalam sense of community, namun memiliki pengetahuan dan kepedulian terhadap lingkungan yang paling rendah dibandingkan dengan masyarakat tradisional dan sub urban konvensional (Youngentob & Hostetler, 2005).

2. New Urbanism Dari Segi Finansial dan Pemasaran

Semenjak digagas dalam Congress of New Urbanism (1993), konsep perancangan ini telah banyak diaplikasikan dan diapresiasi melalui berbagai penberitaan baik di media cetak maupun elektronik (Furuseth, 1997). Namun apakah konsep ini akan sukses dalam market place masih menjadi sebuah pertanyaan (Fulton, 1996). Keraguan tersebut didasarkan oleh pendapat bahwa konsep-konsep dalam penataan kawasan new urbanist seperti kepadatan tinggi dan luas lahan yang kecil dinilai terlalu ‘ideal’ dan skeptical dalam pandangan konsumen (Furuseth, 1997; Gyourko & Rybczynski, 2000; Audirac, 1999). Penelitian-penelitian dalam kelompok ini akan membahas new urbanism dalam segi finansial, pemasaran, dan preferensi konsumen.

2.1. New urbanism dari segi finansial

Bookout, 1992 mengatakan bahwa permasalahan terbesar dalam pengembangan kawasan dengan konsep New Urbanist adalah dari segi financial. Gyourko & Rybczynski, 2000 telah meneliti permasalahan dari segi financial dalam mengembangkan konsep new urbanism. Metode yang digunakan adalah interview terhadap 23 orang yang terdiri dari developer, financier dan investor yang berpengalaman dalam pengembangan kawasan dengan konsep New Urbanism. Pertanyaan yang diberikan seputar motivasi responden dalam mengembangkan dan berinvestasi dalam konsep new urbanism dan kesulitan yang dialami.

Dari hasil analisis diketahui bahwa penyandang dana memandang permukiman dengan konsep New Urbanist merupakan proyek dengan resiko tinggi. Proyek kawasan new urbanist dengan konsep mixed used, pedestrian oriented dan gaya bangunannya menuntut pembiayaan infrastruktur di awal proyek yang tinggi apabila dibandingkan proyek kawasan dengan konsep sub urban konvensional.(Gyourko & Rybczynski, 2000). Selain itu pandangan akan susahnya marketplace juga meningkatkan resiko proyek ini, karena dikhawatirkan modal tidak dapat kembali dalam waktu yang cepat (Bookout, 1992). Sedikitnya investor yang berperan tentunya merupakan kesulitan bagi developer dalam mengembangkan kawasan dengan konsep new urbanist. Pendapat bahwa

Page 11: URBAN SPARWL.docx

sedikitnya permintaan pasar, atau susahnya memasarkan proyek dengan konsep ini menambah sulitnya meyakinkan penyandang dana untuk berinvestasi.

Namun manfaat yang ditawarkan oleh proyek ini dalam mengatasi permasalahan di kota membuat developer mendapat kesempatan lebih untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam program entitlement (Gyourko & Rybczynski, 2000). Program ini bisa menjadi alternatif cara mendapatkan dana untuk pengembangan proyek kawasan dengan konsep new urbanism

2.2. New urbanism dari sisi preferensi konsumen

Konsep new urbanist menawarkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi dengan beragam fasilitas umum, pedestrian, rumah dengan beragam tipe dan desain yang unik. Namun sebagai imbasnya harga yang harus dibayar menjadi lebih tinggi (Tu & Eppli, 1999), dengan luas kapling dan luas rumah yang lebih kecil daripada luasan kapling yang didapat di kawasan pemukiman sub urban plus kepadatan penduduk yang tinggi (Mikelbank, 2008). Penelitian mengenai preferensi konsumen dalam memilih rumah perlu dilakukan untuk memprediksi target pasar dan strategi pemasaran apa yang akan digunakan untuk memasarkan kawasan new urbanist, sehingga dapat terus dikembangkan mengingat konsep ini banyak memberikan dampak yang positif bagi lingkungan.

Salah satu metode yang banyak digunakan pada penelitian tentang preferensi konsumen ini adalah metode hedonic price (Tu & Eppli 1999; Mikelbank, 2008; Song & Knaap, 2003) untuk mengetahui harga yang harus dibayar konsumen untuk mendapatkan fasilitas pada kawasan new urbanist dibandingkan dengan kawasan yang dibangun dengan konvensional sub urban pada lokasi yang berdekatan dan apakah konsumen bersedia membayar kelebihan harga tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pada kawasan new urbanist Kentlands, warganya bersedia membayar harga premium yang lebih besar dari harga pada pemukiman sub urban disekitarnya, untuk segala fasilitas yang mereka dapatkan pada kawasan tersebut (Tu & Eppli, 1999).

Jones et al, 2004 menggunakan metode kuesioner yang dianalisis dengan conjoint analysis. Responden yang dipilih sebagai sampel adalah orang yang tidak tinggal di kawasan new urbanist untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap kawasan permukiman denngan kepadatan tinggi, luasan kapling yang kecil, serta pola jalan grid. Analisis terhadap kuesioner Hasilnya adalah mayoritas responden lebih memilih luasan kapling yang besar, kepadatan yang rendah dan jalan cul de sac. Hasil penelitian ini sesuai dengan Marans & Rodgers, 1973 dalam Audirac, 1999 bahwa kepadatan penduduk dalam kawasan permukiman berbanding terbalik dengan kepuasan penghuni.

Penelitian lain menggunakan metode kuesioner dilakukan oleh Audirac, 1999 untuk mengetahu preferensi konsumen terhadap kawasan dengan fasilitas walkability (pedestrian) namun dengan luas kapling yang kecil. Hasil penelitian menunjukkan hanya ±30% dari responden yang bersedia menukarkan sebagian luas kaplingnya dengan fasilitas walkability. Lebih jauh lagi hasil penelitian Audirac, 1999 menyatakan taman dan community center sebagai fasilitas public

Page 12: URBAN SPARWL.docx

yang paling diminati untuk ditukar dengan sebagian luas kapling, selanjutnya diikuti fasilitas perbelanjaan, dan yang paling sedikit diminati adalah fasilitas hiburan seperti bar dan pub.

Menurut Audirac, 1999 terdapat preferensi yang berbeda terhadap pemilihan tempat tinggal pada konsumen yang memilih di kawasan new urbanist dan konvensional sub urban. Konsumen yang memilih tinggal di kawasan new urbanist melihat kebutuhan akan ‘sense of community’ sebagai daya tarik terbesar, karenanya ia rela menukarkan (trade off) sebagian luas kaplingnya untuk mendapatkan pedestrian dan ruang public (Audirac, 1999). Sedangkan konsumen pada kawasan konvensional sub urban lebih berorientasi pada kapling yang luas dan jalan yang lebar, serta privasi yang tinggi dan ketenangan (bebas polusi suara) karena jarak antar rumah dan antara rumah dengan jalan yang tidak terlalu dekat (Audirac, 1999).

Konsep perancangan new urbanism digagas dengan tujuan mengatasi permasalahan perkotaan di Amerika serta meningkatkan kualitas hidup dan sense of community (Furuseth, 1997;Garde, 2004). Namun tujuan tersebut tidak akan dapat tercapai tanpa dukungan dari konsumen, selain itu para pemilik modal dan developer juga akan semakin susah untuk diyakinkan untuk berinvestasi pada proyek dengan konsep ini (Jones et al, 2004). Karena itu menurut Talen, 2001 dalam usaha pemasaran perlu dilakukan usaha lebih untuk memberikan pengetahuan pada calon konsumen tentang issue lingkungan dan social sebagai goal dari perancangan kawasan new urbanist. Melalui strategi pemasaran tersebut diharapkan preferensi konsumen terhadap pemilihan tempat tinggal akan berubah dan mendukung konsep new urbanisme.

3. New Urbanisme, Antara Konsep dan Implementasi Serta Permasalahan yang Timbul

Penelitian pada kelompok ini berisi evaluasi pada kawasan permukiman yang mengclaim dirinya sebagai kawasan new urbanist. Evaluasi yang dilakukan melihat kesesuaian antara konsep dan penerapan di lapangan dan masalah-masalah yang timbul akibat penerapan konsep desain tersebut dalam kawasan serta permasalahan yang menyebabkan kurang terimplementasikannya sebuah konsep pada kenyataan di lapangan.

3.1. Implementasi konsep new urbanism di Amerika

Metode penelitian yang banyak digunakan untuk meneliti fenomena pada sub kelompok ini adalah pengamatan kondisi fisik kawasan pada lokasi penelitian (Audirac & Shermeyn 1994; Day, 2003; Saab, 2007), interview pada developer, planner, dan arsitek yang berpengalaman dalam pengembangan dan perancangan kawasan new urbanist (Garde, 2004), serta studi literatur (Furuseth, 1997; Saab, 2007).

Menurut Garde, 2004 konsep dalam new urbanism seperti penggunaan pedestrian, penyediaan fasilitas publik dan komersial, taman, penggunaan pola jalan grid serta luas kapling yang diperkecil telah banyak diimplementasikan

Page 13: URBAN SPARWL.docx

pada sebagian besar kawasan yang meng-claim dirinya sebagai new urbanist. Konsep yang tidak banyak diimplementasikan adalah penyediaan tipe hunian yang beragam dan mengakomodir low income, juga peran new urbanism dalam urban infill development. Hal ini bisa terjadi karena perbedaan cara pandang developer maupun desainer pada kawasan new urbanist yang bersangkutan terhadap pentingnya mengakomodir penyelenggaraan affordable housing untuk low income pada suatu kawasan permukiman (Garde,2004).

3.2. Implementasi konsep penyediaan hunian untuk masyarakat dari tingkat social dan ekonomi yang beragam

Salah satu point atau konsep dalam perancangan new urbanism, sesuai dengan yang tertulis pada Charter of New Urbanism dalam Fulton, (1996) adalah penyediaan hunian dengan tipe dan harga yang beragam yang mengakomodir penghuni dari etnik, dan social ekonomi yang berbeda. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam suatu kawasan permukiman new urbanist dapat terjalin interaksi social antara kelompok social dan ekonomi yang berbeda, sehingga mengurangi kesenjangan social (Furuseth, 1997; Audirac & Shermeyn, 1992; Day, 2003).

Namun kenyataanya menurut hasil penelitian Garde, (2004) penyediaan tipe hunian beragam, terutama hunian dengan harga terjangkau (affordable housing) yang diperuntukkan bagi kaum ekonomi lemah adalah konsep yang paling rendah implementasinya di lapangan. Hanya sebagian dari kawasan yang dirancang dengan konsep new urbanism yang menyediakan affordable housing (Garde, 2004). Tanpa adanya penyediaan affordable housing, kawasan permukiman new urbanist menjadi kawasan hunian yang homogen dan eksklusif secara tidak langsung hanya diperuntukkan bagi golongan ekonomi menengah keatas (Furuseth, 1997).

Affordable housing pada kawasan new urbanist disediakan juga untuk memenuhi program HOPE VI (House for People Everywhere), yang diselenggarakan atas kerjasama dengan HUD (Department of Housing and Urban Development) untuk meningkatkan kualitas hidup bagi warga ekonomi lemah di Amerika (Bohl, 2000; Day, 2003; Saab, 2007). Affordable housing yang disediakan berupa hunian sewa pada lantai dua bangunan retail, maupun pada garasi rumah yang dihuni oleh single-family, dan biasa disebut granny flats (Furuseth, 1997; Audirac & Shermeyn, 1994). Namun seringkali keberadaan affordable housing tersebut dalam ukuran yang terlalu kecil, dan tidak realistis dan tidak fungsional. untuk dihuni keluarga yang terdiri lebih dari satu orang (Audirac & Shermeyn, 1994).

Selain itu, penyelenggaraan affordable housing pada kawasan new urbanist juga menuai permasalahan terutama dari penerimaan penduduk lain (ekonomi menengah dan keatas) serta perlakuan berbeda (diskriminasi) baik dari developer maupun penduduk kalangan ekonomi atas yang diterima oleh penduduk dengan ekonomi lemah (Saab, 2007). Karenanya, menurut Saab, 2007 menggabungkan

Page 14: URBAN SPARWL.docx

antara golongan kaya dan miskin bukanlah sebuah solusi. Begitupun dengan konsep penyediaan perbagai tipe hunian untuk mengakomodir berbagai etnik dan kalangan social, yang dinilai dapat menimbulkan dampak lokal dan regional bagi keseimbangan sosial masyarakat (Garde, 2004; Day,2003). Itu dapat terjadi karena berbagai etnik social masyarakat yang berbeda menganut nilai dan cara pandang berbeda dalam melihat penerapan konsep new urbanisme (Day, 2003).

3.3. Implementasi dalam infill development

Dalam Charter of New Urbanism, tertuang bahwa new urbanism harus berperan dalam peningkatan kualitas hidup dan meminimalisir kerusakan lingkungan. Karenanya new urbanism harus berperan dalam infill development sehingga meningkatkan kepadatan penduduk dari permukiman sub urban yang tersebar (sprawling) tanpa harus membuka lahan baru yang berati menambah kerusakan lingkungan, Garde (2004).

Namun pada kenyataannya infill development kurang dapat diterapkan karena mengalami beberapa kendala seperti kurangnya biaya untuk infrastructure dan juga oposisi dari warga sub urban yang terlebih dahulu mendiami daerah tersebut melalui NIMBY (Not In My Backyard), Garde (2004).