Bab II Referat Peritonitis

36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al, 2008) 2.2 Anatomi dan Fisiologi

description

Referat Bedah Peritonitis

Transcript of Bab II Referat Peritonitis

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiPeritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagaiprimary peritonitis. (Fauciet al, 2008)

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003). Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas 1m2(Heemken, 1997). Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3(Marshall, 2003). Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001). Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003). Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agarclearancebakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001). Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara: Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragmaPompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh - Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997). Penghancuran bakteri oleh sel imunBakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997). Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ (Marshall,2003). Lokalisasi infeksi sebagai absesPada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans, 2001).

2.3 EtiologiPeritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.

TypeOrganismPercentage

Aerobic

Gram negativeEscherichia coli60%

Enterobacter/Klebsiella26%

Proteus22%

Pseudomonas8%

Gram positiveStreptococci28%

Enterococci17%

Staphylococci7%

AnaerobicBacteroides72%

Eubacteria24%

Clostridia17%

Peptostreptococci14%

Peptococci11%

FungiCandida2%

b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung). (Scwarte et al,1989)

2.4 Klasifikasi2.3.1 Peritonitis PrimerSpontaneous bacterial Peritonitis ( SBP ) adalah infeksi bakteri akut dari cairan asites. Kontaminasi rongga peritoneum diperkirakan akibat translokasi bakteri di dinding usus atau mesenteric lymphatics atau melalui hematogenous.SBP dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit yang menghasilkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan budd-chiari sindrom. Anak-anak dengan nephrosis atau lupus eritematosus sistemik yang telah asites juga memiliki risiko tinggi dari mengembangkan SBP. Namun risiko tertinggi SBP adalah pada pasien dengan sirosis hepar yang masih dalam keadaan decompensated, terutama pada penurunan fungsi sintetis hepar yang berhubungan dengan penurunan total protein, atau meningkatnya prothrombin time ( PT ) dikaitkan dengan resiko maksimal. Pasien dengan tingkat protein rendah pada cairan asites ( 1 g/dl. 2.3.2 Peritonitis SekunderPenyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.Source RegionsCauses

EsophagusBoerhaave syndromeMalignancyTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

StomachPeptic ulcer perforationMalignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

DuodenumPeptic ulcer perforationTrauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*

Biliary tractCholecystitisStone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common ductMalignancyCholedochal cyst (rare)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

PancreasPancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)Trauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*

Small bowelIschemic bowelIncarcerated hernia (internal and external)Closed loop obstructionCrohn diseaseMalignancy (rare)Meckel diverticulumTrauma (mostly penetrating)

Large bowel and appendixIschemic bowelDiverticulitisMalignancyUlcerative colitis and Crohn diseaseAppendicitisColonic volvulusTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic

Uterus, salpinx, and ovariesPelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)Malignancy (rare)Trauma (uncommon)

*Iatrogenic trauma to the upper GI tract, including the pancreas and biliary tract and colon, often results from endoscopic procedures; anastomotic dehiscence and inadvertent bowel injury (eg, mechanical, thermal) are common causes of leak in the postoperative period.

2.3.3 Peritonitis TersierTerjadi pada pasien immunocompromised yang memiliki comorbid condition. Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal, insiden tersier peritonitis pada pasien yang masuk ICU dengan kasus infeksi perut berat dapat mecapai 50-74%. Tuberculous peritonitis (TP) jarang terjadi di Amerika Serikat (< 2% dari semua penyebab peritonitis), tapi terus menjadi masalah besar di negara berkembang dan di antara pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Gejala presentasi sering spesifik dan berbahaya di awal (misalnya, demam ringan, anoreksia, penurunan berat badan). Banyak pasien dengan TP memiliki dasar penyakit sirosis. Dan lebih dari 95% pasien dengan TP memiliki bukti Asites pada studi pencitraan, dan lebih dari setengah dari pasien memiliki Asites secara klinis. (Brian et al, 2013)

2.4 PatofisiologiReaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalahkeluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses)terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadisatu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapidapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapatmengakibatkan obstuksi usus (Fauciet al, 2008).Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler danmembran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksisecara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapatmemulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa keperkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karenatubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensicairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikutmenumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapiini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauciet al, 2008).Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dindingabdomen mengalami oedem.Oedem disebabkan olehpermeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum danlumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal danoedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitonealmenyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah denganadanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebihlanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usahapernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunanperfusi (Fauciet al, 2008).Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaanperitoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitisumum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitasperistaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudianmenjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalamlumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasidan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkungusus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnyapergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauciet al, 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapatmenimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan)maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untukmengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dandapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksidisertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yangakan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadiperforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada ronggaabdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauciet al, 2008).Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yangdisebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melaluimulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kumandimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusushalus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileumterminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasiperdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileumpada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selamakurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk danmalaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauciet al, 2008).Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneumyang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibatperitonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagiandepan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalamiperforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeriini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastriumkarena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu danatau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum adainfeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneumberupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akanmengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadiperitonitis bacteria (Fauciet al, 2008).Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatanlumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing,striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebutmenyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namunelastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehinggamenyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambataliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri,ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambahkemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dindingapendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dindingapendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnyamengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauciet al, 2008).Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan traumatumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengansepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial.Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organberongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampaidengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnyapaling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagianatas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangansegera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebatsedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidakterjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomenkarena perangsangan peritoneum (Fauciet al, 2008).

2.5 Gejala KlinisManifestasi klinis dapat dibagi menjadi: (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial (infeksi sistemik), suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas. (Arif M et all,2000)

2.6 Diagnosa2.6.1 AnamnesaDiagnosis peritonitis berdasarkan klinis, adanya riwayat operasi pada abdomen karena peritonitis, penggunaan imunosupresif agen, adanya penyakit (misalnya, penyakit inflamasi usus, divertikulitis, penyakit ulkus peptikum) yang mungkin mempengaruhi infeksi intra-abdomen. Kecurigaan tinggi pada saat merawat pasien dengan ascites, khususnya dengan kemerosotan klinis akut. Sebanyak 30% pasien asimtomatik sepenuhnya.Keluhan pasien meliputi :a. Demam (80%)b. Nyeri perut diseluruh bagian abdomen (70%)c. Worsening or unexplained encephalopathyd. Diare / kesulitan BAK dan flatuse. Nyeri perut semakin memberat ketika batukf. Perut membesar2.6.2 Pemeriksaan fisika. Tanda VitalTanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartzet al, 1989).b.InspeksiTanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik(Coleet al,1970).

c. AuskultasiAuskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suaraborborygmidan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi(Coleet al,1970).d. PerkusiPenilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Coleet al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartzet al, 1989).e. PalpasiPalpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal(Coleet al,1970).Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartzet al, 1989).2.6.3 Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan Laboratorium1.Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang meningkat2.BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.3. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.b. Pemriksaan RadiologiPemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (Wim de Jong, 1197 ; S Rasad, 1999 )1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance),b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance.(Sulton & David, 1995)Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:a. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.b. Air fluid levelc. Herring bone appearanceBedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah : (Sulton & David, 1995)1.Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.2.Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow).3.Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengandinding abdomen.Jadi Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu : terlihat kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.

2.6 TatalaksanaTatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006). 2.6.1 Penanganan Preoperatif Resusitasi Cairan Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989). Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh.Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006). Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989). Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006). Antibiotik Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989). Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989). Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970). Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989). Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006). Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006). Oksigen dan Ventilator Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989). Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature,tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989). 2.6.2 Penanganan Operatif Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen(Schwartz et al, 1989). Kontrol Sepsis Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006). Peritoneal Lavage Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006). Peritoneal Drainage Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).2.6.3 Pengananan Postoperatif Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006)2.7 KomplikasiKomplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).2.8 PrognosisTingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktorfaktoryang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakitprimer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% padapasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasiendengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal(Doherty, 2006).