BAB II PRINT.docx
-
Upload
aliefha-nafrathillah-belladonae-ii -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of BAB II PRINT.docx
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi / Terminologi Penyakit
Deep Vein Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah
(trombus) pada vena dalam. Trombus dapat terjadi pada vena-vena
profunda pada tungkai. Trombosis vena dalam dapat juga terjadi pada
vena lainnya (sinus cerebral, vena pada lengan, retina). Trombosis vena
dalam hanya menyebabkan suatu peradangan yang minimal. Peradangan
yang terjadi disekitar trombus, disertai dengan lengketnya trombus
terhadap dinding vena yang lama kelamaan terlepas dan menjadi
embolus, berjalan melalui aliran darah dan berakhir pada suatu aliran
darah yang sempit sehingga menyebabkan blockade terhadap aliran
darah. Trombosis vena dalam dapat menyebabkan komplikasi embolisme
paru dan kematian (9).
Trombosis vena dalam (DVT) adalah gumpalan darah (juga disebut
trombus) yang terbentuk pada vena dalam tubuh. Kebanyakan gumpalan
vena dalam terjadi pada kaki bagian bawah atau paha tetapi dapat juga
terjadi di bagian tubuh lainnya. Gumpalan ini mungkin mengganggu
sirkulasi dan mungkin pecah serta berjalan melalui aliran darah dan
menetap di paru-paru, menyebabkan kerusakan yang parah pada organ
tersebut. Jika gumpalan berdiam di paru-paru, disebut embolisasi paru-
paru. Ini adalah kondisi sangat serius yang dapat mengakibatkan
kematian. Gejala embolisasi paru-paru termasuk nyeri dada ketika
menarik napas panjang, nadi cepat, pingsan, napas pendek dan muntah
3
4
darah. Gumpalan darah yang tetap menetap di kaki menyebabkan nyeri
dan bengkak (8).
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah
pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi
dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. DVT disebabkan oleh
disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan
aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow. DVT
merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit
koroner arteri dan stroke (7).
Trombus terjadi karena perlambatan dari aliran darah, kelainan
dinding pembuluh darah, atau gangguan pembekuan darah yang sering
dinamakan dengan trias Virchow. Beberapa faktor inilah yang
menyebabkan tingginya kejadian trombus vena dalam. Trombus terbentuk
pada daerah yang aliran darahnya (arteri) cepat pada umumnya berwarna
abu-abu dan terdiri dari platelet. Trombus terjadi relatif sangat lambat pada
sistem vena biasanya berwarna merah dan terdiri dari fibrin dan sel darah
merah (9).
Bekuan yang terbentuk di dalam suatu pembuluh darah disebut
trombus. Trombus dapat terjadi baik di vena superfisial (vena permukaan)
maupun di vena dalam, tetapi yang berbahaya adalah yang terbentuk di
vena dalam. Trombosis Vena Dalam adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan ditemukannya bekuan darah di dalam vena dalam. Pada awalnya
trombus vena terdiri atas platelet dan fibrin. Kemudian sel darah merah
menyelingi fibrin dan trombus cenderung untuk menyebarkan arah aliran
5
darah. Perubahan pada dinding pembuluh darah dapat minimal atau
sebaliknya terjadi infiltrasi granulosit, kehilangaan endotelium dan edema
(9).
Trombosis vena dalam sangat berbahaya karena seluruh atau
sebagian dari trombus bisa pecah, mengikuti aliran darah dan tersangkut
di dalam arteri yang sempit di paru-paru sehingga terjadi penyumbatan
aliran darah. Trombus yang terlepas dan diangkut ke tempat lain dalam
pembuluh darah disebut emboli. Semakin sedikit peradangan di sekitar
suatu trombus, semakin longgar trombus melekat ke dinding vena dan
semakin mudah membentuk emboli. Emboli paru merupakan salah satu
konsekuensi utama trombosis vena dalam. Konsekuensi lainnya
adalah postphlebitic syndrome atau insufisiensi vena dalam kronik (8).
Dapat di simpulkan bahwa Deep vein thrombosis (DVT) adalah suatu
penyakit yang berkaitan dengan terjadinya pembekuan darah pada vena
dalam yang dimana biasanya terjadi inflamasi berwarna merah karena
terdiri dari fibrin dan sel darah merah.
II.2 Anatomi dan Fisiologi (4).
Sirkulasi darah terjadi melalui satu lengkungan arteri dan vena yang
berkelanjutan serta terbagi menjadi sirkuit pulmonal dan sistemik. Sirkuit
pulmonal menghantarkan darah dari jantung ke paru, di mana darah
dioksigenasi dan kemudian dikembalikan ke jantung. Sirkulasi sistemik,
atau sistem vascular perifer, meliputi arteri, arteriol, vena, venula, dan
kapiler, dimana sistem ini membawa darah dari jantung keseluruh organ
dan jaringan lain dan kemudian membawa darah kembali ke jantung.
6
Jantung memompa darah baru yang telah teroksigenasi melalui
arteri, arteriol, dan bantalan kapiler menuju seluruh organ dan
jaringan. Arteri tersusun atas otot polos yang tebal dan seratelastis. Serat
yang kontraktil dan elastis membantu menahan tekanan yang dihasilkan
saat jantung mendorong darah menuju sirkulasi sistemik yaitu arteri
utama/mayor dari sirkulasi.
Sistemik meliputi aorta, karotis, subklavia dan iliaka. Aorta
melengkung membentuk seperti busur di belakang jantung dan turun ke
bawah hingga pertengahan tubuh.
Arteri lain merupakan cabang dari aorta dan mengalirkan darah
menuju kepala, leher dan organ-organ utama di dalam abdomen.
Arterikarotis bergerak naik di dalam leher dan mengalirkan darah ke organ
di dalam kepala dan leher, termasuk otak. Arteri subklavia mengalirkan
darah menuju lengan, dinding dada, bahu, punggung, dan sistem saraf
pusat. Arteri iliaka mengalirkan darah menuju pelvis dan kaki.
1. Arteri-arteri di Lengan (5).
Setelah meluas melalui rongga dada/toraks, arteri subklavia
menjadi arteri aksilaris. Arteri aksilaris kemudian menyebrangi aksila
dan menjadi arteri brakhialis, yang terletak di dalam lekukan/sulkus
bisep-trisep pada lengan atas. Arteri brakhialis mengalirkan sebagian
besar darah menuju lengan. Pada fosakubiti (yaitu lipatan siku), arteri
brakhialis bercabang menjadi arteri radialis dan arteri, yang meluas ke
lengan bawah dan, selanjutnya bercabang menjadi arkuspalmaris yang
mengalirkan darah ketelapak tangan.
7
2. Arteri-arteri di Kaki (5).
Setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya menjadi
arteri femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior paha. Arteri
femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam. Pada bagian
bawah paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri
poplitea. Di bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteritibialis
anterior dan tibialis posterior. Arteri tibialis bergerak turun di sebelah
depan dari kaki bagian bawah menuju bagian dorsal/punggung telapak
kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis. Arteri tibialis posterior bergerak
turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah dan bercabang menjadi
arteri plantaris di dalam telapak kaki bagian bawah.
3. Vena-vena (5).
Setelah dihantarkan melalui sistem vascular arteri dan menuju
jaringan tubuh dan organ, darah dikosongkan menuju jaringan vena
yang tersusun menyebar yang dan pada akhirnya mengembalikan
darah ke atrium kanan jantung. Sistem vena berjalan berdampingan
dengan sistem arteri dan memiliki nama yang sama walaupun terdapat
perbedaan mayor antara sistem arteri dan sistem vena di leher dan
ekstremitas. Arteri di daerah ini terletak dalam di bawah kulit dan
terlindung oleh tulang dan jaringan lunak.
4. Vena-vena di Lengan (5).
Arkus vena Palmaris meluas dari tangan menuju lengan bawah,
dimana vena-vena ini menjadi vena radialis dan vena ulnaris. Saat vena
ulnaris dan radialis mencapai fosakubiti (yaitu lipatan siku), vena-vena
8
ini bergabung untuk membentuk vena brakhialis. Saat vena brakhialis
meluas melalui lengan atas, vena ini bergabung dengan vena
superfisialis Lenan untuk membentuk vena aksilaris, yang berjalan
melalui aksila dan menjadi vena subklavia di dalam rongga toraks.
Vena subklavia membawa arau dari lengan dan area toraks/dada
menuju vena kava superior.
5. Vena-vena di Kaki (5).
Darah yang meninggalkan kapiler-kapiler di setiap jari kaki
bergabung membentuk jaringan vena plantaris. Jaringan plantar
mengalirkan darah menuju vena dalam kaki (yaitu vena tibialis anterior,
tibialis posterior, poplitea, dan femoralis). Vena safena magna dan
safena parva superfisial mengalirkan darah di telapak kaki dari arkus
vena dorsalis menuju vena poplitea dan femoralis.
6. Trombosis Vena Dalam (5).
Adanya thrombus (yaitu bekuan darah) pada vena dalam dan
disertai dengan proses inflamasi / peradangan dinding pembuluh darah
disebut dengan trombosis vena dalam (TVD) / deep venous thrombosis
(DVT), atau trombofleibitis. Stasis aliran darah, kerusakan vaskular, dan
hiperkoagulabilitas merupakan predisposisi terbentuknya thrombosis
pada pasien. Vena mayor yang biasanya terkena meliputi vena iliaka,
femoralis, dan poplitea. Risiko terjadinya DVT (Deep Vein Trombosite)
berkaitan dengan beberapa faktor yang dapat dengan mudah
diidentifikasi meliputi usia, bedah mayor, riwayat DVT (Deep Vein
Trombosite) sebelumnya, trauma, keganasan, dan status
9
hiperkoagulabilitas Pasien dengan TDV (Deep Vein Trombosite)
umumnya mengalami pembengkakan kaki unilateral, hangat, eritema
dan rasa nyeri. Kadang-kadang obstruksi seperti lempengan dapat
teraba pada palpasi kaki yang terkena. Perubahan warna kulit
bervariasi mulai dari eritema, pucat, atau kebiruan. Perhatian utama
yang mengancam jiwa pada TDV (Deep Vein Trombosite) adalah risiko
bergeraknya thrombus ke paru, yang disebut emboli paru. Maka dari itu,
terapi utama TDV (Deep Vein Trombosite) meliputi terapi antikoagulan
(yaitu heparin yang tidak terfraksinasi, heparin dengan berat molekul
rendah, atau fondaparinux) yang diberikan tumpang tindih dengan
heparin selama 5 hari. Terapi warfarin dilanjutkan minimum selama 3
bulan. Terapi non farmakologis, seperti meninggikan kaki lebih tinggi
dari jantung dan penggunaan panas, juga umum digunakan.
II.3 Patofisiologi Deep Vein Trombosite (6).
Gambar II.1 Pembekuan darah pada vena dalam.
10
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan
dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu
kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan
daya beku darah.
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari
fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen trombosit dan leukosit.
Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis
vena adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.
1. Statis Vena (6).
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi
statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi
dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis
lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih
terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah (9).
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan
trombosis vena, melalui :
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
11
b. Aktifitasi sel endotel yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan
jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel
endotel. Endotel yang utuh bersifat non trombo genetik karena sel
endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin
(PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang
dapat mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel
akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan
darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel
terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro fibril. Trombosit
yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan
A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk
berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem
pembekuan darah.
3. Perubahan daya beku darah (9).
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas
fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi
12
Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan
plasminogen.
Statis atau lambatnya aliran darah merupakan predisposisi untuk
terjadinya thrombosis dan tampaknya menjadi faktor pendukung pada
keadaan imobilisasi atau saat anggota gerak tidak dapat dipakai untuk
jangka waktu lama. Imobilisasi (seperti yang timbul selama masa
perioperasi atau pada paralisis) menghilangkan pengaruh pompa vena
perifer, meningkatkan stagnasi dan pengumpulan darah di ekstremitas
bawah. Statis darah dibelakang daun katup dapat menyebabkan
penumpukan trombosit dan fibrin, yang mencetuskan perkembangan
thrombosis vena.
Walaupun cedera endotel diketahui dapat mengawali
pembentukan thrombus, lesi yang nyata tidak selalu dapat
ditunjukkan. Tetapi, perubahan endotel yang tidak jelas, yang
disebabkan oleh perubahan kimiawi, iskemia, atau peradangan dapat
terjadi. Penyebab kerusakan endotel yang jelas adalah trauma
langsung pada pembuluh darah (seperti fraktur dan cedera jaringan
lunak) dan infus intravena atau zat-zat yang mengiritasi (seperti kalium
klorida, kemoterapi, atau antibiotik dosis tinggi.
Hiperkoagulabiitas darah bergantung pada interaksi kompleks
antara berbagai macam variable, termasuk endotel pembuluh darah,
faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposisi, dan sifat-sifat aliran
darah. Selain itu, sistem fibrinolitik intrinsik menyeimbangkan sistem
pembekuan melalui lisis dan disolusi bekuan untuk mempertahankan
13
potensi vascular. Keadaan hiperkoagulasi timbul akibat perubahan
salah satu variabel ini. Kelainan hematologis, keganasan, trauma, terapi
estrogen, atau pembedahan dapat menyebabkan kelainan koagulasi.
Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari
ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan
vena akan terganggu, menyebabkan peningkatan volume dan tekanan
darah vena. Thrombosis dapat melibatkan kantong katup dan merusak
fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau inkomptemen
mempermudah terjadinya statis dan penimbunan darah di ekstremitas.
Thrombus akan menjadi semakin terorganisir dan melekat pada
dinding pembuluh darah apabila trombus semakin matang. Sebagian
akibatnya, risiko embolisasi menjadi lebih besar pada fase-fase awal
thrombosis, namun demikian juga bekuan tetap dan dapat terlepas
menjadi emboli yang menuju sirkulasi paru. Perluasan progesif juga
meningkatkan derajat obstruksi vena dan melibatkan daerah-daerah
tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin
dapat distabilkan dalam derajat tertentu dengan retraksi bekuan dan
lisis melalui sistem fibrinolitik endogen. Sebagian besar pasien memiliki
lumen yang terbuka tapi dengan daun katup terbuka dan jaringan parut,
yang menyebabkan aliran vena dua arah.
Kerusakan lapisan intima pembuluh darah menciptakan tempat
pembentukan pembekuan darah.Trauma langsung pada pembuluh
darah, seperti pada fraktur atau dislokasi, penyakit vena dan iritasi
bahan kimia terhadap vena, semua dapat merusak vena.
14
Kenaikan Koagubilitas terjadi paling sering pada pasien
dengan penghentian obat anti koagulan secara mendadak. Kontrasepsi
oral dan sejumlah besar diskrasia dapat menyebabkan
hiperkoagulabilitas.
Trombofelitis adalah peradangan dinding vena dan biasanya
disertai pembekuan darah. Ketika pertama kali terjadi bekuan pada
vena akibat statis atau hiperkoagulabilitas tanpa disertai peradangan,
maka proses ini dinamakan Flebotrombosit. Trombosis vena dapat
terjadi pada semua vena namun sering terjadi pada vena
ekstremitas. Gangguan ini dapat menyerang dengan baik vena
supervisial mapun vena dalam tungkai. Pada vena supervisial, vena
safena adalah yang paling sering terkena. Pada vena dalam tungkai
yang sering terkena adalah vena iliofemoralis.
Trombos vena tersusun atas agregat trombosit yang menempel
pada dinding vena, di sepanjang bangunan tambahan ekor yang
mengandug fibrin, sel darah putih dan sel darah merah. Bekuan darah
dapat membesar atau memanjang sesuai arah aliran darah akibat
terbentuknya lapisan bekuan darah. Trombosis vena yang terus tumbuh
ini sangat berbahaya karena sebagian bekuan dapat terlepas dan
mengakibatkan oklusi emboli pada pembuluh darah paru. Fragmentasi
dapat terjadi spontan karena bekuan secara alamiah bisa larut atau
dapat terjadi sehubungan dengan peningkatan tekanan vena seperti
saat berdiri tiba-tiba atau melakukan aktivitas otot setelah lama istirahat.
15
II.4 Etiologi Deep Vein Trombosite (10).
1. Kerusakan sel endotel
a. Lupus eritematous.
b. Penyakit Burger’s.
c. Giant cell arteritis.
d. Penyakit Takayasu.
2. Hiperkoagulasi
a. Resistensi aktif protein C.
b. Sindrom antifosfolipid.
c. Defisiensi Antitrombin III.
d. Defisiensi Protein C dan S.
e. Disfibrogenemia.
3. Stasis
a. Gagal jantung kongestif.
b. Hiperviskositas.
c. Tirah baring yang terlalu lama.
d. Gangguan neurologik dengan hilangnya mekanisme pompa
otot.
Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
trombosis vena dalam seperti pada umur lanjut, obesitas, infeksi,
immobilisasi, penggunaan kontrasepsi, tembakau, dan perjalanan dengan
pesawat terbang serta riwayat trauma.
16
II.5 Epidemologi (7).
DVT (Deep Vein Trombosite) menyerang jutaan orang di seluruh
dunia dan menyebabkan beberapa ratus ribu kematian setiap tahun di
Amerika Serikat. Insiden DVT (Deep Vein Trombosite) di Amerika Serikat
adalah 159 per 100 ribu atau sekitar 398 ribu per tahun. Tingkat fatalitas
kasus deep vein thrombosis, terutama karena kasus pulmonari embolism
yang fatal, berkisar dari 1% pada pasien-pasien muda sampai 10% pada
pasien yang lebih tua, dan tertinggi pada mereka dengan penyakit
keganasan. Tanpa tromboprofilaksis, insidensi DVT (Deep Vein
Trombosite) yang diperoleh di rumah sakit secara objektif adalah 10-40%
pada seluruh pasien medical dan surgical serta 40-60% pada operasi
ortopedik mayor. Dari sekitar 7 juta pasien yang selesai dirawat di 944
rumah sakit di Amerika, tromboemboli vena adalah komplikasi medis
kedua terbanyak, penyebab peningkatan lama rawatan, dan penyebab
kematian ketiga terbanyak. Oleh karena itulah strategi pencegahan DVT
(Deep Vein Trombosite) harus direncanakan sejak awal dan didukung
penuh mengingat risiko yang mungkin terjadi.
II.6 Klasifikasi (7)
Deep Vein Trombosite akan mempunyai keluhan dan gejala apabila
menimbulkan:
1. Bendungan Aliran Vena.
2. Peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
3. Emboli pada sirkulasi pulmoner.
Keluhan dan gejala Deep Vein Trombosite dapat berupa :
17
1. Nyeri
Nyeri dibagian betis dan bisa menjalar ke bagian medial dan
anterior paha.
2. Pembengkakan
Pembengkakan terjadi karena adanya edema. Timbulnya edema
disebabkan oleh sumbatan vena dibagian proksimal dan peradangan
jaringan perivaskuler.
3. Perubahan warna kulit,yaitu :
a. Tidak spesifik dan tidak banyak pada Deep Vein Trombosite
disbanding thrombosis arteri.
b. Hanya 17%-20% kasus warna kulit bisa berubah pucat dan
kadang kadang warna ungu.
4. Sindrom post-trombosit.
Sumbatan vena dalam meningkatnya tekanan dinding vena
terjadinya inkompoten katub vena dan perforasi vena dalam sehingga
aliran darah kembali ke vena superfililasis jika otot berkontraksi dan
terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, bisa terjadi ulkus pada
vena yang di kenai.
II.2.7 Penatalaksanaan (7).
Diagnosis trombosis vena dalam ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis
didapatkan adanya keluhan nyeri pada kaki dan edema dan adanya
beberapa faktor resiko terjadinya trombosis vena dalam seperti pada umur
18
lanjut, obesitas, infeksi, immobilisasi, penggunaan kontrasepsi, tembakau,
dan perjalanan dengan pesawat terbang serta adanya riwayat trauma.
Berdasarkan pemeriksaan fisis didapatkan.
1. Edema yang biasanya unilateral.
2. Nyeri dan nyeri tekan pada kaki.
3. Tanda Homan’s.
4. Distensi vena.
5. Demam.
6. Flegmasia cerulean dolens.
7. Flegmasia alba dolens.
Secara klinik trombosis vena dalam dapat dinilai dengan
menggunakan beberapa parameter. Berdasarkan skor klinik Scarvelis dan
Wells sebagai berikut :
a. Kanker yang aktif +1.
b. Paralisis atau pemasangan gips pada +1Ekstremitas bawah.
c. Bedrest > 3 hari atau operasi besar < 4 minggu +1.
d. Nyeri tekan yang terlokalisir +1.
e. Pembengkakan seluruh kaki +1.
f. Pembengkakan tungkai >3cm dibanding +1dengan kaki yang
Sebelahnya.
g. Pitting edema +1.
h. Sebelumnya pernah menderita DVT +1.
i. Kolateral vena superficial +1.
j. Alternatif diagnosis -2 Interpretasi.
19
Pasien dengan DVT (Deep Vein Thrombosis) dapat asimptomatik.Gejala
yang sering timbul, antara lain rasa tidak nyaman pada betis atau paha
terutama saat berdiri dan berjalan yaitu edema, eritem, dan rasa nyeri
pada kaki yang terkena. Pemeriksaaan penunjang yang paling sering
digunakan untuk mendiagnsois DVT (Deep Vein Thrombosis) adalah
pengukuran kadar D-dimer serum, dan venous compression duplex
ultrasonography. D-dimer merupakan hasil degradasi dari cross-linked
fibrin, yang dapat diukur kadarnya dari daraf perifer dan sensitif terhadap
adanya DVT (Deep Vein Thrombosis) atau emboli paru akut. Meskipun
demikian, D-dimer kadarnya dapat juga meningkat pada beberapa kondisi
seperti kanker, inflamasi, infeksi, dan nekrosis sehingga hasil positif tidak
bersifat spesifik terhadap DVT (Deep Vein Thrombosis) . Selain itu, dari
literatur dikatakan bahwa D-dimer tidak begitu sensitif apabila hanya
terdapat trombosis vena di betis, dan juga hasilnya sering tidak bisa
digunakan untuk pasien dengan risiko tinggi mengalami DVT (Deep Vein
Thrombosis) . Jadi, kadar D-dimer normal dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis DVT (Deep Vein Thrombosis) namun kadar
yang meningkat tidak bisa untuk menegakkan diagnosis dan tetap butuh
pemeriksaan lanjutan.
Venous compression duplex ultrasonography adalah teknik non-
invasif yang sering digunakan untuk mendiagnosis DVT (Deep Vein
Thrombosis) . Sensitivitas dan spesifisitas dalam mendiagnosis proksimal
DVT (Deep Vein Thrombosis) yang simptomatik adalah 97% dan 94%,
dan untuk trombosis vena betis yang simptomatik hanya 75%. Instrumen
20
ini dapat melihat apakah vena dapat terkompresi atau tidak, visualisasi
thrombus secara langsung, dan aliran darah pada vena. Teknik diagnostik
yang masih menjadi baku standarsampai sekarang adalah venografi,
baik itu magnetic esonance venograph ataupun contrast venography.
Meskipun demikian, teknik ini bersifat invasif sering jarang digunakan
sehari-hari. Impedance Plethysmography kadang juga digunakan, dan
mempunyai sensitivitas sekitar 65% dalam mendiagnosis proksimal DVT
(Deep Vein Thrombosis) .
Gambar II.2 Alat Duplex Utrasonography
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa
trombosis vena dalam seperti :
DVT (Deep Vein Thrombosis) dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral
(iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan
daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta derajat
keparahan drainase vena DVT (Deep Vein Thrombosis) dibagi menjadi
21
DVT (Deep Vein Thrombosis) akut dan kronis. Diagnosis DVT (Deep Vein
Thrombosis) ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor
resiko. Tanda dan gejala DVT (Deep Vein Thrombosis) antara lain edema,
nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg,
phlegmasia cerulea dolens/blue leg).
Pasien dengan DVT (Deep Vein Thrombosis)dapat memiliki gejala
dan tanda yang minimal dan tidak khas karenanya pemeriksaan tambahan
seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan D-dimer
<0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT (Deep Vein Thrombosis).
Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT (Deep Vein
Thrombosis) lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak
spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis
DVT (Deep Vein Thrombosis). Angiografi (venografi atau flebografi)
merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard),
namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat
menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler
memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa
DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi
pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan
spesifisitasnya kurang lebih 70%. Jika dengan metode pemeriksaan USG
doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan
maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan.
22
1. Tes Darah
Tes D-dimer
Plasma D-dimer adalah spesifik turunan dari fibrin, yang dihasilkan
ketika fibrin terdegradasi oleh plasmin, jadi konsentrasinya meningkat
pada pasien dengan tromboembolisme vena. Walaupun sensitif untuk
tromboembolisme vena, konsentrasi yang tinggi D-dimer tidak cukup
spesifik untuk membuat suatu diagnosis karena d-dimer juga dapat
meninggi pada kelainan seperti keganasan, kehamilan dan setelah
operasi.
2. Imaging (pencitraan)
a). Venografi
Merupakan suatu pemeriksaan “gold standard” untuk
menegakkan diagnosa trombosis vena dalam dengan
menggunakan kontras. Prosedur ini invasif tetapi resikonya kecil
terhadap suatu reaksi alergi atau trombosis vena. Berikut gambaran
trombosis vena dalam pada poplitea.
b). Ultrasonografi
Merupakan suatu pemeriksaan yang non invasif, tetapi
ultrasonografi bukan suatu pemeriksaan yang memuaskan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena pada tungkai. Ultrasonografi
mempunyai tiga teknik dalam penggunaannya sebagai berikut:
1. Kompresi ultrasound yaitu dengan memberikan tekanan pada
lumen pembuluh darah jika tidak ada sisa lumen saat dilakukan
23
tekanan ini mengindikasikan bahwa tidak adanya trombosis pada
vena.
2. Dupleks ultrasonografi yaitu karakteristik aliran darah dinilai
dengan menggunakan pulsasi signal Doppler. Aliran darah yang
normal terjadi secara spontan dan fasik dengan pernapasan.
Ketika pola fasik tidak ada, ini mengindikasikan adanya obstruksi
dari aliran vena.
3. Colour flow duplex yaitu menggunakan teknik dupleks
ultrasonografi tetapi dengan tambahan warna pada Doppler
sehingga dengan mudah mengidentifikasi pembuluh darah.
c). CT-Scan dan MRI
Dengan Ct-Scan dapat menunjukkan adanya trombosis vena
dalam dan jaringan lunak sekitar tungkai yang membengkak. Seda-
ngkan MRI sangat sensitif dan dapat mendiagnostik kecurigaan
adanya trombosis pada vena iliaka atau vena cava inferior.