BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup...

28
BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN Bagian ini difokuskan pada pembahasan mengenai konsep pembangunan wilayah berkelanjutan dan indikator-indikatornya. Pembahasannya diawali dengan uraian mengenai strategi pembangunan dan konsep pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya dibahas mengenai prinsip dan sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan. Sasaran-sasaran tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi indikator-indikator sebagai instrumen untuk memonitor kinerja pembangunan di wilayah studi. 2.1 Perkembangan Strategi Pembangunan Pembangunan atau development adalah suatu kata yang populer pada masa sesudah Perang Dunia II (Streeten dalam Nurzaman, 2002). Pada saat itu, pemikiran pembangunan masih terfokus pada pembangunan ekonomi yang bertumpu pada strategi pertumbuhan. Pada tahun 50-an, banyak negara yang sedang membangun percaya bahwa cara untuk mengejar keterbelakangan dalam berbagai bidang dan melepaskan diri dari dominasi negara maju adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semaksimal dan secepat mungkin (Hidayat dalam Chaidir, 1992). Hal ini dicapai dengan meningkatkan laju produksi ekonomi dalam jangka waktu tertentu. Di antara strategi-strategi yang berorientasi pada pertumbuhan terdapat dua varian utama, yaitu strategi pertumbuhan seimbang dan tidak seimbang. Strategi pertumbuhan seimbang memerlukan investasi besar di segala bidang secara serentak untuk meningkatkan laju pertumbuhan secara keseluruhan. Strategi pertumbuhan tidak seimbang mengandalkan efek kaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage effects) industri (Lisk dalam Chaidir, 1992). Pada kenyataannya, perkembangan hanya terpolarisasi pada wilayah tertentu, sektor tertentu, dan lapisan ekonomi tertentu (Nurzaman, 2002). Pertumbuhan ekonomi yang diperoleh mengakibatkan pengurangan dalam pendapatan yang diperoleh golongan termiskin (Lisk dalam Chaidir, 1992). Atau dengan kata lain, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sebagian kecil anggota 15

Transcript of BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup...

Page 1: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN

Bagian ini difokuskan pada pembahasan mengenai konsep

pembangunan wilayah berkelanjutan dan indikator-indikatornya. Pembahasannya

diawali dengan uraian mengenai strategi pembangunan dan konsep

pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya dibahas mengenai prinsip dan sasaran

pembangunan wilayah berkelanjutan. Sasaran-sasaran tersebut selanjutnya

dijabarkan menjadi indikator-indikator sebagai instrumen untuk memonitor kinerja

pembangunan di wilayah studi.

2.1 Perkembangan Strategi Pembangunan Pembangunan atau development adalah suatu kata yang populer pada

masa sesudah Perang Dunia II (Streeten dalam Nurzaman, 2002). Pada saat itu,

pemikiran pembangunan masih terfokus pada pembangunan ekonomi yang

bertumpu pada strategi pertumbuhan. Pada tahun 50-an, banyak negara yang

sedang membangun percaya bahwa cara untuk mengejar keterbelakangan

dalam berbagai bidang dan melepaskan diri dari dominasi negara maju adalah

dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semaksimal dan secepat mungkin

(Hidayat dalam Chaidir, 1992). Hal ini dicapai dengan meningkatkan laju produksi

ekonomi dalam jangka waktu tertentu.

Di antara strategi-strategi yang berorientasi pada pertumbuhan terdapat

dua varian utama, yaitu strategi pertumbuhan seimbang dan tidak seimbang.

Strategi pertumbuhan seimbang memerlukan investasi besar di segala bidang

secara serentak untuk meningkatkan laju pertumbuhan secara keseluruhan.

Strategi pertumbuhan tidak seimbang mengandalkan efek kaitan ke depan dan

ke belakang (forward and backward linkage effects) industri (Lisk dalam Chaidir,

1992).

Pada kenyataannya, perkembangan hanya terpolarisasi pada wilayah

tertentu, sektor tertentu, dan lapisan ekonomi tertentu (Nurzaman, 2002).

Pertumbuhan ekonomi yang diperoleh mengakibatkan pengurangan dalam

pendapatan yang diperoleh golongan termiskin (Lisk dalam Chaidir, 1992). Atau

dengan kata lain, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sebagian kecil anggota

15

Page 2: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

16

masyarakat saja (Emerij dalam Chaidir, 1992). Hal itu mengakibatkan model

pembangunan yang bertumpu ke usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi,

pada pertengahan tahun 60-an mendapat tantangan dari konsep yang

mendambakan pemerataan pembangunan (Hidayat dalam Chaidir, 1992).

Pemerataan pembangunan dicapai melalui strategi penciptaan lapangan

kerja (employment-oriented strategy) (Lisk dalam Chaidir, 1992). Tujuannya

untuk memperbaiki kondisi hidup perorangan di samping untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam strategi ini, perluasan lapangan kerja

dipandang sebagai cara penting untuk menyebarkan hasil-hasil pertumbuhan

secara lebih merata.

Walaupun konsep yang berorientasi pada tenaga kerja itu penting, namun

dipandang kurang menyentuh pada terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs)

masyarakat, baik kebutuhan konsumsi, seperti pangan, sandang, dan papan;

maupun kebutuhan yang meliputi jasa-jasa pelayanan umum dasar, seperti

pendidikan dan kesehatan (Salim dalam WCED, 1988). Dari pemikiran itu,

kemudian lahirlah strategi pendekatan kebutuhan dasar. Strategi tersebut

menekankan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk lapisan

masyarakat miskin (Emmerij dalam Chaidir, 1992).

Menurut Supriatna (2001:34), strategi yang berorientasi pada kebutuhan

dasar cenderung menerapkan strategi amal (charity strategy) daripada

penumbuhan kemampuan masyarakat untuk mandiri (self sustaining). Hal itu

akan memperbesar ketergantungan masyarakat pada pemerintah serta

merendahkan martabat manusia (Moelyarto dalam Supriatna, 2001).

Bertolak dari kelemahan yang melekat pada strategi pemenuhan

kebutuhan dasar, maka lahirlah strategi yang berpusat pada manusia (people

centered development). Dalam strategi ini, manusia sebagai individu dan warga

masyarakat dipandang sebagai fokus dan sumber utama pembangunan. Strategi

ini lebih memfokuskan pada keunggulan individu, kelompok sasaran lokal,

masyarakat, serta struktur kelembagaan pembangunan dengan memberikan

kekuatan, kesempatan, dan kekuasaan agar berpartisipasi dalam proses

pembangunan. (Supriatna, 2001:38).

Selain strategi yang memberikan penekanan pada pembangunan kualitas

manusia, ada juga strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih

besar pada kualitas lingkungan. Kedua strategi tersebut menyatu dalam arus

Page 3: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

17

besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED,

1988)

Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran.

Bahkan di berbagai negara, kerusakan lingkungan semakin kentara. Tidak hanya

dirasakan oleh negara berkembang, tetapi negara maju pun merasakan semakin

rusak dan melorotnya kualitas lingkungan. Hal itu mendorong kesadaran akan

pentingnya pembangunan yang berkelanjutan, sehingga lahirlah konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Salim dalam WCED,

1988). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pembangunan berkelanjutan

didukung oleh konsep pembangunan manusia (human development). Berikut ini

akan diuraikan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan.

2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) digunakan

pertama kali oleh IUCN dalam World Conservation Strategy pada tahun 1980

(Keraf, 2002). Menurut Soussan (1992:24) dan Pearce (dalam Barrow,

1995:371), rumusan pembangunan berkelanjutan yang digunakan oleh IUCN

tersebut pada mulanya menekankan keberlanjutan dalam terminologi ekologis;

belum mengintegrasikan lingkungan dan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan

isu-isu sosial dalam rumusan tersebut hanya sedikit diperhatikan.

Paradigma pembangunan berkelanjutan meluas dan menjadi sangat

popular melalui Laporan Brundlant (1987), yang berjudul “Our Common Future.”

Dalam laporan itu, Brundlandt merumuskan pembangunan berkelanjutan sebagai

pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Rumusan tersebut pada dasarnya memuat dua konsep pokok, yaitu (1) konsep

kebutuhan, (2) gagasan keterbatasan. Konsep kebutuhan memprioritaskan pada

pemenuhan kebutuhan esensial kaum miskin dunia, gagasan keterbatasan

menerapkan batas-bukan batas absolut, tetapi keterbatasan oleh keberadaan

teknologi dan organisasi sosial terhadap sumber daya lingkungan serta oleh

kemampuan biosfer mengadsorpsi dampak dari kegiatan manusia (WCED, 1987:

8).

Adapun sasaran kebijakan pembangunan berkelanjutan menurut

Brundlandt, yaitu: (1) mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengubah

Page 4: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

18

kualitas pertumbuhan; (2) memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan

memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan penduduk miskin dunia dalam hal

pekerjaan, pangan, pelayanan pendidikan, perawatan kesehatan, air dan

sanitasi, dan energi; (3) menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang dapat

dipertangungjawabkan; (4) mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya

dasar; (5) memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi ke dalam proses

pembuatan keputusan; (6) menyesuaikan kembali teknologi dan mengelola

resiko, dan (7) mendasarkan pengambilan keputusan dan implementasinya pada

partisipasi penduduk secara luas (Soussan, 1992:25; Firdausy, 1998:11).

Meskipun konsep dan batasan pembangunan berkelanjutan telah

dikemukakan secara jelas oleh Brundlandt, tetapi konsep tersebut masih bersifat

normatif. Aspek operasionalnya masih banyak mengalami kendala. Dalam

perkembangan selanjutnya, konsep tersebut dielaborasi oleh para pakar ke

dalam beberapa alternatif pengertian yang lebih operasional. Salah satunya,

dielaborasi sebagai suatu interaksi antara tiga sistem, yakni sistem ekonomi,

sosial, dan lingkungan. Dalam KTT Rio de Janeiro pada tahun 1992, konsep

interaksi antara tiga sistem tersebut dibahas dan dikembangkan lebih lanjut

sehingga menghasilkan kesepakatan tiga pilar utama pembangunan

berkelanjutan yang saling mengait dan menunjang, yakni pembangunan

ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan hidup.

Selanjutnya, dalam KTT Johannesburg tahun 2002 ditegaskan bahwa

paradigma pembangunan berkelanjutan tidak saja harus memperhatikan

pembangunan ekonomi, tetapi harus juga memperhatikan dimensi sosial

manusianya dan alam ciptaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia

(Abdurrahman, 2003). Dalam KTT tersebut, para kepala negara peserta juga

menegaskan komitmennya untuk meningkatkan dan menguatkan ketiga pilar

pembangunan berkelanjutan baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun

global. Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan telah

berkembang, tidak lagi terpancang pada konsep yang terfokus pada pemikiran

ekologis atau kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup semata, tetapi

lebih bersifat komprehensif dan holistik: perkembangan harus seimbang antara

perkembangan ekonomi, kondisi sosial, serta lingkungan hidup (Menteri Negara

Lingkungan Hidup-UNDP dalam Nurzaman, 2002).

Page 5: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

19

Konsep tiga pilar pembangunan berkelanjutan dimodifikasi dan dijabarkan

lebih lanjut ke dalam konsep sumber daya (capital). Menurut Serageldin dan

Steer (dalam Budihardjo dan Sujarto, 1999) dan Bank Dunia (dalam Nugroho dan

Dahuri, 2004), ada empat jenis sumber daya yang harus dikelola dan diijaga

keberlanjutannya untuk memperbesar kesejahteraan generasi masa kini dan

memperbesar peluang kesejahteraan generasi mendatang. Keempat jenis

sumber daya tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Sumber daya alam (natural capital), yaitu semua kekayaan alam yang dapat

digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik berupa

sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui maupun sumber daya alam

yang dapat diperbaharui.

(2) Sumber daya manusia (human capital), yaitu semua potensi yang terdapat

pada manusia, seperti pengetahuan, keterampilan, keahlian, kesehatan, dan

sebagainya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bagi dirinya

sendiri, orang lain, maupun masyarakat secara umum.

(3) Sumber daya buatan (man-made capital), yaitu aset produktif buatan

manusia, baik berupa sarana infrastruktur fisik maupun teknologi yang dapat

digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sarana untuk dapat

memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan

semaksimal mungkin, untuk masa kini maupun keberlanjutan di masa

mendatang.

(4) Modal sosial (social capital), yaitu berupa fungsi dan keberadaan

kelembagaan atau institusi sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat.

2.3 Prinsip dan Sasaran Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Pembangunan wilayah berkelanjutan dapat dipahami dengan

mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktik-

praktik pembangunan wilayah. Berpijak pada uraian sebelumnya, maka dikenal

dua prinsip utama yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan

wilayah yang berkelanjutan. Pertama, pembangunan suatu wilayah dapat

dipandang berkelanjutan jika mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tiga

pilar pembangunan secara seimbang: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kedua,

pembangunan suatu wilayah dapat dipandang berkelanjutan jika mampu

menjaga atau mengembangkan stok kapital produktifnya, yang secara umum

Page 6: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

20

terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, dan

modal sosial.

Dalam penelitian ini, perumusan indikator untuk menilai keberlanjutan

wilayah akan didasarkan pada kedua prinsip tersebut. Dengan merujuk pada

prinsip pertama, pembangunan wilayah berkelanjutan perlu diarahkan pada

sasaran ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam konteks lokal, untuk negara

berkembang, Barbier (1987) memandang bahwa sasarannya, yaitu: (1) sasaran

ekonomi, meliputi pemerataan, pemenuhan kebutuhan dasar untuk mengurangi

kemiskinan, dan peningkatan barang dan jasa yang bermanfaat; (2) sasaran

sosial, meliputi keragaman budaya, keberlanjutan institusional, keadilan sosial,

dan partisipasi; (3) sasaran lingkungan atau sistem biologis, meliputi

keanekaragaman genetik, resiliensi, dan produktivitas biologis.

Serageldin (dalam Campbell dan Heck, 1997) memandang bahwa

sasaran ketiga aspek pembangunan berkelanjutan mencakup (1) sasaran

ekonomi, meliputi pertumbuhan/efisiensi dan pemerataan; (2) sasaran sosial,

meliputi pemberdayaan, partisipasi, mobilitas sosial, kohesi sosial, identitas

budaya, dan pembangunan institusional; dan (3) sasaran lingkungan atau

ekologis, meliputi kesatuan ekosistem, kapasitas daya dukung, keanekaragaman

hayati, dan isu global.

Sementara itu, Munasinghe (dalam Siregar, 2004:124) mengemukakan

bahwa tujuan/sasaran utama pembangunan berkelanjutan mencakup: (1) tujuan

ekonomi, yaitu pertumbuhan/efisiensi; (2) tujuan sosial, yaitu pemberantasan

kemiskinan/keadilan (antara lain dicapai melalui pemerataan distribusi

pendapatan dan penyediaan lapangan kerja), dan (3) tujuan ekologis, yaitu

pemeliharaan sumber-sumber alam. Ketiga tujuan utama pembangunan

berkelanjutan tersebut digambarkan dalam bentuk segi tiga berikut.

Page 7: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

21

Gambar II.1 Tujuan Utama Pembangunan Berkelanjutan

TUJUAN EKONOMI PERTUMBUHAN/ EFISIENSI TUJUAN SOSIAL TUJUAN LINGKUNGAN

PEMBERANTASAN PEMELIHARAAN KEMISKINAN (KEADILAN) SUMBER-SUMBER ALAM

Sumber: Munasinghe (dalam Siregar, 2004:124)

Dengan merujuk pada prinsip kedua, pembangunan wilayah

berkelanjutan perlu diarahkan pada sasaran: (1) pemeliharaan lingkungan dan

perbaikan manajemen sumber daya alam, (2) pengembangan sumber daya

manusia, (3) pemeliharaan dan penyediaan infrastruktur fisik yang memadai, dan

(5) pembangunan institusi atau sumber daya kelembagaan untuk menguatkan

modal sosial.

Berdasarkan prinsip pertama dan kedua di atas, dapat disimpulkan

bahwa keberlanjutan pembangunan suatu wilayah pada intinya akan tergantung

pada empat aspek, yaitu aspek (1) ekonomi, (2) sosial dan sumber daya

manusia, (3) lingkungan dan sumber daya alam, dan (4) aspek pendukung

(sumber daya buatan/sumberdaya fisik). Dalam aspek ekonomi, sasaran

pembangunan wilayah berkelanjutan, meliputi: (1) pertumbuhan ekonomi dan

peningkatan output yang didasarkan sepenuhnya pada konsep efisiensi, (2)

pemerataan distribusi pendapatan, (3) penyediaan lapangan kerja, dan (4)

pemenuhan kebutuhan dasar (penanggulangan kemiskinan). Dalam aspek

sosial, sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan meliputi: (1) pembangunan/

pemberdayaan manusia (keadilan sosial); (2) pembangunan modal sosial

(partisipasi, identitas/ keragaman budaya, keberlanjutan/ pembangunan

institusional, dan kohesi sosial). Dalam aspek lingkungan dan sumber daya alam,

sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan adalah pemeliharaan sumber daya

alam dan lingkungan dengan memperhatikan keanekaragaman hayati, kapasitas

daya dukung, kesatuan ekosistem, resiliensi, dan produktivitas biologis.

Page 8: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

22

Sasaran-sasaran ekonomi, sosial, dan lingkungan yang telah diuraikan di

atas tentu akan lebih mudah diwujudkan jika ditopang oleh sasaran aspek

pendukung berupa penyediaan infrastruktur fisik yang memadai. Semua sasaran

di atas pada dasarnya saling mendukung dan saling mempengaruhi sehingga

keseimbangan pencapaiannya dalam jangka panjang harus dijaga demi

keberlanjutan pembangunan wilayah.

Meskipun konsep pembangunan wilayah berkelanjutan telah dipahami,

tapi perlu dilihat juga bagaimana komitmen dan usaha pemerintah pusat maupun

daerah (khususnya pemerintah daerah Jawa Barat) dalam pembangunan

berkelanjutan. Perlu juga diketahui bagaimana penerapan konsep dan komitmen

tersebut di lapangan. Penjelasan mengenai hal tersebut secara singkat akan

diuraikan sebagai berikut.

2.4 Komitmen dan Usaha Pemerintah Dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen politik dan dukungan perangkat

legal formal yang cukup kuat dalam mengimplementasikan pembangunan

berkelanjutan. Di tingkat internasional, komitmen pemerintah tersebut ditunjukkan

dengan keterlibatannya secara aktif dalam konferensi pembangunan

berkelanjutan, mulai dari Konferensi Stockholm, KTT Rio, Pertemuan Puncak

Millenium, hingga KTT Johannesburg. Dalam berbagai konferensi tersebut,

pemerintah Indonesia ikut meratifikasi sejumlah konvensi hasil konferensi dan

menyampaikan komitmennya untuk melaksanakan berbagai kesepakatan

mengenai pembangunan berkelanjutan.

Di tingkat nasional, komitmen pemerintah juga tertuang dalam beberapa

dokumen legal formal yang tidak terlepas dari hasil kesepakatan internasional

mengenai pembangunan berkelanjutan, antara lain Agenda 21, UU No. 23 Tahun

1997, Propenas, amandemen konstitusi, serta dokumen rencana pembangunan

jangka panjang, menengah, dan jangka pendek. Selain itu, pada tanggal 21

Januari 2004, pemerintah Indonesia juga memprakarsai terselenggaranya forum

kesepakatan nasional dan rencana tindak pembangunan berkelanjutan dengan

para pemangku kepentingan yang terdiri dari wakil-wakil sektoral, pemerintah

daerah, dan kelompok utama (major groups). Dalam forum tersebut dihasilkan

beberapa kesepakatan, salah satunya berupa penegasan kembali komitmen

Page 9: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

23

seluruh masyarakat Indonesia untuk melaksanakan dan mencapai pembangunan

berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundangan dan sejalan dengan

komitmen global, serta perlunya keseimbangan yang proporsional dari tiga pilar

pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling

bergantung dan saling memperkuat. Dengan adanya kesepakatan nasional

tersebut, maka seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah pusat, daerah

hingga masyarakat tidak terlepas dari komitmen untuk melaksanakan

pembangunan berkelanjutan.

Komitmen pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan juga

tertuang dalam berbagai dokumen formal dan produk legislatif tingkat daerah.

Khususnya di Jawa Barat, komitmen tersebut telah tertuang dalam RTRWP Jawa

Barat 2002-2012 (Perda No. 2 Tahun 2003) dan Rencana Strategis Pemerintah

Provinsi Jawa Barat 2003-2008 (Perda No. 1 Tahun 2004) yang salah satu dari

kelima misinya (misi keempat) adalah “Peningkatan implementasi pembangunan

berkelanjutan.” Misi keempat tersebut telah dijabarkan dalam kebijakan dan

program-program tahunan yang didanai oleh APBD. Kelima misi (termasuk misi

keempat) yang tertuang dalam Renstra tersebut juga telah dijabarkan dalam

beberapa sasaran kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh Gubernur dan

Bupati/Walikota se-Jawa Barat pada tanggal 1 Juli 2004 dalam nota kesepakatan

mengenai “Sinergitas Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di

Jawa Barat Tahun 2004-2008.”

Meskipun konsep pembangunan wilayah berkelanjutan telah diketahui

dan telah ada komitmen untuk melaksanakannya, tapi implementasinya masih

belum berjalan dengan baik. Sebuah evaluasi yang dilakukan seorang konsultan

UNDP melaporkan bahwa di pusat maupun di daerah tidak tampak adanya

komitmen pada pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Agenda-21

(Soemarwoto dalam Kompas, 5 Juni 2003). Selain itu, Sudharto P. Hadi dalam

Suara Merdeka (Sabtu, 5 Juni 2004) menulis bahwa pemerintah Indonesia sejak

masa pemerintahan Soeharto hingga Megawati selalu memiliki catatan yang

buruk dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya di tingkat

pusat, di daerah pun sering ditemui masalah dalam implementasi konsep dan

komitmen pembangunan berkelanjutan. Beberapa contoh kasus seperti rusaknya

sekitar 90% areal hutan di Jawa Barat (Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Juli 2005),

masalah banjir di sejumlah daerah di Jawa Barat, tingginya angka kemiskinan,

Page 10: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

24

semakin meningkatnya angka pengangguran, munculnya kasus busung lapar di

sejumlah daerah, serta masalah-masalah lain di bidang ekonomi, sosial, maupun

lingkungan menunjukkan bahwa pembangunan yang dipraktekkan selama ini

belum sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Untuk mendekatkan konsep dengan praktek dan menggiring

pembangunan ke arah keberlanjutan, maka perlu dikembangkan indikator-

indikator untuk memonitor perkembangan pembangunan berkelanjutan secara

kuantitatif. Dalam konteks pembangunan wilayah, indikator tersebut dapat

dikembangkan berdasarkan sasaran keempat aspek pembangunan wilayah

berkelanjutan yang telah diuraikan sebelumnya (sub bab 2.3). Dalam penelitian

ini, indikator yang digunakan untuk memonitor praktek pembangunan

berkelanjutan di wilayah studi akan dijelaskan sebagai berikut.

2.5 Indikator Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Indikator pembangunan wilayah berkelanjutan yang tepat dan andal

diperlukan untuk memonitor implementasinya. Indikator yang demikian akan

memberikan informasi penting dalam pengambilan keputusan pembangunan.

Berikut diuraikan mengenai kriteria pemilihan indikator pembangunan

berkelanjutan dan indikator-indikator yang ditetapkan sebagai instrumen

penilaian keberlanjutan pembangunan wilayah di lokasi studi.

Menurut Anderson (dalam Jackson dan Robert, 2000), ada tujuh kriteria

untuk menyeleksi indikator yang baik, yaitu: mudah tersedia (ease of availability),

mudah dipahami (ease of understanding), terukur (measurability), penting dan

berarti (significance), cepat tersedia saat diperlukan (speed of availability),

menunjukkan pola luasnya pengaruh (pattern of incidence), dan dapat

diperbandingkan (comparability).

Menurut Warren (dalam Campbell dan Heck, 1997), indikator

pembangunan berkelanjutan yang baik perlu memperhatikan sepuluh kriteria

sebagai berikut: (1) merefleksikan sesuatu yang mendasar dan fundamental

untuk kesehatan lingkungan, ekonomi, dan sosial jangka panjang sebuah

komunitas antar generasi; (2) mudah dikenali, jelas, sederhana, dapat

dimengerti, dan diterima oleh komunitas; (3) terukur; (4) sensitif terhadap

perubahan antar-ruang atau dalam kelompok; (5) dapat diantisipasi atau

diprediksi; (6) acuan atau nilai ambang batasnya tersedia; (7) mengungkapkan

Page 11: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

25

apakah perubahannya dapat dipulihkan (reversible) dan dapat dikontrol; (8) relatif

mudah untuk dikumpulkan dan digunakan; (9) aspek kualitas, yaitu metodologi

yang digunakan untuk mengembangkan suatu indikator harus didefinisikan

secara jelas, dijabarkan secara akurat, dapat diterima secara sosial maupun

secara ilmiah, dan mudah diproduksi ulang; (10) sensitif terhadap waktu, yaitu

jika diaplikasikan tiap tahun, indikator dapat menunjukkan kecenderungan yang

mewakili.

Berdasarkan sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan yang telah

diuraikan di atas, serta memperhatikan ketersediaan data dalam publikasi

statistik dan kriteria pemilihan indikator dalam uraian berikutnya, maka

ditetapkanlah indikator-indikator operasional pembangunan wilayah

berkelanjutan yang dipilah ke dalam empat aspek, yaitu: aspek ekonomi, sosial,

lingkungan, dan pendukung. Dalam pembangunan wilayah berkelanjutan,

keseluruhan aspek dan indikator tersebut perlu dikaji secara komprehensif

karena satu sama lain saling bergantung. Pengabaian terhadap salah satu aspek

atau indikator dapat mengakibatkan perlambatan atau ancaman balik pada

pembangunan aspek atau indikator lainnya. Selain itu, keseimbangan antara

ketiga aspek (ekonomi, sosial, dan lingkungan) juga diperlukan karena ketiganya

saling berkaitan dan perkembangan masing-masing saling menunjang satu

dengan yang lain (World Bank, 2004).

2.5.1 Indikator Aspek Ekonomi Secara umum, sasaran ekonomi pembangunan wilayah berkelanjutan,

meliputi (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemerataan distribusi pendapatan, (3)

penyediaan lapangan kerja, serta (4) memenuhi kebutuhan dasar

(pemberantasan kemiskinan). Dengan merujuk pada sasaran tersebut, maka

indikator ekonomi pembangunan wilayah berkelanjutan dapat dijelaskan sebagai

berikut.

a. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan

masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah

yang terjadi di wilayah tersebut (Tarigan, 2004:44). Menurut Budiono (dalam

Page 12: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

26

Tarigan, 2004: 44), pertumbuhan ekonomi juga berarti proses kenaikan output

per kapita dalam jangka panjang.

Dalam pembangunan wilayah, indikator praktis yang digunakan untuk

mengukur pertumbuhan ekonomi pada awalnya adalah PDRB. Namun, karena

PDRB memperlihatkan laju pertumbuhan atau hasil produksi keseluruhan dari

suatu wilayah, padahal besar (jumlah penduduk) suatu wilayah berlainan, maka

untuk perbandingan dipakai PDRB per kapita. PDRB per kapita kemudian

menjadi indikator paling lazim yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan

perkembangan ekonomi wilayah. Indikator tersebut pada intinya akan

menunjukkan jumlah nilai tambah atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang

dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu

tertentu. Indikator tersebut juga menggambarkan pendapatan per kapita

masyarakat yang diperoleh dari penyediaan faktor-faktor produksi, berupa upah

dan gaji untuk tenaga kerja, bunga untuk modal, sewa untuk tanah, dan

keuntungan untuk teknologi atau keahlian.

Semakin meningkat PDRB per kapita suatu wilayah, kekayaan wilayah

akan semakin besar, demikian pula peluang kemakmuran masyarakat juga

diasumsikan akan semakin besar. Jika dikelola dengan baik dan digunakan untuk

meningkatkan pembangunan, maka hal tersebut dapat mengurangi degradasi

lingkungan melalui peringanan tekanan kemiskinan, urbanisasi, ketidakstabilan

makroekonomi; dan meningkatkan perbaikan lingkungan (Firdausy, 1998: 71).

Namun demikian, penggunaan PDRB per kapita sebagai indikator

pembangunan wilayah berkelanjutan juga masih mengandung beberapa

kelemahan. Secara umum, kelemahan-kelemahan PDB per kapita mencakup

pengabaian atas masalah-masalah distribusi pendapatan, aktivitas non pasar,

dan bahkan yang lebih krusial—degradasi lingkungan (Goodland dan Ledec,

1987:27-28; Tisdell, 1994:140; Lincolin, 2004:26; Siregar, 2004:138). Untuk

mengisi kelemahan PDRB per kapita serta menilai keberlanjutan dan kinerja

pembangunan wilayah secara lebih komprehensif, maka dalam penelitian ini

akan dimonitor pula perkembangan indikator lainnya. Indikator-indikator tersebut

akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya.

Page 13: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

27

b. Pemerataan Pembahasan mengenai pemerataan dapat mencakup dimensi atau sudut

pandang yang luas, seperti pemerataan sosial, pemerataan dalam pembangunan

fisik, dan lain-lain. Akan tetapi, dari sudut pandang ekonomi, pembahasan

pemerataan lebih terkonsentrasi pada pola distribusi pendapatan dan kekayaan

(Atkinson dalam Priyatna, 2003:32). Pemerataan distribusi pendapatan dapat

dibedakan lagi menjadi dua pembahasan, yaitu pemerataan distribusi

pendapatan antar kelompok masyarakat dan pemeratan distribusi pendapatan

antar wilayah. Dalam penelitian ini, tinjauan pemerataan akan difokuskan pada

pemerataan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat.

Untuk mengukur pemerataan distribusi pendapatan antar kelompok

masyarakat, salah satu indikator praktis yang seringkali digunakan adalah indeks

gini (Rasio Gini). Rasio Gini merupakan suatu koefisien yang nilainya berkisar

antara 0 dan 1. Bila koefisien sama dengan 1, maka artinya terjadi ketimpangan

distribusi pendapatan yang maksimal. Sedangkan, bila koefisien sama dengan 0,

maka artinya tidak terjadi ketimpangan distribusi pendapatan.

Kesenjangan yang moderat dicerminkan oleh Rasio Gini yang berkisar

antara 0,35 dan 0,5. Rasio Gini yang lebih besar dari 0,5 dianggap menunjukkan

ukuran kesenjangan pemerataan yang tinggi. Sebaliknya, Rasio Gini yang lebih

kecil dari 0,35 dianggap menunjukkan ukuran kesenjangan pemerataan yang

kecil.

Pemerataan distribusi pendapatan atau penurunan Rasio Gini dipandang

penting dalam pembangunan wilayah berkelanjutan dalam aspek ekonomi.

Semakin menurun Rasio Gini, distribusi pendapatan akan semakin merata.

Distribusi pendapatan yang semakin merata akan menyebabkan peningkatan

PDRB menjadi lebih berarti bagi masyarakat. Redistribusi pendapatan yang

progresif akan meningkatkan pertumbuhan karena ia mempunyai efek yang

besar dan positif atas insentif manusia secara keseluruhan (Laporan

Pembangunan Manusia 1996 dalam Luhulima, 1998:23). Sebaliknya,

ketimpangan pendapatan yang memburuk selain merusak kehidupan manusia,

juga memperkecil prospek pertumbuhan yang berkelanjutan (Laporan

Pembangunan Manusia 1996 dalam Luhulima, 1998:23).

Page 14: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

28

c. Penyediaan Lapangan Kerja Penyediaan lapangan kerja dipandang penting dalam pembangunan

wilayah berkelanjutan dalam aspek ekonomi. Semakin besar penyediaan

lapangan kerja, selain dapat meningkatkan pemerataan distribusi pendapatan,

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan, juga dapat

mengurangi kerawanan sosial dalam masyarakat. Terutama di wilayah

perdesaan yang perekonomiannya masih sangat bergantung pada sumber daya

alam, pengurangan tingkat pengangguran dan penyediaan lapangan kerja yang

memadai diharapkan akan mengurangi degradasi lingkungan melalui

pengurangan tekanan kemiskinan dan mobilitas ke hulu, serta mengurangi

migrasi penduduk besar-besaran ke perkotaan (mobilitas ke hilir).

Untuk mengukur tingkat penyediaan lapangan kerja di suatu wilayah,

dapat digunakan indikator persentase tingkat pengangguran terbuka. Indikator

tersebut akan menunjukkan proporsi angkatan kerja yang menganggur (mencari

kerja). Semakin besar persentase penduduk yang menganggur akan

menggambarkan semakin lebarnya kesenjangan antara pencari kerja dengan

persediaan lapangan kerja yang ada.

d. Penanggulangan Kemiskinan Untuk mengukur penanggulangan kemiskinan di suatu daerah, indikator

persentase penduduk miskin dapat digunakan. Indikator tersebut akan

menunjukkan proporsi penduduk suatu wilayah yang tidak mampu memenuhi

standar minimum kebutuhan dasarnya (berada di bawah batas garis kemiskinan).

Batas garis kemiskinan sendiri dapat ditetapkan menggunakan ukuran yang

berbeda-beda. Sayogyo misalnya, menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen

beras per kapita sebagai ukuran garis kemiskinan. Selain itu, dari sudut pandang

ekonomi, ukuran garis kemiskinan juga dapat ditetapkan berdasarkan tingkat

pendapatan minimum yang diperlukan agar rumah tangga atau individu dapat

melepaskan diri dari kategori miskin.

Salah satu data makro yang menggunakan tingkat pendapatan minimum

sebagai ukuran garis kemiskinan adalah yang dikeluarkan oleh BPS. Data makro

yang dikeluarkan BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar tersebut, pada

dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau

perkembangan dan membandingkan persentase penduduk miskin antar daerah.

Page 15: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

29

Dalam data tersebut, batas garis kemiskinan diukur berdasarkan tingkat

pendapatan (atau jumlah rupiah) minimum yang diperlukan oleh setiap individu

untuk mengkonsumsi pangan setara 2100 kalori per orang per hari.

Penurunan persentase penduduk miskin dipandang penting dalam

pembangunan wilayah berkelanjutan dalam aspek ekonomi. Semakin menurun

persentase penduduk miskin, semakin besar pula proporsi penduduk yang dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya (minimal pangan) yang diperlukan untuk dapat

hidup dan bekerja. Hal tersebut selain akan meningkatkan produktivitas dan

mengurangi beban pertumbuhan, juga akan mengurangi degradasi lingkungan1

sehingga dapat meningkatkan kapasitas wilayah dalam mencapai pembangunan

yang berkelanjutan.

2.5.2 Indikator Aspek Sosial Secara umum, sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan dalam

aspek sosial dan sumber daya manusia adalah pembangunan (pemberdayaan)

manusia. Sebagai suatu konsep yang komprehensif, pembangunan

(pemberdayaan) manusia berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan-

pilihannya sendiri (Luhulima, 1998:12). Menurut Sen (dalam Handoyo, 2005:50)

pilihan terpenting bagi manusia dapat berubah sesuai perkembangan jaman.

Pilihan tersebut meliputi hidup sehat dan berumur panjang, berilmu pengetahuan,

serta memiliki akses terhadap sumber daya agar dapat hidup layak.

Ketiga pilihan yang dikemukakan Sen di atas oleh UNDP telah dijadikan

dasar penyusunan indeks komposit pembangunan manusia (IPM). Dalam

penelitian ini, beberapa komponen yang terdapat dalam IPM tersebut akan

diadopsi sebagai indikator untuk mengukur hasil pembangunan (pemberdayaan)

manusia di wilayah studi. Beberapa indikator yang akan diadopsi antara lain

angka harapan hidup (parameter kesehatan) dan angka melek huruf (parameter

pendidikan).

Angka harapan hidup menunjukkan rata-rata jumlah tahun hidup yang

dapat dijalani seseorang sejak lahir hingga akhir hayatnya. Semakin meningkat

angka harapan hidup, selain menggambarkan penduduk yang semakin sehat

1Menurut Elliot (1994), penduduk miskin seringkali tidak memiliki alternatif lain selain melakukan tindakan-tindakan mendegradasi lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk bertahan hidup (survive).

Page 16: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

30

dan berumur panjang, juga menandai akses yang semakin luas ke pelayanan

kesehatan, persediaan pangan, gizi, dan air minum, serta kondisi lingkungan luar

rumah yang semakin baik. Penduduk yang semakin sehat akan memiliki

produktivitas yang semakin baik sehingga menjadi modal penting dalam

mencapai sasaran pembangunan wilayah berkelanjutan.

Angka melek huruf pada intinya menunjukkan proporsi penduduk usia 10

tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf

lainnya). Indikator tersebut dapat menggambarkan hasil pembangunan di bidang

pendidikan dasar, baik formal maupun informal. Semakin meningkat angka melek

huruf, maka semakin mudah bagi masyarakat untuk menerima informasi dan

pengetahuan guna meningkatkan keterampilan dan produktivitasnya. Hal

tersebut selain dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, juga dapat

menjadi modal penting dalam mencapai sasaran lain pembangunan wilayah

berkelanjutan.

Untuk memonitor hasil pembangunan dalam bidang pendidikan formal

jenjang lanjutan hingga perguruan tinggi, dalam penelitian ini digunakan indikator

persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas. Indikator

tersebut intinya menunjukkan proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang

berhasil menamatkan pendidikan setingkat SLTP atau jenjang pendidikan yang

lebih tinggi. Semakin meningkat persentase penduduk usia 10 tahun ke atas

yang tamat SLTP ke atas, maka semakin meningkat pula proporsi penduduk

yang mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan. Selain dapat

memperbaiki kualitas dan produktivitas tenaga kerja, hal tersebut juga akan

meningkatkan daya saing wilayah dan menguatkan daya tawar dan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan. Daya tawar dan partisipasi yang semakin

meningkat juga dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup

dan kondisi sosial ekonominya sehingga tatanan sosial ekonomi masyarakat

yang timpang dapat dikonstruksi ulang menjadi tatanan yang lebih setara dan

berkeadilan.

2.5.3 Indikator Aspek Lingkungan dan Sumber Daya Alam Lingkungan dan sumber daya alam memiliki peran penting sekaligus

keterbatasan dalam mendukung kehidupan manusia sehingga perlu dikelola dan

dimanfaatkan secara bijaksana dalam pembangunan. Dalam pembangunan

Page 17: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

31

wilayah berkelanjutan, pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya

alam perlu diarahkan pada beberapa sasaran, antara lain: pemeliharaan

produktivitas biologis, keanekaragaman hayati, integritas lingkungan, dan

kapasitas daya dukung/ kemampuan daya tahan (resiliensi).

Untuk memonitor pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya

alam suatu wilayah, ada beberapa indikator yang dapat digunakan. Salah

satunya yang sering digunakan adalah luas hutan. Dalam penelitian ini, data luas

hutan yang digunakan adalah luas hutan perhutani unit III dan luas hutan negara.

Luas hutan perhutani unit III akan menggambarkan tingkat pemeliharaan

kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum. Perhutani

unit III (Laporan Akhir Rencana Pusat Pengembangan Agribisnis Cipamatuh,

2005). Luas hutan negara menggambarkan tingkat pemeliharaan kawasan hutan

lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi milik negara

(http://www.gn.apc.org/dte/srfi1.pdf). Luas hutan perhutani dan hutan negara

dapat memberikan indikasi mengenai tingkat pemeliharaan kawasan hutan suatu

wilayah selama proses pembangunan berjalan.

Dalam pembangunan wilayah berkelanjutan, kawasan hutan merupakan

salah satu elemen lingkungan dan sumber daya alam yang penting. Selain

merepresentasikan sumber pekerjaan, pendapatan, dan penghidupan

masyarakat, kawasan hutan juga berperan penting sebagai pemelihara

keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem (air, tanah, maupun

udara). Oleh sebab itu, dalam pembangunan wilayah berkelanjutan, luas hutan

perlu dipertahankan. Luas hutan yang semakin menurun dapat mengganggu

keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem (antara lain menimbulkan

kekacauan sistem hidrologi, menurunkan tingkat kesuburan tanah, dan

meningkatkan pemanasan global) sehingga dapat mengancam keberlanjutan

pembangunan wilayah.

Indikator lainnya yang digunakan adalah luas lahan sawah beririgasi.

Indikator tersebut akan memberi petunjuk mengenai ketersediaan air dan lahan

sawah yang merupakan sumber daya penting dalam proses produksi pertanian.

Luas sawah beririgasi yang semakin meningkat dapat mendukung kegiatan

produksi pertanian yang berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan pangan

wilayah maupun nasional. Luas sawah irigasi yang semakin meningkat juga

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (terutama kaum petani) dan

Page 18: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

32

mendorong perekonomian wilayah secara keseluruhan sehingga dapat menjadi

modal penting dalam mencapai pembangunan wilayah yang berkelanjutan.

Sebaliknya, luas sawah irigasi yang semakin menurun, selain menimbulkan

kerawanan pangan dan meningkatkan jumlah petani berlahan sempit (landless),

juga dapat berdampak pada kerusakan lingkungan berupa peningkatan

degradasi sumber daya air dan banjir akibat hilangnya peranan lahan sawah

sebagai permukaan resapan dan penampung kelebihan air limpasan (Ashari,

2003).

Pengelolaan lingkungan di suatu wilayah juga dapat dimonitor

menggunakan indikator frekuensi peristiwa bencana alam, seperti banjir dan

tanah longsor. Frekuensi bencana alam banjir dan tanah longsor yang semakin

meningkat dapat mengindikasikan adanya penurunan daya dukung/ daya tahan

(resiliensi) dan peningkatan kerentanan (vulnerability) dalam masyarakat di suatu

wilayah akibat proses perusakan lingkungan (seperti irrational land use dan

perambahan hutan) yang semakin meluas dan intensif. Bencana alam yang

semakin intensif dapat menimbulkan dampak yang meluas, antara lain:

menghancurkan hasil-hasil pembangunan fisik/buatan, menimbulkan korban jiwa

dan kerugian materi yang dapat memperparah kemiskinan dan menurunkan

kualitas hidup; menurunkan produktivitas lahan pertanian, dan mengancam

ketersediaan sumber daya air sehingga dapat mengancam keberlanjutan

pembangunan wilayah.

2.5.4 Indikator Aspek Pendukung Pembangunan aspek pendukung terkait dengan upaya terus menerus

dalam memelihara dan mengembangkan sumber daya buatan/infrastruktur fisik

yang diperlukan dalam mendukung dan memperlancar proses pembangunan

wilayah yang berkelanjutan. Beberapa infrastruktur fisik yang penting untuk

disediakan antara lain: prasarana transportasi, infrastruktur air bersih, dan

infrastruktur energi listrik.

a. Ketersediaan prasarana transportasi Dewasa ini, prasarana transportasi hampir menjadi suatu kebutuhan

dasar dalam seluruh aktivitas masyarakat dan pemerintah. Dalam pembangunan

wilayah, ketersediaan prasarana transportasi berperan penting dalam

Page 19: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

33

memperlancar mobilitas penduduk, barang, dan jasa baik antar maupun intra

wilayah. Dalam mendukung keberlanjutan wilayah, penyediaan prasarana

transportasi pada prinsipnya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

memperhatikan aspek keberlanjutan sehingga keberadaannya dalam jangka

panjang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.

Cara sederhana untuk memonitor ketersediaan prasarana transportasi

suatu wilayah adalah dengan menggunakan indikator persentase panjang jalan

aspal dan persentase panjang jalan dengan kondisi baik. Indikator pertama

dapat memberi petunjuk mengenai tingkat kemajuan dalam pembangunan atau

penyediaan prasarana transportasi wilayah. Indikator kedua memberi petunjuk

mengenai tingkat pemeliharaan prasarana transportasi wilayah.

Penyediaan dan pemeliharaan prasarana transportasi yang semakin baik

dapat memperbaiki aksesibilitas wilayah. Dalam pembangunan wilayah

berkelanjutan, aksesibilitas yang semakin baik dapat mendukung keberlanjutan

aspek ekonomi maupun sosial. Aksesibilitas yang semakin baik diharapkan dapat

memutus keterisolasian wilayah, memperlancar arus faktor produksi dan

pemasaran hasil produksi wilayah, meningkatkan akses masyarakat ke sumber

daya maupun pusat-pusat layanan sosial dan ekonomi (seperti sarana

kesehatan, pendidikan, dan pasar), dan meningkatkan efisiensi (biaya dan

waktu) yang dapat meningkatkan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat

dan mendorong pertumbuhan (produksi/pendapatan/ konsumsi) wilayah.

b. Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih Air bersih oleh PBB dimasukkan sebagai salah satu development

diamond (berlian pembangunan) dan ditetapkan sebagai bagian dari hak asasi

manusia. Dalam pembangunan wilayah yang berkelanjutan, ketersediaan air

bersih memiliki peran penting, terutama dalam mengurangi kematian bayi dan

anak, serta meningkatkan kualitas kesehatan manusia dan lingkungan.

Untuk memonitor ketersediaan air bersih, ada dua alternatif indikator yang

dapat digunakan (Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan

Milenium Indonesia, 2004). Indikator pertama adalah persentase rumah tangga

yang menggunakan air dari sumber yang terlindungi2 dengan memperhitungkan

2 Sumber air yang terlindungi dapat berupa air perpipaan, air pompa, air kemasan, air dari sumur atau mata air yang dilindungi, dan air hujan (Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2004).

Page 20: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

34

jarak lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan tinja. Indikator kedua adalah

persentase rumah tangga dengan sumber air berupa air perpipaan. Dalam

penelitian ini, indikator pertama tidak digunakan karena data persentase rumah

tangga dengan sumber air terlindungi yang tersedia di BPS belum

memperhitungkan jarak dari tempat pembuangan tinja sehingga masih memiliki

kemungkinan besar untuk terkontaminasi. Sedangkan indikator kedua akan

digunakan dengan asumsi bahwa air perpipaan (air ledeng) lebih andal dan lebih

sehat dibandingkan dengan sumber air lainnya karena melalui proses

pengolahan terlebih dahulu.

c. Ketersediaan Infrastruktur Energi Listrik Infrastruktur fisik lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam

pembangunan wilayah berkelanjutan adalah energi listrik. Ketersediaan energi

listrik di suatu wilayah dapat dimonitor menggunakan indikator persentase rumah

tangga dengan sumber penerangan listrik. Semakin meningkat persentase

rumah tangga dengan sumber penerangan listrik menunjukkan semakin

meningkatnya proporsi masyarakat yang memiliki akses terhadap pelayanan

energi listrik. Perbaikan akses masyarakat ke pelayanan energi listrik merupakan

salah satu strategi kunci dalam mendukung keberlanjutan pembangunan bidang

sosial maupun ekonomi (Waddams, Price, 2000; World Energy Assessment,

2000 dalam Dubash, 2002). Di bidang sosial, perbaikan akses ke energi listrik

dapat meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan; meningkatkan

hubungan informasi dan digital; menghemat waktu dan tenaga akibat peralihan

dari pemakaian bahan bakar tradisional; serta memperbaiki kualitas udara dalam

ruang. Di bidang ekonomi, perbaikan akses ke pelayanan energi listrik juga dapat

mendorong pertumbuhan (meningkatkan efisiensi, produktivitas,

mengembangkan potensi ekonomi wilayah), menciptakan peluang usaha baru

yang lebih produktif dan membuka lapangan kerja sehingga dapat mengurangi

angka pengangguran dan kemiskinan, meredam arus urbanisasi, serta

mendukung keberlanjutan pembangunan wilayah.

Page 21: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

35

Sasaran keseluruhan aspek beserta indikator operasional yang akan

digunakan untuk memonitor implementasi pembangunan berkelanjutan di

wilayah studi secara ringkas dapat dilihat pada Tabel II.1. Dalam pembangunan

wilayah berkelanjutan, keseluruhan aspek/indikator tersebut saling mengait dan

menunjang satu sama lain (Gambar II.2). Pembangunan wilayah dianggap lebih

mengarah pada keberlanjutan jika kinerja keseluruhan aspek/indikator membaik

dan mengarah pada kondisi keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan

lingkungan.

Gambar II.2 Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

PEMBANGUNAN WILAYAH

BERKELANJUTAN

SASARAN DAN INDIKATOR ASPEK EKONOMI

• Pertumbuhan (PDRB riil per kapita) • Pemerataan (Rasio Gini) • Penyediaan lapangan kerja (persentase tingkat pengangguran terbuka) • Pemenuhan kebutuhan dasar/ penanggulangan kemiskinan (persentase penduduk miskin)

SASARAN DAN INDIKATOR ASPEK SOSIAL

• Pembangunan/pemberdayaan manusia - Peningkatan kesehatan (angka harapan

hidup) - Peningkatan pendidikan (angka melek

huruf dan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas)

• Penguatan modal sosial: partisipasi, identitas/ keragaman budaya, keberlanjutan/ pembangunan institusional, dan kohesi sosial (tidak diturunkan ke dalam indikator)

SASARAN DAN INDIKATOR ASPEK LINGKUNGAN DAN SUMBER DAYA ALAM

• Pemeliharaan sumber daya alam dan

lingkungan dengan memperhatikan: keanekaragaman hayati, kapasitas daya dukung, kesatuan ekosistem, resiliensi, dan produktivitas biologis (luas hutan perhutani unit III, luas hutan negara, luas sawah irigasi, frekuensi bencana alam banjir dan tanah longsor)

SASARAN DAN INDIKATOR ASPEK PENDUKUNG

• Penyediaan infrastruktur fisik (sumber daya buatan)

- Penyediaan prasarana transportasi (persentase panjang jalan aspal dan panjang jalan dengan kondisi baik)

- Penyediaan air bersih (persentase rumah tangga dengan air ledeng) - Penyediaan energi listrik (persentase rumah tangga dengan penerangan listrik)

Page 22: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

36

TABEL INDIKATOR PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN

Page 23: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

37

LANJUTAN TABEL INDIKATOR PEMBANGUNAN WILAYAH

BERKELANJUTAN

Page 24: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

38

2.4 Rangkuman Strategi pembangunan semakin berkembang dari yang awalnya hanya

terfokus pada pertumbuhan ekonomi menjadi lebih memperhatikan pemerataan,

penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar, dan peningkatan

kualitas hidup manusia maupun lingkungan. Dalam perkembangannya,

penerapan berbagai strategi tersebut belum berhasil mencapai sasaran sehingga

berkembanglah konsep pembangunan berkelanjutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan awalnya hanya menekankan

keberlanjutan dalam terminologi ekologis. Konsep tersebut meluas melalui

Laporan Brundlandt yang memuat dua konsep pokok pembangunan

berkelanjutan, yaitu: (1) konsep kebutuhan yang menekankan pentingnya

pemenuhan kebutuhan dasar, (2) konsep keterbatasan yang menekankan

keterbatasan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan dalam

mengadsorpsi dampak dari kegiatan manusia. Konsep Brundlandt dianggap

masih normatif sehingga dielaborasi ke dalam berbagai alternatif pengertian,

salah satunya dielaborasi sebagai interaksi antara sistem ekonomi, sosial, dan

lingkungan; atau biasa dikenal dengan konsep tiga pilar pembangunan

berkelanjutan. Konsep tiga pilar dimodifikasi dan dijabarkan lebih lanjut dalam

konsep sumber daya (capital) yang mengemukakan adanya empat jenis sumber

daya yang harus dikelola dan diijaga keberlanjutannya, meliputi: (1) sumber daya

alam, (2) sumber daya manusia, (3) sumber daya buatan, dan (4) modal sosial.

Pembangunan wilayah berkelanjutan dapat dipahami dengan

mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktik-

praktik pembangunan wilayah. Berdasarkan konsep tiga pilar pembangunan

berkelanjutan dan konsep sumber daya, ada dua prinsip utama yang dapat

digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan wilayah berkelanjutan.

Pertama, pembangunan wilayah dipandang berkelanjutan jika mengarah pada

pencapaian sasaran tiga pilar pembangunan secara seimbang: ekonomi, sosial,

dan lingkungan. Kedua, pembangunan wilayah dipandang berkelanjutan jika

mampu menjaga dan mengembangkan stok kapital produktifnya yang meliputi

sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, dan modal

sosial.

Dari kedua prinsip tersebut dapat dikemukakan bahwa keberlanjutan

wilayah pada intinya tergantung pada tiga aspek utama (yaitu aspek ekonomi,

Page 25: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

39

sosial dan sumber daya manusia, lingkungan dan sumber daya alam) dan aspek

pendukung. Masing-masing aspek memiliki beberapa sasaran yang dijabarkan

ke dalam beberapa indikator operasional untuk memonitor implementasi

pembangunan berkelanjutan di wilayah studi. Adapun sasaran dan indikator

pembangunan wilayah berkelanjutan yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi:

1. Sasaran aspek ekonomi

• Pertumbuhan (indikator: PDRB per kapita)

• Pemerataan (indikator: Rasio Gini)

• Penyediaan lapangan kerja (indikator: persentase pengangguran terbuka)

• Penanggulangan kemiskinan (indikator: persentase penduduk miskin)

2. Sasaran aspek sosial

• Pembangunan/ pemberdayaan manusia (indikator: angka harapan hidup,

angka melek huruf, dan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang

tamat SLTP ke atas)

• Penguatan modal sosial

3. Sasaran aspek lingkungan

• Pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan dengan memperhatikan

keanekaragaman hayati, kapasitas daya dukung, kesatuan ekosistem,

resiliendi, dan produktivitas biologis (indikator: luas hutan Perhutani unit

III dan luas hutan negara, luas sawah irigasi, frekuensi bencana banjir

dan tanah longsor)

4. Aspek pendukung

• Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur fisik/ sumber daya buatan

(indikator: persentase rumah tangga dengan air ledeng, persentase

rumah tangga dengan penerangan listrik, persentase jalan aspal, dan

persentase jalan dengan kondisi baik).

Sasaran/ indikator masing-masing aspek saling mengait dan menunjang

satu sama lain. Pembangunan wilayah dianggap mengarah pada keberlanjutan

jika kinerja keseluruhan aspek/indikator membaik dan mengarah pada

keseimbangan antara kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Page 26: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

Tabel II.1 Indikator Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

ASPEK VARIABEL SUB VARIABEL INDIKATOR KETERANGAN

Pertumbuhan ekonomi

- PDRB per kapita Menggambarkan perkembangan perekonomian wilayah dan pendapatan per kapita masyarakat secara agregat. Semakin meningkat PDRB per kapita suatu wilayah, maka kekayaan wilayah (secara kasar) akan semakin besar dan peluang kemakmuran masyarakat diasumsikan juga semakin besar. Jika dikelola dengan baik dan digunakan untuk meningkatkan pembangunan, hal tersebut dapat meningkatkan perbaikan lingkungan dan mengurangi degradasi lingkungan melalui peringanan tekanan kemiskinan, urbanisasi, dan ketidakstabilan makroekonomi sehingga memperbesar kapasitas wilayah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

Pemerataan - Gini rasio Menunjukkan tingkat pemerataan distribusi pendapatan antar kelompok atau kelas pendapatan masyarakat. Semakin menurun koefisien gini rasio, maka distribusi pendapatan semakin merata dan peningkatan PDRB menjadi lebih berarti bagi masyarakat. Distribusi pendapatan yang semakin merata juga akan meningkatkan pertumbuhan karena ia mempunyai efek yang besar dan positif atas insentif manusia secara keseluruhan.

Penyediaan lapangan kerja

- Tingkat pengangguran (%)

Menunjukkan tingkat kesenjangan antara pencari kerja dengan persediaan lapangan kerja yang ada. Penurunan persentase pengangguran terbuka dapat meningkatkan pemerataan distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas kehidupan, mengurangi kerawanan sosial, mengurangi degradasi lingkungan (mobilitas ke hulu) dan migrasi besar-besaran penduduk ke luar wilayah (mobilitas ke hilir) sehingga memperbesar kapasitas wilayah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

Ekonomi

Penanggulangan kemiskinan

- Persentase penduduk miskin

Menunjukkan proporsi penduduk yang dapat memenuhi standar minimum kebutuhan dasarnya (minimal pangan setara 2100 kalori) yang diperlukan untuk dapat hidup dan bekerja. Penurunan persentase penduduk miskin dapat mengurangi beban pertumbuhan dan degradasi lingkungan sehingga memperbesar kapasitas wilayah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

Kesehatan

Angka harapan hidup

Menunjukkan hasil pembangunan manusia di bidang kesehatan. Semakin meningkat angka harapan hidup, selain menggambarkan penduduk yang semakin sehat dan berumur panjang, juga menandai akses yang semakin luas ke pelayanan kesehatan, persediaan pangan, gizi, dan air minum yang cukup, serta kondisi lingkungan di luar rumah yang semakin baik sehingga mendorong peningkatan produktivitas masyarakat sebagai modal penting dalam mencapai pembangunan wilayah berkelanjutan.

Angka melek huruf

Menunjukkan hasil pembangunan manusia di bidang pendidikan dasar, formal maupun informal. Semakin meningkat angka melek huruf, maka semakin mudah bagi masyarakat untuk menerima informasi dan pengetahuan guna meningkatkan keterampilan, produktivitas, dan kualitas hidupnya sehingga menjadi modal penting bagi keberlanjutan pembangunan wilayah.

Sosial

Pembangunan (pemberdayaan) manusia

Pendidikan

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas

Menunjukkan hasil pembangunan manusia di bidang pendidikan formal jenjang lanjutan dan perguruan tinggi. Semakin meningkat persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SLTP ke atas, maka semakin meningkat pula proporsi penduduk yang mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut akan meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan daya saing wilayah, dan menguatkan daya tawar dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga menjadi modal penting bagi pembangunan wilayah berkelanjutan.

Page 27: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran

Lanjutan Tabel II.1 Indikator Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

ASPEK VARIABEL SUB VARIABEL INDIKATOR KETERANGAN

- Luas hutan Perhutani unit III dan luas hutan negara

Mengindikasikan tingkat pemeliharaan kawasan hutan suatu wilayah selama proses pembangunan berjalan. Penurunan luas hutan yang cepat dan kontinu dapat memberikan signal adanya gangguan terhadap keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem sehingga dapat mengancam keberlanjutan pembangunan wilayah jika dibiarkan terus berlangsung.

- Luas sawah irigasi Memberi petunjuk mengenai ketersediaan air dan lahan sawah yang merupakan sumber daya penting dalam proses produksi pertanian. Penurunan luas sawah beririgasi yang cepat dan kontinu dapat mengancam ketahanan pangan wilayah/nasional, mengancam kehidupan sosial ekonomi petani, dan mengancam keberlanjutan lingkungan akibat meningkatnya jumlah petani berlahan sempit dan hilangnya peran lahan sawah sebagai permukaan resapan maupun penampung kelebihan air limpasan.

Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Pemeliharaan produktivitas biologis, keanekaragaman hayati, integritas lingkungan, dan kapasitas daya dukung/ kemampuan daya tahan (resiliensi). - Frekuensi bencana

alam banjir dan tanah longsor

Mengindikasikan adanya penurunan daya dukung/ daya tahan (resiliensi), peningkatan kerentanan (vulnerability) dalam masyarakat, dan adanya proses perusakan lingkungan yang semakin meluas dan intensif. Bencana alam yang semakin intensif dapat menimbulkan dampak yang meluas, antara lain: menghancurkan hasil-hasil pembangunan fisik/buatan, menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi yang dapat memperparah kemiskinan dan menurunkan kualitas hidup, menurunkan produktivitas lahan, dan mengancam ketersediaan sumber daya air sehingga dapat mengancam keberlanjutan pembangunan wilayah.

Ketersediaan prasarana transportasi

- Persentase panjang jalan aspal dan panjang jalan dengan kondisi baik

Menunjukkan kemajuan dalam penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur transportasi wilayah. Peningkatan panjang jalan aspal dan jalan dengan kondisi baik dapat memperbaiki aksesibilitas, memutus keterisolasian wilayah, memudahkan mobilitas penduduk, meningkatkan akses masyarakat ke pusat layanan sosial maupun ekonomi, memperlancar arus faktor produksi dan pemasaran hasil produksi wilayah sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing, mendorong pertumbuhan, dan mendukung keberlanjutan wilayah dalam aspek ekonomi maupun sosial.

Ketersediaan infrastruktur air bersih

- Persentase rumah tangga dengan air ledeng

Menunjukkan ketersediaan air bersih sekaligus perkembangan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan air bersih. Peningkatan persentase rumah tangga dengan air bersih/ air ledeng dapat mendukung upaya pengurangan kematian bayi dan peningkatan kualitas kesehatan manusia dan lingkungan dalam pembangunan wilayah berkelanjutan.

Pendukung

Ketersediaan infrastruktur energi listrik

- Persentase rumah tangga dengan penerangan listrik

Menunjukkan ketersediaan energi listrik sekaligus perkembangan aksesibiltas masyarakat terhadap pelayanan energi listrik. Peningkatan persentase rumah tangga dengan penerangan listrik dapat meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan, memutus keterisolasian wilayah melalui peningkatan hubungan informasi dan digital, menghemat waktu, tenaga dan memperbaiki kualitas udara dalam ruang akibat peralihan pemakaian bahan bakar tradisional, mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penciptaan peluang usaha baru yang lebih produktif dan peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah sehingga dapat menjadi salah satu strategi kunci dalam mendukung keberlanjutan wilayah bidang sosial dan ekonomi.

Page 28: BAB II PEMBANGUNAN WILAYAH · PDF file17 besar pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup (Salim dalam WCED, 1988) Penerapan berbagai konsep tersebut belum berhasil mencapai sasaran