BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian...
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Wacana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1552), wacana adalah satuan
bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh
seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah. Sebagai satuan bahasa terlengkap,
maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh,
yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam
wacana lisan) tanpa keraguan apapun (Chaer, 2007: 267). Wacana yaitu semua bentuk
paparan lisan maupun tertulis yang berciri merupakan wadah penyampaian informasi
ataupun pikiran yang utuh (Marwoto dkk, 1985: 51). Wacana dapat diartikan sebagai
satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal
(Djajasudarma, 2006: 3). Pada pengertian linguistik wacana adalah unit bahasa yang
lebih besar dari kalimat (Eriyanto, 2011: 3). Kridalaksana (2008: 259), berpendapat
bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana
merupakan satuan bahasa terlengkap yang berbentuk paparan lisan maupu tulis yang
berfungsi sebagai media penyampaian informasi, ide, gagasan, ataupun hasil
pemikiran kepada publik.
B. Unsur-Unsur Wacana
Unsur wacana merupakan satuan-satuan terkecil yang membentuk wacana itu
sendiri. Wacana memiliki dua unsur pembentuk atau pembangun yaitu unsur internal
7
dan unsur eksternal. Unsur internal merupakan unsur pembangun wacana yang berasal
dari dalam wacana itu sendiri, unsur internal wacana dibagi menjadi dua. Unsur
internal yang pertama yaitu kata dan kalimat.
Secara sederhana kata didefinisikan sebagai bagian dari kalimat yang
terbentuk dari gabungan beberapa huruf yang memiliki arti. Kata dapat diartikan
sebagai satuan terkecil dari sistem yang memiliki arti (Wachid dan Kurniawan, 2010:
72), sedangkan kalimat yaitu satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang
yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 2001: 23). Zainurrahman (2011:
111) menyatakan bahwa kalimat adalah sekumpulan respon terhadap objek dalam
bentuk kata, yang terangkai dalam sebuah struktur. Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatik yang memiliki
arti, yang terangkai dalam sebuah struktur dan dibatasi oleh intonasi yang menjadi
unsur dasar pembentuk wacana.
Unsur internal yang kedua yaitu teks dan koteks. Teks merupakan satuan
bahasa terlengkap yang bersifat abstrak (Kridalaksana, 2009: 238). Menurut Halliday
(1994: 13), teks diartikan sebagai sebuah bahasa yang sedang melaksanakan tugas
tertentu dalam konteks situasi berlainan dengan kata-kata atau kalimat yang mungkin
ditulis dipapan tulis. Jadi teks dapat diartikan sebagai satuan bahasa terlengkap yang
sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi-situasi berlainan yang
disajikan secara tertulis. Menurut Mulyana (2005: 10) koteks yaitu teks yang bersifat
sejajar, koordinatif dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu
memiliki hubungan dengan teks yang lainnya. Teks lain tersebut bisa di depan
(mendahului) atau di belakang (mengiringi).
Unsur eksternal wacana yaitu unsur pembentuk atau unsur pembangun wacana
yang berasal dari luar wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana terbentuk dari lima
hal penting yaitu implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, konteks. Implikatur
memiliki arti sebagai sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan (Mulyana,
2005:11). Presuposisi yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks
dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar
maupun pembaca. Referensi yaitu hubungan antara kata dengan benda (orang,
tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya (Mulyana, 2005: 14-15). Kata inferensi
memiliki arti sebagai suatu proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca
untuk memahami makna yang secara harifah tidak terdapat pada wacana yang
diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Djajasudarma, 2006: 41). Menurut
Halliday (1994: 6) konteks merupakan teks yang menyertai teks itu. Pengertian
mengenai hal yang menyertai teks itu tidak hanya meliputi yang dilaksanakan atau
ditulis saja, melainkan termasuk kejadian-kejadian yang non verbal lainnya.
C. Keutuhan Struktur Wacana
Sebuah wacana yang baik pada umumnya memiliki unsur kohesi dan
koherensi. Adanya kedua unsur tersebut menandakan bahwa wacana tersebut
merupakan wacana yang utuh. Ramlan (1993: 10), berpendapat bahwa kohesi
merupakan kepaduan dibidang bentuk. Menurut Tarigan (1987:96), kohesi mengacu
pada aspek formal bahasa. Aspek yang berkaitan erat dengan kohesi ini melukiskan
bagaimana caranya proposisi-proposisi saling berhubungan satu sama lain untuk
membentuk suatu teks. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kohesi merupakan kepaduan dalam bidang bentuk yang dapat dilihat secara nyata.
Koherensi merupakan hubungan pertalian antarproposisi, tetapi perkaitan
tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang
mengungkapkannya (Alwi dkk, 2003: 428). Menurut Ramlan (1993: 10), koherensi
adalah kepaduan dibidang makna. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa koherensi merupakan kepaduan makna yang tidak secara nyata dapat dilihat
dari kalimat-kalimat yang membentuk wacana.
D. Tema Wacana
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1429), tema adalah pokok
pikiran, dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang,
menggubah sajak, dan sebagainya. Eriyanto (2011: 229) berpendapat bahwa tema
merupakan gambaran umum dari suatu teks, bisa juga disebut sebagai gagasan inti,
ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang menjadi dasar dalam suatu
pembahasan. Tema memiliki cakupan yang luas, sehingga tema dapat diperinci lagi
menjadi topik. Kemudian topik tersebut dapat diperinci lagi menjadi topik-topik kecil
yang dapat diangkat menjadi judul sebuah wacana.
Topik berasal dari kata Yunani topoi yang berarti wilayah atau tempat (Keraf,
2007: 107). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1481), topik adalah
subjek yang dibahas dalam sebuah teks. Topik yakni proposisi yang berwujud frasa
atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan (Alwi dkk, 2003: 435).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa topik merupakan bagian dari
tema yang cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan judul wacana, topik berisi
pokok persoalan yang diperbincangkan atau dibahas dalam sebuah wacana.
E. Jenis Wacana
Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa wacana dapat
dibedakan menjadi sembilan jenis yaitu jenis wacana ditinjau berdasarkan bentuk atau
pemaparan wacana, berdasarkan media penyampaian atau media komunikasi wacana,
berdasarkan jumlah penutur atau jenis pemakaian wacana, berdasarkan isi,
berdasarkan gaya dan tujuan, berdasarkan sifat, berdasarkan realitas wacana,
berdasarkan pengungkapannya, berdasarkan penempatan.
1. Berdasarkan Bentuk atau Pemaparan Wacana
Jenis wacana ditinjau berdasarkan bentuk atau pemaparan wacana dapat
dibedakan menjadi delapan jenis. Mulyana membedakan menjadi tujuh jenis yaitu
wacana naratif, prosedural, ekspositori, hortatori, dramatik, epistoleri, seremonial.
Djajasudarma menambahkan satu jenis wacana yang termasuk dalam jenis wacana
berdasarkan bentuk yaitu wacana deskriptif.
Wacana naratif merupakan wacana yang bersifat narasi yaitu wacana yang
banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas.
Bagian-bagian yang dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk
wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri dengan
alinea penutup (Mulyana, 2005: 48). Menurut Djajasudarma (2006: 8) wacana naratif
yaitu wacana yang berisi rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal
atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku. Berdasarkan pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa wacana naratif merupakan jenis wacana yang bersifat narasi
yaitu wacana yang berisi penjabaran suatu peristiwa secara runtut yang didalamnya
terdapat penanda yang berupa konflik.
Wacana prosedural merupakan wacana yang digunakan untuk memberikan
petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu,
kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan
tertentu itu berhasil dengan baik (Mulyana, 2005: 48). Menurut Djajasudarma (2006:
9), wacana prosedural adalah wacana yang dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang
melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis. Jadi wacana prosedural
merupakan wacana yang berisi petunjuk untuk melakukan sesuatu secara berurutan.
Contoh wacana ini yaitu resep pembuatan makanan, petunjuk atau aturan minum obat,
petunjuk penggunaan alat, dan sebagainya.
Wacana ekspositori merupakan wacana yang bersifat menjelaskan sesuatu
secara informatif (Mulyana, 2005: 49). Menurut Djajasudarma (2006: 10), wacana
ekspositori merupakan wacana yang bersifat menjelaskan sesuatu, dan berisi pendapat
atau simpulan dari sebuah pandangan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa wacana ekspositori merupakan wacana yang bersifat menjelaskan
sesuatu secara informatif untuk mencapai tingkat pemahaman mengenai sesuatu yang
dijelaskan.
Wacana hortatori merupakan wacana yang digunakan untuk mempengaruhi
pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya
persuasif. Tujuannya ialah untuk mencari pengikut agar bersedia melakukan, atau
paling tidak menyetujui pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut (Mulyana,
2005: 49). Djajasudarma (2006: 9), berpendapat bahwa wacana hortatori adalah
tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa wacana hortatori merupakan wacana yang berisi ajakan atau
nasihat dengan tujuan untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar.
Menurut Mulyana (2005: 50) wacana dramatik merupakan bentuk wacana
yang berisi percakapan antar penutur. Wacana dramatik berbentuk dialog, yang
diawali dengan adanya prolog dan diakhiri dengan epilog. Contoh wacana dramatik
yaitu naskah drama, skenario film, naskah percakapan sandiwara.
Wacana epistoleri merupakan wacana yang biasa digunakan dalam surat-
menyurat (Mulyana, 2005: 50). Wacana epistoleri diawali dengan alinea pembuka,
alinea isi, dan alinea penutup yang seluruhnya disampaikan secara runtut sesuai
dengan sistematikanya.
Wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam kesempatan
seremonial (upacara) (Mulyana, 2005: 51). Wacana seremonial biasanya dibacakan
pada saat tertentu yang dianggap sebagai saat yang penting atau khusus, misalnya
ketika upacara pernikahan, upacara peringatan hari besar nasional, peringatan hari
besar keagamaan.
Menurut Djajasudarma (2006: 11), wacana deskriptif merupakan wacana yang
berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik
berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana ini bertujuan
mencapai penghayatan yang imajinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau
pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri secara langsung.
2. Berdasarkan Media Penyampaian atau Media Komunikasi Wacana
Berdasarkan media penyampaian atau media komunikasinya, wacana dapat
dibedakan menjadi wacana lisan, wacana tulis, dan wacana lisan yang dituliskan.
Wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan melalui media
tulisan (Mulyana, 2005: 51). Tarigan (1987: 52) berpendapat bahwa wacana tulis
merupakan wacana yang disampaikan secara tertulis melalui media tulis. Bahasa yang
digunakan dalam wacana tulis adalah bahasa yang bersifat non verbal. Menurut
Djajasudarma (2006: 7), wacana tulis dapat berupa sebuah teks yang dibentuk oleh
lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, sebuah
alinea yang dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh,
sebuah wacana yang dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan
koordinasi atau sistem elipsis.
Wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau
langsung dalam bahasa verbal (Mulyana, 2005:52). Jenis wacana ini sering disebut
sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Tarigan (1987: 55), berpendapat
bahwa wacana lisan merupakan wacana yang disampaikan secara lisan melalui media
lisan. Wacana lisan dapat berupa sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari
awal sampai akhir, dan berupa satu penggalan ikatan percakapan (Djajasudarma,
2006: 7).
Wacana lisan yang dituliskan merupakan wacana yang disampaikan secara
lisan kemudian wacana tersebut ditulis sehingga menjadi sebuah wacana tulis. wujud
wacana lisan yang dituliskan dapat berupa wawancara yang ditulis dalam surat kabar
(Suladi dkk, 2000: 12).
3. Berdasarkan Jumlah Penutur atau Jenis Pemakaian Wacana
Berdasarkan jumlah penutur atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibedakan
menjadi tiga jenis. Mulyana membedakannya menjadi wacana dialog dan wacana
monolog, kemudian Djajasudarma menambahkan wacana polilog sebagai salah satu
jenis wacana ditinjau berdasarkan jumlah penutur atau jenis pemakainya.
Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih
(Mulyana, 2005: 53). Menurut Djajasudarma (2006:13), wacana dialog merupakan
wacana yang berupa percakapan atau pembicaraan antara dua pihak terdapat pada
konversasi.
Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang
(Mulyana, 2005: 53). Contoh wacana monolog yaitu pidato, ceramah, surat, cerita.
Menurut Djajasudarma (2006: 13), wacana monolog merupakan jenis wacana yang
tidak melibatkan bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang
berkepentingan. Sedangkan wacana polilog merupakan jenis wacana yang melibatkan
partisipan pembicaraan di dalam konversasi yang melibatkan lebih dari dua orang
penutur.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pembeda jenis wacana tersebut adalah jumlah penuturnya. Wacana monolog
dituturkan oleh satu orang, wacana dialog dituturkan oleh dua orang atau lebih,
sedangkan wacana polilog melibatkan partisipan dan lebih dari dua orang penutur.
4. Berdasarkan Isi
Penggolongan wacana berdasarkan isi, lebih mudah dikenali dari pada
penggolongan wacana yang lain. Hal ini disebabkan karena adanya ruang khusus di
media massa untuk memuat wacana bedasarkan isinya. Menurut Mulyana (2005: 57),
berdasarkan isinya wacana dibedakan menjadi 7 yaitu wacana politik, wacana sosial,
wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum dan kriminalitas,
wacana olahraga dan kesehatan.
5. Berdasarkan Gaya dan Tujuannya
Menurut Keraf dan Marwoto berdasarkan gaya dan tujuannya, wacana dapat
dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi.
Menurut Mulyana yang termasuk dalam jenis wacana berdasarkan gaya dan tujuannya
yaitu wacana iklan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan gaya dan tujuannya wacana dapat dibedakan menjadi enam jenis yaitu
wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, iklan.
Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-
tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam
suatu kesatuan waktu. Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha
menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah
terjadi (Keraf, 2007: 136). Karangan narasi sering disebut sebagai cerita yang bersifat
menceritakan suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disusun sedemikian
rupa sehingga menimbulkan pengertian-pengertian yang merefleksikan interpretasi
penulisnya. Pada penulisan karangan narasi, penulis harus memilih dan menyusun
bahan-bahannya secara cermat, dan penanda penting wacana narasi yang harus selalu
ada yaitu konflik (Marwoto dkk, 1985: 152). Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa wacana naratif merupakan jenis wacana yang bersifat narasi yaitu
wacana yang berisi penjabaran suatu peristiwa secara runtut yang didalamnya terdapat
penanda yang berupa konflik.
Pengertian lugas deskripsi adalah uraian atau lukisan. Wacana deskripsi dapat
diartikan sebagai wacana yang membangkitkan kesan atau impresi seseorang melalui
uraian atau lukisan tertentu. Wacana deskripsi digunakan untuk membangkitkan
impresi atau kesan tentang seseorang, tempat, suatu pemandangan dan sebagainya
(Marwoto dkk, 1985: 167). Deskripsi merupakan wacana yang berusaha menyajikan
suatu objek atau hal sedemikian rupa, sehingga seolah-olah pembaca melihat sendiri
objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1995: 16). Berdasarkan pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa wacana deskripsi merupakan wacana yang dibuat dengan
tujuan untuk menggambarkan sesuatu misalnya menggambarkan tempat, barang,
maupun orang dengan tujuan agar orang yang membaca atau mendengarnya seolah
dapat merasakan sesuatu yang dideskripsikan.
Istilah eksposisi berasal dari kata exposition yang berarti membuka atau
memulai. Wacana eksposisi adalah paparan yang mengupas, atau memberikan sesuatu
demi suatu penyuluhan (penyampaian informasi), dan penyuluhannya tersebut tanpa
disertai desakan atau paksaan kepada pembacanya agar menerima sesuatu yang
dipaparkan sebagai sesuatu yang benar (Marwoto dkk, 1985: 170). Menurut Keraf
(1995: 7) eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu
objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Jadi wacana
eksposisi merupakan wacana yang bersifat memaparkan suatu topik dengan tujuan
agar pembaca atau pendengar menerima informasi atau hal yang dipaparkan, dalam
wacana eksposisi semua hal yang dipaparkan disampaikan secara halus tanpa ada
paksaan agar pembaca atau pendengar menerima pemaparan tersebut.
Persuasi adalah suatu seni verbal yang bertujuan untuk meyakinkan seseorang
agar melakukan sesuatu yang dikehendaki pembicara pada waktu ini atau pada waktu
yang akan datang (Keraf, 2007: 118). Pada wacana persuasi fakta dan evidensi
digunakan seperlunya saja. Hal ini disebabkan karena bila sebuah wacana persuasi
terlalu benyak menggunakan fakta dan evidensi maka akan ketahuan kelemahannya
sehingga pihak yang dipersuasi tidak akan percaya pada pembicara maupun penulis
(Keraf, 1995: 14).
Wacana argumentasi adalah wacana yang isinya terdiri dari paparan alasan
dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan. Pada wacana
tersebut argumentasi dibangun untuk meyakinkan kebenaran pendapat, gagasan,
ataupun konsepsi sesuatu berdasarkan data dan fenomena-fenomena keilmuan yang
dikemukakan (Marwoto dkk, 1985: 174). Argumentasi adalah suatu bentuk retorika
yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu
percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau
pembicara (Keraf, 2007: 3). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
wacana argumentasi merupakan jenis wacana yang isinya berusaha mempengaruhi
sikap dan pendapat pembaca atau pendengar dengan cara memberikan alasan dan
penyintesisan pendapat agar terbentuk suatu kesimpulan yang dapat diyakini
kebenarannya oleh pembaca atau pendengar, sehingga mereka bertindak sesuai
dengan yang diinginkan oleh pembicara atau penulis.
Mulyana (2005: 63) menyebutkan bahwa berdasarkan gaya dan tujuanya
terdapat satu jenis wacana yaitu wacana iklan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 521), iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk
khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Jadi wacana iklan
merupakan wacana yang bertujuan untuk membujuk atau mempengaruhi pendengar
maupun pembaca agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa yang bersifat persuasif.
6. Berdasarkan Sifat
Menurut Mulyana (2005: 54), berdasrkan sifatnya wacana dibedakan menjadi
wacana fiksi dan wacana non fiksi. Nurgiyantoro (1994: 3) berpendapat bahwa fiksi
merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga didalamnya tujuan
memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Wacana fiksi
adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi. Biasanya
menganut aliran konotatif, analogis, dan muliinterpretable. Umumnya, penampilan
dan rasa bahasanya dikemas secara literer atau estetis (indah). Wacana fiksi dapat
dipilah menjadi tiga jenis yaitu wacana puisi, drama, prosa (Mulyana, 2005: 52).
Wacana puisi merupakan jenis wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi,
dapat disampaikan secara lisan maupun melalui tulisan, bahasa yang digunakan selalu
memperhatikan aspek estetikanya (Mulyana, 2005: 64). Wacana drama merupakan
wacana yang dapat berbentuk prosa maupun puisi, lebih mementingkan dialog, gerak,
dan perbuatan. Drama menyajikan sejumlah kejadian yang memikat dan menarik hati,
yang dituangkan dalam bentuk gerak. Drama merupakan seni yang menggarap lakon-
lakon mulai sejak penulisannya hingga pementasannya, sehingga sebuah seni drama
juga membutuhkan ruang waktu dan audiens (Tarigan, 1984: 72). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008: 1106), prosa artinya karangan bebas (tidak terikat oleh
kaidah yang terdapat dalam puisi). Jadi wacana prosa merupakan wacana yang
berbentuk karangan bebas yang dapat disajikan baik secara lisan maupun tulisan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wacana fiksi
merupakan sebuah karya yang berisi pengalaman dan permasalahan kehidupan
manusia, baik yang diamati maupun dialami sendiri oleh pengarang yang kemudian
dibumbui dengan daya imajinasi pengarang agar tercipta sebuah karya yang menarik
dan memiliki nilai estetik.
Wacana non fiksi disebut juga sebagai wacana ilmiah. Jenis wacana ini
disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Bahasa yang digunakan bersifat denotatif, lugas, dan jelas. Beberapa
contoh wacana non fiksi antara lain yaitu laporan penelitian, buku materi perkuliahan,
petunjuk mengoperasikan pesawat terbang (Mulyana, 2005: 55).
Menurut Keraf (1995: 5) dalam tulisan ilmiah terdapat alinea atasan yang
terdiri dari satu kalimat yang dapat diperinci menjadi beberapa alinea bawahan. Alinea
tersebut dapat bersifat deduktif jika pengarang menyampaikan terlebih dahulu gagasan
utamanya dalam bentuk satu kalimat, kemudian diperinci lagi menjadi beberapa alinea
bawahan. Alinea dapat bersifat induktif jika pengarang menjelaskan beberapa pikiran
atau pendapatnya dalam bentuk alinea bawahan, kemudian menyimpulkan
pendapatnya dalam bentuk alinea atasan yang terdiri dari satu kalimat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dismpulkan bahwa wacana non fiksi
merupakan wacana yang bersifat aktualitas yaitu apa-apa yang benar terjadi,
sedangkan wacana fiksi bersifat realitas yaitu apa-apa yang dapat terjadi (Tarigan,
1984: 122). Wacana non fiksi berisi hal-hal yang ditinjau dari sudut pandang ilmiah,
bahasa yang digunakan bersifat lugas dan jelas. Sedangkan wacana fiksi berisi
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang dibumbui dengan daya imajinasi
pengarang.
7. Berdasarkan Realitas Wacana
Menurut Djajasudarma (2006: 6) realitas wacana adalah eksistensi wacana
yang berupa verbal dan non verbal. Rangkaian kebahasaan verbal merupakan
rangkaian kebahasaan dengan kelengkapan struktur bahasa. Rangkaian kebahasaan
verbal memicu munculnya rangkaian bahasa non verbal, yaitu rangkaian bahasa yang
berupa isyarat atau tanda-tanda bermakna.
8. Berdasarkan Pengungkapannya
Menurut Tarigan (1987: 55-56) berdasarkan pengungkapannya, wacana dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu wacana langsung dan wacana tidak langsung.
Wacana langsung merupakan kutipan wacana yang sebenarnya, dibatasi oleh intonasi
dan pungtuasi. Sedangkan wacana tidak langsung merupakan pengungkapan kembali
wacana tanpa mengutip harifah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan
mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata-kata tertentu, antara lain dengan
kalusa subordinatif, kata bahwa dan sebagainya.
9. Berdasarkan Penempatan
Menurut Tarigan (1987: 56) berdasarkan penempatannya, wacana dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu wacana pembeberan dan wacana penuturan.
Wacana pembeberan merupakan wacana yang tidak mementingkan waktu, penutur
berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagiannya diikat secara logis. Sedangkan
wacana penuturan merupakan wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan
oleh persona pertama dan ketiga dalam waktu tertentu. Berorientasi pada waktu dan
seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.
F. Wacana Argumentasi
1. Pengertian Wacana Argumentasi
Wacana argumentasi adalah wacana yang isinya terdiri dari paparan alasan
dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan. Pada wacana
tersebut argumentasi dibangun untuk meyakinkan kebenaran pendapat, gagasan,
ataupun konsepsi sesuatu berdasarkan data dan fenomena-fenomena keilmuan yang
dikemukakan (Marwoto dkk, 1985: 174). Argumentasi adalah suatu bentuk retorika
yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu
percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau
pembicara (Keraf, 2007: 3). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
wacana argumentasi merupakan jenis wacana yang isinya berusaha mempengaruhi
sikap dan pendapat pembaca atau pendengar dengan cara memberikan alasan dan
penyintesisan pendapat agar terbentuk suatu kesimpulan yang dapat diyakini
kebenarannya oleh pembaca atau pendengar, sehingga mereka bertindak sesuai
dengan yang diinginkan oleh pembicara atau penulis.
2. Ciri-Ciri Wacana Argumentasi
Keraf (2007: 120) mengatakan bahwa argumentasi memiliki beberapa ciri khas
yaitu argumentasi berusaha membuktikan suatu kebenaran sebagai digariskan dalam
proses penalaran pembicara atau penulis, argumentasi adalah suatu proses untuk
mencapai suatu kesimpulan. Tarigan (2008: 116) dan Zanurrahman (2011: 51-52),
menambahkan ciri-ciri argumentasi sebagai berikut:
a. Perlakuan terhadap suatu masalah dilakukan secara cermat dan teliti.
b. Bernada faktual.
c. Pokok permasalahan menjadi hal yang penting.
d. Bertujuan untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, kejujuran.
e. Argumentasi menuntut orang-orang yang bertanggungjawab untuk menerima apa
yang layak dan yang didasarkan pada fakta yang masuk akal.
f. Sarana untuk berargumen mengenai suatu isu.
g. Berfungsi untuk menjelaskan kepada pembaca alasan-alasan, argumen, ideologi,
dan kepercayaan agar pembaca dapat mengadopsi posisi yang diambil oleh
penulis.
h. Berusaha untuk membujuk, mengajak, atau mendesak pembaca agar mengubah
pola pikir dan asumsi mereka mengenai sebuah isu kontroversial.
3. Proses Penalaran
Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir yang berusaha
menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju
kepada suatu kesimpulan (Keraf, 2007: 5). Menurut Tarigan (2008: 116), persuasi
logis atau yang biasa disebut sebagai argumentasi berdasar pada penalaran logis.
Penalaran logis mencakup dua proses dasar berpikir dan organisasi, yaitu induksi dan
deduksi.
Induksi adalah suatu proses pencapaian kesimpulan yang didasarkan pada
fakta, pengalaman, observasi, dan kesaksian; Acap kali disebut sebagai metode ilmiah
karena para ilmuwan mengandalkannya dalam karya mereka (Tarigan, 2008: 117).
Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena
individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai
bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena-fenomena yang ada. Berdasarkan
hal tersebut maka proses penalaran itu disebut sebagai suatu corak berpikir ilmiah
(Keraf, 2007: 43). Proses penalaran induksi dapat dibedakan menjadi beberapa variasi
yaitu generalisasi, hipotese dan teori, analogi induktif, kausal, penarikan contoh
(sampling). Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses
penalaran induksi merupakan corak berpikir ilmiah yang bertujuan untuk menarik
kesimpulan dengan didasarkan pada fakta maupun fenomena yang ada.
Deduksi adalah suatu proses penarikan kesimpulan yang didasarkan pada
asumsi; Justru merupakan suatu pernyataan yang diterima sebagai suatu kebenaran,
dengan menerima suatu premis tertentu kita secara logis dapat sampai pada suatu
kesimpulan (Tarigan, 2008: 120). Deduksi merupakan proses berpikir (penalaran)
yang bertolak dari suatu proposisi yang sudah ada, menuju kepada proposisi baru yang
berbentuk kesimpulan, yang diperlukan dalam penalaran ini adalah proposisi umum
dan proposisi yang bersifat mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian
dengan proposisi umum tadi (Keraf, 2007: 57). Penalaran deduktif memiliki beberapa
corak berpikir yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme disjungtif atau
silogisme alternatif, entimem, rantai deduksi, silogisme kondisional. Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penalaran deduksi merupakan suatu proses
penarikan kesimpulan yang didasarkan pada asumsi maupun proposisi yang sudah ada
menuju kepada suatu asumsi maupun proposisi baru yang berbentuk kesimpulan.
Penalaran induksi dan deduksi memiliki persamaan dan perbedaan. Kedua
penalaran ini sama-sama menuju kearah kesimpulan. Perbedaannya, penalaran induksi
berawal dari kasus atau hal khusus menuju kesimpulan umum. Penarikan kesimpulan
pada penalaran induksi didasarkan pada fakta maupun fenomena yang telah ditemui
atau dipercayai bahwa hal itu benar. Sedangkan penalaran deduksi berawal dari suatu
prinsip umum menjadi hal atau kasus khusus menuju kesimpulan khusus. Penarikan
kesimpulan pada penalaran deduktif didasarkan pada asumsi maupun proposisi yang
sudah ada menuju asumsi maupun proposisi baru yang berbentuk suatu kesimpulan.
4. Dasar dan Sasaran Wacana Argumentasi
Menurut Keraf (2007: 101-102) dasar yang harus diperhatikan sebagai titik
tolak argumentasi adalah:
a. Pembicara atau pengarang harus mengetahui serba sedikitnya tentang subyek
yang akan dikemukakannya, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip
ilmiahnya.
b. Pengarang harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau
pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri.
c. Pembicara atau penulis argumentasi harus berusaha untuk mengemukakan pokok
persoalan dengan jelas.
d. Pembicara atau penulis harus menyelidiki persyaratan mana yang masih
diperlukan bagi tujuan-tujuan lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas
itu, dan sampai dimana kebenaran dari pernyataan yang telah dirumuskannya itu.
e. Dari semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud
yang mana yang lebih memuaskan pembicara atau penulis untuk menyampaikan
masalahnya.
Menurut Keraf (2007: 103-104) untuk membatasi persoalan dan menetapkan
titik ketidaksesuaian, maka sasaran yang harus ditetapkan untuk diamankan oleh
setiap pengarang argumentasi adalah:
a. Argumentasi itu harus mengandung kebenaran untuk mengubah sikap dan
keyakinan orang menganai topik yang akan diargumentasikan.
b. Pengarang harus berusaha untuk menghindari setiap istilah yang dapat
menimbulkan prasangka tertentu.
c. Pada saat pertama pengarang menggunakan istilah, ia harus membatasi pengertian
istilah yang dipergunakan itu, agar dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya
ketidaksesuaian pendapat karena perbedaan pengertian.
d. Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan
diargumentasikan, dengan demikian arah dan sasaran tulisan hanya dipusatkan
pada titik perbedaan itu.
5. Bagian Wacana Argumentasi
Menurut pendapat Alfiansyah (2009), wacana argumentasi terdiri dari tiga
bagian yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Pendapat ini didukung oleh pendapat
Keraf, menurutnya dalam sebuah argumentasi terdapat tiga bagian yaitu pendahuluan,
tubuh argumen, kesimpulan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
sebuah argumentasi terdiri dari tiga bagian yaitu pendahuluan, tubuh argumen atau isi,
dan penutup atau kesimpulan.
Bagian pendahuluan dalam wacana argumentasi disusun dengan tujuan untuk
menarik perhatian pembaca, memusatkan perhatian pembaca kepada argumen-
argumen yang akan disampaikan, serta menunjukkan dasar-dasar mengapa argumen
itu harus dikemukakan dalam kesempatan tersebut (Keraf, 2007: 104). Menurut
Alfiansyah (2009), bagian pendahuluan berisi latar belakang masalah dan
permasalahan. Jadi pendahuluan merupakan bagian awal dalam sebuah argumentasi
yang berisi latar belakang masalah yang disusun dengan tujuan untuk menarik
perhatian pembaca dan memusatkan perhatian pembaca.
Bagian yang kedua yaitu isi atau tubuh argumen. Bagian ini berisi pembuktian
untuk meyakinkan pembaca atau pendengar bahwa hal yang dikemukakan oleh
pengarang itu merupakan hal yang benar, sehingga konklusi yang disimpulkan juga
merupakan konklusi yang benar. Menurut Keraf (2007: 106) terdapat beberapa
kemahiran yang dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran dalam jalan pikiran
dan konklusi yaitu kecermatan mengadakan seleksi fakta yang benar, penyusunan
bahan secara baik dan teratur, kekritisan proses berpikir, penyuguhan fakta, evidensi,
kesaksian, premis dengan benar. Menurut Alfiansyah (2009), isi karangan merupakan
keseluruhan uraian yang berusaha menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam
pendahuluan. Uraian isi karangan berupa pernyataan, data, fakta, contoh, atau ilustrasi
yang diambil dari pernyataan, pendapat umum, pendapat para ahli, hasil penelitian,
kesimpulan yang dapat mengukuhkan bahwa pemecahan permasalahan itu harus
demikian.
Bagian yang ketiga yaitu penutup atau kesimpulan. Menurut Alfiansyah
(2009), bagian penutup berupa ikhtisar atau penutup. Keraf (2007: 107) berpendapat
bahwa pada bagian penutup seorang pengarang harus berusaha menjaga agar konklusi
yang disimpulkannya tetap memelihara tujuan, dan menyegarkan kembali ingatan
pembaca tentang apa yang telah dicapai, dan mengapa konklusi-konklusi tersebut
diterima sebagai sesuatu yang logis.
6. Metode Pengembangan Topik Pada Wacana Argumentasi
Topik berasal dari kata Yunani topoi yang berarti wilayah atau tempat (Keraf,
2007: 107). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1481), topik adalah
subjek yang dibahas dalam sebuah teks. Topik yakni proposisi yang berwujud frasa
atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan (Alwi dkk, 2003: 435).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa topik merupakan bagian dari
tema yang cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan judul wacana, topik berisi
pokok persoalan yang diperbincangkan atau dibahas dalam sebuah wacana.
Wacana argumentasi yang baik harus memiliki topik yang jelas, agar
permasalahan yang disajikan dalam wacana tersebut dapat tersusun secara teratur dan
terarah. Selain itu, penyajian topik yang jelas juga dapat membantu untuk
mempengaruhi pembaca agar tertarik dan sependapat dengan argumen yang
diungkapkan oleh penulis. Berdasarkan hal tersebut maka topik dalam sebuah wacana
argumentasi harus dikembangkan dengan menggunakan metode.
Menurut Rahayu (2007: 170-171) terdapat tujuh metode pengembangan topik
dalam wacana argumentasi, yaitu metode genus dan definisi, sebab dan akibat,
keadaan atau sirkumstansi, persamaan, perbandingan, pertentangan, kesaksian dan
autoritas. Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Keraf (2007: 108), menurutnya
terdapat tujuh metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi. Ketujuh
metode tersebut yaitu genus dan definisi, sebab dan akibat, keadaan atau sirkumstansi,
persamaan, perbandingan, pertentangan, kesaksian dan autoritas. Menurut Lesmana
(2011) terdapat lima metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi yaitu
genus, definisi, sebab akibat, persamaan, perbandingan, pertentangan. Sutarto (2012)
berpendapat bahwa terdapat tiga metode pengembangan topik dalam wacana
argumentasi yaitu metode sebab akibat, akibat sebab, dan generalisasi.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
sembilan metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi yaitu genus dan
definisi, persamaan, perbandingan, pertentangan, sebab akibat, akibat sebab,
generalisasi, keadaan atau sirkumstansi, kesaksian dan autoritas. Kesembilan metode
tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya dapat diketahui bahwa
kesembilan metode ini digunakan untuk mengembangkan topik pada wacana
argumentasi, sedangkan perbedaannya terletak pada teknik atau cara yang digunakan
untuk mengembangkan topik tersebut.
a. Metode Genus dan Definisi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 473), genus berarti jenis,
definisi berarti batasan arti, dapat pula diartikan sebagai keterangan singkat (2008:
330). Menurut Keraf (2007: 110) genus adalah sesuatu yang lebih luas lingkupnya
dari objek yang dibicarakan. Pada metode ini pengarang harus mengajukan argumen-
argumen atau fakta-fakta mengenai genus yang diungkapkan. Hal ini bertujuan untuk
meyakinkan semua orang bahwa benar kelas itu memiliki ciri-ciri tersebut, atau ciri-
ciri tersebut merupakan ciri kelas itu (Keraf, 2007: 108). Namun semakin sempit
kelasnya, argumen-argumen yang dikemukakan akan semakin mengandung
pertentangan pendapat. Itulah sebabnya argumentasi yang mempergunakan definisi
sebagai landasan geraknya, biasanya cenderung untuk mengadakan uraian panjang
lebar mengenai obyek dan kelasnya. Definisi itu tidak lain daripada usaha menetapkan
genus bagi obyek yang dibicarakan (Keraf, 2007: 109). Tetapi jika timbul kesulitan
untuk mencapai kesepakatan, maka penulis biasanya membuat definisi luas dengan
berusaha menjelaskan ciri-ciri yang dikenakan pada sebuah genus. Menurut Rahayu
(2007: 170), pada metode ini penulis harus berusaha merangsang pembaca untuk
mempercayai dan menerima hal yang diungkapkan oleh penulis sebagai ciri dari
genus yang disampaikan.
b. Metode Pertentangan
Metode pertentangan ini berasumsi bahwa, jika kita memperoleh keuntungan
dari fakta dan situasi tertentu, maka fakta dan situasi yang bertentangan akan
membawa kerugian atau dampak negatif bagi kita. Begitu pula jika kita memperoleh
kerugian karena situasi sekarang ini, maka kemungkinan besar kita akan memperoleh
keuntungan dari situasi yang berlawanan (Keraf, 2007: 113), atau dengan kata lain
jika kita memperoleh keuntungan dari fakta dan situasi tertentu maka fakta dan situasi
yang bertentangan akan memperoleh kelemahan atau sebaliknya (Rahayu, 2007: 171).
Menurut Lesmana (2011), metode ini dapat dilakukan dengan cara mengemukakan
suatu hal atau pendapat kemudian diberikan hal atau pendapat yang sebaliknya. Hal
yang dijadikan dasar perbandingan merupakan ide pokok. Jadi dalam metode ini,
topik dikembangkan dengan cara mempertentangkan dua hal atau pendapat yang
berbeda untuk memperoleh simpulan fakta dan situasi yang menguntungkan dan yang
merugikan.
c. Metode Perbandingan
Menurut Lesmana (2011), metode ini dilakukan dengan mengemukakan
persamaan dan perbedaan antara dua hal. Hal yang dijadikan dasar perbandingan
merupakan ide pokok. Rahayu (2007: 171) berpendapat bahwa metode perbandingan
mencakup pengertian bahwa salah satu hal yang diperbandingkan lebih kuat dari hal
lain yang menjadi dasar perbandingan. Pada metode argumentasi ini pengarang
menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan kedua memiliki peluang atau kepastian
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kemungkinan yang pertama, sehingga jika
pengarang menyetujui kemungkinan yang pertama maka sudah pasti pengarang
menyetujui kemungkinan yang kedua (Keraf, 2007: 112).
Jadi dalam metode ini pengarang mengembangkan topik dengan
memperbandingkan dua hal yang berlainan. Jika pengarang menyetujui kemungkinan
pertama maka sudah pasti pengarang menyetujui kemungkinan yang kedua, sebab
dalam metode perbandingan kemungkinan kedua memiliki tingkat kemungkinan yang
lebih tinggi.
d. Metode Persamaan atau Analogi
Menurut Lesmana (2011), metode ini dilakukan dengan cara mengemukakan
kesamaan antara dua hal. Keraf (2007: 111-112) berpendapat bahwa kekuatan
argumentasi dengan mempergunakan metode persamaan terletak pada pernyataan
mengenai kesamaan antara dua barang. Bila topik atau isi argumen didasarkan pada
metode persamaan, maka premis mayor mengungkapkan prinsip-prinsip persamaan
yang tidak dapat disangkal secara logika. Premis minor mengungkapkan fakta-fakta
persamaan yang ada antara dua hal atau barang. Sedangkan kesimpulan
mengungkapkan tentang kemungkinan persamaan itu lebih lanjut. Kekuatan
argumentasi pada metode ini juga tergantung pada hubungan langsung pada kebenaran
yang terdapat dalam topik yang diperbandingkan. Oleh karena itu jika persamaan yang
diungkapkan lemah maka kekuatan retoriknya pun lemah (Rahayu, 2007: 171).
e. Metode Sebab akibat
Menurut Lesmana (2011), metode ini dilakukan dengan menggunakan proses
berpikir kausalitas, suatu sebab akan menimbulkan akibat, sebab menjadi ide pokok
dan akibat menjadi ide penjelas. Sutarto (2012) berpendapat bahwa metode sebab
akibat ini dilakukan dengan menyampaikan terlebih dahulu sebab-sebabnya dan
diakhiri dengan pernyataan sebagai akibat dari sebab tersebut.
Topik yang didasarkan pada sebab dan akibat, selalu mempergunakan proses
berpikir yang bersifat kausal yaitu sebab dari suatu kejadian. Proses berpikir yang
demikian menyatakan bahwa suatu sebab tertentu akan mencakup akibat yang
sebanding. Begitu juga sebaliknya, sebuah akibat tertentu akan mencakup sebab yang
sebanding. Sehingga jika menghadapi suatu keadaan yang parah, maka harus dicari
sebab yang hebat (Keraf, 2007: 110). Menurut Rahayu (2007: 171) kekuatan retorika
ini terletak pada persoalan, bagaimana kita menerima kebenaran hubungan sebab
akibat yang dinyatakan oleh premis mayor.
f. Metode Akibat Sebab
Hubungan akibat sebab merupakan suatu proses berpikir induktif yang
bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai akibat dari sebab-sebab yang
ditimbulkan. Menurut Sutarto (2012), selain menggunakan metode sebab akibat,
penulis dapat membalik pola pengembangannya menjadi akibat sebab. Pada metode
ini penulis menyampaikan terlebih dahulu akibatnya, kemudian dicari sebab-
sebabnya.
g. Metode Generalisasi
Menurut Sutarto (2012), pola generalisasi adalah pola pengembangan paragraf
yang menarik suatu simpulan umum atas suatu data atau fakta yang bersifat khusus.
Hal yang pertama diungkapkan dalam metode ini adalah hal-hal yang bersifat khusus,
kemudian dari hal-hal yang bersifat khusus tersebut disimpulkan menjadi sebuah
kesimpulan yang bersifat lebih umum.
h. Metode Keadaan atau sirkumstansi
Topik yang dikembangkan dengan didasarkan pada keadaan atau sirkumstansi
dilakukan dengan menyajikan suatu keadaan sebagai keadaan yang terpaksa, dan tidak
ada jalan atau cara lain yang dapat dilakukan oleh pengarang. Keadaan tersebut yang
dijadikan sebagai argumen dan pembuktian bagi pengarang.
Menurut Keraf (2007: 111) sirkumstansi atau keadaan tergolong dalam relasi
kausal. Keadaan dijadikan sebagai argumen sejauh tidak ada alternatif lain. Tetapi
tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dibenarkan secara logis, ia
terpaksa melakukan tindakan tersebut karena fakta menunjukkan bahwa tidak ada hal
lain yang dapat dia lakukan. Pembuktiannya hanya melalui keadaan tadi. Penulis
harus menggambarkan keadaan yang terpaksa, untuk membenarkan tindakannya. Jika
keadaan yang digambarkan tidak meyakinkan sebagai keadaan yang terpaksa maka
argumentasinya akan ditolak. Rahayu (2007: 171) berpendapat bahwa suasana atau
keadaan yang terpaksa tidak boleh menghasilkan alternatif. Sejauh tidak ada alternatif
lain, maka keadaan itulah yang dijadikan sebagai argumen.
i. Metode Kesaksian dan Autoritas
Menurut Keraf (2007: 114) kesaksian dan autoritas merupakan topik atau
sumber yang berasal dari luar, premis atau proposisi yang digunakan merupakan
persepsi orang lain yang siap kita gunakan. Pada metode kesaksian, argumen
didasarkan pada pendapat atau ucapan orang yang mengetahui tentang terjadinya
suatu peristiwa atau kejadian. Pada metode autoritas, argumen didasarkan pada
pendapat atau ucapan dari seorang yang terkenal, atau seorang yang diakui
keahliannya.
Kesaksian dan autoritas tidak memiliki tenaga atau kekuatan dalam dirinya
sendiri, tetapi kekuatannya tergantung pada kepercayaan atas saksi dan kualitas
autoritas. Sebuah kesaksian dapat diterima dengan baik jika saksi dianggap tahu betul
fakta dan kejadiannya, dan dia tidak mempunyai kepentingan dengan hasil argumen
(Rahayu, 2007: 171).
G. KERANGKA PIKIR
WACANA
PENGERTIAN WACANA
UNSUR WACANA KEUTUHAN STRUKTUR WACANA
U. EKSTERNAL
U. INTERNAL
KOHESI
KOHERENSI
TEMA WACANA
JENIS WACANA
BERDASARKAN BENTUK/PEMA-PARAN WACANA
NARATIF
PROSEDURALL EKSPOSITORI
HORTATORI DRAMATIK
EPISTOLERI SEREMONIAL DESKRIPTIF
MULYANA & DJAJASUDARMA
MULYANA
DJAJASUDARMA
BERDASARKAN MEDIA PENYAMPAIAN/ MEDIA KOMUNIKASI WACANA
LISAN
TULIS LISAN YANG DITULISKAN
MULYANA &DJAJASUDARMA TARIGAN
SULADI BERDASARKAN JUMLAH PENUTUR/ JENIS PEMAKAIAN WACANA
DIALOG
MONOLOG POLILOG
MULYANA, DJAJASUDARMA
DJAJASUDARMA BERDASARKAN ISI
POLITIK, SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, MILITER, HUKUM, OLAHRAGA
MULYANA
BERDASARKAN GAYA & TUJUAN NARASI
DESKRIPSI EKSPOSISI ARGUMENTASI PERSUASI
IKLAN KERAF MARWOTO MULYANA
BERDASARKAN SIFAT
FIKSI
NON FIKSI MULYANA
REALITAS WACANA
VERBAL
NON VERBAL
DJAJASUDARMA
BERDASARKAN PENGUNGKAPAN
LANGSUNG
TAK LANGSUNG
TARIGAN
BERDASARKAN PENEMPATAN PENUTURAN
PEMBEBERAN TARIGAN
WACANA ARGUMENTASI
WACANA ARGUMENTASI
DASAR DAN SASAR& SASARAN WACANA BAGIAN WACANA ARGUMENTASI
TEKNIK & METODE PENGEMBA-NGAN TOPIK
PENDAHULUAN TUBUH ARGUMEN/ ISI
KESIMPULAN/ PENUTUP GENUS & DEFINISI PERTENTANGAN
PERBANDINGAN
PERSAMAAN/ ANALOGI SEBAB & AKIBAT
AKIBAT & SEBAB
GENERALISASI
KERAF & ALFIANSYAH
KEADAAN & SIRKUMSTANSI
KESAKSIAN & AUTORITAS
FANNY LESMANA , KERAF, MINTO RAHAYU
AGUS SUTARTO
KERAF & MINTO RAHAYU
PROSES PENALARAN
CIRI WACANA ARGUMENTASI
PENGERTIAN WACANA ARGUMENTASI
BERDASARKAN PENEMPATAN
PENUTURAN
PEMBEBERAN TARIGAN