A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan...

38
1 BAB I MENGUSIK ROMANTISME TENTANG SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan Tradisional Demokrasi merupakan salah satu hal esensial dalam tata kelola pemerintahan yang saat ini selalu didengung-dengungkan. Secara gamblang, demokrasi selalu dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi, kata demokrasi tersebut berasal dari kata „demos‟ yang berarti rakyat dan „kratos‟ yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, rakyat menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di dalam sebuah negara. Sesudah perang dunia kedua berakhir (1939-1945), gagasan demokrasi kemudian juga diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia seperti India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia, meskipun setiap negara tersebut memakai bentuk pemerintahan yang berbeda- beda. 1 Selanjutnya, perdebatan gagasan dan definisi demokrasi sampai dengan saat ini tidak pernah usai. Artinya demokrasi menjadi sebuah gagasan fleksibel yang selalu bisa dikaitkan dengan nilai-nilai yang ingin dibawa oleh sebuah negara. Selanjutnya, istilah demokrasi yang masih terlalu umum tersebut mendorong berbagai pemikir menyumbangkan gagasannya tentang demokrasi. Salah satu tokoh terkenal yang memiliki pemikiran khas tentang demokrasi berasal dari Timur Tengah yaitu Anwar Sadat sebagai pemimpin Mesir yang menggantikan rezim otoritarianisme Nasser. Secara umum, Anwar tidak memiliki pemikiran tentang demokrasi yang sempurna, tetapi setidaknya Anwar Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan demokrasi yaitu multi partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka. 2 Munculnya gagasan demokrasi tersebut kemudian dijadikan landasan bagi Sadat untuk menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya. Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya gagasan demokrasi menurut Anwar Sadat 1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hal.51. 2 Lihat skripsi Achmad Baehaki, Inkonsistensi Anwar Sadat Tentang Demokrasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007, hal.57. Diakses melalui http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/- bitstream/123456789/8494/1/ACHMAD%20BAEHAKI-FUF.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 11.50 WIB.

Transcript of A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan...

Page 1: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

1

BAB I

MENGUSIK ROMANTISME TENTANG SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan Tradisional

Demokrasi merupakan salah satu hal esensial dalam tata kelola pemerintahan yang

saat ini selalu didengung-dengungkan. Secara gamblang, demokrasi selalu dimaknai sebagai

pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi, kata demokrasi tersebut

berasal dari kata „demos‟ yang berarti rakyat dan „kratos‟ yang berarti pemerintahan. Dengan

demikian, rakyat menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di dalam sebuah

negara. Sesudah perang dunia kedua berakhir (1939-1945), gagasan demokrasi kemudian

juga diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia seperti India, Pakistan, Filipina, dan

Indonesia, meskipun setiap negara tersebut memakai bentuk pemerintahan yang berbeda-

beda.1 Selanjutnya, perdebatan gagasan dan definisi demokrasi sampai dengan saat ini tidak

pernah usai. Artinya demokrasi menjadi sebuah gagasan fleksibel yang selalu bisa dikaitkan

dengan nilai-nilai yang ingin dibawa oleh sebuah negara.

Selanjutnya, istilah demokrasi yang masih terlalu umum tersebut mendorong berbagai

pemikir menyumbangkan gagasannya tentang demokrasi. Salah satu tokoh terkenal yang

memiliki pemikiran khas tentang demokrasi berasal dari Timur Tengah yaitu Anwar Sadat

sebagai pemimpin Mesir yang menggantikan rezim otoritarianisme Nasser. Secara umum,

Anwar tidak memiliki pemikiran tentang demokrasi yang sempurna, tetapi setidaknya Anwar

Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan demokrasi yaitu multi

partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka.2 Munculnya gagasan demokrasi tersebut

kemudian dijadikan landasan bagi Sadat untuk menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya.

Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya gagasan demokrasi menurut Anwar Sadat

1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hal.51.

2 Lihat skripsi Achmad Baehaki, Inkonsistensi Anwar Sadat Tentang Demokrasi, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007, hal.57. Diakses melalui http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/-

bitstream/123456789/8494/1/ACHMAD%20BAEHAKI-FUF.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul

11.50 WIB.

Page 2: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

2

tersebut adalah kecintaannya terhadap beberapa tokoh dunia seperti Mahatma Ghandi, Hitler,

Zahran, dan lain sebagainya.

Pada ranah politik nasional, gagasan tentang demokrasi juga pernah disumbangkan

oleh Amien Rais dan Nurcholis Madjid. Berangkat dari konsep tauhid, Amien Rais secara

tegas menyatakan bahwa perjuangan politik umat Islam untuk membangun sebuah tatanan

masyarakat yang lebih baik hanya bisa dilakukan melalui sistem demokrasi.3 Seperti halnya

dengan ajaran agama Islam, Amien Rais meyakini bahwa demokrasi tidak hanya memuat

aspek-aspek yang bersifat mengubah, tetapi juga mengandung aspek perpaduan dan

penyatuan. Di sisi lain, Nurcholis Madjid melihat bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam

sistem demokrasi tidak hanya didukung dan dibenarkan oleh ajaran Islam, tetapi juga sebagai

aturan permainan politik terbuka.4 Gagasan tentang demokrasi tersebut nantinya juga akan

membawa dampak pada tindakan politik tokoh yang bersangkutan.

Banyaknya gagasan atau pendapat yang dikemukakan terkait dengan demokrasi

menjadi salah satu bukti bahwa demokrasi menjadi gagasan baru dan lebih modern. Bahkan

setiap orang hampir selalu memuji demokrasi sebagai sebuah sistem yang cukup sempurna

untuk diterapkan di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Tidak mengherankan apabila

banyak sistem-sistem tradisional kemudian digantikan oleh sistem demokrasi. Mulai dari

munculnya demokrasi yang prosedural hingga demokrasi yang lebih substansial. Oleh karena

itu, demokrasi sebagai sebuah gagasan masih menjadi sesuatu hangat untuk terus-menerus

dibahas di kalangan akademisi ataupun praktisi.

Keluar dari gagasan demokrasi masih luas tersebut, gagasan terhadap demokrasi juga

bisa dilekatkan dengan kebudayaan Jawa. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan adalah

3 Lihat Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 1999, hal.96. 4 Lihat skripsi Misbahul Huda, Analisis Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Demokrasi, Institut Agama

Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2009, hal.61. Diakses melalui http://library.walisongo.ac.id/digilib/files-

/disk1/97/jtptiain-gdl-misbahulhu-4817-1-skripsi_-6.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 12.38

WIB.

Page 3: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

3

keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dihasilkan dengan cara belajar.5 Dalam konsep politik demokrasi Jawa,

rakyat diyakini sebagai jelmaan Tuhan sehingga rakyat menjadi pemimpin dan pemegang

kekuasaan yang sebenarnya.6 Merujuk pada konsep tersebut, maka raja seharusnya mampu

bertindak adil dan bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya sehingga raja tidak

berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya. Konsep tersebut tentu

berkebalikan dengan kepercayaan kuno yang menganggap bahwa seorang raja merupakan

jelmaan dari Tuhan yang memiliki wewenang tanpa batas untuk mengatur rakyatnya.

Berbicara mengenai demokrasi dan kebudayaan Jawa, maka sosok Sri Sultan

Hamengku Buwono IX tidak dapat dilepaskan dari kajian tersebut. Melacak pemikiran Sri

Sultan HB IX tentang demokrasi pada dasarnya menjadi hal menarik untuk dilakukan.

Meskipun demikian, keinginan peneliti untuk melacak pemikiran sultan tersebut sulit untuk

dilakukan karena terdapat beberapa limitasi, termasuk dari sosok sultan sendiri yang sulit

untuk dimengerti. Hal tersebut diperkuat dengan tulisan John Monfries yang menyimpulkan

bahwa Sri Sultan HB IX adalah sosok yang memiliki banyak paradoks dan kontradiksi di

sepanjang karir politiknya, terlebih sultan relatif sedikit membuat pernyataan publik,

meskipun dirinya cukup mencolok di kancah politik nasional.7 Dengan demikian, peneliti

dalam tulisan ini hanya sebatas menarik penafsiran terhadap tindakan politik yang dilakukan

oleh Sri Sultan HB IX.

5 Selengkapnya lihat Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX:

Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,

Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta, 2008, hal.96. 6 Selengkapnya lihat Mulyana (ed), Demokrasi Dalam Budaya Lokal, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005, hal.6.

7 Pernyataan tersebut banyak didukung oleh temuan Monfries dalam penelitiannya. Pertama, Monfries melihat

gejala yang tidak lazim dimana sultan adalah sosok pangeran Jawa, tetapi dalam banyak keputusan yang

dibuatnya, sultan tidak dapat dibedakan dengan politisi ala Barat. Kedua, sultan adalah penganut Islam ortodoks,

tetapi dalam pidato atau tulisannya, sultan jarang menjadikan Islam, Allah, atau Nabi Muhammad sebagai

rujukannya. Kedua hal tersebut secara tidak langsung bahwa sultan adalah sosok yang sulit untuk dimengerti.

Lihat John Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta, ISEAS,

Singapore, 2015, hal.2-5.

Page 4: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

4

Menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX pada

dasarnya menjadi alternatif lain ketika pemikiran sultan sulit untuk disimpulkan, khususnya

terkait dengan demokrasi. Kajian tentang penafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX yang

diangkat oleh peneliti ini setidaknya juga bisa dijadikan referensi tambahan dalam melihat

karakter politik Sri Sultan HB IX yang terkait dengan demokrasi. Meskipun untuk melacak

pemikiran sultan terdapat limitasi data atau hal yang lainnya, kajian ini setidaknya masih

tetap memiliki relevansi dengan kajian pemikiran politik seseorang. Bahkan hasil dari kajian

yang dilakukan oleh peneliti nantinya bisa memberikan sudut pandang yang lain dalam

melihat Sri Sultan HB IX sebagai sosok yang memiliki kecerdasan dalam berpolitik.

Sebagai seorang Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB IX telah melakukan berbagai

keputusan yang sifatnya demokratis. Banyak faktor yang kemudian membuat Sri Sultan HB

IX mengeluarkan berbagai kebijakan atau keputusan yang bersifat demokratis semasa

menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta. Semasa menjalankan kewenangannya sebagai

seorang raja, Sri Sultan HB IX memegang prinsip sufistik yaitu sumarah mawi pasrah-

Suwung pamrih tebih ajrih-Langgeng tan ana susah lan bungah-Anteng meneng sugeng

jeneng yang mengandung maksud bahwa dirinya berserah diri kepada Allah SWT tanpa

pamrih apapun, jauh dari rasa takut, dalam kehidupan tidak ada kesedihan dan kegembiraan,

tetapi yang ada hanyalah kedamaian demi menjaga nama dan kehormatan.8 Hal tersebut

menandakan bahwa sultan masih memegang teguh keluhuran budi sebagai seorang raja.

Menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX tersebut menjadi menarik

mengingat tapak politik yang dilakukan sultan memiliki maksud yang tersembunyi. Hal

tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa tapak politik tersebut berasal dari Sri

Sultan HB IX yang notabene merupakan seorang raja yang identik dengan nilai-nilai monarki

dan jauh dari sistem pemerintahan yang demokratis. Sri Sultan HB IX telah memperlihatkan

8 Lihat Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi, Araska,

Yogyakarta, 2013, hal.142.

Page 5: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

5

bahwa tidak selamanya sebuah kerajaan menerapkan sistem yang monarki, tetapi justru bisa

menjadi inspirasi bagi pelaksanaan demokrasi di wilayah lainnya. Fenomena tersebut secara

tidak langsung menunjukkan bahwa sultan sebagai seorang raja yang modern tidak hanya

memiliki keluhuran budi semata, tetapi juga memiliki kecerdasan dalam berpolitik.

Setidaknya ada beberapa hal yang mencerminkan sikap demokratis Sri Sultan

Hamengku Buwono IX. Beberapa kebijakan demokratis (bentuk demokrasi prosedural) yang

dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX di luar keraton yaitu merintis

terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Daerah (BP-KNID) Yogyakarta yang pada

akhirnya nanti merupakan cikal bakal badan legislatif di tingkat provinsi, memberikan ide

otonomi daerah yang bertumpu pada daerah swantara tingkat kota atau kabupaten, dan

membentuk demokrasi pada tingkat keluharan (membentuk lembaga legislatif kelurahan).

Secara lebih rinci, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII pada saat itu

mengeluarkan beberapa Maklumat yang mengatur tentang DPR Desa, Lurah Desa beserta

perangkatnya, dan Majelis Permusyawaratan Desa. Dewan Desa pada saat itu dipilih

langsung oleh rakyat desa dan memiliki wewenang untuk membuat peraturan desa yang

nantinya dilaksanakan oleh pamong desa dan pegawainya.9

Pada aspek yang lain, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga telah melakukan

demokratisasi di dalam keraton. Bentuk demokratisasi tersebut yaitu menghilangkan jabatan

Pepatih Dalem dan menyederhanakan upacara-upacara (berdana besar dan rumit) keraton

tanpa menghilangkan maknanya.10

Selain itu, keraton di bawah Sultan Hemengku Buwono

IX juga menjadi lebih terbuka dan demokratis dengan adanya jabatan pamong praja yang

anggotanya tidak hanya berasal dari lingkungan atau kerabat keraton, tetapi juga bisa berasal

9 Lihat Julius Pour dan Nur Adji (ed), Sepanjang Hayat Bersama Rakyat: 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono

IX, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hal.45. 10

Pepatih Dalem merupakan jembatan antara raja dan rakyat sehingga semua urusan yang berhubungan dengan

rakyat akan sampai ke raja setelah raja menerima laporan dari Pepatih Dalem. Penghapusan jabatan tersebut

secara tidak langsung telah mendekatkan raja dengan rakyatnya.

Page 6: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

6

dari masyarakat umum yang memiliki prestasi.11

Pada aspek yang lebih jauh, demokratisasi

di dalam keraton juga dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan

menghilangkan Pengadilan Darah Dalem yang dahulunya merupakan pengadilan istimewa

bagi para bangsawan.12

Berangkat dari beberapa hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka telah terlihat

secara jelas bahwa sistem monarki sebagai sebuah gagasan yang tradisional mulai tergeser

eksistensinya oleh gagasan yang lebih modern yaitu demokrasi. Fenomena tersebut bisa

dilihat dengan munculnya beberapa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan sebagai

salah satu sosok yang masih memegang erat gagasan tradisional yang dimaksud. Tergesernya

gagasan tradisional tersebut tidak lain karena adanya tuntutan zaman dimana aspek

partisipasi, kompetisi, dan kebebasan berekspresi di kalangan rakyat harus diakomodir. Hal

tersebut tentu bertentangan dengan gagasan monarki dimana seorang raja memiliki kekuasaan

yang absolut terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Menariknya, Sri Sultan HB IX sebagai tokoh yang masih memegang gagasan

tradisional tersebut juga tidak menolak munculnya gagasan tentang demokrasi. Hal tersebut

dibuktikan oleh sultan ketika dirinya banyak membuat kebijakan-kebijakan yang dinilai

demokratis. Pada aspek yang lebih mengakomodir zaman, keputusan sultan tersebut tentu

didukung oleh banyak kalangan, khususnya para cendekiawan yang pada waktu itu juga

memiliki pengetahuan tentang demokrasi. Di sisi lain, kebijakan sultan tersebut

memunculkan kontrovesi dimana seorang feodal justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan

yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang sebenarnya masih dipegang

oleh sultan. Fenomena inilah yang sebenarnya menarik untuk ditelisik lebih jauh yaitu untuk

menguak latar belakang di balik keputusan-keputusan sultan yang demikian.

11

Selengkapnya lihat Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik, Galang

Press, Yogyakarta, 2011, hal.221-222. 12

Lihat Atmakusumah (ed), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal.61.

Page 7: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

7

Kontroversial tentang sosok Sri Sultan HB IX tersebut kemudian juga semakin

terlihat ketika sultan memiliki sepak terjang yang tidak biasa sebagai seorang raja. Hal

tersebut bisa dilihat dari pengaruhnya sebagai seorang raja yang kemudian memiliki

kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dalam kerangka sebuah negara republik

(menjadi seorang kepala daerah) hingga karir tertingginya sebagai seorang wakil presiden

(pemimpin republik). Bagi publik, karir sultan tersebut adalah hal wajar seorang negarawan

untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan nusa dan bangsa. Pada aspek yang lain, sepak

terjang sultan justru memiliki misi tersembunyi dimana di era yang semakin modern, Sri

Sultan HB IX ingin menunjukkan eksistensinya sebagai seorang raja yang masih memiliki

pengaruh di republik. Hanya saja, sepak terjang sultan tersebut tertutupi oleh kewibawaannya

yang masih dianggap publik sebagai keluhuran budi seorang sultan.

Sebagai seorang lulusan pendidikan Barat, Sri Sultan HB IX secara cerdas

memainkan perannya sebagai sosok yang memiliki keluhuran budi tinggi sehingga kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkannya tidak dianggap menyimpang oleh publik. Kecerdasan dalam

berpolitik itulah yang kemudian membawa citra Sri Sultan HB IX masih tetap sempurna di

mata publik dimana dirinya berhasil mengombinasikan ide-ide Barat dengan sentuhan-

sentuhan ajaran adiluhung. Dalam praktiknya, sultan telah berhasil memainkan perannya

sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Oleh karena itu, peneliti ingin menguak

tapak politik dan menafsirkannya dengan tujuan untuk melihat siasat seorang sultan dengan

menggunakan ide-ide demokrasi sebagai gagasan modern untuk mempertahankan kekuasaan

tradisional (ide-ide monarki) yang dimilikinya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana penafsiran tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono IX ?

Page 8: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

8

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menafsirkan tapak politik yang

dilakukan Sri Sultan HB IX dalam mengambil berbagai kebijakan atau keputusan yang

bersifat demokratis di Yogyakarta. Artinya peneliti ingin menarik benang merah atas

berbagai latar belakang yang mempengaruhi tindakan Sri Sultan HB IX untuk melakukan

demokratisasi di Yogyakarta, termasuk untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

gagasan Sri Sultan HB IX. Secara lebih jelas, setidaknya ada dua tujuan yang ingin dicapai

oleh peneliti dalam penelitian tersebut. Pertama yaitu menambah khasanah keilmuan baru

terkait dengan teori pemikiran politik dan demokrasi yang dikaitkan dengan salah satu tokoh

nasional yaitu Sri Sultan HB IX. Kedua yaitu mampu menguak hal-hal baru yang mendasari

beberapa keputusan Sri Sultan HB IX yang dinilai demokratis. Artinya penelitian tersebut

bertujuan untuk menemukan data-data baru yang belum menjadi temuan bagi peneliti

maupun peneliti buku tentang Sri Sultan HB IX.

D. Studi tentang Sri Sultan HB IX

Dari beberapa buku yang telah ditelaah oleh peneliti tentang Sri Sultan Hamengku

Buwono IX, banyak diantaranya yang mengulas perjalanan hidup Raja Yogyakarta yang

kesembilan tersebut. Beberapa buku yang menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan

Hamengku Buwono IX yaitu Tahta Untuk Rakyat yang ditulis oleh Atmakusumah (editor),

Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX tulisan Purwadi, Sepanjang Hayat Bersama

Rakyat tulisan Julius Pour dan Nur Adji (editor), dan Sri Sultan Hari-hari Hamengku Buwono

IX yang ditulis dalam presentasi majalah Tempo. Beberapa literatur tersebut lebih

menekankan pada kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk karir Sri Sultan

Hamengku Buwono IX di dalam pemerintahan republik.

Selain itu, ada beberapa literatur yang menuliskan tentang karakter kepemimpinan

dan sifat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam bertindak. Adapun literatur yang dimaksud

Page 9: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

9

adalah buku berjudul Hamengku Buwono IX Inspiring Prophetic Leader tulisan Parni Hadi

dan Nasyith Majidi (editor), Sri Sultan Hamengku Buwono IX Penjaga Demokrasi Indonesia

tulisan Sunardian Wirodono, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tulisan

Moedjanto, dan Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi yang

ditulis oleh Sri Wintala Achmad. Literatur yang telah disebutkan tersebut lebih menyoroti

sifat dan karakter pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja, sekaligus

sebagai tokoh nasional.

Selanjutnya, peran spesifik Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Yogyakarta dan

Republik Indonesia juga dituangkan ke dalam sebuah buku. Beberapa literatur tersebut

berjudul Sukarno, Hatta, dan Hamengkubuwono IX yang ditulis oleh Moedjanto, Mengawal

Transisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pemerintahan Transisi Republik Indonesia di

Yogyakarta 1949 tulisan Aan Ratmanto, Hamengkubuwono IX: Dari Serangan Umum 1

Maret sampai Melawan Soeharto, Benarkah Hamengkubuwono IX Anggota CIA tulisan

K.Tino, dan Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo

Sunaryo. Tulisan-tulisan tersebut pada dasarnya lebih menitikberatkan pada peran dan

kebijakan Sri Sultan HB IX setelah dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta.

Dari beberapa literatur yang telah disebutkan, ada beberapa literatur yang secara

spesifik membahas tentang pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, khususnya terkait

dengan status keistimewaan Yogyakarta yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi hal yang

hangat untuk dibicarakan. Salah satu buku yang menceritakan pemikiran Sri Sultan HB IX

adalah Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan

Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis oleh

Heru Wahyukismoyo. Di dalam buku tersebut, penulis menceritakan beberapa keputusan Sri

Sultan HB IX yang menyatakan bahwa Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia,

Page 10: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

10

termasuk beberapa kebijakan Sri Sultan HB IX yang dianggap demokratis dan secara tidak

langsung dianggap sebagai pembaharuan.

Berangkat dari tulisan-tulisan tersebut, maka peneliti mencoba untuk keluar dari

romantisme tentang Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti ingin melihat strategi yang

digunakan oleh sultan dalam rangka mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Langkah

tersebut dilakukan dengan cara melakukan penafsiran terhadap tapak politik yang dilakukan

oleh sultan, baik dalam kapasitasnya sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Dari

hasil penafsiran tersebut nantinya diharapkan dapat menghasilkan sebuah refleksi akhir yang

menggugah kesadaran publik bahwa tidak selamanya seorang sultan memegang teguh prinsip

sufistik atau keluhuran budi pekerti, tetapi mereka (sultan) juga memiliki cara tersendiri

untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dengan cara berpolitik melalui caranya yang

khas sebagai seorang sultan.

E. Kerangka Konseptual

E.1 Tapak Politik: Kombinasi Aspek Kognisi, Interaksi, dan Kebutuhan Untuk Aksi

Tapak politik dan tindakan seseorang pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari

faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang

dikemukakan oleh Karl Mannheim menjadi salah satu terobosan baru dalam melihat

pemikiran dan aktivitas manusia. Selain itu, Max Scheler dalam bukunya berjudul Problems

of a Sociology of Knowledge tahun 1980 mengatakan bahwa yang menjadi isu sentral

sosiologi pengetahuan adalah bentuk upayanya dalam menyingkap asal-usul sosiologis semua

bentuk pengetahuan, pemikiran, dan kesadaran dari seluruh aktivitas mental manusia.13

Bahkan, secara keilmuan dapat dicatat bahwa sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk

dari kritik terhadap idealisme. Lebih lanjut, kesadaran, menurut Karl Mannheim, tidak

13

Lihat Andy Dermawan, Dialektika Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Sosiologi Pengetahuan, Jurnal

Sosiologi Reflektif, Vol.7, No.2, 2013, hal.254.

Page 11: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

11

muncul secara otomatis, tetapi bergantung pada kondisi dan realitas material.14

Dengan kata

lain, gagasan seseorang tidak muncul secara otomatis.

Kesadaran atau pemikiran dalam hal tersebut tidak hanya lahir dari dialektika internal

atau psikologis, tetapi juga pemikiran dari orang yang bersangkutan tidak lepas dari selimut

sejarah yang mewarnai periode tertentu.15

Dengan kata lain, sosiologi pengetahuan berusaha

untuk menemukan proses lahirnya sebuah pemikiran melalui konteks dan dinamika historis

yang terkait dengan konteks sosial masyarakatnya. Sebagai contohnya, apabila zaman yang

sedang dihadapi atau sedang berlangsung adalah era konflik atau krisis, maka kondisi

sosiologis dalam masyarakat akan banyak menimbulkan ide-ide persaingan, filsafat politik,

ideologi, dan beragam produk budaya. Dengan demikian, konteks lingkungan sosial yang

sedang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi tindakan seseorang terhadap sesuatu

secara sosiologis.

Berangkat dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan oleh

manusia atau seseorang saat ini tidak bisa dilepaskan dari konteks realitas sosial dan

historisnya.16

Tidak hanya terkait dengan tindakan, tetapi juga terkait dengan pemikiran

manusia. Asumsi dasar yang dibangun dalam sosiologi pengetahuan ini adalah teks dan

konteks.17

Konteks dalam hal tersebut diartikan sebagai pijakan sosial dari sebuah realitas

yang ada, sedangkan teks meliputi aktivitas manusia seperti proses berpikir, mental, dan

perilaku sosial. Merujuk pada hal tersebut, maka realitas teks dan konteks dalam sosiologi

pengetahuan berfokus pada kerangka historisnya. Oleh karena itu, menurut Karl Mannheim,

sosiologi pengetahuan bertujuan untuk menemukan kriteria-kriteria untuk menemukan

keterkaitan antara pemikiran dan tindakan, serta mengembangkan suatu teori yang cocok

14

Ibid., hal.255. 15

Selengkapnya lihat Arie Putra, Pemikiran Islam Ahmad Syafii Maarif: Dari Etika Al-Quran Menuju

Masyarakat Demokratis, Skripsi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal.14. 16

Lihat Andy Dermawan, op.cit. 17

Ibid., hal.256.

Page 12: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

12

untuk zaman seperti saat ini mengenai faktor-faktor non-teoritis yang menentukan dalam

pengetahuan.18

Untuk melihat gagasan dan tapak politik seseorang, maka realitas sosial dan historis

menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhinya. Sebelum pemikiran politik itu muncul,

tentu ada sebuah proses yang pada dasarnya terdapat di dalam realitas sosial dan historis dari

seseorang yang bersangkutan. Dalam proses tersebut setidaknya ada 3 hal yang dapat

mempengaruhi pemikiran dan tindakan politik seseorang yaitu kognisi, interaksi, dan

kebutuhan untuk aksi. Kognisi dalam hal ini dijelaskan sebagai usaha mengenali sesuatu

melalui pengalaman yang dilalui. Dengan kata lain, melalui pengalaman yang didapatkannya,

seseorang akan mendapatkan sesuatu baru yang sebelumnya belum pernah didapatkan.

Interaksi dalam hal ini dijelaskan sebagai bentuk saling berhubungannya seseorang dengan

orang lainnya melalui komunikasi. Terakhir adalah kebutuhan untuk aksi dimana dari hasil

interaksi dan kognisi yang didapatkannya akan mendorong seseorang untuk melakukan

sesuatu. Dorongan untuk melakukan aksi tersebut yang kemudian akan diejawantahan

menjadi pemikiran politik yang produknya dapat berupa sistem atau pandangan.

18

Selengkapnya lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius,

Yogyakarta, 1991, hal.287.

Page 13: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

13

Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang dikemukakan oleh Karl

Mannheim pada dasarnya digunakan untuk menganalisis perkembangan suatu pemikiran

dengan melihat adanya pengaruh lingkungan (realitas sosial dan historis) secara kronologis-

historis, sehingga dapat ditemukan makna dan maksud dari sebuah pemikiran.19

Apabila

dikaitkan dengan tiga hal yang dikemukakan diatas, maka pengaruh lingkungan (realitas

sosial dan historis) seseorang merupakan sebuah proses dimana pemikiran politik seseorang

tersebut akan muncul. Dengan kata lain, kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi

merupakan proses yang bekerja di dalam realitas sosial dan historis seseorang yang nantinya

akan memunculkan sebuah pemikiran politik. Oleh karena itu, secara sosiologi, pemikiran

dan tindakan politik seseorang muncul tidak dapat dilepaskan dari realitas sosial dan historis

yang dialaminya.

E.2 Gagasan Demokrasi Secara Universal

Salah satu penjelasan tentang demokrasi yang cukup dikenal yaitu penjelasan

demokrasi yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau. Rousseau menjelaskan bahwa

demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara

untuk mendapatkan kesejahteraan.20

Dari pernyataan tersebut sebenarnya dapat diambil poin

penting bahwa demokrasi hanyalah menjadi sebuah jembatan negara untuk menyejahterakan

masyarakatnya. Meskipun demikian, demokrasi secara universal tetap dimaknai sebagai

sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya saja,

corak demokrasi yang ada di setiap wilayah akan berbeda, meskipun esensi dari demokrasi

tersebut tetap sama. Di sisi lain, ada salah satu tokoh juga yang mengemukakan penjelasan

tentang tren perkembangan demokrasi yaitu Robert Dahl. Berdasarkan penelitian yang

19

Selengkapnya lihat Kaelan dalam Muhammad Irfan Helmy, Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif Menurut Asy-

Syafii: Tinjauan Sosiologi Pengetahuan, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hal.11. 20

Selengkapnya lihat Thalhah, Teori Demokrasi Dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans

Kelsen, Jurnal Hukum, Vol.16, No.3, 2009, hal.414-415. Diakses melalui http://law.uii.ac.id/images/-

stories/Jurnal%20Hukum/3%20HM.%20Thalhah.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 17.05 WIB.

Page 14: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

14

dilakukannya, Robert Dahl memaparkan bahwa gagasan dan penerapan demokrasi di

beberapa negara di dunia menunjukkan tren peningkatan. Pada tahun 1860, gagasan

demokrasi baru diterapkan di satu negara, tetapi sampai dengan tahun 1990, gagasan

demokrasi telah diterapkan di enam puluh lima negara dunia, meskipun demokrasi yang

diterapkan tersebut memiliki corak-corak yang berbeda.21

Sebagai sebuah gagasan yang luas dan selalu diperdebatkan, ada berbagai macam tipe

atau jenis demokrasi menurut berbagai akademisi. Selain itu, nilai-nilai yang terkandung di

dalam demokrasi juga menjadi salah satu hal penting untuk melihat demokratis atau tidaknya

sebuah sistem pemerintahan. Meskipun demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk

mengukur sebuah kualitas demokrasi, tetapi pemaparan nilai-nilai tersebut akan membantu

peneliti untuk mengidentifikasi pemikiran politik seseorang. Selanjutnya, setidaknya ada 5

tipe demokrasi menurut Pinkey yang saat ini telah dikenal yaitu demokrasi liberal, terpimpin,

sosialis, radikal, dan konsosiasional.22

Kelima tipe demokrasi tersebut selanjutnya akan

dipaparkan secara lebih rinci untuk mempermudah pemahaman bahwa pada dasarnya

demokrasi merupakan sebuah konsep yang luas apabila tidak ditambah dengan adjective atau

kata sifat.

Demokrasi liberal secara umum dapat dikatakan sebagai bentuk demokrasi yang

pemerintahannya dibatasi oleh undang-undang dan dalam konteks pergantian kekuasaannya

dilaksanakan pemilihan umum yang bebas secara ajeg atau rutin. Di sisi lain, aspek sosial dan

ekonomi seseorang justru menjadi urusan privat yang terlepas dari intervensi dan struktur

politik.23

Hal tersebut sejalan dengan konsepsi bahwa berangkat dari tradisi liberal,

21

Selengkapnya lihat Robert Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara

Singkat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 10-11. 22

Selengkapnya lihat Komarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal.307-

308. 23

Lihat Thomas Meyer, Demokrasi Sosial dan Libertarian: Dua Model yang Bersaing dalam Mengisi

Kerangka Demokrasi Liberal, FES, Jakarta, 2012, hal.10. Diakses melalui http://library.fes.de/pdf-

files/bueros/indonesien/09834.pdf pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2014 pukul 17.04 WIB.

Page 15: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

15

demokrasi mendapatkan momentumnya dari hak individual.24

Selanjutnya, demokrasi

terpimpin pada dasarnya merupakan tipe demokrasi dimana pemerintahannya ditentukan oleh

sang pemimpin atau penguasa. Tipe demokrasi ini secara tidak langsung juga telah

mengandung karakter otoriter dari sang penguasa. Dengan kata lain, praktik demokrasi

terpimpin sejatinya adalah bentuk pemerintahan otoriter yang „berkelambu‟ atau dibungkus

dengan kata demokrasi.25

Identiknya tipe demokrasi tersebut dengan sistem otoritarian pada

dasarnya bisa dilihat dari kata tambahan „terpimpin‟ yang secara tidak langsung

menggambarkan bahwa sistem pemerintahan hanya dipegang oleh satu atau beberapa orang

semata.

Selanjutnya, demokrasi sosialis merupakan salah satu bentuk demokrasi yang

berusaha untuk mewujudkan kekayaan dan sumber daya yang merata. Artinya demokrasi

pada tipe ini berfungsi sebagai alat untuk memastikan bahwa segala sumber daya dapat

dibagikan secara rata kepada masyarakat atau warga negara tanpa membedakan-bedakan.

Dengan demikian, demokrasi sosialis setidaknya dapat dijadikan sarana untuk menghindari

ketimpangan antar masyarakat, khususnya dalam hal pembagian sumber daya secara merata.

Pada tipe yang lain, demokrasi radikal lebih menekankan pada suara mayoritas. Artinya suara

mayoritas menjadi penentu sebuah kebijakan atau keputusan pemerintah. Oleh karena itu,

demokrasi pada tipe ini juga disebut sebagai demokrasi yang melaksanakan keinginan

mayoritas. Ketika mayoritas rakyat atau masyarakat menghendaki sebuah hal, maka

pemerintahan yang sedang menjalankan roda kekuasaan tentu akan melaksanakan kehendak

tersebut.

24

Lihat Muhammad Faishal, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik,

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.11, No.1, 2007, hal.4. 25

Lihat Rogaiyah dan Alfitri, Demokrasi Indonesia: Mewujudkan Kesetaraan atau Melahirkan Kesenjangan,

Jurnal PPKn & Hukum, Vol.4, No.1, 2009, hal.1. Diakses melalui

http://eprints.unsri.ac.id/725/2/Demokrasi_Indo-

nesia%253BMewujudkan_Kesetaraan_atau_Melahirkan_Kesenjangan.pdf pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2014

pukul 17.25 WIB.

Page 16: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

16

Terakhir, demokrasi konsosiasional pada dasarnya merupakan bentuk demokrasi

dimana pemegang kekuasaan atau pemerintahan berasal dari kelompok-kelompok utama di

dalam sebuah struktur masyarakat. Tipe demokrasi ini pada dasarnya merujuk pada adanya

pemegang kekuasaan yang berasal dari kelompok utama di dalam masyarakat. Kelompok

utama tersebut bisa jadi merupakan kelompok mayoritas di dalam sebuah struktur

masyarakat. Dengan demikian, apabila ada pemegang kekuasaan yang tidak berasal dari

kelompok utama, maka akan bisa terjadi penolakan dari sebagian masyarakat yang ada di

sebuah negara. Oleh karena itu, konsepsi dari, oleh, dan untuk rakyat tersebut hanya berlaku

pada sebatas pada kelompok-kelompok utama di dalam masyarakat. Dengan demikian, pada

akhirnya pemegang kekuasaan yang dikehendaki oleh rakyat adalah mereka yang berasal dari

kelompok utama atau mayoritas dalam struktur masyarakat.

E.3 Tapak Politik Demokratis: Partisipasi, Kompetisi, dan Kebebasan Berekspresi

Berangkat dari berbagai tipe demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

sejatinya demokrasi bisa dilihat sebagai sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai

pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, kedaulatan berada di tangan rakyat dan berbagai hal

yang menyangkut tentang tata kelola pemerintahan secara otomatis juga harus melibatkan

rakyat. Demokrasi juga memungkinkan rakyat untuk bisa mengambil peran dalam proses

pembangunan sebuah bangsa dan negara. Bahkan, beberapa golongan dari rakyat tersebut

bisa menjadi pemegang jalannya roda pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif)

sehingga roda pemerintahan bisa dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat.

Merujuk pada tipe-tipe demokrasi yang telah disebutkan sebelumnya, maka

setidaknya ada 3 dimensi atau komponen utama dalam demokrasi politik. Ketiga komponen

tersebut adalah partisipasi, kompetisi, dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat.26

26

Lihat Eko Taranggono, Islam dan Demokrasi, Upaya Mencari Titik Temu, Jurnal Al-Afkar, Edisi VI, Tahun

ke-5, 2002, hal.2.

Page 17: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

17

Artinya ketiga komponen tersebut selalu ada di setiap tipe demokrasi yang telah dijelaskan

sebelumnya. Tanpa adanya ketiga komponen tersebut, maka akan sulit dikatakan bahwa

sistem yang sedang berjalan di sebuah tempat tersebut adalah demokratis. Dari ketiga

komponen tersebut, dapat dilihat secara jelas bahwa rakyat selalu menempatkan dirinya di

dalam ketiga dimensi tersebut. Artinya ketiga komponen tersebut akan bekerja secara

maksimal apabila rakyat secara aktif melibatkan diri dalam sebuah sistem politik tersebut.

Ketiga dimensi ini pada dasarnya digunakan oleh peneliti untuk menelusuri tapak

politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti nantinya akan

menggunakan ketiga jenis dimensi ini untuk melihat sisi kedemokratisan sultan melalui

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh dirinya. Hal ini nantinya juga akan memberikan

gambaran secara lebih mendalam terkait dengan kategorisasi kebijakan sultan, khususnya

dalam hal partisipasi politik, kompetisi, dan kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat.

Dengan demikian, kebijakan sultan berupa tapak politik tersebut nantinya dapat dilihat

sebagai strategi sultan untuk membuka dimensi-dimensi dalam demokrasi yang nantinya akan

dijelaskan lebih mendalam.

E.3.1 Dimensi Partisipasi

Partisipasi politik pada dasarnya menjadi salah satu elemen atau komponen penting

dalam demokrasi. Partisipasi politik dalam hal ini mendorong masyarakat untuk turut serta

secara aktif dalam pemilihan-pemilihan yang diselenggarakan untuk memilih anggota

eksekutif ataupun legislatif. Dengan kata lain, partisipasi politik masyarakat bisa diwujudkan

dengan memilih wakil-wakilnya secara bebas yang selanjutnya akan berperan dalam

menjalankan roda pemerintahan. Lebih dari itu, partisipasi politik tidak hanya berhenti pada

urusan memilih dan dipilih, tetapi juga terkait dengan hal lain yang lebih luas seperti ikut

menyelesaikan permasalahan publik, memberikan masukan kepada elit pemerintahan, dan

lain sebagainya. Dengan demikian, partisipasi politik mendorong masyarakat untuk terlibat

Page 18: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

18

secara aktif dalam proses pemerintahan untuk menuju ke arah cita-cita bangsa yang

diinginkan.

E.3.2 Dimensi Kompetisi

Kompetisi atau persaingan memungkinkan masyarakat untuk saling berebut posisi di

dalam pemerintahan berdasarkan konstitusi. Pada aspek tersebut, masyarakat secara

individual ataupun melalui partai politik bisa mendapatkan kekuasaan untuk menjalankan

roda pemerintahan dengan dukungan dari kalangannya sendiri (berasal dari rakyat).

Munculnya persaingan tersebut tentu dalam rangka asas keadilan dimana setiap orang berhak

untuk bersaing dalam rangka mendapatkan posisi tertentu di dalam pemerintahan. Selain itu,

kompetisi tersebut juga dilakukan dalam rangka pergantian kekuasaan secara rutin untuk

menghindari sistem politik yang sewenang-wenang dari pemimpin yang sedang berkuasa.

Lebih jauh lagi, kompetisi untuk merebut posisi di dalam pemerintahan tersebut juga

memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengimplementasikan idealismenya.

E.3.3 Dimensi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Adanya kebebasan untuk mengeluarkan dan mengekspresikan pendapat tanpa takut

oleh kekuatan manapun. Pada aspek yang ketiga ini, kebebasan menjadi salah satu poin

penting dalam demokrasi karena dengan adanya kebebasan tersebut, masyarakat bisa

melibatkan diri dalam berbagai kesempatan, termasuk di dalam kompetisi maupun partisipasi

politik. Bahkan, demokrasi pada dasarnya merupakan sebuah tatanan dimana kebebasan

masyarakat untuk berpendapat dilindungi dan diapresiasi oleh konstitusi. Kebebasan untuk

berpendapat tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari hakikat demokrasi yang menempatkan

rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. Oleh karena itu,

kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat menjadi salah satu komponen penting dalam

demokrasi.

Page 19: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

19

E.4 Lima Jalan Menafsirkan Tapak Politik Demokratis Sang Sultan

Untuk menguak makna lain di balik tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB

IX, maka peneliti menggunakan teknik penafsiran. Dalam kamus besar bahasa Indonesia

(KBBI), menafsirkan berarti mengartikan, memberi makna, atau menjabarkan. Lebih jauh

lagi, peneliti menggunakan tradisi semiotik dengan tujuan untuk mengetahui makna-makna

yang terkandung di dalam sebuah tanda sehingga diketahui bagaimana komunikator

mengonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak dapat dilepaskan dari perspektif atau nilai-

nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat

dimana simbol tersebut diciptakan.27

Semiotik pada dasarnya juga mempelajari tentang

sistem, aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki

sebuah arti atau makna.28

Berangkat dari hal tersebut, maka penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh

subjektivitas peneliti yang memaknai sesuatu dari perspektif tertentu yaitu politik. Dengan

menggunakan perspektif politik, maka peneliti mencoba untuk mengartikan dan memberi

makna atas berbagai tindakan politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX. Penafsiran

tersebut juga tidak semata-mata dilakukan secara tunggal, tetapi peneliti juga melihat faktor-

faktor lain yang mendukung argument peneliti untuk menafsirkan tapak politik yang

dilakukan oleh Sri Sultan HB IX sehingga menjadi penting untuk juga mengetahui konteks

lingkungan, baik secara regional maupun global ketika Sri Sultan HB IX masih hidup.

Dengan demikian, pemberian makna yang dilakukan oleh peneliti bisa dirangkai menjadi

sebuah hubungan sebab akibat berdasarkan tapak politik yang dilakukan oleh sultan.

27

Selengkapnya lihat artikel Arif Budi Prasetya, Semiotik: Simbol, Tanda, dan Konstruksi Makna, 2014,

diakses melalui http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2014/03/semiotik-simbol-tanda-dan-konstruksi-makna/ pada hari

Senin tanggal 12 Oktober 2015 pukul 20.46 WIB. 28

Lihat Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2007, hal.261.

Page 20: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

20

Dalam rangka menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX, maka peneliti

membahas nilai-nilai demokrasi secara substansial. Adapun nilai-nilai substansial tersebut

yaitu adanya kebebasan atau hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, budaya menghormati

kebebasan orang lain, adanya pluralisme, toleransi dan anti intimidasi (kekerasan).29

Meskipun demikian, peneliti juga tidak menutup mata untuk melihat aspek prosedural yaitu

terkait dengan pergantian kekuasaan atau pemilihan umum karena hal tersebut menjadi poin

menarik tersendiri untuk menafsirkan tapak politik demokrasi sultan. Selanjutnya, peneliti

menggunakan teori nilai-nilai demokrasi dari Henry B.Mayo karena sesuai dengan

perkembangan pengetahuan tentang demokrasi substansial. Berdasarkan pandangannya,

maka setidaknya ada lima hal yang menjadi nilai penting dari demokrasi yaitu menyelesaikan

masalah dengan damai dan melembaga serta menggunakan paksaan sedikit mungkin,

menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah,

pergantian penguasa dengan teratur dan damai melalui pemilu yang kompetitif, menjunjung

tinggi nilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik.30

E.4.1 Adanya Penyelesaian Masalah Secara Damai

Demokrasi pada dasarnya masih dianggap sebagai satu-satunya sistem yang membuka

ruang bagi siapapun untuk mengekspresikan sesuatu dalam hal politik seperti pertikaian

dalam kepentingan maupun pendapat. Meskipun demikian, demokrasi juga menjadi sarana

untuk membuka ruang penyelesaian masalah secara lebih damai. Dengan kata lain, demokrasi

dapat mengatur penyelesaian masalah secara damai (melalui kompromi) yang melembaga

melalui perundingan politik. Lebih jauh lagi, demokrasi menawarkan penyelesaian masalah

yang jauh dari kekerasan. Apabila dikaitkan dengan tindakan politik seseorang, maka poin ini

merujuk pada seberapa jauh orang tersebut mampu menjadi aktor yang bisa menyelesaikan

29

Lihat Achmad Riyanto, Konsep Demokrasi di Indonesia Dalam Pemikiran Akbar Tandjung dan A.Muhaimin

Iskandar, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hal.19. 30

Lihat Misbahul Huda, op.cit., hal.22-23.

Page 21: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

21

permasalahan secara damai. Sebagai contoh, tokoh tersebut mampu membuka ruang dialog

untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul.

E.4.2 Menjamin Terjadinya Perubahan Secara Damai dalam Suatu Masyarakat yang

Selalu Berubah

Hal tersebut mengandung maksud bahwa demokrasi telah menjadi sarana yang ampuh

untuk menjamin kestabilan sosial dan politik masyarakat ketika kondisinya selalu berubah.

Artinya proses perubahan tersebut kemudian tidak dipaksakan begitu saja kepada masyarakat,

tetapi dilakukan secara lebih halus mengingat masyarakat tidak akan terhindar dari sebuah

perubahan ke arah yang lebih modern. Pada konteks kepemimpinan seseorang, maka bisa

dikaitkan dengan seberapa efektifkah pemimpin tersebut mampu menjadi tokoh yang bisa

melakukan pembaharuan tanpa menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat yang

dipimpinnya. Selain itu, tokoh tersebut juga menjamin adanya kestabilan sosial di dalam

masyarakat yang dipimpinnya, meskipun pemimpin tersebut mengeluarkan berbagai

kebijakan yang bisa jadi tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, kewibawaan

dan kharisma menjadi faktor yang cukup mempengaruhi.

E.4.3 Adanya Pergantian Penguasa Secara Teratur Melalui Pemilihan Umum

Pergantian penguasa secara teratur sejatinya sejalan dengan esensi demokrasi bahwa

penguasa hendaknya dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui pemilu. Adanya

pergantian secara teratur tersebut secara tidak langsung telah menjauhkan masyarakat dari

sistem politik yang diktator dan otoriter. Lebih jauh lagi, masyarakat sebagai pemegang

kedaulatan juga bisa berpartisipasi secara aktif untuk mempraktikan hak dipilih dan memilih

sebagai warga negara. Nilai ini adalah salah satu esensi dari demokrasi prosedural yang

sebenarnya mudah untuk menjadi tolak ukur kedemokratisan sebuah sistem. Apabila

dikaitkan dengan sikap seorang penguasa, maka penguasa yang baik dan dianggap

demokratis adalah dia yang mampu membuat sebuah sistem mapan untuk menjamin

Page 22: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

22

berjalannya pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut secara tidak langsung juga

telah melibatkan rakyat dalam kegiatan politik.

E.4.4 Menjunjung Nilai Keanekaragaman

Menjunjung nilai keanekaragaman berarti melihat keanekaragaman tidak hanya

sebagai sesuatu yang diakui dan sah, tetapi juga melihat hal tersebut sebagai sebuah

kebebasan. Oleh karena itu, dengan adanya demokrasi, masyarakat diharapkan dapat

membuka pandangannya bahwa tidak ada satupun nilai yang dapat ditarik pada batas yang

mutlak. Artinya masyarakat harus berpikir bahwa mereka tidak seharusnya memaksakan

kehendaknya berdasarkan sebuah golongan tertentu yang mayoritas atau besar karena

demokrasi pun menghendaki adanya keanekaragaman yang selalu dijaga. Dalam konteks

kepemimpinan, pemimpin yang demokratis adalah dia yang mampu menjaga

keanekaragaman dimana pemimpin tersebut mampu menjamin sebuah harmonisasi di tengah

keberagaman yang ada di masyarakat. Terlebih lagi, pemimpin bisa dikatakan demokratis

apabila dirinya mampu mengalahkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum.

E.4.5 Menegakkan Keadilan Sebagai Inti Moralitas Politik

Demokrasi pada dasarnya menghendaki suasana kompetitif dalam hal pergantian

kekuasaan dengan cara yang adil. Adapun penyelesaian dari berbagai pertikaian yang

nantinya akan terjadi juga telah ditawarkan dengan cara-cara yang damai sesuai dengan

kehendak bersama (perundingan politik). Dengan adanya prinsip kompetisi dan partisipasi

dari masyarakat, maka nilai keadilan akan tumbuh secara otomatis sehingga penghargaan

terhadap keadilan bisa dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua pihak yang menjadi bagian

dari hal tersebut. Apabila dikaitkan dengan konteks kepemimpinan seseorang, maka

pemimpin yang demokratis juga harus mampu menempatkan keadilan sebagai prinsip yang

harus dipegang selama memimpin. Keadilan tersebut mengandung makna bahwa pemimpin

Page 23: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

23

harus mampu menjadi tokoh penengah yang adil di tengah masyarakat yang selalu berubah-

ubah.

Berbagai tipe dan dimensi demokrasi yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya

akhirnya mengantarkan peneliti pada bagian kristalisasi dimana ada nilai-nilai demokrasi di

setiap tipe demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya. Bahkan, dimensi-dimensi

demokrasi juga secara tidak langsung telah terkandung ke dalam lima nilai demokrasi yang

dikemukakan oleh Henry B.Mayo. Kelima nilai demokrasi tersebut selanjutnya akan

digunakan oleh peneliti sebagai batasan kerangka teori yang digunakan untuk menafsirkan

tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa

nilai-nilai demokrasi yang dipaparkan oleh Henry B.Mayo digunakan untuk melihat

demokratis atau tidaknya sebuah negara atau bangsa. Di sisi lain, nilai-nilai demokratis

tersebut akan digunakan oleh peneliti untuk menafsirkan tapak politik demokratis seseorang

yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui berbagai kebijakan atau tindakan yang

dilakukannya selama masa hidupnya.

F. Menelisik Misteri Dibalik Romantisme Sang Sultan

F.1 Bertindak Demokratis: Sebuah Tuntutan atau Kebutuhan?

Untuk menelisik sisi lain dari sosok Sri Sultan HB IX, maka aspek pertama yang akan

dibahas di dalam penelitian ini yaitu terkait dengan tindakan atau sikap Sri Sultan Hamengku

Buwono IX. Dengan kata lain, hal tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sosial-

historis Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang terdiri dari faktor kognisi, interaksi, dan

kebutuhan untuk aksi. Ketiga faktor tersebut selanjutnya menjadi salah satu aspek penting

untuk melihat pengalaman menarik dari kisah hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Oleh

karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan politik sultan tersebut akan dipaparkan

Page 24: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

24

di dalam bab II tersebut ditulis dalam bentuk perjalanan hidup sultan dari masa-masa

kelahirannya hingga sultan tutup usia.

Pada bagian ini, alur pola pikir yang dibangun dimulai dengan memaparkan sejarah

singkat perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beberapa pengalaman menarik

yang dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yaitu masa kecilnya yang dititipkan ke

keluarga Belanda, menuntut ilmu hingga ke Belanda, pidato penobatan sultan yang terkenal,

hingga peran sultan di era kolonialisme dan kemerdekaan. Pada era itulah sebenarnya

gagasan dan kebutuhan untuk aksi Sri Sultan HB IX mulai terbentuk, khususnya di era

kolonialisme. Proses terbentuknya gagasan tersebut tentu dipengaruhi oleh pendidikan yang

didapatkannya secara formal maupun informal, interaksinya dengan tokoh nasional dan orang

Belanda, serta rencana dirinya untuk melakukan pembaharuan di Yogyakarta.

Dari perjalanan panjang Sri Sultan HB IX, peneliti mengindikasikan adanya

kepentingan khusus yang dibawa oleh sang sultan. Di tengah adanya arus demokratisasi,

kekuasaan tradisional yang dimiliki oleh sultan (sistem monarki) secara tidak langsung

terdesak oleh gagasan modern (demokrasi). Berbekal dengan pengetahuannya tentang sistem

demokrasi dan kekuasaan yang dimilikinya, sultan tidak kehilangan ide untuk merancang

sebuah siasat supaya kekuasaan tradisional yang dimilikinya tidak hilang ditelan oleh zaman.

Sebelum dinobatkan menjadi seorang raja, sultan telah merancang sebuah kebijakan

demokratis yang nantinya akan diterapkan di wilayah kekuasaannya yaitu Yogyakarta. Tidak

hanya itu, sultan juga berencana untuk menjadikan dirinya sebagai tokoh demokratis untuk

menutupi kekuasaan tradisional yang dimilikinya. Berangkat dari tersebut, maka muncul

pertanyaan apakah rencana sultan tersebut sebuah tuntutan ataukah kebutuhan.

F.2 Tiga Tapak Politik Sang Sultan

Ketika gagasan politik seseorang mulai terbentuk dan terinternalisasi, maka salah satu

aspek penting yang harus dipaparkan untuk menafsirkan tapak politik seseorang adalah

Page 25: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

25

tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh tokoh yang bersangkutan. Bahkan, ketika

tokoh tersebut memiliki posisi politik yang vital dalam struktur pemerintahan, maka setiap

kebijakan yang dikeluarkan akan lebih mudah untuk dilacak. Untuk menafsirkan tapak politik

demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka ada 3 hal penting yang digunakan oleh

peneliti untuk menata alur pola pikir yaitu dimensi partisipasi, kompetisi, dan kebebasan

untuk berekspresi. Digunakannya ketiga dimensi demokrasi tersebut untuk mempermudah

peneliti menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui

berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkannya. Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut akan

dibedakan berdasarkan kapasitas Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja,

kepala daerah, dan pemegang jabatan lainnya. Beberapa poin tersebut nantinya akan

dipaparkan pada bagian bab III.

F.2.1 Tapak Pertama: Sri Sultan HB IX Mendemokratisasikan Keraton

Pada bagian ini, peneliti memaparkan berbagai kebijakan atau tapak demokratis yang

dilakukan oleh sultan dalam kapasitasnya sebagai seorang raja. Tapak politik pertama ini

nantinya menjadi pintu masuk penting untuk melihat sisi demokratis dari kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan sultan di dalam lingkup kerajaannya. Kebijakan yang dibuat sultan dalam

ranah keraton ini menjadi penting karena keraton adalah lingkungan pertama dan asli Sri

Sultan HB IX dimana sultan berasal. Beberapa perubahan dilakukan sultan untuk

mengarahkan pemerintahan keraton menuju ke arah pemerintahan yang lebih demokratis.

Oleh karena itu, tapak politik yang dilakukan sultan pada pintu pertama ini lebih mendorong

kesadaran lingkungan keraton untuk mulai terbuka terhadap ide-ide demokrasi ala Barat yang

dibawa oleh sultan sepulangnya dari Belanda.

Keluar dari romantisme dari sosok Sri Sultan HB IX sendiri, demokratisasi yang

dilakukan sultan di dalam lingkungan keraton pada dasarnya tidak hanya untuk kepentingan

masyarakat dan keluarga besar keraton, tetapi lebih menjadi siasat sultan untuk mengubah

Page 26: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

26

mindset lingkungan dalam keraton bahwa demokrasi menjadi ide yang harus dilaksanakan.

Pekerjaan sultan untuk melakukan demokratisasi di dalam keraton pada dasarnya tidak

mengalami kendala yang berarti mengingat sultan masih menjadi sosok yang berkharisma

dan berwibawa di dalam keraton dimana adat istiadat menjadi kunci utamanya. Dengan kata

lain, keluarga besar keraton (termasuk abdi dalem) akan senantiasa tunduk dan patuh

terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh sultan yang sedang bertahta sehingga hal

tersebut memudahkan Sri Sultan HB IX melakukan pembaharuan untuk melaksanakan misi

yang diusungnya.

F.2.2 Tapak Kedua: Sultan Membangun Citra Demokratis di Daerah

Setelah sultan menyelesaikan misinya untuk melakukan demokratisasi di lingkaran

pertama, maka lingkungan selanjutnya yang perlu untuk didemokratiskan adalah lingkup

daerah yaitu Yogyakarta. Hal ini dilakukan sultan ketika Yogyakarta telah dinyatakan oleh

sultan dan pakualam sebagai bagian dari Republik Indonesia. Dengan bergabungnya

Yogyakarta sebagai bagian dari republik, maka konsekuensinya adalah adanya jabatan politik

yang melekat di sebuah daerah yaitu gubernur atau kepala daerah yang sebenarnya juga

berlaku untuk daerah-daerah lainnya. Untuk tetap menjadi penguasa secara politik di

wilayahnya, Sri Sultan HB IX secara cerdas telah mengeluarkan amanat yang isinya

menjelaskan bahwa sultan dan pakualam akan menjadi pemimpin Yogyakarta dan

bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pernyataan itulah yang sampai sekarang masih

dijadikan landasan dalam pola pemerintahan di Yogyakarta.

Selanjutnya, misi sultan untuk melakukan demokratisasi di lingkup daerah tidak dapat

dilepaskan dari posisi Yogyakarta yang menjadi bagian dari republik. Selain itu, sultan juga

perlu menciptakan kesadaran masyarakat secara luas bahwa demokrasi adalah ide baru yang

harus diimplementasikan di wilayah Yogyakarta yang sebenarnya masih menganut sistem

monarki. Bahkan, misi sultan tersebut tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa

Page 27: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

27

Yogyakarta sebagai daerah monarki justru mampu menjadi pionir bagi pelaksanaan

demokrasi di Indonesia, termasuk keberhasilan sultan membuat citra Yogyakarta sebagai

daerah paling demokratis pertama di Indonesia. Hal tersebut tentu membuat posisi sultan

sendiri aman dari tekanan-tekanan masyarakat yang menolak adanya sultan atau sistem

monarki. Pada aspek yang lain, Yogyakarta justru mendapatkan status istimewa yang

sebenarnya juga membuat posisi keraton Yogyakarta dalam posisi yang telah terjaga.

F.2.3 Tapak Ketiga: Sultan Menjadi Politisi yang Demokratis di Kancah Nasional

Sosok Sri Sultan HB IX pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah nasional

bangsa Indonesia. Perannya untuk mengabdikan diri membangun bangsa juga tidak perlu

diragukan lagi oleh masyarakat. Bahkan sultan dianggap sebagai sosok negarawan yang

sejati. Pada aspek yang lain, hadirnya sultan ke panggung politik nasional pada dasarnya

tidak dapat dilepaskan dari kepentingan yang sebenarnya melekat pada sang sultan. Bahkan

Monfries melihat sosok sultan sebagai sosok yang sering berperilaku layaknya politisi gaya

Barat. Karir politik sultan yang mulus ke kancah nasional pada awalnya tidak dapat

dilepaskan dari keputusan dirinya yang menawarkan Yogyakarta kepada pemimpin republik

sebagai ibukota sementara. Semenjak itu, sultan dilihat sosok yang memiliki peran besar bagi

keberlangsungan republik.

Secara politis, keputusan sultan tersebut tentu membawa dampak pada citra sultan

yang melambung tinggi ke ranah politik nasional. Selain dipercaya menjadi menteri, sultan

juga pernah menjadi orang nomor dua di republik. Hal tersebut sebenarnya membawa

keuntungan sendiri bagi pembangunan citra sultan sebagai sosok yang demokratis. Meskipun

sultan dikenal sebagai keturunan feodal, kiprah sultan di kancah nasional membuat citra

sultan menjadi positif dan demokratis. Hal tersebut tentu melanggengkan kekuasaan sultan

yang tidak lain merupakan seorang raja di keratonnya. Keberhasilan sultan untuk masuk ke

lingkaran ketiga (ranah nasional) telah memuluskan misi sultan untuk membangun citra yang

Page 28: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

28

demokratis secara luas sehingga hal tersebut menguatkan posisi kekuasaannya pada titik yang

cukup aman.

F.3 Merangkai Siasat Politik Sang Sultan Melalui Nilai-Nilai Demokrasi

Berdasarkan kebijakan atau tindakan aksi yang telah dilakukan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono IX, maka peneliti dapat menafsirkan tapak politik sultan tentang

demokrasi berdasarkan latar balakang yang mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh

sultan. Berbagai latar belakang tersebut pada dasarnya juga tidak dapat dilepaskan dari

prinsip dan karakter hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sejatinya terbentuk selama

perjalanan hidupnya. Prinsip hidup itulah yang kemudian menjadi tafsiran tapak politik Sri

Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Adapun tafsiran tapak politik demokrasi

Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut dapat dilacak dengan menggunakan nilai-nilai

demokrasi yang dikemukakan oleh Henry B.Mayo yang terdiri dari lima poin.

Kelima poin nilai-nilai yang mencerminkan sikap demokratis seseorang tersebut yaitu

menyelesaikan permasalahan secara damai, menjamin perubahan secara damai di dalam

masyarakat yang selalu berubah, adanya pergantian kekuasaan secara teratur, mengakui nilai-

nilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik. Dari kelima

hal tersebut, maka selanjutnya dapat ditarik beberapa tafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX

tentang demokrasi yang sejatinya merupakan sikap dan pendirian sultan. Dengan demikian,

maka selanjutnya peneliti dapat mengerucutkan hal tersebut menjadi satu konsep

kepemimpinan demokratis khas Sri Sultan HB IX yang tidak lain digunakan untuk sultan

untuk mempertahankan kekuasaannya di arus demokratisasi global.

Adapun hasil penafsiran yang dilakukan oleh peneliti pada dasarnya merupakan

penjabaran dari berbagai tapak politik yang telah dilakukan oleh sultan sebagai siasat sultan

dalam menjalankan misinya. Misi yang dimaksud adalah misi sultan untuk melanggengkan

kekuasaan yang dimilikinya dengan bertindak sedemokratis mungkin supaya citra yang

Page 29: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

29

terbangun tidak bertentangan dengan ide-ide Barat yang sedang berkembang (demokrasi).

Digunakannya nilai-nilai demokrasi dari Henry B.Mayo sejatinya mempermudah peneliti

untuk melihat sisi kedemokratisan sultan sendiri. Selain itu, setiap nilai demokrasi yang

dijelaskan oleh Mayo, peneliti kemudian menjabarkannya kembali ke dalam beberapa poin-

poin penting yang sejatinya bisa dimaknai sebagai prinsip atau karakter dari sultan.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif

karena metode ini dinilai cocok untuk mengintepretasi data yang ada. Lebih jauh lagi, metode

penelitian kualitatif dapat mempermudah peneliti untuk memahami alur peristiwa secara

kronologis (sebab-akibat) dan memperkuat sejumlah penjelasan yang bermanfaat.31

Hal

tersebut tentu tidak bisa dilepaskan mengingat objek yang diteliti adalah gagasan seorang

individu. Peneliti juga memiliki kepentingan untuk merangkai alur peristiwa atau perjalanan

hidup seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memahami setiap kejadian yang

dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari sisi sebab dan akibat. Setiap kebijakan

atau keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor

penyebab yang mempengaruhi keputusannya tersebut. Di sisi lain, peneliti juga

berkepentingan untuk memperkuat alur tersebut dengan berbagai data primer maupun

sekunder yang nantinya akan didapatkan oleh peneliti melalui metode kualitatif.

Selain itu, metode kualitatif juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari objek penelitian yang diteliti oleh

peneliti.32

Untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang

demokrasi, data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan menjadi sesuatu yang cukup

penting dan vital, meskipun data lisan tersebut tidak bisa didapatkan langsung dari objek

31

Lihat Matthew B Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta,

1992, hal.2. 32

Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008,

hal.4.

Page 30: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

30

yang diteliti karena objek yang diteliti (seseorang) sudah tidak ada. Oleh karena itu, dengan

menggunakan metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk melacak data-data tertulis,

baik dari tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri ataupun data-data tertulis lain yang

menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selain itu, metode tersebut

juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data lisan dari kerabat atau rekan-rekan Sri

Sultan Hamengku Buwono IX semasa hidupnya sehingga data yang didapatkan juga valid

berdasarkan pengalaman nyata.

Berangkat dari hal tersebut, maka metode penelitian kualitatif sesuai dengan

kebutuhan analisis peneliti untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX

tentang demokrasi. Hal tersebut pada dasarnya juga tidak bisa dilepaskan dari peran metode

kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik,

termasuk dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks

khusus yang alamiah.33

Dengan menggunakan metode tersebut, maka peneliti diharapkan bisa

menemukan data-data menarik terkait dengan perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan dari

objek yang diteliti. Menariknya, objek yang diteliti adalah seorang individu yang diharapkan

memiliki kefokusan penelitian yang lebih baik dibandingkan penelitian yang dilakukan untuk

melihat perilaku sebuah kelompok masyarakat.

Secara lebih spesifik, peneliti menggunakan metode penelitian atau pendekatan

biografi. Metode biografi secara umum digambarkan sebagai sebuah metode penelitian yang

digunakan untuk menuliskan cerita hidup seseorang atau individu secara ilmiah dan bisa

dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lebih tepatnya lagi, metode penelitian biografi adalah

studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan

33

Ibid., hal.6.

Page 31: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

31

dokumen dan arsip.34

Leon Edel juga menyatakan bahwa menulis biografi berarti menuliskan

cerita kehidupan seseorang.35

Metode ini secara luas juga bertujuan untuk mengungkap

epipani atau pengalaman menarik yang mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang.

Metode tersebut tentu sesuai dengan kebutuhan peneliti dimana peneliti mencoba

mengungkap pengalaman menarik seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk

menafsirkan tapak politik demokrasi. Selain itu, metode biografi tersebut juga

memungkinkan peneliti untuk melihat peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono IX yang pada akhirnya dapat mempengaruhi gagasan sultan.

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam menulis penelitian dengan

menggunakan metode biografi adalah independensi peneliti. Dengan menggunakan metode

tersebut, peneliti memiliki kecenderungan untuk tidak bersikap netral. Artinya peneliti atau

peneliti juga tanpa sadar telah memuja seseorang atau kelompok yang ditulis. Hal tersebut

secara tidak langsung menggambarkan bahwa sosok yang diteliti dilihat sebagai sosok yang

tanpa cela sehingga tidak ada sisi „negatif‟ yang bisa ditemukan oleh peneliti. Kecenderungan

tersebut tentu pada dasarnya harus dihindari oleh peneliti sebagai peneliti yang netral

sehingga independensinya bisa dipertanggungjawabkan. Dengan menghasilkan sebuah karya

dalam bentuk naratif nantinya, peneliti pada dasarnya diharapkan mampu menjaga

kenetralannya dalam menuliskan biografi seseorang yang ditelitinya.

Tidak hanya berguna untuk menemukan epipani semata, metode atau pendekatan

biografi juga berguna untuk memberi paparan tentang tahap-tahap perkembangan individu

atau masyarakat (secara mikro) dengan segala refleksinya.36

Hal tersebut juga sesuai dengan

34

Lihat Pupu Saeful Rahmat, Penelitian Kualitatif, Jurnal Equilibrium, Vol.5, No.9, 2009, hal.6. Diakses

melalui http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf pada hari Selasa tanggal 13

Januari 2015 pukul 11.18 WIB. 35

Lihat Norman K.Denzin & Yvonna S.Lincoln dalam Yema Siska Purba, Pemikiran Nasionalisme Amir

Syarifuddin: Studi tentang Pemikiran dalam Konteks Revolusi Indonesia, Skripsi, Yogyakarta, 2013, hal.26. 36

Lihat Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006, hal.238.

Page 32: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

32

karakteristik penelitian biografi yang membutuhkan pengeksplorasian.37

Informasi yang

nantinya didapatkan oleh peneliti nantinya juga dapat diklasifikasikan dan disistematisasikan

dalam rangka mendapatkan kejelasan substansi. Mengacu pada hal tersebut, maka menjadi

penting bagi peneliti untuk melihat perkembangan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX

sejak masa anak-anak hingga akhirnya memiliki jabatan terakhir sebagai Wakil Presiden

Republik Indonesia pada tahun 1973-1978. Bahkan, sepanjang perjalanan hidupnya, Sri

Sultan Hamengku Buwono IX tentu memiliki banyak pengalaman menarik yang bisa

digunakan sebagai data analisis untuk menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan

oleh sultan.

H. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data kualitatif yang utama adalah kata-

kata, tindakan, dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, sumber data tertulis,

foto, dan statistik.38

Mengingat objek yang diteliti (Sri Sultan Hamengku Buwono IX) telah

meninggal, maka peneliti menggunakan studi literatur atau dokumen dan wawancara sebagai

teknik pengumpulan data utama. Studi dokumen dalam hal ini juga bisa disebut dengan

kajian pustaka dimana peneliti mencoba untuk melakukan teknik pengumpulan data dengan

mengumpulkan berbagai literatur yang membahas tentang kehidupan Sri Sultan Hamengku

Buwono IX. Di sisi lain, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui

wawancara guna mendapatkan data yang relevan dengan berbagai aktor yang memiliki

pengalaman hidup dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak hanya terbatas dalam hal

itu, peneliti juga bisa melakukan wawancara dengan aktor-aktor yang mengetahui peran Sri

Sultan Hamengku Buwono IX selama hidupnya.

37

Lihat Jhon W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, Sage

Publication Inc, London, 1998, hal.65. 38

Lihat Lexy Moleong, op.cit., hal.157.

Page 33: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

33

Studi pustaka dilakukan peneliti tidak hanya dalam rangka untuk dicatat dan ditulis

kembali, tetapi untuk selanjutnya dianalisis berdasarkan kebutuhan peneliti. Dengan kata lain,

data-data yang didapatkan oleh peneliti nantinya akan disesuaikan dengan teori dan tema

yang diangkat oleh peneliti yaitu terkait dengan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono

IX tentang demokrasi. Segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh beliau semasa

hidupnya tentu akan dianalisis oleh peneliti, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi

tindakannya tersebut sehingga peneliti dapat menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku

Buwono IX tentang demokrasi. Oleh karena itu, tindakan yang lebih diprioritaskan oleh

peneliti untuk dianalisis adalah segala tindakan beliau yang dilihat sebagai kebijakan yang

demokratis. Di sisi lain, dokumen juga berfungsi sebagai alat pengumpul data utama karena

pembuktiannya bisa dilakukan melalui pendapat, teori, dan hukum yang diterima.39

Untuk memperoleh data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan, peneliti akan

melakukan pengumpulan data dengan cara menganalisis cerita hidup dari Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dari buku-buku yang telah menjelaskan kehidupan beliau. Ada dua

buku utama yang digunakan peneliti untuk menelusuri latar belakang kehidupan Sri Sultan

Hamengku Buwono IX yaitu sebuah buku yang disunting oleh Atmakusumah dengan judul

Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX dan tulisan yang

disunting oleh Julius Pour dan Nur Adji yang berjudul Sepanjang Hayat Bersama Rakyat:

100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak hanya itu, sebagai tambahan untuk melihat

karakteristik kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, peneliti juga menggunakan

buku yang disunting oleh Parni Hadi dan Nasyith Majidi dengan judul Sultan Hamengku

Buwono IX: Inspiring Prophetic Leader. Ketiga buku tersebut nantinya akan menjadi buku

acuan untuk menulis cerita kehidupan atau latar belakang Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

39

Lihat Hadari Nanawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007,

hal.141.

Page 34: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

34

Selanjutnya, peneliti juga akan mengumpulkan data dari buku-buku sekunder yang

menceritakan penggalan-penggalan kisah kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari

berbagai sisi. Artinya sudah banyak tulisan peneliti atau peneliti yang mencoba untuk

menguak peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam berbagai situasi seperti buku yang

berjudul Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik karya Haryadi Baskoro dan Sudomo

Sunaryo, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974

karya Suwarno, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah

Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan DIY karya Heru Wahyukismoyo,

dan lain sebagainya. Buku-buku tersebut tentu kemudian akan menjadi bahan analisis peneliti

untuk mengungkap pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berkaitan dengan

demokrasi. Studi literatur tidak hanya dilakukan oleh peneliti melalui buku, tetapi juga

melalui surat kabar, media online, dokumen Keraton Yogyakarta, tulisan Sri Sultan

Hamengku Buwono IX, dan dokumen lain yang menjelaskan kehidupan sultan.

Peneliti nantinya juga akan menggunakan teknik pengumpulan data melalui

wawancara, meskipun objek yang diteliti telah lama meninggal dunia. Adapun wawancara

tersebut nantinya dilakukan kepada orang-orang yang memiliki pengalaman khusus dengan

Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk kerabat Keraton Yogyakarta. Hal tersebut

menjadi penting untuk dilakukan sebagai proses untuk mengonfirmasi data-data yang telah

didapatkan oleh peneliti dalam proses studi literatur. Bahkan peneliti bisa mendapatkan data-

data tambahan yang sebelumnya belum direkam dalam bentuk tulisan di beberapa literatur

yang menceritakan kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Lebih jauh lagi, wawancara

juga memiliki kelebihan sendiri yaitu aktor yang diwawancari bisa menceritakan berbagai

dampak dari kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX

dalam kerangka kebijakan yang demokratis.

Page 35: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

35

I. Teknik Analisis Data

Dalam teknik analisa kualitatif, peneliti tidak mencari kebenaran, tetapi lebih untuk

mencari pemahaman. Menurut Bogdan dan Biklen (1982), analisa data kualitatif dilakukan

dengan mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting, dan

memutuskan bagian mana yang bisa diceritakan kepada orang lain.40

Teknik analisis data

pada dasarnya menjadi penting untuk mengetahui data-data yang digunakan sesuai dengan

kebutuhan penelitian. Apabila dikaitkan dengan pendekatan biografi, maka urutan analisis

data menjadi sesuatu yang patut untuk diperhatikan mengingat menulis biografi sama dengan

menulis cerita kehidupan seseorang secara runtut dan tepat. Bahkan peneliti dituntut untuk

menemukan pengalaman menarik dari seseorang yang ditelitinya. Oleh karena itu, setidaknya

ada tiga tahapan analisa yang bisa dilakukan oleh peneliti.

Pertama, data primer yang didapatkan dari studi literatur akan diringkas untuk

mengurutkan peristiwa atau jalan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan kata lain,

peneliti akan meringkas bagian-bagian terpenting dari kehidupan Sri Sultan Hamengku

Buwono IX mulai dari masa kecilnya hingga sebelum meninggal pada tahun 1988. Tidak

hanya itu, peneliti juga akan mencatat setiap kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh

beliau, khususnya ketika beliau menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta yang identik

sebagai pemimpin atau penguasa. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan juga

bahwa peneliti akan menelisik kebijakan-kebijakan lainnya yang masih berhubungan dengan

asas demokrasi yang dijunjung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Kedua, data yang telah didapatkan diringkas tadi kemudian dikategorisasikan

berdasarkan kebutuhan peneliti. Sebagai contohnya, peneliti akan mengategorisasikan

berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan atau

40

Lihat selengkapnya Lexy Moleong, op.cit., hal.248.

Page 36: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

36

tindakan beliau selama menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta. Pengategorisasian

tersebut pada dasarnya akan mempermudah peneliti untuk menafsirkan tapak politik Sri

Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi karena data-data yang didapatkan tersebut

selanjutnya akan dihubungkan dengan berbagai teori yang digunakan oleh peneliti,

khususnya teori demokrasi. Pencocokan antara data dan teori tentu akan lebih mudah apabila

sebelumnya peneliti telah mengetahui nilai-nilai demokrasi yang dilihat untuk menafsirkan

tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut.

Ketiga, setelah mengategorisasikan data dan dihubungkan dengan teori-teori yang

sudah ada, peneliti kemudian akan mendapatkan gambaran terkait tapak politik Sri Sultan

Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu

melakukan rekonstruksi kehidupan dari data-data yang telah didapatkan dan

dikategorisasikan. Selain itu, peneliti juga akan melihat faktor-faktor yang membentuk proses

kehidupan beliau. Selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menafsirkan tapak politik Sri Sultan

Hamengku Buwono IX terkait demokrasi dan mencoba untuk mengaitkan benang merah

tersebut dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Lebih jauh lagi, peneliti juga diharapkan

bisa mendapatkan makna lain dibalik tafsiran tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono IX sendiri.

J. Sistematika Bab

Untuk mempermudah memahami tulisan ini, maka peneliti akan membagi tulisan ini

menjadi beberapa bab utama. Hal ini dilakukan untuk memperjelas hasil penelitian yang

dilakukan oleh peneliti. Pada bab kedua, peneliti akan memaparkan riwayat hidup Sri Sultan

Hamengku Buwono IX, mulai dari beliau lahir hingga meninggal. Pemaparan tentang riwayat

hidup tersebut menjadi penting untuk dilakukan mengingat Sri Sultan Hamengku Buwono IX

yang hidup di pra dan pasca kemerdekaan memiliki peran yang cukup penting untuk

pembangunan nasional. Oleh karena itu, pada bab ini, peneliti akan memaparkan perjalanan

Page 37: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

37

hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mulai dari menjadi putra mahkota, menjadi Raja

Keraton Yogyakarta, menteri di era Orde Baru, hingga menjadi wakil presiden pada tahun

1973-1978. Bab dua tersebut juga akan membantu peneliti untuk menemukan realitas sosial

dan historis Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang nantinya dapat mempengaruhi gagasan

beliau.

Pada bab tiga, peneliti akan memaparkan secara lebih rinci terkait dengan kebijakan,

keputusan, atau tindakan penting yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX

semasa menjabat sebagai Raja di Keraton Yogyakarta Hadiningrat, kepala daerah, dan

politisi. Beberapa momen penting yang bisa dilihat salah satunya ketika Sri Sultan Hamengku

Buwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai Ibukota Republik pada tahun 1946 ketika

Jakarta dalam keadaan darurat. Dengan tangan terbuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX

menyambut para pemimpin nasional yang berbondong-bondong datang ke Yogyakarta. Tentu

keputusan tersebut bukanlah keputusan yang mudah mengingat keputusan tersebut sangat

penting bagi keberlanjutan sistem politik di Indonesia. Sisi demokratis sultan setidaknya bisa

dilihat dari kebersediaan dirinya sebagai penguasa Yogyakarta untuk menjadikan Yogyakarta

sebagai benteng terakhir perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada bab keempat, peneliti akan memaparkan benang merah dari segala keputusan

atau tindakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selama menjabat

sebagai Raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat, kepala daerah, dan politisi. Benang merah

tersebut didapatkan dari hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti, khususnya dalam

menelaah berbagai keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku

Buwono IX. Pada bagian ini, peneliti mencoba untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dengan cara mencocokan kebijakan tersebut dengan teori demokrasi

yang digunakan. Melalui berbagai nilai-nilai demokrasi yang digunakan, maka peneliti akan

sampai kepada sebuah kesimpulan yang menjelaskan tapak politik dari Sri Sultan Hamengku

Page 38: A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan

38

Buwono IX. Selain itu, peneliti nantinya juga dapat melihat siasat-siasat politik yang

dilakukan oleh sultan untuk mempertahankan eksistensinya.

Selanjutnya, pada bab lima, peneliti akan menuliskan kesimpulan akhir dan refleksi

atas penelitian yang dilakukan. Dengan kata lain, peneliti akan menegaskan kembali argumen

yang telah dibangun di bab-bab sebelumnya yang menafsirkan tapak politik demokrasi Sri

Sultan Hamengku Buwono IX. Tentu hal tersebut akan menjadi bahan refleksi yang menarik

untuk direnungkan. Menafsirkan tapak politik demokrasi menjadi menarik karena dibalik

kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh sultan sejatinya mengandung beberapa

kepentingan atau maksud tertentu yang tidak lain untuk mempertahankan eksistensi dirinya

sendiri sebagai seorang raja, termasuk eksistensi keraton sebagai sebuah lembaga yang

menjalankan sistem monarki. Sebagai sosok yang memiliki peran penting di eranya, Sri

Sultan Hamengku Buwono IX pantas dijadikan salah satu tokoh yang setiap tindakan dan

kebijakannya ditafsirkan secara lebih mendalam, khususnya dalam hal demokrasi.