GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA … · Adapun gagasan Semaoen tentang Partai...
Transcript of GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA … · Adapun gagasan Semaoen tentang Partai...
GAGASAN SEMAOEN
TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA
DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Dimas Rizky Chrisnanda
NIM : 054114006
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
i
GAGASAN SEMAOEN
TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA
DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Dimas Rizky Chrisnanda
NIM : 054114006
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
ii
iii
iv
P E R S E M B A H A N
Sang Hyang Bapa, Gusti, dan Bunda Maria. Nafas ini mengalir tanpa-
Nya; memberi suasana merdeka yang dicari.
Keluargaku; Bpk. Djum dan Ibu Chris. Memang sudah sendiri, tetapi
semaian pupuk membuat pohon semakin kuat bukan?
Kekasih hati, Fransiska Firlana. Mata ini membelalak kedewasaan.
Bersama atas nama peristiwa. Bagiku, kau tetap segitiga kehidupan
yang selalu hadir…trimakasih Jeng…trimakasih Gusti
Setiap apa dan siapa yang pernah hadir. Ini bagian ”hutang” yang
masih terus kan terbayar.
v
Motto
Menyatukan kata dan pikiran dalam tindakan adalah
bukti yang terekam dan terlihat oleh mata.
Ingat! Tiap orang memperhatikan gerak-gerik kemana
langkah pergi.
Kita tidak sendiri…
vi
Surat Pernyataan Keaslian
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi berjudul
“Gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia dalam Novel Hikayat
Kadiroen Karya Semaoen Kajian Sosiologi Sastra” ini tidak memuat karya
atau bagian dari orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 September 2009
Penulis,
(Dimas Rizky Ch.)
vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Sanata Dharma:
Nama : Dimas Rizky Chrisnanda
NIM : 054114006
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA
DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN KAJIAN
SOSIOLOGI SASTRA, beserta perangkat yang diperlukan.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet
atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari
saya ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis.
Dengan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 28 September 2009
Yang menyatakan,
Dimas Rizky Chrisnanda
viii
ABSTRAK Chrisnanda, Dimas Rizky. 2009. Gagasan Semaoen Tentang Partai Komunis
Indonesia Dalam Novel Hikayat Kadiroen Karya Semaoen Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Pergerakan menjadi sumbu utama bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan kolonial Belanda. Ajakan dan dorongan untuk berkumpul bersama dalam pergerakan menjadi pegangan bagi para intelektual untuk mengkritisi keadaan yang terjadi di masyarakat. Semaoen sebagai salah satu pemuda intelektual pada era 1920an, juga menyatakan hal serupa dalam novelnya Hikayat Kadiroen. Hal yang kemudian dijadikan bahan penelitian untuk menangkap tujuan penelitian, yaitu menganalisis dan mendeskripsikan gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia dalam novel yang dikarangnya. Metode penelitian deskripsi analisis digunakan dalam penelitian ini, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah struktural dan sosiologi sastra.
Politik yang diterapkan pemerintah Belanda, telah membentuk sedemikian rupa kondisi masyarakat di Hindia. Kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Hindia mau tidak mau membuka kesadaran agar rakyat harus merdeka. Berkumpul dalam wadah pergerakan adalah salah satunya. Itulah yang diceritakan Semaoen melalui tokoh Kadiroen yang tertarik bergabung bersama Partai Komunis. Secara sadar, Kadiroen lebih memilih menanggalkan pangkatnya dan memilih sebagai seorang penulis yang menjadi alat perjuangannya kemudian.
Adapun gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia yang diungkapkan melalui tokoh Kadiroen dalam novel ini adalah gagasan PKI sebagai pembangun kesadaran baru dan faktor penghambat cita-cita bangsa yang merdeka dari sudut pandang PKI, yang meliputi faktor kekuasaan dan faktor kaum bermodal. Sebagai pembangun kesadaran baru, PKI berusaha menyadarkan rakyat Hindia bahwa dengan menjadi pintar, kuat dan berkuasa maka rakyat dapat hidup merdeka. Caranya yaitu dengan rukun bersatu atau mendirikan perkumpulan. Atas kesadaran itulah Kadiroen akhirnya bergabung bersama Partai Komunis sebagai penulis dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pejabat pemerintah. Hal ini sekaligus ajakan untuk rakyat Hindia bergabung bersama PKI yang mencita-citakan bangsanya yang merdeka.
Cita-cita tersebut bukanlah tanpa hambatan. Kekuasaan yang dipegang pemerintah kolonial Belanda, hanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Pengalaman Kadiroen terhadap atasannya yang semena-mena terhadap rakyat membuatnya semakin yakin bahwa rakyat tidak akan merdeka jika terus hidup seperti itu. Kadiroen menyadari kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melindungi rakyat, sudah tidak berlaku lagi. Tidak hanya itu, kekuasan pun telah digunakan untuk melindungi para kaum bermodal agar mereka
ix
memperoleh keuntungan maksimal. Rakyat hanya dijadikan pekerja murah agar dapat meminimalkan pengeluaran, sekaligus dijadikan konsumen yang membuat mereka semakin menderita. Kedua faktor inilah yang dinilai oleh Semaoen sebagai penghambat cita-cita bangsa yang merdeka yang tertuang dalam novelnya.
x
ABSTRACT
Chrisnanda, Dimas Rizky. 2009. The Idea of Semaoen on Indonesian
Communist Party in Semaoen’s Hikayat Kadiroen. A Literary Sociological Approach. A Thesis. Indonesian Letters Study Programme, Indonesian Letters Department, Faculty Of Letters, Sanata Dharma University. Yogyakarta.
A Movement has been a main course of Indonesian in their struggle for independence under the Dutch colonization. The Invitation and encouragement to make a group of movement are the principles that used by the intellectuals to criticize the situation on the society. Semaoen as the intellectual youth in the 1920s said the same point in his novel, Hikayat Kadiroen. The object that is taken as the research material is the processes of analysis and describing the idea of Semaoen on Indonesian Communist Party in his Novel. The method of description analysis research is use in this study and a structural and literature sociology were used as the approach. The politic system that applied by the Dutch has created certain condition of people in Indies. The harmful decisions give nothing but the people’s awakening to be independent. Gathering in the group of movement is one of the ways of struggling. This was the point that Semaoen written about. It was told through the character of Kadiroen who exited to join the Communist Party. Kadiroen consciously abandoned his profession and became a writer which functioned as a tool of his next struggling. The idea of Semaoen on Indonesian Communist Party which was told through the character of Kadiroen in the novel is the idea of the party as the builder of a new consciousness. Based on the point of view of the party there are obstacle factors of the independent country’ hope. There are the power factor, and wealth class factor. As the builder of new consciousness the party tried to awake the people of Indies that by living in high intellectual quality, strong and powerful condition the people could live independently. To achieve those conditions the people should live peacefully united or by assembling a gathering. Based on this awareness Kadiroen became the member of the communist party as a writer and left his employment where he was a government officer. This point is also an invitation for the people of Indies to join the Indonesian Communist Party who dreamed for its independent country. This dream is not in the easy path. The power of controlling was in the side of the Dutch and it was used for their own benefits. Kadiroen’s experience of seen his employer who has a full authority on the people makes him became more convince that the people will never reach their independence if continually living in such condition. Kadiroen realized that the power to protect the people is no longer exist. The power also has been used to protect the wealth class in order to make them able to produce a maximum profit. The
xi
people were treated as a cheap worker to decrease the payment and they also were made as consumers which resulted in their sufferer life. These two factors, according to Semaoen, are the obstacle of the dream of an independent nation as revealed in his novel.
xii
KATA PENGANTAR
Ungkapan syukur kepada Gusti patut diucapkan setelah
terselesaikannya penelitian ini. Walaupun begitu, penelitian ini tidak secara
utuh dikatakan selesai karena adanya kekurangan dalam penulisan penelitian
ini. Untuk itu, kritik dan saran akan sangat diperlukan agar penelitian ini
menjadi cukup sempurna. Terhadap segala pihak yang membantu dalam
tersusunnya penelitian ini, peneliti mengucapkan banyak terima kasih, di
antaranya yaitu:
1. S.E. Peni. Adji, S. S., M. Hum dosen pembimbing I sebagai tempat berkeluh
dalam ketidaktahuan peneliti.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, semoga bapak tidak kaget esok hari.
3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum sebagai dosen pembimbing angkatan
2005. Tenang, itu yang tergambar tentang ibu.
4. Segenap dosen Fakultas Sastra Drs. Hery Antono, M. Hum., Drs. P. Ari
Subagyo, M. Hum., Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., Drs. Yosef Yapi
Taum, M. Hum., dan Drs. F.X. Santosa.
5. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat sastra,
tidak terkecuali masyarakat awam sekalipun. Jika terjadi kesalahan dalam
penulisan, baik sengaja maupun tidak sengaja, penulis mengucapkan mohon
maaf. Akhir kata, selamat membaca. Terima kasih.
Penulis
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................
PERSEMBAHAN ...........................................................................................
MOTTO ……………………………………………………………………
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...........................................................
LEMBAR PERSETUJUAN.……………………………………………….
ABSTRAK ......................................................................................................
ABSTRACT…………………………………………………………………
KATA PENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1. 1 Latar Belakang ..........................................................................
1. 2 Rumusan Masalah ......................................................................
1. 3 Tujuan Penelitian .......................................................................
1. 4 Manfaat Penelitian .....................................................................
1. 5 Tinjauan Pustaka .......................................................................
1. 6 Landasan Teori ……….……………………………………...
1. 7 Metode Penelitian .………………………………………
1. 8 Sistematika Penyajian .………………………………………
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xii
xiii
1
1
5
6
6
7
8
12
13
xiv
BAB II KONDISI SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA SEBELUM
TERBENTUKNYA PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI) ...
2.1 Pengantar ....................................................................................
2.2 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sebelum Masuknya
Sneevliet ke Hindia ...................................................................
2.3 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sesudah Masuknya
Sneevliet ke Hindia ..................................................................
2.4 Media Massa Sebagai Alat Perjuangan ………………...……..
2.5 Rangkuman……………………………………………………
BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN ........................................................
3. 1 Pengantar ....................................................................................
3. 2 Kadiroen......................................................................................
3.3 Tjitro.............................................................................................
3.4 Rangkuman………………………………………………………
BAB IV GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS
INDONESIA (PKI) DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN
KARYA SEMAOEN ......................................................................
4. 1 Pengantar ...................................................................................
4.2 Gagasan Semaoen tentang PKI sebagai Pembangun
Kesadaran Baru .........................................................................
4.3 Faktor Penghambat Cita-Cita Bangsa yang Merdeka
Berdasarkan Sudut Pandang PKI ..............................................
4. 3. 1 Faktor Penguasa…… ………………………………….
14
14
16
21
25
27
29
29
31
47
52
57
57
58
67
68
xv
4. 3. 2 Faktor Kaum Bermodal ………….…………………….
4.5 Rangkuman…………………………………………………….
BAB V PENUTUP .........................................................................................
5. 1 Kesimpulan ...............................................................................
5. 2 Saran ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
BIODATA PENULIS….……………………………………………….….
72
75
78
78
82
83
85
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lahirnya karya sastra memang tidak dapat dipisahkan dari
pengarangnya. Dari situ, pengarang berupaya menuliskan ide-idenya untuk
kemudian dibaca oleh masyarakat. Ide-ide tersebut bisa berasal dari latar
belakang kehidupan sang pengarang sendiri; mulai dari keluarga, lingkungan,
kehidupan masyarakat, gagasan-gagasannya, dan sebagainya. Tidak heran jika
dalam bentuk karya sastra ditemukan suatu gagasan yang mencerminkan sikap
berpolitiknya seseorang.
Salah satu dari karya sastra itu adalah novel yang berjudul Hikayat
Kadiroen karya Semaoen. Pada saat menulis novel ini, Semaoen telah
terpengaruh paham komunis dan mencatatkan dirinya bersama organisasi
Sarekat Islam (SI), bahkan menjabat sebagai ketua SI di kota Semarang. Pada
akhirnya, ia menjabat sebagai ketua Partai Komunis Indonesia untuk pertama
kalinya.
Paham komunis masuk pertama kali ke Hindia dibawa oleh Josephus
Franciscus M. Sneevliet pada tahun 1913. Setahun berikutnya, ia mendirikan
Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) di Semarang. Dipilihnya
kota Semarang karena sejak tahun 1905 kota tersebut dikenal sebagai kota
perdagangan dan industri sehingga dirasa mudah untuk mendapat anggota
dalam jumlah banyak. Hal ini juga sejalan dengan tujuan didirikannya
2
organisasi tersebut yaitu untuk memperbesar dan memperkuat gerakan
komunis di Hindia Belanda (Cahyono, 2003: xxiii), selain karena Sneevliet
bekerja menggantikan posisi temannya. Guna mendapat anggota dan
menguatkan jaringan, Sneevliet merasa perlu untuk mengajak kaum
bumiputera, salah satunya adalah Semaoen. Ia dipilih karena dianggap sebagai
pemuda yang cerdas, ulung dan pemberani (Muljana, 1986: 1).
Semaoen pada saat itu menjabat sebagai ketua Sarekat Islam (SI) untuk
kota Semarang. Sneevliet menanamkan paham komunis pada Semaoen dengan
mudah karena sama-sama berada di Semarang. Semaoen yang juga sudah
mulai mengenal komunis, ikut bergabung bersama ISDV yang salah satunya
dibentuk Sneevliet (Cahyono, 2003: xxiii). Kedudukan Semaoen dalam jajaran
SI membuatnya dengan mudah memperoleh massa untuk ikut dalam gerakan
ISDV. Hal ini menjadi semakin lebih mudah karena belum adanya aturan
organisasi mengenai kerangkapan anggota di organisasi lainnya.
Gelagat Sneevliet dengan propaganda komunisnya, tercium oleh
pemerintah Hindia Belanda. Ia pun diadili dan diusir dari Hindia Belanda.
Tampuk kepemimpinan ISDV kini dipegang oleh Semaoen. Pada tanggal 23
Mei 1920 Semaoen mengganti ISDV dengan Partai Komunis Hindia.
Pencantuman ‘Hindia’ sendiri dilakukan melalui kongres istimewa setelah
sebelumnya Sneevliet mengajukan usul agar ISDV menjadi bagian dari
komintern Rusia yang salah satu syaratnya adalah memakai nama terang partai
komunis beserta nama negaranya (Gie, 1990: 54). Selang tujuh bulan
3
kemudian, diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia dengan ketuanya
adalah Semaoen sendiri.
Setahun sesudahnya, sadar bahwa posisinya yang tidak aman oleh
karena kegiatan politiknya, Semaoen pun lebih memilih untuk mengasingkan
diri ke Rusia. Ketua PKI selanjutnya dipegang oleh Tan Malaka. Pada saat itu
ada desakan dari anggota SI yang tidak terpengaruh PKI, agar ada disiplin
partai yang tidak memperbolehkan keanggotaan rangkap. Karena opsi itu
pulalah SI yang berafiliasi dengan PKI memisahkan diri dan
mengidentifikasikan diri dengan nama SI Merah pada Februari 1923
(Kartodirdjo, Sartono, dkk, 1977: 210,211).
Berawal dari runtutan peristiwa yang terjadi di sekitar diri Semaoen,
maka karya sastra yang dihasilkannya menjadi bagian dari dirinya pula. Tidak
hanya dalam gerakan, novel Hikayat Kadiroen juga menunjukkan bagaimana
komunisme sudah melekat pada dirinya.
Novel ini ditulis Semaoen pada tahun 1919. Karya tersebut ditulis
ketika Semaoen dipenjara karena persdelict (delik pers). Pemerintah Hindia
Belanda mempunyai hak untuk menangkap siapa saja yang melawan maupun
mengkritik jalannya pemerintahan, termasuk bagi seorang penulis di koran.
Menulis melalui surat kabar seperti suatu “kewajiban” bagi orang-orang
pergerakan pada saat itu. Sebagai tindakan ofensive pemerintah, maka
pemimpin-pemimpin pergerakan banyak yang mendekam di penjara karena
terkena delik pers. Semaoen adalah salah satunya. Tidak heran Semaoen
dalam pengantarnya menuliskan seperti kutipan berikut.
4
(1) Moega-moegalah tjerita yang saja toelis dengan aer mata
kesengsara-an dalam pendjara itoe bisa djadi senangnya orang
banjak, jaitoe semoea pembatja dan rajat (Semaoen, 2000; ix).
Setahun kemudian, ia mengubah seperlunya novel tersebut untuk
dimuat dalam koran Sinar-Hindia. Atas dasar situasi yang terjadi di sekitar
diri Semaoen-lah yang menjadi alasan peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang gagasan Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat Kadiroen.
Gagasan tentang paham komunis secara implisit terekam jelas dalam
novel tersebut. Bisa dikatakan, hal tersebut mendominasi dan menjadi masalah
bagi tokoh utama dalam novel yakni Kadiroen. Diceritakan, saat menjadi patih
di kota S, di distriknya sedang ada propaganda Partai Komunis (PK) oleh
Tjitro. Kontroversi yang ditimbulkan oleh propaganda ini, membuat Kadiroen
ingin mengerti segala sesuatu tentang gerakan PK. Propaganda itu ternyata
berhasil menarik perhatian Kadiroen; ia menaruh hati pada gerakan ini.
(2) “… ia mendengar keterangan Tjitro dan perasaannya terbuka, sepertinya dalam hati ia melihat cahaya bintang yang sangat baik…” (Semaoen, 1920 :144).
Ketertarikan Kadiroen akan gerakan PK juga menimbulkan rasa gundah pada
dirinya. Ia harus memilih di antara pekerjaan yang disukainya atau mengikuti
gerakan komunis.
Tokoh Tjitro di sini ternyata mempunyai andil yang cukup besar.
Walaupun tokoh Tjitro merupakan tokoh yang hanya diceritakan ulang oleh
Kadiroen, tetapi ia menjadi penting karena ia berperan mewakili perkumpulan
komunis saat vergadering. Secara utuh dalam novel, Tjitro berperan sebagai
pembuka kesadaran tokoh Kadiroen. Berdasarkan kedua tokoh itu, peneliti
5
akan mengkajinya dengan kajian struktural, yaitu unsur tokoh dan penokohan.
Pengkajian ini digunakan untuk mengetahui gagasan pengarang tentang PKI
dalam novel Hikayat Kadiroen. Untuk unsur intrinsik yang lain tidak dibahas
karena sudah terkandung dalam penggambaran tokoh dan penokohan yang
akan dibahas.
Gagasan pengarang pada novel ini timbul sebagai akibat realitas sosial
yang ada pada masa itu. Soe Hok Gie (1990: 6) melihat beberapa faktor sosial
tersebut, yaitu faktor agraria, Volksraad dan Indie Weerbaar, wabah pes dan
presdelict Sneevliet.
Oleh karena adanya hubungan antara sastra dan masyarakat, maka
novel ini akan dikaji dengan menggunakan kajian Sosiologi Sastra. Sosiologi
Sastra adalah suatu telaah sastra yang objektif dan ilmiah tentang manusia
dalam masyarakat dan tentang proses sosialnya (Semi 1989:52). Sejalan
dengan pendapat Lukacs dalam Taum (1997: 50, 51) yaitu sastra sebagai
cermin masyarakat, penelitian ini akan mendeskripsikan dan menganalisis
peritiwa yang hadir dalam novel dianggap sebagai gejala masyarakat pada
waktu itu. Untuk itulah, sebelum membahas gagasan Semaoen tentang PKI
dalam novel Hikayat Kadiroen akan dibahas kondisi sosial masyarakat pada
awal terbentuknya PKI.
2. Rumusan Masalah
Dalam proposal penelitian ini, yang menjadi fokus permasalahan
dirumuskan sebagai berikut:
2.1 Bagaimanakah kondisi sosial masyarakat pada awal terbentuknya PKI?
6
2.2 Bagaimanakah deskripsi tokoh dan penokohan Kadiroen dan Tjitro dalam
novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen?
2.3 Bagaimanakah gagasan Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat
Kadiroen karya Semaoen?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
3.1 Mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat pada awal terbentuknya PKI.
3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Kadiroen dan Tjitro dalam novel
Hikayat Kadiroen karya Semaoen.
3.3 Mendeskripsikan dan menganalisis gagasan Semaoen dalam novel Hikayat
Kadiroen karya Semaoen.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul berdasarkan uraian dalam latar
belakang yang menampakkan beberapa permasalahan sehingga diperlukan
pengkajian mendalam.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Manfaat Teoritis
4.1.1 Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengkajian
karya sastra ditinjau dari Sosiologi Sastra.
4.1.2 Melengkapi perkembangan khazanah sastra dalam hal penelitian
novel politik khususnya yang terpengaruh gerakan komunis.
7
4.2 Manfaat Praktis
4.2.1 Memperkenalkan karya sastra yang terpengaruh gerakan komunis
kepada masyarakat.
5. Tinjauan Pustaka
Kurniawan dalam detik.com (2000) mengulas novel Hikayat Kadiroen.
Dalam pembahasannya, Kurniawan kurang detail dalam menjelaskan kondisi
sosio masyarakat pada waktu itu. Ia juga hanya memaparkan tanpa penjelasan
yang jelas dan disertai sinopsis.
Razif pada members.fortunecity.com menulis tentang novel Hikayat
Kadiroen yang termasuk dalam kategori sebagai bacaan liar. Menurutnya
anggapan tentang bacaan liar ini muncul karena bacaan tersebut bersifat
menghasut dan memusuhi pemerintah kolonial. Tindak lanjutnya adalah
pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan yang bertugas sebagai badan
sensor –kelak bernama Balai Pustaka. Razif juga secara detail menerangkan
keadaan sosial pada waktu itu terkait dengan maraknya bacaan-bacaan yang
dianggap pemerintah menyimpang.
Skripsi Soe Hok Gie yang kini telah diterbitkan dengan judul Di
Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920,
menjelaskan tentang Sarekat Islam di Kota Semarang pada saat diketuai oleh
Semaoen. Dari paparan Gie, SI yang dipimpim Semaoen mendapat tempat dan
hati dari masyarakat pribumi. Hal itu dikarenakan pergantian jajaran
kepengurusan yang dilakukan Semaoen dengan menempatkan kalangan buruh
8
dan rakyat kecil, juga faktor-faktor lain yang melingkupinya, yaitu bidang
agraria, Volksraad dan Indie Weerbaar, wabah pes, dan persdelict Sneevliet
(Gie, 1990: 6).
6. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu struktural dan Sosiologi
Sastra. Teori struktural untuk mengkaji tokoh dan penokohan, sedangkan teori
Sosiologi Sastra untuk mengkaji gagasan Semaoen yang timbul karena realitas
sosial pada masa itu.
6.1 Teori Struktural
Teori struktural merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji unsur-
unsur pembangun karya sastra. Nurgiyantoro (2002: 36) menyebutkan bahwa
sebuah karya sastra juga memiliki sifat keotonomiannya, sehingga tidak perlu
dikaitkan dengan hal-hal lain di luar karya sastra itu. Berdasarkan
keotonomiannya itu, maka ada suatu hubungan timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi antar unsur (intrinsik) sehingga
membentuk suatu kesatuan yang utuh. Unsur intrinsik tersebut meliputi tema,
alur, latar, tokoh dan penokohan, dan gaya. Pada penelitian ini, penulis hanya
membahas unsur tokoh dan penokohan mengingat pencerminan gagasan
pengarang ada pada para tokohnya.
6.1. 1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi (Wiyatmi,
2006: 30). Menurut keterlibatannya dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi
9
tokoh utama dan tokoh tambahan. Sayuti via Wiyatmi, menyebut tokoh utama
jika memiliki kriteria 3 kriteria, yaitu paling terlibat dengan makna atau tema,
paling banyak berhubungan dengan tokoh lain dan paling banyak memerlukan
waktu penceritaan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit muncul dan
kurang penting dalam perkembangan alur cerita (Nurgiyantoro, 2002:
176,177).
Penokohan menunjuk pada sifat dan sikap tokoh yang ditafsirkan oleh
pembaca (Nurgiyantoro, 2002: 165). Penokohan bisa berarti watak dan
karakter dari seorang tokoh. Menurut Jones via Nurgiyantoro (Nurgiyantoro,
2002: 165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dapat diamati dari
segi fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Wiyatmi, 2006: 30). Unsur-unsur
segi fisiologis antara lain terlihat dari usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan
ciri-ciri muka. Segi sosiologis dapat dilihat dari sosial, pekerjaan, jabatan,
peranan di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi,
aktivitas sosial, organisasi, hoby, bangsa, suku, dan keturunan. Unsur
mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan
(temperamen), juga intelektualitas termasuk segi psikologis.
6.2 Sosiologi Sastra
Soemanto dalam Taum (1997: 48) mengungkapkan bahwa sastra juga
dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakatnya, maka ada hubungan saling terkait antara sastra dengan
masyarakat atau yang disebut Sosiologi Sastra. Menurut Semi (1989: 52),
10
Sosiologi Sastra merupakan suatu telaah sosial serta tentang proses sosialnya.
Karya sastra berangkat dari kenyataan sosiologis masyarakat. Kenyataan yang
ada bukanlah kenyataan objektif tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan,
kenyataan sebagai konstruksi sosial (Ratna: 2003).
Menurut Damono, untuk mengkaji karya sastra berdasarkan Sosiologi
Sastra, perlu menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh ciptaan pengarang itu
dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (1978: 9). George
Lukacs menggunakan istilah “cermin” dalam keseluruhan karyanya. Novel
tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga sebagai refleksi realitas yang
lebih luas dan lengkap. Dapat diartikan juga bahwa karya sastra dianggap
sebagai proses yang hidup (Taum, 1997: 50,51). Oleh karena itu, dalam
penelitian ini akan dideskripsikan terlebih dahulu peristiwa yang tergambar
dalam novel yang dianggap sebagai gejala masyarakat pada waktu itu, yaitu
kondisi sosial masyarakat Indonesia sebelum terbentuknya Partai Komunis
Indonesia (PKI).
6.3 Gagasan
Menurut Widyamartaya (1990: 9), yang dimaksud gagasan adalah
pesan dalam dunia batin seseorang yang hendak disampaikan kepada orang
lain. Gagasaan tersebut bisa berupa pengetahuan, pengamatan, pendapat,
renungan, pendirian, keinginan, perasaan, emosi dan sebagainya. Dalam segi
penyampaian gagasan, terbagi menjadi empat bagian, yaitu penceritaan,
pelukisan, pemaparan dan pembahasan. Penceritaan bertujuan untuk
menyampaikan gagasan dalam urutan waktu atau dalam rangka waktu dengan
11
maksud menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan
peristiwa yang biasanya memuncak pada suatu kejadian utama. Pelukisan atau
deskripsi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan atau rangka ruang
dengan maksud untuk menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca
segala sesuatu yang dilihat, didengar, dicecap, diraba atau dicium pengarang
yang biasanya berkisar pada pancaindra. Pemaparan bertujuan untuk
memberitahukan atau menerangkan sesuatu berupa fakta atau hasil pemikiran,
sedangkan pembahasan bertujuan untuk meyakinkan pembaca tentang
kebenaran pendirian atau kesimpulan pengarang.
Ubaydillah dalam e-psikologi.com menyebut bahwa gagasan
merupakan awal dari sebuah proses untuk sampai menjadi suatu bentuk
realisasi. Untuk sampai menjadi bentuk realisasinya, ada beberapa tahapan
yang harus dilalui, yaitu tindakan, interaksi dan kreasi. Tindakan merupakan
bentuk lanjutan dari sebuah gagasan. Hasilnya adalah aktifitas atau kesibukan.
Interaksi dibutuhkan agar gagasan dapat berkembang dan menjadi kuat.
Dengan interaksi pula maka sebuah gagasan dapat didengar oleh orang lain.
Kreasi merupakan hasil akhir dari sebuah gagasan. Kreasi dapat dirasakan
manfaatnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan gagasan adalah sebuah
proses untuk sampai menjadi suatu bentuk realisasi yang ingin disampaikan
pengarang kepada masyarakat berupa pendapat yang tertuang dalam karya
sastra berupa novel. Oleh karena berupa karya sastra maka masyarakat yang
dituju adalah masyarakat pembaca.
12
7. Metode Penelitian
7.1 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan Sosiologi
Sastra. Menurut Semi, pendekatan struktural adalah pendekatan yang
membatasi diri pada penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi
intrinsik meliputi tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (1989: 44, 45).
Penelitian ini hanya membahas unsur tokoh dan penokohan.
Menurut Damono, pengkajian karya sastra berdasarkan sosiologi sastra
perlu menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh ciptaan pengarang itu dengan
keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (1978: 9). Oleh karena itu,
sebelum membahas tokoh dan penokohan, akan dideskripsikan terlebih dahulu
keadaan sosial masyarakat Indonesia sebelum terbentuknya Partai Komunis
Indonesia.
7.2 Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Artinya
penelitian ini dilakukan dengan cara memaparkan fakta-fakta yang dilanjutkan
dengan analisis. Metode ini hanya menguraikan informasi apa adanya sesuai
variabel-variabel yang diteliti, namun memberi penjelasan dan pemahaman.
7.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka. Karena berobjek pada sebuah
teks sastra yakni novel, peneliti akan menggali data-data mengenai gagasan
Semaoen tentang PKI yang ada dalam novel. Selain itu, peneliti akan
mengumpulkan data-data dari kepustakaan lain yang terkait dengan topik
13
penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisis berdasarkan kriteria
rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan. Tahap akhir
adalah penyajian hasil analisis data.
7.4 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data yang berupa novel terbitan
Yayasan Bentang Budaya (cetakan pertama, April 2000) dengan penyunting
Otto Sukatno Cr. Hikayat Kadiroen karya Semaoen ini awalnya diterbitkan
pertama kali di Semarang pada tahun 1920. Berikut data novel secara rinci.
Judul Novel : Hikayat Kadiroen
Pengarang : Semaoen
Penerbit Awal : -
Tahun Terbit Awal : 1920
Penerbit Sekarang : Yayasan Bentang Budaya
Tahun Terbit Sekarang : 2000
8. Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab pertama
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan
sistematika penelitian. Bab dua tentang kondisi sosial masyarakat pada awal
terbentuknya PKI. Bab tiga berupa struktur novel menurut tokoh dan
penokohan. Bab empat pembahasan gagasan Semaoen tentang PKI dalam
kajian Sosiologi Sastra. Bab lima penutup berisi kesimpulan dan saran. Bagian
terakhir adalah daftar pustaka.
14
BAB II
KEADAAN SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
SEBELUM TERBENTUKNYA PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)
2.1 Pengantar
Pada bab dua ini akan dipaparkan kondisi sosial masyarakat Indonesia
sebelum terbentuknya PKI. Hal ini untuk mengungkap latar belakang
Semaoen mencita-citakan bangsanya bebas dari pemerintah kolonial Belanda
dengan PKI sebagai basisnya. Pada akhirnya, kenyataan sosial masyarakatlah
yang membuka kesadaran Semaoen tentang rakyat Indonesia yang hidup
penuh kesengsaraan. Hubungan antara kenyataan sosial dan PKI ditulisnya
melalui media karya sastra yaitu novel Hikayat Kadiroen.
Berbicara masalah PKI, tidak dapat dilepaskan oleh seseorang yang
bernama Sneevliet. Dia adalah seorang Belanda yang bekerja di Hindia
Belanda (Semarang). Sebelumnya, dia adalah seorang anggota Sociaal
Democraatische Arbeider Partij (SDAP) yang berhaluan komunis di Belanda.
Masuknya Sneevliet ke Hindia, membawa serta juga paham yang selama ini
dipegangnya. Pada akhirnya, ia mengembangkan paham tersebut dalam
sebuah organisasi dan merekrut orang pribumi untuk meneruskannya.
Tentunya orang yang diajaknya adalah orang yang mempunyai kedudukan
penting dalam situasi masyarakat pada waktu itu, yaitu Semaoen. Hal itu
terbukti Semaoen yang berusia kurang dari 20 tahun, telah bergabung dengan
organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam (SI) cabang Surabaya, Indische
15
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Vereeniging voor Spoor-en
Tramweg Personeel (VSTV), SI Semarang (sebagai ketua pada Mei 1917) dan
Ketua Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920 (Semaoen, 2000: vi).
Begitu berpengaruhnya sosok Sneevliet maka pembahasan dalam bab
ini dibagi menjadi dua sub bab, yaitu kondisi masyarakat Indonesia sebelum
masuknya Sneevliet ke Hindia dan kondisi masyarakat Indonesia sesudah
masuknya Sneevliet ke Hindia. Sub bab terakhir berisikan media sebagai
bentuk mengaspirasikan perjuangan.
Semaoen menulis novel Hikayat Kadiroen ketika dalam penjara karena
persdelict. Dia tergolong orang yang gigih membela rakyat Hindia yang
terjajah sehingga tidak bisa menjadi tuan di tanah kelahiran sendiri. Pada usia
muda (14 tahun) dia sudah terjun ke dunia politik hingga pada akhirnya ia
menjadi ketua Partai Komunis Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun
1920.
Pada bab ini juga terpampang istilah ‘Hindia’ dan ‘Hindia-Belanda’.
Pada dasarnya, istilah tersebut digunakan untuk menyebut Indonesia yang
belum lahir. Anhar Gonggong menyebutkan bahwa istilah ‘Indonesia’ sendiri
secara sah digunakan ketika pembacaan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945
yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Istilah ‘Hindia’ lebih
merunut pada kondisi geografis yaitu kepulauan Hindia
(http://forum.wintersat.com/3437-post1.html), sedangkan Hindia Belanda
untuk menyebutkan bahwa Hindia adalah bagian dari pemerintahan Belanda
(http://blog.bukukita.com/users/xuchie/?).
16
Peneliti menyadari bahwa pengarang termasuk bagian dari masyarakat,
gagasan-gagasan yang tercermin dalam karya sastra adalah cerminan dari
keadaan sosial masyarakat yang terjadi di sekitar diri pengarang, termasuk
pengalaman-pengalaman hidup Semaoen hingga penulisan novel ini di dalam
penjara. Pembahasan bab dua ini dilakukan untuk menunjang bab selanjutnya
yaitu deskripsi tokoh dan penokohan Kadiroen dan Tjitro serta gagasan
Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat Kadiroen.
2.2 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sebelum Masuknya Sneevliet ke
Hindia
Sebelum abad IX, peninggalan zaman feodal masih sangat dirasakan
oleh masyarakat pribumi. Sistem yang mengharuskan golongan bawah
“menghormati” golongan atas ini ternyata mengilhami pemerintah kolonial
Belanda untuk melakukan hal yang serupa. Tujuannya adalah agar mereka
mendapat rasa hormat dari golongan pribumi. Selain itu, penerapan sistem ini
juga mengakibatkan yang kecil semakin kecil dan yang besar semakin besar.
Dengan rasa hormat itu, maka masyarakat pribumi menjadi segan pada
pemerintah kolonial Belanda.
Hal lainnya, agar tidak terlalu mencolok sebagai bangsa penjajah,
pemerintah kolonial Belanda juga melakukan hubungan erat dengan
bangsawan kerajaan. Hal ini semisal ditunjukkan dengan merekrut bupati
untuk memerintah di daerah kekuasaanya. Kekuasaan tersebut tidaklah
bersifat mutlak, namun tetap berada dalam kendali pemerintah Belanda.
17
Bupati-bupati itu ternyata tidak sadar bahwa mereka sedang “disetir”
oleh Belanda. Lambat laun, mereka hanya menjadi pegawai pemerintah yang
menerima gaji bukan hak akan penguasaan tanah yang selama ini menjadi
tradisi. Dengan cara demikian, orang-orang Belanda menduduki kelas sosial
tertinggi di masyarakat, yang berpusat pada seorang gubernur jenderal di
Batavia (Leirissa, 1985: 9).
Diterapkannya sistem penyewaan tanah atau landrente ternyata
membuat marah para bangsawan pribumi. Puncaknya terjadi pada tahun 1825
yang dikenal dengan dengan perang Jawa. Perang yang dipimpin oleh
Diponegoro ini ternyata membuat pihak pemerintah Belanda mengalami
kerugian materi yang cukup besar. Untuk mengatasi masalah keuangan
tersebut, pihak Belanda mencanangkan sebuah program yang disebut
Cultuurstelsel; sebuah program yang mengharuskan penanaman tanaman
wajib dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1993:
15-16).
Istilah ‘buruh’ sudah mulai dikenal di sini. Setidaknya ada empat kelas
yang dapat diklasifikasikan, yaitu: orang yang mempunyai tanah, kebun dan
rumah, orang yang tidak mempunyai tanah tetapi memiliki rumah dan kebun,
orang yang mempunyai rumah di tanah orang lain dan yang terakhir adalah
orang yang tidak memiliki apa-apa (Leirissa, 1985: 10,11). Edi Cahyono
menyebutkan bahwa istilah ‘buruh’ sama halnya dengan menyebut petani
karena tidak mempunyai sebidang tanah untuk diolah. Mereka lebih dikenal
dengan petani gurem atau miskin yang bekerja di perkebunan yang diciptakan
18
oleh pemerintah Hindia-Belanda (2003, xii). Pemogokan-pemogokan oleh
buruh juga sudah mulai dikenal. Semisal yang terjadi di Pekalongan Mei 1842
(Cahyono, 2003: x).
Seiring berjalannya program Cultuurstelsel, perdagangan dan
pelayaran pemerintah Belanda mengalami kemajuan pesat. Modal-modal
swasta mulai menanamkan sahamnya di tanah Hindia. Perusahaan-perusahaan
milik swasta itu mulai bermunculan untuk berinvestasi dan mengelola sumber
daya alam Indonesia (Nagazumi, 1989: 13, 14). Setidaknya tercatat ada 9
perusahaan swasta yang terbagi menjadi 3 perusahaan swasta dan 6 bank
swasta.
Bersamaan dengan masuknya modal-modal swasta-liberal, pergolakan-
pergolakan oleh buruh kian meningkat. Misalnya pada tahun 1882 ketika
buruh dari pabrik gula di Yogyakarta mengadakan pemogokan. Penyebabnya
antara lain karena upah, kerja yang terlalu berat, upah tanam yang tidak
dibayarkan, dan pengawas yang sering memukuli para pekerja (Cahyono:
2003, xi). Gerakan buruh ini tidak begitu mendapat perhatian dari rekan-rekan
buruh di tempat lain karena tidak adanya atau belum adanya suatu wadah yang
menghimpun para buruh. Dari alasan yang dikemukan para buruh, dapat
dilihat betapa pemerintah kolonial Belanda tidak memperhatikan nasib kaum
pribumi. Selain itu, para pemilik pabrik juga tidak memperhatikan
kesejahteraan pegawainya dan hanya mementingkan kepentingan industrinya
sendiri.
19
Terkait soal buruh, memasuki abad XX, pergerakannya sudah mulai
teroganisir. Hal ini dikarenakan sudah munculnya wadah-wadah, seperti
perserikatan, organisasi, perkumpulan atau semacamnya, untuk menghimpun
para buruh. Tercatat setidaknya ada sekitar 12 perserikatan dalam kurun waktu
1897-1913 (Cahyono, 2003: xvi).
Pada awalnya perserikatan-perserikatan tersebut dibentuk oleh buruh
“impor” yang bekerja di Hindia, tetapi lambat laun mereka mengajak juga
buruh pribumi untuk bergabung. Ini adalah salah satu faktor yang memicu
munculnya perkumpulan yang dibentuk oleh kaum pribumi. Kurang lebih ada
9 perkumpulan yang dibentuk oleh pribumi pada periode 1908-1917. Salah
satunya adalah VSTP (Vereeniging Spoor-Traam Personen) yang didirikan
pada tanggal 14 November 1908 di Semarang. Di sinilah Semaoen memulai
karir politiknya saat umurnya masih 14 tahun (Cahyono, 2003: xviii, xix).
Faktor lain yang menyebabkan menjamurnya perkumpulan yang
dibentuk oleh bumiputera adalah program politik etis yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda. Pada tahun 1900, industri perkebunan maju pesat.
Namun kehidupan rakyat pribumi mengalami kemunduran, ditambah lagi
kejadian seperti gagal panen, penyakit ternak dan bencana alam. Tahun 1901,
pemerintah kolonial Belanda membentuk suatu panitia untuk menyelidiki
sebab-sebab kemunduran itu. Dari penelitian, didapat kesimpulan bahwa
perkembangan penduduk lebih cepat daripada makanan dan ternak. Untuk
menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah kolonial Belanda membuat suatu
kebijakan yang disebut politik etis. Politik etis adalah suatu kebijakan
20
pemerintah Belanda yang bertumpu pada suatu ideologi yang beranggapan
bahwa masyarakat jajahan dapat disejahterakan hanya jika masyarakat
tersebut dimodernisasikan dengan kebudayaan barat (Suwondo, Tirto, dkk,
1995: 18).
Pada dasarnya, sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda
sudah ada sejak pertengahan abad IX. Awalnya, Belanda berafiliasi dengan
para raja untuk membangun yang diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan
tetapi pada kenyataannya, hanyalah anak-anak keturunan bangsa Eropa saja
yang diperkenankan ikut bersekolah. Namun lama-kelamaan, anak para
bangsawan pun dapat menikmati pendidikan itu untuk kemudian dijadikan
pegawai pemerintah. Pada akhirnya, bangsawan terpelajar ini lebih disukai
oleh pemerintah Belanda untuk masuk dalam kursi pemerintahan. Hal ini
dikarenakan bangsawan-khususnya dari Jawa, memiliki kecanggihan budaya,
mempunyai hubungan dengan pengaruh barat dan kerenggangan sikap
tradisional mereka terhadap Islam (Burger dalam Nagazumi, 1989: 29).
Perkembangan intelektual di tanah Hindia yang kian meningkat,
membawa serta pikiran untuk berorganisasi. Setidaknya, hal itu yang
dilakukan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908; sebuah
organisasi lingkup daerah khususnya Jawa yang memberikan identitas kepada
orang-orang Jawa yang terpelajar untuk memupuk kesadaran berpolitik,
berpartisipasi dalam aksi kolektif dan menghayati identitas golongan
(Kartodirdjo, 1993: 106). Semangat yang kemudian dilanjutkan dengan
21
adanya organisasi politik di tingkat daerah seperti Jong Java, Jong Sumatera,
Jong Ambon, Jong Batak, dan sebagainya.
2.3 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sesudah Masuknya Sneevliet ke
Hindia
Dalam semangat pergerakan, gejala lainnya mulai muncul di Hindia,
yaitu Sarekat Islam (SI). Semula organisasi ini didirikan oleh pedagang-
pedagang batik di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuannya
untuk melawan dominasi orang-orang Cina dalam hal perdagangan. Agar
diakui pemerintah, dibuatlah suatu anggaran dasar yang diperuntukkan bagi
anggotanya. Berdasarkan anggaran dasar yang dibuat, tidak ada hal yang
berkaitan dengan politik. Namun, karena terjadi huru-hara yang oleh
pemerintah Belanda dituduhkan pada SI, organisasi itu pun akhirnya
dibekukan (Noer, 1980: 115). Untuk mengubah citranya di mata pemerintah,
anggaran dasarnya pun kembali diubah oleh Oemar Said Tjokroaminoto yang
pada tahun 1914 menjadi ketua SI. Perubahan lainnya, dengan membentuk
kepengurusan Centraal Sarekat Islam (CSI) pada tanggal 18 Februari 1914.
Tanggal 18 Maret 1916, pemerintah Belanda mengakui kepengurusan ini
(Noer, 1980: 116).
Konsep nasionalitas dan kemerdekaan terpampang pada kongres
nasional pertama di Bandung tahun 1916. SI menyandarkan agama Islam
adalah pembuka persamaan derajat manusia, sehingga tidak mengakui suatu
golongan berkuasa atas golongan lain. SI menuntut keadilan bagi rakyat
22
bumiputera yang selama ini terjajah, misalnya dengan menuntut perbaikan
bidang agraria dan pertanian, menasionalisasi industri, menyangkut kehidupan
buruh, dan lain-lain. Kesemuanya ini menjadi program kerja SI yang lebih
diperinci pada tahun 1917 (Noer, 1980: 127,129).
Unsur memberontak SI yang berkurang sebagai akibat duduk di kursi
dewan rakyat (volksraad) membawa perpecahan dalam tubuh internal SI.
Adalah Semaoen yang menolak secara tegas cara SI seperti itu. Semaoen
mengatakan bahwa volksraad adalah untuk mengelabui rakyat dan
memperoleh untung yang banyak (Noer, 1980: 130).
Semaoen pada waktu itu memang dikenal sebagai tokoh SI yang
radikal. Karir politiknya dimulai saat berumur 14 tahun di VSTP dan pada
tahun 1915 menjadi ketua cabang VSTP di Surabaya. Bersamaan pada tahun
itu, ia tercatat juga sebagai anggota CSI di tempat yang sama (Cahyono, 2003:
xix). Memang pada waktu itu ada kelonggaran dari pemerintah maupun
kebijakan organisasi, untuk merangkap di organisasi lainnya (Leirissa, 1985:
52). Semaoen di masa mudanya memang sempat mengenyam bangku
pendidikan. Hal ini bukan berarti Semaoen adalah anak priayi, namun karena
ia memang terlahir pada zaman politik etis (Shiraishi, 1997: 134). Berkat
kecerdasan dan ketajaman otaknya, Semaoen lulus ujian pegawai pamongpraja
rendah pada tahun 1912. Kemauan kerasnya untuk belajar walau orang tuanya
tidak mampu, telah mengantarkannya mendapat ijasah Komis A; suatu
prestasi yang dapat dicapai oleh orang Indonesia di Surabaya pada waktu itu.
Dengan ijasah tersebut, sebenarnya Semaoen dapat menjadi pegawai
23
pemerintahan, tetapi hal itu tidak dilakukannya karena melihat kenyataan
rakyat Hindia yang tertindas. Ia lalu secara aktif menekuni dunia politik
(Moehkardi, 1971: 33, 34).
Dalam gelanggang politik, keradikalan Semaoen sebenarnya terbangun
ketika ia berkenalan dengan Josephus Franciscus M. Sneevliet. Ia adalah
seorang anggota Sociaal Demokraatische Arbeider Partij (SDAP), yaitu
bentuk awal dari partai komunis di Belanda. Ia diusir dari Belanda karena
sering memimpin pemogokan di kalangan buruh. Tahun 1913, ia ke Hindia
dan bekerja di Surabaya sebagai wartawan, lalu kembali pindah ke Semarang
pada tahun 1913 dan menjadi anggota VSTP. Bersama temannya, ia lalu
mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Sosiaal Demokratische
Vereeniging (ISDV). Di organisasi itulah ia mulai memperkenalkan paham
sosialisnya (Leirissa, 1985: 52). Lainnya, untuk memperkuat organisasinya, ia
mulai mengajak Semaoen yang kemudian pindah ke Semarang untuk
bergabung bersama ISDV, sambil menjadi ketua SI cabang di sana.
Paham sosialis yang sudah bersama Semaoen, pada akhirnya masuk ke
dalam tubuh SI. SI, khususnya di Semarang menjadi radikal. Wujud
perubahannya yaitu mengganti struktur kepengurusan yang lebih banyak diisi
oleh kaum buruh dan rakyat kecil (Gie, 1990: 5). Semaoen yang menjadi ketua
di sana, juga memimpin pergerakan-pergerakan rakyat terutama kaum buruh
yang diperlakukan semena-mena oleh para pemilik industri. Kenyataan-
kenyataan rakyat pribumi yang terwakili di Semarang, membuatnya semakin
revolusioner. Hal ini misalnya ditandai dengan pemogokan pada perusahaan
24
mebel karena telah memecat 15 buruh. Pemogokan yang dipimpin langsung
oleh Semaoen dan Kadarisman menuntut agar ada pengurangan jam kerja, gaji
yang dibayar penuh, dan bagi yang dipecat agar diberi pesangon 3 bulan gaji
(Cahyono, 2003: xxiv). Pada akhir 1917 dan awal 1918, Semaoen memimpin
pemogokkan di Semarang. Buruh cetak, buruh mesin jahit Singer, buruh
bengkel mobil serta menyusul di daerah-daerah lainnya seperti Batavia,
Bandung, Surabaya dan lainnya (Shiraishi, 1997: 139, 140). Tidak heran ia
lalu bersama Soerjopranoto dikenal sebagai raja mogok.
Pada dasarnya, perubahan sikap SI ini menjadi kekhawatiran tersendiri
bagi Belanda maupun kalangan SI sendiri. Belanda tetap mengawasi
pertumbuhan SI khususnya SI Semarang. Setidaknya, pada tahun 1919
pemerintah melakukan penangkapan-penangkapan tokoh SI Semarang dengan
berbagai alasan. Semaoen adalah salah satu tokoh yang dipenjarakan karena
dianggap presdelict. Dari dari kalangan SI sendiri, Semaoen dianggap
berbahaya karena tidak menyesuaikan ke-Islaman partai yang selama ini
dipegang SI. Sebagai bentuk perlawanan, H.O.S Tjokroaminoto menulis
sebuah buku dengan maksud tidak mengikuti ajaran sosialisme karena dalam
Islam telah terkandung ajaran sosialisme itu sendiri (Moehkardi, 1971: 33,
34). Sebelumnya, Sneevliet pada tahun 1917 terkena persdelict juga karena
artikelnya di koran yang dianggap melecehkan pemerintahan dan penghasutan
kepada rakyat. Sneevliet akhirnya bebas dari dakwaan, tetapi ternyata itu
adalah siasat pemerintah Belanda untuk “membuangnya” dari Hindia (Gie,
1990: 11). Kursi ISDV pasca ditinggalkan Sneevliet diisi oleh Semaoen. Pada
25
tahun 1920, Semaoen mengubah ISDV menjadi Partai Komunis Hindia
dengan ketuanya adalah Semaoen sendiri. Oleh karena adanya aturan dari
komunis pusat di Rusia, maka partai itu diubah kembali menjadi Partai
Komunis Indonesia, yang disingkat PKI (Gie, 1990: 43).
2.4 Media Massa sebagai Alat Perjuangan
Terkait persdelict atau delik pers yang diterima Semaoen maupun
Sneevliet, adalah hal yang lazim ditemui pada zaman pergerakan 1900-an.
Sebenarnya perkembangan media massa juga dipengaruhi munculnya
pergerakan maupun organisasi nasional. Adalah politik etis yang
menjembatani hal itu. Razif mengemukakan bahwa munculnya bacaan-bacaan
digunakan untuk mendidik bumiputra yang miskin; miskin karena kemiskinan
juga miskin ilmu dan pengetahuan. Lanjutnya Razif mengatakan bahwa
dengan surat kabar, rakyat Hindia dapat membentuk kesadaran kolektif untuk
membayangkan masa depan yang mereka hadapi (members.fortunecity.com).
Terhadap maraknya tulisan-tulisan dari kaum bumiputera ini, tentunya
pemerintah Belanda tidak tinggal diam. Pada tanggal 15 Maret 1914,
pemerintah mengeluarkan peraturan jika ada tulisan yang dianggap
menyebarkan permusuhan, kebencian atau penghinaan kepada pemerintah
Belanda akan dikenai ketentuan haatzaai Artikelen atau pasal-pasal tentang
penanaman benih kebencian dengan hukuman maksimal 10 tahun.
Selanjutnya, tahun 1918 dilengkapi dengan pasal-pasal yang lebih rinci
mengenai bentuk pelanggaran dan sanksi bagi yang melanggarnya (Yuliati,
26
1994: 56, 57). Tidak heran jika tokoh-tokoh pergerakan banyak yang terkena
aturan ini. Mas Marco misalnya, harus mendekam dalam penjara selama 4 kali
karena terkena delik pres. Begitu juga dengan Semaoen. Tulisannya yang
berjudul Bala Tentara dan Pertoendjoekan Koeasa tertanggal 15 Maret 1919,
dianggap telah menghina pemerintah Belanda. Oleh karena itu, Semaoen
dihukum penjara selama 4 bulan sejak tanggal 24 Juli 1919 (Yulati, 1994: 58).
Tindakan keras pemerintah kolonial tidak hanya dibuktikan dengan
peraturan. Cara lainnya, pemerintah membuat surat-surat kabar tandingan
yang berusaha mengcounter tulisan-tulisan bumiputra. Terhadap hal ini, Mas
Marco misalnya membuat artikel yang dimuat di Sinar Djawa untuk berhati-
hati dalam memilih surat kabar; jangan sampai membaca surat kabar yang
memihak kaum uang karena dapat menjerumuskan rakyat sendiri (Cahyono,
2003: xxvi). Serupa dengan Marco, Moeso juga mengajak agar rakyat
membaca tulisan-tulisan yang dibuat sendiri oleh rakyat yang tertindas juga
(Cahyono, 2003: xxvii).
Fenomena pers di kalangan tokoh pergerakan memang benar-benar
difungsikan. Selain sebagai alat penyampaian gagasan, media massa sering
juga digunakan sebagai ajang perang gagasan oleh sesama tokoh pergerakan.
Perdebatan antara Semaoen dan Mohamad Joesoef ketika Marco ditahan
misalnya. Joesoef beranggapan supaya SI tidak perlu ikut ikut campur dan
bergabung bersama Komite Kebebasan Pers supaya tetap dapat bekerja sama
dengan pemerintah Belanda. Lain halnya dengan Semaoen yang dengan suara
27
keras menganjurkan SI ikut dalam komite tersebut agar dapat menulis tanpa
tekanan pihak Belanda (Yulati, 1994: 58).
2.5 Rangkuman
Keadaan masyarakat Indonesia pada waktu penjajahan kolonial
Belanda tidak datang dengan sendirinya. Ada faktor yang mendukung
perubahan itu, misalnya soal kebijakan baru yang ditetapkan pemerintah,
pergantian kepemimpinan dan lainnya. Mulai masuknya modal-modal swasta
dan munculnya perburuhan, menjadi awal titik pergerakan di mana organisasi
diperkenalkan kepada rakyat bumiputra oleh buruh-buruh asing. Selain itu,
sistem pendidikan yang semakin berkembang pada masa politik etis,
berpengaruh terhadap sendi-sendi keintelektualan para pemuda Indonesia.
Tulis-menulis menjadi media pergerakan yang subur guna memperbaiki nasib
rakyat yang “miskin”. Sikap pemerintah Belanda dalam menghalau kegiatan
tersebut dengan adanya peraturan-peraturan haatzaai Artikelen, ternyata tidak
mengurangi niat para tokoh pergerakan untuk terus menulis. Salah satunya
adalah Semaoen. Berbekal pengetahuan dan kisah perjalanan hidup yang
dimilikinya, Semaoen menulis sebuah novel yang berjudul Hikayat Kadiroen
pada tahun 1919 dan terbit pada tahun 1920; sebuah novel yang ditulisnya
dalam penjara karena dianggap pemerintah telah menghasut rakyat lewat
tulisannya di media massa.
Tokoh utama novel tersebut adalah Kadiroen. Ia tergolong beruntung
karena sebagai rakyat biasa, berhasil mendapatkan pendidikan ala Belanda.
28
Pada puncak karir Kadiroen, ia menjabat sebagai patih di kota S. Pergulatan
batin Kadiroen terjadi ketika ia tertarik dengan gerakan komunis di bawah
propaganda Tjitro. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk bergabung bersama
gerakan tersebut karena dinilai lebih mengutamakan perjuangan rakyat untuk
keluar dari kesengsaraan kolonial.
29
BAB III
TOKOH DAN PENOKOHAN
3.1 Pengantar
Tindakan, interaksi dan kreasi sebagai tahapan dari gagasan, akan
melingkupi pembahasan pada bab ini yang berpengaruh pada pembahasan bab
selanjutnya, yaitu gagasan semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat
Kadiroen. Gagasan tersebut hadir secara implisit melalui tokoh Kadiroen dan
Tjitro, maka pembahasan bab ini akan dipersempit lagi dengan hanya
membahas kedua tokoh tersebut. Unsur-unsur lain, seperti unsur latar maupun
alur dalam penelitian ini tidak dibahas karena sudah digambarkan secara
tersirat oleh tokoh dan penokohan yang akan dibahas.
Penyempitan pembahasan tokoh dan penokohan didasarkan pada
perubahan watak tokoh utama (Kadiroen) dalam mengambil keputusan
menjadi anggota Partai Komunis setelah sebelumnya menjabat sebagai pejabat
pemerintahan. Oleh Semaoen, tokoh Kadiroen merupakan tokoh cerminan
sekaligus ajakan untuk masyarakat bergabung bersama Partai Komunis.
Kadiroen merupakan tokoh utama dalam novel ini. Di samping lebih
dominan, Kadiroen juga menjadi fokus utama dalam novel ini. Dia juga yang
selalu hadir dalam tiap alur ceritanya. Melalui tokoh ini kita dapat melihat
bagaimana pengarang menyatakan gagasannya tentang Partai Komunis
Indonesia (PKI). Di dalam cerita, PKI hanya disebut Partai Komunis (PK).
30
Hal ini bisa kita cermati karena sewaktu pembuatan novel, proses penggantian
ISDV menjadi PKI belum menyesuaikan komintern atau aturan dari Rusia.
Semaoen menghadirkan tokoh Kadiroen sebagai pembuka mata
pembaca tentang komunisme. Diceritakan bagaimana proses Kadiroen yang
pada awalnya “mendua” sebagai pejabat pemerintah sekaligus menjadi
anggota PK, tetapi pada akhirnya lebih memilih bergabung bersama PK untuk
menjadikan rakyat Hindia keluar dari kenyataan kemiskinan. Tentunya proses
ini tidak datang sendiri. Adalah tokoh kedua yang dibahas dalam bab ini yang
membuka hati dan pikiran Kadiroen. Tokoh tersebut adalah Tjitro.
Pencitraan tokoh Tjitro pada novel ini hadir dalam bentuk penceritaan
ulang tokoh Kadiroen. Tjitro hadir sebagai propagandator PK di kota S pada
saat Kadiroen menjabat sebagai patih. Selain itu, dijelaskan pula siapa Tjitro
pada bagian akhir cerita. Penyertaan tokoh-tokoh lainnya dalam analisis tokoh
dan penokohan juga tidak tertutup kemungkinan karena watak tokoh satu
dengan yang lainnya saling mendukung.
Semaoen sebagai pengarang novel ini adalah orang yang serba tahu
akan tokoh-tokoh yang diciptakan. Dalam pencitraan tokoh penokohan,
pengarang tanpa segan-segan menuliskan secara langsung hal-hal mengenai
keadaan tokohnya. Kehadiran pengarang sangat jelas pada novel ini. Bukan
hanya melalui tokoh, tetapi juga melalui pendapat-pendapatnya juga sapaan
langsung kepada pembaca. Misalnya pada kutipan ini.
(3) Pembaca yang terhormat memang di suatu ketika dalam hidup manusia, ada saat-saat yang menghidupkan jiwa manusia sedemikian luar biasa (Semaoen, 2000: 43).
31
3.2 Kadiroen
Kadiroen adalah pemuda berusia 20 tahun. Wajahnya ganteng,
kulitnya hitam bersemu merah halus, matanya terbuka lebar dan tajam dalam
memandang. Bentuk fisik Kadiroen ini memang ditunjang dari bapaknya yang
bekerja sebagai lurah dan ibunya mempunyai gelar Raden Ayu. Kehidupan
sosial keluarganya tergolong cukup; cukup secara ekonomi dan cukup secara
status sosial. Hal ini karena ayah Kadiroen menjabat sebagai lurah dan
Kadiroen bekerja sebagai pejabat pemerintahan. Status demikian membuat
Kadiroen digolongkan sebagai seorang priayi pada waktu itu. Untuk masalah
pendidikan, Kadiroen cukup beruntung. Bukan karena ia adalah anak seorang
lurah, tetapi karena ia disekolahkan oleh seorang tuan kontrolir yang
mengadopsinya sebagai anak. Ia lalu disekolahkan di OSVIA (Opleiding
School voor Inlandsche Ambtenaren) di Probolinggo. Di sekolahnya,
Kadiroen tergolong anak yang pandai, suka belajar dan rajin. Itulah mengapa
ia diangkat sebagai anak emas oleh tuan kontrolir. Tidak hanya itu, bahkan ia
mempunyai jiwa pemberani dan sanggup beradu fisik. Ia dicintai guru dan
dihormati sesama murid.
Setelah lulus sekolah di OSVIA, ia bekerja sebagai schrijver contoleur
selama tiga bulan. Karena kecakapannya dalam bekerja, ia dianggap pantas
untuk bekerja sebagai menjadi mantri polisi di Onderdistik Semongan. Di
tempat inilah ia menangani kasus pertamanya yang kemudian mempengaruhi
kariernya. Ia menangani kasus pencurian kerbau milik Soeket yang hilang
ketika ia pergi untuk menjual barang, sedangkan istri dan anaknya sedang
32
sakit. Ketika Soeket melaporkan kerbaunya yang hilang kepada asisten
wedono, ia malah dimaki-maki karena dianggap tidak waspada.
(4)“Kamu amat teledor! Ke mana kamu semalaman pergi? Tidur nyenyak itu saja yang kau bisa. Bayangkan kerbau sebesar itu, dicuri orang kau tidak tahu. Hai pemalas. Sekarang kamu minta tolong sama aku. Apa memang kamu sudah tidak bisa menjaga kerbaumu sendiri. Dasar pemalas!” kata Tuan Asisten Wedono sambil marah besar (Semaoen, 2000: 11,12).
Pada saat yang bersamaan, tuan administratur kehilangan ayam
kesayangannya. Ia meyakini jika ayamnya telah dicuri. Rupanya asisten
wedono lebih memilih menangani kasus tersebut ketimbang kasus hilangnya
kerbau Soeket. Ia menilai menangani kasus ini lebih terhormat karena dapat
melancarkan kariernya. Ia lalu memerintahkan Kadiroen untuk menangani
kasus hilangnya kerbau Soeket.
Sikap asisten wedono ini berkebalikan dengan Kadiroen. Kadiroen
tidak habis pikir dengan atasannya tersebut bahwa jelas-jelas harga kerbau
lebih mahal daripada harga ayam tetapi karena rakus, ia lebih memilih
menangani hilangnya ayam tuan administratur. Ia juga merasa heran mengapa
atasannya itu bisa bersikap kasar terhadap orang miskin seperti Soeket.
Terhadap Soeket, didorong rasa iba dan karena tanggung jawabnya sebagai
mantri polisi, ia berjanji akan menuntaskan perkaranya itu. Di lain sisi,
Kadiroen juga berjanji untuk menuntaskan kasus hilangnya ayam tuan
administratur. Ia melakukan ini bukan untuk mencari muka dengan tuan
administratur, tetapi karena ia meyakini hilangnya ayam tersebut karena
dimakan oleh garangan. Penanganan kedua kasus ini menandakan bahwa
Kadiroen tidak pandang bulu dalam menyelesaikan suatu perkara dan
33
didorong dengan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang mantri polisi, ia
berjanji akan menuntaskan kasus ini.
Kadiroen sangat jeli dalam menuntaskan suatu perkara. Sebagai
layaknya mantri polisi, ia melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dalam
penyelidikannya, Kadiroen berhasil mengungkap siapa pencuri kerbau Soeket.
Mereka adalah komplotan pembuat onar yang sering mencuri dan bermain
judi. Analisisnya, mengantarkannya pada beberapa pertanyaan.
(5) Dalam hatinya ia bertanya-tanya. “Sesudah mencuri dibawa ke mana kiranya kerbau itu? Ke pasar atau ke rumah orang lain untuk dijualkah? Rasanya tidak mungkin. Sebab tidak mudah untuk berbuat hal yang demikian sebab semua penjualan, harus memakai saksi lurah, yang menjelaskan dari mana asal usul kerbau itu dipotong untuk dimakan sendiri? Mustahil, rasanya tidak mungkin, sebab satu orang tidak mungkin makan seekor kerbau jika tak punya hajat. Apa mungkin daging kerbau itu lalu dijual ke pasar? Juga tidak bisa. Karena semua hewan yang dipotong dan dagingnya dijual di pasar, harus mendapat pengesahan dari pegawai Gupermen. Pendek kata, jika hanya seorang pencuri, tidak mudah berbuat bergini. Dan pasti pencuri itu akan cari akal bagaimama mudah mendapatkan uang.” (Semaoen, 2000: 16).
Kadiroen mempunyai kemampuan beranalisis dengan cermat.
Kemampuannya itu dibuktikan dengan kembalinya sang pencuri kepada
Soeket untuk meminta tebusan. Kadiroen dengan berani membuntuti pencuri
itu sehingga Kadiroen tahu di mana sarang para pencuri tersebut. Sebuah
strategi pun disusun untuk menangkap para pencuri tersebut. Ia tahu tidak
mungkin menangkapnya hari itu juga karena mereka sedang berkumpul,
sedangkan Kadiroen hanya seorang diri. Hingga pada suatu hari, Kadiroen
menangkap pencuri tersebut. Namun, pencuri itu melakukan perlawanan
sehingga Kadiroen harus bergulat dulu dengannya. Karena kecerdikannya dan
34
ditopang tubuhnya yang kecil dan lincah, membantunya mengalahkan dan
menangkap para pencuri tersebut. Betapa kagetnya Kadiroen karena para
tersangka itu adalah orang yang mendapat kepecercayaan asisten wedono
untuk menyelesaikan perkara hilangnya ayam tuan administratur, termasuk
penangkapan Soekari yang ternyata dilandasi perasaan tidak suka para pelaku.
Kadiroen selayaknya pemimpin yang bijaksana lalu menasihati para pelaku
untuk bertobat pada Tuhan Allah. Kadiroen juga mengajak serta Soeket
beserta keluarga untuk berterima kasih pada Tuhan karena kerbaunya dapat
ditemukan dalam keadaan selamat. Kenyataan ini membuktikan bahwa
Kadiroen tidak lupa akan kebesaran Tuhan Allah karena melalui kehendak-
Nya segala persoalan dapat terselesaikan dengan baik. Ia mempercayai bahwa
segala sesuatunya telah diatur oleh Tuhan.
Sebelumnya, untuk perkara ayam tuan administratur, Kadiroen telah
menemukan bukti bahwa seekor garanganlah yang telah mengambilnya, bukan
pencuri seperti yang telah dituduhkan oleh tuan administratur juga asisten
wedono. Lagi-lagi dengan sigap Kadiroen melakukan penyelidikan untuk
membenarkan dugaannya. Dilukiskan oleh pengarang bagaimana ia harus
memanjat pohon guna memancing garangan keluar dari sarangnya. Ia tidak
segan-segan menggunakan berbagai cara untuk mengungkap kebenaran
terlebih pada kasus ini, asisten wedono telah menangkap Soekoer yang
dituduh mencuri ayam tuan adminstratur. Kadiroen seperti tidak percaya atas
apa yang telah dilontarkan atasannya karena ia yakin bukan pencuri, tetapi
seekor garangan lah pelakunya. Walaupun begitu, Kadiroen tidak lantas
35
bersikeras dengan pendapatnya. Ia bahkan memuji atasannya sambil
merendahkan diri.
(6) “O, Tuan, saya senang Tuan sudah dapat menangkap pencurinya. Karena saya masih polisi baru, jadi saya masih harus belajar pada Tuan. Namun saya masih belum yakin, apa benar Soekoer adalah pencurinya? Bagaimana Tuan menangkap serta apa bukti-buktinya?” (Semaoen, 2000: 21).
Dari kata-kata itu juga sebenarnya Kadiroen ingin memastikan bahwa
ia tidak sependapat dengan atasannya. Tetapi ia tidak gegabah untuk
melontarkan gagasannya dan lebih bersikap menunggu di saat yang tepat.
Buktinya adalah ketika asisten wedono menyuruh petugas lain untuk
memukuli Soekoer karena tetap menyangkal, Kadiroen tetap bersabar.
(7) Melihat penyiksaan semacam itu, darah Kadiroen serasa mendidih. Ia ingin sekali menolong Soekoer. Tetapi ia pikir belum waktunya untuk memberi pelajaran pada Tuan Asisten Wedono (Semaoen, 2000: 27).
Kesabaran, keberanian dan kecerdikan Kadiroen membuahkan hasil.
Kerja kerasnya dalam mengungkap pencurian kerbau Soeket dan hilangnya
ayam tuan administratur, telah mengangkat namanya. Tidak lama berselang, ia
diangkat menjadi asisten wedono di onderdistrik Gunung Ayu. Kadiroen
menerima keputusan tersebut dengan anggapan bahwa segala sesuatunya
harus dijalani. Kelak, di sanalah Kadiroen menemukan cintanya.
Menjabat asisten wedono tidak membuat Kadiroen besar kepala.
Rakyat hidup berkecukupan di bawah tangannya. Ini terjadi karena ia
memerintah dengan bijaksana dan arif. Segala persoalan berusaha
diselesaikannya tanpa pilih kasih. Baginya, semua orang adalah sama. Sikap
36
yang demikian membuat dirinya disukai rakyat. Namun ada satu desa
(Meloko) yang rakyatnya hidup kekurangan, tetapi sang lurah terkaya di
antara lurah yang lain. Tentunya ini membuat sedih Kadiroen. Bahkan
digambarkan pengarang jika ia tidak bisa tidur di malam hari. Karena rasa
tanggung jawab yang besar, ia kembali melakukan penyelidikan. Tiba suatu
pagi, Kadiroen mengunjungi desa itu. Tidak lupa Kadiroen mengucapkan
syukur kepada Tuhan karena telah memberikan alam yang indah ini. Dalam
perjalanannya juga, ia berpapasan dengan seorang perempuan. Pada
pandangan pertamanya itu, Kadiroen ternyata jatuh hati pada gadis yang
bernama Ardinah.
(8) O, Kadiroen tidak bisa melupakan pada keindahan yang begitu menarik jiwanya. Yang mengikat jiwanya sampai sakit, menyenangkan...” (Semaoen, 2000: 44).
Pengarang tidak sungkan untuk menyatakan perasaan Kadiroen yang
dialaminya. Bahkan, dituliskan bahwa Kadiroen juga mempunyai pikiran
untuk menikahi Ardinah.
Dalam urusan asmara, Kadiroen ternyata seorang pemalu. Di samping
ia juga terlalu perhitungan dalam segala bidang, termasuk masalah percintaan.
Ia tidak langsung berkenalan dengan gadis itu. Padahal, dengan kekuasaan
yang dimilikinya, tentunya ia dapat dengan mudah untuk berkenalan atau
bahkan memperistri seorang gadis. Tetapi hal itu tidak dilakukan Kadiroen.
Menurutnya, hal itu sama saja dengan menyelewengkan kekuasaan. Selain itu,
Kadiroen ternyata adalah seorang yang “gila” pekerjaan. Ia menyingkirkan
segala sesuatunya yang dianggap mengganggu pekerjaan, termasuk masalah
37
percintaan. Namun kali ini, pendapatnya itu dimentahkannya sendiri. Ia benar-
benar sedang jatuh cinta.
Kisah cintanya ternyata tidak berjalan mulus. Ardinah yang sedang
bersedih, menceritakan pada Kadiroen bahwa ia telah menikah dengan orang
yang tidak disenanginya guna memenuhi permintaan ayahnya yang sedang
sekarat. Bukan hanya itu, ternyata Ardinah juga dijadikan selir atau istri
kedua. Mendengar bahwa Ardinah telah menikah, Kadiroen merasa hancur
hatinya. Pengarang menceritakan bahwa wajah Kadiroen menjadi pucat
seketika. Bahkan, ia sempat tidak sadarkan diri dan pingsan beberapa saat.
(9) ”Ya!” Kata Ardinah pada saat jawaban itu keluar, Kadiroen menjadi pucat wajahnya. Ia seperti tidak melihat apa-apa lagi. Semuanya menjadi gelap. Ia merasa tidak bisa hidup lagi. Ia merasakan ada pukulan berat yang menyebabkan pecah hatinya. Maka ia memegang dadanya sambil menjerit dalam hati ”Aduh!” dan badannya hampir jatuh ke tanah kalau Ardinah tidak cepat-cepat menahannya. Kadiroen pingsan beberapa saat (Semaoen, 2000: 55).
Kejadian itu sangat mengacaukan hati dan pikiran Kadiroen. Di satu
sisi, ia belum menuntaskan permasalahan terkait rakyat di Desa Meloko yang
miskin dan ditambah juga perasaan cintanya yang sedang hancur. Meskipun
begitu, Kadiroen dengan gaya bicaranya yang lemah lembut dan berwibawa,
berusaha menenangkan Ardinah yang sedang sedih dan berjanji membantu
menyelesaikan perkaranya.
(10) ”Mbakyu, saya mengucapkan banyak terima kasih. Karena kamu mempercayai saya dan sudah menceritakan hal ini. Kau dengan gagah berani, melupakan kepentinganmu sendiri, dan berusaha untuk menolong orang lain. Kau telah memberikan contoh yang baik kepada saya. Selain itu, saya akan melupakan kepentinganku sendiri, kalau ada orang lain yang
38
mesti ditolong. Pasal membantu kamu untuk menolong bini tua dari lurah tersebut, sesungguhnya amat sukar urusannya. Saya sekarang belum dapat berusaha. Oleh karena itu, saya minta waktu. Lain hari hal ini saya akan bereskan (Semaoen, 2000: 60).
Dari kutipan (9) dan (10) juga dapat kita temui bahwa Kadiroen tidak mau
melihat orang menyaksikan kesusahannya. Ia berusaha menutupi keadaan
dirinya sendiri yang sedang sakit hatinya. Ia adalah tipikal orang yang tertutup
perasaannya.
Kadiroen merasa telah rusak jiwanya. Oleh karena itu, ia meminta izin
untuk cuti selama 14 hari untuk pulang bertemu ayah dan ibunya. Sementara
itu, segala permasalahan, kecuali permasalahan Ardinah, ia serahkan kepada
asisten wedono. Di sini terlihat bagaimana Kadiroen ingin menentramkan
hatinya, tanpa meninggalkan kewajibannya. Nantinya, setelah kembali dari
masa cuti, ia diperintahkan untuk menjabat sebagai wedono di distrik Rejo. Ia
bersyukur karena menganggap ini sebagai obat luka jiwanya yang sedang
sakit. Selain itu, dengan penugasan tersebut, Kadiroen berharap dapat
melupakan Ardinahnya.
Kehidupan rakyat Rejo yang miskin membuat sedih hatinya.
Sebelumnya, Kadiroen mendengarkan dengan seksama petuah pendahulunya.
Kadiroen menghormatinya karena ia seorang yang baik hati, dan mau
memperdulikan nasib rakyat Hindia meskipun ia adalah orang Belanda. Untuk
mengatasi kemiskinan itu, Kadiroen membuat beberapa pertanyaan yang harus
bisa dijawab oleh rakyatnya sendiri melalui lurah dan beberapa tetua-tetua
desa. Oleh karena itu, di tiap-tiap desa, ia mengumpulkan lurah beserta tetua-
39
tetuanya guna mencari jawaban atas pertanyaan yang telah disiapkannya.
Kadiroen tahu bahwa orang kecil akan merasa takut bila disuruh menghadap
atasannya, maka ia menasihati yang telah datang agar berbicara jujur karena
ini semua demi terciptanya masyarakat yang berkecukupan. Sebagai
pemimpin baru, ia memang sangat bijak dan ingin menganggap rakyatnya
sebagai saudaranya sendiri. Selain itu, pengalamannya dalam memerintah
rakyat juga semakin terolah. Kadiroen juga dengan rela datang ke tiap-tiap
desa dan mengorbankan waktunya untuk kepentingan orang banyak.
Setelah mengadakan rapat di tiap-tiap desa, Kadiroen menemukan
kesimpulan mengapa rakyatnya hidup sengsara. Ia berpendapat bahwa
rakyatnya mudah mengeluarkan uang demi kehormatan, misalnya saja untuk
hajat sunatan. Kadiroen menjalankan tugas dan kewajibannya dengan
membuat surat kepada para lurah yang berisi pendapatnya. Kadiroen juga
meminta para lurah menasihati agar rakyat dapat berhemat. Beberapa hari
setelah turunnya surat perintah itu, Kadiroen memeriksa sendiri apakah
perintahnya telah dijalankan oleh rakyatnya. Ia pun harus menyamar karena ia
paham rakyat kecil tidak akan mau mengaku jika ditanya oleh pembesar
karena takut.
(11) “Dengan pakaian palsu, ia menyamar seperti orang Arab, layaknya seorang mindring yang mengutangkan kain pelakat dan kain kebaya kepada penduduk desa.” (Semaoen, 2000: 81).
(12) “Sarung, sarung! Sungguh ini sarung yang bagus dan murah. Boleh dicicil saban sepasar dan tiga bulan vooldaan. Mindring sarung buat anak-anak yang mau sunat atau boleh dipakai waktu punya hajat atau tayuban...” (Semaoen, 2000: 82).
40
Tampak di sini adalah sosok Kadiroen yang ingin dekat dengan
rakyatnya. Ia juga ingin mengetahui secara langsung apa yang sedang terjadi
di masyarakatnya apapun caranya. Penyamarannya itu membuahkan hasil.
Pendapat Kadiroen supaya rakyat berhemat telah diselewengkan menjadi
aturan keras, sehingga siapa yang melanggar akan dikenai hukuman. Terhadap
perubahan aturan menjadi keras ini, Kadiroen segera mengumpulkan kembali
para lurah dan tetua desa. Ia mengklarifikasi aturan tersebut sehingga rakyat
jadi paham aturan yang dibuat itu baik untuk mereka. Pengklarifikasian ini
juga dimaksudkan agar nama Kadiroen tidak tercoreng di mata masyarakat.
Keberpihakan Kadiroen pada rakyat tidak hanya berhenti sampai di
situ. Kadiroen bahkan harus cuti selama tiga bulan karena sakit demi
mengurusi rakyatnya. Ia dengan rela tidak menghiraukan keadaannya sampai-
sampai badannya semakin kurus. Di benak Kadiroen yang hadir hanyalah
bagaimana cara menyejahterakan rakyatnya.
Salah satu wujud perhatiannya kepada rakyat adalah mengajukan
laporan-laporan berisi masalah-masalah tentang pengairan, soal sewa tanah,
dan permintaan pendirian bank desa dengan bunga murah. Agar usahanya ini
berhasil dan didengar atasannya, rupanya Kadiroen harus bersabar dahulu dan
mengikuti aturan yang berlaku.
Kegigihan dan semangat kerja keras Kadiroen telah mengangkatnya
menjabat sebagai patih di kota S. Ia dipilih karena kecerdikannya dalam
mengurusi rakyat. Dalam menjalankan tugas barunya, Kadiroen mengurusi
41
pemerintahan dengan sungguh-sungguh. Tetapi hal ini berkebalikan dengan
bawahannya.
(13) Sebaliknya, pejabat-pejabat yang ada di bawahnya banyak yang mengomel dan tidak mau membantu dengan hati ikhlas semua maksud Kadiroen yang berguna buat rakyat. Para pejabat itu hampir semuanya mufakat dengan peraturan-peraturan apa adanya sebagaimana zaman dahulu, yang urusannya begitu gampang dan tidak membuat pusing kepala (Semaoen, 2000: 96).
Jabatan baru Kadiroen tentu menambah banyak pekerjaan Kadiroen.
Oleh karena itu, ia kembali jatuh sakit.
(14) Mewakili Patih baru dua bulan lamanya, Kadiroen jatuh sakit lagi sebab pekerjaannya terlalu berat. Ia terpaksa meminta cuti lagi sampai dua bulan lamanya. Dan di waktu ia kembali dari cuti dan mengurus lagi pekerjaannya, badannya menjadi sangat kurus. Ia kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya (Semaoen, 2000: 97).
Sekembalinya Kadiroen dari cuti, di kota S diadakan rapat besar oleh
Partai Komunis (selanjutnya dalam cerita disebut PK) yang sedang menjadi
buah bibir baik di pemerintahan maupun masyarakat. Oleh tuan residen,
Kadiroen diminta untuk membuat laporan mengenai rapat tersebut; mulai dari
jalannya rapat, apa saja yang dibicarakan, siapa dan bagaimana caranya
memimpin rapat.
Rupanya Kadiroen terpikat dengan rapat PK yang memang bertujuan
untuk mencari anggota guna membesarkan partai itu. Terdorong rasa
kegalauan Kadiroen atas nasib rakyatnya yang tidak kunjung membaik,
membuatnya tertarik untuk masuk dalam PK. Menurutnya melalui PK-lah
nasib rakyat dapat berubah sehingga rakyat dapat hidup sejahtera.
42
(15) Adapun Kadiroen sendiri sewaktu vergadering hatinya berdebar-debar. Ia mendengar keterangan Tjitro dan perasaannya terbuka, sepertinya dalam hati ia melihat cahaya bintang yang sangat baik, menggambarkan maksud dan tujuan perkumpulan P.K” (Semaoen, 2000: 144).
Pengarang secara analitik mengambarkan suasana hati dan pikiran
Kadiroen saat itu. Kini Kadiroen mengerti bahwa caranya dalam
menyejahterakan rakyat menggunakan cara kuno sedangkan zaman sudah baru
maka caranya pun harus dengan cara baru. Kadiroen sungguh merasa tertarik
bergabung bersama PK. Namun, ia juga ingin mempertahankan derajatnya
sebagai wakil patih agar dapat dihormati rakyatnya. Kadiroen kini dihadapkan
pada dua pilihan.
Ketika Kadiroen membaca koran, ia keheranan karena salah satu isi
beritanya bercerita telah terjadi penghasutan oleh PK. Kadiroen merasa heran
karena tujuan rapat kemarin adalah baik untuk mengubah kondisi masyarakat
yang selama ini kesusahan. Kenyataannya sekarang adalah bahwa PK telah
dimusuhi oleh berbagai pihak. Namun ia tertarik untuk bergabung bersama
partai tersebut. Di sisi lain, Kadiroen tetap ingin mempertahankan jabatannya
sebagai wakil patih. Ia mempertahankan bukan karena “gila” jabatan, tetapi
lebih karena membantu kedua orangtuanya yang sudah tua dalam menghidupi
tujuh saudaranya.
Kadiroen tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan, maka ia
meminta nasihat ayahnya. Sang ayah menyarankan agar Kadiroen mengambil
jalan tengah, yaitu tidak masuk menjadi anggota namun tetap membantu PK
43
dan tetap menjabat sebagai wakil patih. Terhadap keputusan ini Kadiroen
menyetujuinya.
(16) Kadiroen mengambil jalan tengah, jadi tidak masuk sebagai anggotanya atau ikkut memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam vergadering-vergadering P.K. Tetapi, selain membantu dengan uang secara rahasia itu, maka Kadiroen juga turut membantu dengan dengan berusaha memberikan pertimbangan dan pengetahuannya pada organisasi P.K., yaitu dengan menulis dalam surat kabar Sinar Ra’jat. Tetapi supaya tidak ada orang yang mengerti bahwa ia ikut menulis, maka selamanya ia memakai nama palsu, yaitu Pentjari. Hanya Pemimpin Redaksi Sariman sendiri yang mengetahui rahasia ini (Semaoen, 2000: 157).
Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Kadiroen menuruti
nasihat ayahnya. Hal ini juga membuktikan bahwa Kadiroen sangat
menghormati ayahnya. Kadiroen tidak mau mengambil keputusan sendiri
terkait organisasi P.K. Dengan demikian secara tidak langsung, Kadiroen telah
mendapat persetujuan dari ayahnya sehingga membuat lega hatinya juga orang
tuanya.
Suatu saat Kadiroen mendapat delik pers. Tulisannya dianggap
menghina pemerintah Belanda. Untuk mempertanggungjawabkan tulisannya,
ia bersedia dipanggil oleh pengadilan. Masalah ini memang sudah dipikirkan
oleh Kadiroen. Ia merasa orang yang paling bertanggungjawab terhadap berita
yang ditulisnya. Ia tidak mau dicap sebagai pengecut oleh pemimpin redaksi
koran itu. Lagipula, Kadiroen juga tidak mau bersembunyi dalam pangkat dan
jabatannya. Tentunya hal ini mempunyai resiko bahwa nama samaran
Kadiroen akan terbongkar sehingga semua orang tahu siapa yang menulis
berita itu.
44
Kasus ini telah menjadi buah bibir di masyarakat. Kadiroen yang
seorang patih, telah dianggap berani untuk terjun dalam dunia pergerakan.
Ada orang yang menghinanya serta menyarankan agar ia dipecat dari
jabatannya. Ada pula yang memberikannya pujian karena telah berani
membela rakyat. Bagi yang menghinanya, banyak orang menganggap bahwa
Kadiroen sudah menjadi gila dan tidak sanggup lagi menjalankan tugas dan
kewajibannya sedangkan bagi yang memujinya, ia dianggap kesatria yang
memperhatikan rakyat kecil. Terhadap persoalan ini, Kadiroen tidak ingin
memikirkannya. Ia lebih berkosentrasi untuk mengumpulkan bukti-bukti
bahwa tulisannya adalah kenyataan.
Betapa senang hati Kadiroen. Bukan hanya dibebaskan dari tuduhan
tetapi setelah dipanggil tuan asisten residen, ia tidak dipecat. Bahkan, dengan
catatan bahwa selama tuan asisten residen masih menjabat, Kadiroen akan
diperbolehkan untuk menulis, tetapi jika sudah diganti ia ragu apakah
penggantinya akan berkelakuan sama atau tidak.
Kadiroen kini harus berhadapan dengan pengganti tuan asisten residen.
Ia sangat tidak setuju dengan keputusan Kadiroen yang tetap menulis di koran.
Suatu ketika, tuan asisten residen memanggil Kadiroen untuk memintainya
keterangan apakah masih sering menulis atau tidak. Kadiroen yang dengan
tenang dan sabar menceritakan bahwa ia masih menulis karena dirasa perlu
untuk membantu memajukan rakyat Hindia. Hal ini menunjukkan bahwa
Kadiroen sangat mencintai pekerjaan menulisnya ini. Setelah terjadi adu
pendapat, tuan asisten akan terus mengawasi tulisan yang dibuat Kadiroen.
45
Kadiroen pun tahu bahwa atasannya itu tidak suka jika ia tetap menulis dan
mencari cara untuk menjatuhkannya. Dugaannya itu benar. Kadiroen
dipanggil lagi karena tulisannya dinilai telah melecehkan pemerintahan maka
ia mengajukan pemecatan Kadiroen pada atasannya. Kadiroen yang merasa
tidak bersalah, tetap tenang dan sabar dalam mengahadapi persoalan ini.
Tanpa emosi, ia menjelaskan bahwa argumen atasannya itu keliru dan salah
paham. Namun tetap saja perkara itu dilaporkan kepada tuan residen sehingga
Kadiroen harus menerangkannya kembali.
Kadiroen memang diliputi keberuntungan. Menurut tuan residen
tulisannya itu tidak salah sehingga ia tidak dipecat. Sedangkan tuan asisten
residen telah mengundurkan diri dengan hormat karena perkara ini, maka
persoalan ini telah selesai. Namun tuan residen memberikan pilihan bagi
Kadiroen; tetap menulis dengan pangkat kembali menjadi wedono atau
menjabat sebagai patih atau regen tetapi tidak diperkenankan untuk menulis.
Terhadap pilihan ini Kadiroen memikirkannya dengan baik-baik. Ia tidak mau
jika pilihannya itu salah maka pada hari itu juga Kadiroen lebih memilih untuk
melepaskan jabatannya dengan hormat agar lebih dapat membantu pergerakan
rakyat melalui PK secara total. Ini juga menandakan bahwa jiwa Kadiroen
sudah bebas untuk menentukan pilihan. Ia tidak perlu lagi meminta pendapat
orang tuanya karena ia meyakini bahwa jalan yang dipilihnya, mendapat restu
dari kedua orang tuanya. Kadiroen kini dapat dengan bebas menyuarakan
pendapatnya guna memperbaiki kehidupan masyarakat yang selalu ditindas.
46
Kadiroen yang sudah lepas dari jabatannya kini bekerja sebagai mede-
redacteur koran PK. Ia tinggal dengan Sariman, Hoofd-Redacteur koran PK
yang mempunyai analisis tajam dan luas pandangannya soal jurnalistik.
Karena alasan tersebut juga ia telah menganggap Sariman sebagai guru. Hal
ini menyebabkan terjalinlah suatu hubungan yang akrab antara Kadiroen dan
Sariman berserta istrinya.
Sebagai seorang sahabat, Sariman tentu mengetahui perasaan sedih
Kadiroen yang selama ini ditutupinya. Sariman menebak bahwa ini masalah
percintaan. Kadiroen merasa kaget atas dugaan sahabatnya itu. Kadiroen
bercerita bahwa ia telah jatuh hati kepada seorang wanita yang amat teguh
jiwanya, tetapi wanita itu sudah mempunyai suami. Dalam pikiran Kadiroen,
ia hanya bisa mencintai sekali saja dalam seumur hidup dan kenyataan bahwa
ia tidak bisa beristri sekarang karena Kadiroen merasa ini sudah diatur oleh
Allah. Kadiroen lalu menceritakan Ardinah, kekasih sejatinya kepada
Sariman.
Bagian akhir cerita, hanya berkisah soal romantika antara Kadiroen
dan Ardinah. Diceritakan bagaimana Kadiroen merasa kaget dan malu atas
“cinderamata” yang diberikan Sariman dan istrinya setelah pulang melancong.
Tanpa diduga, Sariman membawa serta juga Ardinah. Rupa-rupanya Ardinah
juga memendam perasaan cinta dengan Kadiroen. Sebelumnya, perkara
Ardinah telah diselesaikannya. Sampai saatnya, Kadiroen meminta
persetujuan kedua orang tuanya untuk menikahi Ardinah. Hatinya berdegup
kencang karena kedua orang tuanya sedang berembuk menyetujui atau tidak;
47
apakah ibunya yang keturunan bangsawan akan setuju atau tidak. Pada
akhirnya kedua orang tua Kadiroen menyetujuinya. Kebahagiaan tak
terelakkan Kadiroen dan calon istrinya. Sang ayah mengajak serta seluruhnya
yang ada di situ untuk bersujud berterimakasih pada Tuhan. Kisah ini
sekaligus yang menjadi penutup novel.
Ungkapan syukur pada bagian akhir cerita ini sebernarnya lebih
ditujukan kepada Kadiroen. Menurut pengarang, inilah “kado” untuk kesatria
Kadiroen; kesatria yang pada akhirnya lebih memilih pergerakan rakyat
melalui Partai Komunis daripada harus duduk dalam jajaran kepemerintahan.
Ketotalan Kadiroen ini tentu tidak datang dengan sendiri. Adalah Tjitro yang
mempunyai andil dalam membuka pikiran Kadiroen.
3.3 Tjitro
Tjitro merupakan anak tukang batu yang berkecukupan. Karena itulah
ia dapat disekolahkan oleh kedua orangtuanya. Tjitro mempunyai adik yang
juga disekolahkan. Ayahnya mempunyai pendirian supaya anak-anaknya maju
dan pintar.
Tjitro mempunyai teman dekat yang bernama Sariman. Karena miskin,
Sariman tidak dapat disekolahkan orangtuanya maka sejak kecil, Sariman
meminta supaya Tjitro menerangkan kembali apa yang sudah diajarkan
gurunya di sekolah tiap harinya. Tjitro tidak mempermasalahkan hal itu. Ia
48
sama sekali tidak merasa keberatan. Karena harus mengajari Sariman belajar,
Tjitro menjadi murid yang pandai dan menempati rangking satu di kelasnya.
Pada umur 10 tahun, Tjitro sudah lulus sekolah dan pada tahun itu juga
ia kerja menjadi leering letter zetter di kota G. Adalah pengalaman
sahabatnya-Sariman, serta kenyataan bahwa sekolah hanya disediakan bagi
mereka anak-anak priayi saja, maka Tjitro dan sahabatnya berjanji untuk
membantu rakyat kecil. Guna melancarkan cita-cita itu, Tjitro bekerja di
kantor yang buka sampai jam dua siang. Gaji yang didapat digunakannya
untuk membeli buku untuk menambah kepintarannya. Tiap sorenya, Tjitro dan
Sariman belajar bersama-sama tentang segala pengetahuan. Keniatan mereka
ditunjukkan pula dengan membayar seorang guru Belanda yang hanya datang
seminggu sekali. Tjitro juga gemar berolahraga. Hal ini dilakukannya untuk
menyeimbangkan agar tubuh dan pikiran dapat sejalan. Selain itu, olahraga ini
juga digunakan untuk melepaskan kejenuhan saat belajar.
Tjitro dan Sariman sudah berumur 20 tahun. Bersama adik Tjitro,
mereka bertiga masuk menjadi anggota PK di kota G. Tjitro menempati posisi
sebagai sekretaris. Karena kepandaiannya, tidak lama berselang ia dipilih
untuk menjadi seorang propagandis PK. Kepandaiannya dalam ilmu
pengetahuan dibuktikannya pada saat ia menjadi pembicara untuk
menerangkan maksud dan kegiatan PK di kota S. Seperti dalam pengantar,
kehadiran tokoh Tjitro dalam bagian ini hanyalah bentuk penceritaan ulang
yang dilakukan oleh Kadiroen. Dengan ingatannya yang tajam dan
49
kejujurannya, Kadiroen tidak akan melebih-lebihkan atau mengurangkan
penceritaan ulang dalam bentuk laporan untuk atasannya ini.
Pada pembukaan vergadering Tjitro menerangkan maksud dan tujuan
P.K.
(17) “Saudara-saudaraku kaum P.K. dan semua Tuan-Tuan yang hadir pada vergadering ini maksud saya berbicara di sini tidak akan mengajak orang untuk membikin rusuh dan ribut negeri dengan menghasut supaya bikin onar, sebagaimana yang hari kemarin sudah diterangkan dengan jelas oleh surat-surat gula S.H.B. Tetapi maksud saya mau menerangkan maksud dan tujuan pergerakan supaya semua orang mengetahui bahwa P.K hanya berusaha memuliakan rakyat dan negeri Hindia (Semaoen, 2000: 103).
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa Tjitro mengetahui jika kehadiran P.K
ada yang menyukai dan ada yang tidak. Untuk itu dalam pembukaan
vergadering, ia menyatakan hal yang demikian.
Ilmu yang sudah didapatnya, ditularkannya kepada hadirin yang
datang. Tjitro menerangkan terlebih dahulu tentang sejarah di Hindia; dimulai
dari rakyat yang masih berdiri sendiri-sendiri, kemunculan raja-raja Jawa yang
sering memeras rakyat dengan mewajibkan membayar upeti hingga masuknya
Belanda yang mengambil keuntungan dari keadaan di Hindia yang sedang
dilanda kerusuhan akibat serakahnya kerajaan-kerajaan kecil guna mencari
kekuasaan. Tjitro juga mengajak para hadirin untuk menengok ke belakang di
mana dulu rakyat dianggapnya merdeka atau merasa hidup ayem-tentrem.
Tjitro paham betul ilmu sejarah tentang bangsanya. Ia lalu menceritakan
sebelum datangnya Belanda, Hindia menjadi titik tolak perdagangan dengan
50
banyaknya saudagar-saudagar asing yang singgah di Hindia. Tapi masyarakat
Hindia tidak rukun sehingga dapat dikuasai bangsa asing.
Pengetahuannya tentang masyarakat juga dibicarakan dalam
vergadering ini. Menurutnya, kelas sosial masyarakat telah terbentuk yaitu
antara pemilik pabrik dan golongan buruh. Pemilik pabrik lebih
mementingkan keuntungan semata sehingga tidak memperhatikan golongan
buruh. Selanjutnya, Tjitro memberikan solusi yang ditawarkan kepada rakyat
yang selalu ditindas oleh kaum bermodal. Solusi ini tentunya adalah
perwakilan PK dalam usahanya untuk memakmurkan rakyat Hindia, yaitu
pertama rakyat harus rukun bersama-sama untuk berusaha atau berdagang
sendiri dengan mendirikan koperasi. Kedua, mendirikan perkumpulan-
perkumpulan sesuai bidang kerjanya. Terakhir, yaitu ikut bersama dalam
gerakan politik-khususnya Partai Komunis. Tjitro lalu menambahkan bahwa
paham komunis adalah baik untuk semua orang
(18) “Komunisme itu ialah ilmu mengatur pergaulan hidup supaya dalam pergaulan hidup itu orang-orang jangan ada yang bisa memeras satu sama lainnya” (Semaoen, 2000: 127).
Begitulah Tjitro yang dengan semangat berbicara kepada orang banyak
tentang apa sebenarnya komunisme itu. Dari vergadering ini tampak bahwa
PK sedang mengusahakan agar rakyat mau ikut bergabung bersama mereka.
Semuanya itu tentu terletak pada keberhasilan Tjitro untuk menarik massa.
Pada dasarnya, adalah besar tanggungjawab Tjitro sebagai propagandator PK.
Vergadering itu belum selesai. Selanjutnya, Tjitro juga merumuskan
pendapat partainya tentang bagaimana selanjutnya menata pemerintahan
51
Hindia. Ia menjelaskan bahwa tiap-tiap pekerja mempunyai suatu majelis yang
memimpin dan mengatur mereka. Majelis-majelis itu mengadakan rapat dan
mengirimkan utusannya dalam majelis kota dan begitu seterusnya hingga
majelis negeri adalah majelis tertinggi dan harus ditaati oleh majelis-majelis di
bawahnya. Agar para hadirin lebih jelas dan tidak membingungkan, Tjitro
membuat bagan-bagan tentang rencana pemerintahan PK.
Banyak orang yang setuju dari pendapat Tjitro yang mewakili PK.
Sambutan hangat dengan tepuk tangan riuh ramai celotehan para hadirin yang
hadir. Ketika sesi tanya jawab, beberapa orang dengan vokal menolak rencana
PK tersebut. Tjitro yang bertindak sebagai pembicara tidak sedikit pun
terpancing emosinya.
(19) “Sekarang saya mesti menjawab Tuan Soebono. Tuan Soebono memang masih muda, karena itu semangatnya keras sehingga marah pada saya. Ia mengatakan bahwa saya jahat sekali dan menjual bangsa. Tetapi saya tidak sakit hati pada Tuan Soebono. Saya hanya meminta kepada Tuan Soebono memikirkan dengan sabar atas jawaban saya ini” (Semaoen, 2000: 142).
Begitulah Tjitro yang tidak terpancing emosinya. Sebagai orang yang
berbicara di depan orang banyak, ia tentu harus harus menjaga agar hadirin
yang datang tidak terpancing juga emosinya. Salah satunya yaitu dengan
berbicara sopan kepada orang yang berbeda pendapat.
Kehadiran Tjitro yang hanya berupa penceritaan ulang oleh tokoh
Kadiroen ternyata mempunyai efek besar. Ia sebagai wakil PK merumuskan
pedoman tentang rencana strukutural sistem pemerintahan yang berhaluan
komunis. Ia sekaligus tokoh yang memberikan pencerahan kepada rakyat yang
52
sadar akan dilemanya sebagai rakyat yang selalu tertindas. Tidak hanya itu,
melalui tokoh Tjitro ini pula membuat Kadiroen sebagai patih begitu tertarik
untuk bergabung walau pada mulanya ia tetap mendua pada jabatannya.
3.4 Rangkuman
Pembahasan tokoh dan penokohan Kadiroen merupakan gambaran dari
pengembangan tahapan untuk sampai menjadi bentuk realisasi. Tokoh dan
penokohan dalam novel, lebih banyak berkaitan dengan seputar pekerjaan
Kadiroen. Namun hal tersebut juga menyentuh sisi kepribadian serta
pendiriannya sehingga ia dapat memutuskan untuk bergabung bersama PK.
Dalam hal pendidikan, Kadiroen memperoleh pendidikan Belanda. Ia
cukup beruntung karena diangkat anak oleh seorang tuan kontrolir sehingga
disekolahkan di OSVIA. Hal tersebut tidak lalu membuatnya menjadi
sombong. Justru di tempat itulah Kadiroen melatih kecerdasannya.
Kasus pertama yang ditangani dalam pekerjaannya sebagai mantri
polisi muda, melatih kepekaannya terhadap rakyat kecil. Perlakuan yang
didapat Soekoer oleh asisten wedono membuka matanya bahwa rakyat kecil
memang harus ditolong. Bekerja bersama asisten wedono juga membuka
pengetahuannya dalam menangani rakyat kecil. Penyelesaian perkara Soeker
dan Soeket bukan semata-mata untuk mencari muka dengan atasannya, tetapi
lebih kepada rasa tanggung jawabnya sebagai mantri polisi muda. Penanganan
kedua perkara itu juga menandakan bahwa Kadiroen tidak pilih kasih dalam
53
penyelesaiannya, berbeda dengan asisten wedono yang lebih memilih
pekerjaan yang dianggapnya bergengsi.
Didorong rasa tanggung jawab dan bakat dalam menganalisis serta
kecakapannya dalam bertindak menjadi pintu gerbang yang menanjakkan
karier Kadiroen. Hal itu terbukti ketika Kadiroen berhasil menyelesaikan
perkara Soeket dan Soekoer. Selanjutnya berturut-turut ia naik jabatan
menjadi asisten wedono, wedono, dan pengganti patih. Hal ini menandakan
bahwa Kadiroen memang dipercaya oleh pemerintah karena mempunyai hasil
dari pekerjaannya. Bakatnya dalam menganalisis suatu masalah menjadi kunci
dalam penyelesaian suatu perkara.
Wataknya yang berani dan tidak ragu untuk mengambil tindakan juga
dilakukannya dalam menjalankan pekerjaannya. Hal itu tercermin, misalnya,
saat Kadiroen harus melawan pencuri kerbau Soekoet dan penyamarannya
sebagai orang Arab pada kutipan (19) dan (20). Hal itu juga dilakukannya
supaya ia mengetahui sendiri bagaimana keadaan rakyat yang dipimpinnya.
Keseriusannya bekerja untuk rakyat juga ditunjukkannya dengan membuat
aturan-aturan yang diteruskan kepada pembesar.
Sikap etos kerja yang diterapkan Kadiroen mau tidak mau berdampak
bagi kisah asmaranya. Ia menutup pintunya untuk Ardinah, kekasih hatinya
yang tidak kesampaian. Ia berusaha menutup pintu hatinya dalam-dalam agar
dapat bekerja dengan konsen untuk keperluan rakyat. Tampaknya ia ingin
menyingkirkan segala bentuk kepentingan pribadi untuk kepentingan rakyat,
54
termasuk juga mengabaikan kesehatannya. Beberapa kali Kadiroen harus
mengambil cuti karena sedang merasa sakit jiwanya, seperti pada kutipan (14).
Segala cara ia lakukan agar rakyatnya dapat hidup sejahtera, namun
tetap saja tidk bisa mengubah keadaan. Terhadap hal itu, Kadiroen merasakan
kesedihan yang mendalam. Bersamaan dengan itu, tampillah tokoh Tjitro saat
vergadering Partai Komunis. Keberadaan tokoh ini sangat penting bagi
kelanjutan cerita ini. Lewat Tjitro-lah Kadiroen menajdi sadar dan tahu
mengapa usaha yang dilakukannya tidak membuahkan hasil bagi
masyarakatnya. Karena kesadaran itulah Kadiroen lalu bergabung bersama
Partai Komunis sebagai penulis lepas surat kabar Sinar Ra’jat dengan nama
samaran Pentjari sekaligus menjabat sebagai patih. Bersama Partai Komunis,
Kadiroen lalu berusaha mensejahterakan rakyat Hindia.
Terhadap PK, Kadiroen merasakan kebimbangan yang luar bisa. Di
satu sisi ia menganggap bahwa menjadi anggota P.K adalah baik, tetapi di sisi
lain ia ingin mempertahankan status sosialnya karena ingat keluarganya.
Untuk mengatasi hal ini, Kadiroen tidak mau mengambil keputusan gegabah.
Kadiroen lalu meminta nasihat ayahnya. Ini juga menjadi tanda bahwa
Kadiroen menghormati dan berbakti pada kedua orangtuanya. Jalan tengah
pun diambil. Kadiroen tetap menjabat sebagai patih sekaligus bergabung
bersama P.K secara tidak langsung (kutipan (16)).
Jabatan rangkapnya, mengantarkannya pada suatu masalah. Ia terkena
persdelict. Rasa keberuntungan meliputi diri Kadiroen. Ia dinyatakan tidak
bersalah dan bebas dari hukuman. Namun ia dihadapkan pada pilihan untuk
55
tetap menjabat pejabat pemerintahan atau keluar dan bekerja secara penuh
untuk PK. Karena keinginannya untuk mengkonkretkan rakyat yang sejahtera,
ia memilih bergabung dan bekerja di koran PK.
Tokoh Tjitro memang low profile, tetapi menjadi penting bagi
Kadiroen. Ia pembuka pikiran Kadiroen atas zaman baru yang sedang
dihadapinya. Pekerjaan orang tuanya yang berkecukupan mengantarkan Tjitro
mengenyam bangku sekolah. Berdasarkan pengalaman bahwa sekolah hanya
digunakan oleh kalangan priayi maka ia bersama sahabatnya berjanji untuk
membantu rakyat kecil. Kesadaran untuk menambah pengetahuan
dilakukannya dengan menggunakan gaji yang ia dapat untuk membeli buku.
Berdasarkan pengalaman dan kecerdasannya itulah Tjitro lalu masuk menjadi
anggota PK.
Pada awalnya Tjitro berkerja sebagai sekretaris tetapi tidak lama
berselang ia diangkat menjadi propagandator karena dianggap cukup pandai.
Pengetahuan luasnya tentang sejarah Hindia, berusaha menerangkan pada saat
vergadering tentang tujuan maupun maksud dari Partai Komunis.
Sebagai anggota PK, tentu Tjitro mengetahui segala seluk-beluk
organisasi itu. Hal itu dimanfaatkannya utnuk menarik rakyat bergabung
bersama PK. Itu sekiranya menjadi tugas Tjitro. Dalam melaksanakan
tugasnya, ia dapat memilah emosinya karena banyak pihak juga yang tidak
setuju dengan PK. Hal itu terdapat pada kutipan (18). Tjitro dapat
mengendalikan jalannya rapat. Tiap pertanyaan maupun kritikan dijawabnya
dengan halus. Hal ini membuktikan jika Tjitro memang cakap dalam bertutur
56
kata. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Kadiroen. Ia terpikat
dengan apa yang diomongkan Tjitro. Walaupun pada awalnya Kadiroen
merangkap jabatan sebagai pejabat sekaligus anggota tidak tetap PK, lambat
laun Kadiroen dengan suara bulat memilih bergabung bersama PK sebagai
penulis. Apa yang menjadi pilihan Kadiroen ini tidak lepas dari peran tokoh
Tjitro.
57
BAB IV
GAGASAN SEMAOEN
TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)
DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN
4.1 Pengantar
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan gagasan adalah sebuah
proses untuk sampai menjadi suatu bentuk realisasi yang ingin disampaikan
pengarang kepada masyarakat berupa pendapat yang tertuang dalam karya
sastra berupa novel. Oleh karena berupa karya sastra maka masyarakat yang
dituju adalah masyarakat pembaca.
Menurut Ubaydillah, gagasan merupakan sebuah proses untuk sampai
menjadi suatu bentuk realisasi. Untuk sampai menjadi bentuk realisasinya, ada
beberapa tahapan, yaitu tindakan, interaksi dan kreasi. Karena penelitian ini
bersumber pada karya sastra, maka segala tahapan tersebut mengacu pada
novel Hikayat Kadiroen, terutama kepada tokoh utama yaitu Kadiroen. Ketiga
tahapan tersebut akan melingkupi pembahasan gagasan Semaoen tentang
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam novel Hikayat Kadiroen yang terdiri
dari tiga subbab. Bagian pertama membahas gagasan Semaoen tentang PKI
sebagai pembangun kesadaran baru. Bagian kedua berisikan faktor
penghambat cita-cita bangsa yang merdeka berdasarkan sudut pandang PKI.
Kedua subbab ini dipilih karena disesuaikan dengan persoalan yang tampak
pada bagian tokoh dan penokohan sehingga perlu pengkajian yang lebih
mendalam.
58
4.2 Gagasan Semaoen tentang PKI sebagai Pembangun Kesadaran Baru
Sebelum datangnya Sneevliet ke Hindia, pemeritah pada tahun 1901
mencanangkan program politik etis di mana pendidikan menjadi salah satu
sorotannya. Segi keintelektualan yang semakin meningkat karena munculnya
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari
politik etis, ternyata berpengaruh terhadap pemikiran masyarakat Hindia.
Walaupun pada awalnya mereka disekolahkan untuk menjadi pegawai
pemerintah kolonial, lambat laun anggapan tersebut berubah ketika proses
kesadaran mereka yang terbuka atas nasib rakyat yang diperlakukan tidak adil
(Suwondo, Tirto,dkk, 1995: 21-23). Dalam novel Hikayat Kadiroen, tokoh
Kadiroen juga diceritakan hal serupa. Memperoleh pendidikan di OSVIA dan
setelah lulus, ia bekerja pada pemerintah kolonial. Namun yang berbeda
adalah Kadiroen tetap konsisten untuk membela rakyatnya yang tertindas. Ia
memakai perangkat kerja yang didapatnya untuk menghubungkannya dengan
rakyat.
Kadiroen memang cukup beruntung karena diangkat anak oleh tuan
kontrolir dan disekolahkan di OSVIA. Namun keberuntungan itu tidak lantas
membuatnya sombong. Justru, di sekolahnya itulah ia semakin mengasah
kemampuannya, baik dalam hal pelajaran dan olahraga. Tidak heran jika
dikemudian hari Kadiroen menjadi pekerja yang tangguh dan bijaksana. Hal
itu ditunjukkannya, semisal, pada saat ia harus bergulat dulu dengan para
pencuri kerbau Soeket setelah sebelumnya ia memikirkan sebuah strategi
untuk menangkap gerombolan pencuri tersebut. Hal ini sekaligus menjadi
59
bukti bahwa Kadiroen mengaplikasikan hal yang didapatnya semasa di
sekolah.
Hal yang serupa juga dialami oleh pengarangnya. Moehkardi mencatat
Semaoen karena kecerdasannya diperkenankan untuk mengikuti ujian
pamaong praja tingkat rendah dan lulus dengan hasil yang baik. Tidak hanya
itu, Semaoen juga tercatat sebagai pemuda Indonesia pertama yang berhasil
memperoleh Komis A di Surabaya. Pada dasarnya Semaoen bisa saja hidup
sebagai pejabat pemerintah, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Proses
kesadaran melihat rakyatnya yang tertindas membuatnya lebih memilih
pergerakan politik sebagai jalannya ( 1971: 34). Inilah yang membedakannya
dengan Kadiroen. Kadiroen tersadar ketika ia berproses sebagai pejabat
pemerintahan, ditambah dengan rapat umum yang dibuat Partai Komunis
membuatnya semakin sadar dan pada akhirnya lebih memilih gerakan politik.
Pada dasarnya, Semaoen secara terang-terangan menuliskan bahwa
(20) Kadiroen memang ditakdirkan Tuhan memiliki kebaikan dalam segala hal, melebihi dari yang lain-lain sesamanya (Semaoen, 2000: 9).
Artinya adalah Kadiroen memang dikarakterkan dari awal menjadi seorang
yang tersebut di atas. Terhadap karunia Tuhan itulah kemudian Kadiroen
merasa bahwa Soeket memang pantas ditolong. Ia mendapatkan fakta bahwa
rakyat yang butuh pertolongan malah disingkirkan. Soeket, seorang miskin
yang hanya menggantungkan hidupnya pada seekor kerbau, melapor pada
asisten wedono karena kerbaunya telah dicuri, justru mendapat cacian dan
makian dari asisten wedono.
60
(21) “kamu amat teledor! Ke mana semalaman pergi? Tidur nyenyak saja yang kau bisa. Bayangkan kerbau sebesar itu, dicuri orang kau tidak tahu. Hai pemalas. Sekarang kamu minta tolong sama aku. Apa memang kamu sudah tidak bisa menjaga kerbaumu sendiri. Dasar pemalas!” kata Tuan Asisten Wedono sambil marah besar (Semaoen, 2000: 11).
Perlakuan dan umpatan kasar yang diterima Soeket ternyata menggugah rasa
kebangsaan Kadiroen. Rasa itu muncul seiring munculnya rasa kemanusian
terhadap kenyataan bahwa rakyat kecil selalu tertindas oleh kekuasaan. Fakta
ini sejalan juga dengan tindakan asisten wedono yang lebih memilih
menangani kasus hilangnya ayam tuan kontrolir karena dinilai cukup
bergengsi untuk dapat menaikkan jabatan. Inilah awal dimana proses
kesadaran Kadiroen mulai terbangun. Kenyataan ini juga sepadan dengan
politik pemerintah kolonial yang memakai cara-cara feodal agar rakyat
menghormati atasannya sehingga ada rasa takut rakyat yang kemudian
menyebabkan rakyat enggan melapor pada pejabat (Nagazumi, 1989: 12).
Jenjang karir Kadiroen yang semakin menaik, membuat kepekaannya
terhadap nasib rakyat semakin terolah. Terhadap rakyat yang dipimpinnya,
Kadiroen sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Menurut Kadiroen,
jika rakyat sejahtera maka tidak akan ada lagi penyakit masyarakat seperti
maling dan sebagainya. Ia sering sekali memberikan nasihat-nasihat kepada
rakyatnya. Tidak heran jika Kadiroen dihormati dan disenangi rakyatnya.
Terhadap kesejahteran, ia akan merasa sangat sedih jika ada rakyatnya
yang kekurangan, seperti pada kutipan berikut.
(22) Kemiskinan penduduk desa tersebutlah yang membikin susah hati Kadiroen. Ia sering tidak tidur, memikirkan bagaimana ia
61
berikhtiar mencari cara guna menyelesaikan masalah tersebut (Semaoen, 2000: 40).
Tidak hanya itu. Sewaktu Kadiroen ditugaskan sebagai patih di kota S, ia
bahkan harus jatuh sakit karena terlalu banyak mengemban tugas untuk
mengurusi persoalan rakyat. Bahkan ia harus mengubur dalam-dalam rasa
asmaranya kepada Ardinah yang dinilainya dapat mengganggu konsentrasinya
saat bekerja. Harus diakui, Kadiroen merupakan sosok pekerja keras yang
menyingkirkan segala bentuk urusan pribadinya, termasuk kesehatan.
(23) Itulah yang menyusahkan Kadiroen dan memaksanya bekerja siang-malam itu. Mewakili patih baru dua bulan lamanya. Dan di waktu ia kembali dari cuti dan mengurus lagi pekerjaannya, badannya menjadi sangat kurus. Ia kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya (Semaoen, 2000: 97).
Apa yang dirasakan Kadiroen menyangkut persoalan rakyat, bukan
sekadar perasaan belaka yang kemudian didiamkan begitu saja. Ia lalu mencari
cara bagaimana setiap persoalan tersebut dapat diselesaikan. Untuk rakyatnya,
Kadiroen akan melakukan apa saja secara ikhlas. Bertarung dengan penjahat,
datang ke tiap-tiap desa untuk mencari keterangan, mengumpulkan para
pejabat desa beserta tetua-tetuanya, membuat voorstel-voorstel untuk
kemudian diteruskan kepada pejabat pemerintah, bahkan harus menyamar
sebagai orang Arab yang menjual pakaian ia jalani. Hal itu menunjukkan
bahwa Kadiroen memang sangat peduli dengan keadaan rakyat. Sebagai orang
yang sadar, ia juga lantas berbuat sesuatu atau setidaknya ikut ambil bagian
dalam persoalan kemiskinan di daerah kekuasaannya. Dengan demikian ia
62
juga sadar atas pemberian karunia Tuhan bahwa ia memang diwajibkan untuk
menjadi penolong di masyarakatnya.
Apa yang dilakukan Kadiroen ternyata tidak sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Rakyat masih saja berkutat dengan kemiskinan. Kadiroen
pun menganalisis keadaan yang terjadi di masyarakatnya seperti pada kutipan
berikut.
(24) Banyaknya penghasilan dan pekerjaan untuk rakyat hampir sama seperti zaman kuno. Ya, sekarang justru lebih banyak jenis pekerjaan. Meskipun begitu, toh rakyat tambah miskin. Apa sebabnya? Kadiroen mengira bahwa rakyat sendiri yang salah. Tentunya rakyat lebih royal ketimbang yang dahulu. Sehingga hasil yang mereka dapat tidak seimbang dengan belanja yang mereka keluarkan. Artinya rakyat mengeluarkan ongkos hidup lebih besar dari pendapatannya. Tetapi umpamanya perkiraan itu betul, apakah sebabnya sehingga rakyat berbuat begitu? Apakah adat mereka yang berubah. Kadiroen mengerti bahwa memang biasanya bumiputera senang kelihatan kaya. Seperti dalam hal mengawinkan anak, membikin keramaian yang tidak kecil ongkosnya, pada Hari Raya 1 Syawal menyalakan mercon atau kembang api dan kesenangan lainnya. Mereka mau mengeluarkan ongkos yang banyak untuk keperluan-keperluan begitu. Sebab kalau tidak begitu, mereka malu pada sahabat-sahabatnya. Umpamanya betul ini adat yang memiskinkan rakyat, toh zaman dahulu adat itu juga ada; mengapa hal yang sama, sekarang menyebabkan miskin? Kadiroen menyangka bahwa royal-nya rakyat bertambah tapi mengapa bertambah? Kadiroen menyangka biasanya tambah royal itu karena terbawa oleh hasil yang didapat rakyat sekarang ini lebih gampang dikeluarkan, lain dari zaman dahulu. Tentang masalah ini Kadiroen mengira karena sekarang rakyat kebanyakan mendapat hasil berupa uang. Sedang dahulu berupa hasil tanah seperti padi, beras, kelapa, jagung, ketela dan sebagainya. Uang sangat enteng dan gampang dikeluarkan. Sebaliknya, hasil tanah sangat berat dan sedikit susah dikeluarkan. Rakyat mencari gampangnya. Itu sudah menjadi kebiasaan banyak manusia. Oleh karena itu, mereka lebih senang menerima hasil uang daripada hasil tanah. Karena umpama ada hasil tanah, mereka lalu lekas menukarkan menjual hasil itu dengan uang. Tetapi kemudahan yang
63
berhubungan dengan uang itu tidak sepadan dengan pengertian dan kepintaran rakyat. Rakyat tidak tahu betul harganya uang. Dan mereka lebih gampang lagi mengeluarkan uangnya. Akhirnya, mereka menjual kerbau, sapi dan sebagainya. Sehingga bertambah lama menjadi bertambah miskin (Semaoen, 2000: 79, 80).
Analisis yang dilakukan Kadiroen mengantarkan kita pada sebuah
fakta, bahwa kondisi sosial rakyat pada kurun waktu 1920-an, telah
mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, uang pada saat itu menjadi
segalanya. Menggelontorkan uang memang lebih mudah daripada
mendapatkannya. Berdasarkan hal itu, maka dapat kita lihat kesengsaraan
bukan hanya akibat perang, namun rakyat sendiri yang mempersulit keadaan
mereka.
Seiring perjalanan karir Kadiroen, masuklah perkumpulan yang
menjadi buah bibir masyarakat, yaitu perkumpulan komunis (PK). Adanya
vergadering PK yang dipimpin oleh Tjitro, membuat semua orang tahu
tentang segala perihal perkumpulan tersebut.
(25) Komunisme itu ialah ilmu mengatur pergaulan hidup supaya dalam pergaulan hidup itu orang-orang jangan ada yang bisa memeras satu sama lainnya (Semaoen, 2000: 127).
Pada saat itu, vergadering atau rapat umum terbuka merupakan sebuah
metode yang bertujuan untuk menarik massa tanpa memandang status
sosialnya. Siapa pun dapat terlibat. Berbeda dengan surat kabar yang hanya
segelintir orang saja yang terlibat (Soewarsono, 2000: 17). Keampuhannya
pun terbukti. Apa yang telah diungkapkan Tjitro cukup berhasil untuk menarik
hati ratusan orang yang segera mendaftar menjadi anggotanya. Ketertarikan
yang sama juga dialami Kadiroen. Di sinilah proses kesadaran Kadiroen
64
sesungguhnya. Sama dengan apa yang menjadi pilihan Semaoen, Kadiroen
pun memilih gerakan politik dengan bergabung bersama Partai Komunis.
Sebelumnya, Kadiroen memang menyadari bahwa zaman telah
berubah begitu juga dengan kehidupan. Namun Kadiroen lupa bahwa ada
kepentingan lain yang membuat rakyat tidak bisa lepas dari kemiskinannya.
Kepentingan tersebut adalah kepentingan kaum bermodal yang
menyelenggarakan proses produksi selama ini maupun para penguasa. Inilah
yang belum dilengkapi oleh Gie dalam skripsinya yang telah dibukukan,
bahwa kesenjangan antara yang tertindas dan tidak tertindas serta
ketidakberpihakan pemerintah kolonial Belanda yang membuat rakyat tidak
maju dalam tatanan kehidupan, baik kesehatan, pendidikan dan materi.
Rasa simpati Kadiroen terhadap gerakan PK bertambah ketika
Kadiroen mendapati media massa yang menentang rapat tersebut.
(26) Baru saja Kadiroen memikirkan hal itu semua, maka ia menerima Surat Kabar S.H.B milik golongan kaum bermodal. Di situ Kadiroen membaca dalam ruangan “Ned Indische Telegramen” dalam bahasa Belanda yang menerangkan bahwa hari kemarin di S oleh P.K sudah digerakkan penghasutan pada rakyat. Sedang yang berbicara opruier (tukang hasut)-nya adalah Tjitro. Redaksi surat kabar itu memberikan pikirannya bahwa sekarang ini sudah saatnya sang opruier Tjitro, penjahat itu, dibuang dan diasingkan di pulau kecil, supaya tidak bisa menghasut lagi (Semaoen, 2000: 145).
Mas Marco dalam Edi Cahyono menyarankan berhati-hati dalam membaca
surat kabar; agar tidak membaca surat kabar yang memihak kaum uang karena
dapat menjerumuskan rakyat Hindia (2003; xxvi); hal yang sering terjadi pada
tahun 1920an seiring menjamurnya media massa sebagai alat perjuangan.
65
Sejalan dengan asumsi itu Semaoen dalam novelnya juga menuliskan bahwa
banyak surat kabar yang memuat kabar bohong tentang gerakan rakyat supaya
rakyat membencinya, seperti pada kutipan berikut.
(27) Memang di Hindia banyak surat kabar bukan kepunyaan rakyat, yang selalu memuat kabar-kabar bohong buat merusak gerakan rakyat, untuk mengajak kepada para pembacanyasupaya membenci pergerakan itu, terutama pada para pemuka-pemukanya. (Semaoen, 2000: 145).
Dalam vergaderingnya, Partai Komunis mengajak kaum buruh dan
rakyat untuk pintar, kuat dan berkuasa. Caranya yaitu dengan rukun bersatu
atau mendirikan perkumpulan (Semaoen, 120-121: 2000). Cara inilah yang
terlewatkan oleh Kadiroen. Selama ini, ia hanya membuat aturan dari
analisisnya maupun memberikan nasihat-nasihat kepada masyarakat, tetapi
sektor pendidikan yang rendah menyebabkan hal itu hanya ditelan mentah-
mentah oleh masyarakat. Ditambah lagi penyelewengan perintah yang
dilakukan bawahan Kadiroen membuat aturan itu menjadi negatif di mata
masyarakat. Inilah kenyataan baru yang harus dihadapi Kadiroen. Tidak heran
jika Kadiroen pada akhirnya memilih bergabung bersama Partai Komunis
sebagai penulis pada harian Sinar Ra’jat. Hal ini juga mengingatkan kita
terhadap perubahan Semaoen menjadi radikal ketika berkenalan dengan
Sneevliet, sekaligus membenarkan apa yang diungkapkan Razif bahwa
munculnya bacaan-bacaan digunakan untuk mendidik bumiputra yang miskin;
miskin karena kemiskinan juga miskin ilmu dan pengetahuan. Selanjutnya
Razif menuliskan bahwa dengan surat kabar, rakyat Hindia dapat membentuk
66
kesadaran kolektif untuk membayangkan masa depan yang mereka hadapi
(members.fortunecity.com).
Apa yang diinginkan oleh Kadiroen-sebagai penulis, tidak serta merta
diacuhakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebelum munculnya Sneevliet,
pemerintah berusaha mengontrol beredarnya bacaan yang ada di masyarakat
bersamaan dengan kebijakan politik etis. Aturan yang melarang tulisan-tulisan
berbau kritikan terhadap pemerintah memang sengaja dibuat agar rakyat tidak
terprovokasi (Suwondo, 1995: 4,5). Hasilnya adalah penangkapan-
penangkapan tokoh pergerakan karena dianggap sebagai penghasut.
Pemerintah juga dapat membuang orang itu ke luar negeri atau pulau yang
terpencil, termasuk Sneevliet yang pada akhirnya dibuang dari Hindia (Gie,
1990: 15). Namun, hal itu tidak terjadi dengan Kadiroen. Pada awalnya
Kadiroen masih merangkap jabatan sebagai patih. Ia menulis dengan nama
samaran Pentjari. Tetapi ia tekena kasus delik pers yang mengharuskan ia
mempertanggung jawabkan tulisannya.
(28) Persdelict. Ini hari kita poenja Hoofd-Redacteur dipanggil oleh toean djaksa di kantornja dan dibilangi bahwa toean AssistenT Resident menjoeroh ia, djaksa, soepaja menaja matjam-matjam halnja Sinar Ra’jat pada hari kemaren doeloe tanggal 12 Mei, teroetama tentang karangan jang termoeat itoe hari dan jang berkepala: “Diminta sedikit lekas”, dan ditandai oleh Pentjari (Semaoen, 2000: 147).
Pada kasus ini, Kadiroen dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan
dari hukuman. Kadiroen pada akhirnya meniatkan jalannya untuk terjun dalam
dunia pergerakan rakyat sebagai penulis setelah sebelumnya ia ditawari
pangkat yang lebih tinggi namun ditolaknya. Kenyataan ini membuktikan
67
bahwa Kadiroen memuliakan kepentingan orang banyak dan
mengesampingkan kepentingan pribadinya dengan pangkat dan jabatannya.
Perlu diingat, Semaoen menulis novel ini sewaktu ia di penjara karena
dakwaan yang sama. Pemerintah Hindia Belanda memang bertindak tegas
bagi siapa saja yang dinilai mengganggu atau mengkritik jalannya
pemerintahan.
Jadi, keberanian Kadiroen untuk mengabdikan dirinya sebagai anggota
Partai Komunis, merupakan contoh nyata gagasan Semaoen tentang PKI
sebagai pembangun kesadaran baru. Semaoen hendak menyadarkan, bahwa
Bangsa Hindia seharusnya tidak hidup dengan penderitaan; bahwa rakyat
seharusnya merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, dan PKI juga
mencita-citakan hal tersebut. Artinya adalah dengan bergabung bersama PKI,
niscaya Bangsa Hindia dapat hidup merdeka.
4.3 Faktor Penghambat Cita-cita Bangsa yang Merdeka Berdasarkan Sudut
Pandang PKI
Merdeka yang dimaksud Partai Komunis adalah berhak atas pekerjaan
sehingga mudah untuk menentukan cara serta waktu kerjanya (Semaoen,
2000: 108). Dalam hal ini, rakyat bersama buruh bersatu untuk memegang
kendali proses-proses produksi yang telah dikuasai pihak bermodal. Untuk
merasa merdeka, rakyat harus pintar, kuat dan berkuasa. Caranya seperti pada
ketiga kutipan berikut.
(29) “Jalan yang pertama, rakyat mesti rukun bersatu bersama-sama berusaha atau berdagang sendiri, yaitu dengan jalan mendirikan koperasi (Semaoen, 2000: 122).
68
(30) “Mengingat beratnya jalan yang pertama maka ada cara lain yang harus dijalani oleh rakyat dengan melalui jalan yang kedua yaitu perkumpulan pekerja atau bersatu dalam vakbond (Semaoen, 2000: 123)
(31) “Di sini saya sudah menerangkan dengan singkat dua jalan dan tinggal menerangkan jalan yang ketiga, yaitu pergerakan politik namanya (Semaoen, 2000: 125).
Ketiga cara inilah kemudian yang mengilhami Kadiroen untuk selanjutnya
bekerja sebagai penulis dalam surat kabar Sinar Ra’jat karena dianggapnya
total untuk mengubah keadaan masyarakat yang semakin sengsara.
Sifat kerja keras Kadiroen dalam memuliakan rakyat memang tidak
bisa dipungkiri lagi. Ia bekerja keras agar rakyat keluar dari jeratan
kemiskinan. Apa pun usahanya, Kadiroen tetap mengalami kegagalan. Faktor
yang menyebabkan kegagalan tersebut, yaitu faktor penguasa dan faktor kaum
bermodal.
4.3.1 Faktor Penguasa
Pada awal Kadiroen bertugas sebagai mantri polisi, ia menemukan
atasannya (asisten wedono), melakukan tindakan semena-mena terhadap
rakyat kecil, padahal ia adalah seorang asli Hindia. Perbandingan kontras yang
dilakukannya adalah dengan menangani kasus hilangnya ayam tuan
administratur daripada menangani kasus pencurian kerbau Soeket.
Dalam menangani kasus tuan administratur, ia memamerkan
kemampuan beranalisisnya yang sangat gegabah sehingga tidak tepat. Bahkan
dengan cara menyewa penjahat, ia berusaha dengan mudah menyelesaikan
perkara tersebut. Alhasil, Soekoer menjadi korban salah tangkap. Untuk
mengakui perbuatannya, Soekoer harus menerima siksaan-siksaan dan tidak
69
diberi makan. Tindakan ini semata-mata hanya digunakan oleh asisten wedono
agar perkaranya cepat selesai. Dengan selesainya perkara tersebut, tentu ia
akan mendapatkan nama baik dan dengan segera pula dapat menaikkan
pangkatnya. Berbeda dengan asisten wedono, Kadiroen yang tidak tega
melihat perlakuan atasannya terhadap Soekoer, berjanji akan menyelesaikan
perkara tersebut walau tidak mendapat perintah dari atasannya itu.
(32) Ia juga telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menolong Soekoer yang didakwa mencuri ayam (Semaoen, 2000: 26).
Kadiroen melakukan hal itu tanpa pamrih sedikit pun. Ia ikhlas melakukan
pekerjaan itu berdasarkan rasa tanggung jawabnya sebagai seorang mantri
polisi muda. Berbeda dengan asisten wedono yang tidak mau susah dengan
pekerjaannya. Hasil tanpa kerja sendiri yang ia perlukan untuk menaikkan
pangkatnya. Kekuasaan yang didapatnya telah diselewengkan guna
kepentingan sendiri. Pun dengan caci maki yang diterima Soeket oleh asisten
wedono semata-mata hanya ingin membuat takut rakyat kecil, sehingga
mindstream yang terbangun adalah takut melaporkan suatu perkara kepada
yang berwajib; suatu mindstream yang berhasil dibangun oleh pemerintah
kolonial agar rakyat menjadi segan sehingga para pejabat dapat meluangkan
waktunya lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa pejabat pemerintah
tergolong klasifikasi kelas sosial yang tinggi sehingga dapat melakukan
apapun kepada rakyat biasa yang dianggap mendapat klasifikasi kelas sosial
paling rendah (Leirissa, 1985: 9). Hal ini juga membuktikan bahwa Belanda
tidak malu-malu lagi untuk menggunakan cara kekerasan, berbeda pada saat
70
pertama kali mereka datang yang menjalin hubungan baik dengan masyarakat
Hindia (Leirissa, 1985: 7)
Kebesaran pangkat untuk menakut-nakuti rakyat tidak diterapkan
Kadiroen. Bekerja bersama asisten wedono cukup menambah pengetahuannya
dalam menghadapi rakyat. Kini ia tahu bahwa rakyat akan tutup mulut jika
berhadapan dengan penguasa. Selanjutnya, Kadiroen menggunakan
pengalaman berharga tersebut untuk berusaha memecahkan persoalan
kemiskinan rakyat di Distrik Rejo.
(33) “Sahabat para lurah dan semua tetua desa yang berkumpul di sini saya mengajak kalian semua untuk musyawarah di sini, tidak untuk mendapatkan keterangan berdusta. Saya mempunyai maksud, memakmurkan orang kecil yang ada di dalam wilayah distrik saya, saya perlu mengetahui lebih dahulu hal ihwal rakyatku. Dan jika saya sudah mengerti, tentulah bisa berusaha guna memakmurkan rakyat semuanya. Kalau rakyat hidupnya susah, tentu saya akan turut susah. Dan karena itu, siapa dari kalian yang saya tanyai sesuatu, jangan takut untuk berterus terang apa adanya. Siapa yang menjawab dusta, maka ia saya pandang rewel dan ingin membikin susah saya. Jelas?” (Semaoen, 2000: 72).
Dalam kutipan, Kadiroen berusaha meyakinkan rakyatnya agar mau
berterus terang. Ia berusaha membalikkan pandangan masyarakat selama ini
yang takut bila berbicara terus terang. Dengan begitu, Kadiroen dapat bekerja
secara maksimal. Hal itu ditunjukkannya dengan menuliskan nasihat-nasihat
untuk kemudian diberitahukan kepada masyarakat.
Untuk memeriksa dan mengetahui situasi masyarakat setelah turunnya
pemberitahuan perihal nasihat-nasihat tersebut, Kadiroen rela menyamar
sebagai seorang Arab. Dalam penyamarannya itulah ia menemukan fakta
bahwa nasihat-nasihatnya, telah diselewengkan menjadi aturan keras sehingga
71
bagi yang melanggarnya akan dikenai hukuman. Ini menjadi bukti bahwa
jajaran di tingkat bawah Kadiroen, tidak mengerti apa yang dikehendaki
Kadiroen sehingga terjadi salah tafsir di masyarakat. Mau tidak mau kasus ini
membuat nama Kadiroen tercemar di masyarakat dan Kadiroen harus
mengklarifikasinya.
Ketidaktahuan pejabat struktural tersebut tentu menambah masalah
kemiskinan rakyat. Seharusnya yang terjadi adalah rakyat dilindungi oleh para
penguasa dalam menjalankan kehidupannya. Tetapi yang terjadi adalah rakyat
semakin takut dengan para penguasa. Di saat yang bersamaan, para penguasa
enggan memperhatikan nasib rakyat. Mereka hanya memikirkan bagaimana
cara mendapat keuntungan dari daerah jajahan. Hal itu terbukti ketika
Kadiroen mengajukan voorstel-voorstel yang diteruskan kepada pejabat
birokrasi pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya pun jelas yaitu untuk
mensejahterakan rakyat Hindia. Tetapi lagi-lagi Kadiroen harus berhadapan
dengan proses birokrasi yang berbelit-belit dan lama.
(34) Tiba-tiba Kadiroen mendapat jawaban dari atasannya, supaya Kadiroen sabar dan percaya pada Tuan Regen. Ia seorang pejabat di bawah Regen, mesti melaporkan voorstel-voorstel itu pada Patih dan Patih akan menruskan pada Tuan Regen dan akan meneruskan pula pada Tuan Asisten Residen dan seterusnya (Semaoen, 2000: 91).
(35) “Saya kira dalam dua atau tiga tahun lagi baru bisa diputuskan
dan bagaimana keputusannya itu pun saya tidak tahu!” (Semaoen, 2000: 95).
Sistem birokrasi tersebut sangat merugikan rakyat Hindia. Di satu sisi,
Kadiroen ingin segera terjadi perubahan pada rakyat Hindia, tetapi hal itu
tidak didorong oleh sikap kooperatif pemerintah. Kadiroen harus menunggu
72
lama untuk sekedar mendapat jawaban dari pemerintah, padahal kondisi
rakyat semakin susah.
4.3.2 Faktor Kaum Bermodal
Sejak pertama kali kaum bermodal datang dengan diawali program
Cultuurstelsel, Sneevliet telah memeranginya melalui organisasi ISDV. Hal
ini juga menjadi salah satu yang diperangi oleh Partai Komunis. Menurut
mereka, kaum bermodal telah membuat rakyat semakin menderita. Mereka
hanya mementingkan kepentingan sendiri dengan hanya memikirkan
bagaimana memperoleh keuntungan yang maksimal. Dalam bagian awal novel
Hikayat Kadiroen, tidak terlalu tampak bagaimana kaum bermodal
mempunyai kepentingan tersendiri. Hal ini menjadi salah satu kekurangan
Kadiroen dalam menganalisis apa yang terjadi di masyarakat; bahwa dengan
jeratan kaum bermodal, rakyat hanya dijadikan pekerja murah dan konsumen
barang yang telah dihasilkan (Semaoen, 2000: 120). Hal itu terbukti ketika
Kadiroen secara sadar mengakui bahwa zaman telah berubah.
(36) Adapun Kadiroen sendiri sewaktu terjadi vergadering hatinya berdebar-debar. Ia mendengar keterangan Tjitro dan perasaannya terbuka, sepertinya dalam hati ia melihat bintang yang sangat baik, menggambarkan maksud dan tujuan perkumpulan P.K. Sehabis vergadering, Kadiroen memikirkan semua itu. Ia tidak bisa tidur. Sekarang ia tahu bahwa usahanya itu adalah mengikuti cara kuno. Sedangkan, keadaan rakyat sekarang sudah baru. Jadi, nyatalah jalan yang diusahakannya, ketinggalan dan tidak sesuai zaman lagi (Semaoen, 2000: 144).
Selama menjalani tugas-tugasnya, Kadiroen tidak membuat pintar
rakyat. Kadiroen hanya membuat voorstel-voorstel, memberikan nasihat-
73
nasihat, dan sebagainya. Tanpa ia sadari, cara seperti itu hanya membuat
rakyat menjalankan apa yang dikehendaki penguasa. Cara ini dinilai tidak
mendidik rakyat supaya menjadi lebih pintar. Dalam Partai Komunis,
diajarkan bagaimana supaya rakyat dapat pintar, kuat dan berkuasa.
(37) “Bagaimana kaum buruh dan rakyat bisa menang ialah dengan jalan mencari kekuatan dan kekuasaan juga. Dengan kepintaran, kekuasaan dan kekuatan, itulah mereka mendapatkan jalan kemenangan. Bagaimana mereka bisa kuat dan berkuasa yaitu dengan rukun bersatu atau mendirikan perkumpulan. Begitulah, maka perkumpulan-perkumpulan di tanah Hindia sekarang ini ada banyak jumlahnya, karena memang sudah sebagaimana yang sudah saya jelaskan. Dengan pendek kata, memang sudah merupakan tuntutan zaman (Semaoen, 2000: 121).
Cara inilah yang menurut Kadiroen cocok dengan perkembangan zaman yang
sudah baru.
Terkait dengan kaum bermodal, sewaktu Kadiroen menjabat sebagai
wakil patih, ia sempat membuat voorstel perihal pabrik tebu (pada kutipan 12).
(38) a. Supaya kebun tebu milik pabrik mendapatkan pengairan di waktu malam dan sawah milik rakyat mendapatkan pengairan di waktu siang karena rakyat yang miskin keneratan betul bekerja malam buat mengairi sawahnya. Sedang pabrik mempunyai modal batu membayar mandor malam (Semaoen, 2000: 89,90).
Keberpihakkan pemerintah terhadap kaum bermodal tampak pada kutipan
tersebut. Kadiroen hanya memikirkan rakyat kecil yang ingin mendapatkan
keadilan perihal saluran irigasi, tetapi dengan dalih dapat merugikan rakyat itu
sendiri pemerintah menolak usulan Kadiroen tersebut dan menyerahkannya
kepada tuan residen untuk memutuskan perkara tersebut. Gie mencatat bahwa
kurun waktu 1916-1920, pemerintah menggalakkan perkebunan tebu (1990:8).
74
Itu berarti apa yang dilakukan Kadiroen dengan pengajuan voorsteelnya akan
berakhir percuma dan nyatalah bahwa aturan tersebut sudah pasti ditolak oleh
atasannya.
Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang meyakini Kadiroen untuk
bergabung bersama Partai Komunis. Bekerja sebagai penulis lepas diharapkan
Kadiroen dapat membantu rakyatnya hidup sejahtera di samping
membesarkan Partai Komunis. Pada awalnya Kadiroen memang merangkap
kerja; sebagai patih juga sebagai penulis lepas surat kabar Partai Komunis
dengan nama samaran Pentjari. Perjalanan itu tidak dilaluinya dengan mulus.
Kadiroen terkena persdelict yang mau tidak mau membongkar nama
samarannya untuk kemudian disidangkan. Pada kasus ini juga Kadiroen
diberikan pilihan untuk melanjutkan karirnya; menjadi patih atau regen,
menjadi wedono atau melepaskan diri dari segala jabatan sekaligus priayi dan
kembali bersama Partai Komunis sebagai penulis. Tentunya ia menaruh
harapan besar melalui Partai Komunis, maka kedua kutipan berikut akan
menjelaskan semuanya.
(39) Oleh karena itu, Kadiroen dengan cepat memutuskan dan memilih: meminta lepas dari pangkat dan jabatan priyayi dengan hormat sebab ia mau menjalani perbuatannya sendiri yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinannya, yang sungguh mulia untuk kepentingan orang banyak (Semaoen, 2000: 176).
(40) Ia bisa menuntut cita-citanya bahwa tanah airnya akan
merdeka, berdiri sendiri seperti bangsa lainnya, sehingga bangsanya akan bisa dipandang sama dan sederajat dengan bangsa lain (Semaoen, 2000: 176).
75
Jadi, jalan untuk menempuh kemerdekaan sesuai yang diharapkan PKI
tidaklah mudah. Faktor penguasa dan kaum bermodal adalah penghambatnya.
Rakyat yang menderita dan butuh perlindungan hukum, oleh penguasa justru
tidak diperhatikan. Mereka justru menjadi alat oleh kaum bermodal untuk
melindungi aset-aset yang diperlukan. Dalam hal ini, kekuasaan telah
dipelintir oleh pemerintah kolonial Belanda bersama pemilik modal untuk
kepentingan mereka sendiri.
4.4 Rangkuman
Dalam gagasan terkandung tahapan tindakan, interaksi dan kreasi.
Ketiga tahapan tersebut digunakan untuk mencapai suatu bentuk realisasi.
Kadiroen melewati tahapan-tahapan tersebut untuk kemudian sampai pada
bentuk gagasan bangsa yang merdeka. Pengalamannya bersama asisten
wedono telah membuatnya tahu bagaimana seharusnya menangani rakyat.
Tentunya hal itu adalah permulaan belaka, karena karir Kadiroen yang terus
bersinar. Di mata pemerintah, Kadiroen adalah sosok yang pintar dan cerdas.
Dengan bersinarnya karir Kadiroen, tentu ia juga harus lebih pintar
menghadapi rakyat juga bawahannya. Sosok Kadiroen yang bekerja keras
diperlihatkannya dengan tidak memperhatikan kepentingannya sendiri. Kisah
asmaranya pun ia kubur dalam-dalam. Sisi kesehatan akhirnya menjadi tumbal
dalam pekerjaan Kadiroen. Kesemuanya itu dilakukannya hanya untuk
kepentingan rakyat semata. Ia menyadari bahwa ia memperoleh karunia Tuhan
76
untuk menolong orang lain. Dengan kecerdasan dan semangatnya itu, ia
menjalankan tugas tersebut.
Apa yang dilakukan Kadiroen tentu tidak berjalan dengan mulus.
Permasalahan kemiskinan rakyatnya tidak kunjung mereda. Segala upaya
telah dilakukan Kadiroen; memberikan nasihat-nasihat, membuat voorstel-
voorstel hingga menyamar ia lakukan. Hasil dari kerja keras Kadiroen tidak
membuahkan hasil; rakyat tetap dalam jalur kemiskinan.
Partai Komunis hadir dengan memberi nuansa baru dalam kehidupan
rakyat Hindia. Sebagai pembangun kesadaran baru, ia mengajarkan agar
rakyat pintar, kuat dan berkuasa karena zaman sudah maju. Ajaran itu pun
dimaksudkan agar rakyat bisa bebas dari jeratan kemiskinan dan merdeka lahir
batin. Hal inilah yang membuat Kadiroen tertarik untuk bergabung bersama
Partai Komunis sebagai penulis lepas pada surat kabar Sinar Ra’jat dengan
nama samaran Pentjari. Ia menjadi sadar bahwa selama ini, ia tidak mendidik
rakyat. Rakyat hanya ”dipaksa untuk menjalankan perintah penguasa” karena
rakyat tidak mengerti segala sesuatunya. Kadiroen juga sadar bahwa selama
ini usahanya sia-sia karena dibalik kemiskinan rakyat, ada kepentingan
pemilik modal yang dengan serakah hanya untuk mencari keuntungan dari
produksi yang dikerjakan.
Untuk mencapai arah tersebut, tentu harus mengalahkan penguasa dan
pemilik modal. Penguasa yang seharusnya melindungi rakyat, menjadi
penghambat karena ketidakberpihakkan mereka. Bersama dengan pemilik
77
modal, para penguasa hanya menjadikan rakyat sebagai pekerja sekaligus
konsumen dari barang-barang yang dihasilkan.
Perjalanan Kadiroen sebagai penulis lepas membawanya pada kasus
presdelict. Bersamaan dengan terbongkarnya siapa Pentjari itu, Kadiroen
dihadapkan pada pilihan untuk bekerja sebagai pejabat pemerintah atau tetap
bergabung besama Partai Komunis. Kenyataan-kenyataan bahwa rakyat harus
merdeka akhirnya mengantarkan ia keluar dari jabatannya untuk kemudian
secara penuh masuk dalam Partai Komunis.
78
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan Mulai masuknya modal-modal swasta di tanah Hindia membuka
lembaran baru dalam gerakan di Indonesia. Dari situ kemudian muncul istilah
perburuhan. Istilah tersebut merupakan representasi dari rakyat Hindia yang
miskin. Adalah buruh-buruh imigran yang kemudian mengenalkan kepada
buruh bumiputra untuk bersatu dalam wadah organisasi yang setidaknya
bertujuan sedikit memperbaiki kehidupan mereka. Bersamaan dengan itu,
muncul pula sistem politik etis yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Mau
tidak mau harus diakui, masuknya politik etis ini membuka pintu pengetahuan
rakyat Hindia dalam bidang pendidikan. Kedua faktor tersebut akhirnya saling
melengkapi dengan munculnya pergerakan di Indonesia dengan media massa
sebagai salah satu alat perjuangannya.
Semaoen juga dibesarkan pada masa ini. Bakat kepintarannya dan
perkenalannya dengan ajaran sosialis komunis oleh Sneevliet menjadikannya
besar dikemudian hari. Hal serupa yang juga diterima oleh tokoh Kadiroen.
Rupa-rupanya, bukanlah suatu kebetulan Semaoen menciptakan karakter
Kadiroen. Berdasarkan hal tersebut maka novel ini bisa dikatakan sebagai
bentuk penceritaan ulang kisah Semaoen melalui tokoh Kadiroen.
Kadiroen digambarkan sebagai tokoh yang sempurna oleh Semaoen.
Menerima bakat dari Tuhan untuk digunakan pada rakyat. Untuk itu, ia duduk
79
dalam sistem birokrasi pemerintah Belanda. Pengalamannya untuk menangani
rakyat semakin terolah karena Kadiroen tidak segan-segan untuk terjun
langsung dalam masyarakat. Kadiroen bukanlah seperti penguasa pada
umumnya yang memerintah dengan tangan besi, sebaliknya ia dengan rela
menggunakan waktunya untuk rakyat agar hidup berkecukupan sehingga
terciptanya ketentraman. Berbekal rasa tanggung jawab yang besar dan
bakatnya dalam menganalisis suatu perkara, ia menjalankan pekerjaannya
dengan ikhlas. Tentu semuanya ia lakukan untuk rakyat. Wataknya yang
berani dan tidak ragu untuk mengambil keputusan membuatnya dengan mudah
sampai ke jenjang karier tertinggi dalam hidupnya.
Berbekal kepribadian yang tangguh tersebut tidak serta merta
membuat pendiriannya tangguh. Apa yang dilakukan Kadiroen selalu
berbenturan dengan kenyataan di masyarakat. Ia tidak mendapati perubahan
yang berarti dalam masyarakatnya. Hingga tibalah rapat umum terbuka
tentang Partai Komunis yang menjadi buah bibir di masyarakat. Adalah tokoh
Tjitro yang kemudian mempunyai andil dalam pembuka kesadaran tokoh
Kadiroen. Kepandaian dan kecerdasan Tjitro memang menggambarkan bahwa
Tjitro adalah seorang yang pintar dalam bertutur kata. Inilah yang menjadi
pengantar Kadiroen terhadap gerakan PK; Kadiroen terpikat dengan apa yang
diutarakan Tjitro tentang PK. Sama halnya seperti yang dialami oleh Semaoen
yang bertemu dengan Sneevliet sehingga memantapkan dirinya menjadi ketua
Partai Komunis Indonesia.
80
Sebagai tindak lanjut rapat tersebut, Kadiroen ingin mengabdikan
dirinya dengan menyumbang suara lewat tulisan di media massa. Walaupun
pada awalnya ia memilih jalan tengah sebagai anggota tidak tetap PK
sekaligus menjabat sebagai wakil patih, namun sikap itu luntur dengan
sendirinya. Selanjutnya, atas kesadaran bahwa rakyat Hindia bisa lepas, pintar
dan kuat untuk bisa merdeka lahir batin maka Kadiroen secara total terjun
dalam dunia gerakan bersama surat kabar Sinar Ra’jat sebagai wartawan.
Perubahan besar tokoh Kadiroen dalam mengambil keputusan ini
kemudian yang mengantarkan kita kepada gagasan Semaoen tentang PKI
dalam novel Hikayat Kadiroen. Berdasarkan analisis tokoh dan penokohan
tokoh Kadiroen dan Tjitro, penulis mendapati bahwa gagasan tersebut terdiri
dari gagasan Semaoen tentang PKI sebagai pembangun kesadaran baru dan
faktor penghambat cita-cita bangsa yang merdeka dari sudut pandang PKI.
Gagasan merupakan sebuah proses menuju bentuk realisasi. Tidak
dipungkiri, segala bentuk pergerakan pada umumnya bersepakat dengan
Indonesia yang merdeka. Namun yang membedakan adalah cara untuk
memperoleh kemerdekaan itu. Semaoen dalam hal ini mencita-citakan
bangsanya untuk merdeka dengan sosialisme komunis sebagai jalannya. Tidak
heran, novel ini pun juga termasuk bentuk ajakan kepada rakyat Hindia untuk
bergabung bersama partai komunis. Sebagai ilmu baru, komunis berusaha
menyadarkan rakyat yang telah diperlakukan secara semena-mena oleh
pemerintah kolonial Belanda. Hal itu terpampang dalam novel saat Kadiroen
menyaksikan vergadering Partai Komunis (PK) oleh Tjitro. Digambarkan
81
bagaimana Kadiroen yang notabene adalah seorang pejabat pemerintahan-
patih, tertarik untuk bergabung bersama PK karena ia tersadar bahwa cara
yang dilakukan untuk menangani rakyat keliru. Selama ia menjabat, ia tidak
pernah untuk mendidik rakyat supaya menjadi pintar, kuat dan berkuasa.
Kadiroen pun lebih memilih untuk menjadi wartawan dan melepaskan
jabatannya.
Selama menjabat, tidak pernah terpikirkan oleh Kadiroen bahwa segala
sesuatunya untuk bisa keluar dari penjajahan, akan terbentur oleh kekuasaan
kolonial itu sendiri. Pemerintah dengan kekuasaannya akan berupaya
mempertahankan status daerah koloninya agar tidak terusik oleh siapa pun.
Kadiroen tidak mengikuti pendahulu-pendahulunya dalam memerintah rakyat.
Ia menganggap rakyat adalah saudaranya sendiri. Namun, bayang-bayang
ketakutan rakyat untuk melapor tetap saja dirasakan Kadiroen. Belum lagi
ditambah para pejabat sewaktu menjadi bawahan Kadiroen yang tidak ikhlas
dalam menjalankan pekerjaannya. Tampak di sini penguasa yang seharusnya
melindungi rakyat, justru berbalik konsep sebagai penguasa yang ditakuti
rakyat. Itulah yang coba dikalahkan oleh Kadiroen.
Selain faktor kekuasaan, adalah kepentingan kaum bermodal sendiri
yang dinyatakan dalam novel ini sebagai penghambat cita-cita bangsa yang
merdeka. Dalam analisisnya, Kadiroen membuat aturan agar bisa diluluskan
atasannya. Hal itu terkait saluran irigasi persawahan yang dinilai merugikan
rakyat dan menguntungkan pemilik ladang tebu. Aturan tersebut tidak
82
diluluskan oleh atasan Kadiroen yang menganggap akan merugikan rakyat
sendiri.
Dalam vergaderingnya, PK menganggap bahwa pemilik modallah
yang telah menyengsarakan rakyat. Pemerintah juga memihak kepada meraka
sehingga rakyat tidak ada yang membela.untuk itulah PK sebenarnya hadir
dalam nuansa pergerakan nasional; guna membela rakyatnya yang tertindas
oleh bentuk-bentuk penguasaan asing beserta jajaran kepemerintahan yang
melindunginya.
5.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak yang bisa dipelajari dari novel
Hikayat Kadiroen dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya.
Novel yang tergolong novel politik ini oleh Balai Pustaka tidak dianggap sama
sekali. Oleh karena itu, akan sangat menarik jika penelitian selanjutnya
mengaitkan antara novel Hikayat Kadiroen dengan Balai Pustaka sebagai
badan sensor milik Belanda. Pengkajian tersebut tentu akan menghasilkan
suatu tinjauan politis yang menarik.
78
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Edi. 2003. Zaman Bergerak di Hindia Belanda: Mosaik Bacaan Kaoem Pergerakan Tempoe Doeloe. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Gie, Soe Hok. 1990. Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920. Jakarta: Frantz Fanon Foundation.
Kartodirjo, Sartono, dkk. 1977. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
------------------------------. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional- Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kurniawan. 2000. Hikayat Kadiroen: Borjuisme, Komunisme dan Sekeping Romansa Cengeng. http:/ /www.detik.com.
Leirissa, R.Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-19950. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.
Moehkardi. 1971. “Umur 14 tahun alm. Dr. Semaun Sudah Anggota Sarekat Indonesia”. Intisari, No. 0, Vol. VIII-99, hlm. 33-41.
Muljana, Slamet. 1986. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan 2. Jakarta: Inti Idayu Press.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
79
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Culural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Razif. 2008. Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan. http://members.fortunecity.com/edicahy/
Semaoen. 2000. Hikayat Kadiroen: Sebuah Novel. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Soewarsono, 2000. Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen. Yogyakarta: LKiS.
Suwondo, Tirto, Herry Mardianto, Novi S. Kussuji I. 1995. Karya Sastra Indonesia di Luar Penerbitan Balai Pustaka. Yogyakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende: Nusa Indah.
Ubaydillah, A.N. 2002. Memahami Cara Mewujudkan Suatu Gagasan. http://www.e-psikologi.com/dewasa/161202.htm
Widyamartaya, A. 1990. Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Yuliati, Dewi. 1994. “Semaoen, Serikat Buruh dan Pers Bumiputera Dalam Pergerakan Kemerdekaan (1914-1923)”. Sejarah, No. 0, Vol. -/5 Juli, hlm. 45-60.
http://blog.bukukita.com/users/xuchie/?postId=5508
78
BIODATA PENULIS
Dimas Rizky Chrisnanda lahir di Jakarta tanggal 18 Januari 1987. Mencari
“kemegaan” berdasarkan perhitungan Jawa. Merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara. Memimpikan dunia adil dan sejahtera, tanpa pertikaian. Berkeinginan
untuk menjadi seorang wirausahawan, agar menciptakan lapangan pekerjaan baru-
agar tidak bergantung pada negara kata seorang teman.
Memperoleh pendidikan formal dari TK hingga SMA. Untuk nonformal,
dilakukan sambil bermain, bercanda, berkumpul dan berdiskusi. Saat ini berupaya
optimal lulus jenjang Strata 1 karena tidak sabar menatap apa yang terjadi esok
hari.