BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS...
29
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS
2.1.Kajian Pustaka
Perhatian utama yang akan dibahas dalam kajian pustaka adalah beberapa
temuan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk melihat kejelasan
arah, originalitas, kemanfaatan dan posisi penelitian ini dibandingkan dengan temuan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Untuk memperkuat kerangka
pemikiran yang akan disusun, disajikan tinjauan pustaka yang memuat konsep-
konsep dan teori-teori yang relevan dengan struktur kepemilikan saham, struktur
modal dan kinerja keuangan perusahaan yang didasarkan dengan pendapat para pakar.
Brigham dan Houston (2001 : 16)
Mengemukakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah memaksimumkan kekayaan
pemegang saham. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan perusahaan
umumnya akan menunjuk dewan direksi yang kemudian akan memilih tim
manajemen. Manajemen yang dipilih ini, pada gilirannya harus menjalankan
perusahaan untuk kepentingan terbaik pemegang saham.
Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan perusahaan umumnya akan
menunjuk dewan direksi yang kemudian akan memilih tim manajemen. Manajemen
yang dipilih ini, pada gilirannya harus menjalankan perusahaan untuk kepentingan
terbaik pemegang saham. Konsep manajemen keuangan adalah manajemen atas
fungsi-fungsi keuangan, sedangkan mengenai fungsi keuangan ialah kegiatan utama
dalam mempertanggung jawabkan bidang tertentu dalam menggunakan dana dan
menempatkan dana, sedangkan tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk
memaksimalkan nilai perusahaan.
30
Grestenberg berpendapat manajemen keuangan adalah bagaimana Manajemen
Keuangan dapat dirumuskan sebagai fungsi dan tanggung jawab para manajer
keuangan, fungsi pokok manajemen keuangan antara lain menyangkut keputusan
tentang penanaman modal, pembiayaan kegiatan usaha dan pembagian deviden pada
suatu perusahaan (Weston dan Copeland : 1992). Selanjutnya menurut Brigham dan
Houston (2010) manajemen keuangan adalah bidang yang terluas dari tiga bidang
keuangan, dan memiliki kesempatan karir yang sangat luas, sedangkan menurut
James Van Horne (2012) manajemen keuangan adalah segala kegiatan yang
berhubungan dengan perolehan, pendanaan serta untuk pengelolaan aktiva dengan
tujuan semua aktivitas. Grestenberg berpendapat bagaimana bisnis yang
diselenggarakan dapat memperoleh dana , bagaimana mendapatkan dana , bagaimana
penggunaan dana serta bagaimana bisnis tsb didistribusikan. Liefman
menyatakan usaha untuk dapat menyediakan uang serta menggunakan uang untuk
mendapat atau juga memperoleh aktiva.
Dengan mengacu pada pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa
Manajemen Keuangan merupakan suatu proses dalam kegiatan keuangan perusahaan
yang berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan dana perusahaan serta
meminimalkan biaya perusahaan dan juga upaya pengelolaan keuangan perusahaan
untuk dapat mencapai tujuan keuangan yang telah ditetapkan.
31
Grand Theory Manajemen Keuangan Weston & Copeland (1992)
Midle Range Theory Teori Keuangan Arvanitis et all (2012) Aplied Theory Kepemilikan Saham Struktur Modal Kinerja Keuangan Weston dan Copeland (1992) -Institusional Brailsford,Oliver&Pua(2002) Stewart (1991)
-Manajerial Morse&Davis (1996) Lee (1996) Bathala,Moo&Rao(1994) Jensen&Meckling (1976) Lauterbach dan Vaninsky(1999) Jensen dan Meckling(1976) Ang,Cole&Lin (2000) Harfield,Cheng&Davidson(194) Kuznetsov dan Muravyyev (2001), Ang, Cole, dan Lin (2000), Lemon dan Lins (2003)
Gambar 2.1
` Keterkaitan Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory
32
2.1.1. Kepemilikan Saham
2.1.1.1. Konsep Kepemilikan Saham
Struktur kepemilikan saham merupakan pihak-pihak yang memiliki saham
dari suatu perusahaan. Pengelompokan struktur kepemilikan saham dapat dilakukan
dengan berbagai cara, Matoussi dan Chakroun (2008) menyatakan bahwa perusahaan
dengan kepemilikan institusional yang besar lebih mampu untuk memonitor kinerja
manajemen. Penelitian yang dilakukan oleh Berle and Means (1932) menyatakan
adanya konflik kepentingan antara pengambil keputusan di dalam perusahaan dan
pemegang saham perusahaan tersebut. Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian
yang dilakukan oleh Jensen dan Meckling (1976), dengan sebagian besar
penelitianya berfokus pada perusahaan-perusahaan yang berada di AS atau beberapa
negara maju, hasilnya sulit ditentukan dan terkadang hasilnya saling bertentangan.
La Porta, Lopez de Silanes, Shleifer, dan Vishny (1998) berpendapat bahwa
masalah kepemilikan saham dan pengelola perusahaan dalam pasar negara
berkembang relatif lebih buruk karena tidak adanya perlindungan hukum yang kuat
serta belum adanya mekanisme pasti yang diatur oleh negara. Lain halnya dengan
pendapat Claessens dan Djankov (1999), yang meneliti perusahaan-perusahaan di
Republik Ceko dan menemukan bahwa profitabilitas perusahaan dan produktivitas
tenaga kerja keduanya terkait secara positif dengan struktur kepemilikan saham.
Anderson, Lee, dan Murrell (2000) mempelajari privatisasi kepemilikan saham
institusi di Mongolia yang nilainya kecil, karena Mongolia memiliki kapitalisme
negara yang tidak dominan dan pemerintahnya lebih memfokuskan pada efisiensi
guna memberi kemudahan untuk masyakaratnya dalam privatisasi tersebut.
Dyck dan Zingale (2004) dalam penelitiannya yang dilakukan di negara
kurang berkembang menyatakan bahwa pemilik saham adalah pemilik perusahaan
33
yang mengontrol perusahaan secara penuh sehingga kepemilikan hingga keuntungan
juga dapat dikendalikan. Lins (2003) yang melakukan penelitian pada 1.433
perusahaan di 18 negara berkembang menyatakan bahwa kepemilikan saham institusi
dan kepemilikan manajerial mempunyai keterkaitan dengan nilai perusahaan. Studi
ini menemukan bahwa nilai perusahaan lebih rendah dalam situasi di mana hak
kontrol personal non manajemen melebihi hak arus kas dan nilai perusahaan lebih
tinggi dalam situasi di mana kepemilikan sahan institusi sangat besar. Lemmon dan
Lins (2003) menggunakan sampel 800 perusahaan di delapan negara Asia Timur
untuk mempelajari pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap nilai perusahaan
selama krisis keuangan Asia 1997-1998, menemukan bahwa dalam suatu kondisi
yang krisis, pihak perusahaan meningkatkan inisiatif untuk mengambil alih saham
yang dimiliki investor luar.
Lauterbach dan Vaninsky (1999 : 189-201), menyatakan bahwa struktur
kepemilikan saham untuk perusahaan publik dikelompokan menjadi :
1. Pemilik saham non mayoritas
2. Pemilik saham mayoritas, dibagi menjadi :
a. Dimiliki oleh Perusahaan Bisnis, terdiri dari :
• Pemilik bisnis
• Partner bisnis
b. Dimiliki oleh Individu, terdiri dari :
• Family (hubungan keluarga)
• Tidak ada hubungan keluarga.
Brailsford, Moon, Rao, (1996 : 38) menyatakan dalam kaitannya dengan
aktivitas monitoring terhadap kebijakan manajemen, struktur kepemilikan saham
dibedakan ke dalam pemegang saham institusi, individu, dan manajerial. Berger dan
34
Patti (2003), yang meneliti hubungan struktur modal dengan kinerja perusahaan pada
industri perbankan, mengelompokkan struktur kepemilikan saham industri perbankan
menjadi tiga yaitu Bank yang dikendalikan oleh dewan pengurus, dikendalikan
pemegang saham outsider di atas 5%, dan yang dikendalikan pemegang saham
institusi.
Kepemilikan Saham Institusi adalah kepemilikan jumlah saham perusahaan
oleh lembaga keuangan non bank dimana lembaga tersebut mengelola dana atas nama
orang lain. Kepemilikan saham institusional memiliki power dan experience serta
bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk
melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut
perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan demikian,
kepemilikan saham institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
pengungkapan sukarela. Yammeesri dan Lodh (1997), struktur kepemilikan saham
dikelompokkan menjadi kelompok keluarga, manajemen, dan pihak luar perusahaan.
Sedangkan menurut Brailsford, Moon, Rao, (1996 : 38), struktur kepemilikan saham
dikelompokkan kedalam : pemegang saham institusi, individu, dan manajerial.
Tujuan perusahaan adalah memaksimumkan kesejahteraan pemegang atau
pemilik perusahaan (shareholders). Selama manajemen perusahaan dikelola oleh
pemilik perusahaan (individu tunggal), akan jelas bahwa tindakan yang mungkin
dilakukan manajemen adalah untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri (Ang,
Cole dan Lin, 2000). Pada perusahaan modern telah dilakukan pemisahan antara
fungsi kepemilikan (principal) dan fungsi pengelolaan (agent). Pemisahan dua fungsi
ini menimbulkan hubungan keagenan. Hubungan keagenan (agency relationship)
adalah suatu kontrak antara satu pihak (principal) yang menggunakan pihak yang lain
(agent) untuk memberikan pelayanan bagi kepentingan principal dengan
35
mendelegasikan beberapa wewenang atau otoritas untuk mengambil keputusan
kepada agent (Jensen dan Meckling, 1976).
Salah satu konsep penting dalam manajemen keuangan modern adalah teori
keagenan. Menurut Weston dan Copeland (1992), teori ini menganggap bahwa
perusahaan sebagai suatu pengikat kontrak baik secara nyata maupun tidak nyata yang
dicirikan oleh adanya peranan berbagai unsur (stakeholders) dalam organisasi.
Masing-masing unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sehingga
sering menimbulkan konflik diantara stakeholders.
Teori keagenan berpandangan bahwa struktur modal optimal ditentukan oleh
biaya yang muncul dari konflik yang terjadi antara principal dan agen. Biaya
keagenan ini berasal dari pengeluaran untuk pengawasan oleh pemilik (monitoring
expenditures), pengeluaran manajer agar bisa bekerja seoptimal mungkin untuk
kepentingan pemilik (bonding expenditures), dan perbedaan antara kesejahteraan
optimal yang seharusnya diterima pemilik dengan kesejahteraan yang diterima
pemilik akibat keputusan manajer yang tidak optimal (residual loss). Pengelola
perusahaan (agent) adalah profesional yang diposisikan sebagai manajer atau pun
komisaris independen. Kepada agent dilakukan kontrak agar mereka menjalankan
perusahaan untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Principal adalah pemegang
saham (shareholders) yang kepemilikannya dapat tersebar pada berbagai pihak, baik
individu maupun lembaga (Soliha dan Taswan, 2002).
Sejak dilakukan pemisahan antara fungsi kepemilikan (principal) dengan
fungsi pengelolaan (agent), telah menimbulkan konflik keagenan (agency problem)
(Jensen dan Meckling, 1976). Pemisahan fungsi kepemilikan dengan fungsi
pengelolaan ini disebut the separation of the decision making and risk bearing
function of the firm. Konflik keagenan timbul karena manajemen perusahaan sering
36
mempunyai tujuan lain yang bertentangan dengan tujuan utama perusahaan.
Manajemen dapat bertindak untuk memakmurkan diri sendiri dengan membebankan
biayanya pada perusahaan Dengan demikian, timbul konflik kepentingan antara
manajemen dengan pemegang saham (Soliha dan Taswan, 2002). Kecenderungan
pihak manajemen perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan membebankan biaya pada pihak lain adalah suatu perilaku yang disebut
sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality). Perilaku ini menyebabkan
manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak
produktif untuk kepentingan pribadinya.
Pengelolaan yang dialihkan kepada manager profesional yang mengelola
operasional perusahaan setiap hari berpotensi menimbulkan konflik, karena manager
dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan shareholder.
Konflik ini yang berawal sejak dimulainya pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian (control). Penyelesaiannya adalah diperlukan sistem monitoring dan
kontrak perjanjian kerja, yang mempertemukan antara kepentingan manager dengan
tindakan untuk mensejahterakan dan kesejahteraan pemilik (stakeholders)
(Lauterbach dan Vaninsky, 1999).
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas maka konstruk kepemilikan
saham dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
37
Tabel 2.1 Definisi Kepemilikan Saham NO Peneliti Definisi 1. Berle and Means (1932) Menyatakan adanya konflik kepentingan antara
pengambil keputusan di dalam perusahaan dan pemegang saham perusahaan tersebut
2. Jensen dan Meckling (1976) Pemisahan fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan
3. Weston dan Copeland (1992) Perusahaan sebagai suatu pengikat kontrak baik secara nyata maupun tidak nyata yang dicirikan oleh adanya peranan berbagai unsur (stakeholders) dalam organisasi
Bathala, Moon, dan Rao (1994) Sistem monitoring dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring internal dan monitoring eksternal
4. Brailsford, Moon, Rao (1996) Struktur kepemilikan saham dikelompokkan kedalam : pemegang saham institusi, individu, dan manajerial.
5. Yammeesri dan Lodh (1997) Struktur kepemilikan saham dikelompokkan menjadi kelompok keluarga, manajemen, dan pihak luar perusahaan.
6. La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer, dan Vishny (1998)
Berpendapat bahwa masalah kepemilikan saham dan pengelola perusahaan dalam pasar negara berkembang relatif lebih buruk karena tidak adanya perlindungan hukum yang kuat serta belum adanya mekanisme pasti yang diatur oleh negara
7. Claessens dan Djankov (1999) Profitabilitas perusahaan dan produktivitas tenaga kerja keduanya terkait secara positif dengan struktur kepemilikan saham.
8. Lauterbach dan Vaninsky (1999) Struktur kepemilikan saham untuk perusahaan publik dikelompokan menjadi : Pemilik saham mayoritas dan pemilik saham non mayoritas
9. Anderson, Lee, dan Murrell (2000)
Mempelajari privatisasi kepemilikan saham institusi di Mongolia yang nilainya kecil, karena negara Mongolia memiliki kapitalisme yang tidak dominan dan pemerintahnya lebih memfokuskan pada efisiensi guna memberi kemudahan untuk masyakaratnya dalam privatisasi tersebut.
10. Lins (2003) Kepemilikan saham institusi dan kepemilikan saha manajerial mempunyai keterkaitan dengan nilai perusahaan.
11. Dyck dan Zingale (2004) Kepemilikan saham adalah pemilik perusahaan yang mengontrol perusahaan secara penuh sehingga kepemilikan hingga keuntungan juga dapat dikendalikan
12. Matoussi dan Chakroun (2008) Struktur kepemilikan saham merupakan pihak-pihak yang memiliki saham dari suatu perusahaan.
Konstruk : Struktur kepemilikan saham adalah pemilik perusahaan yang mengontrol perusahaan dan memiliki saham dari suatu perusahaan (Matoussi,Chakroun,Dyck dan Zingale) Sumber : Dari berbagai jurnal Internasional (2018) 2.1.1.2. Pengukuran Kepemilikan Saham Kepemilikan Saham Institusi adalah kepemilikan jumlah saham perusahaan
oleh lembaga keuangan non bank dimana lembaga tersebut mengelola dana atas nama
38
orang lain. Kepemilikan saham institusional memiliki power dan experience serta
bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk
melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut
perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan demikian,
kepemilikan saham institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
pengungkapan sukarela.
Kepemilikan Saham Manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa
manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai
pemegang saham perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase
kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Manajer yang memiliki saham
perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan
kepentingannya sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial
dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan
nilai perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula motivasi untuk mengungkapkan
aktivitas perusahaan yang dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Downes and Goodman (1999) menyatakan bahwa
kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini
sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam
pengambilan keputusan perusahaan. Bodie (2006) mendefinisikan bahwa
Kepemilikan manajerial merupakan pemisahan kepemilikan antara pihak outsider
dengan pihak insider. Jika dalam suatu perusahaan memiliki banyak pemilik saham,
maka kelompok besar individu tersebut tidak dapat berpartisipasi dengan aktif dalam
manajemen perusahaan sehari-hari, oleh itu mereka memilih dewan komisaris, yang
memilih dan mengawasi manajemen perusahaan. Struktur organisasi seperti ini berarti
39
terdapat perbedaan antara pemilik dengan manajer perusahaan, hal ini memberikan
stabilitas bagi perusahaan yang tidak dimiliki oleh perusahaan dengan pemilik
merangkap manajer.
Djabib (2009 : 252 ) mengemukakan bahwa kepemilikan manajerial yang
meningkat akan membuat kekayaan pribadi perusahaan”. kepemilikan manajerial
yang meningkat akan membuat kekayaan pribadi manajemen terikat dengan kekayaan
perusahaan sehingga manajemen akan berusaha mengurangi resiko kehilangan
kekayaannya dengan mengurangi resiko keuangan perusahaan melalui penurunan
tingkat hutang. Kepemilikan manajerial adalah proporsi saham biasa yang dimiliki
oleh para manajemen (direksi dan komisaris) yang diukur dari persentase jumlah
saham manajemen. Dengan adanya kepemilikan manajerial dapat menekan masalah
keagenan, dan semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka
manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen
mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi keinginan dari pemegang saham yang
tidak lain adalah dirinya sendiri dengan mengurangi risiko keuangan perusahaan
melalui penurunan tingkat hutang.
Akerlof (1970 : 488-500) adalah orang pertama yang menjelaskan tentang
distribusi informasi yang tidak merata di antara pihak yang akan melakukan
pertukaran suatu barang. Informasi Asimetri merupakan suatu keadaan dimana
manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh
pihak luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi
antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal).
Informasi Asymmetri merupakan suatu kondisi apabila satu orang atau lebih
memiliki informasi superior yang relevan dari pada pihak lain yang akan melakukan
suatu pertukaran. Ditinjau dari aspek manajemen keuangan, informasi asymmetri
40
merupakan kondisi yang menunjukkan adanya kelompok yang mempunyai informasi
dan lainnya tidak memiliki informasi. Kelompok yang memiliki informasi disebut
sebagai kelompok informed information dan yang tidak memiliki atau sedikit
memiliki informasi disebut uninformed information. Informasi asymmetri dapat
terjadi baik di pasar modal maupun di pasar lainnya. Adanya informasi asimetri
tersebut telah menimbulkan persepsi dan penilaian yang berbeda terhadap suatu
produk, dan suatu keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan, akibatnya
dapat menimbulkan suatu kerugian tapi juga bisa menimbulkan suatu manfaat bagi
pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan.
Berbeda dengan Akerlof, pendapat Myers, dan Majluf (1984 : 187- 221) tidak
melihat single product dalam pertukaran tetapi partial claim, asset in place dan new
project. Mereka mengungkapkan bahwa para manajer perusahaan mempunyai
informasi yang lebih baik dan pada pihak luar perusahaan (investor, pemegang saham,
atau kreditor). Kesimpulan yang dihasilkan adalah dengan adanya informasi
asymmetry maka kesempatan investasi (investment opportunity) yang melebihi
operating cash flow dapat didanai dengan hutang atau risky securities. Pada saat
manajer sedikit memiliki informasi relevan, proyek dapat didanai melalui penerbitan
saham.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan jika kedua kelompok (agen dan
prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya,
maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya
dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang
didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
41
Dengan adanya informasi asimetri antara manajer sebagai pengelola
perusahaan dengan investor, menjadikan manajer lebih banyak mengetahui kondisi
dan prospek perusahaan dari investor. Kondisi tersebut telah menghasilkan suatu teori
yang disebut dengan signaling theory, yaitu suatu teori yang menjelaskan persepsi
investor luar tentang prospek perusahaan akibat adanya corporate action (Ross,
1977). Sehubungan dengan signaling theory, hasil penelitian McConnell dan
Muscarella (1984) menemukan bahwa peningkatan pengeluaran modal telah
meningkatkan return saham. Sejalan dengan McConnell dan Muscarella (1984),
dalam penelitian Trueman (1986 : 159-172) menyatakan bahwa peningkatan
pengeluaran modal akan diikuti oleh peningkatan harga saham yang signifikan. Hal
tersebut didasari pada asumsi bahwa manajemen, dalam upaya mencapai tujuan
perusahaan yaitu memaksimumkan harga saham, akan mengambil investasi yang
memiliki net present value positif. Jadi pada saat adanya peningkatan pengeluaran
modal, investor menangkap sebagai sinyal positif dan sebaliknya penurunan
pengeluaran modal, akan ditangkap oleh investor sebagai sinyal negatif.
Agency Theory dikembangkan oleh Jensen, M.C, and W.H. Meckling
(1976 : 305-360), Brigham (2011) berpendapat bahwa teori keagenan
merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan selama ini.
Prinsip utama teori keagenan menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak
yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima
wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di
dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency theory ( Teori Keagenan).
Teori Agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemilik dan manajer,
menurut teori ini hubungan antar pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar
tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Dalam teori
42
keagenan (Agency Theory), hubungan agen muncul ketika satu orang atau lebih
(principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen
tersebut. Hubungan antara principal dan agen dapat mengarah pada kondisi
ke tidak seimbangan informasi. Jensen and Meckling (1976) mengemukakan
bahwa agency theory adalah pemisahan kepemilikan dan kekuasaan di dalam
mengendalikan perusahaan yang dapat menciptakan konflik kepentingan antara
pemegang saham perusahaan dan para manajer, alasannya dikarenakan para manajer
sering menggunakan sumber daya perusahaan untuk keuntungan atau kepentingan
mereka sendiri, maka hal tersebut secara negatif dapat mempengaruhi kekayaan
pemegang saham.
Teori Keagenan (Agency Theory) menurut Jensen and Meckling (1976)
menjelaskan hubungan keagenan sebagai : “Agency Relationship as a contract under
which one or more person (the principals) engage another person (the agent) to
perform some service on their behalf which involves delegating some decision making
authority to the agent”. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu
atau lebih orang (principal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa
atas nama principal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan
yang terbaik bagi principal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang
sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak
dengan cara yang sesuai dengan kepentingan principal
Teori keagenan (agency theory) mendeskripsikan hubungan antara pemegang
saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi
kepentingan pemegang saham, maka pihak manejemen harus mempertanggung
43
jawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.
Informasi laporan keuangan yang disampaikan secara tepat waktu akan
mengurangi informasi asimetri yang erat kaitannya dengan teori agency (Kim dan
Verrechia, 2008 : 302-321), sehingga dalam hubungan keagenan, manajemen
diharapkan dalam mengambil kebijakan perusahaan terutama kebijakan keuangan
yang menguntungkan pemilik perusahaan.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas maka yang menjadi
pengukuran indikator kepemilikan saham dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini.
Tabel 2.2
Pengukuran Kepemilikan Saham No Author Indikator Kepemilikan Saham 1. Jensen &Meckling(1976) 1. Principal
2. Pihak yang lain (agent) 2. Rozeff (1982) &Easterbrook (1984) 1. pengelola perusahaan (agent)
2. Pemegang saham sebagai pemilik (owners). 3. Weston &Copeland (1992) Stakeholders 4. Bathala, Moon, dan Rao(1994) 1. Auditor
2. Anggota Dewan Direksi Independen 5. Brailsford, Moon&Rao (1996 ) 1. Pemegang saham institusi
2. Individu 3. Manajerial.
6. Yammeesri &Lodh (1997) 1. Keluarga 2. Manajemen 3. Pihak luar perusahaan
7. Lauterbach & Vaninsky(1999) 1. Pemilik saham mayoritas 2. Pemilik saham non mayoritas
8. Ang, Cole&Lin (2000) 1. Fungsi kepemilikan (principal) 2. Fungsi pengelolaan (agent)
9. Berger&Patti (2003) 1. Dewan pengurus 2. Pemegang saham outsider di atas 5% 3. Pemegang saham institusi
10. Bodie (2006) 1. Outsider 2. Insider
11. Matoussi &Chakroun (2008) 1. Power 2. Experience 3. Bertanggung jawab
12. Dede Hertina (2018) 1. Kepemilikan saham institusi 2. Kepemilikan Saham Manajerial. Brailsford,
Moon & Rao (1996 ) Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).
Berdasarkan beberapa beberapa pengertian diatas maka construct
kepemilikan saham adalah pemilik perusahaan yang mengontrol perusahaan dan
44
memiliki saham dari suatu perusahaan (Brailsford, Moon&Rao (1996 ). Indikator yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan saham institusi dan kepemilikan
saham manajerial (Brailsford, Moon &Rao :1996 ).
2.1.2. Struktur Modal
2.1.2.1. Konsep Struktur Modal
Struktur modal merupakan pembiayaan permanen perusahaan yang
mencerminkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri. Dalam
penentuan sumber pendanaan yang akan digunakan, serta berapa besarnya proporsi
masing-masing sumber dana tersebut maka perusahaan akan menganalisis beberapa
faktor untuk memperoleh kombinasi struktur modal yang optimal. Teori struktur
modal bertujuan untuk memberikan landasan pola pikir untuk mengetahui struktur
modal yang optimal
Struktur modal adalah bagaimana perusahaan memenuhi kebutuhan dana
jangka panjangnya, yaitu melalui hutang dan ekuitas (Weston dan Copeland, 1992).
Perbedaan karakteristik antara kedua tipe pendanaan itu terletak pada keragaman hak
suara relatif dalam manajemen, klaim pada income dan aset, maturitas, dan perlakuan
pajak. Keempat karakteristik yang membedakan antara hutang dan ekuitas diringkas
pada Tabel 2.2.1. Perbedaan karakteristik ini menjadi jelas mengapa pemilik ekuitas
mempunyai risiko lebih besar dari pada hutang, sehingga ekuitas mendapat
kompensasi dengan expected return yang lebih besar dari pada hutang (Gitman, 1997:
483).
45
Tabel 2.3. Perbedaan Karakteristik antara Hutang dengan Ekuitas
Karakteristik Hutang Ekuitas
Hak suara dalam manajemen Tidak ada Ada
Klaim pada income dan aset Senior dari ekuitas Subordinat pada hutang
Maturitas Tetap Tidak ada
Perlakuan pajak Pengurang atas bunga Tidak ada
Sumber : Gitman, Lawrence J, 2013.
Penggunaan hutang, menimbulkan beban tetap yang ditunjukkan oleh leverage
keuangan (financial leverage) yang berpengaruh terhadap rasio hutang (debt ratio)
serta rasio hutang dengan ekuitas (d ebt equity ratio). Tingginya debt ratio dan debt
equity ratio disebabkan oleh tingginya leverage keuangan. Satu industri atau satu
business line mempunyai karakteristik leverage keuangan yang khas dibandingkan
dengan industri atau business line yang berbeda. Contoh industri di Amerika, rasio
hutang untuk industri manufaktur komputer adalah 58,3% dan untuk perusahaan
penjual mobil adalah 77,9% (Gitman, 1997: 483).
Leverage keuangan (financial leverage) adalah suatu ukuran yang
menunjukkan sejauh mana sekuritas berpenghasilan tetap (hutang dan saham
preferen) digunakan dalam struktur modal perusahaan dengan tujuan agar keuntungan
yang diperoleh lebih besar dari pada biaya aset dan sumber dananya, dengan demikian
akan meningkatkan keuntungan pemegang sahamnya (Weston dan Copeland, 1992).
Karakteristik struktur modal di negara maju dan negara berkembang
mempunyai tiga persamaan, yaitu (Gitman, 1997: 485):
1. Pada industri yang sama mempunyai pola struktur modal yang sama.
46
2. Struktur modal antara negara maju, yang terdapat banyak perusahaan
multinasional dan mempunyai akses luas pada pasar keuangan, mempunyai
kemiripan dengan struktur modal di negara berkembang.
3. Secara global, ada perubahan kecenderungan arah (trend) pendanaan, dari
pendanaan melalui bank menjadi pendanaan dengan menerbitkan sekuritas,
sehingga perbedaan struktur modal antara perusahaan di Amerika dengan
perusahaan bukan di Amerika dalam waktu panjang menjadi kecil.
Struktur modal menghasilkan manfaat dan biaya, manfaat dari hutang adalah
timbulnya keringanan pajak (tax shield) dari pembayaran bunga. Biaya dari struktur
modal timbul dari tiga faktor yaitu (1) kemungkinan naiknya risiko
kebangkrutan akibat kewajiban atas hutang, (2) agency cost yang timbul dari
monitoring dan pengendalian oleh tindakan lender perusahaan, dan (3) biaya yang
timbul akibat manager mempunyai lebih banyak informasi tentang prospek
perusahaan dibandingkan investor (Gitman ; 1997: 486).
Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal menurut Voulgaris (2002)
adalah asset utilization, profitabilitas dan pertumbuhan. Menurut Fama and French
(2002), determinan struktur modal terdiri atas ukuran perusahaan, growth opportunity,
non-debt tax shield, profitabilitas dan target payout. Sedangkan menurut Ozkan
(2001), determinan struktur modal terdiri atas modal kerja, ukuran perusahaan,
growth opportunity, non-debt tax shield, profitabilitas, likuiditas dan lag leverage.
2.1.2.2. Teori Struktur Modal
1. Teori Struktur Modal Tidak Relevan
Sehubungan dengan struktur modal, ada dua proposisi yang dihasilkan oleh
Modigliani-Miller (dalam Ross, Westerfield, dan Jaffe, 2002 : 407) di bawah asumsi
47
ketiadaan pajak, ketiadaan biaya transaksi, individu dan perusahaan meminjam pada
tingkat bunga yang sama, yaitu :
Proposisi I : VL = Vu
(Value of levered firm equals value of unlevered firm)
Proposisi II : 𝑟! = 𝑟! +!!𝑟! − 𝑟!
Dimana: Vu adalah nilai perusahaan yang unlevered, ro adalah biaya modal untuk
perusahaan yang seluruhnya menggunakan ekuitas (unleverage), rb adalah biaya
hutang, dan rs adalah biaya ekuitas. Intuisi dari kedua proposisi di atas adalah
pertama, melalui homemade leverage; individu dapat meniru atau menghilangkan
efek dari corporate leverage. Kedua, biaya ekuitas meningkat dengan adanya
leverage sebab risiko ekuitas meningkat, dengan leverage. Intinya adalah manajer
tidak dapat merubah nilai perusahaan dengan merubah komposisi hutang dan
ekuitasnya.
Miller (1977) melakukan studi yang lebih mendalam mengenai Teori Struktur
Modal Tidak Relevan, dan menunjukkan bahwa keuntungan pajak dari pembiayaan
melalui hutang pada level perusahaan dihilangkan oleh kerugian dari hutang pada
level perseorangan. Akibatnya, tidak ada keuntungan dari pembiayaan melalui hutang
jika diasumsikan tidak ada pajak pendapatan dari saham, dan tidak ada biaya yang
berhubungan dengan leverage.
2. Teori Struktur Modal Relevan
Modigliani-Miller (dalam Ross, Westerfield, dan Jaffe, 2002: 407)
mengemukakan adanya dua proposisi yang muncul apabila corporate taxes
dimasukkan ke dalam model. Dengan asumsi terdapat pajak perusahaan sebesar Tc
pada earning after interest, ketiadaan biaya transaksi, individu dan perusahaan
48
meminjam pada tingkat bunga yang sama. Berikut ini proposisi yang dinyatakan oleh
Modigliani-Miller :
Proposisi I: VL = Vu + TcB (for a firm with perpetual debt)
Proposisi II: 𝑟! = 𝑟! +!!1− 𝑇! 𝑟! − 𝑟!
di mana Tc, adalah tingkat pajak perusahaan.
Intuisinya adalah pertama, perusahaan dapat menagih kembali pembayaran
bunga dan bukan pembayaran deviden sehingga corporate leverage akan menurunkan
pembayaran pajak. Kedua, biaya ekuitas meningkat dengan leverage sebab risiko
ekuitas meningkat dengan leverage. Intuisinya adalah nilai perusahaan merupakan
fungsi yang meningkat dan leverage. Akibat hubungannya positif maka struktur
modal perusahaan harus mengandalkan hutang.
Myers (1984, 576) mengemukakan Teori Struktur Modal Relevan dan
menyatakan adanya dua kerangka berpikir yang berbeda. Pertama, kerangka
pemikiran trade-off yang memandang perusahaan menetapkan target struktur modal
dan secara gradual bergerak ke arah tersebut. Kedua, kerangka pemikiran pecking
order yang memandang perusahaan lebih menyukai sumber dana internal
dibandingkan dengan sumber dana eksternal, dan lebih menyukai hutang
dibandingkan dengan ekuitas.
Secara umum teori Modigliani-Miller (M&M propositions) memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam membentuk basis pemikiran modern terkait
struktur modal. Walaupun teori mereka dipandang hanya bersifat teoritis karena
faktanya teorema mereka tidak mengikutsertakan berbagai faktor penting dalam
membuat keputusan struktur modal secara praktek. Sampai saat ini, ada beberapa
pendekatan teoritis yang dikenal terkait dengan struktur modal, khususnya pandangan
mengenai optimal capital structure dalam suatu perusahaan.
49
Berdasarkan teori Modigliani dan Miller (MM) yang mengungkapkan bahwa
nilai perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya, yang berarti bahwa
penggunaan hutang (leverage) bagi perusahaan tidak mempengaruhi nilai
perusahaannya. Manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan
mengubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk membiayai perusahaan.
Teori Modigliani and Miller II (Tax Shield) menerangkan bahwa penggunaan hutang
dapat digunakan untuk menghemat pajak karena bunga bisa dipakai sebagai
pengurang pajak, sehingga nilai perusahaan yang berhutang sama dengan nilai
perusahaan yang tidak berhutang ditambah dengan perubahan aturan pajak karena
bunga hutang. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan dengan hutang sangat
menguntungkan dan MM menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan
adalah 100 persen hutang.
3. Trade Off Theory
Teori Trade-Off ini memandang bahwa struktur modal optimum dapat
ditentukan. Perusahaan dipandang sebagai suatu setting dan suatu target rasio hutang
dengan nilai perusahaan, di mana perusahaan secara bertahap akan menuju target
tersebut. Termasuk dalam teori Trade-Off ini adalah teori Tax Shelter-Bankruptcy
Cost.
Menurut Teori Tax Shelter-Bankruptcy Cost, keuntungan penggunaan hutang
muncul dari peranan biaya bunga sebagai pengurang dalam perhitungan laba kena
pajak. Dengan demikian, perusahaan yang menggunakan hutang akan membayar
pajak penghasilan yang lebih rendah daripada perusahaan yang menggunakan seratus
persen ekuitas. Penggunaan hutang juga akan memperoleh return on equity (ROE)
lebih tinggi dibandingkan dengan ekuitas. Dengan kata lain, penggunaan hutang akan
meningkatkan harga saham dan meningkatkan nilai perusahaan. Asumsi risiko
kebangkrutan dari penggunaan hutang tidak ada.
50
Selanjutnya, keuntungan tax deductibility akibat penggunaan hutang akan
dibandingkan dengan ekspektasi biaya kebangkrutan akibat penggunaan hutang.
Dengan kata lain, sebuah perusahaan menggunakan hutang sampai pendapatan
marginal hutang (the interest tax shelter) sama dengan biaya marginal hutang
(financial distress and bankruptcy cost), dan struktur modal optimal berada
pada posisi di mana keuntungan bersih penggunaan hutang menjadi nol.
Trade-off Theory yang diungkapkan oleh Myers (2001 : 81), Perusahaan akan
berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax
shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial
distress). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan
(bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang
meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Trade-off theory dalam
menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain
pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan (financial
distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan asymmetric
information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat hutang yang
optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai jumlah yang
maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial distress). Trade-off
theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off
antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur
modal. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi akan berusaha
mengurangi pajaknya dengan meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan
hutang tersebut akan mengurangi pajak. Donaldson (1961) melakukan pengamatan
terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi
51
cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan dengan pendapat trade-off
theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan korelasi negatif antara tingkat
profitabilitas dan rasio hutang. Teori Trade Off yang menyatakan bahwa perusahaan
akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana perubahan aturan pajak
(tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial
distress).
Trade off theory merupakan teori yang menjelaskan tentang adanya pertukaran
antara laba atau keuntungan yang didapatkan dengan risiko yang akan ditanggung.
Ada beberapa alasan yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang
sebanyak-banyaknya. Salah satu alasan terpenting perusahaan ialah semakin tinggi
hutang, yang akan mengakibatkan semakin tinggi pula kebangkrutan yang akan
terjadi pada perusahaan tersebut. Kebangkrutan yang terjadi akan menimbulkan biaya
kebangkrutan (financial distress). Biaya kebangkrutan terdiri dari 2(dua) hal, yaitu:
(1) Biaya Langsung (Direct Cost) dan (2) Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost).
Trade off theory menjelaskan bahwa semakin tinggi perusahaan melakukan
pendanaan menggunakan hutang, maka semakin besar pula risiko mereka untuk
mengalami kesulitan keuangan karena membayar bunga tetap yang terlalu besar bagi
para debtholders setiap tahunnya dengan kondisi laba bersih belum pasti (bankruptcy
cost of debt).
4. Pecking Order Theory
Teori struktur modal lainnya yaitu teori Pecking Order (Pecking Order
Theory), teori ini menyebutkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk menggunakan
sumber dana internal dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional
perusahaan dibandingkan dengan sumber dana eksternal. Namun jika pendanaan
eksternal diperlukan maka perusahaan akan mengawali dengan memilih sekuritas
52
yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya, kemudian ke hutang
yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen, dan
yang terakhir saham biasa. Menurut Hanafi (2013: 313) skenario urutan dalam
Pecking Order Theory adalah sebagai berikut: (a) Perusahaan memilih pandangan
internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba (profit) yang dihasilkan dari
kegiatan perusahaan. (b) Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan
pada perkiraan kesempatan investasi. (c) Kebijakan deviden yang konstan, digabung
dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bias diprediksi
akan menyebabkan aliran kas yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat tertentu dan akan lebih kecil
pada saat yang lain. (d) Jika pandangan eksternal diperlukan, perusahaan akan
mengeluarkan surat-surat berharga yang paling aman terlebih dulu. Perusahaan akan
memulai dengan hutang, kemudian dengan surat-surat berharga campuran seperti
obligasi convertibel dan saham sebagai pilihan terakhir.
Teori-teori tersebut memberikan gambaran bagi manajemen perusahaan dalam
membantu pihak menajer terkait untuk mengambil keputusan mengenai tambahan
modal yang diperlukan untuk mengimplementasikan strategi yang telah dirumuskan
guna mencapai perkembangan dan pertumbuhan perusahaan. Manajemen harus
memutuskan apakah menggunakan alternatif pembiayaan melalui penerbitan saham
atau menggunakan hutang dari pihak eksternal. Keputusan mengenai struktur modal
ini dapat berimplikasi terhadap nilai perusahaan. Selain itu, keputusan struktur modal
juga berimplikasi terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan dan secara langsung
berimplikasi terhadap besarnya risiko yang ditanggung pemegang saham serta
besarnya tingkat pengembalian atau tingkat keuntungan yang diharapkan.
Setelah keputusan mengenai struktur modal ditetapkan, maka perusahaan
53
dengan tambahan modal yang dimilikinya dapat menerapkan strategi yang telah
dirumuskan dan diharapkan terjadi peningkatan kinerja perusahaan. Kinerja
perusahaan yang baik, selain dinilai sebagai salah satu acuan dalam penilaian
keberhasilan perusahaan juga memberikan insentif bagi para investor sebagai bahan
pertimbangan dalam keputusan investasinya.
Pecking Order Theory menurut Myers (1984), menyatakan bahwa ”Perusahaan
dengan tingkat profitabilitas yang tinggi, tingkat hutangnya rendah, dikarenakan
perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang
berlimpah”. Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang
optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki)
dalam penggunaan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart,
Megginson, dan Gitman (2004 : 458-459), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam
memilih sumber pendanaan, yaitu :
1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau
pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut
diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional
perusahaan.
2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama
kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah
risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti
obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.
3. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan
jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa
besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.
54
4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan
deviden yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan
investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar
tersedia. Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal.
Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan
tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana
ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat
menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang
tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.
Kesadaran akan adanya perbedaan informasi antara manajer dan investor telah
melahirkan argumen signaling (Leland dan Pyle, 1977) dan teori pecking order
(Myers, 1984). Struktur modal dengan tingkat leverage yang tinggi digunakan sebagai
sinyal untuk membedakan perusahaan yang baik dari yang buruk. Hanya
perusahaan yang sehat dan kuat yang dapat berhutang dengan menanggung
risikonya. Keputusan sumber dana adalah berdasarkan persepsi fairness dari
penilaian pasar saat ini terhadap saham. Sehingga untuk meminimumkan biaya
informasi dari pelepasan saham, maka suatu perusahaan lebih menyukai
menggunakan hutang daripada ekuitas jika perusahaan tampak undervalued,
dan menggunakan ekuitas dari pada hutang jika perusahaan tampak
overvalued.
Myers dan Majluf (1984 : 189) memiliki pandangan bahwa ada
informasi asimetrik yang terjadi antara manajer perusahaan dan investor. Biaya
akibat informasi asimetrik meningkat ketika manajer dalam perusahaan
memiliki pengetahuan yang superior mengenai distribusi risiko dan tingkat
55
pengembalian proyek-proyek investasi, dibandingkan dengan investor diluar
yang baru. Selanjutnya manajer perusahaan memaksimumkan nilai yang
sesunguhnya dari klaim pemegang saham saat ini.
Teori Pecking Order (Myers, 1984) lebih lanjut menggunakan argumen
signaling, dan menunjukkan bahwa biaya informasi yang disebabkan oleh
pelepasan saham begitu besar sehingga mendominasi pertimbangan-
pertimbangan lainnya. Menurut teori ini, perusahaan memaksimalkan nilainya
secara sistematis dengan memiliki sumber dana termurah yang ada untuk
investasinya. Secara spesifik, dengan adanya adverse selection maka
perusahaan lebih memilih dana internal (retained earning) dari pada dana
eksternal, dan jika dana eksternal tersedia, perusahaan lebih memilih hutang
dari pada ekuitas, sebab biaya informasi dari hutang lebih rendah dari pada
ekuitas. Perusahaan melepaskan sahamnya sebagai alternatif terakhir jika
kapasitas hutangnya telah habis digunakan.
Implikasi dari teori ini adalah perusahaan lebih suka mempertahankan
financial slack dalam menjaga fleksibilitas keuangan untuk sumber dana investasi di
masa depan, dengan menghindari keterpaksaan untuk mengeluarkan saham baru pada
tingkat harga yang rendah. Pelepasan saham baru merupakan aktivitas yang
menurunkan leverage yang selanjutnya akan menurunkan harga saham, sementara
penggunaan hutang barn merupakan aktivitas yang meningkatkan leverage yang
selanjutnya akan menaikkan harga saham.
Selanjutnya Shyam dan Myers (1999:242) juga menyatakan bahwa
perusahaan berencana untuk mendanai defisit yang dapat diantisipasi dengan
hutang. Dalam hal ini, perusahaan akan menambah ekuitasnya apabila rasio
56
hutang sudah sangat terlalu tinggi, dan akan menurunkan ekuitasnya apabila
rasio hutangnya jatuh mendekati nol. Hasil penelitian Fama dan French (2002)
mendukung teori Pecking Order dengan kesimpulan bahwa perusahaan tidak
memiliki target leverage, dan leverage tidak berarti nilai hutang harus sama
dengan nilai ekuitas.
2.1.2.3. Unsur-unsur Struktur Modal
Terdapat 2 (dua) unsur struktur modal, yaitu :
(1) Modal asing (hutang)
(2) Modal Sendiri
Struktur modal yang optimal adalah komposisi antara hutang jangka panjang
dan modal sendiri yang merupakan sumber pembelanjaan aktiva-aktiva jangka
panjang perusahaan. Kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan antara risiko
dan tingkat pengembalian, antara lain:
(1) Menggunakan lebih banyak hutang berarti memperbesar risiko yang ditanggung
pemegang saham.
(2) Menggunakan lebih banyak hutang juga memperbesar tingkat pengembalian yang
diharapkan.
Penelitian empiris telah banyak dilakukan oleh para peneliti untuk menguji
berbagai teori struktur modal yang berbeda. Namun sebelum membahas penelitian
empiris tersebut, perlu terlebih dahulu dikemukakan konsep dasar struktur modal.
Dalam hal ini konsep dasar struktur modal dapat dijelaskan sebagai berikut (Weston
and Copeland, 1992) :
V = B + S
Di mana V adalah nilai perusahaan, B adalah nilai pasar dari hutang, dan S
adalah nilai pasar dari ekuitas. Nilai perusahaan merupakan penjumlahan dari hutang
57
dan ekuitas berdasarkan nilai pasar. Jika tujuan manajemen adalah memaksimumkan
nilai perusahaan maka perusahaan harus memilih rasio hutang terhadap ekuitas yang
menghasilkan nilai perusahaan sebesar mungkin.
Dalam hal ini, struktur modal yang memaksimumkan nilai perusahaan tersebut
haruslah juga menyediakan keuntungan besar bagi pemegang saham. Berikut ini
adalah beberapa teori struktur modal yang menyatakan ada tidaknya hubungan antara
struktur kepemilikan dengan struktur modal dan struktur modal dengan nilai
perusahaan (kinerja perusahaan). Struktur Modal merupakan komposisi pendanaan
permanen perusahaan, yaitu bauran pendanaan jangka panjang perusahaan. Struktur
Modal merupakan bagian dari struktur keuangan dimana struktur keuangan
mencerminkan kebijakan manajemen perusahaan dalam mendanai aktivanya (Sawir,
2005 : 2). Struktur Modal adalah pencampuran berbagai jenis dan sumber modal yang
digunakan oleh perusahaan untuk membiayai perusahaannya (Brealey dan Myers,
2006).
Brigham & Houston (2012 : 296) menyebutkan bahwa target dari struktur
modal adalah mengkombinasikan antara hutang, saham preferen dan saham biasa
yang akan direncanakan oleh perusahaan untk meningkatkan modal. Menurut Baker
dan Wurgler (2002), capital structure is the cumulative outcome of attempts to time
the equity market. Struktur Modal adalah hasil komulatif dari upaya untuk waktu
ekuitas pasar. Menurut Lawrence, Gitman (2009), capital structure is the mix of long
term debt and equity maintained by the firm. Struktur Modal perusahaan
menggambarkan perbandingan utang jangka panjang dan modal sendiri yang
digunakan perusahaan.
Chen and Jung (2009 : 1-9) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor
penentu struktur modal adalah tingkat profitabilitas dan pertumbuhan. Pengaruh
58
profitabilitas terhadap struktur modal adalah negatif, hal ini menyiratkan bahwa
perusahaan lebih memilih untuk menggunakan pendapatan mereka untuk membiayai
kegiatan bisnis dengan menggunakan lebih sedikit modal hutang. Tingkat
pertumbuhan berpengaruh positif terhadap struktur modal, peluang pertumbuhan yang
lebih besar akan memiliki struktur modal yang lebih besar untuk membiayai
pertumbuhan. Ukuran perusahaan yang merupakan variabel moderator dalam
penelitian Chen and Jung (2009 : 1-9) memoderasi efek tarif pajak pada struktur
modal. Perusahaan besar tampaknya mengambil keuntungan dari pengurangan
deduksi pajak, temuan ini penting bagi manajemen dan investor.
Tujuan Manajemen Struktur Modal adalah menciptakan bauran sumber dana
permanaen sedemikian rupa agar mampu memaksimalkan harga saham agar tujuan
untuk memaksimalkan nilai perusahaan tercapai.
Menurut Brigham dan Houston (2012 : 6 ), kebijakan struktur modal melibatkan
adanya suatu pertukaran antara risiko dan pengembalian :
1. Penggunaan lebih banyak utang akan meningkatkan risiko yang ditanggung
oleh pemegang saham
2. Penggunaan utang yang lebih besar biasanya akan memyebabkan terjadinya
ekspektasi tingkat pengembalian atas ekuitas yang lebih tinggi.
Pemilihan struktur keuangan merupakan masalah yang menyangkut komposisi
pendanaan yang akan digunakan oleh perusahaan untuk mendanai aktivanya.
Dari tabel 2.4 dibawah ini dapat dilihat definisi tentang struktur modal
berdasarkan pendapat beberapa ahli :
59
Tabel 2.4 Definisi Struktur Modal
NO Author Definisi Struktur Modal 1. Miller (1977) Struktur Modal menunjukkan bahwa keuntungan pajak dari
pembiayaan melalui hutang pada level perusahaan dihilangkan oleh kerugian dari hutang pada level perseorangan.
2. Weston dan Copeland (1992) Struktur modal adalah bagaimana perusahaan memenuhi kebutuhan dana jangka panjangnya, yaitu melalui hutang dan ekuitas.
3. Gitman (1997) Biaya dari struktur modal timbul dari tiga faktor yaitu : (1)Kemungkinan naiknya risiko kebangkrutan akibat kewajiban atas hutang, (2) agency cost yang timbul dari monitoring dan pengendalian oleh tindakan lender perusahaan, dan (3) biaya yang timbul akibat manager mempunyai lebih banyak informasi tentang prospek perusahaan dibandingkan investor
4. Baker dan Wurgler (2002) Struktur Modal adalah hasil komulatif dari upaya untuk waktu ekuitas pasar.
5. Arvanitis (2011) Struktur modal menentukan nilai pasar saham perusahaan dan kelangsungan hidupnya
6. Brealey dan Myers (2006) Struktur Modal adalah pencampuran berbagai jenis dan sumber modal yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai perusahaannya
7. Lawrence, Gitman (2009) Struktur Modal perusahaan menggambarkan perbandingan utang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan perusahaan.
8. Brigham dan Houston (2011)
Faktor-faktor yang menentukan keputusan struktur modal adalah risiko bisnis, posisi pajak, fleksibilitas keuangan, dan konservatisme atau agresivitas manajemen merupakan
9. Brigham & Houston (2012) Struktur modal adalah mengkombinasikan antara hutang, saham preferen dan saham biasa yang akan direncanakan oleh perusahaan untk meningkatkan modal.
Konstruk :
Struktur Modal merupakan pembiayaan permanen perusahaan yang mencerminkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).
2.1.2.4. Struktur Asset Perusahaan
Struktur Asset mengambarkan proporsi atau perbandingan antara total asset
tetap yang dimiliki oleh perusahaan dengan total asset perusahaan (Joni dan Lina,
2010). Pengertian lainnya yaitu, menurut Delcoure (2006) struktur asset
60
mencerminkan seberapa besar asset tetap mendominasi komposisi kekayaan atau asset
yang dimiliki perusahaan. Selain itu, struktur aset (tangibility) ini atau lebih dikenal
sebagai tangible assets menunjukkan komposisi relatif asset tetap yang dimiliki oleh
perusahaan. Struktur Asset merupakan salah salah satu faktor yang penting pada
capital structure atau keputusan pendanaan suatu perusahaan, karena apabila
perusahaan dihadapkan pada kondisi kesulitan keuangan dalam membayar hutangnya,
aset-aset berwujud atau asset tetap yang dimiliki perusahaan dapat bertindak sebagai
jaminan dalam memberikan jaminan kepada pihak luar yang memberikan pinjaman
(Umar Mai : 2006). Perusahaan yang sebagian besar modalnya tertanam dalam asset
tetap akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dananya dari modal sendiri, tetapi
belum tentu juga karena menurut Joni dan Lina (2010), pengadaan untuk asset tetap
membutuhkan dana yang tidak sedikit dan memungkinkan munculnya beban
penambahan hutang bagi perusahaan. Asset tetap berwujud yang digunakan sebagai
jaminan dapat memperkecil resiko kebangkrutan perusahaan dan biaya kesulitan
keuangan untuk membiayai kegiatan perusahaan (Indrajaya, 2011). Disamping itu,
penggunaaan asset lancar jumlahnya terbatas. Semakin besar jumlah asset tetap yang
dimiliki perusahaan maka semakin besar pula jaminannya sehingga dapat
memberikan kepercayaan kepada pihak eksternal untuk memberikan pinjaman kepada
perusahaan dalam jumlah yang besar dan mengakibatkan tingkat penggunaan hutang
perusahaan akan lebih besar dari pada modal sendiri dalam struktur modal
perusahaan. Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa struktur asset memiliki
pengaruh terhadap struktur modal. Struktur aktiva merupakan perbandingan antara
aktiva tetap dan total aktiva yang dapat menentukan besarnya alokasi dana untuk
masing-masing komponen aktiva (Weston dan Brigham ; 2005:175). Menurut Van
der Wijst dan Thurik,(1993); Chittenden et al, (1996); Michaelas et al, (1999); Cassar
61
dan Holmas, (2003); Hall et al, (2004), menunjukkan bukti hubungan yang positif
antara struktur asset dan utang jangka panjang, dan hubungan negatif dengan utang
jangka pendek. Esperance et al (2003), menemukan adanya hubungan positif antara
struktur aset jangka panjang dan utang jangka pendek. Pada perusahaan manufaktur
sebagian besar dari modalnya tertanam dalam aktiva tetap, yang mengutamakan dari
pendanaan internal (modal sendiri), sedangkan pendanaan eksternal (utang) hanya
sebagai pelengkap. Myers (1984); Titman dan Wassels (1988); Rajan dan Zingales
(1995); Volgaris et al (2002); Bhaduri (2002), mengatakan sumber modal mana yang
akan digunakan perusahaan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
struktur aktiva yang dibentuk oleh perusahaan dan ukuran perusahaan. Perusahaan
yang sebagian besar modalnya tertanam dalam aktiva tetap, akan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan modalnya dengan modal yang bersifat permanen, yaitu modal
sendiri, sedangkan modal asing bersifat sebagai pelengkap.
2.1.2.5. Pertumbuhan Asset Perusahaan
Asset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional
perusahaan. Semakin besar asset diharapkan semakin besar hasil operasional yang
dihasilkan oleh perusahaan. Pertumbuhan asset didefinisikan sebagai perubahan
tahunan dari total aktiva. Peningkatan asset yang diikuti peningkatan hasil operasi
akan semakin menambah kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan. Dengan
meningkatnya kepercayaan pihak luar (kreditur) terhadap perusahaan, maka proporsi
penggunaan sumber dana hutang semakin lebih besar daripada modal sendiri. Hal ini
didasarkan pada keyakinan kreditur atas dana yang ditanamkan kedalam perusahaan
dijamin oleh besarnya asset yang dimiliki perusahaan (Martono dan Harjito, 2013:
133).Perusahaan yang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam
melakukan investasi tentu selalu membutuhkan dana, disamping dana internal yang
62
tersedia, diperlukan juga tambahan dana eksternal seperti hutang. Perusahaan dengan
tingkat pertumbuhan yang cepat lebih banyak mengandalkan pada modal eksternal.
Hal ini disebabkan karena perusahaan yang tumbuh akan menunjukkan kekuatan diri
yang semakin besar pula, sehingga perusahaan akan memerlukan lebih banyak dana.
2.1.2.6. Ukuran Perusahaan
Ukuran Perusahaan adalah rata-rata total penjualan bersih untik tahun yang
bersangkutan sampai beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada
biaya variable dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum
pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil dari pada biaya variable dan biaya tetap
maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston : 2001)
Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang mengklasifikasikan besar atau kecilnya
suatu perusahaan dengan berbagai cara antara lain dinyatakan dalam total aktiva, total
penjualan, nilai pasar saham, dan lain-lain. Semakin besar aset yang dimiliki oleh
suatu perusahaan maka perusahaan dapat melakukan investasi untuk ekspansi bisnis
baik untuk aktiva lancar maupun aktiva tetap dan juga memenuhi permintaan produk.
Hal ini akan semakin memperluas pangsa pasar yang akan dicapai yang kemudian
akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan.
Sartono (2008: 249) mengemukakan bahwa perusahaan yang sudah
wellestablished (berkedudukan kuat) memiliki tingkat kemudahan dalam memperoleh
dana dari pasar modal dan nilai penjualan bersih perusahaan selama satu tahun
tertentu karena nilai penjualan bersih perusahaan cukup besar, maka dalam
pengukurannya dikonversikan dalam logaritma natural.
Perusahaan besar cenderung akan melakukan diversifikasi usaha lebih banyak
daripada perusahaan kecil. Oleh karena itu, kemungkinan kegagalan dalam
63
menjalankan usaha atau kebangkrutan akan lebih kecil. Ukuran perusahaan sering
dijadikan indikator bagi perusahaan. Dimana perusahaan dalam ukuran lebih besar
dipandang lebih mampu menghadapi krisis dalam menjalankan usahanya.
2.1.2.7. Risiko Return Saham
Return saham adalah pengembalian saham beserta hasilnya dari pihak broker
atau perusahaan kepada investor yang telah melakukan investasi pada perusahaan
tersebut akibat suatu hal. Bisa saja return saham dilakukan nkarena telah habis masa
kontrak kerja sama dan tidak dilakukan perpanjangan atau masalah lainnya, seperti
terjadinya likuidasi pada perusahaan.
Dalam dunia pasar saham, seorang investor yang melakukan investasi dengan
membeli saham tetu telah yakin betul dengan segala risiko dan segala ketidakpastian
yang akan didapatkan di masa mendatang. Sebab, permainan bursa saham sedikit
banyak memang mengandalkan keberuntungan, meskipun ada cara cara teknis yang
dapat digunakan oleh investor untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Return saham
(Jogiyanto ; 1998 ) dibagi menjadi dua jenis yaitu return ekspektasi, dan return
realisasi. Return ekspektasi ( expected return ) merupakan return yang sangat
diharapkan untuk masa yang akan datang, namun sifatnya masih belum pasti.
Sedangkan return realisasi ( realized return ) adalah pengembalian yang telah terjadi
dan dihitung berdasarkan data sejarah. Return ini sangat penting untuk mengukur
kinerja perusahaan serta sebagai dasar penentuan return dan juga risiko di masa yang
akan datang. Hasil dari return saham bisa berupa keuntungan atau kerugian, sebab
dalam investasi saham seorang investor selalu dihadaptkan pada risiko yang tidak
terduga.
64
Tabel 2.5 Pengukuran Struktur Modal
No Author Indikator Struktur Modal 1. Myers (1984) 1. Sumber Dana Internal
2. Hutang 2. Weston dan
Copeland(1992) 1. Keragaman hak suara relatif dalam manajemen 2. Klaim pada income dan asset 3. Maturitas 4. Perlakuan pajak
3. Gitman, 1997 1. Leverage Keuangan (Financial Leverage) 2. Rasio Hutang (Debt Ratio)
4. Miller (1977) 1. Keuntungan pajak 2. Hutang
5. Brailsford, Oliver, dan Pua (2002)
Pertumbuhan Tahunan dari Aset
6. Ross, Westerfield, dan Jaffe (2002)
1. Corporate taxes 2. Biaya ekuitas
7. Lasher (2003 : 431) Struktur modal optimal untuk perusahan bisnis mempunyai tingkat hutang pada kisaran antara 30%-50%.
8. Brigham dan Houston (2001)
1. Tidak terdapat agency cost 2. Tidak ada pajak 3. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang
sama dengan perusahaan 4. Investor mempunyai informasi yang sama seperti
manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depan 5. Tidak ada biaya kebangkrutan 6. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak
dipengaruhi oleh penggunaan dari hutang 7. Para investor adalah price-takers. 8. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga
pasar (market value). 9. Kraus dan Litzenberger
(1973) 1. Pajak atas laba perusahaan 2. Penalti kebangkrutan
10. Ozkan (2001) Modal kerja, ukuran perusahaan, growth opportunity, non-debt tax shield, profitabilitas, likuiditas dan lag leverage.
11. Fama and French (2002) ukuran perusahaan, growth opportunity, non-debt tax shield, profitabilitas dan target payout
12. Voulgaris (2002) Asset utilization, profitabilitas dan pertumbuhan.
13. Chen and Jung (2009) Profitabilitas dan pertumbuhan.
14. Brigham dan Houston (2011)
risiko bisnis, posisi pajak, fleksibilitas keuangan, dan konservatisme atau agresivitas
15. Kouki dan Said (2012) Variabel yang berpengaruh positif terhadap struktur modal adalah tangibility, growth opportunities, profitability, Non-Debt Tax Shields, Free Cash Flow. Sedangkan yg berpengaruh negative terhadap struktur modal adalah Firm size, bankruptcy risk, DEF dan timing the market.
65
16. Dede Hertina (2018) 1. Leverage Keuangan (Financial Leverage) 2. Rasio Hutang (Debt Ratio) 3. Pertumbuhan 4. Sumber Dana Internal
(Myers, Brailsford, Oliver, dan Pua, Gitman)
Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka construct Struktur
Modal merupakan pembiayaan permanen perusahaan yang mencerminkan
perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri. Indikator yang
digunakan dalam penelitian ini adalah leverage keuangan (financial leverage), rasio
hutang (debt ratio), pertumbuhan, dan sumber dana internal.
2.1.3. Kinerja Keuangan Perusahaan
2.1.3.1. Konsep Kinerja Keuangan Perusahaan
Kinerja Keuangan perusahaan merupakan salah satu variabel yang penting
tidak saja bagi perusahaan tapi juga bagi investor, kinerja keuangan perusahaan
menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola modalnya.
Sutrisno (2009:53) kinerja keuangan adalah prestasi yang dicapai perusahaan dalam
suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan tersebut.
Sedangkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007) kinerja keuangan adalah
kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya yang
dimilikinya. Rudianto (2013:189) berpendapat kinerja keuangan adalah hasil atau
prestasi yang telah dicapai oleh manajemen perusahaan dalam menjalankan fungsinya
mengelola aset perusahaan secara efektif selama periode tertentu. Kinerja keuangan
menurut Berlian (2003) adalah prospek atau masa depan, pertumbuhan dan potensi
perkembangan yang baik bagi perusahaan. Informasi kinerja keuangan diperlukan
untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi, yang mungkin dikendalikan
di masa depan dan untuk memprediksi kapasitas produksi dari sumber daya yang ada.
66
Kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk mengetahui dan
mengevaluasi sampai dimana tingkat keberhasilan perusahaan berdasarkan aktivitas
keuangan yang telah dilaksanakan. Kinerja keuangan perusahaan merupakan
pencapaian prestasi perusahaan pada suatu periode yang menggambarkan kondisi
kesehatan keuangan perusahaan dengan indikator kecukupan modal, likuiditas dan
profitabilitas.
Penilaian perusahaan dapat dilakukan dengan cara mengukur kinerjanya.
Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan
suatu metode atau pendekatan. Menurut Morse dan Davis (1996 : 391-392)
pengukuran kinerja perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengukuran
kinerja non keuangan (nonfinancial performance measurement) dan pengukuran
kinerja keuangan (financial performance measurement). Pengukuran kinerja non
keuangan umumnya disajikan tidak dalam satuan uang atau rupiah (nonfinancial
information), misal: volume penjualan, unit produksi, informasi yang berdasarkan jam
kerja dan jam mesin. Sedangkan pengukuran kinerja keuangan umumnya disajikan
dalam satuan uang atau rupiah (financial information). Pengukuran kinerja keuangan
dapat dinilai dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan laba
akuntansi, dengan alat ukur yang lazim digunakan adalah ROA, dan ROE (Bodie dan
Kane, 2002: 611), (2) pendekatan arus kas, merupakan perhitungan kinerja
keuangan berdasarkan arus kas bersih atau penerimaan kas dan pengeluaran
kas suatu perusahaan selama satu periode. Berdasarkan pendekatan kinerja arus
kas dapat diketahui kemampuan potensial keuntungan suatu perusahaan
(Warren, 1999:577), dan (3) pendekatan nilai tambah ekonomis (EVA), yaitu
suatu cara untuk menghitung nilai tambah ekonomis yang diperoleh perusahaan
67
secara riil dengan mengurangkan laba bersih operasi setelah pajak dengan
bagian keuntungan yang diberikan kepada pemilik dana (biaya ekuitas atas
suatu investasi) [Brigham dan Houston, 2001:58].
Diantara ketiga pendekatan pengukuran kinerja keuangan perusahaan di atas,
maka dalam penelitian ini hanya akan digunakan pendekatan nilai tambah ekonomis
(Economic Value Added atau EVA) untuk pengukuran kinerja perusahaan. Dasar
pertimbangan yang digunakannya adalah bahwa EVA merupakan alat pengukur
kinerja keuangan yang paling mendekati dibandingkan dengan alat pengukur lainnya
dalam melihat keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari sebuah perusahaan.
Menurut Sidharta Utama (1997:10-13) keunggulan dan kelemahan
pengukuran kinerja keuangan dengan menggunakan nilai tambah ekonomis atau
EVA, adalah sebagai berikut:
Keunggulan Economic Value Added :
1) Hasil investasi yang dihitung dengan menggunakan EVA akan menunjukkan basil
investasi yang riil.
2) Tingkat risiko suatu investasi akan lebih mudah diketahui melalui biaya ekuitas
yang terjadi.
3) Perusahaan akan lebih memperhatikan struktur permodalannya, karena pada
umumnya biaya ekuitas saham relatif lebih besar jika dibandingkan dengan biaya
hutang. Hal ini sering diabaikan oleh perusahaan, karena biaya ekuitas tidak
muncul dalam laporan laba-rugi, sehingga seolah-olah dana ekuitas ini gratis.
4) Dapat digunakan untuk mengidentifikasikan investasi atau proyek yang return
yang lebih tinggi dibanding biaya ekuitas proyek tersebut.
68
Kelemahan Economic Value Added :
1) EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu periode tertentu.
2) Secara konseptual EVA lebih unggul dari pada pengukur kinerja dengan
pendekatan tradisional, namun secara praktis EVA relatif sulit untuk diterapkan,
terutama bagi perusahaan yang belum go public.
Penggunaan alat ukur EVA untuk mengetahui kinerja perusahaan, dilakukan
oleh Lee (1996) yaitu nilai perusahaan ditentukan dengan menjumlahkan total modal
yang diinvestasikan dengan nilai sekarang yang diharapkan. Karena EVA merupakan
residu atau surplus pendapatan yang tersisa setelah mengurangkan cash flow dengan
nilai total biaya modal perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang. Jika
EVA positif, perusahaan mampu menciptakan kesejahteraan pemegang saham dan
jika EVA negatif menunjukan bahwa perusahaan tersebut berkapasitas sebagai
penghancur dari kesejahteraan pemegang saham. Untuk jangka panjang, hanya
perusahaan-perusahaan yang mampu meningkatkan modal atau kesejahteraan
pemegang saham yang akan tetap bertahan hidup.
Peneliti yang mendukung perhitungan dengan EVA mengklaim bahwa
EVA berkorelasi dengan tingkat pengembalian saham. EVA memperoleh harga
saham (Stewart, 1995; Medeiros, 2005) lebih baik daripada indikator kinerja berbasis
akuntansi lainnya. Lefkowitz (1999) menganalisis perusahaan AS dan hasil penelitian
tersebut mendukung hipotesis Stern-Stewart, yaitu, EVA lebih baik dan berkorelasi
dengan tingkat pengembalian saham dibandingkan dengan ukuran kinerja tradisional.
Mereka menemukan bahwa EVA adalah panduan yang cukup andal untuk memahami
nilai perusahaan. Machuga dkk. (2002) dalam penelitiannya menyoroti bahwa EVA
dapat digunakan untuk meningkatkan prediksi pendapatan di masa depan. Lehn &
Makhija (1997) meneliti tingkat korelasi antara ukuran kinerja dan imbal hasil pasar
69
saham yang berbeda.
Hasilnya menunjukkan bahwa EVA adalah ukuran yang sangat berkorelasi
dengan return saham. Berbagai Studi juga dilakukan pada uji isi informasi
inkremental EVA dan memberikan bukti bahwa EVA menambahkan kekuatan
penjelasan yang signifikan terhadap EPS dalam menjelaskan tingkat pengembalian
saham. Bao dan Bao (1998) mempelajari kegunaan EVA dan pendapatan ekonomi
abnormal perusahaan AS dan hasilnya menunjukkan bahwa EVA merupakan faktor
signifikan dalam return pasar dan kekuatan penjelasnya lebih tinggi daripada
pendapatan akuntansi. Chen dan Dodd (1997) berpendapat bahwa ukuran EVA
memberikan informasi yang relatif lebih banyak daripada ukuran tradisional dari
keuntungan akuntansi. Mereka juga menemukan bahwa variabel EVA dan RI
(Residual Income) sangat berkorelasi dan identik dalam hal hubungan dengan tingkat
pengembalian saham. Worthington dan West (2004) memberikan bukti Australia
mengenai isi informasi EVA dan menyimpulkan bahwa return saham lebih dekat
terkait dengan EVA daripada pendapatan residual, pendapatan dan arus kas bersih.
Nikhil Chandra Shil (2009 : 169) menyatakan bahwa EVA adalah ukuran
kinerja yang paling terkait langsung dengan penciptaan kekayaan pemegang saham
dari waktu ke waktu, penggunaan EVA adalah memaksimalkan nilai bagi pemegang
saham
Ada beberapa penelitian yang tidak mendukung klaim bahwa EVA memberikan
return saham yang lebih baik. (Biddle et al., 1997 dan 1999) menganalisis sampel
perusahaan selama periode tahun 1984-1993 dengan membandingkan tingkat
pengembalian pasar saham terhadap EVA, Residual Income dan Operating Cash
Flow. Hasilnya tidak mendukung EVA yang mendominasi ukuran kinerja tradisional
dalam hubungannya dengan tingkat pengembalian pasar saham. Ismail (2006)
70
melakukan studi EVA dalam hubungannya antara return saham dan laba akuntansi
menemukan bahwa laba operasi bersih setelah pajak dan laba bersih mengungguli
EVA dalam menjelaskan tingkat pengembalian saham.
Peterson dan Peterson (1996) menganalisis ukuran kinerja tradisional dan
nilai tambah serta hubungannya dengan tingkat pengembalian saham. Temuan
mereka menyatakan bahwa ukuran tradisional tidak secara empiris kurang terkait
dengan tingkat pengembalian saham daripada pengembalian pada nilai tambah.
Kyriazis dan Anastassis (2007) dalam penelitiannya terhadap perusahaan Yunani
menyimpulkan bahwa tes konten informasi menunjukkan bahwa pendapatan bersih
dan operasional tampaknya lebih berharga daripada EVA. Komponen EVA hanya
menambahkan konten informasi marjinal dibandingkan dengan keuntungan akuntansi.
Komponen Perhitungan EVA :
Formula yang digunakan untuk menghitung EVA (Stewart, 1991: 137) adalah
sebagai berikut:
EVA(denominasi) = NOPAT – c* x Capital
EVA(%) = (r - c*) x 100% (2.1.)
di mana:
NOPAT = Laba bersih operasi setelah pajak (Net Operating Profit After Tax)
C* = Biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost Of Capital)
Capital = Jumlah dana yang terdiri atas hutang berbunga dan ekuitas saham yang
tersedia di perusahaan untuk mendanai usaha perusahaan.
r = NOPAT : Capital
Biaya Modal (Cost Of Capital)
Biaya ekuitas suatu perusahaan adalah suatu tingkat keuntungan yang harus
dicapai agar dapat memuaskan keinginan investor. Biaya modal suatu perusahaan
71
bukanlah biaya tunai karena merupakan ongkos kesempatan (opportunity cost), yaitu
total pengembalian yang diharapkan oleh penanam modal perusahaan jika uang
mereka diinvestasikan dalam saham dan obligasi yang mempunyai risiko sebanding.
Biaya modal ini harus diperhitungkan untuk menciptakan nilai. Makin besar
risiko perusahaan yang ditanggung investor makin besar pula tingkat pengembalian
yang harus diperoleh pemilik dana sebelum nilai tercipta dan semakin tinggi pula
tingkat biaya modal.
Menurut Stewart biaya modal dibedakan dalam 4 (empat) katagori, yaitu :
1. Biaya modal atas risiko bisnis (the cost of capital for business risk) adalah tingkat
pengembalian yang diharapkan investor sehingga kompensasi atas berubah-
ubahnya nilai NOPAT.
2. Biaya meminjam (cost of borrowing) ialah tingkat pengembalian yang diharapkan
investor atas adanya hutang.
3. Biaya modal saham (cost of equity) ialah tingkat pengembalian yang diharapkan
investor saham sehingga kompensasi atas nilai income available to common yang
berubah-ubah.
4. Biaya rata-rata tertimbang modal (c*) merupakan penjumlahan secara proporsional
dari biaya modal hutang dan biaya modal saham. Biaya ini merupakan tingkat
bunga untuk mendiskontokan anus kas ke atas nilai sekarang. Merangking proyek-
proyek investasi dan memutuskan besarnya tingkat pengembalian dari modal yang
digunakan.
Biaya modal menurut Damodaran (2001: 212) adalah tingkat keuntungan yang
disyaratkan untuk berbagai sumber keuangan yang digunakan oleh perusahaan. Biaya
modal secara keseluruhan merupakan biaya modal rata-rata tertimbang dari tingkat
hasil biaya komponen yang disyaratkan. Dengan demikian yang dimaksud biaya
72
modal merupakan tingkat keuntungan yang disyaratkan atas berbagai sumber dana
yang digunakan dalam perusahaan, seperti biaya hutang, biaya saham preferen, biaya
saham biasa, dan biaya laba yang ditahan.
Biaya modal rata-rata tertimbang perlu dihitung setelah perhitungan biaya
komponen secara individual karena biaya modal rata-rata tertimbang merupakan
penjumlahan secara proporsional dari seluruh biaya komponen yang membentuk
somber dana perusahaan. Untuk menetapkan biaya modal secara keseluruhan
diperlukan dasar penimbang yang berupa proporsi dan masing-masing komponen
dana.
Formula yang digunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang
(Weighted Average Cost Of Capital) adalah sebagai berikut:
C* = (wp x Kp) + (wi x ki)+ (ws x ks) (2.2)
di mana:
C* = biaya ekuitas rata-rata tertimbang
wp = proporsi saham preferen dalam struktur modal
kp = biaya saham preferen
wi = proporsi pinjaman jangka panjang dalam struktur modal
ki = biaya hutang setelah pajak
ws = proporsi saham biasa dalam struktur modal
ks = biaya ekuitas saham biasa
Dalam penelitian ini biaya modal rata-rata tertimbang hanya memasukkan
unsur biaya hutang jangka panjang dan biaya ekuitas saham biasa, dengan formula
sebagai berikut :
C* = (wi x ki) + (ws x ks) (2.3)
di mana : wi+ ws = 1
73
Biaya hutang (cost of debt) setelah pajak (ki) menunjukan berapa biaya. yang
harus ditanggung oleh perusahaan yang menggunakan dana dan kreditur. Formula
yang digunakan untuk menghitung biaya bunga adalah sebagai berikut:
Ki = kd (1-t) (2.4)
Di mana:
Ki = biaya utang setelah pajak t = tarif pajak
Kd = tingkat bunga
Perhitungan biaya bunga didasarkan pada biaya bunga setelah pajak dengan
alasan bahwa biaya bunga bersifat tax deductible, penaksiran arus kas untuk penilaian
profitabilitas investasi didasarkan atas &sat- setelah pajak.
Sedangkan biaya ekuitas saham biasa (cost of common equity), merupakan
tingkat keuntungan yang disyaratkan atas investasi pemilik saham biasa. Pendekatan
yang digunakan untuk menghitung biaya ekuitas saham biasa dalam penelitian ini
menggunakan Pendekatan Model Harga Aktiva Ekuitas (Capital Assets Pricing
Model atau CAPM). CAPM mengasumsikan bahwa hanya risiko pasar yang relevan
untuk dipertimbangkan, sedangkan risiko yang tidak sistematik dianggap dapat
dihilangkan melalui diversifikasi. Dengan demikian premium risiko yang diminta
oleh investor didasarkan semata-mata pada beta saham (β) dan premium risiko pasar.
Formula yang digunakan untuk menghitung biaya ekuitas saham dengan
menggunakan pendekatan CAPM, sebagai berikut:
Ks = Rf + (Rm - Rf) (2.5)
Dimana:
Ks = Tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik ekuitas biasa.
Rf = Tingkat keuntungan bebas risiko, ditunjukkan dengan bunga Sertifikat Bank
Indonesia.
74
Rm = Tingkat keuntungan pasar, ditunjukkan oleh Indeks Harga Saham Gabungan
(ISHG), dengan cara menghitung perubahan tingkat bunga tersebut dari
periode sebelumnya.
β = Risiko sistematis saham biasa.
Cara menghitung risiko sistematis, menggunakan formula sebagai berikut:
𝛽 = !"!! ! (!)!!!!(!)!
(2.6)
Dimana:
M = (Rm – Rf) = kelebihan perolehan pasar
J = (Rj – Rf) = kelebihan perolehan saham di atas bunga bebas risiko
Rj = Tingkat keuntungan individu masing-masing saham perusahaan.
Kinerja keuangan menurut Sawir (2005:1) adalah kondisi yang mencerminkan
keadaan keuangan suatu perusahaan berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang
ditetapkan. Sedangkan kinerja keuangan menurut IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)
(2007) adalah kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber
daya yang dimilikinya. Definisi dari kinerja keuangan perusahaan menurut beberapa
ahli dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.6 Definisi Kinerja Keuangan Perusahaan
NO Author Definisi
1. Stewart (1991) EVA (nilai tambah ekonomis) adalah suatu alat pengukur kinerja keuangan yang paling riil dibandingkan dengan alat pengukur lainnya dalam melihat keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari sebuah perusahaan
2. Morse dan Davis (1996) Pengukuran kinerja perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengukuran kinerja non keuangan (nonfinancial performance measurement) dan pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement).
75
3. Lee (1996) Penggunaan alat ukur EVA untuk mengetahui kinerja perusahaan yaitu nilai perusahaan ditentukan dengan menjumlahkan total modal yang diinvestasikan dengan nilai sekarang yang diharapkan
Konstruk : Kinerja Keuangan Perusahaan memperlihatkan ukuran hasil dari suatu proses yang dilakukan selama periode tertentu.
Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).
2.1.3.2. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan
Morse dan Davis (1996; 391-392) menyatakan bahwa pengukuran
kinerja perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengukuran kinerja non
keuangan. Pengukuran kinerja keuangan umumnya disajikan dalam satuan
uang atau rupiah (financial information). Pengukuran kinerja keuangan dapat
dinilai dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan laba
akuntansi, dengan alat ukur yang lazim digunakan adalah ROA, dan ROE
(Bodie dan Kane, 2002: 611), (2) pendekatan arus kas, merupakan perhitungan
kinerja keuangan berdasarkan arus kas bersih atau penerimaan kas dan
pengeluaran kas suatu perusahaan selama satu periode. Berdasarkan
pendekatan kinerja arus kas dapat diketahui kemampuan potensial keuntungan
suatu perusahaan (Warren, 1999:577), dan (3) pendekatan nilai tambah
ekonomis (EVA), yaitu suatu cara untuk menghitung nilai tambah ekonomis
yang diperoleh perusahaan secara riil dengan mengurangkan laba bersih
operasi setelah pajak dengan bagian keuntungan yang diberikan kepada pemilik
dana (biaya ekuitas atas suatu investasi) [Brigham dan Houston, 2001:58].
76
Diantara ketiga pendekatan pengukuran kinerja keuangan perusahaan di atas,
maka dalam penelitian ini hanya akan digunakan pendekatan nilai tambah ekonomis
(economic value added atau EVA) untuk pengukuran kinerja perusahaan. Dasar
pertimbangan yang digunakannya adalah bahwa EVA merupakan alat pengukur
kinerja keuangan yang paling mendekati dibandingkan dengan alat pengukur lainnya
dalam melihat keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari sebuah perusahaan.
Penggunaan alat ukur EVA untuk mengetahui kinerja perusahaan, dilakukan
oleh Lee (1996) yaitu nilai perusahaan ditentukan dengan menjumlahkan total modal
yang diinvestasikan dengan nilai sekarang yang diharapkan. Karena EVA merupakan
residu atau surplus pendapatan yang tersisa setelah mengurangkan cash flow dengan
nilai total biaya modal perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang. Jika
EVA positif, perusahaan mampu menciptakan kesejahteraan pemegang saham dan
jika EVA negatif menunjukan bahwa perusahaan tersebut berkapasitas sebagai
penghancur dari kesejahteraan pemegang saham. Untuk jangka panjang, hanya
perusahaan-perusahaan yang mampu meningkatkan modal atau kesejahteraan
pemegang saham yang akan tetap bertahan hidup.
Peneliti yang mendukung perhitungan dengan EVA mengklaim bahwa
EVA berkorelasi dengan tingkat pengembalian saham. EVA memperoleh harga
saham (Stewart, 1995; Medeiros, 2005) lebih baik daripada indikator kinerja berbasis
akuntansi lainnya. Lefkowitz (1999) menganalisis perusahaan AS dan hasil penelitian
tersebut mendukung hipotesis Stern-Stewart, yaitu, EVA lebih baik dan berkorelasi
dengan tingkat pengembalian saham dibandingkan dengan ukuran kinerja tradisional.
Mereka menemukan bahwa EVA adalah panduan yang cukup andal untuk memahami
nilai perusahaan. Machuga dkk. (2002) dalam penelitiannya menyoroti bahwa EVA
dapat digunakan untuk meningkatkan prediksi pendapatan di masa depan. Lehn &
77
Makhija (1997) meneliti tingkat korelasi antara ukuran kinerja dan imbal hasil pasar
saham yang berbeda.
Hasilnya menunjukkan bahwa EVA adalah ukuran yang sangat berkorelasi
dengan return saham. Berbagai Studi juga dilakukan pada uji isi informasi
inkremental EVA dan memberikan bukti bahwa EVA menambahkan kekuatan
penjelasan yang signifikan terhadap EPS dalam menjelaskan tingkat pengembalian
saham. Bao dan Bao (1998) mempelajari kegunaan EVA dan pendapatan ekonomi
abnormal perusahaan AS dan hasilnya menunjukkan bahwa EVA merupakan faktor
signifikan dalam return pasar dan kekuatan penjelasnya lebih tinggi daripada
pendapatan akuntansi. Chen dan Dodd (1997) berpendapat bahwa ukuran EVA
memberikan informasi yang relatif lebih banyak daripada ukuran tradisional dari
keuntungan akuntansi. Mereka juga menemukan bahwa variabel EVA dan RI
(Residual Income) sangat berkorelasi dan identik dalam hal hubungan dengan tingkat
pengembalian saham. Worthington dan West (2004) memberikan bukti Australia
mengenai isi informasi EVA dan menyimpulkan bahwa return saham lebih dekat
terkait dengan EVA daripada pendapatan residual, pendapatan dan arus kas bersih.
Nikhil Chandra Shil (2009 : 169) menyatakan bahwa EVA adalah ukuran
kinerja yang paling terkait langsung dengan penciptaan kekayaan pemegang saham
dari waktu ke waktu, penggunaan EVA adalah memaksimalkan nilai bagi pemegang
saham
Ada beberapa penelitian yang tidak mendukung klaim bahwa EVA
memberikan return saham yang lebih baik. (Biddle et al., 1997 dan 1999)
menganalisis sampel perusahaan selama periode tahun 1984-1993 dengan
membandingkan tingkat pengembalian pasar saham terhadap EVA, Residual Income
dan Operating Cash Flow. Hasilnya tidak mendukung EVA yang mendominasi
78
ukuran kinerja tradisional dalam hubungannya dengan tingkat pengembalian pasar
saham. Ismail (2006) melakukan studi EVA dalam hubungannya antara return saham
dan laba akuntansi menemukan bahwa laba operasi bersih setelah pajak dan laba
bersih mengungguli EVA dalam menjelaskan tingkat pengembalian saham.
Selanjutnya, penelitian ini menyatakan bahwa akrual dan arus kas operasi memiliki
informasi inkremental yang signifikan daripada EVA. Peterson dan Peterson (1996)
menganalisis ukuran kinerja tradisional dan nilai tambah serta hubungannya dengan
tingkat pengembalian saham. Temuan mereka menyatakan bahwa ukuran tradisional
tidak secara empiris kurang terkait dengan tingkat pengembalian saham daripada
pengembalian pada nilai tambah. Kyriazis dan Anastassis (2007) dalam penelitiannya
terhadap perusahaan Yunani menyimpulkan bahwa tes konten informasi
menunjukkan bahwa pendapatan bersih dan operasional tampaknya lebih berharga
daripada EVA. Komponen EVA hanya menambahkan konten informasi marjinal
dibandingkan dengan keuntungan akuntansi.
Lauterbach dan Vaninsky (1999 : 189-201 ) memiliki pendapat berbeda
tentang variabel lain yang mempengaruhi tingkat kinerja perusahaan menurut teori
keagenan. Menurut mereka, kinerja perusahaan dibatasi oleh size dan risiko return
saham perusahaan. Perusahaan yang mempunyai ukuran besar (size) secara khas
mempunyai net income yang lebih besar dari pada perusahaan dengan ukuran kecil.
Perusahaan dengan size yang besar memberikan kompensasi bagi perusahaan itu
untuk memilih anggota tim manajemen yang baik dan berpengalaman. Manager yang
berpengalaman akan meminta gaji yang relatif tinggi. Perusahaan mempunyai
kesempatan menyeleksi dalam input manager. Pembayaran yang tinggi pada manager
yang mempunyai keterampilan dan kemampuan yang tinggi, diharapkan memberikan
79
laba yang superior. Dengan demikian ukuran perusahaan mempunyai hubungan
positif dengan kinerja (Lauterbach dan Vaninsky, 1999 : 189-201).
Hubungan risiko return saham, yang diukur dengan standar deviasi dan return
saham, dengan kinerja saham memiliki hubungan negatif dengan kinerja perusahaan.
Risiko return saham merupakan proksi dan total risiko (Lauterbach dan Vaninsky,
1999 : 189-201).
Titman dan Wessels (1988) menganalisis explanatory power dari beberapa
teori struktur modal yang optimal dengan menggunakan pendekatan teknik analisis
faktor. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap struktur modal optimum adalah
tangibility (struktur aset), non-debt tax shield, pertumbuhan, keunikan, klasifikasi
industri, ukuran, volatilitas earning, dan profitabilitas. Penelitian dilakukan di
Amerika Selatan untuk periode waktu 1974 hingga 1982. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa biaya transaksi merupakan determinasi penting dalam pilihan
struktur modal. Rasio hutang jangka pendek terkait secara negatif dengan ukuran
perusahaan, mereflesikan relatif tingginya biaya transaksi bagi perusahaan kecil jika
ingin menggunakan instrumen keuangan jangka panjang.
Hasil penelitian tidak menghasilkan dukungan terhadap efek non-debt tax
shield volatilitas, struktur asset (nilai kolateral), atau pertumbuhan dimasa depan
terhadap rasio hutang. Namun hal ini disebabkan oleh indikator yang kurang tepat
sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.
Berger dan Patti (2003), yang meneliti hubungan struktur modal dengan
kinerja perusahaan pada industri perbankan, mengelompokkan bank
berdasarkan struktur kepemilikan saham. Kepemilikan saham dikelompokkan
menjadi tiga yaitu Bank yang dikendalikan oleh dewan pengurus, pemegang
saham outsider di atas 5%, dan pemegang saham institusi. Hasil uji
80
menyimpulkan bahwa pemegang saham institusi mempunyai efek pemantauan
(monitoring) yang baik yang dapat mengurangi biaya keagenan. Hasil
penelitiannya juga konsisten dan berhubungan antara kinerja dengan
kepemilikan insider.
Ang, Cole, dan Lin (2000) menemukan bukti bahwa peningkatan
monitoring oleh bank, akibat meningkatnya jumlah hutang, menyebabkan
kinerja perusahaan meningkat pula. Soliha dan Taswan (2002) menyebutkan
adanya hubungan positif yang tidak signifikan antara kebijakan hutang dalam
struktur modal perusahaan dengan nilai perusahaan.
Hatfield, Cheng, dan Davidson (1994) menguji pengaruh struktur modal
berdasarkan klasifikasi industri terhadap nilai perusahaan. Klasifikasi industri
didasarkan pada “value line industrial classification”, yaitu perusahaan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok perusahaan yang struktur modal
perusahaannya (leverage ratio) di atas dan dibawah dari rata-rata leverage ratio
industri (rata-rata leverage ratio seluruh sampel).
Kuznetsov dan Muravyev (2001) menyimpulkan bahwa ada hubungan positif
antara konsentrasi kepemilikan saham tertinggi terhadap kinerja yang diukur dengan
produktivitas tenaga kerja. Lemon dan Lins (2003) yang meneliti hubungan struktur
kepemilikan saham dengan nilai perusahaan selama periode krisis di delapan negara
Asia Timur menjelaskan bahwa struktur kepemilikan saham oleh manajemen hanya
pada level kepemilikan yang tinggi saja mampu menaikkan kinerja menjadi 20%.
Soliha dan Taswan (2002) menemukan hubungan positif yang signifikan antara
insider ownership dan nilai perusahaan.
81
Titman dan Wessels (1988) menggunakan variabel struktur aset dalam
mengukur struktur modal. Struktur aset menunjukkan nilai jaminan dari aset
perusahaan (collateral value of assets) (Titman dan Wessels, 1988). Semakin
tinggi aset perusahaan yang dapat dijaminkan, semakin besar hutang dengan
jaminan (secured debt) yang dapat diperoleh perusahaan. Perusahaan yang
memiliki jaminan akan cenderung menggunakan hutang lebih besar. Investor
hutang (kreditor) akan selalu memberikan pinjaman bila ada jaminan
(Wahidahwati, 2001). Brigham dan Gapenski (1996) menyatakan bahwa secara
umum perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang, akan lebih mudah
mendapatkan pinjaman dari pada perusahaan yang tidak memiliki jaminan
terhadap hutang.
Myers dan Majluf (1984) menemukan keunggulan dari struktur aset
untuk menerbitkan hutang. Menurutnya, karena manajemen menguasai
informasi perusahaan lebih baik dari pada pemegang saham, maka penerbitan
saham baru akan menimbulkan biaya keagenan akibat informasi yang tidak
seimbang. Salah satu jalan keluar untuk menghindari biaya keagenan antara
manajemen dengan pemegang saham adalah dengan menerbitkan hutang
dengan jaminan (secured debt) properti.
Dengan alasan ini maka perusahaan yang memiliki aset yang dapat digunakan
sebagai jaminan (collateral assets) untuk memperoleh hutang (secured debt)
memungkinkan menerbitkan lebih banyak hutang untuk memperoleh kesempatan
investasi yang lebih baik. Ini berarti hutang sebagai kompromi antara pihak
manajemen dengan pemegang saham.
82
Hasil penelitian oleh Myers (1977) menyebutkan bahwa pemegang saham dari
perusahaan yang leverage terdorong melakukan investasi kurang optimal
(suboptimal) untuk mengambil alih kesejahteraan bondholders. Adanya dorongan ini
menyebabkan hubungan positif antara debt ratio dengan kapasitas perusahaan untuk
menjaminkan hutangnya.
Hasil penelitian Titman dan Wessels (1988) disimpulkan bahwa struktur
aset perusahaan, volatilitas dan growth, tidak berpengaruh signifikan terhadap
struktur modal. Namun penelitian ini masih meragukan apakah indikator yang
digunakan cukup menggambarkan atribut menurut teori.
Wahidawati (2001) menguji pengaruh struktur kepemilikan saham
terhadap kebijakan hutang perusahaan, dengan menggunakan struktur aset
sebagai variabel kontrol. Hasil uji pengaruh secara simultan menunjukkan
pengaruh yang signifikan. Secara partial struktur aset berpengaruh positif
terhadap rasio hutang.
Brailsford, Oliver dan Pua (2002) menyatakan untuk mengukur struktur modal
menurut teori keagenan, menggunakan variabel pertumbuhan tahunan dari aset
(growth). Pertumbuhan aset (growth) adalah pertumbuhan rata-rata dari total aset
selama tiga tahun. Titman dan Wessels (1988) berargumentasi bahwa tingkat
pertumbuhan yang tinggi menunjukkan fleksibilitas yang lebih tinggi dalam investasi
dimasa yang akan datang dan menawarkan kesempatan yang lebih besar untuk
mengambil alih kesejahteraan dari debtholder. Jadi growth berhubungan terbalik
dengan debt ratio. Alternatifnya adalah tingkat pertumbuhan yang tinggi
menunjukkan kemampuan laba dan sukses perusahaan dalam mengelola sumber daya
dalam perusahaan. Ini dapat dikaitkan dengan informasi asimetris yang rendah
(informasi tersebar merata) antar manajemen dan investor ekuitas (Myers dan Majluf :
83
1984) karenanya lebih menyukai ekuitas dari pada hutang. Jadi umumnya ada
hubungan negatif antara growth dengan hutang, arus kas bebas (free cash flow) dan
profitabilitas.
Tabel 2.7 Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan
No Author Indikator Kinerja Keuangan Perusahaan
1. Fama (1978) Harga pasar saham
2. Lee (1996) Economic Value Added
3. Morse dan Davis (1996) Pengukuran kinerja non keuangan (nonfinancial performance measurement) dan pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement).
4. Lehn & Makhija (1997) Meneliti tingkat korelasi antara ukuran kinerja dan imbal hasil pasar saham yang berbeda.
5. Lauterbach dan Vaninsky (1999)
Size dan risiko return saham perusahaan.
6. Stewart, 1995; Medeiros, 2005)
Economic Value Added (pendekatan nilai tambah ekonomis)
7. Warren (1999) Pendekatan arus kas.
8. Brigham dan Houston (2001) Economic Value Added ( pendekatan nilai tambah ekonomis)
9. Jensen (2001) Nilai ekuitas, hutang, warrant dan saham preferen
10. Brailsford, Oliver dan Pua (2002)
Variabel kontrol pertumbuhan tahunan dari aset (growth).
11 Bodie dan Kane (2002) ROA dan ROE.
12. Nikhil Chandra Shil (2009) Economic Value Added (pendekatan nilai tambah ekonomis )
13. Dede Hertina (2018) Economic Value Added (pendekatan nilai tambah ekonomis ) (Lee, Stewart, Medeiros, Nikhil Chandra Shil ,Brigham dan Houston)
Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).
Dari beberapa pengertian diatas, maka construct kinerja keuangan perusahaan
adalah memperlihatkan ukuran hasil dari suatu proses yang dilakukan selama periode
tertentu. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah Economic Value
84
Added atau melalui pendekatan nilai tambah ekonomis (Lee, Stewart, Medeiros,
Nikhil Chandra Shil, Brigham dan Houston).
2.2. Posisi Penelitian
Tabel 2.8 Penelitian Empiris Sebelumnya
No Peneliti, Judul dan Tahun
Variabel Objek Penelitian Metode Hasil
1. Jensen dan Mecking : Managerial Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure (1976)
Variabel Bebas: - Business Risk - Profitability - R & D - Fixed Asset - Growth - Size - Division - Investment
Variabel Tidak Bebas:
Struktur Modal
Dewan perusahaan yang diukur dengan Ukuran dewan direksi (BOARD SIZE) dan Komisaris Independen
Metode purposive sampling
Faktor yang mempengaruhi struktur modal yaitu profitability dan R&D
2. Sheridan Titman; Roberto Wessels : “The Determinants of Capital Structure Choice“ (1988)
Variabel Dependen : pertumbuhan total aset (GTA) dan pengeluaran barang modal melebihi total aset (CEITA), keunikan, perisai pajak non-hutang, struktur aset, Variabel Independen : Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas
469 perusahaan pada Departemen Tenaga Kerja, Biro Statistik Ketenagakerjaan dan Penghasilan AS Periode tahun 1974-1982
Regresi Proxy
Utang berhubungan negatif dengan keunikan dari lini bisnis perusahaan, ukuran perusahaan dan profitabilitas yang diukur dengan nilai pasar ekuitas
3. Bathala, Moon, dan Roa (1994) “Managerial Ownership, Debt Policy, and the Impact of Institutional Holdings”
Variabel Bebas: - EBIT - Depreciation - Rasio R&D
dan Advertising terhadap Sales
- Pertumbuhan Aset
- Kepemilikan managerial
- Kepemilikan Institusi
Variabel Tidak Bebas: (Debt to Equity) atau Struktur Modal
Memasukkan Variabel: - EBIT - Depreciation
Rasta R&D dan Advertising terhadap Sales
Tidak memasukkan Variabel:
Struktur Aset
Regresi Variabel-variabel Independen yang digunakan dalam model berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan
4. Lauterbach dan Vaninsky (1999) “Ownership Structure and Firm Performance”
Variabel Bebas: - EBIT - Depreciation - Rasio R&D
dan Advertising terhadap Sales
- Pertumbuhan
Memasukkan Variabel: - Kepemilikan
Manajerial - Kepemilikan
institusi - Size
Teknik Data Envelopment Analysis.
Kepemilikan manajerial, kepemilikan Institutional, dan size, berpengaruh pada kinerja perusahaan.
85
Aset - Kepemilikan
managerial - Kepemilikan
Institusi Variabel Tidak Bebas: Struktur Modal
Tidak Memasukkan Variabel: - Struktur Modal
Volatilitas
5. Ang, Cole, dan Lin (2000)
“Agency Cost and Ownership Structure”
Variabel Bebas: - Kepemilikan
manajerial - Kepemilikan
institusi - Pertumbuhan
Aset Variabel Tidak Bebas: Biaya Agency
Penggunaan biaya agency sebagai variabel tidak bebas
SEM Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, berpengaruh terhadap biaya agency
6. Kuznetsov dan Muravyev (2001) “Ownership Structure and Firm Performance in Russia”
Variabel bebas: Inflasi Size Kepemilikan institusi Kepemilikan manajerial
Variabel tidak bebas: Kinerja Perusahaan
Memasukkan Variabel: - Inflasi
Tidak Memasukkan Variabel: Volatility
OLS Inflasi, Size, Kepemilikan institusi, dan Kepemilikan manajerial, mempengaruhi Kinerja Perusahaan
7. Brailsford, Oliver, dan Pua (2002) “On the Relation between Ownership Structure and Capital Structure”
Variabel Bebas: - Management
Share Ownership
- External Block Ownership
- Pertumbuhan Aset
Variabel Tidak Bebas: (Debt to Equity) atau Struktur Modal
Tidak memasukkan Variabel: Struktur Aset
Dividend discount model (DDM).
Management Share Ownership dan External Block Ownership berhubungan dengan struktur modal
8. Berger dan Patti (2002) “Capital Structure and Firm Performance”
Variabel Bebas: - Proporsi
kepemilikan institusi
- Dummy Ukuran Perusahaan
- Return on Equity
Variabel Tidak Bebas: Kinerja Perusahaan
Memasukkan Variabel: - Return on
Equity - Dummy Ukuran
Perusahaan Tidak memasukkan Variabel: Struktur Modal - Volatilitas
Regresi moderasian
Kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, dummy mean perusahaan, dan return on equity berpengaruh terhadap kinerja perusahaan
9. Andrew C. Worthington and Tracey West : Australian Evidence Concerning the Information Content of Economic Value-Added (2004)
110 perusahaan Australia selama periode 1992-1998
Data time-series, cross-sectional
Perhitungan EVA ternyata lebih signifikan dalam menjelaskan perubahan EVA
86
10. Lawrence D. Brown, J. Mack Robinson Distinguished, Marcus L. Caylor : “Corporate Governance and Firm Performance “ (2004)
Gov-Score G-Index
Gov-Scores untuk 2.327 perusahaan perorangan pada 1 Februari 2003 dengan menggunakan data yang diperoleh dari Institutional Shareholder Services (ISS)
cross-sectional. Mengkorelasikan Gov- Score menggunakan korelasi Pearson dan Spearman.
Tata pemerintahan yang baik, yang diukur dengan menggunakan kompensasi eksekutif dan direktur, sangat terkait dengan kinerja yang baik. Gov-Score lebih baik dikaitkan dengan kinerja perusahaan daripada G-Index.
11. Li-Ju Chen, Chang Jung, Yu Chen and Chang Jung “ How the Pecking-Order Theory Explain Capital Structure “(2009)
Profitability, Growth, Tax, struktur asset, Dividends, size
305 perusahaan elektronik Taiwan yang terdaftar di Bursa Efek Taiwan tahun 2009.
Regresi Hirarkis
Faktor penentu struktur modal adalah tingkat profitabilitas dan pertumbuhan.
12. Sanjai Bhagat Brian Bolton (2009) “Corporate Governance And Firm Performance “
Board variabels: performance, leverage dan variabel instrumental. Performance Variables: independensi dewan, kepemilikan dewan, dan dualitas CEO-Chair dari IRRC dan TCL
The Corporate Library
Indeks Gompers, Ishii, dan Metrick (GIM, 2003) dan Bebchuk, Cohen dan Ferrell (BCF, 2004)
kepemilikan saham secara signifikan berkorelasi positif dengan kinerja perusahaan, tata kelola perusahaan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap kinerja operasi sedangkan dewan independensi berkorelasi negatif dengan kinerja perusahaan
13. Anil K. Sharma and Satish Kumar “ Economic Value Added (EVA) - Literature Review and Relevant Issues” (2010)
Dinegara-negara maju
Konseptual, deskriptif, empiris dan eksploratif cross-sectional.
EVA sudah diakui sebagai alat pengukuran kinerja dan manajemen yang penting di seluruh dunia, terutama di negara maju dengan menerapkannya sebagai strategi perusahaan.
14. Prasad S. Bhattachary
and Michael Graham” Institutional Ownership and Firm Performance: Evidence from Finland”
leverage, capital expenditure, market risk and firm size
116 perusahaan di sembilan industri di Finlandia
OLS 2 SLS 3 SLS
15. Erdinc Karadeniz ,Serkan Yilmaz Kandır ,Ömer Iskenderoğlu, Yıldırım Beyazit Onal “ Firm Size And Capital Structure Decisions: Evidence From Turkish Lodging Companies” (2011)
Ukuran Perusahaan dan Struktur Modal
163 perusahaan penginapan di Turki
chi-square dan anova
Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan dan hutang pribadi
16. Humera Khatab, Maryam Masood, Khalid Zaman, Sundas Saleem and Bilal Saeed,” Corporate Governance and Firm Performance: A Case study of Karachi Stock Market” (2011)
Leverage, Return on assets, Return on equity, Karachi Stock Market, Pakistan.
20 Perusahaan yang terdaftar di Bursa saham Karachi.
Regresi berganda
Leverage dan growth memiliki hubungan positif dengan Tobin's Q, yang menegaskan efek signifikan dalam mengukur kinerja perusahaan.
17. Ruan, Wenjuan; Tian, Gary; and Ma,
Kepemilikan manajerial,rasio
Perusahaan Reksadana yang
Regresi Terdapat hubungan non linier antara
87
Shiguang, Managerial Ownership, Capital Structure and Firm Value: Evidence from China’s Civilian-run Firms (2011)
leverage
terdaftar di pasar saham China antara tahun 2002- 2007
kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan
18. Benish Javed., Shehla Akhtar “ Interrelationships between capital structure and financial performance, firm size and growth: comparison of industrial sector in KSE” (2012)
Leverage, kinerja keuangan,Pertumbuhan, Ukuran, Perusahaan
21 sektor industri yang terdaftar di bursa efek Karachi Pakistan periode tahun 2004 - 2008
uji korelasi dan regresi
Terdapat hubungan positif antara Leverage, kinerja keuangan, pertumbuhan dan ukuran perusahaan
19. Cortez Michael Angelo., Susanto Stevie “ The Determinants of Corporate Capital Structure: Evidence From Japanese Manufacturing Companies” (2012)
Variabel Independen : Tangibility, Profitability, Pajak, Ukuran Perusahaan , Pertumbuhan Aktiva Tetap, dan Pertumbuhan Total asset Variabel Dependen : Leverage
Perusahaan Manufaktur Jepang
Regresi data panel
Tangibility, profitabilitas, dan non debt tax menunjukkan hasil yang signifikan sedangkan leverage meningkat seiring menurunnya tangibility namun profitabilitas dan pelepasan pajak non utang meningkat.
20. Hamid Ullah : “ Corporate Ownership Firm Financing Choices and Firm Value Evidenced from Emerging Markets, Pakistan”
-Variabel Pengendalian Risiko : Ukuran Perusahaan, EBIT -Variabel Pengendalian Biaya Agensi : Profitabilitas Perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan free cash flows-Variabel proxy asset : Non- Debts Tax-shield, Tangibility Assets, Dividends, Capital StructureFirm Value Variable Tobin’s Q, Ownership Variables : Managerial Ownership, Institutional Ownership, Insider Blockholders or Ownership Concentration
80 perusahaan yang tidak terdaftar di Bursa Efek Karachi, Pakistan periode tahun 2003 -2010.
Regresi Leverage dan Tobin's Q memiliki hubungan negatif dengan kepemilikan saham manajerial
88
21
Faris Nasif Al Shubiri, Ghassan AL TALEB Abd AL – Naser AL- ZOUED (2012) “ The Relationship between Ownership Structure and Dividend Policy: An Empirical Investigation “
Dividen per saham, Arus kas bebas, Future growth opportunities,size,Leverage
Perusahaan Industri di Yordania yang terdaftar di bursa saham Amman (ASE) periode 2005-2009
Regresi Hubungan korelasi negatif yang signifikan antara kepemilikan institusional dan tingkat dividen yang diberikan kepada pemegang saham.
22 Samuel Antwi .,et all “Capital Structure and Firm Value: Empirical Evidence from Ghana” 2012)
Firm Value :
Equity, Long Term Debt
Penelian dilakukan pada 34 perusahaan yang terdaftar di Ghana Stock Exchange (GSE) sampai tanggal 31 Desember 2010.
Metode regresi kuadrat terkecil
Di negara berkembang seperti Ghana, Modal ekuitas sebagai komponen struktur modal yang relevan dengan nilai perusahaan, dan hutang jangka panjang juga terbukti menjadi penentu utama nilai sebuah perusahaan.
23 Patrick Ogebe, et all “ The Impact of Capital Structure on Firms’ Performance in Nigeria (2013)
leverage dan makroekonomi
Perusahaan di Nigeria tahun 2000 - 2010
Regresi leverage merupakan penentu kinerja perusahaan yang signifikan. Hubungan negatif yang signifikan terjalin antara leverage dan kinerja.
24 Khalaf Al-Taani “ The relationship between capital structure and firm performance: evidence from Jordan “ (2013)
Struktur Modal : Hutang Jangka Pendek terhadap Total Asset (STDTA) , Hutang Jangka Panjang terhadap Total Assets (LTDTA) dan Total Debt to Equity (TDE) Kinerja Perusahaan : ROA dan PM
45 Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Amman pada tahun 2005-2009
Regresi Berganda
Terdapat hubungan negative dan tidak signifikan antara STDTA dan LTDTA, ROA dan Profit Margin, Sedangkan TDE berhubungan positif dengan ROA dan berhubungan negatif dengan Profit Margin. STDTA signifikan dengan menggunakan ROA sedangkan LTDTA signifikan dengan menggunakan PM. struktur modal bukan merupakan penentu utama kinerja perusahaan
26 Tristan Nguyen &
Huy-Cuong Nguyen “ Capital Structure and Firms’ Performance Evidence from Vietnam’s Stock Exchange “(2015)
Leverage, rasio hutang jangka pendek dan jangka panjang, tangibility, Ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, menambahkan variabel dummy efek industri dan makro ekonomi
147 perusahaan yang terdaftar di HCMC Stock Exchange Tahun 2006 - 2014
Regresi Struktur modal, dan tangibility berpengaruh negative terutama kinerja akuntansi, pertumbuhan, dan ukuran perusahaan berhubungan positif dan signifikan , sedangkan efek industri dan makro ekonomi hanya dua industri (Karet dan Pertambangan) yang berhubungan positif dan signifikan terhadap ROA dan ROE berhubungan positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan,
27. Dede Hertina “Struktur kepemilikan Saham, Struktur Modal dan Kinerja keuangan Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia(Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Periode Tahun 2011-2015”
Variabel bebas: - Kepemilikan
Manajerial - Kepemilikan
Institusi - Pertumbuhan
Aset - Struktur Aset - Ukuran
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2011-2015 Regresi
Linier Berganda
Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi, pertumbuhan aset, dan struktur aset berpengaruh terhadap struktur modal
Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi, Struktur modal, ukuran perusahaan, dan Risiko
89
Sumber : Berbagai jurnal Internasional (2018).
State Of The Art
Merujuk pada penelusuran penelitian dan jurnal diatas, maka state of the art
yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah :
1. Dari sisi variabel yang diteliti (content ) penelitian sebelumnya faktor yang
mempengaruhi struktur modal menggunakan variabel profitability dan R&D
(Jensen dan Mecking :1976), ukuran perusahaan dan profitabilitas yang
diukur dengan nilai pasar ekuitas ( Sheridan Titman dan Roberto Wessels :
1988), Bathala, Moon, dan Roa (1994), Kuznetsov dan Muravyev (2001)
menggunakan inflasi pada variabel bebas, Brailsford, Oliver, dan Pua (2002)
tidak memasukan struktur asset, Berger dan Patti (2002) memasukan
variabel return on equity , Li-Ju Chen, Chang Jung, Yu Chen and Chang
Jung (2009) memasukan variabel Profitability, Tax dan dividend , Cortez
Michael Angelo.dan Susanto Stevie (2012) variabel yang ditelitinya
Tangibility, Profitability dan Pajak, Faris Nasif Al Shubiri, Ghassan AL
TALEB Abd AL – Naser AL- ZOUED (2012), memasukan variabel Dividen
per saham, Arus kas bebas, Future dan opportunities, Khalaf Al-Taani
(2013) variabel yang diteliti adalah modal Hutang Jangka Pendek, Hutang
Jangka Panjang dan Debt to Equity dan ROA dan PM. Dalam penelitian ini
variabel yang membedakannya adalah menggunakan variabel Kepemilikan
(2018)
Perusahaan - Risiko
Return Saham
Variabel Tidak bebas:
- Struktur Modal
Kinerja Perusahaan
Return Saham berpengaruh terhadap kinerja Keuangan perusahaan.
90
Manajerial, Kepemilikan Institusi, Pertumbuhan Aset, Struktur Aset, Ukuran
Perusahaan dan Risiko Return Saham yang di hubungkan dengan kinerja
keuangan perusahaan.
2. Dari sisi pendekatan penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya
menggunakan metode deskriptif dan verifikatif secara terpisah sedangkan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian gabungan
deskriptif dan verifikatif.
3. Dari sisi Objek Penelitian, penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain hanya
pada beberapa sektor saja sedangkan pada penelitian ini dilakukan untuk
seluruh sektor pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode tahun 2011-2015
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa topik penelitian ini belum
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga penelitian ini memiliki
originalitas tinggi.
2.3. Kerangka Pemikiran
2.3.1. Hubungan Struktur Kepemilikan Saham Dengan Struktur Modal.
Struktur kepemilikan saham atau ekuitas dari perusahaan adalah pihak-pihak
yang memiliki saham secara proporsional (Kuznetov dan Muravyev, 2001).
Manajemen sebagai manusia biasa yang mempunyai keinginan dan kehendak, dapat
melakukan tindakan untuk kepentingan diri sendiri (oportunistik) dengan
membebankan biaya pada pemegang saham yang berakibat pengurangan residual
claim (hak atas laba dari pemegang saham) sehingga timbul yang disebut biaya
keagenan. Tindakan ini tidak sesuai dengan keinginan pemegang saham eksternal.
Untuk mengurangi masalah keagenan, maka pihak manajerial diberi hak kepemilikan
91
atas saham perusahaan, atau memasukkan pemegang saham pada tim manajemen
perusahaan, sehingga segala keputusannya akan berdampak juga pada dirinya sendiri
(Dhani, 2003). Dalam hal ini ada usaha pensejajaran pihak manajemen dengan
pemegang saham eksternal. Kepemilikan saham oleh manajer dan pemegang saham
juga sebagai penerapan mekanisme kontrol internal oleh manager dan kontrol
eksternal oleh pemegang saham (Bathala, Moon, dan Rao, 1994).
Menurut teori keagenan yang digagas oleh Jensen dan Meckling (1976) bahwa
jika tidak ada pemisahan fungsi kepemilikan dengan fungsi pengendalian, maka biaya
keagenan adalah nol, jika menambah hutang maka biaya keagenan menjadi positif
akibat monitoring oleh kreditor. Penambahan hutang ada batasnya karena
penambahan hutang akan meningkatkan risiko kebangkrutan dan penambahan hutang
juga dibatasi oleh jumlah aset jangka panjang yang dapat digunakan sebagai jaminan,
oleh karena itu untuk memperbaiki kemampuan perusahaan menambah hutang harus
didahului dengan penambahan ekuitas, namun kemampuan perusahaan menambah
ekuitas internalnya juga terbatas maka alternatif lain adalah menambah ekuitas
eksternal melalui go public. Ketika sebagian sahamnya dijual kepada pihak luar
(external equity ownership), maka tidak hanya sebagian haknya berupa moneter
diberikan kepada pihak eksternal, juga aspek lain bukan moneter yang berkaitan
dengan aktivitas kewirausahaan, diberikan kepada pihak eksternal, seperti sumber
daya karyawan, hubungan yang harmonis dengan karyawan, dan lain-lain (Jensen dan
Meckling, 1976).
Dengan semakin tersebarnya pemusatan kepemilikan saham, maka
manajemen tidak lagi dapat secara bebas membuat kebijakan sendiri. Manajemen
dihalangi oleh pemegang saham eksternal dalam membuat perencanaan strategi
perusahaan jika dilakukan tanpa transparan. Konsep ini merupakan kerangka dalam
92
corporate governance dalam cakupan hubungan harmonis antara manager,
blockholders saham yang besar, dan shareholders yang minoritas. Kerangka baru
yang diperkenalkan ini mempunyai hubungan yang kompleks dan berpengaruh
terhadap struktur modal dan kinerja keuangan perusahaan.
Tersebarnya konsentrasi kepemilikan saham akan menimbulkan biaya, biaya
ini akan meningkat ketika pemegang saham mayoritas mampu mengambil keputusan
secara langsung kemudian memaksimumkan kesejahteraan untuk diri sendiri dengan
mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk memperoleh residual income.
Fenomena ini dalam literatur dinamakan “extraction of private benefit of control”
(Kuznetsov dan Muravyyev, 2001). Akibat tindakan pemegang saham mayoritas
terhadap pemegang saham minoritas menyebabkan kinerja perusahaan menjadi
menurun (Kuznetsov dan Muravyyev (2001), biaya modal (cost of capital) menjadi
naik, likuiditas pasar melemah, dan menurunkan kesempatan diversifikasi pada
sebagian investor (Fama dan Jensen, 1989).
Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan mensejajarkan pihak
manajemen dengan pemilik saham eksternal, sehingga manajemen akan mengurangi
tingkat hutang seiring dengan semakin meningkatnya kepemilikan saham dalam
perusahaan. Kepemilikan saham managerial dan kepemilikan saham institusional
dapat mempengaruhi kebijakan pencarian dana apakah melalui hutang atau right issue
(Bathala, Moon, dan Pua, 1994).
Hubungan keagenan antara manajemen dengan pemegang saham mempunyai
potensi untuk mempengaruhi dalam pembuatan keputusan, sehingga berdampak pada
karakteristik perusahaan, yaitu nilai dan leverage. Menurut teori keagenan, distribusi
kepemilikan saham antara manajemen dengan blockholders eksternal (external
blockholders) mempunyai hubungan yang signifikan dengan leverage perusahaan
93
(Brailsford, Oliver, dan Pua, 2002). Kepemilikan saham oleh manajerial merupakan
mekanisme pengendalian internal perusahaan, karena basil dari keputusan pendanaan
akan berdampak pada diri sendiri selaku bagian dari pemilik perusahaan. Dengan kata
lain, kepemilikan saham manajerial merupakan bagian dari fungsi kesejajaran antara
manajemen dengan pemegang saham. Jika kepemilikan saham oleh managerial relatif
kecil, maka fungsi pengendalian internal tidak efektif, akibatnya perilaku oportunistik
oleh pihak manajemen tidak dapat dikendalikan. Sebaliknya, jika kepemilikan saham
oleh managerial relatif besar yang secara material dapat melakukan pengendalian
internal, maka kepemilikan saham managerial akan efektif melakukan pecan
pengendalian terhadap kebijakan manajemen, akibatnya perilaku oportunistik oleh
pihak manajemen dapat dikendalikan. Dengan demikian, distribusi kepemilikan
saham antara manajemen dengan blockholders eksternal (external blockholders) akan
memberikan keseimbangan dalam pengendalian dan pemberian wewenang kepada
pihak manajemen dalam membuat keputusan, sehingga dapat berdampak kepada
keputusan pendanaan dan leverage perusahaan.
Crutchley dan Hansen (1989) menemukan bukti bahwa saham perusahaan
yang kepemilikan sahamnya tersebar pada berbagai kelompok, dan manajemen
memiliki saham lebih banyak dan pada kelompok pemegang saham lainnya, maka
perusahaan memiliki leverage yang rendah. Hasil penemuan ini menguatkan tulisan
Jensen dan Meckling (1976) tentang teori keagenan. Kepemilikan saham oleh
manager mampu mengurangi konflik keagenan melalui prinsip kesejajaran
kepentingan antara manajemen dengan shareholders, meskipun hubungan itu sangat
kompleks (Brailsford, Oliver, dan Pua, 2002). Kepemilikan saham oleh manager dan
pemegang saham non manager juga sebagai penerapan mekanisme kontrol internal
94
oleh manager dan kontrol eksternal oleh pemegang saham (Bathala, Moon, dan Rao,
1994).
Berdasarkan penjelasan mengenai hubungan antara struktur kepemilikan
saham dengan struktur modal dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang saling
mempengaruhi antara proporsi kepemilikan saham oleh non manajemen (eksternal)
dengan manajemen (internal) terhadap struktur modal, namun penelitian yang melihat
hubungan struktur kepemilikan saham dengan struktur modal masih sedikit dilakukan.
Pada penelitian ini penulis menggunakan indikator dari variabel struktur kepemilikan
saham berdasarkan konsep penelitian Brailsford, Oliver, dan Pua (2002).
Brailsford, Oliver, dan Pua (2002) membedakan struktur kepemilikan saham
menjadi dua yaitu saham yang dipegang oleh non managerial atau saham blok
eksternal (external block ownership atau EBO) dengan saham yang dimiliki oleh
managerial (managerial share ownership atau MSO). Tujuan penelitian adalah untuk
melihat pengaruh dua kelompok kepemilikan saham, yaitu kepemilikan saham oleh
block (kelompok terbesar dari pemegang saham) dan oleh manajemen, terhadap
struktur modal yang terdaftar di pasar modal Australia (Australian Stock Exchange).
Kedua kelompok ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal
jika pihak pemegang saham eksternal melakukan peran pemantauan (monitoring)
secara aktif terhadap pihak managerial perusahaan.
Brailsford, Oliver, dan Pua (2002) mengambil jumlah sampel sebanyak 500
perusahaan dengan periode sampel 1989-1995. Selajutnya sampel yang datanya tidak
tersedia dikeluarkan. Akhirnya jumlah perusahaan yang menyediakan informasi
lengkap sebanyak 49 perusahaan. Tiap perusahaan yang termasuk dalam sampel
dikumpulkan data mengenai struktur kepemilikan berupa:
a. Saham yang dimiliki oleh dua terbesar, lima terbesar, dan semua direktur.
95
b. Saham yang dimiliki oleh dua terbesar, lima terbesar, dan 20 terbesar yang
memiliki saham (blockholder eksternal)
c. Distribusi pemegang saham dan kepemilikannya.
Model penelitian menggunakan tiga tahap. Tahap pertama, untuk melihat
hubungan antara saham managerial dengan struktur modal. Tahap kedua, melihat
hubungan linear antara blockholder eksternal dengan struktur modal. Tahap ketiga,
melihat hubungan kepemilikan saham oleh blockholder eksternal dan kepemilikan
saham oleh managerial terhadap struktur modal ketika level kepemilikan saham
managerial pada level rendah (dummy = 0 jika kepemilikan saham managerial <
20%) dan ketika level kepemilikan saham managerial tinggi (dummy = 1 ketika
kepemilikan saham managerial > = 20%). Hasil analisis dapat disimpulkan, sebagai
berikut:
1. Hubungan antara kepemilikan saham oleh managerial dengan struktur modal
membentuk kurva U terbalik dengan jangkauan maksimum 49% dari kepemilikan
saham managerial.
2. Distribusi kepemilikan saham oleh eksternal secara statistik mempunyai hubungan
positif yang signifikan dengan struktur modal. Hal ini sesuai dengan hipotesis
bahwa pemegang saham eksternal melakukan monitoring yang aktif terhadap
manajemen.
3. Hubungan antara pemegang saham eksternal dengan struktur modal bervariasi
berdasarkan level kepemilikan saham oleh manajerial. Pada level kepemilikan
saham oleh manajerial yang rendah (kurang dari 20%), pemegang saham eksternal
berpengaruh positif terhadap struktur modal. Pada level kepemilikan saham oleh
manajerial tinggi (lebih besar atau sama dengan 20%), pengaruh pemegang saham
eksternal terhadap struktur modal menjadi negatif, karena adanya sikap
96
mempertahankan diri yang lebih kuat dari pemantauan pemegang saham
eksternal.
Wahidahwati (2001) menguji pengaruh kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional terhadap struktur modal yang dikembangkan dari hasil
penelitian Moh’d, et. all. (1998). Dalam analisisnya dimasukkan lima variabel
kontrol, yaitu dividend, ukuran perusahaan (firm size), asset structure, earning
volatility, dan stock price volatility. Hasil uji dengan asumsi klasik (uji normalitas,
multikoleniaritas, dan autokorelasi) memenuhi persyaratan. Secara simultan ada
pengaruh yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen.
Secara partial, disimpulkan bahwa kepemilikan saham oleh managerial berpengaruh
negatif dan signifikan dengan debt ratio, sesuai hipotesis. Kepemilikan institusi tidak
berpengaruh signifikan pada α = 0,05, dan berpengaruh signifikan pada α = 0,1
terhadap debt ratio.
2.3.2. Hubungan Struktur Aset Dengan Struktur Modal Perusahaan
Struktur aset menunjukkan nilai jaminan dari aset perusahaan (collateral
value of assets) (Titman dan Wessels, 1988). Semakin tinggi aset perusahaan yang
dapat dijaminkan, semakin besar hutang dengan jaminan (secured debt) yang
dapat diperoleh perusahaan. Perusahaan yang memiliki jaminan akan cenderung
menggunakan hutang lebih besar. Brigham dan Gapenski (1996) menyatakan bahwa
secara umum perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang, akan lebih mudah
mendapatkan pinjaman dari pada perusahaan yang tidak memiliki jaminan terhadap
hutang.
Myers dan Majluf (1984) menemukan keunggulan dari struktur aset untuk
menerbitkan hutang, karena manajemen menguasai informasi perusahaan lebih baik
97
dari pada pemegang saham maka penerbitan saham baru akan menimbulkan biaya
keagenan akibat informasi yang tidak seimbang. Salah satu jalan keluar untuk
menghindari biaya keagenan antara manajemen dengan pemegang saham adalah
dengan menerbitkan hutang dengan jaminan (secured debt).
Dengan alasan ini maka perusahaan yang memiliki aset yang dapat digunakan
sebagai jaminan (collateral assets) untuk memperoleh hutang (secured debt)
memungkinkan menerbitkan lebih banyak hutang untuk memperoleh kesempatan
investasi yang lebih baik. Ini berarti hutang sebagai kompromi antara pihak
manajemen dan pemegang saham.
Myers (1977) menyatakan bahwa pemegang saham dari perusahaan yang
memiliki hutang (leverage) terdorong melakukan investasi kurang optimal (sub
optimal) untuk mengambil alih kesejahteraan bondholders. Adanya dorongan ini
menyebabkan hubungan positif antara kapasitas perusahaan untuk menjaminkan
hutangnya dengan debt ratio.
Titman dan Wessels (1988) menyatakan bahwa kecenderungan manajer
melakukan konsumsi melebihi tingkat hasil tambahannya menyebabkan
hubungan negatif antara dana yang dapat digunakan untuk jaminan dengan tingkat
hutangnya, tetapi pada tingkat hutang perusahaan yang tinggi kecenderungan untuk
mengurangi hutang karena risiko kebangkrutan. Selain itu, pada tingkat hutang yang
tinggi, manager akan mengurangi konsumsi yang berlebihan karena adanya
monitoring yang tinggi oleh bondholders.
Titman dan Wessels (1988) melakukan analisis faktor (linear structural
modeling) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal. Untuk
mengetahui pengaruh terhadap struktur modal maka dilakukan uji faktor. Faktor-
faktor yang diuji berasal dari berbagai teori. Faktor-faktor dimaksud adalah struktur
98
asset, growth, klasifikasi industri, size, earning volatility, dan profitability. Variabel
yang berhubungan langsung dengan perilaku manager dalam kebijakan struktur modal
perusahaan adalah struktur aset, karena bagaimana pun kebijakan struktur modal
perusahaan yang ditetapkan akan terkendala pada besarnya aset yang dapat
dijaminkan jika harus menambah hutang. Bagi bondholders untuk mengurangi risiko
kebangkrutan diperlukan jaminan aset. Untuk mengukur struktur aset digunakan dua
indikator rasio, yaitu (1) rasio antara intangible assets to total assets (INT/TA), dan (2)
rasio dari inventory, gross plant and equipment to total assets (IGP/TA). Struktur
modal digunakan enam pengukuran yaitu short term debt, long term debt dan
convertible debt masing-masing dibagi dengan nilai pasar dan nilai buku dari ekuitas.
Titman dan Wessels (1988) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa
struktur aset perusahaan, volatilitas dan growth, tidak berpengaruh signifikan
terhadap struktur modal. Namun penelitian ini masih meragukan apakah indikator
yang digunakan cukup menggambarkan atribut menurut teori.
Wahidawati (2001) menguji pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap
kebijakan hutang perusahaan, menggunakan struktur aset sebagai variabel kontrol.
Hasil uji pengaruh secara simultan menunjukkan pengaruh yang signifikan, secara
partial struktur aset berpengaruh positif terhadap rasio hutang.
2.3.3. Hubungan Pertumbuhan Aset Dengan Struktur Modal
Pertumbuhan asset adalah perubahan (peningkatan atau penurunan) total aset
yang dimiliki oleh perusahaan (Bhaduri : 2002). Peningkatan asset yang diikuti
peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan pihak luar terhadap
perusahaan. Dengan meningkatnya kepercayaan pihak luar (kreditur) terhadap
perusahaan, maka proporsi penggunaan sumber dana hutang akan semakin besar
99
daripada modal sendiri. Hal ini didasarkan pada keyakinan kreditur atas dana yang
ditanamkan kedalam perusahaan dijamin oleh besarnya asset yang dimiliki
perusahaan. Brailsford, Oliver dan Pua (2002) mengukur struktur modal menurut teori
keagenan dengan menggunakan variabel kontrol pertumbuhan tahunan dari aset
(growth). Pertumbuhan aset (growth) adalah pertumbuhan rata-rata dari total aset
selama tiga tahun. Titman dan Wessels (1988) berargumentasi bahwa tingkat
pertumbuhan yang tinggi menunjukkan fleksibilitas yang lebih tinggi dalam investasi
dimasa yang akan datang dan menawarkan kesempatan yang lebih besar untuk
mengambil alih kesejahteraan dari debtholder. Dengan demikian, growth
berhubungan terbalik dengan debt ratio. Altematifnya adalah tingkat pertumbuhan
yang tinggi menunjukkan kemampuan laba dan sukses perusahaan dalam mengelola
sumber daya dalam perusahaan. Di lain pihak, tingginya tingkat keuntungan
menyebabkan ketersediaan dana internal yang lebih tinggi, sebagai cash dari
tingginya laba ditahan.
Selanjutnya perusahaan akan menggunakan dana internal perusahaan terlebih
dahulu sebelum menggunakan dana eksternal untuk membiayai proyek-proyek
investasinya. Perusahaan dengan pertumbuhan aset yang tinggi akan menurunkan
permintaan terhadap penggunaan utang, karena akan tersedia lebih banyak dana
internal. Dikaitkan dengan informasi asimetris yang rendah bersama biaya ekuitas
(Myers dan Majluf, 1984) dan karenanya lebih menyukai ekuitas dari pada hutang.
Terdapat hubungan negatif antara growth dengan hutang, arus kas bebas (free cash
flow), dan profitabilitas.
Perusahaan yang sedang tumbuh, akan tercermin dari tingkat pertumbuhan
penjualan atau pendapatan perusahaan tersebut yang terus meningkat. Perusahaan
yang sedang tumbuh juga akan memerlukan sumber pembiayaan untuk melakukan
100
investasi. Pembiayaan tersebut, bisa berasal dari dana internal perusahaan (retained
earning), dengan menggunakan hutang (debt) atau dengan menggunakan eksternal
equity).
Teori pecking order menyatakan bahwa dalam pembiayaan investasi,
perusahaan akan mempertimbangkan biaya dana (cost fund) yang paling murah untuk
investasi tersebut. Perusahaan pertama kali akan menggunakan pembiayaan dari dana
internal yang paling murah, setelah itu akan menggunakan pinjaman dari luar (extenal
debt). Penggunaan pembiayaan dari eksternal equity merupakan alternatif terakhir
karena menimbulkan biaya dana (cost of fund) yang paling besar. Oleh karena itu
perusahaan yang sedang tumbuh cenderung akan mempunyai leverage yang tinggi,
apabila dana internal tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan investasi.
Sebaliknya menurut teori agency cost, biaya agensi akan meningkat bagi
perusahaan yang memiliki peluang pertumbuhan yang tinggi karena mempuyai
fleksibilitas dalam memilih beberapa peluang investasi dimasa datang. Untuk
mengurangi biaya agensi tersebut, maka bondholder akan mengenakan biaya hutang
(cost of debt) yang lebih tinggi, sehingga perusahaan yang sedang tumbuh cenderung
akan mengurangi hutang dan menambah equity. Pendapat tersebut didukung antara
lain oleh hasil penelitian Titman & Wessel (1998), Barclay et al. (1995), dan Rajan &
Zingales (1995).
Bedasarkan teori dan penelitian diatas, maka penelitian ini memprediksi
bahwa pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh yang positif/negatif terhadap
struktur modal.
Proksi yang digunakan mengukur pertumbuhan asset adalah rasio pengeluaran
modal terhadap total aset (capital expenditure to assests ratio) yang digunakan dalam
101
penelitian Titman & Wessel (1998), Kallapur & Trombley (1999), dan Jones &
Sharma (2001), serta rasio total penjualan/pendapatan terhadap total asset
(sales/revenues to assets ratio) yang digunakan dalam penelitian Agrawal &
Jayaraman (1994) dan Chen & Dhiensiri (2009).
2.3.4. Hubungan Struktur Kepemilikan Saham Dengan Kinerja Keuangan
Perusahaan
Pada perusahaan modern masalah keagenan timbul akibat adanya pemisahan
fungsi kepemilikan dengan fungsi pengendalian. Manager perusahaan adalah para
profesional menjalankan operasi perusahaan sehari-hari akan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan kepentingan shareholders. Penyelesaiannya adalah adanya
sistem monitoring atau kontrak, menyatukan kepentingan manager dengan
kesejahteraan stockholders. Keunggulan dari perusahaan modern adalah:
1. Banyaknya peluang mendapatkan sumber pendanaan, yang memungkinkan
perusahaan meningkatkan skala operasinya dan skala utilitas ekonominya.
2. Menyediakan operasional yang kompleks dan memerlukan keahlian manager
untuk mengontrol bisnis bahkan ketika manager profesional tidak memiliki dana
untuk memiliki perusahaan itu.
3. Perusahaan modern memerlukan banyak dana dengan menjual saham di pasar
modal dan mengangkat aktivitas produktif dari manager profesional.
Tiga alasan yang masuk akal ini yang menghipotesiskan bahwa perusahaan
modern dengan kepemilikan saham yang tersebar mempunyai kinerja yang lebih baik
dari pada perusahaan tradisional (Lauterbach dan Vaninsky, 1999). Diantara
perbedaan kepemilikan saham, pola kepemilikan saham oleh manajemen terlihat
kontroversi dan pengaruhnya ambivalen terhadap kinerja. Pada satu sisi, kepemilikan
102
saham oleh manajemen merupakan alat untuk mensejajarkan kepentingan managerial
dengan pemegang saham. Manajemen diberi insentif moneter untuk memaksimumkan
dan mengembangkan perusahaan. Kondisi ini disebut efek pensejajaran.
Pada sisi lain, Kepemilikan saham oleh manajemen dapat meningkatkan
pertahanan oleh pihak manajemen ketika manajemen mempunyai keahlian yang
rendah dan menginginkan kehidupan yang lebih mudah. Keadaan ini disebut efek
pertahanan. Secara keseluruhan dampak kepemilikan saham oleh manajemen terhadap
kinerja perusahaan tergantung dari kekuatan relatif melalui efek pensejajaran dan efek
pertahanan (Kuznetsov dan Muravyyev, 2001)
Pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap kinerja perusahaan telah
banyak dilakukan dan hasilnya bervariasi. Kuznetsov dan Muravyyev (2001)
menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara konsentrasi kepemilikan saham
tertinggi terhadap kinerja yang diukur dengan produktivitas tenaga kerja. Tetapi jika
menggunakan indikator Tobin’s Q, hasilnya membentuk kurva “U”. Jika
menggunakan profitabilitas maka hasilnya tidak berhubungan sama sekali. Adapun
hubungan antara kepemilikan saham oleh pemerintah dengan kinerja, hasilnya
berhubungan negatif.
Lemon dan Lins (2003) yang meneliti hubungan struktur kepemilikan dengan
nilai perusahaan selama periode krisis di delapan negara Asia Timur menjelaskan
bahwa struktur kepemilikan oleh manajemen hanya pada level kepemilikan yang
tinggi saja mampu menaikkan kinerja menjadi 20%. Soliha dan Taswan (2002)
menemukan hubungan positif yang signifikan antara insider ownership dengan nilai
perusahaan.
Ang, Cole, dan Lin (2000) dengan menggunakan 1708 sampel perusahaan
kecil (small businesses) menyimpulkan tentang pengaruh struktur kepemilikan saham
103
dengan kinerja perusahaan yaitu: (1) berhubungan negatif jika saham perusahaan
yang dipegang oleh outside manager lebih besar dari pada inside managers (2)
berhubungan positif jika keadaan kepemilikannya terbalik, dan (3) berhubungan
negatif jika jumlah kepemilikan saham non manager meningkat.
Lauterbach dan Vaninsky (1999), mengklasifikasikan struktur kepemilikan
saham menjadi lima kelompok kepemilikan saham yaitu pemilik non mayoritas,
kelompok bisnis yang concern, partner bisnis non keluarga, partner bisnis individu,
dan keluarga. Kinerja perusahaan menggunakan indikator berupa rasio antara input
dengan output. Untuk mengukur pengaruh struktur kepemilikan terhadap kinerja,
sampel dibagi dua perlakuan yaitu untuk semua sampel dan sampel yang berada pada
sektor industri yang sama. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa struktur
kepemilikan tidak berpengaruh signifikan untuk sampel dalam sate sektor industri.
Jika menggunakan semua sampel, hanya perusahaan yang dimiliki oleh mayoritas,
perusahaan yang dikontrol oleh individu, dan perusahaan yang managernya adalah
juga pemilik saham perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.
Dari ketiga kelompok kepemilikan itu, perusahaan yang managernya juga pemilik
saham perusahaan menghasilkan kinerja paling rendah.
Berger dan Patti (2002) meneliti hubungan struktur modal dengan kinerja
perusahaan pada industri perbankan, Mereka mengelompokkan bank berdasarkan
struktur kepemilikan saham. Hasil uji menyimpulkan bahwa pemegang saham
institusi mempunyai efek pemantauan (monitoring) yang baik yang dapat mngurangi
biaya keagenan. Hal ini juga konsisten dan berhubungan antara kinerja dengan
kepemilikan insider secara non monotonic. Kesimpulan dari hasil penelitian mengenai
hubungan antara struktur kepemilikan dengan kinerja diperoleh hasil yang beragam.
104
Untuk itu penulis ingin meneliti kembali hubungan dua variabel ini dalam konteks
pasar modal Indonesia.
2.3.5. Hubungan Struktur Modal Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan
Masalah yang harus dijawab dalam keputusan pendanaan adalah yang
berkaitan dengan jenis, sumber, dan komposisi sumber dana. Apakah hutang jangka
pendek atau hutang jangka panjang. Untuk ekuitas apakah menerbitkan saham
preferen, ekuitas eksternal, atau laba yang ditahan. Aktivitas dan keputusan yang
berkaitan dengan pencarian dana dan bagaimana dana yang diperoleh tersebut
diinvestasikan menimbulkan konflik keagenan antara manajemen dengan pemegang
saham (Jensen dan Meckling, 1976).
Hubungan keagenan antara manajemen dengan pemegang saham mempunyai
potensi untuk dilibatkan bersama dalam membuat keputusan untuk menentukan
sumber dana (Brailsford, Oliver, dan Pua, 2002). Bahkan jika perusahaan akan
menambah modal saham melalui ekuitas eksternal, harus ditawarkan terlebih dahulu
kepada pemegang saham yang lama (right issue) melalui preemptive right yang
dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk menjaga terjadinya dilusi terhadap hak
pengendalian dan nilai saham mereka (Weston dan Copeland, 1992).
Dalam perspektif managerial, struktur modal tidak hanya ditentukan oleh
faktor internal dan eksternal perusahaan yang berdampak pada risiko dan
pengendalian, juga dapat disebabkan faktor lain seperti nilai, tujuan, preferensi
manajemen, Hal ini merupakan masukan penting untuk keputusan pendanaan,
terutama keputusan yang melibatkan manajemen. Dorongan manajemen untuk
bertindak oportunistik berpengaruh terhadap struktur kepemilikan ekuitas (Sheifer
dan Vishny, 1986).
105
Struktur modal menjadi isu yang penting karena berdasarkan teori-teori
struktur modal banyak yang menyimpulkan bahwa bauran pendanaan mempengaruhi
nilai perusahaan secara langsung. Teori struktur modal menjelaskan apakah ada
pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, seandainya keputusan
investasi dan kebijakan divider nilainya konstan. Jika dengan perubahan struktur
modal ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh struktur modal terbaik
Struktur modal yang akan memaksimumkan nilai perusahaan adalah struktur modal
yang terbaik (Suad, 1994, 326).
Banyak studi yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh struktur modal
terhadap kinerja perusahaan. Ang, Cole, dan Lin (2000) menemukan bukti bahwa
peningkatan monitoring oleh bank, akibat meningkatnya jumlah hutang,
menyebabkan kinerja perusahaan meningkat pula. Soliha dan Taswan (2002)
menyebutkan adanya hubungan positif yang tidak signifikan antara kebijakan hutang
dengan nilai perusahaan.
Gitman (1997: 483) menjelaskan bahwa satu industri atau satu business line
mempunyai karakteristik leverage keuangan yang khas dibandingkan dengan industri
atau business line yang berbeda. Contoh industri di Amerika, rasio hutang untuk
industri manufaktur komputer adalah 58,3% dan untuk perusahaan penjual mobil
adalah 77,9%.
Hatfield, Cheng, dan Davidson (1994) menguji pengaruh struktur modal
berdasarkan klasifikasi industri terhadap nilai perusahaan. Klasifikasi industri
didasarkan pada “value line industrial classification”, yaitu perusahaan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok perusahaan yang struktur modal
perusahaannya (leverage ratio) di atas dan dibawah dari rata-rata leverage ratio
industri (rata-rata leverage ratio seluruh sampel).
106
Kelompok perusahaan yang leverage ratio di atas rata-rata leverage rasio
industri dikatakan sebagai perusahaan dengan hutang yang tinggi, sebaliknya,
dikatakan perusahaan dengan hutang yang rendah. Hipotesis yang dibangun
berdasarkan pendapat Masulis (1983) yaitu: (1) untuk perusahaan dengan hutang yang
tinggi, struktur modal berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, dan (2) untuk
perusahaan dengan hutang yang rendah, struktur modal berpengaruh negatif terhadap
nilai perusahaan.
2.3.6. Hubungan Ukuran Perusahaan Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan
Lauterbach dan Vaninsky (1999) memiliki pendapat lain tentang variabel-
variabel yang mempengaruhi tingkat kinerja perusahaan. Menurut mereka, kinerja
perusahaan dibatasi oleh size dan volatilitas harga saham perusahaan. Perusahaan
yang mempunyai ukuran besar (size) secara khas mempunyai net income yang lebih
besar dari pada perusahaan dengan ukuran kecil. Perusahaan dengan size besar
memiliki kemampuan memilih dan menyeleksi tim manajemen lebih selektif dengan
kualifikasi yang tinggi. Perusahaan dapat memilih tim manajemen dari orang-orang
yang berpengalaman dibidang usaha yang perusahaan butuhkan. Sebagai
kompensasinya perusahaan membayar mereka dengan gaji yang besar kepada
manajemen. Pembayaran yang tinggi pada manajemen, diharapkan manajemen
tersebut dapat bekerja lebih maksimal dalam memberikan laba yang superior bagi
perusahaan. Pembayaran yang besar dan fasilitas yang lengkap diharapkan
manajemen akan lebih konsentrasi pada pekerjaannya, sehingga sifat oportunistik
dapat dikurangi. Dengan demikian, ukuran perusahaan mempunyai hubungan positif
dengan kinerja.
107
2.3.7. Hubungan Risiko Return Saham Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan
Risiko Return saham diukur dengan standar deviasi dari return saham. Risiko
Retur saham merupakan proksi dari total Risiko. Risiko yang dihadapi manajemen
tidak dapat di diversifikasi. Semakin besar risiko perusahaan berarti semakin besar
risiko kesinambungan dia akan bekerja di perusahaan itu. Perusahaan dengan risiko
yang tinggi berarti kemungkinan perusahaan itu rugi tinggi pula. Hal ini menjadi
penilaian buruk terhadap prestasi kerja manajemen. Jika prestasi kerja manajemen
terus memburuk, maka risiko tim manajemen untuk diganti, mereka diberhentikan,
menjadi besar. Anggota manajemen yang diberhentikan karena kinerjanya yang buruk
akan menjadi penghambat untuk memperoleh pekerjaan barn, karena pasar tenaga
kerja untuk eksekutif kompetitif dan sempit. Akibat dari risiko kehilangan pekerjaan
yang tinggi maka manajemen cenderung akan memaksimumkan utilitas pribadinya
dengan membebankan biayanya pada perusahaan. Dengan demikian perusahaan yang
risiko yang tinggi memiliki hubungan negatif dengan kinerja perusahaan (Lauterbach
dan Vaninsky, 1999).
Dari beberapa hubungan antar variabel diatas maka Paradigma Penelitian
adalah:
Kepemilikan Institusi
Kepemilikan Manajerial
Struktur Modal
Struktur Asset Perusahaan
Pertumbuhan Asset Perusahaan
108
Struktur Modal
Kepemilikan Institusi
Kepemilikan Manajerial Kinerja Keuangan Perusahaa
Ukuran Perusahaan
Risiko Return Saham
Gambar 2.7 Paradigma Penelitian
2.4. Hipotesis Penelitian
1. Struktur kepemilikan saham berpengaruh secara signifikan terhadap struktur
modal perusahaan. Kepemilikan saham manajerial berpengaruh negatif
signifikan, sedangkan kepemilikan saham institusi berpengaruh negatif tidak
signifikan terhadap perusahaan.
2. Struktur Modal berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan perusahaanp.
3. Struktur kepemilikan saham (institusional dan manajerial ) berpengaruh negatif
terhadap kinerja keuangan perusahaan.
-+
-