BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS...

80
29 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS 2.1.Kajian Pustaka Perhatian utama yang akan dibahas dalam kajian pustaka adalah beberapa temuan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk melihat kejelasan arah, originalitas, kemanfaatan dan posisi penelitian ini dibandingkan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Untuk memperkuat kerangka pemikiran yang akan disusun, disajikan tinjauan pustaka yang memuat konsep- konsep dan teori-teori yang relevan dengan struktur kepemilikan saham, struktur modal dan kinerja keuangan perusahaan yang didasarkan dengan pendapat para pakar. Brigham dan Houston (2001 : 16) Mengemukakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan perusahaan umumnya akan menunjuk dewan direksi yang kemudian akan memilih tim manajemen. Manajemen yang dipilih ini, pada gilirannya harus menjalankan perusahaan untuk kepentingan terbaik pemegang saham. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan perusahaan umumnya akan menunjuk dewan direksi yang kemudian akan memilih tim manajemen. Manajemen yang dipilih ini, pada gilirannya harus menjalankan perusahaan untuk kepentingan terbaik pemegang saham. Konsep manajemen keuangan adalah manajemen atas fungsi-fungsi keuangan, sedangkan mengenai fungsi keuangan ialah kegiatan utama dalam mempertanggung jawabkan bidang tertentu dalam menggunakan dana dan menempatkan dana, sedangkan tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS...

29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN HIPOTESIS

2.1.Kajian Pustaka

Perhatian utama yang akan dibahas dalam kajian pustaka adalah beberapa

temuan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk melihat kejelasan

arah, originalitas, kemanfaatan dan posisi penelitian ini dibandingkan dengan temuan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Untuk memperkuat kerangka

pemikiran yang akan disusun, disajikan tinjauan pustaka yang memuat konsep-

konsep dan teori-teori yang relevan dengan struktur kepemilikan saham, struktur

modal dan kinerja keuangan perusahaan yang didasarkan dengan pendapat para pakar.

Brigham dan Houston (2001 : 16)

Mengemukakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah memaksimumkan kekayaan

pemegang saham. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan perusahaan

umumnya akan menunjuk dewan direksi yang kemudian akan memilih tim

manajemen. Manajemen yang dipilih ini, pada gilirannya harus menjalankan

perusahaan untuk kepentingan terbaik pemegang saham.

Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan perusahaan umumnya akan

menunjuk dewan direksi yang kemudian akan memilih tim manajemen. Manajemen

yang dipilih ini, pada gilirannya harus menjalankan perusahaan untuk kepentingan

terbaik pemegang saham. Konsep manajemen keuangan adalah manajemen atas

fungsi-fungsi keuangan, sedangkan mengenai fungsi keuangan ialah kegiatan utama

dalam mempertanggung jawabkan bidang tertentu dalam menggunakan dana dan

menempatkan dana, sedangkan tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk

memaksimalkan nilai perusahaan.

30

Grestenberg berpendapat manajemen keuangan adalah bagaimana Manajemen

Keuangan dapat dirumuskan sebagai fungsi dan tanggung jawab para manajer

keuangan, fungsi pokok manajemen keuangan antara lain menyangkut keputusan

tentang penanaman modal, pembiayaan kegiatan usaha dan pembagian deviden pada

suatu perusahaan (Weston dan Copeland : 1992). Selanjutnya menurut Brigham dan

Houston (2010) manajemen keuangan adalah bidang yang terluas dari tiga bidang

keuangan, dan memiliki kesempatan karir yang sangat luas, sedangkan menurut

James Van Horne (2012) manajemen keuangan adalah segala kegiatan yang

berhubungan dengan perolehan, pendanaan serta untuk pengelolaan aktiva dengan

tujuan semua aktivitas. Grestenberg berpendapat bagaimana bisnis yang

diselenggarakan dapat memperoleh dana , bagaimana mendapatkan dana , bagaimana

penggunaan dana serta bagaimana bisnis tsb didistribusikan. Liefman

menyatakan usaha untuk dapat menyediakan uang serta menggunakan uang untuk

mendapat atau juga memperoleh aktiva.

Dengan mengacu pada pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa

Manajemen Keuangan merupakan suatu proses dalam kegiatan keuangan perusahaan

yang berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan dana perusahaan serta

meminimalkan biaya perusahaan dan juga upaya pengelolaan keuangan perusahaan

untuk dapat mencapai tujuan keuangan yang telah ditetapkan.

31

Grand Theory Manajemen Keuangan Weston & Copeland (1992)

Midle Range Theory Teori Keuangan Arvanitis et all (2012) Aplied Theory Kepemilikan Saham Struktur Modal Kinerja Keuangan Weston dan Copeland (1992) -Institusional Brailsford,Oliver&Pua(2002) Stewart (1991)

-Manajerial Morse&Davis (1996) Lee (1996) Bathala,Moo&Rao(1994) Jensen&Meckling (1976) Lauterbach dan Vaninsky(1999) Jensen dan Meckling(1976) Ang,Cole&Lin (2000) Harfield,Cheng&Davidson(194) Kuznetsov dan Muravyyev (2001), Ang, Cole, dan Lin (2000), Lemon dan Lins (2003)

Gambar 2.1

` Keterkaitan Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory

32

2.1.1. Kepemilikan Saham

2.1.1.1. Konsep Kepemilikan Saham

Struktur kepemilikan saham merupakan pihak-pihak yang memiliki saham

dari suatu perusahaan. Pengelompokan struktur kepemilikan saham dapat dilakukan

dengan berbagai cara, Matoussi dan Chakroun (2008) menyatakan bahwa perusahaan

dengan kepemilikan institusional yang besar lebih mampu untuk memonitor kinerja

manajemen. Penelitian yang dilakukan oleh Berle and Means (1932) menyatakan

adanya konflik kepentingan antara pengambil keputusan di dalam perusahaan dan

pemegang saham perusahaan tersebut. Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian

yang dilakukan oleh Jensen dan Meckling (1976), dengan sebagian besar

penelitianya berfokus pada perusahaan-perusahaan yang berada di AS atau beberapa

negara maju, hasilnya sulit ditentukan dan terkadang hasilnya saling bertentangan.

La Porta, Lopez de Silanes, Shleifer, dan Vishny (1998) berpendapat bahwa

masalah kepemilikan saham dan pengelola perusahaan dalam pasar negara

berkembang relatif lebih buruk karena tidak adanya perlindungan hukum yang kuat

serta belum adanya mekanisme pasti yang diatur oleh negara. Lain halnya dengan

pendapat Claessens dan Djankov (1999), yang meneliti perusahaan-perusahaan di

Republik Ceko dan menemukan bahwa profitabilitas perusahaan dan produktivitas

tenaga kerja keduanya terkait secara positif dengan struktur kepemilikan saham.

Anderson, Lee, dan Murrell (2000) mempelajari privatisasi kepemilikan saham

institusi di Mongolia yang nilainya kecil, karena Mongolia memiliki kapitalisme

negara yang tidak dominan dan pemerintahnya lebih memfokuskan pada efisiensi

guna memberi kemudahan untuk masyakaratnya dalam privatisasi tersebut.

Dyck dan Zingale (2004) dalam penelitiannya yang dilakukan di negara

kurang berkembang menyatakan bahwa pemilik saham adalah pemilik perusahaan

33

yang mengontrol perusahaan secara penuh sehingga kepemilikan hingga keuntungan

juga dapat dikendalikan. Lins (2003) yang melakukan penelitian pada 1.433

perusahaan di 18 negara berkembang menyatakan bahwa kepemilikan saham institusi

dan kepemilikan manajerial mempunyai keterkaitan dengan nilai perusahaan. Studi

ini menemukan bahwa nilai perusahaan lebih rendah dalam situasi di mana hak

kontrol personal non manajemen melebihi hak arus kas dan nilai perusahaan lebih

tinggi dalam situasi di mana kepemilikan sahan institusi sangat besar. Lemmon dan

Lins (2003) menggunakan sampel 800 perusahaan di delapan negara Asia Timur

untuk mempelajari pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap nilai perusahaan

selama krisis keuangan Asia 1997-1998, menemukan bahwa dalam suatu kondisi

yang krisis, pihak perusahaan meningkatkan inisiatif untuk mengambil alih saham

yang dimiliki investor luar.

Lauterbach dan Vaninsky (1999 : 189-201), menyatakan bahwa struktur

kepemilikan saham untuk perusahaan publik dikelompokan menjadi :

1. Pemilik saham non mayoritas

2. Pemilik saham mayoritas, dibagi menjadi :

a. Dimiliki oleh Perusahaan Bisnis, terdiri dari :

• Pemilik bisnis

• Partner bisnis

b. Dimiliki oleh Individu, terdiri dari :

• Family (hubungan keluarga)

• Tidak ada hubungan keluarga.

Brailsford, Moon, Rao, (1996 : 38) menyatakan dalam kaitannya dengan

aktivitas monitoring terhadap kebijakan manajemen, struktur kepemilikan saham

dibedakan ke dalam pemegang saham institusi, individu, dan manajerial. Berger dan

34

Patti (2003), yang meneliti hubungan struktur modal dengan kinerja perusahaan pada

industri perbankan, mengelompokkan struktur kepemilikan saham industri perbankan

menjadi tiga yaitu Bank yang dikendalikan oleh dewan pengurus, dikendalikan

pemegang saham outsider di atas 5%, dan yang dikendalikan pemegang saham

institusi.

Kepemilikan Saham Institusi adalah kepemilikan jumlah saham perusahaan

oleh lembaga keuangan non bank dimana lembaga tersebut mengelola dana atas nama

orang lain. Kepemilikan saham institusional memiliki power dan experience serta

bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk

melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut

perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan demikian,

kepemilikan saham institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas

pengungkapan sukarela. Yammeesri dan Lodh (1997), struktur kepemilikan saham

dikelompokkan menjadi kelompok keluarga, manajemen, dan pihak luar perusahaan.

Sedangkan menurut Brailsford, Moon, Rao, (1996 : 38), struktur kepemilikan saham

dikelompokkan kedalam : pemegang saham institusi, individu, dan manajerial.

Tujuan perusahaan adalah memaksimumkan kesejahteraan pemegang atau

pemilik perusahaan (shareholders). Selama manajemen perusahaan dikelola oleh

pemilik perusahaan (individu tunggal), akan jelas bahwa tindakan yang mungkin

dilakukan manajemen adalah untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri (Ang,

Cole dan Lin, 2000). Pada perusahaan modern telah dilakukan pemisahan antara

fungsi kepemilikan (principal) dan fungsi pengelolaan (agent). Pemisahan dua fungsi

ini menimbulkan hubungan keagenan. Hubungan keagenan (agency relationship)

adalah suatu kontrak antara satu pihak (principal) yang menggunakan pihak yang lain

(agent) untuk memberikan pelayanan bagi kepentingan principal dengan

35

mendelegasikan beberapa wewenang atau otoritas untuk mengambil keputusan

kepada agent (Jensen dan Meckling, 1976).

Salah satu konsep penting dalam manajemen keuangan modern adalah teori

keagenan. Menurut Weston dan Copeland (1992), teori ini menganggap bahwa

perusahaan sebagai suatu pengikat kontrak baik secara nyata maupun tidak nyata yang

dicirikan oleh adanya peranan berbagai unsur (stakeholders) dalam organisasi.

Masing-masing unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sehingga

sering menimbulkan konflik diantara stakeholders.

Teori keagenan berpandangan bahwa struktur modal optimal ditentukan oleh

biaya yang muncul dari konflik yang terjadi antara principal dan agen. Biaya

keagenan ini berasal dari pengeluaran untuk pengawasan oleh pemilik (monitoring

expenditures), pengeluaran manajer agar bisa bekerja seoptimal mungkin untuk

kepentingan pemilik (bonding expenditures), dan perbedaan antara kesejahteraan

optimal yang seharusnya diterima pemilik dengan kesejahteraan yang diterima

pemilik akibat keputusan manajer yang tidak optimal (residual loss). Pengelola

perusahaan (agent) adalah profesional yang diposisikan sebagai manajer atau pun

komisaris independen. Kepada agent dilakukan kontrak agar mereka menjalankan

perusahaan untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Principal adalah pemegang

saham (shareholders) yang kepemilikannya dapat tersebar pada berbagai pihak, baik

individu maupun lembaga (Soliha dan Taswan, 2002).

Sejak dilakukan pemisahan antara fungsi kepemilikan (principal) dengan

fungsi pengelolaan (agent), telah menimbulkan konflik keagenan (agency problem)

(Jensen dan Meckling, 1976). Pemisahan fungsi kepemilikan dengan fungsi

pengelolaan ini disebut the separation of the decision making and risk bearing

function of the firm. Konflik keagenan timbul karena manajemen perusahaan sering

36

mempunyai tujuan lain yang bertentangan dengan tujuan utama perusahaan.

Manajemen dapat bertindak untuk memakmurkan diri sendiri dengan membebankan

biayanya pada perusahaan Dengan demikian, timbul konflik kepentingan antara

manajemen dengan pemegang saham (Soliha dan Taswan, 2002). Kecenderungan

pihak manajemen perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya

dengan membebankan biaya pada pihak lain adalah suatu perilaku yang disebut

sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality). Perilaku ini menyebabkan

manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak

produktif untuk kepentingan pribadinya.

Pengelolaan yang dialihkan kepada manager profesional yang mengelola

operasional perusahaan setiap hari berpotensi menimbulkan konflik, karena manager

dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan shareholder.

Konflik ini yang berawal sejak dimulainya pemisahan antara kepemilikan dan

pengendalian (control). Penyelesaiannya adalah diperlukan sistem monitoring dan

kontrak perjanjian kerja, yang mempertemukan antara kepentingan manager dengan

tindakan untuk mensejahterakan dan kesejahteraan pemilik (stakeholders)

(Lauterbach dan Vaninsky, 1999).

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas maka konstruk kepemilikan

saham dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.

37

Tabel 2.1 Definisi Kepemilikan Saham NO Peneliti Definisi 1. Berle and Means (1932) Menyatakan adanya konflik kepentingan antara

pengambil keputusan di dalam perusahaan dan pemegang saham perusahaan tersebut

2. Jensen dan Meckling (1976) Pemisahan fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan

3. Weston dan Copeland (1992) Perusahaan sebagai suatu pengikat kontrak baik secara nyata maupun tidak nyata yang dicirikan oleh adanya peranan berbagai unsur (stakeholders) dalam organisasi

Bathala, Moon, dan Rao (1994) Sistem monitoring dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring internal dan monitoring eksternal

4. Brailsford, Moon, Rao (1996) Struktur kepemilikan saham dikelompokkan kedalam : pemegang saham institusi, individu, dan manajerial.

5. Yammeesri dan Lodh (1997) Struktur kepemilikan saham dikelompokkan menjadi kelompok keluarga, manajemen, dan pihak luar perusahaan.

6. La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer, dan Vishny (1998)

Berpendapat bahwa masalah kepemilikan saham dan pengelola perusahaan dalam pasar negara berkembang relatif lebih buruk karena tidak adanya perlindungan hukum yang kuat serta belum adanya mekanisme pasti yang diatur oleh negara

7. Claessens dan Djankov (1999) Profitabilitas perusahaan dan produktivitas tenaga kerja keduanya terkait secara positif dengan struktur kepemilikan saham.

8. Lauterbach dan Vaninsky (1999) Struktur kepemilikan saham untuk perusahaan publik dikelompokan menjadi : Pemilik saham mayoritas dan pemilik saham non mayoritas

9. Anderson, Lee, dan Murrell (2000)

Mempelajari privatisasi kepemilikan saham institusi di Mongolia yang nilainya kecil, karena negara Mongolia memiliki kapitalisme yang tidak dominan dan pemerintahnya lebih memfokuskan pada efisiensi guna memberi kemudahan untuk masyakaratnya dalam privatisasi tersebut.

10. Lins (2003) Kepemilikan saham institusi dan kepemilikan saha manajerial mempunyai keterkaitan dengan nilai perusahaan.

11. Dyck dan Zingale (2004) Kepemilikan saham adalah pemilik perusahaan yang mengontrol perusahaan secara penuh sehingga kepemilikan hingga keuntungan juga dapat dikendalikan

12. Matoussi dan Chakroun (2008) Struktur kepemilikan saham merupakan pihak-pihak yang memiliki saham dari suatu perusahaan.

Konstruk : Struktur kepemilikan saham adalah pemilik perusahaan yang mengontrol perusahaan dan memiliki saham dari suatu perusahaan (Matoussi,Chakroun,Dyck dan Zingale) Sumber : Dari berbagai jurnal Internasional (2018) 2.1.1.2. Pengukuran Kepemilikan Saham Kepemilikan Saham Institusi adalah kepemilikan jumlah saham perusahaan

oleh lembaga keuangan non bank dimana lembaga tersebut mengelola dana atas nama

38

orang lain. Kepemilikan saham institusional memiliki power dan experience serta

bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk

melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut

perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan demikian,

kepemilikan saham institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas

pengungkapan sukarela.

Kepemilikan Saham Manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa

manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai

pemegang saham perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase

kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Manajer yang memiliki saham

perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan

kepentingannya sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial

dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan

nilai perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat

kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula motivasi untuk mengungkapkan

aktivitas perusahaan yang dilakukan.

Penelitian yang dilakukan Downes and Goodman (1999) menyatakan bahwa

kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini

sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam

pengambilan keputusan perusahaan. Bodie (2006) mendefinisikan bahwa

Kepemilikan manajerial merupakan pemisahan kepemilikan antara pihak outsider

dengan pihak insider. Jika dalam suatu perusahaan memiliki banyak pemilik saham,

maka kelompok besar individu tersebut tidak dapat berpartisipasi dengan aktif dalam

manajemen perusahaan sehari-hari, oleh itu mereka memilih dewan komisaris, yang

memilih dan mengawasi manajemen perusahaan. Struktur organisasi seperti ini berarti

39

terdapat perbedaan antara pemilik dengan manajer perusahaan, hal ini memberikan

stabilitas bagi perusahaan yang tidak dimiliki oleh perusahaan dengan pemilik

merangkap manajer.

Djabib (2009 : 252 ) mengemukakan bahwa kepemilikan manajerial yang

meningkat akan membuat kekayaan pribadi perusahaan”. kepemilikan manajerial

yang meningkat akan membuat kekayaan pribadi manajemen terikat dengan kekayaan

perusahaan sehingga manajemen akan berusaha mengurangi resiko kehilangan

kekayaannya dengan mengurangi resiko keuangan perusahaan melalui penurunan

tingkat hutang. Kepemilikan manajerial adalah proporsi saham biasa yang dimiliki

oleh para manajemen (direksi dan komisaris) yang diukur dari persentase jumlah

saham manajemen. Dengan adanya kepemilikan manajerial dapat menekan masalah

keagenan, dan semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka

manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen

mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi keinginan dari pemegang saham yang

tidak lain adalah dirinya sendiri dengan mengurangi risiko keuangan perusahaan

melalui penurunan tingkat hutang.

Akerlof (1970 : 488-500) adalah orang pertama yang menjelaskan tentang

distribusi informasi yang tidak merata di antara pihak yang akan melakukan

pertukaran suatu barang. Informasi Asimetri merupakan suatu keadaan dimana

manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh

pihak luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi

antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal).

Informasi Asymmetri merupakan suatu kondisi apabila satu orang atau lebih

memiliki informasi superior yang relevan dari pada pihak lain yang akan melakukan

suatu pertukaran. Ditinjau dari aspek manajemen keuangan, informasi asymmetri

40

merupakan kondisi yang menunjukkan adanya kelompok yang mempunyai informasi

dan lainnya tidak memiliki informasi. Kelompok yang memiliki informasi disebut

sebagai kelompok informed information dan yang tidak memiliki atau sedikit

memiliki informasi disebut uninformed information. Informasi asymmetri dapat

terjadi baik di pasar modal maupun di pasar lainnya. Adanya informasi asimetri

tersebut telah menimbulkan persepsi dan penilaian yang berbeda terhadap suatu

produk, dan suatu keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan, akibatnya

dapat menimbulkan suatu kerugian tapi juga bisa menimbulkan suatu manfaat bagi

pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan.

Berbeda dengan Akerlof, pendapat Myers, dan Majluf (1984 : 187- 221) tidak

melihat single product dalam pertukaran tetapi partial claim, asset in place dan new

project. Mereka mengungkapkan bahwa para manajer perusahaan mempunyai

informasi yang lebih baik dan pada pihak luar perusahaan (investor, pemegang saham,

atau kreditor). Kesimpulan yang dihasilkan adalah dengan adanya informasi

asymmetry maka kesempatan investasi (investment opportunity) yang melebihi

operating cash flow dapat didanai dengan hutang atau risky securities. Pada saat

manajer sedikit memiliki informasi relevan, proyek dapat didanai melalui penerbitan

saham.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan jika kedua kelompok (agen dan

prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya,

maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu

bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya

dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang

didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.

41

Dengan adanya informasi asimetri antara manajer sebagai pengelola

perusahaan dengan investor, menjadikan manajer lebih banyak mengetahui kondisi

dan prospek perusahaan dari investor. Kondisi tersebut telah menghasilkan suatu teori

yang disebut dengan signaling theory, yaitu suatu teori yang menjelaskan persepsi

investor luar tentang prospek perusahaan akibat adanya corporate action (Ross,

1977). Sehubungan dengan signaling theory, hasil penelitian McConnell dan

Muscarella (1984) menemukan bahwa peningkatan pengeluaran modal telah

meningkatkan return saham. Sejalan dengan McConnell dan Muscarella (1984),

dalam penelitian Trueman (1986 : 159-172) menyatakan bahwa peningkatan

pengeluaran modal akan diikuti oleh peningkatan harga saham yang signifikan. Hal

tersebut didasari pada asumsi bahwa manajemen, dalam upaya mencapai tujuan

perusahaan yaitu memaksimumkan harga saham, akan mengambil investasi yang

memiliki net present value positif. Jadi pada saat adanya peningkatan pengeluaran

modal, investor menangkap sebagai sinyal positif dan sebaliknya penurunan

pengeluaran modal, akan ditangkap oleh investor sebagai sinyal negatif.

Agency Theory dikembangkan oleh Jensen, M.C, and W.H. Meckling

(1976 : 305-360), Brigham (2011) berpendapat bahwa teori keagenan

merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan selama ini.

Prinsip utama teori keagenan menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak

yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima

wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di

dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency theory ( Teori Keagenan).

Teori Agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemilik dan manajer,

menurut teori ini hubungan antar pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar

tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Dalam teori

42

keagenan (Agency Theory), hubungan agen muncul ketika satu orang atau lebih

(principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan

kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen

tersebut. Hubungan antara principal dan agen dapat mengarah pada kondisi

ke tidak seimbangan informasi. Jensen and Meckling (1976) mengemukakan

bahwa agency theory adalah pemisahan kepemilikan dan kekuasaan di dalam

mengendalikan perusahaan yang dapat menciptakan konflik kepentingan antara

pemegang saham perusahaan dan para manajer, alasannya dikarenakan para manajer

sering menggunakan sumber daya perusahaan untuk keuntungan atau kepentingan

mereka sendiri, maka hal tersebut secara negatif dapat mempengaruhi kekayaan

pemegang saham.

Teori Keagenan (Agency Theory) menurut Jensen and Meckling (1976)

menjelaskan hubungan keagenan sebagai : “Agency Relationship as a contract under

which one or more person (the principals) engage another person (the agent) to

perform some service on their behalf which involves delegating some decision making

authority to the agent”. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu

atau lebih orang (principal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa

atas nama principal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan

yang terbaik bagi principal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang

sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak

dengan cara yang sesuai dengan kepentingan principal

Teori keagenan (agency theory) mendeskripsikan hubungan antara pemegang

saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen

merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi

kepentingan pemegang saham, maka pihak manejemen harus mempertanggung

43

jawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.

Informasi laporan keuangan yang disampaikan secara tepat waktu akan

mengurangi informasi asimetri yang erat kaitannya dengan teori agency (Kim dan

Verrechia, 2008 : 302-321), sehingga dalam hubungan keagenan, manajemen

diharapkan dalam mengambil kebijakan perusahaan terutama kebijakan keuangan

yang menguntungkan pemilik perusahaan.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas maka yang menjadi

pengukuran indikator kepemilikan saham dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2

Pengukuran Kepemilikan Saham No Author Indikator Kepemilikan Saham 1. Jensen &Meckling(1976) 1. Principal

2. Pihak yang lain (agent) 2. Rozeff (1982) &Easterbrook (1984) 1. pengelola perusahaan (agent)

2. Pemegang saham sebagai pemilik (owners). 3. Weston &Copeland (1992) Stakeholders 4. Bathala, Moon, dan Rao(1994) 1. Auditor

2. Anggota Dewan Direksi Independen 5. Brailsford, Moon&Rao (1996 ) 1. Pemegang saham institusi

2. Individu 3. Manajerial.

6. Yammeesri &Lodh (1997) 1. Keluarga 2. Manajemen 3. Pihak luar perusahaan

7. Lauterbach & Vaninsky(1999) 1. Pemilik saham mayoritas 2. Pemilik saham non mayoritas

8. Ang, Cole&Lin (2000) 1. Fungsi kepemilikan (principal) 2. Fungsi pengelolaan (agent)

9. Berger&Patti (2003) 1. Dewan pengurus 2. Pemegang saham outsider di atas 5% 3. Pemegang saham institusi

10. Bodie (2006) 1. Outsider 2. Insider

11. Matoussi &Chakroun (2008) 1. Power 2. Experience 3. Bertanggung jawab

12. Dede Hertina (2018) 1. Kepemilikan saham institusi 2. Kepemilikan Saham Manajerial. Brailsford,

Moon & Rao (1996 ) Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).

Berdasarkan beberapa beberapa pengertian diatas maka construct

kepemilikan saham adalah pemilik perusahaan yang mengontrol perusahaan dan

44

memiliki saham dari suatu perusahaan (Brailsford, Moon&Rao (1996 ). Indikator yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan saham institusi dan kepemilikan

saham manajerial (Brailsford, Moon &Rao :1996 ).

2.1.2. Struktur Modal

2.1.2.1. Konsep Struktur Modal

Struktur modal merupakan pembiayaan permanen perusahaan yang

mencerminkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri. Dalam

penentuan sumber pendanaan yang akan digunakan, serta berapa besarnya proporsi

masing-masing sumber dana tersebut maka perusahaan akan menganalisis beberapa

faktor untuk memperoleh kombinasi struktur modal yang optimal. Teori struktur

modal bertujuan untuk memberikan landasan pola pikir untuk mengetahui struktur

modal yang optimal

Struktur modal adalah bagaimana perusahaan memenuhi kebutuhan dana

jangka panjangnya, yaitu melalui hutang dan ekuitas (Weston dan Copeland, 1992).

Perbedaan karakteristik antara kedua tipe pendanaan itu terletak pada keragaman hak

suara relatif dalam manajemen, klaim pada income dan aset, maturitas, dan perlakuan

pajak. Keempat karakteristik yang membedakan antara hutang dan ekuitas diringkas

pada Tabel 2.2.1. Perbedaan karakteristik ini menjadi jelas mengapa pemilik ekuitas

mempunyai risiko lebih besar dari pada hutang, sehingga ekuitas mendapat

kompensasi dengan expected return yang lebih besar dari pada hutang (Gitman, 1997:

483).

45

Tabel 2.3. Perbedaan Karakteristik antara Hutang dengan Ekuitas

Karakteristik Hutang Ekuitas

Hak suara dalam manajemen Tidak ada Ada

Klaim pada income dan aset Senior dari ekuitas Subordinat pada hutang

Maturitas Tetap Tidak ada

Perlakuan pajak Pengurang atas bunga Tidak ada

Sumber : Gitman, Lawrence J, 2013.

Penggunaan hutang, menimbulkan beban tetap yang ditunjukkan oleh leverage

keuangan (financial leverage) yang berpengaruh terhadap rasio hutang (debt ratio)

serta rasio hutang dengan ekuitas (d ebt equity ratio). Tingginya debt ratio dan debt

equity ratio disebabkan oleh tingginya leverage keuangan. Satu industri atau satu

business line mempunyai karakteristik leverage keuangan yang khas dibandingkan

dengan industri atau business line yang berbeda. Contoh industri di Amerika, rasio

hutang untuk industri manufaktur komputer adalah 58,3% dan untuk perusahaan

penjual mobil adalah 77,9% (Gitman, 1997: 483).

Leverage keuangan (financial leverage) adalah suatu ukuran yang

menunjukkan sejauh mana sekuritas berpenghasilan tetap (hutang dan saham

preferen) digunakan dalam struktur modal perusahaan dengan tujuan agar keuntungan

yang diperoleh lebih besar dari pada biaya aset dan sumber dananya, dengan demikian

akan meningkatkan keuntungan pemegang sahamnya (Weston dan Copeland, 1992).

Karakteristik struktur modal di negara maju dan negara berkembang

mempunyai tiga persamaan, yaitu (Gitman, 1997: 485):

1. Pada industri yang sama mempunyai pola struktur modal yang sama.

46

2. Struktur modal antara negara maju, yang terdapat banyak perusahaan

multinasional dan mempunyai akses luas pada pasar keuangan, mempunyai

kemiripan dengan struktur modal di negara berkembang.

3. Secara global, ada perubahan kecenderungan arah (trend) pendanaan, dari

pendanaan melalui bank menjadi pendanaan dengan menerbitkan sekuritas,

sehingga perbedaan struktur modal antara perusahaan di Amerika dengan

perusahaan bukan di Amerika dalam waktu panjang menjadi kecil.

Struktur modal menghasilkan manfaat dan biaya, manfaat dari hutang adalah

timbulnya keringanan pajak (tax shield) dari pembayaran bunga. Biaya dari struktur

modal timbul dari tiga faktor yaitu (1) kemungkinan naiknya risiko

kebangkrutan akibat kewajiban atas hutang, (2) agency cost yang timbul dari

monitoring dan pengendalian oleh tindakan lender perusahaan, dan (3) biaya yang

timbul akibat manager mempunyai lebih banyak informasi tentang prospek

perusahaan dibandingkan investor (Gitman ; 1997: 486).

Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal menurut Voulgaris (2002)

adalah asset utilization, profitabilitas dan pertumbuhan. Menurut Fama and French

(2002), determinan struktur modal terdiri atas ukuran perusahaan, growth opportunity,

non-debt tax shield, profitabilitas dan target payout. Sedangkan menurut Ozkan

(2001), determinan struktur modal terdiri atas modal kerja, ukuran perusahaan,

growth opportunity, non-debt tax shield, profitabilitas, likuiditas dan lag leverage.

2.1.2.2. Teori Struktur Modal

1. Teori Struktur Modal Tidak Relevan

Sehubungan dengan struktur modal, ada dua proposisi yang dihasilkan oleh

Modigliani-Miller (dalam Ross, Westerfield, dan Jaffe, 2002 : 407) di bawah asumsi

47

ketiadaan pajak, ketiadaan biaya transaksi, individu dan perusahaan meminjam pada

tingkat bunga yang sama, yaitu :

Proposisi I : VL = Vu

(Value of levered firm equals value of unlevered firm)

Proposisi II : 𝑟! = 𝑟! +!!𝑟! − 𝑟!

Dimana: Vu adalah nilai perusahaan yang unlevered, ro adalah biaya modal untuk

perusahaan yang seluruhnya menggunakan ekuitas (unleverage), rb adalah biaya

hutang, dan rs adalah biaya ekuitas. Intuisi dari kedua proposisi di atas adalah

pertama, melalui homemade leverage; individu dapat meniru atau menghilangkan

efek dari corporate leverage. Kedua, biaya ekuitas meningkat dengan adanya

leverage sebab risiko ekuitas meningkat, dengan leverage. Intinya adalah manajer

tidak dapat merubah nilai perusahaan dengan merubah komposisi hutang dan

ekuitasnya.

Miller (1977) melakukan studi yang lebih mendalam mengenai Teori Struktur

Modal Tidak Relevan, dan menunjukkan bahwa keuntungan pajak dari pembiayaan

melalui hutang pada level perusahaan dihilangkan oleh kerugian dari hutang pada

level perseorangan. Akibatnya, tidak ada keuntungan dari pembiayaan melalui hutang

jika diasumsikan tidak ada pajak pendapatan dari saham, dan tidak ada biaya yang

berhubungan dengan leverage.

2. Teori Struktur Modal Relevan

Modigliani-Miller (dalam Ross, Westerfield, dan Jaffe, 2002: 407)

mengemukakan adanya dua proposisi yang muncul apabila corporate taxes

dimasukkan ke dalam model. Dengan asumsi terdapat pajak perusahaan sebesar Tc

pada earning after interest, ketiadaan biaya transaksi, individu dan perusahaan

48

meminjam pada tingkat bunga yang sama. Berikut ini proposisi yang dinyatakan oleh

Modigliani-Miller :

Proposisi I: VL = Vu + TcB (for a firm with perpetual debt)

Proposisi II: 𝑟! = 𝑟! +!!1− 𝑇! 𝑟! − 𝑟!

di mana Tc, adalah tingkat pajak perusahaan.

Intuisinya adalah pertama, perusahaan dapat menagih kembali pembayaran

bunga dan bukan pembayaran deviden sehingga corporate leverage akan menurunkan

pembayaran pajak. Kedua, biaya ekuitas meningkat dengan leverage sebab risiko

ekuitas meningkat dengan leverage. Intuisinya adalah nilai perusahaan merupakan

fungsi yang meningkat dan leverage. Akibat hubungannya positif maka struktur

modal perusahaan harus mengandalkan hutang.

Myers (1984, 576) mengemukakan Teori Struktur Modal Relevan dan

menyatakan adanya dua kerangka berpikir yang berbeda. Pertama, kerangka

pemikiran trade-off yang memandang perusahaan menetapkan target struktur modal

dan secara gradual bergerak ke arah tersebut. Kedua, kerangka pemikiran pecking

order yang memandang perusahaan lebih menyukai sumber dana internal

dibandingkan dengan sumber dana eksternal, dan lebih menyukai hutang

dibandingkan dengan ekuitas.

Secara umum teori Modigliani-Miller (M&M propositions) memberikan

kontribusi yang cukup besar dalam membentuk basis pemikiran modern terkait

struktur modal. Walaupun teori mereka dipandang hanya bersifat teoritis karena

faktanya teorema mereka tidak mengikutsertakan berbagai faktor penting dalam

membuat keputusan struktur modal secara praktek. Sampai saat ini, ada beberapa

pendekatan teoritis yang dikenal terkait dengan struktur modal, khususnya pandangan

mengenai optimal capital structure dalam suatu perusahaan.

49

Berdasarkan teori Modigliani dan Miller (MM) yang mengungkapkan bahwa

nilai perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya, yang berarti bahwa

penggunaan hutang (leverage) bagi perusahaan tidak mempengaruhi nilai

perusahaannya. Manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan

mengubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk membiayai perusahaan.

Teori Modigliani and Miller II (Tax Shield) menerangkan bahwa penggunaan hutang

dapat digunakan untuk menghemat pajak karena bunga bisa dipakai sebagai

pengurang pajak, sehingga nilai perusahaan yang berhutang sama dengan nilai

perusahaan yang tidak berhutang ditambah dengan perubahan aturan pajak karena

bunga hutang. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan dengan hutang sangat

menguntungkan dan MM menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan

adalah 100 persen hutang.

3. Trade Off Theory

Teori Trade-Off ini memandang bahwa struktur modal optimum dapat

ditentukan. Perusahaan dipandang sebagai suatu setting dan suatu target rasio hutang

dengan nilai perusahaan, di mana perusahaan secara bertahap akan menuju target

tersebut. Termasuk dalam teori Trade-Off ini adalah teori Tax Shelter-Bankruptcy

Cost.

Menurut Teori Tax Shelter-Bankruptcy Cost, keuntungan penggunaan hutang

muncul dari peranan biaya bunga sebagai pengurang dalam perhitungan laba kena

pajak. Dengan demikian, perusahaan yang menggunakan hutang akan membayar

pajak penghasilan yang lebih rendah daripada perusahaan yang menggunakan seratus

persen ekuitas. Penggunaan hutang juga akan memperoleh return on equity (ROE)

lebih tinggi dibandingkan dengan ekuitas. Dengan kata lain, penggunaan hutang akan

meningkatkan harga saham dan meningkatkan nilai perusahaan. Asumsi risiko

kebangkrutan dari penggunaan hutang tidak ada.

50

Selanjutnya, keuntungan tax deductibility akibat penggunaan hutang akan

dibandingkan dengan ekspektasi biaya kebangkrutan akibat penggunaan hutang.

Dengan kata lain, sebuah perusahaan menggunakan hutang sampai pendapatan

marginal hutang (the interest tax shelter) sama dengan biaya marginal hutang

(financial distress and bankruptcy cost), dan struktur modal optimal berada

pada posisi di mana keuntungan bersih penggunaan hutang menjadi nol.

Trade-off Theory yang diungkapkan oleh Myers (2001 : 81), Perusahaan akan

berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax

shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial

distress). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan

(bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang

meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Trade-off theory dalam

menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain

pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan (financial

distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan asymmetric

information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat hutang yang

optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai jumlah yang

maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial distress). Trade-off

theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off

antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur

modal. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi akan berusaha

mengurangi pajaknya dengan meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan

hutang tersebut akan mengurangi pajak. Donaldson (1961) melakukan pengamatan

terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut

menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi

51

cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan dengan pendapat trade-off

theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan korelasi negatif antara tingkat

profitabilitas dan rasio hutang. Teori Trade Off yang menyatakan bahwa perusahaan

akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana perubahan aturan pajak

(tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial

distress).

Trade off theory merupakan teori yang menjelaskan tentang adanya pertukaran

antara laba atau keuntungan yang didapatkan dengan risiko yang akan ditanggung.

Ada beberapa alasan yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang

sebanyak-banyaknya. Salah satu alasan terpenting perusahaan ialah semakin tinggi

hutang, yang akan mengakibatkan semakin tinggi pula kebangkrutan yang akan

terjadi pada perusahaan tersebut. Kebangkrutan yang terjadi akan menimbulkan biaya

kebangkrutan (financial distress). Biaya kebangkrutan terdiri dari 2(dua) hal, yaitu:

(1) Biaya Langsung (Direct Cost) dan (2) Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost).

Trade off theory menjelaskan bahwa semakin tinggi perusahaan melakukan

pendanaan menggunakan hutang, maka semakin besar pula risiko mereka untuk

mengalami kesulitan keuangan karena membayar bunga tetap yang terlalu besar bagi

para debtholders setiap tahunnya dengan kondisi laba bersih belum pasti (bankruptcy

cost of debt).

4. Pecking Order Theory

Teori struktur modal lainnya yaitu teori Pecking Order (Pecking Order

Theory), teori ini menyebutkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk menggunakan

sumber dana internal dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional

perusahaan dibandingkan dengan sumber dana eksternal. Namun jika pendanaan

eksternal diperlukan maka perusahaan akan mengawali dengan memilih sekuritas

52

yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya, kemudian ke hutang

yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen, dan

yang terakhir saham biasa. Menurut Hanafi (2013: 313) skenario urutan dalam

Pecking Order Theory adalah sebagai berikut: (a) Perusahaan memilih pandangan

internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba (profit) yang dihasilkan dari

kegiatan perusahaan. (b) Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan

pada perkiraan kesempatan investasi. (c) Kebijakan deviden yang konstan, digabung

dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bias diprediksi

akan menyebabkan aliran kas yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar

dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat tertentu dan akan lebih kecil

pada saat yang lain. (d) Jika pandangan eksternal diperlukan, perusahaan akan

mengeluarkan surat-surat berharga yang paling aman terlebih dulu. Perusahaan akan

memulai dengan hutang, kemudian dengan surat-surat berharga campuran seperti

obligasi convertibel dan saham sebagai pilihan terakhir.

Teori-teori tersebut memberikan gambaran bagi manajemen perusahaan dalam

membantu pihak menajer terkait untuk mengambil keputusan mengenai tambahan

modal yang diperlukan untuk mengimplementasikan strategi yang telah dirumuskan

guna mencapai perkembangan dan pertumbuhan perusahaan. Manajemen harus

memutuskan apakah menggunakan alternatif pembiayaan melalui penerbitan saham

atau menggunakan hutang dari pihak eksternal. Keputusan mengenai struktur modal

ini dapat berimplikasi terhadap nilai perusahaan. Selain itu, keputusan struktur modal

juga berimplikasi terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan dan secara langsung

berimplikasi terhadap besarnya risiko yang ditanggung pemegang saham serta

besarnya tingkat pengembalian atau tingkat keuntungan yang diharapkan.

Setelah keputusan mengenai struktur modal ditetapkan, maka perusahaan

53

dengan tambahan modal yang dimilikinya dapat menerapkan strategi yang telah

dirumuskan dan diharapkan terjadi peningkatan kinerja perusahaan. Kinerja

perusahaan yang baik, selain dinilai sebagai salah satu acuan dalam penilaian

keberhasilan perusahaan juga memberikan insentif bagi para investor sebagai bahan

pertimbangan dalam keputusan investasinya.

Pecking Order Theory menurut Myers (1984), menyatakan bahwa ”Perusahaan

dengan tingkat profitabilitas yang tinggi, tingkat hutangnya rendah, dikarenakan

perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang

berlimpah”. Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang

optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki)

dalam penggunaan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart,

Megginson, dan Gitman (2004 : 458-459), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam

memilih sumber pendanaan, yaitu :

1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau

pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut

diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional

perusahaan.

2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama

kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah

risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti

obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.

3. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan

jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa

besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.

54

4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan

deviden yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan

investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar

tersedia. Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal.

Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan

tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana

ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat

menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang

tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.

Kesadaran akan adanya perbedaan informasi antara manajer dan investor telah

melahirkan argumen signaling (Leland dan Pyle, 1977) dan teori pecking order

(Myers, 1984). Struktur modal dengan tingkat leverage yang tinggi digunakan sebagai

sinyal untuk membedakan perusahaan yang baik dari yang buruk. Hanya

perusahaan yang sehat dan kuat yang dapat berhutang dengan menanggung

risikonya. Keputusan sumber dana adalah berdasarkan persepsi fairness dari

penilaian pasar saat ini terhadap saham. Sehingga untuk meminimumkan biaya

informasi dari pelepasan saham, maka suatu perusahaan lebih menyukai

menggunakan hutang daripada ekuitas jika perusahaan tampak undervalued,

dan menggunakan ekuitas dari pada hutang jika perusahaan tampak

overvalued.

Myers dan Majluf (1984 : 189) memiliki pandangan bahwa ada

informasi asimetrik yang terjadi antara manajer perusahaan dan investor. Biaya

akibat informasi asimetrik meningkat ketika manajer dalam perusahaan

memiliki pengetahuan yang superior mengenai distribusi risiko dan tingkat

55

pengembalian proyek-proyek investasi, dibandingkan dengan investor diluar

yang baru. Selanjutnya manajer perusahaan memaksimumkan nilai yang

sesunguhnya dari klaim pemegang saham saat ini.

Teori Pecking Order (Myers, 1984) lebih lanjut menggunakan argumen

signaling, dan menunjukkan bahwa biaya informasi yang disebabkan oleh

pelepasan saham begitu besar sehingga mendominasi pertimbangan-

pertimbangan lainnya. Menurut teori ini, perusahaan memaksimalkan nilainya

secara sistematis dengan memiliki sumber dana termurah yang ada untuk

investasinya. Secara spesifik, dengan adanya adverse selection maka

perusahaan lebih memilih dana internal (retained earning) dari pada dana

eksternal, dan jika dana eksternal tersedia, perusahaan lebih memilih hutang

dari pada ekuitas, sebab biaya informasi dari hutang lebih rendah dari pada

ekuitas. Perusahaan melepaskan sahamnya sebagai alternatif terakhir jika

kapasitas hutangnya telah habis digunakan.

Implikasi dari teori ini adalah perusahaan lebih suka mempertahankan

financial slack dalam menjaga fleksibilitas keuangan untuk sumber dana investasi di

masa depan, dengan menghindari keterpaksaan untuk mengeluarkan saham baru pada

tingkat harga yang rendah. Pelepasan saham baru merupakan aktivitas yang

menurunkan leverage yang selanjutnya akan menurunkan harga saham, sementara

penggunaan hutang barn merupakan aktivitas yang meningkatkan leverage yang

selanjutnya akan menaikkan harga saham.

Selanjutnya Shyam dan Myers (1999:242) juga menyatakan bahwa

perusahaan berencana untuk mendanai defisit yang dapat diantisipasi dengan

hutang. Dalam hal ini, perusahaan akan menambah ekuitasnya apabila rasio

56

hutang sudah sangat terlalu tinggi, dan akan menurunkan ekuitasnya apabila

rasio hutangnya jatuh mendekati nol. Hasil penelitian Fama dan French (2002)

mendukung teori Pecking Order dengan kesimpulan bahwa perusahaan tidak

memiliki target leverage, dan leverage tidak berarti nilai hutang harus sama

dengan nilai ekuitas.

2.1.2.3. Unsur-unsur Struktur Modal

Terdapat 2 (dua) unsur struktur modal, yaitu :

(1) Modal asing (hutang)

(2) Modal Sendiri

Struktur modal yang optimal adalah komposisi antara hutang jangka panjang

dan modal sendiri yang merupakan sumber pembelanjaan aktiva-aktiva jangka

panjang perusahaan. Kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan antara risiko

dan tingkat pengembalian, antara lain:

(1) Menggunakan lebih banyak hutang berarti memperbesar risiko yang ditanggung

pemegang saham.

(2) Menggunakan lebih banyak hutang juga memperbesar tingkat pengembalian yang

diharapkan.

Penelitian empiris telah banyak dilakukan oleh para peneliti untuk menguji

berbagai teori struktur modal yang berbeda. Namun sebelum membahas penelitian

empiris tersebut, perlu terlebih dahulu dikemukakan konsep dasar struktur modal.

Dalam hal ini konsep dasar struktur modal dapat dijelaskan sebagai berikut (Weston

and Copeland, 1992) :

V = B + S

Di mana V adalah nilai perusahaan, B adalah nilai pasar dari hutang, dan S

adalah nilai pasar dari ekuitas. Nilai perusahaan merupakan penjumlahan dari hutang

57

dan ekuitas berdasarkan nilai pasar. Jika tujuan manajemen adalah memaksimumkan

nilai perusahaan maka perusahaan harus memilih rasio hutang terhadap ekuitas yang

menghasilkan nilai perusahaan sebesar mungkin.

Dalam hal ini, struktur modal yang memaksimumkan nilai perusahaan tersebut

haruslah juga menyediakan keuntungan besar bagi pemegang saham. Berikut ini

adalah beberapa teori struktur modal yang menyatakan ada tidaknya hubungan antara

struktur kepemilikan dengan struktur modal dan struktur modal dengan nilai

perusahaan (kinerja perusahaan). Struktur Modal merupakan komposisi pendanaan

permanen perusahaan, yaitu bauran pendanaan jangka panjang perusahaan. Struktur

Modal merupakan bagian dari struktur keuangan dimana struktur keuangan

mencerminkan kebijakan manajemen perusahaan dalam mendanai aktivanya (Sawir,

2005 : 2). Struktur Modal adalah pencampuran berbagai jenis dan sumber modal yang

digunakan oleh perusahaan untuk membiayai perusahaannya (Brealey dan Myers,

2006).

Brigham & Houston (2012 : 296) menyebutkan bahwa target dari struktur

modal adalah mengkombinasikan antara hutang, saham preferen dan saham biasa

yang akan direncanakan oleh perusahaan untk meningkatkan modal. Menurut Baker

dan Wurgler (2002), capital structure is the cumulative outcome of attempts to time

the equity market. Struktur Modal adalah hasil komulatif dari upaya untuk waktu

ekuitas pasar. Menurut Lawrence, Gitman (2009), capital structure is the mix of long

term debt and equity maintained by the firm. Struktur Modal perusahaan

menggambarkan perbandingan utang jangka panjang dan modal sendiri yang

digunakan perusahaan.

Chen and Jung (2009 : 1-9) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor

penentu struktur modal adalah tingkat profitabilitas dan pertumbuhan. Pengaruh

58

profitabilitas terhadap struktur modal adalah negatif, hal ini menyiratkan bahwa

perusahaan lebih memilih untuk menggunakan pendapatan mereka untuk membiayai

kegiatan bisnis dengan menggunakan lebih sedikit modal hutang. Tingkat

pertumbuhan berpengaruh positif terhadap struktur modal, peluang pertumbuhan yang

lebih besar akan memiliki struktur modal yang lebih besar untuk membiayai

pertumbuhan. Ukuran perusahaan yang merupakan variabel moderator dalam

penelitian Chen and Jung (2009 : 1-9) memoderasi efek tarif pajak pada struktur

modal. Perusahaan besar tampaknya mengambil keuntungan dari pengurangan

deduksi pajak, temuan ini penting bagi manajemen dan investor.

Tujuan Manajemen Struktur Modal adalah menciptakan bauran sumber dana

permanaen sedemikian rupa agar mampu memaksimalkan harga saham agar tujuan

untuk memaksimalkan nilai perusahaan tercapai.

Menurut Brigham dan Houston (2012 : 6 ), kebijakan struktur modal melibatkan

adanya suatu pertukaran antara risiko dan pengembalian :

1. Penggunaan lebih banyak utang akan meningkatkan risiko yang ditanggung

oleh pemegang saham

2. Penggunaan utang yang lebih besar biasanya akan memyebabkan terjadinya

ekspektasi tingkat pengembalian atas ekuitas yang lebih tinggi.

Pemilihan struktur keuangan merupakan masalah yang menyangkut komposisi

pendanaan yang akan digunakan oleh perusahaan untuk mendanai aktivanya.

Dari tabel 2.4 dibawah ini dapat dilihat definisi tentang struktur modal

berdasarkan pendapat beberapa ahli :

59

Tabel 2.4 Definisi Struktur Modal

NO Author Definisi Struktur Modal 1. Miller (1977) Struktur Modal menunjukkan bahwa keuntungan pajak dari

pembiayaan melalui hutang pada level perusahaan dihilangkan oleh kerugian dari hutang pada level perseorangan.

2. Weston dan Copeland (1992) Struktur modal adalah bagaimana perusahaan memenuhi kebutuhan dana jangka panjangnya, yaitu melalui hutang dan ekuitas.

3. Gitman (1997) Biaya dari struktur modal timbul dari tiga faktor yaitu : (1)Kemungkinan naiknya risiko kebangkrutan akibat kewajiban atas hutang, (2) agency cost yang timbul dari monitoring dan pengendalian oleh tindakan lender perusahaan, dan (3) biaya yang timbul akibat manager mempunyai lebih banyak informasi tentang prospek perusahaan dibandingkan investor

4. Baker dan Wurgler (2002) Struktur Modal adalah hasil komulatif dari upaya untuk waktu ekuitas pasar.

5. Arvanitis (2011) Struktur modal menentukan nilai pasar saham perusahaan dan kelangsungan hidupnya

6. Brealey dan Myers (2006) Struktur Modal adalah pencampuran berbagai jenis dan sumber modal yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai perusahaannya

7. Lawrence, Gitman (2009) Struktur Modal perusahaan menggambarkan perbandingan utang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan perusahaan.

8. Brigham dan Houston (2011)

Faktor-faktor yang menentukan keputusan struktur modal adalah risiko bisnis, posisi pajak, fleksibilitas keuangan, dan konservatisme atau agresivitas manajemen merupakan

9. Brigham & Houston (2012) Struktur modal adalah mengkombinasikan antara hutang, saham preferen dan saham biasa yang akan direncanakan oleh perusahaan untk meningkatkan modal.

Konstruk :

Struktur Modal merupakan pembiayaan permanen perusahaan yang mencerminkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).

2.1.2.4. Struktur Asset Perusahaan

Struktur Asset mengambarkan proporsi atau perbandingan antara total asset

tetap yang dimiliki oleh perusahaan dengan total asset perusahaan (Joni dan Lina,

2010). Pengertian lainnya yaitu, menurut Delcoure (2006) struktur asset

60

mencerminkan seberapa besar asset tetap mendominasi komposisi kekayaan atau asset

yang dimiliki perusahaan. Selain itu, struktur aset (tangibility) ini atau lebih dikenal

sebagai tangible assets menunjukkan komposisi relatif asset tetap yang dimiliki oleh

perusahaan. Struktur Asset merupakan salah salah satu faktor yang penting pada

capital structure atau keputusan pendanaan suatu perusahaan, karena apabila

perusahaan dihadapkan pada kondisi kesulitan keuangan dalam membayar hutangnya,

aset-aset berwujud atau asset tetap yang dimiliki perusahaan dapat bertindak sebagai

jaminan dalam memberikan jaminan kepada pihak luar yang memberikan pinjaman

(Umar Mai : 2006). Perusahaan yang sebagian besar modalnya tertanam dalam asset

tetap akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan dananya dari modal sendiri, tetapi

belum tentu juga karena menurut Joni dan Lina (2010), pengadaan untuk asset tetap

membutuhkan dana yang tidak sedikit dan memungkinkan munculnya beban

penambahan hutang bagi perusahaan. Asset tetap berwujud yang digunakan sebagai

jaminan dapat memperkecil resiko kebangkrutan perusahaan dan biaya kesulitan

keuangan untuk membiayai kegiatan perusahaan (Indrajaya, 2011). Disamping itu,

penggunaaan asset lancar jumlahnya terbatas. Semakin besar jumlah asset tetap yang

dimiliki perusahaan maka semakin besar pula jaminannya sehingga dapat

memberikan kepercayaan kepada pihak eksternal untuk memberikan pinjaman kepada

perusahaan dalam jumlah yang besar dan mengakibatkan tingkat penggunaan hutang

perusahaan akan lebih besar dari pada modal sendiri dalam struktur modal

perusahaan. Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa struktur asset memiliki

pengaruh terhadap struktur modal. Struktur aktiva merupakan perbandingan antara

aktiva tetap dan total aktiva yang dapat menentukan besarnya alokasi dana untuk

masing-masing komponen aktiva (Weston dan Brigham ; 2005:175). Menurut Van

der Wijst dan Thurik,(1993); Chittenden et al, (1996); Michaelas et al, (1999); Cassar

61

dan Holmas, (2003); Hall et al, (2004), menunjukkan bukti hubungan yang positif

antara struktur asset dan utang jangka panjang, dan hubungan negatif dengan utang

jangka pendek. Esperance et al (2003), menemukan adanya hubungan positif antara

struktur aset jangka panjang dan utang jangka pendek. Pada perusahaan manufaktur

sebagian besar dari modalnya tertanam dalam aktiva tetap, yang mengutamakan dari

pendanaan internal (modal sendiri), sedangkan pendanaan eksternal (utang) hanya

sebagai pelengkap. Myers (1984); Titman dan Wassels (1988); Rajan dan Zingales

(1995); Volgaris et al (2002); Bhaduri (2002), mengatakan sumber modal mana yang

akan digunakan perusahaan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

struktur aktiva yang dibentuk oleh perusahaan dan ukuran perusahaan. Perusahaan

yang sebagian besar modalnya tertanam dalam aktiva tetap, akan mengutamakan

pemenuhan kebutuhan modalnya dengan modal yang bersifat permanen, yaitu modal

sendiri, sedangkan modal asing bersifat sebagai pelengkap.

2.1.2.5. Pertumbuhan Asset Perusahaan

Asset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional

perusahaan. Semakin besar asset diharapkan semakin besar hasil operasional yang

dihasilkan oleh perusahaan. Pertumbuhan asset didefinisikan sebagai perubahan

tahunan dari total aktiva. Peningkatan asset yang diikuti peningkatan hasil operasi

akan semakin menambah kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan. Dengan

meningkatnya kepercayaan pihak luar (kreditur) terhadap perusahaan, maka proporsi

penggunaan sumber dana hutang semakin lebih besar daripada modal sendiri. Hal ini

didasarkan pada keyakinan kreditur atas dana yang ditanamkan kedalam perusahaan

dijamin oleh besarnya asset yang dimiliki perusahaan (Martono dan Harjito, 2013:

133).Perusahaan yang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam

melakukan investasi tentu selalu membutuhkan dana, disamping dana internal yang

62

tersedia, diperlukan juga tambahan dana eksternal seperti hutang. Perusahaan dengan

tingkat pertumbuhan yang cepat lebih banyak mengandalkan pada modal eksternal.

Hal ini disebabkan karena perusahaan yang tumbuh akan menunjukkan kekuatan diri

yang semakin besar pula, sehingga perusahaan akan memerlukan lebih banyak dana.

2.1.2.6. Ukuran Perusahaan

Ukuran Perusahaan adalah rata-rata total penjualan bersih untik tahun yang

bersangkutan sampai beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada

biaya variable dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum

pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil dari pada biaya variable dan biaya tetap

maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston : 2001)

Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang mengklasifikasikan besar atau kecilnya

suatu perusahaan dengan berbagai cara antara lain dinyatakan dalam total aktiva, total

penjualan, nilai pasar saham, dan lain-lain. Semakin besar aset yang dimiliki oleh

suatu perusahaan maka perusahaan dapat melakukan investasi untuk ekspansi bisnis

baik untuk aktiva lancar maupun aktiva tetap dan juga memenuhi permintaan produk.

Hal ini akan semakin memperluas pangsa pasar yang akan dicapai yang kemudian

akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan.

Sartono (2008: 249) mengemukakan bahwa perusahaan yang sudah

wellestablished (berkedudukan kuat) memiliki tingkat kemudahan dalam memperoleh

dana dari pasar modal dan nilai penjualan bersih perusahaan selama satu tahun

tertentu karena nilai penjualan bersih perusahaan cukup besar, maka dalam

pengukurannya dikonversikan dalam logaritma natural.

Perusahaan besar cenderung akan melakukan diversifikasi usaha lebih banyak

daripada perusahaan kecil. Oleh karena itu, kemungkinan kegagalan dalam

63

menjalankan usaha atau kebangkrutan akan lebih kecil. Ukuran perusahaan sering

dijadikan indikator bagi perusahaan. Dimana perusahaan dalam ukuran lebih besar

dipandang lebih mampu menghadapi krisis dalam menjalankan usahanya.

2.1.2.7. Risiko Return Saham

Return saham adalah pengembalian saham beserta hasilnya dari pihak broker

atau perusahaan kepada investor yang telah melakukan investasi pada perusahaan

tersebut akibat suatu hal. Bisa saja return saham dilakukan nkarena telah habis masa

kontrak kerja sama dan tidak dilakukan perpanjangan atau masalah lainnya, seperti

terjadinya likuidasi pada perusahaan.

Dalam dunia pasar saham, seorang investor yang melakukan investasi dengan

membeli saham tetu telah yakin betul dengan segala risiko dan segala ketidakpastian

yang akan didapatkan di masa mendatang. Sebab, permainan bursa saham sedikit

banyak memang mengandalkan keberuntungan, meskipun ada cara cara teknis yang

dapat digunakan oleh investor untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Return saham

(Jogiyanto ; 1998 ) dibagi menjadi dua jenis yaitu return ekspektasi, dan return

realisasi. Return ekspektasi ( expected return ) merupakan return yang sangat

diharapkan untuk masa yang akan datang, namun sifatnya masih belum pasti.

Sedangkan return realisasi ( realized return ) adalah pengembalian yang telah terjadi

dan dihitung berdasarkan data sejarah. Return ini sangat penting untuk mengukur

kinerja perusahaan serta sebagai dasar penentuan return dan juga risiko di masa yang

akan datang. Hasil dari return saham bisa berupa keuntungan atau kerugian, sebab

dalam investasi saham seorang investor selalu dihadaptkan pada risiko yang tidak

terduga.

64

Tabel 2.5 Pengukuran Struktur Modal

No Author Indikator Struktur Modal 1. Myers (1984) 1. Sumber Dana Internal

2. Hutang 2. Weston dan

Copeland(1992) 1. Keragaman hak suara relatif dalam manajemen 2. Klaim pada income dan asset 3. Maturitas 4. Perlakuan pajak

3. Gitman, 1997 1. Leverage Keuangan (Financial Leverage) 2. Rasio Hutang (Debt Ratio)

4. Miller (1977) 1. Keuntungan pajak 2. Hutang

5. Brailsford, Oliver, dan Pua (2002)

Pertumbuhan Tahunan dari Aset

6. Ross, Westerfield, dan Jaffe (2002)

1. Corporate taxes 2. Biaya ekuitas

7. Lasher (2003 : 431) Struktur modal optimal untuk perusahan bisnis mempunyai tingkat hutang pada kisaran antara 30%-50%.

8. Brigham dan Houston (2001)

1. Tidak terdapat agency cost 2. Tidak ada pajak 3. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang

sama dengan perusahaan 4. Investor mempunyai informasi yang sama seperti

manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depan 5. Tidak ada biaya kebangkrutan 6. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak

dipengaruhi oleh penggunaan dari hutang 7. Para investor adalah price-takers. 8. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga

pasar (market value). 9. Kraus dan Litzenberger

(1973) 1. Pajak atas laba perusahaan 2. Penalti kebangkrutan

10. Ozkan (2001) Modal kerja, ukuran perusahaan, growth opportunity, non-debt tax shield, profitabilitas, likuiditas dan lag leverage.

11. Fama and French (2002) ukuran perusahaan, growth opportunity, non-debt tax shield, profitabilitas dan target payout

12. Voulgaris (2002) Asset utilization, profitabilitas dan pertumbuhan.

13. Chen and Jung (2009) Profitabilitas dan pertumbuhan.

14. Brigham dan Houston (2011)

risiko bisnis, posisi pajak, fleksibilitas keuangan, dan konservatisme atau agresivitas

15. Kouki dan Said (2012) Variabel yang berpengaruh positif terhadap struktur modal adalah tangibility, growth opportunities, profitability, Non-Debt Tax Shields, Free Cash Flow. Sedangkan yg berpengaruh negative terhadap struktur modal adalah Firm size, bankruptcy risk, DEF dan timing the market.

65

16. Dede Hertina (2018) 1. Leverage Keuangan (Financial Leverage) 2. Rasio Hutang (Debt Ratio) 3. Pertumbuhan 4. Sumber Dana Internal

(Myers, Brailsford, Oliver, dan Pua, Gitman)

Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka construct Struktur

Modal merupakan pembiayaan permanen perusahaan yang mencerminkan

perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri. Indikator yang

digunakan dalam penelitian ini adalah leverage keuangan (financial leverage), rasio

hutang (debt ratio), pertumbuhan, dan sumber dana internal.

2.1.3. Kinerja Keuangan Perusahaan

2.1.3.1. Konsep Kinerja Keuangan Perusahaan

Kinerja Keuangan perusahaan merupakan salah satu variabel yang penting

tidak saja bagi perusahaan tapi juga bagi investor, kinerja keuangan perusahaan

menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola modalnya.

Sutrisno (2009:53) kinerja keuangan adalah prestasi yang dicapai perusahaan dalam

suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan tersebut.

Sedangkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007) kinerja keuangan adalah

kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya yang

dimilikinya. Rudianto (2013:189) berpendapat kinerja keuangan adalah hasil atau

prestasi yang telah dicapai oleh manajemen perusahaan dalam menjalankan fungsinya

mengelola aset perusahaan secara efektif selama periode tertentu. Kinerja keuangan

menurut Berlian (2003) adalah prospek atau masa depan, pertumbuhan dan potensi

perkembangan yang baik bagi perusahaan. Informasi kinerja keuangan diperlukan

untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi, yang mungkin dikendalikan

di masa depan dan untuk memprediksi kapasitas produksi dari sumber daya yang ada.

66

Kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk mengetahui dan

mengevaluasi sampai dimana tingkat keberhasilan perusahaan berdasarkan aktivitas

keuangan yang telah dilaksanakan. Kinerja keuangan perusahaan merupakan

pencapaian prestasi perusahaan pada suatu periode yang menggambarkan kondisi

kesehatan keuangan perusahaan dengan indikator kecukupan modal, likuiditas dan

profitabilitas.

Penilaian perusahaan dapat dilakukan dengan cara mengukur kinerjanya.

Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan

suatu metode atau pendekatan. Menurut Morse dan Davis (1996 : 391-392)

pengukuran kinerja perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengukuran

kinerja non keuangan (nonfinancial performance measurement) dan pengukuran

kinerja keuangan (financial performance measurement). Pengukuran kinerja non

keuangan umumnya disajikan tidak dalam satuan uang atau rupiah (nonfinancial

information), misal: volume penjualan, unit produksi, informasi yang berdasarkan jam

kerja dan jam mesin. Sedangkan pengukuran kinerja keuangan umumnya disajikan

dalam satuan uang atau rupiah (financial information). Pengukuran kinerja keuangan

dapat dinilai dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan laba

akuntansi, dengan alat ukur yang lazim digunakan adalah ROA, dan ROE (Bodie dan

Kane, 2002: 611), (2) pendekatan arus kas, merupakan perhitungan kinerja

keuangan berdasarkan arus kas bersih atau penerimaan kas dan pengeluaran

kas suatu perusahaan selama satu periode. Berdasarkan pendekatan kinerja arus

kas dapat diketahui kemampuan potensial keuntungan suatu perusahaan

(Warren, 1999:577), dan (3) pendekatan nilai tambah ekonomis (EVA), yaitu

suatu cara untuk menghitung nilai tambah ekonomis yang diperoleh perusahaan

67

secara riil dengan mengurangkan laba bersih operasi setelah pajak dengan

bagian keuntungan yang diberikan kepada pemilik dana (biaya ekuitas atas

suatu investasi) [Brigham dan Houston, 2001:58].

Diantara ketiga pendekatan pengukuran kinerja keuangan perusahaan di atas,

maka dalam penelitian ini hanya akan digunakan pendekatan nilai tambah ekonomis

(Economic Value Added atau EVA) untuk pengukuran kinerja perusahaan. Dasar

pertimbangan yang digunakannya adalah bahwa EVA merupakan alat pengukur

kinerja keuangan yang paling mendekati dibandingkan dengan alat pengukur lainnya

dalam melihat keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari sebuah perusahaan.

Menurut Sidharta Utama (1997:10-13) keunggulan dan kelemahan

pengukuran kinerja keuangan dengan menggunakan nilai tambah ekonomis atau

EVA, adalah sebagai berikut:

Keunggulan Economic Value Added :

1) Hasil investasi yang dihitung dengan menggunakan EVA akan menunjukkan basil

investasi yang riil.

2) Tingkat risiko suatu investasi akan lebih mudah diketahui melalui biaya ekuitas

yang terjadi.

3) Perusahaan akan lebih memperhatikan struktur permodalannya, karena pada

umumnya biaya ekuitas saham relatif lebih besar jika dibandingkan dengan biaya

hutang. Hal ini sering diabaikan oleh perusahaan, karena biaya ekuitas tidak

muncul dalam laporan laba-rugi, sehingga seolah-olah dana ekuitas ini gratis.

4) Dapat digunakan untuk mengidentifikasikan investasi atau proyek yang return

yang lebih tinggi dibanding biaya ekuitas proyek tersebut.

68

Kelemahan Economic Value Added :

1) EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu periode tertentu.

2) Secara konseptual EVA lebih unggul dari pada pengukur kinerja dengan

pendekatan tradisional, namun secara praktis EVA relatif sulit untuk diterapkan,

terutama bagi perusahaan yang belum go public.

Penggunaan alat ukur EVA untuk mengetahui kinerja perusahaan, dilakukan

oleh Lee (1996) yaitu nilai perusahaan ditentukan dengan menjumlahkan total modal

yang diinvestasikan dengan nilai sekarang yang diharapkan. Karena EVA merupakan

residu atau surplus pendapatan yang tersisa setelah mengurangkan cash flow dengan

nilai total biaya modal perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang. Jika

EVA positif, perusahaan mampu menciptakan kesejahteraan pemegang saham dan

jika EVA negatif menunjukan bahwa perusahaan tersebut berkapasitas sebagai

penghancur dari kesejahteraan pemegang saham. Untuk jangka panjang, hanya

perusahaan-perusahaan yang mampu meningkatkan modal atau kesejahteraan

pemegang saham yang akan tetap bertahan hidup.

Peneliti yang mendukung perhitungan dengan EVA mengklaim bahwa

EVA berkorelasi dengan tingkat pengembalian saham. EVA memperoleh harga

saham (Stewart, 1995; Medeiros, 2005) lebih baik daripada indikator kinerja berbasis

akuntansi lainnya. Lefkowitz (1999) menganalisis perusahaan AS dan hasil penelitian

tersebut mendukung hipotesis Stern-Stewart, yaitu, EVA lebih baik dan berkorelasi

dengan tingkat pengembalian saham dibandingkan dengan ukuran kinerja tradisional.

Mereka menemukan bahwa EVA adalah panduan yang cukup andal untuk memahami

nilai perusahaan. Machuga dkk. (2002) dalam penelitiannya menyoroti bahwa EVA

dapat digunakan untuk meningkatkan prediksi pendapatan di masa depan. Lehn &

Makhija (1997) meneliti tingkat korelasi antara ukuran kinerja dan imbal hasil pasar

69

saham yang berbeda.

Hasilnya menunjukkan bahwa EVA adalah ukuran yang sangat berkorelasi

dengan return saham. Berbagai Studi juga dilakukan pada uji isi informasi

inkremental EVA dan memberikan bukti bahwa EVA menambahkan kekuatan

penjelasan yang signifikan terhadap EPS dalam menjelaskan tingkat pengembalian

saham. Bao dan Bao (1998) mempelajari kegunaan EVA dan pendapatan ekonomi

abnormal perusahaan AS dan hasilnya menunjukkan bahwa EVA merupakan faktor

signifikan dalam return pasar dan kekuatan penjelasnya lebih tinggi daripada

pendapatan akuntansi. Chen dan Dodd (1997) berpendapat bahwa ukuran EVA

memberikan informasi yang relatif lebih banyak daripada ukuran tradisional dari

keuntungan akuntansi. Mereka juga menemukan bahwa variabel EVA dan RI

(Residual Income) sangat berkorelasi dan identik dalam hal hubungan dengan tingkat

pengembalian saham. Worthington dan West (2004) memberikan bukti Australia

mengenai isi informasi EVA dan menyimpulkan bahwa return saham lebih dekat

terkait dengan EVA daripada pendapatan residual, pendapatan dan arus kas bersih.

Nikhil Chandra Shil (2009 : 169) menyatakan bahwa EVA adalah ukuran

kinerja yang paling terkait langsung dengan penciptaan kekayaan pemegang saham

dari waktu ke waktu, penggunaan EVA adalah memaksimalkan nilai bagi pemegang

saham

Ada beberapa penelitian yang tidak mendukung klaim bahwa EVA memberikan

return saham yang lebih baik. (Biddle et al., 1997 dan 1999) menganalisis sampel

perusahaan selama periode tahun 1984-1993 dengan membandingkan tingkat

pengembalian pasar saham terhadap EVA, Residual Income dan Operating Cash

Flow. Hasilnya tidak mendukung EVA yang mendominasi ukuran kinerja tradisional

dalam hubungannya dengan tingkat pengembalian pasar saham. Ismail (2006)

70

melakukan studi EVA dalam hubungannya antara return saham dan laba akuntansi

menemukan bahwa laba operasi bersih setelah pajak dan laba bersih mengungguli

EVA dalam menjelaskan tingkat pengembalian saham.

Peterson dan Peterson (1996) menganalisis ukuran kinerja tradisional dan

nilai tambah serta hubungannya dengan tingkat pengembalian saham. Temuan

mereka menyatakan bahwa ukuran tradisional tidak secara empiris kurang terkait

dengan tingkat pengembalian saham daripada pengembalian pada nilai tambah.

Kyriazis dan Anastassis (2007) dalam penelitiannya terhadap perusahaan Yunani

menyimpulkan bahwa tes konten informasi menunjukkan bahwa pendapatan bersih

dan operasional tampaknya lebih berharga daripada EVA. Komponen EVA hanya

menambahkan konten informasi marjinal dibandingkan dengan keuntungan akuntansi.

Komponen Perhitungan EVA :

Formula yang digunakan untuk menghitung EVA (Stewart, 1991: 137) adalah

sebagai berikut:

EVA(denominasi) = NOPAT – c* x Capital

EVA(%) = (r - c*) x 100% (2.1.)

di mana:

NOPAT = Laba bersih operasi setelah pajak (Net Operating Profit After Tax)

C* = Biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost Of Capital)

Capital = Jumlah dana yang terdiri atas hutang berbunga dan ekuitas saham yang

tersedia di perusahaan untuk mendanai usaha perusahaan.

r = NOPAT : Capital

Biaya Modal (Cost Of Capital)

Biaya ekuitas suatu perusahaan adalah suatu tingkat keuntungan yang harus

dicapai agar dapat memuaskan keinginan investor. Biaya modal suatu perusahaan

71

bukanlah biaya tunai karena merupakan ongkos kesempatan (opportunity cost), yaitu

total pengembalian yang diharapkan oleh penanam modal perusahaan jika uang

mereka diinvestasikan dalam saham dan obligasi yang mempunyai risiko sebanding.

Biaya modal ini harus diperhitungkan untuk menciptakan nilai. Makin besar

risiko perusahaan yang ditanggung investor makin besar pula tingkat pengembalian

yang harus diperoleh pemilik dana sebelum nilai tercipta dan semakin tinggi pula

tingkat biaya modal.

Menurut Stewart biaya modal dibedakan dalam 4 (empat) katagori, yaitu :

1. Biaya modal atas risiko bisnis (the cost of capital for business risk) adalah tingkat

pengembalian yang diharapkan investor sehingga kompensasi atas berubah-

ubahnya nilai NOPAT.

2. Biaya meminjam (cost of borrowing) ialah tingkat pengembalian yang diharapkan

investor atas adanya hutang.

3. Biaya modal saham (cost of equity) ialah tingkat pengembalian yang diharapkan

investor saham sehingga kompensasi atas nilai income available to common yang

berubah-ubah.

4. Biaya rata-rata tertimbang modal (c*) merupakan penjumlahan secara proporsional

dari biaya modal hutang dan biaya modal saham. Biaya ini merupakan tingkat

bunga untuk mendiskontokan anus kas ke atas nilai sekarang. Merangking proyek-

proyek investasi dan memutuskan besarnya tingkat pengembalian dari modal yang

digunakan.

Biaya modal menurut Damodaran (2001: 212) adalah tingkat keuntungan yang

disyaratkan untuk berbagai sumber keuangan yang digunakan oleh perusahaan. Biaya

modal secara keseluruhan merupakan biaya modal rata-rata tertimbang dari tingkat

hasil biaya komponen yang disyaratkan. Dengan demikian yang dimaksud biaya

72

modal merupakan tingkat keuntungan yang disyaratkan atas berbagai sumber dana

yang digunakan dalam perusahaan, seperti biaya hutang, biaya saham preferen, biaya

saham biasa, dan biaya laba yang ditahan.

Biaya modal rata-rata tertimbang perlu dihitung setelah perhitungan biaya

komponen secara individual karena biaya modal rata-rata tertimbang merupakan

penjumlahan secara proporsional dari seluruh biaya komponen yang membentuk

somber dana perusahaan. Untuk menetapkan biaya modal secara keseluruhan

diperlukan dasar penimbang yang berupa proporsi dan masing-masing komponen

dana.

Formula yang digunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang

(Weighted Average Cost Of Capital) adalah sebagai berikut:

C* = (wp x Kp) + (wi x ki)+ (ws x ks) (2.2)

di mana:

C* = biaya ekuitas rata-rata tertimbang

wp = proporsi saham preferen dalam struktur modal

kp = biaya saham preferen

wi = proporsi pinjaman jangka panjang dalam struktur modal

ki = biaya hutang setelah pajak

ws = proporsi saham biasa dalam struktur modal

ks = biaya ekuitas saham biasa

Dalam penelitian ini biaya modal rata-rata tertimbang hanya memasukkan

unsur biaya hutang jangka panjang dan biaya ekuitas saham biasa, dengan formula

sebagai berikut :

C* = (wi x ki) + (ws x ks) (2.3)

di mana : wi+ ws = 1

73

Biaya hutang (cost of debt) setelah pajak (ki) menunjukan berapa biaya. yang

harus ditanggung oleh perusahaan yang menggunakan dana dan kreditur. Formula

yang digunakan untuk menghitung biaya bunga adalah sebagai berikut:

Ki = kd (1-t) (2.4)

Di mana:

Ki = biaya utang setelah pajak t = tarif pajak

Kd = tingkat bunga

Perhitungan biaya bunga didasarkan pada biaya bunga setelah pajak dengan

alasan bahwa biaya bunga bersifat tax deductible, penaksiran arus kas untuk penilaian

profitabilitas investasi didasarkan atas &sat- setelah pajak.

Sedangkan biaya ekuitas saham biasa (cost of common equity), merupakan

tingkat keuntungan yang disyaratkan atas investasi pemilik saham biasa. Pendekatan

yang digunakan untuk menghitung biaya ekuitas saham biasa dalam penelitian ini

menggunakan Pendekatan Model Harga Aktiva Ekuitas (Capital Assets Pricing

Model atau CAPM). CAPM mengasumsikan bahwa hanya risiko pasar yang relevan

untuk dipertimbangkan, sedangkan risiko yang tidak sistematik dianggap dapat

dihilangkan melalui diversifikasi. Dengan demikian premium risiko yang diminta

oleh investor didasarkan semata-mata pada beta saham (β) dan premium risiko pasar.

Formula yang digunakan untuk menghitung biaya ekuitas saham dengan

menggunakan pendekatan CAPM, sebagai berikut:

Ks = Rf + (Rm - Rf) (2.5)

Dimana:

Ks = Tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik ekuitas biasa.

Rf = Tingkat keuntungan bebas risiko, ditunjukkan dengan bunga Sertifikat Bank

Indonesia.

74

Rm = Tingkat keuntungan pasar, ditunjukkan oleh Indeks Harga Saham Gabungan

(ISHG), dengan cara menghitung perubahan tingkat bunga tersebut dari

periode sebelumnya.

β = Risiko sistematis saham biasa.

Cara menghitung risiko sistematis, menggunakan formula sebagai berikut:

𝛽 = !"!! ! (!)!!!!(!)!

(2.6)

Dimana:

M = (Rm – Rf) = kelebihan perolehan pasar

J = (Rj – Rf) = kelebihan perolehan saham di atas bunga bebas risiko

Rj = Tingkat keuntungan individu masing-masing saham perusahaan.

Kinerja keuangan menurut Sawir (2005:1) adalah kondisi yang mencerminkan

keadaan keuangan suatu perusahaan berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang

ditetapkan. Sedangkan kinerja keuangan menurut IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)

(2007) adalah kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber

daya yang dimilikinya. Definisi dari kinerja keuangan perusahaan menurut beberapa

ahli dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.6 Definisi Kinerja Keuangan Perusahaan

NO Author Definisi

1. Stewart (1991) EVA (nilai tambah ekonomis) adalah suatu alat pengukur kinerja keuangan yang paling riil dibandingkan dengan alat pengukur lainnya dalam melihat keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari sebuah perusahaan

2. Morse dan Davis (1996) Pengukuran kinerja perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengukuran kinerja non keuangan (nonfinancial performance measurement) dan pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement).

75

3. Lee (1996) Penggunaan alat ukur EVA untuk mengetahui kinerja perusahaan yaitu nilai perusahaan ditentukan dengan menjumlahkan total modal yang diinvestasikan dengan nilai sekarang yang diharapkan

Konstruk : Kinerja Keuangan Perusahaan memperlihatkan ukuran hasil dari suatu proses yang dilakukan selama periode tertentu.

Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).

2.1.3.2. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan

Morse dan Davis (1996; 391-392) menyatakan bahwa pengukuran

kinerja perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengukuran kinerja non

keuangan. Pengukuran kinerja keuangan umumnya disajikan dalam satuan

uang atau rupiah (financial information). Pengukuran kinerja keuangan dapat

dinilai dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan laba

akuntansi, dengan alat ukur yang lazim digunakan adalah ROA, dan ROE

(Bodie dan Kane, 2002: 611), (2) pendekatan arus kas, merupakan perhitungan

kinerja keuangan berdasarkan arus kas bersih atau penerimaan kas dan

pengeluaran kas suatu perusahaan selama satu periode. Berdasarkan

pendekatan kinerja arus kas dapat diketahui kemampuan potensial keuntungan

suatu perusahaan (Warren, 1999:577), dan (3) pendekatan nilai tambah

ekonomis (EVA), yaitu suatu cara untuk menghitung nilai tambah ekonomis

yang diperoleh perusahaan secara riil dengan mengurangkan laba bersih

operasi setelah pajak dengan bagian keuntungan yang diberikan kepada pemilik

dana (biaya ekuitas atas suatu investasi) [Brigham dan Houston, 2001:58].

76

Diantara ketiga pendekatan pengukuran kinerja keuangan perusahaan di atas,

maka dalam penelitian ini hanya akan digunakan pendekatan nilai tambah ekonomis

(economic value added atau EVA) untuk pengukuran kinerja perusahaan. Dasar

pertimbangan yang digunakannya adalah bahwa EVA merupakan alat pengukur

kinerja keuangan yang paling mendekati dibandingkan dengan alat pengukur lainnya

dalam melihat keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari sebuah perusahaan.

Penggunaan alat ukur EVA untuk mengetahui kinerja perusahaan, dilakukan

oleh Lee (1996) yaitu nilai perusahaan ditentukan dengan menjumlahkan total modal

yang diinvestasikan dengan nilai sekarang yang diharapkan. Karena EVA merupakan

residu atau surplus pendapatan yang tersisa setelah mengurangkan cash flow dengan

nilai total biaya modal perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang. Jika

EVA positif, perusahaan mampu menciptakan kesejahteraan pemegang saham dan

jika EVA negatif menunjukan bahwa perusahaan tersebut berkapasitas sebagai

penghancur dari kesejahteraan pemegang saham. Untuk jangka panjang, hanya

perusahaan-perusahaan yang mampu meningkatkan modal atau kesejahteraan

pemegang saham yang akan tetap bertahan hidup.

Peneliti yang mendukung perhitungan dengan EVA mengklaim bahwa

EVA berkorelasi dengan tingkat pengembalian saham. EVA memperoleh harga

saham (Stewart, 1995; Medeiros, 2005) lebih baik daripada indikator kinerja berbasis

akuntansi lainnya. Lefkowitz (1999) menganalisis perusahaan AS dan hasil penelitian

tersebut mendukung hipotesis Stern-Stewart, yaitu, EVA lebih baik dan berkorelasi

dengan tingkat pengembalian saham dibandingkan dengan ukuran kinerja tradisional.

Mereka menemukan bahwa EVA adalah panduan yang cukup andal untuk memahami

nilai perusahaan. Machuga dkk. (2002) dalam penelitiannya menyoroti bahwa EVA

dapat digunakan untuk meningkatkan prediksi pendapatan di masa depan. Lehn &

77

Makhija (1997) meneliti tingkat korelasi antara ukuran kinerja dan imbal hasil pasar

saham yang berbeda.

Hasilnya menunjukkan bahwa EVA adalah ukuran yang sangat berkorelasi

dengan return saham. Berbagai Studi juga dilakukan pada uji isi informasi

inkremental EVA dan memberikan bukti bahwa EVA menambahkan kekuatan

penjelasan yang signifikan terhadap EPS dalam menjelaskan tingkat pengembalian

saham. Bao dan Bao (1998) mempelajari kegunaan EVA dan pendapatan ekonomi

abnormal perusahaan AS dan hasilnya menunjukkan bahwa EVA merupakan faktor

signifikan dalam return pasar dan kekuatan penjelasnya lebih tinggi daripada

pendapatan akuntansi. Chen dan Dodd (1997) berpendapat bahwa ukuran EVA

memberikan informasi yang relatif lebih banyak daripada ukuran tradisional dari

keuntungan akuntansi. Mereka juga menemukan bahwa variabel EVA dan RI

(Residual Income) sangat berkorelasi dan identik dalam hal hubungan dengan tingkat

pengembalian saham. Worthington dan West (2004) memberikan bukti Australia

mengenai isi informasi EVA dan menyimpulkan bahwa return saham lebih dekat

terkait dengan EVA daripada pendapatan residual, pendapatan dan arus kas bersih.

Nikhil Chandra Shil (2009 : 169) menyatakan bahwa EVA adalah ukuran

kinerja yang paling terkait langsung dengan penciptaan kekayaan pemegang saham

dari waktu ke waktu, penggunaan EVA adalah memaksimalkan nilai bagi pemegang

saham

Ada beberapa penelitian yang tidak mendukung klaim bahwa EVA

memberikan return saham yang lebih baik. (Biddle et al., 1997 dan 1999)

menganalisis sampel perusahaan selama periode tahun 1984-1993 dengan

membandingkan tingkat pengembalian pasar saham terhadap EVA, Residual Income

dan Operating Cash Flow. Hasilnya tidak mendukung EVA yang mendominasi

78

ukuran kinerja tradisional dalam hubungannya dengan tingkat pengembalian pasar

saham. Ismail (2006) melakukan studi EVA dalam hubungannya antara return saham

dan laba akuntansi menemukan bahwa laba operasi bersih setelah pajak dan laba

bersih mengungguli EVA dalam menjelaskan tingkat pengembalian saham.

Selanjutnya, penelitian ini menyatakan bahwa akrual dan arus kas operasi memiliki

informasi inkremental yang signifikan daripada EVA. Peterson dan Peterson (1996)

menganalisis ukuran kinerja tradisional dan nilai tambah serta hubungannya dengan

tingkat pengembalian saham. Temuan mereka menyatakan bahwa ukuran tradisional

tidak secara empiris kurang terkait dengan tingkat pengembalian saham daripada

pengembalian pada nilai tambah. Kyriazis dan Anastassis (2007) dalam penelitiannya

terhadap perusahaan Yunani menyimpulkan bahwa tes konten informasi

menunjukkan bahwa pendapatan bersih dan operasional tampaknya lebih berharga

daripada EVA. Komponen EVA hanya menambahkan konten informasi marjinal

dibandingkan dengan keuntungan akuntansi.

Lauterbach dan Vaninsky (1999 : 189-201 ) memiliki pendapat berbeda

tentang variabel lain yang mempengaruhi tingkat kinerja perusahaan menurut teori

keagenan. Menurut mereka, kinerja perusahaan dibatasi oleh size dan risiko return

saham perusahaan. Perusahaan yang mempunyai ukuran besar (size) secara khas

mempunyai net income yang lebih besar dari pada perusahaan dengan ukuran kecil.

Perusahaan dengan size yang besar memberikan kompensasi bagi perusahaan itu

untuk memilih anggota tim manajemen yang baik dan berpengalaman. Manager yang

berpengalaman akan meminta gaji yang relatif tinggi. Perusahaan mempunyai

kesempatan menyeleksi dalam input manager. Pembayaran yang tinggi pada manager

yang mempunyai keterampilan dan kemampuan yang tinggi, diharapkan memberikan

79

laba yang superior. Dengan demikian ukuran perusahaan mempunyai hubungan

positif dengan kinerja (Lauterbach dan Vaninsky, 1999 : 189-201).

Hubungan risiko return saham, yang diukur dengan standar deviasi dan return

saham, dengan kinerja saham memiliki hubungan negatif dengan kinerja perusahaan.

Risiko return saham merupakan proksi dan total risiko (Lauterbach dan Vaninsky,

1999 : 189-201).

Titman dan Wessels (1988) menganalisis explanatory power dari beberapa

teori struktur modal yang optimal dengan menggunakan pendekatan teknik analisis

faktor. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap struktur modal optimum adalah

tangibility (struktur aset), non-debt tax shield, pertumbuhan, keunikan, klasifikasi

industri, ukuran, volatilitas earning, dan profitabilitas. Penelitian dilakukan di

Amerika Selatan untuk periode waktu 1974 hingga 1982. Hasil penelitian ini

mengindikasikan bahwa biaya transaksi merupakan determinasi penting dalam pilihan

struktur modal. Rasio hutang jangka pendek terkait secara negatif dengan ukuran

perusahaan, mereflesikan relatif tingginya biaya transaksi bagi perusahaan kecil jika

ingin menggunakan instrumen keuangan jangka panjang.

Hasil penelitian tidak menghasilkan dukungan terhadap efek non-debt tax

shield volatilitas, struktur asset (nilai kolateral), atau pertumbuhan dimasa depan

terhadap rasio hutang. Namun hal ini disebabkan oleh indikator yang kurang tepat

sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.

Berger dan Patti (2003), yang meneliti hubungan struktur modal dengan

kinerja perusahaan pada industri perbankan, mengelompokkan bank

berdasarkan struktur kepemilikan saham. Kepemilikan saham dikelompokkan

menjadi tiga yaitu Bank yang dikendalikan oleh dewan pengurus, pemegang

saham outsider di atas 5%, dan pemegang saham institusi. Hasil uji

80

menyimpulkan bahwa pemegang saham institusi mempunyai efek pemantauan

(monitoring) yang baik yang dapat mengurangi biaya keagenan. Hasil

penelitiannya juga konsisten dan berhubungan antara kinerja dengan

kepemilikan insider.

Ang, Cole, dan Lin (2000) menemukan bukti bahwa peningkatan

monitoring oleh bank, akibat meningkatnya jumlah hutang, menyebabkan

kinerja perusahaan meningkat pula. Soliha dan Taswan (2002) menyebutkan

adanya hubungan positif yang tidak signifikan antara kebijakan hutang dalam

struktur modal perusahaan dengan nilai perusahaan.

Hatfield, Cheng, dan Davidson (1994) menguji pengaruh struktur modal

berdasarkan klasifikasi industri terhadap nilai perusahaan. Klasifikasi industri

didasarkan pada “value line industrial classification”, yaitu perusahaan

dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok perusahaan yang struktur modal

perusahaannya (leverage ratio) di atas dan dibawah dari rata-rata leverage ratio

industri (rata-rata leverage ratio seluruh sampel).

Kuznetsov dan Muravyev (2001) menyimpulkan bahwa ada hubungan positif

antara konsentrasi kepemilikan saham tertinggi terhadap kinerja yang diukur dengan

produktivitas tenaga kerja. Lemon dan Lins (2003) yang meneliti hubungan struktur

kepemilikan saham dengan nilai perusahaan selama periode krisis di delapan negara

Asia Timur menjelaskan bahwa struktur kepemilikan saham oleh manajemen hanya

pada level kepemilikan yang tinggi saja mampu menaikkan kinerja menjadi 20%.

Soliha dan Taswan (2002) menemukan hubungan positif yang signifikan antara

insider ownership dan nilai perusahaan.

81

Titman dan Wessels (1988) menggunakan variabel struktur aset dalam

mengukur struktur modal. Struktur aset menunjukkan nilai jaminan dari aset

perusahaan (collateral value of assets) (Titman dan Wessels, 1988). Semakin

tinggi aset perusahaan yang dapat dijaminkan, semakin besar hutang dengan

jaminan (secured debt) yang dapat diperoleh perusahaan. Perusahaan yang

memiliki jaminan akan cenderung menggunakan hutang lebih besar. Investor

hutang (kreditor) akan selalu memberikan pinjaman bila ada jaminan

(Wahidahwati, 2001). Brigham dan Gapenski (1996) menyatakan bahwa secara

umum perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang, akan lebih mudah

mendapatkan pinjaman dari pada perusahaan yang tidak memiliki jaminan

terhadap hutang.

Myers dan Majluf (1984) menemukan keunggulan dari struktur aset

untuk menerbitkan hutang. Menurutnya, karena manajemen menguasai

informasi perusahaan lebih baik dari pada pemegang saham, maka penerbitan

saham baru akan menimbulkan biaya keagenan akibat informasi yang tidak

seimbang. Salah satu jalan keluar untuk menghindari biaya keagenan antara

manajemen dengan pemegang saham adalah dengan menerbitkan hutang

dengan jaminan (secured debt) properti.

Dengan alasan ini maka perusahaan yang memiliki aset yang dapat digunakan

sebagai jaminan (collateral assets) untuk memperoleh hutang (secured debt)

memungkinkan menerbitkan lebih banyak hutang untuk memperoleh kesempatan

investasi yang lebih baik. Ini berarti hutang sebagai kompromi antara pihak

manajemen dengan pemegang saham.

82

Hasil penelitian oleh Myers (1977) menyebutkan bahwa pemegang saham dari

perusahaan yang leverage terdorong melakukan investasi kurang optimal

(suboptimal) untuk mengambil alih kesejahteraan bondholders. Adanya dorongan ini

menyebabkan hubungan positif antara debt ratio dengan kapasitas perusahaan untuk

menjaminkan hutangnya.

Hasil penelitian Titman dan Wessels (1988) disimpulkan bahwa struktur

aset perusahaan, volatilitas dan growth, tidak berpengaruh signifikan terhadap

struktur modal. Namun penelitian ini masih meragukan apakah indikator yang

digunakan cukup menggambarkan atribut menurut teori.

Wahidawati (2001) menguji pengaruh struktur kepemilikan saham

terhadap kebijakan hutang perusahaan, dengan menggunakan struktur aset

sebagai variabel kontrol. Hasil uji pengaruh secara simultan menunjukkan

pengaruh yang signifikan. Secara partial struktur aset berpengaruh positif

terhadap rasio hutang.

Brailsford, Oliver dan Pua (2002) menyatakan untuk mengukur struktur modal

menurut teori keagenan, menggunakan variabel pertumbuhan tahunan dari aset

(growth). Pertumbuhan aset (growth) adalah pertumbuhan rata-rata dari total aset

selama tiga tahun. Titman dan Wessels (1988) berargumentasi bahwa tingkat

pertumbuhan yang tinggi menunjukkan fleksibilitas yang lebih tinggi dalam investasi

dimasa yang akan datang dan menawarkan kesempatan yang lebih besar untuk

mengambil alih kesejahteraan dari debtholder. Jadi growth berhubungan terbalik

dengan debt ratio. Alternatifnya adalah tingkat pertumbuhan yang tinggi

menunjukkan kemampuan laba dan sukses perusahaan dalam mengelola sumber daya

dalam perusahaan. Ini dapat dikaitkan dengan informasi asimetris yang rendah

(informasi tersebar merata) antar manajemen dan investor ekuitas (Myers dan Majluf :

83

1984) karenanya lebih menyukai ekuitas dari pada hutang. Jadi umumnya ada

hubungan negatif antara growth dengan hutang, arus kas bebas (free cash flow) dan

profitabilitas.

Tabel 2.7 Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan

No Author Indikator Kinerja Keuangan Perusahaan

1. Fama (1978) Harga pasar saham

2. Lee (1996) Economic Value Added

3. Morse dan Davis (1996) Pengukuran kinerja non keuangan (nonfinancial performance measurement) dan pengukuran kinerja keuangan (financial performance measurement).

4. Lehn & Makhija (1997) Meneliti tingkat korelasi antara ukuran kinerja dan imbal hasil pasar saham yang berbeda.

5. Lauterbach dan Vaninsky (1999)

Size dan risiko return saham perusahaan.

6. Stewart, 1995; Medeiros, 2005)

Economic Value Added (pendekatan nilai tambah ekonomis)

7. Warren (1999) Pendekatan arus kas.

8. Brigham dan Houston (2001) Economic Value Added ( pendekatan nilai tambah ekonomis)

9. Jensen (2001) Nilai ekuitas, hutang, warrant dan saham preferen

10. Brailsford, Oliver dan Pua (2002)

Variabel kontrol pertumbuhan tahunan dari aset (growth).

11 Bodie dan Kane (2002) ROA dan ROE.

12. Nikhil Chandra Shil (2009) Economic Value Added (pendekatan nilai tambah ekonomis )

13. Dede Hertina (2018) Economic Value Added (pendekatan nilai tambah ekonomis ) (Lee, Stewart, Medeiros, Nikhil Chandra Shil ,Brigham dan Houston)

Sumber : Dari berbagai Jurnal Internasional (2018).

Dari beberapa pengertian diatas, maka construct kinerja keuangan perusahaan

adalah memperlihatkan ukuran hasil dari suatu proses yang dilakukan selama periode

tertentu. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah Economic Value

84

Added atau melalui pendekatan nilai tambah ekonomis (Lee, Stewart, Medeiros,

Nikhil Chandra Shil, Brigham dan Houston).

2.2. Posisi Penelitian

Tabel 2.8 Penelitian Empiris Sebelumnya

No Peneliti, Judul dan Tahun

Variabel Objek Penelitian Metode Hasil

1. Jensen dan Mecking : Managerial Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure (1976)

Variabel Bebas: - Business Risk - Profitability - R & D - Fixed Asset - Growth - Size - Division - Investment

Variabel Tidak Bebas:

Struktur Modal

Dewan perusahaan yang diukur dengan Ukuran dewan direksi (BOARD SIZE) dan Komisaris Independen

Metode purposive sampling

Faktor yang mempengaruhi struktur modal yaitu profitability dan R&D

2. Sheridan Titman; Roberto Wessels : “The Determinants of Capital Structure Choice“ (1988)

Variabel Dependen : pertumbuhan total aset (GTA) dan pengeluaran barang modal melebihi total aset (CEITA), keunikan, perisai pajak non-hutang, struktur aset, Variabel Independen : Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas

469 perusahaan pada Departemen Tenaga Kerja, Biro Statistik Ketenagakerjaan dan Penghasilan AS Periode tahun 1974-1982

Regresi Proxy

Utang berhubungan negatif dengan keunikan dari lini bisnis perusahaan, ukuran perusahaan dan profitabilitas yang diukur dengan nilai pasar ekuitas

3. Bathala, Moon, dan Roa (1994) “Managerial Ownership, Debt Policy, and the Impact of Institutional Holdings”

Variabel Bebas: - EBIT - Depreciation - Rasio R&D

dan Advertising terhadap Sales

- Pertumbuhan Aset

- Kepemilikan managerial

- Kepemilikan Institusi

Variabel Tidak Bebas: (Debt to Equity) atau Struktur Modal

Memasukkan Variabel: - EBIT - Depreciation

Rasta R&D dan Advertising terhadap Sales

Tidak memasukkan Variabel:

Struktur Aset

Regresi Variabel-variabel Independen yang digunakan dalam model berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan

4. Lauterbach dan Vaninsky (1999) “Ownership Structure and Firm Performance”

Variabel Bebas: - EBIT - Depreciation - Rasio R&D

dan Advertising terhadap Sales

- Pertumbuhan

Memasukkan Variabel: - Kepemilikan

Manajerial - Kepemilikan

institusi - Size

Teknik Data Envelopment Analysis.

Kepemilikan manajerial, kepemilikan Institutional, dan size, berpengaruh pada kinerja perusahaan.

85

Aset - Kepemilikan

managerial - Kepemilikan

Institusi Variabel Tidak Bebas: Struktur Modal

Tidak Memasukkan Variabel: - Struktur Modal

Volatilitas

5. Ang, Cole, dan Lin (2000)

“Agency Cost and Ownership Structure”

Variabel Bebas: - Kepemilikan

manajerial - Kepemilikan

institusi - Pertumbuhan

Aset Variabel Tidak Bebas: Biaya Agency

Penggunaan biaya agency sebagai variabel tidak bebas

SEM Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, berpengaruh terhadap biaya agency

6. Kuznetsov dan Muravyev (2001) “Ownership Structure and Firm Performance in Russia”

Variabel bebas: Inflasi Size Kepemilikan institusi Kepemilikan manajerial

Variabel tidak bebas: Kinerja Perusahaan

Memasukkan Variabel: - Inflasi

Tidak Memasukkan Variabel: Volatility

OLS Inflasi, Size, Kepemilikan institusi, dan Kepemilikan manajerial, mempengaruhi Kinerja Perusahaan

7. Brailsford, Oliver, dan Pua (2002) “On the Relation between Ownership Structure and Capital Structure”

Variabel Bebas: - Management

Share Ownership

- External Block Ownership

- Pertumbuhan Aset

Variabel Tidak Bebas: (Debt to Equity) atau Struktur Modal

Tidak memasukkan Variabel: Struktur Aset

Dividend discount model (DDM).

Management Share Ownership dan External Block Ownership berhubungan dengan struktur modal

8. Berger dan Patti (2002) “Capital Structure and Firm Performance”

Variabel Bebas: - Proporsi

kepemilikan institusi

- Dummy Ukuran Perusahaan

- Return on Equity

Variabel Tidak Bebas: Kinerja Perusahaan

Memasukkan Variabel: - Return on

Equity - Dummy Ukuran

Perusahaan Tidak memasukkan Variabel: Struktur Modal - Volatilitas

Regresi moderasian

Kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, dummy mean perusahaan, dan return on equity berpengaruh terhadap kinerja perusahaan

9. Andrew C. Worthington and Tracey West : Australian Evidence Concerning the Information Content of Economic Value-Added (2004)

110 perusahaan Australia selama periode 1992-1998

Data time-series, cross-sectional

Perhitungan EVA ternyata lebih signifikan dalam menjelaskan perubahan EVA

86

10. Lawrence D. Brown, J. Mack Robinson Distinguished, Marcus L. Caylor : “Corporate Governance and Firm Performance “ (2004)

Gov-Score G-Index

Gov-Scores untuk 2.327 perusahaan perorangan pada 1 Februari 2003 dengan menggunakan data yang diperoleh dari Institutional Shareholder Services (ISS)

cross-sectional. Mengkorelasikan Gov- Score menggunakan korelasi Pearson dan Spearman.

Tata pemerintahan yang baik, yang diukur dengan menggunakan kompensasi eksekutif dan direktur, sangat terkait dengan kinerja yang baik. Gov-Score lebih baik dikaitkan dengan kinerja perusahaan daripada G-Index.

11. Li-Ju Chen, Chang Jung, Yu Chen and Chang Jung “ How the Pecking-Order Theory Explain Capital Structure “(2009)

Profitability, Growth, Tax, struktur asset, Dividends, size

305 perusahaan elektronik Taiwan yang terdaftar di Bursa Efek Taiwan tahun 2009.

Regresi Hirarkis

Faktor penentu struktur modal adalah tingkat profitabilitas dan pertumbuhan.

12. Sanjai Bhagat Brian Bolton (2009) “Corporate Governance And Firm Performance “

Board variabels: performance, leverage dan variabel instrumental. Performance Variables: independensi dewan, kepemilikan dewan, dan dualitas CEO-Chair dari IRRC dan TCL

The Corporate Library

Indeks Gompers, Ishii, dan Metrick (GIM, 2003) dan Bebchuk, Cohen dan Ferrell (BCF, 2004)

kepemilikan saham secara signifikan berkorelasi positif dengan kinerja perusahaan, tata kelola perusahaan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap kinerja operasi sedangkan dewan independensi berkorelasi negatif dengan kinerja perusahaan

13. Anil K. Sharma and Satish Kumar “ Economic Value Added (EVA) - Literature Review and Relevant Issues” (2010)

Dinegara-negara maju

Konseptual, deskriptif, empiris dan eksploratif cross-sectional.

EVA sudah diakui sebagai alat pengukuran kinerja dan manajemen yang penting di seluruh dunia, terutama di negara maju dengan menerapkannya sebagai strategi perusahaan.

14. Prasad S. Bhattachary

and Michael Graham” Institutional Ownership and Firm Performance: Evidence from Finland”

leverage, capital expenditure, market risk and firm size

116 perusahaan di sembilan industri di Finlandia

OLS 2 SLS 3 SLS

15. Erdinc Karadeniz ,Serkan Yilmaz Kandır ,Ömer Iskenderoğlu, Yıldırım Beyazit Onal “ Firm Size And Capital Structure Decisions: Evidence From Turkish Lodging Companies” (2011)

Ukuran Perusahaan dan Struktur Modal

163 perusahaan penginapan di Turki

chi-square dan anova

Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan dan hutang pribadi

16. Humera Khatab, Maryam Masood, Khalid Zaman, Sundas Saleem and Bilal Saeed,” Corporate Governance and Firm Performance: A Case study of Karachi Stock Market” (2011)

Leverage, Return on assets, Return on equity, Karachi Stock Market, Pakistan.

20 Perusahaan yang terdaftar di Bursa saham Karachi.

Regresi berganda

Leverage dan growth memiliki hubungan positif dengan Tobin's Q, yang menegaskan efek signifikan dalam mengukur kinerja perusahaan.

17. Ruan, Wenjuan; Tian, Gary; and Ma,

Kepemilikan manajerial,rasio

Perusahaan Reksadana yang

Regresi Terdapat hubungan non linier antara

87

Shiguang, Managerial Ownership, Capital Structure and Firm Value: Evidence from China’s Civilian-run Firms (2011)

leverage

terdaftar di pasar saham China antara tahun 2002- 2007

kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan

18. Benish Javed., Shehla Akhtar “ Interrelationships between capital structure and financial performance, firm size and growth: comparison of industrial sector in KSE” (2012)

Leverage, kinerja keuangan,Pertumbuhan, Ukuran, Perusahaan

21 sektor industri yang terdaftar di bursa efek Karachi Pakistan periode tahun 2004 - 2008

uji korelasi dan regresi

Terdapat hubungan positif antara Leverage, kinerja keuangan, pertumbuhan dan ukuran perusahaan

19. Cortez Michael Angelo., Susanto Stevie “ The Determinants of Corporate Capital Structure: Evidence From Japanese Manufacturing Companies” (2012)

Variabel Independen : Tangibility, Profitability, Pajak, Ukuran Perusahaan , Pertumbuhan Aktiva Tetap, dan Pertumbuhan Total asset Variabel Dependen : Leverage

Perusahaan Manufaktur Jepang

Regresi data panel

Tangibility, profitabilitas, dan non debt tax menunjukkan hasil yang signifikan sedangkan leverage meningkat seiring menurunnya tangibility namun profitabilitas dan pelepasan pajak non utang meningkat.

20. Hamid Ullah : “ Corporate Ownership Firm Financing Choices and Firm Value Evidenced from Emerging Markets, Pakistan”

-Variabel Pengendalian Risiko : Ukuran Perusahaan, EBIT -Variabel Pengendalian Biaya Agensi : Profitabilitas Perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan free cash flows-Variabel proxy asset : Non- Debts Tax-shield, Tangibility Assets, Dividends, Capital StructureFirm Value Variable Tobin’s Q, Ownership Variables : Managerial Ownership, Institutional Ownership, Insider Blockholders or Ownership Concentration

80 perusahaan yang tidak terdaftar di Bursa Efek Karachi, Pakistan periode tahun 2003 -2010.

Regresi Leverage dan Tobin's Q memiliki hubungan negatif dengan kepemilikan saham manajerial

88

21

Faris Nasif Al Shubiri, Ghassan AL TALEB Abd AL – Naser AL- ZOUED (2012) “ The Relationship between Ownership Structure and Dividend Policy: An Empirical Investigation “

Dividen per saham, Arus kas bebas, Future growth opportunities,size,Leverage

Perusahaan Industri di Yordania yang terdaftar di bursa saham Amman (ASE) periode 2005-2009

Regresi Hubungan korelasi negatif yang signifikan antara kepemilikan institusional dan tingkat dividen yang diberikan kepada pemegang saham.

22 Samuel Antwi .,et all “Capital Structure and Firm Value: Empirical Evidence from Ghana” 2012)

Firm Value :

Equity, Long Term Debt

Penelian dilakukan pada 34 perusahaan yang terdaftar di Ghana Stock Exchange (GSE) sampai tanggal 31 Desember 2010.

Metode regresi kuadrat terkecil

Di negara berkembang seperti Ghana, Modal ekuitas sebagai komponen struktur modal yang relevan dengan nilai perusahaan, dan hutang jangka panjang juga terbukti menjadi penentu utama nilai sebuah perusahaan.

23 Patrick Ogebe, et all “ The Impact of Capital Structure on Firms’ Performance in Nigeria (2013)

leverage dan makroekonomi

Perusahaan di Nigeria tahun 2000 - 2010

Regresi leverage merupakan penentu kinerja perusahaan yang signifikan. Hubungan negatif yang signifikan terjalin antara leverage dan kinerja.

24 Khalaf Al-Taani “ The relationship between capital structure and firm performance: evidence from Jordan “ (2013)

Struktur Modal : Hutang Jangka Pendek terhadap Total Asset (STDTA) , Hutang Jangka Panjang terhadap Total Assets (LTDTA) dan Total Debt to Equity (TDE) Kinerja Perusahaan : ROA dan PM

45 Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Amman pada tahun 2005-2009

Regresi Berganda

Terdapat hubungan negative dan tidak signifikan antara STDTA dan LTDTA, ROA dan Profit Margin, Sedangkan TDE berhubungan positif dengan ROA dan berhubungan negatif dengan Profit Margin. STDTA signifikan dengan menggunakan ROA sedangkan LTDTA signifikan dengan menggunakan PM. struktur modal bukan merupakan penentu utama kinerja perusahaan

26 Tristan Nguyen &

Huy-Cuong Nguyen “ Capital Structure and Firms’ Performance Evidence from Vietnam’s Stock Exchange “(2015)

Leverage, rasio hutang jangka pendek dan jangka panjang, tangibility, Ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, menambahkan variabel dummy efek industri dan makro ekonomi

147 perusahaan yang terdaftar di HCMC Stock Exchange Tahun 2006 - 2014

Regresi Struktur modal, dan tangibility berpengaruh negative terutama kinerja akuntansi, pertumbuhan, dan ukuran perusahaan berhubungan positif dan signifikan , sedangkan efek industri dan makro ekonomi hanya dua industri (Karet dan Pertambangan) yang berhubungan positif dan signifikan terhadap ROA dan ROE berhubungan positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan,

27. Dede Hertina “Struktur kepemilikan Saham, Struktur Modal dan Kinerja keuangan Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia(Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Periode Tahun 2011-2015”

Variabel bebas: - Kepemilikan

Manajerial - Kepemilikan

Institusi - Pertumbuhan

Aset - Struktur Aset - Ukuran

Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2011-2015 Regresi

Linier Berganda

Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi, pertumbuhan aset, dan struktur aset berpengaruh terhadap struktur modal

Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi, Struktur modal, ukuran perusahaan, dan Risiko

89

Sumber : Berbagai jurnal Internasional (2018).

State Of The Art

Merujuk pada penelusuran penelitian dan jurnal diatas, maka state of the art

yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah :

1. Dari sisi variabel yang diteliti (content ) penelitian sebelumnya faktor yang

mempengaruhi struktur modal menggunakan variabel profitability dan R&D

(Jensen dan Mecking :1976), ukuran perusahaan dan profitabilitas yang

diukur dengan nilai pasar ekuitas ( Sheridan Titman dan Roberto Wessels :

1988), Bathala, Moon, dan Roa (1994), Kuznetsov dan Muravyev (2001)

menggunakan inflasi pada variabel bebas, Brailsford, Oliver, dan Pua (2002)

tidak memasukan struktur asset, Berger dan Patti (2002) memasukan

variabel return on equity , Li-Ju Chen, Chang Jung, Yu Chen and Chang

Jung (2009) memasukan variabel Profitability, Tax dan dividend , Cortez

Michael Angelo.dan Susanto Stevie (2012) variabel yang ditelitinya

Tangibility, Profitability dan Pajak, Faris Nasif Al Shubiri, Ghassan AL

TALEB Abd AL – Naser AL- ZOUED (2012), memasukan variabel Dividen

per saham, Arus kas bebas, Future dan opportunities, Khalaf Al-Taani

(2013) variabel yang diteliti adalah modal Hutang Jangka Pendek, Hutang

Jangka Panjang dan Debt to Equity dan ROA dan PM. Dalam penelitian ini

variabel yang membedakannya adalah menggunakan variabel Kepemilikan

(2018)

Perusahaan - Risiko

Return Saham

Variabel Tidak bebas:

- Struktur Modal

Kinerja Perusahaan

Return Saham berpengaruh terhadap kinerja Keuangan perusahaan.

90

Manajerial, Kepemilikan Institusi, Pertumbuhan Aset, Struktur Aset, Ukuran

Perusahaan dan Risiko Return Saham yang di hubungkan dengan kinerja

keuangan perusahaan.

2. Dari sisi pendekatan penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya

menggunakan metode deskriptif dan verifikatif secara terpisah sedangkan

dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian gabungan

deskriptif dan verifikatif.

3. Dari sisi Objek Penelitian, penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain hanya

pada beberapa sektor saja sedangkan pada penelitian ini dilakukan untuk

seluruh sektor pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia periode tahun 2011-2015

Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa topik penelitian ini belum

pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga penelitian ini memiliki

originalitas tinggi.

2.3. Kerangka Pemikiran

2.3.1. Hubungan Struktur Kepemilikan Saham Dengan Struktur Modal.

Struktur kepemilikan saham atau ekuitas dari perusahaan adalah pihak-pihak

yang memiliki saham secara proporsional (Kuznetov dan Muravyev, 2001).

Manajemen sebagai manusia biasa yang mempunyai keinginan dan kehendak, dapat

melakukan tindakan untuk kepentingan diri sendiri (oportunistik) dengan

membebankan biaya pada pemegang saham yang berakibat pengurangan residual

claim (hak atas laba dari pemegang saham) sehingga timbul yang disebut biaya

keagenan. Tindakan ini tidak sesuai dengan keinginan pemegang saham eksternal.

Untuk mengurangi masalah keagenan, maka pihak manajerial diberi hak kepemilikan

91

atas saham perusahaan, atau memasukkan pemegang saham pada tim manajemen

perusahaan, sehingga segala keputusannya akan berdampak juga pada dirinya sendiri

(Dhani, 2003). Dalam hal ini ada usaha pensejajaran pihak manajemen dengan

pemegang saham eksternal. Kepemilikan saham oleh manajer dan pemegang saham

juga sebagai penerapan mekanisme kontrol internal oleh manager dan kontrol

eksternal oleh pemegang saham (Bathala, Moon, dan Rao, 1994).

Menurut teori keagenan yang digagas oleh Jensen dan Meckling (1976) bahwa

jika tidak ada pemisahan fungsi kepemilikan dengan fungsi pengendalian, maka biaya

keagenan adalah nol, jika menambah hutang maka biaya keagenan menjadi positif

akibat monitoring oleh kreditor. Penambahan hutang ada batasnya karena

penambahan hutang akan meningkatkan risiko kebangkrutan dan penambahan hutang

juga dibatasi oleh jumlah aset jangka panjang yang dapat digunakan sebagai jaminan,

oleh karena itu untuk memperbaiki kemampuan perusahaan menambah hutang harus

didahului dengan penambahan ekuitas, namun kemampuan perusahaan menambah

ekuitas internalnya juga terbatas maka alternatif lain adalah menambah ekuitas

eksternal melalui go public. Ketika sebagian sahamnya dijual kepada pihak luar

(external equity ownership), maka tidak hanya sebagian haknya berupa moneter

diberikan kepada pihak eksternal, juga aspek lain bukan moneter yang berkaitan

dengan aktivitas kewirausahaan, diberikan kepada pihak eksternal, seperti sumber

daya karyawan, hubungan yang harmonis dengan karyawan, dan lain-lain (Jensen dan

Meckling, 1976).

Dengan semakin tersebarnya pemusatan kepemilikan saham, maka

manajemen tidak lagi dapat secara bebas membuat kebijakan sendiri. Manajemen

dihalangi oleh pemegang saham eksternal dalam membuat perencanaan strategi

perusahaan jika dilakukan tanpa transparan. Konsep ini merupakan kerangka dalam

92

corporate governance dalam cakupan hubungan harmonis antara manager,

blockholders saham yang besar, dan shareholders yang minoritas. Kerangka baru

yang diperkenalkan ini mempunyai hubungan yang kompleks dan berpengaruh

terhadap struktur modal dan kinerja keuangan perusahaan.

Tersebarnya konsentrasi kepemilikan saham akan menimbulkan biaya, biaya

ini akan meningkat ketika pemegang saham mayoritas mampu mengambil keputusan

secara langsung kemudian memaksimumkan kesejahteraan untuk diri sendiri dengan

mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk memperoleh residual income.

Fenomena ini dalam literatur dinamakan “extraction of private benefit of control”

(Kuznetsov dan Muravyyev, 2001). Akibat tindakan pemegang saham mayoritas

terhadap pemegang saham minoritas menyebabkan kinerja perusahaan menjadi

menurun (Kuznetsov dan Muravyyev (2001), biaya modal (cost of capital) menjadi

naik, likuiditas pasar melemah, dan menurunkan kesempatan diversifikasi pada

sebagian investor (Fama dan Jensen, 1989).

Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan mensejajarkan pihak

manajemen dengan pemilik saham eksternal, sehingga manajemen akan mengurangi

tingkat hutang seiring dengan semakin meningkatnya kepemilikan saham dalam

perusahaan. Kepemilikan saham managerial dan kepemilikan saham institusional

dapat mempengaruhi kebijakan pencarian dana apakah melalui hutang atau right issue

(Bathala, Moon, dan Pua, 1994).

Hubungan keagenan antara manajemen dengan pemegang saham mempunyai

potensi untuk mempengaruhi dalam pembuatan keputusan, sehingga berdampak pada

karakteristik perusahaan, yaitu nilai dan leverage. Menurut teori keagenan, distribusi

kepemilikan saham antara manajemen dengan blockholders eksternal (external

blockholders) mempunyai hubungan yang signifikan dengan leverage perusahaan

93

(Brailsford, Oliver, dan Pua, 2002). Kepemilikan saham oleh manajerial merupakan

mekanisme pengendalian internal perusahaan, karena basil dari keputusan pendanaan

akan berdampak pada diri sendiri selaku bagian dari pemilik perusahaan. Dengan kata

lain, kepemilikan saham manajerial merupakan bagian dari fungsi kesejajaran antara

manajemen dengan pemegang saham. Jika kepemilikan saham oleh managerial relatif

kecil, maka fungsi pengendalian internal tidak efektif, akibatnya perilaku oportunistik

oleh pihak manajemen tidak dapat dikendalikan. Sebaliknya, jika kepemilikan saham

oleh managerial relatif besar yang secara material dapat melakukan pengendalian

internal, maka kepemilikan saham managerial akan efektif melakukan pecan

pengendalian terhadap kebijakan manajemen, akibatnya perilaku oportunistik oleh

pihak manajemen dapat dikendalikan. Dengan demikian, distribusi kepemilikan

saham antara manajemen dengan blockholders eksternal (external blockholders) akan

memberikan keseimbangan dalam pengendalian dan pemberian wewenang kepada

pihak manajemen dalam membuat keputusan, sehingga dapat berdampak kepada

keputusan pendanaan dan leverage perusahaan.

Crutchley dan Hansen (1989) menemukan bukti bahwa saham perusahaan

yang kepemilikan sahamnya tersebar pada berbagai kelompok, dan manajemen

memiliki saham lebih banyak dan pada kelompok pemegang saham lainnya, maka

perusahaan memiliki leverage yang rendah. Hasil penemuan ini menguatkan tulisan

Jensen dan Meckling (1976) tentang teori keagenan. Kepemilikan saham oleh

manager mampu mengurangi konflik keagenan melalui prinsip kesejajaran

kepentingan antara manajemen dengan shareholders, meskipun hubungan itu sangat

kompleks (Brailsford, Oliver, dan Pua, 2002). Kepemilikan saham oleh manager dan

pemegang saham non manager juga sebagai penerapan mekanisme kontrol internal

94

oleh manager dan kontrol eksternal oleh pemegang saham (Bathala, Moon, dan Rao,

1994).

Berdasarkan penjelasan mengenai hubungan antara struktur kepemilikan

saham dengan struktur modal dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang saling

mempengaruhi antara proporsi kepemilikan saham oleh non manajemen (eksternal)

dengan manajemen (internal) terhadap struktur modal, namun penelitian yang melihat

hubungan struktur kepemilikan saham dengan struktur modal masih sedikit dilakukan.

Pada penelitian ini penulis menggunakan indikator dari variabel struktur kepemilikan

saham berdasarkan konsep penelitian Brailsford, Oliver, dan Pua (2002).

Brailsford, Oliver, dan Pua (2002) membedakan struktur kepemilikan saham

menjadi dua yaitu saham yang dipegang oleh non managerial atau saham blok

eksternal (external block ownership atau EBO) dengan saham yang dimiliki oleh

managerial (managerial share ownership atau MSO). Tujuan penelitian adalah untuk

melihat pengaruh dua kelompok kepemilikan saham, yaitu kepemilikan saham oleh

block (kelompok terbesar dari pemegang saham) dan oleh manajemen, terhadap

struktur modal yang terdaftar di pasar modal Australia (Australian Stock Exchange).

Kedua kelompok ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal

jika pihak pemegang saham eksternal melakukan peran pemantauan (monitoring)

secara aktif terhadap pihak managerial perusahaan.

Brailsford, Oliver, dan Pua (2002) mengambil jumlah sampel sebanyak 500

perusahaan dengan periode sampel 1989-1995. Selajutnya sampel yang datanya tidak

tersedia dikeluarkan. Akhirnya jumlah perusahaan yang menyediakan informasi

lengkap sebanyak 49 perusahaan. Tiap perusahaan yang termasuk dalam sampel

dikumpulkan data mengenai struktur kepemilikan berupa:

a. Saham yang dimiliki oleh dua terbesar, lima terbesar, dan semua direktur.

95

b. Saham yang dimiliki oleh dua terbesar, lima terbesar, dan 20 terbesar yang

memiliki saham (blockholder eksternal)

c. Distribusi pemegang saham dan kepemilikannya.

Model penelitian menggunakan tiga tahap. Tahap pertama, untuk melihat

hubungan antara saham managerial dengan struktur modal. Tahap kedua, melihat

hubungan linear antara blockholder eksternal dengan struktur modal. Tahap ketiga,

melihat hubungan kepemilikan saham oleh blockholder eksternal dan kepemilikan

saham oleh managerial terhadap struktur modal ketika level kepemilikan saham

managerial pada level rendah (dummy = 0 jika kepemilikan saham managerial <

20%) dan ketika level kepemilikan saham managerial tinggi (dummy = 1 ketika

kepemilikan saham managerial > = 20%). Hasil analisis dapat disimpulkan, sebagai

berikut:

1. Hubungan antara kepemilikan saham oleh managerial dengan struktur modal

membentuk kurva U terbalik dengan jangkauan maksimum 49% dari kepemilikan

saham managerial.

2. Distribusi kepemilikan saham oleh eksternal secara statistik mempunyai hubungan

positif yang signifikan dengan struktur modal. Hal ini sesuai dengan hipotesis

bahwa pemegang saham eksternal melakukan monitoring yang aktif terhadap

manajemen.

3. Hubungan antara pemegang saham eksternal dengan struktur modal bervariasi

berdasarkan level kepemilikan saham oleh manajerial. Pada level kepemilikan

saham oleh manajerial yang rendah (kurang dari 20%), pemegang saham eksternal

berpengaruh positif terhadap struktur modal. Pada level kepemilikan saham oleh

manajerial tinggi (lebih besar atau sama dengan 20%), pengaruh pemegang saham

eksternal terhadap struktur modal menjadi negatif, karena adanya sikap

96

mempertahankan diri yang lebih kuat dari pemantauan pemegang saham

eksternal.

Wahidahwati (2001) menguji pengaruh kepemilikan manajerial dan

kepemilikan institusional terhadap struktur modal yang dikembangkan dari hasil

penelitian Moh’d, et. all. (1998). Dalam analisisnya dimasukkan lima variabel

kontrol, yaitu dividend, ukuran perusahaan (firm size), asset structure, earning

volatility, dan stock price volatility. Hasil uji dengan asumsi klasik (uji normalitas,

multikoleniaritas, dan autokorelasi) memenuhi persyaratan. Secara simultan ada

pengaruh yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen.

Secara partial, disimpulkan bahwa kepemilikan saham oleh managerial berpengaruh

negatif dan signifikan dengan debt ratio, sesuai hipotesis. Kepemilikan institusi tidak

berpengaruh signifikan pada α = 0,05, dan berpengaruh signifikan pada α = 0,1

terhadap debt ratio.

2.3.2. Hubungan Struktur Aset Dengan Struktur Modal Perusahaan

Struktur aset menunjukkan nilai jaminan dari aset perusahaan (collateral

value of assets) (Titman dan Wessels, 1988). Semakin tinggi aset perusahaan yang

dapat dijaminkan, semakin besar hutang dengan jaminan (secured debt) yang

dapat diperoleh perusahaan. Perusahaan yang memiliki jaminan akan cenderung

menggunakan hutang lebih besar. Brigham dan Gapenski (1996) menyatakan bahwa

secara umum perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang, akan lebih mudah

mendapatkan pinjaman dari pada perusahaan yang tidak memiliki jaminan terhadap

hutang.

Myers dan Majluf (1984) menemukan keunggulan dari struktur aset untuk

menerbitkan hutang, karena manajemen menguasai informasi perusahaan lebih baik

97

dari pada pemegang saham maka penerbitan saham baru akan menimbulkan biaya

keagenan akibat informasi yang tidak seimbang. Salah satu jalan keluar untuk

menghindari biaya keagenan antara manajemen dengan pemegang saham adalah

dengan menerbitkan hutang dengan jaminan (secured debt).

Dengan alasan ini maka perusahaan yang memiliki aset yang dapat digunakan

sebagai jaminan (collateral assets) untuk memperoleh hutang (secured debt)

memungkinkan menerbitkan lebih banyak hutang untuk memperoleh kesempatan

investasi yang lebih baik. Ini berarti hutang sebagai kompromi antara pihak

manajemen dan pemegang saham.

Myers (1977) menyatakan bahwa pemegang saham dari perusahaan yang

memiliki hutang (leverage) terdorong melakukan investasi kurang optimal (sub

optimal) untuk mengambil alih kesejahteraan bondholders. Adanya dorongan ini

menyebabkan hubungan positif antara kapasitas perusahaan untuk menjaminkan

hutangnya dengan debt ratio.

Titman dan Wessels (1988) menyatakan bahwa kecenderungan manajer

melakukan konsumsi melebihi tingkat hasil tambahannya menyebabkan

hubungan negatif antara dana yang dapat digunakan untuk jaminan dengan tingkat

hutangnya, tetapi pada tingkat hutang perusahaan yang tinggi kecenderungan untuk

mengurangi hutang karena risiko kebangkrutan. Selain itu, pada tingkat hutang yang

tinggi, manager akan mengurangi konsumsi yang berlebihan karena adanya

monitoring yang tinggi oleh bondholders.

Titman dan Wessels (1988) melakukan analisis faktor (linear structural

modeling) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal. Untuk

mengetahui pengaruh terhadap struktur modal maka dilakukan uji faktor. Faktor-

faktor yang diuji berasal dari berbagai teori. Faktor-faktor dimaksud adalah struktur

98

asset, growth, klasifikasi industri, size, earning volatility, dan profitability. Variabel

yang berhubungan langsung dengan perilaku manager dalam kebijakan struktur modal

perusahaan adalah struktur aset, karena bagaimana pun kebijakan struktur modal

perusahaan yang ditetapkan akan terkendala pada besarnya aset yang dapat

dijaminkan jika harus menambah hutang. Bagi bondholders untuk mengurangi risiko

kebangkrutan diperlukan jaminan aset. Untuk mengukur struktur aset digunakan dua

indikator rasio, yaitu (1) rasio antara intangible assets to total assets (INT/TA), dan (2)

rasio dari inventory, gross plant and equipment to total assets (IGP/TA). Struktur

modal digunakan enam pengukuran yaitu short term debt, long term debt dan

convertible debt masing-masing dibagi dengan nilai pasar dan nilai buku dari ekuitas.

Titman dan Wessels (1988) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa

struktur aset perusahaan, volatilitas dan growth, tidak berpengaruh signifikan

terhadap struktur modal. Namun penelitian ini masih meragukan apakah indikator

yang digunakan cukup menggambarkan atribut menurut teori.

Wahidawati (2001) menguji pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap

kebijakan hutang perusahaan, menggunakan struktur aset sebagai variabel kontrol.

Hasil uji pengaruh secara simultan menunjukkan pengaruh yang signifikan, secara

partial struktur aset berpengaruh positif terhadap rasio hutang.

2.3.3. Hubungan Pertumbuhan Aset Dengan Struktur Modal

Pertumbuhan asset adalah perubahan (peningkatan atau penurunan) total aset

yang dimiliki oleh perusahaan (Bhaduri : 2002). Peningkatan asset yang diikuti

peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan pihak luar terhadap

perusahaan. Dengan meningkatnya kepercayaan pihak luar (kreditur) terhadap

perusahaan, maka proporsi penggunaan sumber dana hutang akan semakin besar

99

daripada modal sendiri. Hal ini didasarkan pada keyakinan kreditur atas dana yang

ditanamkan kedalam perusahaan dijamin oleh besarnya asset yang dimiliki

perusahaan. Brailsford, Oliver dan Pua (2002) mengukur struktur modal menurut teori

keagenan dengan menggunakan variabel kontrol pertumbuhan tahunan dari aset

(growth). Pertumbuhan aset (growth) adalah pertumbuhan rata-rata dari total aset

selama tiga tahun. Titman dan Wessels (1988) berargumentasi bahwa tingkat

pertumbuhan yang tinggi menunjukkan fleksibilitas yang lebih tinggi dalam investasi

dimasa yang akan datang dan menawarkan kesempatan yang lebih besar untuk

mengambil alih kesejahteraan dari debtholder. Dengan demikian, growth

berhubungan terbalik dengan debt ratio. Altematifnya adalah tingkat pertumbuhan

yang tinggi menunjukkan kemampuan laba dan sukses perusahaan dalam mengelola

sumber daya dalam perusahaan. Di lain pihak, tingginya tingkat keuntungan

menyebabkan ketersediaan dana internal yang lebih tinggi, sebagai cash dari

tingginya laba ditahan.

Selanjutnya perusahaan akan menggunakan dana internal perusahaan terlebih

dahulu sebelum menggunakan dana eksternal untuk membiayai proyek-proyek

investasinya. Perusahaan dengan pertumbuhan aset yang tinggi akan menurunkan

permintaan terhadap penggunaan utang, karena akan tersedia lebih banyak dana

internal. Dikaitkan dengan informasi asimetris yang rendah bersama biaya ekuitas

(Myers dan Majluf, 1984) dan karenanya lebih menyukai ekuitas dari pada hutang.

Terdapat hubungan negatif antara growth dengan hutang, arus kas bebas (free cash

flow), dan profitabilitas.

Perusahaan yang sedang tumbuh, akan tercermin dari tingkat pertumbuhan

penjualan atau pendapatan perusahaan tersebut yang terus meningkat. Perusahaan

yang sedang tumbuh juga akan memerlukan sumber pembiayaan untuk melakukan

100

investasi. Pembiayaan tersebut, bisa berasal dari dana internal perusahaan (retained

earning), dengan menggunakan hutang (debt) atau dengan menggunakan eksternal

equity).

Teori pecking order menyatakan bahwa dalam pembiayaan investasi,

perusahaan akan mempertimbangkan biaya dana (cost fund) yang paling murah untuk

investasi tersebut. Perusahaan pertama kali akan menggunakan pembiayaan dari dana

internal yang paling murah, setelah itu akan menggunakan pinjaman dari luar (extenal

debt). Penggunaan pembiayaan dari eksternal equity merupakan alternatif terakhir

karena menimbulkan biaya dana (cost of fund) yang paling besar. Oleh karena itu

perusahaan yang sedang tumbuh cenderung akan mempunyai leverage yang tinggi,

apabila dana internal tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan investasi.

Sebaliknya menurut teori agency cost, biaya agensi akan meningkat bagi

perusahaan yang memiliki peluang pertumbuhan yang tinggi karena mempuyai

fleksibilitas dalam memilih beberapa peluang investasi dimasa datang. Untuk

mengurangi biaya agensi tersebut, maka bondholder akan mengenakan biaya hutang

(cost of debt) yang lebih tinggi, sehingga perusahaan yang sedang tumbuh cenderung

akan mengurangi hutang dan menambah equity. Pendapat tersebut didukung antara

lain oleh hasil penelitian Titman & Wessel (1998), Barclay et al. (1995), dan Rajan &

Zingales (1995).

Bedasarkan teori dan penelitian diatas, maka penelitian ini memprediksi

bahwa pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh yang positif/negatif terhadap

struktur modal.

Proksi yang digunakan mengukur pertumbuhan asset adalah rasio pengeluaran

modal terhadap total aset (capital expenditure to assests ratio) yang digunakan dalam

101

penelitian Titman & Wessel (1998), Kallapur & Trombley (1999), dan Jones &

Sharma (2001), serta rasio total penjualan/pendapatan terhadap total asset

(sales/revenues to assets ratio) yang digunakan dalam penelitian Agrawal &

Jayaraman (1994) dan Chen & Dhiensiri (2009).

2.3.4. Hubungan Struktur Kepemilikan Saham Dengan Kinerja Keuangan

Perusahaan

Pada perusahaan modern masalah keagenan timbul akibat adanya pemisahan

fungsi kepemilikan dengan fungsi pengendalian. Manager perusahaan adalah para

profesional menjalankan operasi perusahaan sehari-hari akan melakukan tindakan

yang bertentangan dengan kepentingan shareholders. Penyelesaiannya adalah adanya

sistem monitoring atau kontrak, menyatukan kepentingan manager dengan

kesejahteraan stockholders. Keunggulan dari perusahaan modern adalah:

1. Banyaknya peluang mendapatkan sumber pendanaan, yang memungkinkan

perusahaan meningkatkan skala operasinya dan skala utilitas ekonominya.

2. Menyediakan operasional yang kompleks dan memerlukan keahlian manager

untuk mengontrol bisnis bahkan ketika manager profesional tidak memiliki dana

untuk memiliki perusahaan itu.

3. Perusahaan modern memerlukan banyak dana dengan menjual saham di pasar

modal dan mengangkat aktivitas produktif dari manager profesional.

Tiga alasan yang masuk akal ini yang menghipotesiskan bahwa perusahaan

modern dengan kepemilikan saham yang tersebar mempunyai kinerja yang lebih baik

dari pada perusahaan tradisional (Lauterbach dan Vaninsky, 1999). Diantara

perbedaan kepemilikan saham, pola kepemilikan saham oleh manajemen terlihat

kontroversi dan pengaruhnya ambivalen terhadap kinerja. Pada satu sisi, kepemilikan

102

saham oleh manajemen merupakan alat untuk mensejajarkan kepentingan managerial

dengan pemegang saham. Manajemen diberi insentif moneter untuk memaksimumkan

dan mengembangkan perusahaan. Kondisi ini disebut efek pensejajaran.

Pada sisi lain, Kepemilikan saham oleh manajemen dapat meningkatkan

pertahanan oleh pihak manajemen ketika manajemen mempunyai keahlian yang

rendah dan menginginkan kehidupan yang lebih mudah. Keadaan ini disebut efek

pertahanan. Secara keseluruhan dampak kepemilikan saham oleh manajemen terhadap

kinerja perusahaan tergantung dari kekuatan relatif melalui efek pensejajaran dan efek

pertahanan (Kuznetsov dan Muravyyev, 2001)

Pengaruh struktur kepemilikan saham terhadap kinerja perusahaan telah

banyak dilakukan dan hasilnya bervariasi. Kuznetsov dan Muravyyev (2001)

menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara konsentrasi kepemilikan saham

tertinggi terhadap kinerja yang diukur dengan produktivitas tenaga kerja. Tetapi jika

menggunakan indikator Tobin’s Q, hasilnya membentuk kurva “U”. Jika

menggunakan profitabilitas maka hasilnya tidak berhubungan sama sekali. Adapun

hubungan antara kepemilikan saham oleh pemerintah dengan kinerja, hasilnya

berhubungan negatif.

Lemon dan Lins (2003) yang meneliti hubungan struktur kepemilikan dengan

nilai perusahaan selama periode krisis di delapan negara Asia Timur menjelaskan

bahwa struktur kepemilikan oleh manajemen hanya pada level kepemilikan yang

tinggi saja mampu menaikkan kinerja menjadi 20%. Soliha dan Taswan (2002)

menemukan hubungan positif yang signifikan antara insider ownership dengan nilai

perusahaan.

Ang, Cole, dan Lin (2000) dengan menggunakan 1708 sampel perusahaan

kecil (small businesses) menyimpulkan tentang pengaruh struktur kepemilikan saham

103

dengan kinerja perusahaan yaitu: (1) berhubungan negatif jika saham perusahaan

yang dipegang oleh outside manager lebih besar dari pada inside managers (2)

berhubungan positif jika keadaan kepemilikannya terbalik, dan (3) berhubungan

negatif jika jumlah kepemilikan saham non manager meningkat.

Lauterbach dan Vaninsky (1999), mengklasifikasikan struktur kepemilikan

saham menjadi lima kelompok kepemilikan saham yaitu pemilik non mayoritas,

kelompok bisnis yang concern, partner bisnis non keluarga, partner bisnis individu,

dan keluarga. Kinerja perusahaan menggunakan indikator berupa rasio antara input

dengan output. Untuk mengukur pengaruh struktur kepemilikan terhadap kinerja,

sampel dibagi dua perlakuan yaitu untuk semua sampel dan sampel yang berada pada

sektor industri yang sama. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa struktur

kepemilikan tidak berpengaruh signifikan untuk sampel dalam sate sektor industri.

Jika menggunakan semua sampel, hanya perusahaan yang dimiliki oleh mayoritas,

perusahaan yang dikontrol oleh individu, dan perusahaan yang managernya adalah

juga pemilik saham perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.

Dari ketiga kelompok kepemilikan itu, perusahaan yang managernya juga pemilik

saham perusahaan menghasilkan kinerja paling rendah.

Berger dan Patti (2002) meneliti hubungan struktur modal dengan kinerja

perusahaan pada industri perbankan, Mereka mengelompokkan bank berdasarkan

struktur kepemilikan saham. Hasil uji menyimpulkan bahwa pemegang saham

institusi mempunyai efek pemantauan (monitoring) yang baik yang dapat mngurangi

biaya keagenan. Hal ini juga konsisten dan berhubungan antara kinerja dengan

kepemilikan insider secara non monotonic. Kesimpulan dari hasil penelitian mengenai

hubungan antara struktur kepemilikan dengan kinerja diperoleh hasil yang beragam.

104

Untuk itu penulis ingin meneliti kembali hubungan dua variabel ini dalam konteks

pasar modal Indonesia.

2.3.5. Hubungan Struktur Modal Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan

Masalah yang harus dijawab dalam keputusan pendanaan adalah yang

berkaitan dengan jenis, sumber, dan komposisi sumber dana. Apakah hutang jangka

pendek atau hutang jangka panjang. Untuk ekuitas apakah menerbitkan saham

preferen, ekuitas eksternal, atau laba yang ditahan. Aktivitas dan keputusan yang

berkaitan dengan pencarian dana dan bagaimana dana yang diperoleh tersebut

diinvestasikan menimbulkan konflik keagenan antara manajemen dengan pemegang

saham (Jensen dan Meckling, 1976).

Hubungan keagenan antara manajemen dengan pemegang saham mempunyai

potensi untuk dilibatkan bersama dalam membuat keputusan untuk menentukan

sumber dana (Brailsford, Oliver, dan Pua, 2002). Bahkan jika perusahaan akan

menambah modal saham melalui ekuitas eksternal, harus ditawarkan terlebih dahulu

kepada pemegang saham yang lama (right issue) melalui preemptive right yang

dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk menjaga terjadinya dilusi terhadap hak

pengendalian dan nilai saham mereka (Weston dan Copeland, 1992).

Dalam perspektif managerial, struktur modal tidak hanya ditentukan oleh

faktor internal dan eksternal perusahaan yang berdampak pada risiko dan

pengendalian, juga dapat disebabkan faktor lain seperti nilai, tujuan, preferensi

manajemen, Hal ini merupakan masukan penting untuk keputusan pendanaan,

terutama keputusan yang melibatkan manajemen. Dorongan manajemen untuk

bertindak oportunistik berpengaruh terhadap struktur kepemilikan ekuitas (Sheifer

dan Vishny, 1986).

105

Struktur modal menjadi isu yang penting karena berdasarkan teori-teori

struktur modal banyak yang menyimpulkan bahwa bauran pendanaan mempengaruhi

nilai perusahaan secara langsung. Teori struktur modal menjelaskan apakah ada

pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, seandainya keputusan

investasi dan kebijakan divider nilainya konstan. Jika dengan perubahan struktur

modal ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh struktur modal terbaik

Struktur modal yang akan memaksimumkan nilai perusahaan adalah struktur modal

yang terbaik (Suad, 1994, 326).

Banyak studi yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh struktur modal

terhadap kinerja perusahaan. Ang, Cole, dan Lin (2000) menemukan bukti bahwa

peningkatan monitoring oleh bank, akibat meningkatnya jumlah hutang,

menyebabkan kinerja perusahaan meningkat pula. Soliha dan Taswan (2002)

menyebutkan adanya hubungan positif yang tidak signifikan antara kebijakan hutang

dengan nilai perusahaan.

Gitman (1997: 483) menjelaskan bahwa satu industri atau satu business line

mempunyai karakteristik leverage keuangan yang khas dibandingkan dengan industri

atau business line yang berbeda. Contoh industri di Amerika, rasio hutang untuk

industri manufaktur komputer adalah 58,3% dan untuk perusahaan penjual mobil

adalah 77,9%.

Hatfield, Cheng, dan Davidson (1994) menguji pengaruh struktur modal

berdasarkan klasifikasi industri terhadap nilai perusahaan. Klasifikasi industri

didasarkan pada “value line industrial classification”, yaitu perusahaan

dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok perusahaan yang struktur modal

perusahaannya (leverage ratio) di atas dan dibawah dari rata-rata leverage ratio

industri (rata-rata leverage ratio seluruh sampel).

106

Kelompok perusahaan yang leverage ratio di atas rata-rata leverage rasio

industri dikatakan sebagai perusahaan dengan hutang yang tinggi, sebaliknya,

dikatakan perusahaan dengan hutang yang rendah. Hipotesis yang dibangun

berdasarkan pendapat Masulis (1983) yaitu: (1) untuk perusahaan dengan hutang yang

tinggi, struktur modal berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, dan (2) untuk

perusahaan dengan hutang yang rendah, struktur modal berpengaruh negatif terhadap

nilai perusahaan.

2.3.6. Hubungan Ukuran Perusahaan Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan

Lauterbach dan Vaninsky (1999) memiliki pendapat lain tentang variabel-

variabel yang mempengaruhi tingkat kinerja perusahaan. Menurut mereka, kinerja

perusahaan dibatasi oleh size dan volatilitas harga saham perusahaan. Perusahaan

yang mempunyai ukuran besar (size) secara khas mempunyai net income yang lebih

besar dari pada perusahaan dengan ukuran kecil. Perusahaan dengan size besar

memiliki kemampuan memilih dan menyeleksi tim manajemen lebih selektif dengan

kualifikasi yang tinggi. Perusahaan dapat memilih tim manajemen dari orang-orang

yang berpengalaman dibidang usaha yang perusahaan butuhkan. Sebagai

kompensasinya perusahaan membayar mereka dengan gaji yang besar kepada

manajemen. Pembayaran yang tinggi pada manajemen, diharapkan manajemen

tersebut dapat bekerja lebih maksimal dalam memberikan laba yang superior bagi

perusahaan. Pembayaran yang besar dan fasilitas yang lengkap diharapkan

manajemen akan lebih konsentrasi pada pekerjaannya, sehingga sifat oportunistik

dapat dikurangi. Dengan demikian, ukuran perusahaan mempunyai hubungan positif

dengan kinerja.

107

2.3.7. Hubungan Risiko Return Saham Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan

Risiko Return saham diukur dengan standar deviasi dari return saham. Risiko

Retur saham merupakan proksi dari total Risiko. Risiko yang dihadapi manajemen

tidak dapat di diversifikasi. Semakin besar risiko perusahaan berarti semakin besar

risiko kesinambungan dia akan bekerja di perusahaan itu. Perusahaan dengan risiko

yang tinggi berarti kemungkinan perusahaan itu rugi tinggi pula. Hal ini menjadi

penilaian buruk terhadap prestasi kerja manajemen. Jika prestasi kerja manajemen

terus memburuk, maka risiko tim manajemen untuk diganti, mereka diberhentikan,

menjadi besar. Anggota manajemen yang diberhentikan karena kinerjanya yang buruk

akan menjadi penghambat untuk memperoleh pekerjaan barn, karena pasar tenaga

kerja untuk eksekutif kompetitif dan sempit. Akibat dari risiko kehilangan pekerjaan

yang tinggi maka manajemen cenderung akan memaksimumkan utilitas pribadinya

dengan membebankan biayanya pada perusahaan. Dengan demikian perusahaan yang

risiko yang tinggi memiliki hubungan negatif dengan kinerja perusahaan (Lauterbach

dan Vaninsky, 1999).

Dari beberapa hubungan antar variabel diatas maka Paradigma Penelitian

adalah:

Kepemilikan Institusi

Kepemilikan Manajerial

Struktur Modal

Struktur Asset Perusahaan

Pertumbuhan Asset Perusahaan

108

Struktur Modal

Kepemilikan Institusi

Kepemilikan Manajerial Kinerja Keuangan Perusahaa

Ukuran Perusahaan

Risiko Return Saham

Gambar 2.7 Paradigma Penelitian

2.4. Hipotesis Penelitian

1. Struktur kepemilikan saham berpengaruh secara signifikan terhadap struktur

modal perusahaan. Kepemilikan saham manajerial berpengaruh negatif

signifikan, sedangkan kepemilikan saham institusi berpengaruh negatif tidak

signifikan terhadap perusahaan.

2. Struktur Modal berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan perusahaanp.

3. Struktur kepemilikan saham (institusional dan manajerial ) berpengaruh negatif

terhadap kinerja keuangan perusahaan.

-+

-