BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Laporan Asian Sustainability Rating yang melakukan penelitian tentang
tingkat keberlanjutan perusahaan (sustainability) dan implementasinya di negara-
negara asia terutama sepuluh negara Asia, menunjukkan hasil peringkat Indonesia
berada pada posisi ke 6 dari 10 negera Asia yang disurvei, ranking Indonesia ini
masih dibawah negara ASEAN lainya, yaitu Thailand dan Malaysia yakni diposisi
kedua dan ketiga, Indonesia masih dirasa lemah dalam pengungkapan dalam
kategori lingkungan. Dalam hal rangking perusahaan Indonesia dalam Asian
Sustainability hanya diwakilkan oleh PT Unilever Indonesia dan PT Vale Indonesia
Tbk yang masing – masing bergerak pada sektor household and personal product
dan material.
Sejalan dengan Asian Sustainability Report, Indeks Sri-Kehati sebagai
salah satu Indeks Bursa Efek Indonesia yang melakukan penilaian akan
sustainability pada perusahan publik di Indonesia, juga cenderung didominasi oleh
perusahaan perbankan, tambang, minyak bumi, transportasi dan alat berat, hal yang
sama juga ditemukan pada hasil Indonesia Sustainability Reporting Awards
(ISRA) 2015. Hal ini dikarenakan bisnis sektor Industri non migas Indonesia,
cenderung mengalami pertumbuhan yang bersifat fluktuatif sejak lebih dari 10
tahun terakhir, sehingga laju pertumbuhannya masih belum sesuai harapan, yang
berdampak terhadap pola CSR dan kemitraan yang mereka lakukan.
2
Dilihat dari kinerja industri TPT berdasarkan tujuan ekspor utama TPT
Indonesia terutama sektor garmen masih didominasi tujuan negara Amerika
Serikat, Jepang dan Jerman baik secara nilai maupun secara berat bersih per ton
nya. Pada tahun 2014 pangsa pasar Indonesia di pasar Amerika Serikat sebesar USD
3,758 Milyar persen diikuti oleh Jepang sebesar USD 645 Juta.
Tabel 1.1. Ekspor TPT Indonesia berdasarkan Negara Tujuan Ekspor
(dalam ribuan USD)
Negara Tujuan 2010 2011 2012 2013 2014
Amerika Serikat 3.935.568,3 4.342.369,0 3.872.148,7 3.887.406,8 3.758.453,5
Jepang 169.534,1 328.924,9 470.312,6 628.567,1 645.203,5
Jerman 502.737,7 624.567,3 541.333,9 523.478,9 548.507,1
Inggris 331.070,5 351.261,4 319.692,4 285.672,6 268.288,3
Uni Emirat Arab 125.022,2 153.377,0 177.777,5 161.817,9 204.874,9
Kanada 142.442,6 178.292,7 154.933,8 166.785,4 178.850,4
Belgia 142.173,7 167.431,5 160.552,7 150.120,2 174.232,8
Belanda 159.503,2 184.599,0 136.298,0 139.205,8 108.458,1
Perancis 119.775,7 141.042,8 108.028,5 104.144,1 105.463,3
Italia 75.341,7 91.050,1 75.822,8 84.746,4 80.307,5
Sumber : International Trade Statistics (2015)
Data ekspor TPT keluar negeri sejalan dengan adanya Permintaan hasil
produksi TPT yang akan cenderung meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, sehingga potensi pasar TPT domestik masih cukup besar. Hal ini
berdasarkan pada tingkat populasi masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari
220 juta jiwa dan membaiknya tingkat perekonomian dan pendapatan masyarakat.
Besarnya pasar TPT Indonesia, dapat juga ditunjukkan oleh tingkat konsumsi serat
guna bahan baku utama tekstil, dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun
1995 dengan jumlah penduduk 198.50 juta jiwa, total konsumsi serat mencapai 1.60
juta ton, dan 831 ribu ton di antaranya merupakan konsumsi lokal, atau setiap
3
penduduk membutuhkan 4.20 kg. Angka tersebut terus naik dan pada tahun 2000
dengan total 211.50 juta jiwa, total konsumsi serat Indonesia sebanyak 2.03 juta ton
atau 1 044 ribu ton merupakan konsumsi domestik atau rata-rata per penduduk 4.90
kg. Dalam jangka panjang, tingkat konsumsi serat tekstil Indonesia akan terus
meningkat. Menurut perkiraan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), tingkat
pertumbuhan konsumsi serat tekstil Indonesia berkisar 3.50 persen per tahun.
Sebagai salah satu industri yang telah lama berkembang di Indonesia, industri
TPT memegang peranan penting di dalam struktur perekonomian Indonesia. hal ini
dapat dilihat melalui besaran kontribusi industri TPT terhadap PDB Indonesia,
dimana dalam tiga tahun terakhir 2013 – 2015 rata – rata industri TPT memberikan
kontribusi sebesar rata – rata sebesar 1,29 % terhadap PDB Indonesia.
Tabel 1.2 Pertumbuhan dan Peran Industri TPT Indonesia
Indikator 2013 2014 2015 %
Perubahan
Pertumbuhan Industri TPT 12.661,70 12.720,30 12.262,60 -3,60
Persentasse Peran Industri
TPT terhadap PDB
1,36 1,32 1,21
Sumber : Kemenperin (2016)
Tabel 1.2 diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2015, industri TPT
menyumbang 1,21 % dari PDB Indonesia dimana PDB Indonesia sebesar Rp
12,262 triliun Selain itu, periode yang sama tahun 2013-2015, Indonesia hanya
mengalami penurunan pertumbuhan nilai ekspor industri TPT sebesar -3,60%.
Padahal pemerintah menargetkan, Indonesia bisa meningkatkan nilai ekspor
industri TPT .
4
Sedangkan Tabel 1.3 di bawah ini menggambarkan pertumbuhan industri
pengolahan non migas dari tahun 2004-2012. Dimana salah satu industri yang
termasuk dalam kelompok ini adalah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Tabel 1.3. Pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas
Sumber : BPS diolah Kemenperin (2013:14)
Berdasarkan tabel tersebut terungkap bahwa perkembangan industri tekstil
sebagai salah satu industri sektor pengolahan Non Migas, mengalami pertumbuhan
yang relatif tidak stabil, dan cenderung berfluktuasi. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kinerja bisnis sektor tersebut cenderung belum optimal.
Industri tekstil merupakan salah satu industri yang diprioritaskan oleh
pemerintah untuk dapat dikembangkan dikarenakan peran strategis dalam
perekonomian nasional, agar dapat mendatangkan devisa ekspor yang lebih besar
dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, sektor ini juga berperan dalam
5
mengurangi angka pengangguran dengan menyerap tenaga kerja. Dari data yang
dihimpun BPS tercatat jumlah tenaga kerja Indonesia sampai bulan Februari 2011
mencapai 119,4 juta orang dengan tenaga kerja disektor industri manufaktur
sebanyak 13,71 juta orang. Di sektor TPT jumlah tenaga kerja langsung sebesar
1,4 juta orang dimana sebagian besar atau sekitar 47 persen berasal dari sektor
garmen, diikuti sektor pertenunan yang menyerap 19.250 orang dan sektor fiber
making dan spinning. Secara keseluruhan, industri TPT menyerap hampir 10% dari
total tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Berdasarkan kontribusinya terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja, maka sektor industri
tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu sektor utama, sekaligus memiliki
kedudukan strategis dalam perekonomian Indonesia.
Selain mempunyai peran dan kontribusi yang besar terhadap nilai PDB dan
perolehan devisa Indonesia, industri TPT ini juga memiliki tipikal yang dapat
menyerap banyak tenaga kerja, hal ini dapat kita lihat dari pangsa tenaga kerja
industri TPT terhadap industri pengolahan mencapai rata-rata 10% per tahun,
setidaknya ini dapat terlihat pada tahun 2004 dimana lebih dari 1.18 juta orang
bekerja di industri TPT atau 1.26 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia dan
pada tahun 2013 Kemenperin menyampaikan Tenaga kerja yang terserap sebanyak
1,55 juta orang di sektor tektil dan sekitar 570 ribu orang di sektor pakaian jadi
(garmen) yang apabila ditotalkan sebanyak 3.50 juta orang bekerja baik langsung
maupun tidak langsung dalam Industri TPT ini (Wu, 2005)
Industri tekstil di Indonesia mencakup tiga sektor industri dari mulai hulu
sampai hilir, yaitu: Sektor Industri Hulu (upstream) adalah industri yang
6
memproduksi serat/fiber dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang
(yarn). Sektor Industri Menengah/Antara (midstream) adalah industri yang
melakukan pemrosesan benang menjadi kain-jadi (Fabric). Sedangkan sektor
Industri Hilir (downstream) adalah industri manufaktur pakaian jadi (garment).
Sektor ini terdiri dari perusahan kategori menengah dan kecil dan paling banyak
menyerap tenaga kerja, sehingga industrinya bersifat padat karya. Industri tekstil
itu sendiri paling banyak berlokasi di wilayah Pulau Jawa, dari mulai pemintalan
(spinning), pertenunan (weaving), kain, garmen, hingga produk tekstil lainnya yang
tergambar pada tabel dibawah ini. Berikut adalah jumlah dan penyebaran
perusahaan tekstil di Indonesia.
Tabel 1.4. Gambaran Umum Industri TPT di Indonesia
Komoditi Sumate
ra
Jakart
a
Jaba
r
Jate
ng
Y
og
ya
Jati
m
Bal
i
Sulaw
esi
Total
1.Fibers (Serat) - - 4 3 1 - - 8
2.Yarns
(Benang) 4 8 135 8 4 4 1 - 204
3.Fabrics
(Kain)
Woven
Knitting
Non
Woven
9
8
499
98
1
8
1
1
1
775
6 4 181 8 2 4 - - 255
- - 1 - - 2 - - 3
4.Garment 0 28 315 1 8 6 83 4 855
5.Others
False
Twisting
Thread
Embroider
y Processing
Carpet
Others
-
7
1
2
1
-
-
-
11
- - 5 - - 3 - - 8
- 2 14 2 1 2 - - 21
4 22 223 81 5 1 - - 346
- 2 3 - - 1 - - 6
3 17 0 52 - 9 1 - 82
7
Tota
l
46 458 1.50
1
375 22 151 86 5 2.654
Sumber : Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), 2010
Dari pengelompokan tersebut, menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat
mendominasi banyaknya perusahaan yang bergerak dalam industri TPT. Di Jawa
Barat terdapat perusahaan yang bersifat terbuka (go-public) dan juga perusahaan
yang sifatnya tertutup. Untuk perusahaan terbuka, misalnya: PT Indo-Rama
Synthetics Tbk, PT Pan Brothers Tbk, PT Panasia Filament Inti Tbk, PT Panasia
Indosyntec Tbk, PT Tifico Fiber Indonesia Tbk, PT Century Textile Industry Tbk
(Centex), PT Ever Shine Textile Industry Tbk, PT Eratex Djaya Tbk. Sementara
itu, masih terdapat pula perusahaan TPT skala besar yang masih bersifat tertutup
misalnya: PT Sri Rejeki Isman (PT. SRITEX), PT Kahatex, PT Indah Jaya Textile,
PT Duniatex, PT Apac Inti Corpora, PT Toray Industries Indonesia, PT Singlong
Brothers Industrial, Fujitex, Dewa Sutratex, Trubustex, dan lain-lain.
Namun dominannya jumlah banyaknya perusahaan yang bergerak dalam
industri TPT di Jawa Barat dibandingkan provinsi lainnya tidak serta merta
menunjukkan bahwa kinerja perusahaan pada industri TPT di Jawa Barat
menunjukkan angka yang meningkat, karena berdasarkan data pertumbuhan
industri pengolahan non migas pada Tabel 1.1, terungkap bahwa pertumbuhan
industri ini cenderung fluktuatif pada tahun 2004-2012. Sementara itu, produksi
TPT cenderung meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan jumlah penduduk.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 237,6 juta menurut
data Badan Pusat Statistik, maka tentu saja Indonesia menjadi pasar yang sangat
menarik bagi produsen TPT dari mancanegara. Selain itu, berdasarkan struktur
8
populasi, sekitar 60% dari total populasi berumur antara 15-54 tahun. Pada usia
tersebut membutuhkan kosumsi sandang yang meningkat. Namun kinerja
perusahaan sektor ini di Provinsi Jawa Barat terindikasi belum optimal.
Apalagi produk TPT Indonesia menghadapi saingan yang cukup berat yaitu
yaitu Cina dan India yang bisa menghasilkan produk TPT dengan lebih kompetitif.
Sebagai gambaran, sejak perdagangan bebas diberlakukan, yang membuat seluruh
kuota secara bertahap dihapuskan, pada Tahun 2013 Cina berhasil menguasai pasar
TPT Amerika utara (Kanada dan AS) dan Uni Eropa sebanyak 50 % dari seluruh
impor TPT Amerika Utara. Nilai ini jauh lebih tinggi dari nilai impor mereka di
tahun 1997 yang hanya mencapai 15 persen, saat kuota masih diberlakukan. Di
bawah Cina, adalah negara India yang menguasai 15 persen nilai impor TPT ke
Amerika Utara, dimana hal ini meningkat dari hanya 4 persen di tahun 1997.
Dengan menguasai 65 persen total pasar, tidaklah mengherankan apabila beberapa
negara lain yang termasuk 10 besar negara pengekspor TPT ke Amerika Utara
mengalami penurunan. Indonesia adalah termasuk yang mengalami penurunan
cukup drastis, yaitu dari 4 persen, menjadi 2 persen. Di Uni Eropa, ekspor Cina
mengalami peningkatan yang juga cukup pesat menjadi 29 persen dari hanya 18
persen di tahun 1997. Sementara India juga mengalami peningkatan sekitar 3
persen. Hal ini berakibat pada posisi ekspor TPT Indonesia tidak mengalami
perubahan, hanya berkisar sekitar 3 persen saja. Dengan demikian menunjukkan
bahwa kinerja perusahaan sektor tekstil belum dikatakan tinggi. Dikarenakan
Jawa Barat mendominasi banyaknya perusahaan pada industri TPT, maka
dapat dikatakan bahwa kinerja perusahaan industri tekstil di Jawa Barat juga
9
belum optimal.
Sebagai salah satu negara besar di dunia yang menandatangani program
Millenium Development Goals, Indonesia diharapkan dapat ikut serta mengurangi
dan menanggulangi berbagai masalah yang ada di dunia. Target program yakni
tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat, dimana salah
satunya ditunjang dengan cara memastikan kelestarian lingkungan serta
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.
Salah satu cara pemerintah Indonesia untuk dapat melaksanakan program
tersebut yaknin melalui program Corporate Sosial Responsibility (CSR) dan
Program Kemitraan yang digulirkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan serta Peraturan Menteri BUMN No. PER-O7/MBU/2015 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan,
dimana pemerintah mengikutsertakan BUMN dan pihak swasta untuk ikut serta
menyukseskan program tersebut.
Program CSR dan kemitraan ini menjadi salah satu perhatian pemerintah
Indonesia, dikarenakan masih banyaknya perusahaan di Indonesia yang belum
melakukan CSR dengan baik di lapangan. Seolah-olah CSR hanya dirasa sebagai
satu kewajiban dari pemerintah kepada perusahaan
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh CSR
terhadap biaya operasional dan kinerja perusahaan seperti penelitian Kotler dan Lee
(2005) dimana penerapan CSR dapat menurunkan biaya operasi suatu perusahaan,
10
karena setelah diterapkannya CSR perusahaan akan mengurangi biaya pemasaran
karena perusahaan akan mengalihkan kepada dana CSR. Sedangkan Leki dan
Christiawan (2013) menyatakan bahwa penerapan CSR dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan bahan baku (reused, recycle) dan overhead (berpengaruh
kepada penggunaan air dan listrik) sehingga mengurangi biaya operasional
perusahaan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sullivan (1998) menemukan bahwa
reputasi perusahaan dapat dijadikan jaminan bagi pelanggan untuk menilai kualitas
produk atau jasa yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian, semakin baik
reputasi suatu perusahaan, maka semakin meningkat pula pembelian yang
dilakukan oleh pelanggan sehingga mengakibatkan penjualan perusahaan
meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gulsevim dan Gokhan (2009) menyebutkan
bahwa, kegiatan CSR yang dilakukan sebagai upaya meningkatkan reputasi sosial
yang bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam kaitannya dengan sisi
tenaga kerja, keselamatan kerja dan kesehatan tenaga kerja yang merupakan isu
penting dalam industri bidang tekstil.
Vintila dan Gherghina (2012) melakukan pengukuran kinerja melalui:
kinerja operasional (Return On Equity, net profit margin, pertumbuhan penjualan),
penilaian (Tobin Q) dan payout pemegang saham (dividend yield dan pembelian
saham kembali). Namun pada Tabel 1.5 di bawah ini, terungkap rendahnya kinerja
keuangan yang diukur oleh salah satu rasio keuangan yakni Return On Equity
(ROE).
11
Tabel 1.5 Rasio Return On Equity (ROE) Industri Tekstil
No Nama Perusahaan Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
1
APAC Citra Centertex
Tbk -2,14133 -6,70956 0,721021 -5,36378 -6,70996
2 Argo Pantes Tbk -9,59271 -10,9629 -5,20192 -8,7535 -7,4329
3 Centex Tbk ***) -8,94118 -21,6981 -13,7931 8,400201 9,969789
4
Centex Tbk (Seri
B)***) -8,94118 -21,6981 -13,7931 -3,1746 9,969789
5
Delta Dunia Petroindo
Tbk *) 0,496278 0,952381 -2,43494 0 0
6 Eratex Djaja Tbk -1,0274 -42,0118 -14,433 -3,1746 49,4186
7
Ever Shine Textile
Industry Tbk -2,77264 -4,15094 1,541426 -41,7391 0,470958
8
Hanson International
Tbk -26,0952 -12550 1400 0,171527 0
9
Hanson International
Tbk (Seri B) -26,0952 -12550 1400 25,56391 0
10
Indorama Synthetics
Tbk 0,374468 1,213301 2,081307 25,56391 0,032749
11 Karwell Indonesia Tbk 1,980198 -39,4737 -6,86275 4,587517 353,8462
12 Pan Brothers Tbk 3,0012 0,694444 0,645161 -13,5135 4,752475
13
Panasia Filament Inti
Tbk -9,24092 -4,3022 4,02439 0,322581 -19,2568
14
Panasia Indosyntex Tbk
*) 0,080451 -25,0859 -3,01724 4,058625 1,676529
15
Polychem Indonesia
Tbk 1,393896 -9,09816 0,091743 -25,8523 5,603202
16
Polysindo Eka Perkasa
Tbk -18,8693 -6,82054 1,451613 0,098619 0
17
Ricky Putra Globalindo
Tbk 7,130435 -46,4482 25,88621 1,009028 1,869159
18 Roda Vivatex Tbk 6,003431 -1,39319 0,666667 1,794454 0
19
Sunson Textile
Manufacturer Tbk 0,222469 9,810671 15,82181 1,146789 -2,84698
20 Texmaco Jaya Tbk -18,136 -7,65816 3,534778 5,443322 0
21
Teijin Indonesia Fiber
Tbk -12,0415 -29,0234 -9,30365 0 0
22 Unitex Tbk 45,03311 -43,7908 21,52778 -16,2338 -4,96894
Sumber : IDX (2012)
12
Berdasarkan data pada tabel 1.5 di atas, terungkap bahwa ROE perusahan
tersebut menunjukkan angka yang cenderung menurun setiap tahunnya. Sehingga
dapat menjadi suatu indikator bahwa kinerja perusahaan sektor ini belum optimal.
Masih belum optimalnya kinerja perusahaan tekstil, diduga karena pihak
perusahaan masih memiliki kelemahan dalam pengembangan daya saing
perusahaan, yang diindikasikan dengan produk yang relatif belum variatif jika
dibandingkan dengan produk dari impor. Selain itu masyarakat lebih percaya akan
kualitas bahan impor. Padahal menurut Castro et al (2004:302), agar suatu
perusahaan dianggap memiliki daya saing dari sudut pandang operatif, maka
perusahaan harus mendesain strategi untuk melengkapi kondisi harga yang
kompetitif, produk dengan kualitas unggul, dan pelayanan tingkat tinggi kepada
pelanggan (speed and variety).
Dugaan belum tingginya daya saing tersebut didukung dengan hasil survei
pendahuluan sebagaimana tergambar berikut ini.
Grafik 1.1
Hasil Survei Pendahuluan tentang Daya Saing
Perusahaan TPT di Jawa Barat
Sumber : Hasil Survei pendahuluan, n=30 (2015)
3,53 3,63 3,67
Harga yang Kompetitif Produk Berkualitas Speed & Variety
13
Survei pendahuluan mengukur empat aspek daya saing yaitu harga yang
kompetitif, produk berkualitas, serta speed and variety yang secara keseluruhan,
rata-rata menunjukkan indeks di bawah 4.00 (skala baik). Nilai indeks terendah
adalah pada aspek harga yang kompetitif (3.53), sementara indeks tertinggi adalah
speed and variety (3.67). Sehingga berdasarkan hasl survei tersebut, dapat
dikatakan bahwa daya saing pada industri tekstil di Jawa Barat belum tergolong
tinggi. Sementara itu hasl riset Agic, Kurtović, Cicic (2010) menyimpulkan bahwa
sesuai dengan kriteria posisi kompetitif, perusahaan dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori dasar. Kategori pertama meliputi perusahaan yang menawarkan
kualitas tertinggi, dengan harga yang sama tinggi. Perusahaan-perusahaan ini
menargetkan segmen pasar eksklusif yang sesuai dan sebagian besar menggunakan
strategi diferensiasi. Perusahaan dari kelompok kedua ditandai dengan cakupan
pasar yang luas; mereka fokus pada promosi, dan hampir tidak pernah
menggunakan harga sebagai faktor keunggulan kompetitif. Kelompok terakhir
perusahaan diposisikan dengan menawarkan produk standar kualitas agak rendah
dan dengan harga yang jauh lebih rendah.
Di samping itu hingga kini citra perusahaan industri tekstil masih relatif
terpuruk karena sebagai efek dari kondisi awal tahun tahun 2000 yang diposisikan
sebagai sunset industry. Dimana menurut Zeithaml dan Bitner (2011)
mengemukakan bahwa citra organisasi sebagai persepsi dari suatu organisasi
tercermin dalam benak konsumen. Berdasarkan pendapat tersebut, corporate image
memiliki arti yang sangat penting bagi perusahaan karena diasosiasikan dalam
memori pelanggan. Saat ini citra perusahaan produk lokal masih belum baik,
14
dibandingkan produk impor. Polat (2010) menyatakan dimensi organizational
image meliputi: Quality image, Programme image, Infrastructure image.
Dugaan masih belum kuatnya citra perusahaan, didukung dengan hasil
survei pendahuluan sebagaimana tergambar berikut.
Grafik 1.2
Hasil Survei Pendahuluan tentang Citra Perusahaan TPT di Jawa Barat
Sumber : Hasil Survei pendahuluan, n=30 (2015)
Survei pendahuluan mengukur tiga aspek citra perusahaan yaitu quality
image, programme image, dan infrastructure image, yang secara keseluruhan, rata-
rata menunjukkan indeks di bawah 4.00 (skala baik). Nilai indeks terendah adalah
pada aspek programme image (3.31), sementara indeks tertinggi adalah quality
image (3.43). Sehingga berdasarkan hasl survei tersebut, dapat dikatakan bahwa
citra perusahaan pada industri tekstil di Jawa Barat belum optimal.
Sementara itu citra perusahaan memegang peranan sebagai faktor kunci
dalam meningkatkan kinerja perusahaan sebagaimana yang dikemukakan dalam
Boonpattarakan (2012) bahwa citra perusahaan adalah sebagai respon dari
konsumen ataupun keyakinan akan suatu organisasi.
3,43
3,31
3,39
Quality Image Programme Image Infrastruktur Image
15
Rendahnya citra perusahaan cenderung tidak terlepas dari komitmen pihak
perusahaan untuk peduli kepada lingkungan, dimana pada kenyataannya isu ini
masih terus berkembang, karena tanggung jawab sosial pihak perusahaan relatif
masih rendah. Bueble (2008) menyatakan bahwa pencapaian keberhasilan
komersial dalam cara yang menghormati nilai-nilai etika dan menghargai
masyarakat. Sedangkan tujuan dari CSR menurut Uddin et al (2008) adalah untuk
membuat aktivitas dan budaya perusahaan yang berkelanjutan dalam tiga aspek
yaitu : Economic aspects, Social aspects, dan Environmental aspects. Dugaan
masih rendahnya implementasi CSR oleh industri tekstil tersebut diperkuat dengan
hasil survei pendahuluan mengenai pelaksanaan CSR pada industri tekstil di Jawa
Barat berikut ini.
Grafik 1.3
Hasil Survei Pendahuluan tentang Corporate Social Responsibility
Perusahaan TPT di Jawa Barat
Sumber : Hasil Survei pendahuluan, n=30 (2015)
3,6 3,53 3,57
Economic aspects Social aspects Environmental andEcological aspects
16
Survei pendahuluan mengukur tiga Corporate Social Responsibility yaitu
economic aspecst, social aspects, dan environmental/ecological aspects, yang
secara keseluruhan, rata-rata menunjukkan indeks di bawah 4.00 (skala baik). Nilai
indeks terendah adalah pada aspek social aspects (3.57), sementara indeks tertinggi
adalah economic aspects (3.60). Sehingga berdasarkan hasl survei tersebut, dapat
dikatakan bahwa citra perusahaan pada industri tekstil di Jawa Barat belum optimal.
Sementara itu hasil penelitian Buciuniene dan Kazlauskaite (2012:15)
menunjukkan korelasi antara CSR dan kinerja dimana menunjukkan hubungan
positif antara praktek HRM terkait CSR dan hasil kinerja.
Mahoney et al (2003) yang meneliti hubungan antara kinerja sosial dan
lingkungan perusahaan dengan kinerja keuangan dengan hasilnya menunjukkan
hubungan positif. Sedangkan penelitian Suratno et al (2006) menunjukkan bahwa
environmental performance berpengaruh secara positif terhadap economic
performance. Berbeda dengan hasil penelitian Fauzi et al (2007) seorang peneliti
yang mengembangkan model slack resource theory dan good manajement theory
dalam meneliti hubungan Corporate Social Performance (CSP) dan Corporate
Performance (CP) Hasil studi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Analisis lebih jauh dengan menggunakan slack resource theory menunjukkan
ukuran perusahaan mempengaruhi hubungan CSP dan CP.
Pengembangan kemitraan yang belum dijalin secara optimal merupakan
fenomena yang terjadi dewasa ini dimana masih lemahnya kerja sama lintas fungsi
dalam perusahaan, belum terciptanya budaya kerja yang lebih mengarah kepada
peningkatan efektivitas perusahaan, belum terciptanya kerja sama dengan lembaga
17
intermediasi dalam hal pembentukan skema pembiayaan yang sesuai untuk industri
tekstil, serta belum terbentuknya kerja sama dengan pihak supplier dalam hal
menyediakan kebutuhan input, serta belum optimalnya penggalangan komunitas
bisnis dengan pihak pelanggan yang ditunjang dengan adanya perlakuan istimewa
dari pihak perusahaan bagi pelanggan yang memberikan share profit yang tinggi.
Sedangkan menurut Menurut Cravens (2013) kemitraan merupakan suatu upaya
untuk melakukan kerjasama dengan stakeholders, dimana aliansi strategis
digunakan oleh banyak perusahaan yang bersaing di seluruh dunia. Kemitraan
meliputi hubungan secara vertikal yang terdiri dari hubungan dengan supplier dan
customer (pelanggan) serta horizontal yang terdiri dari kemitraan lateral dan
internal.
Fenomena tersebut diperkuat dengan hasil survei pendahuluan berikut ini.
Grafik 1.4
Hasil Survei Pendahuluan tentang Kemitraan
Perusahaan TPT di Jawa Barat
Sumber : Hasil Survei pendahuluan, n=30 (2015)
3,6 3,63 3,6 3,57
Internal partnership Supplier Partnership Buyer partnership Lateral partnership
18
Survei pendahuluan mengukur tiga aspek kemitraan yaitu internal
partnership, supplier partnership, buyer partnership, dan lateral partnership, yang
secara keseluruhan, rata-rata menunjukkan indeks di bawah 4.00 (skala baik). Nilai
indeks terendah adalah pada aspek lateral partnership (3.57), sementara indeks
tertinggi adalah supplier partnership (3.63). Sehingga berdasarkan hasl survei
tersebut, dapat dikatakan bahwa kemitraan yang dijalankan oleh industri tekstil di
Jawa Barat belum optimal.
Sementara itu Robert Half (2013) dalam hasil risetnya menyatakan bahwa
manfaat utama dari kemitraan adalah meningkatkan kinerja korporasi, manajemen
resiko yang lebih baik , dan pengurangan biaya dalam fungsi keuangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
Corporate Social Responsibility dan kemitraan bisnis, pengaruhnya terhadap citra
perusahaan dan daya saing serta implikasinya terhadap kinerja perusahaan.
1.2. Identifikasi Masalah, Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Peran penting industri tekstil adalah mampu menyerap lebih dari 10% dari
total tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Disamping sumbangannya tergolong
cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), maka sektor industri ini
merupakan salah satu sektor utama, sekaligus memiliki kedudukan strategis dalam
perekonomian Indonesia. Penguatan industri tekstil akan mendukung fundamen
ekonomi yang lebih kuat, serta akan mampu mendukung stabilitas perekonomian
Indonesia serta memiliki daya saing tinggi dalam persaingan ekonomi global.
19
Dewasa ini industri tekstil, masih memiliki kelemahan dalam posisi daya
saing dan dalam meningkatan citra perusahaan, dasa saing yang rendah dapat
terlihat dari banyaknya produk pesaing luar negeri membanjiri pasar nasional,
dimana produk perusahaan TPT nasional kurang dapat bersaing dikarenakan
kurangnya keunggulan yng dimiliki oleh perusahaan TPT nasional, hal ini ditambah
dengan kurang modernnya alat produksi yang digunakan sehingga dapat
memperburuk kualitas hasil produksi yang akan berdampak terhadap citra
perusahaan ditengah pasar, selain itu mesin produksi ini juga mengeluarkan limbah
yang banyak yang sehingga fenomena yang ada di dalam industri tekstil di Jawa
Barat mengindikasikan belum optimalnya implementasi CSR untuk menunjang
citra perusahaan yang lebih baik agar menghasilkan kinerja perusahaan yang
berkelanjutan.
Hal ini terlihat dari meningkatnya keluhan para stakeholder terhadap limbah
produksi yang dihasilkan oleh perusahaan TPT yang tidak dapat dikelola dengan
baik sehingga mencemarkan kehidupan disekeliling perusahaan yang berdampak
langusng kepada masyarakat sekitar perusahaan, sehingga menimbulkan keluhan
sendiri kepada perusahaan TPT itu sendiri, hal ini tentunya dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan dengan adanya ancaman dari masyarakat sekitar.
Selain itu, pengembangan kemitraan juga belum dijalin secara optimal,
fenomena yang terjadi dewasa ini masih lemahnya kerja sama lintas fungsi dalam
perusahaan, belum terciptanya budaya kerja yang lebih mengarah kepada
peningkatan efektivitas perusahaan, belum terciptanya kerja sama dengan lembaga
intermediasi dalam hal pembentukan skema pembiayaan yang sesuai untuk industri
20
tekstil, serta belum terbentuknya kerja sama dengan pihak supplier dalam hal
menyediakan kebutuhan input, serta belum optimalnya penggalangan komunitas
bisnis dengan pihak pelanggan yang ditunjang dengan adanya perlakuan istimewa
dari pihak perusahaan bagi pelanggan yang memberikan share profit yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai CSR
dan kemitraan, pengaruhnya terhadap citra perusahaan dan daya saing serta
implikasinya terhadap kinerja perusahaan.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, batasan masalah dalam penelitian ini adalah
meliputi aspek sebagi berikut:
a. Variabel Penelitian
Corporate Social Responsibility (CSR)
Kemitraan
Citra Perusahaan
Daya Saing
Kinerja Perusahaan
b. Unit Analisis dan Unit pengamatan
Unit analisis merujuk pada tingkat kesatuan data yang dikumpulkan selama
tahap analisis data selanjutnya (Sekaran, 2009). Adapun unit analisis dalam
penelitian ini adalah perusahaan TPT di Jawa Barat sedangkan unit
pengamatan adalah pihak manajemen dari perusahaan TPT di Jawa Barat
tersebut.
21
1.2. 3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat terungkap beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengembangan CSR, Kemitraan Bisnis, Citra, Daya Saing, dan
Kinerja Perusahaan pada industri tekstil di Jawa Barat?
2. Apakah terdapat pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Citra Perusahaan pada
industri tekstil Jawa Barat baik secara simultan dan parsial?
3. Apakah terdapat pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Daya Saing Perusahaan
pada industri tekstil Jawa Barat baik secara simultan dan parsial?
4. Apakah terdapat pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan
pada industri tekstil Jawa Barat baik secara simultan dan parsial?
5. Apakah terdapat pengaruh Citra dan Daya Saing terhadap Kinerja Perusahaan
pada industri tekstil Jawa Barat baik secara simultan dan parsial?
6. Apakah terdapat pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan
melalui Citra Perusahaan pada industri tekstil Jawa Barat?
7. Apakah terdapat pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan
melalui Daya Saing Perusahaan pada industri tekstil Jawa Barat?
8. Apakah terdapat pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Citra dan Daya Saing?
22
1.3. Tujuan Penelitian
Atas dasar pengungkapan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis, menggali dan mengkaji data dan informasi yang
berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Kinerja CSR, Kemitraan, Citra, Daya Saing, dan Kinerja Perusahaan pada
industri tekstil di Jawa Barat.
2. Pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Citra Perusahaan pada industri tekstil
Jawa Barat, baik secara simultan dan parsial.
3. Pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Daya Saing Perusahaan pada industri
tekstil Jawa Barat, baik secara simultan dan parsial.
4. Pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan pada industri tekstil
Jawa Barat, baik secara simultan dan parsial
5. Pengaruh Citra dan Daya Saing terhadap Kinerja Perusahaan pada industri
tekstil Jawa Barat, baik secara simultan dan parsial.
6. Pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan melalui Citra
Perusahaan pada industri tekstil Jawa Barat.
7. Pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan melalui Daya Saing
Perusahaan pada industri tekstil Jawa Barat.
8. Pengaruh CSR dan Kemitraan terhadap Kinerja Perusahaan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui Citra dan Daya Saing.
23
1.4. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka hasil penelitian
ini memiliki kegunaan pengembangan ilmu maupun kegunaan praktis sebagai
berikut ini.
1.4.1. Kegunaan Pengembangan Ilmu
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan ilmu manajemen, khususnya dalam teori manajemen strategik.
Penelitian ini diharapkan dapat mendorong peneliti – peneliti berikutnya untuk
dapat melanjutkan serta mengembangkan dengan lebih lengkap, terutama yang
berhubungan dengan CSR, kemitraan, citra perusahaan, dan daya saing perusahaan,
dalam meningkatkan kinerja perusahaan pada industri tekstil.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam penyempurnaan
regulasi industri tekstil dan produk tekstil di Jawa Barat, Indonesia, sehingga
diharapkan mampu menciptakan lingkungan usaha yang kondusif untuk
mendukung laju pertumbuhan nasional secara maksimal,
2) Sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang bergerak pada industri
pengolahan, khususnya industri tekstil dan produk tekstil, dalam mengambil
keputusan stratejik melalui pemahaman CSR, kemitraan, citra, dan daya saing
dengan baik, sehingga mampu mengoptimalkan kinerja perusahaan.