ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS PERUSAHAN ...
Transcript of ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS PERUSAHAN ...
i
ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS
PERUSAHAN PERKEBUNAN (PERSERO) DI INDONESIA
Oleh:
RANI DAME SIMANJORANG
NIM : 232011260
KERTAS KERJA
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
ii
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Jalan Diponegoro 52-60
Salatiga 50711-Indonesia
Telp. (0298) 321212, 311881
Fax. (0298) 321433, 311881
Homepage: http://feb.ukw.edu
Email: [email protected]
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS KERTAS KERJA
Yang bertanda tangan dibawah ini :
N a m a : RANI DAME SIMANJORANG
N I M : 232011260
Program Studi : Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa kertas kerja,
Judul : ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS
PTPN (PERSERO) DI INDONESIA
Pembimbing : Supatmi, SE., M.Ak., Ak
Tanggal di uji : Desember 2014
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam kertas kerja ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang
lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau
simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan
pada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru
tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi
sesuai peraturan yang berlaku di Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Salatiga, Desember 2014
Yang memberi pernyataan,
Rani Dame Simanjorang
iv
MOTTO
“ALA BISA KARENA BIASA”
“Amsal 1:7 Takut akan Tuhan adalah permulaan ilmu pengetahuan”
“Pribadi terbaik adalah mereka yang selalu memiliki kecintaan kuat terhadap karir dan
keluarga” By Mario Teguh
v
KATA PENGANTAR
Kertas kerja yang berjudul “Analisis Perlakuan Akuntansi Aset Biologis PTPN
(Persero) di Indonesia” dibuat untuk memenuhi salah satu syarat akademik yang harus
dipenuhi oleh penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi strata satu dari Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Kertas kerja ini
merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan penulis mengenai analisis perlakuan akuntansi
aset biologis PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) di Indonesia yang didukung dengan data
sekunder berupa laporan keuangan dari 9 PTPN milik pemerintah di Indonesia, kemudian
membandingkan perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia dengan perlakuan
akuntansi aset biologis menurut IAS 41. Penulis memilih judul penelitian ini untuk
mengetahui penting atau tidaknya IAS 41 sebagai standar yang mengatur perlakuan akuntansi
aset biologis diadopsi di Indonesia.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kertas kerja ini belum sempurna dan masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik, dan
koreksi yang membangun.
Akhir kata penulis berharap semoga kertas kerja yang sederhana ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang berkepentingan.
Salatiga, Desember 2014
Penulis
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam penyelesaian kertas kerja ini Penulis banyak mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
tulus kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, yang selalu mencurahkan berkat dan kasihNya kepadaku dan
memimpin tiap langkahku sehingga kertas kerja ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Ramulia Simanjorang, Mamak Heldina Br Damanik, Kakak Monika Br
Manjorang, Abang Surahman Simanjorang, Adik Franswinata Simanjorang & Ganda
Rizki Rajaya Simanjorang terima kasih atas doa, bimbingan, sarana, dan dorongan
semangat, serta dukungan yang diberikan kepada penulis.
3. Ibu Supatmi, SE., M.Ak., Ak selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
motivasi, berusaha dengan sabar dan cermat dalam membimbing dan mengarahkan
penulis untuk menyelesaikan kertas kerja ini.
4. Bapak Usil Sis Sucahyo SE, MBA selaku Wali Studi yang telah memberikan
masukan serta memberikan pengetahuan kepada penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang tak ternilai.
6. Staf dan Tata Usaha Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya
Wacana yang telah memberi bantuan administrasi dan teknis kepada penulis selama
kuliah.
7. Buat sahabat dan teman-teman Jon Lamhot Sinaga, Endang Naibaho, Irmawati
Sagala, Susi Sagala, Rani Sihombing, Anis Yulianti, Nico Rinaldi Saragih serta buat
pacar tersayang Edy Jaya Sitepu, terimakasih atas semua dukungan, bantuan, doanya.
8. Buat teman-teman FEB angkatan 2011, terima kasih atas doa dan dukungan yang
selalu diberikan.
Akhirnya penulis berharap, kertas kerja ini dapat bermanfaat bagi
organisasi/peruahaan yang ada di Indonesia, khususnya di perusahaan yang bergerak di
vii
bidang agrikultur, segala kekurangan dalam penulisan ini, penulis harapkan kritik dan saran
dari semua pihak.
viii
ABSTRACT
Biological asset is a living plant or animal that have biological transformation that
cause qualitative and quantitative changes in the lives of biological asset. because the
biological transformation need measurements that can demonstrate the value of those assets
are reasonably in accordance with their contribution in producing the flow of economic
benefits for the company. IASC (International Accounting Standards Committee) has
published IAS 41 on Agriculture which regulates the biological assets but in Indonesia the
accounting treatment of biological asset is based on Statement of Financial Accounting
Standard (SFAS) 14 about inventory and SFAS 16 about fixed asset. This research was
conducted at PT. Perkebunan Nusantara (Persero) in Indonesia which is engaged in the
plantation. The purpose of this study is to investigate how the accounting treatment of
biological assets and the comparison of biological asset accounting treatment in PTPN with
a biological asset accounting treatment under IAS 41. the analysis of this research is based
on data from the financial statement are published on the website of PTPN. The result of this
research showed that there are no differences in the regocnation,but there are difference in
measurement and disclosure. In term of measurement, IAS 41 using the fair value method but
PTPN using the cost method. In term of disclosure, IAS 41 only regulate biological assets up
to the point of harvest and don’t disclose depreciation but PTPN reveal biological assets
form processing of agricultural products at the point of harvest into finished product and
disclose depreciation.
Keyword: biological asset, accounting treatment, SFAS 14, SFAS 16, IAS 41, PTPN
ix
SARIPATI
Aset biologis merupakan tanaman atau hewan yang dapat mengalami transformasi
biologis yang menyebabkan perubahan secara kualitatif dan kuantitatif dalam kehidupan aset
biologis. Dengan adanya transformasi biologis itu maka diperlukan suatu pengukuran yang
dapat menunjukan nilai aset pada perusahaan agrikultur secara wajar sesuai dengan
kontribusinya dalam menghasilkan aliran keuntungan yang ekonomis bagi perusahaan. IASC
(International Accounting Standards Committee) telah menerbitkan IAS 41 tentang agrikultur
yang mengatur aset biologis tetapi perlakuan akuntansi aset biologis di Indonesia didasarkan
pada PSAK 14 tentang persediaan dan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 16
tentang aset tetap. Penelitian ini dilakukan pada PT. Perkebunan Nusantara (Persero) milik
pemerintah yang bergerak dalam bidang perkebunan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi aset biologis serta perbandingan perlakuan
akuntansi aset biologis yang diterapkan PTPN di Indonesia dengan berdasarkan IAS 41.
Analisis pada penelitian ini dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari laporan keuangan
PTPN yang dipublikasikan di website PTPN. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam hal pengakuan tetapi ada perbedaan dalam hal pengukuran serta penyajian
dan pengungkapan. Dalam hal pengukuran IAS 41 menggunakan metode nilai wajar
sedangkan PTPN mengukur aset biologis yang dimiliki berdasarkan biaya perolehan. Dalam
hal penyajian dan pengungkapan, IAS 41 hanya mengatur dan mengungkapkan aset biologis
sampai pada titik panen saja dan tidak mengungkapkan penyusutan, sedangkan PTPN
mengungkapkan aset biologis berupa pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi
produk jadi dan mengungkapkan penyusutan.
Kata Kunci: Perlakuan Akuntansi, Aset Biologis, PSAK 14, PSAK 16, IAS 41, PTPN
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ........................................................................................................... i
Surat Pernyataan Keaslian Kertas Kerja .................................................................... ii
Halaman Persetujuan/Pengesahan ............................................................................ iii
Motto ......................................................................................................................... iv
Kata Pengantar .......................................................................................................... v
Ucapan Terimakasih .................................................................................................. vi
Abstract ...................................................................................................................... viii
Saripati ....................................................................................................................... ix
Daftar Isi…………………………………………………………………… ............ x
Daftar Tabel ............................................................................................................... xii
Daftar Bagan .............................................................................................................. xiii
Daftar Lampiran ......................................................................................................... xiv
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
TELAAH LITERATUR .......................................................................................... 3
Defenisi Aset ...................................................................................... 3
Defenisi Aset Biologis ....................................................................... 3
International Accounting Standard 41 Tentang Agriculture ............. 4
Pengakuan ................................................................... 5
Pengukuran ................................................................... 5
Penyajian dan Pengungkapan ............................................. 6
PSAK 14 Tentang Persediaan ........................................................... 6
Pengakuan ................................................................... 7
Pengukuran ................................................................... 7
Penyajian dan Pengungkapan ............................................. 8
PSAK 16 Tentang Aset Tetap ........................................................... 8
Pengakuan ................................................................... 9
Pengukuran ................................................................... 9
Penyajian dan Pengungkapan ............................................ 10
Penelitian Terdahulu ................................................................... 10
xi
Populasi dan Sampel .......................................................................... 11
Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 11
Teknik dan Analisis Data ................................................................... 12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran PTPN di Indonesia ........................................................... 12
Pengakuan Aset Biologis di PTPN .................................................... 13
Pengukuran Aset Biologis di PTPN ................................................... 21
Penyajian dan Pengungkapan Aset Biologis di PTPN ....................... 23
PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................ 25
Implikasi Teori dan Terapan. ............................................................. 26
Keterbatasan dan Saran untuk Penelitian Mendatang ........................ 27
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 PTPN di Indonesia Tahun 2012 ............................................................ 13
Tabel 2 Pengakuan Aset Biologis Menurut IAS 41 dengan PTPN.................... 13
Tabel 3 Penyusutan Aset Biologis PTPN di Indonesia . .................................... 20
Tabel 4 Perbandingan Pengukuran Aset Biologis Menurut IAS 1
dengan PTPN........................................................................................ 22
Tabel 5 Perbandingan Pengungkapan Aset Biologis menurut IAS 1
dengan PTPN ........................................................................................ 24
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Pengakuan Aset Biologis Secara Umum di PTPN.............................. 14
Bagan 2 Pengakuan Komoditas Kelapa Sawit .................................................. 16
Bagan 3 Pengakuan Komoditas Karet................................................................ 17
Bagan 4 Pengakuan Komoditas Teh................................................................... 18
Bagan 5 Pengakuan Komoditas Kopi................................................................. 19
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kriteria Pengakuan Aset Biologis PTPN di Indonesia
1
PENDAHULUAN
Terdapat berbagai jenis perusahaan, salah satunya perusahaan agrikultur. Perusahaan
agrikultur merupakan bagian penting dalam perekonomian Indonesia, hal tersebut terlihat
dari data Departemen Pertanian yang menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan pertanian di
Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan dan selain itu sektor agrikultur juga telah
mampu menyerap 38% tenaga kerja dan menyumbang 13% di dalam perekonomian
Indonesia, bahkan sektor ini juga memiliki peranan dalam menjaga ketahanan pangan
nasional (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011). Perusahaan agrikultur khususnya
perkebunan dalam aktivitasnya memiliki aset yang berbeda dengan aset yang dimiliki oleh
perusahaan di bidang lain. Dalam artikel yang ditulis oleh Sari dan Martini (2011) mengenai
Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman
Perkebunan, disebutkan bahwa industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dengan sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas
pengelolaan dan transformasi biologis atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan
dikonsumsi atau diproses lebih. Dengan adanya transformasi biologis itu maka diperlukan
suatu pengukuran yang dapat menunjukan nilai aset pada perusahaan agrikultur secara wajar
sesuai dengan kontribusinya dalam menghasilkan aliran keuntungan yang ekonomis bagi
perusahaan.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan - Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK - IAI)
mempublikasikan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14 tentang persediaan
dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 tentang aset tetap sebagai standar
akuntansi keuangan yang terkait dengan perlakuan akuntansi aset biologis. Menurut PSAK
14, persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau realisasi neto, dan dipilih mana yang
lebih rendah. Sedangkan PSAK 16 menggunakan model biaya dimana nilai tercatat aset
merupakan biaya perolehan untuk memperoleh tanaman tersebut dikurangi akumulasi
depresiasi dan penurunan nilai. Sementara itu, pada tahun 2000 International Accounting
Standar Committee (IASC) telah mempublikasikan International Accounting Standard 41
(IAS 41) tentang agrikultur yang mengatur tentang perlakuan akuntansi selama periode
pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi, serta untuk pengukuran awal hasil
pertanian pada titik panen. IAS 41 sangat mempengaruhi entitas penilaian aset biologis
perkebunan karena berdasarkan IAS 41 dibedakan penilaian atas aset biologis yang
mengalami transformasi biologis.
2
Tujuan membandingkan perlakuan akuntansi yang diterapkan perusahaan perkebunan
di Indonesia yang terkait dengan PSAK 14 dan PSAK 16 berhubungan dengan teori
stewardship. Teori Stewardship mempunyai akar psikologi dan sosiologi yang didesain
untuk menjelaskan situasi dimana manajer sebagai steward dan bertindak sesuai kepentingan
pemilik (Donaldson & Davis, 1989, 1991). Terkait dengan penelitian ini, manajer akan
berperilaku sesuai kepentingan bersama contohnya manajer akan memilih menggunakan
standard perlakuan akuntansi aset biologis yang lebih mewakili keadaan sebenarnya dari
PTPN supaya pemilik dapat mengetahui keadaan sebenarnya dari PTPN. Teori
stewardship mengasumsikan hubungan yang kiat antara kesuksesan organisasi dengan
kepuasan pemilik. Steward akan melindungi dan memaksimalkan kekayaan organisasi
dengan kinerja perusahaan.
Munculnya IAS 41 menimbulkan minat beberapa peneliti untuk melakukan penelitian
terkait dengan perlakuan akuntansi aset biologis untuk industri agrikultur. Ridwan (2011)
menyebutkan bahwa pengukuran aset biologis berupa tanaman perkebunan yang berdasarkan
harga perolehan dipandang belum mampu memberikan informasi yang relevan bagi
pengguna laporan keuangan, karena nilai tersebut belum mampu menunjukkan informasi
tentang nilai sebenarnya yang dimiliki oleh aset biologis. Safitri (2012) menyimpulkan bahwa
dalam pengukuran suatu aset biologis berupa tanaman pada PT. Perkebunan Nusantara VI
(persero) yang berdasarkan harga perolehan dipandang belum mampu memberikan informasi
yang relevan bagi pengguna laporan keuangan, karena nilai tersebut belum mampu
menunjukan informasi tentang nilai sebenarnya yang dimiliki oleh aset biologis. Widyastuti
(2012) menyatakan tidak ada perbedaan signifikan antara pengakuan, pengukuran, dan
penilaian aset biologis sebelum dan sesudah penerapan IAS 41 pada PT. Sampoerna Agro,
Tbk. Hasil penelitian yang telah disebutkan diatas belum menyimpulkan apakah IAS 41
penting diadopsi di Indonesia. Perbedaan hasil penelitian Ridwan dan Safitri dengan
penelitian Widyastuti membuat topik penelitian tentang perlakuan akuntansi aset biologis
PTPN di Indonesia menarik untuk diteliti kembali.
Sampai saat ini, setelah hampir 11 tahun IAS 41 dipublikasikan pada tahun 2003,
DSAK-IAI belum menerbitkan PSAK yang mengacu pada IAS 41 karena IAS 41 masih
direvisi beberapa kali dari tahun ke tahun karena terdapat kesalahan dalam konsepnya,
kesalahan dalam konsep tersebut belum dikaji dampak untuk praktik akuntansinya
bagaimana, revisi IAS 41 yang terakhir adalah revisi tahun 2009 (Handoko, 2011). Oleh
karena itu entitas perkebunan mendasarkan perlakuan akuntansinya menggunakan PSAK 14
3
dan PSAK 16. Berbagai penelitian sebelumnya yang telah disebutkan diatas menggunakan
hanya satu perusahaan perkebunan sebagai objek penelitiannya. Sedangkan penelitian ini
menggunakan semua perusahaan perkebunan milik pemerintah yang ada di Indonesia sebagai
objek penelitian sehingga dapat mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi aset biologis
perusahaan perkebunan milik pemerintah di Indonesia, selanjutnya membandingkannya
dengan perlakuan akuntansi aset biologis berdasarkan IAS 41 untuk mengetahui perlu atau
tidaknya IAS 41 diadopsi di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) milik Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) di Indonesia yaitu PTPN I – PTPN XIV (Persero) yang bergerak
dalam bidang perkebunan. Penelitian ini hanya berupa studi kasus dan membatasi penelitian
ini dengan mengambil objek penelitian hanya pada aset biologis berupa tanaman perkebunan
yang dimiliki oleh perusahaan PT Perkebunan Nusantara Indonesia (Persero). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan akuntansi aset biologis perkebunan pada
perusahaan agrikultur di Indonesia yaitu PT Perkebunan Nusantara yang masih menggunakan
PSAK 14 dan PSAK 16 sebagai standar pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapannya di dalam laporan keuangan, selanjutnya membandingkannya dengan
perlakuan akuntansi aset biologis berdasarkan IAS 41.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi perusahaan dalam perlakuan
akuntansi aset biologisnya agar lebih andal. Bagi dunia akademik penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan bagi peneliti-peneliti di masa datang mengenai aset
biologis. Bagi Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI),
penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi dasar pertimbangan perlu atau tidaknya IAS 41
diadopsi di Indonesia.
TELAAH LITERATUR
Definisi Aset
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku di Indonesia, aset adalah
sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari
mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh perusahaan. Menurut Kieso
(2011), aset dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, seperti aset berwujud dan
tidak berwujud, aset tetap dan tidak tetap. Secara umum klasifikasi aset pada neraca
dikelompokkan menjadi aset lancar (current assets) dan aset tidak lancar (noncurrent assets).
4
Definisi Aset Biologis
Menurut Ridwan (2011) Aset biologis merupakan jenis aset berupa tanaman pertanian
maupun perkebunan dan hewan peternakan yang diolah dan dimiliki oleh perusahaan dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Aset biologis merupakan jenis aset berupa hewan dan
tumbuhan hidup, seperti yang didefinisikan dalam IAS 41 paragraf 5:“Biological asset is a
living animal or plant”, Jika dikaitkan dengan karakteristik yang dimiliki oleh aset, maka aset
biologis dapat dijabarkan sebagai tanaman pertanian atau hewan ternak yang dimiliki oleh
perusahaan yang diperoleh dari kegiatan masa lalu.
Aset biologis merupakan aset yang sebagian besar digunakan dalam aktivitas
agrikultur, karena aktivitas agrikultur adalah aktivitas usaha dalam rangka manajemen
transformasi biologis dari aset biologis untuk menghasilkan produk yang siap dikonsumsikan
atau yang masih membutuhkan proses lebih lanjut. Aset biologis memiliki karakteristik yang
berbeda dengan aset lainnya karena aset biologis mengalami transformasi biologis.
Tranformasi biologis merupakan proses pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi
yang disebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada makhluk hidup dan menghasilkan
aset baru dalam bentuk produk agrikultur atau aset biologis tambahan pada jenis yang sama
(IAS 41 paragraf 5).
International Accounting Standard 41 Tentang Agriculture (IAS 41)
Pada tahun 2000, IASC menerbitkan IAS 41 pada bulan Desember 2000 dan menjadi
efektif untuk laporan keuangan yang mencakup periode mulai atau setelah Januari 2003, dan
revisi IAS 41 yang digunakan sekarang yaitu revisi 2009. IAS 41 mengatur perlakuan
akuntansi untuk aktivitas agrikultural sebagaimana tercermin dalam kalimat pembukaan
standar akuntansi tersebut: IAS 41 mengatur perlakuan akuntansi, penyajian laporan
keuangan, dan pengungkapan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, suatu hal yang
tidak tercakup dalam standar lainnya. Kegiatan pertanian adalah manajemen oleh entitas dari
transformasi biologis dari hewan hidup atau tanaman (aset biologis) untuk penjualan, hasil
pertanian, atau aset biologis tambahan (IAS 41 paragraf 1). IAS 41 berlaku untuk aset
biologis dengan pengecualian tanah yang berkaitan dengan aset biologis, aset tidak berwujud
yang berkaitan dengan aktivitas agrikultur, dan hibah pemerintah yang berkaitan dengan aset
biologis tersebut (IAS 41 paragraf 2).
5
Pengakuan awal
Entitas mengakui aset biologis menghasilkan hanya ketika aset merupakan akibat dari
peristiwa masa lalu, besar kemungkinan manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke
entitas, dan nilai wajar atau biaya aset dapat diukur secara andal. (IAS 41 paragraf 10). Aset
biologis menurut IAS 41 dibagai menjadi aset biologis belum dewasa dan aset biologis
dewasa, serta persediaan berupa produk agrikultur pada titik panen. Suatu aset disebut
sebagai aset biologis belum dewasa apabila umur atau manfaat aset biologisnya kurang dari
atau sama dengan satu tahun dan disebut sebagai aset biologis dewasa apabila umur aset
biologisnya lebih dari satu tahun serta telah mencapai spesifikasi untuk di panen.
Pengukuran
Aset biologis dalam lingkup IAS 41 diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal
laporan keuangan pada nilai wajar berbasis harga pasar setelah dikurangi dengan taksiran
biaya untuk menjual (IAS 41 paragraf 12). IAS 41 memperkenalkan pendekatan nilai wajar
(fair value) berbasis harga pasar untuk mengukur aset biologis yaitu aset tanaman dan hewan
ternak.
Pendekatan ini mengasumsikan adanya harga pasar untuk tanaman dan hewan ternak
yang sedang tumbuh. IASC memandang bahwa penggunaan nilai wajar lebih unggul karena:
a) efek perubahan transformasi biologis akan paling baik dicerminkan dengan mengacu
pada perubahan nilai wajar dari aset biologis;
b) nilai wajar memiliki relevansi, keandalan, keterbandingan dan dapat dimengerti yang
lebih tinggi untuk mengukur nilai ekonomi di masa depan dari aset biologis
dibandingkan dengan biaya historis karena hadirnya pasar yang aktif dengan harga
pasar yang dapat diamati untuk sebagian besar aset biologis yang akan meningkatkan
keandalan nilai pasar sebagai indikator nilai wajar;
c) siklus produksi yang relatif panjang dan berkesinambungan dan tidak ada pendapatan
yang dilaporkan sampai dengan panen pertama dan penjualan (bisa sampai 30 tahun)
dalam industri kehutanan jika menggunakan model akuntansi historis. (IAS 41
paragraf B14-B16).
Walaupun demikian, IASB juga menyimpulkan bahwa, dalam kasus tertentu, nilai
wajar tidak dapat diukur dengan andal (IAS 41 par.B19). Konsekuensinya diputuskan untuk
memasukkan „pengecualian keandalan‟ (reliability exception) untuk kasus dimana harga yang
ditentukan pasar tidak tersedia, dan alternatif estimasi nilai wajar (alternative estimates of
fair value) dinyatakan secara jelas tidak dapat diandalkan. Dalam kasus-kasus seperti ini, aset
6
biologis seharusnya diukur dengan biaya perolehannya dikurangi dengan akumulasi
depresiasi dan penurunan nilai aset (IAS 41 paragraf B20). IAS 41 menyatakan bahwa
penentuan nilai wajar untuk aset biologis atau hasil yang dipanen dapat difasilitasi dengan
mengelompokkan aset biologis atau hasil yang dipanennya berdasarkan atribut pentingnya,
contohnya umur atau kualitas. Entitas memilih atribut ini sesuai dengan atribut yang
digunakan di pasar untuk menentukan harga (IAS 41 paragraf 15). IAS 41 paragraf 17-24
memberikan aturan dalam menentukan nilai wajar aset biologis dan hasil yang akan dipanen.
Aturan tersebut yaitu berdasarkan pasar aktif, jika terdapat pasar aktif untuk aset biologis
atau hasil yang dipanennya, harga kuotasi di pasar merupakan dasar yang tepat untuk nilai
wajar aset tersebut. Jika entitas memiliki akses terhadap berbagai pasar yang aktif, maka
harus dipilih harga pasar yang paling relevan (yaitu harga di pasar yang akan dipakai dan jika
tidak terdapat pasar yang aktif, maka entitas harus menggunakan salah satu atau lebih antara
harga pasar transaksi terakhir, harga pasar untuk aset yang sama dengan memperhitungkan
penyesuaian untuk perbedaan, dan berdasarkan biaya historis dalam menentukan nilai
wajarnya.
Penyajian dan Pengungkapan
Entitas mengungkapkan keuntungan agregat atau kerugian yang timbul selama periode
berjalan, deskripsi dari setiap kelompok aset biologis, jika tidak diungkapkan sebagai
informasi yang dipublikasikan dengan laporan keuangan maka entitas harus menjelaskan sifat
kegiatan yang melibatkan setiap kelompok aset biologis, entitas harus mengungkapkan metode
dan asumsi signifikan yang diterapkan dalam menentukan nilai wajar setiap kelompok hasil
pertanian pada titik panen dan setiap kelompok aset biologis, entitas harus mengungkapkan nilai
wajar dikurangi biaya untuk menjual dari produk agrikultural yang telah dipanen selama
periode tertentu, entitas mengungkapkan keberadaan dan jumlah tercatat dari aset biologis,
entitas harus menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan dalam nilai tercatat pada aset biologis
di antara awal dan akhir periode berjalan (IAS 41 Paragraf 40-50).
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK ) 14 Tentang Persediaan
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14 (2008) disebutkan bahwa
persediaan adalah aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa, dalam proses
produksi untuk penjualan tersebut atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk
digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa (PSAK 14 paragraf 5).
7
Pengakuan
Suatu aset dapat diklasifikasikan sebagai persediaan bila memenuhi salah satu kriteria
berikut: barang yang dibeli untuk dijual kembali, barang jadi yang diproduksi atau barang
dalam penyelesaian yang sedang diproduksi termasuk bahan serta perlengkapan yang akan
digunakan dalam proses produksi (PSAK 14 paragraf 7).
Pengukuran
Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih
rendah (PSAK 14 paragraf 8).
a. Biaya Persediaan
Biaya persediaan harus meliputi biaya pembelian, biaya konversi, biaya lain yang
timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini (PSAK 14 paragraf 9).
Teknik pengukuran biaya persediaan seperti metode biaya standar, metode eceran (retail)
dapat digunakan bila hasilnya mendekati biaya historis (PSAK 14 paragraf 19). Biaya
persediaan untuk item yang biasanya tidak dapat diganti dengan barang lain (not ordinary
interchangeable) dan barang atau jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek tertentu
harus diperhitungkan berdasarkan identifikasi spesifik terhadap biayanya masing masing
(PSAK 14 paragraf 21). Biaya persediaan, kecuali yang disebut dalam paragraf 21, harus
dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP) atau
rata-rata tertimbang. Entitas harus menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua
persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang memiliki
sifat dan kegunaan yang berbeda, rumusan biaya yang berbeda diperkenankan (PSAK 14
paragraf 23).
b. Nilai Realisasi Neto
Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi
estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan
(PSAK paragraf 5). Biaya persediaan mungkin tidak akan diperoleh kembali jika persediaan
rusak, seluruh atau sebagian persediaan telah usang, atau harga jualnya telah menurun. Biaya
persediaan juga tidak akan diperoleh kembali jika estimasi biaya penyelesaian atau estimasi
biaya untuk membuat penjualan telah meningkat. Praktek penurunan nilai persediaan di
bawah biaya menjadikan nilai realisasi neto konsisten dengan pandangan bahwa aset
seharusnya tidak dinyatakan melebihi perkiraan jumlah yang dapat direalisasi dari penjualan
atau penggunaannya (PSAK 14 paragraf 26). Nilai persediaan biasanya diturunkan ke nilai
realisasi neto secara terpisah untuk setiap item dalam persediaan. Namun demikian, dalam
8
beberapa kondisi, penurunan nilai persediaan mungkin lebih sesuai jika dihitung terhadap
kelompok item yang serupa atau berkaitan. Misalnya barang-barang yang termasuk dalam lini
produk dengan tujuan atau penggunaan akhir yang serupa, yang diproduksi dan dipasarkan di
wilayah yang sama, dan tidak dapat dievaluasi terpisah dari item-item lain dalam lini produk
tersebut. Penurunan nilai persediaan tidak tepat jika dihitung berdasarkan klasifikasi
persediaan, misalnya, barang jadi, atau seluruh persediaan dalam suatu industri atau segmen
geografis tertentu. Pemberi jasa pada umumnya mengakumulasikan biaya-biaya untuk setiap
jasa di mana harga jual terpisah ditentukan. Dengan demikian, masing-masing jasa tersebut
diperlakukan secara terpisah (PSAK 14 paragraf 27).
Penyajian dan Pengungkapan
Laporan keuangan harus mengungkapkan kebijakan akuntansi yang digunakan dalam
pengukuran persediaan termasuk rumus biaya yang digunakan, total jumlah tercatat
persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi yang sesuai bagi entitas, jumlah
tercatat persediaan yang dicatat dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual, jumlah
persediaan yang diakui sebagai beban selama periode berjalan, jumlah setiap penurunan nilai
yang diakui sebagai pengurang, kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai
persediaan yang diturunkan dan nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan
kewajiban (PSAK 14 paragraf 34).
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 16 (PSAK ) 16 Tentang Aset Tetap
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 (2011) ini bertujuan untuk
mengatur perlakuan akuntansi aset tetap, agar pengguna laporan keuangan dapat memahami
informasi mengenai investasi entitas di aset tetap, dan perubahan dalam investasi tersebut. Isu
utama dalam akuntansi aset tetap adalah: pengakuan aset, penentuan jumlah tercatat,
pembebanan penyusutan, dan rugi penurunan nilai atas aset tetap (PSAK 16 paragraf 1).
Definisi dalam PSAK 16 paragraf 6 adalah sebagai berikut:
Aset tetap adalah aset berwujud yang:
(a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk
direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
(b) diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode (PSAK 16 paragraf 6).
Biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika kemungkinan besar
entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut dan biaya
perolehan aset dapat diukur secara andal (PSAK 16 paragraf 7).
9
Pengakuan Awal
Suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset pada awalnya
harus diukur sebesar biaya perolehan (PSAK 16 paragraf 15). Biaya perolehan aset tetap
meliputi:
a) harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak boleh
dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potongan-potongan lain;
b) biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi
dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan intensi
manajemen;
c) estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi
aset. Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset tersebut diperoleh atau karena
entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk
menghasilkan persediaan (PSAK 16 paragraf 16).
Pengukuran
Untuk pengukuran setelah pengakuan awal entitas memilih model biaya (paragraf 30)
atau model revaluasi (paragraf 31) sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan
kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama (PSAK 16 paragraf
29).
a. Model Biaya (Cost Model)
Setelah diakui sebagai aset, aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi
akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 paragraf 30).
b. Model Revaluasi (Revaluation Model)
Setelah diakui sebagai aset, aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal
harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi
akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal
revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler untuk
memastikan jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan
dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan (PSAK 16 paragraf 31). Nilai
wajar adalah jumlah yang dipakai untuk mempertukarkan suatu aset antara pihak-pihak yang
berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai dalam suatu transaksi wajar, namun
apabila tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset
tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang
berkelanjutan, maka entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan
10
pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (PSAK 16 paragraf 33).
Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus
direvaluasi (PSAK 16 paragraf 36). Setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya
perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan
secara terpisah (PSAK 16 paragraf 44). Pilihan yang disediakan untuk entitas memilih antara
model biaya atau model revaluasi ini menjadi hal yang menarik dari PSAK 16.
Penyajian dan Pengungkapan
Laporan keuangan harus mengungkapkan dasar pengukuran yang digunakan dalam
menentukan jumlah tercatat bruto, metode penyusutan yang digunakan, umur manfaat atau
tarif penyusutan yang digunakan, jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan
(dijumlahkan dengan akumulasi rugi penurunan nilai) pada awal dan akhir periode, dan
rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan penambahan
(PSAK 16 paragraf 74). Laporan keuangan juga harus mengungkapkan keberadaan dan
jumlah restriksi atas hak milik dan aset tetap yang dijaminkan untuk liabilitas, jumlah
pengeluaran yang diakui dalam jumlah tercatat aset tetap yang sedang dalam pembangunan,
jumlah komitmen kontraktual dalam perolehan aset tetap, dan jumlah kompensasi dari pihak
ketiga untuk aset tetap (aset tetap yang mengalami penurunan nilai, hilang atau dihentikan
yang dimasukkan dalam laba rugi) (PSAK 16 paragraf 75).
Penelitian Terdahulu
Ridwan (2011) meneliti tentang perlakuan akuntansi aset biologis PT Perkebunan
Nusantara XIV Makassar dan menyatakan bahawa PTPN XIV (Persero) dalam melakukan
pengakuan dan pengukuran aset biologis berupa tanaman perkebunan telah dilakukan sesuai
dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum di Indonesia, yaitu prinsip akuntansi yang
didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK), peraturan Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) serta peraturan pemerintah yang lain yang berlaku dalam penyajian
laporan keuangan perusahaan. Aset biologis berupa tanaman perkebunan pada PTPN XIV
(Persero) diukur berdasarkan harga perolehannya karena didasarkan pada pertimbangan
bahwa nilai ini lebih terukur sehingga mampu memberikan informasi yang lebih andal namun
pengakuan dan pengukuran yang berdasarkan harga perolehan dipandang belum mampu
memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan keuangan, karena nilai tersebut
belum mampu menunjukkan informasi tentang nilai sebenarnya yang dimiliki oleh aset
biologis. Safitri (2012) juga melakukan penelitian tentang perlakuan aset biologis yaitu
tentang perlakuan akuntansi aset biologis dan hubungannya dengan kualitas informasi
11
keuangan pada PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) Jambi dan hasil penelitiannya sama
dengan hasil penelitian Ridwan (2011).
Widyastuti (2012) meneliti tentang analisis penerapan International Accounting
Standard (IAS) 41 pada PT Sampoerna Agro, TBK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengakuan, pengukuran dan penilaian aset
biologis antara sebelum penerapan dan setelah penerapan IAS 41, hanya saja aset biologis
saat penerapan IAS 41 tidak mengakui adanya akumulasi depresiasi sehingga ada kenaikan
nilai aset biologisnya. Pengukuran aset biologis menggunakan nilai wajar sehingga lebih
relevan dengan masa sekarang. Aset biologis dikelompokkan berdasarkan umur tanaman
untuk menilai nilai wajarnya.
METODA PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini yaitu semua perusahaan perkebunan milik pemerintah di
Indonesia yakni PTPN I – PTPN XIV. Sampel yang digunakan yaitu perusahaan perkebunan
milik Pemerintah yang mempublikasikan laporan keuangan yang terdiri dari laporan posisi
keuangan, laporan rugi laba, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan tahun 2012.
Pemilihan dan penentuan anggota sampel dari populasi menggunakan metoda purposive
sample, artinya bahwa populasi yang akan dijadikan sampel sesuai dengan kriteria yang
dikehendaki. Dari 14 perusahaan perkebunan milik Pemerintah, ada lima perusahaan yaitu
PTPN VIII, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII dan PTPN XIV yang tidak mempublikasikan
laporan posisi keuangan, laporan rugi laba, laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan tahun 2012 sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 9
perusahaan perkebunan milik pemerintah di Indonesia.
Jenis dan sumber data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data laporan keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan
rugi laba, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan tahun 2012 PTPN (Persero) di
Indonesia. Data laporan keuangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari
website resmi semu perusahaan perkebunan yang akan diteliti.
12
Teknik dan Langkah Analisis
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk memberikan gambaran
mengenai perlakuan akuntansi aset biologis meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan berdasarkan standar yang berlaku di PTPN (Persero). Dengan metode analisis
deskriptif kualitatif, data yang diperoleh dari website resmi PTPN (Persero) dianalisis secara
kualitatif, yaitu dengan menjelaskan data-data yang diperoleh untuk mendapatkan gambaran
yang jelas dan menyeluruh hingga tersaji ke dalam laporan keuangan. Hasil analisis tersebut
menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu metode untuk mengumpulkan dan
menganalisis muatan dari sebuah teks (Bell, 2001). Analisis isi ditekankan pada bagaimana
peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi
simbolik yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2001; 220). Setelah mendapatkan
gambaran penuh tentang proses pengakuan dan pengukuran aset biologis berupa tanaman
perkebunan pada 9 perusahaan yang diteliti, langkah berikutnya adalah menganalisis
perlakuan akuntansi aset biologis berdasarkan IAS 41 kemudian membandingkan perlakuan
akuntansi aset biologis perkebunan yang diterapkan di Indonesia dengan perlakuan akuntansi
aset biologis berdasarkan IAS 41.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran PTPN di Indonesia
PT Perkebunan Nusantara (persero) di Indonesia adalah perusahaan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang usaha perkebunan. PTPN mengusahakan
tanaman perkebunan dengan komoditas kelapa sawit, karet, teh, dan kopi yang mencakup
areal dan tanaman perkebunan, kebun bibit dan pemeliharaan tanaman menghasilkan,
pengolahan komoditas menjadi bahan baku berbagai industri, pemasaran komoditas yang
dihasilkan dan kegiatan pendukung lainnya. Tabel di bawah ini akan menampilkan gambaran
umum PTPN di Indonesia.
13
Tabel 1
PTPN di Indonesia Tahun 2012
No. Nama Lokasi Komoditas Tahun berdiri
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PTPN I
PTPN II
PTPN III
PTPN IV
PTPN V
PTPN VI
PTPN VII
PTPN IX
PTPN XIII
Langsa, Provinsi Aceh
Tanjung morawa, Sumut
Medan, Sumatra Utara
Medan, Sumatra Utara
Pekanbaru, Riau
Jambi
Bandar Lampung
Semarang, Jawa tengah
Kalimantan
Kelapa sawit, Karet
Kelapa sawit
Kelapa sawit, Karet
Kelapa sawit, Teh
Kelapa sawit, Karet
Kelapa Sawit, Teh
Kelapa sawit, Karet, Teh
Karet, Kopi, Teh
Kelapa sawit, Karet
1996
1996
1996
1996
1996
1996
1996
1996
1996
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa semua PT Perkebunan Nusantara
(PTPN) merupakan perusahaan perkebunan yang telah berdiri sejak 18 tahun lalu yaitu pada
tahun 1996. PTPN (persero) tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dengan mayoritas
terletak di daerah Sumatra khususnya Sumatra utara. Dari ke empat lini produk tersebut
tanaman kelapa sawit adalah komoditas terbesar yang diusahakaan PTPN di Indonesia.
Pengakuan aset biologis di PTPN
Aset biologis menurut IAS 41 dibagi atas aset biologis belum dewasa, aset biologis
dewasa dan persediaan sedangkan menurut PTPN aset biologis dibagi atas aset tanaman
semusim, tanaman belum menghasilkan, tanaman menghasilkan, dan persediaan.
Tabel 2
Perbandingan Pengakuan Aset Biologis Menurut IAS 41 dengan PTPN
IAS 41 PTPN Keterangan
Aset Biologis diakui sebagai
Aset biologis belum dewasa,
aset biologis dewasa, dan
persediaan
Aset biologis terbagi atas Aset
Tanaman Semusim (ATS),
Tanaman Belum Menghasilkan
(TBM), Tanaman Menghasilkan
(TM ), dan Persediaan
Perbedaan terletak pada
istilah aset biologis.
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
14
Pengklasifikasian aset biologis menurut PTPN dengan menurut IAS 41 secara umum
sama, perbedaannya hanya terletak pada istilah aset biologis. Aset biologis tanaman
perkebunan menurut IAS 41 diakui sebagai aset biologis belum dewasa dan aset biologis
dewasa tetapi PTPN di Indonesia membagi aset biologisnya ke dalam 4 kategori besar yang
terdiri dari Aset Tanaman Semusim (ATS), Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), Tanaman
Menghasilkan (TM), dan Persediaan.. Berikut ini dijelaskan pengakuan aset biologis menurut
PTPN secara umum untuk keempat kategori tersebut.
Bagan 1
Pengakuan Aset Biologis Secara Umum di PTPN
Suatu aset yang diakui
sebagai tanaman
semusim adalah aset
pembibitan berupa
bibit untuk tanaman
yang akan datang
Aset Tanaman
Semusim
(ATS)
Tanaman Belum
Menghasilkan
(TBM)
Tanaman
Menghasilkan
(TM)
Persediaan
Aset diakui sebagai
TBM selama masa
awal penanaman
sampai memenuhi
syarat diakui sebagai
TM
Aset diakui sebagai
TM apabila telah siap
panen dan memenuhi
syarat yang
ditentukan oleh
pertumbuhan vegetatif
dan berdasarkan
taksiran manajemen
Aset yang diakui
sebagai persediaan
yaitu berupa hasil
panen dan produk
olahan
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Tidak semua PTPN mempunyai ke empat kategori tersebut, dimana hanya PTPN II
dan PTPN IX yang memiliki aset biologis berupa ATS sedangkan tujuh PTPN lainnya hanya
membagi aset biologisnya ke dalam tiga kategori yaitu TBM, TM, dan persediaan. PTPN
yang memiliki pembibitan sendiri dapat menjual bibit tersebut ke PTPN lain dan mengakui
bibit tersebut sebagai persediaan namun jika PTPN tersebut memiliki pembibitan yang
selanjutnya ditanam ke areal perkebunannya sendiri maka bibit tersebut diakui sebagai ATS .
PTPN yang tidak memiliki pembibitan sendiri dan membeli bibitnya dari PTPN lain akan
mengakui bibit tersebut sebagai input bibit yang biaya perolehannya termasuk ke dalam
TBM. Di dalam laporan keuangan ATS dikategorikan sebagai aset lancar, karena ATS yang
dapat ditanam sendiri sebagai tanaman perkebunan atau dijual ke PTPN lain digunakan dalam
jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal awal pelaporan.
15
TBM dan TM diklasifikasikan sebagai aktiva tidak lancar karena bersifat jangka
panjang yaitu mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan. TBM direklasifikasi menjadi
TM pada saat tanaman tersebut dianggap sudah mampu menghasilkan produk agrikultur.
Jangka waktu tanaman dapat menghasilkan ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif tanaman
serta berdasarkan taksiran manajemen dengan ketentuan yang telah disepakati dan ditetapkan
oleh manajemen perusahaan.Persediaan dikategorikan sebagai aset lancar. Persediaan yaitu
produk agrikultur dari tanaman menghasilkan pada PTPN. Produk agrikultur tersebut setelah
dipanen diakui sebagai persediaan untuk dijual atau dapat juga digunakan sebagai bahan baku
dari proses produksi untuk menghasilkan produk baru berupa persediaan barang jadi.
Menurut IAS 41 aset biologis didalam laporan keungan diakui sebagai aset biologis belum
dewasa dan aset biologis dewasa yang diklasifikasikan berdasarkan umurnya. Aset biologis
belum dewasa yang sudah memenuhi syarat diakui sebagai aset biologis dewasa
direklasifikasi menjadi aset biologis dewasa. Selanjutnya produk agrikultur pada titik panen
diakui sebagai persediaan. IAS 41 diterapkan pada produk agrikultur berupa hasil pertanian
pada titik panen namun untuk pengolahan produk agrikultur menjadi persediaan barang jadi
tidak diatur di dalam IAS 41 tetapi diatur sendiri di dalam IAS 2 inventory (IAS 41 paragraf
3) atau jika di Indonesia menggunakan PSAK 14 tentang persediaan. Jika pengakuan aset
biologis menurut PTPN dihubungkan dengan IAS 41 maka Aset Tanaman Semusim (ATS)
yang di dalam laporan keuangan disajikan sebagai aset lancar sama dengan aset biologis
belum dewasa pada IAS 41 yang juga disajikan sebagai aset lancar, sedangkan TBM dan TM
menurut PTPN yang disajikan sebagai aktiva tidak lancar sama dengan aset biologis dewasa
menurut IAS 41 yang juga disajikan sebagai aset tidak lancar, sedangkan untuk persediaan
sama-sama disajikan sebagai aset lancar. Perbedaannya PTPN mengakui aset biologis berupa
hasil pengolahan persediaan pada titik panen menjadi barang jadi sedangkan IAS 41 hanya
mengatur standar aset biologis sampai persediaan pada titik panen saja.
Kriteria pengakuan untuk semua komoditas Aset biologis PTPN di Indonesia yang
terdiri dari kelapa sawit, karet, teh, dan kopi akan dijelaskan pada bagan berikut:
16
Bagan 2
Pengakuan Komoditas Kelapa Sawit
-Pembibitan
-Input bibit
Aset Tanaman
Semusim
(ATS)
Tanaman Belum
Menghasilkan
(TBM)
Tanaman
Menghasilkan
(TM)
Persediaan
Masa awal penanaman
sampai memenuhi
syarat diakui sebagai
TM
Umur 3-3,5 tahun,
produksi Tandan Buah
Segar (TBS) 4-6 ton,
per hektar per tahun,
atau antara 60-70%
dari seluruh jumlah
pohon per blok telah
menghasilkan Tandan
Buah Segar (TBS)
dengan berat lebih
besar atau sama
dengan 3 kg
Hasil panen berupa
Tandan Buah Segar
(TBS) dan produk
olahan seperti
minyak sawit dan inti
sawit
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Aset Tanaman Semusim (ATS) untuk PTPN yang memiliki pembibitan sendiri diakui
sebagai pembibitan yang dapat dijual ke PTPN lain atau ditanam sendiri sebagai tanaman
perkebunan. Untuk PTPN yang tidak memiliki pembibitan sendiri, maka PTPN tersebut
membeli bibit dari perusahaan lain dan mengakui bibit tersebut sebagai input bibit yang biaya
perolehannya dihitung termasuk ke dalam biaya perolehan Tanaman Belum Menghasilkan
(TBM).
Pembibitan kelapa sawit berasal dari biji yang disemaikan hingga berkecambah,
ketika masih berupa bibit tanaman kelapa sawit diakui sebagai ATS. Setelah ditanam ke areal
perkebunan tanaman tersebut diakui sebagai TBM sampai memenuhi syarat sebagai TM.
Syarat-syarat tanaman kelapa sawit dikategorikan sebagai TM yaitu jika umur tanamannya,
persentase produksi Tanaman Belum Menghasilkan (TBS), dan berat rata-rata TBS telah
sesuai dengan taksiran manajemen perusahaan. Ketika tanaman kelapa sawit telah memenuhi
syarat tersebut dan dinilai mampu menghasilkan produk agrikultur maka akan diakui sebagai
TM. Hasil dari tanaman kelapa sawit berupa produk agrikultur yaitu berupa Tandan Buah
Segar (TBS). TBS diakui sebagai persediaan bahan baku yang nantinya akan digunakan
dalam proses produksi untuk memproduksi minyak sawit serta inti sawit. TBS yang
merupakan persediaan bahan baku selanjutnya diolah menjadi minyak sawit dan inti sawit,
17
kemudian inti sawit disaring menjadi lebih jernih lagi yang selanjutnya digunakan sebagai
minyak goreng.
Bagan 3
Pengakuan Komoditas Karet
-Pembibitan
-Input bibit
Aset Tanaman
Semusim
(ATS)
Tanaman Belum
Menghasilkan
(TBM)
Tanaman
Menghasilkan
(TM)
Persediaan
Masa awal penanaman
sampai memenuhi
syarat diakui sebagai
TM
Umur 5-6 tahun, 60%
dari seluruh pohon per
blok sudah dapat
dideres dan
mempunyai ukuran
lilit batang lebih besar
dari 45 cm dari
pertautan okulasi
Hasil panen berupa
getah dan produk
olahannya berupa
karet kering
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Komoditas karet dikembangbiakkan dengan okulasi, yaitu mengembangbiakkan
tumbuhan dengan cara menempelkan sepotong kulit pohon yang bermata tunas dari batang
suatu tanaman ke tanaman lain. Ketika bibit tanaman karet tersebut ditanam ke areal
perkebunan, maka tanaman karet dinyatakan sebgai TBM. Setelah memenuhi syarat yang
ditentukan manajemen perusahaan untuk dapat menghasilkan produk agrikultur yakni
mencakup syarat umur tanaman, persentase kemampuan, dan ukuran lilit batang tanaman
karet, maka tanaman karet tersebut direklasifikasi menjadi TM. Produk agrikultur berupa
getah karet dinyatakan sebagai persediaan bahan baku yang kemudian diolah menjadi karet
kering dan diakui sebagai persediaan barang jadi.
18
Bagan 4
Pengakuan Komoditas Teh
-Pembibitan
-Input bibit
Aset Tanaman
Semusim
(ATS)
Tanaman Belum
Menghasilkan
(TBM)
Tanaman
Menghasilkan
(TM)
Persediaan
Masa awal penanaman
sampai memenuhi
syarat diakui sebagai
TM
Hasil panen berupa
daun teh basah dan
produk olahannya
berupa teh jadi
Umur 3-4 tahun,
pertumbuhan daun
yang telah saling
bertemu antar satu
pokok dengan pokok
lainnya mencapai
70%, dan 60% daun
dari seluruh jumlah
pohon per blok telah
dapat dipetik
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Bibit tanaman teh bisa dari biji teh dan bisa juga dengan stek. Ketika telah ditanam ke
areal bibit tersebut diakui sebagai TBM sampai dinilai mampu untuk menghasilkan daun teh.
Tanaman karet dinilai mampu menghasilkan produk agrikultur apabila umur tanaman,
pertumbuhan daun, dan persentase daun yang dapat dipetik telah memenuhi syarat yang
ditentukan manjemen perusahaan Ketika telah memenuhi syarat tersebut dan mampu
menghasilkan daun teh basah tanaman teh diakui sebagai TM. Produk agrikultur berupa daun
teh basah diakui sebagai persediaan bahan baku yang selanjutnya diolah menjadi teh kering
yang akhirnya diakui sebagai persediaan barang jadi.
19
Bagan 5
Pengakuan Komoditas Kopi
-Pembibitan
-Input bibit
Aset Tanaman
Semusim
(ATS)
Tanaman Belum
Menghasilkan
(TBM)
Tanaman
Menghasilkan
(TM)
Persediaan
Masa awal penanaman
sampai memenuhi
syarat diakui sebagai
TM
Hasil panen berupa
buah kopi. dan
produk olahannya
berupa kopi jadi
Aset diakui sebagai
TM apabila telah
memasuki tahun
keempat
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Pembibitan kopi yaitu berasal dari biji kopi. ketika bibit siap tanam dan disebar kse
areal perkebunan, kopi tersebut diakui sebagai TBM. Ketika umur tanaman telah memasuki
tahun keempat makan tanaman kopi dinilai telah mampu menghasilkan buah kopi, makat
diakui sebagai TM. Hasil panen berupa buah kopi dinyatakan sebagai persediaan bahan baku
yang selanjutnya diolah menjadi persediaan barang jadi berupa kopi jadi.
Pengakuan aset biologis PTPN di Indonesia menerapkan standar yang berbeda di
setiap kriteria. Untuk TBM dan TM, PTPN menggunakan PSAK 16 tentang aset tetap
sebagai standarnya yakni menggunakan biaya perolehan serta mengakui adanya penyusutan,
dan untuk persediaan perusahaan menggunakan PSAK 14 atau IAS 2 sebagai standarnya
yaitu dapat memilih mana yang paling rendah antara biaya perolehan dan nilai realisasi neto.
Pengakuan TM di beberapa PTPN bervariasi, ada kemungkinan hal tersebut disebabkan
lokasi, letak geografis, dan cuaca di setiap perusahaan perkebunan.
Karena TM dinilai mampu memberikan kontribusi manfaat ke dalam perusahaan
yakni berupa kemampuan untuk menghasilkan produk agrikultur, maka perlu diadakan
pengakuan terhadap pemakaian manfaat tersebut ke dalam setiap periode dimana manfaat
tersebut dipakai. Cara untuk mengakui pemakaian manfaat dari tanaman telah menghasilkan
adalah dengan menghitung penyusutan terhadap nilai tanaman perkebunan. Penyusutan
tanaman perkebunan dimulai sejak TBM direklasifikasi ke TM. Dengan adanya penyusutan
tanaman perkebunan berupa TM maka PTPN mengakui adanya pengurangan aset sebagai
hasil dari penyusutan umur ekonomis aset tanaman perkebunan. Metode penyusutan tanaman
perkebunan telah disesuaikan berdasarkan pedoman akuntansi Badan Usaha Milik Negara
20
(BUMN) perkebunan yang penerapannya telah diberlakukan untuk BUMN perkebunan sejak
tanggal 1 Januari 2009 berdasarkan surat dari Kementerian Negara BUMN Nomor :S-
206/D4.MBU/2008 tanggal 7 Oktober 2008.
Penyusutan dihitung berdasarkan taksiran masa manfaat ekonomis aset tanaman
dengan menggunakan metode garis lurus yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 3
Penyusutan Aset Biologis PTPN di Indonesia
Komoditas Umur ekonomis Tarif penyusutan per tahun
Kelapa sawit
Karet
Teh
Kopi
25 tahun
25 tahun
50 tahun
40 tahun
4%
4%
2%
2,5%
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Dari tabel diketahui bahwa tanaman teh memiliki umur ekonomis yang paling tinggi,
kemudian diikuti kopi dengan umur ekonomis 40 tahun, dan yang memiliki umur ekonomis
paling sedikit yaitu tanaman kelapa sawit dan karet yakni 25 tahun. Tarif penyusutan aset
biologis telah sesuai dengan pedoman akuntansi BUMN perkebunan yang menggunakan
metode garis lurus dalam menghitung penyusutannya. Dengan metode garis lurus PTPN
membagi manfaat ekonomi dari tanaman telah menghasilkan sama besar setiap periodenya
sampai dengan masa manfaat dari tanaman telah menghasilkan dapat digunakan. Semakin
tinggi umur ekonomis suatu tanaman perkebunan maka semakin kecil tarif penyusutannya.
Menurut IAS 41 bagi perusahaan yang melakukan penilaian terhadap aset biologis
menggunakan nilai wajar, seharusnya tidak mengakui adanya akumulasi penyusutan, kecuali
ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan maka perusahaan menilai aset biologis dengan biaya
perolehan sehingga penyusutan tetap diakui dan metode serta tarif penyusutannya sesuai
dengan kebijakan perusahaan. Adanya pengakuan penyusutan aset biologis pada perusahaan
berdampak pada penurunan laba rugi pada tahun berjalan, sedangkan menurut IAS 41 yang
tidak mengakui adanya penyusutan, maka pada laporan laba/rugi tidak ada beban depresiasi
yang berakibat adanya kenaikan pada laporan laba/rugi.
21
Pengukuran Aset Biologis di PTPN
Pengukuran aset biologis PTPN di Indonesia untuk semua komoditas sama sesuai
dengan kriterianya yaitu sebagai berikut:
a) Aset Tanaman Semusim (ATS) dinyatakan sebesar biaya yang berhubungan dengan
input bibit, tenaga kerja langsung dan biaya yang dapat diatribusikan secara langsung
dan tidak langsung. Biaya penyisipan suatu aset tanaman dalam areal pembibitan
diakui sebagai penambah jumlah tercatat aset tanaman semusim. Penyusutan aset
tanaman semusim dimulai ketika bibit ditanam menjadi tanaman siap panen. Jumlah
penyusutan adalah sebesar jumlah yang dapat disusutkan dengan metode garis lurus
tanpa dikurangi nilai residu. Entitas melakukan review atas umur manfaat dan metode
penyusutan aset tanaman semusim secara periodik.
b) Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dinyatakan sebesar biaya perolehan, terdiri dari
biaya langsung seperti biaya-biaya pembibitan, persiapan lahan, penanaman,
pemupukan, dan pemeliharaan atas TBM serta biaya tidak langsung seperti biaya
kapitalisasi biaya bunga pinjaman dan kerugian selisih kurs pinjaman dalam mata uang
asing selama masa TBM.
c) Tanaman Menghasilkan (TM) Diukur berdasarkan nilai yang telah direklasifikasi dari
TBM ke akun tanaman telah menghasilkan pada saat tanaman tersebut mulai
menghasilkan. Jangka waktu suatu tanaman dinyatakan mulai menghasilkan ditentukan
oleh pertumbuhan vegetatif dan berdasarkan taksiran manajemen.
d) Persediaan dinyatakan sebesar nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan nilai
realisasi bersih (the lower of cost or net realizable value). Biaya persediaan hasil jadi
terdiri dari semua biaya yang dikeluarkan untuk TM seperti biaya pemupukan, biaya
pemeliharaan dan biaya panen, serta biaya pengolahan termasuk biaya olah lanjut dan
biaya umum (biaya tidak langsung) yang timbul di kebun dan pabrik. Keseluruhan
biaya tersebut diperhitungkan dengan nilai persediaan pada awal periode dengan
menggunakan metode rata-rata tertimbang untuk menentukan harga perolehan
persediaan hasil jadi. Nilai realisasi bersih adalah estimasi harga penjualan dalam
kegiatan usaha normal dikurangi taksiran biaya penyelesaian dan biaya penjualan.
22
Tabel 4
Perbandingan Pengukuran Aset Biologis Menurut IAS 41 dengan PTPN
IAS 41 PTPN Keterangan
Aset biologis berupa aset
biologis belum dewasa dan
aset biologis dewasa diukur
sebesar nilai wajar dikurangi
taksiran biaya untuk menjual
Tidak mengukur atau
menghitung penyusutan
Aset Biologis berupa ATS, TBM, dan
TM diukur sebesar harga perolehan
dikurangi akumulasi penyusutan
sedangkan aset biologis berupa
persediaan diukur sebesar nilai yang
lebih rendah antara harga perolehan
dan nilai realisasi bersih
Mengukur atau menghitung
penyusutan ketika aset biologis telah
dikategorikan sebagai TM
Tidak sesuai
Tidak sesuai
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Berbeda dengan pengukuran aset biologis menurut PTPN, aset biologis menurut
lingkup IAS 41 harus diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal pelaporan berikutnya
pada nilai wajar berbasis harga pasar aktif setelah dikurangi dengan taksiran biaya untuk
menjual, kecuali nilai wajar tidak dapat diukur secara andal. Harga pasar aktif menurut IAS
41 sulit diketahui. Misalnya untuk komoditas kelapa sawit harga pasar dapat diketahui bila
manakala terdapat kebun kelapa sawit yang akan dijual. Menurut Riyadi (2010) disebutkan
contoh pada tahun 2008 harga yang ditawarkan untuk kebun kelapa sawit di Sumatera
Selatan seluas 2.000 hektar dengan tahun tanam 2004 dan 2005 ditawarkan dengan harga
Rp42.000.000,- per hektar dan 5.000 hektar lahan kosong siap tanam ditawarkan dengan
harga Rp12.000.000,- per hektar. Harga pasar kelapa sawit sulit ditentukan karena sangat
bervariasinya kondisi satu kebun kelapa sawit dengan kebun kelapa sawit lainnya karena
disebabkan perbedaan wilayah, kondisi tanah, letak kebun dan skala luasnya kebun.
Akibatnya nilai wajar tidak dapat ditentukan dengan andal apabila menggunakan harga pasar
paling kini. Ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan maka perusahaan dianjurkan
menggunakan biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi penurunan
nilai, tetapi apabila di kemudian hari nilai wajar dapat ditentukan maka tanaman perkebunan
yang telah dinilai menggunakan biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan
akumulasi penurunan nilai tersebut harus dinilai kembali menggunakan nilai wajar dikurangi
taksiran biaya untuk menjual (IAS 41 paragraf 30).
Begitu juga dengan pengukuran persediaan yang merupakan hasil pertanian menurut
IAS 41 diukur pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual pada titik panen. Menurut
23
PTPN pada saat TBM direklasifikasi ke TM yang diukur dengan akumulasi biaya perolehan
sebelumnya PTPN tidak mengakui adanya keuntungan maupun kerugian. Namun menurut
IAS 41 apabila pada saat dilakukan pengukuran pada suatu periode terdapat kenaikan atau
penurunan pada nilai wajar maka harus diakui sebagai keuntungan atau kerugian dan
dimasukkan kedalam laporan laba rugi (IAS 41 paragraf 28). Pada PTPN harga perolehan
dari aset biologis diperoleh dari biaya-biaya yang dikapitalisasi ke dalam aset biologis, tetapi
menurut IAS 41 semua biaya yang berkaitan dengan aset biologis yang diukur pada nilai
wajar contohnya biaya pemupukan dan pemeliharaan diakui sebagai beban pada saat
terjadinya, selain biaya untuk membeli aset biologis yaitu biaya pembibitan atau biaya untuk
membeli bibit.
Penyajian dan Pengungkapan Aset Biologis di PTPN
Di dalam laporan posisi keuangan PTPN aset biologis berupa Aset Tanaman Semusim
(ATS) dan persediaan disajikan sebagai komponen aset lancar sedangkan aset biologis berupa
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM) disajikan sebagai
aktiva tidak lancar. Menurut IAS 41, di dalam laporan keuangan, aset biologis belum dewasa
disajikan sebagai aktiva lancar dan aset biologis dewasa disajikan sebagai aktiva tidak lancar,
sedangkan persediaan pada titik panen disajikan pada aset lancar. Secara umum penyajian
aset biologis pada aktivitas agrikultur menurut PTPN dan menurut IAS 41 adalah sama,
perbedaannya terletak pada jenis aset biologis yang diungkapkan. Pada PTPN di Indonesia
dan juga menurut IAS 41 suatu perusahaan yang bergerak di bidang agrikultur harus
menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan dalam nilai tercatat pada aset biologis di antara
awal dan akhir periode berjalan.
Pada PTPN di Indonesia perusahaan tidak hanya mengungkapkan aset biologis pada
aktivitas agrikultur sampai titik panen saja, tetapi juga menyajikan produk olahan dari hasil
pada titik panen. Contohnya pada kelapa sawit yaitu berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang
kemudian diolah menjadi minyak sawit dan inti sawit, kemudian inti sawit diolah menjadi
minyak inti sawit yang lebih jernih dan selanjutnya digunakan sebagai minyak goreng.
Namun menurut IAS 41 perusahaan hanya mengatur perlakuan akuntansi dan pengungkapan
yang berhubungan dengan kegiatan pertanian sampai pada titik panen saja, pengolahan
persediaan pada titik panen menjadi barang jadi diatur sendiri dalam IAS 2 atau PSAK 14
mengenai pesediaan.
24
Pengungkapan aset biologis menurut PTPN dengan IAS 42 memiliki persamaan serta
perbedaan dalam beberapa hal. Perbandingan pengungkapan aset biologis menurut PTPN
dengan IAS 41 ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 5
Perbandingan Pengungkapan Aset Biologis Menurut IAS 41 dengan PTPN
IAS 41 PTPN Keterangan
- IAS 41 mengungkapkan
jenis dan jumlah aset
biologis
- IAS 41 hanya mengatur
perlakuan akuntansi dan
hanya mengungkapkan aset
biologis yang berhubungan
dengan kegiatan pertanian.
Untuk pengolahan ghasil
panen menjadi produk jadi
tidak diungkapkan menurut
IAS 41
- IAS 41 mengungkapkan
kebijakan akuntansi yang
digunakan dalam
pengukuran aset biologis
- IAS 41 tidak
mengungkapkan adanya
penyusutan aset biologis,
maka pada laporan laba/rugi
tidak ada beban depresiasi
yang berakibat adanya
kenaikan pada laporan
laba/rugi.
- PTPN mengungkapkan
jenis dan jumlah aset
biologis
- PTPN tidak hanya
mengungkapkan aset
biologis pada aktivitas
agrikultur saja tetapi juga
mengungkapkan
pengolahan produk
agrikultur pada titik panen
menjadi produk jadi
- PTPN mengungkapkan
dasar pengukuran yang
digunakan dalam
menentukan jumlah
tercatat aset biologis
- Pada saat pengakuan aset
biologis PTPN
mengungkapkan adanya
depresiasi yang
berdampak pada
penurunan laba – rugi
pada tahun berjalan. PTPN
mengungkapkan metode
penyusutan yang digunakan,
umur, manfaat ekonomi, dan
tarif penyusutan yang
digunakan.
- Sesuai
- Tidak
sesuai
- Sesuai
- Tidak
sesuai
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Penyajian dan pengungkapan aset biologis menurut IAS 41 dengan menurut PTPN di
Indonesia mempunyai kesamaan dalam hal pengungkapan jumlah dan jenis aset serta sama-
sam mengungkapkan dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat
aset biologis. Sedangkan perbedaannya yaitu IAS 41 hanya mengatur dan mengungkapkan
aset biologis sampai pada titik panen saja, sedangkan PTPN mengungkapkan aset biologis
25
berupa pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi produk jadi. Selain itu, IAS 41
tidak mengungkapkan adanya penyusutan aset biologis, maka pada laporan laba/rugi tidak
ada beban depresiasi yang berakibat adanya kenaikan pada laporan laba/rugi sedangkan
PTPN mengungkapkan adanya depresiasi yang berdampak pada penurunan laba – rugi pada
tahun berjalan sehingga PTPN mengungkapkan metode penyusutan yang digunakan, umur,
manfaat ekonomi, dan tarif penyusutan yang digunakan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan pada PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) XIV (Persero), diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. PTPN (Persero) di Indonesia dalam melakukan perlakuan akuntansi aset biologisnya
telah menggunakan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia yaitu prinsip
akuntansi yang didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang mencakup
PSAK 14 tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap serta peraturan
pemerintah yang lain yang berlaku dalam penyajian laporan keuangan perusahaan.
2. Perbedaan pengakuan aset biologis berupa tanaman perkebunan menurut perusahaan
dengan IAS 41 terjadi dalam hal istilah. Pada perusahaan aset yaitu Tanaman Belum
Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM), sedangkan menurut IAS 41
dibagi atas aset biologis belum dewasa dan aset biologis dewasa. Jika PTPN dikaitkan
dengan IAS 41 maka ATS dikategorikan sebagai aset biologis belum dewasa,
sedangkan TBM dan TM dikategorikan sebagai aset biologis dewasa.
3. Pengukuran Aset biologis berupa Aset Tanaman Semusim (ATS), Tanaman Belum
Menghasilkan (TBM), dan Tanaman Menghasilkan (TM) pada PTPN (Persero) di
Indonesia diukur berdasarkan harga perolehan dan pada TM yang dinilai telah mampu
menghasilkan produk agrikultur diakui adanya penyusutan. Pengukuran persediaan
pada PTPN dinilai berdasarkan nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan
nilai realisasi bersih. Sedangkan menurut IAS 41 semua yang termasuk ke dalam aset
biologis diukur sebesar nilai wajar dikurangi taksiran biaya untuk menjual.
4. Pada PTPN di Indonesia Aset Biologis berupa Aset Tanaman Semusim (ATS),
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM) disajikan
sebesar nilai setelah dikurangi dengan akumulasi penyusutannya. Dalam laporan
26
posisi keuangan ATS dan persediaan disajikan sebagai aset lancar sedangkan TBM
dan TM disajikan sebagai aset tidak lancar. Aset biologis belum dewasa pada IAS 41
disajikan sebagai aset lancar sedangkan aset biologis dewasa sebagai aktiva tidak
lancar.
5. Terkait penyajian dan pengungkapan di dalam laporan keungan, PTPN di Indonesia
menyajikan metode penyusutan, umur, manfaat ekonomi, dan tarif penyusutan serta
mengungkapkan pengolahan produk agrikultur menjadi barang jadi sedangkan IAS
41 tidak mengakui adanya penyusutan sehingga metode penyusutan, umur, manfaat
ekonomi, dan tarif penyusutan tidak diungkapan. Selain itu, IAS 41 hanya mengatur
aset biologis yang berhubungan dengan kegiatan pertanian sampai pada titik panen
saja, sehingga pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi produk jadi
tidak diungkapkan.
Implikasi Teori dan Terapan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perlakuan akuntansi aset biologis pada PTPN
diketahui bahwa hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan pengukuran serta
penyajian dan pengungkapan aset biologis PTPN di Indonesia yang menggunakan biaya
perolehan sebagai dasar pengukurannya dengan berdasarkan IAS 41 yang menggunakan nilai
wajar. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ridwan (2011) dan Safitri (2012) yang
menyatakan bahwa pengukuran berdasarkan harga perolehan dipandang belum mampu
memberikan informasi yang relevan bagi pengguna LK , karena nilai tersebut belum mampu
menunjukan informasi tentang nilai yang sebenarnya dimiliki oleh aset biologis dan
penelitian Widyastuti (2012) yang menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara perlakuan akuntansi aset biologis di PTPN dengan IAS 41. Perlakuan
akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia telah didasarkan pada PSAK 14 tentang
persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap. Untuk itu, IAS 41 tidak perlu diadopsi karena di
Indonesia nilai wajar masih sulit ditentukan. Ketika nilai wajar tidak bisa diukur maka IAS
41 memberi opsi menggunakan biaya perolehan sebagai dasar pengukurannya, hal tersebut
sama saja kembali ke dasar pengukuran menurut PSAK 16. Selain itu apabila menggunakan
nilai wajar menurut IAS 41, maka laporan keuangan akan mengakui keuntungan dan
kerugian yang timbul dari perubahan nilai wajar selama satu periode tetapi keuntungan dan
kerugian tersebut belu direalisasi karena tidak ada transaksi penjualan atau penyerahan
barang sehingga tidak terdapat arus kas masuk. Dalam situasi seperti ini apabila otoritas
27
pajak memiliki penafsiran yang berbeda, maka akan timbul pajak terhutang dari keuntungan
perubahan nilai wajar yang sebenarnya belum terealisasi, hal tersebut tentu saja merugikan
perusahaan.
Keterbatasan Penelitian dan Saran Untuk Penelitian Mendatang
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diolah dan dianalisis hanya
dari laporan keuangan yang dipublikasikan oleh PTPN tidak diverifikasi ke PTPN secara
langsung dengan wawancara maupun observasi. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan
melakukan verifikasi data dengan cara wawancara maupun observasi untuk memperoleh
informasi yang lebih relevan mengenai perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Accounting Principles Board. 1970. APB Statement No.4 Basic Concepts and Accounting
Principles Underlying Financial Statement of Business Enterprises. AICPA.
BAPEPAM. 2002. Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau
Perusahaan Publik Industri Perkebunan. Surat Edaran Bapepam. Online: www.
Bapepam.go.id. Diunduh tanggal 23 Juni 2014
Baridman, Zaki. 1986. Intermediate Accounting Theory. Edisi alih bahasa. Yogyakarta: AK
Group.
Bell, G.F. 2001. Minority Rights and Regionalism in Indonesia . Will Constitutional
Recognition lead to Disintegration and Discrimination?. Singapore Journal of
internasional and Comparative Law.
Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta; Kharisma Putra Utama Offset.
Dewan Pembuat Standar Akuntansi (DSAK) 2008. Pernyataan Standar Akuntansi No. 14,
Persedian.
Dewan Pembuat Standar Akuntansi (DSAK) 2011. Pernyataan Standar Akuntansi No. 16,
Aset Tetap.
Handoko. 2011. Overview IAS 41: Agriculture. Surabaya. Diunduh tanggal 8 Januari 2011
International Accounting Standard Committee (IASC). 2009. International Accounting
StandardNo. 41, Agriculture. Online: www.iasplus.com. Diunduh tanggal 7 Juli 2014
Kieso, Donald E., Jerry J. Weygandt, and Terry D. Warfield. 2011. Intermediate Accounting.
IFRS Ed. New York: John Willey & Sons, Inc.
Raharjo, Eko. 2007. Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif
Akuntansi.Semarang; STIE Pelita Nusantara. Diunduh tanggal 15 Januari 2015
Reeve, James M. Warren, Carl S. 2008. Principles of Accounting. Indonesia Adaptation.
Indonesia: Salemba Empat
Ridwan, Achmad. 2011. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis PT. Perkebunan Nusantara `XIV
Persero). Makassar; Universitas Hasanuddin. Diunduh tanggal 23 Juni 2014
Riyadi, Deden. 2010. Analisis nilai wajar kelapa sawit berdasarkan international accounting
standard 41 Agriculture dibandingkan dengan berdasarkan pernayataan standard
akuntansi16 aset tetap: Studi pada PT Agro Indonesia. Jakarta; Universitas
Indonesia. Diunduh tanggal 23 juni 2014
Sari, K Rachma, Rita M. 2011. Historical Cost vs Fair Value Accounting atas
Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan. Jurnal Eksistansi Politeknik
Negeri Sriwijaya Jurusan Akuntansi Volume 3 Tahun 2011 (362-370). Diunduh
Tanggal 23 juni 2014
Safitri, Syamsi. 2012. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis Hubungannya Dengan Kualitas
Informasi Keuangan pada PT. Perkebunan Nusantara VI Jambi. Padang: UPI.
Diunduh tanggal 23 Juni 2014
Widyastuti, Adita. 2012. Analisis Penerapan International Accounting Standard (IAS) 41
pada PT. Sampoerna Agro, TBK. Semarang; Universitas Diponegoro. Diunduh
tanggal 23 Juni 2014
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rani Dame Simanjorang
Tempat, Tanggal Lahir : Garingging, 07 Juli, 1993
Agama : Kristen
Alamat : Saribudolok, Kab. Simalungun, Sumatra Utara
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. 1999 – 2005 : SD Negeri Desa Tamba Saribu, Kab. Simalungun
2. 2005 – 2008 : SMPN 2 Silimakuta, Kab. Simalungun
3. 2008 – 2011 : SMA CR Van Duynhoven Saribudolok, Kab. Simalungin
4. 2011 – 2014 : Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
PENGALAMAN PANITIA / KERJA :
1. 2013 : Panitia Retret and Blessing Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
2. 2013 – 2014 : Bendahara Umum Organisasi Kepencintaalaman Mitra Gahana FEB
3. 2013 : Trainer Outbound Malam Keakraban Mahasiswa Baru FEB
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
4. 2014 : Trainer Outbound Retreat GKI Salatiga
5. 2014 : Panitia Pelatihan Hutan Gunung FEB
6. 2014 : Trainer Outbound Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa
(LDKM) FEB UKSW