BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/61417/3/BAB II.pdf · 2020. 5....
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/61417/3/BAB II.pdf · 2020. 5....
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini, penulis menggunkan
beberapa kepustakaan berupa hasil penelitian terdahulu yang sudah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dalam kajian penelitian terdahulu, penulis
akan memaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti penulis. Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan
kerangka pemikiran penulis dalam melakukan penelitian. Adapun penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan tema permasalahan penulis yakni tentang
metode Therapeutic Community (TC), sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzik Lendriyono, M.Si, dosen
Kesejahteraan Sosial, Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2008
dengan judul “Analisa Model Therapeutic Community Bagi Korban
Penyalahgunaan Narkoba.” Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian
referensi terhadap beberapa literature yang berkaitan dengan penerapan
model Therapeutic Community yang diperkaya dengan meninjau pusat
rehabilitasi narkoba yang menerapkan metode Therapeutic Community di
Panti Sosial Rehabilitasi Narkoba “Teratai” Surabaya dan Pondok “Mental”
Pasuruan. Hasil penelitian menunjukan bahwa model pelayanan rehabilitasi
melalui metode Therapeutic Community belum dikatakan efektif dalam
mencapai suatu kebehasilan pemulihan mengingat metode TC masih baru
diterapkan pada tahun 2008. Selain itu, juga terdapat faktor lain yang
mempengaruhi ketidakefektif model Therapeutic Community dalam
12
pemulihan korban penyalahgunaan narkoba seperti kuantitas klien yang
belum sesuai target, minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya
penerapan metode Therapeutic Community serta minimnya kesadaran
keluarga klien untuk bekerja sama dalam kelangsungan proses rehabilitasi.
Untuk itu metode Therapeutic Community perlu untuk ditinjau kembali
(Lendriyono, 2008).
2. Penelitian yang dilakukan oleh Lenny Nuraeni, S.Pd, M.Pd pada tahun 2012
yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Metode Therapeutic Community (TC)
dalam Membangun Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna Napza”. Fokus
penelitian ini menitikberatkan pada tiga tujuan penelitian yakni menganalisis
presepsi dan tingkat kesadaran kelayan eks penyalahgunaan terhadap
penggunaan metode Therapeutic Community (TC) serta hubungan antara
penggunaan metode Therapeutic Community (TC) dengan kesadaran kelaya
eks penyalahgunaan napza (Nuraeni, 2012).
Penelitian ini dilakukan di tiga panti rehabilitasi diantaranya Balai
Pemulihan Sosial Pamardi Putra Lembang, Yayasan Sekar Mawar dan
Yayasan Rumah Cemara di wilayah Bandung. Metode yang digunakan yakni
deskriptif analititik dengan cara proportional random sampling. Adapun hasil
penelitian yang dapat disimpulkan yakni terdapat pengaruh yang signifikan
antara variabel X (metode Therapeutic Community) terhadap variabel Y
(kesadaran). Hasil yang diperoleh berdasarkan pengolahan data menunjukan
bahwa metode Therapeutic Community (TC) efektif dalam membangun
kesadaran kelayan eks penyalahgunaan napza.
13
3. Penelitian yang dilakukan oleh Friska Sitanggang, Mahasiswa Ilmu
Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatra Utara pada tahun 2017 yang
berjudul “Evaluasi Program Therapeutic Community terhadap Residen
Penyalahgunaan Napza di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatra Utara”
(Sitanggang, 2017). Menggunakan pendekatan deskriptif, penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan dan mengetahui mengenai pelaksanaan
program Therapeutic Community (TC) dalam pemulihan korban
penyalahgunaan napza. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari 165
jumlah residen yang berada di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera
Utara terdapat sebanyak 151 klien yang mengikuti pemulihan tahap primary
dan sebanyak 14 klien pada tahap Re-Entry. Pelaksanaan program dengan
metode Therapeutic Community berdampak terhadap pemulihan klien.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Yeni Nur Asiah, Mahasiswi Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam Program Sarjana Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2017, dengan judul “Evaluasi Program Therapeutic Community
terhadap Residen Korban Penyalahgunaan Napza di Panti Sosial Pamardi
Putra (PSPP) Galih Pakuan Bogor” (Asiah, 2017).
Penelitian ini berfokus pada evaluasi program TC dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dari proses pelaksanaan metode Therapeutic
Community (TC) terhadap residen korban penyalahgunaan Napza.
Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif, penelitian
ini mendeskripsikan atau menggambarkan tiga macam evaluasi yakni
evaluasi input, proses dan hasil dari pelaksanaan metode Therapeutic
14
Community (TC). Hasil penelitian yang dapat disimpulkan dari peneliti ini
adalah pertama, pada evaluasi input yang meliputi residen, staff dan program
sudah cukup dikatakan baik. Residen dan staff sesuai dengan kriteria. Hanya
saja perlu penambahan staff sebagai konselor atau terapis. Sedangkan
program TC yang dijalankan meliputi aspek layanan, tujuan program dan
mitra kerjasama cukup baik. Kedua, pada evaluasi proses terseusun rapi dan
tertatur. Ketiga, evaluasi hasil terdapat aspek perubahan perilaku residen dan
adanya keberlanjutan program TC.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Putri Asmara Dewi, Mahasiswa Bimbingan
dan Konseling Islam, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung tahun
2018 dengan judul “Therapeutic Community Bagi Pecandu Narkoba Di Loka
Rehabilitasi BNN Kalianda Kabupaten Lampung Selatan” (Dewi, 2018).
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui penerapan
Therapeutic Community Bagi Pecandu Narkoba di Loka Reahabilitasi BNN
Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan Therapeutic Community melalui empat struktur program yakni:
Behavior menagement diterapkan dengan pendekatan rasional emotif.
Emotional and psychological diterapkan melalui konseling individu dan
konseling kelompok. Intelektual and spiritual diterapkan melalui konseling
kelompok.Vocational and survival diterapkan melalui bimbingan kelompok
yang dikemas dalam bentuk pelatihan keterampilan. Keempat struktur
program tersebut diterapkan melalui beberapa tahapan yakni: tahap entry unit,
tahap primary dan tahap re-entry.
15
B. Konsep Penyalahgunaan NAPZA
1. Pengertian Penyalahgunaan NAPZA
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) atau bisaa dikenal
dengan sebutan Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif)
merupakan zat/bahan/obat yang apabila disalahgunakan baik diminum,
dihisap, dihirup maupun disuntik maka dapat menyebabkan gangguan baik
secara fisik, mental maupun perilaku. Penyalahgunaan napza pada dasarnya
memiliki ragam defenisi. Banyak para ahli telah mendefenisikan
penyalahgunaan napza dan umumnya yang membedakan hanya terletak pada
istilah zat/obat/bahan/napza/narkoba.
Widjono dkk mendefenisikan penyalahgunaan obat sebagai pemakaian
obat secara terus-menerus atau sesekali tetapi berlebihan dan tidak menurut
petunjuk dokter atau praktek kedokteran (Afiatin, 2010). Selain itu, Danny
mendefenisikan penyalahgunaan obat adalah pemakaian obat secara tetap
yang bukan untuk tujuan pengobatan atau yang digunakan tanpa mengikuti
aturan takaran yang seharusnya dan menimbulkan kerusakan fisik, mental,
emosi maupun sikap hidup bermasyarakat (Danny dkk, 1991). Hal ini selaras
dengan rumusan WHO yang mendefenisikan penyalahgunaan zat sebagai
pemakaian zat yang berlebihan secara tersu menerus atau berkala diluar
maksud medic atau pengobatan. Disisi lain, Hawari menjelaskan yang
dimaksudkan penyalahgunaan naza ialah pemakaian naza diluar indaksi
medik tanpa petunjuk dokter, pemakaian sendiri secara relative teratur atau
berkala sekurang-kurangnya selama satu bulan (Hawari, 1996).
16
Berbagai defenisi penyalahgunaan napza yang telah dipaparkan oleh
para pakar pada initinya menjelaskan penyalahgunaan napza yaitu suatu
tindakan pemakaian zat/obat/bahan yang dilakukan secara sadar dan
berkelanjutan diluar keperluan medik atau bukan untuk tujuan pengobatan
yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, emosi maupun sikap hidup
bermasyarakat.
Beberapa jenis-jenis zat/bahan/obat yang sering disalahgunakan, yakni:
a. Narkotika
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1
angka 1 menjelaskan:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun bukan sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini
dapat mengurangi sampai menghilangi rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan.
Adapun penggolongan narkotika dibagi dalam 3 kelompok, yaitu
narkotika golongan I, golongan II dan golongan III.
1) Golongan I merupakan narkotika yang paling berbahaya dan memiliki
daya adiksi (ketagihan) yang paling berat. Narkotika golongan ini tidak
diperbolehkan untuk kepentingan apapun baik kepentingan pelayanan
kesehatan dan atau untuk diproduksi kecuali digunakan untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan catatan dalam
jumlah yang sangat terbatas. Contoh narkotika golongan ini adalah heroin,
ganja, kokain, morfin dan opium.
17
2) Golongan II merpakan narkotika yang memiliki daya adiktif kuat namun
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya petidin,
benzetidin dan betametadol.
3) Narkotika golongan III merupakan narkotika yang memiliki daya adiktif
ringan dan dapat digunakan untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya
codein dan turunannya.
b. Psikotropika
Undang-Undang RI Nomor 05 Tahun 1997 tentang Psikotropika pasal
1 angka 1 menjelaskan:
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan prilaku.
Menurut Volpicelli dan Holmes, efek yang ditimbulkan oleh zat yang
berkhasiat psikoaktif dapat menurunkan kewaspadaan dan penampilan
kognitif seperti persepsi dan memori, efek menenangkan dan efek
menidurkan (Afiatin, 2010). Psikotropika merupakan obat yang bisaa
digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche)
(Partodiharjo, 2010).
Dalam Undang-Undang RI Nomor 05 Tahun 1997, psikotropika
dikelompokan kedalam empat golongan, yakni:
1) Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat,
belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan dan sedang diteliti
khasiatnya. Contoh Ekstasi, Lysergic Acid Diethylamide (LSD).
18
2) Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh amfetamin, metamfetamin,
metakualon dan sebagainya.
3) Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh lumibal, buprenorsina dan
sebagainya.
4) Golongan IV adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh nitrazepam, diazepam dan
sebagainya.
Dalam United Nation Coference for Adoption of Protocol on
Psychotropic Substance (Sasangka, 2003:64) disebutkan batasan-bataan zat
psikotropik adalah bahan-bahan yang memiliki kapasitas yang menyebabkan:
keadaan ketergantungan, depresi dan stimulant susunan saraf pusat (SSP);
halusinasi; gangguan fungsi motorik atau presepsi mood. Dari ketentuan-
ketentuan tersebut maka psikotropika dibagi menjadi tiga bagian yaitu,
stimulansia; depresia; halusinogen.
Menurut Holmes, psikoaktif dibagi dalam tiga kategori fungsi yaitu
depresan, stimulant dan halusinogen (Afiatin, 2010). Depresan adalah jenis
psikoaktif atau psikotropika yang mempunyai pengaruh mengurangi aktivitas
fungsional tubuh yaitu dengan mengurangi dorongan fisiologis dan
ketegangan psikologis. Artinya jenis psikotropika depresan ini berfungsi
untuk mengurangi konerja sistem saraf. Umunmnya depresan dikenal dengan
sebutan obat penenang yang dapat memberikan rasa tenang, tentram, damai
serta membuat penggunanya tertidur.
19
Stimulant merupakan zat yang merangsang atau meningkatkan fungsi
kerja tubuh. Ada dua macam kategori stimulant yakni amfetamin dan kokain.
Amfetamin adalah stimulant yang sanga kuat dan efeknya langsung terasa
setelah menggunakan zat ini. Umumnya zat ini sering digunakan untuk
mengurangi rasa lelah, bosan mencegah rasa kantuk dan meningkatkan
kewaspadaan. Zat ini merupakan psikotropika dengan daya adiktif kuat
sehingga apabila pemakaian dihentikan maka berakibat pada sindrom
putus obat yang berdampak pada kondisi kelelahan yang luar bisaa, sakit
kepala bahkan depresi. Selain itu, untuk menghasilkan efek yang yang
sama yakni mengurangi rasa lelah, bosan dan sebagainya dibutuhkan dosis
yang lebih besar dari sebelumnya dan apabila pemakaian zat ini dilakukan
secara kontinyu akan mengakibatkan pemakai cendrung memiliki rasa
curiga yang berlebihan dan adanya sikap memusuhi orang lain.
Kokain yakni daun koka yang kering dapat meningkatkan rasa percaya diri
serta mengurangi kepenataan dan nafsu makan. Penggunaan zat ini dalam
jumlah dosis yang kecil dapat memberikan efek menyenangkan, namun
jika dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan jantung berdebar dan
hilangnya nafsu makan.
Halusinogen adalah zat/obat/tanaman yang efek utamanya dapat
mengubah pengalaman presepsi yang dramatic atau bisaa disebut dengan
halusinasi. Zat ini dapat menimbulkan efek pengalaman yang menyenangkan
dan dapat pula memberikan reaksi yang yang tidak menyenangkan. Apabila
diminum, psikotropika ini dapat mendatangkan khayalan tentang peristiwa-
20
peristiwa yang mengerikan, khayalan tentang kenikmatan seks dan
sebagainya (Partodiharjo, 2010).
c. Zat Adiktif Lainnya
Golongan adiktif lainnya yakni zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang
dapat menimbulkan kecanduan. Contohnya Rokok, alkohol yang memabukan
dan menimbulkan ketagihan dan zat-zat lain yang bila dihisap, dihirup dan
dicium dapat memabukan (Partodiharjo, 2010).
2. Tahap Kecanduan NAPZA
Badan Narkotika Nasional menjelaskan bahwa terdapat tahapan-
tahapan sebelum seseorang benar-benar menjadi pecandu yang parah
(Haryati, 2012). Tahapan-tahapan tersebut meliputi:
a. Abstinence, Abstinence, merupakan dimana seseorang tidak menggunakan
narkoba sama sekali untuk tujuan rekreasional.
b. Social Use, periode dimana seseorang sudah mulai memakai narkoba dengan
tujuan rekreasional namun belum berdampak pada kehidupan sosial,
financial, dan juga medis.
c. Early Problem Use, artinya periode dimana seseorang sudah
menyalahgunakan zat adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah berdampak
pada kehidupan social si penyalahguna seperti malas sekolah, bergaul hanya
dengan orang-orang tertentu.
d. Early Addiction, adalah kondisi si pecandu yang sudah menunjukkan perilaku
ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini mengganggu
kehidupan social yang bersangkutan. Si pecandu mulai sangat sulit untuk
menyesuaikan dengan pola kehidupan normal dan cenderung untuk
melakukan hal-hal yang melanggar nilai dan norma yang berlaku.
e. Severe Addiction, adalah periode seseorang yang hanya hidup untuk
mempertahankan kecanduannya dan sudah mengabaikan kehidupan sosial
dan diri sendiri. Pada titik ini, si pecandu sudah berani melakukan tindakan
kriminal demi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba.
Lima tahapan diatas merupakan proses terjadinya adiksi atau
kecanduan serta dampak terhadap perilaku pada diri pecandu narkoba.
21
Berawal dari hanya sekerdar mencoba-coba kemudian terjebak dalam
kenikmatan tiga sifat narkoba yakni habitual, adiktif, dan toleran yang
kemudian membuat pemakai pemula secara rutin mengkonsumsi narkoba
hingga kemudian berdampak pada perubahan perilaku baik fisik maupun
psikis. Puncak dari kecanduan narkoba yakni Severe Addiction dan
merasakan whitdrawal syindrome yang artinya rasa sakit yang teramat ketika
ingin mengurangi dosis atau mencoba untuk berhenti. Akibat
ketidakmampuan diri dalam melakukan penyesuaian diri terhadap rasa sakit
yang dirasakan yang kemudian membuat pecandu tersebut melakukan
tindakan-tindakan demi mempertahankan kecanduannya dan mengabaikan
kehidupan sosial dan diri sendiri. Hal ini yang kemudian berdampak pada
keberanian diri pecandu untuk melakukan tindakan kriminal demi untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba.
3. Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan narkoba menjadi masalah kompleks yang dapat
menimbulkan keresahan dan mengakibat kerugian diberbagai sektor
kehidupan. Penyalahgunaan napza tidak hanya menjadi persoalan kesehatan
yang menyebabkan jutaan penyakit fisik dan mental (psikis) pada masyarakat,
melainkan juga berperan dalam persoalan ketidakberfungsian seseorang
dalam menjalankan peran-peran sosial dilingkungannya.
Menurut Rachim, ancaman penyalahgunaan narkoba bersifat multi
dimensional meliputi kesehatan, ekonomi, sosial pendidikan, keamanan dan
penegakan hukum. Dari dimensi kesehatan, penyalahgunaan narkoba dapat
merusak kesehatan baik secara jasmani maupun ruhani; dari dimensi ekonomi
22
memerlukan biaya yang besar; dari dimensi sosial pendidikan dapat
menyebabkan perubahan ke arah perilaku asusila dan anti sosial; sedangkan
dari dimensi keamanan dan penegakan hukum dapat mendorong terjadinya
tindakan-tindakan yang mengganggu masyarakat dan pelanggaran hukum
lainnya (Afiatin, 2010).
Para pemakai narkoba acapkali mengalami perubahan dari pribadi yang
“baik” menjadi “buruk”, dari pribadi yang “sehat” menjadi “sakit” (Hakim,
2004). Narkoba yang dikonsumsi akan mengganggu pusat saraf dan otak. Hal
ini kemudian berpotensi untuk mengganggu pikiran, perasaan dan perilaku
pemakainya. Akibat dari ketergantungan, para pemakai lama kelamaan akan
mengalami perubahan kepribadian, sifat, karakter dan segala tindakan yang
dilakukan tidak mampu lagi menggunakan akal sehat atau bersifat irasional.
Selain merugikan diri sendiri, para pemakai narkoba juga dapat menggangu
masyarakat karena seringkali mereka melakukan tindakan kejahatan.
4. Faktor Penyalahgunaan NAPZA
Secara garis besar ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya
penyalahgunaan narkoba, yakni: faktor narkoba itu sendiri, faktor individual
(Internal) dan faktor lingkungan (eksternal).
a. Faktor Narkoba.
Narkoba menjadi salah satu faktor terjadinya penyalahgunaan narkoba
tidak terlepas dari sifat yang dimiliki yakni habitual, adiktif dan toleran.
Ketiga sifat inilah yang kemudian membuat para pemakai terdorong untuk
terus mengkonsumsi narkoba. Selain itu, mudahnya para pemakai
mendapatkan narkoba juga memberi kontribusi terhadap penyalahgunaan
23
narkoba. Sebagaimana yang dijelskan oleh Partodiharjo bahwa penyebab
banyaknya orang mengkonsumsi narkoba adalah karena narkoba mudah
didapat (Partodiharjo, 2010). Jaringan pengedar narkoba di Indonesia dengan
cepat meluas, mulai dari kota besar hingga masuk ke desa-desa. Hasil
penelitian Afiatin (2010) juga mengidentifikasikan hal serupa dimana pada
awal pemakaian mereka mendapatkan narkoba dengan mudah dan dengan
harga yang masih terjangkau. Mereka cukup menemui teman mereka yang
bisa membawa dan menjualnya.
b. Faktor Individual (Internal)
Dasar dari seluruh alasan penyebab penyalahgunaan narkoba adalah
ketidaktahuan (Partodiharjo, 2010). Ketidaktahuan tersebut menyangkut
banyak hal, seperti tidak tahu tentang narkoba atau tidak mengenali narkoba,
tidak tahu dampak terhadap kesehatan baik fisik maupun jiwa hingga dampak
terhadap moral, masa depan dan terhadap kehidupan akhirat, tidak paham
akibatnya terhadaap diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Ketidaktahuan itulah yang menyebabkan orang mulai memakai narkoba.
Ketidaktahuan itulah yang menyebabkan orang mulai memakai narkoba.
Selain ketidaktahuan akan narkoba juga terdapat faktor-faktor internal
yang mendorong seseorang untuk menggunakan (Partodiharjo, 2010),
diantaranya:
1) Ingin Tahu.
Perasaan ingin tahu bisaanya dimiliki oleh generasi muda pada umur
setara siswa SD, SLTP, dan SLTA. Bila di hadapkan sekelompok anak
muda ada seseorang yang mempergakan “nikmatnya” mengkonsumsi
24
narkoba, maka didorong oleh naluri alami anak muda, yaitu keingintahuan,
maka salah seorang dari kelompok itu akan maju mencobanya. Besarnya
rasa penasaran dan ingin tahu yang dimiliki anak-anak sangat berpengaruh
terhadap penggunaan narkoba. Umumnya anak-anak akan merasa
penasaran dengan apa yang dilakukan orang lain sehingga ia akan meniru
dan mencoba apa yang dilakukan orang lain tersebut.
Hal ini berkaitan erat dengan teori Albert Bandura yang menjelaskan
bahwa anak belajar tingkah laku baru dengan melihat orang lain (model)
yang melakukannya dan mengamati konsekuensi dari sejumlah tingkah
laku (Dayakisni & Hudaniyah, 2012). Oleh karena itu, jika role model
yang anak-anak temu yakni seorang pecandu narkoba yang memperagakan
konsumsi narkoba dengan konsekuensi langsung yakni kenikmatan yang
didapat maka tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan menirunya.
Hal ini tentu juga didukung oleh ketidaktahuan anak-anak akan
konsekuensi jangka panjangnya.
2) Ingin Dianggap Hebat.
Salah satu sifat alami positif yang dimiliki oleh generasi muda
adalah daya saing. Namun sangat disayangkan, para generasi muda
cenderung berdaya saing/berkompetisi dengan hal-hal yang bukannya
memberikan keuntungan melainkan justru memberikan kerugian. Akibat
ketidaktahuan yang didorong dengan sikap ingin diakui, dianggap hebat
dan ingin menjadi pusat perhatian kemudian mengarahkan anak-anak
untuk mencoba-coba untuk mengkonsumsi narkoba.
25
3) Rasa Setia Kawan.
Perasaan setia kawan yang dimiliki generasi muda menjadi sesuatu
yang sangat dibanggakan. Rasa setia kawan yang besar ini akan sangat
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umumnya, atas nama kesetia
kawanan yang kemudian menyebabkan anak-anak saling ikut-ikutan
dalam melakukan apapun. Namun sangat disayangkan jika penyaluran rasa
setia kawan diarahkan pada hal-hal yang negatif maka akan berakibat
sangat berbahaya.
4) Ingin Kenikmatan Yang Cepat.
Seseorang yang mengkonsumsi narkoba tidak terlepas dari harapan
untuk mendapatkan rasa nikmat. Mereka beranggapan bahwa dengan
narkoba semua permasalahan mulai dari rasa kesal, kecewa, stress, frustasi
dapat diatasi dan mereka akan dengan mudah mendapatkan kebahagiaan.
Selain itu, faktor internal yang menjadi pendorong adalah ketakutan
merasakan sakaw.
c. Faktor Lingkungan (Eksternal)
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga, faktor lingkungan
pergaulan atau teman sebaya.
1) Faktor Keluarga.
Menurut Palmer dan Lindle bahwa terdapat faktor-faktor keluarga
yang memberikan resiko terhadap penyalahgunaan narkoba diantaranya,
model dari orang tua dan saudara nya yang sudah menyalahgunakan
narkoba, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak-anak, penerapan
hukum kepada anak yang terlalu sering dan inkonsisten atau orang tua
26
yang terlalu otoriter (Afiatin, 2010). Lebih lanjut ia menjelaskan kondisi
keluarga yang ditandai dengan keretakan keluarga, kesibukan orangtua
dan hubungan antar anggota yang kurang harmonis dapat menjadi faktor
yang berkontribusi pada penyalahgunaan zat (Afiatin, 2010).
Ketidakharmonisan inilah yang kemudian berdampak pada rasa frustasi
sehingga anggota keluarga memilih narkoba sebaga solusi. Terlebih lagi,
apabila dalam sebuah keluarga terdapat salah satu anggota yang
mengkonsumsi narkoba maka anggota keluarga lain juga beresiko tinggi
ikut menyalahgunakan narkoba tersebut.
2) Faktor Lingkungan Pergaulan atau Teman Sebaya.
Kelompok teman sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang
dapat mendorong penyalahgunaan narkoba pada diri seseorang. Umumnya
seseorang pertama kali mengenal narkoba berawal dari pertemanan.
Partodiharjo (2010) menjelaskan bahwa bentuk pengaruh orang lain itu
dapat bervariasi mulai dari bujuk rayu, tipu daya sampai ke paksaan. Oleh
karena ketidakmampuan penyesuaian diri dalam menjalin hubungan baik
dan stabil dengan lingkungannya yang kemudian mendorong seseorang
untuk bergabung dalam kelompok sebaya dan turut menyalahgunakan
narkoba.
Beberapa faktor yang telah dipaparkan diatas juga diperkuat oleh hasil
penelitian yang dilakukan Dadang Hawari. Hasil penelitiannya menunjukan
bahwa penyalahgunaan narkoba terjadi karena adanya interaksi antara faktor
predisposisi, faktor kontribusi, dan faktor pencetus (Wahib, 2016). Artinya
seseorang yang telibat dalam penyalahgunaan narkoba tidak terlepas dari
27
faktor kepribadian (predisposisi). Faktor predisposisi yang membuat
seseorang cenderung menyalahgunakan narkoba terlebih lagi didorong oleh
faktor kontribusi yakni kondisi keluarga yang tidak harmonis yang
menimbulkan kecemasan dan depresi pada diri. Apabila kedua faktor tesebut
telah berinteraksi maka seseorang sangat rentan untuk menyalahgunakan
narkoba akibat pengaruh, bujukan, rayuan bahkan tekanan dari kelompok
sebaya dilingkungannya ditambah lagi kemudahan mendapatkan narkoba.
5. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA
Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba pada dasarnya telah
dilakukan oleh berbagai pihak. Di Indonesia terdapat badan khusus yang
dibentuk oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 17 Tanggal 12
Maret 2002 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN inilah yang
diberikan wewenang mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijakan-
kebijakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran
gelap narkoba.
Upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang
mengamanatkan pencegahan, pemberantasan, perlindungan dan
penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan prekursor
narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi penyalahguna dan
pecandu narkotika.
Berkaitan dengan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba,
Partodiharjo (2010) membagi lima bentuk penanggulangan masalah narkoba,
28
yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitative, represif.
Adapun penjelasan dari masing-masing upaya sebagai berikut:
a. Upaya Promotif.
Upaya ini juga disebut sebagai program pembinaan yang ditujukan pada
masyarakat yang belum menggunakan narkoba atau bahkan belum mengenal
narkoba. Prinsip utama yan dipegang program ini yakni dengan
meningkatkan peranan atau kegiatan masyarakat seperti pelatihan, dialog dan
kegiatan kelompok lainnya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
kinerja masyarakat agar sejahtera dan jauh dari narkoba.
b. Upaya Preventif.
Preventif atau upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba menjadi
sangat penting. Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah kegiatan
penyuluhan dan bimbingan untuk memberi pengetahuan dan kesadaran
tentang akibat buruk/bahaya penyalahgunaan napza, untuk meningkatkan
ketahanan daya tangkal perseorangan, keluarga atau masyarakat terhadap
masalah penyalahgunaan napza (Hanifah, Abu & Nunung, 2011). Program
preventif ditujukan pada masyarakat sehat yang belum mengenal narkoba
agar mengetahui pengetahuan tentang narkoba.
Prinsip utama dari program prevensi adalah peningkatan pemahaman
masyarakat tentang narkoba dan kesadaran untuk tidak melakukan
penyalahgunaan narkoba. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan
yakni sosialisasi narkoba; kampanye anti penyalahgunaan narkoba;
pendidikan dan pelatihan kerja kelompok sebaya; serta pengawasan ketat
produksi dan distribusi narkoba.
29
c. Upaya Kuratif.
Upaya ini disebut sebagai program pengobatan. Program ini ditujukan
untuk mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit pemakai
narkoba. Umumnya ada dua cara pengobatan alternative sebagai upaya
penyembuhan ketergantungan narkoba yang dapat dibedakan atas pengobatan
berbasis spiritual dan pengobatan berbasis medis.
d. Upaya Rehabilitatif.
Program rehabilitasi merupakan upaya pemulihan kesehatan jiwa dan
raga yang ditujukan kepada para pemakai narkoba yang sudah menjalankan
program kuratif. Artinya upaya rehabilitasi penyalahgunaan narkotika tidak
hanya difokuskan melalui upaya rehabilitasi medis melainkan juga harus
melalui upaya rehabilitasi sosial mengingat penyalahgunaan narkotika juga
berdampak pada ketidakberfungsian sosial.
United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2002
menetapkan:
Keberhasilan penanganan (treatment) terhadap kasus penyalahgunaan
narkoba ditentukan oleh tiga pencapaian. Pertama, berhenti atau
berkurangnya penyalahgunaan obat-obatan atau alcohol; kedua,
meningkatnya kesehatan dan keberfungsian individu; ketiga
menurunnya ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan masyrakat
termasuk dari ancaman mewabahnya penyakit-penyakit yang juga
disebabkan oleh gaya hidup malasuai yang identic dengan
penyalahgunaan narkoba (Amriel, 2008).
e. Upaya Represif.
Upaya represif sebagai program penindakan terhadap para produsen,
pengedar, pemakai dan bandar narkoba. Pemerinta berkewajiban untuk
mengawasi dan mengendalikan produksi maupn distribusi dan menindak
30
berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Selain pemerintah,
masyarakat/LSM juga harus berpartisipasi untuk membantu para aparat.
6. Upaya Pemulihan Penyalahgunaan NAPZA
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam proses pemulihan
ketergantungan narkoba adalah memahami dan mendalami alasan pemakai
menggunakan narkoba serta akibat yang timbul setelah menggunakan
narkoba. Ketika para penolong atau terapis sudah memahami kompleksitas
permasalahan korban penyalahgunaan narkoba dengan baik maka dapat
memungkinkan para terapis mengaplikasikan metode penanganan dengan
model dan pendekatan yang efektif untuk membantu pemulihan narkoba.
Menurut Hawari, penanganan seorang penyalahgunaan naza pada tahap
pertama adalah perawatan/terapi dari segi medic-psikiatrik (yaitu
detoksifikasi dan intervensi predisposisi) dan baru tahap berikutnya
rehabilitasi di panti ataupun masyarakat (Hawari, 1996). Dengan demikian,
ada dua tahap yang dapat dilakukan sebagai upaya pemulihan
penyalahgunaan narkoba, yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
a. Rehabilitasi Medis.
Rehabilitasi medis merupakan upaya pemulihan kesehatan jiwa yang
ditujukan kepada pemakai narkoba melalui pengobatan medis. Upaya
rehabilitasi medis juga disebut dengan upaya kuratif atau program
pengobatan. Salah satu bentuk kegiatan yakni detoksifikasi. Detoksifikasi
yakni suatu proses untuk menghilangkan substansi racun di dalam tubuh dan
merupakan proses alamiah tubuh untuk menetralkan atau mengeluarkan racun
31
(Ramayulis, 2014:4). Partodiharjo (2010) membagi detoksifikasi menjadi tiga
macam:
1) Pengobatan Substitusi. Pengobatan ini dilakukan oleh dokter dengan cara
menghentikan total narkoba yang asli dan memberikan narkoba pengganti
dengan dosis yang lebih rendah yang kemudian dihentikan pemakainya
secara bertahap.
2) Detoksifikasi Cara Cepat (Rapid Detox). Penderita dimasukkan dalam
ruang ICU dengan pembiusan total. Melalui alat kedokteran modern, darah
dibebaskan dari narkoba. Dengan cara ini, penderita tidak akan merasakan
kesakitan ataupun tersiksa. Waktunya cepat 4 hingga 6 jam. Meskipun
detoksifikasi ini membutuhkan waktu yang cepat untuk menghilangkan
racun-racun dalam tubuh pecandu narkoba namun biaya yang dibutuhkan
sangat mahal dan cara ini jarang memberikan hasil yang baik dikarenakan
sel otak yang telah rusak.
3) Detoksifikasi Alami. Pengobata dengan cara ini yakni membiarkan
terjadinya sakaw pada pecandu narkoba. Pecandu narkoba dibiarkan untuk
merasakan kesakitan (sakaw) dan terus diawasi agar tidak melakukan
tindakan yang tidak diinginkan seperti bunuh diri, melukai diri atau
kecelakaan lainnya. Cara ini sangat menyakitkan namun berdampak positif
terhadap pemulihan. Penderita lama kelamaan akan terbisaa dan berkurang
hingga lenyap raa sakaw yang diderita.
Proses detoksifikasi dalam keadaan normal dilaksanakan paling lama 2
(dua) minggu di tempat yang telah disiapkan sedemikian rupa dengan
mengutamakan aspek kesehatan dan keselamatan residen dan dilaksanakan
32
oleh petugas yang telah memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan standar
yang berlaku (Balai Besar Rehabilitasi BNN, 2019a).
b. Rehabilitasi Sosial.
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara
terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar penyalah guna narkoba dapat
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat dengan
baik dan bertanggung jawab (Balai Besar Rehabilitasi BNN, 2019b).
Rehabilitasi sosial bertujuan mengintegrasikan (menyatukan) kembali
seorang pecandu narkoba ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara
memulihkan proses berpikir, berperilaku, dan beremosi sebagai komponen
kepribadiannya agar mampu berinteraksi di lingkungan sosialnya (dalam
lingkungan rehabilitasi).
Adapun metode rehabilitasi yang dapat digunakan antara lain:
1) Outpatient drug-free treatment. Metode ini merupakan metode pemulihan
korban penyalahgunaan narkoba berbasis non asrama atau non tempat
tinggal. Artinya metode Outpatient drug-free treatment tidak
mengharuskan pecandu narkoba untuk tinggal ditempat rehabilitasi.
Metode ini cocok bagi pecandu yang komitmen untuk tetap melaksanakan
pekerjaan atau rutinitasnya. Amriel (2008) menjelaskan pada dasarnya
metode ini mengedepankan konseling kelompok. Program ini ditujukan
bagi mereka yang mempunyai masalah mental dan medis disamping
masalah ketergantungan pada narkoba itu sendiri.
2) Long-term residential treatment. Metode ini menawarkan rehabilitasi 24
jam dengan setting di luar rumah sakit. Metode ini berbasis tempat tinggal
33
atau asrama yang diterapkan dengan membentuk komunitas untuk saling
mendukung kesembuhan serta menjalankan terapi perilaku (cognitive-
behavioral therapy) (Amriel, 2008). Dalam praktiknya, para pengguna
narkoba diwajibkan mengikuti serangkaian aktivitas ditempat rehabilitasi
selama enam hingga dua belas tahun. Metode ini juga disebut dengan
metode community therapeutic.
C. Konsep Holistic
Holistic merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Inggris dari
akar kata “whole” yang berarti keseluruhan (Webster, 1980). Lebih lanjut
Webster menjelaskan istilah holistic juga diambil dari kata dasar heal
(penyembuhan) dan health (kesehatan). Arti ini secara etimologis memiliki
akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan) (Webster, 1980).
Makna dasar tersebut mengidentifkasikan bahwa holistic merupakan cara
pandang yang bersifat menyeluruh atau tidak terbagi-bagi. Dalam dunia
kesehatan, berpikir secara holistic berarti berpikir sehat secara menyeluruh
baik aspek fisik, psikis dan perilaku.
Berkaitan dengan pemulihan penyalahgunaan narkoba, Arifin
menjelaskan bahwa orang yang mengalami kecanduan narkoba telah merusak
empat aspek kehidupan yaitu, organobiologik, psikologik, sosiologik dan
spiritual (Arifin, 2009). Dengan dasar ini maka ditawarkan suatu bentuk
terapi yang sifatnya menyeluruh (holistik) meliputi empat aspek kehidupan
tersebut. Penjelasan tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Hawari
dalam bukunya Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa bahwa
dalam penyembuhan korban penyalahgunaan narkoba haruslah dilakukan
34
dengan holistic sesuai dengan dimensi sehat yang diputuskan oleh World
Health Organization meliputi aspek fisik/biologic, aspek psikologik, aspek
psikososial dan aspek psikospiritual (Hawari, 1996).
1. Aspek Fisik/Biologi
Salah satu dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba
adalah gangguan terhadap biologi/fisik sehingga pemulihan dari aspek
biologi menjadi perlu untuk dilakukan. Pendekatan yang digunakan yakni
pendekatan farmakologi atau medic.
Dadang Hawari menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba dapat
menimbulkan komplikasi dalam aspek medik-psikiatrik. Pada aspek medik
yakni terjadi komplikasi pada organ biologik seperti gangguan otak, hati,
pencernaan, pankreas, otot, seks, janin, gangguan nutrisi, metabolisme hingga
resiko kanker. Sedangkan pada aspek psikiatrik yakni terjadinya gangguan
mental perilaku. Gangguan mental perilaku penyalahgunaan narkoba
merupakan gejala dari adanya gangguan neurotransmitter pada susunan saraf
otak (Hawari, 1996). Gejala dari gangguan otak lainnya yakni kecemasan dan
depresi. Gejala-gejala ini perlu mendapatkan pemulihan dengan pendekatan
farmakologi.
2. Aspek Psikologi
Menurut Dadang Hawari, orang yang mengkonsumsi narkoba adalah
orang yang mengalami gangguan jiwa yang disebabkan karena terjadinya
gangguan salah satu organ biologik yakni otak. Mengkonsumsi narkoba
memberikan efek langsung terhadap susunan otak akibatnya penderita tidak
dapat berfungsi secara wajar dalam masyarakat dengan menunjukan perilaku
35
maladaptif (Hawari, 1996). Sehingga pengobatan aspek psikologis menjadi
perlu untuk dilakukan dalam proses pemulihan korban penyalahgunaan
narkoba. Pendekatan yang digunakan yakni dengan psikoterapi.
Psikoterapi adalah proses yang digunakan oleh seorang yang
professional dan kompeten dalam bidang kesehatan mental untuk membantu
mengenali dan mengatasi kesulitan interpersonal serta psikologis yang
dihadapi individu kearah penyelesaian atau penyesuaian diri yang lebih baik.
Orang yang kompeten dalam bidang kesehatan mental dalam hal ini yakni
psikiater dan psikolog. Strategi yang dapat digunakan yakni dengan berbicara
memaknai, mendengarkan, memberi penguatan dan contoh (Hawari, 1996).
3. Aspek Psikososial
Dadang Hawari menjelaskan bahwa aspek psikososial yang
berkontribusi terjadinya penyalahgunaan narkoba adalah keluarga. Kondisi
keluarga yang tidak harmonis (disfungsi keluarga) didorong oleh lingkungan
peer group (teman sebaya) yang tidak baik dapat mencetuskan terjadinya
penyalahgunaan narkoba pada diri seseorang (Hawari, 1996). Dampak dari
penyalahgunaan narkoba tidak hanya merusak individu penyalahguna
narkoba melainkan meruskan tatanan sosial keluarga, masyarakat yang
ditandai dengan tindakan amoral seperti kriminal, gangguan ketertiban dan
kemanan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menimbulkan krisis
kepercayaan masyarakat terhadap penyalahguna narkoba.
Oleh karena itu, esensi dari pemulihan penyalahgunaan narkoba tidak
hanya dilihat dari pemulihan secara tubuh dan jiwa pecandu narkoba
melainkan perlu mengintegrasikan pecandu narkoba kembali ke masyarakat
36
agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar. Pendekatan yang
digunakan yakni dengan terapi psikososial. Terapi psikososial merupakan
bentuk penyembuhan yang menekankan pada pemulihan perilaku dengan
mengarahkan perilaku menyimpang kearah perilaku sosial yang sesuai
dengan nilai-nilai dan norma yang berkembang dimasayarakat (Mulkiyan &
Ach. Farid, 2017). Hal ini ditujukan guna mengembalikan fungsi sosial
pecandu narkoba agar dapat memiliki kemampuan untuk mencapai identitas
diri dalam perannya sebagai anggota masyarakat.
Melihat kondisi keluarga berkontribusi terhadap penyalahgunaan
narkoba maka terapi sosial tidak hanya diberikan kepada korban
penyalahgunaan narkoba melainkan juga diberikan kepada keluarga.
Tujuannya untuk membangun relasi yang baik antara korban penyalahgunaan
narkoba dengan keluarga. Terapi sosial yang diberikan kepada keluarga dan
juga korban penyalahgunaan narkoba sangat berkontribusi pada kemampuan
mantan pecandu dalam mempertahankan perubahan perilaku dan dapat
mencegah kekambuhan.
4. Aspek Psikospiritual
World Health Organization telah menjelaskan yang dimaksud dengan
sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologik, sosial saja
melainkan sehat dalam arti spiritual/agama. Sehubungan dengan hal tersebut
para ahli kemudian berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk
biopsikososial spiritual (Hawari, 1996).
Hasil penelitian Dadang Hawari menunjukan bahwa apabila religiusitas
di masa remaja tidak ada atau sangat rendah maka remaja tersebut
37
mempunyai resiko lebih tinggi dalam penyalahgunaan narkoba (Hawari,
1996). Lebih lanjut Ramayulis dalam bukunya Psikologi Agama menjelaskan
secara eksplisit bahwa:
“Terlepas dari sikap pro dan kontra, kenyataan menunjukan
bahwa sikap agama mempengaruhi sikap dan tingkah laku
pemeluknya. Sikap dan tingkah laku berhubungan dengan keyakinan
dapat diamati secara empiris. Apa yang ditamplkan seseorang
penganut agama yang taat bagaimanapun berbeda dengan sikap
tingkah laku mereka yang kurang taat beragama (Ramayulis, 2013).”
Berdasarkan pemaparan kedua ahli diatas dapat dijelaskan bahwa
perilaku seseorang mencerminkan sikap dan tingkah laku dalam beragama.
Dengan demikian, individu penyalahgunaan narkoba merupakan individu
yang cenderung bertentangan dan jauh dari nilai-nilai agama. Oleh karena itu,
pendekatan terapi spiritual sangat diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran
dan memelihara perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Apabila
pemahaman spiritual yang ditandai dengan kekuatan iman dan takwa telah
dimiliki klien maka dapat dimungkinkan perilaku yang ditampilkan oleh klien
merupakan perilaku-perilaku yang berdasarkan nilai-nilai agama.
Dadang Hawari menjelaskan bahwa intervensi pada aspek spiritual
diberikan kepada penderita penyalahgunaan narkoba setelah selesai
menjalani proses detoksifikisai. Selama proses pemulihan berlangsung
apabila diberikan kegiatan-kegiatan keagamaan maka hasilnya akan lebih
baik dari pada pemulihan yang hanya menggunakan terapi medik psikiatrik.
Sebaliknya apabila hanya menggunakan terapi keagamaan saja maka hasilnya
kurang maksimal. Untuk itu dalam pemulihan penyalahgunaan narkoba perlu
adanya kombinasi antara aspek psikospiritual/psikoreligius dengan aspek-
aspek lainnya (Hawari, 1996).
38
D. Konsep Therapeutic Community (TC)
1. Pengertian Therapeutic Community (TC)
Secara etimologi, kata terapi berasal dari bahasa Inggris yakni
“therapy”. Dalam bahasa Indonesia kata therapy dimaknai dengan
“pengobatan, perwatan dan penyembuhan”. Mappiare dalam kamus istilah
konseling dan terapi menjelaskan therapeutic merujuk pada sifat
menyembuhkan atau menyehatkan” (Mappiare, 2006). Sedangkan kata
community dalam kamus Psikologi diartikan sebagai sebuah hunian manusia
yang terkonsentrasi di satu wilayah geografis (Reber & Reber, 2010).
Reber & Reber dalam bukunya kamus psikologi mendefenisikan
Therapeutic Community (TC) merupakan sebuah setting sosial dan budaya
yang dibentuk bagi alasan-alasan terapeutik dan didalamnya terdapat
individu-individu yang memerlukan terapi. Istilah ini diterapkan bukan hanya
untuk kasus psikiatrik tetapi juga bisa dibentuk oleh keseluruhan lingkungan
sosial, yang jika dikontrol dengan tepat memiliki pengaruh yang bermanfaat
(Reber & Reber, 2010).
Glen R. Hanson sebagaimana dimuat dalam Research Report National
Institute on Drugs Abuse (NIDA) menjelaskan secara umum Therapeutic
Community (TC) merupakan:
“Drug-free residential settings that use a hierarchical model with
treatment stages that reflect increased levels of personal and social
responsibility. Peer influence, mediated through a variety of group
processes, is used to help individuals learn and assimilate social norms
and develop more effective social skills (Hanson, 2002).”
Definisi tersebut dapat diartikan, TC merupakan model treatmen
berbasis tempat tinggal atau sistem asrama yang menggunakan model hirarki
39
dengan tahapan dalam pengobatan yang mencerminkan peningkatan tingkat
tanggung jawab pribadi dan sosial. Dalam memainkan stimulasi peran untuk
meningkatkan kemampuan tanggung jawab pribadi dan sosial dilakukan
melalui mediasi dukungan rekan sebaya dengan pendekatan kelempok (group
processes). Hal ini digunakan untuk membantu individu mempelajari dan
mengasimilasi norma-norma sosial dan mengembangkan keterampilan sosial
yang lebih efektif.
Departemen Sosial RI mendefenisikan TC sebagai salah satu model
terapi dimana sekelompok individu hidup dalam satu lingkungan yang
sebelumnya hidup terasing dari masyarakat umum, berupaya mengenal diri
sendiri serta belajar menjalin kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip yang
utama dalam hubungan antar individu, sehingga mampu merubah perilaku
yang dapat diterima oleh masyarakat (Departemen Sosial RI, 2003).
Sedangkan menurut Satya Joewana, defenisi Therapeutic Community adalah
suatu bentuk terapi sosial atau terapi milieu (lingkungan) dimana orang-orang
berkumpul untuk tinggal bersama dan bekerja bersama-sama dengan tujuan
yang sama yaitu mendapat terapi (Joewana, 1989).
Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa TC
merupakan suatu bentuk terapi (therapy) penyalahgunaan dan kecanduan
narkoba yang menekankan pada prinsip-prinsip pembelajaran perilaku
individu dan sosial yang benar berdasarkan persepsi dan pengalaman yang
diperoleh didalam komunitas (community) acuan proses perubahan perilaku.
Menurut Szalay, TC merupakan modalitas pengobatan yang
menempatkan penekanan kuat pada reseosialisasi. TC menggunakan
40
kekuatan pengaruh dinamika sosial masyarakat dimana klien hidup bersama
dan berbagi masalah selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun
(Szalay, 1994). Dengan kata lain, bersama-sama dengan anggota komunitas
lainnya, para penyalahgunaan dan kecanduan narkoba hidup dalam suatu
lingkungan dan saling membantu untuk menyelesaikan masalah, mencapai
kesembuhan dan mengembangkan gaya hidup yang bebas narkoba.
Glenn R Hanson dalam Research Report National Institute on Drugs
Abuse (NIDA) telah memaparkan dengan jelas tentang pengertian
Therapeutic Community. Menurutnya Therapeutic Community merupakan
metode pemulihan atau pembelajaran kembali pembisaaan perilaku sosial dan
penguatan kembali kecakapan-kecakapan sosial yang meliputi fungsi,
keterampilan, nilai-nilai hidup, persepsi dan sifat serta mengembalikan
kesehatan emosi, fisik dan psikologis yang sehat melalui rehabilitasi dalam
seting residensial dengan menerapkan prinsip dasar saling membantu (self-
help group) dimana seorang pecandu mengusahakan kepulihan dengan cara
memberikan kepedulian dan bantuan kepada rekannya untuk memastikan
kepulihan secara bersama. Berikut ringkasan pernyataan Glenn R Hanson
berkaitan dengan hal tersebut:
“…Recovery involves in rehabilitation-re learning or re establishing
healthy functioning, skills and values as well as regaining physical and
emotional health… Recovery for them involves”habilitation”-learning
for the first time the behavioral skills, attitude and values associated
with social living… A second fundamental TC principle is self help.
Mutual self-help means that individuals also assure partial
responsibility for the recovery of their peers-an important aspect of an
individuals own treatment (Hanson, 2002).”
Berdasarkan beberapa pengertian TC di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa TC merupakan suatu metode rehabilitasi sosial bagi para
41
pecandu narkoba dimana dalam terapi ini dibentuk suatu komunitas yang di
dalamnya terdapat sekelompok orang yang memiliki masalah sama dan saling
memberikan dukungan untuk melakukan pengembangan diri melalui
kegiatan-kegiatan yang menunjang perubahan. Metode ini menawarkan
terapi berbasis asrama atau tempat tinggal dimana para penyalahguna narkoba
tersebut diwajibkan untuk menjalani rangkaian aktivitas yang telah diatur
oleh tempat atau lembaga pemulihan dan disepakati bersama rekan-rekan
sebaya serta bebas dari pengaruh luar.
2. Komponen Therapeutic Community (TC)
De Leon yang merupakan pelopor utama TC dalam bukunya yang
berjudul Therapeutic Community: General Theory and Model menjelaskan
bahwa metode TC diatur dalam tiga komponen yang saling berkaitan meliputi
Perspective, Approach, and Program (Leon, 1994).
Pertama, secara Perspective menggambarkan bagaimana TC
menawarkan perawatan atau terapi terhadap penyalahgunaan dan kecanduan
narkoba secara sistematis yang mengacu pada pandangan eksplisit tentang
gangguan penyalahgunan narkoba, individu yang menyalahgunakan narkoba,
proses pemulihan dan nilai hidup yang dianut (drug use disorder, the person,
recovery, and right living).
Kedua, the TC Approach: Community as Method. Artinya terapis atau
guru utama dalam pendekatan TC adalah komunits itu sendiri yang terdiri dari
lingkungan sosial, teman sebaya dan anggota staff. Anggota-angota didalam
komunitas tersebut sebagai metode yang memberikan panutan dari setiap
perubahan perilaku individu masing-masing. Selama proses terapi, semua
42
anggota TC belajar untuk menerima dan menjalankan norma-norma tentang
tanggungjawab pribadi dan sosial dengan prinsip-prinsip hidup yang benar
dan saling self-help kearah perubahan perilaku. Dengan kata lain, anggota
komunitas berfungsi sebagai panduan atau metode untuk memfasilitasi proses
perubahan secara terus menerus selama program TC dijalankan. Berikut
penjelasan George De Leon mengenai hal tersebut:
“The TC can be distinguished from other major drug treatment
modalities in two fundamental ways. First, the TC offers a systematic
treatment approach that is guided by an explicit perspective on the drug
use disorder, the person, recovery, and right living. Second, the primary
therapist and teacher in the TC is the community it self, which consists
of the social environment, peers, and staff members who, as role models
of successful personal change, serve as guides in the recovery process.
Thus, the community is both the context in which change occurs and the
method for facilitating change (Leon, 1994).
Lebih lanjut, De Leon menjelaskan bahwa metode TC memiliki elemen
klasik yang membedakan dengan metode perawatan lainnya. Elemen utama
yang menjadi karakteristik TC adalah penggunaan komunitas yang secara
sengaja sebagai pendekatan utama untuk memfasilitasi perubahan sosial
psikologis individu (Leon, 1994). Hal ini, senada dengan yang dijelaskan oleh
Glenn R Hanson bahwa TC berbeda dengan perawatan lainnya, terutama
penggunaan pendekatan komunitas sebagai kunci perubahan (Hanson, 2002).
Ketiga, secara program menjelaskan bahwa TC merupakan model
perawatan yang terstruktur dan sistematis yang terdiri dari struktur sosial dan
mencakup rangkaian aktifitas keseharian yang akan dijalankan selama proses
pemulihan. Model program TC secara umum mengatur tentang lingkungan
komunitas, kegiatan komunitas, peran dan fungsi staff, struktur kegiatan
harian, terapi kerja dan pengetahuan, anggota TC, grub teman sebaya,
43
pelatihan kesadaran dan emosional dan lain-lain (Leon, 1994). Korban
penyalahgunaa narkoba yang melakukan perawatan dengan metode TC diajak
untuk mengubah life style nya melalui program-program yang telah
dirancangkan dengan tujuan agar dapat mengembalikan keberfungsian seperti
sedia kala. Apabila ketiga rangkaian komponen TC yang meliputi
Perspective, Approach, and Program dapat berlangsung dengan baik dan
benar selama proses pemulihan, selanjutnya diharapkan klien dapat
mengalami perubahan baik dari cara berpikir maupun berperilaku.
3. Aspek Therapeutic Community (TC)
Aspek utama perawatan korban penyalahgunaan dengan metode
Therapeutic Community (TC) umumnya dikenal dengan sebutan empat
struktrur dan lima pilar program. Dalam pelaksanaannya, empat struktur
merupakan dasar aktivitas TC yang bertujuan untuk mengembalikan
keberfungsian diri baik dari segi perilaku, emosional, spiritual dan sosial
korban penyalahgunaan narkoba. Empat struktur yang menjadi dasar
perawatan utama TC yang dipelopori oleh beberapa para ahli seperti George
De Leon, Glen R. Hanson, Synanon dan lembaga yang paling kompeten
dalam TC yakni Day Top yang berkembang di Amerika, diantaranya:
a. Pembentukan tingkah laku (Behaviour management shaping). Perubahan
perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya
sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma
kehidupan masyarakat.
b. Pengendalian emosi dan psikologi (Emotional and psychological).
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan
penyesuaian diri secara emosional dan psikologis.
c. Pengembangan pemikiran dan kerohanian (Intellectual and spiritual).
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,
nilai-nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan
mengatasi tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum
terselesaikan
44
d. Keterampilan kerja dan keterampilan bersosial serta bertahan hidup
(Vocational and survival).Perubahan perilaku yang diarahkan pada
peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan
untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari maupun masalah dalam
kehidupannya (LKS Pondok Pemulihan Doulos, 2018).
Keberhasilan penerapan Therapeutic Community dalam pemulihan
penyalahgunan narkoba didasarkan pada empat kategori perubahan dalam TC
tersebut. Pembentukan tingkah laku, pengendalian emosi dan psikologis,
pengembangan pemikiran dan kerohanian, serta keterampilan kerja dan
keterampilan sosial dilaksanakan berdasarkan role dan function masing-
masing. Program-program tersebut menjadi keharusan untuk dilaksanakan
dengan tepat dikarenakan para pecandu narkoba memiliki perilaku
menyimpang dan emosi yang cenderung tidak stabil sehingga membutuhkan
program tersebut dengan pengawaan yang ketat selama proses pemulihan.
Untuk mecapai tujuan pemulihan yang didasarkan pada empat struktur
perubahan diatas maka dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan acuan
yang tepat. Adapun lima pilar yang menjadi acuan dalam pelaksanaan TC,
diantaranya:
a. Family milieu concept (Konsep kekeluargaan). Lingkungan kekeluargaan
sebagai faktor utama penunjang pemulihan kecanduan.
b. Peer pressure (Tekanan teman sebaya). Menciptakan tekanan antar rekan
yang positif, sehingga dapat memicu perubahan perilaku residen.
c. Therapeutic session (Sesi terapi). Berbagai kerja kelompok semabagai
media penyembuhan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan
pengembangan pribadi dalam rangka membantu proses pemulihan.
d. Spiritual session (Sesi spiritual). Proses untuk meningkatkan nilai-nilai
dan pemahaman agama serta penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
e. Role modelling (Keteladanan). Proses pembelajaran dimana seorang
residen belajar dan mengajar mengikuti mereka yang sudah berhasil (LKS
Pondok Pemulihan Doulos, 2018).
Lima pilar diatas menjadi acuan Therapeutic Community yang sangat
berperan dalam pemulihan korban penyalahgunaan narkoba. Pada pilar
45
pertama yakni konsep kekeluargaan menjadi pilar utama dalam proses
pemulihan dimana bersama-sama ikut andil menjadi bagian dalam proses
pemulihan dan hidup dalam kekeluargaan. Konsep tekanan rekan sebaya
dalam proses pemulihan berperan penting untuk saling mendukung dan
bertanggung jawab atas diri sendiri dan orang lain, saling mengawasi dan
membantu meregulasi emosi antar sesama anggota untuk memicu perubahan
perilaku menyimpang menjadi baik. Pada sesi terapi, sesi spiritual dan sesi
keteladanan merupakan cara untuk meningkatkan pengembangan diri,
pemahaman agama serta belajar dan mengajar untuk memberikan
ketauladanan yang baik.
4. Tahapan Therapeutic Community (TC)
Pelaksanaan pemulihan penyalahgunaan narkoba dengan metode
Therapeutic Community memiliki tahapan-tahapan yang harus dilewati.
George De Leon & Glenn R Hanson menjelaskan dalam pengobatan TC
terdapat tiga tahapan yang harus dilewati oleh residen. Tiga tahapan tersebut
meliputi induction & early treatment, primary treatment dan re-entry (Leon,
1994) & (Hanson, 2002). Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pelayanan
Rehabilitasi Sosial RI menyebutkan ada empat tahapan dalam Therapeutic
Community, yakni induction, primary, re-entry dan after care (Depertemen
Sosial RI, 2003).
Adapun penjelasan tahapan-tahapan Therapeutic Community, sebagai
berikut:
46
a. Tahap Induction.
Menurut Glenn R Hanson, tahap ini berlangsung pada sekitar 30 hari
pertama saat residen mulai masuk dalam TC. Tujuan tahap ini yakni untuk
mengasimilasi individu dengan konsep-konsep TC mulai dari mempelajari
peraturan dan prosedur TC; membangun kepercayaan dengan staf dan
penghuni lain; memulai penilaian pribadi yang dibantu tentang diri, keadaan,
dan kebutuhan; mulai memahami sifat kecanduan; dan harus mulai
berkomitmen untuk proses pemulihan (Hanson, 2002).
De Leon menjelaskan bahwa tujuan dari tahap ini adalah sebagai proses
penilaian dan orientasi residen ke TC yang berlanjut selama 2 bulan pertama
residen (Leon, 1994). Tahap ini merupakan masa persiapan bagi residen
untuk memasuki tahap primary. Klien akan melakukan rangkaian kegiatan
orientasi dan adaptasi terhadap lingkungan baru yakni komunitas terapi.
b. Tahap Primary.
De Leon menjelaskan fokus utama tahapan ini adalah peningkatan
stabilitas sosial dan psikologi. Tahap ini umumnya terdiri dari tiga fase yang
secara kasar berkorelasi dengan waktu dalam program (2 hingga 4 bulan, 5
hingga 8 bulan, dan 9 hingga 12 bulan). Fase-fase ini ditentukan oleh status
anggota di komunitas (junior, menengah, atau senior resident) dan ditandai
oleh stabilitas perilaku yang menandakan perlunya perubahan lebih lanjut
(Leon, 1994). Tahap Primary merupakan intervensi untuk mengubah sikap,
persepsi, dan perilaku individu yang terkait dengan penggunaan narkoba dan
untuk memenuhi kebutuhan sosial, pendidikan, keterampilan, keluarga, dan
psikologis individu (Hanson, 2002). Residen mulai bersosialisasi dan
47
bergabung dalam komunitas terstruktur yang memiliki hirarki, jadwal harian,
terapi kelompok, grup seminar, konseling dan departemen kerja sebagai
media intervensi perubahan diri (Balai Besar Rehabilitasi BNN, 2019b).
Periode tahap ini berlangsung selama kurang lebih 6 hingga 9 bulan.
Selama tahap ini berlangsung, para residen akan menjalani beberapa fase.
Semakin tinggi fase yang dijalankan residen/klien maka semakin besar
tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Adapun fase-fase, sebagai berikut:
1) Younger Member
Pada fase ini, residen mengikuti program dengan proaktif. Residen wajib
mengikuti aturan-aturan yang ada, dan jika melanggar maka akan
mendapatkan sangsi. Pada tahapan ini, residen boleh dikunjungi oleh
orang tua atau keluarga selama satu kali dalam 2 minggu. Pertemuan
residen dan keluarga ini juga didampingi oleh relawan sosial, dan senior
diprogram TC. Selain itu, residen boleh menerima telepon namun
didampingi oleh residen senior atau relawan.
2) Middle Peer
Pada fase ini, residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian
pelaksanaan operasional panti atau lembaga, membimbing younger
member dan residen yang masih dalam proses orientasi, menerima telepon
tanpa pendamping, meninggalkan panti didampingi orang tua dan senior
secara bertahap dari mulai 4 jam hingga 12 jam. Pada tahap ini, residen
bisa berperan sebagai buddy (pendamping) bagi residen yang baru masuk.
3) Older Member
Pada fase ini, tanggung jawab residen semakin besar, karena ia harus
memikirkan staf dan memikirkan seluruh operasional panti, dan memiliki
tanggung jawab pada residen yunior. Jika residen ini melakukan
kesalahan, maka sanksi yang dikenakan padanya tanpa toleransi. Namun
di sisi lainnya, residen pada tahap ini boleh meninggalkan panti selama 24
jam, dengan pendampingan keluarga dan senior (Haryati, 2012).
c. Tahap Re-entry
Tahap Re-entry merupakan tahap lanjutan setelah residen/klien
melewati tahap primary. Tahap ini menjadi tahap terakhir rangkaian program
therapeutic community dimana tujuan utama tahap re-entry yakni
memfasilitasi residen/klien agar dapat bersosialisasi ketika kembali ke
kehidupan masyarakat pada umumnya. Tahap re-entry merupakan tahap
48
lanjutan yang lebih ditekankan pada vocational and survival karena pada
tahap ini pecandu narkoba akan kembali dalam keluarga dan masyarakat.
“Re-entry is intended to facilitate the individual’s separation
from the TC and successful transition to the larger society. A TC
graduate leaves the program drug-free and employed or in school.
Postresidential (Hanson, 2002).”
d. Tahap After Care
Tahap ini merupakan tahapan yang ditujukan bagi eks-residen atau
alumni. Program ini dilaksanakan di luar panti/rehab dan diikuti oleh semua
angkatan di bawah supervise atau staff lembaga. Tahapan bina lanjut (after
care) ini merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan bagi pecandu narkoba
setelah menjalani tahap pemulihan (rehabilitasi medis dan sosial). Layanan
aftercare setelah perawatan dapat mencakup konseling individu dan keluarga
serta bimbingan kejuruan dan pendidikan (Hanson, 2002).
Tahap ini menjadi penting dikarenakan seorang pecandu narkoba
setelah menjalani program rehabilitasi dan kembali ke masyarakat juga
memerlukan pendampingan agar dapat menjalankan keberfungsian diri
dengan baik. Artinya program terapi tidak hanya berhenti di tempat
rehabilitasi melainkan terus berlanjut sampai residen/klien kembali ke
masyarakat dan menjalankan keberfungsian diri secara normal.