BAB II KAJIAN PUSTAKA - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/9752/5/bab 2.pdf · yang dibedakan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/9752/5/bab 2.pdf · yang dibedakan...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Kepustakaan
1. Stres
1.1 Pengertian
Setiap orang pasti pernah mengalami yang namanya stres,
menurut Selye (dalam Prabowo, 1998) stres adalah respon non
spesifik dari badan terhadap setiap tuntutan yang dibuat atasnya.
Reaksi pertama pada tiap jenis stres adalah kecemasan yang diikuti
oleh tahap perlawanan. Selye menekankan stres tidak hanya
merupakan pembunuhan, tetapi juga merupakan kekuatan yang
merusak drastis. Sedangkan Korchin (dalam Prabowo, 1998)
menyatakan bahwa keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan
yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau
integritas seseorang.
Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang berpengaruh
emosi, proses berfikir, dan kondisi fisik maupun psikis individu
yang merupakan reaksi jiwa dan raga terhadap perubahan yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan (Handoko, 2002).
Koeswara (1988) mengatakan bahwa stres bisa muncul berupa
stimulus eksternal (sosiologis atau situasional) dan bisa berupa
stimulus internal (intrapsikis), yang diterima atau dialami individu
11
sebagai hal yang tidak menyenangkan atau menyebabkan serta
menuntut penyesuaian dan atau menghasilkan efek, baik somatik
maupun behavioral. Menurut Rini (2002) stres bisa berdampak
pada interaksi interpersonal, orang yang sedang stres akan lebih
sensitif dibandingkan dengan orang yang tidak dalam kondisi stres.
Dari berbagai pengertian di atas disimpulkan bahwa stres
adalah suatu kondisi dimana tubuh terganggu karena tekanan
psikologis, karena suatu keadaan yang tak nyaman. Biasanya stres
dikaitkan bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai
kejiwaan. Akan tetapi karena pengaruh stres tersebut maka
penyakit akan bisa muncul karena lemahnya daya tahan tubuh.
1.2 Gejala-gejala Stres
Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2006) berikut gejala-
gejala fisik maupun psikis yang dapat dibagi sebagai berikut :
1. Gejala fisik : merasa lelah, insomnia, nyeri kepala, nyeri dada,
mual, gemetar, gangguan lambung dan pencernaan, karena
berhubungan dengan penyakit fisik sebaiknya berkonsultasi
dengan dokter sebelum memutuskan bahwa gejala fisik
tersebut adalah stres.
2. Gejala mental : berkurangnya konsentrasi dan daya ingat, ragu-
ragu, bingung, pikiran penuh atau kosong, hilangnya rasa
humor.
12
3. Gejala emosi : cemas, depresi, putus asa, mudah marah,
ketakutan, frustasi, fobia, rendah diri, menarik diri dari
pergaulan.
4. Gejala prilaku : mondar-mandir, gelisah, menggigit kuku,
perubahan pola makan, merokok, menangis, berteriak bahkan
melempar barang atau memukul.
1.3 Sumber Stres
Sarafino (dalam Smet, 1994), membedakan sumber-sumber
stres, yaitu dalam diri individu, keluarga, pikiran dan masyarakat.
1. Sumber-sumber stres didalam diri seseorang
Tuntutan dari tubuh kita untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan faali yang terjadi selain itu datangnya
penyakit, kurang tidur akan mempengaruhi respon terhadap
stres.
2. Sumber-sumber stres didalam keluarga
Stres disini bersumber dari interaksi para anggota
keluarga.
3. Pikiran
Potensi stres utama juga datang dari pikiran kita yang
terus menerus menginterpretasikan isyarat-isyarat dari
lingkungan. Pikiran-pikiran yang menyebabkan stres sering
bersifat negatif, penuh kegagalan, terlalu generalisasi, tidak
berdasar fakta dan terlalu dianggap pribadi.
13
4. Stres yang berasal dari lingkungan
Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan
fisik, seperti: kebisingan, suhu terlalu panas, kesesakan.
1.4 Respon Stres
Menurut Selye (dalam Rice 2002 : 139-140), stres adalah
respon tubuh yang bersifat non spesifik terhadap setiap tuntutan
beban diatasnya. Stres dapat menghasilkan berbagai aspek, yaitu:
1. Respon fisiologis, ditandai dengan meningkatnya tekanan
darah, detak jantung, detak nadi dan sistem pernafasan.
2. Respon kognitif, ditandai lewat terganggunya proses kognitif
individu, seperti pikiran kacau, menurun daya konsentrasi dan
pikiran tidak wajar.
3. Respon emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi
yang mungkin dialami individu seperti takut, cemas, malu,
marah dsb.
4. Respon tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu
melakukan situasi yang menekan dan fight yang menghindari
situasi yang menekan (Taylor, 2006).
1.5 Tipe Kepribadian yang Rentan Terkena Stres, adalah sebagai
berikut :
1. Ambisius, agresif dan kompetitif.
2. Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah.
3. Bekerja tidak mengenal waktu.
14
4. Tidak mudah dipengaruhi (Sriati : 2008).
1.6 Jenis Stres
Holahan (dalam Prabowo, 1998) menyebutkan jenis stres
yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan
psychological stress sebagai berikut :
1) Systemic stress
Systemic stress didefiniskan oleh Selye sebagai respon non
spesifik dari tubuh terhadap tuntutan lingkungan.
2) Psychological stress
Menurut Lazarus (dalam Prabowo, 1998) psychological terjadi
karena individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh
stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau
melampaui kemampuan copingnya.
1.7 Tahapan Stres
Selye (dalam Munandar, 2001) mengidentifikasikan 3 tahap
dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres,
yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS), yaitu :
1) Alarm Reaction
Organisme berorientasi pada tuntutan yang diberikan oleh
lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman.
2) Resistance (perlawanan)
Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu
menghadapi tuntutan.
15
3) Exhaustion
Jika tuntutan berlangsung lama, maka sumber-sumber
penyesuaian ini mulai habis dan organisme akan kehabisan
tenaga. Jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan atau salah,
maka reaksi badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit
(diseases of adaptation).
1.8 Stres Berdasarkan Jenis Kelamin
1) Stres pada laki-laki
Penurunan kadar testosteron berpengaruh pada stres fisik dan
psikologis. Testosteron adalah hormon yang memberi tanda
maskulinitas pada pria, seperti rambut, suara yang berat dan
figur tubuh. Hormon ini juga berkaitan dengan pola pikir sifat
merekam dengan wanita. Cara mereka belajar, rasionalitas dan
keengganan untuk menunjukkan perasaannya merupakan ciri
khas pria. Kedua jenis kelamin ini memang berbeda baik secara
fisik maupun secara mental.
2) Stres pada wanita
Estrogen dalam tubuh wanita dapat membuat perasaannya
berubah, selama periode stres kadar estrogen menurun.kelenjar
adrenalin menghasilkan hormon stres lebih banyak dari
estrogen. Selama kadar estrogen menurun terjadi pembentukan
plak pembuluh darah yang meningkatkan resiko terjadinya
penyakit jantung. Setelah mencapai masa menopause, kadar
16
estrogen pada wanita menurun hingga 80%. Ini adalah masa
titik balik yang penting pada kehidupan wanita, banyak
perubahan besar yang terjadi, seperti muka kemerahan dan
terasa panas, masa tulang yang rendah hingga mengalami
osteoporosis. Selain ituEstrogen melindungi sistem jantung dan
pembuluh darah sampai pada masa menopuose, dimasa ini
wanita rentan terhadap masalah jantung yang kemungkinan
sama dengan pria.
1.9 Dampak-dampak stres
Dampak stres bagi individu adalah munculnya masalah-
masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan
interaksi interpersonal (Rini, 2002).
1) Kesehatan
Sistem kekebalan tubuh manusia bekerjasama secara integral
dengan sistem fisiologis lain, dan semuanya berfungsi untuk
menjaga keseimbangan tubuh, baik fisik maupun psikis yang
cara kerjanya di atur oleh otak.
2) Psikologis
Stres yang berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan
dan kekuatiran yang terus menerus. Akibatnya orang akan
terus menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan.
17
3) Interaksi interpersonal
Orang stres cenderung mengaaitkan segala sesuatu pada
dirinya. Pada tingkat stres yang berat orang bias menjadi
depresi, kehilangan percaya diri dan harga diri. Akibatnya ia
lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti
kegiatan yang biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan
sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah
marah dan mudah emosi.
2. Coping Stres
2.1 Pengertian
Aerlin dan Scookler, mendifinisikan coping sebagai respon
terhadap tuntutan-tuntutan eksternal kehidupan, yang ditujukan
untuk mencegah, menghindari dan mengontrol distress emosional
(Erdinalita : 2006).
Strategi coping merupakan suatu proses dimana individu
berusaha untuk menangani dan menguasai stres yang menekan
akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara
melakukan perubahan kognitif maupun prilaku guna memperoleh
rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin : 2002).
Folkman dan Lazarus, memberikan definisi lain yang
menyatakan bahwa coping adalah usaha kognitif dan behafioral
untuk mengatasi tuntutan-tuntutan spesifik yang bersifat eksternal
18
maupun internal, dimana kapasitasnya dianggap melebihi sumber
daya yang dimiliki individu (Folkman S & Lazarus RS, 1988).
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
coping merupakan usaha kognitif dan behavioral yang sehat
maupun tidak sehat, disadari maupun tidak disadari untuk
mencegah, menghilangkan atau memperlemah sumber stres baik
yang bersifat eksternal maupun yang bersifat internal, yang
dianggap melebihi kapasitas sumber daya yang dimiliki individu.
2.2 Macam Coping Stress
Dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Defensif coping adalah salah satu cara seseorang dalam
menghadapi stres yaitu dengan lari dari masalah yang
menimbulkan masalah tersebut, baik secara fisik maupun
psikologis. Menurut Freud, seluruh tipe defensife coping
merupakan penyesuaian diri pada realitas yang tidak sehat.
Kebanyakan pola ini meliputi mental atau fisik merupakan
pelarian dari situasi yang traumatis.
2. Direct coping adalah salah satu cara seseorang dalam
menghadapi stres dengan menghadapi dan mengatasinya.
Meliputi pengidentifikasian stres yang masuk (dihadapi),
kemudian mengadakan perhitungan cara untuk mengatasinya.
Hal ini biasanya dilakukan dengan cara selangkah demi
selangkah (Rahmah : 207).
19
2.3 Episode Coping
Menurut Rudolph, Dennig dan Weisz, mencoba menjelaskan tiga
tahap episode dalam proses coping, yang meliputi:
1. Respon coping adalah tindakan fisik dan mental yang
dilakukan sebagai respon terhadap sumber stres serta ditujukan
untuk mengubah peristiwa eksternal maupun internal. Apabila
individu menganggap bahwa sumber stress yang berasal dari
eksternal (lingkungan) masih dapat dimanipulasi atau disiasati,
maka individu akan cenderung memunculkan respon coping
yang bertujuan untuk memindahkan ataupun menyiasati
sumber stres tersebut. Namun apabila sumber stres eksternal
sudah tidak dapat ”dikutak-katik” lagi, maka satu-satunya
respon coping yang mungkin dilakukan adalah dengan cara
menyesuaikan diri terhadap lingkungan untuk mengurangi
distres emosional yang dirasakan individu.
2. Tujuan coping adalah tujuan yang hendak dicapai setelah
melakukan proses coping.
3. Hasil coping adalah konsekuensi langsung yang bersikap baik
maupun buruk dari respon coping yang dilakukan.
20
2.4 Komponen-komponen coping
Antonovsky, mengemukakan bahwa setiap strategi coping
memiliki tiga komponen utama, yang terdiri dari:
1. Rasionalitas didefinisikan sebagai penilaian yang akurat dan
objektif terhadap situasi atau sumber stres.
2. Fleksibilitas ini mengacu kepada keberadaan variasi dari
strategi coping untuk mengatasi sumber stres dan keinginan
untuk mempertimbangkan variasi-variasi tersebut. Orang yang
kehilangan fleksibilitas tidak dapat mengatasi stres yang
dihadapinya dengan baik.
3. Farsightness ialah kemampuan untuk mengantisipasi segala
konsekuensi dari berbagai strategi coping yang digunakan.
Ketiga komponen ini saling berhubungan satu sama lain
dan coping yang efektif selalu melibatkan ketiga komponen
tersebut.
2.5 Klasifikasi dan Jenis Strategi Coping
Lazarus dan Folkman (dalam Taylor), mengklasifikasikan
strategi coping ke dalam dua kelompok utama, yaitu :
1. Coping yang terfokus pada masalah (Problem - Focused
Coping)
Individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah
untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan
stres. Misalkan dengan bekerja, tidak berdiam diri, serta
21
menceritakan masalah ke orang lain. Coping yang terfokus
pada masalah adalah Strategi coping yang bertujuan untuk
mengontrol stres, dalam rangka menghilangkan atau
meminimalisir kondisi stres yang dihadapi. Dengan jenis:
a. Agresi (attack)
Merupakan salah satu cara individu untuk mengatasi
kesulitan dengan cara melindungi diri dari kerugian,
prasangka terluka, kehilangan atau terhadap obyek yang
dirasa merupakan sumber ancaman yang membahayakan
diri.
b. Menghindar (avoidance)
Yaitu individu berusaha untuk memikirkan atau
melakukan sesuatu untuk melepaskan diri dari pikiran
terhadap kesulitan yang dihadapinya.
c. Apathy (inaction)
Cara individu mengatasi masalah dengan cara
pasrah atau menyerah tanpa ada alternatif pemecahan
terhadap ancaman atau tekanan yang dihadapi, dengan cara
individu tidak melakukan apa-apa dan bersikap pasif
terhadap keadaan yang ada.
2. Coping yang terfokus pada emosi (Emotion - Focused Coping)
Individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur
emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak
22
yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi yang penuh tekanan.
Dengan jenis:
a. Represi
Upaya individu untuk menyingkirkan frustasi, konflik
batin, mimpi buruk dan sejenisnya, yang dapat
menimbulkan kecemasan.
b. Rasionalitas
Yaitu upaya individu memutarbalikkan kenyataan yang
mengancam ego dengan alasan yang seakan-akan masuk
akal agar tidak lagi mengancam ego individu. Cara ini
digunakan sebagai upaya untuk mencari alasan yang dapat
diterima secara sosial untuk membenarkan atau
menyembunyikan prilaku yang buruk.
c. Proyeksi
Biasanya dengan teknik ini individu dengan cepat dalam
memperlihatkan ciri pribadi lain yang tidak dia sukai dan
apa yang dapat dia perhatikan itu cenderung dibesar-
besarkan. Teknik ini individu dituntut harus dapat
menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri.
d. Identifikasi
Yaitu usaha untuk mempersamakan diri sendiri dengan
orang lain yang dianggap sukses dalam hidupnya.
23
Hasil penelitian membuktikan bahwa individu
menggunakan kedua klasifikasi tersebut untuk mengatasi
berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup
sehari-hari. Beberapa pakar teori lainnya kemudian mencoba
mengembangkan pengklasifikasian strategi coping yang
dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman tersebut. Di sini
Carven juga menambahkan golongan coping, yaitu coping
maladaptif., yang terdiri dari:
a. Berfokus pada emosi yang dirasakan dan bagaimana
caranya untuk menyalurkan emosi tersebut, yaitu
kecenderungan untuk terlalu memfokuskan diri pada
emosional distres yang dirasakan, serta bagaimana caranya
agar dapat melepaskan emosi-emosi negative tersebut.
Strategi ini dapat menjadi efektif dan fungsional pada
beberapa situasi. Namun jika hal tersebut dilakukan dalam
periode waktu yang cukup lama, justru akan menghambat
proses penyesuaian diri individu terhadap situasi stres.
b. Behavioral Disengagement, adalah keadaan dimana
individu mengurangi usaha yang dikerahkannya untuk
menghadapi sumber stres, bahkan menyerah dan putus asa
dalam meraih tujuannya, dikarenakan kehadiran sumber
stres behavioral disengagement, seringkali disebut dengan
istilah helpleness.
24
c. Mental disengangement, adalah sebuah variasi dari
behavioral disengagement yang muncul pada situasi-situasi
dimana behavioral disengagement tidak dapat dilakukan
melalui mental disengagement, individu berusaha
mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang dapat
mengingatkannya pada sumber stres antara lain menghayal,
tidur berlebihan, nonton TV dsb.
2.6 Coping Outcome (tugas coping)
Lazarus dan Folkman menyatakan coping yang efektif adalah yang
membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi
menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang dapat dikuasainya.
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus
mengemukakan agar coping dilakukan dengan efektif, maka
strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang
dikenal dengan istilah coping task, yaitu:
1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan
meningkatkan prospek untuk memperbaikinya.
2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang
negatif.
3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang
lain (rumahbelajarpsikologi.com, 2009).
25
3. Janda
3.1 Pengertian
Dari kamus besar Bahasa Indonesia diperoleh pengertian
bahwa, “janda adalah wanita yang tidak bersuami lagi karena
bercerai atau ditinggal mati suaminya” (Depdiknas, 2002 : 457).
Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ayah
berperan sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas kebutuhan
keluarga, sedangkan ibu adalah seorang wanita yang memiliki
kewajiban untuk mengurusi urusan rumah tangga. Janda
melaksanakan tanggung jawab mencari nafkah sendiri, tanpa
ditemani suami, sehingga banyak diantara mereka yang mengalami
stres, belum lagi gunjingan dari masyarakat sekitar yang penilaian
terhadap janda adalah negatif.
3.2 Tipe-tipe Janda
Kondisi ini diperkirakan memberikan corak khas pada kehidupan
individu, bila dibandingkan dengan individu-individu lain yang
tidak mengalaminya. Janda dapat dikategorikan dalam beberapa
tipe :
1. Janda yang membesarkan anak dependen
2. Janda yang membesarkan anak berkebutuhan khusus
3. Janda yang lebih tua dan independen dengan satu atau lebih
anak
26
4. Janda yang lebih tua, dependen, sakit-sakitan dengan anak
yang sehat tinggal dan/atau tidak tinggal serumah (Gass-
Sternas, 1995).
3.3 Masalah-masalah yang Dihadapi Seorang Janda
Hurlock (1980 : 361) dalam hal ini menyebutkan beberapa
masalah yang umumnya dihadapi oleh janda dari kalangan dewasa
muda atau dewasa madya, masalah-masalah yang dihadapi
umumnya adalah masalah ekonomi, sosial, keluarga, dan seksual.
Kimmel (1980) dan Walsh (2003) menyatakan beberapa
permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang
yang ditinggal baik wanita atau pria yakni kesepian, perasaan
terjebak dengan tanggung jawab mencari sumber pendapatan, lebih
banyak ekonomi yang muncul menghadapi perubahan hidup yang
lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, fisik yang rentan
terhadap penyakit (Kimmel : 1980). Sedangkan masalah khusus
yang timbul pada keluarga yang hanya wanita saja tanpa adanya
pria adalah kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan
kesulitan menutupi biaya lainnya. Sementara pada keluarga dengan
orang tua tinggal pria masalah khusus yang timbul hanya dalam hal
memberikan perlindungan dan perhatian pada anak (Kimmel :
1980).
27
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai coping mayoritas diteliti oleh
mahasiswa psikologi, hal tersebut didasari karena pembahasan coping
memang tepat untuk dijadikan pembahasan oleh mahasiswa psikologi.
Berikut ini akan peneliti deskripsikan beberapa hasil penelitian yang
berkaitan dengan strategi coping yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu.
Pertama, penelitian yang telah diteliti oleh Putik Erdinalita, skripsi
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga tahun 2007, dengan judul
“strategi coping stress pada waria”. Penelitian ini menjelaskan tentang
strategi coping stres yang digunakan oleh waria dalam menghadapi
sumber-sumber stres kehidupannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
waria sebagai individu memiliki perbedaan dalam strategi coping yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah kehidupannya. Yaitu subyek 1
yang cenderung menggunakan problem focused coping yaitu strategi
coping yang bertujuan untuk mengontrol sumber stres, dalam rangka
menghilangkan atau meminimalisir kondisi stres yang dihadapi. Subyek 2
cenderung menggunakan emotion focused coping, yaitu usaha yang
dilakukan untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri
dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh situasi kondisi yang penuh
tekanan, sedang subyek yang ketiga cenderung menggunakan coping
maladaptif, yaitu coping yang cenderung kurang efektif atau bersifat
maladaptif.
28
Kedua, penelitian yang telah diteliti oleh Joko Parjianto, skripsi
Fakultas Psikologi UMS Surakarta tahun 2004, dengan judul “strategi
coping pengguna narkotika dan obat terlarang”. Penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk strategi coping yang dilakukan
pengguna narkotika dan obat terlarang. Sampel dalam penelitian ini adalah
pengguna narkotika dan obat terlarang yang tercatat sebagai penduduk di
wilayah Kotamadya Surakarta, adapun karakteristik subyek penelitian,
yaitu: (a) usia 20-25 tahun; (b) pria; (c) pendidikan minimal SLTA; (d)
Berdomisili di wilayah Surakarta. Gejala penelitian yang ingin diteliti
yaitu strategi coping. Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa
bentuk strategi coping yang dilakukan pengguna narkoba digolongkan
menjadi enan kategori, yaitu: sikap tegas dan tertutup, aresif, melakukan
aktifitas sosial, berhenti secara bertahap, mencari dukungan sosial, pasrah
dan putus asa. Kategori-kategori tersebut diperoleh berdasarkan
kesimpulan yang diambil secara analisis deskriptif dari hasil wawancara
dan observasi. Disamping itu bentuk-bentuk strategi coping yang
dilakukan pengguna narkotika dan obat terlarang dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti: jenis kelamin, umur, perkembangan, tingkat
pendidikan dan status sosial ekonomi.
Dari penjelasan penelitian terdahulu di atas, maka dapat diketahui
bahwa terdapat perbedaan yang mendasar seperti subyek penelitian, lokasi
penelitian, hasil penelitian dan sebagainya.meskipun terdapat
kesamaandalam bidang kajian yaitu strategi coping. Sebagai bahan
29
perbandingan, disini peneliti mengambil judul “Studi kasus tentang
strategi coping stres pada wanita yang menjanda karena suami
meninggal”.
Pada penelitian ini, peneliti terinspirasi untuk meneliti strategi
coping pada wanita yang menjanda, karena kondisi ini dimungkinkan
banyak permasalahan yang menarik untuk diteliti. Selain itu, penelitian ini
diharapkan bisa memberikan masukan atau sumbang pemikiran pada
keilmuan psikologi.
Tema ini juga pernah diangkat oleh peneliti lain, adanya hasil
penelitian terdahulu menjadi referensi peneliti. Antara penelitian sekarang
dengan penelitian terdahulu akan memiliki perbedaan karena ditinjau dari
judul, subyek penelitian dan lokasi penelitian yang berbeda pula.
30
C. Kerangka Teoritik
Kerangka Konseptual
Janda
Sumber Stres
Stres
Strategi coping
Permasalahan sosial, adanya konstruksi miring terhadap status janda dari masyarakat awam yang mengakibatkan kesenjangan sosial.
Permasalahan psikologis, permasalahan yang dijalani sendiri kadang membuat janda tidak mempunyai teman berbagi sehingga membuatnya.
Emotion focuse coping Problem focused coping Maladaptif coping
Prilaku adaptif
Permasalahan ekonomi, permasalahan ini merupakan salah satu hal yang menjadi beban yang harus ditanggung sendiri, tanpa ada suami yang memenuhi
31
Menjanda karena suami meninggal merupakan suatu perjalanan
hidup yang dilalui oleh seorang wanita, dimasyarakat Indonesia tanggapan
miring seringkali terjadi pada janda tersebut, sehingga seorang janda
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya.
Bagaimana seorang janda dapat mengatasi permasalahan-permasalahan
yang muncul setelah ditinggal suaminya, terlebih masalah kehidupan
sosialnya, perubahan hidup akan membawa perubahan pada prilaku
seseorang, bisa saja seorang janda tersebut menjadi orang yang tak dapat
bergaul seperti dulu ketika masih mempunyai suami. Masalah ekonomi,
karena sebagian besar penghasilan diperoleh dari hasil jerih payah suami,
sedang sebagian besar seorang istri menggantungkan masalah
perekonomian ditangan suami. Disamping masalah ekonomi, seorang
wanita yang menjanda pada saat ditinggal suami meninggal akan
mengalami tekanan psikologis yang berat, dimana ia tak menemukan lagi
tempat untuk berbagi, bercerita, dan sebagainya.
Permasalahan di atas yang dapat menjadi sumber stres pada wanita
yang menjanda. Dari banyaknya sumber stres yang muncul, janda dituntut
untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri, di sini ada beberapa strategi
yang dapat digunakan untuk mengatasi stres dan jika janda tersebut dapat
mengatasi masalahnya tersebut, maka ia juga akan mampu untuk
menyelesaikan masalah yang ada di luar dirinya. Dengan begitu ia mampu
untuk menciptakan prilaku yang adaptif yaitu prilaku yang dapat diterima
oleh masyarakat sekitar.
32
Munculnya stres karena adanya permasalahan yang diterangkan di
atas, maka janda harus mempunyai strategi coping stress yang berfungsi
meminimalisir stres yang ada. Strategi yang digunakan dapat
menggunakan Problem Focused Coping, dimana subjek secara aktif
mencari solusi dari permasalahannya. Selain itu Emotion Focused Coping,
dimana subjek mengatur emosinya dalam rangka penyesuaian terhadap
tekanan-tekanan yang dialami, atau menggunakan strategi coping milik
Carven. Keputusan untuk menggunakan coping di atas adalah karena hasil
penelitian membuktikan bahwa dengan menggunakan dua cara tersebut
dapat mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang
lingkup kehidupan sehari-hari, sehingga subjek dapat beradaptasi dengan
baik dan dapat menjalani hidup layaknya wanita yang mempunyai
pasangan.