BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan Fisik 2.1.1 ... - UNUD

58
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan Fisik 2.1.1 Prinsip-Prinsip Pelatihan Fisik Prinsip pelatihan adalah suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan (Nala, 2011). Tanpa adanya prinsip dan pedoman yang harus diikuti oleh pelatih dan atlet, baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi, maka akan sulit mencapai hasil yang maksimal. Selain itu hasil pelatihan juga ditentukan oleh beberapa faktor lainnya seperti umur, berat badan, jenis kelamin, faktor lingkungan, sosial budaya dan motivasi ketika berlatih. Dasar pelatihan fisik mengandung 7 prinsip (Nala, 2011), yaitu : a. Prinsip Aktif dan Bersungguh-sungguh dalam Mengikuti Pelatihan Setiap atlet dituntut selalu bertindak secara aktif dan tidak pasif saat melakukan latihan fisik. Disiplin latihan dengan kseungguhan hati. Bila ingin menjadi atlet yang berprestasi, maka modal utama adalah kemauan, disiplin dan pengembangan diri. Tanpa modal ini kita jangan mengharapkan prestasi yang maksimal dari atlet tersebut. b. Prinsip Pengembangan Multilateral Pelatihan pembekalan dasar-dasar kebugaran fisik dan komponen biometrik harus diberikan pada pembekalan pertama. Sesudah pembekalan

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan Fisik 2.1.1 ... - UNUD

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pelatihan Fisik

2.1.1 Prinsip-Prinsip Pelatihan Fisik

Prinsip pelatihan adalah suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis,

dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif yang harus ditaati

dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan (Nala, 2011). Tanpa adanya

prinsip dan pedoman yang harus diikuti oleh pelatih dan atlet, baik mulai dari

perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi, maka akan sulit mencapai hasil

yang maksimal. Selain itu hasil pelatihan juga ditentukan oleh beberapa faktor

lainnya seperti umur, berat badan, jenis kelamin, faktor lingkungan, sosial budaya

dan motivasi ketika berlatih.

Dasar pelatihan fisik mengandung 7 prinsip (Nala, 2011), yaitu :

a. Prinsip Aktif dan Bersungguh-sungguh dalam Mengikuti Pelatihan

Setiap atlet dituntut selalu bertindak secara aktif dan tidak pasif saat

melakukan latihan fisik. Disiplin latihan dengan kseungguhan hati. Bila

ingin menjadi atlet yang berprestasi, maka modal utama adalah kemauan,

disiplin dan pengembangan diri. Tanpa modal ini kita jangan

mengharapkan prestasi yang maksimal dari atlet tersebut.

b. Prinsip Pengembangan Multilateral

Pelatihan pembekalan dasar-dasar kebugaran fisik dan komponen

biometrik harus diberikan pada pembekalan pertama. Sesudah pembekalan

10

ini dipahami dan mampu dilakukan dengan baik barulah dilanjutkan

dengan pembekalan yang spesifik sesuai dengan bidang olahraga yang

disenanginya. Ada sepuluh komponen biomotorik yang dikenal dalam

dunia olahraga, yakni kekuatan otot, daya tahan, kecepatan, kelincahan,

daya ledak, kelentukan, kecepatan, ketepatan, keseimbangan, dan

kordinasi.

c. Prinsip Spesialisasi

Sesudah pelatihan pengembangan multilateral dilatih dan dipahami betul

barulah dilakukan pelatihan pengembangan khusus atau spesialisasi sesuai

dengan cabang olahraga yang disenanginya. Pelatihan spesialisasi baru

dimulai setelah disesuaikan dengan kondisi individu baik umur maupun

antomi yang cocok untuk cabang olahraga yang akan dipilih oleh anak-

anak yang masih memasuki usia pertumbuhan atau atlet prestasi.

d. Prinsip Individualisasi

Setiap orang memiliki kemampuan, potensi, karakter belajar dan

spesifikasi dalam olahraga yang berbeda antara masing-masing individu.

Oleh sebab itu pelatihan yang dilakukan akan berbeda dan tidak mungkin

pelatihan diseragamkan untuk seluruh atlet.

e. Prinsip Variasi atau Keseragaman

Pelatihan yang bersifat monoton akan sangat membosankan. Oleh sebab

itu diperlukan variasi dalam latihan tersebut. Variasi dalam pelatihan harus

tetap mengacu pada tujuan pelatihan karena variasi latihan yang

11

menyimpang dari tujuan pelatihan akan memberikan hasil yang berbeda

dari apa yang diharapkan.

f. Prinsip Menggunakan Model Proses Pelatihan

Prinsip ini adalah dengan menggunakan simulasi, misalnya dengan

mengayunkan kaki seolah-olah akan menendang bola dengan posisi kaki

tertentu ke arah tertentu.

g. Prinsip Peningkatan Beban Progresif dalam Pelatihan

Pada pelatihan beban latihan dimulai dengan beban awal yang ringan yang

kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet

atau diawali dengan gerakan sederhana yang kemudian ditingkatkan

menjadi gerakan yang semakin rumit.

2.1.2 Fase-fase Pelatihan Fisik

a. Fase Pemanasan

Pemanasan dan peregangan harus dilakukan semua orang sebelum

melakukan latihan fisik. Sistem tubuh saat istirahat berada dalam keadaan

tidak begitu aktif. Hal ini menyebabkan tubuh memerlukan waktu

beberapa menit untuk dapat beradaptasi dari sikap pasif menjadi aktif

sebelum saat akan memulai latihan. Tujuan untuk dilakukan pemanasan

adalah untuk mempersiapkan organ tubuh agar dapat bekerja dalam tingkat

efisiensi yang tinggi sewaktu berlatih. Suhu tubuh akan meningkat,

terutama suhu otot skeletal akan meningkat dengan cepat yang juga diikuti

dengan peningkatan aliran darah dan oksigen ke otot skeletal. Selain itu

pemanasan juga akan merangsang aktivitas sistem saraf, hormon, kinerja

12

sel jantung, paru, dan pembuluh darah (Plowman dan Smith, 2008;

Cossabon, 2010; Pangkahila, 2011a; Sharkey, 2011;).

Proses pemanasan ini sebenarnya terjadi berawal dari bagian

korteks otak. Untuk mengantisipasi gerakan waktu pemanasan, saraf

simpatis dirangsang yang menyebabkan terjadi vasodilatasi atau pelebaran

pembuluh darah di seluruh otot skeletal. Sedangkan bila aktivitas

sesungguhnya telah dimulai akan terjadi vasokontriksi pada otot skeletal

yang tidak bekerja dan tetap terjadi vasodilatasi di otot skeletal yang

berkontraksi (Nala, 2011). Lamanya waktu untuk melakukan pemanasan

dan peregangan ini adalah berkisar 10 – 15 menit atau denyut nadi

meningkat antara 30 – 40 kali permenit dibandingkan dengan denyut nadi

istirahat (Pangkahila, 2009; Nala, 2011).

b. Fase Latihan

Pada fase latihan, organ tubuh seperti otot, jantung dan paru sudah

siap untuk melakukan aktivitas fisik yang cukup mulai dari ringan, sedang

sampai berat yaitu mulai dari (65% - 85% ) X Denyut Nadi Maksimal

(DNM=220-umur). Lamanya waktu yang dianjurkan untuk melakukan

latihan olahraga adalah antara 15 – 60 menit untuk semua latihan olahraga

(Nala, 2011). American College of Sport Medicine menganjurkan fase

latihan dilakukan minimum 20 menit dan disesuaikan dengan intensitas

latihan.

13

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

0 5 10 20 30 40

DURATION (MINUTE)

THE PHASES OF AEROBIC TRAINING

(Sharkey, 1977; 2003)

H

E

A

R

T

R

A

T

E W - U TRAINING SESSION C - D

Gambar 2.1

Fase-Fase Pelatihan Erobik berdasarkan Durasi dan Denyut Nadi sesuai

dengan Tahap Pemanasan (WU), Sesi Latihan (training session) dan

Pendinginan (CD) (Sharkey, 2011).

Bila intensitas latihannya berat, maka waktu latihan lebih pendek

dan sebaliknya bila intensitas latihannya ringan, maka waktu latihan lebih

panjang. Lama dan intensitas latihan yang berlebihan akan menyebabkan

14

terjadinya over training (pelatihan berlebih) yang berbahaya terhadap

orang yang melakukan latihan tersebut. Keadaan ini disebabkan karena

pelatihan yang dilakukan telah melampaui kapasitas latihan yang makin

lama akan makin menurun sesuai dengan peningkatan umur. Keadaan

seperti ini tidak jarang dialami juga oleh para pekerja yang mirip dengan

pelatihan berlebih yang dikenal dengan kerja berlebih (over-working)

(Adiputra, 1998 ).

c. Fase Pendinginan

Pendinginan dilakukan setelah selesai melakukan latihan fisik.

Tujuan dilakukan pendinginan adalah untuk menarik kembali darah

secepatnya yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke

peredaran darah sentral. Selain itu pendinginan juga dapat membersihkan

asam laktat yang terdapat dalam otot dan darah. Pada suatu penelitian

menunjukkan bahwa kadar asam laktat akan hilang dari dalam darah

sebanyak 50% setelah 15 menit, 75% setelah 30 menit dan 100% setelah 1

jam (Nala, 2011).

Berdasarkan cepatnya asam laktat diubah maka, lamanya waktu

pendinginan yang diperlukan setelah melakukan latihan adalah 15 menit

sampai 60 menit. Lamanya waktu pendinginan juga tergantung pada

kelembaban, suhu lingkungan, umur, tingkat kebugaran dan berat

ringannya latihan fisik yang dilakukan sebelumnya (Nala, 2011).

Bentuk pendinginan yang biasa dilakukan adalah dengan istirahat

aktif. Atlet tidak duduk atau berdiri pasif, tetapi melakukan gerakan ringan

15

seperti jalan-jalan atau menggerak-gerakkan tubuh serta anggota tubuh

atas dan bawah secara ringan (Nala, 2011).

2.1.3 Pengaruh Pelatihan Fisik terhadap Organ Tubuh

2.1.3.1 Sistem Kardiovaskular

Pelatihan fisik yang dilakukan secara teratur akan mengurangi beban kerja

jantung. Jantung lebih efisien dalam memompa darah karena kemampuan

kontraksi otot jantung dengan pemanfaatan oksigen yang lebih rendah. Setiap kali

memompa darah volume yang dikeluarkan lebih banyak untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme jaringan tubuh, sehingga dalam semenit denyut jantung

seorang yang terlatih lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih

(Pollock dkk., 1984; Sharkey, 2011).

Ukuran jantung pada orang yang terlatih juga lebih besar. Terjadi

peningkatan volume ventrikel kiri yang memungkinkan volume sekuncup yang

lebih besar. Individu yang melakukan latihan beban jangka panjang mungkin

mengalami peningkatan ketebalan otot jantung karena jantung berusaha

memompa darah melawan hambatan otot yang berkontraksi. Jantung yang

membesar adalah konsekuensi alamiah dari olahraga (Sharkey, 2011).

2.1.3.2 Sistem Respirasi

Pelatihan fisik akan meningkatkan efisiensi pernafasan. Volume residu

akan meningkat pada usia lanjut dan pada orang yang pasif yang pada akhirnya

akan menurunkan kapasitas latihan. Latihan akan mengurangi volume residu dan

selanjutnya meningkatkan kapasitas tanpa mengubah ukuran paru-paru.

16

Individu yang tidak terlatih akan memerlukan frekuensi pernafasan lebih

banyak dibandingkan dengan orang yang terlatih. Pernafasan yang lebih lambat

dan dalam lebih efisien karena kemungkinan lebih banyak udara yang mencapai

alveoli paru dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Latihan fisik

akan meningkatkan difusi oksigen dari paru-paru ke dalam darah. Oleh karena itu

maka saat melakukan pelatihan fisik perlu dipantau juga saturasi oksigen di dalam

darah yang normalnya sekitar 95% - 100% (Pulse Oximeter, 2011). Bila saat

melakukan olahraga seharusnya organ tubuh termasuk organ respirasi,

kardiovaskular, neuromuskoskeletal, dan organ lainnya bekerja sesuai dengan

aktivitas tubuh. Sebaliknya aktivitas tubuh harus menyesuaikan dengan

kemampuan tubuh termasuk fungsi organ tubuh termasuk fungsi respirasi. Oleh

karena itu maka saturasi oksigen penting untuk dipantau untuk mengetahui

keseimbangan fungsi respirasi terhadap aktivitas fisik (Pollock dkk., 1984;

Plowman dan Smith, 2008).

2.1.3.3 Otot

Latihan fisik memiliki efek terhadap otot sebagai berikut :

• Latihan fisik meningkatkan konsentrasi enzim yang dibutuhkan

untuk menguraikan metabolisme karbohidrat dan lemak untuk

menghasilkan energi dalam bentuk ATP

• Latihan fisik meningkatkan ukuran dan jumlah mitokondria sebagai

pembangkit tenaga sel untuk menghasilkan energi.

• Latihan fisik meningkatkan kemampuan otot untuk menggunakan

lemak sebagai sumber tenaga

17

• Latihan fisik meningkatkan ukuran serat otot

• Latihan fisik meningkatkan kandungan mioglobin dalam serat

ototyang berguna membawa oksigen dari sel ke mitokondria

• Latihan fisik meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler yang

mengalirkan ke darah ke otot.

2.1.3.4 Sistem Endokrin

Ada beberapa keuntungan yang didapatkan dari latihan fisik secara teratur

dan ternyata ada hubungannya dengan sembilan hormon yaitu hormon

pertumbuhan (Growth Hormone), testosteron, estrogen, tiroksin, epineprin,

insulin, adrenalin, glukagon dan endorfin (Landry, 2002; Safarinejard dkk., 2009).

a. Hormon pertumbuhan atau Growth Hormone (GH)

Hormon ini merangsang sintesis protein (perkembangan dan tonus

otot), kekuatan tulang, tendon, ligamen, dan kartilago. Selain itu hormon GH

juga menurunkan penggunaan glukosa dan meningkatkan penggunaan lemak

sebagai bahan bakar selama melakukan aktivitas fisik termasuk olahraga. Bila

melakukan aktivitas fisik lama, hormon pertumbuhan akan mampu

mengurangi lemak tubuh tanpa menurunkan kadar glukosa dalam darah.

Pengeluaran GH dari hipofise dapat ditingkatkan dengan meningkatkan waktu

latihan erobik tetapi harus intensif antara lain dengan pelatihan interval.

b. Testosteron

Pelatihan fisik memegang peranan penting pada pengaturan

pengeluaran testosteron. Sebaliknya juga testosteron memegang peranan

penting untuk pembentukan tubuh dan semangat pada saat seseorang

18

melakukan aktivitas fisik baik saat olahraga maupun melakukan

pekerjaannya.

Penggunaan testosteron yang salah dan jelas tidak sesuai dengan

kaidah-kaidah ilmiah dan justru menyesatkan dan dapat menyebabkan efek

yang tidak sehat banyak terjadi di tempat-tempat pelatihan olahraga.

Penggunaan ini dengan tujuan untuk meningkatkan penampilan yang

berotot besar.

Selain itu ada juga penggunaan testosteron di tempat-tempat

tradisional yang menjanjikan dapat meningkatkan potensi seksual dan ini

sudah menyebar di berbagai daerah (Pangkahila, 1992; Pangkahila,

2011b). Keadaan ini sudah jelas tanpa pengawasan dokter yang betul-betul

memahami tentang olahraga, hormone dan penanganan masalah seksual

(Pangkahila, 2010b; Pangkahila, 2011a).

Penggunaan testosteron yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah

ilmiah ini dapat mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan hormon.

Ketidak seimbangan ini dapat mengganggu fungsi reproduksi, fungsi

seksual dan mempercepat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2007;

Pangkahila, 2008; Pangkahila, 2009; Pangkahila, 2010a; Pangkahila,

2011c). Keadaan ini tidak sedikit dialami oleh para pria yang melakukan

pelatihan kebugaran fisik di pusat-pusat kebugaran dan pengobatan

tradisional di berbagai daerah di tanah air (Landry, 2002; Jones, 2008;

Pangkahila, 2011a). Kesalahan penanganan seperti ini akan berakibat pada

proses penuaan secara dini sebab terjadi kekacauan hubungan antar

19

hormon di dalam tubuh yang secara alamiah sudah diatur dengan

mekanime hipotalamo-hipofise-organ target.

Testosteron adalah hormon yang penting baik bagi pria maupun

wanita untuk mempertahankan tonus dan volume otot, meningkatkan

basal metabolisme , menurunkan lemak tubuh, dan meningkatkan percaya

diri (self-confidence). Testosteron amat penting untuk meningkatkan

potensi seksual baik pada pria maupun pada wanita.

Penurunan testosteron pada pria dan wanita akan nampak bila

sudah memasuki masa menopause pada wanita dan andropause pada pria.

Namun demikian kadar testosteron akan meningkat selama melakukan

olahraga pada 20 menit pertama dan akan bertahan selama satu sampai tiga

jam sesudah melakukan olahraga. Oleh karena itu maka pengaturan pola

hidup termasuk olahraga yang terprogram dengan benar akan mampu

mengoptimalkan kadar testosteron di dalam tubuh kita (Landry, 2002).

c. Estrogen

Estrogen, 17 beta estradiol berfungsi meningkatkan penghancuran

lemak dari lemak tubuh untuk dijadikan energi, meningkatkan basal

metabolisme, meningkatkan perasaan nyaman dan meningkatkan libido.

Estrogen juga mengoptimalkan jumlah darah pada wanita dan estrogen

menurun pada wanita yang menopause. Pelatihan fisik akan mampu

meningkatkan 17 beta estradiol sesudah 1 sampai 4 jam latihan.

20

d. Tiroksin (Thyroxine) (T4)

Hormon ini diproduksi di kelenjar tiroid. Tiroksin meningkatkan

metabolisme seluruh sel di dalam tubuh dan peningkatan metabolisme ini

akan meningkatkan perasaan energetik dan akibatnya akan mengeluarkan

kalori yang akan menurunkan berat tubuh. Selain itu peningkatan tiroksin

dalam darah akan mencapai 30% selama melakukan latihan fisik dan akan

bertahan selama beberapa jam sesudah melakukan latihan. Bila seseorang

melakukan olahraga secara teratur maka akan meningkatkan tiroksin pada

saat istirahat.

e. Epinefrin

Epinefrin diproduksi oleh kelenjar adrenalis bagian medula

berfungsi meningkatkan pemompaan volume darah oleh jantung sesuai

dengan kebutuhan organ tertentu. Selain itu epinefrin juga merangsang

penghancuran glikogen pada otot-otot yang aktif dan hati untuk

dipergunakan sebagai bahan bakar tubuh. Produksi epinefrin oleh kelenjar

adrenalin sesuai dengan intensitas dan lama latihan.

f. Insulin

Insulin berfungsi untuk mengatur atau menurunkan kadar glukosa

darah dan secara tidak langsung mengatur asam lemak dan asam amino ke

dalam sel. Insulin diproduksi oleh kelenjar pankreas dan sekresinya

dirangsang oleh peningkatan kadar gula darah dan asam amino. Keadaan

ini biasanya terjadi sesudah makan karbohidrat atau gula. Respon insulin

yang berlebihan akan menyebabkan pembentukan asam lemak di dalam

21

sel. Oleh karena itu maka insulin seringkali disebut hormon lemak (fat

hormone). Kebanyakan orang yang kelebihan berat badan mengalami

resisten terhadap insulin sehingga memerlukan insulin tambahan untuk

memberikan efek yang sama. Keadaan ini akan meningkatkan kadar

insulin lebih dari pada normal. Oleh karena itu maka perlu dilakukan

pelatihan erobik yang teratur untuk menurunkan berat badannya. Aktivitas

pelatihan erobik ini dalam waktu 10 menit sampai 70 menit akan

menurunkan kadar insulin darah. Selain itu pelatihan yang dilakukan

secara teratur akan meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin saat

istirahat.

g. Glukagon

Glukagon disekresi oleh kelenjar pankreas, tetapi fungsinya

berlawanan dengan insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Bila

kadar gula darah menurun maka hormon glukagon akan meningkatkan

kadar glukosa darah melalui peningkatan glukoneogenesis di hati agar

kadar glukosa darah normal kembali. Selain itu juga menyebabkan

pemecahan lemak untuk bahan bakar. Pelatihan fisik dalam waktu 30

menit mampu merangsang pengeluaran glukagon untuk mengatasi kadar

glukosa yang menurun (Landry, 2002).

2.1.4 Program Pelatihan Fisik Seimbang berdasarkan FITT

Program pelatihan yang sering dilakukan oleh para pelatih di berbagai

bidang olahraga hampir sebagian besar berdasarkan berbagai program, tetapi yang

22

amat menyolok ialah berpola pada pengalaman masa lalu pelatih saat masih

menjadi olahragawan prestasi (Heyward, 2006; Nala, 2011; Pangkahila 2013;).

Yang lebih masalah lagi ialah bila bekas pelatih tersebut menjadi pelatih para

peserta latihan yang bukan untuk prestasi tetapi kelompok yang sekedar hanya

untuk menjaga kesehatan dan kebugaran misalnya untuk para kelompok lansia.

Berbagai pelatihan fisik yang tidak berdasarkan FITT seimbang akan

menimbulkan berbagai dampak bagi kesehatan dan mempercepat proses penuaan.

Oleh karena itu maka perlu dilakukan pelatihan fisik seimbang yang

berdasarkan ilmiah sesuai dengan FITT sebagai berikut (Nala, 2011; Pangkahila,

2011a; Sharkey, 2011):

Persiapan pelatihan:

a. Tubuh harus dalam keadaan sehat, cukup tidur atau istirahat dan tidak

dalam keadaan kepayahan.

b. Sebelum melakukan aktivitas fisik harus dilakukan pemeriksaan

denyut nadi istirahat.

c. Dilakukan pemanasan (warming up) selama 5 menit untuk

meningkatkan denyut nadi minimal 30 denyut dari denyut nadi

istirahat.

d. Frekuensi (frequency) latihan (F): Frekuensi latihan 3 - 6 kali

perminggu, tidak boleh istirahat lebih daripada 48 jam agar kebugaran

fisik selalu siap. Frekuensi 6 kali perminggu dua kali lebih efektif

dibandingkan 3 kali perminggu (Sharkley, 2011).

23

e. Intensitas (intensity) latihan (I): Intensitas latihan berpedoman pada

(65-85%) X Denyut Nadi Maksimal (DNM) sesuai dengan gambar 2.2

ini menurut Fox and Haskell formula (Fox dkk., 1971).

f. Waktu (time) latihan (T): Waktu 30 – 60 menit setiap hari dan tipe

latihan sesuaikan dengan kondisi tubuh (Plowman dan Smith, 2008;

Powers dan Howley, 2009; Nala, 2011 ).

g. Tipe (type) latihan (T): Tipe latihan yang sesuai dengan kondisi dan

situasi pribadi seseorang memang tidak terlalu mudah sebab sebagian

orang melakukan latihan yang disenangi tetapi tidak sesuai dengan

kondisi tubuhnya. Oleh karena itu maka yang pertama diperhatikan

ialah keadaan anatominya, berat badannya dan berbagai abnormalitas

fisik atau cedera sebelumnya. Kemudian pilih macam latihan fisik

yang tidak ada kontraindikasi misalnya untuk orang yang obes tidak

dianjurkan melakukan latihan fisik yang banyak menunjang berat

badan agar tidak membuat cedera lutut (Heyward, 2006; Pangkahila,

2011a).

24

Gambar 2.2

Denyut Nadi berdasarkan Zone latihan (Fox dkk., 1971)

2.1.5 Indeks Aktivitas dikutip dari Tesis Master dari Kasari th 1976

(University of Montana): The Effects of Exercise and Fitness on Serum

Lipids in (Sharkey, 2011)

Aktivitas fisik sehari-hari dapat diukur dengan program Indeks

Aktivitas berdasarkan frekuensi (F), intensitas (I) dan durasi atau lamanya

melakukan aktivitas fisik (T). Aktivitas indeks ini dapat dilihat pada Tabel

2.1. Berdasarkan tabel di bawah ini, maka evaluasi aktivitas fisik dapat

dinilai dengan skor yang sudah ada di tabel ini. Berdasarkan aktivitas

indeks (Index Activity:FITT) ini maka dapat dibentuk evaluasi dan katagori

kebugaran fisik (Evaluation and Fitness Category) yang dibagi menjadi 5

katagori sesuai dengan tabel 2.2. Berdasarkan pada FITT tersebut maka

dapat dievaluasi katagori kebugaran fisik seseorang (fitness category) yang

terdiri nilai 1 (amat pasif) sampai 5 (amat aktif). Sebenarnya dengan

25

mempergunakan kedua tabel tersebut seseorang sudah mampu menilai

secara praktis dan sederhana menentukan katagori kebugaran jasmani

seseorang dengan cepat di lapangan. Kategori kebugaran seseorang

penting diketahui oleh masing-masing individu untuk menentukan langkah

selanjutnya agar tetap mampu mempertahankan kebugarannya sesuai

dengan umur yang makin bertambah (Lunec,1990; American College of

Anti-Aging, 2006; Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2011c).

Ketidakseimbangan pelatihan yang terjadi di lapangan terutama pada

olahraga prestasi menyebabkan pelatihan yang tidak sesuai dengan indeks

aktivitas dan katagori kebugaran. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya

proses penuaan dini dan berumur lebih pendek (Power dan Howley, 2009).

26

Tabel 2.1

Indeks Aktivitas, Kasari 1976 (Sharkey, 2011)

ACTIVITY INDEX

(FITT=FREQUENCY, INTENSITY, TIME, TYPE)

SCORE EVERYDAY ACTIVITY

F

5

4

3

2

1

HAMPIR SETIAP HARI

3 - 5 X/MINGGU

1 - 2 X/MINGGU

BEBERAPA X/BULAN

< 1 X/BULAN

I

5

4

3

2

1

MENGALAMI PERNAPASAN DAN PERSPIRASI BERAT

SEBENTAR – SEBENTAR MENGALAMI PERNAPASAN DAN

PERSPIRASI BERAT

AGAK BERAT

SEDANG

RINGAN

T

4

3

2

1

>30 MENIT

20 - 30 MENIT

10 - 20 MENIT

< 10 MENIT

T

27

Tabel 2.2

EvaIuasi dan katagori indeks kebugaran fisik, Kasari 1976

(Sharkey,2011)

2.2 Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik adalah salah satu faktor dari pola hidup yang menentukan

kualitas hidup seseorang dan cepat lambatnya terjadinya proses penuaan.

Kesehatan merupakan suatu kondisi yang harus dimiliki oleh semua orang yaitu

suatu keadaan sehat secara fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tetapi sehat saja

ternyata tidak cukup dalam kehidupan kita sebab untuk menunjang pola hidup

sehat modal dasar kita ialah sehat dan bugar (Pangkahila, 2010a). Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa seseorang yang sehat dan bugar hidup lebih

lama daripada yang hanya sehat tetapi tidak bugar (Sharkey, 2011). Oleh karena

itu maka kondisi sehat dan bugar seyogianya dimiliki oleh semua orang.

Pengertian tentang kebugaran fisik perlu dipahami betul agar tidak terjadi salah

pemahaman.

Ada beberapa pengertian tentang berbagai istilah yang berkaitan dengan

kebugaran fisik dan daya tahan umum. Kebugaran fisik ialah kemampuan tubuh

untuk melakukan suatu tugas rutin dalam jangka waktu cukup lama tanpa

mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki tenaga cadangan untuk

melaksanakan aktivitas yang bersifat mendadak (Physical Fitness, 2010; Nala,

28

2011). Sedangkan daya tahan umum (respiration-cardiovascular endurance) ialah

kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas fisik terus-menerus dalam jangka

waktu yang lama (lebih dari 10 menit) dan dalam keadaan aerobik karena

metabolisme sel otot memerlukan oksigen dari udara luar untuk mendapatkan

tenaga bergerak atau berkontraksi (Bompa, 1993; Nala, 2011). Sesuai dengan

kedua definisi ini maka jelas bahwa kebugaran fisik tidak sama dengan kebugaran

aerobik sebab kebugaran fisik lebih luas pengertiannya (Brooks dkk., 1996;

Arstand dan Rodahl, 1997; Physical Fitness, 2010; Nala, 2011).

Olahraga mempunyai beberapa tujuan yaitu pendidikan, rekreasi,

kebugaran, kesehatan dan prestasi (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Pada kajian

selanjutnya akan lebih ditujukan pada olahraga untuk kesehatan dan kebugaran.

Suatu hasil penelitian dilaporkan bahwa di dunia ini hanya 9.1% orang

yang mampu melakukan olahraga aktif intensif sedangakn 90.9% tidak aktif

intenif, sehingga diduga kemungkinan hanya 9,1% inilah yang hidup sehat bugar

dan berumur panjang (Sharkey, 2011).

2.2.1 Komponen Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik mempunyai 10 komponen yaitu: 1. Daya Tahan

Kardiovaskular (cardio-vascular endurance); 2. Daya tahan Otot (muscular

endurance); 3. Kekuatan Otot (muscle strength); 4. Kelentukan (flexibility); 5.

Komposisi Tubuh (body composition); 6. Kecepatan (speed movement); 7.

Kelincahan (agility); 8. Keseimbangan (balance); 9. Kecepatan Reaksi (Reaction

time), dan 10. Koordinasi (coordination) (Pusat Kesegaran dan Rekreasi, 1978;

Hardinge dan Shryock, 2003; Bompa dan Haff, 2009; Nala, 2011).

29

Gambar 2.3

Latihan Kebugaran aerobik (Nala, 2003)

Pengertian masing-masing komponen adalah sebagai berikut :

a. Daya Tahan Kardiovaskular (cardiovascular endurance): kemampuan tubuh

dalam melakukan aktivitas terus menerus yang berlangsung cukup lama

(lebih daripada 10 menit).

b. Daya Tahan Otot atau Daya Tahan Lokal (muscular endurance): kemampuan

otot skeletal untuk melakukan kontraksi atau gerakan berulang-ulang dalam

jangka waktu yang lama dengan beban tertentu.

30

c. Kekuatan Otot (muscle strength): kemampuan otot skeletal tubuh untuk

melakukan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima beban

sewaktu melakukan aktivitas. Pengukuran kekuatan otot dilakukan dengan

dinamometer yang dinyatakan dalam kilogram.

d. Kelentukan (flexibility): kesanggupan tubuh atau anggota gerak tubuh

untuk melakukan gerakan pada sebuah atau menempuh beberapa sendi

seluas-luasnya

e. Komposisi Tubuh (body composition) yaitu berat badan tanpa lemak

f. Kecepatan (Speed movement): kemampuan untuk mengerjakan suatu

aktivitas berulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang

sesingkat-singkatnya.

g. Kelincahan (agility): kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk

mengubah arah gerakan secara mendadak dalam kecepatan yang tinggi.

Tes yang dilakukan untuk mengukur kelincahan ialah tes bolak balik

sejauh 10 meter.

h. Keseimbangan (balance): kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi atas

setiap perubahan posisi tubuh, sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali.

i. Kecepatan Reaksi (Reaction time): kemampuan tubuh atau anggota tubuh

untuk bereaksi secepat mungkin ketika ada rangsangan yang diterima oleh

reseptor somatik, kinetik, atau vestibular.

j. Koordinasi (coordination): kemampuan tubuh untuk mengintegrasikan

berbagai gerakan yang berbeda menjadi gerakan tunggal yang harmonis

dan efektif.

31

k. Daya ledak (explosive strength, muscular power). Daya ledak adalah

kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan

mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.

Yang jelas kebugaran fisik terdiri dari dua konsep yaitu :

a) Kebugaran umum (yang berhubungan dengan status kesehatan dan

kesejahteraan)

b) Kebugaran khusus (yang berhubungan dengan kemampuan pada

penampilan aspek khusus dari olahraga tertentu atau pekerjaan

tertentu). Kebugaran fisik secara umum meliputi pelatihan dan nutrisi

yang benar serta cukup istirahat (Physical Fitness, 2012).

Kebugaran fisik sudah pasti ada hubungannya dengan proses

penuaan dan umur seseorang. Suatu penelitian yang dilakukan oleh CDC

(Center for Disease Control and Prevention) ternyata hanya 9,1% subjek

penelitian yang melakukan aktivitas aktif secara teratur dan intensif

(Sharkey, 2011). Bila dilihat dari keteraturan pola hidupnya hanya 40%

yang mampu hidup aktif teratur dan 60% pola hidupnya tidak teratur dan

hanya menikmati kesenangan tanpa memperhatikan kesehatan dan

kebugaran termasuk keluarganya. Sebagian besar dari peserta olahraga

baik olahraga prestasi maupun olahraga kesehatan dan kebugaran saat

melakukan pelatihan tidak sesuai dengan kaidah ilmiah sehingga olahraga

yang dilakukan kurang bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan

kesehatan dan kebugaran fisik. Pada beberapa keadaan malahan

32

menimbulkan cedera yang akan mempercepat proses penuaan dan

memperpendek umur (Pangkahila, 2010a).

Kebugaran fisik pada umumnya merupakan salah satu faktor yang

penting untuk penampilan (performance) sebab penampilan seseorang

ditentukan oleh berbagai faktor antara lain penguasaan pengetahuan

(knowledge), ketrampilan (skill), sikap (attitude), dan kebugaran fisik

(physical fitness). Seseorang yang sehat dan bugar berpenampilan lebih

baik daripada kelompok yang hanya sehat tanpa mempunyai kebugaran

fisik yang baik (Stibich, 2007; Pangkahila, 2010b; Sharkey, 2011).

2.2.2 Pengukuran Kebugaran Fisik

Pengukuran kebugaran erobik dapat dilakukan dengan berbagai cara

mulai yang paling sederhana sampai yang dengan penggunaan teknologi

canggih. Yang paling sederhana ialah mulai dengan lari 2,4 km, naik turun

bangku dengan metode Harvard dan treadmail baik dengan sepeda maupun

lari. Pengukuran kebugaran erobik dengan lari 2,4 km diukur waktu tempuhnya

dalam menit dan disesuaikan dengan tabel yang dikelompokkan berdasarkan

umur (Cooper, 1982; Nala, 2011). Pengukuran kebugaran erobik di atas

bertujuan untuk mengukur kemampuan jantung untuk menghadapi beban

tertentu dan secara tidak langsung untuk mendiagnosis adanya

ketidaknormalan fungsi jantung saat menghadapi beban tertentu. Tes ini juga

baik untuk mengetahui kebugaran dan kemampunan kembali ke keadaan

normal. Bila jantung mampu makin cepat kembali ke keadaan normal maka

kesimpulannya makin bugar.

33

Bila di lapangan mengalami hambatan mempergunakan Harvard Step up

Test sebab pada beberapa orang ada yang tidak mampu melakukan tes naik

turun bangku ini, maka pilihan tes lain yang juga sederhana yaitu tes Cooper

(Cooper, 1982; Nala, 2011).

2.2.2.1 Tes Cooper

Tes ini sering dipakai untuk mengukur tingkat kebugaran fisik

seseorang dan praktis dilakukan di lapangan dan lebih mudah. Penilaian dari

tes kebugaran menurut Cooper ini disesuaikan dengan tabel Cooper (Cooper,

1982). Pengukuran kebugaran jasmani menurut Cooper disesuaikan umur dan

lama lari dengan jarak 2, 4 km yang diukur berdasarkan menit dan kelompok

umur. Dari hasil pengukuran ini menghasilkan variabel dengan kategori ordinal

yaitu: amat kurang (nilai 1), kurang (nilai2), sedang (nilai 3), baik (nilai 4) dan

amat baik (nilai 5).

Tabel 2.3

Skor Penilaian Tes Lari 2,4 Menurut Cooper

(Cooper, 2001)

34

2.2.2.2 Harvard Step

Pengukuran kebugaran erobik dengan metode Harvard dilakukan dengan naik

turun bangku kemudian diukur denyut nadinya dan disesuaikan dengan tabel

(Harvard Step Test, 2012).

Pengukuran Kebugaran Erobik dengan metode Harvard dilakukan sebagai

berikut:

a. Pemanasan selama 10 menit

b. Saat akan mulai diberi aba-aba untuk mulai dan dihitung dengan

stopwatch

c. Naik turun bangku dilakukan setiap 2 detik selama 5 menit (150 step)

d. Sesudah 5 menit dihentikan

e. Sesudah 1 menit istirahat maka segera hitung penghitungan denyut nadi

setiap menit sampai tiga kali yaitu denyut nadi 1 (DN1), denyut nadi 2

(DN2), dan denyut nadi 3 (DN3).

35

Gambar 2.4

Harvard Step Test

(Harvard Step Test, 2012)

Dari hasil tes tersebut maka dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus

sebagai berikut: Kebugaran Fisik = 30.000 : (DN1+DN2+DN3)

Hasil ini disesuaikan dengan tabel di bawah ini (Tabel 2.4).

36

Tabel 2.4

Nilai Kebugaran Fisik berdasarkan Harvard Step Test

(Harvard Step Test, 2012)

Oleh karena itu maka pelatihan erobik maupun cara pengukurannya harus

sesuai dengan prinsip-prinsip pelatihan erobik yang sesuai dengan metode ilmiah

sehingga dapat diukur dengan pasti (Bompa, 2000; Bompa dan Haff, 2009;

Physical Activity and Fitness, 2010; Nala, 2011).

Bila dilakukan pengukuran kebugaran erobik hampir sebagian besar

manusia di dunia tidak mempunyai kebugaran erobik yang baik dan ini sesuai

dengan berbagai laporan di mana sebagian besar manusia di dunia yang

melakukan olahraga aktif intensif hanya 9,1% (Sharkey, 2011). Kemungkinan

besar yang melakukan pelatihan aktif intensif ini adalah olahragawan, tetapi

sebagian dari mereka melakukan pelatihan aktif intensif tetapi fakta menyatakan

Gender Excellent Above Average Average Below Average Poor

Male >90.0 80.0-90.0 65.0-79.9 55.0-64.9 <55

Female >86.0 76.0-86.0 61.0-75.9 50.0-60.9 <50

37

bahwa tidak sedikit para olahragawan melakukan pelatihan yang berlebih. Bila

demikian ini sudah tidak intensif lagi tetapi sudah lepas kontrol disebabkan para

pelatih tidak memahami prinsip-prinsip kesehatan dan kebugaran secara ilmiah.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara proses penuaan

dengan gaya hidup manusia, dimana aktivitas fisik merupakan salah satu faktor

dari gaya hidup (Pangkahila, 2010b; Sharkey, 2011).

2.3 Endorfin

2.3.1 Sejarah Endorfin

Endorfin yang artinya endogenous morphine adalah suatu hormon yang

dihasilkan oleh kelenjar hipofise pada lobus anterior dan intermediate (Rokade,

2011).

Endorfin disekresi pada beberapa keadaan tertentu antara lain ialah:

1. Saat latihan fisik (Hawkin dkk., 2008; Cossabon, 2010)

2. Saat mengalami kegembiraan (Craft dan Perna, 2004)

3. Saat ada rangsangan nyeri (Thoren dkk., 1990; Sprouse-Blum, 2010; Mayo

Clinic, 2011).

4. Saat bercinta, melakukan aktivitas seksual dan mengalami perasaan

emosional yang menyenangkan (Jonsdottir dkk., 1997).

Endorfin ditemukan pada tahun 1975 oleh dua grup peneliti yang berbeda

yaitu grup John Hughes dan Hans Kosterlitz dari Scotland yang diisolasi dari otak

babi yang disebut enkephalins (berasal dari bahasa Greek) (Hughes, 1975; Woods,

2003; Haruyama, 2011). Tetapi pada saat bersamaan endorfin juga ditemukan dari

38

otak anak sapi oleh Rabi Simantov dan Solomon Snyder dari Amerika Serikat.

Akhirnya Eric Simon menemukan adanya reseptor opium dan menamakan

endorfin yang merupakan singkatan dari endogenous morphine (Simantov dan

Snyder, 1976). Efek endorfin sudah jelas sebagai morfin yang diproduksi secara

normal oleh tubuh dan pada berbagai penelitian terakhir tetap membuktikan

bahwa tubuh manusia dan hewan mampu memproduksi morfin sendiri dari tubuh

(Kream dan Stefano, 2006).

Pada tahun 2008 suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti

Jerman yaitu dengan membandingkan kadar endorfin di otak sebelum dan sesudah

lari (Boecker dkk., 2008). Waktu pengeluaran endorfin amat bervariasi ada yang

melaporkan 10 menit, 30 menit dan malahan ada yang melaporkan 1 jam sesudah

melakukan latihan fisik dan erat kaitannya dengan terjadinya second wind (Farrell,

2000; Landry, 2002; Klosterman, 2005; Cossaboon, 2010; Second Wind, 2013).

Fungsi endrofin ini tidak berbeda dengan morfin yaitu menciptakan kegembiraan

(Klosterman, 2005).

Ada tiga fungsi utama endorfin yaitu :

a. Alpha (α) endorfin tidak beda dengan amfetamin yaitu menciptakan

kegembiraan dan ini sudah dilaporkan pertama kali tahun 1970 (Wilmore

dan Costill, 2004).

b. Beta (β) endrofin berfungsi untuk anti nyeri (analgesik)

c. Gama (γ) endorfin berfungsi mengatur keseimbangan tekanan darah.

Aktivitas fisik amat mempengaruhi pengeluaran endorfin dan dilaporkan

bahwa aktivitas fisik yang aerobik lebih meningkatkan pengeluaran endorfin

39

daripada yang anaerobik dan pengeluaran endorfin terjadi sesudah 20 menit

melakukan latihan fisik setiap hari (Schwarz dan Kindermann, 1990; 1992).

Endorfin ini sudah dikenal sebagai bahan penggembira dan seseorang akan

merasa seperti di surga dan keadaan ini sejak tahun 1931 sudah diperkenalkan

oleh Aldous Huxley (Klosterman, 2005). Endorfin walaupun sudah lama dikenal

tetapi tidak banyak penelitian yang mengungkapkan tentang hubungannya dengan

pelatihan fisik dan proses penuaan. Selain itu tidak banyak juga yang menyadari

bahwa endorfin adalah morfin alami yang memang dibentuk oleh tubuh kita

terutama saat melakukan aktivitas fisik. Peningkatan kadar endorfin saat

melakukan olahraga yang menyenangkan dan masih bisa dilakukan oleh tubuh

yang telah beradaptasi akan menyebabkan kegembiraan luar biasa (Radosevich

dkk., 1989; Golland dkk., 1999; McGovern, 2005; Willet, 2009).

40

Gambar 2.5

Endorfin sebagai hormon penggembira ( Klosterman, 2005)

2.3.2 Struktur Hormon Endorfin

Endorfin adalah neuropeptida yang terdiri dari 20-39 asam amino.

Neuropeptida merupakan molekul peptida yang dihasilkan oleh sistem saraf dan

berfungsi sebagai penghantar rangsang (neurotransmitter) (Eckert, 1998). Ada

tiga macam neuropeptida yang berbeda yakni enkefalin, endorfin dan dynorfin.

Enkefalin terbagi menjadi dua struktur berdasarkan perbedaan asam amino

terminal, yang satu memiliki gugus metionin di bagian terminal dan yang lainnya

memiliki leusin. Sedangkan endorfin adalah senyawa yang lebih besar dengan 30

atau lebih asam amino. Dynorfin memiliki struktur yang mirip dengan leu-

enkefalin.

41

Endorfin sendiri, berdasarkan perbedaan struktur dan fungsinya dibagi

menjadi tiga macam yaitu α-endorfin, β-endorfin dan γ-endorfin. α-endorfin

memiliki rumus kimia C56H95 N13 O21 dan dalam tata nama iupac disebut sebagai

1,4,7,10,13,16-hexaazacycloeicosane. α-endorfin ini juga memiliki nama lain

yakni1-de-l-tyrosine-2-deglycine-3-deglycine-4-de-l-phenylalanine-5-de-l-

methionine-11-l-glutamicacid-16a-l-leucine-, cyclic (11®6)-peptide (9ci). Secara

kimiawi, struktur senyawa α-endorfin adalah sebagai berikut (GuideChem, 2010).

Gambar 2.6

Struktur Kimia α-endorfin (GuideChem, 2010)

Β-endorfin adalah endorfin yang memiliki efek paling besar terhadap

sistem saraf pusat dan tubuh selama latihan fisik dan merupakan salah satu

hormon peptid yang terutama dibentuk oleh asam amino tirosin. Struktur

molekuler dari β-endorfin sangat mirip dengan morfin namun berbeda dalam

komponen kimia (O’Sullivan, 2011). Rumus kimia dari β-endorfin adalah C78H130

N20 O26. Β-endorfin memiliki nama lain seperti 1-de-l-tyrosine-2-deglycine-3-

42

deglycine-4-de-l-phenylalanine-5-de-l-methionine-22-de-l-isoleucine-23-de-l-

isoleucine-24-de-l-lysine-25-de-l-asparagine-26-de-l-alanine-27-de-l-histidine-28-

de-l-lysine-29-de-l-lysine-30-deglycine-31-de-l-glutamine-(9ci).

Gambaran senyawa β-endorfin adalah seperti berikut (GuideChem, 2010).

Gambar 2.7

Struktur Kimia β-endorfin (GuideChem, 2010)

Gamma endorfin (γ-endorfin) memiliki karakteristik kimia yang mirip

dengan α-endorfin, perbedaannya adalah γ-endorfin memiliki 17 asam amino yang

menyusunnya tidak seperti α-endorfin yang hanya terdiri dari 16 asam amino.

Secara rinci urutan asam amino yang menyusun γ-endorfin adalah Tyr-Gly-Gly-

Phe-Met-Thr-Ser-Glu-Lys-Ser-Gln-Thr-Pro-Leu-Val-Thr-Leu dengan rumus

kimia C83H131N19O27S. Rumus bangun dari γ-endorfin dapat dilihat berikut ini

(GuideChem, 2010).

43

Gambar 2.8

Struktur Kimia γ-endorfin (GuideChem, 2010)

2.3.3 Fungsi Hormon Endorfin

Endorfin yang berasal dari kata endogenous morphin memiliki arti bahwa

endorfin merupakan morfin yang dihasilkan secara alami oleh tubuh. Secara

fisiologis, endorfin memiliki kesamaan fungsi dengan morfin. Fungsi utama dari

endorfin ini adalah mengontrol rasa sakit atau nyeri (Hopson dan Wessels, 1990).

Rasa sakit ini berasal dari reseptor rasa sakit yang ada di kulit. Reseptor ini

membangkitkan rangsangan pada saraf sensorik yang mengandung substansi P,

senyawa transmitter yang menghantarkan rasa sakit menuju spinal cord. Endorfin

berfungsi dalam menghambat sekresi substansi P dari saraf sensorik sehingga

mencegah sensasi sakit yang ditimbulkan (Iverson, 1979).

Endorfin memiliki hubungan dengan sistem endokrin tubuh. Penelitian

menunjukan bahwa endorfin yang diberikan baik secara intraventrikular maupun

44

perenteral dapat merangsang sekresi hormon prolaktin, ACTH, anti diuretic

hormon dan growth hormone serta menghambat sekresi LH, FSH dan thyrotropin

(Siegal, 1981). Pada bayi yang baru dilahirkan, endorfin berfungsi untuk melawan

rasa stres yang ditimbulkan akibat proses kelahiran. Plasenta mengandung

senyawa prekursor pro-opiomelanokortin yang merupakan bahan baku β-endorfin,

met-enkefalin dan adrenokortikotropin (Restak, 1988).

Walaupun beberapa penelitian mengenai endorfin masih belum selesai,

endorfin dipercayai mampu menghasilkan empat kunci utama yang berpengaruh

terhadap bodymind yaitu: 1) mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, 2)

menghilangkan rasa sakit, 3) mengurangi stres, dan 4) memperlambat proses

penuaan (O’Sullivan, 2011). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa β-endorfin

dapat mengaktifkan sel Natural Killer (sel NK) yang berperan dalam melawan

penyakit dan membunuh sel kanker. Selain itu endorfin dapat mengurangi nafsu

makan, menciptakan perasaan bahagia dan euphoria serta mengurangi ketegangan

dan kegelisahan (Landry, 2002).

2.4 MDA

2.4.1 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena

mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga molekul

tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul

yang lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut untuk

mengembalikan keseimbangan tersebut (Praptiwi dkk., 2006). Radikal bebas

45

dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap

rokok, sinar ultra violet, bahan kimia dan polutan (Dingle, 2004).

Radikal bebas sangat diperlukan pada proses fisiologis tubuh, terutama

untuk transportasi elektron. Tapi radikal bebas yang berlebihan akan

menyebabkan kerusakan makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein,

DNA dan lipoprotein (Oberley dkk., 2000). Radikal bebas dapat menyebabkan

kerusakan DNA dan selanjutnya menyebabkan pembelahan sel terganggu. Bahkan

dapat terjadi perubahan abnormal yang mengenai gen tertentu dalam tubuh yang

dapat menyebabkan kanker. Asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel juga

sangat rentan terhadap serangan radikal bebas. Struktur dan fungsi membran sel

akan terganggu dan dapat menyebabkan kematian sel. Radikal bebas juga dapat

merusak protein melalui proses oksidasi, contohnya kerusakan protein pada lensa

mata yang menyebabkan katarak. Proses penuaan juga terjadi karena peran dari

radikal bebas, dimana terjadi kerusakan jaringan secara perlahan-lahan tapi pasti.

Kerusakan jaringan secara perlahan ini seperti kehilangan elastisitas jaringan

kolagen dan otot sehingga kulit menjadi keriput (Ardiansyah, 2007).

Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses internal dari dalam tubuh

dan eksternal dari luar tubuh. Radikal bebas dari dalam tubuh mencakup

superoksida (O·2), hidroksil (OH·), peroksil(ROO·), hIdrogen peroksida (H2O2),

singlet oksigen(O2), oksida nitrit(N0·) dan peroksi nitrit(ONOO·). Sedangkan

radikal bebas dari luar tubuh berasal dari asap rokok, polusi, radiasi sinar

ultraviolet, obat, pestisida, limbah industri dan ozon. Diantara senyawa reaktif

46

tersebut radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena

mempunyai tingkat reaktivitas sangat tinggi (Favier dkk., 1995; Siswono, 2005).

Pengaturan jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis

tubuh dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogen seperti enzim

Superoksida Dismutase (SOD), katalase dan Glutation Peroksidase (GPx).

Pengukuran radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal

bebas bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran secara

tidak langsung melalui produk turunannya seperti MDA (Nabet, 1996).

2.4.2 Stuktur Molekul MDA

Malondialdehid adalah salah satu turunan aldehid hasil dari peroksidasi lipid

dari asam lemak tidak jenuh (PUFAs). Malondialdehide merupakan aldehid yang

sangat reaktif. Senyawa ini dapat mengakibatkan berbagai pencampuran dan

ikatan silang antara asam-asam amino bebas. Malondialdehide juga dapat bereaksi

dengan basa-basa DNA membentuk berbagai macam senyawa mutagen. Selain

itu, MDA memiliki potensi untuk menginduksi ikatan silang amino-imino-propen

antara rantai komplementer DNA dan dapat membentuk ikatan silang DNA-

protein (Freeman dan Crapo, 1982).

Dalam kondisi fisiologis (pH 7.4), MDA ada dalam bentuk enolate anion

(O—CH=CH—CHO) yang cukup reaktif dengan gugus amina bebas. Namun

dalam kondisi yang lebih basa (pH<4), β-hydroxyacrolein (HO—CH=CH—CHO)

(βHA) adalah bentuk yang lebih dominan (Farmer dan Davoin, 2007). βHA ini

merupakan elektrofil reaktif yang menyebabkan stress toksik di dalam sel (Moore

dan Robert, 1998). Secara umum struktur MDA adalah sebagai berikut :

47

Gambar 2.9

Struktur Malondialdehid (MDA)

2.4.3 MDA sebagai Marker Radikal Bebas

Membran sel mengandung komponen penting seperti fosfolipid, glikolipid

dan kolesterol. Dua komponen pertama mengandung asam lemak tak jenuh (asam-

asam linoleat, linolenat dan arakhidonat). Komponen asam lemak tak jenuh ini

sangat rentan terhadap serangan-serangan radikal bebas terutama radikal hidroksil

(OH•) yang merupakan salah satu produk ROS (Uidjaja, 2010). Radikal Hidroksil

itu sendiri sangat tidak stabil dan dapat bereaksi dengan cepat dan tidak spesifik

pada sebagian besar molekul biologis (Cornelli, 2009).

Radikal Hidroksil akan menyebabkan rantai reaksi peroksidasi lipid pada

membrane sel tersebut. Akibat akhir dari peroksidasi lipid tersebut yaitu

terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik

terhadap sel, antara lain berbagai aldehida, seperti MDA, 9-hidroksi-nonenal serta

bermacam-macam hidrokarbonseperti etana (C2H6) dan pentana (C5H12) (Kelly

dkk., 1998; Suryohudoyo, 2000). Malondialdehide juga bersifat mutagenik jika

bereaksi dengan ikatan basa DNA (Niedernhofer dkk., 2003).

48

Dengan demikian MDA adalah senyawa dialdehid yang merupakan

produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh. Malondialdehide juga merupakan

produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentose dan

heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal

bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk samping biosintesis

prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid membran (Winarsi,

2007).

Oleh karena MDA merupakan produk akhir dari oksidasi asam lemak tak

jenuh oleh radikal bebas dan merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan

oleh radikal bebas, maka konsentrasi MDA yang tinggi menunjukan adanya

proses oksidasi dalam membran sel (Zakaria dkk., 2000; Winarsi dkk., 2003).

Malondialdehide dapat bereaksi dengan komponen nukleofolik atau

elektrofilik. Aktivitas non spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai

molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan aminofosfolipid secara kovalen

(Kusum dkk., 2002). Malondialdehide dapat menghasilkan polimer dalam

berbagai berat molekul dan polaritas (Favier, 1982). Efek negatif senyawa radikal

maupun metabolit elektrolit ini dapat diredam oleh antioksidan, baik yang berupa

zat gizi seperti vitamin A, C, E dan albumin ataupun antioksidan non gizi seperti

flavonoid dan gingerol (Lunec, 1990; Belleville-Nebet, 1996).

2.5 Pengaruh Pelatihan Fisik terhadap Kebugaran Fisik

Pelatihan yang tidak ilmiah dan tidak rasional akan membuat menurunnya

kebugaran fisik dan membuat depresi pasca latihan. Pelatihan yang benar

49

membuat suasana bugar dan rasa senang sebab saat melakukan latihan akan keluar

endorfin dan serotonin yang akan mengurangi depresi (Saxena, 2006). Selain itu

pelatihan fisik yang benar akan meningkatkan kadar testosteron dalam tubuh kita

baik pada pria maupun wanita sehingga membuat tubuh bugar dan segar (Landry,

2002; Saxene 2006; Stibich, 2007). Kenyataan di masyarakat tidak sedikit

pelatihan fisik yang dilakukan baik untuk prestasi maupun untuk kesehatan

masyarakat pada umumnya tidak sesuai dengan syarat kesehatan dan kebugaran

sehingga tujuan utama pelatihan malah mematikan. Dilaporkan bahwa pelatihan

yang tidak ilmiah akan menurunkan sistem imun tubuh dan akan meningkatkan

terbentuknya radikal bebas yang akan menyebabkan penuaan dan kecenderungan

terjadinya kanker (Wilkins, 2010).

2.6 Hubungan antara Pelatihan Fisik dan Endorfin

Pengaruh pelatihan fisik terhadap respon endorfin sampai saat ini masih

menjadi perdebatan. Beberapa penelitian melakukan pengukuran kadar endorfin

sebelum, selama dan setelah latihan, menunjukkan peningkatan kadar endorfin.

sedangkan penelitian lainnya tidak menunjukkan peningkatan kadar endorfin.

Suatu penelitian melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada

latihan selama 8 minggu. Sedangkan pada penelitian lainnya menunjukkan adanya

peningkatan endorfin pada saat melakukan latihan fisik (Leuenberger, 2006).

Pelatihan fisik dapat meningkatkan sensitivitas terhadap opioid, sehingga

pada akhirnya akan menurunkan jumlah endorfin yang dibutuhkan untuk

memberikan efek pada tubuh. Pada pelatihan fisik yang teratur produksi endorfin

50

selama aktivitas fisik akan menurun lebih lambat daripada kondisi sebelum

melakukan latihan fisik (Mc Ardle dkk.,2010).

Beberapa penelitian dengan protokol pelatihan yang sama mendapatkan hasil

yang berbeda dan tidak konsisten. Ada hasil penelitian yang menunjukkan terjadi

peningkatan kadar endorfin. Sedangkan penelitian lain menunjukkan tidak ada

perubahan kadar endorfin dan ada yang menunjukkan penurunan kadar endorfin

(Meyer, 2000).

Pada beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa terdapat hubungan yang erat

antara kadar endorfin dan kadar asam laktat. Pada pelatihan anerobik hanya

memerlukan waktu beberapa detik sampai menit untuk meningkatkan kadar

endorfin dua sampai empat kali. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada

pelatihan anerobik hanya dibutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk

terjadinya peningkatan kadar asam laktat dua belas sampai lima belas kali dan

peningkatan kadar endorfin dua kali normal. Pelatihan yang sifatnya mendadak

atau anerobik sering terjadi peningkatan kadar endorfin yang disebabkan karena

peningkatan kadar asam laktat yang melebihi ambang batas yaitu sekitar 3

mmol/L. Pada pelatihan yang mendadak atau pelatihan anerobik sering terjadi

peningkatan kadar endorfin yang disebabkan karena cepatnya pembentukkan dari

asam laktat. Kondisi ini berbeda pada pelatihan jangka panjang, dimana pada

pelatihan jangka panjang tidak terjadi peningkatan kadar endorfin walaupun

terjadi peningkatan kadar asam laktat. Pada atlet yang terlatih terjadi penurunan

kadar stress-induce lactate sehingga tidak terjadi peningkatan kadar endorfin

51

walaupun terjadi peningkatan kadar asam laktat melebihi kadar ambang batas

(Meyer, 2000).

Pelatihan fisik termasuk pelatihan erobik yang dilakukan dengan benar

akan mengeluarkan endorfin yang akan menyebabkan suasana gembira,

mengurangi stres fisik maupun psikis sehingga meningkatkan imunitas natural

(Goldfarb dan Jamurtas, 1997; Jonsdottir dkk., 1997). Pelatihan fisik yang

dilakukan secara teratur dan ilmiah sesuai dengan FITT akan meningkatkan kadar

endorfin dan peningkatan kadar endorfin ini akan memberikan perasaan yang

nyaman dan gembira (O’Sullivan, 2011).

Hubungan kadar endorfin dengan aktivitas seksual pernah dilaporkan oleh

Candase Pert dari John Hopkins University bahwa ada hubungan antara orgasme

dengan endorfin yaitu terjadi peningkatan kadar endorfin 200% pada akhir

aktivitas seksual. Selain itu peningkatan kemampuan seksual dialami oleh 80%

laki-laki dan 60% perempuan yang melakukan latihan fisik 2-3 kali perminggu

dan juga terjadi pelepasan endorfin (Fabbri dkk,. 1989; Stibich, 2007).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada orang saat melakukan

olahraga dalam waktu 20 - 30 menit merasa gembira dan mempunyai perasaan

segar. Kebanyakan pelari merasa euforia bila sudah mencapai finis dan sebagian

dari mereka merasa tidak beda dengan orgasme. Keadaan seperti ini tidak jarang

dijumpai diberbagai macam olahraga baik olahraga prestasi maupun olahraga

kesehatan dan kebugaran, tetapi sebagian besar tidak menyadari bahwa

kemungkinan perasaan euforia tersebut disebabkan oleh keluarnya endorfin dari

dalam tubuh kita (Sarah, 2009).

52

Olahraga sering kali dipergunakan sebagai terapi untuk pasien-pasien yang

mengalami stres atau depresi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa olahraga

dapat meningkatkan kadar serotonin yang dapat mengurangi depresi. Hipotesis ini

ada benarnya sebab olahraga memang meningkatkan serotonin, tetapi selain itu

juga terjadi peningkatan kadar endorfin (Frayne, 2002). Walaupun endorfin

berfungsi sebagai anti nyeri tetapi kenyataan juga dapat membantu mengurangi

depresi. Pelatihan fisik dapat juga digunakan sebagai psikoterapi untuk mengatasi

kegelisahan dan depresi (Cossaboon, 2010).

Penampilan, percaya diri dan perasaan gembira juga akan meningkat bagi

kelompok yang secara rutin dan terprogram melakukan olahraga atau aktivitas

fisik secara teratur dan terprogram. Pengeluaran endorfin akan terjadi bila

seseorang mampu melakukan aktivitas fisik dengan intensitas mulai dari intensitas

sedang (moderate) ke berat (high) (Klosterman, 2005). Intensitas latihan atau zona

latihan ini dapat diukur berdasarkan denyut nadi maksimal (Klosterman, 2005;

Nala, 2011; Pangkahila, 2011a). Bila olahraga yang dilakukan seseorang tidak

memasuki zona latihan tersebut maka endorfin tidak akan meningkat sehingga

suasana atau berbagai perasan kegembiraan tersebut tidak akan dirasakan.

Dilaporkan bahwa pada saat seseorang lari selama 10 menit akan mengalami

perasaan gembira. Tetapi laporan lainnya menyebutkan bahwa sesudah lari 30

menit dan inilah yang disebut dengan second wind (O’Sullivan, 2011). Selain itu

olahraga lainnya misalnya berenang, erobik, naik sepeda dan olahraga lainnya

akan memproduksi endorfin juga (Endorphin, 2009).

53

Keuntungan psikologis dari pelatihan fisik telah banyak dilaporkan, sehingga

dianjurkan untuk melakukan olahraga sebagai terapi untuk depresi atau

kecemasan (Cossaboon, 2010). Pelatihan fisik atau olahraga selain meningkatkan

endorfin juga meningkatkan perasaan senang dan memperbaiki pemberdayaan diri

pada pria 69% dan wanita 88% sebab ada perbaikan penampilan diri (Stibich,

2007).

2.7 Hubungan antara Pelatihan Fisik dan Malondialdehide

Saat berolahraga tubuh akan memicu aktivitas neuro endokrin yang akan

merangsang produksi katekolamin untuk menghasilkan energi. Pelatihan fisik

memerlukan oksigen melalui pernafasan untuk menghasilkan energi. Oksigen

yang tersedia tidak seluruhnya terpakai oleh tubuh sedangkan sekitar 4 – 5 % akan

membentuk radikal bebas yang akan mengganggu fungsi dan kehidupan sel

(Clarkson dan Thompson, 2000)

Radikal bebas adalah suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron

yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Adanya elektron yang tidak

berpasangan ini membuat radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat reaktif.

Sifat reaktif ini terjadi karena elektron yang tidak berpasangan tersebut akan

mencari pasangan elektron dari molekul lainnya agar menjadi stabil (Praptiwi dkk,

2006). Bila reaksi ini berlanjut terus maka akan terjadi stres oksidatif yang

menyebabkan kerusakan sel dan berbagai penyakit seperti kanker, jantung,

katarak, penyakit degeneratif dan penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 2000).

54

Radikal bebas sebenarnya mempunyai efek yang menguntungkan seperti

membantu transportasi sel. Tapi sebaliknya, bila produksi radikal bebas

berlebihan dan produksi antioksidan tidak memadai akan menyebabkan kerusakan

sel dan jaringan tubuh. Radikal bebas yang berlebihan akan merusak

makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein, DNA dan lipoprotein

(Oberley dkk., 2000).

Radikal bebas di dalam tubuh dihasilkan dari proses oksidasi sel yang

berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel, olahraga yang berlebihan,

infeksi dan paparan polusi seperti asap kendaraan, asap rokok, logam berat dan

radiasi matahari (Halliwell dan Gutteridge, 2000; Dingle, 2004).

Pelatihan fisik akan meningkatkan metabolisme sel dan akan terjadi

peningkatan produksi radikal bebas. Peningkatan radikal bebas terjadi melalui dua

mekanisme. Pertama yaitu melalui kebocoran elektron di dalam mitokondria yang

terjadi pada tingkat sitokrom yang selanjutnya menghasilkan radikal superokside.

Kedua yaitu selama perubahan di dalam aliran darah dan suplai oksigen yang

menurun selama pelatihan yang intensif yang diikuti dengan reperfusi yang baik

saat pendinginan yang akan mencetuskan pelepasan radikal bebas. Pada pelatihan

fisik yang seimbang tubuh akan menghasilkan antioksidan alamiah untuk

menekan radikal bebas tersebut (Cooper, 2001). Tubuh akan menghasilkan enzim-

enzim alamiah yang bekerja sebagai antioksidan seperti Superoxide Dismutase

dan Glutathione Peroxidase. Pada individu yang tidak aktif dalam jangka waktu

yang lama juga akan terjadi peningkatan radikal bebas, dimana terjadi pemecahan

protein tubuh dan atrofi otot (McArdle, 2010; Shinya, 2011).

55

Radikal bebas yang terbentuk dari pelatihan fisik yang tidak seimbang

dapat menyebabkan penuaan dan kecenderungan terjadinya kanker. Reactive

Oxygen Species (ROS) yang terbentuk akan bereaksi dengan asam lemak tidak

jenuh pada lapisan fosfolipid membran sel dan akan menghasilkan sejumlah

aldehide seperti MDA (Aksoy dkk., 2003).

Malondialdehide adalah produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan

bersifat toksik terhadap sel. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sukar

karena senyawa radikal sangat tidak stabil. Pengukuran radikal bebas secara tidak

langsung dapat dilakukan dengan mengukur kadar MDA. Konsentrasi MDA

dalam tubuh telah digunakan secara luas sebagai indikator dari kerusakan

oksidatif pada lemak tak jenuh dan juga merupakan indikator keberadaan radikal

bebas (Sunarti dkk., 2008).

Suatu peneltian pada pelatihan yang mendadak dan pelatihan yang

dilakukan secara teratur menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pada pelatihan

yang sifatnya mendadak akan terjadi penurunan SOD yang bermakna dan

peningkatan yang bermakna kadar MDA, sedangkan pada pelatihan yang

dilakukan secara teratur selama lima minggu menunjukkan peningkatan kadar

SOD dan penurunan kadar MDA yang bermakna (Aslan dkk., 1998).

2.8 Dampak Pelatihan Fisik yang Tidak Seimbang Terhadap Kesehatan dan

Kebugaran Fisik

Pola hidup yang tidak sehat merupakan sumber utama terjadinya proses

penuaan dan penyebab kematian. Berbagai penelitian telah dilaporkan bahwa

56

penyebab kematian utama ialah pola hidup yang tidak sehat. Pola hidup inilah

yang kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan tubuh kita dalam

melakukan fungsinya sehingga tubuh mudah diserang penyakit dan kemudian

manusia menderita suatu penyakit sebab daya tahan tubuh kita sudah menurun.

Sebagian besar dari manusia mempunyai pola hidup yang tidak sehat dan

sebagian lagi memang tidak mengetahui bagaimana pola hidup yang sehat itu.

Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat

dan akhirnya baru diketahui bahwa berbagai pola hidup kita yang dulunya

dianggap benar untuk mengatur kesehatan kita secara alami ternyata tidak benar

lagi. Tetapi sebagian dari manusia baik yang masih aktif bekerja maupun sudah

memasuki masa pensiun walaupun sudah mengetahui bahwa pola hidupnya tidak

sehat ternyata tidak mudah untuk mengubah pola hidup yang sudah menjadi

kebiasaan dan perilakunya. Justru keadaan inilah yang perlu diantisipasi dengan

baik untuk mengubah pola hidup yang tidak sehat yang dapat mempercepat proses

penuaan Salah satu faktor yang memegang peranan penting ialah saat melakukan

aktivitas sehari-hari yaitu saat melakukan pekerjaan atau aktivitas fisik dan psikis

lainnya. Seringkali saat melakukan aktivitas fisik baik olahraga maupun

melakukan aktivitas fisik lainnya sudah menjadi pola hidup seseorang. Pola hidup

inilah yang akan memegang peranan penting menentukan terjadinya proses

penuaan. Waktu melakukan aktivitas fisik tidak boleh lebih daripada 6 jam

perminggu dengan intensitas memasuki zona latihan (65-85%) x denyut nadi

maksimal, sebab bila lebih maka cenderung mempercepat proses penuaan dan

mempercepat kematian (Thomas dkk., 2008).

57

Gambar 2.10

Mekanisme yang mendasari terjadinya Sindrom Overtraining pada Latihan

Berlebih (McArdle dkk., 2010)

58

Suatu penelitian autopsi yang dilakukan pada tentara Amerika Serikat

yang terbunuh pada perang Korea menunjukkan adanya penyakit koroner sekitar

77% dan ini menunjukkan terjadinya aterosklerosis berkembang pada usia 22

tahun (Sharkey, 2011). Selain itu laporan lain dari Morris dan Crawford (1958)

dalam Sharkey (2011) menunjukkan bahwa pada umur 45 -70 tahun gangguan

koroner lebih kecil 30% pada kelompok orang yang melakukan aktivitas fisik

menengah dan jauh lebih berkurang pada orang yang melakukan aktivitas tinggi.

Selain itu dilaporkan juga bila pelatihan dilakukan lebih daripada 3000 kalori

perminggu juga dapat mempercepat proses penuaan dan mempercepat kematian

(Gambar 2.11) (Pangkahila, 2010a).

Gambar 2.11

Aktivitas Fisik dan Risiko Penyakit Jantung (Sharkey, 2011)

59

Latihan berlebih atau overtraining selalu terjadi di sebagian besar tempat

pelatihan olahraga umumnya di tempat pelatihan olahraga prestasi tetapi tidak

menutup kemungkinan juga di tempat pelatihan olahraga kesehatan dan kebugaran

(Valet dan Gabriel, 2000; Pangkahila, 2011a). Ada beberapa tempat yang rawan

untuk terjadinya pelatihan berlebih ialah di beberapa tempat pendidikan yang

melakukan pelatihan fisik keras, sekolah olahraga prestasi dan di beberapa

universitas saat melakukan POSMA (Pekan Orientasi Mahasiswa). Selain itu ada

laporan dari berbagai negara latihan berlebih terjadi di tempat-tempat pelatihan

militer dan polisi (Sharkey, 2011). Keadaan inilah yang akan menimbulkan

gangguan metabolisme, timbulnya radikal bebas dan kecacatan tubuh yang akan

mengganggu fungsi kehidupan manusia dan mempercepat proses penuaan dan

mempercepat kematian.

Tanda-tanda latihan berlebih ialah sebagai berikut:

a. Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah

tersinggung, dan depresi (Pinel, 2009).

b. Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat,

dan tidak toleran terhadap pelatihan

c. Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri

otot yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya

nafsu makan (Mirkin, 1995).

Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari

kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi aktivitas

sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan kadar testosteron dan

60

menurunkan gairah seksual (Kandel, 2007; Pangkahila, 2011b). Pemeriksaan

secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal bebas. Oleh

karena itu maka pelatihan kebugaran seksual perlu dilakukan berdasarkan kaidah

ilmiah ( O’Relly, 1983; Pangkahila, 1992; Pangkahila, 2011c).

Pengaturan pola hidup untuk menuju pola hidup sehat tidak mudah sebab

penanganan tidak holistik, praktisnya tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan

seringkali sumber daya manusianya kurang berkualitas. Oleh karena itu maka

perlu dilakukan penanganan secara terpadu dari berbagai bidang terkait.

Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan terganggunya pengaturan berat

badan sehingga menjadi obesitas dan penurunan gairah seksual (Pangkahila,

2009)

2.9 Aktivitas Fisik yang tidak Seimbang Mempercepat Proses Penuaan

Proses penuaan akan dialami oleh semua mahluk hidup di dunia termasuk

manusia, Pada manusia sudah jelas proses penuaan ini dapat dilihat prosesnya

sejak lahir dan sampai meninggal dunia. Berbagai pendapat tentang proses

penuaan ini amat bervariasi mulai dari takdir, kutukan dan berbagai mitos yang

tidak jelas dan tidak ilmiah. Akhir-akhir ini berbagai laporan tentang proses

penuaan yang sudah diteliti oleh beberapa ahli bahwa proses penuaan tersebut

dapat diperlambat sesuai dengan pengaturan pola hidup kita (Goldman dan Klatz,

2007). Penyebab kematian sudah banyak dilaporkan antara lain ialah penyakit,

kecelakaan, perang, dan faktor alam. Selain itu seringkali bila tanpa diketahui

penyebabnya maka yang dijadikan penyebab ialah sudah tua dan sudah takdir.

61

969

777

600

250

13070

0

200

400

600

800

1000

1200

METUSALAK LAMEKH NUH CINA CAUCASIA MASA KINI

UMUR MANUSIA

Suatu laporan yang cukup mengejutkan bahwa sebagian besar kematian

yaitu 64% disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat kemudian menderita sakit

dan berakhir dengan kematian (American College of Anti-Aging, 2006; Sharkey,

2011). Tetapi yang sering dijelaskan ialah penyakit terakhir yang didiagnosis

kemudian menghantar ke kematian itulah yang dijadikan penyebabnya. Jarang

sekali kita mencari penyebab utama yang pertama sampai menderita penyakit.

Sebagian besar dari kita mengatakan bahwa kematian atau umur seseorang sudah

takdir atau sudah diatur olah Tuhan. Berbagai perkembangan ilmu akhir-akhir ini

menunjukkan bahwa penuaan dan kematian dapat dijelaskan dengan berbagai

ilmu pengetahuan disamping takdir.

Gambar 2. 12

Grafik Perkembangan Umur Manusia

(McKague, 1999; Lewis, 2000)

62

Teori terjadinya proses penuaan ada empat teori yang sudah umum dan

ada 16 teori lainnya (Goldman dan Klatz, 2007). Perkembangan umur manusia

masa kini jika dibandingkan dengan masa lalu ada penurunan seperti terlihat pada

grafik di bawah ini (Lewis, 2000)

Empat teori yang umum tentang terjadinya proses penuaan terdiri yaitu :

“The Wear and Tear”, The Neuroendocrine,The Genetic Control,dan The Free-

Radical Theory (Goldman dan Klatz, 2007) sebagai berikut:

a. The “Wear and Tear” Theory

Teori ini diperkenalkan oleh seorang ahli biologi Jerman yang

bernama August Weismann tahun 1882 yaitu sel tubuh akan mengalami

kerusakan akibat penggunaan. Pada saat masih muda penggantian sel

selalu terjadi tetapi dengan bertambahnya umur maka penggantian sel

akan makin berkurang dan tidak mampu lagi untuk mengganti sel yang

rusak.

b. The Neuroendocrine Theory

Teori ini diperkenalkan oleh Vladimir Dilman yang menjelaskan

teori Wear and Tear fokus pada teori sistem neuroendokrin. Peranan

hormon inilah yang akan mengatur keseimbangan fungsi tubuh manusia.

Pada saat masih muda kadar hormon dan respons tubuh terhadap hormon

masih cukup menjaga keseimbangan fungsi tubuh tetapi dengan

bertambahnya umur maka terjadi penurunan kadar hormon dan kepekaan

tubuh terhadap hormon.

63

c. The Genetic Control Theory

Teori perencanaan untuk masa depan yaitu saat dewasa telah

diprogram oleh kode DNA yang menentukan tipe fungsi fisik dan mental

seseorang.

d. The Free-Radical Theory

Sejak tahun 1954 telah dilaporkan suatu penelitian anti-aging (anti

penuaan) tentang radikal bebas (free radical) yang dilakukan oleh

Gerschman kemudian dikembangkan oleh Denham Harman dari Nebraska

College of Medicine University. Radikal bebas sudah ada sejak lahir dan

selama hidup tetap ada di dalam tubuh manusia dan cenderung

menimbulkan kerusakan organ tubuh kita.

Radikal bebas ialah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih

elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dan dapat bereaksi dengan

molekul lain dan menimbulkan reaksi berantai yang destruktif (Goldman

dan Klatz, 2007). Radikal bebas mempunyai kemampuan untuk merusak

membran sel, DNA, dan protein. Akibat kerusakan ini maka akan berlanjut

dan menyebabkan dampak lebih parah yaitu menurunnya daya tahan tubuh

dan dilaporkan juga dapat menyebabkan penyakit kanker seperti yang

terjadi pada pelatihan fisik berlebih (Wilkin, 2010).

Selain itu radikal bebas akan meningkatkan konsentrasi MDA yang

akan mengikat protein dan mengganggu fungsi protein dan jelas akan

mempercepat proses penuaan (Pangkahila, 2008; Abubakar, 2010).

64

Sebenarnya radikal bebas ini juga disebabkan oleh pembentukan oksigen

berlebih misalnya pada saat melakukan olahraga berlebih sehingga pada

setiap olahraga atau aktivitas fisik lainnya memerlukan adanya anti

oksidan untuk menetralisir radikal bebas ini. Akibat ketidakseimbangan

antara jumlah anti oksidan dan radikal bebas di mana radikal bebas lebih

banyak daripada antioksidan maka terjadilah kerusakan membran sel,

protein dan DNA. Bila keadaan ini berlangsung terus menerus maka

terjadi penumpukan produk akibat kerusakan oksidatif ini maka terjadilah

kerusakan sel dan jaringan sehingga mengganggu fungsi sel dan

menyebabkan kematian (Bagiada, 2001; Wilkin, 2010).

Teori lainnya yang terdiri dari 16 teori terdiri dari : Waste Accumulation

Theory, Limited Number of Cell Divisions Theory, Hayflick Limit Theory, Death

Hormon Theory, Thymic-Stimulating Theory, Mitochondrial Theory, Errors and

Repairs Theory, Redundant DNA Theory, Cross-Linkage Theory, Autoimmune

Theory, Calorie Restriction Theory, Gene Mutation and DNA Damage Theory,

Rate of Living Theory, Order To Disorder Theory, Telomerase Theory of Aging,

A4M’S Technodemography Theory on Aging.

Proses penuaan disebabkan oleh berbagai faktor yang sebagian sudah

dialami sejak di dalam kandungan malahan sudah dipengaruhi secara genetik

tergantung mulai dari spermatozoa dan sel telurnya. Sesuai dengan laporan

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American College of

Sports Medicine bahwa pola hidup amat berperan sebagai penyebab kematian

terbesar yaitu 64% (Goldman dan Klatz, 2007. Akibat dari pola hidup yang tidak

65

sehat maka terjadi kerusakan berbagai organ tubuh sehingga tidak mampu

berfungsi normal (Sharkey, 2011). Pola hidup dalam hal ini merupakan suatu

perilaku kehidupan yang holistik mulai dari pola makan, tidur, istirahat, bekerja,

olahraga dan perilaku seksual (Pangkahila, 2009; Pangkahila, 2010a; Pangkahila,

2010b). Keadaan ini akan membuat kerusakan sel tubuh akibat gangguan

metabolik dan timbulnya radikal bebas sehingga gangguan fungsi organ mulai

tampak dan bila dibiarkan akan makin parah dan akhirnya berakhir dengan

kematian sel dan inilah yang mempercepat proses penuaan dan kematian. Proses

penuaan umumnya sudah mulai nampak sesudah umur 30 tahun dan akan mulai

jelas pada umur 39 tahun (Sharkey, 2011). Selain itu faktor eksternal atau

lingkungan yang dapat mengganggu sel-sel tubuh kita akan mempercepat

terjadinya penuaan (Kimmel, 1990; Cossabon, 2010).

PENUAAN

GAYA

HIDUPPENYAKIT

PEKERJAAN

INTERAKSI ANTARA GAYA HIDUP,

PENYAKIT DAN PENUAAN BIOLOGIS

WHO 93228 WHO 1996

Gambar 2.13

Interaksi Gaya Hidup, Penyakit dan Penuaan Biologis

(Sharkey, 2011).

66

Berdasarkan beberapa teori tersebut maka terjadinya proses penuaan dapat

dijelaskan secara rasional dan ilmiah, jadi bukan takdir. Justru sudah jelas bahwa

64% penyebab kematian bukan disebabkan oleh takdir tetapi oleh pola hidup yang

tidak sehat (Sharkey, 2011). Bila proses tersebut dapat dicegah sedini mungkin

maka proses penuaan dapat diperlambat sesuai dengan kemampuan tubuh. Oleh

karena itu maka program Anti-Aging Medicine (AAM) atau kedokteran anti

penuaan merupakan suatu usaha untuk mencegah dan memperlambat terjadinya

proses penuaan secara ilmiah dan rasional (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila,

2008). Jadi dalam mengatur kehidupan kita tetap memerlukan perpaduan antara

iman dan aplikasi Iptek.

Selain itu perlu diketahui pula bahwa penyusutan organ tubuh sudah mulai

terjadi sejak dini tergantung dari berbagai faktor terutama pola hidup kita.

Tabel 2.5

Penyusutan Organ Tubuh (Lewis, 2000)

ALAT TUBUH: BERAT WAKTU

DEWASA

(gram)

BERAT DALAM

USIA LANJUT

(gram)

•JANTUNG

•HATI

•PARU-PARU

•OTAK

•GINJAL (KEDUANYA)

•LIMPA

•TIROID

•PANKREAS

•PROSTAT

320

1500

1200

1250

250

200

30

75

8

250

800-1000

900

1000

150

100

18

20

50

PENYUSUTAN ORGAN TUBUH