BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

53
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Hotel merupakan salah satu industri jasa bidang kepariwisataan, keberadaan hotel semakin banyak sehingga menimbulkan persaingan yang cukup kompetitif. Setiap hotel dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang optimal sehingga kepuasan pelanggan dapat tercapai. Pelayanan yang kurang memuaskan dapat menyebabkan pelanggan beralih ke hotel lain yang memiliki pelayanan yang lebih baik. Tingginya tingkat persaingan dalam industri perhotelan menyebabkan pelanggan memiliki banyak alternatif untuk menentukan pilihannya. Kualitas pelayanan yang memuaskan adalah jawaban untuk dapat mempertahankan loyalitas pelanggan terhadap hotel. Upaya memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan dapat menjadi sumber kelelahan dan stres bagi karyawan hotel. Liladrie (2010) melaporkan bahwa 48% karyawan hotel lebih berisiko mengalami kelelahan dan cidera dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di sektor jasa lainnya. Selain itu, upaya dalam memenuhi standar pelayanan yang baik dalam memberikan pelayanan dapat menjadi sumber stres bagi karyawan. Kim (2008) melaporkan bahwa stres karyawan pada industri perhotelan cenderung mengakibatkan motivasi kerja karyawan menurun karena karyawan menjadi mudah lelah dan

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kinerja

Hotel merupakan salah satu industri jasa bidang kepariwisataan,

keberadaan hotel semakin banyak sehingga menimbulkan persaingan yang cukup

kompetitif. Setiap hotel dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang

optimal sehingga kepuasan pelanggan dapat tercapai. Pelayanan yang kurang

memuaskan dapat menyebabkan pelanggan beralih ke hotel lain yang memiliki

pelayanan yang lebih baik.

Tingginya tingkat persaingan dalam industri perhotelan menyebabkan

pelanggan memiliki banyak alternatif untuk menentukan pilihannya. Kualitas

pelayanan yang memuaskan adalah jawaban untuk dapat mempertahankan

loyalitas pelanggan terhadap hotel.

Upaya memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan dapat

menjadi sumber kelelahan dan stres bagi karyawan hotel. Liladrie (2010)

melaporkan bahwa 48% karyawan hotel lebih berisiko mengalami kelelahan dan

cidera dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di sektor jasa lainnya. Selain

itu, upaya dalam memenuhi standar pelayanan yang baik dalam memberikan

pelayanan dapat menjadi sumber stres bagi karyawan. Kim (2008) melaporkan

bahwa stres karyawan pada industri perhotelan cenderung mengakibatkan

motivasi kerja karyawan menurun karena karyawan menjadi mudah lelah dan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

14

bersikap sinis terhadap perusahaan sehingga berdampak pada kualitas pelayanan

yang buruk terhadap pelanggan.

Salah satu departemen di hotel yang berisiko tinggi mengalami kelelahan,

cidera otot (musculoskeletal disorder), dan stres kerja adalah pramugraha hotel

yang bertugas membersihkan dan menyiapkan kamar tamu. Liladrie (2010)

menyebutkan 91% dari pramugraha dilaporkan mengalami kelelahan saat bekerja.

Sedangkan DaRos (2011) menyebutkan bahwa stres merupakan penyebab utama

cidera fisik dan tekanan mental pada pramugraha hotel.

Kelelahan dan stres kerja yang terjadi secara terus menerus akan

berdampak pada penurunan motivasi dan kinerja karyawan. Menurunnya kinerja

sama artinya dengan menurunnya produktivitas kerja. Apabila tingkat

produktivitas seorang tenaga kerja terganggu yang disebabkan oleh faktor

kelelahan fisik maupun psikis maka akibat yang ditimbulkannya akan dirasakan

oleh perusahaan berupa penurunan produktivitas perusahaan (Silastuti, 2006).

Agar kinerja seseorang maksimal, maka harus diusahakan adanya

keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan keterbatasan dan kemampuan

seseorang sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien

dan produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja dan kesejahteraan

baik bagi pekerja maupun perusahaan (Suardana, 2012; Manuaba, 2000;

Grandjean, 2000).

Dalam penelitian yang dilakukan, penilaian terhadap peningkatan kinerja

pramugraha diukur melalui penurunan beban kerja, kelelahan, keluhan

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

15

muskuloskeletal, stres kerja serta peningkatan kepuasan, motivasi dan

produktivitas kerja karyawan.

2.1.1 Beban kerja

Beban kerja dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor

internal. Menurut Manuaba (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja

antara lain :

1. Faktor eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti;

a. Tugas-tugas yang bersifat fisik, seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat

kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, dan tugas-tugas

yang bersifat psikologis, seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan,

tanggung jawab pekerjaan.

b. Organisasi kerja, seperti lamanya waktu bekerja, waktu istirahat, shift

kerja, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi,

pelimpahan tugas dan wewenang.

c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis.

2. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri

akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Faktor internal meliputi faktor

somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, dan kondisi

kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan

kepuasan)

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

16

Untuk menilai beban kerja pramugraha dalam penelitian ini dilakukan

dengan melalui dua kriteria, antara lain: (a) kriteria objektif, yang dapat diukur

dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi reaksi fisiologis, reaksi psikologis

atau perubahan tindak-tanduk, dan (b) kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang

yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang

dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain

yang dirasakan.

Menurut Rodahl (1989) beban kerja fisik yang terpapar pada tenaga kerja

dapat diukur secara objektif dengan cara:

1. Pengukuran secara langsung dilakukan dengan mengukur kebutuhan energi

yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau mengukur

konsumsi oksigen oleh tubuh, suhu inti tubuh dan sebagainya. Pengukuran

dengan cara langsung merupakan cara yang lebih akurat, tetapi hanya bisa

untuk mengukur pada periode tertentu saja (biasanya hanya beberapa menit),

sehingga tidak bisa dipakai untuk menggambarkan operasi kerja secara umum

atau sepanjang hari.

2. Pengukuran secara tidak langsung dapat dilakukan dengan merekam denyut

nadi selama kerja. Pengukuran dengan cara tersebut, ternyata lebih banyak

digunakan dalam penelitian karena: (a) perekaman denyut nadi dapat

dilaksanakan terus menerus selama bekerja; (b) memungkinkan mendapat

respon denyut nadi karena pengaruh pekerjaan secara individu; dan (c)

pencatatan waktu dapat lebih mudah sesuai dengan aktivitas kerja pada setiap

pekerja.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

17

Denyut nadi dapat dipakai sebagai tolok ukur kondisi beban kerja, karena

denyut nadi merupakan frekuensi irama denyut atau detak jantung. Frekuensi

denyut nadi pada umumnya sama dengan frekuensi denyut jantung. Menurut

Rodahl (1989) bahwa perubahan rerata denyut nadi berhubungan linier dengan

pengambilan oksigen. Oleh sebab itu, penilaian beban kerja secara objektif dapat

dilakukan dengan cara mengukur denyut nadi pada saat pekerjaan berlangsung.

Karena cara tersebut dapat memberikan indikasi tentang aktivitas dalam sel, jika

aktivitas tubuh mengalami peningkatan beban dari biasanya, maka denyut nadi

juga meningkat (Grandjean, 2000). Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa

kategori beban kerja seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja

No Rentang Denyut Nadi Kategori Beban Kerja

1 60—75 Sangat Ringan (istirahat)

2 75—100 Ringan

3 100—125 Sedang

4 125—150 Berat

5 150—175 Sangat Berat

6 175 < Ekstrim

(Sumber: Grandjean, 2000)

Cara untuk mengetahui denyut nadi dapat dilakukan dengan dipalpasi atau

diraba pada permukaan kulit ditempat-tempat tertentu, misalnya: (a) pada

pergelangan tangan di bagian depan sebelah atas pangkal ibu jari (arteriradialis);

(b) pada leher sebelah kiri atau kanan di depan otot sterno cleido mastoideus

(arteri carotlis); (c) pada dada sebelah kiri, tepat di apex jantung; (d) pada pelipis

(arteritempieralis). Cara menghitung denyut nadi secara manual dengan teknik

palpasi dapat dilakukan dengan cara: (a) denyut nadi dihitung selama 6 detik;

hasilnya dikalikan 10; (b) denyut nadi dihitung selama 10 detik; hasilnya

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

18

dikalikan 6; (c) denyut nadi dihitung selama 15 detik; hasilnya dikalikan 4; dan(d)

denyut nadi dihitung selama 30 detik; hasilnya dikalikan 2. Cara lain pengukuran

denyut nadi dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut pulse

monitor atau pulse-meter, yaitu alat elektronik yang dapat digunakan untuk

mengukur frekuensi nadi setiap menit (Depdiknas, 2004). Denyut nadi yang perlu

diketahui terkait dengan beban kerja adalah sebagaiberikut:

1. Denyut nadi istirahat atau denyut nadi pada waktu tidak bekerja. Disebut

sebagai denyut nadi istirahat, karena pengukuran dilakukan pada subjek

dalam keadaan istirahat. Pada orang dewasa normal, denyut nadi saat istirahat

berkisar antara 60—80 denyut/menit (Depdiknas, 2004). Cara pengukuran

dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang

lebih konstan. Subjek yang akan diukur diusahakan dalam keadaan tenang.

Pada saat dilakukan palpasi, posisi subjek boleh duduk, berdiri atau dalam

posisi terlentang (Andersen, 1978; Adiputra, 2002). Dalam suatu penelitian

yang memakai denyut nadi sebagai salah satu indikator beban kerja, maka

denyut nadi istirahat dianggap sebagai kondisi yang menggambarkan kondisi

awal subjek (Adiputra, 2002).

2. Nadi kerja (nadi saat kerja fisik) yaitu denyut nadi yang diukur pada saat

subjek sedang melaksanakan pekerjaan. Kecepatan denyut nadi yang terjadi

saat bekerja adalah sebagai akibat dari kecepatan dari metabolisme dalam

tubuh (Grandjean, 2000; Adiputra, 2002). Penghitungan denyut nadi kerja

dilaksanakan selama kerja, jika alat untuk mengukur memungkinkan, tetapi

jika tidak bisa dilakukan penghitungan setiap lima menit sejak mulai sampai

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

19

akhir kerja, maka penghitungan dapat juga dilakukan setiap 30 menit atau

bahkan setiap satu jam kerja tergantung dari jenis pekerjaan. Penghitungan

dengan metode sepuluh denyut (ten pulses method) (stopwatch ditekan start

saat denyutan satu dan ditekan stop pada denyutan kesebelas) dapat dilakukan

pada akhir bekerja dan metode ini lazim dipakai untuk menggambarkan

denyut nadi kerja. (Astrand and Rodahl, 1986; Adiputra, 2002).

3. Denyut nadi pemulihan atau recovery heart rate yaitu denyut nadi yang

dialami saat pekerja selesai melaksanakan pekerjaannya. Beban kerja yang

diterima pekerja saat bekerja dapat pula diketahui dengan mengukur denyut

nadi pemulihan. Ketika mulai berhenti bekerja, maka saat itu denyut nadi akan

mulai mengalami penurunan denyut nadinya sampai kembali ke kondisi awal

(sebelum bekerja) kondisi denyut nadi tersebut disebut nadi

pemulihan(Grandjean, 2000; Adiputra, 2002). Denyut nadi pemulihan

biasanya di ukur satu menit setelah pekerjaan dihentikan, kemudian

dilanjutkan lagi pada menit kedua, ketiga, keempat dan kelima. Denyut nadi

pemulihan memberikan fakta tentang perubahan metabolisme tubuh dari

keadaan aktif ke kondisi istirahat (Adiputra, 2002)

Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, dan denyut nadi, tingkat

beban kerja dibedakan dalam beberapa kategori sebagaimana disajikan pada tabel

2.2 berikut.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

20

Tabel 2.2

Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja

No Kategori Denyut Nadi Kerja (denyut per menit)

1 Sangat Ringan = istirahat 60—70

2 Ringan 75—100

3 Sedang 100—125

4 Berat 125—150

5 Sangat Berat 150—175

6 Ekstrim >175

Sumber : Grandjean (2000)

2.1.2 Kelelahan kerja

Kelelahan kerja adalah respon total individu terhadap stres psikososial

yang dialami dalam satu periode waktu tertentu dan kelelahan kerja itu cenderung

menurunkan prestasi maupun motivasi pekerja. Kelelahan kerja merupakan

kriteria yang lengkap tidak hanya menyangkut kelelahan yang bersifat fisik dan

psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan adanya penurunan kinerja fisik,

adanya perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan produktivitas kerja

(Cameron dalam Setyawati, 2010).

Matthew (2010) juga menjabarkan bahwa kelelahan bekerja dapat

berakibat pada menurunnya produktivitas, meningkatnya kecelakaan kerja,

penyakit jantung, penyakit lambung & pencernaan, stres, hipertensi, keluhan

kurangnya waktu tidur, kecelakaan di rumah, melambatnya waktu pemulihan

setelah sakit, bunuh diri dikarenakan dari bekerja yang berlebih, penyakit

kardiovaskular, kurangnya waktu olahraga. Beberapa cara menanggulangi

kelelahan menurut Matthew (2010) adalah dengan mengontrol waktu kerja yang

terlalu lama, memberikan penghargaan dari bekerja overtime, memberikan jam

kerja bergantian atau shift, rotasi pekerjaan, memberikan waktu istirahat antara

10-15 menit tiap 2 jam, memberikan karyawan waktu yang cukup untuk istirahat

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

21

serta menyediakan pendingin ruangan, mengurangi suhu udara yang panas ketika

bekerja lama, meningkatkan kerjasama tim.

Tingkat kelelahan berupa keluhan subjektif yang dialami oleh pekerja

setelah melakukan pekerjaan diukur dengan menggunakan kuesioner 30 items of

rating scale (skala empat), seperti pada (lampiran 3). Kuesioner ini telah

mendapat rekomendasi dari Japan Association Industrial Helth (JAIH) berupa

daftar pertanyaan tentang gejala-gejala yang berhubungan dengan kelelahan

(Adiputra, 2002). Aplikasi kuesioner ini adalah dengan menanyakan kepada para

pekerja yang telah selesai melakukan pekerjaannya. Jawaban yang diberikan

bersifat subjektif dan diusahakan sesuai dengan yang dirasakannya. Jenis

pertanyaan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok I (item 1—

10) mengenai pelemahan aktivitas. Kelompok II (item 11—20) mengenai

penurunan motivasi, dan Kelompok III (item 21—30) mengenai kelelahan fisik.

Berdasarkan desain penilaian kelelahan subjektif dengan menggunakan 4

skala Likert ini akan diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 30 dan skor

tertinggi adalah 120. Klasifikasi tingkat kelelahan seperti pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3

Klasifikasi Tingkat Kelelahan Subjektif

Tingkat

kelelahan

Total skor

individu

Klasifikasi

kelelahan

Tindakan perbaikan

1 30—52 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan

perbaikan

2 53—75 Sedang Mungkin diperlukan adanya tindakan

perbaikan

3 76—98 Tinggi Diperlukan adanya tindakan perbaikan

4 99—120 Sangat tinggi Diperlukan tindakan perbaikan sesegera

mungkin

Sumber : Tarwaka, 2010

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

22

Studi gerak (motion study) merupakan studi tentang aktivitas gerak yang

dilakukan oleh karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan (Setiawan, 2014).

Gerak untuk melakukan aktivitas kerja manual dibedakan: (1) gerak efektif terdiri

dari gerak yang berdasarkan pengaruh fisik dan objektivitas; (2) gerak yang tidak

efektif terdiri dari gerak yang berdasarkan pada pengaruh mental dan menunggu

(Meyers dan Steward, 2002). Pengukuran studi gerak dilakukan dengan

menggunakan kamera dan alat perekam.

2.1.3 Keluhan muskuloskeletal (musculoskeletal disorder/MSDs)

2.1.3.1 Pengertian musculoskeletal disorder (MSDs)

Sistem muskuloskeletal adalah sistem otot rangka atau otot yang melekat

pada tulang yang terdiri atas otot-otot serta lintang yang sifat gerakannya dapat

diatur (volunteer). Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan oleh

kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat

dengan durasi pembebanan yang panjang. Keluhan otot akan terjadi apabila

kontraksi otot melebihi 20% yang mengakibatkan peredaran darah ke otot

berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang

diperlukan. Suplai oksigen ke otak menurun, proses metabolisme karbohidrat

terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat, apabila kondisi

tersebut sering terjadi dapat menimbulkan kelelahan otot (Suma’mur, 2009;

Grandjean, 2000).

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

23

2.1.3.2 Faktor risiko musculoskeletal disorder (MSDs)

Faktor-faktor risiko yang terdapat pada aktivitas terkait MSDs dapat

diklasifikasikan menjadi: faktor risiko yang terkait dengan karakteristik pekerjaan,

karakteristik objek, lingkungan kerja, dan faktor individu.

a. Karakteristik pekerjaan

Karakteristik pekerjaan yang menjadi faktor risiko, antara lain :

1) Postur kerja

Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan

aktivitas kerja yang biasanya terkait dengan disain area kerja dan task

requirement (Pulat, 1992). Salah satu penyebab gangguan otot rangka

adalah postur janggal atau sikap kerja tidak alamiah (awkward posture).

Postur janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan

terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan.

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang

menyebabkan posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah

misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk,

kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari

pusat gravitasi tubuh, semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot

skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteritik

tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan

kemampuan dan keterbatasan pekerja (Nurmianto, 2008).

Beberapa bagian tubuh yang berisiko mengalami cidera otot adalah

pada bagian punggung, bahu, lengan. Postur punggung yang merupakan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

24

faktor risiko adalah membungkukkan badan sehingga membentuk sudut

20° terhadap vertikal dan berputar dengan beban objek ± 9 kg, durasi 10

detik, dan frekwensi ± 2 kali/menit atau total lebih dari 4 jam/hari

(Hermans dan Peteghem, 2006).

Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan

pekerjaan dengan tangan di atas kepala atau siku di atas bahu lebih dari 4

jam/hari atau lengan atas membentuk sudut 45° ke arah samping atau ke

arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi ±

2 kali/menit dan beban ± 4,5 kg (Humantech, 1995).

Postur jongkok adalah posisi lutut flexi maksimal, paha, badan

fleksi maksimal dan lumbal juga fleksi maksimal. Bridger (2003)

menyatakan jongkok lebih baik karena dapat mencegah lordosis,

terhindar dari sakit pinggang, dan membantu pengosongan usus besar.

Postur atau sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi

tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada

dua kaki (Bridger, 2003). Sedangkan pada sikap kerja mendorong

pelurusan siku paling berkekuatan kalau diawali dengan posisi menekuk

penuh dan tekukan siku paling kuat pada sudut 90°. Hal ini dimaksudkan

untuk menghasilkan tenaga maksimal saat mendorong beban berat dan

menghindari cidera bagian lengan dan bahu (Suyatno, 1985).

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

25

2) Frekuensi

Pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dapat menyebabkan rasa lelah

bahkan nyeri/sakit pada otot, oleh karena adanya akumulasi produk sisa

berupa asam laktat pada jaringan (Humantech, 1995).

3) Durasi

Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Semakin besar

pajanan durasi pada faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya.

b. Karakteristik Individu

Karakteristik individu yang menjadi faktor risiko MSDs adalah masa

kerja. Masa kerja merupakan faktor risiko dari suatu pekerjaan yang sangat

mempengaruhi seorang pekerja untuk meningkatkan risiko terjadinya MSDs,

terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi

(Tarwaka, 2004).

c. Karakteristik objek

1) Berat objek

Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk

diangkat oleh seseorang adalah 23—25 kg. Mengangkat beban yang

terlalu berat akan mengakibatkan tekanan pada discus tulang belakang

(deformitas discus) (Bridger, 2003).

2) Besar dan bentuk objek

Ukuran dan bentuk objek juga ikut mempengaruhi terjadinya

gangguan otot rangka. Lebar objek yang besar dapat membebani otot

pundak atau bahu lebih dari 300—400 mm, panjang lebih dari 350 mm

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

26

dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Sedangkan bentuk objek yang baik

harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin datau

panas saat diangkat (Kumar, 1999).

d. Karakteristik lingkungan kerja

Suatu lingkungan kerja dikatakan ergonomis apabila secara

antropometris, faal, biomekanik, dan psikologis kompatibel dengan manusia

pemakainya. Di dalam mendesain stasiun kerja maka harus berorientasi pada

kebutuhan pemakainya. Kompromi untuk kesesuaian tersebut perlu

mempertimbangkan antropometri dan aplikasi elemen mesin terhadap posisi

kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak, dan interface antara tubuh pekerja

dengan mesin (Tarwaka, 2004).

2.1.3.3 Jenis-jenis gangguan musculoskeletal disorder (MSDs)

ORBIS, 2004; Liladrie, 2010 menyebutkan beberapa gangguan pada

muskuloskeletal yang terjadi pada pramugraha adalah sebagai berikut.

1. Tendonitis, yaitu peradangan atau iritasi pada otot tendon, Tendonitis terjadi

pada bagian tubuh sekitar pundak, siku, pergelangan dan tumit. Tendonitis

diakibatkan oleh gerakan yang dilakukan berulang-ulang, posisi tubuh tidak

alamiah, dan pengerahan tenaga.

2. Carpal tunnel syndrome, adalah rasa sakit, kesemutan dan masalah lain pada

tangan akibat adanya tekanan pada saraf median pergelangan tangan.

3. White finger, yaitu suatu kondisi dimana pembuluh nadi ke ujung-ujung jari

tangan atau kaki terhambat, sehingga akan terjadi kejang urat. Salah satu

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

27

penyebab white finger antara lain karena penggunaan mesin-mesin yang

menyebabkan getaran (vibration).

4. Low back pain, yaitu nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta

(tulang rusuk) sampai lumbo sakral (sekitar tulang ekor). Nyeri punggung

bawah merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh

aktivitas tubuh yang kurang baik.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa keluhan otot yang

paling sering dialami pramugraha adalah keluhan di bagian leher, bahu, siku,

tangan dan anggota badan bagian bawah. Selain itu beban kerja dan lingkungan

kerja yang tidak mendukung dapat menyebabkan terjadinya gangguan ekstremitas

seperti pada saraf, otot, sendi dan sistem sirkulasi darah.

Organisasi kerja yang buruk juga berkontribusi terhadap peningkatan

keluhan muskuloskeletal pada pramugraha. Faktor risiko dari organisasi kerja

meliputi, tingginya intensitas pekerjaan, beban kerja tinggi yang tidak diikuti

dengan waktu yang cukup dalam menyelesaikan pekerjaan serta tidak adanya

pelatihan. Keluhan muskuloskeletal dapat pula disebabkan oleh kondisi

psikososial, faktor individu, kondisi tempat kerja, dan faktor organisasi kerja

(Izumi, 2008; Marras dkk., 2009), keluhan muskuloskeletal tidak terjadi segera

setelah terpapar faktor risiko, tetapi akan terjadi akumulasi gangguan selama

periode tertentu (Coleman, 2008).

Menurut European Agency (2007), keluhan muskuloskeletal pada

pramugraha dapat dicegah melalui program kesehatan dan keselamatan kerja yang

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

28

efektif serta dengan mengkaji setiap permasalahan tersebut melalui pertimbangan

ergonomi. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Hindari sikap kerja yang berisiko meningkatkan keluhan muskuloskeletal.

2. Evaluasi faktor risiko yang tidak dapat dihindari.

3. Menyesuaikan atau melakukan adaptasi pekerjaan terhadap pekerja.

4. Melakukan adaptasi terhadap perubahan teknologi.

Untuk mengetahui tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan

pramugraha digunakan metode pengukuran sebagai berikut.

1. Pengukuran estimasi tingkat keluhan otot dengan menggunakan Nordic Body

Map (Wilson dan Corlett, 2005). Nordic Body Map (NBM) pada dasarnya

dibuat dengan ketentuan kelompok otot pada organ tersebut. Para ahli

melaporkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan di tempat kerja yang tidak

ergonomik dapat menimbulkan cidera atau keluhan pada otot dan persendian.

Keluhan sistem muskuloskeletal merupakan masalah besar dalam suatu

industri yang disebabkan oleh : (1) tempat kerja yang tidak memadai, (2)

aktivitas yang bersifat repetitif, (3) desain alat dan peralatan yang tidak sesuai

dengan pemakai, (4) organisasi kerja yang tidak efisien, (5) jadwal istirahat

yang tidak teratur dan (6) sikap kerja yang tidak alamiah.

Menurut Tarwaka (2010) metode Nordic Body Map (NBM)

merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan (severity)

atas terjadinya gangguan atau cidera pada otot-otot skeletal. Aplikasi metode

NBM dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map).

Nordic Body Map meliputi dua puluh delapan (28) bagian otot-otot skeletal

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

29

pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri yang dimulai dari anggota tubuh bagian

atas yaitu otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki.

Tarwaka (2010) menyatakan desain penilaian menggunakan skoring (misalnya

4 skala Likert), maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi

operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden. Total skor

individu dari seluruh otot skeletal (28 bagian otot skeletal) dihitung untuk

dapat digunakan dalam entri data statistik.

2. Metode observasional RULA (Rapid Upper Limb Assesment) untuk menilai

posture, gaya atau beban dan aktivitas otot, yang diketahui berkontribusi

terhadap upper limb disorder (Corlett, 2005; Kee and Karwowski, 2007:

Gilkey dkk., 2007; Kumashiro dkk., 2007).

Hasil skor RULA diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori level risiko,

seperti pada Tabel 2.4

Tabel 2.4

Kategori Tindakan RULA

Kategori Tindakan Level Risiko Tindakan

1—2 Minimum Aman

3—4 Kecil Diperlukan beberapa

waktu ke depan

5—6 Sedang Tindakan dalam waktu

dekat

7 Tinggi Tindakan sekarang juga

2.1.4 Stres kerja

2.1.4.1 Definisi stres

Stres kerja adalah sesuatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya

ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir,

dan kondisi seorang karyawan (Rivai 2009). Menurut Robbins (2009) stres adalah

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

30

suatu kondisi dinamis di mana seorang individu dihadapkan pada peluang,

tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh

individu itu dan hasilnya dipandang tidak pasti dan penting.

Stres kerja mengakibatkan kelelahan kerja, seringkali tanda awal dari

stress kerja adalah suatu perasaan bahwa dirinya mengalami kelelahan emosional

terhadap pekerjaan-pekerjaan. Bila diminta menjelaskan yang dirasakan, seorang

karyawan yang lelah secara emosional akan merasa kehabisan tenaga dan lelah

secara fisik.

2.1.4.2 Sumber-sumber potensi stres kerja

Ada tiga kategori potensi stres kerja yang potensial yakni

lingkungan,organisasional, dan individual (Robbins, 2009):

1) Faktor Lingkungan

Kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman berkontribusi

terhadap munculnya stres kerja pada karyawan, seperti kondisi lingkungan

yang panas, ruangan yang sempit, bising, dan sebagainya. Ruangan yang

terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam

menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas

tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau

arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil

munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensistif pada

kebisingan dibanding yang lain

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

31

2) Faktor Organisasi

Banyak sekali faktor di dalam organisasi yang dapat menimbulkan

stres kerja. Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan

tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan,

serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Faktor – faktor ini dapat

dikategorikan pada tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan hubungan

antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tingkat

hidup organisasi.

3) Faktor Individual

Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam

keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari

keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan

menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat

tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang.

2.1.4.3 Stres kerja karyawan hotel

Stres kerja terjadi apabila kemampuan yang dimiliki karyawan tidak sesuai

dengan tuntutan pekerjaan yang harus dilakukan karyawan. Stres yang

berhubungan dengan pekerjaan telah terbukti sebagai faktor utama menurunnya

prestasi kerja karyawan (Gilboa dkk dan Cooper, 2008; LePine dkk., 2005).

Beban kerja yang tinggi pada karyawan hotel tidak hanya menjadi sumber

masalah bagi kesehatan fisik karyawan. Beban kerja yang tinggi juga berdampak

pada aspek psikis karyawan. Purnawati (2011) menyatakan bahwa jenis pekerjaan

yang tergolong monoton dapat menjadi sumber stres dan berakibat lesu kerja dan

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

32

penurunan produktivitas. Dan beban kerja yang sangat berat dan kompleks

melebihi kapasitas kerja akan membuat individu merasa frustrasi dan muncul

perasaan stres dengan segala konsekuensinya (Tsai dkk.,2009).

Kim (2008) menyatakan bahwa stres karyawan di industri perhotelan

mengakibatkan kelelahan sehingga berdampak buruk pada pelayanan yang

diberikan. Stres karyawan semakin meningkat dengan diberlakukannya

kebijakan perusahaan antara lain dengan, melakukan efisiensi biaya dengan cara

mengurangi jumlah karyawan, mengurangi pendapatan karyawan, dan

meningkatkan jam kerja, dimana hal ini memiliki dampak yang sangat besar bagi

karyawan yang bekerja di industri perhotelan (Bernhardt., dkk, 2003; Korczynski,

2002; Peccei & Rosenthal, 2000). Wallace, 2003; Lo & Lamm, 2005 menyatakan

masalah yang berkaitan dengan shift kerja, jam kerja yang panjang, pergantian

jam kerja yang tidak terduga, minimnya waktu istirahat, tuntutan fisik yang berat

(beban berat penanganan manual) serta adanya tuntutan mental dan emosional

berdampak pada kinerja karyawan hotel.

Faulkner & Patier, 1997, Gill dkk., 2006; Hilton & Whiteford, 2010;

O’Neill & Davis, 2011 mengatakan, stres secara psikologis dapat menurunkan

prestasi di tempat kerja dan tingkat stres yang berlebihan mempengaruhi kinerja

karyawan hotel. O’Neill & Davis (2011) menyebutkan dua sumber stres pada

karyawan hotel adalah beban kerja yang tinggi (overloads) dan relationships yang

kurang harmonis diantara karyawan.

Pulak (2012) menyebutkan beberapa sumber stres pada karyawan hotel,

antara lain sebagai berikut.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

33

1. Tekanan dalam melakukan tugas dengan waktu yang terbatas.

2. Upah yang rendah pada posisi tertentu.

3. Percakapan yang tidak pantas dengan pelanggan.

4. Lingkungan kerja yang penuh tekanan, tidak menyenangkan dan

membahayakan.

5. Jam kerja yang panjang, terutama bagi mereka yang bekerja dengan posisi

berdiri.

6. Jam kerja yang lama, shift malam dapat menyebabkan kurang tidur dan

menjadi satu alasan karyawan menjadi stres.

7. Jadwal kerja yang padat.

8. Merasa kurang ada keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi.

9. Job description yang tidak terdefinisi dengan jelas.

10. Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar karyawan.

11. Melakukan pekerjaan tanpa ada panduan dan bimbingan.

Schnall dkk. (2009) menyoroti sumber stres yang lain yaitu konflik

interpersonal. Di hotel, tugas utama seorang karyawan adalah berkomunikasi dan

berhubungan dengan pelanggan dan rekan kerja. Hal ini sangat diperlukan dalam

memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. Konflik pribadi akan

mempengaruhi koordinasi antar karyawan yang pada gilirannya akan

mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Karyawan hotel yang

terlibat dalam konflik interpersonal lebih rentan menderita stres, masalah jantung,

dan hipertensi (Schnall dkk., 2009; Olaniyi, 2013).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

34

Varca (2009), dalam penelitiannya menemukan hubungan yang negatif

antara kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan dengan stres kerja

yaitu karyawan yang dalam kondisi stres, gagal memberikan pelayanan yang

berkualitas dibandingkan dengan karyawan yang tidak stres.

2.1.4.4 Pengukuran stres kerja

Dalam penelitian ini stres kerja diukur dengan menggunakan kuesioner

BJSQ (Brief Job Stres Questionnaire) dengan 4 skala Likert.

2.1.5 Kepuasan kerja

2.1.5.1 Definisi kepuasan kerja

Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang

berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang (Luthans, 2006).

Kepuasan kerja merupakan salah satu aspek yang diperlukan untuk meningkatkan

partisipasi karyawan di dalam upaya pencapaian produktivitas kerja (Manuaba,

1992).

Beberapa studi menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara

kepuasan kerja karyawan dengan kepuasan pelanggan (Wangenheim dkk., 2007;

Chi dan Gursoy, 2009). Karena diasumsikan terdapat hubungan positif yang

signifikan, maka kepuasan kerja karyawan menjadi isu utama di kalangan peneliti

dalam dua dekade terakhir (Matzler dan Renzl, 2007). Karyawan yang puas akan

cenderung lebih termotivasi dan bekerja lebih keras, lebih efisien dan mampu

memberikan pelayanan yang lebih baik sehingga kepuasan pelanggan dapat

terpenuhi (Koys, 2003). Ogbonikan (2012) mengatakan dalam industri apapun,

kepuasan kerja berkaitan dengan motivasi kerja karyawan. Dan ketika karyawan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

35

tidak puas dengan pekerjaannya maka akan berdampak pada kualitas pelayanan

yang diberikan pada pelanggan.

2.1.5.2 Aspek-aspek kepuasan kerja

Jewell dan Siegall (1998) menyebutkan beberapa aspek dalam mengukur

kepuasaan kerja:

a. Aspek psikologis, berhubungan dengan kejiwaan karyawan meliputi sikap

terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.

b. Aspek sosial, berhubungan dengan interaksi sosial, baik antar sesama

karyawan dengan atasan maupun antar karyawan.

c. Aspek fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan

kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja,

pengaturan waktu istirahat, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan,

pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur.

d. Aspek finansial berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan

karyawan, yang meliputi sistem dan besar gaji, jaminan sosial, tunjangan,

fasilitas dan promosi.

Menurut Robbins (2007) ada empat faktor yang kondusif bagi tingkat

kepuasan kerja karyawan yang tinggi, yaitu :

a. Pekerjaan yang secara mental menantang

b. Imbalan yang wajar

c. Kondisi lingkungan kerja yang mendukung

d. Rekan kerja yang suportif

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

36

2.1.5.3 Pengukuran kepuasan kerja

Dalam penelitian ini kepuasan kerja diukur dengan menggunakan

kuesioner kepuasan kerja dengan 20 item pertanyaan menggunakan 5 skala Likert

dari skor 1 (sangat tidak setuju ) hingga skor 5 (sangat setuju).

2.1.6 Motivasi kerja

2.1.6.1 Definisi motivasi

Motivasi kerja menurut Herzberg (Ogbonnikan, 2012) adalah sikap

seseorang terhadap pekerjaannya yang mengarah pada kepuasan kerja. Motivasi

juga dapat diartikan sebagai dorongan yang timbul baik dari diri seseorang

maupun dorongan dari luar untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi yang ada pada

seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan untuk mencapai suatu

kepuasan.

Dalam suatu organisasi, motivasi merupakan masalah yang kompleks yang

disebabkan karena kebutuhan dari setiap karyawan yang berbeda-beda. Untuk

dapat memelihara kinerja karyawannya, organisasi perlu memahami faktor-faktor

yang mempengaruhi motivasi karyawannya. Burke dkk, 2011; Burke & Cooper,

2007; Katzenbach, 2000 menyatakan bahwa untuk meningkatkan performansi

kerja perusahaan, organisasi harus memperhatikan motivasi kerja karyawan.

2.1.6.2 Teori motivasi

1. Teori Kebutuhan (Teori Abraham Maslow)

Menurut Maslow (Panwar dan Gupta, 2012) individu dimotivasi oleh

kebutuhan yang belum dipuaskan, yang paling rendah, paling dasar dalam tata

tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan, tidak akan lagi memotivasi

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

37

perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya pada tingkat yang lebih tinggi

menjadi dominan yaitu dari kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman,

kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.

2. Teori Dua Faktor (teori Herzberg)

Menurut Herzberg (Panwar dan Gupta, 2012), teori dua faktor juga

dinamakan teori hygiene-motivasi. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan

kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja.

Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja dinamakan faktor

motivator (intrinsic factor), mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi dari

pekerjaan, yang merupakan faktor instrinsik dari pekerjaan itu: pretasi

(achievement), pengakuan (recognition), tanggung jawab (responsibility),

kesempatan untuk berkembang (growth of opportunity).

Kelompok faktor lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan

konteks dari pekerjaan, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan (hygiene

factor), yang meliputi kondisi lingkungan kerja, gaji, kebijakan organisasi, dan

kualitas pengawasan.

2.1.6.3 Motivasi kerja karyawan hotel

Motivasi karyawan merupakan isu utama dalam industri perhotelan.

Manajemen di industri perhotelan harus dapat menjaga motivasi kerja

karyawannya agar tetap dapat memberikan kualitas pelayanan yang efektif dan

sesuai dengan harapan pelanggan (Cheng, 2005).

Kovack (2007) menyebutkan beberapa motivasi karyawan yang bekerja di

industry perhotelan, antara lain:

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

38

1. Penghargaan terhadap pekerjaan (job appreciation).

2. Upah/imbalan yang sesuai (good wages).

3. Peluang karir (opportunity for career growth).

4. Rasa aman (security).

5. Kesetiaan kepada karyawan (loyalty to employee).

6. Rasa memiliki (sense of ownership).

7. Pekerjaan yang menarik (interesting job).

8. Disiplin (careful discipline).

9. Lingkungan kerja yang baik (good work condition).

10. Bantuan pribadi yang simpatik (sympathetic personal assistance).

Kinerja karyawan dalam industri perhotelan dapat dianalisis dari

kewaspadaan, keramahan, penampilan, dan perilaku karyawan. Selain itu,cara

karyawan melakukan tanggung jawab terhadap pekerjaannya dan tugas-tugas

yang dilakukan menentukan tingkat motivasi kerja karyawan (St-Onge dkk.,

2009).

2.1.6.4 Pengukuran motivasi kerja

Dalam penelitian ini, motivasi kerja diukur dengan menggunakan

kuesioner motivasi karyawan dalam bekerja dengan 30 item pernyataan dengan

skala Likert dari skor 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan skor 5 (sangat setuju).

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

39

2.1.7 Produktivitas kerja

2.1.7.1 Pengertian produktivitas kerja

Produktivitas adalah kegiatan untuk menghasilkan sesuatu baik berupa

barang maupun jasa. Dalam produksi, produktivitas merupakan sutau pengukuran

dimana produksi menggunakan sumber-sumber dayanya untuk mendapatkan hasil

yang semaksimal mungkin. Escorpizo (2008) menyatakan produktivitas adalah

perbandingan antara hasil kerja atau output yang berupa barang atau jasa dengan

keseluruhan input yang terdiri dari material, dana dan tenaga yang digunakan

dalam proses produksi. Hasil kerja diukur dari jumlah rerata produksi yang

dihasilkan oleh pekerja atau shift kerja, sedangkan masukan diukur berdasarkan

pada peningkatan nadi kerja atau beban kerja per satuan waktu (Adiputra, 2002).

Produktivitas kerja dikatakan meningkat apabila: 1) kuantitas output

bertambah besar, tanpa mengubah jumlah input; 2) kuantitas tidak bertambah

akan tetapi input nya berkurang; 3) kuantitas output bertambah besar sedangkan

input nya juga berkurang; dan 4) jumlah input bertambah, asalkan kuantitas

bertambah berlipat ganda (Sedarmayanti, 2007).

2.1.7.2 Pengukuran produktivitas kerja

Pengukuran produktivitas kerja dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Produktivitas total adalah perbandingan antara total output dengan total input

per satuan waktu;

2. Produktivitas parsial adalah perbandingan dari output dengan satu jenis input

per satuan waktu.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

40

Produktivitas tidak selalu dinilai dari peningkatan jumlah produksi, tetapi

dapat juga dilihat dari berkurangnya waktu kerja yang hilang, turunnya angka

kecelakaan, berkurangnya istirahat curian, berkurangnya sumber daya atau bahan

yang dipakai, produksi tepat waktu dan sebagainya. Produktivitas berkaitan

dengan tenaga kerja dapat dihitung dengan membagi penghasilan dengan jumlah

orang yang digunakan atau kerja orang (Adiatmika, 2007). Dengan demikian

indeks produktivitas kerja dapat dirumuskan sebagai berikut.

O

IP =

INK x T

Keterangan :

IP = Indeks produktivitas pekerja;

O = Output/hasil dalam waktu tertentu;

INK = Input nadi kerja; dan

T = Waktu kerja

2.2 Ergonomi

Ergonomi atau ergonomics berasal dari kata Yunani yaitu “ergo” yang

berarti kerja dan “nomos” yang berarti hukum. Ergonomi adalah ilmu tentang

manusia untuk meningkatkan kenyamanan selama melakukan aktivitas kerja.

Beberapa definisi ergonomi dikemukakan oleh para ahli diantaranya disampaikan

oleh Manuaba (2000) yang mendefinisikan ergonomi sebagai ilmu, seni, dan

penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala

fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas dengan kemampuan dan

keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga orang dapat bekerja

dengan baik yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui kerja yang efektif,

nyaman, aman sehat, dan efisien (ENASE). Melalui ergonomi, tuntutan tugas,

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

41

peralatan, cara kerja, dan lingkungan kerja diserasikan dengan kemampuan,

kebolehan, dan keterbatasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan

lingkungan yang efektif, nyaman, aman sehat, dan efisien (ENASE).

Ergonomi merupakan bidang ilmu tentang teori dan aplikasi yang bertitik

tolak kepada usaha menciptakan keserasian antara pekerja dengan kondisi

kerjanya. Tujuan ergonomi adalah mempelajari interaksi antara manusia dengan

elemen-elemen lainnya dalam sistem untuk mengoptimalkan kesejahteraan

manusia dan penampilan seluruh sistem (Caple, 2009).

Definisi menurut International Ergonomics Association (IEA) yang sudah

disepakati bersama IEA council (IEA, 2000) adalah disiplin ilmu yang

mempelajari interaksi antara manusia dengan berbagai elemen dalam sebuah

sistem kerja atau profesi dengan mempertimbangkan berbagai teori dasar, data,

dan metode dalam upaya mengoptimalkan peran manusia dalam satu kesatuan

sistem. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ergonomi menempatkan

manusia sebagai pertimbangan utama dalam mendesain suatu sistem kerja,

termasuk diantaranya adalah sistem manajemen sumber daya manusia (MSDM)

(Sudiadjeng, 2012). Penerapan ergonomi dalam mengelola sumber daya manusia

adalah bertujuan untuk meningkatkan motivasi, kepuasan, dan produktivitas dan

kinerja tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan pekerja.

Dalam ergonomi, kinerja merupakan kinerja fungsi dari kemampuan dan

motivasi kerja. Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan mengacu kepada suatu

sistem yang terstruktur yang digunakan untuk mengukur dan menilai sifat-sifat

yang terkait dengan pekerjaan dan hasil kerja (Sudiadjeng, 2012).

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

42

Menurut IEA (2010), terdapat lima elemen dasar yang dapat dipergunakan

untuk menganalisis suatu pekerjaan yang mempengaruhi kinerja karyawan, antara

lain; faktor pekerja (worker), desain pekerjaan (job design), desain peralatan

(equipment design), desain tempat kerja (workplace design), organisasi kerja

(work organization). Kelima elemen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Pekerja (worker), karakteristik yang perlu diperhatikan antara lain; umur,

kesehatan, penurunan kemampuan, kapasitas fisik dan mental, pengalaman

dan ketrampilan serta pendidikan dan pelatihan.

2. Desain pekerjaan (job/task design), meliputi; job description, tuntutan

kerja, batas waktu penyelesaian pekerjaan, beban kerja, hubungan kerja

dengan pekerja yang lain, tanggung jawab terhadap pekerjaan, alat dan

perlengkapan.

3. Desain perlengkapan (equipment design), desain penempatan dan

penggunaan dari stasiun kerja, elektronik dan alat yang bergerak, mesin

dan alat serta alat pelindung.

4. Desain tempat kerja (workplace design), bangunan, area kerja dan ruang,

penerangan, kebisingan, suhu lingkungan dan penempatan lingkungan

kerja yang saling berinteraksi.

5. Organisasi kerja (work organization), hal ini mencakup pola kerja, tinggi

dan rendahnya beban kerja, jadwal kerja, konsultasi, ketidakefisienan dan

ketidakmudahan dari organisasi, istirahat kerja, kerjasama tim, budaya

tempat kerja, termasuk pengaruh ekonomi dan sosial.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

43

Untuk melakukan intervensi ergonomi, terdapat delapan aspek ergonomi

yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap intervensi berorientasi ergonomi

di dalam suatu industri (Manuaba, 2006), yaitu: energi (status nutrisi/gizi),

pemanfaatan tenaga otot, sikap tubuh, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi

sosial, kondisi informasi, interaksi manusia-mesin.

Intervensi berorientasi ergonomi dilakukan dengan pendekatan ergonomi

yang dilakukan secara Systemic, Holistic, Interdiciplanary dan Participatory

(SHIP) dan dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan (Manuaba,

2005a). Pendekatan SHIP dilakukan sejak perencanaan sampai tahap pelaksanaan

maupun dalam evaluasi sehingga keberhasilan maupun kegagalannya dapat

dicarikan solusinya secara bersama-sama (Sutjana, 1996; Adiputra, 1997).

Dengan pendekatan ini diharapkan ada rasa memiliki karena telah berusaha untuk

mencari solusi secara bersama-sama sehingga kegagalan maupun keberhasilan

dirasakan bersama-sama (Handari, 2014).

2.3 Pelayanan Internal Berorientasi Ergonomi

Dalam industri jasa, kualitas pelayanan mencakup kualitas pelayanan

internal dan pelayanan eksternal. Menurut Hallowel (1996) untuk dapat

meningkatkan kepuasan pelanggan, sebelumnya perusahaan harus dapat melayani

kebutuhan pelanggan internal, dalam hal ini adalah karyawan. Dalam pengelolaan

sumberdaya manusia, pelayanan internal terhadap karyawan merupakan starting

point menuju kinerja yang unggul. Sedangkan menurut Cai Meng Xia (2003),

kualitas pelayanan internal secara signifikan mempengaruhi kepuasan kerja

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

44

karyawan. Demikian juga menurut Tsai Jui-Ho (2004), menyatakan bahwa faktor

yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah kualitas pelayanan internal.

Mohammed dkk. (2012) menyebutkan bahwa pelayanan internal terhadap

karyawan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan Hesket (2000)

menyatakan bahwa keuntungan dan pertumbuhan suatu organisasi kali pertama

ditentukan oleh kualitas pelayanan internal (internal service quality) terhadap para

karyawannya (worker) dan disebutkan bahwa kepuasan karyawan berhubungan

dengan ketepatan dan kenyamanan desain pekerjaan (workplace design), jenis

pekerjaan (job design), proses seleksi dan pengembangan (employee selection and

development), pengakuan dan penghargaan (employee reward and recognition)

serta peralatan dan fasilitas untuk melakukan pelayanan (tools for serving

customer).

Menurut Heskett (2000), loyalitas karyawan yang diberikan berupa

keinginan untuk bekerja lebih lama (employee retention) dan selanjutnya akan

meningkatkan produktivitas kerjanya (employee productivity). Pada gilirannya,

loyalitas karyawan akan mampu meningkatkan kepuasan pelanggan eksternal

perusahaan. Hal ini akan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan

dan keuntungan perusahaan.

Konsep pelayanan internal yang disampaikan oleh Heskett (2000)

terintegrasi dalam lima elemen dasar yang disampaikan dalam IEA (2010),

demikian pula dengan yang disampaikan oleh Manuaba (2008). Karena pada

dasarnya ergonomi merupakan pendekatan yang berorientasi kepada manusia

(human factors).

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

45

Jadi pelayanan internal berorientasi ergonomi yang diberikan kepada

karyawan sebaiknya berpedoman pada kapasitas kerja, kebolehan dan

kemampuan karyawan dalam mengerjakan tugasnya dengan memperhatikan

faktor pekerja (human factors), desain pekerjaan (job design), desain peralatan

(equipment design), desain lingkungan kerja (work environment), dan organisasi

kerja (work organization) yang dilakukan dengan pendekatan SHIP (sistemik,

holistik, interdisipliner, dan partisipatori) sehingga tercapai kondisi dan

lingkungan kerja yang efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien (ENASE).

Pendekatan SHIP (SHIP approach) yang dimaksud dalam pelayanan internal

adalah pendekatan terpadu yang terdiri dari empat unsur, yaitu (1) Sistemik yang

berarti bahwa semua program dalam pelayanan internal yang diberikan kepada

karyawan memperhitungkan kaidah ergonomi. Setiap program pelayanan internal

diharapkan bermuara pada peningkatan quality of work life (QWL) yang dilihat

dari penurunan beban kerja, kelelahan, keluhan muskuloskeletal, stres kerja dan

peningkatan motivasi, kepuasan, dan produktivitas kerja karyawan. Oleh karena

itu semua unsur yang mempengaruhi kinerja karyawan harus dipahami sebagai

suatu sistem yaitu dengan cara menganalisis kondisi kerja melalui delapan aspek

ergonomi sehingga diperoleh sumber permasalahan yang dihadapi karyawan, (2)

Holistik berarti bahwa semua faktor yang terkait masalah yang ada harus

dipecahkan secara proaktif dan menyeluruh dari; (a) faktor pekerja (worker), (b)

desain pekerjaan (job/task design), (c) desain peralatan (equipment design), (d)

desain tempat kerja (workplace design), dan (e) organisasi kerja (work

organization), (3) Pendekatan interdisipliner yaitu menemukan solusi

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

46

permasalahan dalam departemen housekeeping dengan melibatkan para ahli dari

berbagai bidang ilmu, seperti ahli ergonomi, psikologi, manajemen sumber daya

manusia (personalia), teknik, dan ahli fisiologi, (4) partisipatori diawali dengan

mengorganisasi tim untuk mengidentifikasi masalah ergonomi di departemen

housekeeping dan selanjutnya melakukan pemecahan masalah secara holistik

dengan melibatkan semua pihak terkait sedini mungkin melalui proses yang

sistematis.

Partisipatori diartikan sebagai keterlibatan semua pihak yang

berkepentingan. Menurut Manuaba (2003) ergonomi partisipatori berawal dari

mengorganisasi tim untuk mengidentifikasi masalah masalah ergonomi di tempat

kerja dan selanjutnya melakukan pemecahan masalah secara holistik dengan

melibatkan semua pihak terkait sedini mungkin melalui proses yang sistematis.

Implementasi ergonomi partisipatori dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja

dan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi masalah beban kerja fisik

pekerja.

2.7.1 Ergonomi sebagai faktor utama (Human Factors)

Ergonomi sebagai sebuah disiplin ilmu menempatkan manusia sebagai

faktor utama (human factors) dalam mendesain suatu sistem kerja. Dari sudut

pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu ada

dalam kondisi seimbang sehingga tercapai produktivitas dan performansi atau

kinerja yang tinggi (Manuaba, 2000).

Ergonomi menurut international ergonomics Association (IEA) yang

sudah disepakati bersama oleh IEA (2000) adalah disiplin ilmu yang mempelajari

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

47

tentang interaksi antara manusia dengan berbagai elemen dalam sebuah sistem

kerja atau profesi dengan mempertimbangkan berbagai teori dasar, data, metode

dalam upaya mengoptimalkan peran manusia dalam satu kesatuan sistem. Dari

definisi tersebut ergonomi menempatkan manusia sebagai pertimbangan utama

dalam mendesain suatu sistem kerja sehingga dapat dipergunakan sebagai

pertimbangan dalam menentukan pelayanan internal yang diberikan kepada

karyawan.

Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan

pelayanan internal organisasi atau perusahaan terhadap karyawan adalah faktor

pekerja (worker). Dalam teori keseimbangan, Manuaba (2000) menyebutkan

bahwa karyawan akan mampu menghasilkan kinerja optimal apabila organisasi

atau perusahaan mempertimbangkan; (1) kemampuan kerja yang berhubungan

dengan karakteristik pribadi, kemampuan fisiologis, kemampuan psikologis, dan

kemampuan biomekanik, dan(2) tuntutan tugas atau pekerjaan yang tergantung

pada karakteristik tugas dan material, karakteristik organisasi dan karakteristik

lingkungan. Kinerja atau performansi kerja yang optimal akan tercapai apabila

terjadi keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang

dimiliki. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan utama dalam menentukan

kinerja yang diharapkan dapat dicapai secara optimal oleh karyawan.

Organisasi atau perusahaan yang tidak memperhatikan kemampuan,

kebolehan dan keterbatasan karyawan (worker) akan berisiko terhadap

menurunnya produktivitas perusahaan. Hal ini disebabkan karena terjadi overstres

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

48

pada karyawan berupa; kelelahan, cidera, kecelakaan, penyakit serta understres,

antara lain; kejenuhan, kebosanan, kelesuan pada karyawan.

2.7.2 Ergonomi dalam desain pekerjaan (job design)

Desain pekerjaan adalah suatu alat untuk memotivasi dan memberi

tantangan pada karyawan yang dapat menunjang tercapainya tujuan perusahaan

secara efektif dan efisien dan dapat merangsang karyawan untuk bekerja secara

produktif, mengurangi timbulnya rasa bosan dan dapat meningkatkan kepuasan

kerja,desain pekerjaan terkadang digunakan untuk menghadapi stres kerja yang

dihadapi karyawan (Sulipan, 2000).

Dalam suatu organisasi, ergonomi berperan sebagai desain pekerjaan

dalam aktivitas suatu organisasi, misalnya: penentuan jumlah jam istirahat,

pemilihan jadwal pergantian waktu kerja, dan meningkatkan variasi pekerjaan

(Nurmianto, 2008). Inti dari pendekatan ergonomi pada job design adalah

mencapai keharmonisan antara persepsi, kognisi dan kemampuan fisik, metode

kerja, peralatan, mesin dan bantuan kerja lainnya dan wilayah atau lingkungan

kerja dilaksanakan.

Handoko (2011) menyatakan desain pekerjaan (job design) adalah fungsi

penetapan kegiatan-kegiatan kerja seorang individu atau kelompok karyawan

secara organisasional.Desain pekerjaan yang ideal selalu memperhatikan :

1. Tanggung jawab

Serentetan pernyataan tertulis tentang tugas yang akan dikerjakan oleh

pegawai atau pekerja yang berisi informasi tentang tanggung jawab yang diemban

oleh pegawai atau pekerja yang bersangkutan.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

49

2. Urutan kegiatan atau prosedur kerja (SOP)

Informasi yang rinci tentang urutan kegiatan atau prosedur kerja, yang

dilengkapi dengan informasi yang lebih rinci seperti langkah-langkah teknis,

alternatif jalan keluar yang mungkin timbul dalam pelaksanaan pekerjaan.

3. Standar kualitas pekerjaan

Merupakan derajat ukur kerja, dengan derajat inilah suatu kinerja dinilai

baik atau buruk, sesuai dengan prosedur atau tidak, sah atau melanggar aturan,

layak jual atau tidak. Standar kualitas kerja biasanya mengacu pada produk akhir

suatu pekerjaan, tetapi kadangkala standar kualitas ini dibuat untuk menilai suatu

proses pekerjaan

Desain pekerjaan mutlak dimiliki oleh setiap perusahaan karena dalam

desain pekerjaan yang dilakukan adalah merakit sejumlah tugas menjadi sebuah

pekerjaan agar pekerjaan yang dilakukan menjadi terarah dan jelas. Menurut

(Sunarto, 2005) desain pekerjaan memiliki tujuan agar:

1. Efisiensi operasional, produktifitas dan kualitas pelayanan menjadi

optimal.

2. Fleksibilitas dan kemampuan melaksanakan proses kerja secara horizontal

dan hirarki.

3. Minat, tantangan, dan prestasi menjadi optimal

4. Tanggung jawab tim ditetapkan sedemikian rupa, sehingga bisa

meningkatkan kerja sama dan efektifitas tim.

5. Integrasi kebutuhan individu karyawan dengan kebutuhan organisasi.

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

50

2.7.3 Ergonomi dalam desain perlengkapan (equipment design)

IEA (2010) menyebutkan beberapa komponen yang perlu diperhatikan

dalam desain perlengkapan (equipment design), antara lain: desain penempatan

dan penggunaan dari stasiun kerja (work station), elektronik dan alat yang

bergerak, mesin dan alat serta alat pelindung.

Desain harus selalu berkompromi antara kebutuhan biologis pekerja

dengan kebutuhan stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi alat dalam

stasiun kerja. Stasiun kerja adalah suatu area lingkungan kerja fisik dimana

seluruh komponen saling berinteraksi untuk melaksanakan pekerjaan (Grandjean,

2000).

Masalah utama dalam stasiun kerja adalah pengaturan komponen-

komponen yang terlibat dalam kegiatanyaitu menyangkut material, mesin atau

peralatan kerja, fasilitas penunjang, lingkungan fisik kerja dan pekerja. Dengan

pendekatan ergonomi diharapkan sistem bisa dirancang untuk melaksanakan

kegiatan kerja tertentu dengan didukung oleh keserasian hubungan antara pekerja

dengan sistem kerja yang dikendalikan.

Dalam perancangan stasiun kerja, aspek yang harus diperhatikan antara

lain:

1. Menyangkut perbaikan-perbaikan metode atau cara kerja dengan

menekankan pada prinsip-prinsip ekonomi gerakan dengan tujuan pokok

adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

2. Kebutuhan akan data yang menyangkutdimensi tubuh manusia (data

antropometri) yang akan menunjang didalam proses perancangan alat

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

51

dengan tujuan untuk mencari keserasian hubungan antara alat dengan

manusia yang memakainya.

3. Pengaturan tata letak fasilitas kerja.

4. Pengukuran energi.

5. Keselamatan dan kesehatan kerja.

6. Perilaku manusia, pengukuran waktu dan maintainability.

Mengacu pada delapan aspek ergonomi yang disampaikan Manuaba

(2006), maka hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam desain perlengkapan

adalah pemanfaatan tenaga otot, interaksi manusia mesin, dan sikap kerja.

1. Pemanfaatan tenaga otot

Untuk melakukan pekerjaan tidak boleh ada paksaan di luar kemampuan,

sebaiknya sikap kerja serta alat yang digunakan mempertimbangkan unsur

ergonomi sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat terlaksana secara efektif,

aman, nyaman, sehat, dan efisien (ENASE).

2. Interaksi manusia mesin

Menurut Kroemer dan Grandjean (2000), interaksi karyawan dengan

peralatan yang digunakan saat bekerja harus serasi sehingga hasilnya dapat

optimal. Berdasarkan prinsip tersebut, maka setiap interaksi alat dan karyawan

harus diperhitungkan secara detail. Desain alat hendaknya berdasarkan

perhitungan antropometrik karyawan dengan persentil 5, 50 dan 95.

Alat kerja yang digunakan oleh pramugraha, antara lain troli, sapu, alat

pel, sikat, dust panserta menggunakan alat pelindung diri (APD) juga harus

memperhatikan kenyamanan kerja karyawan. Pramugraha hotel dalam

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

52

pekerjaannya dianjurkan menggunakan APD berupa masker dan sarung

tangan (handgloves).Ketidaksesuaian alat-manusia menimbulkan sikap paksa

serta penggunaan otot yang berlebihan dapat meningkatkan kelelahan, keluhan

otot, dan stres karyawan.

3. Sikap tubuh

Sikap tubuh tidak alamiah dapat menjadi beban kerja tambahan bagi

karyawan. Sikap tubuh tidak alamiah akan menyebabkan strain (reaksi)

muskuloskeletal dan menimbulkan dampak buruk bagi karyawan. Sikap tubuh

tidak alamiah, tampak pada pekerjaan dengan sikap tubuh mendorong,

membungkuk, berjongkok dan berdiri dalam jangka waktu lama yang

dilakukan oleh pramugraha.

2.7.4 Ergonomi dalam desain lingkungan kerja (workplace design)

Lingkungan kerja sangat menentukan produktivitas kerja manusia.

Lingkungan yang tidak kondusif untuk bekerja akan memberikan beban tambahan

bagi tubuh, padahal tubuh sedang melaksanakan beban utama yaitu tugas yang

sedang dilakukan. Lingkungan dingin, kelembaban relatif, penipisan kadar

oksigen, adanya zat pencemar dalam udara, semuanya akan mempengaruhi

penampilan kerja manusia. Penerangan tempat kerja, adanya kebisingan,

lingkungan kimia, biologi dan lingkungan sosial di tempat kerja berpengaruh

terhadap prestasi dan produktivitas kerja (Adiputra, 2008).

Mikroklimat di tempat kerja penting untuk diperhatikan. Mikroklimat

ditentukan oleh temperature ruangan, kelembaban, kebisingan, intensitas cahaya,

getaran, substansi kimia, dan bau-bauan (Dul dan Weerdmeester, 2003).

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

53

Menurut Manuaba (2004a), mikroklimat di ruang kerja ditentukan oleh

suhu udara, suhu permukaan, kelembaban udara, gerakan udara, dan kualitas

udara. Suhu yang dirasakan seseorang merupakan rerata dari suhu udara dan suhu

permukaan. Untuk rasa nyaman, perbedaan suhu udara dan suhu permukaan

hendaknya sekecil mungkin. Oleh karena itu diambil batasan agar perbedaan

rerata suhu permukaan hendaknya tidak boleh lebih dari 2—3°C di atas atau di

bawah suhu udara, sedangkan perbedaan suhu antara di dalam dan di luar

ruangan, tidak lebih dari 4°C. Jika melebihi batas tersebut, hendaknya dibuat

ruang antara untuk proses adaptasi terhadap perbedaan suhu tersebut.

Suhu udara di satu ruangan, hendaknya antara 20—24°C pada musim

dingin dan antara 23—26°C di musim panas (Helander & Shuan, 2005),

sedangkan kelembaban relative di suatu ruangan tidak boleh kurang dari 30% atau

antara 4—60% di musim panas, merupakan kelembaban relative yang member

suasana nyaman di ruangan tersebut. Suhu nyaman untuk daerah tropis adalah

antara 22—28°C dengan kelembaban relatif antara 70—80% (Manuaba, 2004b).

Gerakan udara di suatu ruangan memberi pengaruh kepada suhu yang

dirasakan seseorang. Agar gerakan udara tersebut tidak menimbulkan dampak

yang tidak diinginkan, dianjurkan agar gerakan udara di dalam ruangan tidak lebih

dari 0,2m/detik (Manuaba, 2004b).

Kroemer dan Grandjean (2000) menyatakan bahwa temperatur optimal

untuk orang bekerja berkisar 24—26°C. Sementara menurut Dul dan

Weerdmeester (2006) disebutkan bahwa kelembaban udara berkisar 30—70% dan

gerakan udara kurang dari 0,1m/detik.

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

54

Ruang kerja akan terasa panas apabila mikroklimat di ruang kerja tidak

diperhatikan sehingga akibatnya akan timbul respon fisiologis seperti; rasa lelah,

yang diikuti dengan hilangnya efisiensi kerja mental dan fisik meningkat, denyut

jantung meningkat, tekanan darah meningkat, aliran darah ke kulit juga

meningkat, dan produksi keringat yang meningkat (Tarwaka, 2008).

Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat

mengganggu pendengaran. Tingkat kebisingan diukur dengan dengan

menggunakan Sound Level Meter. Nilai ambang batas kebisingan yaitu 45 dBA

untuk industri dengan 8 jam kerja.

Tingkat kebisingan di hotel umumnya rendah. Sumber kebisingan di

kamar hotel hanya dari suara kaki pelanggan hotel yang sekali-sekali lewat di

sepanjang lorong hotel. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan, hasil

pengukuran tingkat kebisingan adalah sebesar 35 dBA.

Intensitas cahaya harus sesuai dengan jenis pekerjaan. Intensitas cahaya

yang memadai antara lain: a) jumlah atau intensitas cahaya yang diperlukan

hendaknya disesuaikan dengan jenis pekerjaan, daya lihat seseorang, dan

lingkungannya; b) perlu diupayakan penampilan penglihatan sebesar 100%; c) di

dalam merencanakan intensitas cahaya yang memadai, di samping efisiensi

penglihatan, faktor keamanan, kenyamanan dan keselamatan perlu

diperhitungkan; d) intensitas cahaya yang baik adalah minimal 200 lux, atau

disesuaikan dengan jenis aktivitas di tempat tersebut; dan e) intensitas cahaya

harus diutamakan pada pekerjaan pokok, kemudian pada latar belakangnya dan

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

55

terakhir pada lingkungannya seperti dinding, atap, lantai, dan lain-lain (Manuaba,

2004a).

Sedarmayanti (2011) menyatakan bahwa lingkungan kerja terbagi menjadi

2 (dua), yakni: (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik.

1. Lingkungan kerja fisik lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan

berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat

mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :

a. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat

kerja, kursi, meja dan sebagainya)

b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut

lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya:

temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran

mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.

2. Lingkungan Kerja Non Fisik

Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang

berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun

hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.

Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang

tidak bisa diabaikan. (Sedarmayanti, 2011).

Lingkungan kerja juga dapat menjadi sumber kelelahan dan stres bagi

karyawan hotel. Kozak, 2006; Kiliç& Selvi, 2009 menyebutkan terdapat 4 faktor

di lingkungan kerja yang berisiko terhadap kesehatan termasuk peningkatan stres

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

56

dan kelelahan kerja karyawan, antara lain; 1) faktor fisik (suhu, kelembaban,

getaran, kebisingan, pencahayaan dan radiasi), 2) faktor kimia (bahan kimia dalam

bentuk gas, padat, dan cair yang mudah meledak dan terbakar), 3) faktor biologi

(penyakit yang timbul dari mikroba), 4) faktor psikologis (hubungan kerja/team

work).

Paparan bahan kimia berupa pembersih lantai, pembersih furniture

berpengaruh terhadap kesehatan pramugraha. Sebanyak 72% pramugraha

mengalami iritasi pada kulit dan mata yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia

yang dipergunakan saat membersihkan kamar (Krause, 2005). Kondisi demikian

perlu diantisipasi dengan memberikan informasi dan penjelasan terhadap

karyawan mengenai bahaya lingkungan kerja terhadap kesehatan. Selain itu,

karyawan perlu selalu diingatkan untuk menggunakan alat pelindung diri (APD)

yang selama ini sering diabaikan oleh karyawan.

Selain kondisi lingkungan fisik, kondisi lingkungan dari faktor psikologis

yaitu hubungan kerja antara karyawan yang satu dengan yang lainnya juga sangat

penting dalam meningkatkan kinerja karyawan hotel sehingga dibutuhkan

kerjasama tim dan kemampuan komunikasi yang baik agar tercapai kondisi kerja

yang optimal.

Menurut Cohen dan Billey, 1999; Manzoor, 2011, kerjasama tim adalah

kumpulan individu yang saling tergantung dalam tugas dan berbagi tanggung

jawab dalam hasil pekerjaan. Dalam sebuah tim, memungkinkan orang untuk

bekerjasama, keluar dari konflik antar individu, meningkatkan ketrampilan dan

dapat memberikan umpan balik yang membangun (Jones dkk., 2007). Anggota

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

57

tim akan meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan saat bekerja

dalam tim (Froebel & Marchington, 2005). Conti & Kleiner (2003) menyatakan

bahwa tim memberikan partisipasi, tantangan dan prestasi yang lebih besar.

Melalui tim, organisasi secara tidak langsung telah mempertahankan karyawan

terbaik yang dimiliki organisasi

Salah satu cara untuk membentuk tim yang efektif dan sukses adalah

dengan cara team building (membangun tim). Team building adalah suatu upaya

yang dibuat dengan sadar untuk meningkatkan kinerja kelompok dalam suatu

perusahaan atau organisasi. Apabila team building dilakukan secara efektif dan

berkesinambungan akan memberi perubahan efektivitas kerja dan keberhasilan

kerja yang jauh lebih baik daripada sebelumnya (Totong, 2011).

2.3.5 Ergonomi dalam organisasi kerja (work organization).

Tujuan utama dari suatu organisasi kerja adalah menciptakan kondisi kerja

melalui pengaturan sistem kerja sehingga tercipta kondisi kerja yang kondusif,

semua pekerja menempati posisi dan fungsinya sesuai dengan potensi dan

keterbatasannnya (Sudiadjeng, 2012).

Organisasi kerja (work organization) mencakup pola kerja, tinggi dan

rendahnya beban kerja, jadwal kerja, konsultasi, ketidakefisienan dan

ketidakmudahan dari organisasi, istirahat kerja, kerjasama tim, budaya tempat

kerja, termasuk pengaruh ekonomi dan sosial (IEA, 2010).

Mengacu pada 8 (delapan) aspek ergonomi maka organisasi kerja dapat

mencakup: asupan nutrisi/energi, kondisi waktu, kondisi informasi, pengaturan

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

58

istirahat, kondisi sosial budaya melalui program penghargaan dan sangsi (reward

and punishment program).

a. Asupan nutrisi/energi

Seorang pekerja akan menyelesaikan pekerjaan dengan baik, apabila

memiliki tenaga atau energi yang cukup dan sangat tergantung pada kualitas gizi

yang dikonsumsinya. Dalam hal ini gizi kerja ditujukan untuk kesehatan dan daya

kerja setinggi-tingginya. Kebutuhan gizi dan kalori seseorang ditentukan oleh

jenis kelamin, umur, indeks massa tubuh (IMT) dan jenis kegiatan (Suma’mur,

2009; Roedjito, 1998; dan Almatsier, 2009).

Berat badan dan tinggi subjek akan menentukan angka indeks massa tubuh

(IMT) subjek. Penentuan berat badan ideal dapat ditentukan dengan menggunakan

Metode Brocca dengan menghitung berat badan ideal = (Tinggi badan - 100) -

10% (Tinggi badan - 100). Batas ambang yang diperbolehkan adalah ± 10% dari

berat badan ideal. Bila <90% dikatakan kekurusan, >10% sudah kegemukan dan

bila >20% sudah terjadi obesitas (Thomas dkk, 2008).

Status gizi hendaknya dalam batas normal menurut indeks massa tubuh

(IMT). IMT menunjukkan keseimbangan antara asupan gizi dan penggunanya.

IMT di atas dan di bawah normal mempunyai risiko lebih besar terhadap berbagai

keluhan dan penyakit, seperti cepat lelah atau kebugaran fisik menurun, dan

gangguan berbagai penyakit (Adiatmika, 2007).

Penggunaan IMT dapat melengkapi identifikasi kondisi subjek selain

dengan pemeriksaan medis. IMT merupakan salah satu factor untuk

memprediksikan timbulnya kelainan atau penyakit dalam tubuh. NIOSH (2007)

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

59

menyebutkan bahwa IMT mempunyai korelasi positif terhadap risiko timbulnya

keluhan muskuloskeletal. Seseorang dengan IMT > 29 (obesity) memiliki risiko

2,5kali terkena keluhan sistem muskuloskeletal dibandingkan dengan yang

memiliki IMT < 20. Secara umum kategori IMT dan risiko dan risiko gangguan

kesehatan diklasifikasikan seperti dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.5

Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh

(IMT)

Kategori Risiko

< 18,5 Berat badan kurang Meningkat

18,5 – 24,9 Berat badan normal Sangat kecil

25,0 – 29,9 Berisiko menjadi obes Meningkat

30,0 – 34,9 Obes I Tinggi

35,0 – 39,9 Obes II Sangat tinggi

≥ 40,0 Obes III Ekstrim

Sumber : Health Canada, 2012

b. Kondisi waktu

Di Indonesia waktu bagi pekerja adalah 6 hari kerja selama 8 jam dengan

1 kali makan siang dan 2 kali istirahat pendek atau 5 hari kerja selama 9 jam

dengan 1 kali makan siang dan 2 kali istirahat pendek. Waktu kerja yang optimal

sebenarnya 7 jam/hari dan setiap empat jam kerja perlu diatur satu jam istirahat

(tidak termasuk jam kerja).

Dalam peraturan mengenai jam kerja, hotel ini mempekerjakan

karyawannya selama 6 hari kerja dengan jam kerja sehari selama 8 jam termasuk

1 jam istirahat. Waktu istirahat ini harus dimanfaatkan oleh karyawan dengan baik

sehingga tidak menimbulkan kelelahan yang berlebihan.

Dalam tugasnya karyawan dibagi berdasarkan shift kerja. Pekerjaan

menggunakan sistem shift sudah tidak asing lagi di indutri perhotelan. Hotel

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

60

banyak menerapkan sistem shift kerja (2 atau 3 hari sekali) dengan tujuan

mengoptimalkan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.

Shift kerja adalah periode waktu dimana suatu kelompok pekerja

dijadwalkan bekerja pada tempat kerja tertentu. Disamping memiliki segi positif

yaitu memaksimalkan sumberdaya yang ada, shift kerja juga memiliki risiko yang

mempengaruhi pekerja. Menurut Tayyari & Smith (1997) mengemukakan bahwa

efek shift kerja yang dapat dirasakan antara lain :

1. Aspek Fisiologis

a. Kualitas tidur : tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan

dan biasanya diperlukan waktu istirahat untuk menebus kurang tidur

selama kerja malam.

b. Menurunnya kapasitas kerja fisik kerja akibat timbulnya perasaan

mengantuk dan lelah.

c. Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.

2. Efek psikososial

Efek psikososial menunjukkan masalah lebih besar dari efek fisiologis,

antara lain adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang,

kecil kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan menggangu aktivitas

kelompok dalam masyarakat.

3. Efek kinerja

Kinerja menurun selama kerja shift malam yang diakibatkan oleh efek

fisiologis dan psikososial. Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

61

kemampuan mental menurun yang berpengaruh terhadap perilaku

kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kendali dan pemantauan.

4. Efek terhadap kesehatan

Shift kerja menyebabkan gangguan gastrointesnal, masalah ini cenderung

terjadi pada usia 40—50 tahun. Shift kerja juga dapat menjadi masalah

terhadap keseimbangan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes.

5. Efek terhadap keselamatan kerja

Survei pengaruh shift kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang

dilakukan Tayyari dan Smith (1997), melaporkan bahwa frekuensi

kecelakaan paling tinggi terjadi pada akhir rotasi shift kerja (malam) dengan

rata-rata jumlah kecelakaan 0,69% per tenaga kerja.

Banyak penelitian model shift kerja dilakukan untuk mengurangi pengaruh

negatif dari shift kerja tersebut. International Labour Organization (ILO) (2003)

membedakan 3 tipe shift kerja yaitu diskontinu, semikontinu dan kontinu. Shift

juga dibagi menjadi 2 kelompok yaitu shift permanen/tetap dan dengan rotasi.

Dua model shift konvensional yang umum dilakukan adalah:

1. Continental Rota: 2—2—3(2)/2—3—2(2)/3—2—2(3)

2. Metropolitan Rota: 2—2—2(2)

Rotasi yang digunakan pada rota diatas menunjukkan: pagi—siang—malam

(libur).

Pembuatan jadwal shift kerja tidak bisa mengabaikan aspek-aspek yang

mempengaruhinya. Grandjean (2000) mengemukakan teori Schwartzenau yang

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

62

menyebutkan ada beberapa saran yang harus diperhatikan dalam penyusunan

jadwal shift kerja, yaitu:

1. Pekerja shift malam sebaiknya berusia antara 25—50 tahun.

2. Pekerja yang cenderung punya penyakit di usus dan perut, serta yang

punya emosi tidak stabil disarankan untuk tidak ditempatkan di shift

malam.

3. Pekerja yang tinggal jauh dari tempat kerja atau berada di lingkungan

ramai tidak dapat bekerja malam.

4. Sistem shift 3 rotasi biasanya berganti pada pukul 06.00 – 14.00 –

22.00, lebih baik diganti pada pukul 07.00 – 15.00 – 23.00 atau 08.00

– 16.00 – 24.00.

5. Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan harus

dihindarkan bekerja pada malam hari secara terus menerus.

6. Rotasi yang baik adalah 2—2—2 (rota metropolitan) dan 2—2—3

(rota continental).

7. Kerja malam 3 (tiga) hari berturut-turut harus segera diikuti istirahat

paling sedikit 24 jam.

8. Perencanaan shift meliputi akhir pekan dengan 2 (dua) hari libur

berurutan.

9. Tiap shift terdiri dari satu kali istirahat yang cukup untuk makan.

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

63

c. Kondisi Informasi

Kondisi informasi dapat mempengaruhi mental, emosi dan kepuasan kerja

serta produktivitas (Dillon, 2003). Oleh sebab itu dibutuhkan penyampaian

informasi yang jelas dan dapat dipahami oleh karyawan.

Penyampaian informasi di hotel menggunakan papan pengumuman yang

dipasang di masing-masing departemen dan papan pengumuman yang dipasang di

kantin yang sifatnya pengumuman untuk seluruh karyawan. Penyampaian

informasi juga dapat disampaikan langsung dari supervisor atau kepala

departemen (department head) kepada karyawan yang disampaikan pada saat

morning briefing. Sedangkan untuk memonitor serta melakukan komunikasi

dengan pramugraha pada saat mengerjakan kamar digunakan sarana telepon yang

terpasang di masing-masing kamar.

d. Kondisi sosial budaya berupa penghargaan dan sangsi (reward and

punishment)

Mendapatkan penghargaan adalah suatu hal yang banyak diharapkan

orang. Penghargaan tidaklah harus berbentuk uang, tetapi harus berdasarkan tolak

ukur seperti target yang dapat memacu produktifitas para karyawan. Program

penghargaan dan pengakuan tidak perlu mahal atau mengambil banyak waktu dari

hari kerja. Pemberian penghargaan dan sangsi seharusnya banyak dimanfaatkan

oleh pimpinan tempat kerja untuk membina dan membangkitkan motivasi kerja,

seperti sistem penghargaan yang berhasil dan hukuman bagi yang salah dan lalai

bekerja (Adiputra, 2008).

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

64

Setiap karyawan ingin merasa dihargai di tempat kerja. Sebuah hadiah

berupa pengakuan formal yang dapat menjadi cara yang untuk memastikan bahwa

karyawan diakui atas kontribusi mereka di tempat kerja. Banyak hotel

menggunakan program penghargaan untuk meningkatkan semangat kerja. Selain

itu program ini dapat meningkatkan retensi, loyalitas dan performa karyawan.

Dalam memberikan penghargaan kepada karyawan dibutuhkan pendekatan

dalam menerapkan program ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

dengan pendekatan ergonomi partisipatori.

2.4 Tahapan Intervensi Ergonomi dalam Pelayanan Internal

Wells (2003) menyatakan untuk memulai program ergonomi diperlukan

beberapa persiapan yaitu membentuk komitmen dan dukungan dari manajemen,

membentuk tim ergonomi dan memberikan pelatihan dasar tentang ergonomi.

Lebih lanjut Wells (2003) untuk melaksanakan program ergonomi di sebuah

industri diperlukan 6 tahapan yaitu:

1. Mengidentifikasi pekerjaan yang akan dilakukan perbaikan

Mengidentifikasi permasalahan pelayanan internal dilakukan dengan

berpedoman pada penerapan delapan aspek ergonomi (ergonomics

assessment) antara lain: (1) Penggunaan otot dalam bekerja, (2) Pengaturan

makanan saat bekerja, (3) Sikap kerja saat melaksanakan pekerjaan, (4)

Pengaturan waktu kerja dan istirahat, (5) Pengaturan sistem informasi, (6)

Kondisi sosial budaya karyawan, (7) Kondisi lingkungan karyawan dan

perusahaan, (8) Penggunaan alat-alat kerja.

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja - UNUD

65

2. Melakukan evaluasi ergonomi dan faktor-faktor risiko bahaya dan

menentukan prioritas pekerjaan yang akan dilakukan perbaikan.

Menentukan urgensi dan solusi permasalahan dilakukan dengan cara: 1)

melaksanakan proses partisipatori yang melibatkan tenaga ahli, unsur

pimpinan, dan karyawan di departemen housekeeping, 2) melakukan kegiatan

focus group discussion (FGD) untuk menentukan masalah yang dianggap

urgent untuk dilakukan perbaikan.

3. Menentukan solusi pemecahan masalah ergonomi

4. Melakukan uji coba solusi yang telah dirancang

5. Mengevaluasi hasil penerapan solusi yang telah dirancang

6. Mengimplementasikan solusi

Melakukan implementasi terhadap solusi permasalahan yang telah

ditentukan yaitu dengan :

1) Pelatihan atau lokakarya (workshop) mengenai kondisi kerja ergonomis.

2) Menerapkan pelayanan internal dalam aspek tugas (task), organisasi

(organization) dan lingkungan (environment) yang mempertimbangkan

(1) faktor pekerja (worker), (2) desain pekerjaan (job/task design), (3)

desain peralatan (equipment design), (4) desain tempat kerja (workplace

design), dan (5) organisasi kerja (work organization) dengan penerapan

teknologi tepat guna dan dilaksanakan secara sistemik, holistik,

interdisipliner, dan partisipatori.