BAB II BAYU -...

32
8 BAB II TINJAUAN TEORI A. Kepatuhan Perawatan Diabetes Mellitus 1. Perilaku (Practice) Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dimana perilaku (Notoatmodjo, 2003), meliputi : a. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil yang merupakan tingkat pertama misalnya penderita Diabetes Mellitus dapat mengetahui tentang tanda dan gelaja Diabetes Mellitus. b. Respon terpimpin (guided respons), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan benar dan sesuai dengan contoh misalnya penderita Diabetes Mellitus dapat melakukan cara perawatan Diabetes Mellitus sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan. c. Mekanisme (mehanisme), yaitu melakukan sesuatu yang menjadi kebiasaan pasien Diabetes Mellitus misalnya mengetahui cara mencegah hipoglikemia dan melakukan aktifitas olah raga secara rutin setiap hari. d. Adaptasi (adaptation), yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik benar misalnya penderita Diabetes Mellitus

Transcript of BAB II BAYU -...

8

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Kepatuhan Perawatan Diabetes Mellitus

1. Perilaku (Practice)

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik

dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar.

Dimana perilaku (Notoatmodjo, 2003), meliputi :

a. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek

sehubungan dengan tindakan yang diambil yang merupakan tingkat

pertama misalnya penderita Diabetes Mellitus dapat mengetahui

tentang tanda dan gelaja Diabetes Mellitus.

b. Respon terpimpin (guided respons), yaitu dapat melakukan sesuatu

sesuai dengan urutan benar dan sesuai dengan contoh misalnya

penderita Diabetes Mellitus dapat melakukan cara perawatan Diabetes

Mellitus sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan.

c. Mekanisme (mehanisme), yaitu melakukan sesuatu yang menjadi

kebiasaan pasien Diabetes Mellitus misalnya mengetahui cara

mencegah hipoglikemia dan melakukan aktifitas olah raga secara rutin

setiap hari.

d. Adaptasi (adaptation), yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik benar misalnya penderita Diabetes Mellitus

9

dapat melakukan perawatan Diabetes Mellitus dengan benar misalnya

dari kepatuhan obat, kontrol dan diit Diabetes Mellitus.

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk

dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari perubahan berbagai faktor,

baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku

manusia dapat terlihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial.

Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam

mempengaruhi perilaku manusia (Notoatmodjo, 2003).

2. Perilaku Kesehatan

Perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau ditentukan oleh

faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subyek. Menurut Lawrence

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan terbagi tiga

teori penyebab masalah kesehatan yang meliputi :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors) yaitu faktor-faktor

yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seesorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan,

nilai-nilai, tradisi. Seseorang dengan pengetahuan rendah akan

berdampak pada ketaatan yang rendah, dimana seseorang yang tidak

teridentifikasi mempunyai gejala dan mereka berfikir bahwa mereka

sudah merasa sembuh dan sehat. Seseorang dengan pengetahuan yang

cukup tentang kepatuhan dalam perawatan Diabetes Mellitus maka

secara langsung akan bersikap positif dan menuruti aturan pengobatan,

dan munculnya keyakinan untuk sembuh, tetapi masih ada yang

10

percaya dengan pengobatan alternatif bukan medis yang dipengaruhi

oleh kebiasaan masyarakat yang sudah membudaya.

b. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang

memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya

faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk

terjadinya perilaku kesehatan, serta jarak sarana pelayanan kesehatan.

Pemanfaatan sarana kesehatan biasanya terkendala oleh lingkungan

yang jauh yang memberikan kontribusi rendahnya kepatuhan terutama

dalam perawatan Diabetes Mellitus.

c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang

mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yaitu :

1) Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas sangat membantu, dimana dengan adanya

dukungan petugas berpengaruh besar artinya bagi seseorang dalam

ketaatan melakukan pearwatan Diabetes Mellitus, sebab petugas

adalah yang merawat dan sering berinteraksi, sehingga

pemahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik,

dengan sering berinteraksi akan sangat mempengaruhi rasa

percaya dan menerima kehadiran petugas bagi dirinya, serta

motivasi atau dukungan yang diberikan petugas sangat besar

artinya terhadap ketaatan pesien untuk selalu mengontrol kadar

gula darahnya secara rutin (Friedman, 1999).

11

2) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluarga

merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan sebagai penerima

asuhan keperawatan. Oleh karena itu keluarga sangat berperan

dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan oleh anggota

keluarga yang sakit, apabila dalam keluarga tersebut salah satu

anggota keluarganya ada yang sedang mengalami masalah

kesehatan maka sistem dalam keluarga akan terpengaruhi.

(Friedman, 1999).

3. Kepatuhan perawatan Diabetes Mellitus

Kepatuhan adalah suatu perilaku dalam menepati anjuran sesuatu

terhadap kebiasaan sehari-harinya dan dapat dinilai dengan score

penelitian. Suatu kepatuhan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana

pendidikan merupakan suatu dasar utama dalam keberhasilan pencegahan

atau pengobatan. Tujuan pendidikan yaitu meningkatkan kepatuhan dalam

perawatan Diabetes Mellitus dalam meningkatkan status kesehatan

khususnya pada lansia yang mengalami penyakit Diabetes Mellitus

(Askandar, 2002).

Kepatuhan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati

semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kepatuhan yang

baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap

tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja,

12

semangat kerja, dan terwujudnya tujuan masyarakat (Hasibuan, 2003).

Kepatuhan perawatan Diabetes Mellitus dalam hal ini penderita harus

melaksanakan program perawatan Diabetes Mellitus seperti melakukan

hidup sehat, melakukan pengobatan secara rutin, aturan pengobatan yang

ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil

penyelidikan (Askandar, 2002).

Pola hidup sehat pada penderita Diabetes Mellitus perlu dijaga

dalam hal ini meliputi (a) perencanaan makan dengan menjaga asupan

makan yang seimbang yaitu diet Diabetes Mellitus untuk mempertahankan

kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan

kronik dengan memperhatikan 3 J yaitu jumlah kalori yang dibutuhkan,

jadwal makan yang harus diikuti dan jenis makanan yang harus

diperhatikan (Moehyi, 1995), mengkonsumsi aneka ragam makanan agar

terpenuhi kecukupan sumber zat tenaga (beras, jagung, tepung), zat

pembangun (kacang-kacangan, tempe, tah)u dan zat pengatur (sayuran dan

buah-buahan). Selain itu membatasi konsumsi lemak, minyak dan santan

yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit

jantung koroner, (b) bagi penderita Diabetes Mellitus untuk selalu rutin

mengontrol gula darah normal maupun sewaktu dan melakukan

pengobatan yaitu pemakaian obat-obat meliputi obat hipoglikemi oral

(OHO) dan insulin. Tablet atau suntikan anti Diabetes Mellitus diberikan

dimana diit tidak boleh dilupakan dan pengobatan penyulit lain yang

menyertai atau suntikan insulin (Sugondo, 2002), (c) melakukan aktifitas

13

fisik secara teratur yaitu 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit

yang bersifat continues, rythmical, interval, progresive, endurance

training yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit

penyerta (Sogondo, 2002).

B. Dukungan Keluarga

1. Pengertian

Dukungan keluarga merupakan suatu strategi intervensi preventif

yang paling baik dalam membantu anggota keluarga mengakses dukungan

sosial yang belum digali untuk suatu strategi bantuan yang bertujuan

untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat. Dukungan

keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga

sebagai sesuatu yang dapat diakses untuk keluarga misalnya dukungan

bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang

yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan

bantuan jika diperlukan (Friedman, 1999).

Dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sebagai

koping keluarga, baik dukungan keluarga yang eksternal maupun internal.

Dukungan dari keluarga bertujuan untuk membagi beban, juga memberi

dukungan informasional dengan membuat (Friedman,1999).

Dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antar keluarga

dengan lingkungan sosialnya, ketiga dimensi interaksi dukungan keluarga

14

tersebut bersifat reproksitas (timbal balik atau sifat dan frekuensi

hubungan timbal balik), umpan balik (kualitas dan kualitas komunikasi)

dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam

hubungan sosial. Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi

sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarganya dan merupakan

pelaku aktif dalam memodifikasi dan mengadaptasi komunitas hubungan

personal untuk mencapai keadaan berubah (Friedman, 1999).

2. Jenis Dukungan Keluarga

Jenis dukungan keluarga terdiri dari empat jenis atau dimensi

dukungan menurut Friedman (1999) antara lain :

a. Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk

istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi

yang meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap

anggota keluarga yang menderita Diabetes Mellitus.

b. Dukungan penghargaan (penilaian)

Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi pemecahan dan sebagai sumber dan

validator identitas anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat

(penghargaan) positif untuk penderita hipertensi, dorongan maju, atau

persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan

positif penderita Diabetes Mellitus dengan yang lain seperti misalnya

orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya.

15

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan

konkrit yang mencakup bantuan seperti dalam bentuk uang, peralatan,

waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan

waktu mengalami stres.

d. Dukungan informatif

Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator

(penyebar) informasi tentang dunia yang mencakup dengan memberi

nasehat, petunjuk-petunjuk, sarana-sarana atau umpan balik. Bentuk

dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat,

pemberian nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari

dan pengobatan. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan

individu yang mendapat perhatian, disenangi, dihargai dam termasuk

bagian dari masyarakat (Friedman, 2003).

C. Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diabetes Mellitus

Pengertian Diabetes Mellitus menurut WHO (1999) adalah keadaan

Hiperglikemi menahun yang akan mengenai seluruh sistem tubuh dan

merupakan hasil interaksi antara lingkungan dan genetik. Keadaan ini

karena kekurangan hormon insulin atau jumlah kerja insulin menurun,

atau kelebihan faktor-faktor yang kerjanya berlawanan dengan cara kerja

insulin (Marlena, 1999).

16

2. Karakteristik penderita Diabetes Mellitus

Pada penderita Diabetes Mellitus pemeriksaan dapat dilakukan pada

mereka yang memiliki resiko untuk terkena Diabetes Mellitus seperti usia

lebih dari 45 tahun, BBR >120%, dengan IMT >23 kg/m2, penderita

hipertensi (>40/ 90 mmHg), dan yang mempunyai riwayat penyakit

Diabetes Mellitus karena faktor keturunan, mempunyai riwayat abortus

yang berulang-ulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi lahir

lebih dari 4000 gram, kolesterol HDL <35 mg/dl atau kadar trigliserida

>250 mg/dl (Perkeni, 2002). Resiko Diabetes Mellitus dapat terjadi pada

yaitu pada usia lebih dari 40 tahun, obesitas atau kegemukan, hipertensi,

adanya dislipidemia (gangguan pada lemak), terdapat luka, penyakit

kardio vaskuler, TBC positif yang sulit sembuh (Moelyono, 2002).

3. Diagnosis Diabetes Mellitus

Bila ada gejala Diabetes Mellitus (polidipsi, poliurea, polifagia)

maka untuk mendiagnosa cukup diperiksa gula darah sewaktunya, bila

hasilnya >200 mg% maka diagnosa Diabetes Mellitus bisa ditegakkan.

Adapun kategori kadar gula darah adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1. Kategori Kadar Gula Darah

Kategori Bukan DM Belum DM DM Kadar Gula Darah Sewaktu Plasma Darah Darah Kapiler Kadar Gula Darah Puasa Plasma Darah Darah Kapiler

<110 <90

<110 <90

110-119 90-119

110-125 90-110

>200 >200

>126 >110

Sumber: Soegondo, 2002

17

4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Penyakit Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan berdasarkan lima

golongan yaitu sebagai berikut (Soegondo, 2002) :

a. Gejala Klinis pada Diabetes Mellitus IDDM (Tipe I), NIDDM (Tipe

II), obesitas dan non obesitas.

b. Yang diragukan: meragukan antara tipe I dan tipe II terjadi malnutrisi

(Diabetes Mellitus terkait malnutrisi (MRDM), diakibatkan karena

kurang gizi, kelainan pangkreas pada Diabetes Mellitus (FCPD),

defisit protein dalam pangkreas pada Diabetes Mellitus (PDPD).

c. Tipe Diabetes Mellitus secara medis: Diabetes Mellitus yang

berhubungan atau sindrom tertentu, termasuk penyakit pangkreas,

penyakit hormon yang disebabkan oleh zat kimia, gangguan penyakit

keturunan seperti Diabetes Mellitus.

d. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) : tidak obesitas, obesitas dengan

sindrom genetik atau penyakit keturunan.

e. Gangguan pada kehamilan: gangguan ini terjadi yang baru menderita

Diabetes Mellitus setelah hamil, sebelumnya kadar gula darah normal

(Soegondo, 2002).

5. Penyebab Diabetes Mellitus

Penyebab dari Diabetes Mellitus terdiri dari dua macam yaitu

Diabetes Mellitus primer dan Diabetes Mellitus sekunder yaitu :

18

a. Diabetes Primer

Merupakan jenis khusus yang terbanyak walaupun penyebab

yang sesungguhnya belum diketahui dengan pasti, beberapa faktor

yang berperan sebagai berikut (WHO,1999) :

1) Herediter yaitu faktor keturunan mungkin lebih berperan penting

pada penderita di bawah umur 40 tahun, baik bagi penderita muda

maupun tua. Penderita yang sudah dewasa, lebih dari 50 % berasal

dari keluarga yang menderita Diabetes Mellitus artinya Diabetes

Mellitus cenderung diturunkan tidak ditularkan (Perkeni, 2002).

2) Jenis Kelamin dimana seorang pria muda sedikit lebih banyak

dibanding wanita, walaupun pada usia pertengahan wanita sering

terkena penyakit ini. Kehamilan menambah kemungkinn

berkembangnya Diabetes Mellitus (Perkeni, 2002).

3) Obesitas merupakan faktor resiko bagi berkembangnya penyakit

Diabetes Mellitus. Pada wanita, kegemukan umum terjadi pada

waktu hamil atau sesudah punya anak terlebih lagi sesudah

monopouse. Pada laki-laki, penambahan berat badan dimulai pada

umur mendekati 40 tahun, sesudah umur tersebut, mulai terjadi

obesitas (Kushartanti Woro, 1996)

4) Bahan Toksin atau Beracun dimana ada beberapa bahan toksin

yang mampu merusak sel beta secara langsung yakni allixan,

pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari sejenis jamur).

Bahan toksin lain berasal dari singkong yang merupakan sumber

19

kalori utama yaitu karbohidrat. Singkong mengandung glikosida

sianogenik yang dapat melepaskan sianida sehingga memberi efek

toksik terhadap jaringan tubuh (Perkeni, 2002).

b. Diabetes Sekunder

Beberapa kasus diiabetes terjadi sebagai akibat penyakit (radang

pancreas, karsinoma pankreas dan pankreatektoni) yang merusak

pankreas sebagai saluran insulin (EP. Eckhalm, 1992).

6. Gejala dan tanda penyakit Diabetes Mellitus

Gejala dan tanda-tanda penyakit Diabetes mellitus dapat

digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (Askandar, 2002). Gejala

penyakit Diabetas Mellitus antara penderita dengan yang lain tidaklah

selalu sama. Gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi

kemungkinan adanya variasi dengan gejala yang lain. Bahkan ada

penderita Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan gejala apapun

sampai pada saat tertentu banyak makan (Polifagia), banyak kencing

(Polyuria), banyak minum (Polydipsi). Adapun gejala Diabetes Mellitus

sebagai berikut :

a. Gejala akut Penyakit Diabetes Mellitus

Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan

yang cenderung naik karena pada saat ini jumlah insulin masih

mencukupi, bila keadaan tersebut di atas tidak segera diobati, maka

akan timbul gejala yang disebabkan oleh kemunduran kerja insulin

dan tidak lagi polyfagia, polydipsia, polyuria (3P) lagi melainkan

20

hanya 2 P saja yaitu nafsu makan mulai berkurang dan kadang-kadang

disusul dengan mual, banyak minum, banyak kencing, mudah capai

atau lelah, berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4

minggu). Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, maka akan timbul

rasa mual bahkan penderita tidak sadarkan diri yang dinamakan koma

Diabetika. Koma Diabetika adalah koma pada penderita Diabetes

Mellitus yang berakibat kadar gula darah terlalu tinggi, biasanya

melebihi 600 mg/dl (Askandar 2002).

b. Gejala Kronik Penyakit Diabetes Mellitus

Kadang-kadang penderita penyakit Diabetes Mellitus tidak

menunjukkan gejala akut (mendadak), tetapi penderita tersebut baru

menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun

mengidap penyakit diabetes mellitus. Gejala ini disebut gejala kronik

atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan,

kulit terasa panas, rasa tebal di kulit, kram, mudah capai, mata kabur,

gatal disekitar kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas,

kemampuan sex menurun atau impoten, para ibu hamil sering

mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau

dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Askandar, 2002).

7. Tipe Diabetes Mellitus

Menurut American Association (ADA) (1999), Diabetes Mellitus

dibagi menjadi :

21

a. Diabetes Tipe I

Pada Diabetes Mellitus terjadi akibat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan

oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi

glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu glukosa yang

berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap

berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial

(setelah makan). Diabetes Tipe I disebabkan oleh faktor genetika

(keturunan), faktor imunologik dan faktor lingkungan.

b. Diabetes Tipe II

Pada Diabetes Mellitus Tipe II tercipta dua masalah utama yang

berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Normalnya insulin agar terikat dengan reseptor khusus

pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor

tersebut terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa

dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai penurunan

reaksi intrasel sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan glukosa jaringan (ADA, 1999).

Faktor yang mempengaruhi timbulnya Diabetes Mellitus yaitu

usia lebih dari 65 tahun, obesitas, riwayat keluarga, kelompok etnis

c. Diabetes Gestasional

Terjadi pada wanita hamil yang tidak menderita Diabetes

Mellitus sebelum kehamilan. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan

22

akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Selama kehamilan perlu

dilakukan pemantauan kadar glukosa darah. Setelah melahirkan kadar

glukosa darah akan kembali normal (Askandar, 2002).

8. Komplikasi Penyakit Diabetes Mellitus

Komplikasi Diabetes Mellitus dapat muncul secara akut dan secara

kronik, yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah

mengidap Diabetes Mellitus. Adapun komplikasi Diabetes Mellitus

sebagai berikut (Askandar 2002) :

a. Komplikasi akut Diabetes Mellitus

Dua komplikasi akut Diabetes Mellitus yang paling sering

adalah reaksi Hipoglikemia dan koma diabetik :

1) Reaksi Hipoglikemia

Reaksi Hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh

kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda : adanya rasa lapar,

gemetar, keringat dingin, pusing dan sebagainya. Dalam keadaan

hipoglikemia, penderita harus segera diberi roti atau pisang.

Apabila tidak tertolong, berilah minuman manis dari gula, satu

atau dua gelas. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita

tidak akan sadarkan diri, karena koma ini disebabkan oleh

kurangnya glukosa dalam darah, Koma tersebut di sebut "Koma

Hipoglikemik” (Askandar, 2002).

Penderita koma hipoglikemik harus segera dibawa ke

Rumah sakit karena perlu mendapatkan suntikan glukosa 40% dan

23

infus glukosa. Penderita Diabetes Mellitus yang mengalami resiko

hipoglikemik (masih sadar), atau koma hipoglikemik biasanya

disebabkan oleh obat anti Diabetes yang diminum dengan dosis

yang terlalu tinggi, atau penderita terlambat makan, atau bisa jadi

karena latihan fisik yang berlebihan teratur (Askandar, 2002).

2) Koma Diabetik

Berlawanan dengan koma Hipoglikemik, koma diabetik ini

timbul karena kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi dan

biasanya lebih dari 600 mg /dl. Gejala koma diabetik yang sering

timbul adalah nafsu makan menurun (biasanya penderita Diabetes

Mellitus mempunyai nafsu makan yang besar), haus, minum

banyak, kencing banyak, yang kemudian disusul dengan rasa

mual, muntah, nafas penderita menjadi cepat dan dalam, serta

berbau aseton, sering disertai panas badan karena biasanya ada

infeksi, serta penderita koma diabetik harus segera dibawa ke

Rumah Sakit (Askandar, 2002).

b. Komplikasi kronik Diabetes Mellitus

Pada penderita yang lengah komplikasi Diabetes Mellitus dapat

menyerang seluruh alat tubuh, mulai dari rambut sampai ujung kaki

termasuk semua alat tubuh di dalamnya. Sebaliknya, komplikasi

tersebut tidak akan muncul jika perawatan Diabetes Mellitus

dilaksanakan dengan baik, tertib dan teratur. Komplikasi kronik

Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan dalam dinding

24

pembuluh darah, sehingga terjadi atherosklerosis yang khas yaitu

Mikroangiopati. Mikroangiopati ini mengenai pembuluh darah di

seluruh tubuh yang terutama menyebabkan retinopati,

glamerulosklerosis, neoropati, dan dapat pula timbul infeksi kronik

yaitu tuberkolosis yang secara umum terjadi komplikasi tersebut yaitu

kardiovaskuler (Infark miokaid, insufisiensi koroner), mata

(Retinopati diabetika, katarak), saraf (Neuropati diabetika), paru-paru

(TBC), ginjal (Pielonefritis, glumerulosklerosis), kulit (gangren,

furunkel, karbunkel, ulkus), hati (sirosis hepatitis) (Perkeni, 2002).

c. Pemantauan pengendalian Diabetes Mellitus

Tujuan pengendalian Diabetes Mellitus adalah menghilangkan

gejala, memperbaiki kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan

kronik, mengurangi laju perkembangan komplikasi yang sudah ada.

Pemantauan dapat dilakukan dengan pemeriksaan gula darah, urin,

keton urin dan status gizi serta pemeriksaan ke fasilitas kesehatan

kurang lebih 4 kali pertahun (kondisi normal) (Sugondo, 2002).

Kriteria pengendalian untuk pasien yang berumur > 60 tahun

dimana sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi daripada biasa (puasa

<150 mg/dl) sesudah makan < 200 mg / dl. Pada kadar lipid tekanan

darah dan lain-lain yang mengacu pada batasan kriteria pengendalian

sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia

lanjut dan untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan

interaksi obat (Sugondo, 2002).

25

9. Diabetes Mellitus Pada Lansia

Diabetes Mellitus meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan

angka kematian (mortalitas) bila dibandingkan dengan Diabetes Mellitus

usia muda. Hal ini disebabkan meningkatnya komplikasi akut dan

komplikasi kronik pada lansia dibandingkan Diabetes Mellitus usia muda.

Kematian meningkat pada lansia sering akibat koma hiploglikemmia,

koma diabetic ketoasidosis dan hiperosmoler (kesadaran menurun akibat

kekurangan atau kelebihan gula), satroke, infark miokard bila

hiperglikemia tidak terkendali. Komplikasi-komplikasi pada Diabetes

Mellitus lansia dapat multiple dan pada akhirnya komplikasi organis akan

diikuti komplikasi psikososial yang akan mempersulit penatalaksanaan

Diabetes Mellitus dan penyakit-penyakit lain yang di derita kelompok

lansia ini.

Meningkatnya faktor resiko Diabetes Mellitus pada lansia akan lebih

memudahkan timbulnya melalui mekanisme gangguan intolerancia

glukosa yang lebih meningkat pada usia lanjut. Upaya mengatasi Diabetes

Mellitus melalui penyuluhan, perencanaan makanan yang baik,

melaksanakan latihan jasmani dan memakan OHO secara teratur.

Terjadinya Diabetes Mellitus pada lansia ditandai dengan adanya

osmotic diuresia akibat glukosuria tertunda yang disebabkan ambang

ginjal yang tinggi dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan

tidur atau bahkan inkontinesia urin. Penyakit yang mula-mula ringan dan

sedang biasnya terdapat pada pasien Diabetes Mellitus usia lanjut yan

26

dapat berubah tiba-tiba apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi

insulin yang tadinya bersifat relative menjadi absolut dan timbul keadaan

ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran

menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang

biasanya terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan

berkeringat banyak umumnya tidak ada pada Diabetes Mellitus usia lanjut.

Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang, sedangkan gejala

kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral

tampek lebih jel (Mulyadi, 2009).

D. Lansia

1. Pengertian

Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya menglami

perubahan biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (Undang-undang No 23

Tahun 1992 tentang kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia

menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998

tentang lansia sebagai berikut :

a. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas

b. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

c. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

27

2. Batasan Lansia

Menurut dokumen Pelembagaan lansia dalam kehidupan bangsa

yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka perencanaan hari

lansia nasional tanggal 29 Mei oleh Presiden RI, batas umur lansia adalah

60 tahun atau lebih (Setiabudhi, 1999), dan menurut Pedoman Pembinaan

Kesehatan Lansia bagi petugas kesehatan yang diterbitkan oleh

Departemen Kesehatan RI tahun 1999, umur dibagi lansia 3 yaitu:

a. Usia pra senilis atau virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49

tahun

b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih atau dengan masalah kesehatan.

3. Proses Menua

Menurut Constantinides (1994) dalam Nugroho (2000) mengatakan

bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara berlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan yang diderita. Proses

menua merupakan proses yang terus menerus secara alamiah dimulai

sejak lahir dan setiap indvidu tidak sama cepatnya. Menua bukan status

penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam

menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh.

28

Karakteristik proses penuaan menurut Crisofalo (1990) dalam

Setiabudhi (1999) ada beberapa karakteristik tentang proses penuaan pada

manusia dan hewan yang menyusui yaitu:

a. Peningkatan kematian sejalan dengan peningkatan usia

b. Terjadinya perubahan kimiawi dalam sel jaringan tubuh yang

mengakibatkan massa tubuh berkurang, peningkatan lemak dan

lipofuscin yang dikenal dengan age pigmen, serta perubahan diserat

kolagen yang dikenal dengan cross-linking.

c. Terjadinya perubahan yang progresif dan merusak

d. Menurunnya kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan di

lingkungan

e. Meningkatnya kerentaan terhadap berbagai penyakit tertentu

Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

penuaan adalah proses yang secara berangsur-angsur mengakibatkan

perubahan yang kumulatif dan mengakibatkan perubahan di dalam tubuh

yang berakibat dengan kematian. Menurut teori biologis penuaan terbagi

menjadi dua tipe yaitu teori instrinsik yang menjelaskan perubahan

berkaitan dengan usia timbul akibat penyebab dari dalam sel sendiri dan

teori ekstrintik yang menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi

diakibatkan oleh pengaruh lingkungan.

4. Perubahan yang terjadi pada lansia

Suatu proses yang tidak dapat dihindari yang berlangsung secara

terus menerus dan berkesinambungan yang selanjutnya menyebabkan

29

perubahan anatomis, fisiologis dan biokemis. Pada jaringan tubuh dan

akhirnya mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan

(Depkes RI, 1998). Menurut Setiabudhi (1999) perubahan yang terjadi

pada lansia yaitu:

a. Perubahan dari aspek biologis

Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu

adanya perubahan genetika yang mengakibatkan terganggunya

metabolisme protein, gangguan metabolisme Nucleic Acid dan

deoxyribonucleic (DNA), terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil

yang mengakibatkan gangguan genetika, gangguan kegiatan enzim dan

sistem pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein di otak, otot,

ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenchim serta adanya

penambahan lipofuscin.

1) Perubahan yang terjadi di sel otak dan syaraf berupa jumlah sel

menurun dan fungsi digantikan sel yang tersisa, terganggunya

makanisme perbaikan sel, kontrol inti sel terhadap sitoplasma

menurun, terjadinya perubahan jumlah dan struktur mitokondria,

degenerasi lisosom yang mengakibatkan hoidrolisa sel,

berkuarngnya butir Nissil, penggumpalkan kromatin, dan

penambahan lipofiscin, terjadi vakuolisasi protoplasma

2) Perubahan yang terjadi di otak lansia adalah otak menjadi trofi

yang beratnya berkurang 5 sampai 10% yang ukurannya kecil

terutama di bagian prasagital, frontal dan parietal, jumlah neuron

30

berkurang dan tidak dapat diganti dengan yang baru, terjadi

pengurangan neurotransmiter, terbentuknya struktur abnormal di

otak dan akumulasi pigmen organik mineral (lipofuscin, amyloid,

plaque, neurofibrillary tangle), adanya perubaan biologis lainnya

yang mempengaruhi otak seperti gangguan indera telinga, mata,

gangguan kardiovaskuler, gangguan kelenjar thyroid, dan

kartikosteroid.

3) Perubahan jaringan yaitu terjadinya penurunan sitoplasma protein,

peningkatan metaplastic protein seperti kolagen dan elastin.

b. Perubahan Fisiologis

Menurut Arisman (2004) dan Nugroho (2000) perubahan

fisiologis akibat penuaan terkait status nurtisi (gizi), meliputi:

1) Perubahan sistem gastrointestinal menurut Arisman (2004) yaitu:

a) Rongga mulut : Tanggalnya gigi, dan ketidak bersihan mulut

yang menyebabkan gigi, dan gusi kerap terinfeksi, serta

sekresi air ludah berkurang, yang mengakibatkan pengeringan

rongga mulut, dan berkemungkinan menurunkan cita rasa.

b) Esofagus: Gangguan menelan akibat gangguan neuromuscular,

seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot

menebal

c) Lambung: Lapisan lambung menipis, sekresi HCL dan pepsin

berkurang akibatnya penyerapan vitamin B12 dan zat besi

menurun.

31

d) Usus: Berat total usus halus berkurang, peristaltic melemah,

penyerapan kalsium dan zat besi menurun.

c. Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan

secara fisiologis. Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap

lansia terhadap kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang

berarti adanya penarikan diri dari masyarakat dan dari diri pribadinya

satu sama lain. Lansia dianggap terlalu lamban dengan daya reaksi

yang lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak dan berfikir menurun

(Darmojo, 1999). Daya ingat (memory) lansia memang banyak

menurun dari lupa sampai pikiran dan demensia. Pada umumnya

lansia masih ingat pada peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi,

tetapi lupa dengan kejadian yang baru (Darmojo, 1999).

d. Perubahan biologis pada sistem endokrin pada lansia

Perubahan biologis pada lansia yang terjadi pada tahun terakhir,

dimana terjadi tanda keletihan, bangun tidur malam hari dan sering

buang air kecil serta infeksi merupakan indikator Diabetes Mellitus

kemungkinan tidak diperhatikan oleh lansia maupun anggota keluarga

karena mereka percaya bahwa hal ini merupakan bagian dari proses

penuaan. Perubahan normal pada sistem endokrin akibat penuaan pada

lansia khusunya yang menderita Diabetes Mellitus yaitu terjadi

peningkatan kadar gula darah, fungsi ginjal dan kandung kemih yang

terganggu dimana ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat,

32

residu urine didalam kandung kemih meningkat, kelenjar tiroid

menjadi lebih kecil (Stanley, 2002).

5. Masalah yang terjadi pada lansia

a. Permasalah Umum

Setiabudhi (1999) menegaskan kembali bahwa permasalahan

secara umum lansia sebagai berikut

1) Besarnya jumlah penduduk lansia dan tingginya persentase

kenaikan lansia memerlukan upaya peningkatan kualitas pelayanan

dan pembinaan kesehatannya.

2) Jumlah lansia miskin semakin banyak

3) Nilai kekerabatan melemah, tatanan masyarakat makin

individualistik

4) Rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional yang

melayani usia lanjut

5) Terbatasnya sarana dan fasilitas pelayanan bagi lansia

6) Adanya dampak pembangunan yang merugikan seperti urbanisasi

dan polusi pada kehidupan dan penghidupan lansia.

b. Permasalah Khusus

Menurut Setiabudhi (1999) permasalahan khusus pada lansia

terbagi 2 aspek yaitu :

1) Permasalahan dari Aspek Fisiologis

Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang

dipengaruhi oleh faktor kejiwaan sosial, ekonomis dan medik.

33

perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh

seperti kulit menjadi kering dan berkeriput, rambut beruban dan

rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh,

pendengaran berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman

berkurang, tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang

berakibat badan menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan

kekuatannya berkurang dan mudah patah, elastisitas jaringan paru-

paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi

organ di dalam perut, dinding pembuluh darah menebal dan terjadi

tekanan darah tinggi, otot jantung bekerja tidak efisien, adanya

penurunan fungsi organ reproduksi, terutama pada wanita, otak

menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria, serta

seksualitas tidak terlalu menurun.

2) Permasalahan dari Aspek Psikologis

Menurut Budi Darmojo (1999) beberapa masalah psikologis

lansia antara lain:

a) Kesepian (loneliness), yang dialami lansia pada saat

meninggalnya pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu

mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita

penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan

sensorik terutama gangguan pendengaran. harus dibedakan

antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup

sendiri tidak mengalami kesepian karena aktivitas sosialnya

34

tinggi, lansia yang hidup di lingkungan yang beranggota

keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian.

b) Duka cita (beravement), dimana pada periode duka cita ini

merupakan periode yang sangat rawan bagi lansia.

Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan

hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang

sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya memicu

terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan

kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan

kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita

biasanya bersifat self limiting.

c) Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan

depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun.

d) Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu

fobio, gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan

stress setelah trauma dan gangguan obsetif-kompulsif. Pada

lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari dewasa

muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat

penyakit medis, depresi, efek samping obat atau gejala

penghentian mendadak suatu obat.

e) Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis

bisa terdapat pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari

dewasa muda atau yang timbul pada lansia.

35

f) Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang

sering terdapat pada lansia yang ditandai dengan waham

(curiga) yang sering lansia merasa tetangganya mencuri

barang-barangnya atau tetangga berniat membunuhnya.

Parafrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi atau di

isolasi atau menarik diri dari kegiatran sosial.

g) Sindroma Diagnosa, merupakan suatu keadaan dimana lansia

menunjukkan penampilan perilaku yang sangat menganggu.

Rumah atau kamar yang kotor serta berbau karena sering

lansia ini bermain-main dengan urine dan fesesnya. Lansia

sering memupuk barang-barangnya dengan tidak teratur (Jawa:

“Nyusuh”). Kondisi ini walaupun kamar telah dibersihkan

lansia dimandikan bersih namun dapat berulang kembali.

3) Permasalahan dari aspek sosial budaya

Menurut Setiabudhi (1999) permasalahan sosial budaya

lansia secara umum yaitu masih besarnya jumlah lansia yang

berada di bawah garis kemiskinan, makin melemahnya nilai

kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang

diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung terjadi

perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih

mengarah pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok

masyarakat industri yang memiliki ciri kehidupan yang lebih

bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan

36

berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien yang

secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia, masih

rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional dalam

pelayanan lansia dan masih terbatasnya sarana pelayanan dan

fasilitas khusus bagi lansia dalam berbagai bidang pelayanan

pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum membudayanya dan

melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia.

E. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Perawatan Diabetes

Mellitus

Keberadaan dukungan keluarga yang adekuat secara spesifik saling

berhubungan dengan status kesehatan yaitu terjadinya perubahan perilaku

sehingga menurunnya mortalitas dan lebih mudah sembuh dari sakit. Jadi

dengan adanya dukungan dari keluarga maka status kesehatan penderita lebih

meningkat. Dari berbagai strategi untuk meningkatkan kepatuhan dalam

perawatan Diabetes Mellitus pada lansia salah satunya dengan adanya

keterlibatan keluarga, lingkungan sosial. Perawatan kesehatan penting untuk

mendapatkan informasi mengenai praktek kesehatan keluarga untuk

membantu keluarga dalam memelihara, meningkatkan kesehatan serta dapat

memenuhi fungsi perawatan kesehatan dengan baik dengan menggunakan

pelayanan perawatan kesehatan profesional, tingkat pengetahuan dalam

bidang kesehatan dan sikap terhadap kesehatan yang baik (Friedman, 1998).

Perawatan Diabetes Mellitus pada dasarnya dipengaruhi oelh faktor

dukungan keluarga, dimana keperdulian dan perhatian anggota keluarga

37

terhadap lansia yang menderita Diabetes Mellitus, karena dari segi fisik dan

mental lansia terjadi penurunan fungsi sehingga sanfgat membutuhkan

perawatan dan dukungan keluarga sepenuhnya.

38

F. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori : Sumber : Lawrence Green (1988) dalam

Notoatmodjo, 2003) G. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Kepatuhan perawatan Diabetes

MellitusPda lansia

Dukungan Keluarga

Kepatuhan Perawatan Diabetes Mellitus pada lansia

Faktor Prediposisi

1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Status sosial ekonomi 5. Pengetahuan 6. Sikap 7. Partisipasi Keluarga

Faktor Pemungkin

1. Fasilitas Fisik : kesehatan: puskesmas, rumah sakit

2. Fasilitas umum: media massa (koran, TV, Radio)

Faktor Penguat

1. Dukungan keluarga 2. Dukungan Teman 3. Dukungan Tenaga

39

H. Variebel Penelitian

1. Varibel Independent (Bebas) : Dukungan Keluarga

2. Variabel Dependent (Terikat) : Kepatuhan perawatan Diabetes Mellitus

pada lansia

I. Hipotesis

Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan perawatan

Diabetes Mellitus pada lansia di desa Brambang Kecamatan Brambang

Kabupaten Demak.