BAB II anti inflamasi
-
Upload
tri-tantne-chendrawasih -
Category
Documents
-
view
94 -
download
15
Transcript of BAB II anti inflamasi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Mekanisme Kerja Obat Anti-Inflamasi Steroid
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan
indikasi klinis yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life
saving drug. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam
penggunaannya dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi
kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan
kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid
yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi
volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi
pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks
reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintetis protein spesifik. Induksi
sintetis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid
(Darmansjah, 2005).
Sebagian besar efek glukokortikoid melibatkan interaksi dengan
reseptor intraseluler yang mengatur proses transkripsi gen. Efek
tersebut membutuhkan waktu yang lama. Glukokortikoid juga dapat
menghambat influks Ca2+ dalam syaraf hipokampus, dan efek tersebut
berlangsung cepat tanpa melibatkan interaksi dengan gen (non-
genomik) (Nugroho, 2012).
Efek utamanya adalah merangsang katabolisme protein dan
glukoneogenesis. Glukokorikoid merangsang pembentukan glukosa,
menyebabkan perombakan protein menjadi asam amino, dan
menurunkan sintesis protein. Disamping itu, hormon ini menurunkan
pengambilan dan penggunaan glukosa, sehingga mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Glukokortikoid
mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresif yang poten. Hormon
3
4
ini mengambat baik tahap awal dan tahap akhir dari proses inflamasi
hormon ini menghambat produksi prostanoid pada tahap perubahan
fosfolipid menjadi asam arakidonat, serta menurunkan aktivitas sitokin
(interleukin, TNF-) dan granulosit (Nugroho, 2012).
Aksi pada level genomik glukokortikoid dimediasi oleh translokasi
GR ke inti (Gambar 1). Dengan tidak adanya ligan glukokortikoid,
sitoplasma glukokortikoid membentuk heterokompleks dengan protein
yang menjaga GR dalam keadaan tidak aktif. Setelah glukokortikoid
terikat, GR memisah dari protein, homodimer-homodimer melalui ikatan
domain ligan C terminal dan translokasi ke inti. Setelah berada di inti,
GR kemudian dapat bertindak baik sebagai aktivator transkripsi atau
represor tergantung pada gen dan lingkungan seluler (Schlossmacher et
al., 2011).
Gambar 1. Mekanisme glukokortikoid dimediasi apoptosis .
Glukokortikoid dapat menimbulkan efek baik bersifat
genomik atau non-genomik, sedangkan jalur yang tepat
tidak jelas dan dapat bervariasi dalam jenis sel yang
berbeda dan diperkirakan bahwa glukokortikoid bekerja
melalui jalur mitokondria yang menyebabkan aktivasi
caspase (Schlossmacher et al., 2011)
5
Dimer GR dapat mengikat GRE yang berada di daerah promotor
dari gen target. Setelah terikat pada GRE, reseptor glukokortikoid
mengikat koaktivator protein yang membuka struktur kromatin seperti
histon asetiltransferase. Protein termasuk anggota keluarga p160 protein
(SRC1, PGC1, AIB1, dan lain-lain). Regulasi transkripsi biasanya dapat
diamati beberapa jam setelah sinyal glukokortikoid asli. GR dapat
meregulasi transkripsi gen menggunakan mekanisme selain GRE klasik.
Gukokortikoid reseptor juga dapat mengikat faktor transkripsi ikatan
DNA lainnya yang disebut dengan proses tethering, dan memodulasi
efek samping yang timbul (Schlossmacher et al., 2011).
Glukokortikoid yang terikat GR juga bisa menekan gen target
melalui mekanisme serupa yang digunakan untuk aktivasi transkripsi,
yaitu DNA langsung mengikat melalui GRE negatif. GRE ini mendorong
pengikatan korepresor protein seperti histon deasetilase, misalnya
(NCoR) dan (SMRT), bahwa kromatin itu untuk membentuk struktur
yang tidak mendukung transkripsi (Perissi et al., 2010). Glukokortikoid
juga mampu menekan transkripsi oleh interaksi DNA dengan faktor
transkripsi lainnya dalam elemen komposit, misalnya dalam represi
mediasi glukokortikoid dari hormon pelepas gen kortikotropin (Malkoski
dan Dorin, 1999). Mekanisme represi lain yang termasuk faktor-faktor
tethering transkripsi ikatan DNA lainnya yaitu seperti dalam represi aksi
NF-κB dan melalui kompetisi dengan aktivator transkripsi untuk ikatan
DNA seperti represi ekspresi FasL oleh NF-κB (Schlossmacher et al.,
2011).
Glukokortikoid juga menurunkan komponen komplemen dalam
plasma, menurunkan pembentukan NO, menurunkan pelepasan
histamin dari sel dan menurunkan IgG. Berdasarkan hal itu,
glukokortikoid bisa digunakan sebagai agen antiinflamasi,
imunosupresan, dan antialergi (Nugroho, 2012).
Obat golongan glukokortikoid atau disebut juga obat-obat
golongan kortikosteroid yang menjadi obat utama dalam mengatasi
penyakit-penyakit inflamasi dan gangguan sistem imunitas. Obat
golongan kortikosteroid memiliki aksi yang luas, karena dapat
menghambat transkripsi gen berbagai sitokin dan mediator pro-
inflamasi, dan sebaliknya meningkatkan transkripsi gen senyawa anti
6
inflamasi. Salah satu protein anti inflamasi yang ditingkatkan sintesisnya
oleh kortikosteroid adalah lipokortin-1 yang merupakan suatu inhibitor
fosfolipase A2 (Gambar 2). Fosfolipase A2 bekerja mengkatalisis
pembentukan asam arakhidonat, suatu prekursor prostaglandin yang
dikenal sebagai mediator inflamasi. Dengan picuan sintesis lipokortin-1
oleh obat-obat kortikosteroid, maka sintesis asam arakhidonat juga
terhambat, yang pada gilirannya juga menghambat pembentukan
mediator, baik yang melalui jalur siklooksigenase maupun
lipooksigenase. Mekanisme inilah yang menyebabkan obat golongan
kortikosteroid lebih poten dibanding obat AINS yang hanya menghambat
jalur siklooksigenase (Ikawati, 2006).
Gambar 2. Mekanisme aksi obat kortikosteroid sebagai anti inflamasi.
Kortikosteroid memicu sintesis lipokortin-1 yang
menghambat kerja fosfolipase A2 (Fan, 2012).
2. Sifat atau Efek Umum Obat Anti Inflamasi Steroid
Glukokortikoid dapat merangsang mobilisasi lemak dari jaringan
sehingga meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma.
Penggunaan jangka panjang akan mempengaruhi redistribusi lemak
menghasilkan obesitas, moonface, dan buffalo hump. Di samping itu,
7
glukokortikoid mempunyai efek samping osteoporosis. Efeknya pada
metabolisme protein dapat memerlama waktu penyembuhan luka
(Nugroho, 2012).
3. Indikasi Pemberian Glukokortikoid
Obat kortikosteroid memiliki kegunaan terapetik yang luas, antara
lain sebagai anti inflamasi pada berbgai penyakit inflamasi kronis
maupun penyakit autoimun, seperti asma, rematoid arthritis, berbagai
penyakit alergi dan lupus eritermatosus. Kortikosteroid juga bisa
menekan sistem imun (daya tahan) tubuh. Itu sebabnya obat ini juga
menghilangkan gejala penyakit-penyakit akibat reaksi imun, misalnya
alergi dan sakit kulit (Sholekhudin, 2014). Adapun indikasi pemberian
glukokortikoid secara umum yaitu :
a. Terapi pengganti (substitusi) pada insufisiensi adrenal primer akut
dan kronis (disebut Addison’s disease), insufisiensi adrenal
sekunder dan tersier.
b. Diagnosis hipersekresi glukokortikoid (sindroma Cushing).
c. Menghilangkan gejala peradangan : peradangan rematoid,
peradangan tulang sendi (osteoartritis) dan peradangan kulit,
termasuk kemerahan, bengkak, panas dan nyeri yang biasanya
menyertai peradangan.
d. Terapi alergi. Digunakan pada pengobatan reaksi alergi obat, serum
dan transfusi, asma bronkhiale dan rinitis alergi (Gunawan dan
Sulistia, 2011).
4. Obat-obat Golongan SAID
Tabel 1. Pengenalan nama-nama obat branded generik dan
produsen obat yang memproduksi.
Obat Merk ProdusenDosis
(mg)
Dexamethasone CORSONA Phapros 500
CORTIDEX CORTIDEX 0.5
DEXA-M Dexa Medica 750
INDEXON Interbat 0.5
KALMETHASONE Hexpharm Jaya 0.5
8
MOLACORT Molex Ayus 0.5
6- Methyl
Prednisolone
HEXILON Kalbe Farma 4
LAMESON Lapi 4
METISOL Hexpharm Jaya 4
SANEXON Sanbe 4
Methyilprednisolone
ERSOLON Erlimpex 4
FLASON Ikapharmindo 4
FUMETHYIL Futamed 4
GAMESOLONEGlobal Health
Pharma8
IFLAZ Kalbe Farma 4
INTIDROL Interbat 4
MEDIXON Ferron 4
MEDROL Pfizer 4
MEPROSON Meprofarm
MESOL Gracia Pharmindo 4
METHYLPREDNISOLON
E OGB DEXA MEDICADexa Medica 4
METHYLPREDNISOLON
E OGB MEDIKONMedikon
PHADILON Phapros 4
PREDNOX Pyridam 4
PROLON 8 Promed 8
RHEMEFAR Ifars 4
SIMDROL Simex 4
THIMELON
Ethica Industri Farmasi-
Joint Venture with
Fresenius Kabi
4
Methyilprednisolone TISOLON 4 Nufarindo 4
TISON Landson 4
TROPIDROL Tropica Mas Pharma 4
XILON Mahakam Beta
Farma
4
9
YALONE Yarindo Farma 4
Triamcinolone
AMTOCORT Pharos 4
KENACORTTaisho
Pharmaceutical4
KETRICIN
TABLETFerron 4
TRIAMCORT Iterbat 4
ZILOVEN Ifars 4
(Anonim,
2013)
5. Sifat Unik Obat Golongan SAID
a. Prednison
Prednison adalah glukokortikoid prodrug yang diubah oleh
hidroksisteroid dalam hati ke dalam bentuk aktif, prednisolon. Hal ini
digunakan untuk mengobati penyakit radang tertentu (seperti reaksi
alergi yang parah) dan (pada dosis tinggi) beberapa jenis kanker,
tetapi memiliki banyak efek samping yang signifikan. Hal ini biasanya
diberikan secara oral namun dapat diberikan secara suntikan
intramuskular atau injeksi intravena. Perubahan farmakokinetik
prednison pada geriatri terutama pada penurunan fungsi hati dan
ginjal. Sehingga akan terganggunya proses eleminasi prednison
dimana prednison sebagian besar dieleminasi di hati dan sebagian
kecil dieleminasi di ginjal. Oleh karena itu untuk pemakaian pada
kelompok geriatri diberikan penyesuaian dosis menggunakan dosis
efektif terendah yaitu kurang dari 10 mg per hari (Lacy, 2010).
Penggunaan jangka panjang pada orang tua harus direncanakan
mengingat semakin serius konsekuensi umum efek samping dari
prednisone di usia tua, terutama osteoporosis, diabetes, hipertensi,
hipokalemia, kerentanan terhadap infeksi dan penipisan kulit.
Pengawasan medis yang ketat diperlukan untuk menghindari reaksi
yang mengancam kehidupan. Pasien geriatri terutama wanita post
menopause mungkin lebih mungkin untuk mengembangkan
glukokortikoid induced osteoporosis (Lacy, 2010).
10
b. Kortisol (Hidrokortison)
Kortisol memiliki bayak efek fisiologik, termasuk regulasi
metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan, dan
imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem
syaraf pusat, yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif oleh
kortisol dan glukokortikoid eksogen dalam sirkulasi. Waktu paruh
kortisol dalam peredaran biasanya sekitar 60-90 menit, waktu paruh
dapat meningkat ketika diberikan hidrokortison (preparat farmasi
untuk kortisol) dalam jumlah besar atau ketika terdapat stress,
hipotiroidism, atau penyakit hati (Katzung, 2010).
c. Deksametason
Deksametason dan derivatnya, deksametason sodium fosfat
dan deksametason asetat, merupakan glukokortikoid sintetik yang
digunakan sebagai anti-inflamasi atau imunosupresan. Sebagai
glukokortikoid, deksametason 20-30 kali lebih poten dibanding
hidrokortison dan 5-7 kali lebih poten dibanding prednison,
mengalami metabolisme di hati menjadi bentuk inaktif (AHFS, 2005).
Deksametason memiliki sifat fisikokimia yaitu praktis tidak larut
dalam air, agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam
dioksan dan dalam metanol, sukar larut dalam kloroform; sangat
sukar larut dalam eter (Anonim, 1995).
d. Triamsinolon
Triamsinolon dapat diabsorpsi (sistemik) melalui
penggunaan topikal. Dapat melintasi sawar plasenta. Terikat pada
protein darah (albumin plasma) namun dalam konsentrasi yang lebih
rendah dibandingkan hidrokortison. Waktu paruh eliminasi sekitar 2-
5 jam. Diekskresi melalui urin dan feses. Sebagai hormon
glukokortikoid, triamsinolon bekerja menghambat migrasi leukosit
polimorfonuklear dan menurunkan permeabilitas pembuluh darah
kapiler, sehingga menekan reaksi inflamasi (Martindale, 1997).
6. Efek Samping yang Kemungkinan Fatal dari Obat SAID
Glukokortikoid mempunyai efek penting terhadap sistem syaraf.
Peningkatan jumlah kortikosteroid sering menimbulkan gangguan
11
perilaku pada manusia, pada awalnya terjadi insomnia dan euphoria,
dan lama kelainan, timbul depresi. Gulkokortikoid dosis besar dapat
meningkatkan tekanan intrakarnial (pseudotumor serebri). Glukokortikoid
yang diberikan secara menahun menekan pelepasan ACTH, hormon
pertumbuhan, dan hormon luteinisasi dari hipofisis. Glikokortikoid juga
mempunyai efek penting terhadap perkembangan paru janin. Memang,
perubahan struktural dan fungsional pada paru janin, termasuk produksi
bahan aktif pada permukaan paru yang dibutuhkan untuk bernapas. Jika
glukokortikoid digunakan untuk waktu singkat (kurang dari 2 minggu),
jarang terlihat efek samping yang serius. Pankreatitis akut merupakan
efek samping glukokortikoid dosis tinggi yang jarang terjadi tapi berat
(Katzung, 2010).
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar daripada jumlah fisiologis,
steroid seperti kortison dan hidrokortison, yang mempunyai efek
mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, menyebabkan retensi
natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita yang memiliki
kerja ginjal dan kardiovaskuler normal, hal ini dapat menimbulkan
alkalosis hipokloremik hipokalemik dan pada akhirnya dapat
meningkatkan tekanan darah. Pada penderita penyakit jantung, sedikit
retensi natrium saja sudah dapat menyebabkan gagal jantung. Efek ini
dapat diminimalisasi dengan menggunakan steroid sintetik yang tidak
meretensi garam, retriksi natrium, dan sejumlah suplemen kalium
(Katzung, 2010).
7. Interaksi Obat
Tabel 2. Interaksi deksametason dengan beberapa obat.
No
.Obat Interaksi
1. Antikoagulan, oral Saling bertentangan pada respon koagulan
2.Terapi anti
diabetes
Peningkatan konsentrasi glukosa darah pada
diabetes mellitus
3. Barbiturat Menurunkan konsentrasi darah dari
deksametason
12
4. Karbamazepin
Menurunkan konsentrasi darah dari
deksametason
5.
Diuretics,
potassium-
depleting
Meningkatkan efek buang kalium dari
glukokortikoid
6. Efedrin
Menurunkan konsntrasi darah dari
deksametason
Dapat mengganggu kerja deksametason
8. IndinavirMenurunkan konsentrasi plasma dari
indinavir
9. IndometasinHasil negatif palsu pada uji tekanan
deksametason
10. Ketokonazole
Peningkatan konsentrasi deksametason
plasma
Menghambat sintesis kortikosteroid adrenal,
menyebabkan insufisiensi adrenal selama
penarikan kortikosteroid
11.Antibiotik
Makrolida
Peningkatan konsentrasi deksametason
plasma
12. NSAID
Meningkatkan risiko GI ulserasi
Penurunan konsentrasi salisilat serum.
Ketika kortikosteroid dihentikan, konsentrasi
serum salisilat dapat meningkat, mungkin
mengakibatkan keracunan salisilat
13. Fenitoin
Konsentrasi darah menurun dari
deksametason
Laporan yang saling bertentangan dari
peningkatan dan penurunan konsentrasi
fenitoin darah yang menuju ke perubahan
pada kontrol kejang
14. Rifampin Penurunan konsentrasi darah
deksametason,
Dapat mengganggu tes penekanan
13
deksametason
15. Vaksin dan racun
Dapat menyebabkan respon berkurang untuk
toksoid dan hidup atau vaksin tidak aktif
Dapat memperburuk reaksi neurologis untuk
beberapa vaksin (dosis suprafisiologis)
(AHFS,
2011)
8. Efek-efek Glukokortikoid
Kortikosteroid jika diminum setiap hari, dalam tempo seminggu
bisa menimbulkan efek samping antara lain tekanan darah naik, kaki
bengkak, glaukoma (hipertensi di mata), hingga kenaikan berat badan.
Efek samping yang terakhir ini sering dimanfaatkan oleh pembuat jamu
oplosan untuk meracik obat penambah nafsu makan dan peningkat
berat badan, misalnya buat anak yang kurus. Jika digunakan dalam
jangka panjang, misalnya sampai berbulan-bulan, efek buruknya lebih
banyak lagi. Mulai dari risiko gangguan penglihatan, hipertensi, daya
tahan tubuh rendah (membuat peminumnya jadi mudah sakit dan
gampang terinfeksi), tulang keropos (osteoporosis), tukak (luka)
lambung, gangguan siklus menstruasi, dan masih banyak lagi
(Sholekhudin, 2014).
Adapun efek-efek yang dimiliki oleh obat golongan kortikosteroid
atau glukokortikoid adalah sebagai berikut :
a. Merangsang glikogenolisis (katalisis glikogen menjadi glukosa) dan
glikoneogenolisis (katalisa lemak / protein menjadi glukosa)
sehingga kadar gula darah meningkat dan pembentukan glikogen di
dalam hati dan jaringan menurun. Kadar kortikosteroid yang
meningkat akan menyebabkan gangguan distribusi lemak, sebagian
lemak di bagian tubuh berkurang dan sebagian akan menumpuk
pada bagian muka (moonface), tengkuk (buffalo hump), perut dan
lengan.
b. Meningkatkan resistensi terhadap stress. Dengan meningkatkan
kadar glukosa plasma, glukokortikoid memberikan energi yang
diperlukan tubuh untuk melawan stress yang disebabkan, misalnya
14
oleh trauma, ketakutan, infeksi, perdarahan atau infeksi yang
melemahkan. Glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah dengan jalan meningkatkan efek vasokontriktor
rangsangan adrenergik pada pembuluh darah.
c. Merubah kadar sel darah dalam plasma. Glukokortikoid
menyebabkan menurunnya komponen sel-sel darah putih/leukosit
(eosinofil, basofil, monosit dan limfosit). Sebaliknya glukokortikoid
meningkatkan kadar hemoglobin, trombosit dan eritrosit.
d. Efek anti inflamasi. Glukokortikoid dapat mengurangi respons
inflamasi secara drastis dan dapat menekan sistem imun.
e. Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin. Penghambatan
umpan balik produksi kortikotropin oleh peningkatan glukokortikoid
menyebabkan penghambatan sintesis glukokortikoid lebih lanjut.
f. Efek anti alergi. Glukokortikoid dapat mencegah pelepasan
histamin.
g. Efek pada pertumbuhan. Glukokortikoid yang diberikan jangka lama
dapat menghambat proses pertumbuhan karena menghambat
sintesis protein, meningkatkan katabolisme protein dan
menghambat sekresi hormon pertumbuhan.
h. Efek pada sistem lain. Hal ini sangat berkaitan dengan efek
samping hormon. Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam
lambung dan produksi pepsin dan dapat menyebabkan kambuh
berulangnya (eksaserbasi) borok lambung (ulkus). Juga telah
ditemui efek pada SSP yang mempengaruhi status mental. Terapi
glukokortikoid kronik dapat menyebabkan kehilangan massa tulang
yang berat (osteoporosis). Juga menimbulkan gangguan pada otot
(miopati) dengan gejala keluhan lemah otot (Katzung, 2010).
9. Waktu Paruh Tiap Obat
Obat-obat anti inflamasi steroid yang merupakan obat-obat
golongan kortikosteroid (glukokortikoid) memilik waktu atau masa paruh
yang berbeda-beda. Adapun waktu paruh obat-obat kortikosteroid
yaitu :
15
a. Kortikosteroid kerja singkat dengan masa paruh < 12 jam, yang
termasuk golongan ini adalah kortisol/hidrokortison, kortison,
kortikosteron, fludrokortison.
b. Kortikosteroid kerja sedang dengan masa paruh 12 – 36 jam, yaitu
metilprednisolon, prednison, prednisolon, dan triamsinolon.
c. Kortikosteroid kerja lama dengan masa paruh >36 jam, adalah
parametason, betametason dan deksametason (Gunawan dan
Sulistia, 2011).
Tabel 3. Penggolongan obat golongan SAID berdasarkan waktu
paruhnya (Katzung, 2010).
AgenAnti-inflamasi
TopikalMenahan Garam
Dosis Oral yang Ekuivalen (mg)
Sediaan
Glukokortikoid keja singkat hingga sedangHidrokortison
1 1 1 20Oral, suntikan, topikal
Kortison 0.8 0 0.8 25 OralPrednison 40 0 0.3 5 OralPrednisolone
5 4 0.3 5Oral, suntikan
Metilprednisolon
5 5 0 4Oral, suntikan
Meprednison5 0 4
Oral, suntikan
Glukokortikoid kerja intermediet
Triamsinolon 5 5 0 4Oral, suntikan
Parametason 10 0 2Oral, suntikan
Fluprednison 15 7 0 1.5 oralGlukokortikoid kerja lama
Betametason 25-40 10 0 0.6Oral, suntikan, topikal
Deksametason 30 10 0 0.75Oral, suntikan, topikal
10. Teratogenesis
Hampir semua obat golongan kortikosteroid atau anti-inflamasi
steroid dapat mempengaruhi keadaan atau kondisi kehamilan ibu
seperti komplikasi, termasuk cleft palate, bayi lahir mati, dan aborsi
16
prematur, pernah dilaporkan pada wanita hamil dengan pengobatan
kortikosteroid sistemik. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
terapi obat ini semasa hamil harus dilakukan pemantauan tanda-tanda
insufisiensi adrenal. Kortikosteroid topikal tidak boleh digunakan dalam
jumlah besar, pada daerah yang luas dan jangka waktu lama pada ibu
hamil (AHFS, 2005).
11. Gambar Metabolisme Obat
a. Prednison
Prednison sepenuhnya dikonversi menjadi metabolit aktif
prednisolon oleh dehidrogenase 11β-hidroksisteroid. Hal ini
kemudian lebih lanjut dimetabolisme terutama di hati. Pemaparan
prednisolon adalah 4-6 kali lipat lebih tinggi dari prednison (Dilger et
al., 2004).
Gambar 3. Metabolisme prednison (Baid et al.,
2007).
b. Kortisol
Gambar 4. Metabolime kortisol (Baid et al., 2007).
Cytochrome P450 3A4
17
Kortison dan prednison merupakan prodrug. Obat ini baru aktif
setelah hidrokortison dan prednisolon (setelah mengalami
metabolisme di hati). Pada metabolisme di hati, dikonjugasikan
dengan asam glukuronat yang kemudian diekskresikan melalui urin
(Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. 2004).
Klirens prednisone dari sistem peredaran darah adalah 210 ml per
menit per 1,73 m2 dengan waktu paruh eliminasi sekitar 3 jam. Pada
kortikosteroid menunjukkan bahwa semakin banyak dosis yang
diberikan obat akan dibersihkan lebih cepat, karena berdasarkan
konsentrasi peningkatan fraksi terikat bebas dalam plasma. Klirens
prednison dan metil prednison lebih rendah 18% hinggan 28% dipagi
dan malam hari. Klirens dari prednison lebih lambat pada orang kulit
hitam dibandingkan kulit putih dan pada wanita dari pada pria. Namun,
perbedaan ini mungkin tidak memiliki implikasi klinis, dan penyesuaian
dosis tidak diperlukan. Ada hubungan berbanding terbalik antara
prednisolon dan usia (Cunningham, 2006).