BAB II anti inflamasi

21
BAB II PEMBAHASAN 1. Mekanisme Kerja Obat Anti-Inflamasi Steroid Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintetis protein spesifik. Induksi sintetis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid (Darmansjah, 2005). Sebagian besar efek glukokortikoid melibatkan interaksi dengan reseptor intraseluler yang mengatur 3

Transcript of BAB II anti inflamasi

Page 1: BAB II anti inflamasi

BAB II

PEMBAHASAN

1. Mekanisme Kerja Obat Anti-Inflamasi Steroid

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan

indikasi klinis yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life

saving drug. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek

samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam

penggunaannya dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi

kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan

kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid

yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi

volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein.

Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi

pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor

protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks

reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu

bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini

menstimulasi transkripsi RNA dan sintetis protein spesifik. Induksi

sintetis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid

(Darmansjah, 2005).

Sebagian besar efek glukokortikoid melibatkan interaksi dengan

reseptor intraseluler yang mengatur proses transkripsi gen. Efek

tersebut membutuhkan waktu yang lama. Glukokortikoid juga dapat

menghambat influks Ca2+ dalam syaraf hipokampus, dan efek tersebut

berlangsung cepat tanpa melibatkan interaksi dengan gen (non-

genomik) (Nugroho, 2012).

Efek utamanya adalah merangsang katabolisme protein dan

glukoneogenesis. Glukokorikoid merangsang pembentukan glukosa,

menyebabkan perombakan protein menjadi asam amino, dan

menurunkan sintesis protein. Disamping itu, hormon ini menurunkan

pengambilan dan penggunaan glukosa, sehingga mengakibatkan

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Glukokortikoid

mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresif yang poten. Hormon

3

Page 2: BAB II anti inflamasi

4

ini mengambat baik tahap awal dan tahap akhir dari proses inflamasi

hormon ini menghambat produksi prostanoid pada tahap perubahan

fosfolipid menjadi asam arakidonat, serta menurunkan aktivitas sitokin

(interleukin, TNF-) dan granulosit (Nugroho, 2012).

Aksi pada level genomik glukokortikoid dimediasi oleh translokasi

GR ke inti (Gambar 1). Dengan tidak adanya ligan glukokortikoid,

sitoplasma glukokortikoid membentuk heterokompleks dengan protein

yang menjaga GR dalam keadaan tidak aktif. Setelah glukokortikoid

terikat, GR memisah dari protein, homodimer-homodimer melalui ikatan

domain ligan C terminal dan translokasi ke inti. Setelah berada di inti,

GR kemudian dapat bertindak baik sebagai aktivator transkripsi atau

represor tergantung pada gen dan lingkungan seluler (Schlossmacher et

al., 2011).

Gambar 1. Mekanisme glukokortikoid dimediasi apoptosis .

Glukokortikoid dapat menimbulkan efek baik bersifat

genomik atau non-genomik, sedangkan jalur yang tepat

tidak jelas dan dapat bervariasi dalam jenis sel yang

berbeda dan diperkirakan bahwa glukokortikoid bekerja

melalui jalur mitokondria yang menyebabkan aktivasi

caspase (Schlossmacher et al., 2011)

Page 3: BAB II anti inflamasi

5

Dimer GR dapat mengikat GRE yang berada di daerah promotor

dari gen target. Setelah terikat pada GRE, reseptor glukokortikoid

mengikat koaktivator protein yang membuka struktur kromatin seperti

histon asetiltransferase. Protein termasuk anggota keluarga p160 protein

(SRC1, PGC1, AIB1, dan lain-lain). Regulasi transkripsi biasanya dapat

diamati beberapa jam setelah sinyal glukokortikoid asli. GR dapat

meregulasi transkripsi gen menggunakan mekanisme selain GRE klasik.

Gukokortikoid reseptor juga dapat mengikat faktor transkripsi ikatan

DNA lainnya yang disebut dengan proses tethering, dan memodulasi

efek samping yang timbul (Schlossmacher et al., 2011).

Glukokortikoid yang terikat GR juga bisa menekan gen target

melalui mekanisme serupa yang digunakan untuk aktivasi transkripsi,

yaitu DNA langsung mengikat melalui GRE negatif. GRE ini mendorong

pengikatan korepresor protein seperti histon deasetilase, misalnya

(NCoR) dan (SMRT), bahwa kromatin itu untuk membentuk struktur

yang tidak mendukung transkripsi (Perissi et al., 2010). Glukokortikoid

juga mampu menekan transkripsi oleh interaksi DNA dengan faktor

transkripsi lainnya dalam elemen komposit, misalnya dalam represi

mediasi glukokortikoid dari hormon pelepas gen kortikotropin (Malkoski

dan Dorin, 1999). Mekanisme represi lain yang termasuk faktor-faktor

tethering transkripsi ikatan DNA lainnya yaitu seperti dalam represi aksi

NF-κB dan melalui kompetisi dengan aktivator transkripsi untuk ikatan

DNA seperti represi ekspresi FasL oleh NF-κB (Schlossmacher et al.,

2011).

Glukokortikoid juga menurunkan komponen komplemen dalam

plasma, menurunkan pembentukan NO, menurunkan pelepasan

histamin dari sel dan menurunkan IgG. Berdasarkan hal itu,

glukokortikoid bisa digunakan sebagai agen antiinflamasi,

imunosupresan, dan antialergi (Nugroho, 2012).

Obat golongan glukokortikoid atau disebut juga obat-obat

golongan kortikosteroid yang menjadi obat utama dalam mengatasi

penyakit-penyakit inflamasi dan gangguan sistem imunitas. Obat

golongan kortikosteroid memiliki aksi yang luas, karena dapat

menghambat transkripsi gen berbagai sitokin dan mediator pro-

inflamasi, dan sebaliknya meningkatkan transkripsi gen senyawa anti

Page 4: BAB II anti inflamasi

6

inflamasi. Salah satu protein anti inflamasi yang ditingkatkan sintesisnya

oleh kortikosteroid adalah lipokortin-1 yang merupakan suatu inhibitor

fosfolipase A2 (Gambar 2). Fosfolipase A2 bekerja mengkatalisis

pembentukan asam arakhidonat, suatu prekursor prostaglandin yang

dikenal sebagai mediator inflamasi. Dengan picuan sintesis lipokortin-1

oleh obat-obat kortikosteroid, maka sintesis asam arakhidonat juga

terhambat, yang pada gilirannya juga menghambat pembentukan

mediator, baik yang melalui jalur siklooksigenase maupun

lipooksigenase. Mekanisme inilah yang menyebabkan obat golongan

kortikosteroid lebih poten dibanding obat AINS yang hanya menghambat

jalur siklooksigenase (Ikawati, 2006).

Gambar 2. Mekanisme aksi obat kortikosteroid sebagai anti inflamasi.

Kortikosteroid memicu sintesis lipokortin-1 yang

menghambat kerja fosfolipase A2 (Fan, 2012).

2. Sifat atau Efek Umum Obat Anti Inflamasi Steroid

Glukokortikoid dapat merangsang mobilisasi lemak dari jaringan

sehingga meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma.

Penggunaan jangka panjang akan mempengaruhi redistribusi lemak

menghasilkan obesitas, moonface, dan buffalo hump. Di samping itu,

Page 5: BAB II anti inflamasi

7

glukokortikoid mempunyai efek samping osteoporosis. Efeknya pada

metabolisme protein dapat memerlama waktu penyembuhan luka

(Nugroho, 2012).

3. Indikasi Pemberian Glukokortikoid

Obat kortikosteroid memiliki kegunaan terapetik yang luas, antara

lain sebagai anti inflamasi pada berbgai penyakit inflamasi kronis

maupun penyakit autoimun, seperti asma, rematoid arthritis, berbagai

penyakit alergi dan lupus eritermatosus. Kortikosteroid juga bisa

menekan sistem imun (daya tahan) tubuh. Itu sebabnya obat ini juga

menghilangkan gejala penyakit-penyakit akibat reaksi imun, misalnya

alergi dan sakit kulit (Sholekhudin, 2014). Adapun indikasi pemberian

glukokortikoid secara umum yaitu :

a. Terapi pengganti (substitusi) pada insufisiensi adrenal primer akut

dan kronis (disebut Addison’s disease), insufisiensi adrenal

sekunder dan tersier.

b. Diagnosis hipersekresi glukokortikoid (sindroma Cushing).

c. Menghilangkan gejala peradangan : peradangan rematoid,

peradangan tulang sendi (osteoartritis) dan peradangan kulit,

termasuk kemerahan, bengkak, panas dan nyeri yang biasanya

menyertai peradangan.

d. Terapi alergi. Digunakan pada pengobatan reaksi alergi obat, serum

dan transfusi, asma bronkhiale dan rinitis alergi (Gunawan dan

Sulistia, 2011).

4. Obat-obat Golongan SAID

Tabel 1. Pengenalan nama-nama obat branded generik dan

produsen obat yang memproduksi.

Obat Merk ProdusenDosis

(mg)

Dexamethasone CORSONA Phapros 500

CORTIDEX CORTIDEX 0.5

DEXA-M Dexa Medica 750

INDEXON Interbat 0.5

KALMETHASONE Hexpharm Jaya 0.5

Page 6: BAB II anti inflamasi

8

MOLACORT Molex Ayus 0.5

6- Methyl

Prednisolone

HEXILON Kalbe Farma 4

LAMESON Lapi 4

METISOL Hexpharm Jaya 4

SANEXON Sanbe 4

Methyilprednisolone

ERSOLON Erlimpex 4

FLASON Ikapharmindo 4

FUMETHYIL Futamed 4

GAMESOLONEGlobal Health

Pharma8

IFLAZ Kalbe Farma 4

INTIDROL Interbat 4

MEDIXON Ferron 4

MEDROL Pfizer 4

MEPROSON Meprofarm

MESOL Gracia Pharmindo 4

METHYLPREDNISOLON

E OGB DEXA MEDICADexa Medica 4

METHYLPREDNISOLON

E OGB MEDIKONMedikon

PHADILON Phapros 4

PREDNOX Pyridam 4

PROLON 8 Promed 8

RHEMEFAR Ifars 4

SIMDROL Simex 4

THIMELON

Ethica Industri Farmasi-

Joint Venture with

Fresenius Kabi

4

Methyilprednisolone TISOLON 4 Nufarindo 4

TISON Landson 4

TROPIDROL Tropica Mas Pharma 4

XILON Mahakam Beta

Farma

4

Page 7: BAB II anti inflamasi

9

YALONE Yarindo Farma 4

Triamcinolone

AMTOCORT Pharos 4

KENACORTTaisho

Pharmaceutical4

KETRICIN

TABLETFerron 4

TRIAMCORT Iterbat 4

ZILOVEN Ifars 4

(Anonim,

2013)

5. Sifat Unik Obat Golongan SAID

a. Prednison

Prednison adalah glukokortikoid prodrug yang diubah oleh

hidroksisteroid dalam hati ke dalam bentuk aktif, prednisolon. Hal ini

digunakan untuk mengobati penyakit radang tertentu (seperti reaksi

alergi yang parah) dan (pada dosis tinggi) beberapa jenis kanker,

tetapi memiliki banyak efek samping yang signifikan. Hal ini biasanya

diberikan secara oral namun dapat diberikan secara suntikan

intramuskular atau injeksi intravena. Perubahan farmakokinetik

prednison pada geriatri terutama pada penurunan fungsi hati dan

ginjal. Sehingga akan terganggunya proses eleminasi prednison

dimana prednison sebagian besar dieleminasi di hati dan sebagian

kecil dieleminasi di ginjal. Oleh karena itu untuk pemakaian pada

kelompok geriatri diberikan penyesuaian dosis menggunakan dosis

efektif terendah yaitu kurang dari 10 mg per hari (Lacy, 2010).

Penggunaan jangka panjang pada orang tua harus direncanakan

mengingat semakin serius konsekuensi umum efek samping dari

prednisone di usia tua, terutama osteoporosis, diabetes, hipertensi,

hipokalemia, kerentanan terhadap infeksi dan penipisan kulit.

Pengawasan medis yang ketat diperlukan untuk menghindari reaksi

yang mengancam kehidupan. Pasien geriatri terutama wanita post

menopause mungkin lebih mungkin untuk mengembangkan

glukokortikoid induced osteoporosis (Lacy, 2010).

Page 8: BAB II anti inflamasi

10

b. Kortisol (Hidrokortison)

Kortisol memiliki bayak efek fisiologik, termasuk regulasi

metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan, dan

imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem

syaraf pusat, yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif oleh

kortisol dan glukokortikoid eksogen dalam sirkulasi. Waktu paruh

kortisol dalam peredaran biasanya sekitar 60-90 menit, waktu paruh

dapat meningkat ketika diberikan hidrokortison (preparat farmasi

untuk kortisol) dalam jumlah besar atau ketika terdapat stress,

hipotiroidism, atau penyakit hati (Katzung, 2010).

c. Deksametason

Deksametason dan derivatnya, deksametason sodium fosfat

dan deksametason asetat, merupakan glukokortikoid sintetik yang

digunakan sebagai anti-inflamasi atau imunosupresan. Sebagai

glukokortikoid, deksametason 20-30 kali lebih poten dibanding

hidrokortison dan 5-7 kali lebih poten dibanding prednison,

mengalami metabolisme di hati menjadi bentuk inaktif (AHFS, 2005).

Deksametason memiliki sifat fisikokimia yaitu praktis tidak larut

dalam air, agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam

dioksan dan dalam metanol, sukar larut dalam kloroform; sangat

sukar larut dalam eter (Anonim, 1995).

d. Triamsinolon

Triamsinolon dapat diabsorpsi (sistemik) melalui

penggunaan topikal. Dapat melintasi sawar plasenta. Terikat pada

protein darah (albumin plasma) namun dalam konsentrasi yang lebih

rendah dibandingkan hidrokortison. Waktu paruh eliminasi sekitar 2-

5 jam. Diekskresi melalui urin dan feses. Sebagai hormon

glukokortikoid, triamsinolon bekerja menghambat migrasi leukosit

polimorfonuklear dan menurunkan permeabilitas pembuluh darah

kapiler, sehingga menekan reaksi inflamasi (Martindale, 1997).

6. Efek Samping yang Kemungkinan Fatal dari Obat SAID

Glukokortikoid mempunyai efek penting terhadap sistem syaraf.

Peningkatan jumlah kortikosteroid sering menimbulkan gangguan

Page 9: BAB II anti inflamasi

11

perilaku pada manusia, pada awalnya terjadi insomnia dan euphoria,

dan lama kelainan, timbul depresi. Gulkokortikoid dosis besar dapat

meningkatkan tekanan intrakarnial (pseudotumor serebri). Glukokortikoid

yang diberikan secara menahun menekan pelepasan ACTH, hormon

pertumbuhan, dan hormon luteinisasi dari hipofisis. Glikokortikoid juga

mempunyai efek penting terhadap perkembangan paru janin. Memang,

perubahan struktural dan fungsional pada paru janin, termasuk produksi

bahan aktif pada permukaan paru yang dibutuhkan untuk bernapas. Jika

glukokortikoid digunakan untuk waktu singkat (kurang dari 2 minggu),

jarang terlihat efek samping yang serius. Pankreatitis akut merupakan

efek samping glukokortikoid dosis tinggi yang jarang terjadi tapi berat

(Katzung, 2010).

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar daripada jumlah fisiologis,

steroid seperti kortison dan hidrokortison, yang mempunyai efek

mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, menyebabkan retensi

natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita yang memiliki

kerja ginjal dan kardiovaskuler normal, hal ini dapat menimbulkan

alkalosis hipokloremik hipokalemik dan pada akhirnya dapat

meningkatkan tekanan darah. Pada penderita penyakit jantung, sedikit

retensi natrium saja sudah dapat menyebabkan gagal jantung. Efek ini

dapat diminimalisasi dengan menggunakan steroid sintetik yang tidak

meretensi garam, retriksi natrium, dan sejumlah suplemen kalium

(Katzung, 2010).

7. Interaksi Obat

Tabel 2. Interaksi deksametason dengan beberapa obat.

No

.Obat Interaksi

1. Antikoagulan, oral Saling bertentangan pada respon koagulan

2.Terapi anti

diabetes

Peningkatan konsentrasi glukosa darah pada

diabetes mellitus

3. Barbiturat Menurunkan konsentrasi darah dari

deksametason

Page 10: BAB II anti inflamasi

12

4. Karbamazepin

Menurunkan konsentrasi darah dari

deksametason

5.

Diuretics,

potassium-

depleting

Meningkatkan efek buang kalium dari

glukokortikoid

6. Efedrin

Menurunkan konsntrasi darah dari

deksametason

Dapat mengganggu kerja deksametason

8. IndinavirMenurunkan konsentrasi plasma dari

indinavir

9. IndometasinHasil negatif palsu pada uji tekanan

deksametason

10. Ketokonazole

Peningkatan konsentrasi deksametason

plasma

Menghambat sintesis kortikosteroid adrenal,

menyebabkan insufisiensi adrenal selama

penarikan kortikosteroid

11.Antibiotik

Makrolida

Peningkatan konsentrasi deksametason

plasma

12. NSAID

Meningkatkan risiko GI ulserasi

Penurunan konsentrasi salisilat serum.

Ketika kortikosteroid dihentikan, konsentrasi

serum salisilat dapat meningkat, mungkin

mengakibatkan keracunan salisilat

13. Fenitoin

Konsentrasi darah menurun dari

deksametason

Laporan yang saling bertentangan dari

peningkatan dan penurunan konsentrasi

fenitoin darah yang menuju ke perubahan

pada kontrol kejang

14. Rifampin Penurunan konsentrasi darah

deksametason,

Dapat mengganggu tes penekanan

Page 11: BAB II anti inflamasi

13

deksametason

15. Vaksin dan racun

Dapat menyebabkan respon berkurang untuk

toksoid dan hidup atau vaksin tidak aktif

Dapat memperburuk reaksi neurologis untuk

beberapa vaksin (dosis suprafisiologis)

(AHFS,

2011)

8. Efek-efek Glukokortikoid

Kortikosteroid jika diminum setiap hari, dalam tempo seminggu

bisa menimbulkan efek samping antara lain tekanan darah naik, kaki

bengkak, glaukoma (hipertensi di mata), hingga kenaikan berat badan.

Efek samping yang terakhir ini sering dimanfaatkan oleh pembuat jamu

oplosan untuk meracik obat penambah nafsu makan dan peningkat

berat badan, misalnya buat anak yang kurus. Jika digunakan dalam

jangka panjang, misalnya sampai berbulan-bulan, efek buruknya lebih

banyak lagi. Mulai dari risiko gangguan penglihatan, hipertensi, daya

tahan tubuh rendah (membuat peminumnya jadi mudah sakit dan

gampang terinfeksi), tulang keropos (osteoporosis), tukak (luka)

lambung, gangguan siklus menstruasi, dan masih banyak lagi

(Sholekhudin, 2014).

Adapun efek-efek yang dimiliki oleh obat golongan kortikosteroid

atau glukokortikoid adalah sebagai berikut :

a. Merangsang glikogenolisis (katalisis glikogen menjadi glukosa) dan

glikoneogenolisis (katalisa lemak / protein menjadi glukosa)

sehingga kadar gula darah meningkat dan pembentukan glikogen di

dalam hati dan jaringan menurun. Kadar kortikosteroid yang

meningkat akan menyebabkan gangguan distribusi lemak, sebagian

lemak di bagian tubuh berkurang dan sebagian akan menumpuk

pada bagian muka (moonface), tengkuk (buffalo hump), perut dan

lengan.

b. Meningkatkan resistensi terhadap stress. Dengan meningkatkan

kadar glukosa plasma, glukokortikoid memberikan energi yang

diperlukan tubuh untuk melawan stress yang disebabkan, misalnya

Page 12: BAB II anti inflamasi

14

oleh trauma, ketakutan, infeksi, perdarahan atau infeksi yang

melemahkan. Glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan

tekanan darah dengan jalan meningkatkan efek vasokontriktor

rangsangan adrenergik pada pembuluh darah.

c. Merubah kadar sel darah dalam plasma. Glukokortikoid

menyebabkan menurunnya komponen sel-sel darah putih/leukosit

(eosinofil, basofil, monosit dan limfosit). Sebaliknya glukokortikoid

meningkatkan kadar hemoglobin, trombosit dan eritrosit.

d. Efek anti inflamasi.  Glukokortikoid dapat mengurangi respons

inflamasi secara drastis dan dapat menekan sistem imun.

e. Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin. Penghambatan

umpan balik produksi kortikotropin oleh peningkatan glukokortikoid

menyebabkan penghambatan sintesis glukokortikoid lebih lanjut.

f. Efek anti alergi. Glukokortikoid dapat mencegah pelepasan

histamin.

g. Efek pada pertumbuhan. Glukokortikoid yang diberikan jangka lama

dapat menghambat proses pertumbuhan karena menghambat

sintesis protein, meningkatkan katabolisme protein dan

menghambat sekresi hormon pertumbuhan.

h. Efek pada sistem lain.  Hal ini sangat berkaitan dengan efek

samping hormon. Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam

lambung dan produksi pepsin dan dapat menyebabkan kambuh

berulangnya (eksaserbasi) borok lambung (ulkus). Juga telah

ditemui efek pada SSP yang mempengaruhi status mental. Terapi

glukokortikoid kronik dapat menyebabkan kehilangan massa tulang

yang berat (osteoporosis). Juga menimbulkan gangguan pada otot

(miopati) dengan gejala keluhan lemah otot (Katzung, 2010).

9. Waktu Paruh Tiap Obat

Obat-obat anti inflamasi steroid yang merupakan obat-obat

golongan kortikosteroid (glukokortikoid) memilik waktu atau masa paruh

yang berbeda-beda. Adapun waktu paruh obat-obat kortikosteroid

yaitu :

Page 13: BAB II anti inflamasi

15

a. Kortikosteroid kerja singkat dengan masa paruh < 12 jam, yang

termasuk golongan ini adalah kortisol/hidrokortison, kortison,

kortikosteron, fludrokortison.

b. Kortikosteroid kerja sedang dengan masa paruh 12 – 36 jam, yaitu

metilprednisolon, prednison, prednisolon, dan triamsinolon.

c. Kortikosteroid kerja lama dengan masa paruh >36 jam, adalah

parametason, betametason dan deksametason (Gunawan dan

Sulistia, 2011).

Tabel 3. Penggolongan obat golongan SAID berdasarkan waktu

paruhnya (Katzung, 2010).

AgenAnti-inflamasi

TopikalMenahan Garam

Dosis Oral yang Ekuivalen (mg)

Sediaan

Glukokortikoid keja singkat hingga sedangHidrokortison

1 1 1 20Oral, suntikan, topikal

Kortison 0.8 0 0.8 25 OralPrednison 40 0 0.3 5 OralPrednisolone

5 4 0.3 5Oral, suntikan

Metilprednisolon

5 5 0 4Oral, suntikan

Meprednison5 0 4

Oral, suntikan

Glukokortikoid kerja intermediet

Triamsinolon 5 5 0 4Oral, suntikan

Parametason 10 0 2Oral, suntikan

Fluprednison 15 7 0 1.5 oralGlukokortikoid kerja lama

Betametason 25-40 10 0 0.6Oral, suntikan, topikal

Deksametason 30 10 0 0.75Oral, suntikan, topikal

10. Teratogenesis

Hampir semua obat golongan kortikosteroid atau anti-inflamasi

steroid dapat mempengaruhi keadaan atau kondisi kehamilan ibu

seperti komplikasi, termasuk cleft palate, bayi lahir mati, dan aborsi

Page 14: BAB II anti inflamasi

16

prematur, pernah dilaporkan pada wanita hamil dengan pengobatan

kortikosteroid sistemik. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat

terapi obat ini semasa hamil harus dilakukan pemantauan tanda-tanda

insufisiensi adrenal. Kortikosteroid topikal tidak boleh digunakan dalam

jumlah besar, pada daerah yang luas dan jangka waktu lama pada ibu

hamil (AHFS, 2005).

11. Gambar Metabolisme Obat

a. Prednison

Prednison sepenuhnya dikonversi menjadi metabolit aktif

prednisolon oleh dehidrogenase 11β-hidroksisteroid. Hal ini

kemudian lebih lanjut dimetabolisme terutama di hati. Pemaparan

prednisolon adalah 4-6 kali lipat lebih tinggi dari prednison (Dilger et

al., 2004).

Gambar 3. Metabolisme prednison (Baid et al.,

2007).

b. Kortisol

Gambar 4. Metabolime kortisol (Baid et al., 2007).

Cytochrome P450 3A4

Page 15: BAB II anti inflamasi

17

Kortison dan prednison merupakan prodrug. Obat ini baru aktif

setelah hidrokortison dan prednisolon (setelah mengalami

metabolisme di hati). Pada metabolisme di hati, dikonjugasikan

dengan asam glukuronat yang kemudian diekskresikan melalui urin

(Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya. 2004).

Klirens prednisone dari sistem peredaran darah adalah 210 ml per

menit per 1,73 m2 dengan waktu paruh eliminasi sekitar 3 jam. Pada

kortikosteroid menunjukkan bahwa semakin banyak dosis yang

diberikan obat akan dibersihkan lebih cepat, karena berdasarkan

konsentrasi peningkatan fraksi terikat bebas dalam plasma. Klirens

prednison dan metil prednison lebih rendah 18% hinggan 28% dipagi

dan malam hari. Klirens dari prednison lebih lambat pada orang kulit

hitam dibandingkan kulit putih dan pada wanita dari pada pria. Namun,

perbedaan ini mungkin tidak memiliki implikasi klinis, dan penyesuaian

dosis tidak diperlukan. Ada hubungan berbanding terbalik antara

prednisolon dan usia (Cunningham, 2006).