BAB I SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA A. … TEKS FILSAFAT BAHASA.pdf · menganggap bahwa...

286
1 BAB I SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA A. Pengertian Filsafat Analitis Filsafat analitis (Analytical Philosophy) adalah satu mainstream dalam bidang filsafat yang muncul sebagai reaksi atas pemikiran neohegelianisme yang masuk ke Inggris pada pertengahan abad kesembilanbelas. Para filsuf Inggeris yang dapat dikategorikan sebagai filsuf analitis awal seperti: G.E.Moore dan Bertrand Russell menganggap bahwa ungkapan filsafat neohegelianisme itu selain sulit dimengerti, tetapi juga telah menyimpang dari logika akal sehat. Charlesworth, salah seorang pemerhati Filsafat analitis mengomentari bahwa filsafat di Inggris setelah melewati kurun waktu lima puluh tahun mulai bangkit dalam suatu bentuk revolusi menentang pengaruh pemikiran neohegelianisme (Charlesworth, 1959 : 1). Hamersma, penulis Filsafat Barat Moderen menegaskan bahwa filsafat analitis melahirkan

Transcript of BAB I SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA A. … TEKS FILSAFAT BAHASA.pdf · menganggap bahwa...

1

BAB I

SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA

A. Pengertian Filsafat Analitis

Filsafat analitis (Analytical Philosophy) adalah satu

mainstream dalam bidang filsafat yang muncul sebagai

reaksi atas pemikiran neohegelianisme yang masuk ke

Inggris pada pertengahan abad kesembilanbelas. Para

filsuf Inggeris yang dapat dikategorikan sebagai filsuf

analitis awal seperti: G.E.Moore dan Bertrand Russell

menganggap bahwa ungkapan filsafat neohegelianisme

itu selain sulit dimengerti, tetapi juga telah menyimpang

dari logika akal sehat. Charlesworth, salah seorang

pemerhati Filsafat analitis mengomentari bahwa filsafat

di Inggris setelah melewati kurun waktu lima puluh

tahun mulai bangkit dalam suatu bentuk revolusi

menentang pengaruh pemikiran neohegelianisme

(Charlesworth, 1959 : 1).

Hamersma, penulis Filsafat Barat Moderen

menegaskan bahwa filsafat analitis melahirkan

2

kecenderungan filsafat yang bercorak logosentrisme.

Logosentrisme artinya terkait dengan bahasa, teks, isi

pemikiran, kata, dan pembicaraan. Tujuan analisis

bahasa adalah menghasilkan pengetahuan yang benar

tentang dunia, karena unsur-unsur terkecil bidang pikiran

(mind), yaitu unsur terkecil dari bahasa (logical

atomism) merupakan gambaran dari unsur paling kecil

bidang matter, yaitu atomic facts. Hamersma menyitir

pemikiran Russell yang menekankan analisis bahasa

sebagai jalan aman untuk menghindari spekulasi

metafisis sebagaimana yang dilakukan penganut

neoidealisme (Hamersma, 1983: 135-141).

Sejatinya benih-benih filsafat analitis sudah

muncul dalam pemikiran Immanuel Kant yang secara

tajam memilah dan membedakan beberapa bentuk

putusan. Menurut Quine dalam artikelnya yang berjudul

Two Dogmas of Empiricism, Kant membedakan antara

kebenaran analitis dan sintesis yang dipengaruhi

pemikiran Hume tentang pembedaan antara relasi

gagasan dan fakta, sebagaimana pula halnya pembedaan

yang dilakukan Leibniz tentang pembedaan antara

kebenaran akal dan kebenaran fakta. Kebenaran akal

3

bagi Leibniz berarti benar dalam semua dunia yang

mungkin (Quine, 1997: 197). Hamersma membedakan

tiga macam pengetahuan dalam pemikiran Kant, yaitu

pengetahuan analitis - a priori, sintetis - a posteriori, dan

sintetis - a priori (Hamersma, 1983: 29).

Pertama, pengetahuan analitis adalah jenis

pengetahuan yang predikat sudah termuat dalam subjek,

predikat dapat diketahui melalui analisis subjek. Contoh:

Lingkaran ini bulat; jumlah sebuah sudut segitiga adalah

180 derajat. Solomon menjelaskan tentang analitis dalam

pemikiran Kant sebagai berikut:

―Analytic (of) a sentence or truth) demonstrably

true (and necessasarily true) by virtue of the

logical form or the meanings of the components

words. The concept was introduced by Kant, who

defined it in terms of a sentence (he called it a

judgment) in which the predicate was contained

in the subject and added nothing to it‖ (Solomon,

1992: 329).

Berdasarkan penjelasan Solomon ini ada dua ciri

penting yang terdapat dalam pernyataan analitis yaitu

predikat sudah termasuk ke dalam subjek dan

pengetahuan analitis ini tidak menambahkan sesuatu

yang baru.

4

Kedua, pengetahuan sintetis-a posteriori adalah

jenis pengetahuan yang predikatnya dihubungkan dengan

subjek berdasarkan pengalaman inderawi. Solomon

menegaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan a

posteriori adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh

setelah dialami, after experience or empirical . Contoh:

―hari ini cuaca panas sekali‖, ini merupakan hasil

pengamatan inderawi (Solomon, 1992: 330).

Ketiga, pengetahuan sintetis - a priori yaitu jenis

pengetahuan yang menempatkan akal budi dan

pengalaman inderawi secara serentak. Contoh: 10 x 100

=1000. Ilmu pengetahuan alam juga bersifat sintetis - a

priori, sehingga untuk penjelasannya diperlukan sebuah

analisis struktur seluruh proses pengetahuan (Hamersma,

1983: 29). A priori menurut Solomon bebas dari semua

pengalaman. Ia menegaskan:

‖A priori knowledge is always necessary, for there

can be no imaginable instances that would refute it

and no intelligible doubting of it. Knowledge is a

priori if it can be proven independently of

experience‖ (Solomon, 1992: 330).

Kant sendiri menegaskan tentang bentuk putusan

analitis dan sintetis dengan mengatakan bahwa dalam

5

semua keputusan dimana relasi subjek pada predikat

dipikirkan (Kant menyebutnya keputusan afirmatif),

maka relasi tersebut hanya dapat dibedakan dalam dua

cara. Relasi pertama, predikat B termasuk ke dalam

subjek A. Relasi kedua, predikat B terletak di luar

konsepsi A. Relasi pertama dinamakan Kant dengan

istilah keputusan analitis, sedangkan relasi kedua

dinamakannya keputusan sintetis. Keputusan analitis

yang bersifat afirmatif menunjukkan bahwa hubungan

antara predikat dengan subjek diketahui melalui

identitas, sedangkan dalam keputusan sintetis hubungan

antara predikat dengan subjek diketahui tanpa identitas.

Kant menegaskan hal tersebut dalam pernyataan sebagai

berikut:

‖In all judgements wherein the relation of a

subject to the predicate is cogitated (I mention

affirmative judgements only here; the application

to negative will be very easy), this relation is

possible in two different ways. Either the predicate

B belongs to the subject A, as somewhat which is

contained (though covertly) in the conception A; or

the predicate B lies completely out of the

conception A, although it stands in connection with

it. In the first instance, I term the judgement

analytical, in the second, synthetical. Analytical

6

judgements (affirmative) are therefore those in

which the connection of the predicate with the

subject is cogitated through identity; those in

which this connection is cogitated without identity,

are called synthetical judgements‖ (Kant, 2009:

25).

Sebagaimana yang diketahui dalam pemikiran

Kant, bentuk penyimpulan analitis - a priori merupakan

ciri pemikiran rasionalisme yang menyatakan bahwa

predikat sudah dengan sendirinya termasuk ke dalam

subjek; tidak dengan sendirinya mengenai kenyataan;

tidak memberikan pengertian baru. Pernyataan analitis -

a priori hanya merupakan pengertian formal, suatu

tautologi, sebenarnya hanya suatu konsep. Kant

menegaskan tentang analitis dalam pernyataan

berikut:‖Analytical judgements (affirmative) are

therefore those in which the connection of the predicate

with the subject is cogitated through identity” (Kant,

2009: 15). Contoh: Lingkaran itu bulat. Bulat merupakan

hakikat dari sebuah lingkaran, sehingga pernyataan

―lingkaran itu bulat‖ hanya merupakan bentuk

penegasan. Menurut Quine, sebuah pernyataan dikatakan

analitis bilamana pernyataan itu benar atas dasar makna

7

dari pernyataan itu sendiri dan terbebas dari fakta

(Quine, 1994: 197).

Adapun bentuk penyimpulan sintetis-a posteriori

adalah perpaduan dari dua atau beberapa komponen

sehingga membentuk pengertian baru. Sifat sintetis a

posteriori yaitu adanya relasi subjek dan predikat

berdasarkan objek riil, sehingga menimbulkan kesatuan

dari hal-hal yang berbeda. Contoh: Tembok kampus

UGM itu berwarna krem. Krem bukanlah merupakan

keniscayaan dari tembok kampus UGM tersebut, dalam

hal ini perpaduan tembok dan warna krem lebih

didasarkan pada pencerapan inderawi manusia (a

posteriori), karena bisa saja terjadi tembok gedung itu

dicat dengan warna selain krem (misalnya: putih). Kant

kemudian memadukan kedua bentuk penyimpulan itu

menjadi sintetis – a priori, yaitu bentuk penyimpulan

yang predikat belum dengan sendirinya termasuk ke

dalam subjek, namun memberikan pengertian baru.

Contoh: Air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius;

Bumi berputar sekitar porosnya setiap 24 jam. Sifat

sintesis a priori ini ialah pengertian umum-universal dan

pasti (Harun Hadiwijono, 1980 : 65; Bakker, 1984: 90).

8

Kant sendiri menjelaskan tentang pengetahuan a priori

dan a posteriori bahwasanya yang dimaksud dengan

istilah pengetahuan a priori, yaitu kita akan

meletakkannya dalam pengertian akibat yang

ditimbulkannya, bukan sebagai seperti pengetahuan yang

tergantung pada pengalaman, melainkan pengetahuan

yang sama sekali terlepas dari pengalaman. Pengetahuan

a priori ini berbeda dengan pengetahuan empiris, ia

bersifat murni, karena di dalamnya tidak ada unsur

empiris. Kant mencontohkan pengetahuan a priori dalam

proposisi ―setiap perubahan ada penyebabnya‖, alasan

Kant perubahan merupakan suatu konsepsi yang dapat

dijabarkan dari pengalaman (Kant, 2009:29).

Di samping itu Kant mementingkan pengetahuan

empiris (empirical knowledge) yang menentukan sebuah

objek melalui persepsi. Pengalaman adalah sebuah

sintesis persepsi, namun tidak termuat dalam persepsi

melainkan terkandung dalam pengalaman itu sendiri

dalam suatu kesadaran kesatuan sintesis dari bermacam-

macam persepsi. Kesatuan sintesis inilah yang

membentuk hakikat dalam berbagai pengetahuan tentang

objek yang diindera, yakni dalam pengalaman yang

9

dibedakan dari intuisi atau sensasi indera semata

(Cassirer, 1968: 152).

Judowibowo menengarai bahwa filsafat analitis

yang menaruh perhatian terhadap analisis bahasa sebagai

sebuah metode penyelidikan filsafati ini berkembang dan

dapat dibagi ke dalam tiga tahap yang berbeda, yaitu

tahap Atomisme Logis (Logical Atomism), Positivisme

Logis (Logical Positivism), dan Filsafat Bahasa Biasa

(Ordinary Language Philosophy) (Judowibowo, TT: 3).

Berdasarkan hasil penelusuran penulis atas sejarah

perkembangan pemikiran filsafat analitis, maka sejatinya

sejarah perkembangan filsafat analitis dapat ditelusuri

dalam lima tahap, yaitu tahap perintis filsafat analitis

yang didukung filsuf analitis awal seperti: G.E.Moore

dan B.Russell; tahap penentuan bahasa ideal bagi

filsafat yang dimotori oleh B.Russell dan Ludwig

Wittgenstein periode Tractatus (dinamakan Atomisme

Logis); tahap penentuan kriteria makna ungkapan

filsafati yang dikemukakan A.J.Ayer sebagai tokoh

Positivisme Logis; tahap kesadaran atas pentingnya

bahasa biasa sebagai bentuk komunikasi yang hakiki

yang dimotori Ludwig Wittgenstein periode

10

Philosophical Investigations dan J.L.Austin (Ordinary

Language Philosophy); tahap penerapan filsafat

analitis ke dalam berbagai kajian ilmiah seperti yang

dilakukan J.F.Lyotard. Kelima tahap tersebut

memainkan peranan penting sekaligus memperlihatkan

corak pemikiran yang cukup berbeda, meskipun tentu

saja ada kemiripan yang dapat ditemukan dalam setiap

tahapan.

Russell sebagai salah seorang tokoh filsafat analitis

menegaskan bahwa tugas sentral filsafat ialah

memahami dunia, untuk dapat menjalankan tugas sentral

filsafat tersebut menurut Russell ada dua kewajiban

filosofis. Pertama, menganalisis keyakinan-keyakinan

filosofis yang paling penting, sehingga menjadikan para

filsuf kritis terhadap dirinya sendiri dan pemikiran orang

lain mengenai apa makna dan kandungan dari keyakinan

tersebut. Kedua, memiliki dasar-dasar yang memadai

sebagai syarat untuk meyakininya dengan cara

mengajukan bukti atau argumen yang kuat dan valid

tentang kebenaran keyakinan filosofis, sekaligus mampu

menjawab secara efektif kritik terhadap keyakinan yang

dimiliki para filsuf (Magee, 2000: 120-121). Tugas

11

filsafat analitis lainnya yang tidak kalah penting, yaitu

memberikan klarifikasi terhadap pernyataan-pernyataan

filsafat itu sendiri, sehingga tidak terjadi

kesalahpahaman atas gagasan yang diungkapkan para

filsuf. Wittgenstein menegaskan tugas filsafat itu dalam

pernyataan berikut:

―The object of philosophy is the logical clarification

of thoughts. Philosophy is not a theory but an

activity. A philosophical work consist essentially of

elucidations. The result of philosophy is not a

number of philosophical propositions, but to make

propositions clear‖ (Wittgenstein, 1995: 77).

(―Objek filsafat adalah klarifikasi logis dari

pemikiran-pemikiran. Filsafat bukanlah sebuah teori

namun suatu aktivitas. Sebuah karya filosofis

dasarnya terdiri dari penjelasan-penjelasan. Hasil

dari filsafat bukanlah sejumlah proposisi filosofis,

tetapi untuk membuat proposisi menjadi jelas‖).

Filsafat analitis bertitik tolak dari asumsi bahwa

analisis linguistik merupakan satu-satunya aktivitas

filosofi yang sah, karena para filsuf analitis menganggap

bahwa pernyataan metafisis sebagai persoalan yang tidak

mengandung arti atau omong kosong (nonsense). Tujuan

analisis linguistik adalah menjadikan setiap pernyataan

sedapat mungkin sesuai dengan data atau pengalaman,

12

sekaligus menjelaskan permasalahan dan menghilangkan

kekaburan dalam pernyataan filosofis. Filsafat itu pada

hakikatnya hanya membicarakan bahasa, sehingga

apabila seorang filsuf telah memutuskan bahwa suatu

pernyataan itu bermakna, dan memberitahukan tentang

alam dan tidak hanya tentang caranya mempergunakan

perkataan, maka tibalah giliran para ahli sains untuk

menguji kebenaran pernyataan tersebut (Titus, dkk,

1984:367-368).

Hans-Johann Glock dalam karyanya What is

Analytic Philosophy? menjelaskan bahwa istilah filsafat

analitis itu sesungguhnya merupakan istilah teknis yang

dipergunakan oleh para akademikus, mahasiswa, dan

intelektual profesional yang bertitik tolak dari tradisi

intelektual yang mengakui paradigma atas sebuah

fenomena historis yang bersifat intrinsik tentang cara

kerja metode analitika bahasa. Istilah analisis sendiri

pada mulanya dijabarkan dari persoalan yang diajukan

Socrates untuk mendefinisikan beberapa istilah

seperti:‖kebaikan‖, ―pengetahuan‖, yang kemudian

dikembangkan oleh Plato sebagai pembagian atau

pembelahan (division). Istilah analysis sendiri berasal

13

dari bahasa Yunani analusis yang artinya membubarkan

(dissolving) dan melepaskan (loosening up). Istilah

tersebut juga dihubungkan dengan konsep analysandum

yaitu sesuatu yang akan dianalisis, dan analysans,

kegiatan menganalisis (Glock, 2008: 21).

Martinich dan David Sosa dalam karyanya Analytic

Philosophy: An Anthology menjelaskan bahwa istilah

filsafat analitis merupakan sebuah gerakan filsafat yang

pada awalnya muncul di Inggris untuk melakukan

perincian atas konsep yang kompleks sehingga dapat

ditemukan konsep yang lebih sederhana. Sebagai contoh:

konsep pengetahuan (knowledge) yang dipahami ke

dalam beberapa konsep seperti: kebenaran, kepercayaan,

dan pembenaran, kemudian dianalisis sehingga menjadi

kepercayaan yang dibenarkan (justified true belief).

Filsafat analitis pada awalnya mendapat pengaruh dari

Frege dan Russell, kemudian dikembangkan lebih lanjut

oleh Wittgenstein, hingga memengaruhi tokoh-tokoh

seperti; A.J.Ayer, Austin, G.Ryle, W.V.O.Quine.

Mereka dipandang sebagai filsuf analitis yang

mengembangkan berbagai konsep pemikiran tentang

analitika bahasa (Martinich and Sosa, 2001: 1-3).

14

Martinich dalam karyanya yang lain, A Companion

To Analytic Philosophy menegaskan bahwa istilah umum

filsafat analitis secara praktis digunakan pada paruh

pertama abad keduapuluh di negara-negara berbahasa

Inggris dan Jerman, kemudian berkembang pula di

Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Analisis

konsep bertujuan untuk memecah konsep-konsep yang

kompleks ke dalam bentuk komponen-komponen yang

lebih sederhana. Rancangan konseptual inilah yang

membedakan aktivitas filosofis dari berbagai analisis

yang yang diterapkan terhadap objek-objek nir-

konseptual (Martinich and Sosa, 2001: 1).

Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan para

pemikir dan komentator di atas maka dapat dipahami

bahwa filsafat analitis merupakan sebuah gerakan yang

pada awalnya muncul di Inggris, kemudian

memengaruhi pemikiran filsafat secara luas dengan

fokus utama pada kegiatan menganalisis konsep

pemikiran agar diperoleh kejelasan makna. Analisis

konsep pemikiran dapat berkembang secara luas, karena

bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan

dan pemikiran itu merupakan seni dalam kehidupan

15

sosial. Quine dalam kata pengantar bukunya Word and

Object menegaskan bahwa bahasa adalah seni sosial,

karena dalam mendapatkan bahasa seseorang sangat

tergantung pada isyarat hubungan antara subjek tentang

apa yang dikatakan dan kapan itu dikatakan (Quine,

1994: ix). Dengan demikian analisis konsep mutlak

diperlukan untuk mendapatkan kejelasan makna dan

menghindarkan pemaknaan subjektif yang berlebihan

dalam memahami suatu objek. Dalam hal ini problem

arti atau makna merupakan salah satu fokus pembicaraan

para filsuf analitis

B. Kajian Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang

filsafat yang menaruh perhatian terhadap penggunaan

bahasa dalam bidang filsafat. Para filsuf analitis

meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan penggunaan

bahasa dalam bidang filsafat, sehingga menimbulkan

kekacauan dan kesalahpahaman atas makna yang

sesungguhnya. Para filsuf analitis menengarai bahwa

salah satu sumber kekacauan bahasa dalam filsafat

bersemi dalam cabang metafisika. Kaum metafisikus

16

dianggap paling bertanggungjawab atas penggunaan

bahasa yang bernuansa ambiguitas (ambiguity),

ketidaktersuratan (inexplicitness), kekaburan

(vagueness), sehingga diperlukan klarifikasi dan

penjernihan atas bahasa filsafat.

Filsafat bahasa lahir sebagai sikap skeptis atas

ungkapan metafisika yang mengaburkan makna suatu

ungkapan dengan realitas yang sesungguhnya. Filsafat

bahasa menurut Honderich dalam The Oxford

Companion to Philosophy (1995: 937) mengkaji tentang

presupposition of language dan nature of language.

Kajian tentang presupposition of language

membicarakan masalah bahasa privat, ide bawaan, dan

intensionalitas bahasa. Kajian tentang nature of language

membahas masalah gramatika bahasa, relasi antara

bahasa dengan sistem simbol lain, serta relasi bahasa

dengan interpretasi, penerjemahan, dan analisis.

Kaelan (2009: 5-6) menemukenali filsafat bahasa

itu ke dalam dua macam pengertian; pertama, perhatian

pra filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan

menjelaskan problema dan konsep dalam bidang filsafat.

Kedua, filsafat bahasa sebagaimana halnya dengan

17

cabang-cabang filsafat lainnya, hanya fokus

pembahasannya meletakkan bahasa sebagai objek

material filsafat, sehingga membahas hakikat bahasa itu

sendiri.

Toety Herati meletakkan perbincangan filsafat

bahasa ini sebagai bentuk meta-language yang

menekankan pada metode analisis sebagai pendekatan

khas filsafat analitis. Lantaran menganalisis bahasa

filsafat maka dinamai filsafat bahasa (Toety Herati,

1984: 73).

C. Pengertian Semiotika

Semiotika merupakan bidang kajian yang

berkembang cukup pesat dalam wilayah kebahasaan dan

komunikasi. Kedua wilayah tersebut membutuhkan cara

pemahaman yang komprehensif. Semiotika dalam kajian

wilayah kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari jasa

Ferdinand de Saussure; sedangkan semiotika dalam

kajian wilayah komunikasi tidak dapat dipisahkan dari

rintisan pemikiran Charles Sanders Peirce. Studi tentang

tanda yang dinamakan semiotika ini dikembangkan oleh

filsuf, ahli logika, Charles Sanders Peirce dan ahli

linguistik Ferdinand de Saussure. Kedua pakar tersebut

18

menyebutnya dengan istilah yang mirip, namun sedikit

berbeda. Peirce menamakan studi tentang tanda dengan

istilah semeiotic, sedangkan Saussure menyebutnya

dengan istilah semiology.

Kedua tokoh ini dianggap sebagai pemicu kelahiran

semiotika dalam dunia ilmiah, meskipun keduanya

memiliki pemikiran yang khas dan melahirkan dua

mainstream dalam dunia semiotika. Sepintas terlihat

bahwa kedua mainstream itu menimbulkan cara pandang

yang berbeda, namun sesungguhnya keduanya saling

melengkapi, lantaran baik wilayah kebahasaan maupun

komunikasi pada hakikatnya merupakan dua hal yang tak

terpisahkan. Di satu pihak bahasa merupakan sarana bagi

komunikasi, sedangkan di pihak lain komunikasi

membutuhkan bahasa untuk mengungkapkan gagasan

pemikiran.

Bahasa merupakan suatu bentuk tanda yang

disepakati oleh para penggunanya, sehingga tumbuh dan

berkembang dalam kebudayaan manusia yang dinamis

dan terbuka. Proses perkembangan bahasa bertitik tolak

dari kebutuhan komunikasi untuk saling mengenal satu

sama lain, mengidentifikasi sesuatu, mengekspresikan

19

gagasan. Bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan

kajian yang banyak dibicarakan dalam semiotika, karena

kajian tentang tanda termasuk hal yang menjadi

perhatian para tokoh semiotika.

Umberto Eco dalam karyanya Theory of Semiotics

menyatakan bahwa setiap tindakan untuk berkomunikasi

dengan atau antar mahluk hidup menuntut syarat atas

suatu sistem penandaan menjadi suatu kondisi yang

dibutuhkan. (Eco, 1976: 9). Dalam karyanya itu Eco

mengemukakan daftar beberapa batas suatu bidang

seperti: semiotika kebun binatang, tanda-tanda pabrik

tua, strategi berkomunikasi, kode-kode perasaan, kode

musik, bahasa formal, bahasa tulisan, bahasa asli,

komunikasi visual, sistem objek, susunan alur, teks

estetis, komunikasi massa, pidato, dan lain-lain (Eco,

1976: 9-10). Dengan demikian terlihat bahwa semiotika

mencakup wilayah kajian yang sangat luas dan beragam,

bahkan pada gilirannya memberi pengaruh besar bagi

perkembangan budaya kontemporer sebagaimana yang

tercermin dalam kehidupan manusia dewasa ini.

20

BAB II

PERSOALAN MAKNA DALAM STATEMEN

FILSAFAT

Salah satu masalah yang paling banyak menarik

perhatian para filsuf bahasa dan semiotikawan adalah

masalah arti atau makna ungkapan (problem of

meaning). Stephen Ullmann menyatakan bahwa makna

merupakan istilah yang paling ambigu dan paling

kontroversial dalam teori bahasa. Alasannya, pernyataan-

pernyataan akan makna biasanya membuang sebagian

unsur yang ada pada sasaran gejala makna, sedangkan

teori tentang tanda (semiotika) yang bersifat teknis

haruslah menyajikan kata-kata yang dipertajam

maknanya (Ullmann, 2009 :65). Kendatipun demikian

problem makna tetap mendapat perhatian yang besar di

kalangan para ahli bahasa dan para filsuf bahasa,

meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Bab ini

akan membahas problem makna dalam kajian Filsafat

Bahasa dan Semiotika agar dapat dilihat relasi antara

kedua bidang kajian tersebut, sekaligus dapat menarik

perbedaan di antara keduanya.

21

A. Problem Makna Dalam Filsafat Bahasa

Problem makna ungkapan di kalangan para filsuf

bahasa melahirkan beberapa teori seperti: Teori ideasi,

teori tingkah laku, dan teori acuan, namun teori arti yang

paling banyak menarik perhatian para ahli filsafat bahasa

adalah teori acuan (Referential theory), meskipun kedua

teori lainnya juga tidak kalah pentingnya dalam kajian

filsafat tanda. Oleh karena itu untuk memperjelas

perbedaan dan menunjukkan karakteristik masing-

masing teori arti itu berikut akan dipaparkan ketiga jenis

teori arti tersebut.

1. Teori Ideasi (Ideasional Theory)

Teori ini yang pada mulanya digagas oleh John

Locke dalam karyanya An Essay Concerning Human

Understanding. Locke mengatakan bahwa penggunaan

kata merupakan markah gagasan yang dapat diindera,

dan gagasan itu berpihak pada pengertian yang tepat dan

langsung. The use, then, of words, is to be sensible

marks of ideas; and the ideas they stand for are their

proper and immediate signification, ujar Locke (Locke,

22

2004: 251). Locke menyatakan bahwa kata-kata atau

ungkapan bahasa itu sesungguhnya merupakan tanda-

tanda yang dapat diinderai dari gagasan penggunanya.

Seseorang yang menggunakan tanda bahasa itu merekam

gagasan tentang tanda itu ke dalam pikirannya. Ketika

seseorang mengungkapkan kata-kata kepada orang lain

sesungguhnya orang tersebut bermaksud menyampaikan

gagasan yang ada dalam pikirannya atau yang

diketahuinya kepada pihak lain. Locke menegaskan hal

itu dalam pernyataan sebagai berikut:

―Words, in their immediate signification, are the

sensible signs of his ideas who uses them. The use

men have of these marks being either to record

their own thoughts, for the assistance of their own

memory or, as it were, to bring out their ideas, and

lay them before the view of others: words, in their

primary or immediate signification, stand for

nothing but the ideas in the mind of him that uses

them, how imperfectly soever or carelessly those

ideas are collected from the things which they are

supposed to represent. When a man speaks to

another, it is that he may be understood: and the

end of speech is, that those sounds, as marks, may

make known his ideas to the hearer‖ (Locke, 2004:

251).

(―Kata-kata, dalam pemaknaan langsung, adalah

tanda-tanda yang masuk akal atas ide-ide orang

23

yang yang menggunakannya. Mereka yang

menggunakannya memiliki tanda ini, baik untuk

mencatat pemikiran mereka sendiri, untuk

membantu memori mereka sendiri atau untuk

menunjukkan ide-ide mereka, dan meletakkan

pandangan mereka sebelum pandangan orang lain:

kata-kata, pada dasarnya atau pemaknaan langsung,

bukanlah untuk menggantikan sesuatu tetapi

gagasan ada dalam pikiran orang yang

menggunakannya, betapapun tidak sempurnanya,

namun ide-ide tersebut dihimpun dari hal-hal yang

mereka anggap mewakili. Ketika seorang berbicara

kepada yang lain, itu berarti bahwa dia dapat

dimengerti: dan akhir wicara bahasa adalah, bahwa

suara-suara, sebagai tanda, menjadikan gagasannya

dikenal pendengarnya").

Alston dalam bukunya Philosophy of Language,

menengarai bahwa teori ideasi ini berupaya

menemukenali arti kata pada gagasan yang menimbulkan

dan yang ditimbulkannya. Alston menegaskan bahwa the

ideational theory is based on an equally fundamental

insight – that words have the meaning they do only

because of what human beings do when they use

language. Prinsip umum teori ini menggariskan bahwa

kata mengandung makna lantaran manusia

mempergunakan bahasa. Teori ini fokus pada aspek-

aspek dalam komunikasi, dalam upaya untuk

24

mendapatkan ciri-ciri penggunaan bahasa, maka hal itu

memberikan unit-unit linguistik makna yang mereka

miliki (Alton, 1964: 19).

Judowibowo menegaskan bahwa menurut teori

ideasi ini, apa yang memberi arti atau makna dari suatu

kata atau ungkapan bahasa adalah kenyataan bahwa kata

atau ungkapan bahasa ini secara teratur digunakan dalam

komunikasi sebagai suatu tanda (mark) untuk

menyatakan suatu ide kepada pihak lain. Jika suatu kata

atau ungkapan bahasa itu digunakan menurut teori

ideasi, maka harus memenuhi beberapa persyaratan

sebagai berikut:

‖1) harus ada ide dalam pikiran si pembicara, 2) si

pembicara harus mengeluarkan kata atau ungkapan

bahasa agar orang lain mendengar bahwa ide yang

dimaksud itu ada dalam pikiran si pembicara pada

waktu itu, 3) apabila komunikasi itu berhasil, maka

ungkapan bahasa tadi harus menimbulkan ide yang

sama dalam pikiran si pendengar‖ (Judowibowo,

TT: 19).

Toety Herati menegaskan bahwa teori ideasi ini

menghubungkan makna kata dengan suatu idea atau

representasi psikis yang ditimbulkan kata tersebut

kepada kesadaran (Toeti Heraty, 1984: 76). Berdasarkan

25

pemaparan singkat tentang teori ideasi tersebut, maka

keterkaitan teori ideasi dengan filsafat tanda menjadi

jelas, yakni adanya ide dalam pikiran si pembicara

merupakan sebuah proses kehadiran tanda, karena ide

bisa muncul manakala ada tanda yang memicu timbulnya

ide. Contoh: Ketika ide tentang pesawat helikopter

muncul di benak para ilmuwan (Leonardo da Vinci),

maka ide itu tidaklah berasal dari wilayah kosong atau

tak bertuan, melainkan tanda yang diperlihatkan oleh

gerak terbang seekor capung. Ide yang lebih rumit,

misalnya ide naga yang ada dalam pikiran masyarakat

Cina, meskipun naga itu hewan dongeng yang bersifat

khayali, karena tidak ada dalam kenyataan, namun tanda-

tanda seperti: ular besar bertanduk, berkaki, dan

bersayap bisa berasal dari gabungan beberapa jenis

hewan seperti: ular, burung, dan dinosaurus. Ide dipicu

oleh tanda, dan pada gilirannya tanda baru dapat lahir

dari ide-ide berikutnya. Dengan demikian ada relasi yang

saling melengkapi antara ide dan tanda, sehingga

merangsang pengamatan subjek.

26

2. Teori Tingkah laku (Behavioral Theory)

Teori ini menemukenali (mengidentifikasi) arti

ungkapan bahasa dengan situasi pengucapan dan

tanggapan atau reaksi yang dilakukan lantaran adanya

ucapan tersebut. Bentuk paling sederhana dari teori

tingkah laku ini terletak pada arti suatu ungkapan bahasa

yang menempatkan situasi pengungkapan bahasa dari si

pembicara dan tanggapan (response) yang

ditimbulkannya pada pendengar (Judowibowo, TT: 18).

Teori tingkah laku ini menanggapi bahasa sebagai

semacam kelakuan dan mengembalikannya kepada

stimulus dan response. Makna menurut teori tingkah

laku adalah rangsangan untuk menimbulkan perilaku

tertentu sebagai tanggapan atas rangsangan itu tadi

(Toeti Heraty, 1984: 76).

Gagasan teori tingkah laku menurut Alston diambil

alih dari psikologi dengan kesadaran akan kompleksitas

yang terlibat di dalamnya. Bentuk sederhana teori

tingkah laku ini ditemukan dalam karya para ahli

linguistik yang mengambil alih gagasan tentang tingkah

laku yang terdapat dalam pikiran psikolog dengan

27

menyadari akan kerumitan yang terdapat di dalamnya.

Bloomfield mengatakan bahwa makna suatu bentuk

linguistik adalah situasi yang ada dalam diri si pembicara

dan tanggapan yang timbul dari si pendengar (Alston,

1964: 26).

Inti pemikiran teori tingkah laku ini terletak pada

situasi pengucapan yang dilakukan si pembicara

sehingga menimbulkan tanggapan dari si pendengar.

Beberapa contoh yang diucapkan si pembicara yang

diharapkan menimbulkan tanggapan (baik langsung

maupun tidak) kepada pendengar antara lain:

a. ―Tolong ambilkan saya kunci di atas meja itu!‖

b.―Dapatkah anda mengecilkan suara musik itu,

karena suaranya sangat mengganggu konsentrasi

belajar saya?‖

c. ―Silahkan keluar dari raungan ini, jika anda tidak

setuju dengan keputusan saya!‖

Ketiga ungkapan di atas mengandaikan ada situasi

tertentu yang berlaku antara si penyampai dan si

pendengar. Ungkapan pertama mengandaikan adanya

situasi yang lebih akrab, sehingga si pembicara

mengajukan permohonan atau meminta tolong kepada si

28

pendengar. Ungkapan kedua mengandaikan situasi yang

menunjukkan adanya gangguan suara (misalnya: musik)

yang menyulitkan si pembicara dalam konsentrasi

belajar, sehingga meminta toleransi kepada si pendengar

(dalam hal ini orang yang menyetel radio). Ungkapan

ketiga mengandaikan adanya situasi perbedaan pendapat

dalam pengambilan keputusan, sehingga pihak

pengambil keputusan mengusir pihak yang tidak setuju

dengan pendapatnya. Ketiga situasi yang berbeda

dilontarkan dengan ungkapan yang berbeda pula,

sehingga tanggapan yang diharapkan juga berbeda.

Kendatipun demikian teori tingkah laku ini beranggapan

bahwa tanggapan (response) yang diharapkan itu benar-

benar terjadi. Meskipun hal itu belum tentu terjadi dalam

kenyataan, misalnya dalam ungkapan pertama yang

terkait dengan permohonan tolong, namun belum pasti si

pendengar akan memenuhi permintaan si pembicara

dengan berbagai alasan seperti: memang tidak kunci di

atas meja tempat pembicaraan atau si pendengar tidak

mau mengambilkan kunci karena si pendengar sendiri

sedang sibuk atau memang enggan untuk menuruti

permintaan itu. Alston menyebutkan adanya tiga alasan

29

mengapa teori tingkah laku itu tidak dapat berlangsung

sebagaimana mestinya. Pertama, ada keseragaman yang

sama untuk beberapa kalimat yang berbeda dengan

makna yang berbeda. Kedua, melalui kalimat deklaratif

yang harus melakukan suatu bentuk peristiwa yang jauh

dari situasi pengucapan, sehingga ada tekanan yang kuat

untuk menemukan beberapa bentuk situasi umum.

Misalnya: ―Mozart mengarang lagu pada usia 25 tahun‖.

Situasi pengucapan itu terjadi sekitar tahun 1781, karena

Mozart lahir pada tahun 1766. Dengan demikian

keseragaman situasi tidak mencukupi secara radikal

untuk membedakan beberapa pernyataan dari pernyataan

lainnya dengan makna yang berbeda. Ketiga, dalam

semua kasus akan timbul kesulitan besar untuk

menemukan bentuk umum yang melahirkan tanggapan

yang jelas pada pengucapan kalimat yang dibuat.

Contoh: ―silahkan masuk!‖ merupakan sebuah ungkapan

yang jelas, tetapi tanggapan yang timbul bisa berbeda-

beda, karena orang yang mendengar pernyataan itu

punya alasan yang berbeda untuk tidak masuk ke dalam

seperti yang dikehendaki oleh si penutur. Misalnya:

30

karena orang yang mendengar tidak ingin bertemu

dengan si penyapa.

Teori tingkah laku didasarkan atas asumsi bahwa

setiap ungkapan yang dilontarkan dalam situasi umum

akan menghasilkan tanggapan yang sama.

3. Teori Acuan (Referential Theory)

Teori acuan didasarkan pada suatu asumsi bahwa

setiap ungkapan bahasa yang dipergunakan itu

membicarakan atau mengacu pada sesuatu. Teori acuan

merupakan jawaban pertama atas pertanyaan tentang

makna kata atau ungkapan. Makna kata atau ungkapan

menurut teori acuan, dianggap identik dengan objek

yang menjadi acuan kata atau ungkapan tersebut. Contoh

yang paling banyak dijumpai ialah nama diri (proper

names) yang langsung menunjuk satua ekstralinguistik

yang sekaligus menjadi makna nama tersebut.Teori

acuan dalam perkembangan selanjutnya beranggapan

bahwa makna suatu kata atau ungkapan identik dengan

relasi antara kata dan acuannya (Toeti Heraty, 1984: 76).

Senada dengan pernyataan di atas, maka

Judowibowo juga menengarai bahwa ada dua versi

31

dalam teori acuan, yang pertama menyatakan bahwa arti

sebuah kata atau ungkapan adalah sesuatu yang

diacunya. Versi kedua teori acuan menyatakan bahwa

arti sebuah kata atau ungkapan dan acuan adalah

hubungan antara acuan dengan ungkapan atau kata

(Judowibowo, TT: 15). Teori acuan versi kedua lebih

luas pengertiannya daripada versi pertama yang hanya

menempatkan arti pada sesuatu yang diacu, karena relasi

atau hubungan antara acuan dengan ungkapan

mengandaikan lingkup yang lebih luas.

Gottlob Frege menyatakan bahwa ada relasi antara

pengertian (Sinn) dan acuan (Bedeutung). Frege

mempersoalkan bagaimana terbentuknya relasi antara

objek atau relasi antara nama-nama atau tanda-tanda

objek. Frege menyatakan bahwa sebuah relasi akan

mengungkapkan sesuatu pada dirinya sendiri, dan tentu

saja setiap sesuatu itu berdiri pada dirinya sendiri, bukan

pada sesuatu yang lain. Apabila seseorang mengatakan

bahwa a = b, maka itu berarti nama atau tanda a dan b

dimaksudkan sebagai sesuatu yang sama, sehingga relasi

antara tanda-tanda tersebut harus dijelaskan. Dalam hal

ini relasi antara nama-nama atau tanda-tanda hanya

32

sejauh mereka dinamakan atau ditandakan sesuatu,

namun pemberian nama itu sendiri bersifat arbitrer.

Frege menegaskan bahwa tanda dan nama dipahami

sebagai bentuk penunjukkan nama diri (proper names).

Pengertian dari sebuah nama diri dimunculkan setiap

orang yang sudah cukup akrab dengan bahasa yang

dipergunakannya. Acuan sebuah nama diri adalah objek

itu sendiri yang ditunjuk melalui artinya, gagasan yang

dimiliki dalam hal ini cenderung bersifat subjektif.

Misalnya seseorang mengamati bulan menggunakan

teleskop, ia membandingkan bulan itu sendiri pada

acuannya, maka bulan itu adalah objek yang diamati,

yang diperantarai oleh objek kaca pembesar yang

merupakan alat kelengkapan teleskop, dan melalui

retina mata si pengamat. Citra optik dalam teleskop

terletak di satu sisi dan tergantung pada sudut

pengamatan. Apabila pengamatan itu dilakukan oleh

beberapa pengamat, maka hal itu akan menjadi lebih

objektif (Frege, 2008: 113-115).

Acuan (Bedeutung) menurut Toety Herati (1984:

75-76), tidak dapat dipertahankan sebagai satu-satunya

penjelasan tentang makna, karena dalam kenyataan

33

berbahasa satu acuan dapat disebutkan dengan kata atau

ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya: ―isteri abang

saya‖ dan ―kakak ipar saya‖. Demikian pula halnya

dengan kata-kata deiktik seperti: ―aku‖, ―kini‖, ―tadi‖,

―nanti‖, ―di sini‖ adalah kata yang dalam struktur bahasa

menunjuk pada tempat dan situasi tuturan. Kata-kata

deiktik itu menurut Toety Herati menunjukkan koordinat

ruang dan waktu (spasiotemporal), yakni saat dan tempat

kata-kata itu diucapkan (Toety Herati,1984: 75-76).

Ullmann mengemukakan konsep teori acuan

(Referensial) berdasarkan model segitiga dasar yang

diajukan Ogden dan Richards bahwa ada relasi anatara

pikiran sebagai referensi dengan lambang dan acuan itu

sendiri (Ullmann, 2009: 66).

Meskipun tidak ada satu teori arti yang cukup

memuaskan untuk memahami secara tuntas masalah arti,

namun ketiga teori arti di atas memberi gambaran

tentang cara para ahli untuk mengungkap asal muasal

makna dari suatu ungkapan. Penelusuran alur pemikiran

para filsuf analitis tentang berbagai persoalan yang

terkait dengan upaya untuk menjernihkan persoalan

bahasa dalam dunia filsafat pada khususnya, dan bidang-

34

bidang studi lainnya pada umumnya, kiranya perlu

dilakukan.

B. Makna dalam Semiotika

Semiotika merupakan sebuah kajian ilmiah yang

mendapat perhatian serius dari banyak peminat budaya

dan filsafat dewasa ini. Semiotika bersumber dari bahasa

Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Gorny dalam

sebuah artikel ilmiah, mendefinisikan semiotika sebagai

sebuah ilmu tentang tanda dan atau sistem tanda. Dalam

definisi tersebut ada dua asumsi, yaitu tanda, dan sesuatu

yang diketahui tentang tanda itu. Dalam penjelasannya

Gorny menggambarkan pemikiran St. Augustine yang

menyadari sulitnya membedakan sesuatu dari tanda.

Oleh karena itu menurut Augustine, seseorang harus

mampu mengetahui sesuatu dan membicarakan tentang

sesuatu hanya dengan bantuan tanda, yakni melalui

penempatan kembali sesuatu dengan tanda-tandanya.

Selanjutnya oleh Peirce, seorang pelopor semiotika

modern, hal tersebut dinamakannya dengan terminologi

fixed idea, gagasan yang pasti.

35

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:

h.1).

Ada pula yang mendefinisikan semiotika sebagai

bentuk penerapan metode linguistik atas objek selain

bahasa alami, artinya semiotika terkait dengan bahasa

dalam pengertian artifisial. Dengan demikian semiotika

adalah suatu cara pandang atas segala sesuatu

sebagaimana hal tersebut dibentuk dan berfungsi sesuai

dengan bahasa. Semiotika mencakup segala hal yang

dapat digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem

kekeluargaan, permainan kartu, bahasa isyarat, ekspresi

wajah, seni memasak, ritual agama, dan lain-lain.

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:

h.2).

Chandler memberikan julukan khusus kepada

manusia sebagai homo significans, artinya manusia

adalah mahluk pembuat tanda dan selalu terkait dengan

pemahaman makna tanda. Manusia menyadari bahwa

kehidupan di sekitarnya dipenuhi dengan berbagai

macam tanda, baik yang dapat ditafsir langsung maupun

yang membutuhkan pemahaman secara lebih mendalam.

36

Tanda selalu melibatkan aktivitas mental dan pikiran

manusia, sehingga pemikiran manusia mengalami

pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan

kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan

memaknai tanda. (Chandler,

http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02.ht

m1, page 1).

Tanda itu sendiri dapat mengambil berbagai bentuk

dalam kata, suara, bau, rasa, tindakan, atau objek.

Namun bukan berarti setiap tanda mengandung makna

secara intrinsik, ia mengandung makna manakala kita

menanamkan itu ke dalamnya. Segala sesuatu dapat

menjadi sebuah tanda sepanjang seseorang menafsirkan

itu sebagai bermakna, mengacu atau menggantikan

sesuatu yang lain. Manusia hanya berpikir dalam tanda,

ujar Peirce dalam Elements of Logic (1998: 169).

Namun penafsiran makna suatu tanda terkait dengan

sistem konvensi yang dikenal luas, hal ini dikenal

dengan istilah simbol..

Van Zoest mengajukan dua pengertian tentang

semiotika, yaitu pengertian sederhana dan pengertian

37

yang luas. Semiotika dalam pengertian yang sederhana

adalah studi penggunaan dan proses tanda (Zoest, 1991:

54). Semiotika dalam pengertian yang lebih luas adalah

studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan

dengan tanda; cara berfungsi tanda, hubungannya dengan

tanda-tanda yang lain, pengiriman dan penerimaan oleh

mereka yang menggunakan tanda (van Zoest, 1992: 5).

John Locke mengungkapkan pemikiran tentang

tanda ke dalam filsafat melalui karyanya Essay

Concerning Human Understanding. Ia menjelaskan

bahwa bentuk wicara bahasa yang kabur dan tidak

berarti, dan penyalahgunaan bahasa merupakan hal yang

bersifat misteri bagi ilmu, sehingga kata-kata menjadi

sukar dipahami dan diterapkan. Ada kata-kata yang

sedikit mengandung makna, namun ada pula kata-kata

yang tidak mengandung makna apa pun. Setiap kata

dapat dipelajari dan dipahami secara keliru, sehingga

menimbulkan spekulasi yang tinggi, menurut Locke

memang tidak mudah untuk meyakinkan bagi seseorang

yang mengatakan atau yang mendengarkan, bahwa

sesungguhnya mereka menutupi ketidaktahuan dan hal

ini jelas merupakan rintangan untuk mendapatkan

38

pengetahuan yang benar (Locke, 1910: 8-9). Tuhan

menurut Locke dalam sebuah artikelnya yang berjudul

Meaning and Reference, merancang manusia untuk

menjadi mahluk sosial yang mampu mencipta bahasa.

Kemampuan bahasa terlihat dalam kemampuan berbagai

organ yang dapat mengartikulasikan suara, yang

dinamakan kata (Locke, 1965: 53). Salah satu butir

penting dalam sumbangsih Locke terhadap pemikiran

tentang tanda adalah penegasannya tentang perlunya ide

yang jelas dan terpilah (clear and distinct) dalam

pemikiran dan pernyataan setiap orang, meskipun ia

menyadari bahwa tidak setiap orang dapat

mengungkapkan pengertian secara sempurna.

Pemahaman atas sesuatu hal dalam pikiran seseorang

menurut Locke, sangat ditentukan dari apa yang

seseorang lihat dan persepsi, ini yang dinamakannya

sebagai bentuk gagasan yang sudah ditentukan

(determined idea), yakni di saat gagasan itu secara

objektif ada dalam pikiran seseorang setiap saat, dan

kemudian digabungkan pada nama atau suara yang

diartikulasikan. Gagasan yang sudah diwujudkan ke

dalam bentuk kata atau suara, menurut Locke merupakan

39

tanda (sign) yang terus menerus hadir dalam pikiran

seseorang untuk mewakili objek yang sama (Locke,

1910: 12).

Eugene Gorny dalam artikelnya yang berjudul

What is Semiotics?

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:

hal. 2-3) mengajukan tiga definisi mengenai semiotika.

Pertama, semiotika adalah sebuah ilmu tentang tanda

dan atau sistem tanda. Dalam definisi ini Gorny

menjelaskan bahwa seseorang mampu mengetahui dan

membicarakan tentang sesuatu hanya dengan bantuan

tanda, yaitu melalui penempatan kembali sesuatu objek

dengan tandanya. Oleh karena itu Gorny menegaskan

semiotika adalah sebuah sarana yang

mempertimbangkan sesuatu sebagai tanda dan sistem

tanda. Kedua; semiotika adalah sebuah penerapan

metode linguistik pada objek selain bahasa alami. Disini

semiotika merupakan suatu cara pandang atas sesuatu

sebagaimana halnya fungsi bahasa. Segala sesuatu dapat

digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem kekerabatan,

permainan kartu, gerak tubuh dan ekspresi wajah, seni

kuliner, ritual keagamaan. Lebih lanjut Gorny

40

menyatakan bahwa semiotika adalah sebuah transfer dari

bahasa metafor ke dalam fenomena yang non-linguistik.

Ketiga; semiotika sebagai suatu ilmu yang

dilembagakan oleh para semiotikawan. Tanda orientasi

semiotika sebagai karya yang diterima adalah

penggunaan terminologi semiotika konvensional

(seperti: sign, code, signification, semiosis, etc) bersama

dengan acuan pada karya semiotika lainnya. Dengan

demikian definisi semiotika yang ketiga ini adalah

semiotika sebagaimana yang dimaksudkan oleh para

semiotikawan.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang

tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda

merupakan sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu

yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang

dapat diamati dapat disebut tanda, karena itu tanda tidak

hanya terbatas pada benda, namun bisa berupa peristiwa.

Sebagai contoh: sebuah bendera kecil, sebuah isyarat

tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan

makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf,

peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu,

letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga,

41

rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat,

berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk

bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan,

kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap

sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

Jack Solomon dalam bukunya The Signs of Our

Time menjelaskan bahwa semiotika merupakan ilmu

tentang tanda yang erat kaitannya dengan kehidupan

budaya dan ditentukan oleh enam prinsip sebagai

berikut. Pertama; semiotika selalu mempertanyakan

pandangan umum hal-hal tertentu, karena pandangan

tersebut merupakan ―pandangan komunal‖. Kedua;

semiotika merupakan pandangan orang awam yang

biasanya dimotivasi oleh ketertarikan kultural yang

mempengaruhi kesadaran yang terkait dengan alasan

ideologis. Ketiga; semiotika merupakan sebuah sikap

budaya yang cenderung untuk menyembunyikan

ideologinya di belakang perlindungan alam, memberikan

keyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah biasa dan

alamiah serta mengutuk praktik kebudayaan yang

berseberangan sebagai hal yang tidak alamiah.

Keempat; semiotika merupakan sebuah cara

42

mengevaluasi sistem dalam praktik kebudayaan,

seseorang harus memiliki latar belakang ketertarikan.

Kelima; Semiotika merupakan sebuah kerangka mitis,

artinya manusia tidak memersepsikan dunianya secara

langsung, namun melihatnya lewat saringan berupa

mode semiotik atau kerangka mitis. Keenam; semiotika

merupakan sebuah barometer kebudayaan yang

menandakan adanya pergerakan dinamis dari sejarah

sosial (Solomon, 1988: 10).

Deborah L.Smith-Shank yang menerapkan

pendekatan semiotika dalam bidang pendidikan

menyatakan bahwa semiotika merupakan sebuah

pendekatan yang memahami kodrat makna,

pengetahuan, budaya, bahkan kehidupan (termasuk

manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam). Oleh

karena itu semiotika dapat dipergunakan pula sebagai

pendekatan terhadap landasan filsofis pendidikan.

Sebuah tanda, lanjut Deborah, dapat bersifat verbal,

visual, isyarat, musik, dan lain-lain. Sebuah tanda

menggantikan sesuatu yang dinamakan objek melalui

penciptaan interpretan yang merupakan sebuah tanda

ekstra (tambahan) yang menggantikan beberapa aspek

43

objek. Interpretan itu boleh jadi sebuah pemikiran atau

notasi yang menghadirkan kembali suatu objek, tetapi

interpretan bukan merupakan objek itu sendiri. Lebih

lanjut Deborah menegaskan pemikiran salah seorang

tokoh semiotika, yakni Peirce tentang tanda dalam

pengalaman manusia di dunia ini selalu diperantarai

melalui tanda, sehingga seseorang tidak pernah

mengetahui objek secara penuh dan langsung.

Seseorang hanya dapat mengetahui objek secara parsial,

hanya melalui penafsiran atas tanda-tanda dari objek

yang memberikan kepadanya pandangan sekilas pada

beberapa hal atau kapasitas objek (Deborah, 2005: 225-

226).

Semiotika sebagai teori tentang tanda sangat

terkait dengan interpretasi dan klasifikasi. Interpretasi

diperlukan dalam kaitannya dengan menafsirkan makna

dari sebuah tanda. Klasifikasi diperlukan dalam

kaitannya dengan kemampuan untuk memilah-milahkan

dan menempatkan tanda dalam kategori yang tepat.

Sebagai contoh seorang ahli zoologi mengetahui

klasifikasi hewan yang dapat diinterpretasi berdasarkan

bahasa objek (object-language) yang khusus. Misalnya:

44

apabila seorang zoologis membicarakan tentang

‖mamalia‘, maka kemampuan ahli zoologi tersebut untuk

melakukan klasifikasi kategori atas ‖mamalia‖ menjadi

sangat penting. Misalnya: penelusuran tentang asal mula

seekor anjing mulai dari species, family hingga genus.

(Eco, 1984: 54-55). Semiotika juga dapat dipergunakan

untuk menginterpretasi dan mengklasifikasi perihal

budaya, termasuk wayang. Misalnya interpretasi atas

tokoh-tokoh film sebagai simbol kebaikan dan kejahatan;

simbol kejujuran dan kelicikan; simbol keteguhan

prinsip dan keraguan, dan seterusnya.

Tanda dan logika adalah dua hal yang saling terkait

dalam rangka membentuk penafsiran pemikiran manusia.

Oleh karena itu sebuah momen pikiran akan

memperlihatkan bahwa berbagai fakta yang sudah siap

untuk diasumsikan manakala persoalan logis atau

tidaknya suatu tanda dipertanyakan. Dengan demikian

setiap bentuk transformasi pikiran dari sangsi menjadi

percaya merupakan hal yang mungkin terjadi. Subjek

dalam transformasi terarah pada beberapa aturan yang

mengikat seluruh pikiran seseorang. Objek penalaran itu

ditemukan berdasarkan pertimbangan dari sesuatu yang

45

sudah siap untuk diketahui, bukan dari sesuatu yang

tidak diketahui. Konsekuensinya, sebuah penalaran

dianggap baik manakala menghasilkan sebuah

kesimpulan yang benar dari premis-premis yang benar

pula. Dengan demikian persoalan validitas murni bertitik

tolak dari fakta, bukan pemikiran, dan fakta itu dibentuk

dan disusun dalam premis (Buchler, 1955:7-9). Relasi

timbal balik antara logika dan tanda identik dengan relasi

antara premis atau pernyataan dengan fakta, karena

premis atau pernyataan merepresentasikan logika,

sedangkan fakta merepresentasikan tanda.

Namun untuk mendapatkan artikulasi tanda yang

tepat dibutuhkan kejernihan pikiran, sehingga hal

pertama yang penting diketahui adalah bahwasanya

logika mengajarkan kepada seseorang bagaimana cara

membuat gagasan atau pikiran dalam diri seseorang

sehingga menjadi terang atau jernih. Seseorang yang

mengetahui dengan baik apa yang dipikirkannya berarti

ia memiliki pemahaman tentang makna, hal tersebut

memberikan dasar yang kuat bagi pikiran yang baik

(Buchler, 1955: 25).

46

BAB III

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PARA

FILSUF ANALITIS

Sebagaimana yang diungkapkan di atas

bahwasanya pemikiran dalam filsafat analitis dapat

dibagi ke dalam lima tahap perkembangan dengan corak

yang khas, yaitu tahap perintis dengan tokoh utama

Moore; tahap Atomisme Logis dengan tokoh utama

Russell dan Wittgenstein periode Tractatus; tahap

Positivisme Logis dengan tokoh utama A.J.Ayer; tahap

Filsafat Bahasa Biasa dengan tokoh utama Wittgenstein

periode Philosophical Investigations, dan tahap aplikatif

dengan tokoh utama J.F.Lyotard. Pengkajian atas

pemikiran dalam filsafat analitis akan difokuskan pada

pemikiran para filsuf tersebut di atas.

A. G.E. Moore (1873 – 1958)

George Edward Moore termasuk salah satu filsuf

Inggris yang paling gigih menentang pandangan

neohegelianisme yang berkembang pada awal abad

47

keduapuluh. Kebanyakan pernyataan pengikut

neohegelianisme itu menurut Moore, sulit bahkan tidak

terpahami dengan common sense atau akal sehat

manusia. Oleh karena itu salah satu cara untuk

menentang pemikiran mereka itu, maka diperlukan

standar yang bisa diterima oleh kebanyakan pemikiran

manusia, dalam hal ini common sense merupakan tolok

ukur yang dianggap Moore paling memadai. Karya

Moore yang menganalisis alur pemikiran idealisme

berjudul Philosophical Studies, kemudian karyanya

yang mengkaji tentang common sense adalah Some

Main Problems of Philosophy; sedangkan Principia

Ethica merupakan kajian tentang meta-etika atau filsafat

analitis yang diarahkan ke dalam bidang etika.

1. Penolakan atas Idealisme

Penganut idealisme modern menurut Moore mencoba

menerangkan berbagai pemikiran tentang alam semesta

(universe) yang bermuara pada pandangan yang bersifat

spiritual. Ada dua butir penting pemikiran idealisme

yang terkait dengan penjelasan tentang alam semesta.

Pertama, bahwasanya alam semesta sangat berbeda dari

48

apa yang menampak, dan kedua bahwa alam semesta itu

memiliki sejumlah besar sifat-sifat yang tidak

tertangkap oleh indera manusia. Moore mencontohkan

kursi, meja, gunung terlihat sangat berbeda dari manusia,

demikian pula halnya dengan keseluruhan alam semesta

yang dinyatakan penganut idealisme sebagai sesuatu

yang spiritual. Hal itu menurut Moore sama halnya

dengan menganggap alam semesta itu jauh lebih luas

maknanya daripada apa yang bisa dipikirkan oleh

seseorang (Moore, 1951 : 1).

Moore menyebutkan dua hal yang menjadi

kesulitan dalam perdebatan filosofis, pertama keluasan

pandangan yang berbeda antara pemikiran idealistik

dengan pandangan sehari-hari tentang dunia. Kedua,

perbedaan tentang penggunaan proposisi yang harus

dibuktikan oleh penganut idealisme, sebab mereka

cenderung memandang atau mengasumsikan bahwa

realitas (reality) ini merupakan sesuatu yang bersifat

spiritual. Moore menyatakan bahwa mungkin saja untuk

mengatakan bahwa realitas itu bersifat spiritual, namun

rangkaian argumen yang dibangun untuk menyatakan hal

itu bisa salah (Moore, 1951: 2). Setiap sensasi atau

49

gagasan yang ada dalam pikiran seseorang harus

membedakan dua unsur, yaitu objek dan kesadaran. Di

saat sebuah gagasan itu muncul, maka seseorang harus

memilih beberapa hal, yakni hanya objek, atau kesadaran

semata, ataukah keduanya sekaligus. Sesuatu objek

hanya eksis karena didukung oleh fakta mental, dengan

demikian objek dan kesadaran itu sama-sama eksis, hal

ini dinamakannya objek pada kesadaran dalam berbagai

gagasan. Objek dalam hal ini semata-mata adalah isi dari

gagasan. Moore menegaskan bahwa dalam setiap

peristiwa dapat dibedakan dua unsur, yaitu pertama,

fakta tentang adanya perasaan atau pengalaman; kedua,

apa yang dialami, sensasi atau gagasan itu yang

dikatakan sebagai bentuk keseluruhan yang harus

dibedakan dua aspek yang tidak terpisah (inseparable

aspects) yakni isi (contents) dan keberadaan (existence)

(Moore, 1951: 20-21).

Moore dalam bukunya Some Main Problems of

Philosophy bab XII menolak pandangan Idealisme

Bradley tentang makna realitas. Istilah real yang

dipergunakan dalam bidang filsafat mengandung

pengertian teknis yang berbeda dalam penggunaan hidup

50

sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah seperti: ―real‖,

―exists‖ dalam bidang filsafat berbeda dengan apa yang

dipahami dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Para

filsuf idealisme menurut Moore memahami makna

istilah real itu secara ambigu, bermakna ganda. Hal ini

diungkapkan Moore dalam pernyataan berikut:

―What is the meaning of the word ‗real‘? What I

want to do is to raise certain questions about the

nature of this notion, which is called up by the

word ‗real‘, not merely to call it up. And, therefore,

I think it perhaps unfortunate of me to describe this

question of mine as a question as to the meaning of

the word ‗real‘. The fact that the very same words:

What is the meaning of the word ‗real‘? may be

used to express these two entirely different

questions, may, I think, give rise to

misunderstandings as to the precise nature and

bearings of the one which I do want to raise. And I

want now, by the help of this distinction, to try to

point out more clearly exactly what the chief

question I do want to raise is, and what its

bearings are‖ (Moore, 1953: 218-219).

(―Apa arti dari kata 'nyata'? Hal yang saya ingin

lakukan adalah untuk memunculkan pertanyaan-

pertanyaan tertentu tentang sifat dari gagasan, yang

disebut oleh kata 'nyata', tidak hanya untuk

menyebutkannya. Karena itu, saya pikir itu

mungkin menguntungkan saya untuk menjelaskan

pertanyaan saya sebagai pertanyaan untuk arti kata

51

'nyata'. Kenyataan bahwa kata-kata yang sama:

Apa arti dari kata 'nyata'? dapat digunakan untuk

mengekspresikan dua pertanyaan yang sama sekali

berbeda, mungkin, saya pikir, menimbulkan

kesalahpahaman sebagai sifat yang tepat dan

mendukung dari satu yang saya ingin munculkan.

Dan yang saya inginkan sekarang, dengan bantuan

dari perbedaan ini, untuk mencoba menunjukkan

lebih jelas apa pertanyaan utama yang saya ingin

munculkan, dan sesuatu yang mendukungnya‖).

Abbas Hamami mengomentari pemikiran Moore

bahwa objek sebagai material thing merupakan benda

yang memiliki kedudukan ontologis real. Sesuatu yang

real bukanlah merupakan hal yang terdapat dalam

aktivitas mental, melainkan realitas yang memiliki

eksistensi yang berdiri sendiri, terpisah dari sesuatu yang

lain (Abbas Hamami, 2005: 47). Moore sendiri

menegaskan bahwa sesuatu yang real harus memenuhi 3

syarat sebagai berikut. Pertama, segala sesuatu

dikatakan real karena mempunyai hubungan dengan

yang lain, sehingga jika tidak ada hubungan dengan yang

lain maka ia bukan sesuatu yang real. Kedua, sifat makna

kata real adalah suatu bagian unsur dari sesuatu yang

termasuk di dalamnya, dan karena itu tidak dapat

52

diidentikkan dengan keseluruhan dari bagian. Ketiga,

kata real adalah sifat yang mengandung tingkatan,

sehingga dapat bersifat kurang real´atau lebih real

(Moore, 1953: 231).

Pandangan metafisika Moore menegaskan bahwa

objek harus dipisahkan dari kesadaran. Objek tidak

menyatu dengan subjek dalam kesadaran sebagaimana

yang dianut oleh kaum idealis (Abbas Hamami, 2005:

47). Disinilah pentingnya peran common sense dalam

memahami realitas menurut pandangan Moore.

2. Common sense

Kebanyakan filsuf menurut Moore

menggambarkan tentang alam semesta itu dengan cara

yang berbeda-beda, hal itu disebabkan mereka tidak

menggunakan common sense. Hal yang paling

mengagumkan dan menarik yang dilakukan para filsuf

itu menurut Moore adalah cara ke luar dari atau bahkan

bertentangan dengan common sense. Padahal menurut

Moore, berdasarkan common sense itu manusia mampu

mempercayai adanya sejumlah besar objek material di

alam semesta seperti: manusia, hewan, tumbuh-

53

tumbuhan, benda-benda tak bernyawa (gunung, batu-

batuan). Semua unsur alam semesta itu dipercayai oleh

manusia lantaran common sense mempercayai adanya itu

semua. Namun di samping objek material yang bersifat

fisik, manusia dengan common sense-nya juga percaya

bahwa ada fenomena yang sangat berbeda seperti pikiran

(minds), tindakan mental atau kesadaran (consciousness)

(Moore, 1953: 2-4).

Moore menyebutkan tiga karakteristik paling

penting dari objek material sebagai berikut. Pertama,

objek material merupakan sesuatu yang berbeda dari

tindakan kesadaran. Kedua, semua objek material itu

terletak dalam dimensi ruang dan waktu. Ketiga, objek

material memiliki sifat yang khas, yakni selalu eksis

meskipun manusia tidak menyadarinya (Moore, 1953:

9).

Apakah yang terjadi dalam pikiran manusia ketika

seseorang mendapatkan pengetahuan tentang objek

material melalui pancaindera? Persoalan ini diajukan

oleh Moore untuk menegaskan cara kerja persepsi

inderawi yang mendukung aktivitas common sense.

Moore mencontohkan ketika seseorang memegang

54

sebuah benda (misalnya: pensil) dan orang lain

menyaksikannya, maka dapat dikatakan bahwa orang

yang memegang dan yang menyaksikannya itu sama-

sama melihat objek yang sama, yaitu pensil yang benar-

benar ada. Hal ini memunculkan pertanyaan: peristiwa

apa yang terjadi dalam pikiran setiap orang yang

menyaksikan pensil tersebut? Menurut Moore, tanpa

mengasumsikan apa yang dilakukan orang-orang yang

memegang dan menyaksikan suatu benda, dalam

kenyataannya mereka semua tahu keberadaan objek

material yang sama. Hal ini dinamakan pengetahuan

tentang keberadaan objek material yang diperoleh

melalui persepsi inderawi. Proses persepsi inderawi itu

sendiri terjadi melalui beberapa tahapan sebelum

seseorang memutuskan objek material apa yang ia amati.

Pertama, adanya data inderawi, kemudian data tersebut

dapat dilihat warnanya, terletak pada wilayah yang

terlihat (misalnya ada sinar), ada ukuran dan bentuk.

Kedua, sebelum data inderawi itu masuk ke dalam

pikiran seseorang, maka Moore menamakannya

pemahaman langsung (direct apprehension), artinya

setiap tindakan persepsi inderawi paling tidak terdiri atas

55

data inderawi yang pasti. Ketiga, apa yang terjadi dalam

persepsi inderawi sesungguhnya adalah ketika seseorang

mencoba untuk menemukan sesuatu atau peristiwa

melalui pengamatan atas pikirannya sendiri (Moore,

1953: 52).

3. Analitika Bahasa Dalam Meta Etika

Moore dalam karyanya Principia Ethica

menjelaskan tentang analisis terminologi etika melalui

pendekatan filsafat analitis. Moore menegaskan bahwa

dalam kehidupan sehari-hari banyak putusan etika yang

dimunculkan manusia berupa ucapan seperti: ―Ia seorang

pria yang baik‖, ―Pria itu seorang penjahat atau

kriminal‖, ―peminum alkohol itu buruk, sedangkan orang

yang pantang alkohol itu baik‖. Pernyataan-pernyataan

tersebut menurut Moore merupakan persoalan etika yang

perlu didiskusikan. Moore mengajukan alasan kebenaran

suatu pernyataan tentang karakter seseorang atau benar

atau salahnya tindakan moralitas seseorang. Ketika

pernyataan-pernyataan yang terkait dengan putusan dan

tindakan moral itu dilontarkan, maka di dalamnya

melibatkan berbagai istilah seperti:‖virtue‖, ―vice‖,

56

―duty‖, ―right‖, ―Ought‖, ―good‖, ―bad‖. Di saat

itulah menurut Moore manusia sedang membuat putusan

dan pertimbangan etis. Pada saat seseorang mengatakan

bahwa ―orang itu baik‖, maka secara umum

dimaksudkan bahwa orang itu melakukan tindakan yang

benar. Demikian pula ketika seseorang mengatakan

bahwa ―pemabuk itu merupakan tindakan yang buruk‖,

maka yang dimaksudkan secara umum adalah tindakan

minum alkohol itu salah atau tindakan yang buruk

(Moore, 1954: 1-2). Keunikan etika menurut Moore,

bukan terletak pada penyelidikan tentang tindakan

manusia, melainkan penjelasan tentang sifat sesuatu

yang ditunjuk oleh istilah ―baik‖ atau sebaliknya sifat

yang ditunjuk oleh istilah ―buruk‖ (Moore, 1954 :36).

Moore menganalisis berbagai terminologi yang

banyak dijumpai dalam bidang etika, sehingga bagi

Moore persoalan etika itu lebih menyangkut pemahaman

atas makna istilah yang timbul dalam ungkapan bahasa

sehari-hari. Berbagai pengertian seseorang tentang

kebenaran, kebebasan, kebajikan berada dalam beberapa

alternatif ukuran yang lebih baik pada kebahagiaan atau

hal yang menyenangkan. Kebahagiaan menurut

57

pandangan Moore termasuk ke dalam bagian kebaikan

yang paling pokok (ultimate good). Moore menunjukkan

dua prosedur yang perlu diperhatikan ketika seseorang

bermaksud melakukan pertimbangan moral secara

umum. Pertama, keputusan intuitif yang dilakukan

seseorang setelah ada pertimbangan atas pertanyaan

manakala putusan moral ditempatkan sebelumnya. Ada

relasi antara subjek yang sadar dengan objek moral

bilamana muncul kesadaran yang mengiringinya dan

diakibatkan dari putusan itu bukan merupakan hal yang

pokok dan keinginan yang bersifat intrinsik Moore

berpendapat bahwa ada objek yang lebih daripada

sekadar sesuatu yang bersifat material, ketika

dipertimbangkan terpisah dari relasi kesadaran manusia.

Kedua, perbandingan menyeluruh atas pertimbangan

kemanusiaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

(Moore, 1954: 86).

Moore menegaskan bahwa dalam etika, hukum

hipotetis yang berbunyi ―tindakan yang tepat akan

menghasilkan pengaruh yang tepat pula‖, tidak dapat

diterapkan. Alasan Moore, sebuah keputusan etika yang

benar dapat memengaruhi tindakan yang pasti dari

58

seseorang akan dihadapkan pada dua persoalan berikut:

Pertama, seseorang dapat mengetahui bahwa sebuah

tindakan yang terberi (given) akan menghasilkan

pengaruh yang pasti, di bawah kondisi peristiwa apa pun;

kedua, seseorang dapat mengetahui tidak hanya suatu

tindakan tertentu yang akan menghasilkan pengaruh

yang baik, tetapi di antara seluruh peristiwa berikutnya

juga dipengaruhi oleh tindakan yang berada dalam

persoalan, maka keseimbangan dari kebaikan akan

menjadi lebih besar daripada beberapa kemungkinan

tindakan lainnya yang akan ditampilkan. Ini sama halnya

dengan memutuskan bahwa sebuah tindakan itu secara

umum sebagai suatu sarana untuk berbuat baik adalah

dengan memutuskan tidak hanya bahwa tindakan yang

bersifat umum dapat diarahkan melakukan beberapa

kebaikan, tetapi tindakan umum itu juga dapat

melakukan kebaikan tertinggi yang berlaku dalam

berbagai peristiwa (Moore, 1954: 22-23).

59

B. Bertrand Russell (1872 – 1970)

Atomisme Logis ini adalah suatu faham atau ajaran

yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah

menjadi proposisi-proposisi atomis atau proposisi-

proposisi elementer, melalui teknik analisis logis atau

analisis bahasa. Setiap proposisi atomis atau proposisi

elementer itu tadi mengacu pada atau mengungkapkan

keberadaan suatu fakta atomis, yaitu bagian terkecil dari

realitas. Pandangan kaum Atomisme Logis ini

bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang mutlak

antara bahasa dengan realitas.

Para peminat filsafat analitis pada umumnya

mengenal konsep Atomisme Logis ini melalui dua

sumber konsep kepustakaan. Sumber kepustakaan

pertama adalah hasil karya Bertrand Russell yang

berjudul Logic and Knowledge. Karya tersebut

merupakan kumpulan artikel yang pernah ditulis Russell

dalam majalah The Monist pada 1918 dan 1919. Avrum

Stroll menggambarkan pendekatan filsafat Russell

sebagai filsafat ilmiah yang didasarkan pada logika

matematik. Apa yang dimaksudkan Russell dengan

60

filsafat ilmiah pada hakikatnya ialah epistemologi kaum

empiris dan teori pengetahuan yang didasarkan pada

logika matematik (Stroll, 2000: 45). Sumber kepustakaan

kedua adalah karya Russell yang berjudul An Inquiry

into Meaning and Truth yang membahas tentang proper

names dan basic propositions. Sebenarnya masih ada

sumber kepustakaan lainnya, yaitu kata pengantar yang

dibuat Russell untuk karya Wittgenstein yang berjudul

Tractatus Logico- Philosophicus, namun secara umum

orang menganggap keseluruhannya sebagai karya

Wittgenstein, padahal itu merupakan pemikiran Russell

sendiri sebagai bentuk komentar atas pemikiran

Wittgenstein dalam karya tersebut..

1. Konsep Atomisme Logis Bertrand Russell

Russell pada mulanya mengikuti garis pemikiran

Moore sebagai upaya untuk menentang pengaruh neo-

hegelianisme di Inggeris dengan bertitik tolak pada akal

sehat (common sense). Russell dalam perkembangan

pemikiran selanjutnya, mengambil jalan yang berbeda

dengan jalan yang ditempuh Moore. Penggunaan bahasa

biasa bagi maksud filsafat sebagaimana yang diinginkan

61

Moore menurut Russell, tidaklah tepat. Russell tidak

sekedar bermaksud mengarahkan teknik analisis yang

diajukan oleh Moore itu untuk menentang ungkapan

kosong dari kaum Hegelian, akan tetapi Russell juga

mencoba untuk membentuk filsafat yang bercorak ilmiah

dengan cara menerapkan metode ilmiah pada filsafat

(Charlesworth,1959 : 49). Russell menegaskan bahwa

dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah

selayaknya seorang filsuf menggunakan bahasa biasa,

sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk

(abominable), juga merupakan penghalang besar bagi

kemajuan filsafat (Charlesworth,1959 : 51-52). Berbagai

bentuk kalimat menurut Russell mengungkapkan

pertanyaan (interogative), mengungkapkan harapan

(optative), kalimat seru (exclamatory), dan menunjukkan

perintah (imperative) mengandung maksud-maksud

tertentu, bersifat indikatif, sehingga masing-masing

mengandung logika tersendiri (Russell,1980: 30).

Russell berupaya menentukan titik-tolak

pemikirannya berdasarkan bahasa logika, sebab Russell

berkeyakinan bahwa teknik analisis yang didasarkan

pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa

62

dan struktur realitas. Persoalan logis menjadi sangat

penting bagi Russell, karena hal itu merupakan kondisi

terbentuknya simbolisme yang akurat, artinya setiap

kalimat mengandung arti yang terbatas dan pasti, meski

dalam kenyataannya, bahasa biasanya kabur, sehingga

apa yang disampaikan tidak pernah benar-benar tepat.

Salah satu hal yang penting menurut Russell adalah

kondisi simbolisme terhadap keunikan makna atau acuan

dalam simbol atau kombinasi simbol. Sebuah bahasa

logis yang sempurna harus mengandung aturan sintaksis

yang dapat mencegah bahasa yang tidak bermakna, dan

salah satu langkah yang tepat adalah dengan meletakkan

simbol tunggal yang memiliki makna unik dan terbatas

(Russell, 1995: 8).

Meskipun Russell tidak secara tegas menolak tugas

filsafat yang dijalankan oleh para filsuf terdahulu—

pembahasan tentang dunia secara menyeluruh—namun

ia tidak menyetujui pandangan para filsuf sebelumnya

yang menganggap bahwa itulah tugas filsafat yang

paling utama. Tugas filsafat pada hakikatnya adalah

analisis logis yang diikuti oleh sintesis logis. Walaupun

pembahasan atau pembentukan yang bersifat menyeluruh

63

merupakan bagian dari tugas filsafat, namun Russell

tidak percaya bahwa hal itu merupakan bagian yang

paling penting. Bagian terpenting menurut Russell justru

terkandung dalam kritik dan penjelasan terhadap

pernyataan yang mungkin untuk dijawab sebagai dasar

dan pengakuan yang tidak dapat diganggu gugat

(Charlesworth,1959 : 49).

Analisis logis di sini mengandung pengertian, suatu

upaya untuk mengajukan alasan a priori yang tepat bagi

pernyataan, sedangkan sintesis logis berarti menentukan

makna pernyataan atas dasar empirik atau pengalaman.

Cara yang demikian itu menurut Russell merupakan

upaya untuk menerapkan teknik analisis bahasa dalam

rangka memecahkan masalah filsafat. Namun Russell

lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesis logis,

karena teori yang bersifat empiris semata atau hanya

didasarkan atas fakta, tidak dapat menjangkau hal-hal

yang bersifat universal. Kebenaran yang bersifat logis

dan matematis menurut Russell manakala diungkapkan

melalui analisis logis akan dapat meyakinkan seseorang

untuk mengakui kepribadian sifat-sifat universal yang

tak terubahkan, padahal banyak teori yang bersifat

64

empiris murni tidak dapat mempertanggungjawabkan hal

seperti itu (Charlesworth,1959: 50). Russell

menganjurkan untuk mencari teori ilmiah yang lain,

lebih daripada sekadar empiris murni. Pandangan yang

demikian inilah yang agaknya membuat Russell lebih

mencurahkan pemikirannya untuk membentuk suatu

bahasa ideal bagi filsafat dengan didasarkan pada

bahasa logika. Bahasa ideal yang dimaksud ialah bahasa

yang mengandung makna yang unik, terbatas, tidak

bermakna ganda.

Russell menyusun sebuah konsep Atomisme Logis,

artinya melalui titik tolak bahasa logika ia menjalankan

teknik analisis bagi bahasa filsafat untuk memeroleh apa

yang disebutnya dengan atom logis. Hal yang

menyebabkan ajarannya itu dinamakan doktrin

Atomisme Logis ialah karena atom-atom yang ingin

diperolehnya sebagai hasil analisis terakhir bukan

merupakan atom fisik, melainkan atom logis; artinya

filsafat pertama-tama harus merupakan suatu bentuk

analisis logis apabila filsafat akan dikategorikan sebagai

kegiatan ilmiah. Filsafat Atomisme Logis yang diajukan

Russell ini bertitik tolak dari prinsip isomorfi,

65

kesepadanan, sehingga pengetahuan itu merupakan

sejumlah pernyataan yang tersusun membentuk suatu

sistem yang mengacu pada unsur pada realitas.

Kesepadanan atau prinsip isomorfi merupakan

kesesuaian struktur antara bahasa logis dengan realitas

(Toety Herati, 1984: 85-86).

2. Corak Logis (Logical Types)

Benar (true) atau salah (false) yang diterapkan

pada kalimat menurut Russell selalu mensyaratkan

bahasa lain pada tataran yang lebih tinggi. Konsepsi

mengenai hirarki bahasa inilah yang membahas teori tipe

(theory of types) yang dapat dipergunakan untuk

memecahkan masalah paradoks (Russell, 1980: 62).

Titik-tolak pada bahasa logika, dimaksudkan Russell

untuk menentukan corak logis yang terkandung dalam

suatu ungkapan. Sebagaimana pula halnya dengan

Moore, Russell melihat bahwa penyimpangan yang

terjadi dalam bahasa filsafat itu lebih banyak

ditimbulkan oleh ketidakpahaman terhadap bahasa

logika. Russell menengarai adanya perbedaan corak logis

ini melalui perbedaan antara dua kalimat yang struktur

66

bahasanya sama, namun memiliki struktur logis yang

berbeda (Charlesworth, 1959 : 52). Penjelasan Russell

mengenai suatu pengertian atau istilah yang memiliki

corak logis yang sama diungkapkan melalui contoh

berikut: ―A dan B hanya dapat dikatakan memiliki corak

logis yang sama, jika unsur A mengandung kesesuaian

dengan unsur B, sehingga akibat yang berlaku atau unsur

lawan bagi B dapat digantikan pada A. Hal ini dapat

diilustrasikan sebagai berikut: Socrates dan Plato

dianggap memiliki corak yang sama, sebab ―Socrates

adalah seorang filsuf‖ dan ―Plato seorang filsuf‖,

keduanya mengandung fakta yang sama, yakni sama-

sama berperan sebagai filsuf‖ (Charlesworth,1959: 53).

Setiap kata itu mempunyai fungsi logis yang

berbeda; kata kerja misalnya, tidak dapat dipergunakan

sebagai kata benda, dan kata sifat tidak dapat

dipergunakan sebagai kata penghubung. Hal yang

penting menurut Russell adalah, kesimpulan logis secara

umum itu digambarkan berdasarkan fakta

(Charlesworth,1959 : 53). Ini berarti dua istilah yang

dianggap memiliki corak logis yang sama, bukan

lantaran istilah tersebut dipandang menurut berbagai

67

penafsiran yang mungkin dikenakan bagi istilah itu,

tetapi yang lebih banyak ditonjolkan di sini adalah aspek

logis yang didukung oleh fakta tertentu, sehingga dapat

ditarik kesimpulan yang logis pula bagi istilah yang

diperbandingkan. Jadi kalau dikatakan ―Socrates‖ dan

―Plato‖ adalah dua nama yang memiliki corak logis yang

sama, kesimpulan itu didasarkan pada kenyataan bahwa

keduanya termasuk atau digolongkan ke dalam kelas

atau kategori sebagai filsuf. Pemahaman corak logis

yang terkandung dalam ungkapan menurut Russell akan

dapat membedakan antara bentuk tatabahasa berupa

penampakan bentuk logis dengan bentuk sintaksis

berupa bentuk logis yang nyata dari sebuah kalimat.

3. Prinsip Isomorfi

Seluruh pengetahuan hanya dapat dipahami apabila

diungkapkan dalam bentuk bahasa logika. Keyakinan ini

diwujudkannya dalam karya yang disusunnya bersama

A.N. Whitehead, yaitu Principia Mathematica. Karya

tersebut memperlihatkan bahwa konsep-konsep

matematika dapat didefinisikan dengan menggunakan

istilah logika saja, dan dalil matematik dapat dibuktikan

68

dengan hanya menggunakan definisi dan prinsip logika

(Bertens, 1976 : 28). Russell berkeyakinan, dengan

memadukan prinsip matematik ke dalam prinsip logika,

maka akan mampu memecahkan persoalan filsafat.

Kecenderungannya untuk menerapkan metode ilmiah –

dengan bertitik tolak pada prinsip logika itu— pada

bidang filsafat inilah yang merupakan inti pemikiran dari

Atomisme Logis. Upaya untuk mengungkapkan

pengetahuan yang benar ke dalam bentuk pernyataan

yang benar –atas dasar prinsip logika— telah membawa

Russell memasuki wilayah analisis bahasa.

Analisis bahasa yang benar itu dapat menghasilkan

pengetahuan yang benar pula tentang dunia, karena

unsur paling kecil dari bahasa (proposisi atomis)

merupakan gambaran unsur paling kecil dari dunia fakta

atau fakta atomis (Hamersma, 1983 : 135). Atau dengan

kata lain, ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau

realita di satu pihak dan dunia kata atau simbol di pihak

lain: ada isomorfi, kesepadanan antara unsur bahasa dan

unsur kenyataan (Toety Herati, 1984 : 75). Prinsip

isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu

kata atau ungkapan, sehingga dengan memberikan dasar

69

acuan itu Russell menganggap telah ‖mengisi‖ setiap

pernyataan dengan fakta.

Gambaran yang jelas tentang pemberian dasar

acuan (reference) bagi kata atau istilah sebagai unsur-

unsur bahasa itu dapat dilihat pengelompokan sebagai

berikut.

Pertama; Nama Diri (proper names), yaitu jenis-

jenis kata yang mengacu pada nama pengganti diri atau

sesuatu yang ditunjuk oleh nama diri tersebut. Misalnya;

si Badu, Jawa, kuda. Kedua; Nama Diri Logis, yaitu

jenis-jenis kata deiktik atau jenis-jenis kata yang

mempunyai acuan lebih dari satu arti / maknanya sangat

tergantung pada si penutur atau situasi penuturannya.

Misalnya jenis kata penunjuk, ‖ini‖, ‖itu‖, dan jenis kata

ganti, ‖aku‖, ‖dia‖, ‖engkau‖, dan lain-lain. Ketiga;

Unique definite description atau Deskripsi Penunggal,

yaitu rangkaian kata atau gatra yang mengacu pada

seseorang atau sesuatu menurut batasan yang telah

ditentukan dalam deskripsi tersebut. Misalnya:

‘Pemenang piala Dunia Sepak Bola 2010 di Afrika

Selatan‘. Deskripsi ini mengacu pada Kesebelasan

Spanyol‖ (Toety Herati, 1984 : 96).

70

Uraian mengenai pemberian dasar acuan terhadap

kata atau istilah ini merupakan salah satu upaya Russell

untuk membuktikan adanya kesepadanan atau kesesuaian

antara unsur bahasa dengan unsur realitas. Logika pada

umumnya membagi kata-kata ke dalam beberapa

kategori seperti: nama-nama, predikat, relasi diadik,

relasi triadis, dan seterusnya. Kendatipun demikian hal

ini belum mencakup keseluruhan kata, sebab ada kata-

kata yang tidak termasuk ke dalam kategori logis,

sehingga diragukan apakah kata-kata itu meliputi kata-

kata untuk sikap proposisional seperti: percaya, hasrat,

kesangsian, dan lain-lain. Demikian pula halnya

kesulitan atas bentuk partikular egosentris seperti: aku,

disini, sekarang. Kata-kata sifat proposisional dan

partikular egosentris menurut Russell harus

dipertimbangkan sebagai nama diri logis (Russell, 1980:

94; Toety Herati, 1984: 86).

Hal lain yang tak kalah pentingnya sehubungan

dengan prinsip isomorfi ini adalah, kecenderungan

pandangan Russell ke arah metafisika, sebab mengatakan

bahwa dunia dapat diasalkan kepada fakta atomis, jelas

sekali merupakan suatu pendapat metafisis (Bertens,

71

1981 : 31, Wittgenstein,1995: 31). Inilah sesungguhnya

tujuan utama yang terkandung dalam prinsip isomorfi

itu. Metafisika yang terdapat dalam teori Russell ini

merupakan suatu ―Pluralisme radikal‖ (Bertens, 1981 :

31), sebab realitas atau dunia fakta itu dipecah menjadi

fakta atomis. Corak pandangan metafisis yang

didasarkan atas analisis bahasa itu merupakan ciri khas

yang menandai kaum Atomisme Logis yang diteruskan

dan diperkuat dalam pemikiran Wittgenstein.

4. Fungsi Kebenaran

Pandangan Russell mengenai analisis bahasa dapat

diperkuat dengan dasar-dasar logika, salah satu

diantaranya ialah fungsi kebenaran. Analisis logis

terhadap bahasa akan menempatkan studi tentang

tatabahasa yang mampu menjelaskan secara lebih terang

persoalan-persoalan filsafat ketimbang sesuatu yang

biasanya dianggap sudah benar oleh kebanyakan filsuf.

Russell mengajukan contoh tentang pernyataan yang

terkait dengan kalimat yang bertatabahasa tunggal,

namun struktur logisnya jamak, sebagai berikut:

72

―Saya pergi keluar dan mendapatkan hari ini

sedang hujan‖. Kalimat ini dipecah ke dalam dua

pernyataan yang memilki struktur logis sendiri-sendiri,

yaitu: (1). Saya pergi keluar, (2) Saya mendapatkan hari

sedang hujan. Kedua kalimat itu dihubungkan secara

logis dengan kata penghubung ‖dan‖, ‖atau‖, sehingga

jika kalimat pertama diganti dengan simbol ‖p‖, kalimat

kedua diganti dengan simbol ‖q‖, maka kalimat tersebut

dapat disingkat menjadi p dan q. Ini berarti, kalimat

‖saya pergi keluar dan mendapatkan hari sedang hujan‖

merupakan sebuah fungsi kebenaran dari ‖saya pergi

keluar‖ dan ‖saya mendapatkan hari sedang hujan‖. Kata

penghubung ‖dan‖ ‖atau‖ dalam logika formal, selalu

memberikan arti minimum sebagaimana yang telah

ditunjukkan dalam contoh tersebut. Setiap pernyataan

yang kompleks dibentuk melalui penggunaan pernyataan

tunggal yang merupakan fungsi kebenaran dari unsur-

unsur pernyataan yang kompleks. Russell menegaskan

bahwa sebuah kalimat merupakan bentuk atomis

bilamana tidak mengandung kata-kata logis dan bukan

kalimat subordinat. Bentuk atomis tidak mengandung

‖atau‖, ‖semua‖ atau hal yang sama dengan itu. Sebagai

73

contoh: ‖Saya kira hari akan hujan‖, kalimat ini

mengandung kalimat subordinat yaitu ‖hari akan hujan‖.

Sebuah kalimat merupakan bentuk atomis jika ia

mengandung satu relasi kata dan sejumlah kata lain yang

terkecil (Russell, 1980: 95).

5. Proposisi Atomis dan Proposisi Majemuk

Pembahasan tentang proposisi atomis dan proposisi

majemuk ini dapat ditemukan pada bagian awal

Tractatus, hasil karya Wittgenstein, yang pengantarnya

ditulis oleh Russell. Pembahasan Russell tentang

proposisi atomis dan proposisi majemuk ini berkaitan

erat dengan upayanya untuk menjelaskan kesepadanan

antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Sebab

bahasa yang dianggap sebagai keseluruhan dari proposisi

atomis itu tidak hanya mengacu pada fakta atomis yang

merupakan unsur yang membentuk realitas, tetapi bahasa

itu juga merupakan bidang atau yang akan digarap

melalui teknik analisis logis. Bahasa, khususnya bahasa

filsafat dapat mencerminkan realitas sejauh dapat

dilakukan analisis logis yang diikuti dengan sintesis

74

logis, sehingga diperoleh proposisi yang paling

sederhana yang mengacu pada fakta yang paling

sederhana pula –fakta atomis— yaitu proposisi atomis.

Setiap proposisi itu pada hakikatnya mengacu pada dua

hal yaitu data inderawi (particularia) yang merupakan

hasil persepsi konkret individual, dan sifat atau

hubungan (universalia) dari data inderawi itu tadi (Toeti

Heraty, 1984 : 86).

Suatu proposisi (dapat bernilai benar atau salah)

yang menjelaskan suatu fakta atomis itu dinamakan

proposisi atomis (Russell, 1995: 13). Proposisi atomis ini

merupakan bentuk proposisi yang paling sederhana,

karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk.

Misalnya; x adalah y (ini adalah putih) atau xRy (ini

berdiri disamping itu) (Bertens, 1981 : 29). Setiap

proposisi atomis itu mempunyai arti / makna sendiri-

sendiri yang terpisah satu sama lain. Pemberian kata

penghubung seperti ‖ada‖, atau ‖atau‖, maka seseorang

dapat membentuk suatu proposisi majemuk. Russell

mengajukan contoh untuk menjelaskan proposisi atomis

dan proposisi majemuk itu sebagai berikut:

75

―Socrates was a wise Athenian, consists of two

facts, ‗Socrates was a wise‘ and ‗Socrates was an

Athenian‘. A fact which has no parts that are facts

is called by Mr Wittgenstein a Sachverhalt. This is

the same thing that calls an atomic fact. An atomic

fact, although it contains no parts that are facts,

nevertheless does contain parts‖ (Russell, 1995:

12).

(―Kalimat ‗Socrates adalah warga Athena yang

bijaksana‘, terdiri dari dua fakta, yaitu ‗Socrates

adalah orang yang bijaksana‘ 'dan' Socrates adalah

warga Athena‘. Menurut Mr. Wittgenstein, sebuah

fakta yang tidak memiliki bagian-bagian yang

berupa fakta disebut Sachverhalt. Hal ini sama

dengan ‗fakta atomik‘. Sebuah ‗fakta atomik‘,

meskipun tidak berisi bagian-bagian yang

merupakan fakta, namun tetap mengandung

bagian-bagian‖).

Kedua proposisi atomis itu membentuk proposisi

majemuk setelah dihubungkan dengan kata ―yang/dan‖.

Kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi

molekuler atau proposisi majemuk ini tergantung pada

kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis yang

terdapat di dalamnya. Atau dengan kata lain, proposisi

molekuler atau majemuk itu merupakan fungsi

ketidakbenaran dari proposisi-proposisi atomis, sebab

76

tidak ada fakta molekuler atau fakta majemuk, yang ada

hanyalah fakta atomis (Russell, 1995: 13-17).

Suatu proposisi atomis menurut Russell dalam kata

pengantar Tractatus Logico-Philosophicus, mempunyai

arti tertentu karena mengacu pada fakta atomis. Fakta

atomis itu sendiri tidak dapat dikatakan benar atau

salahnya, sebab ia tidak dapat mengungkapkan dirinya

sendiri. Hanya bahasa –proposisi atomis— yang

merupakan sarana untuk mengungkapkan perihal fakta

atomis itulah yang dapat dinilai benar atau salahnya;

sedangkan unsur yang terdapat dalam proposisi atomis

seperti; Socrates, bijaksana, dan lain-lain disebut objek

(Russell, 1995: 12).

Konsep Atomisme Logis Russell inilah yang akan

dilanjutkan dan dikembangkan oleh Wittgenstein dalam

Tractatus Logico-Philosophicus.

C. Ludwig Wittgenstein I (1889 – 1951)

Sumber kepustakaan tentang Atomisme Logis

adalah Tractatus Logico-Philosophicus yang ditulis

Ludwig Wittgenstein pada saat berkecamuknya Perang

77

Dunia Pertama, yaitu antara tahun 1914 sampai 1918.

Konsep Atomisme Logis dari Wittgenstein itu baru

dikenal pada 1921 dalam edisi bahasa Jerman, Logisch

Philosophische Abhandlung. Setahun kemudian barulah

dipublikasikan dalam bahasa Inggris, dengan judul

Tractatus Logico-Philosophicus. Konsep Atomisme

Logis Wittgenstein hampir sejalan dengan pemikiran

Russell, meskipun ada beberapa perbedaan istilah yang

berbeda di antara keduanya. Wittgenstein menggunakan

istilah Sachverhalten yang dalam bahasa Inggeris

diterjemahkan ke dalam dua istilah yaitu atomic fact dan

state of affairs, sedangkan Russell lebih menyukai

penggunaan istilah atomic fact. Kendatipun Wittgenstein

termasuk salah seorang mahasiswa Russell sewaktu

kuliah di Cambridge, namun banyak para pengamat

Filsafat Analitis yang mengakui bahwa Tractatus

mengandung penguraian yang paling kuat dan rinci

mengenai Atomisme Logis. Akan tetapi baik dalam

pemikiran Russell maupun dalam pemikiran

Wittgenstein, pemikiran tentang Atomisme Logis

terletak dalam satu arah yang sama, yaitu menekankan

78

pada analisis bahasa melalui teknik analitika, bukan

membahas tentang fakta atau realitasnya sendiri.

1. Konsep Atomisme Logis Wittgenstein Periode I

Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode,

periode pertama filsafatnya (Wittgenstein I), dikenal

melalui karyanya Tractatus Logico-Philosophicus,

sedangkan periode kedua filsafatnya (Wittgenstein II),

termuat dalam karyanya Philosophical Investigations.

Khusus pembahasan mengenai konsep Atomisme Logis

ini dapat ditemukan dalam periode pertama filsafatnya,

sekaligus Wittgenstein I ditempatkan sebagai tokoh

utama Atomisme Logis. Pembahasan mengenai konsep

Atomisme Logis dari Wittgenstein ini dikaitkan

langsung dengan karya besarnya, Tractatus Logico-

Philosophicus.

Tractatus Logico-Philosophicus merupakan sebuah

karya filsafat yang dirumuskan secara padat, dan disusun

berdasarkan berbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang

masing-masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali

dalil ketujuh atau penutup. Dalil utama yang ditandai

dengan bilangan bulat (1, 2, 3, dan seterusnya) dijelaskan

79

oleh dalil di belakangnya yang ditandai dengan pecahan

desimal (1.1, 1.11, 1.12, dan seterusnya). Kurang lebih

ada lima ratus dua puluh lima (525) dalil yang termuat

dalam 189 halaman minus index dalam buku versi

bahasa Inggris dan bahasa Jerman tersebut.

Kendatipun Tractatus bukanlah sebuah karya

filosofis yang panjang, namun isinya memuat dasar-

dasar pemikiran luas dari Wittgenstein, sehingga

pengaruh yang ditimbulkannya begitu besar dalam

bidang filsafat, khususnya bagi gerakan baru yang

dikenal dengan nama filsafat analitis. Sejak

dipublikasikannya buku ini untuk pertama kali (1921),

hampir dapat dipastikan, metode analisis bahasa telah

mendapatkan tempat yang cukup terhormat di

gelanggang filsafat, terutama di Inggris. Nama besar

Wittgenstein mulai dikenal peminat filsafat sebagai

seorang tokoh utama Atomisme Logis disamping Russell

yang telah lebih dahulu dikenal sebagai seorang filsuf.

2. Dalil Utama Tractatus Logico-Philosophicus

Tractatus Logico-Philosophicus ditulis pada saat

Perang Dunia I berisikan 7 dalil utama sebagai berikut.

80

1. The world is everything that is the case

(Wittgenstein, 1995: 31).

(―Dunia adalah segala sesuatu yang

sedemikian‖).

2. What is the case, the fact, is the existence of

atomic facts ((Wittgenstein, 1995: 31).

(―Apakah yang sedemikian itu, fakta, yaitu

keberadaan fakta-fakta atomis‖).

3. The logical picture of the facts is the thought

( Wittgenstein, 1995: 43).

(―Gambaran logis fakta adalah pikiran‖).

4. The thought is the significant proposition

(Wittgenstein, 1995: 61).

(―Pikiran adalah proposisi yang bermakna‖).

5. Proposition is a truth-functions of elementary

propositions.

(―Proposisi adalah suatu fungsi kebenaran

proposisi-proposisi elementer‖).

(An elementary proposition is a truth-function

of itself) Wittgenstein, 1995: 103).

(―Sebuah proposisi elementer adalah suatu

fungsi kebenaran dari dirinya sendiri‖).

81

6. The general form of truth-function is

proposition (Wittgenstein, 1995: 153).

(―Bentuk umum fungsi kebenaran adalah

proposisi‖).

7. Whereof one cannot speak, thereof one must

be silent (Wittgenstein, 1995: 189).

(―Sesuatu yang tidak dapat dibicarakan atau

dipikirkan sebaiknya dibiarkan dalam

keheningan‖).

Dalil pertama The world is everything that is the

case, merupakan sebuah sikap metafisis baru yang

berbeda dengan metafisika sebagaimana yang

dikemukakan para filsuf terdahulu bahwa dunia atau

realitas itu adalah segala sesuatu yang sedemikian.

Istilah ―yang sedemikian (case)‖ dimaknai dalam dalil

berikutnya. Dalil pertama ini menggambarkan tentang

realitas atau dunia yang terdiri atas berbagai fakta (case).

Hal ini menunjukkan bahwa Wittgenstein memulai

pernyataan filosofis dari hal-hal sederhana dunia atau

realitas yang meliputi berbagai fakta. Ia menegaskan

bahwa keseluruhan realitas itu merupakan dunia, the

total reality is the world‖ (Wittgenstein, 1995: 39).

82

Dalil kedua What is the case, the fact, is the

existence of atomic facts, menegaskan tentang

keberadaan state of affairs. Apa yang dimaksud dengan

yang sedemikian itu, tak lain adalah fakta, yaitu

keberadaan fakta-fakta atomis (state of affairs). Dalam

dalil 2.01, Wittgenstein menegaskan bahwa yang

dimaksud dengan fakta atomis adalah kombinasi objek-

objek, An atomic fact is a combination of objects

(entities, things) (Wittgenstein, 1995: 31). Lebih lanjut

Wittgenstein menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

objek, sesuatu, entitas disini adalah pengetahuan

manusia tentang kualitas internal yang mencakup ruang,

waktu, warna yang merupakan bentuk-bentuk objek

(Wittgenstein, 1995: 33). Objek-objek itulah yang

mengandung kemungkinan semua bentuk peristiwa,

states of affairs (Wittgenstein, 1995: 35).Totalitas

keberadaan fakta atomis itulah yang dinamakan dunia,

The totality of existent atomic facts is the world

(Wittgenstein, 1995: 37). Bertens mengomentari bahwa

state of affairs merupakan sebuah keyakinan metafisis

yang bercorak pluralistis (Bertens,1981: 43-44), karena

mengandaikan dunia terdiri atas fakta atomis jelas

83

merupakan sikap dan pandangan metafisis yang

pluralistis.

Dalil ketiga, ―The logical picture of the facts is the

thought‖ menegaskan bahwa gambaran logis fakta itu

adalah pikiran, atau bisa dikatakan bahwa pikiran itu

mencerminkan gambaran logis fakta. Dalil ketiga ini

pula yang kemudian dikembangkan menjadi teori

gambar (The Picture Theory). Teori gambar adalah

sebuah pandangan yang menegaskan adanya paralelitas

antara dunia dengan bahasa. Pikiran merupakan

cerminan gambaran logis fakta, sedangkan bentuk

pikiran diungkapkan ke dalam bahasa. Wittgenstein

menggambarkan tentang gambaran fakta dalam pikiran

untuk kemudian diungkapkan ke dalam bahasa sebagai

berikut:

―We make to ourselves pictures of facts. To the

objects correspond in the picture the elements of

the picture. The elements of the picture stand, in

the picture, for the objects. The picture consists in

the fact that its elements are combined with one

another in a definite way. In the picture and the

pictured, there must be something identical in

order that the one can be a picture of the other at

all‖ (Wittgenstein, 1995: 39-41).

84

("Kita membuat penggambaran fakta-fakta bagi

diri kita sendiri. Untuk objek sesuai dengan unsur-

unsur gambar. Unsur-unsur gambar berdiri, dalam

gambar, untuk objek. Gambar terdiri dalam

kenyataan bahwa unsur-unsur itu dikombinasikan

satu sama lain dalam cara yang pasti. Pada gambar

dan foto, harus ada sesuatu yang identik agar salah

satu dapat menjadi gambar dari lain secara

keseluruhan").

Dalil-dalil inilah yang kemudian dikenal sebagai

teori gambar atau teori cermin (The Picture Theory).

Dalil keempat The thought is the significant

proposition menyatakan bahwa pikiran itu adalah

proposisi yang mengandung makna, artinya hasil pikiran

yang baik dapat disusun ke dalam suatu proposisi.

Wittgenstein menegaskan bahwa keseluruhan proposisi

adalah bahasa. Manusia memiliki kemampuan untuk

membentuk bahasa, sehingga setiap pengertian manusia

tentang sesuatu hal dapat diungkapkan ke dalam bahasa.

Bahasa sehari-hari atau bahasa percakapan menurut

Wittgenstein merupakan bagian kehidupan manusia,

dengan demikian proposisi merupakan gambar realitas.

Proposisi adalah model realitas sebagaimana manusia

memikirkannya. Bahasa dapat dipergunakan untuk

85

menyembunyikan pikiran seseorang, sehingga dari

bentuk penampilan eksternal seseorang melalui bahasa

tidak dapat disimpulkan begitu saja apa yang sedang ia

pikirkan (Wittgenstein, 1995: 63).

Dalil kelima berbunyi Proposition is a truth-

functions of elementary propositions. (An elementary

proposition is a truth-function of itself), maksudnya

proposisi adalah fungsi kebenaran dari proposisi

elementer, sedangkan sebuah proposisi elementer tak

lain merupakan fungsi kebenaran dirinya sendiri. Hal ini

ditegaskan Wittgenstein yang menyatakan bahwa

proposisi yang paling sederhana, yakni proposisi

elementer, menjelaskan keberadaan suatu fakta atomis.

Proposisi elementer itu terdiri atas nama-nama yang

merupakan koneksi dan rangkaian dari nama-nama

tersebut. Ketika seseorang menganalisis proposisi, maka

seseorang harus sampai pada proposisi elemeter yang

mengandung nama-nama dalam bentuk kombinasi

langsung (Wittgenstein, 1995: 89). Ini berarti proposisi

elementer yang benar akan membentuk proposisi, karena

proposisi elementer itu menjelaskan keberadaan suatu

fakta atomis atau setiap proposisi elementer selalu

86

mengacu pada fakta atomis, sehingga kebenarannya

dapat diterima secara logis. Oleh karena itu analisis logis

berfungsi untuk melacak keberadaan proposisi

elementer.

Dalil keenam The general form of truth-function is

proposition; bentuk umum fungsi kebenaran merupakan

proposisi yang mengungkapkan bahwa proposisi

adalah elemen atau anggota dari seluruh pernyataan,

yaitu bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi

logika itu merupakan tautologis, sehingga tidak

mengatakan tentang sesuatu, karena itu dinamakan

proposisi analitis. Fakta bahwa proposisi logika

merupakan tautologis menunjukkan sifat-sifat formal

dari bahasa, sehingga menurut Wittgenstein agar

proposisi-proposisi dihubungkan bersama dalam suatu

cara yang terbatas untuk membentuk suatu tautologi,

maka proposisi tersebut harus memiliki sifat struktur

yang terbatas. Proposisi-proposisi itu membentuk suatu

tautologi ketika mereka dihubungkan satu sama lain

menunjukkan bahwa proposisi itu memiliki sifat-sifat

struktur (Wittgenstein, 1995: 155-157). Tautologi

merupakan bentuk pengulangan gagasan atau kata

87

berlebih yang tidak diperlukan. Misalnya: pria duda,

wanita janda. Proposisi logika tidak dapat diuji secara

empirik, karena itu para logikus menjadikannya sebagai

postulat (Wittgenstein, 1995: 163).

Dalil ketujuh yang berbunyi Whereof one cannot

speak, thereof one must be silent; menegaskan sikap

penolakan terhadap sesuatu yang bersifat inexpressible,

yaitu hal yang dinamakan The Mystically. Ada 3 hal

yang dinamakan sebagai The Mystically oleh

Wittgenstein, yaitu subjek, kematian, dan Tuhan. Subjek

menurut Wittgenstein tidak termasuk ke dalam dunia,

melainkan hanya terletak pada batas dunia, Subject does

not belong to the world but it is a limit of the world

(Wittgenstein, 1995: 5.632). Misalnya: pemikiran Martin

Bubber tentang ―Aku‖ sebagai subjek dalam pendekatan

dialogis menimbulkan dua pendekatan terhadap ―aku‖

dan dua macam hubungan terhadap lingkungan. Dua

hubungan tersebut tidak dapat ditukar sama lain.

Pertama hubungan ―aku‖ dengan ―aku‖ yang lain atau

hubungan antara subjek (I – Thou). Kedua hubungan

antara ―aku‖ dengan sesuatu sebagai objek (I – It),

menggambarkan hubungan antara seseorang dengan

88

benda (Titus, Smith, and Nolan, 1984 60). Perbincangan

tentang subjek itu termasuk ke dalam wilayah

metafisika. Kematian juga merupakan tema yang sering

dibicarakan dalam metafisika atau wilayah agama

menurut Wittgenstein bukanlah sebuah peristiwa

kehidupan, karena kematian tidak dialami dalam

kehidupan. Death is not an event of life. Death is not

lived through (Wittgenstein, 1995: 6.4311).

Unsur the Mystically ketiga yang dicap

Wittgenstein sebagai sesuatu yang bersifat inexpressible

adalah Tuhan yang tidak pernah mewujudkan dirinya di

dunia, God does not reveal himself in the world.

(Wittgenstein, 1995: 6.432), karena itu mengungkapkan

tentang keberadaan Tuhan dalam bahasa yang logis

merupakan sesuatu yang tidak bermakna (senseless).

Ketiga hal tersebut tidak dapat dibicarakan dan

diungkapkan ke dalam proposisi yang logis, oleh karena

itu sesuatu yang tidak dapat dipikirkan secara logis

sebaiknya didiamkan saja. Inilah makna pernyataan

Wittgenstein dalam dalil penutupnya yang

berbunyi:‖Whereof one cannot speak, thereof one must

be silent‖ (Wittgenstein, 1995: 189).

89

3. Konsep Tanda Dalam Tractatus

Ada beberapa butir pemikiran Wittgenstein dalam

Tractatus yang membicarakan tentang masalah tanda.

Pertama; dalil 3.327 yang berbunyi:‖The sign

determines a logical form only together with its logical

syntactic application‖ (Wittgenstein, 1995: 57). Tanda

menentukan sebuah bentuk logis hanya bersama dengan

aplikasi sintaksis logis, artinya sebuah tanda dalam

pemikiran Wittgenstein I merupakan sesuatu yang

mengandung struktur logis, sehingga dalam

penerapannya dapat dipahami manusia secara logis pula.

Pandangan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa

bahasa sebagai tanda dalam kehidupan manusia

mengandung struktur logis, sehingga membuka peluang

bagi orang lain untuk memahami apa yang ingin

disampaikan.

Kedua; dalil 3.33 yang berbunyi:‖In logical syntax

the meaning of a sign ought never to play a role; it must

admit of being established without mention being thereby

made of the meaning of a sign; it ought to presuppose

only the description of the expressions‖. (Wittgenstein,

90

1995: 57). (―Dalam sintaksis logis, makna tanda

seharusnya tidak pernah memiliki peran. Sebuah tanda

harus mengakui telah didirikan tanpa menyebutkan

bahwa dia terbuat dari makna tanda. Sebuah tanda juga

seharusnya hanya mengandaikan deskripsi dari

ekspresi‖). Meskipun makna tanda tidak memiliki peran,

namun tanda tetap diakui keberadaannya tanpa

menyebutkan cara pembentukan makna dari sebuah

tanda; tanda dalam hal ini hanya menggambarkan

ungkapan. Disini ada unsur spontanitas yang melekat

kuat pada sebuah tanda, namun yang perlu dipahami

adalah maksud yang terkandung dalam pemaparan suatu

ungkapan. Ketika seseorang mengungkapkan tanda

bahasa berupa tuturan tentang sesuatu hal kepada pihak

lain, maka belum tentu ia memikirkan makna tanda yang

diungkapkannya. Hal yang dipentingkan bagi si penutur

adalah bagaimana mengungkapkan tanda itu kepada

pihak lain. Di sini terjadi proses dinamika tanda yang

lebih mengutamakan teknik pengungkapan, sedangkan

pemahaman atas makna tanda merupakan hal yang

muncul kemudian.

91

Ketiga; dalil 3.3442 yang berbunyi:‖The sign of the

complex is not arbitrarily resolved in the analysis, in

such a way that its resolution would be different in every

propositional structure‖ (Wittgenstein, 1995: 61).

(―Tanda kompleks tidak serta-merta diselesaikan dalam

analisis, sedemikian rupa sehingga resolusinya akan

berbeda dalam setiap struktur proposional"). Tanda yang

kompleks dalam hal ini mengacu pada proposisi

majemuk yang dapat dipecah ke dalam proposisi yang

lebih kecil, yakni proposisi elementer melalui teknik

analisis. Contoh: ―Megawati ketua Umum PDIP yang

mantan Presiden RI ke-5 berpidato pada peringatan Hari

Lahirnya Pancasila‖ terdiri atas dua proposisi elementer,

yaitu (1) Megawati sebagai ketua umum PDIP berpidato

pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2011,

(2). Megawati sebagai mantan presiden RI ke-5

berpidato pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni

2011.

4. Bahasa Logika

Sebagaimana halnya dengan Russell, Wittgenstein

juga bertitik-tolak pada bahasa logika untuk

92

merumuskan persoalan filsafat. Wittgenstein dalam

pendahuluan Tractatus mengatakan bahwa cara

merumuskan persoalan filsafat oleh para filsuf terdahulu

terbentur pada kesalahpahaman mengenai bahasa logika

(Wittgenstein, 1995: 27). Pengamatan yang cermat

terhadap struktur logis proposisi, serta kesimpulan logis

mengenai realitas, dimaksudkan untuk menjernihkan

kesalahpahaman yang diperbuat para fisuf terdahulu.

Penyebab utama kekacauan bahasa dalam filsafat bagi

Wittgenstein, lantaran tidak ada tolok ukur yang dapat

menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau

tidak, oleh karena itu agar tidak terjerumus dalam

kesalahan serupa, perlu disusun kerangka bahasa logika

bagi filsafat. Ini merupakan langkah awal yang

diperlihatkan dalam bukunya Tractatus, sehingga dalil

yang dimuat dalam bukunya itu disusun berdasarkan

konsep logika. Hacker, salah seorang penulis artikel

tentang Ludwig Wittgenstein dalam A Companion to

Analytic Philosophy mengatakan bahwa menurut

Tractatus fungsi bahasa yang mendasar adalah

mengomunikasikan pemikiran melalui ungkapan dalam

bentuk yang dapat dipersepsi. Peranan proposisi, yaitu

93

kalimat yang mengandung pengertian, adalah

menggambarkan berbagai bentuk peristiwa. Jika bentuk

peristiwa digambarkan melalui suatu proposisi, maka

hasilnya ada dua kemungkinan, yaitu proposisi itu benar

atau sebaliknya proposisi itu salah (Hacker, 2001: 72).

Peran proposisi untuk menggambarkan bentuk-bentuk

peristiwa (state of affairs) inilah yang merupakan sentral

pemikiran Wittgenstein dalam Tractatus. Tugas utama

filsafat adalah menggambarkan realitas sebagaimana

adanya melalui ungkapan yang tepat dan logis, karena itu

pemikiran filsafat terdahulu perlu diklarifikasi dan

dianalisis secara kritis.

Proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam

filsafat terdahulu itu bukannya salah, melainkan tidak

terpahami, oleh karena itu, seseorang tidak dapat

memberikan jawaban terhadap persoalan serupa itu,

selain hanya membiarkannya dalam bentuk semula yang

tidak terpahami. Persoalan dan proposisi yang diajukan

para filsuf terdahulu itu tidak dapat dipahami karena

mereka tidak mengerti bahasa logika (Wittgenstein,

Ludwig, 1995 : 63). Seseorang tidak dapat memikirkan

sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan membuat

94

orang itu berpikir tidak logis pula (Wittgenstein, Ludwig,

1995: 43).

Penggunaan bahasa logika yang sempurna berarti

pemakaian alat-alat bahasa –kata dan kalimat— secara

tepat, sehingga setiap kata hanya mempunyai suatu

fungsi tertentu saja, dan setiap kalimat hanya ―mewakili‖

suatu keadaan faktual saja. Suatu bahasa logika yang

sempurna mengandung aturan sintaksis sehingga

mencegah ungkapan tidak bermakna, dan mempunyai

simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas.

salah Satu fungsi filsafat menurut Wittgenstein, adalah

menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau

dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu

yang dapat dikatakan (Edwards, Paul, 1967 : 331). Suatu

karya filsafat bagi Wittgenstein seharusnya mengandung

penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat

bukan melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan

membuat ungkapan itu menjadi jelas. Wittgenstein

menegaskan pandangannya sebagai berikut:

‖The object of philosophy is the logical

clarification of thoughts. Philosophy is not theory

but an activity. A philosophical work consists

essentially of elucidations. The result of philosophy

95

is not a number of ‗philosophical propositions‘, but

to make propositions clear‖ (Wittgenstein,

Ludwig, 1995: 77).

(―Objek filsafat adalah klarifikasi logis pikiran.

Filsafat bukanlah teori melainkan suatu aktivitas.

Suatu karya filsafat pada hakikatnya berisikan

penjelasan-penjelasan. Hasil filsafat bukan lah

sejumlah proposisi filsafati, melainkan membuat

proposisi-proposisi tersebut menjadi jelas‖).

Upaya yang ditempuh Wittgenstein untuk membuat

jelas ungkapan atau bahasa dalam filsafat ini serupa pula

halnya dengan Russell, yaitu menentukan kesesuaian

antara struktur bahasa dengan struktur realitas.

Pandangan ini lebih dikenal dengan nama teori gambar

(the picture theory).

5. Teori Gambar (The Picture Theory)

Teori gambar adalah suatu pandangan yang

menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa

dengan realitas atau dunia fakta. Teori ini serupa dengan

prinsip isomorfi (kesepadanan) dari Bertrand Russell.

Memang di sinilah letak kesamaan yang paling jelas

antar kedua tokoh Atomisme Logis ini. Kendatipun

dalam penguraian selanjutnya akan dijumpai beberapa

96

titik perbedaan di antara keduanya. Namun pada

prinsipnya keduanya sependapat bahwa ada paralel

mutlak antara bahasa dengan realitas.

Unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung

sebuah ungkapan yang bermakna –dengan sendirinya

merupakan proposisi— adalah suatu bentuk peristiwa

ataupun suatu keadaan faktual (states of affairs).

Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi adalah

gambaran realitas, jika seseorang memahami proposisi

itu berarti ia mengetahui bentuk peristiwa atau keadaan

faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut.

Seseorang dengan mudah dapat memahami proposisi itu

tanpa perlu diberitahu lagi pengertian yang terkandung di

dalamnya (Wittgenstein, 1995: 67).

Sebuah proposisi harus dapat menunjukkan

pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang

yang dihadapkan pada posisi seperti itu hanya perlu

mengatakan ‖ya‖ atau ‖tidak‖ untuk menyetujui realitas

yang dikandungnya (Wittgenstein, 1995: 67). Di sini

terlihat adanya upaya Wittgenstein untuk menempatkan

kembali pengertian proposisi sesuai dengan pengertian

semula dalam lingkup logika sebagaimana yang pernah

97

diajukan oleh Aristoteles dalam prinsip logika. Selama

ini kebanyakan filsuf telah menyalahgunakan pemakaian

proposisi untuk mengungkapkan sesuatu yang tak

terkatakan, sehingga sulit bagi seseorang untuk dapat

mengatakan ‖ya‖ atau ‖tidak‖ terhadap kemungkinan

realitas yang dikandungnya. Oleh karena itu ungkapan

dalam filsafat terdahulu itu tidak dapat dikategorikan

sebagai suatu proposisi, karena tidak mencerminkan

realitas apa pun. Dalam pandangan Wittgenstein,

pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang

digambarkan atau dihadirkan di dalamnya (Pitcher, 1964

: 45).

G.H. Von Wright, salah seorang sahabat

Wittgenstein, memberikan penjelasan tentang ‖teori

gambar‖. Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian

antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam

realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh

Wittgenstein, sehingga seseorang dapat mengatakan

bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar

karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur

gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan

dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi,

98

struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi

kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu suatu

kemungkinan mengenai keadaan faktual atau bentuk

suatu peristiwa (Pitcher, 1964 : 78).

Unsur-unsur gambar adalah alat-alat dalam bahasa,

seperti kata dalam kalimat, sedangkan unsur realitas

adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek

perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian ada dua

faktor utama yang mendukung teori gambar ini, yaitu

proposisi yang menggunakan alat dalam bahasa filsafat

dan fakta yang ada dalam realitas. Jenis proposisi yang

paling sederhana dinamakan proposisi elementer yang

merupakan penjelasan keberadaan suatu bentuk

peristiwa. Keseluruhan proposisi elementer itu tadi

merupakan bayangan seperangkat benda atau hubungan

antar-benda di dunia, dan bayang-bayang itu kemudian

menggiring benda atau hubungan antar-benda itu

menjadi suatu gambar timbul (Sokolowski, 1964 : 179).

Meskipun Wittgenstein tidak pernah memberikan

contoh tentang proposisi elementer, namun dalam

pengantar Tractatus yang ditulis Russell itu dapat

dijumpai contoh tentang proposisi elementer, karena

99

Wittgenstein berkeyakinan bahwa ia mempunyai alasan

baik untuk menentukan adanya proposisi elementer

biarpun contohnya tidak mungkin diberikan (Bertens,

1981 : 44). Proposisi elementer tidak dapat diajukan

contohnya, maka keberadaan suatu bentuk peristiwa

yang dungkapkan melalui proposisi elementer itu pun

tidak diberikan contohnya oleh Wittgenstein. Proposisi

elementer hanya mengatakan suatu bentuk peristiwa

merupakan suatu gabungan objek atau sesuatu yang

konkret (Wittgenstein, 1995: 31). Bentuk peristiwa itu

merupakan bagian terkecil (elementer atau atomis) yang

sesuai dengan proposisi elementer (Pitcher, 1964: 46).

Wittgenstein sendiri mengatakan bahwa jenis proposisi

yang paling sederhana –suatu proposisi elementer—

menjelaskan keberadaan suatu bentuk peristiwa

(Wittgenstein,1995: 89).

Suatu bentuk peristiwa yang dianggap sebagai

suatu situasi atomis tidak mengandung kemungkinan

untuk benar atau salah, tetapi proposisi elementer

sebagai alat bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa

itu kepada seseorang, dapat diperiksa benar atau

salahnya. Setiap proposisi pada hakikatnya bersifat benar

100

atau salah, sehingga sebuah proposisi mempunyai dua

kutub dalam arti ia mengandung kebenaran jika

bersesuaian dengan suatu peristiwa dan mengandung

kesalahan jika tidak bersesuaian dengan suatu peristiwa.

Pengertian situasi atomis dianggap sebagai suatu

bentuk peristiwa, karena Wittgenstein sendiri tidak

menjelaskan secara lebih rinci tentang apa yang

dimaksudkannya dengan situasi atomis tersebut.

Sokolowski menafsirkan tentang situasi atomis bahwa

istilah ‘atom‘ dipergunakan Wittgenstein serupa halnya

dengan istilah ‘Archai‘ yang dipakai para filsuf Yunani,

yaitu suatu keharusan prinsip filsafat. Alasan

Wittgenstein, sesuai dengan apa yang disimpulkannya

bahwa seseorang mengalami realitas material sebagai

bentuk keluasan, oleh karena itu harus ada beberapa

bagian benda yang sifatnya terbatas, yakni atom, yang

dapat memperluas dirinya sendiri dan sebagai komponen

dasar bagi pembentukan benda dalam lingkup yang luas

(Sokolowski, 1964: 179).

Wittgenstein sebagaimana halnya dengan Russell

juga memiliki pandangan yang bercorak metafisis, sebab

dengan meletakkan fakta atomis sebagai komponen

101

dasar realitas, berarti kedua filsuf tersebut telah

menunjukkan asal dunia dari fakta atomis. Bahkan dalil

pertama dan kedua yang termuat dalam Tractatus pun

sesungguhnya merupakan titik-tolak pemikiran

Wittgenstein untuk menyusun pandangan metafisis.

‖The world is everything that is the case. The world is

the totality of facts, not of things. What is the case, the

fact, is the existence of atomic facts‖ (Wittgenstein,

1995: 31). (‖Dunia adalah segala sesuatu yang

sedemikian. Dunia adalah keseluruhan fakta, bukan

benda-benda. Apa yang sedemikian itu, fakta, yaitu

keberadaan fakta atomis‖).

Pitcher menjelaskan bahwa suatu bentuk peristiwa

(a state of affairs yang dialihbahasakan dari bahasa

Jerman (Sachverhalten) adalah suatu fakta atomis yang

diungkapkan ke dalam proposisi elementer, sedangkan

dunia dalam pandangan Wittgenstein terdiri dari

berbagai fakta atomis. Kendatipun bila dipandang secara

umum, buku Tractatus Logico-Philosophicus tampaknya

bercorak anti metafisis, sebab Wittgenstein menolak

pandangan metafisikus terdahulu lantaran menurutnya

para filsuf itu tidak memberikan tanda-tanda yang pasti

102

dalam ungkapan-ungkapan metafisis itu. Tractatus

sendiri jelas merupakan sebuah karya metafisis, dan itu

bukanlah kecenderungan yang kecil dari buku tersebut.

Tetapi dalam hal ini, Wittgenstein bukan

membangkitkan kembali metafisika seperti yang terlihat

dalam pandangan filsuf terdahulu, ia hanya hanya ingin

membangkitkan kembali kemungkinan untuk

menerangkan metafisika (Edwards, 1967 : 331).

Penjelasan tentang dunia atau realitas, sebagai salah satu

masalah utama dalam metafisika yang coba diatasi

Wittgenstein dengan cara terlebih dahulu meletakkan

situasi atomis itu sebagai prinsip filsafatnya. Secara

logis, kemungkinan mengenai situasi atomis (bentuk-

bentuk peristiwa) itu di dalam sesuatu yang bersifat

konkret memang dapat diterima sebagai pertimbangan

awal, karena dalam logika tak ada sesuatu yang bersifat

kebetulan (Wittgenstein, 1995: 31). Proposisi elementer

sebagai pencerminan penggunaan bahasa logika, jelas

merupakan ungkapan yang mengacu pada sesuatu yang

bersifat logis yaitu, situasi atomis atau bentuk peristiwa.

Atau dengan kata lain, kecenderungan teori gambar ini

103

ke arah metafisika merupakan sesuatu yang tak

terbantahkan.

D. Alfred Jules Ayer (1910-1989)

Ayer dikenal sebagai tokoh utama dalam

Positivisme logis. Aliran ini semula dikenal dengan

nama Lingkungan Wina yang didirikan pada 1922 oleh

Moritz Schlick. Tokoh yang tergabung dalam aliran ini

adalah para ahli matematik, logika, dan sains, sehingga

dapat diduga bagaimana corak pemikiran aliran ini pada

umumnya. Kecenderungan terhadap sesuatu yang

bersifat positif dan pasti, serta dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah merupakan corak

pandangan aliran yang khas dari kaum Positivisme Logis

ini. Aliran ini secara nyata dipengaruhi oleh pemikiran

Moore dan Atomisme Logis Russell dan Wittgenstein,

terutama dalam penerapan teknik analisis bahasa. Namun

dalam hal tertentu penganut Positivisme Logis bahkan

lebih tegas dalam pendirian mereka menolak metafisika.

Teknik analisis bahasa dari kaum Atomisme Logis yang

telah diwarnai corak positif oleh kaum Positivisme Logis

104

ini, menimbulkan perbedaan yang hakiki di antara kedua

aliran ini.

Kendati demikian menurut komentar Charlesworth,

sejarah filsafat mencatat tradisi analisis bahasa yang

sesungguhnya terdapat dalam pemikiran Moore-Russell-

Wittgenstein. Positivisme Logis hanya dianggap sebagai

suatu penyelangan dari tradisi analisis yang

sesungguhnya dari ketiga tokoh Analitika bahasa

tersebut. Corak positif yang diterapkan dalam teknik

analisis bahasa oleh kaum Positivisme Logis begitu

ketat dan kaku, sehingga ada kecenderungan untuk

menilai bahwa kaum Positivisme Logis ini telah

membekukan metode filsafat Moore dan Wittgenstein itu

menjadi suatu dogma (Charlesworth, 1959: 127). Salah

satu jasa kaum Positivisme Logis adalah menjadikan

filsafat analitis lebih dikenal di kalangan filsafat di luar

Inggris.

1. Prinsip Verifikasi (Verification Principle)

Tokoh-tokoh Positivisme Logis ini menerapkan

prinsip verifikasi yang semula dipergunakan dalam

bidang fisika itu ke dalam teknik analisis bahasa. Cara

105

yang demikian itu membawa perubahan yang cukup

besar terhadap teknik analisis bahasa yang telah diajukan

oleh Russell dan Wittgenstein, terutama mengenai tolok

ukur untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu

pernyataan. Sesuatu yang tidak dapat diukur bagi

Positivisme Logis berarti tidak mempunyai makna.

Makna sebuah proposisi tergantung apakah seseorang

dapat melakukan verifikasi terhadap proposisi yang

bersangkutan (Charlesworth, 1959: 138).

Meskipun tokoh Positivisme Logis secara umum

menerima prinsip verifikasi itu sebagai tolok ukur untuk

menentukan konsep tentang makna, namun mereka

membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip

verifikasi itu sendiri. Tokoh pemula Positivisme Logis

Moritz Schlick misalnya, menafsirkan verifikasi ini

dalam pengertian pengamatan empirik secara langsung

bahwa hanya proposisi yang mengandung istilah yang

diangkat langsung dari objek yang diamati yang

dinamakannya kalimat Protokol itulah yang benar-benar

mengandung makna (Charlesworth, 1959: 131). Schlick

menjelaskan bahwa salah satu cara pengetahuan itu

dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa

106

semacam itu terlihat dalam kalimat protokol dan inilah

yang menjadi permulaan bagi ilmu (Beerling, 1966:

107). Penafsiran Schlick mengenai prinsip verifikasi ini

menimbulkan perdebatan di kalangan kaum Positivisme

Logis itu sendiri, terutama penganut Positivisme Logis

yang muncul kemudian. Upaya untuk meletakkan prinsip

verifikasi hanya pada peristiwa yang dapat dialami

secara langsung, sama halnya telah menafikan bidang

sejarah sebagai produk masa lampau dan prediksi

(ramalan) ilmiah sebagai produk bagi masa yang akan

datang.

Ayer, salah seorang penganut Positivisme Logis

yang muncul kemudian, atau dapat dikatakan sebagai

generasi penerus tradisi Positivisme Logis, menyadari

pula kelemahan yang terkandung dalam prinsip

verifikasi yang diajukan Schlick itu Ayer memperluas

prinsip verifikasi itu dalam pengertian berikut:

―The principle of verification is supposed to

furnish a criterion by which it can be determined

whether or not a sentence is literally meaningful. A

simple way to formulate it would be to say that a

sentence had a literal meaning, if and only if the

proposition it expressed was either analytic or

empirically verifiable (Ayer, 1952 : 5).

107

("Prinsip verifikasi merupan sebuah pengandaian

untuk memberikan suatu kriteria yang dapat

menentukan apakah sebuah kalimat secara harfiah

itu bermakna atau tidak. Sebuah cara sederhana

untuk merumuskan bahwa sebuah kalimat memiliki

arti harfiah, jika dan hanya jika proposisi yang

diungkapkan teruji secara analitis atau empiris").

Prinsip verifikasi ini tidak hanya menguji kalimat

secara empiris, tetapi juga menguji kalimat yang dapat

dianalisis. Penafsiran yang diajukan Ayer terhadap

prinsip verifikasi ini setidaknya berhasil mengatasi

kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh

Positivisme Logis sebelumnya, yang hanya menerima

proposisi yang dapat diverifikasi secara empirik. Hal

mana terlihat jelas dalam pandangan Moritz Schlick,

yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat

protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau

salahnya melalui pengamatan empirik secara langsung.

Prinsip verifikasi seperti yang diajukan Schlick itu

menurut Ayer, merupakan verifiable dalam arti yang

ketat (strong verfiable) yang dibedakannya dengan

verifikasi dalam arti yang lebih longgar (weak

verifiable). Ayer menegaskan hal itu dalam pernyataan

sebagai berikut.

108

―A further distinction which we must make is the

distinction between ‗strong‘ and the ‗weak‘ sense

of the term ‗verifiable‘. A proposition is said to be

verifiable, in the strong sense of the term, if and

only if, its truth could be conclusively established

in experience. But it is verifiable, in the weak

sense, if it is possible for experience to render it

probable (Ayer, 1952 : 37).

(―Pembedaan lebih lanjut yang harus dibuat adalah

pembedaan antara yang dapat diverifikasi secara

‗ketat' dan 'longgar'.'. Sebuah proposisi dikatakan

telah terverifikasi dalam arti yang ketat, jika dan

hanya jika, kebenarannya dapat ditegakkan secara

meyakinkan dalam sebuah pengalaman. Namun hal

tersebut akan terverifikasi dalam arti yang longgar,

jika hal tersebut memungkinkan bagi sebuah

pengalaman").

Ayer melalui kedua macam pengertian verifiable

ini, terutama verifiable dalam arti longgar (weak sense)

telah membuka kemungkinan untuk menerima

pernyataan dalam bidang sejarah masa lampau dan juga

prediksi ilmiah atau perkiraan atas peristiwa masa depan,

sebagai pernyataan yang mengandung makna.

2. Proposisi Analitis

Atas dasar apakah seseorang dapat melakukan

analisis terhadap sebuah proposisi? Bagaimana analisis

109

terhadap proposisi dapat mengandung makna?

Pembahasan mengenai kedua masalah ini sebenarnya

merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut dari prinsip

verifikasi yang telah dibicarakan di depan. Ayer

merumuskan bahwa suatu kalimat mengandung makna

jika ada dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu

dapat dianalisis atau diverifikasi secara empiris, ini

berarti hanya ada dua macam proposisi yang diterima

oleh Ayer, yaitu proposisi empiris dan proposisi analitis.

Proposisi empiris bagi Ayer lebih mudah dipahami,

karena hal itu dikaitkan langsung dengan pengalaman

yang pasti atau pengalaman yang mungkin. Proposisi

empiris adalah sebuah dan semua hipotesis yang dapat

dibenarkan atau ditolak berdasarkan pengalaman

inderawi. Proposisi empiris itu merupakan rekaman hasil

pengamatan, sehingga dapat dilakukan pengujian (verify)

atas hipotesis tersebut melalui pengalaman inderawi

selanjutnya (Ayer,1952 : 93-94). Seseorang dalam

proposisi empiris akan dihadapkan pada bentuk-bentuk

peristiwa atau kenyataan yang memungkinkan untuk

diverifikasi, baik yang dibenarkan maupun yang ditolak

secara empiris. Jadi kalau ada pernyataan yang berbunyi:

110

―Planet Uranus memiliki duapuluh bulan‖, maka

pernyataan ini merupakan proposisi empiris, karena

pernyataan tersebut mengandung kemungkinan untuk

diverifikasi. Misalnya; pengiriman satelit Voyager II

oleh Badan Ruang Angkasa Amerika sebagai upaya

untuk membuktikan apakah pernyataan tersebut dapat

dibenarkan atau ditolak. Apabila dalam pembuktian nanti

ditemukan ada duapuluh lima ataupun tigapuluh buah

bulan yang mengitari planet Uranus, berarti pernyataan

di atas ditolak, namun pernyataan itu tetap mengandung

makna, karena ada cara untuk membuktikannya.

Berbeda halnya dengan proposisi analitis yang sifat

pembenaran atau penolakannya bukan didasarkan pada

pengalaman, melainkan lebih didasarkan atas benar atau

tidaknya melalui definisi, yakni semata-mata benar

berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan

simbolnya; benar atau tidaknya berdasarkan pada a

priori, pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis

atau perkiraan logis; mengandung kepastian dan

keniscayaan, yaitu yang dinamakan tautologi, suatu

pernyataan yang secara logis bersifat mesti benar; serta

mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan

111

didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti, jadi

maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan verbal

(Charlesworth,1959: 132).

Suatu proposisi analitis yang semata-mata benar

berdasarkan susunan simbolnya dapat dijumpai dalam

matematik. Jadi kalau dikatakan ―10 x 10 = 100‖, maka

kebenaran proposisi itu semata-mata tergantung pada

fakta bahwa ungkapan simbol ―10 x 10‖ adalah sinonim

dengan ―100‖.

Kebenaran proposisi analitis yang didasarkan pada

a priori artinya, penjelasan yang sama merupakan

pegangan untuk setiap kebenaran a priori lainnya.

Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan refleksi logis (a

priori) menurut Ayer, seperti halnya contoh pengertian

bahwa setiap spesialis mata (occulist) adalah seorang

dokter mata, didasarkan atas fakta bahwa simbol ‖dokter

mata‖ itu secara logis sama artinya dengan spesialis mata

(Ayer, 1952: 85).

Proposisi analitis yang mengandung kepastian dan

keniscayaan tautologi, berarti ada hubungan yang sudah

memang semestinya. Misalnya; ‖Semua lingkaran

bulat‖. Pernyataan semacam ini merupakan tautologi,

112

karena ―bulat‖ itu merupakan sifat yang sudah

semestinya ada pada setiap lingkaran.

Proposisi analitis yang semata-mata didasarkan

penggunaan istilah yang pasti maksudnya, proposisi

analitis itu termasuk proposisi yang tidak mempunyai

kandungan faktual, dan itu berarti, tidak ada pengalaman

yang dapat membuktikan ketidakbenarannya (Ayer,

1952: 79). Contoh: Beberapa jenis serangga termasuk

parasit atau kalau tidak, maka tak ada satu pun serangga

yang parasit. Seseorang hanya perlu menganalisis istilah,

bukan melakukan pengamatan untuk mendapatkan ada

atau tidaknya serangga yang dikategorikan sebagai

parasit.

3. Eliminasi Metafisika

Ayer sebagaimana halnya kaum Positivisme Logis

pada umumnya secara tegas menolak metafisika. Alasan

yang dkemukakannya saat itu sekaligus menampakkan

konsekuensi tugas filsafat menurut kacamata Positivisme

Logis. Ayer menggabungkan pandangan Moore yang

bertitik-tolak dari penggunaan bahasa sehari-hari,

dengan pandangan Atomisme Logis yang didasarkan

113

pada kerangka bahasa logika. Kendatipun tampak

kecenderungan yang lebih kuat dalam pemikiran Ayer

itu untuk menerapkan teknik-teknik analisis bahasa dari

Atomisme Logis, namun analisis bahasa sehari-hari

seperti dalam pandangan Moore digunakan dengan

maksud untuk mencegah atau menilai sejumlah

pandangan metafisis (Charlesworth,1959: 135).

Konsekuensi utama yang ditimbulkan oleh prinsip

verifikasi menurut pandangan Ayer, baik verifiable

dalam arti yang ketat maupun verifiable dalam arti yang

lunak, dan proposisi-proposisi analitis yang

mengungkapkan bahasa lain yaitu, pengeliminasian

terhadap metafisika (the elemination of metaphysics).

Proposisi-proposisi metafisika yang mencoba

mengungkapkan tentang ‖Substansi‖, ‖Eksistensi‖,

‖Keabadian jiwa‖, dan lain sebagainya, itu tidak

bermakna atau tidak mengandung pengertian apa pun,

nonsensical (Ayer, 1952: 42, 127). Proposisi-proposisi

seperti itu bagi Ayer tidak dapat dianalisis bukan hanya

lantaran tidak dapat diverifikasian secara empirik, tetapi

juga lantaran bentuk-bentuk peristiwa tidak mungkin

relevan untuk dikatakan benar atau salahnya (Ayer,

114

1952: 41). Tugas filsafat yang paling utama dan

mendasar adalah menyingkap dan menghapuskan

kekacauan metafisika yang dianggap sebagai parasit

dalam pemikiran ilmiah, dan juga dalam pemikiran kita

sehari-hari (Ayer,1952 : 48).

Fungsi filsafat dalam pandangan Ayer itu bersifat

kritik, artinya kritik yang dilancarkan oleh filsafat itu

memang berguna untuk mengantar seseorang ke arah

pintu gerbang ilmiah, namun itu bukan berarti filsafat

merupakan suatu jenis Super sciences, ilmu yang paling

hebat. Tugas filsafat bukanlah menetapkan praandaian-

praandaian bagi ilmu pengetahuan. Filsafat tidak

mengandung tugas positif seperti yang dimiliki ilmu

pengetahuan empiris, fungsi filsafat itu semata-mata

bersifat kritik (Ayer,1952: 48). Kritik tersebut diarahkan

pada ungkapan metafisis dan segala bentuk penafsiran

metafisis yang dapat menjerumuskan seseorang kepada

pernyataan yang tidak bermakna (meaningless).

Kajian yang terkait dengan bidang etika termasuk

hal yang dianggap tidak bermakna oleh Ayer. Istilah

moral atau etik mempunyai hubungan erat dengan arti

asalnya, yaitu berasal dari kata Latin: moralis, dan istilah

115

ethics berasal dari bahasa Yunani: ethos. Keduanya

berarti kebiasaan atau cara hidup, akhlak, moril (Prent,

dkk, 1969: 56). Istilah-istilah tersebut kadang dipakai

sebagai sinonim. Dewasa ini orang condong untuk

memakai istilah moralitas untuk menunjukkan tingkah

laku itu sendiri, sedang istilah etika, menunjuk kepada

penyelidikan tentang tingkah laku (Titus, Smith &

Nolan, 1979 : 141). Etika adalah salah satu cabang

filsafat yang menyelidiki tentang tingkah laku manusia

yang dilakukan secara sadar, sehingga dapat dibedakan

mana tingkah laku yang baik, mana yang buruk.

Tanggapan Positivisme Logis terhadap pernyataan dalam

bidang etika tidak jauh berbeda dengan tanggapan

mereka terhadap bidang metafisika. Apabila seseorang

mengungkapkan perasaan moral tertentu ataupun

berpura-pura menentang pengungkapan perasaan moral

pihak lain, maka sesungguhnya secara sederhana tidak

ada pengertian yang perlu dipersoalkan dalam hal itu.

Pernyataan yang mengungkapkan perasaan moral

dikategorikan sebagai pernyataan yang tidak bermakna,

karena tidak dapat diuji benar atau salahnya berdasarkan

fakta (Ayer, 1952: 107-108).

116

Pernyataan dalam theologis menurut Positivisme

Logis, hanya mengungkapkan reaksi emosional terhadap

kehidupan, tetapi tidak menyatakan apa-apa yang ada

atau yang terjadi; dengan kata lain, tidak

mengkomunikasikan informasi (Liek Wilardjo, 1987 :

49). Apabila seorang theolog mengatakan bahwa ‘Tuhan

itu menciptakan alam semesta dalam enam masa‘, maka

seorang penganut Positivisme Logis menganggap

pernyataan semacam itu tidak menghadirkan informasi

apa pun. Pernyataan demikian itu terletak di luar wilayah

berlakunya prinsip verifikasi, karena manusia sebagai

subjek dalam kehidupan di dunia ini tidak mampu

melakukan verifikasi atas pernyataan tersebut. Atau

dengan kata lain, ucapan-ucapan itu tidak mempunyai

‘factual content‘, tidak mempunyai kandungan faktual.

Ucapan semacam itu tidak mempunyai makna kognitif,

tidak berbicara tentang sesuatu fakta. Nilai pernyataan

yang nonkognitif, emosional, atau ekspresif, berarti

ucapan tersebut secara faktual tidak mengandung arti apa

pun, semuanya tidak bermakna (Bertens,1987 : 146).

Alasan utama penghapusan metafisika oleh kaum

Positivisme Logis ini bukan saja lantaran ungkapan-

117

ungkapan metafisis itu tidak dapat diverifikasi secara

empiris, dan bukan pula sekadar tidak dapat

dikategorikan sebagai proposisi-proposisi analitis. Hal

yang lebih penting adalah upaya kaum Positivisme Logis

ini untuk menjadikan filsafat sebagai pendamping utama

atau pengantar ke arah bidang ilmiah dalam rangka

menyusun pandangan yang positivistik mengenai dunia.

Cara untuk mencapai tujuan itu salah satu syarat

utamanya adalah menyingkirkan permasalahan-

permasalahan semu (pseudo problems) yang ditimbulkan

para metafisikus. Alasan utama menentang para

metafisikus itu bukan lantaran sang metafisikus itu

mencoba menggunakan pengertian dalam suatu bidang

yang tidak dapat mendatangkan manfaat apa pun,

melainkan lantaran sang metafisikus itu mengajukan

kalimat yang gagal atau tidak memenuhi syarat tertentu

untuk dikatakan kalimat yang benar-benar mengandung

makna secara harafiah. Oleh karena itu diperlukan suatu

tolok ukur yang pasti atas pernyataan semacam itu. Ayer

menegaskan bahwa kriteria yang dipergunakan untuk

menguji keaslian pernyataan yang didasarkan atas fakta

adalah tolok ukur dapat diverifikasi atau tidaknya

118

pernyataan tersebut. Seseorang yang mengatakan bahwa

sebuah kalimat mengandung makna faktual kepada

orang lain berarti, jika dan hanya jika, ia mengetahui

bagaimana cara menguji proposisi yang ia ungkapkan

tersebut. Ia juga harus mengetahui bentuk pengamatan

yang mengarahkannya di bawah kondisi yang pasti,

sehingga ia mengakui proposisi itu benar atau

menolaknya karena proposisi itu salah (Ayer, 1952 : 35).

Penolakan Ayer pada khususnya, atau kaum

Positivisme Logis pada umumnya, terhadap metafisika

itu lebih didasarkan pada kriteria-kriteria logis yang

tidak dimiliki ungkapan-ungkapan metafisika. Penerapan

prinsip verifikasi (verification principle) untuk menguji

apakah suatu pernyataan itu dapat dikatakan sebagai

bermakna atau tidak, diterima sebagai suatu cara yang

paling tepat atau memadai untuk menghapus metafisika

dalam bidang filsafat.

E. Ludwig Wittgenstein II

Pemikiran Atomisme Logis dan juga Positivisme

Logis selama hampir tiga dasawarsa tertanam kuat dalam

119

sejarah perkembangan analitis, namun selanjutnya terjadi

perubahan arah pemikiran yang cukup mendasar. Para

tokoh analitika bahasa yang muncul kemudian

menyadari bahwa teknik analisis bahasa yang semata-

mata diarahkan pada pencarian makna bahasa dalam arti

penonjolan aspek semantis semata, menggiring mereka

pada perdebatan tentang makna ungkapan yang tidak

berkesudahan. Filsuf analitis yang muncul belakangan

mulai meragukan metode dan kriteria pembedaan atas

ungkapan yang bermakna dan yang tidak bermakna.

Penentuan bahasa ideal yang didasarkan pada logika

bahasa sempurna ternyata tidak mampu menampung

seluruh gagasan filosofis yang terus berkembang dalam

pemikiran. Sekelompok filsuf analitis mulai

mengalihkan perhatian pada titik-tolak penggunaan

bahasa biasa, sehingga muncul aliran filsafat analitis

yang dinamakana Ordinary Language Philosophy,

Filsafat Bahasa Biasa. Tokoh yang mendobrak dominasi

positivisme logis dalam bidang filsafat itu ialah

Wittgenstein periode II.

Permasalahan utama yang lebih penting daripada

masalah makna menurut penganut faham Filsafat Bahasa

120

Biasa, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah atau

ungkapan dapat mengandung arti demikian dalam

penggunaannya, oleh karena itu perlu terlebih dahulu

diselidiki atau diteliti aspek pragmatisnya daripada aspek

semantisnya. Penyelidikan terhadap aspek pragmatis

bahasa tentu saja tidak akan menyentuh isi

permasalahan, apabila diletakkan dalam kerangka bahasa

logika semata, sebab bahasa logika mengandaikan suatu

uniformitas bahasa, tidak lebih dari salah satu upaya

saja dalam perbincangan mengenai realitas. Padahal

dalam realitas itu sendiri, terutama dalam kehidupan

sehari-hari, manusia terlibat dalam kompleksitas arus

lalu lintas bahasa. Setiap komunitas bahasa punya

peranan dan makna tersendiri menurut aspek

penggunaannya, yang kadang kala malahan tidak

mengandung sifat logis. Tetapi mereka yang terlibat

dalam penggunaan bahasa seperti itu, yang dianggap

tidak mengandung sifat logis tadi, mempunyai

pengertian dan pemahaman yang cukup jelas tentang arti

istilah atau ungkapan yang mereka pergunakan. Contoh:

bahasa komunikasi yang dipergunakan sekelompok anak

balita dalam pergaulan mereka, sama-sama mereka

121

pahami, meskipun orang dewasa di luar komunitas

mereka mungkin banyak yang tidak paham apa makna

ucapan mereka. Logika bahasa orang dewasa berbeda

dengan logika bahasa anak-anak, sehingga orang dewasa

tidak dapat mencampuri permainan bahasa di kalangan

anak-anak balita itu tadi, karena mereka memiliki cara

pemahaman tersendiri.

Tokoh filsafat analitis yang dapat dipandang sebagai

pembuka jalan bagi aliran filsafat bahasa biasa adalah

Wittgenstein. Setelah sukses besar yang dicapainya

melalui karya Tractatus Logico-Philosophicus, akhirnya

ia menyadari bahwa bahasa logika ternyata mengandung

kelemahan, yaitu tidak mampu menyentuh seluruh

realitas yang tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari.

Wittgenstein II mengalihkan perhatian pada

keanekaragaman (pluriformity) bahasa biasa dan cara

penggunaannya. Wittgenstein dalam periode kedua

filsafatnya ini lebih dekat kepada pemikiran Moore yang

beranjak dari penggunaan bahasa biasa untuk memahami

berbagai aspek kehidupan.

1. Pemikiran Ludwig Wittgenstein Periode II

122

Wittgenstein dalam periode filsafatnya yang kedua

ini –lazim dikenal dengan sebutan Wittgenstein II,

periode pemikiran filsafatnya ini diungkapkan dalam

karyanya yang berjudul Philosophical Investigations

(PI). Buku ini diterbitkan untuk pertama kali pada tahun

1953, dua tahun setelah kematiannya, dalam teks bahasa

Inggris di samping teks aslinya bahasa Jerman,

Philosophische Untersuchungen. Berbeda dari karyanya

yang pertama Tractatus yang di dalamnya disuguhkan

berbagai bentuk dalil yang ketat dan rumit, PI ini

disuguhkan dalm bentuk section yang terdiri dari banyak

contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam periode kedua ini, Wittgenstein mengubah

alur pemikirannya yang semula bertitik-tolak dari bahasa

logika ke arah penggunaaan bahasa biasa dengan

berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. Meskipun

arah pemikiran Wittgenstein periode I dan periode II

oleh banyak komentator dianggap berbeda, namun

sesungguhnya bagi Wittgenstein pemikiran lama

(Tractatus) dan pemikiran baru (Philosophical

Investigations) dipadukan dalam suatu cara pandang

yang khas.

123

Wittgenstein sendiri dalam kata pengantar buku

Philosophical Investigations menegaskan posisi dirinya

sebagai berikut:

―Four years ago I had occasion to re-read my first

book (The Tractatus Logico-Philosophicus) and to

explain its ideas to someone. It suddenly seemed to

me that I should publish those old thoughts and the

new ones together; that the latter could be seen in

the right light only by contrast with and against the

background of my old way of thinking‖

(Wittgenstein, 1983: viii).

(―Empat tahun lalu saya berkesempatan untuk

membaca kembali buku pertama saya (Tractatus

Logico-Philosophicus) dan untuk menjelaskan

gagasan-gagasan yang ada di buku tersebut kepada

seseorang. Tiba-tiba saya berpikir bahwa saya

harus memublikasikan pikiran-pikiran lama dan

baru saya secara bersamaan. Pikiran-pikiran baru

dapat dilihat dari cahaya yang tepat dengan

penggunaan kontras yang membelakangi

latarbelakang dari cara berpikir saya yang

terdahulu‖).

Pernyataan ini mengandung arti, ada pertalian yang

cukup erat di antara kedua karyanya itu, kendati ada

perubahan arah yang cukup mendalam. Charlesworth,

salah seorang komentator filsafat analitis memberikan

penafsiran yang cukup jelas tentang pertalian yang ada di

124

antara kedua buku Wittgenstein itu. Suatu cara yang

terbaik untuk menggambarkan hubungan di antara kedua

karya Wittgenstein itu menurut Charlesworth adalah

dengan mengatakan bahwa PI merupakan pengembangan

dari gagasan yang sebelumnya sudah terkandung dalam

Tractatus menjadi kunci pemahaman baru, gagasan itu

ditampilkan dalam ruang lingkup yang baru, diterapkan

dalam suatu cara yang berbeda. Jadi apa yang dikatakan

dengan bahasa secara umum dalam Tractatus

diterjemahkan dalam istilah bagian dari ―tata permainan

bahasa‖. Batas bahasa pada Tractatus diubah menjadi

batas dari bagian ―tata permainan bahasa‖, ―apa yang

tidak dapat diungkapkan‖ diubah menjadi aturan atau

―paradigma‖ permainan bahasa‖ (Charlesworth,1959 :

104).

Kendati terdapat pertalian yang begitu erat di

antara kedua karya Wittgenstein itu, namun semangat

pembaharuan yang terkandung dalam periodenya yang

kedua ini menimbulkan perbedaan yang hakiki di antara

kedua karya Wittgenstein itu . Hal ini tercemin dalam

penolakannya terhadap tiga hal yang dulu diandaikan

begitu saja pada periodenya yang pertama, yaitu:

125

―(1). bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan

saja, yakni menetapkan States of Affairs (keadaan

faktual), (2). bahwa kalimat mendapat maknanya

dengan satu cara saja, yakni menggambarkan satu

keadaan faktual, dan (3). bahwa setiap jenis bahasa

dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang

sempurna, biarpun pada pandangan pertama

barangkali sukar untuk dilihat‖ (Bertens, 1981: 48).

Ketiga macam perbedaan ini atau tiga pengandaian

yang termaktub dalam periode pertama yang kemudian

ditolak dalam periode kedua itu, akan terungkap lebih

jelas, terutama terkait dengan konsep language-games.

2. Permainan Bahasa (Language-games)

Sebagian besar isi kandungan PI diarahkan untuk

menjelaskan konsep mengenai permainan bahasa

(Language-games) ini. Permainan bahasa adalah proses

menyeluruh penggunaan kata, termasuk juga pemakaian

bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan.

Dalam praktek penggunaan bahasa, ada sebagian orang

yang menyebutkan kata-kata, sedangkan sebagian

lainnya melakukan hal yang dimaksudkan dengan kata-

kata tersebut. Dalam instruksi bahasa, proses berikut

akan terjadi, yaitu mempelajari nama-nama objek seperti

126

seseorang mengucapkan kata tertentu (misalnya: kursi),

sedangkan yang lainnya menunjuk benda yang disebut

kursi itu tadi. Hal-hal semacam ini menurut Wittgenstein

terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia, sehingga

terjadi proses penggunaan bahasa. Wiitgenstein

menamakan proses penggunaan bahasa tersebut sebagai

suatu bentuk permainan bahasa (language-games).

―We can also think of the whole process of using

words as one of those games by means of which

children learn their native language. I will call

these games ‗language-games‘ and will sometimes

speak of a primitive language as a language-game.

I shall also call the whole, consisting of language

and the actions into which it is woven, the

‗language-game‖ (Wittgenstein, 1983: 5).

(―Kita juga dapat menganggap seluruh proses

menggunakan kata-kata sebagai salah satu dari

permainan yang dengan keberadaan (permainan

tersebut) anak-anak dapat mempelajari bahasa asli

mereka. Saya akan menyebut permainan ini

sebagai ‗permainan bahasa‘ dan terkadang akan

menganggap bahasa primitif sebagai ‗permainan

bahasa‘ pula. Saya juga akan menyebut

keseluruhan, terdiri dari bahasa dan tindakan yang

terjalin, sebagai ‗permainan bahasa").

Istilah ―permainan bahasa‖ timbul sebagai suatu

gagasan filsafati ketika suatu hari Wittgenstein melihat

127

pertandingan sepak bola, tiba-tiba melintas dalam

benaknya bahwa sesungguhnya dalam bahasa, manusia

pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata (Pitcher,

1964: 244). Sudah barang tentu gagasan mengenai

penggunaan istilah ―permainan bahasa‖ itu sendiri tidak

akan dapat terwujud dengan baik apabila Wittgenstein

tidak menghubungkannya dengan kenyataan yang ada,

yaitu adanya keanekaragaman (pluriformitas) bahasa

yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari.

Keanekaragaman yang dimaksud Wittgenstein di sini

bukanlah berbagai macam bahasa seperti: bahasa

Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan

semacamnya, dan bukan pula ragam bahasa ilmu

pengetahuan seperti: bahasa sastera, bahasa kedokteran,

bahasa filsafat dan sejenisnya— melainkan

keanekaragaman bahasa yang dijumpai dalam kehidupan

sehari-hari, dalam berbagai komunitas seperti: bahasa

para remaja, bahasa para balita, bahasa komunitas waria,

bahasa komunitas pedagang di pasar Beringharjo, dan

lain sebagainya. Pembicaraan mengenai keanekaragaman

―permainan bahasa‖ menurut Wittgenstein itu meliputi

antara lain:

128

― Review the multiplicity of language games in the

following examples and in others : Giving orders

and obeying them – Describing the appearance of

an object or giving it measurement – constructing

an object from a description ( a drawing ) –

reporting an event – speculating about an event –

forming and testing a hypothesis – presenting the

result of an experiment in tables and diagrams –

making up a story and reading it – play acting—

singing catches – guessing riddles – making a joke

; telling it – solving a problem in practical

arithmetic – translating from one language into

another – asking, thanking, cursing, greeting,

praying‖ ( Wittgenstein, 1983 : 11).

(―Perhatikanlah keanekaragaman permainan bahasa

dalam contoh berikut: Memberikan perintah dan

menaatinya - Menggambarkan penampilan suatu

objek atau memberikan pengukuran terhadap objek

tersebut - membangun sebuah objek dari sebuah

deskripsi (gambar) - melaporkan peristiwa -

berspekulasi tentang sebuah acara (event) -

membentuk dan menguji hipotesis - menyajikan

hasil eksperimen dalam bentuk tabel dan diagram -

mengarang cerita dan membacakannya – berakting

- bernyanyi - menebak teka-teki - membuat lelucon

dan menceritakannya kembali ke orang lain -

memecahkan soal dalam aritmatika praktis –

menerjemahkan bahasa dari satu bahasa ke yang

lain - bertanya, berterima kasih, mengutuk,

menyapa, berdoa").

129

Keanekaragaman permainan bahasa sebagaimana

yang terlihat dalam contoh di atas menunjukkan bahwa

masing-masing permainan bahasa itu memiliki ruh dan

aturan main tersendiri.

Setiap ragam permainan bahasa itu mengandung

aturan tertentu yang mencerminkan ciri khas dari corak

permainan bahasa yang bersangkutan, karena itu

perhatian di sini diarahkan untuk membandingkan

keanekaragaman alat-alat dalam bahasa dan cara

penggunaannya, keanekaragaman itu meliputi jenis-jenis

kata dan kalimat (Wittgenstein, Ludwig, 1983).

Wittgenstein dalam Lectures and Conversation membuat

analogi penggunaan jenis kata dan kalimat dalam bahasa

itu dengan alat-alat pertukangan sebagai berikut:

―I have often compared language to a tool chest,

containing a hammer, chisel, matches, nails, screw,

glue. It is not a chance that all these things have

been put there—but there are important differences

between the different tools – they are used in a

family of ways—though nothing could be more

different than glue and a chisel. There is constant

surprise at the new tricks language plays on us

when we get into new field‖ (Barret, TT: 1).

(―Saya sering membandingkan bahasa dengan

‗kotak perkakas‘ yang berisi palu, pahat, korek api,

130

paku, sekrup, lem. Sekilas agak mustahil bahwa

semua perkakas tersebut diletakkan di dalam ‗kotak

perkakas‘. Tetapi ada perbedaan penting antara

alat-alat tersebut, yaitu mereka digunakan dalam

bentuk seperti keluarga, meskipun tidak ada yang

bisa lebih berbeda dari lem dan pahat. Ada kejutan

yang selalu muncul di saat strategi baru yang

dimainkan dalam bahasa ketika kita masuk ke

bidang baru‖).

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah permainan,

orang yang terlibat dalam permainan tertentu –misalnya

permainan catur— haruslah terlebih dahulu mengetahui

aturan yang digariskan dalam permainan tersebut. Aturan

itu dibutuhkan sebagai pedoman bagi penyelenggaraan

permainan itu secara baik, jelas, dan bertanggung jawab.

Gambaran mengenai aturan permainan ini ditunjukkan

oleh Wittgenstein melalui contoh sebuah permainan

catur, sebagai berikut:

‖... the game is supposed to be defined by the rules!

So, if a rule of the game prescribes that the kings

are to be used for drawing lots before a game of

chess, then that is an essential part of the

game.What objections might one make to this? That

one does not see the point of this prescription.

Perhaps as one wouldn‘t see the point either of a

rule by which each piece had to be turned round

three times before one moved it. If we found this

131

rule in a board-game we should be surprised and

should speculate about the purpose of the rule‖

(Wittgenstein, 1983: 150-151).

(‖... permainan seharusnya dibatasi oleh aturan!

Jadi, jika aturan permainan menentukan bahwa raja

yang akan digunakan dalam pertandingan catur,

maka itu adalah bagian penting dari permainan

tersebut. Apakah ada orang yang tidak setuju akan

hal ini? Jika ada, maka bisa dipastikan bahwa orang

yang tidak setuju tersebut tidak mampu melihat hal

penting ini. Mungkin orang tersebut tidak akan

melihat bahwa salah satu dari aturan dimana

masing-masing bagian harus dipikir tiga kali

sebelum ia menggerakkan biji catur. Jika kita

menemukan aturan ini dalam permainan berbasis

papan (contoh: catur) maka kita harus

mempertanyakan tentang tujuan dari aturan

permainan tersebut").

Ilustrasi yang dikemukakan Wittgenstein tersebut

menggambarkan pentingnya peran sebuah aturan

permainan (rule of the game). Sebuah permainan

haruslah ditentukan oleh aturan, demikian pula halnya

dengan permainan catur yang menentukan bahwa buah

raja memegang peranan yang sangat penting, bahkan

merupakan bagian yang esensial dalam permainan

tersebut. Apabila buah raja sudah direbut atau dikuasai

pihak lawan berarti permainan sudah usai, demikian pula

132

halnya dengan buah catur yang lain, masing-masing

mempunyai peran penting dalam permainan catur.

Apabila seseorang menjumpai penerapan aturan ini di

atas papan catur, maka tentu orang tersebut akan merasa

kagum dan berpikir tentang maksud atau tujuan suatu

aturan. Setiap permainan masing-masing memiliki aturan

main yang berbeda-beda, sehingga tidak ada aturan

umum yang berlaku bagi semua permainan sebagaiman

yang diungkapkan Wittgenstein dalam pernyataan

berikut:

―Consider for example the proceedings that we call

‗games‘. I mean board-games, card-games, ball-

games, Olympic games, an so on. What is common

to them all? – Don‘t say:‘There must be something

common, or they would not be called ‗games‘, --but

look and see whether there is anything common to

all. For if you look at them you will not see

something that is common to all, but similarities,

relationships, and a whole series of them at that.

To repeat:‘don‘t think, but look! (Wittgenstein,

1983: 31).

("Pertimbangkan misalnya proses yang kita sebut

'permainan'. Maksud saya adalah permainan

berbasis papan, permainan kartu, permainan bola,

Olimpiade dan lain sebagainya. Apa yang sama

dari permainan-permainan itu? - Jangan katakan

bahwa 'Harus ada sesuatu yang sama, atau mereka

133

tidak akan pernah disebut sebagai ‗permainan', -

tapi amati dengan jeli apakah ada sesuatu yang

sama untuk semua. Sebab jika Anda melihat

mereka, Anda tidak akan melihat sesuatu yang

umum untuk semua, tetapi kesamaan, hubungan,

dan seluruh rangkaian mereka pada saat itu. Jadi,

'Jangan berpikir, tapi amatilah!‖).

Begitu pula halnya yang terjadi di dalam

‖permainan bahasa‖, setiap bentuk permainan bahasa itu

memiliki aturan sendiri yang tidak dapat

dicampuradukkan begitu saja. Aturan permainan bahasa

dalam memberi perintah misalnya, berbeda dengan

aturan permainan bahasa dalam bersenda-gurau. Masing-

masing mengandung ketentuan yang mencerminkan

bentuk permainan bahasa yang bersangkutan. Kekacauan

akan timbul manakala seseorang menerapkan aturan

permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan

yang lain, sehingga mustahil dapat ditentukan aturan

umum yang dapat merangkum berbagai bentuk

permainan bahasa tersebut. Wittgenstein dalam periode

kedua ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap

teorinya sendiri dalam periode pertama yang

menganggap bahwa kata atau kalimat mendapat

134

maknanya sendiri dengan satu cara saja. Wittgenstein

dalam periode kedua ini justru menganggap ―makna

sebuah kata tergantung penggunaannya dalam kalimat,

sedangkan makna kalimat tergantung pengunaannya

dalam bahasa (Judowibowo, TT: 9). Seseorang baru

dapat mengetahui makna sebuah kata atau kalimat,

bilamana ia telah mengetahui dalam ruang lingkup yang

mana kata atau kalimat tersebut dipergunakan. Hal yg

menonjol dalam pemikiran Wittgenstein II ini ialah

pernyataannya yang berbunyi:‖don‘t think, but look!‖.

Jangan pikirkan, tetapi lihatlah! Wittgenstein periode

kedua lebih mementingkan aspek jalannya bahasa dalam

kehidupan, bukan rekayasa bahasa dalam pikiran.

Seseorang dalam kehidupan sehari-hari acapkali

menjumpai kata atau ungkapan yang sama yang

dipergunakan dalam berbagai bentuk permainan bahasa.

Apakah ini ada sesuatu yang bersifat umum yang

terkandung di dalam pengertian kata atau ungkapan

tersebut? Kata atau ungkapan tersebut menurut pendapat

Wittgenstein bukanlah dalam pengertian umum,

sehingga dapat membuat seseorang mempergunakan kata

atau ungkapan yang sama untuk semua hal, sebab kata

135

atau ungkapan itu dihubungkan satu sama lain dalam

banyak cara yang berbeda. For a large class of cases,

though not for all, in which we employ the word

‗meaning‘ it can be defined thus: the meaning of a word

it its use in language (Wittgenstein, 1983 : 20).

Penjelasan atas pandangan di atas ditunjukkan

Wittgenstein dengan mengajukan contoh tentang ―aneka

kemiripan keluarga‖ (family resemblances) sebagai

analogi dari bentuk permainan bahasa.

―I can think of no better expression to characterize

these similarities than ‗family resemblances‘; for

the various resemblances between members of a

family: build, features, colour of eyes, gait,

temperament, etc. overlap and criss-cross in the

same way – And I shall say ‗games‘ form a family‖

(Wittgenstein, 1983 : 32).

(―Saya pikir tidak ada ungkapan yang lebih tepat

untuk mengkarakterisasi kesamaan suatu kemiripan

keluarga, karena berbagai kemiripan antara anggota

keluarga: postur, roman muka, warna mata, gaya

berjalan, temperamen, dan lain-lain, tumpang tindih

dan bersaling-silang. Dan saya akan mengatakan

bahwa 'permainan' akan membentuk sebuah

keluarga‖).

136

Kemiripan yang terdapat di antara anggota keluarga

sebagaimana yang dikemukan Wittgenstein analog

dengan kemiripan penggunaan kata dalam berbagai

kehidupan sehari-hari, kata yang sama ketika

dipergunakan dalam lingkup yang berbeda, maka

maknanya juga berbeda. Lebih tepat dikatakan

mengandung kemiripan makna, bukan kesamaan makna.

Magee menafsirkan konsep family resemblances

Wittgenstein itu sebagai bentuk keberbagaian makna

dari sebuah kata, artinya tidak terdapat satu ciri tunggal

yang berlaku umum pada semua penggunaan yang sah

dari sebuah kata (Magee, 2005: 194). Penerapan kata

atau kalimat yang sama dalam pelbagai cara yang

berbeda, bukan mengandung makna yang sama,

melainkan dasar-dasar kemiripan yang sifatnya umum.

Dua saudara kembar sekalipun tidak akan memiliki

kesamaan yang bersifat mutlak, pasti ada perbedaan

tertentu yang membuat seseorang dapat membedakan

antara keduanya. Akan tetapi seseorang dapat

mengatakan bahwa kedua saudara kembar itu benar-

benar mirip, meskipun tidak sama persis. Hal yang sama

berlaku pula bagi penggunaan kata atau kalimat yang

137

sama dalam banyak cara yang berbeda, meskipun

mengandung sesuatu yang bersifat umum

(kemiripannya), namun maknanya tergantung pada cara

penggunaannya.

Magee memberikan contoh tentang persoalan yang

sering diajukan Socrates seperti:‖apakah keberanian itu?

Apa kebaikan itu? Apa keindahan itu?‖ Ketika

pertanyaan-pertanyaan tersebuat diajukan berarti

Socrates meyakini bahwa ada entitas-entitas aktual yang

direpresentasikan oleh istilah ‖keberanian‖, ‖kebaikan‖,

‖keindahan‖, yang jelas istilah-istilah tersebut tidak

mengacu pada objek materiil, melainkan entitas yang

memiliki sebuah eksistensi yang bersifat otentik. Dalam

hal ini tidak ada makna baku yang dapat dikenakan pada

istilah-istilah tersebut, kata-kata hanya memiliki makna

sejauh ada kriteria yang mengatur penggunaan kata

tersebut, dan kriteria itu bersifat intersubjektif. Kata-

kata harus memiliki sebuah dimensi sosial dan publik,

atau sesuai dengan konteks penggunaannya (Magee,

2005:195).

3. Tugas utama Filsafat

138

Wittgenstein melalui konsep tentang language-

games bermaksud menunjukkan kekacauan penggunaan

bahasa dalam filsafat. Artinya, penggunaan istilah atau

ungkapan yang telah membingungkan dan memusingkan

begitu banyak orang, sesungguhnya disebabkan para

filsuf tidak mengikuti aturan permainan bahasa.

Wittgenstein mengatakan: ―For philosophical problems

arise when language goes on holiday‖ (Wittgenstein,

Ludwig, 1983 :19). Ada beberapa kelemahan bahasa

filsafat yang ditengarai Wittgenstein sebagai berikut.

Pertama; kecenderungan untuk mencari

pengertian yang bersifat umum dengan merangkum

berbagai gejala ke dalam suatu sifat umum, Craving for

Generality, yaitu kecenderungan untuk mencari sesuatu

yang yang umum pada semua satuan-satuan konkret

(entities) yang diletakkan atau dihimpunkan di bawah

suatu istilah umum Atau dengan kata lain, ―seseorang

mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman,

kesamaan dalam perbedaan, ketunggalan dalam

kemajemukan, craving for unity (Wittgenstein, 1972 :

17).

139

Kedua;ketika para filsuf menggunakan kata

―knowledge‖, ―being‖, ―object‖, ―I‖, ―proposition‖,

―name‖, dan mencoba membangkitkan hakikat sesuatu,

maka Wittgenstein mempertanyakan hal tersebut: apakah

kata-kata tersebut sesungguhnya dipergunakan dalam

cara language-games yang sesuai dengan lingkupnya?

(Wittgenstein, 1983 : 48).

Ketiga; penyamaran pengertian atau pengertian

yang terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak

dapat difahami, seperti: ―keperiadaan‖, ―ketiadaan‖, dan

lain sebagainya. Oleh karena itu Wittgenstein

menganjurkan agar kita ―melewati atau menghindari

penyamaran dari sesuatu yang tidak terpahami itu

dengan menunjukkan bahwa itu sebenarnya omong-

kosong saja (Pitcher, 1964 : 198).

Berdasarkan kelemahan bahasa filsafat

sebagaimana dikemukakan di atas, maka Wittgenstein

menunjukan beberapa tugas utama filsafat sebagai

berikut.

Pertama; bertitik-tolak pada penggunaan bahasa

sehari-sehari, dengan meneliti dan membedakan aturan-

aturan dalam pemainan bahasa. Penggunaan istilah-

140

istilah dalam metafisika digiring kembali ke dalam

penggunaannya dalam penggunaan sehari-hari

(Wittgenstein, 1983: 48).

Kedua; menunjukkan kepada lalat jalan keluar dari

sebuah botol lalat, ‖What is your aim in philosophy? To

shew the fly the way out of the fly-bottle‖ (Wittgenstein,

1983: 103). (‖Apakah tujuan filsafat? Menunjukkan

kepada lalat jalan keluar dari botol lalat‖). Analogi ini

dikenakan bagi para filsuf yang mencoba menjelaskan

realitas melalui penggunaan atau ungkapan yang

membingungkan, sehingga mereka terjebak ke dalam

bahasa yang mengikat pemikiran mereka sendiri.

Keadaan itu diibaratkan dengan ‖lalat‖ yang terbang

dalam sebuah botol bening, tetapi merasa dirinya sudah

menjelajahi dunia yang sesungguhnya. Wittgenstein

menegaskan bahwa seseorang yang terperangkap di

dalam kekacauan filsafat, tak ubahnya seperti seseorang

yang terjebak dalam sebuah ruangan, walau pun ia ingin

keluar dari ruangan tersebut namun ia tidak tahu caranya.

Filsafat analitis merupakan solusi untuk mengatasi dan

membantu menunjukkan jalan keluar dari jebakan

bahasa.

141

Ketiga; filsafat menurut Wittgenstein tidak ikut

campurtangan dalam penggunaan bahasa aktual, filsafat

pada akhirnya hanya menggambarkan jalannya bahasa.

Filsafat tidak memberikan dasar bagi bahasa, melainkan

membiarkan bahasa berlangsung sebagaimana adanya

(Wittgenstein, 1983: 49). Jalan keluar yang ditawarkan

Wittgenstein adalah melalui penampakan jalannya

bahasa, yang dapat membuat seseorang mengakui jalan

itu meskipun timbul dorongan kesalahpahaman.

Persoalan filsafat itu dipecahkan bukan melalui

pengajuan keterangan baru, melainkan dengan menyusun

kembali apa yang telah diketahui (Pitcher, 1964 : 193).

F. John Langshaw Austin (1911-1960)

Salah satu karya Austin yang termashur adalah

How To Do Things With Words, yang diterbitkan untuk

pertama kali setelah dua tahun kematiannya (1962).

Austin di dalam bukunya ini membedakan secara cermat

beberapa macam tindakan bahasa dan jenis ucapan

dengan pelbagai implikasi dan kriterianya masing-

masing. Ada garis kesamaan secara umum antara

142

pandangan Austin dengan Wittgenstein II, namun uraian

yang diajukan Austin jauh lebih rumit dan rinci, dan

lebih diarahkan pada si penutur (subjek) dengan pelbagai

konsekuensi yang seharusnya dilaksanakan. Karyanya

yang lain, juga diterbitkan setelah kematiannya, adalah

Philosophical Papers (1961) dan Sense and Sensibilia

(1962). Tulisan ini secara khusus menyoroti pandangan

Austin yang terdapat dalam How To Do Things With

Words, sebab buku ini secara khusus membahas tentang

berbagai aspek yang terkandung di dalam bahasa biasa

atau bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-

hari. Hal ini pula yang membuat Austin dikelompokkan

ke dalam aliran Filsafat Bahasa Biasa (Ordinary

Language Philosophy).

1. Jenis Ucapan (Utterances)

Austin membedakan antara dua macam ucapan

yang acapkali kita jumpai dalam bahasa pergaulan, yaitu

ucapan konstatif (Constative Utterances) dengan ucapan

performatif (Performative Utterances). Kedua ucapan itu

bukan saja berbeda pada aspek pengucapannya, akan

tetapi juga situasi, prasyarat, dan implikasi yang

143

ditimbulkannya. Masing-masing ucapan terletak pada

situasi tertentu, mengandung prasyarat tertentu bagi

pengucapannya, serta menimbulkan implikasi tertentu

pula bagi si penutur dan pendengarnya. Hal yang

dipentingkan Austin adalah adalah kekhasan masing-

masing ucapan dengan berbagai konsekuensi yang

terkandung di dalamnya. Penelitian dan penyelidikan

atas ciri khas setiap ucapan tersebut, menimbulkan cara

pandang baru dari aliran Filsafat Bahasa Biasa, yaitu

menempatkan si penutur (subjek) pada kedudukan yang

lebih istimewa.

Ucapan Konstatif (Constative Utterance) adalah

ucapan atau tuturan yang dipergunakan manakala

digambarkan suatu keadaan faktual, dalam batas ini

pandangan Austin masih sejalan dengan faham

Atomisme Logis dan Positivisme Logis. Ucapan

konstatif masih senada dengan pemikiran Wittgenstein I

dan Ayer yang memberlakukan prinsip verifikasi untuk

menggambarkan benar atau salahnya suatu pernyataan.

Setiap ucapan konstatif ini mengandung suatu

pernyataan yang memungkinkan si pendengar untuk

menguji kebenarannya secara empiris, atau berdasarkan

144

pengalaman baik secara langsung atau tidak. Istilah

‖konstatif‖ ini dipergunakan Austin untuk

menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai

benar atau salahnya (Austin,1962 : 3). Sebuah

pernyataan dikatakan konstatif apabila menggambarkan

keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa

benar atau salahnya. Seseorang dapat membuktikan

kebenaran ucpan seperti itu dengan melihat, menyelidiki,

ataupun mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan

si penutur. Austin mendasarkan pandangannya bahwa

―pada hakikatnya ucapan konstatif itu berarti membuat

pernyataan yang isinya mengandung acuan historis atau

peristiwa nyata‖ (Austin, 1962 : 3).

Bahasa pergaulan menurut Austin tidak hanya

meliputi ucapan konstatif, karena ada macam ucapan

yang lain, yaitu ucapan performatif. Ucapan performatif

ini tidak dapat diperiksa benar atau salahnya, hal ini

belum disinggung dan dibahas secara rinci oleh para

tokoh analitika bahasa sebelumnya, sebab ‖selama ini

kebanyakan filsuf (para pengikut Atomisme Logis dan

Positivisme Logis) mengandaikan begitu saja bahwa

ucapan yang dapat dipastikan benar atau tidak benarlah

145

yang bermakna‖ (Bertens, 1981 : 58). Austin

memperkenalkan ucapan performatif untuk

menjernihkan kesalahpahaman yang mudah terjadi

dalam penentuan konsep makna bagi suatu ucapan.

Ucapan Performatif (Performative Utterance)

menurut Austin berbeda dengan ucapan konstatif yang

dapat memeriksa benar atau salahnya, dan oleh karena

itu pula dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan

tersebut. Ucapan performatif tidak dapat diperlakukan

seperti itu, karena itulah Austin menegaskan bahwa

ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau

salah seperti halnya ucapan konstatif, melainkan layak

atau tidaknya (happy or unhappy) untuk diucapkan oleh

seseorang (Austin, 1962: 53). Ucapan performatif

menjadi tidak layak, bukannya tidak bermakna manakala

diucapkan oleh sembarang orang yang tidak berwenang

atau tidak berhak mengucapkannya, dan tidak pula layak

untuk diucapkan dalam sembarang keadaan. Peranan si

penutur di dalam ucapan performatif ini dengan

berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi

ucapannya sangat diutamakan. Penjelasan yang lebih

rinci tentang keutamaan si penutur itu dalam ucapan

146

performatif ini, dapat dilihat dalam contoh di bawah ini

yang menjelaskan pemikiran Austin.

a. ―Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri

yang sah‖.

b. ―Saya namakan kapal ini Ratu Elizabeth‖.

c. ‖Saya memberikan dan mewariskan jam ini kepada

saudara saya‖

d. ‖Saya berani bertaruh 6 dolar besok hari akan

hujan‖ (Austin, 1962 : 5)

Berdasarkan contoh di atas dapat dilihat bahwa

peranan si penutur (subjek) bertautan erat dengan apa

yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang

terkandung dalam ucapn performatif adalah, apakah si

penutur mempuyai wewenang (kewajaran / kelayakan)

untuk melontarkan ucapan seperti itu. Ucapan ―saya

bersedia menerima wanita ini sebagai istri saya yang

sah‖ hanya layak dilontarkan di depan penghulu bagi

mereka yang menikah secara Islami, namun tidak layak

diucapkan hanya berdua tanpa saksi, tanpa penghulu,

tanpa wali nikah. Seseorang yang tidak punya saham

apapun dalam pembuatan atau pembelian sebuah kapal,

tidak pula layak untuk menamakan kapal yang dimaksud

147

sebagai ‖Ratu Elizabeth‖. Pernyataan berikutnya tentang

seseorang yang tidak pernah memiliki sebuah jam, maka

tidak layak pula untuk melontarkan ucapan ‖saya

memberikan dan mewariskan jam tangan kepunyaan

saya ini kepada saudara saya‖. Ucapan performatif

menurut pandangan Austin dapat dikenali melalui ciri-

ciri berikut:

1) Diucapkan oleh orang pertama (seperti: ‖saya

menamakan‖saya bersedia‖, ‖saya bertaruh‖),

2) orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi

tertentu,

3) bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu),

4) orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif

dengan isi pernyataan tersebut‖. (Austin, 1962 : 56-

57)

Keempat ciri tersebut bisa saja dikenakan bagi

ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam ucapan

konstatif tidak terletak pada si penutur (subjek),

melainkan pada objek tuturan, dalam hal ini peristiwa

faktual. Ucapan performatif memberi penekanan utama

pada si penutur dengan kelayakan pengucapannya.

Kendatipun demikian keempat ciri tersebut belumlah

148

menjamin kelayakan suatu ucapan performatif. Ada

beberapa prasyarat yang dibutuhkan agar ucapan

performatif layak untuk diucapkan. Prasyarat yang

diajukan Austin itu adalah:

1). Harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku

atau sesuai dengan kesepakatan dalam suatu lingkungan

tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula, yang

meliputi pengucapan kata yang pasti oleh orang-orang

tertentu dalam keadaan yang pasti. Austin menegaskan

dalam pernyataan berikut:‖There must exist an accepted

conventional procedure having a certain conventional

effect, that procedure to include the uttering of certain

words by certain circumstances, and further‖ (Austin,

1962:14). (‖Harus ada prosedur yang sudah disepakati

yang mengandung akibat pasti yang sudah disepakati

pula, bahwasanya prosedur itu mencakup pengucapan

kata yang pasti berdasarkan keadaan yang pasti, dan

selanjutnya‖).

2). Mereka yang terlibat dalam situasi yang

melingkupinya (seperti; janji, sumpah, penganugerahan,

dan lain-lain) memang sudah selayaknya atau

berkepentingan untuk mengucapkannya sesuai dengan

149

prosedur yang ditempuhnya. Austin menegaskan bahwa

di saat seseorang berada dalam suatu situasi tertentu,

maka hendaklah orang tersebut mengikuti prosedur yang

berlaku dalam situasi tersebut (Austin, 1962: 15).

3). Prosedur itu harus dilaksanakan oleh semua

pihak yang terlibat secara tepat. Austin menegaskan

bahwa seluruh prosedur haruslah dijalankan oleh semua

yang terlibat secara tepat, ‖The procedure must be

executed by all participants both correctly‖ (Austin,

1962: 15).

Apabila salah satu dari prasyarat tersebut tidak

dipatuhi atau dilanggar, maka Austin tidak mengatakan

ucapan performatif itu salah, melainkan tidak layak

(unhappy) diucapkan. Ucapan performatif yang tidak

layak itu menurut Austin telah mengalami kegagalan

(infelicities). Austin mengatakan hal itu sebagai

berikut:‖the utterance is then, we may say, not indeed

false but in general unhappy. And for this reason we call

the doctrine of the things that can be and go wrong on

the occasion of such utterances, the doctrine of the

infelicities‖(Austin, 1962: 14). (‖Tuturan ini tidak dapat

dikatakan salah, tetapi secara umum dikatakan tidak

150

bahagia. Berdasarkan alasan ini, maka ajaran tentang

sesuatu yang dikatakan salah itu dinamakan sebagai

ajaran tentang kegagalan").

Sebuah ucapan performatif yang tidak layak,

lantaran tidak mengikuti prosedur yang lazim berlaku

dalam lingkungan masyarakat tertentu, tak ubahnya

dengan ‖seseorang yang kawin dengan seekor monyet,

atau seorang pendeta yang membaptis beberapa ekor

burung penguin‖ (Austin, 1962 : 24). Orang lain tidak

dapat menyalahkan apabila ada seseorang yang

melangsungkan perkawinannya dengan seekor monyet

atau pun tindakan si pendeta yang membaptis burung-

burung penguin. Orang lain hanya dapat mengatakan

tindakan seperti itu tidak patut atau tidak layak

dilakukan, karena kedua perbuatan itu tidak lazim

berlaku dalam masyarakat. Pembahasan Austin

mengenai ucapan performatif ini tidak begitu terpaku

pada analisis konsep filsafat semata, bahkan dapat pula

dipergunakan untuk menganalisis berbagai ucapan dalam

kehidupan manusia sehari-hari.

151

2. Tindak Bahasa (Speech Acts)

Pembahasan Austin mengenai ucapan konstatif dan

ucapan performatif, terutama ucapan performatif adalah

titik-tolak yang mengarah pada pembahasannya tentang

tindakan bahasa (speech acts). Tesis utamanya mengenai

tindak bahasa ini berbunyi: ―Dalam mengatakan sesuatu,

berarti kita melakukan sesuatu pula‖, by saying or in

saying something we are doing something (Austin, 1962:

12). Setiap pernyataan yang dilontarkan seseorang

mencerminkan tindakan atau perbuatan yang akan

dilakukannya. Suatu tindakan bahasa tidak sekedar

mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi dapat

mencerminkan tanggung jawab si penutur terhadap isi

tuturan, dan dapat pula mengandung maksud tertentu

untuk mempengaruhi orang lain. Austin membedakan

tindak bahasa menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusi

(locutionary act), Illokusi (illocutionary act), dan

perlokusi (perlocutionary act). Setiap jenis tindak bahasa

itu mempunyai ciri khasnya sendiri, ada faktor tertentu

yang menonjol dalam setiap jenis tindak bahasa itu,

namun ada pertautan erat di antara ketiga jenis tindak

152

bahasa tersebut, dalam arti jenis tindak bahasa yang satu

merupakan sarana bagi jenis tindak bahasa lainnya.

1). Tindak Lokusi (Locutionary Act)

Tindak lokusi menurut pandangan Austin, lebih

umum sifatnya dibandingkan jenis tindak bahasa yang

lain. Si penutur dalam tindak lokusi, melakukan tindak

bahasa dengan mengatakan sesuatu yang pasti. Tindak

lokusi merupakan tindak bahasa secara umum yang

dikaitkan dengan tindak fonetik (phonetic act), tindak

fatik (phatic act), dan tindak retik (rhetic act). Tindak

fonetik menurut Austin adalah tindak pengucapan bunyi

yang pasti (uttering certain noises). Tindak fatik adalah

tindak pengucapan kosa kata yang pasti (uttering of

certain vocables or words). Tindak retik adalah

penampilan sebuah tindakan yang menggunakan kosa

kata dengan pengertian dan acuan terbatas. Austin

menegaskan:‖the rhetic act is the performance of an act

using those vocables with a certain more-or-less definite

sense and reference‖ (Austin, 1962: 95). (―tindakan retik

adalah perbuatan menggunakan kosakata yang memiliki

pengertian dan acuan tertentu‖).

153

Sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturan yang

diungkapkan itu, dimaksudkan untuk memperjelas

tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri. Austin

mengajukan contoh tindakan lokusi sebagai berikut: ―Ia

mengatakan kepada saya: ―Tembaklah dia!‖ berarti

melalui ucapan ―tembaklah‖ mengarah dan mengacu

pada orang ketiga‖ (Austin, 1962: 101). Tidak ada

keharusan di sini bagi ―saya‖ (si penutur) untuk

melaksanakan isi ucapannya itu (menembak dia),

artinya, tindak lokusi ini tidak mencerminkan tanggung

jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.

Tindak lokusi ini lebih menonjolkan gaya bicara si

penutur dalam mengungkapkan sesuatu, dan tidak

mengandaikan situasi atau kondisi tertentu yang

menjamin atau mengharuskan si penutur untuk

melaksanakan isi tuturannya itu. Kendati ada sesuatu

yang diutamakan dalam isi tuturan seperti ucapan ―Saya

akan ada di sana‖, namun itu tidak berarti si penutur

benar-benar telah atau akan melaksanakan isi ucapannya.

Austin menegaskan bahwa dalam tindak lokusi ada

beberapa hal yang dilibatkan, yaitu fonetik, fatik, dan

retik, Austin menjelaskan hal itu sebagai berikut:

154

―Obviously, to perform a phatic I must perform a

phonetic act, or, if you like, in performing one I am

performing the other (phatic acts are a sub-class of

phonetic acts). Obviously in the definition of the

phatic act two things were lumped together,

vocabulary and grammar. The phatic act, however,

like the phonetic, is essentially mimicable,

reproducible (intonation, winks, gesture)‖ (Austin,

1962: 95-96).

(―Jelaslah, untuk melakukan tindak fatik saya harus

melakukan tindak fonetik, atau, jika Anda suka,

dalam melakukan salah satunya saya melakukan

yang lain (tindak fatik adalah sub-kelas dari

tindakan fonetik). Dalam definisi tindak fatik ada

dua hal yang disatukan, yaitu kosakata dan tata

bahasa. Namun, bagaimanapun juga, tindak fatik,

seperti fonetik, pada dasarnya dapat ditiru dan

diulang (intonasi, kedipan mata, gerakan‖).

Meskipun tindak lokusi tidak mencerminkan

tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi

tuturannya, karena masih umum sifatnya, namun bagi

Austin ―tindak lokusi itu justru merupakan dasar untuk

melaksanakan tindak bahasa lainnya, terutama tindak

illokusi‖ (Austin, 1962 : 54). Tindak lokusi ini

sesungguhnya merupakan dasar bagi tindakan illokusi,

sebab pada tindak illokusi akan dijumpai implikasi yang

155

lebih luas dan rinci tentang peranan si penutur terhadap

isi tuturannya.

2). Tindak Illokusi (Illocutinary Act)

Pembahasan Austin mengenai tindak illokusi lebih

rinci dibandingkan pembahasannya mengenai tindak

lokusi. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana komentar

yang diajukan oleh Alston, karena konsep mengenai

suatu tindakan illokusi itu merupakan konsep yang

paling dasariah dalam ilmu semantis (menyelidiki arti

atau makna ungkapan dalam bahasa) dan karena itu juga

sangat penting dalam filsafat bahasa. Sebagaimana tokoh

analitika bahasa lainnya –meskipun dalam pandangan

kebanyakan tokoh Filsafat Bahasa Biasa aspek pragmatis

lebih diutamakan daripada aspek semantis, Austin juga

berusaha mencari konsep yang memadai tentang masalah

arti atau makna. Hal ini tersirat (implisit) dalam

uraiannya mengenai tindak bahasa. Tindak illokusi yang

merupakan salah satu jenis tindak bahasa ini dapat

ditafsirkan sebagai dasar dari teori arti.

Austin menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan

tindak illokusi ini dalam pernyataannya yang berbunyi

156

:―tindakan dalam mengatakan sesuatu merupakan lawan

terhadap tindakan mengatakan sesuatu‖. Austin

menegaskan hal itu sebagai berikut‖…the performance

of an ‗illocutionary‘ act i.e. performance of an act in

saying something as opposed to performance of an act of

saying something‖ (Austin, 1962 : 99). Tindakan dalam

mengatakan sesuatu (in saying) dibedakan dari tindakan

tentang mengatakan sesuatu (of saying), sebab tindakan

yang pertama mengandung tanggung jawab si penutur

untuk melaksanakan isi tuturannya, sedang tindakan

yang kedua hanya mengungkapkan sesuatu. Tindakan

dalam mengatakan sesuatu (in saying something)

mengandung tanggungjawab si penutur, karena di

dalamnya terdapat daya atau kekuatan (illocutionary

forces) (Austin, 1962: 99-100). Contoh-contoh berikut

memperlihatkan sejauh mana daya atau kekuatan yang

terkandung dalam tindakan illokusi ini memainkan

peranan pada diri si penutur:

a). Saya berjanji akan menghadiri pesta ulang

tahunnya.

b). Saya menyarankan kepadanya untuk bersikap

jujur dalam berbisnis.

157

c). Saya bertanya kepada dosen Filsafat Bahasa

tujuan utama matakuliah tersebut.

d). Dosen Filsafat Bahasa itu mengumumkan pada

kami bahwa ujian akan dilaksanakan minggu

depan.

e). Prajurit itu melapor kepada atasannya bahwa ia

siap untuk melaksanakan tugasnya.

f). Komandan pasukan itu memerintahkan anak

buahnya untuk menyerbu musuh sesuai dengan

strategi yang ditentukan.

g). Saya menduga pencuri memasuki rumah saya

melalui jendela.

Semua contoh di atas merupakan contoh tindakan

illokusi, sebab dalam berjanji, menyarankan, bertanya,

mengumumkan, melapor, memerintahkan, menduga,

(Austin, J.L., 1962 : 98) terkandung suatu daya yang

menuntut tanggung jawab si penutur untuk

melaksanakan isi tuturannya. Daya itu pula yang

membuka peluang bagi si penutur untuk melaksanakan

isi tuturannya tersebut dalam tindakan nyata.

Kendatipun demikian, dalam tindak illokusi itu

terlebih dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi

158

yang melingkupi memang sesuai dengan isi tuturan.

Manakala isi tuturan tidak sesuai dengan situasi dan

kondisi yang melingkupinya, maka tindakan illokusi itu

tidaklah akan dapat mencerminkan tanggung jawab si

penutur. Misalnya kita ambil contoh a). Saya berjanji

akan menghadiri pesta ulang tahunnya, di situ

seharusnya situasi dan kondisi tertentu sudah ada terlebih

dahulu, antara lain:

a). Memang ada pesta ulang tahun yang akan

diselenggarakan.

b). Pesta ulang tahun itu memang belum

berlangsung.

c). Ada kemungkinan bagi si penutur (saya) untuk

pergi menghadiri pesta ulang tahun tersebut.

d). Si penutur (saya) mempunyai minat ingin

menghadiri pesta ulang tahun itu‖ (Alston, 1964 :

39)

Apabila salah satu dari keempat hal tersebut tidak

ada atau tidak sesuai dengan kenyataan, berarti tindakan

illokusi itu tidak akan mencerminkan tanggung jawab si

penutur terhadap isi tuturannya, sehingga timbul

kejanggalan, yakni hal yang bersifat tidak semestinya

159

dalam pengungkapan isi tuturan itu. Bukankah janggal

kedengarannya apabila ‖saya berjanji menghadiri pesta

ulang tahunnya‖, padahal tidak ada pesta ulamng tahun

yang akan diselenggarakan (point a); atau bahkan pesta

ulang tahun yang dimaksud itu telah usai sebelum isi

tuturan diungkapkan (point b); dan sangatlah tidak

bertanggung jawab apabila isi tuturan itu diungkapkan

padahal si penutur tidak memiliki peluang atau

kemungkinan untuk menghadirinya (point c); mungkin

lantaran si penutur harus menjalankan tugasnya ke luar

kota; atau bahkan si penutur sebenarnya tidak punya

minat sama sekali untuk menghadiri pesta ulang tahun

itu (point d).

Satu hal yang perlu diketahui bahwa ‖situasi atau

keadaan yang dikemukakan di atas (point a, b, c, d)

bukanlah merupakan syarat bagi tindak illokusi,

kendatipun keadaan itu dibutuhkan bagi tindak illokusi

yang wajar dan bertanggung jawab‖ (Austin, J.L., 1962 :

3). Keadaan itu tidak dapat dianggap sebagai syarat yang

mutlak bagi tindakan illokusi, karena mungkin saja

dalam kasus tertentu si penutur memang tidak

mengetahui berlakunya keadaan yang demikian.

160

Misalnya saja dalam tuturan ‖saya berjanji akan

menghadiri acara wisudanya‖, mungkin si penutur

memang benar-benar tidak mengetahui bahwa acara

wisuda yang akan dihadirinya itu telah usai. Jadi

seseorang tidak dapat menyalahkan atau menuduhnya

sebagai orang yang tidak bertanggung jawab terhadap isi

tuturannya. Di sini hanya diandaikan bahwa seseorang

yang melakukan tindak illokusi itu telah mengetahui

terlebih dahulu situasi dan keadaan tertentu yang

berkenaan dengan isi tuturannya.

Petunjuk yang paling penting untuk diperhatikan

dalam kaitannya dengan tindak illokusi ini adalah

bahwasanya sesuatu yang dikehendaki bagi pengucapan

suatu kalimat yang layak bagi suatu tindak illokusi,

bukan lantaran keadaan lingkungan itu secara aktual

menimbulkan pengaruh yang pasti. Atau dengan kata

lain, si penutur benar-benar mempercayai pengaruh yang

ditimbulkan oleh keadaan itu bagi tindakan bahasa yang

dilakukannya, melainkan si penutur semata-mata

memiliki tanggung jawab terhadap tindak bahasa yang

dilakukannya. Si penutur benar-benar mengakui bahwa

161

apa yang diperbuatnya itu telah diarahkan sesuai dengan

aturan yang dikehendaki (Austin, 1962 : 99).

Setelah melihat ciri yang menandai suatu tindakan

illokusi, terutama tanggung jawab si penutur terhadap isi

tuturannya dijumpai bahwa ciri serupa juga berlaku bagi

ucapan performatif (performative utterance).

Bahwasanya baik tindak illokusi maupun ucapan

performatif, menuntut tanggung jawab si penutur untuk

melaksanakan tindakan yang sesuai dengan isi tuturan

atau isi ucapannya. Tengara ini dilontarkan oleh Austin

sendiri yang menegaskan bahwa sesungguhnya kata

kerja yang dikelompokkan ke dalam tindak illokusi

memang erat hubungannya dengan kata kerja

performatif. Seseorang dapat mengatakan bahwa tuturan

seperti, ‖saya mengingatkan Anda bahwa...‖, ataupun

‖saya memerintahkan Anda untuk...‖, jelas merupakan

kata kerja performatif; kata ‖mengingatkan‖ dan

‖memerintah‖ itu juga merupakan suatu tindak illokusi.

Jadi jelaslah bahwa seseorang dapat menggunakan

ucapan performatif pada tindak illokusi‖ (Alston, 1964:

35). Kata kerja yang termasuk ke dalam tindakan illokusi

selain di atas juga meliputi; meramalkan, mengakui,

162

berpendapat memrotes, meminta, mengemukakan,

mengungkapkan, bersyukur, dan lain-lain mengandung

force (daya) dalam diri subjek penutur.

Tindak illokusi dan ucapan performatif sama-sama

menekankan pentingnya pelaksanaan terhadap isi tuturan

atau isi ucapan untuk menegakkan rasa tanggung jawab

pada diri si penutur. Keterkaitan yang erat di antara

tindak illokusi dengan ucapan performatif itu

disimpulkan oleh Austin bahwasanya bilamana

seseorang melontarkan ucapan performatif, maka

sebenarnya itu juga berarti ia melakukan tindak illokusi

(Alston, 1964: 40).

c. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act)

Jenis tindak bahasa lainnya yang tak kalah

pentingnya dibandingkan dengan tindak lokusi dan

illokusi adalah tindak perlokusi (perlocutionary act).

Jika dalam tindak illokusi seseorang melihat isi tuturan

lebih mengena pada diri si penutur, maka dalam tindak

perlokusi ini isi tuturan lebih mengena pada diri si

pendengar. Jadi tindak perlokusi ini adalah akibat atau

pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata

163

maupun tidak. Di sini terkandung unsur kesengajaan dari

si penutur melalui isi tuturan yang dilontarkannya.

Austin menegaskan bahwa mengatakan sesuatu

acapkali akan menimbulkan pengaruh yang pasti

terhadap perasaan, pemikiran, atau perilaku si pendengar

atau si penutur itu sendiri, ataupun bagi orang lain. Hal

ini dapat dilakukan dengan cara merancang,

mengarahkan atau menetapkan tujuan tertentu pada

perkataan yang akan diungkapkan. Pelaksanaan jenis ini

dinamakan sebagai pelaksanaan tindak perlokusi. Tesis

utama dalam tindak perlokusi berbunyi:‖in saying x I

was doing y or I did y‖ (Austin, 1962:120). Tujuan

tertentu yang dirancang ataupun ditetapkan oleh si

penutur ke dalam isi tuturannya itulah yang merupakan

ciri khas dari tindak perlokusi, yakni penekanan pada

akibat yang ditimbulkan. Contoh tindak perlokusi dapat

dilihat sebagai berikut:

1). Saya telah membuat temanku melupakan

kesedihannya.

2). Saya meyakinkan dia bahwa belajar secara rutin

akan memberikan hasil yang lebih baik.

164

3). Saya membujuk anak saya agar menghentikan

tangisannya.

Jenis-jenis kata kerja lainnya yang merupakan ciri

khas tindakan perlokusi ini adalah: ‖membimbing x

mempelajari sesuatu, memperdayakan, mengajak,

merangsang, mengejutkan, menggembirakan,

menyebabkan x melakukan sesuatu, membangkitkan

membingungkan, menyebabkan x memikirkan tentang

sesuatu, meredakan ketegangan, mempermalukan,

menarik perhatian, menjemukan, dan lain-lain‖ (Alston,

1964 : 35).

Pengaruh atau akibat yang timbul dalam tindak

perlokusi, memang dirancang dan diarahkan sedemikian

rupa, sehingga ada upaya untuk mempengaruhi

pendengar secara maksimal. Apabila dikatakan ‖saya

membujuknya agar ia mau meminjami saya uang‖, maka

di sini terkandung upaya di penutur (saya) untuk

memperoleh pinjaman uang dari seseorang melalui cara-

cara tertentu.

Perbedaan yang penting antara illokusi dan

perlokusi terkait dengan akibat adalah kalau dikatakan

akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak illokusi itu

165

memang sudah semestinya demikian (lazim), karena

bertitik tolak dari tanggung jawab subjek. Sebaliknya

akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak perlokusi

merupakan hasil yang diinginkan atau telah

diperhitungkan sebelumnya oleh si penutur. Jadi, tujuan

atau maksud si penutur untuk mempengaruhi

pendengarnya itulah yang paling menonjol dalam tindak

perlokusi ini. Contoh paling jelas tentang tindak

perlokusi banyak dijumpai dalam bahasa iklan dan

bahasa politik, baik di media elektronik maupun di

media cetak yang dengan berbagai cara bermaksud

merayu dan meyakinkan calon konsumen atau calon

pemilih tentang keunggulan produk atau partai politik

mereka.

G. Jean Francois Lyotard (1924-1998)

Lyotard dikenal sebagai filsuf posmodernisme

yang menyuarakan surutnya narasi besar (grand

narratives) yang menindas berupa ideologi-ideologi, dan

lahirnya paradigma budaya baru yang didasarkan pada

skeptisisme terhadap teori-teori penjelasan universal

166

pada umumnya. Lyotard menegaskan bahwa dalam era

postmodern ini terjadi perlawanan dan pembebasan

terhadap perbudakan ideologi. Dewasa ini dimensi

kemanusiaan berpeluang mengangkat keanekaragaman

narasi kecil (mini-narratives), mengembalikan

kekuasaan politik pada individu dalam bentuk kebebasan

mengungkapkan pendapat dan keberanian mengritik

pemerintah dan kekuasaan negara yang cenderung

otoritarian (Sim, 2003: 3).

Lyotard juga menyerukan bentuk perlawanan

terhadap inhumanisme yang ditimbulkan oleh hubungan

manusia dengan teknologi, karena ia melihat dalam

beberapa dasawarsa terakhir ini relasi antara manusia

dengan mesin berubah secara dramatis. Apabila pada

awal perkembangan kebudayaan modern manusia masih

mampu memegang kendali atas mesin, semakin lama

hubungan itu dikuasai oleh mesin, terutama artificial

intelligence seperti computer, laptop, notebook, dan

sejenisnya. Bahkan para pendukung artificial

intelligence mulai menyadari masalah yang muncul

seputar hubungan manusia dengan mesin, sehingga

mereka memperkirakan pada abad mendatang masalah

167

kecerdasan massif akan menguasai politik global (Sim,

2003: 14-15).

Teknologi bagi Lyotard merupakan suatu bentuk

permainan yang lebih menekankan pada efisiensi, bukan

pada persoalan benar, adil atau indah. Lyotard

menegaskan hal itu dalam pernyataan

berikut:―Technology is therefore a game pertaining not

to the true, the just, or the beautiful, etc, but to

efficiency: a technical ‗move‘ is ‗good‘ when it does

better and/or expendes less energy than another‖

(Lyotard, 1984: 44). Penerapan teknologi dalam

kehidupan manusia merupakan sebuah permainan yang

mengandung aturan main, dan salah satu aturan main itu

adalah efisiensi. Aturan main lainnya berupa kegunaan,

kepraktisan, dan kebaharuan sebagai tuntutan bagi

pengembangan teknologi itu sendiri. Meskipun dalam

kenyataan, teknologi sebagai sarana permainan memiliki

aturan main sebagaimana dikemukakan di atas, namun

sesungguhnya terjadi penyimpangan aturan main dalam

teknologi itu dalam kehidupan manusia, yaitu

ketidakmampuan manusia mengendalikan perkembangan

teknologi, sehingga manusia justeru diperbudak oleh

168

teknologi. Teknologi dalam hal ini, bukan lagi menjadi

gerak permainan, tetapi sudah menjadi momok yang

menakutkan dan mengancam kehidupan manusia.

Misalnya: pengembangan senjata pemusnah massal yang

dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika,

Inggris, Perancis.

Lyotard dalam karyanya yang berjudul The

Postmodern Condition: A Report on Knowledge

menengarai bahwa postmodern merupakan suatu bentuk

ketidakpercayaan terhadap metanarratives, yakni cerita-

cerita besar yang dijanjikan pada zaman modern seperti:

mitos pembangunan. Keraguan atau ketidakpercayaan

itu menurut Lyotard, merupakan bentuk kemajuan ilmu,

karena krisis yang terjadi dewasa ini diakibatkan

manusia terlalu percaya dan menyandarkan diri pada

cerita-cerita besar (Grand narratives). Fungsi naratif

dalam keadaan semacam itu telah menghilangkan peran

manusia sebagai subjek, sekaligus juga lebur ke dalam

kumpulan komponen bahasa naratif, termasuk dalam

bahasa denotatif, preskriptif, dan deskriptif. Kendatipun

demikian Lyotard menekankan bahwa manusia sekarang

tidak perlu mencari kombinasi bahasa yang standar atau

169

normatif, karena hal yang demikian tidak diperlukan

dalam komunikasi (Lyotard, 1989: xxiv).

Lyotard menawarkan konsep language-games

sebagai jalan keluar untuk mengatasi kebuntuan

komunikasi dunia modern. Gagasan language-games

Lyotard ini diilhami oleh pemikiran Wittgenstein periode

Philosophical Investigations. Beberapa gagasan yang

dikembangkan Lyotard dari pemikiran Wittgenstein itu

meliputi hal-hal sebagai berikut.

Pertama; Lyotard menolak sudut pandang

tradisional yang menentukan kesatuan, proses

pascamodern mengarah pada pembebasan suatu

pluralitas bentuk-bentuk kehidupan, pengetahuan dan

tindakan yang mandiri, heteromorf, dan nonreduktif.

Lyotard justru lebih berorientasi pada instabilitas,

paralogi, dan diskontinyuitas (Asikin Arif, 1991 : 13).

Pluralitas merupakan salah satu tema yang paling

menonjol dalam pemikiran Wittgenstein II, yakni dalam

keanekaragaman tata permainan bahasa.

Kedua; Lyotard juga mengarahkan perhatian pada

analisis atas kehidupan sehari-hari, yang diistilahkan

dengan le quotidien, artinya analisis kehidupan sehari-

170

hari dipandang sebagai alternatif positif terhadap teori

global (Rosenau, P.M., 1992 : xiii). Aspek pragmatika

bahasa merupakan karakteristik pemikiran Wittgenstein

II, terutama dalam pernyataannya yang berbunyi: ‖The

meaning of a word is its use in the language. And the

meaning of a name is sometimes explained by pointing

its bearer‖ (Wittgenstein, 1983: 20-21). Atau penegasan

yang dikemukakan oleh (Judowibowo, TT: 9) mengenai

tesis pokok Wittgenstein II yang berbunyi: ―Makna

sebuah kata terletak pada penggunaannya dalam bahasa,

sedang makna bahasa terletak pada penggunaanya dalam

hidup sehari-hari‖.

Ketiga; penerapan konsep Language-games untuk

menjelaskan keberbagaian atau keanekaan fenomena

kehidupan dunia industrial modern. Setiap bidang

kehidupan bergerak sesuai dengan aturan mainnya

sendiri-sendiri, sebagaimana halnya cara bergerak biji-

biji catur di atas papan catur. Langkah bidak berbeda

dari langkah kuda, menteri, raja, gajah, dan seterusnya

(Lyotard, 1989 : 12). Lyotard mengamati adanya tiga hal

penting yang menjadi prinsip dalam teorema permainan

bahasa, yaitu: (1) Bahwa aturan-aturan tidak

171

melegitimasi dirinya sendiri, melainkan merupakan

objek perjanjian, baik eksplisit maupun tidak, antara para

pemain. (2) Bahwa jika tidak ada aturan, maka tidak ada

permainan, bahkan suatu perubahan aturan tanpa batas

melanggar kodrat permainan, sebuah gerak atau tuturan

tidak memuaskan dan tidak termasuk ke dalam

permainan yang dibatasi. (3) Setiap tuturan haruslah

dipikirkan sebagai sebuah gerak dalam suatu permainan

(Lyotard, 1989: 10).

Asikin Arif mengomentari bahwa secara metodis,

Lyotard menggunakan teori permainan bahasa

(language-games) sebagai sarana untuk menggambarkan

berbagai bentuk kehidupan, pengetahuan, dan tindakan

masyarakat posmoderen yang berbeda-beda, yang

dianalogikan dengan permainan bahasa. Masing-masing

permainan bahasa memiliki keunikan dan tidak

terbandingkan satu sama lain (incommensurable),

sebagaimana halnya pandangan Wittgenstein dalam

Philosophical Investigations bahwa tidak ada bahasa

yang bersifat umum (general language), yang ada

hanyalah bahasa-bahasa khusus, oleh karena itu mengerti

(verstehen) dan konsensus hanya ada dalam lingkup

172

language-games. Pemikiran posmodernisme Lyotard

yang bersandarkan pada keanekaragaman permainan

bahasa ini menurut Asikin Arif merupakan bentuk

pembelaan terhadap polimorfi permainan bahasa yang

menekankan pada semboyan ―biarkanlah bermain‖

(Laisser joner) dan ―bertaruhlah‖ (faites vos jeux)

sebagai imperatif posmodernisme (Asikin Arif, TT: 12).

Wittgenstein mengungkapkannya dengan

pernyataan:‖Don‘t think, but look!‖ (Wittgenstein, 1983:

31).

Posmodernisme bagi Lyotard merupakan

intensifikasi dinamisme, yaitu upaya terus menerus

untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi

kehidupan (Bambang Sugiharto, 1996: 27). Kebaruan,

eksperimentasi, dan kreativitas dalam revolusi kehidupan

merupakan karakteristik language-games yang bagi

Wittgenstein sendiri selalu mengalami perkembangan

dan suatu ketika bisa menjadi usang (obsolete).

Judowibowo mengomentari bahwa istilah language-

games dipakai Wittgenstein dalam arti bahwa menurut

kenyataan, wicara bahasa (the speaking of language)

merupakan suatu bentuk kehidupan yang selalu muncul

173

silih berganti, sehingga yang lama menjadi

obsolete¸usang dan dilupakan untuk kemudian muncul

hal-hal yang baru (Judowibowo, TT: 9). Kebaruan

merupakan suatu bentuk kreativitas yang muncul dalam

setiap periode kehidupan manusia, sehingga

keberlangsungan hidup akan menciptakan wicara bahasa

yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.

174

BAB IV

PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH SEMIOTIKA

A. Ferdinand de Saussure (1857-1913)

Istilah semiologi diperkenalkan Saussure untuk

mengacu pada studi atau kajian tentang bahasa yang

didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan

tingkah laku manusia membawa makna atau selama

berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem

perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu.

Di mana ada tanda di sana ada sistem. Harimurti

Kridalaksana dalam kata pengantar Linguistik Umum

menjelaskan bahwa Saussure membayangkan sebuah

disiplin ilmu yang mempelajari tanda dalam kehidupan

masyarakat. Disiplin ilmu tersebut mempelajari antara

lain sumber tanda dan kaidah yang mengatur tanda

tersebut. Ilmu tersebut dinamakan Saussure, semiologi.

Semiologi itu didasarkan pada asumsi bahwa selama

perbuatan manusia membawa dan mengandung makna

dan berfungsi sebagai tanda, maka di belakangnya ada

sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan

makna itu terjadi. Di mana ada tanda di sana ada sistem

175

(Harimurti, 1996: 26). Interkoneksi antara tanda yang

satu dengan tanda yang lain akan membentuk sistem,

sistem yang dimaksudkan Saussure di sini adalah sistem

kebahasaan, linguistik.

Saussure mendefinisikan semiologi sebagai

bidang studi yang meliputi seluruh persoalan linguistik

sebagai suatu kasus yang khusus (Sowa, 2000: 1).

Saussure menurut Georges Mounin, dapat dipandang

sebagai tokoh dalam bukunya Cours de linguistique

generale, karena Saussure telah membaptis dan

mendefinisikan secara garis besar ilmu umum tentang

semua sistem tanda (atau tentang semua simbol), sistem-

sistem itu membuat manusia bisa berkomunikasi di

antara mereka‖ (Martinet, 2010:2). Ada lima pokok

pikiran penting Saussure yang perlu mendapat perhatian,

yakni pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan

signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi);

(3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4)

synchronic dan diachronic; (5) Syntagmatic dan

associative (paradigmatik). Kelima hal tersebut terkait

dengan sistem kebahasaan yang dapat dijelaskan sebagai

berikut.

176

1.Bahasa sebagai sistem tanda; terdiri atas dua bagian,

yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda).

Signifier (penanda) adalah aspek material bahasa berupa

bunyi dan coretan yang bermakna, apa yang dikatakan

atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified

(petanda) adalah gambaran mental, pikiran, konsep dari

bahasa. Kedua unsur tersebut saling terkait dalam sistem

bahasa, penanda dan petanda merupakan kesatuan ibarat

dua sisi dari sehelai kertas. Hubungan antara signifier

(penanda) dan signified (petanda) menurut Saussure

bersifat arbitrer, semena, sebarang atau berubah-ubah.

Setiap tanda dalam jaringan sistem diibaratkan dua sisi

pada selembar kertas (Sobur, 2009 :46). Relasi antara

penanda dan petanda secara bersamaan membentuk

tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain, sehingga

keduanya membentuk suatu kesatuan, yaitu tanda, yang

seringkali dinamakan struktur (Hoed, 2008: 90).

2. Bahasa sebagai sistem nilai; terdiri atas bentuk dan

materi atau isi. Bentuk dan isi dapat diibaratkan dengan

permainan catur yang fungsinya dibatasi aturan

permainan. Contoh: mahasiswa Yogyakarta yang

177

terbiasa menumpang bis Trans Yogya setiap hari akan

menganggap dan mengatakan bahwa ia naik bis yang

sama, meskipun bis lainnya, dan sopirnya berbeda.

Bentuk atau wadah bis itu sama, yakni Trans Yogya, tapi

isinya berubah-ubah. Contoh lain: kata ―politik‖

misalnya dapat diucapkan secara berlainan oleh orang

yang berbeda (komentator, masyarakat awam, actor

politik), meskipun demikian kata tersebut ―politik‖

sebagai bagian dari suatu sistem bahasa, pada hakikatnya

tetap sama, yang berbeda hanyalah isi atau materi

psikologis si penyampainya.

3. Langage, langue, parole. Langage adalah

kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia

sebagai pembawaan, meskipun pembawaan ini harus

dikembangkan dalam lingkungan masyarakat pengguna

bahasa dan stimulus yang mendukungnya. Langage ini

mengacu pada bahasa pada umumnya yang terdiri atas

langue dan parole. Langue merupakan sistem sosial,

bukan tindakan yang direncanakan sendiri, karena

langue merupakan bentuk perjanjian bersama. Langue

adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat

178

sosial budaya. Langue merupakan tataran konsep dan

kaidah. Langue dapat dibandingkan dengan permainan

catur. Seseorang yang ingin bermain bulu tangkis tidak

harus mengetahui bahwa permainan tersebut berasal dari

Inggeris. Orang tersebut juga tidak perlu mengetahui

bahan baku cock itu terbuat dari bulu ayam asli ataukah

plastik. Asal-usul permainan dan bahan untuk membuat

cock itu tidak relevan untuk memahami permainan bulu

tangkis, yang penting adalah aturan permainan bulu

tangkis itu sendiri harus dikuasai setiap pemain,

sebagaimana halnya bahasa. Unit dasar langue adalah

kata. Parole adalah bahasa yang hidup (living speech),

bahasa sebagaimana yang terlihat dalam penggunaannya.

Parole adalah tataran praktek berbahasa dalam

masyarakat. Parole lebih terarah pada faktor pribadi

pengguna bahasa, unit dasarnya adalah kalimat, bagian

dari bahasa yang sepenuhnya individual, karena

memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan

kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya

(Sobur, 2009: 51-52; Hoed, 2008: 49-50). Parole

adalah aktivitas berbicara, sedangkan langue lebih

merupakan sistem abstrak yang mendasari parole.

179

Keduanya memiliki hubungan yang erat dan

komplementer, parole sebagai implementasi terus-

menerus dari sistem dasar yang ada dalam langue

(Hartley, 2010: 222). Saussure menganalogikan langue

dengan sebuah kamus yang dimiliki setiap pengguna

bahasa. Ketika terjadi komunikasi, maka seorang penutur

seolah-olah mencari dalm kamus tersebut citra akustis

yang sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya.

Lawan bicaranya memiliki kamus yang sama, sehingga

memungkinkan terjadinya komunikasi. Setelah

menangkap rangkaian bunyi yang dilontarkan si penutur,

maka lawan bicara itu tadi mencari konsep dari citra

akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kode

– kode tersebut. Saussure membayangkan kamus

tersebut sebagai sebuak kumpulan guratan ingatan

dalam otak setiap pemakai bahasa. Adapun parole

merupakan penggunaan bahasa secara individual.

Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari

kamus umum tersebut (Krampen, 1992: 57). Apabila

relasi langue dan parole itu dianalogikan dengan

pementasan wayang, maka alur cerita wayang secara

umum merupakan kamusnya (langue), sedangkan

180

pengungkapan cerita wayang oleh para dalang dengan

berbagai gayanya masing-masing dinamakan parole.

4. Synchronic & Diachronic. Synchronic adalah studi

yang menggambarkan tentang keadaan tertentu suatu

bahasa pada suatu masa tertentu pula. Sinkronis

mengandung arti bertepatan dengan waktu, sehingga

bahasa dipelajari tanpa mempersoalkan urutan waktu.

Diakronis artinya menelusuri waktu, sehingga studi

diakronik atas bahasa adalah deskripsi tentang

perkembangan sejarah bahasa tertentu dari masa ke masa

(Bertens, 2001: 184). Sinkronis merupakan kajian

tentang tanda pada suatu saat di dalam waktu, biasanya

saat ini. Diakronis merupakan telaah tentang bagaimana

perubahan makna dan bentuk tanda dalam

perkembangan waktu. Danesi mencontohkan analisis

diakronis dengan melihat kata person (pribadi). Kata

person pada zaman Yunani Kuno, ada hubungannya

dengan topeng yang dipakai seorang aktor pada saat ia

sedang bermain di atas panggung. Selanjutnya kata

person berubah maknanya menjadi karakter si pemakai

topeng, dan makna ini dipertahankan dalam dunia teater

181

dengan istilah dramatis personae, karakter pelaku

drama. Dewasa ini, kata person memiliki makna seorang

manusia yang hidup, berinteraksi, mengungkapkan

perasaan, mengatur rona wajah yang sesuai, dan

seterusnya (Danesi, 2010: 36).

5. Syntagmatic & Associative. Sintagmatis artinya

kumpulan tanda yang tersusun secara logis sehingga

membentuk makna. Contoh: Seekor burung bertengger

di atas ranting pohon. Kata ―burung‖ dikombinasikan

dengan ―seekor‖, ―bertengger‖, ―di atas‖, ―ranting‖ ,

―pohon‖, sehingga membentuk rangkaian yang

membentuk sintagma. Asosiatif atau paradigmatis

artinya hubungan yang saling menggantikan dalam

kaitannya dengan sintagmatik. Misalnya: ―burung‖ bisa

digantikan dengan ―ayam‖, ―tupai‖, namun pengubahan

itu tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik, sehingga

rangkaian bunyi atau konsep itu adalah:‖seekor burung

bertengger di atas ranting pohon‖ (Sobur, 2009: 54-55).

Relasi yang bersifat sintagmatik menurut Saussure

adalah relasi antara sejumlah unsur yang berkaitan satu

sama lain dalam ruang dan waktu yang sama, biasa

182

dinamakan in praesentia. Relasi yang bersifat asosiatif

merupakan relasi antara unsur dengan unsur lain yang

diasosiasikan, sehingga tidak terletak dalam ruang dan

waktu yang sama, biasa juga dinamakan relasi in

absentia (Hoed, 2008: 51).

Para ahli semiotika menempatkan Saussure dalam

kedudukannya sebagai seorang strukturalis, karena

Saussure mementingkan relasi antar komponen. Ada tiga

prinsip dasar strukturalisme, yaitu (1) struktur dan sistem

selalu hadir bersama, (2) struktur dan sistem bersifat

abstrak dan merupakan sebuah construct, bangun, (3)

struktur dan sistem merupakan satuan yang bersifat

tertutup dan memenuhi dirinya sendiri (Hoed, 2008: 51).

B. Charles Sanders Peirce (1839 – 1914)

1. Relasi Triadis;Objek, Representamen, Interpretan

Semiotika yang dikatakan sebagai ilmu tentang

pemaknaan tanda ini sebagaimana yang telah dikenal

dalam dunia filsafat bersumber dari dua mainstream

yaitu Saussure dan Peirce. C.S.Peirce di samping tokoh

semiotika juga dikenal sebagai filsuf pragmatis Amerika,

183

mengemukakan gagasan tentang teori makna yang

mengenali isi sebuah proposisi dengan sesuatu yang

dapat dialami, sehingga dapat dibedakan mana yang

benar atau salah. Tanda bagi Peirce adalah hal yang

menggantikan seseorang untuk hal lain dalam beberapa

kapasitas. Peirce menegaskan hal tersebut sebagai

berikut:‖A sign, or representamen, is something which

stands to somebody or something in some respect or

capacity‖ (Peirce Volume 2, 1998:135). Sesuatu yang

digunakan agar tanda bisa berfungsi menurut Peirce

dinamakan ground. Relasi dalam tanda selalu

berlangsung hubungan yang bersifat triadis, yakni

ground, object, and interpretant. Relasi triadis antara

ground (representamen), object, and interpretant.

Peirce memperkenalkan istilah semiosis dan

semiotic yang keduanya mengacu pada tanda. Istilah

semiosis berasal dari bahasa Yunani sēmeíōsis

penjabaran dari kata kerja sēmeiô, sēma, menandai, yaitu

berbagai bentuk kegiatan, tindakan, serta proses yang

melibatkan tanda, dalam hal ini meliputi pula produksi

makna. Istilah semiosis ini diperkenalkan pertama kali

184

pada zaman Romawi semasa Cicero, yang artinya sebuah

penyimpulan dari tanda. Peirce menegaskan bahwa yang

dimaksudkan dengan semiosis adalah seluruh tindakan

dinamik atau tindakan kekuatan yang kasar (brute force),

baik yang bersifat fisik maupun psikis. Tindakan

tersebut terletak diantara dua subjek, baik subjek yang

sama-sama bereaksi satu sama lain, ataupun salah satu

subjek yang menempati posisi sebagai agen sedangkan

yang lainnya sebagai pasien. Peirce menegaskan hal

tersebut dalam pernyataan sebagai berikut.

―It is important to understand what I mean by

semiosis. All dynamical action, or action of brute

force, physical or psychical, either takes place

between two subjects [whether they react equally

upon each other, or one is agent and the other

patient, entirely or partially] or at any rate is a

resultant of such actions between pairs (Peirce,

1998,Volume 5: 332).

Subjek yang menempati posisi sebagai agen berarti

lebih aktif, sedangkan yang menempatkan diri sebagai

pasien berarti lebih pasif. Semiosis ini melibatkan suatu

kerja sama antara tiga subjek seperti: suatu tanda,

objeknya, dan interpretannya. Semiotika bagi Peirce

merupakan tindakan (action), pengaruh (influence), atau

185

kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object),

dan interpretan (interpretant). Peirce mengungkapkan

perihal kerja sama tiga subjek dalam pernyataan berikut:

―But by semiosis I mean, on the contrary, an action, or

influence, which is, or involves, a cooperation of three

subjects, such as a sign, its object, and its interpretant,

this tri-relative influence not being in any way resolvable

into actions between pairs‖ (Peirce, 1998, Volume 5:

332).

Semiosis merupakan pengalaman setiap orang dalam

setiap momen kehidupannya, sedangkan semiotics

merupakan teori yang terkait dengan pengalaman

manusia di atas, atau nama lain untuk logika, atau ajaran

tentang tanda. Peirce menegaskan keterkaitan antara

semiotika dengan logika dalam pernyataan

berikut:‖Logic, in its general sense, is, as I believe I have

shown, only another name for semiotic, the quasi-

necessary, or formal, doctrine of signs‖ (Peirce, 1998,

Volume 2: 134). Semiotika sebagai ajaran tentang tanda

dikatakan sebagai kebutuhan semu (quasi-necessary)

menurut Peirce artinya, seseorang yang mengamati

karakter dari setiap tanda sebagaimana yang ia ketahui,

186

dan berdasarkan suatu pengamatan, maka ia telah

melalui sebuah proses yang disebut abstraksi. Dengan

demikian orang tersebut dapat menggiring ke pernyataan

tentang tanda yang mungkin saja keliru, dan oleh karena

itu satu pengertian tentang tanda bukan berarti hal yang

seharusnya ada pada seluruh tanda yang digunakan

melalui kecerdasan ilmiah, sebab kemampuan tersebut

dipelajari melalui pengalaman (Peirce, 1998, Volume 2:

134). Dengan demikian ada proses abstraksi

(rasionalitas) di satu pihak, ada pula pengalaman

(empiris) di pihak lain dalam pemahaman atas tanda.

Relasi triadis ini selalu berkembang secara dinamis,

sehingga pada saat interpretant didefinisikan sebagai

tanda lain, yang telah dibuat di dalam pikiran seseorang,

maka ada keberlanjutan semiosis, interpretan dapat

mengacu pada objek baru dan demikian seterusnya.

(Zoest, 1991: 56).

2. Relasi Triadis: Ikon, Indeks, Simbol

Relasi triadis juga dijelaskan Peirce dalam kaitan

antara ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang

187

dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan objek

yang digambarkan. Ikon dalam pemikiran Peirce adalah

tanda yang fungsi kerjanya memiripkan objek atau

membuat sama. Foto seseorang adalah suatu ikon.

Hubungan antara ikon dan objeknya bagi Peirce tidak

terjadi begitu saja. (Berger, 2010: 244). Ikon ditandai

oleh kemiripan sebagaimana contoh dalam sebuah foto

yang dapat dilihat antara objek yang difoto dengan yang

terdapat dalam fotonya. Tanda visual seperti fotografi

dinamakan ikon, karena tanda yang ditampilkan

mengacu pada persamaannya dengan objek. Sebuah foto

mantan presiden Indonesia, Soekarno adalah ikon dari

objek atau sosok atau figur yang bernama bernama

Soekarno, karena foto mantan presiden Indonesia

tersebut berusaha mencerminkan objek yang diacunya.

Karena bentuknya yang sama/mirip dengan objek, ikon

dapat diamati dengan cara melihatnya. Penempatan

gambar pria dan wanita di kamar mandi merupakan ikon

untuk membedakan kamar mandi pria dan kamar mandi

wanita.

188

Indeks dalam pemikiran Peirce adalah tanda yang

terhubung secara kausal pada objeknya. Sebagai contoh;

asap akan menjadi indeks adanya api; asap disebabkan

oleh api dan menunjuk pada keberadaan api.

Kebanyakan pengetahuan kita tentang sesuatu bersifat

tidak langsung dari indeksikal, yakni berkaitan dengan

sebab akibat. (Berger, 2010: 244). Indeks merupakan

tanda yang hubungan eksistensialnya langsung dengan

objeknya. Indeks memperlihatkan koneksi kausal seperti

hubungan antara api dengan asap, hubungan antara

gejala dengan penyakit. Hubungan antara kedua hal

tersebut dapat dipahami, dapat diperhitungkan. Contoh

lain yaitu: hujan abu yang menyelimuti wilayah

Yogyakarta dan sekitarnya pada bulan Maret tahun 2014

yang lalu adalah indeks dari meletusnya gunung Kelud

di Kediri, Jawa Timur. Terendamnya bangunan di

Jakarta pada musim penghujan setiap tahun adalah

indeks dari banjir. Sebuah indeks dapat dikenali bukan

hanya dengan melihat objek sebagaimana halnya dengan

ikon, namun yang perlu dipikirkan adalah hubungan

antara dua objek tersebut. Objek berupa rumah yang

terendam dan objek berupa banjir memiliki hubungan

189

yang bersifat logis dan niscaya, ada hubungan sebab

akibat yang tercakup di dalamnya. Dalam indeks,

kategori hubungan kausal dapat dipahami secara logis,

sehingga kalau ada pertanyaan mengapa banyak abu

yang menyelimuti kota Yogyakarta dan sekitarnya pada

bulan November 2010, jawabannya adalah disebabkan

erupsi Gunung Merapi. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi

mengapa erupsi gunung Merapi berdampak hujan abu di

Yogyakarta? Jawabannya disebabkan tingginya lontaran

abu vulkanik yang mencapai 7 km diikuti hembusan

angin yang mengarah ke Yogyakarta, Klaten, Botolali

dan sekitarnya. Mengapa selalu terjadi banjir di Jakarta,

Bandung, Semarang, dan kota besar lainnya di

Indonesia? jawabannya bisa diajukan oleh ahli

lingkungan. Pencarian sebab atas suatu peristiwa

merupakan penelusuran atas indeks.

Jeanne Martinet (2010: 48-49) memasukkan hal-

hal berikut ke dalam golongan indeks. Pertama;

ramalan dan firasat yang dianggap dapat

memberitahukan kepada seseorang (tentu saja kalau

orang tersebut mempercayainya) kejadian atau fenomena

yang akan terjadi melalui suatu ikatan tersembunyi

190

dengan manusia, karena itu kedua hal tersebut dikenali

oleh manusia. Misalnya: ketika banyak hewan yang

berhamburan turun dari gunung Merapi, maka hal ini

merupakan ramalan atau firasat atau pertanda bahwa

gunung Merapi itu akan meletus dalam waktu singkat.

Kedua; simptom seperti demam, rasa sakit tertentu,

warna organ mata tertentu menunjuk pada penyakit

tertentu. Dalam hal ini para dokter dapat mendiagnosis

gejala yang tampak itu dengan memberikan resep untuk

menyembuhkan penyakit tersebut. Contoh lain ketika

seorang sopir sedang mengendarai mobil tiba-tiba suara

mesin yang semula halus dan stabil berubah menjadi

kasar dan labil, maka hal ini menunjukkan terjadinya

gangguan mesin, sehingga perlu diperiksa dan

diperbaiki. Ketiga; jejak atau bekas yang menunjukkan

keberadaan atau telah terjadinya sesuatu di tempat

tertentu. Contoh: mobil yang direm mendadak

meninggalkan bekas ban di aspal. Ketika kita bertamu di

rumah seseorang kita melihat di asbak ada puntung

rokok yang menunjukkan sebelum kita datang ada tamu

perokok yang berkunjung disitu.

191

Menurut Martinet, salah satu ciri indeks itu

adalah bisa dipersepsi, terlihat jelas, bisa diidentifikasi.

Oleh karena itu tugas manusia harus mengidentifikasi

apa yang diindikasikan oleh suatu objek dan manusialah

yang mampu menginterpretasi indeks sesuai dengan

yang diinginkannya (Martinet, 2010: 49).

Simbol bagi Peirce adalah bentuk tanda yang

didasarkan pada konvensi. (Berger, 2010: 247). Simbol

adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya

berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Simbol

ditandai dengan kesepakatan seperti halnya bahasa,

gerak isyarat, yang untuk memahaminya harus dipelajari.

Makna suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan

atau kesepakatan bersama, atau sudah diterima oleh

umum sebagai suatu kebenaran. Contoh: lampu lalu

lintas adalah simbol, yakni warna merah artinya

berhenti, hijau berarti jalan, warna kuning berarti

pengguna jalan harus berhati-hati. Simbol adalah sesuatu

yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaran

melalui konvensi atau aturan dalam kehidupan dan

kebudayaan masyarakat yang telah disepakati.

192

C. Umberto Eco (1932 - ....)

Umberto Eco dalam karyanya yang berjudul A

Theory of Semiotics memperkenalkan semiotika secara

umum dengan menunjukkan wilayah penelitian

(boundaries of research) pada tiga tipe: Pertama,

wilayah akademik dalam pengertian berbagai disiplin

lain di luar semiotika sudah atau sedang melakukan

penelitian tentang subjek-subjek yang mau tak mau juga

harus dikenali seorang semiotikawan sebagai pokok

bahasannya misalnya: logika formal, semantika filosofis,

dan logika bahasa alami berkenaan dengan persoalan

nilai kebenaran dalam sebuah kalimat dengan berbagai

bentuk tindak wicara, sementara etno metodologi juga

membahas persoalan yang sama dari sudut pandang

berbeda. Pendekatan semiotika dapat dipergunakan

sebagai upaya tentatif untuk menyatukan atau

mempertemukan berbagai hasil dari disiplin lain melalui

definisi ulang dalam kerangka teoritisnya (Eco, 2009: 4).

Kedua, ada wilayah kerja sama (co-operative) dalam

pengertian berbagai disiplin ilmu telah mengelaborasi

teori-teori atau deskripsi-deskripsi yang diakui setiap

orang memiliki relevansi semiotik. Misalnya teori

193

linguistik dan teori informasi telah menghasilkan karya

penting tentang pengertian kode; kinesika dan

proksemika telah menghasilkan telaah yang variatif

tentang bentuk komunikasi non-verbal. Dalam hal ini

pendekatan semiotika dapat menghasilkan serangkaian

kategori terpadu dalam rangka kerja sama dengan

disiplin lain.(Eco, 2009: 5). Semiotika dalam arti kedua

terkait dengan program interdisipliner atau kerjasama

antara semiotika dengan unit budaya lain.

Ketiga, ada wilayah empiris yang dibaliknya terdapat

berbagai fenomena yang memiliki relevansi semiotik,

meskipun berbagai pendekatan belum sepenuhnya

berhasil mendefinisikannya secara teoritis. Contohnya:

lukisan, jenis objek arsitektural, dan lain-lain. Batas-

batas empiris tersebut menurut Eco tidak pakem, namun

terus bergeser seiring dilakukannya penelitian baru (Eco,

2009: 5).

Umberto Eco menyatakan bahwa setiap tindakan

untuk berkomunikasi dengan atau antar mahluk hidup

menuntut syarat bahwa suatu sistem penandaan menjadi

suatu kondisi yang dibutuhkan. (Eco, 2009: 9). Dalam

karya A Theory of Semiotics Eco mengemukakan daftar

194

beberapa batas suatu bidang seperti: semiotika kebun

binatang, tanda-tanda pabrik tua, strategi berkomunikasi,

kode-kode perasaan, kode musik, bahasa formal, bahasa

tulisan, bahasa asli, komunikasi visual, sistem objek,

susunan alur, teks estetis, komunikasi massa, pidato, dan

lain-lain. (Eco, 1976: 9-10).

Eco memerinci bidang kajian (political boundaries)

mulai dari proses komunikatif yang nampaknya lebih

alamiah, hingga sistem budaya yang lebih kompleks.

Pertama, semiotika binatang (Zoosemiotics) terkait

dengan perilaku komunikatif masyarakat non-human.

Kedua, tanda-tanda bauan (olfactory signs) artinya ada

bau yang bernilai konotatif, namun ada juga bau yang

memiliki acuan yang pasti sebagai indikator proksemik

atau proses kimiawi. Ketiga, komunikasi rabaan (tactile

communication) merupakan perilaku proksemik dan

perilaku sosial yang ditandai oleh ciuman, pelukan,

tamparan, dan lain-lain. Keempat, kode cecapan ((code

of taste) ditandai dengan sentuhan indera pengecap

seperti dalam praktek kuliner. Kelima, paralinguistik

merupakan kajian tanda-tanda supra-segmental yang

membenarkan komunikasi linguistik yang dikaitkan

195

dengan bunyi yang dihubungkan dengan kelamin, usia,

kesehatan, nada suara, control vocal bibir, dan lain-lain.

Keenam, semiotika medis (medical semiotics) kajian

antara tanda atau simptom dengan rasa sakit yang

ditunjukkan seseorang (pasien). Ketujuh, kinesik dan

proksemik, gagasan bahwa gerak tangan tergantung pada

kode-kode budaya. Kedelapan, kode-kode musik

(musical codes); komunikasi musik sebagai sistem yang

memiliki struktur. Kesembilan, bahasa yang

diformalkan (formalized languages), seperti bahasa

aljabar, matematika, kimia yang masuk ke dalam lingkup

semiotika karena setiap tanda berupa kode yang

disepakati dalam bidang tersebut mengandung makna

tertentu (Eco, 1992: 34-37).

Tanda merupakan salah satu fenomena kehidupan

yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia,

karena hampir sebagian besar dinamika hidup manusia

itu diwarnai oleh tanda. Eco membedakan dua tipe tanda

dalam komunikasi hidup manusia, yaitu tanda alamiah

dan tanda non-intensional. Tanda alamiah adalah

kejadian atau peristiwa fisik yang bersumber dari alam

(Eco, 1976: 16-17; van Zoest, 1992: 45). Ilustrasi

196

tentang tanda yang dapat ditangkap manusia, misalnya;

seorang dokter yang menemukan jenis hubungan antara

bintik-bintik merah pada kulit pasien dengan penyakit

tertentu (bisa campak, bisa pula demam berdarah).

Hubungan yang sedemikian itu diidentifikasi dalam

kasus medis, sehingga membentuk konvensi semiotika.

Demikian pula halnya peristiwa yang bersumber dari

alam juga harus diidentifikasi sebagai tanda, karena di

dalamnya terdapat konvensi yang menempatkan korelasi

kode antara ekspresi (kejadian atau peristiwa) dan isi

berupa sebab atau akibatnya. Suatu peristiwa dapat

menjadi wahana tanda apabila penyebab atau akibatnya

tidak dapat diketahui secara jelas. Eco menegaskan

bahwa pengertian tanda sebagaimana ilustrasi di atas

merupakan kasus inferensi. Ia menyatakan hal tersebut

sebagai berikut:

‖We are able to infer smoke the presence of fire,

from a wet spot to fall of a raindrop, from a track

on the sand the passage of a given animal an so

on. All these are cases of inference and our

everyday life is filled with a lot of these

inferential acts. It is incorrect to say that every

act of inference is a semiosis act -- even though

Peirce did so‖ (Eco, 1976: 17).

197

("Kami mampu menyimpulkan bahwa asap ada

karena ada api, dari tempat basah hingga

jatuhnya titik-titik hujan, dari jejak di atas pasir,

lintasan yang dilewati hewan, dan sebagainya.

Hal-hal tersebut merupakan kasus penyimpulan

dan gambaran kehidupan kita sehari-hari yang

notabene diisi dengan berbagai tindakan

penyimpulan. Tidak benar adanya jika seseorang

berpendapat bahwa setiap tindakan penyimpulan

adalah tindakan semiosis - meskipun Peirce

berpendapat seperti itu‖).

Eco menegaskan bahwa tidak semua aktus inferensi

atas tanda alami itu dapat dikatakan sebagai sebagai

sebuah aktus semiosis (semiosic actus), sebelum hal itu

disepakati oleh masyarakat pengguna tanda atau apabila

asosiasi telah dimaklumi secara kultural dan dikodekan

secara sistematis (Eco, 1976: 17). Contoh: apabila

seorang dokter menemukan adanya relasi konstan antara

bintik-bintik merah pada tubuh seorang pasien dengan

jenis penyakit tertentu (demam berdarah, campak),

dalam hal ini memang telah terjadi inferensi. Hal

tersebut baru menjadi konvensi semiotis apabila relasi

tersebut dicantumkan dalam ensiklopedi kedokteran dan

198

dipakai sebagai referensi para ahli medis untuk

menentukan gejala suatu penyakit.

Tanda non-intensional merupakan perilaku manusia

yang mengisyaratkan tanda meskipun perilakunya

tersebut tidak disadari si pelaku. Misalnya: gerak isyarat

(gestural behaviour) (Lihat van Zoest, 1992: 46), dalam

tanda non-intensional ini seseorang melakukan sebuah

tindakan yang dipandang orang lain sebagai sarana

pemberian sinyal, meskipun si pengirim tidak menyadari

bahwa tindakannya itu dapat dipergunakan dan dipahami

orang lain sebagai sarana untuk memberitahukan sesuatu

(Eco, 1976: 18).

Teori tentang tanda sangat terkait dengan interpretasi

dan klasifikasi. Interpretasi diperlukan dalam kaitannya

dengan menafsirkan makna dari sebuah tanda.

Klasifikasi diperlukan dalam kaitannya dengan

kemampuan untuk memilah-milahkan dan menempatkan

tanda dalam kategori yang tepat. Sebagai contoh seorang

ahli zoologi mengetahui klasifikasi hewan yang dapat

diinterpretasi berdasarkan bahasa objek (object-

language) yang khusus. Misalnya: ketika seorang

zoologis membicarakan tentang ‖mamalia‘, maka

199

kemampuan ahli zoologi tersebut untuk melakukan

klasifikasi kategori atas ‖mamalia‖ menjadi sangat

penting (Eco, 1984: 54-55). Interpretasi dan klasifikasi

merupakan kunci penting bagi penelitian ilmiah, karena

sangat menentukan struktur pemikiran yang jelas dan

jernih.

Umberto Eco, sebagai seorang profesor semiotika,

membahas semiotika sebagai studi komunikasi melalui

tanda dan simbol di Universitas Bologna. Eco banyak

mengangkat tanda dan simbol dalam kehidupan

masyarakat moderen seperti: penggunaan Hand-phone,

hologram, dan berbagai macam peralatan moderen

lainnya. Eco dalam karyanya Theory of Semiotic,

menegaskan bahwa semiotika berurusan dengan segala

sesuatu yang dapat dipandang atau dianggap sebagai

tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat

dipakai sebagai pengganti sesuatu yang lain secara

signifikan, oleh karena itu menurut Eco, semiotika secara

prinsip merupakan disiplin yang mengkaji segala sesuatu

yang dapat digunakan untuk berdusta. Alasan Eco, jika

sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan

kedustaan, maka berarti hal itu juga tidak dapat

200

digunakan untuk mengungkapkan kebenaran; atau

dengan kata lain, kajian tersebut tidak dapat digunakan

untuk mengatakan apa-apa. Eco menyimpulkan bahwa

teori kedustaan merupakan program yang dapat dicakup

bagi semiotika umum (Eco, 1979:7).

Penelitian tentang tanda menurut Eco merambah ke

dalam berbagai sistem kehidupan manusia, mulai dari

yang sederhana hingga ke yang paling rumit. Dalam

contoh penerapan sistem tanda yang sederhana, Eco

mengilustrasikan perempuan sebagai sebuah tanda yang

mengonotasikan suatu sistem kewajiban sosial manakala

ia sudah berfungsi sebagai isteri. Berbeda halnya dengan

perempuan yang tampil sebagai benda dalam arti fisik,

ketika ia dikonsumsi secara fisik sebagaimana layaknya

makanan atau barang-barang lain. (Eco, 2009:37).

Umberto Eco dalam karyanya Travels in Hyper-Reality

banyak menyoroti penggunaan dan pemaknaan tanda

dalam dunia kontemporer seperti pertunjukan sekolah

holografi di New York, holografi sebagai mukjizat

teknik sinar laser yang paling mutakhir. (Eco, 2009: 25).

Eco menegaskan bahwa tanda merupakan segala

sesuatu yang dapat dianggap sebagai pengganti sesuatu

201

yang lain secara signifikan, pendapat ini sejalan dengan

pemikiran Peirce yang memandang tanda itu sebagai

sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain. Semiotika

menurut Eco pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu

yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan

untuk mendustai, mengelabui atau mengecoh. Jika

sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengecoh berarti

hal tersebut tidak dapat digunakan untuk ‖mengatakan‖

sesuatu pun. Oleh karena itu Eco menegaskan dengan

demikian teori kebohongan atau dusta dapat diambil

sebagai program yang cakupannya lebih luas bagi

semiotika umum (Eco, 2009: 6).

Eco membedakan tanda atau marka denotatif dan

konotatif. Marka atau tanda denotatif adalah kumpulan

tanda yang membentuk dan mengisolasi unit kultural

yang pada awalnya berkaitan dengan wahana-tanda dan

menjadi sandaran bagi setiap konotasi yang lain. Marka

atau tanda konotatif adalah tanda yang berperan

membentuk satu atau lebih unit kultural lain yang

diekspresikan oleh wahana-tanda sebelumnya. Eco

menegaskan perbedaan di antara keduanya dengan

mengatakan bahwa tanda denotatif terletak dalam sistem

202

semantik yang kepadanya kode mengaitkan wahana-

tanda tanpa ada mediasi yang lain atau langsung. Tanda

konotatif meletakkan sistem semantik di mana kode

mengaitkan wahana-tanda melewati mediasi tanda

denotatif lain, sehingga menciptakan korelasi antara

fungsi tanda dengan sebuah unit semantis yang baru.

Sebuah denotasi merupakan sebuah unit kultural atau

sifat semantis yang sifat acuannya sudah dikenali secara

kultural; sedangkan konotasi merupakan unit kultural

atau sifat semantis yang belum tentu berkorespondensi

atau bersesuaian dengan sifat referennya yang dikenali

secara kultural (Eco, 2009: 126 -127).

Eco menegaskan bahwa simbol merupakan ungkapan

yang mengandung makna secara tidak langsung (symbols

as expression conveying an indirect meaning), karena itu

kandungan penuh dari suatu tanda dapat diaktualisasikan

melalui penafsiran yang progresif. Namun gagasan

penafsiran yang berakar pada suatu penyimpulan saja

tidak mencukupi untuk menangkap cara simbolik,

diperlukan pemahaman atas setiap karakter fenomen

semiotika secara luas. (Eco, 1984: 136-137).

203

Berdasarkan pemikiran dari beberapa tokoh semiotika

yang dikemukakan di atas, maka kita dapat

mengidentifikasi beberapa teori semiotika sebagai

berikut.

1.Teori semiotika sebagai relasi triadis seperti dalam

pemikiran Peirce, yakni relasi antara objek itu sendiri,

objek yang ada dalam pikiran kita atau representamen,

dan situasi penafsiran atau interpretan.

2. Teori semiotika sebagai relasi diadis antara penanda

dan petanda seperti yang terdapat dalam pemikiran

Saussure, yakni bidang penanda atau bentuk yang

ditangkap indera kita (signifier) dan bidang petanda

berupa konsep atau makna (signifier).

3.Teori semiotika sebagai proses dialektika antara

Langue dan parole seperti yang dikemukakan Barthes,

yakni masing-masing tidak dapat mempunyai makna

sepenuhnya kecuali dengan proses dialektika yang

menghubungkannya satu sama lain; tidak ada langue

tanpa parole, dan tidak ada parole yang berada di luar

langue. Artinya langue berkedudukan sebagai sistem

bahasa, sedangkan parole merupakan tindakan

individual yang selektif, aktualisasi, dan terdiri dari

204

beragam kombinasi, sehingga subjek pembicara dapat

menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan

pemikiran pribadinya.

4.Teori semiotika sebagai bentuk relasi antara penanda

(signifier) dan petanda (signified) dalam suatu area yang

membatasinya sebagaimana dikemukakan Arthur Asa

Berger.

5.Teori semiotika sebagai actus semiosis seperti yang

dikemukakan Eco, yaitu tindakan penyimpulan (actus

inference) atas tanda yang sudah disepakati oleh

masyarakat pengguna tanda, telah dimaklumi secara

kultural dan dikodekan secara sistematis.

D. Arthur Asa Berger (1933-...)

Berger merupakan seorang semiotikawan Amerika

yang sangat kondang belakangan ini, mengangkat

beberapa kasus aktual yang terjadi di Amerika untuk

memahami fenomen tanda dengan bertitik tolak dari para

pemikiran tanda terdahulu seperti: Saussure, Peirce,

Roland Barthes. Berger dalam karyanya yang berjudul

Signs in Contemporary Culture mengamati berbagai hal

yang terkait dengan bagaimana tanda-tanda bekerja,

205

bentuk-bentuk tanda, aspek-aspek visual tanda, tanda-

tanda imajiner, tanda-tanda yang mengelabui, dan tanda-

tanda dan identitas.

Berger mengangkat beberapa kasus aktual yang

terjadi di Amerika untuk memahami fenomen tanda

dengan bertitik tolak dari para pemikira tanda terdahulu

seperti: Saussure, Peirce, Roland Barthes. Berger dalam

karyanya yang berjudul Signs in Contemporary Culture

mengamati berbagai hal yang terkait dengan bagaimana

tanda-tanda bekerja, bentuk-bentuk tanda, aspek-aspek

visual tanda, tanda-tanda imajiner, tanda-tanda yang

mengelabui, dan tanda-tanda dan identitas. Arthur Asa

Berger sendiri ketika membicarakan tentang budaya

kontemporer, banyak memberikan ilustrasi tentang

budaya imajiner seperti: penggambaran secara verbal,

impian, halusinasi, bayangan, dan berbagai tanda yang

mengelabui (banci, wig, pengecatan rambut, pengisi BH)

(Berger, 1989: 57-61).

Lebih lanjut Berger memberi contoh bagaimana

penanda-penanda (signifiers) dalam budaya kontemporer

dihadapkan pada petanda (signified) dalam tabel sebagai

berikut (Berger, 1989: 76)..

206

Signifier Signified

Long hair Counterculture (especially if

dirty)

Short hair Businessman (square)

Very short hair Gay or military or both

Crew cut Military

Tan Sports-loving, leisure class

Pale Intellectual (therefore sickly

also)

Levi‘s Casual, proletarian ?

Designer jeans Classy, wealthy

K-Mart jeans Working class

Three-piece pin stripe Executive, businessman

Briefcase Old-fashione

Attache case Conventional business type

Hand purse Europhile, pseudo-Italian

Day pack Outdoorsy

Shopping bag Peasant

Sandals Arty

Wingtips Business type

207

Work boots Laborer

Hiking boots Environmentalist, hiker

Aviator glasses Middle-class square

Wires Antiquarian

Dark sunglasses Gangster Type, paranoid

Bow tie Egghead

Thick tie Behind the times

String tie Hick, westerner

Klasifikasi penanda (signifier) dan petanda

(signified) yang disusun Asa Berger di atas memang

cenderung mengacu pada budaya masyarakat Amerika

dan Eropa. Namun apabila dilakukan adaptasi tentunya

dapat pula diberlakukan dalam kehidupan budaya mana

pun, termasuk di Indonesia. Pengelompokkan penanda

yang terkait dengan gaya rambut (warna merah tua)

misalnya bisa saja bersifat universal, atau paling tidak

penanda dan petanda gaya Amerika dan Eropa ditiru

oleh masyarakat kontemporer di Indonesia.

Penjelasan Berger tentang bagaimana tanda-tanda

bekerja bertitik tolak dari analisis semiotik Holmes yang

208

memperlihatkan karakteristik petanda manusia seperti:

orang pandai, kemerosotan dan nasib, kemasan,

kemunduran moral, dan seterusnya. Kemudian alasan di

balik penyimpulan penanda yang meliputi: kapasitas topi

berbentuk kubik, topi yang sangat berkualitas,

pengamanan topi dengan susunan tertentu, keretakan

elastis pada pengaman topi, dan seterusnya (Berger,

2010: 24).

Penjelasan Berger tentang bentuk-bentuk tanda

terkait dengan berbagai bentuk reklame seperti: tanda

periklanan, objek dan budaya material, aktivitas dan

penampilan, suara dan music (Berger, 2010: 35-39).

Cara kerja iklan yang menarik perhatian Berger tidak

hanya terkait dengan sifatnya yang komersial, tetapi juga

aspek keindahan yang digunakan sebagai indikator dari

sifat perusahaan ketika mendesain reklame (Berger,

2010: 35).

Aspek visual tanda dalam pandangan Berger terkait

dengan penggunaan warna, ukuran, ruang lingkup,

kontras, bentuk, detail. Pilihan warna menurut Berger

cenderung member kesan tertentu, seperti warna merah

memberi kesan nafsu, bahaya, panas, dan terkait emosi.

209

Ukuran tanda juga mempengaruhi dan memberi

penekanan nilai keindahan, terutama sebagai sarana

komunikasi. Ruang lingkup tanda pada iklan

menampilkan perasaan meruang yang diasosiasikan

dengan status tinggi dalam rumah, bangunan, dan

sebagainya (Berger, 2010: 47-50).

Berger (1989: 89) juga menampilkan beberapa

macam pekerjaan dan profesi di mana tanda digunakan,

penanda dan petanda dari profesi tersebut. Misalnya

pada wilayah kedokteran, penandanya (signifier) adalah

simtom atau gejala, sedangkan petandanya (signified)

adalah jenis penyakitnya. Dalam pemikiran Berger,

semiotika berkembang menjadi kajian yang sangat actual

dan kompleks, karena semiotika dapat menjadi pisau

analisis bagi kehidupan masyarakat modern dan budaya

kontemporer, termasuk analisis dalam bidang

kriminologi untuk menganalisis berbagai bentuk

kejahatan.

210

BAB V

FENOMENA BAHASA DALAM BUDAYA

KONTEMPORER

A. Budaya Kontemporer

Istilah budaya kontemporer banyak dipergunakan

para pemerhati budaya dewasa ini, namun jarang ada

yang memberikan definisi tentang apa yang dimaksud

dengan istilah tersebut. Salah seorang penulis semotika

kenamaan, Arthur Asa Berger, memberi judul bukunya

Signs in Contemporary Culture, meskipun Berger tidak

memberi definisi yang tersurat tentang budaya

kontemporer. Istilah budaya sendiri mengandung banyak

makna, antara lain yang dikemukakan Triandis

sebagaimana disitir oleh Samovar bahwa kebudayaan

merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat

manusia di masa lalu untuk meningkatkan kemungkinan

bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan perilaku

dalam ruang ekologis. Samovar menggarisbawahi satu

hal penting dalam pengertian kebudayaan di atas, yaitu

211

buatan manusia untuk mempertegas bahwa budaya

berhubungan dengan aspek non-biologis dari kehidupan

manusia. Aspek non-biologis ini berbeda dengan aspek

biologis yang tidak harus dipelajari seperti: makan, tidur,

menangis, rasa takut (Samovar, 2010: 27). Tanda

termasuk aspek non-biologis, karena harus dipelajari,

bahkan berkembang menjadi proses pembiasaan yang

lebih panjang dan meresap dalam pemikiran manusia.

Bahasa merupakan salah satu bentuk tanda non-biologis

tersebut karena harus dipelajari dan terus berkembang

dan membentuk budaya dalam kehidupan manusia.

Istilah kontemporer lebih mengacu pada waktu

yang sama atau pada masa kini atau dewasa ini, sehingga

kontemporer mengacu pada dimensi waktu yang terletak

pada keterlibatan subjek pada zamannya. Ketika

seseorang menggunakan istilah kontemporer berarti

orang tersebut berada pada zaman yang dimaksud, dan

mengalami apa yang terjadi pada waktu yang sama

dengan masa hidupnya. Budaya kontemporer mengacu

pada sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan pada masa

kini. Fenomena budaya kontemporer memperlihatkan

bahwa sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat pada

212

masa kini banyak dipengaruhi gaya hidup yang diwarnai

aspek pencitraan, karena dampak teknologi, terutama

teknologi komunikasi dan informasi yang mendunia.

Kendatipun budaya sains rasional berkembang maju di

Indonesia, namun kenyataan menunjukkan bahwa

irasionalitas emosional masih tumbuh subur dalam

masyarakat Indonesia. Contohnya ialah penjelasan

fenomena erupsi Gunung Merapi 6 November 2010 dan

gempa di Yogyakarta 27 Mei 2006. Ada sebagian

masyarakat yang memberikan penjelasan fenomena

alami tersebut secara ilmiah rasional, namun sebagian

masyarakat menjelaskan dan masih percaya dengan

takhayul dan hal-hal yang bersifat irasionalitas

emosional (Besari, 2008: 334). Hal ini berarti budaya

kontemporer di Indonesia masih bercampuraduk antara

aspek ilmiah rasional dengan irasionalitas dan

emosionalitas.

Arthur Asa Berger sendiri ketika membicarakan

tentang budaya kontemporer, banyak memberikan

ilustrasi tentang budaya imajiner seperti: penggambaran

secara verbal, impian, halusinasi, bayangan, dan

berbagai tanda yang mengelabui (banci, wig, pengecatan

213

rambut, pengisi BH) (Berger, 1989: 57-61). Budaya

kontemporer dengan demikian mengacu pada tanda atau

sesuatu yang terjadi dalam waktu kekinian sebagai

sebuah gejala yang dapat diamati dewasa ini. Sebuah

budaya kontemporer merupakan proses terbentuknya

kebiasaan baru yang menjadi tren, gaya mutakhir.

Ada beberapa karakteristik yang cukup dominan

pada jaman kontemporer ini.

Pertama; pluralitas dapat dianggap sebagai salah

satu karakteristik pada zaman kontemporer, karena ide

tentang keberagaman justeru banyak diusung oleh para

filsuf pada masa ini, yaitu posmodernisme atau

pascamodernisme. Ada dua orientasi pascamodernisme,

yaitu pascamodernisme skeptis dan pascamodernisme

afirmatif. Penganut pascamodernisme skeptis

menegaskan bahwa setelah modernism yang ada

hanyalah pluralisme radikal, artinya tidak ada kebenaran

tunggal yang berperan sebagai pusat. Tokoh-tokoh yang

dipandang sebagai pendukung pascamodernisme skeptis

ini antara lain: Michel Foucault, Roland Barthes,

Derrida, Richard Rorty. Pascamodernisme afirmatif

menolak tendensi nihilisme, bagi mereka pluralisme

214

tidak serta merta meniscayakan nihilisme dan

menyangkal ide tentang kebenaran, namun lebih

meletakkan kebenaran dalam konteks lokal dan mini

naratif seperti pandangan Lyotard (Sahal, 1993: 66-67).

Pluralitas itu mencakup pula masalah metodologis,

sehingga tokoh seperti Feyerabend menawarkan metode

apa saja sah (Anything goes) dalam dunia ilmiah.

Feyerabend menegaskan bahwa tidak ada satu pun teori

yang berlaku atas seluruh fakta dalam ranah ilmu

tersebut, karena itu sebuah teori berpeluang untuk salah.

Fakta-fakta dibentuk oleh ideologi yang lebih tua, dan

pertentangan antara fakta dan teori justeru membuktikan

adanya kemajuan, progress (Feyerabend, 1978: 55).

Wittgenstein dalam Philosophical Investigations

memotret multiformitas permainan dalam kehidupan

sehari-hari seperti: permainan catur, kartu, bola, dan

lain-lain (Wittgenstein,1983 : 31).

Kedua; relativisme merupakan isu yang banyak

dilontarkan para filsuf posmodernisme, karena

lenyapnya kebenaran absolut sebagaimana dikemukakan

di atas, maka yang tersisa hanyalah kebenaran relatif,

karena pada masa kolonial pemikiran yang paling

215

dominan adalah positivisme. Relativisme berarti

pengakuan bahwa setiap satuan budaya memiliki kriteria,

kebenaran, dan makna sendiri. Tidak ada lagi kebenaran

yang dianggap sebagai landasan bersama, masing-

masing tidak bisa diperbandingkan (incommensurable)

dan berada dalam derajat setara. Gellner mengungkapkan

bahwa pengetahuan atau moralitas secara umum

dipandang sebagai angan-angan belaka (chimera). Setiap

kebudayaan harus menggelindingkan pengetahuan dan

moralitasnya sendiri. Makna merupakan sesuatu yang tak

terbandingkan satu sama lain (incommensurable), makna

merupakan konstruksi budaya. Penyelidikan lintas

budaya (cross-cultural) atau lintas semantik (cross-

semantic) hanya dimungkinkan jika kehormatan,

martabat, dan kesamaan budaya lain dihargai (Gellner,

1992: 73).

Ketiga; diskursus tentang kebenaran yang lebih

berorientasi pada runtuhnya klaim atas kebenaran

absolut dalam perdebatan epistemologis. Paradoks

kontemporer menurut Sudarminta tentang kebenaran

terlihat pada munculnya dua sikap ekstrem, yaitu krisis

kepercayaan terhadap setiap tuntutan kebenaran yang

216

diusung dan dipengaruhi oleh relativisme-skeptis di satu

pihak, dan tuntutan kebenaran mutlak yang

dikumandangkan kelompok fundamentalis agama dan

kaum dogmatis-ideologis di pihak lain (Sudarminta,

2007: 1-2). Richard Rorty dalam karyanya Philosophy

and Social Hope menegaskan bahwa dalam filsafat

kontemporer, kebenaran itu tidak berkorespondensi

dengan realitas, Truth without correspondence to

Reality. Rorty dalam salah satu pernyataannya

mengilustrasikan tentang ketidaktahuan seseorang bahwa

nilai pandangan Heidegger tentang kebenaran dan

rasionalitas itu berasal dari fakta bahwa Heidegger

merupakan seorang nazi (Rorty, 1999: 23-24).

Pernyataan Rorty ini merupakan sebuah sindiran bahwa

nilai moralitas, rasionalitas yang dituangkan dalam

berbagai karya manusia itu tidak merupakan jaminan

dapat dilaksanakan dalam dalam kehidupan manusia

secara nyata. Turner lebih jauh mengedepankan

pandangan posmodernisme bahwa berbagai spesialisasi

dalam ilmu merupakan strategi utama era modern

sebagai bentuk kesepakatan bahwa realitas bisa dibagi,

sebagai akibat dari upaya yang serius untuk mencapai

217

kebenaran yang dilakukan kelompok sosial dalam

mencari kekuasaan. Pandangan ini secara khusus

menjelaskan sentralitas tesis Nietzsche, the will to

power, dalam epistemologi kontemporer yang

menunjukkan bahwa pencarian kebenaran selalu berarti

membangun kekuasaan (Turner, 2000: 9).

Keempat; tema local-narrative lebih digemari

daripada grand-narrative. Runtuhnya mitos cerita besar

yang digantikan cerita kecil menurut Lyotard, menandai

lahirnya sebuah era kontemporer yang dinamakan

posmodernisme (Lyotard, 1984: 302). Lyotard dalam

The Postmodern Condition menggunakan language-

games, permainan bahasa untuk menganalisis apa yang

dianggapnya sebagai jaman (Turner, 2000: 183).

Language-games itu sendiri berasal dari ide Wittgenstein

dalam Philosophical Investigations yang mengacu pada

keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan

sehari-hari dengan penekanan pada aspek use, bukan

pada logika bahasa semata, sehingga meaning is in use,

makna terletak pada penggunaannya merupakan indikasi

pragmatik dan makna secara kontekstual. The meaning

218

of a word is its use in the language (Wittgenstein, 1983:

20).

Kelima; hipermodernisme yang dibedakan dari

posmodernisme, karena yang belakangan ini kurang

memperhitungkan perubahan besar dalam masyarakat

kontemporer. Konsep posmodernisme lebih menekankan

pada keterputusan dari modernitas atau merupakan

bentuk perlawanan, sedangkan hipermodernisme justeru

mengarah pada radikalisasi modernitas. Haryatmoko

menengarai beberapa ciri konsep hipermodernisme

seperti: radikalisasi modernitas yang diamati dari

hubungan antara perubahan tekno-ekonomi dan struktur

politik kekuasaan, pribadi yang sangat individualis

masuk dalam putaran globalisasi ekonomi yang dikuasai

hukum pasar, dikondisikan oleh waktu yang semakin

cepat dan padat, pencarian kepuasan langsung dengan

menyingkirkan norma kolektif, makna disekat menjadi

makna disini dan sekarang (hic et nunc), kebahagiaan

pribadi menggantikan tindakan kolektif. Haryatmoko

menyimpulkan bahwa hipermodernisme bukanlah

kematian modernisme, melainkan upaya untuk mencapai

puncak modernisme melalui globalisasi liberalisme,

219

komersialisasi gaya hidup, dan eksploitasi rasio

instrumental yang berlebihan (Haryatmoko, 2009: 8).

Kendatipun fenomen budaya kontemporer

mengusung tema pascamodernisme hingga

hipermodernisme, namun kebutuhan akan kepastian

makna tanda merupakan sesuatu yang tidak bisa

dihindarkan. Logika makna atas tanda masih mendapat

tempat yang penting dalam budaya kontemporer.

B. Bahasa Dalam Hipertekstualitas Dunia Maya

Dewasa ini peran komputer dan internet dalam

dunia komunikasi sudah tidak dapat diabaikan, bahkan

dapat dikatakan memegang peran yang sangat sentral

dalam kehidupan kaum intelektual di belahan negara

mana pun. Laptop, komputer, jaringan internet sudah

merupakan kebutuhan utama di kalangan intelektual,

karena melalui sarana dan media itu mereka dapat

mengekspresikan dan mengasah gagasannya, sehingga

selalu muncul ide baru. Komputer menurut Danesi

(2010: 202), telah memperkenalkan suatu bentuk

tekstualitas yang dinamakan hipertekstualitas, yaitu

220

sistem teks yang saling terkait, sehingga seorang

pemakai komputer bisa berpindah dari satu teks ke teks

lainnya. Perpindahan dari satu teks ke teks lainnya dalam

dunia internet dimungkinkan dengan ditemukannya

hyperlinks, yaitu bagian dari suatu dokumen yang bisa

dihubungkan dengan dokumen-dokumen lain yang

terkait. Ketika sebuah hyperlink diklik, maka si

pengguna segera terhubung dengan dokumen yang

ditunjukkan oleh tautan itu. Hipertekstualitas menurut

Danesi, memungkinkan seorang pengguna untuk

berselancar melalui berbagai topik yang terkait tanpa

melihat urutan tampilan topik. Hipertekstualitas mulai

diperkenalkan sebagai sebuah fitur umum sistem

komputer pada tahun 1987 oleh Apple yang

mendistribusikan program baru yang dinamakan

hypercard. Program ini bisa memberikan fungsi tautan

yang memungkinkan pengguna berselancar di berbagai

file teks dan grafis yang ada di komputer dengan

mengklik kata-kata kunci dan ikon yang telah disediakan

programmer (Danesi, 2010: 203).

Akses berbagai informasi memang terjadi di sini,

sehingga menimbulkan kemudahan dalam yang

221

memperkaya dimensi pengetahuan si pengguna. Peran

pengajar (guru, dosen) sebagian besar diambil alih oleh

internet dengan berbagai jaringan yang ditawarkan,

sehingga guru dan dosen lebih berperan sebagai

fasilitator. Bahkan dalam berbagai kasus, siswa dan

mahasiswa memiliki pengetahuan yang lebih kaya

daripada guru dan dosen, karena mereka lebih rajin dan

tekun berselancar di dunia maya untuk mencari

informasi yang terkait dengan ilmu yang mereka pelajari.

Meskipun cukup banyak informasi sampah yang

bertebaran di dunia maya seperti: gambar dan cerita

porno, namun perputaran dan perpindahan teks yang

membantu perkembangan pendidikan tidak dapat

dipungkiri. Tawaran informasi yang tersedia bahkan

melebihi perkiraan dan keinginan yang dimiliki si

pengguna, mulai dari berbagai informasi tentang hampir

seluruh cabang pengetahuan manusia, topik ilmiah yang

paling serius sampai katalog senda gurau, dan lain

sebagainya.

Danesi menambahkan bahwa upaya menafsirkan

sebuah teks dalam komputer itu memerlukan tiga jenis

proses. Pertama, disyaratkan adanya kemampuan untuk

222

mengakses kandungan teks pada tingkat penanda

(signifier). Artinya, kemampuan untuk menafsirkan kata-

kata, citra, dan berbagai tampilan yang ada. Oleh karena

itu hanya mereka yang memiliki pengetahuan tentang

kode (verbal dan nonverbal) penyatuan teks itulah yang

bisa melakukannya dengan baik. Kedua, mensyaratkan

adanya pengetahuan tentang bagaimana hubungan A=B

itu dapat tersingkap dalam teks tertentu. Artinya

bagaimana suatu teks (A) dapat memunculkan artinya

(B) melalui serangkaian proses signifikasi internal dan

eksternal. Ketiga, adanya berbagai faktor kontekstual

yang memasuki seluruh proses untuk memberikan

kendala pada interpretant tentang maksud si pengarang

(Danesi, 2010: 204).

Sebuah contoh sederhana ketika seseorang

menggunakan komputer atau laptop, maka orang tersebut

harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang

penggunaan tanda yang terdapat pada komputer atau

laptop. Bahasa menjadi berkembang dalam konteks

tanda-tanda atau ikon komputer, laptop, Hand-phone,

dan jenis-jenis Gadget lainnya.

223

Penguasaan keterampilan, pemahaman dan

pengetahuan yang cukup atas penggunaan tanda atau

ikon pada laptop atau komputer atau jenis Gadget

lainnya menjadikan si pengguna dapat memanfaatkannya

secara optimal. Penguasaan keterampilan dan

pengetahuan atas penggunaan ikon pada laptop dan

komputer ini menunjukkan bahwa sifat-sifat tanda yang

berlaku cenderung bersifat logis-universal. Ikon yang

dipergunakan pada laptop dan komputer ini mewakili

bahasa logis-rasional sebagaimana yang dimaklumatkan

para penganut aliran atomisme logis dan positivisme

logis, yaitu bahasa standar yang memiliki makna unik

dan terbatas yang berlaku secara universal. Bahasa

logika yang diwakili dalam bentuk ikon menunjukkan

bahwa ketepatan makna dan acuan yang jelas masih

sangat dibutuhkan dalam dunia kontemporer. Komputer

dan internet dewasa ini sudah merupakan sarana atau

jembatan lintas budaya yang membuat jarak antar

budaya semakin pendek.

Perkembangan juga terjadi dalam bahasa dalam

komunikasi via internet, Hand-phone dan alat digital

lainnya,, sehingga melahirkan berbagai jenis permainan

224

bahasa (language-games) seperti: bahasa alay,

vickybulary, bahasa preman, waria, dan lain sebagainya.

Kesemuanya mengandung makna sesuai dengan

interpretasi yang diberikan anggota komunitasnya.

Bahasa universal bergeser ke arah bahasa komunitas.

C. Problem Makna Dalam Hipersemiotika

Perkembangan pemikiran tentang tanda dalam era

kontemporer ditandai dengan berbagai dinamika budaya,

politik, media, dan konsep pencitraan yang mendorong

manusia untuk mengoptimalkan penggunaan tanda

sesuai dengan bidang yang mereka tekuni. Istilah

hipersemiotika itu sendiri menurut Yasraf Amir Piliang

dimaksudkan sebagai semiotika yang berlebihan atau

semiotika yang melampaui batas (Yasraf Amir Piliang,

2003: 49). Terminologi hiper berarti ―di atas‖:

hiperkinesis, ―berlebihan‖, ―di luar ―atau ―terlampau‖,

―melampaui batas‖: hiperemia, hiperbol. Istilah

hipersemiotika secara terminologis, mengacu pada sikap

yang berlebihan atas tanda, sehingga menimbulkan

225

asosiasi yang bermakna melampaui hal yang

sesungguhnya.

Yasraf Amir Piliang menengarai bahwa

hipersemiotika digunakan untuk menjelaskan sebuah

kecenderungan yang berkembang pada pemikir

semiotika mutakhir seperti: Umberto Eco, Jean

Baudriliard, Ludwig Wittgenstein, Jacques Derrida. Ada

beberapa prinsip yang terdapat dalam hipersemiotika

sebagai berikut.

Pertama, prinsip perubahan dan transformasi

dalam hipersemiotika yang lebih menekankan pada

perubahan tanda, produksi tanda, dinamika pembiakan

tanda daripada struktur tanda, reproduksi kode dan

makna, relasi yang tetap. Inti terpenting dalam prinsip

perubahan tanda ini adalah bahwasanya tanda-tanda

tidak lagi menggantungkan dirinya pada konvensi, kode

atau makna yang ada, melainkan diproduksi oleh mesin

produksi semiotika yang terus berputar tanpa henti.

Kedua, prinsip imanensi artinya hipersemiotika

lebih menekankan sifat imanensi, permainan permukaan

material, permainan penanda, pengolahan bentuk,

permainan kulit atau sisi luar, penjelajahan jagad raya

226

simulasi daripada sifat transendensi, kedalaman

(metafisis), petanda, ketetapan makna, kepastian isi

(content), kanon-kanon representasi. Inti terpenting

dalam prinsip imanensi ini ialah sebuah tanda tidak lagi

menggantungkan dirinya pada rujukan realitas,

melainkan mengembangkan dirinya di dalam medan

permainan pure simulacrum yang membentuk dunia

hiperealitas.

Ketiga, prinsip pembedaan (difference) artinya

hipersemiotika lebih menekankan pembedaan daripada

identitas, konvensi, dan kode sosial. Inti terpenting

dalam prinsip pembedaan ini ialah hipersemiotika

memproduksi pembedaan tanda yang tidak harus selalu

baru, melainkan lebih menelusuri puing-puing atau

bunga rampai tanda masa lalu (pastiche) dalam rangka

menciptakan relasi dialogis antar waktu, antar ruang

dalam sebuah wadah ruang yang sama.

Keempat, prinsip permainan bahasa (language-

games) artinya hipersemiotika menekankan permainan

bahasa pada tingkat parole, event, reinterpretasi tanda

daripada langue, sistem, dan pembangunan ulang

struktur. Pada intinya hipersemiotika merupakan mesin

227

permainan bahasa yang memproduksi permainan tanda

sebagai komoditi tanpa mengikatkan diri pada sebuah

sistem yang tetap, sehingga makna tidak mendapatkan

ruang.

Kelima, prinsip simulasi yaitu penciptaan realitas

yang tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata (first

reality), melainkan menjelma menjadi realitas kedua

(second reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri

(simulacrum of simulacrum). Intinya ialah fenomena

meleburnya tanda dan realitas yang ditemukan dalam

media digital seperti internet.

Keenam, prinsip diskontinyuitas artinya

hipersemiotika lebih menekankan pada diskontinyuitas

semiotis daripada kontinyuitas semiotika. Intinya

hipersemiotika menggiring orang untuk semakin jauh

dari sistem atau struktur awal yang mengikat mereka,

dunia dikuasai komoditi dan tanda kapitalisme (Yasraf

Amir Piliang, 2003: 49-52). Keenam prinsip ini erat

kaitannya dengan bahasa sebagai sarana komunikasi

dalam kehidupan budaya.

Bahasa merupakan salah satu sarana kehidupan

manusia yang sangat penting. Bahasa lisan dan tulisan

228

telah membentuk kebudayaan dan memainkan peran

vital bagi pengembangan ilmu. Komunikasi antar

manusia dan antar peradaban dapat berlangsung lantaran

jasa bahasa. Fern Johnson seorang ahli kebudayaan

mengaitkan bahasa, komunikasi dan kebudayaan ke

dalam enam asumsi berikut:1) seluruh aktivitas

komunikasi berlangsung dalam kerangka kerja budaya,

(2) semua individu mengolah pengetahuan kebudayaan

yang mereka gunakan untuk berkomunikasi, (3) dalam

masyarakat multikultur, ada ideologi linguistik yang

dominan, yang menggantikan kelompok budaya lain, (4)

anggota kelompok yang terpinggirkan akan mengolah

pengetahuan dua kebudayaan sekaligus, yaitu

kebudayaan mereka sendiri dan kebudayaan dominan,

(5) pengetahuan kebudayaan, baik yang terpelihara

maupun yang lewat, secara konstan berubah; (6) semua

budaya pendamping saling memengaruhi dan

memanfaatkan satu sama lain (Littlejohn & Foss, 2009:

263). Bahasa terkait erat dengan budaya, karena bahasa

merupakan simbol kolektif yang mengacu pada stereotip

budaya, artinya dalam memori kolektif itulah bahasa

berperan dalam interaksi antara anggota masyarakat,

229

sehingga mereka mampu menggambarkan realitas

kehidupan mereka. Jager menegaskan hal itu sebagai

berikut:

‖in the store of collective symbols that all the

members of a society know, a repertoire of images

is available with which visualize a complete picture

of social reality and/or the political landscape of

society, and through which we then interpret these

and are provided with interpretations‖ (Jager,

2007: 35).

(―Di perbendaharaan simbol kolektif, semua

anggota masyarakat tahu bahwa memori gambar

tersedia dalam bentuk visualisasi gambar yang

lengkap tentang realitas sosial dan/atau panorama

politik masyarakat, dan yang kemudian kita

tafsirkan dan sediakan interpretasinya‖).

Norman Fairclough, seorang ahli bahasa kehidupan

sosial di Lancaster University, UK, menunjukkan relasi

antara semiosis, bahasa, dan kehidupan sosial.

Fairclough membangun sebuah metode riset ilmu sosial

berdasarkan pendekatan analisis wacana kritis, Critical

Discourse Analysis (CDA) yang didasarkan atas

pandangan semiosis sebagai suatu bagian yang tidak

dapat direduksi atau dihilangkan dari proses kehidupan

sosial. Semiosis itu mengandung semua bentuk

230

penyusunan makna termasuk citra visual, bahasa isyarat

(body language), maupun bahasa. Fairclough melihat

kehidupan sosial merupakan jaringan antar koneksi

(interconnected networks) tindakan sosial dalam

berbagai bidang seperti: ekonomi, politik, budaya, dan

sebagainya), dan setiap tindakan itu mengandung unsur

semiotis. Relasi sosial, identitas sosial, nilai budaya dan

kesadaran merupakan bagian semiotika. Analisis wacana

kritis (Critical Discourse Analysis) yang dicanangkan

Fairclough merupakan analisis hubungan dialektis antara

semiosis (termasuk bahasa) dan unsur-unsur lain dari

tindakan sosial (Fairclough, 2007: 122). Pemahaman atas

teks, bagi Zoest teks bukan hanya yang bersifat tertulis

dan lisan, teks merupakan kesatuan lambang yang saling

berhubungan satu sama lain mencakup: ekspresi muka,

sikap, gerak-gerik anggota badan (Zoest, 1996: 106).

Wittgenstein dalam periode Philosophical Investigations

memandang kesemuanya itu sebagai bentuk language-

games yang tidak hanya dipahami dalam bentuk

ungkapan verbal, melainkan juga dalam bentuk ekspresi

body language. Kesemuanya itu merupakan realitas yang

tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial.

231

Perkembangan kehidupan sosial di era kontemporer turut

mempengaruhi cara pandang masyarakat atas realitas

yang ada di sekitarnya, sehingga ikut pula

mempengaruhi semiotika. Hal ini pada gilirannya

menjadikan semiotika beralih ke tataran yang lebih

daripada semiotika yang selama ini dikenal, yaitu

hipersemiotika.

Perkembangan kehidupan sosial dan budaya di

Indonesia sendiri dapat menggunakan jasa

hipersemiotika sebagai pisau analisis, misalnya bagi

fenomena multikultural di Indonesia. Fenomen pertama

yang terkait dengan prinsip perubahan tanda dalam

lingkup kebudayaan di Indonesia, adalah bahwasanya

tanda-tanda tidak lagi menggantungkan dirinya pada

konvensi, kode atau makna yang ada. Meski pun

semboyan Bhinneka Tunggal Ika masih diharapkan

sebagai suatu bentuk konvensi untuk menyatukan

keanekaragaman dalam semangat kesatuan, namun

dalam kenyataan, ikatan semacam itu melemah karena

berbagai faktor seperti: otonomi daerah, kesenjangan

ekonomi, kasus korupsi, dan berbagai faktor lain yang

mengurangi kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Daya

232

penguat ke arah kesatuan memudar seiring dengan

penyimpangan dan ketidaksesuaian dengan hati nurani

atau kehendak rakyat. Masyarakat mengalami

kegamangan dalam merengkuh identitas atau jati diri

bangsa yang memiliki kesatuan nasib dan cita-cita masa

depan. Dewasa ini muncul kesadaran baru atas arti

pentingnya Bhinneka Tunggal Ika sebagai wahana untuk

mempersatukan bangsa Indonesia agar tidak terjebak ke

dalam perpecahan antar kelompok. Habibie dalam Pidato

Bersejarah Memperingati Hari Peringatan Pancasila 1

Juni 2011, menengarai bahwa pada dewasa ini terlihat

adanya sikap intoleransi dan kecenderungan

mempergunakan kekerasan dalam penyelesaian

perbedaan, bahkan ada pihak yangi mengatasnamakan

agama, sehingga menjadi kontraproduktif bagi

perjalanan bangsa yang multikultural ini. Habibie

melihat bahwa fenomena fanatisme kelompok,

penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror

kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi

membangun budaya demokrasi yang beradab, etis, dan

eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan

menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan. Ia

233

melihat bahwa krisis ini terjadi karena luruhnya

kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik

sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran

komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara

(Habibie, 2011: 3). Hilangnya ruang publik sebagai

sarana komunikasi atas dasar solidaritas berganti

menjadi ruang publik sebagai sarana bisnis, kepentingan

politik, dan berbagai kepentingan lainnya yang tidak lagi

menghargai rasa kebersamaan, melainkan lebih

mengedepankan kepentingan kelompok dan individual

semata.

Fenomen kedua berupa berkembangnya prinsip

imanensi dimana sebuah tanda tidak lagi

menggantungkan dirinya pada rujukan realitas. tetapi

berkembang dalam ranah permainan pure simulacrum

sebagaimana yang dibahas oleh Baudrillard dalam The

Consumer Society. Menurut Baudrillard, dalam

kehidupan praktis, berkah konsumsi tidak dialami

sebagai hasil karya atau hasil dari proses produksi,

melainkan dialami sebagai suatu keajaiban, miracle

(Baudrillard, 1998: 31). Baudrillard membagi simulacra

ke dalam tiga tahapan, yaitu counterfeit/imitation,

234

production, simulation, masing-masing tahap

berhubungan dengan proses penandaan. Pada tahap

counterfeit Baudrillard mengasumsikan adanya suatu

peran sentral dalam struktur masyarakat dan pemaknaan

realitas. Pada tahap counterfeit atau imitation ini alam

menjadi paradigma fungsi dalam kehidupan masyarakat,

sehingga manusia berada di bawah nilai hukum alam.

Tahap ini tercermin dalam masyarakat abad pertengahan

dan masyarakat feodal. Kemudian tahap production yang

diawali dari revolusi industri, terjadi peningkatan

produksi dan reproduksi objek secara cepat, sehingga

tanda mengacu pada hukum perubahan dan berada di

bawah nilai hukum komersial. Tahap production ini

terjadi pada zaman modern. Tahap ketiga dinamakan

simulation yang tercermin ke dalam tiga tahap, yaitu

topeng dan sikap tidak wajar sebagai dasar realitas

(masks and perverts a basic reality), kemudian diikuti

tahap ketidakhadiran topeng sebagai basis realitas

(masks the absence of a basic reality), akhirnya tidak ada

relasi dengan realitas apa pun, sepenuhnya murni

simulacrum. Pada tahap counterfeit dan production tanda

menurut Baudrillard masih terkait beberapa cara dengan

235

kenyataan, namun dalam tahap simulation acuan pada

realitas menjadi lenyap sama sekali (Ramirez, 2005: 83).

Kekuatan ideologis ide kebahagiaan dalam masyarakat

modern muncul bukan berasal dari kecenderungan

alamiah pada setiap individu untuk mewujudkan

kebahagiaan dirinya sendiri, namun yang terjadi dalam

kenyataan adalah mitos kebahagiaan dalam kehidupan

masyarakat modern bermuara pada mitos persamaan (the

myth of equality). Kebahagiaan mengandung pemaknaan

dan fungsi ideologi menjadi sesuatu yang sangat penting

sebagai sarana mencapai mitos egaliter, kebahagiaan

merupakan sesuatu yang terukur (measurable).

Baudrillard melakukan kritik terhadap masyarakat

modern dan menekankan bahwa kebahagiaan harus

bebas dari tanda dan dapat mewujud pada hal-hal lain

yang ada di sekitar manusia, kebahagiaan tidak

memerlukan pembuktian (Baudrillard, 1998: 49).

Pandangan Baudrillard ini menunjukkan sebuah

kecenderungan bahwa gaya hidup konsumtivistik, pamer

kekayaan, munculnya kelompok kecil di Indonesia yang

dinamakan Yuppies pada era tahun 90-an, gaya hidup

selebritis bukanlah merupakan wujud kebahagiaan yang

236

sesungguhnya, melainkan sebuah topeng untuk menutupi

kegelisahan hidup yang mereka alami. Satu hal yang

lebih mengkhawatirkan adalah fenomen budaya yang

menampilkan gaya hidup selebritis sebagai sebuah jalan

pintas menuju kesuksesan dengan tampilnya tayangan

seperti: idola cilik, karena anak-anak kecil disulap

menjadi selebriti untuk memenuhi ambisi orang tuanya

atau lingkungannya.

Fenomen ketiga berupa prinsip pembedaan yang

menekankan pembedaan tanda yang tidak harus selalu

baru, tetapi lebih mengacu pada bunga rampai tanda

masa lalu (pastiche) dalam rangka menciptakan relasi

dialogis antar waktu, antar ruang dalam sebuah wadah

ruang yang sama. Tuntutan atas kebaruan tanda hanya

ingin menunjukkan bahwa baru itu identik dengan

progresif. Padahal dalam kehidupan modern kebaruan itu

justeru identik dengan cepat usang, artinya produk

modernitas sebagai tanda masyarakat modern

menciptakan komoditas yang cepat usang agar

konsumen terus menerus memperbarui barang-barang

yang mereka pakai.

237

Fenomen keempat berupa mesin permainan bahasa

yang memproduksi permainan tanda sebagai komoditi

tanpa mengikatkan diri pada sebuah sistem yang tetap,

sehingga makna tidak mendapatkan ruang, sebagaimana

yang terlihat dalam kasus codeswitching. Salah satu

contoh yang terkenal dari permainan bahasa semacam

ini dikenal dengan istilah codeswitching, alih kode,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Kasijanto

Sastrodinomo dalam artikel di TEMPO yang berjudul

―Umar Kayam dan Alih Kode‖. Codeswitching atau alih

kode ialah praktek berbahasa seseorang yang

menggunakan dua atau lebih variasi bahasa dalam suatu

cakapan. Codeswitching ini bisa ditemukan pada semua

speech communities atau komunitas cakapan yang

memiliki lebih daripada satu cara bicara dalam khazanah

bahasanya (Kasijanto, 2011: 54). Contoh kalimat bahasa

Jawa yang pernah dikemukakan Umar Kayam berbunyi

sebagai berikut:‖Manawi sampun dipun waos tor-ipun,

kula aturi cepat menyusun proposal-ipun supados

enggal dipun oke pimpinan proyek‖ (Umar Kayam

dalam Kasiyanto Satrodinomo, 2011: 54). Kalimat

tersebut merupakan penggabungan antara bahasa Jawa,

238

Indonesia (cepat, menyusun, pimpinan, proyek), dan

bahasa Inggeris (―oke‖, tor singkatan dari Term of

Reference). Wittgenstein dalam pemikirannya tentang

language-games menegaskan bahwa ada banyak bentuk

permainan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Wittgenstein menyatakan hal itu sebagai berikut:

‖We can also think of the whole process of using

words as one of those games by means of which

children learn their native language. I will call

these games ‗language-games‘ and will somethings

speak of a primitive language as a language-game

(Wittgenstein, 1983: 5). (―Kita juga dapat

berpendapat bahwa seluruh proses dalam

menggunakan kata-kata sebagai dalam satu

permainan yang digunakan oleh anak-anak untuk

belajar bahasa asli mereka. Saya akan

menyebutnya sebagai permainan 'language-game'

dan berpendapat bahwa bahasa primitif merupakan

language-game‖).

Codeswitching atau alih kode termasuk salah satu

bentuk permainan bahasa sebagai kebiasaan berbahasa

yang terbentuk oleh dua atau lebih aneka bahasa menjadi

suatu tuturan yang dimengerti oleh pihak yang

berkomunikasi.

239

Fenomen kelima berupa penciptaan realitas yang

tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata (first

reality), tetapi sudah berubah menjadi realitas kedua

(second reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri

(simulacrum of simulacrum). Sebagai contoh: dunia

virtual dapat mengantarkan orang biasa menjadi sangat

terkenal seperti yang terjadi pada kasus Briptu Norman.

Kemampuan meniru gaya penyanyi India Shah Rukh

Khan mengubah realitas dunia nyata menjadi realitas

kedua yang acuannya bukan lagi pada penyanyi India

tadi, melainkan pada figur Briptu Norman sebagai idola

baru di kalangan penggemar dunia hiburan. Penyanyi

asli digantikan kedudukannya oleh penyanyi lip-sing,

sehingga terjadi perubahan cara pandang masyarakat.

Kehidupan masyarakat bergeser dari sesuatu yang

otentik kepada pseudo-objects dan pseudo-events.

Baudrillard menegaskan:‖It is in the form that everything

has changed: a neo-reality has everywhere been

substituted for reality, a neo-reality entirely produced by

combining elements of the code‖ (Baudrillard, 1998:

126).

240

Fenomen keenam berupa derasnya arus

hipersemiotika yang menggiring manusia moderen

untuk semakin jauh dari sistem atau struktur awal yang

mengikat mereka, dunia modern dikuasai komoditi dan

tanda kapitalisme. Hal ini ditandai dengan menguatnya

berbagai tawaran iklan di berbagai media, visual, audio,

dan audio-visual. Kemunculan Multi Level Marketing

(MLM) termasuk salah satu fenomen masyarakat

modern yang mencoba menggiring opini publik kepada

komoditas yang ditawarkan dengan berbagai pemikat

atau iming-iming prestasi dan perolehan hasil yang

menyenangkan. Disini terlihat bahwa teori Austin

tentang perlocutionary act masih sangat relevan, karena

salah satu bentuk tanda kapitalisme adalah iklan yang

berupaya memengaruhi (persuade) masyarakat agar

membeli produk mereka sebanyak mungkin.

Kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menjadi

fenomen yang sangat dominan untuk menjual barang dan

jasa, namun kadangkala mengorbankan nilai-nilai moral

dengan cara penipuan dan pembohongan publik.

Misalnya: SMS yang disebar ke HP konsumen yang

menjanjikan berbagai hadiah menarik, tetapi

241

sesungguhnya kebohongan, bahkan cenderung pada

penipuan.

Bahasa dalam lingkup itu memainkan peranan yang

sangat dominan untuk mengembangkan budaya modern

menjadi sebuah pilihan. Ketika proses produk dan

pemaknaan tanda bahasa dikuasai oleh kelompok

tertentu (misalnya: kaum kapitalis), maka simbol-simbol

lain mengalami degradasi, sehingga diperlukan tafsir

ulang. Contoh: ideologi Pancasila yang seharusnya

berpihak kepada rakyat mulai mengalami krisis karena

terjadi penyalahgunaan simbol ideologis oleh elit politik.

Pada gilirannya rakyat mengalami rasa ketidakpercayaan

(distrust) terhadap ideologi yang mereka anggap tidak

lagi berpihak kepada masyarakat kecil.

Eco dalam karyanya yang berjudul Travels in

Hypereality mengemukakan bahwa dalam kehidupan

kontemporer sekarang ini kekuasaan (power) tidak hanya

ada di tangan negara (state), melainkan juga dalam

kelompok-kelompok kecil. Eco menyitir pandangan

Barthes yang mengatakan bahwa kekuasaan dewasa ini

hadir dalam proses mekanisme perubahan sosial yang

paling sulit. Kekuasaan itu tidak hanya hadir dalam

242

negara, kelas, kelompok, tetapi bahkan dalam mode

(fashion), opini masyarakat, dunia hiburan, olahraga,

berita, informasi, keluarga dan relasi pribadi. Kekuasaan

itu bahkan hadir dalam dorongan-dorongan pembebasan

yang berupaya untuk meniadakan kekuasaan itu sendiri

(Eco, 1986: 240). Sikap untuk meniadakan kekuasaan

sering terlihat pada protes atau demonstrasi yang

bertujuan meruntuhkan kekuasaan pemerintah seperti

yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, dan beberapa

negara Timur Tengah lainnya pada awal hingga

pertengahan tahun 2011 yang lalu, termasuk demonstrasi

anarkhis yang belakangan sering terjadi di Indonesia,

termasuk teror bom dengan merusak tempat-tempat

ibadah yang dilakukan kelompok tertentu. Sikap

anarkhis di sini berarti meniadakan peran pemerintah

dalam mengambil keputusan atau jalan yang dapat

ditempuh sesuai prosedur hukum. Di sini pula bahasa

memainkan peran yang sangat penting seperti: yel-yel

politik untuk membangkitkan semangat massa,

terminologi jihad yang dimaknai khusus oleh komunitas

tertentu, dan bahasa sarkastik yang acapkali dilontarkan

kaum demonstran.

243

D. Rekayasa Makna Dalam Hiperealitas

Eco dalam bukunya Theory of Semiotics

menjelaskan bahwa semiotika merupakan bagian dari

filsafat bahasa, kemudian ia menengarai adanya rekayasa

makna dalam teori semiotika yang dinamakannya

dengan teori kebohongan, sebab semiotika berurusan

dengan segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai

tanda. Sebuah tanda menurut Eco, ialah segala sesuatu

yang dapat dipakai untuk pengganti sesuatu yang lain

secara signifikan. Sesuatu yang lain, yang digantikan

oleh tanda itu, tidak harus benar-benar eksis atau berada

di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya.

Berdasarkan hal yang demikian itulah Eco

menyimpulkan bahwa semiotika secara prinsip

merupakan disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang

dapat digunakan untuk berbohong. Alasannya, jika

sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan

kebohongan, berarti ia juga tidak dapat dipergunakan

untuk mengungkapkan kebenaran. Hal itu sama artinya

semiotika tidak bisa digunakan untuk mengatakan apa-

apa. Eco menegaskan hal itu dalam pernyataan berikut:

244

‖Semiotics is in principle the discipline studying

everything which can be used in order to lie. If

something cannot be used to tell a lie, conversely it

cannot be used to tell the truth: it cannot in fact be

used to tell at all‖ (Eco, 1976: 7).

(―Semiotika terdapat di dalam prinsip disiplin

dalam mempelajari segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak

dapat digunakan untuk mengatakan kebohongan,

sebaliknya hal itu juga tidak dapat digunakan untuk

mengatakan kebenaran: sehingga kalau demikian

halnya, semiotika tidak dapat digunakan untuk

memberitahukan apapun‖).

Senada dengan pemikiran Eco tersebut, Habermas

dalam On the Pragmatics of Communication

membedakan tindakan komunikatif (Communicative

action) dengan tindakan strategis (strategic action).

Manusia dalam tindakan komunikatif, membangun

komunikasi berdasarkan tuntutan validitas yang bersifat

timbal balik yang bertujuan untuk menjangkau

pemahaman, sedangkan dalam tindakan strategik lebih

bersifat satu arah. Habermas menyatakan bahwa dalam

tindakan strategis ini dapat terjadi tindakan strategis

yang bersifat terbuka (openly strategic action) dan

tindakan strategis yang tersembunyi (latenly strategic

245

action). Tindakan strategis yang tersembunyi artinya

komunikasi dapat didistorsi secara sistematik

(systematically distorted communication) dan

dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu

(Habermas, 2003: 93).

Sedemikian luasnya dimensi yang dicakup dalam

bidang semiotika ini, sehingga diperlukan batas-batas

yang tegas untuk memagari disiplin ini agar tidak

terjebak ke dalam dimensi eksoterik, pengetahuan yang

dimengerti oleh siapa saja tanpa dasar pemahaman yang

jelas. Semiotika harus diletakkan ke dalam dimensi

esoterik, yaitu pengetahuan yang bersifat khusus,

terbatas, dan memiliki sistematisasi yang jelas.

Semiotika esoterik inilah yang dilakukan C.S.Peirce

dengan meletakkan logika sebagai basis pemahaman atas

realitas, dan memagari kajian semiotika berdasarkan

prinsip triadis. Semiotika dapat berperan sebagai pisau

analisis bagi proses pemaknaan atas tanda-tanda dalam

kehidupan manusia sejak purba hingga zaman

kontemporer. Semiotika dapat berfungsi sebagai titik

tolak pendekatan atas berbagai problem yang

berkembang dalam kehidupan manusia kontemporer,

246

termasuk hiperealitas. Dalam seluruh kajian hiperealitas

itu pula peran bahasa, baik lisan maupun tertulis menjadi

sangat penting, karena problem makna dan rekayasa

makna dalam budaya kontemporer yang terlihat pada

hipersemiotika dan hiperealitas melibatkan bahasa.

E. Komunikasi Lintas Budaya

Perkembangan dunia industri yang dilanjutkan

dengan revolusi informasi dan komunikasi membawa

pengaruh besar dalam kehidupan manusia moderen.

Komunikasi lintas budaya merupakan fenomena

kehidupan budaya kontemporer yang dipacu arus

globalisasi. Globalisasi tidak hanya dipahami dalam

lingkup ekonomi, namun merambah ke berbagai bidang

kehidupan seperti: politik, budaya, teknologi, bahkan

agama. Karena itu globalisasi menurut Samovar, terdiri

atas tindakan atau proses yang melibatkan dunia dan

berakibat luas dalam beragam sendi kehidupan

masyarakat (Samovar, Cs, 2010: 3). Hampir tidak ada

aspek kehidupan masyarakat dewasa ini yang terlepas

dari pengaruh globalisasi, terlebih dengan pengaruh

247

media, teknologi informasi dan komunikasi yang

sedemikian pesat seperti dewasa ini. Bahkan masyarakat

suku terasing seperti suku Bushman, yang digambarkan

dalam film Gods Must Be Crazy juga tidak kalis terhadap

pengaruh globalisasi, ketika digambarkan seorang pilot

pesawat melemparkan botol Coca Cola yang jatuh di

perkampungan mereka, sehingga pola komunikasi

mereka pun ikut berubah. Semula suku Bushman tidak

mengenal konflik, karena mereka merupakan komunitas

kecil yang cinta damai, namun gara-gara terjadi

perebutan antar anggota suku untuk menggunakan botol

Coca Cola tersebut, mereka menjadi sering bertengkar,

sehingga terciptalah suasana konflik di antara anggota

komunitas tersebut. Banyak suku terasing di Indonesia

seperti: suku Dayak di Kalimantan, suku Talang Mamak

di Riau, suku Anak Dalam di Jambi, Suku Baduy di

Jawa Barat dan Banten yang sebelum bersentuhan

dengan peradaban moderen hidup dalam suasana damai

dengan hukum adat yang mengikat komunitas mereka,

namun kemudian mengalami perubahan yang tidak

terpahami oleh cara berpikir dan cara hidup mereka.

Demikian pula halnya dengan kehidupan manusia

248

moderen, banyak konflik dan kosa kata yang hadir dan

berkembang dalam kehidupan mereka seiring dengan

penggunaan alat-alat teknologi moderen seperti: pulsa,

fitur, unduh, dan lain-lain.

Komunikasi lintas budaya sudah menjadi bagian

kehidupan masyarakat global, karena jarak antar budaya

menjadi lebih dekat lantaran pengaruh teknologi

informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan

komunikasi meningkatkan percepatan dan kemudahan

warga dunia untuk saling berhubungan satu sama lain.

Kemajuan teknologi juga digambarkan Samovar,

menjamin peningkatan informasi di masa depan. Sistem

internet baru yang dinamakan The Grid (Jaringan)

mampu beroperasi 10.000 kali lebih cepat dari koneksi

broadband pada umumnya. Era teknologi informasi

antara tahun 2006 dan 2010 terjadi pertambahan dan

percepatan informasi setiap tahun di dunia digital,

sehingga meningkat lebih dari 6 (enam) kali lipat

(Samovar, 2010: 7). Situs Wikileaks yang menghebohkan

dunia informasi dunia maya di tahun 2010 membuktikan

bahwa dunia maya mampu menembus tembok-tembok

rahasia berbagai negara. Sistim komunikasi digital

249

menurut Danesi, memberikan layanan online berupa

berita, papan buletin, jurnal, permainan, perpustakaan,

dan banyak hal lain. Surat elektronik (e-mail) termasuk

salah satu sistem komunikasi digital yang banyak

dipergunakan, hingga facebook, twitter, dan berbagai

macam sistem komunikasi yang semakin mendekatkan

jarak antar manusia, antar budaya, antar negara (Danesi,

2010: 208).

Komunikasi antar budaya melibatkan interaksi antar

manusia yang persepsi budaya dan sistem simbolnya

cukup berbeda dalam suatu komunikasi. Menurut

Samovar Cs, komunikasi antara budaya itu melibatkan

budaya dominan dan subkultur. Budaya dominan ialah

kelompok yang memiliki kewenangan, kontrol, dan

kekuasaan untuk mengatur pola hubungan antar

masyarakat, bangsa, dan negara. Pola hubungan antar

negara dalam dunia kontemporer misalnya didominasi

negara-negara maju seperti: Amerika, Inggeris, Cina,

Perancis, dan lain-lain. Subkultur adalah kelompok atau

komunitas sosial yang memiliki karakter komunikasi,

persepsi, nilai-nilai, kepercayaan, dan tindakan yang

membedakan mereka dari kelompok dan komunitas lain

250

dan juga dari budaya dominan (Samovar, 2010: 14-15).

Dalam hal ini pertemuan antara budaya dominan dengan

subkultur pada umumnya menimbulkan dampak

komunikasi, sehingga memengaruhi peran tanda dalam

kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Komunikasi

dalam hal ini merupakan proses dinamis di mana orang

berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan

orang lain melalui penggunaan simbol. Manusia menurut

Erns Cassirer adalah animal symbolicum, mahluk

pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia, simbol

merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan

sesuatu hal yang lain. Manusia menggunakan simbol

untuk memberikan makna, dan memungkinkan suatu

budaya disampaikan dari satu generasi ke generasi. Hal

yang penting diketahui adalah bahwa suatu simbol itu

menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat

menjadikannya suatu simbol. Oleh karena itu tidak ada

hubungan budaya antara simbol dan artinya,

hubungannya berubah dan bervariasi dalam semua

budaya (Samovar, 2010: 18-20).

Samovar Cs menyebutkan ada 5 (lima) elemen

budaya, yaitu sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan

251

bahasa. Pertama; sejarah berisikan cerita tentang masa

lalu yang memberikan identitas, nilai, aturan tingkah

laku, dan sebagainya kepada anggota komunitas suatu

budaya. Sejarah memberikan pelajaran tentang motivasi

di balik pembangunan Tembok Besar Cina, candi

Borobudur, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan lain

sebagainya. Kedua; agama berupa upacara, ritual, hal-

hal tabu, perayaan sebagai aktivitas dan kepercayaan

yang dilakukan suatu komunitas yang berfungsi untuk

kontrol sosial, penyelesaian konflik, penguatan

kelompok solidaritas, penjelasan tentang sesuatu yang

sukar dirasionalkan, dan dukungan emosional. Ketiga;

nilai merupakan kritik atas pemeliharaan budaya secara

keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang

dipercayai masyarakat untuk kepentingan dan kelanjutan

hidup mereka. Keempat; organisasi sosial mewakili unit

sosial yang beraneka ragam seperti: keluarga,

pemerintah, sekolah, yang membantu anggota suatu

kelompok budaya untuk mengatur kehidupan mereka.

Kelima; bahasa sebagai wadah untuk berbagi pikiran,

perasaan, dan informasi, bahkan merupakan metode

252

utama dalam menyebarkan budaya antara anggota

masyarakat (Samovar, 2010: 29-31).

Sistem tanda dalam kelima elemen budaya tersebut

memainkan peranan yang sangat penting. Sejarah tidak

akan ada artinya apabila tidak terjadi proses interpretasi,

dan proses interpretasi itu pun tidak harus persis sama

bagi generasi yang satu dengan generasi yang lain.

Misalnya: candi Borobudur bagi generasi awal

pembuatan dianggap sebagai tempat ibadah, namun bagi

generasi berikutnya lebih dipandang sebagai tempat

rekreasi. Agama berupa upacara, ritual, tabu, dan lain

juga melibatkan sistem penandaan yang mengandung

makna khusus bagi para pengikutnya. Misalnya: upacara

sekaten memiliki makna khusus bagi warga Yogyakarta.

Nilai sebagai bentuk kualitas yang dipercaya masyarakat

membentuk sistem tanda yang diyakini dan harus

dijalankan apabila masyarakat tersebut ingin diakui

eksistensinya oleh kelompok masyarakat lain. Contoh:

kejujuran akademik dalam dunia ilmiah merupakan nilai

yang dipercaya sebagai identitas anggota masyarakat

ilmiah. Organisasi sosial memiliki aturan main (rule of

the game) yang unik dan khas tergantung pada bentuk

253

dan kepentingannya, sehingga sistem tanda yang

dikembangkan juga sangat bervariasi. Misalnya: sekolah

memiliki aturan main yang khas, berbeda dengan aturan

main dalam sepak bola. Namun ada substansi yang sama,

seperti: disiplin, kejujuran (fair play) dalam kedua

institusi yang berbeda tersebut. Bahasa sebagai sistem

simbol lebih banyak terkait dengan sistem simbol yang

disepakati oleh anggota suatu komunitas. Oleh karena itu

bahasa merupakan cerminan identitas budaya suatu

komunitas. Bahasa merupakan sejumlah simbol atau

tanda yang disepakati untuk digunakan oleh sekelompok

orang untuk menghasilkan arti. Hubungan antara simbol

yang dipilih dan arti yang disepakati kadang berubah-

ubah, karena itu simbol yang bervariasi dapat digunakan

oleh budaya yang berbeda-beda untuk mengidentifikasi

istilah tertentu. Misalnya: kucing (Indonesia), kissa

(Finlandia), katze (Jerman), neko (Jepang), pusa

(Tagalog), gato (Spanyol), dan seterusnya Samovar, Cs.,

2010: 268). Dengan demikian peran tanda dan simbol

sangat tergantung pada budaya di mana tanda dan simbol

itu dibentuk.

254

F. Logika Makna

Ada kaitan yang erat antara logika dengan makna,

terutama dalam bentuk pernyataan menurut pemikiran

Atomisme Logis dan Positivisme Logis. Makna suatu

pernyataan sangat ditentukan oleh struktur logis yang

terkandung dalam struktur bahasa. Suatu pernyataan

merupakan ungkapan yang dapat dipahami karena

mengandung kebenaran logis. Namun dalam budaya

kontemporer yang diangkat oleh pendukung

posmodernisme, maka makna suatu pernyataan tidak

harus selalu didukung logika dalam arti yang ketat. Suatu

pernyataan acapkali dapat dipahami dalam lingkup

tertentu, namun sulit dipahami pihak lain. Misalnya:

pernyataan yang diungkapkan politikus mungkin dapat

dipahami oleh kalangan politikus, namun tidak

terpahami pihak lain di luar politikus. Contoh: ‖Dalam

suatu sistem negara demokratis, maka sistem monarkhi

yang dianut Sultan di DIY bertentangan dengan

semangat demokrasi‖. Pernyataan yang dilontarkan para

politikus di era Reformasi ini mungkin dipahami para

politisi, terutama dari kalangan Partai Demokrat, namun

255

bagi pihak lain, termasuk pendukung Sultan

Hamengkubuwono X, pernyataan tersebut dianggap

tidak logis, karena merendahkan status Keistimewaan

Yogyakarta. Disini terjadi perbedaan logika makna

antara dua pihak yang berseberangan pendapat atas suatu

pernyataan. Pernyataan politik tersebut dianggap

mengundang perdebatan logika makna. Kendatipun

demikian dalam dunia politik logika makna yang

dimaksud itu pada umumnya lebih mengacu pada

kepentingan kelompok.

Bahasa politik selalu menyembunyikan

kepentingan kelompok. Pembelaan terhadap kepentingan

kelompok lebih dominan daripada pembelaan terhadap

kepentingan masyarakat luas atau kebenaran. Manipulasi

bahasa di sini acapkali terjadi untuk tujuan tertentu

melalui berbagai macam cara, terutama penampilan

kefasihan tuturan untuk meyakinkan pihak lain yang

dalam terminologi Austin dinamakan perlocutionary act.

Permainan retorika dalam bidang politik yang cenderung

mengarah pada pemujaan pada elokuensi, kefasihan

bicara. Barthes menyatakan bahwa elokuensi adalah

suatu bentuk kefasihan bicara sebagai usaha untuk

256

memiliki kesadaran tentang pemikiran yang lahir dalam

diri seseorang, sehingga orang tersebut dapat

memproduksi kefasihan itu disaat berkomunikasi dengan

orang lain (Barthes, 2007: 129). Elokuensi ini menurut

Barthes dapat dipelajari dalam retorika yang termasuk

dalam bidang langage. Namun kefasihan bicara yang

dimaksud Barthes bukanlah cara bertutur yang terjebak

ke dalam keinginan yang menyala-nyala untuk

berpendapat tanpa didasari prinsip retorika yang benar.

Barthes menunjukkan teknik retorika dalam 5 operasi

prinsipal sebagai berikut. Pertama, inventio artinya

menemukan inti perbincangan tentang apa yang

dikatakan. Kedua, disposition artinya menyusun secara

sistematis tentang isi perbincangan yang telah

ditemukan. Ketiga, elocution artinya menambahkan

ornamen kata-kata untuk memperindah dan memperkaya

isi tuturan. Keempat, action artinya memainkan

diskursus sebagaimana halnya seorang aktor drama

melalui gerak tubuh dan diksi, pilihan kata yang tepat.

Kelima, memoria artinya menggunakan ingatan, hapalan

isi tuturan sehingga dapat lebih meyakinkan pada pihak

257

yang diajak komunikasi tentang kefasihan bicara

(Barthes, 2007: 132-138).

Logika makna (logic of meaning) dalam berbagai

tanda, termasuk tanda yang diungkapkan secara verbal,

merupakan inti persoalan yang dibahas Wittgenstein

dalam Tractatus Logico-Philosophicus memang tidak

lagi mendominasi pemaknaan tanda secara keseluruhan,

namun hakikat logika dengan berbagai kemungkinannya

ada dalam fakta, sehingga Wittgenstein sendiri

menegaskan:―A logical entity cannot be merely possible.

Logic treats of every possibility, and all possibilities are

its facts‖ (Wittgenstein, 1995: 31). Hakikat logika bukan

terletak pada kemungkinan, melainkan fakta. Oleh

karena itu ketika seseorang melontarkan ucapan tanpa

didasarkan atas fakta, maka ucapannya itu menjadi

senseless, sia-sia.

G. Aturan Main Dalam Fenomen Tanda

Setiap permainan memerlukan sebuah aturan main

dalam rangka mendukung esensi permainan tersebut.

Aturan main merupakan ruh dari sebuah permainan.

258

Dewasa ini budaya kontemporer mencerminkan berbagai

bentuk hiper, seperti: hipersemiotika, hipertekstualitas,

hiperealitas, dan hipermodernisme menunjukkan adanya

perkembangan dalam berbagai komunitas, sehingga

terbentuk pula berbagai aturan main (rule of the games)

yang berbeda-beda. Problem makna dalam

hipersemiotika yang merupakan gejala penggunaan tanda

secara berlebihan dalam kehidupan kontemporer ditandai

dengan beberapa ciri sebagai berikut.

1.Terjadinya perubahan dan transformasi tanda, sehingga

tanda tidak lagi menggantungkan diri pada konvensi

atau makna yang ada.

2. Prinsip imanensi; hipersemiotika lebih menekankan

pada permainan permukaan material daripada

kedalaman metafisis.

3. Prinsip perbedaan (difference); hipersemiotika lebih

mementingkan perbedaan daripada identitas,

konvensi, dan kode sosial.

4. Prinsip permainan bahasa (language-games);

hipersemiotika menekankan permainan bahasa pada

tingkat parole daripada langue, lebih mementingkan

event daripada sistem.

259

5. Prinsip simulasi (simulation); yaitu penciptaan realitas

kedua (second reality) yang referensinya adalah

dirinya sendiri (simulacrum of simulacrum).

6. Prinsip diskontinuitas (discontinuity); durasi atau

interupsi yang penuh interupsi, keterputusan, dan

persimpangan yang menciptakan sebuah ruang bagi

perbedaan dan permainan bebas tanda dan kode (Lihat

Yasraf Amir Piliang, 2010: 50-52).

Pada gilirannya dalam realitas kebudayaan

muncullah kecenderungan beroperasinya tanda-tanda

palsu (pseudo-sign) dan tanda dusta (false-sign) yang

menciptakan berbagai bentuk kejahatan (kriminalitas)

dalam bidang hukum dan politik (Yasraf Amir Piliang,

2009: 171-172). Kasus Nazarudin, bendahara Partai

Demokrat yang melarikan diri ke luar negeri (akhirnya

tertangkap di Columbia) untuk kemudian melancarkan

serangan dan tuduhan korupsi kepada ketua umum Partai

Demokrat, Anas Urbaningrum merupakan contoh

tentang berkembangnya tanda-tanda palsu dalam dunia

politik di Indonesia. Sebaliknya Anas Urbaningrum

menuduh Nazarudin melakukan fitnah atas dirinya.

Belakangan terbukti memang Anas terlibat dalam kasus

260

korupsi wisma Atlet Hambalang, sehingga pernyataan

Anas bahwa apabila ia terbukti melakukan korupsi maka

bersedia digantung di Monas, merupakan bahsa politis

yang menyembunyikan kebenaran alias dusta atau

pembohongan publik. Pernyataan-pernyataan yang

dikemukakan di berbagai media cetak maupun elektronik

menunjukkan eksisnya tanda palsu dan tanda dusta

dalam komunikasi publik.

Problem aturan permainan bahasa dalam tanda yang

lebih mementingkan event daripada sistem, pada

gilirannya dapat melanggar hakikat aturan permainan

bahasa itu sendiri, manakala aturan (rule) dipandang

bukan bagian dari sistem. Wittgenstein menegaskan:

―Is what we call obeying a rule something that it

would be possible for only one man to do, and to do

only once in his life?This is of course a note on the

grammar of the expression to obey a rule‖

(Wittgenstein, 1983: 80).

(―Apakah apa yang kita sebut sebagai mematuhi

sebuah peraturan merupakan hal yang mungkin

untuk dilaksanakan oleh seseorang, dan hanya

dilaksanakan satu kali dalam hidupnya? Hal ini

tentunya merupakan catatan pada ekspresi tata

bahasa untuk mematuhi sebuah peraturan‖).

261

Wittgenstein membedakan antara interpretasi

dengan aturan, karena itu ia menegaskan bahwa

seseorang yang berpikir tentang menaati sebuah aturan

berarti ia tidak lagi menaati aturan. Ia menegaskan lebih

lanjut dalam pernyataan berikut:

―And hence also obeying a rule is a practice. And to

think one is obeying a rule is not to obey a rule.

Hence it is not possible to obey a rule privately;

otherwise thinking one was obeying a rule would be

the same thing as obeying it (Wittgenstein, 1983: 81).

Hal ini berarti mematuhi aturan itu merupakan

sebuah praktik dalam kehidupan bersama, bukan dalam

arti perorangan.

Aturan untuk ditaati, bukan untuk dipikirkan,

karena orang yang terlibat dalam sebuah permainan per

se memahami dan melaksanakan aturan main secara

spontan. Hukum dan politik bukan identik dengan dusta,

melainkan ketegasan, kejujuran, dan kemampuan

meyakinkan pihak lain. Apabila kemampuan

meyakinkan pihak lain dilakukan dengan cara-cara dusta,

maka telah terjadi pelanggaran terhadap aturan main.,

Daya (Force) dalam terminologi Austin, yang

262

terkandung dalam tindak ilokusi diabaikan oleh si

penutur, sehingga tuturan itu mengalami kegagalan,

infelicities. Daya (force) yang terdapat dalam diri subjek

agar menjaga konsistensi antara tuturan dengan tindakan

merupakan fenomen tanda yang sulit ditemukan dalam

dunia politik di Indonesia. Pada akhirnya situasi politik

yang tidak sehat akan melahirkan komunikasi politik

yang tidak sehat pula, sehingga aturan main dalam tanda

politik juga dilanggar. Di sini bahasa memainkan

peranan penting, karena bahasa hadir dalam ruang

publik, termasuk dalam bidang politik, sehingga mampu

memengaruhi hitam putih warna politik di Indonesia.

H. Tanda Sebagai Bentuk Komunikasi Visual

Tanda sebagai ungkapan verbal dan komunikasi

visual dalam bentuk gambar yang hadir dalam budaya

kontemporer, yang dibuat secara sengaja untuk

mempertegas kehadiran suatu objek visual tertentu.

Namun dalam kehadiran tanda artifisial itu muncul

berbagai pemahaman spectator, yakni orang yang

mengamati tanda visual tersebut dengan berbagai

kemungkinan yang beragam. Ada tanda yang

263

kehadirannya mengundang decak kagum karena

dianggap menunjukkan kreativitas si pembuat tanda.

Namun ada pula tanda yang menyulitkan spectator

dalam memahami maksudnya, karena logika pemahaman

tandanya tidak lengkap, sehingga membingungkan dan

membutuhkan reinterpretasi lebih lanjut. Ada pula tanda

yang sifatnya menyesatkan karena ketidakpahaman si

pembuat tanda dalam membangkitkan asosiasi spectator.

Namun ada pula tanda yang kehadirannya dianggap

meyakinkan, karena menggunakan ikon-ikon tertentu,

sehingga membangkitkan kenangan atau keinginan

spectator. Berikut ditunjukkan beberapa tanda yang

hadir di sekitar kehidupan budaya kontemporer di

Indonesia. Misalnya gambar kartun sebagai bentuk

protes terhadap korupsi yang dianggap sebagai kejahatan

luar biasa di Indonesia.

264

Gambar 1

Gambar 1 di atas mencerminkan betapa korupsi di

Indonesia merambah ke dalam segala aspek kehidupan

birokrasi, sehingga bilamana koruptor dihukum mati,

maka neraka menjadi penuh. Gambar tersebut

merupakan gaya sarkasme, yaitu kritik pedas terhadap

para koruptor yang dianggap sebagai tindakan melawan

hukum dan dosa besar, sehingga diganjar dengan neraka.

Ilustrasi lain dari komunikasi visual (Gambar 2) muncul

dalam bentuk language-games seperti: apel malang

sebagai analogi mata uang rupiah dan apel Washington

sebagai analogi mata uang dolar dalam kasus korupsi

wisma Atlet Hambalang.

265

Gambar 2

Berikut Gambar 3 yang memperlihatkan bentuk protes

terhadap biaya pelayanan kesehatan yang tinggi di

Indonesia

266

Gambar 3

Gambar di atas mencerminkan komunikasi visual untuk

menyindir biaya kesehatan yang tinggi di Indonesia,

sehingga orang miskin dilarang sakit, agar tidak

mengeluarkan biaya. Di samping komunikasi visual

yang mencerminkan bentuk protes, baik yang bergaya

sarkasme maupun sindiran, ada pula komunikasi visual

yang berupa tanda yang memperlihatkan kreativitas

sebagai berikut. Contoh tanda kreatif seperti yang

dilakukan dilakukan penjual martabak di salah satu sudut

jalan di Yogyakarta.

267

Gambar 4

Penjual Martabak dan Terang Bulan ini memberi nama

yang unik dan kreatif pada jenis-jenis Martabak dan

Terang Bulan yang diperdagangkannya seperti tertera

dalam daftar di atas, tujuannya adalah mengundang rasa

penasaran calon pembeli sehingga ingin mencoba.

268

Gambar 5

Gambar ini dapat ditemukan di masjid kampus

Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura yang

sifatnya meyakinkan jamaah masjid agar tidak membuat

keributan di dalam masjid. Meskipun dilihat dari bentuk

penanda atau ikon yang menggambarkan anak kecil yang

menempelkan jari telunjuk di bibirnya sudah cukup

sebagai bentuk peringatan agar pengunjung masjid tidak

membuat ribut, namun perlu ditambah dengan ungkapan

bahasa ―Dilarang berbicara nyaring!‖, untuk lebih

meyakinkan jama‘ah masjid.

269

Contoh tanda sebagai bentuk perlawanan:

Gambar 6

Baliho besar yang terpasang di daerah Kabupaten

Purworejo dan Bagelen ini merupakan bentuk

perlawanan Koalisi Nasional Penyelamat Kretek

(KNPK) terhadap tokoh-tokoh seperti: Menkes R.I.

Endang H.S, Seto Mulyadi, Todung Mulya Lubis, dan

lainnya yang dianggap memerangi rokok karena

dianggap membahayakan kesehatan masyarakat.

270

Begitu banyak cara yang dapat digunakan dalam

komunikasi visual untuk memengaruhi orang lain,

meskipun ada yang ditampilkan dalam bentuk berterang,

ada yang tersembunyi dengan bahasa sindiran, ada juga

yang bersifat persuasif, namun kesemuanya mengandung

pesan tertentu kepada pihak lain. Dengan demikian

filsafat bahasa dengan pengajuan teori analitika bahasa

dan semiotika dapat dipergunakan sebagai pisau analisis

untuk memahami budaya kontemporer dengan berbagai

fenomen tanda yang hadir dalam kehidupan manusia.

271

DAFTAR PUSTAKA

Alston, W.P. 1964, The Philosophy of Language,

Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Ammerman, Robert R., Editor, 1994, Classics of

Analytic Philosophy, Hackett Publishing Company,

Inc., Indianapolis.

Ayer, A.J., 1952, Language, Truth, and Logic, Dover

Publications, New Jersey.

Bambang Sugiharto, 1996, Postmodernisme: Tantangan

Bagi Filsafat, Cetakan ke-5, Kanisius, Yogyakarta.

Barrett, Cyril, TT, Wittgenstein Lectures &

Conversations, University of California Press.

Barthes, Roland, 1972, Mythologies, diterjemahkan

Ikramullah Mahyudin Membedah Mitos-mitos

Budaya Massa, Hill and Wang, New York.

--------------------, 2007, L‘aventure Semiologique,

Penerjemah: Stephanus Aswar Harwinarko

(Petualangan Semiologi), Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Baudrillard, Jean, 1998, The Consumer Society, Sage

Publications Ltd, London.

272

Beaney, Michael., 2006, ―Wittgenstein on Language:

From Simples to Samples dalam The Oxford

Handbook of Philosophy of language, Edited by:

Ernest Lepore and Barry C.Smith, Clarendon Press,

Oxford.

Berger, Arthur Asa., 1989, Signs in Contemporary

Culture, Sheffield Publishing Company,

Wisconsin.

Cassirer, Ernst ; 1987. Manusia dan Kebudayaan,

diindonesiakan oleh Alois A.

Nugroho, Gramedia, Jakarta.

Cassirer, H.W., 1968, Kant‘s Firrst Critique, Humanities

Press Inc., Second Impression, London.

Charlesworth, M.J., 1959, Philosophy And Linguistic

Analysis, Duguesne University Press, Pittsburgh.

Chomsky, Noam., 1997, Language and Problems of

Knowledge, Ninth Printing, The MIT Press,

Massachusetts.

Danesi M &P. Perron, 1999, Analyzing Cultures,

Indiana University Press, Indianapolis.

Danesi, Marcel., 2010, Understanding Media Semiotics,

Penerjemah: A.Gunawan Admiranto (Pengantar

273

Memahami Semiotika Media), Jalasutra,

Yogyakarta.

Eco, Umberto, 1979, Theory of Semiotics, Indiana

University Press, Bloomington.

------------------, 1984, Semiotics and the Philosophy of

Language, Macmillan Press, London.

-----------------., 2009, Tamasya Dalam Hiperealitas,

Penerjemah: Iskandar Zulkarnaen. Jalasutra,

Yogyakarta.

Fairclough, Norman, 2007, ―Critical Discourse Analysis

as a Method in Social Sientific Research, dalam

Methods of Critical Discourse Analysis, Edited by:

Ruth Wodak and Michael Meyer, Sage

Publications, Los Angeles.

Feyerabend, Paul., 1978, Against Method: Outline of an

anarchistic theory of knowledge, Lowe and

Brydone Printers Limited, Norfolk.

Gellner, Ernest., 1992, Postmodernism, Reason and

Religion, Routledge, London.

Habermas, Jurgen, 2003, On the Pragmatics of

Communication, edited by: Maeve Cooke,

Blackwell Publishing Ltd, Oxford.

274

Hacker, P.M.S., 2001, ―Ludwig Wittgenstein (1889-

1951)‖, dalam A Companion To Analytic

Philosophy, Edited by: A.P.Martinich and David

Sosa, Blackwell Publishers Ltd., Oxford.

Hamersma, Harry, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat

Moderni, Gramedia, Jakarta.

Harun Hadiwijono, 2011, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,

Cetakan ke-24, Kanisius, Yogyakarta.

Haryatmoko, 2009, ―Petaka Hipermodernisme‖, dalam

Basis nomor 05-06, Tahun ke-58, Mei-Juni 2009.

Hartley, John., 2010, Communication, Cultural, and

Media Studies: The Key Concepts, Penerjemah:

Kartika Wijayanti (Communication, Cultural, dan

Media Studies: Konsep Kunci), Jalasutra,

Yogyakarta.

Jager, Siegfried.,2007, ―Discourse and Knowledge:

Theoretical and Methodological Aspects of a

Critical Discourse and Dispositive Analysis‖,

dalam Methods of Critical Discourse Analysis,

Edited by: Ruth Wodak and Michael Meyer, Sage

Publications, Los Angeles.

275

Johann Glock, Hans, 2008, What is Analytic

Philosophy?, Cambridge University Press

Kaelan., 2009, Filsafat Bahasa, Semiotika, dan

Hermeneutika, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.

Kant, Immanuel., 1956, Critique of Practical Reason,

Translated with an Introduction by: Lewis White

Beck, The Liberal Arts Press, New York.

--------------------, 2009, Critique of Pure Reason,

Translated by J. M. D. Meiklejohn, published by

eBooks@Adelaide , Last updated Sat Aug 28

19:10:06 2010.

Kasijanto Sastodinomo, 2011, ―Umar Kayam dan Alih

Kode‖, dalam TEMPO N0: 3952 Edisi 21-27

Februari 2011, Jakarta.

Kṏvecses, Zoltan., Language, Mind, and Culture,

Oxford University Press, Oxford.

Lechte, John., 2001, Fifty Key Contemporary Thinkers,

Diterjemahkan oleh: A. Gunawan Admiranto (50

Filsuf Kontemporer), Kanisius, Yogyakarta.

Littlejohn S.W. dan Foss K.A., 2009, Theories of Human

Communication, Penerjemah: Mohammad Yusuf

276

Hamdan (Teori Komunikasi), Penerbit Salemba

Humanika, Jakarta.

Locke, John, 1910, An Essay Concerning Human

Understanding, Rendered into HTML by Steve

Thomas, eBooks@Adelaide 2004, Last updated

Mon Mar 5 11:42:51 2007.

-----------------, 1965, ―Meaning and Reference‖, dalam

Meaning and Knowledge: Systematic Readings in

Epistemology, Editor: Ernest Nagel & Richard B.

Brandt, Harcourt, Brace & World, Inc, New York.

Lyotard, J.F., 1989, The Postmodern Condition: A

Report on Knowledge, Manchester University

Press, Manchester.

Magee, Bryan., 1998, The Story of Thought, DK

Publishing, Inc., London.

------------------.,2001, The Story of Thought,

Penerjemah: Marcus Widodo & Hardono Hadi,

(Kisah Tentang Filsafat), Kanisius, Yogyakarta.

Martinet, Jeanne., 2010, Semiologi: Kajian Teori Tanda

Saussuran, Judul asli: lefs Pour La Semiologie,

Penerjemah: Stephanus Aswar Herwinarko,

Jalasutra, Yogyakarta.

277

Martinich A.P. and David Sosa, 2001, Analytic

Philosophy: An Anthology, Editor, Blackwell

Publishers Ltd, Oxford.

Merrell, Floyd, 1991, Signs Becoming Signs, Indiana

University Press, Bloomington & Indianapolis.

Moore, G.E., 1951, Philosophical Studies, Routledge &

Kegan Paul LTD, London.

……………., 1953, Some Main Problems of Philosophy,

George Allen & Unwin Ltd, London.

…………..., 1954, Principia Ethica, Cambridge

University Press, Cambridge.

Mustansyir, Rizal., 2002, Filsafat Analitis: Sejarah

Perkembangan, Pemikiran, dan Peran Para

Tokohnya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

---------------,-------., 2009, Hermeneutika Filsafati:

Sejarah Perkembangan Pemikiran Para Tokoh,

Pustaka Rasmedia, Yogyakarta.

Padinjarekutt, Joanne., 1974, The Principle of

Verification: A Historical Study in Logical

Positivism, Dissertatio ad Lauream in Facultate

Philosophica, Pontificiae Universitatis

Gregorianae, Roma

278

Peirce, C.S., 1998, Principles of Philosophy, Volume 1,

Edited by: Charles Hartshorne and Paul Weiss,

Colected Papers of Charles Sanders Peirce,

Thoemmes Press, England.

--------------., 1998, Elements of Logic, Volume 2, Edited

by Charles Hartshorne and Paul Weiss, Colected

Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes

Press, England.

……………, 1878, How to Make Our Ideas Clear, in

Popular Science Monthly, 12 January 1878.

Piliang, Yasraf Amir., 2004, Posrealitas: Realitas

Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra,

Yogyakarta.

Pitcher, George, 1964, The Philosophy of Wittgenstein,

Englewood Cliffs, New Jersey.

Quine, W.V.O., 1994, Word & Object, Twentieth

printing, The MIT Press, Cambridge.

-------------------.,1997,―Two Dogmas of Empiricism‖,

dalam Classics of Analytical Philosophy, edited by:

Robert R.Ammerman, Hackett Publishing

Company, Indianapolis.

279

Rorty, Richard., 1999, Philosophy and Social Hope,

Penguin Books, London.

Russell, Bertrand, 1980, An Inquiry Into Meaning and

Truth, Reprinted seven times, Unwin Paperbacks,

London.

Sahal, Ahmad., 1993, ―Agama dan Tantangan

Posmodernisme‖, dalam Islamika, no. 2 Oktober-

Desember 1993, Jakarta.

Samovar. Larry A, Cs, 2010, Communication Between

Cultures, Penerjemah: Indri Margaretha Sidabalok

(Komunikasi Lintas Budaya), Edisi 7, Penerbit

Salemba Humanika, Jakarta.

Saussure, Ferdinand de., 1996, Pengantar Linguistik

Umum, Penerjemah: Rahayu S. Hidayat, Judul asli:

Cours de Linguistique Generale, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Schilpp, Paul Athur (Editor)., 1951, The Philosophy of

John Dewey, Tudor Publishing Company, New

York.

Sim, Stuart., 2003, Lyotard and the Inhuman, Alih

bahasa: Sigit Djatmiko (Lyotard dan Nirmanusia),

Penerbit Jendela, Yogyakarta.

280

Smith-Shank, Deborah.L., 2007, ―Reflections on

Semiotics, Visual Culture, and Pedagogy‖, dalam

Semiotica, 164-1?4 (2007), DOI

10.1515/SEM.2007.027.

Solomon, Jack, 1988, The Signs of Our Time, Jeremy

P.Tarcher, Inc., Los Angeles.

Solomon, Robert C., 1992, Introducing Philosophy; A

Text with Integrated Readings, Fifth Edition,

Harcourt Brace College Publishers, Fort Worth,

Texas.

Stroll, Avrum., 2000, Twentieth-Century Analytic

Philosophy, Columbia University Press, New York.

Titus, Smith, Nolan., 1984, Living Issues in Philosophy,

Alihbasa: H.M.Rasjidi (Persoalan-Persoalan

Filsafat), Bulan Bintang, Jakarta.

Toeti Heraty, 1984, Aku Dalam Budaya, Pustaka Jaya,

Jakarta.

Turner, Bryan., 2000, Teori-teori Sosiologi Modernitas

Posmodernitas, Penerjemah: Imam Baehaqi dan

Ahmad Baidlowi, judul asli: The Theories of

Modernity and Postmodernity, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

281

Ullmann, Stephen., 2009, Semantics, an Introduction to

The Science of Meaning, Adaptasi Bahasa:

Sumarsono (Pengantar Semantis), Cetakan II,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Wittgenstein, L, 1972, The Blue and Brown Books,

Translated by: G.E.M. Anscombe, Basil Blackwell,

Oxford.

……………….., 1983, Philosophical Investigations,

Translated by: G.E.M.Anscombe, Third edition,

Basil Blackwell, Oxford.

………………..,1995, Tractatus, Logico-Philosophicus,

German text with an English Translation by: C.K.

Ogden, Ninth Edition, Routledge and Kegan Paul

Ltd, London.

Zoest, Art van., 1991, ―Refleksi Atas Semiotis‖, dalam

Jurnal Filsafat, thn 1 no.1, Jakarta.

Sumber-sumber Lain

Feibleman, James.K., 1940, ―Peirce‘s Phaneroscopy‖,

dalam Philosophy and Phenomenological

Research, Volume 1, No. 2 (Dec. 1940);

282

(http:www.jstor.org/stable/2102740)

Accessed:14/04/2010 01:12

Gorny, Eugene, 2005, ―What is Semiotics?‖,

(http‖//www.zhurnal.ru/staff/gorny/English/semioti

cs.htm), diakses pada tanggal 14 Juni 2005.

Haryatmoko, 2009, ―Petaka Hipermodernisme‖, dalam

Basis nomor 05-06, Tahun ke-58, Mei-Juni 2009.

Judowibowo, Poerwowidagdo, Tanpa Tahun, Filsafat

Bahasa, Diktat Kuliah pada Fakultas Filsafat

Universitas Gadjah Mada.

Marwoto dan Witdarmono., 2004, Proverbia Latina,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Ramirez, Alvaro, 2005, Don Quijote and the Age of

Simulacra, (http://www.jstor.org/stable/20063078)

Accessed:09/02/2011 05.11.

283

INDEKS

A

Acuan 18, 27-30, 48, 54-55, 132, 140, 174, 186,

190.

Analitis 1-15, 17, 31-33, 41, 45, 63, 65, 72, 91, 94,

96, 100, 104, 106-108, 111, 128, 229.

A priori 2-4, 6-8, 98-99.

A posteriori 3-4, 6-7.

Atomisme 9, 32, 45-46, 50, 54, 57, 62-65, 81, 90,

100, 106, 131-132, 174, 204.

Ayer 9, 13, 32, 89, 93-97, 99-103, 105, 131,

221.

Austin 9, 13, 129-145, 147-151, 191, 206, 212.

B

Bedeutung 28, 30.

Berger, Arthur Asa, 175-176, 179, 192-199, 201

C

Charlesworth 1, 47, 49-52, 90-93, 98, 100, 111-

112.

Codeswitching 188-189

284

Common sense 33, 38-39, 46, 221

E

Eco, Umberto 19, 180-182, 184-193, 213, 227, 2309-

232.

Elementer 45, 66, 71, 77, 84-86, 88-89

F

Feyerabend 165

Force 144, 149, 212

G

Games, language-games 112-115, 118-120, 123, 125-

126, 154, 156, 158-160, 168, 175, 178, 182, 189,

203, 208-209, 215.

H

Habermas 195-196.

I

Ideasi 18, 20-22.

Ikon 172, 174, 214, 219.

K

Kategori 50, 53, 56, 83, 100, 103-104.

L

285

Language 9, 16-17, 20-21, 107, 112-115, 117, 122,

125-126, 130, 156-160, 168-169, 175, 178, 181-

182, 189, 209, 215.

M

Moore, George-Edward 1, 9, 32-44, 51, 90-91, 100, 109.

P

Peirce, Charles-Sanders 196

Q

Quine 2, 6, 13-15.

S

Sinn 28

T

Tingkah Laku (Teori) 18, 23,-27, 102.

U

Utterance 130-132, 137, 148

W

Wittgenstein, Ludwig 9, 11, 13, 32, 46, 56-57, 59-92,

106-115, 117-123, 125-129, 131, 156-160,

165, 168-169, 176, 181, 189, 207-208, 211-

212.

286

GLOSARIUM

Per se (bhs Latin) artinya terbukti dengan sendirinya,

dengan sendirinya.

Analysis (Bahasa Yunani) analusis; artinya

membubarkan (dissolving) dan melepaskan

(loosening up).

Analysandum; sesuatu yang akan dianalisis.

Analysans, kegiatan menganalisis

Significans, Homo; sesuatu yang terkait dengan makna;

manusia merupakan mahluk hidup yang

berkempentingan dengan makna, sehinga dapat

diberi predikat homo significans, mahluk

pembuat makna

Simulacrum (Latin); simulare artinya meniru, mengarah-

arah; contoh yang menyamai

Simulatio; artinya kepura-puraan.