BAB I Proposal

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di Indonesia masih tinggi terutama pada balita, kasus kesakitan tiap tahun mencapai 260.000 balita. Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari 1000 balita, salah satu penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi rumah yang tidak sehat (Supraptini, 2006). Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004, di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase rumah sehat di Indonesia kategori baik mencapai 35,3%, kategori sedang 39,8% dan kategori kurang 24,9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar 80%, dari kategori rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target, sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2000). Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Lampung Timur (2010), rumah penduduk di Lampung Timur dapat dibedakan berdasarkan sifat bahannya yaitu yang terbuat dari batu atau gedung permanen sebanyak 6146 rumah, terbuat dari setengah batu atau semi permanen sebanyak 2399 rumah, terbuat dari kayu atau papan sebanyak 989 rumah, dan terbuat dari bambu 3187 rumah. Berdasarkan data tersebut rumah penduduk Kabupaten Lampung Timur masih banyak yang berkategori rendah, hal ini dapat memicu timbulnya penyakit ISPA (Dinas Kesehatan dan Sosial Lampung Timur, 2010).

Transcript of BAB I Proposal

Page 1: BAB I Proposal

BAB IPENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Angka kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di Indonesia masih tinggi

terutama pada balita, kasus kesakitan tiap tahun mencapai 260.000 balita. Pada akhir tahun 2000,

ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita

akibat ISPA sebanyak lima dari 1000 balita, salah satu penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi

rumah yang tidak sehat (Supraptini, 2006). Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS) tahun 2004, di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori

baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase rumah sehat di Indonesia kategori baik

mencapai 35,3%, kategori sedang 39,8% dan kategori kurang 24,9%. Target rumah sehat di

Indonesia sebesar 80%, dari kategori rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target,

sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2000).

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Lampung Timur (2010), rumah penduduk di Lampung

Timur dapat dibedakan berdasarkan sifat bahannya yaitu yang terbuat dari batu atau gedung

permanen sebanyak 6146 rumah, terbuat dari setengah batu atau semi permanen sebanyak 2399

rumah, terbuat dari kayu atau papan sebanyak 989 rumah, dan terbuat dari bambu 3187 rumah.

Berdasarkan data tersebut rumah penduduk Kabupaten Lampung Timur masih banyak yang

berkategori rendah, hal ini dapat memicu timbulnya penyakit ISPA (Dinas Kesehatan dan Sosial

Lampung Timur, 2010).

Berdasarkan profil Puskesmas Bandar Sribawono (2010), angka kejadian ISPA di Desa Bandar

Agung tahun 2008 sebanyak 697 kasus yang di dominasi pada golongan umur satu sampai 59

bulan dan tahun 2009 sebanyak 345 kasus yang didominasi pada umur satu sampai empat tahun.

Sedangkan tahun 2010 sebanyak 432 kasus ISPA dari bulan Januari sampai bulan November

sebanyak 203 kasus (Desa Bandar Agung 2010; Puskesmas Bandar Sribhawono 2008-2010).

Menurut Notoatmodjo (2003), rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan

akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses pertukaran

Page 2: BAB I Proposal

aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit ISPA

yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga menyebabkan peningkatan

kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit, oleh karena itu

kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri

penyebab penyakit ISPA.

Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit menular, terutama

ISPA (Taylor, 2002). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada

balita adalah kondisi fisik rumah, kebersihan rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara

dalam rumah (Iswarini dan Wahyu, 2006). Selain itu juga faktor kepadatan penghuni, ventilasi,

suhu dan pencahayaan (Ambarwati dan Dina, 2007).

Menurut Ranuh (1997), rumah yang jendelanya tidak memenuhi persyaratan menyebabkan

pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok

dapat terkumpul dalam rumah, bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut di dalam

rumah lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang

terserap di dinding tembok dan cahaya matahari pagi yang sulit masuk dalam rumah juga

memudahkan anak-anak terserang ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Yusup dan Sulistyorini

(2005), diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara ventilasi, pencahayaan dan

kepadatan penghuni dengan kejadian ISPA pada balita.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan di desa Bandar Agung pada tanggal 4-5 April 2011, bahwa

terdapat 20 rumah yang mempunyai sanitasi kurang baik seperti berlantai tanah, rumah tidak

mempunyai plafon, ventilasi yang tidak bisa dilalui sirkulasi udara dengan baik.  Sedangkan

kasus ISPA tahun 2010 dari bulan Januari sampai bulan November masih banyak yaitu 432

kasus.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “apakah ada Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada

Balita Di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur

Tahun 2011”.

Page 3: BAB I Proposal

1.2    Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1    Identifikasi Masalah

                 1.    Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima

dari  1000 balita, salah satu penyebab ISPA pada balita yaitu sanitasi rumah yang tidak sehat.

2.    Berdasarkan data Dinas Kesehatan dan Sosial tahun 2010 rumah

penduduk Kabupaten Lampung Timur masih banyak yang berkategori rendah, hal ini dapat

memicu timbulnya penyakit ISPA.

3.    Tahun 2010 sebanyak 432 kasus ISPA dari bulan Januari sampai

bulan November sebanyak 203 kasus (Desa Bandar Agung 2010; Puskesmas Bandar Sribhawono

2008-2010)

4.    Hasil survei pendahuluan di desa Bandar Agung pada tanggal 4-

5 April 2011, bahwa terdapat 20 rumah yang mempunyai sanitasi kurang baik seperti berlantai

tanah, rumah tidak mempunyai plafon, ventilasi yang tidak bisa dilalui sirkulasi udara dengan

baik.

1.2.2    Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa

Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur Tahun 2011?

1.3    Tujuan Penelitian

1.3.1    Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur tahun 2011.

1.3.2    Tujuan khusus

1.  Mengetahui hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar

Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur?

Page 4: BAB I Proposal

2.   Mengetahui hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur?

3.    Mengetahui hubungan antara kelembaban rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten

Lampung Timur?

4.    Mengetahui hubungan antara lantai rumah dengan kejadian

ISPA pada balita di di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten

Lampung Timur?

5.    Mengetahui hubungan antara dinding rumah dengan kejadian

ISPA pada balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung

Timur?

6.    Mengetahui hubungan antara plafon rumah dengan kejadian

ISPA pada  balita di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar

Sribhawono Kabupaten Lampung Timur?

1.4    Manfaat Penelitian

1.4.1    Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat yang mempunyai

balita yang menderita ISPA tentang pentingnya menjaga kondisi fisik rumah seperti ventilasi

yang memenuhi standar, pencahayaan yang cukup, kelembaban yang cukup, lantai, dinding, dan

atap rumah yang baik.

1.4.2    Bagi instansi terkait khususnya Puskesmas Bandar Sribhawono

Memberikan informasi agar dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan pada

program kepedulian pada balita yang terkena ISPA.

1.4.3    Bagi Peneliti

         Untuk aplikasi dan mengembangkan ilmu yang diperoleh dari institusi dalam penerapanya di

masyarakat.

Page 5: BAB I Proposal

BAB IILANDASAN PUSTAKA

2.1    Pengertian ISPA

Menurut Khaidirmuhaj (2008), ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas yang

meliputi infeksi mulai dari rongga hidung sampai denganepiglottis dan laring seperti demam,

batuk, pilek, infeksi telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis).

Menurut Anonim (2008), ISPA adalah penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya

dalam waktu satu sampai dua minggu, tetapi penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi (gejala

gawat) jika dibiarkan dan tidak segera ditangani.

2.2    Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA dapat dikelompokkan berdasarkan golongannya dan golongannya umur yaitu:

a.    Menurut Anonim (2008), ISPA berdasarkan golongannya:

1)    Pneumonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan 

paruparu (alveoli).

2)    Bukan pneumonia meliputi batuk pilek biasa (common cold),

radang  tenggorokan (pharyngitis), tonsilitis dan infeksi telinga (otitis media).

b.    Menurut Khaidirmuhaj (2008), ISPA dapat dikelompokkan

berdasarkan  golongan umur yaitu:

1)    Untuk anak usia 2-59 bulan :

a)    Bukan pneumonia bila frekuensi pernafasan kurang dari 50

kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan kurang dari 40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan,

serta tidak ada tarikan pada dinding dada.

b)    Pneumonia yaitu ditandai dengan nafas cepat (frekuensi

Page 6: BAB I Proposal

pernafasan sama atau lebih dari 50 kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan frekuensi pernafasan

sama atau lebih dari 40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan), serta tidak ada tarikan pada

dinding dada.

c)    Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan nafas cepat (fast 

breathing) dan tarikan dinding pada bagian bawah ke arah dalam (servere chest indrawing).

2)    Untuk anak usia kurang dari dua bulan :

a)    Bukan pneumonia yaitu frekuensi pernafasan kurang dari 60

kali permenit dan tidak ada tarikan dinding dada.

b)    Pneumonia berat yaitu frekuensi pernafasan sama atau lebih

dari  60 kali permenit (fast breathing) atau adanya tarikan dinding dada tanpa nafas cepat.

2.3    Etiologi ISPA

ISPA dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain genus

Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium.

Virus penyebabnya antara lain golongan Mexovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus,

Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Depkes RI, 2000).

2.4    Cara penularan

ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC (air conditioner), droplet dan melalui

tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui droplet,

kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial

bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

Padasinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat

menghasilkan superinfeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkanbakteri-bakteri patogen masuk

ke dalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008).

2.5    Pertolongan pertama penderita ISPA

Menurut Benih (2008), untuk perawatan ISPA di rumah ada beberapa hal yang dapat dilakukan

seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA yaitu:

2.5.1    Mengatasi panas (demam)

Page 7: BAB I Proposal

Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan

parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk.

Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara

pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan.

Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air

(tidak perlu di tambah air es).

2.5.2    Mengatasi batuk

Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu jeruk

nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan

tiga kali sehari.

2.5.3    Pemberian makanan

Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu

lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang

menyusu tetap diteruskan.

2.5.4    Pemberian minuman

Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya.

Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan menambah

parah sakit yang diderita.

2.5.5    Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada

anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Diusahakan lingkungan tempat

tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan di

rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas

kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di atas diusahakan

agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari penuh dan setelah dua

hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.

2.6    Pencegahan ISPA

Page 8: BAB I Proposal

Menurut Benih (2008), pencegahan ISPA ada empat yaitu :

a.    Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

b.    Melakukan immunisasi.

c.    Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

d.    Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

2.7    Sanitasi Fisik Rumah

2.7.1    Pengertian rumah

Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal

atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Menurut Dinkes (2005), secara umum rumah dapat

dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu:

a.    Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan,

penghawaan, ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

b.    Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy yang cukup,

komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

c.    Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar  

penghuni rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas

vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, dan cukup sinar matahari

pagi.

d.    Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik

yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak mudah

roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.

Menurut Dinkes (2005), rumah sehat adalah proporsi rumah yang memenuhi criteria sehat

minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan

perilaku) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi kriteria

sehat pada masingmasing parameter adalah sebagai berikut:

1)    Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-

langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana pembuangan

asap dapur, dan pencahayaan.

2)    Minimum dari kelompok sarana sanitasi adalah sarana air

Page 9: BAB I Proposal

bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan air limbah (SPAL), dan sarana

pembuangan sampah.

3)    Perilaku Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada

pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakan sebagai tempat berlindung yang

mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990). Sarana sanitasi tersebut antara lain

ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan rumah,

sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air. Sanitasi

rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA.

Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA (Azwar,

1990).

Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan jasmani dan rohani

yang memudahkan terjangkitnya penyakitdan mengurangi daya kerja atau daya produktif

seseorang. Rumah tidaksehat ini dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan,

jikakondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulanrumah (lingkungan

pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman pada dasarnya

disebabkan karena tingkatkemampuan ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun

berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

2.7.2    Ventilasi

Menurut Sukar (1996), ventilasi adalah proses pergantian udara segar ke dalam dan

mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan.

Berdasarkan kejadianya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu:

a.    Ventilasi alamiah

Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara

alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah dapat juga

menggerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.

b.    Ventilasi buatan

Page 10: BAB I Proposal

Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat

tersebut diantaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC.

Menurut Dinata (2007), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:

1)    Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai

ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal lima

persen dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.

2)    Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau

pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.

3)    Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan

lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh

barang- barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat, dan lain-lain.

Menurut Dinata (2007), secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara

membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan rollmeter.

Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan

adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.

2.7.3    Pencahayaan Alami

Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteribakteri patogen di dalam

rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat

harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya

sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah

(Azwar, 1990). Pencahayaan alami menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika besarnya antara

60–120 lux dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang perlu

diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung

masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di

samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun

harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan

menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di tengahtengah tinggi dinding (tembok).

Page 11: BAB I Proposal

2.7.4    Kelembaban

kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan

meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga

dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Menurut Suryanto (2003), kelembaban dianggap

baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%. Kelembaban

berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu

udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang

memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang

semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan (Krieger dan Higgins,

2002).

2.7.5    Lantai

Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi

standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA.

Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus

kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik

kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002).

2.7.6    Dinding

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di daerah tropis

khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu. Hal ini disebabkan

masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti

papan, kayu dan bamboo dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti

ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi

terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga

akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman (Suryanto , 2003).

2.7.7    Plafon

            Rumah yang sehat hendaknya mempunyai plafon. Plafon yang memenuhi sarat kesehatan adalah

yang terbuat dari bahan triplek. Plafon yang tidak memenuhi sarat adalah yang terbuat dari bahan

Page 12: BAB I Proposal

geribik dan rumah yang tidak memiliki plafon. Tinggi minimum 2,4 meter, sebaiknya 3-4 meter

(WHO) berfungsi agar matahari tidak dirasakan langsung.

2.8    Kerangka Teori

2.8.1    Kerangka teori pada dasarnya adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan untuk

mengidentifikasi variable-variabel yang akan di teliti atau di ambil yang berkaitan dengan

konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian

(Notoatmodjo),2005). Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka, maka dapat di buat kerangka

teori sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori

 

                       : Variabel diteliti                       : Variabel tidak diteliti

Page 13: BAB I Proposal

BAB IIIKERANGKA KERJA

3.1    Kerangka Kerja

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka kerangka konsep dari hubungan antara sanitasi fisik

rumah dengan  kejadian ispa pada balita dapat dilihat pada kerangka dibawah ini:

Gambar 3.1  Kerangka Konsep

3.2    Variabel Penelitian

3.2.1    Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sanitasi fisik rumah yang meliputi ventilasi,

pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding, dan plafon rumah.

3.2.2    Variabel terikatVariabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA padabalita.

3.3    Definisi Operasional VariabelTabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

No Variabel DO Cara Alat Ukur Hasil Skala

Page 14: BAB I Proposal

Ukur1 Ventilasi Lubang angin untuk

proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluar-kan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan.

observasi Rollmeter 0= Tidak baik

(<10% dari luas

lantai)

1= Baik (≥10%

dari luas lantai)

Ordinal

2 Pencahayaan alami

Penerangan rumah secara alami oleh sinar matahari untuk mengurangi ke-lembaban dan membunuh bakteri penyebab ISPA.

observasi Luxmeter 0= Tidak baik (<60 lux atau >120 lux)

1= Baik(60-120 lux)

Ordinal

3 Kelembaban Kandungan uap air yang dapat di-pengaruhi oleh sirkulasi udara dalam rumah dan pencahayaan yang masuk dalam rumah.

observasi Hygrometer 0= Tidak baik (<40% atau >70%)

1= Baik(40-70%)

Ordinal

4 Lantai Jenis bahan atau alas dasar penutup rumah bagian bawah, dinilai dari segi bahan dan kedap air.

observasi Check list 0= Tidak baik : bila tidak kedap air (terbuat dari tanah)

1= Baik : bila kedap air(terbuat dari kramik, semen dan ubin)

Ordinal

5 Dinding Kualitas dinding dinilai dari segi kontruksi bangunan. Permanen jika dibuat dari bahan kayu yang

observasi Check list 0= Tidak baik : Bila semi permanen, bambu dan kayu atau

Ordinal

Page 15: BAB I Proposal

dirapatkan atau tembok yang diplester dan dicat, non permanen jika dibuat ½ tembok atau papan/bambu yang tidak dirapatkan atau bahan yang kasar permukaannya.

papan

1= Baik : Bila Permanen

6 Plafon Jenis bahan atau alas penutup rumah Bagian atas, dinilai dari ada tidaknya plafon.

observasi Check list 0= Tidak baik : bila tidak ada plafond dan ada plafon tapi tidak bisa melindungi kotoran dari atap.

1= Baik : bila ada plafon dan bisa melindungi dari kotoran atap.

Ordinal

7 Kejadian ISPA Merupakan infeksi

saluran pernafasan

atas pada balita usia

nol sampai lima

tahun yang di tandai

dengan batuk pilek,

demam, sakit telinga

(otitis media), dan

radang tenggorokan

(faringitis)

Angket Recall0 =  Pernah1 =  Tidak pernah

Ordinal

Page 16: BAB I Proposal

3.4       Hipotesis

1. Ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung

Kecamatan Bandar Sribhawono.

2. Ada hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono.

3. Ada hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar

Agung Kecamatan Bandar Sribhawono.

4. Ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono.

5. Ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung

Kecamatan Bandar Sribhawono.

6. Ada hubungan antara plafon rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Bandar Agung

Kecamatan Bandar Sribhawono.

Page 17: BAB I Proposal

BAB IVMETODELOGI PENELITIAN

4.1    Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu

rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor

penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individu-individu

dari populasi tunggal, pada suatu saat atau periode (Murti, 1997).

4.2    Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah seluruh rumah yang di dalamnya terdapat balita berusia nol

sampai lima tahun di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono.

4.3    Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono dan dilaksanakan

pada bulan Juni 2011.

4.4    Metode Penetapan Sampel

4.4.1   Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua Kepala keluarga yang mempunyai balita berusia nol sampai

lima tahun di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono yang berjumlah 426 Kepala

Keluarga.

4.4.2   Sampel pada penelitian

Besar sampel dapat dihitung dengan rumus Khotari (1990). Teknik pengambilan sampel yang

akan digunakan adalah cluster random

sampling yaitu suatu pencuplikan di mana unit pencuplikan adalah kelompok (misalnya dukuh

atau rumah tangga) bukan individu dan klaster yang dipilih secara random dari populasi (Murti,

2006). Karena pencuplikan sampel adalah cluster random sampling dengan jumlah populasi 62

KK dari 426 KK. Denga rumus sebagai berikut :

Page 18: BAB I Proposal

=

Jadi sampel yang diambil sebanyak 62 KK

Keterangan :

n : Besar sampel

N : Besar populasi

P : Perkiraan proporsi (prevalensi) variabel dependen pada populasi (95%)

q : 1-p

Z1-α/2 : Statistik Z (Z = 1,96 untuk α = 0,05)

d : Delta presisi absolut atau margin of error yang diinginkan di kedua sisi

proporsi (±5%).

4.4.3   Kriteria inklusi dan Eksklusi

a.  Kriteria inklusi atau kriteria subjek yang memenuhi syarat sebagai

sampel penelitian ini adalah :

1) Merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan memiliki rumah di Desa Bandar

Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono.

2)  Mempunyai balita berusia nol sampai lima tahun dalam setiap KK.

3)   Bersedia menjadi responden.

b. Kriteria eksklusi atau kriteria subjek yang tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini

adalah :

Page 19: BAB I Proposal

1) Bukan merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan tidak memiliki rumah di Desa

Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono.

2) Tidak mempunyai balita berusia nol sampai lima tahun dalam setiap KK

3)  Tidak bersedia menjadi responden.

4.5    Data

4.5.1    Data primer

Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada responden dengan

menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur, observasi dan pengukuran dilakukan pada

sanitasi fisik rumah meliputi Ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding dan

plafon.

4.5.2    Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi kesehatan seperti dinas kesehatan kabupaten atau

kota, puskesmas serta kantor kepala desa yang meliputi data jumlah kasus, gambaran umum

lokasi penelitian dan data demografi.

4.5.3    Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan pengukuran. Wawancara secara

langsung ditujukan kepada ibu yang memiliki balita dengan menggunakan pedoman wawancara

semi terstruktur, observasi dan pengukuran mengenai sanitasi fisik rumah dilakukan dengan

menggunakan peralatan untuk mengukur luas ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai,

dinding, dan plafon rumah.

4.6    Jalannya Penelitian

Peneliti mengadakan survei awal ke Puskesmas Desa Bandar Sribhawono untuk meminta ijin

mencari data Desa dengan jumlah kasus ISPA selama 3 tahun terakhir. Kemudian datang ke

kantor Kelurahan Bandar Sribhawono untuk mencari data monografi, dan datang ke Posyandu

pada setiap dusun untuk mencari data jumlah KK yang mempunyai balita. Penelitian dilakukan

Page 20: BAB I Proposal

dengan mengadakan observasi langsung pada lantai, dinding dan plafon rumah, sedangkan

pengukuran langsung pada ventilasi, pencahayaan alami dan kelembaban rumah.

4.7    Metode Analisis Data

4.7.1    Analisis univariat

Analisis univariat (analisis persentase) dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi

masing-masing, baik variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen) maupun deskripsi

karakteristik responden.

4.7.2    Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square

dengan rumus :

Keterangan :

x² : chi square

O : frekuensi observasi

E : frekuensi harapan

Menurut Budiarto (2001), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan tingkat

kepercayaan 95% :

a. Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.

b. Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

4.8    Pengolahan Data

Menurut Budiarto (2001), kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi:

1.    Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban,  

konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.

2.    Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses

pengolahan data.

a.        Variabel Ventilasi

Alat ukur: RollmeterKode 0    = Tidak baik (<10% dari luas lantai)

1      = Baik (≥10% dari luas lantai)

Page 21: BAB I Proposal

b.        Variabel Pencahayaan alamiAlat ukur: LuxmeterKode 0     = Tidak baik (<60 lux atau >120 lux)

1        = Baik (60-120 lux)

c.        Variabel KelembabanAlat ukur: Hygrometer

Kode 0                 = Tidak baik (<40% atau >70%)1          = Baik (40-70%)

d.       Variabel LantaiAlat ukur: Check list

Kode 0                 = Tidak baik : bila tidak kedap air (terbuat dari tanah)1                 = Baik : bila kedap air (terbuat dari kramik, semen dan  

    ubin)

e.        Variabel DindingAlat ukur: Checlist

Kode: 0    = Tidak baik : Bila semi permanen, bambu dan kayu atau papan1        = Baik : Bila Permanen

f.         Variabel PlafonAlat ukur: Checklis

Kode: 0    = Tidak baik : bila tidak ada plafond dan ada plafon tapi tidak bisa melindungi kotoran dari atap.

1     = Baik : bila ada plafon dan bisa melindungi dari kotoran atap.

g.        Variabel Kejadian IspaAlat ukur: Recall

Kode: 0     =  Pernah1         =  Tidak pernah

3.    Entry, memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.

4.    Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan

diteliti guna memudahkan analisis data.

4.9     Alat Penelitian

Page 22: BAB I Proposal

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.        Kuisioner.

2.        Pedoman observasi.

3.        Formulir isian pengukuran.

4.        Rollmeter.

5.        Luxmeter.

6.        Hygrometer.4.10   Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah:

1. Alat tulis ( computer )

2. Buku-buku referensi sebagai bahan pertimbangan