BAB I PENDAHULUAN -...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Konflik kekerasan yang terjadi di Halmahera pada akhir tahun 1999 sampai dengan pertengahan tahun 2000, telah meninggalkan sejumlah kenangan pahit dan menyedihkan bagi kehidupan masyarakat. Berawal dari tindakan provokasi oleh beberapa oknum tertentu dengan menyebarkan isu ’perang agama’ dalam konteks kerusuhan Ambon dan Kao-Malifut, 1 telah mengakibatkan sejumlah tatanan kehidupan masyarakat rusak. Mulai dari harta dan nyawa manusia hilang secara sadis, sampai pada struktur masyarakat yang mula-mula menjunjung tinggi sikap kekeluargaan dan saling hormat menghormati, berubah menjadi saling membenci dan saling membunuh. Masyarakat yang beragama Islam dan Kristen saling menyerang dan membinasakan. Tri Ratnawati seorang peneliti dari LIPI, mencatat: jumlah korban jiwa akibat konflik tersebut mencapai 4000 orang, disamping rusaknya sejumlah infrastruktur dalam masyarakat. 2 Nampaknya agama telah dipakai sebagai alat, bahkan penyebab timbulnya kejahatan dan kekerasan di Halmahera. Kini, setelah ada upaya transformasi konflik yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti: Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Gereja, maka keadaan yang penuh kekacauan dan krisis itu perlahan-lahan dapat diatasi. Situasi kembali stabil dan semua orang mulai membangun lagi. 1 Konflik Ambon berawal 19 Januari 1999. Konflik Kao-Malifut tahap pertama 18-20 Agustus 1999, dan tahap kedua 24 Oktober 1999. Dalam: Ruddy Tindage, Damai Yang Sejati: Rekonsiliasi Di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi. (Jakarta: YAKOMA-PGI, 2006), hlm. 8-15. 2 Tri Ratnawati, Maluku Dalam Catatan Seorang Peneliti, (Yogyakarta-Jakarta: Pustaka Pelajar- P2P.LIPI, 2006), hlm. 73. Lihat juga: Syafuan Rozi, et. al, (ed). Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi konflik di Indonesia, (Jakarta-Yogyakarta: P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Konflik kekerasan yang terjadi di Halmahera pada akhir tahun 1999 sampai

dengan pertengahan tahun 2000, telah meninggalkan sejumlah kenangan pahit dan

menyedihkan bagi kehidupan masyarakat. Berawal dari tindakan provokasi oleh

beberapa oknum tertentu dengan menyebarkan isu ’perang agama’ dalam konteks

kerusuhan Ambon dan Kao-Malifut,1 telah mengakibatkan sejumlah tatanan kehidupan

masyarakat rusak. Mulai dari harta dan nyawa manusia hilang secara sadis, sampai

pada struktur masyarakat yang mula-mula menjunjung tinggi sikap kekeluargaan dan

saling hormat menghormati, berubah menjadi saling membenci dan saling membunuh.

Masyarakat yang beragama Islam dan Kristen saling menyerang dan membinasakan.

Tri Ratnawati seorang peneliti dari LIPI, mencatat: jumlah korban jiwa akibat konflik

tersebut mencapai 4000 orang, disamping rusaknya sejumlah infrastruktur dalam

masyarakat.2 Nampaknya agama telah dipakai sebagai alat, bahkan penyebab

timbulnya kejahatan dan kekerasan di Halmahera.

Kini, setelah ada upaya transformasi konflik yang dilakukan oleh berbagai

pihak seperti: Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Gereja, maka

keadaan yang penuh kekacauan dan krisis itu perlahan-lahan dapat diatasi. Situasi

kembali stabil dan semua orang mulai membangun lagi.

1 Konflik Ambon berawal 19 Januari 1999. Konflik Kao-Malifut tahap pertama 18-20 Agustus 1999, dan tahap kedua 24 Oktober 1999. Dalam: Ruddy Tindage, Damai Yang Sejati: Rekonsiliasi Di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi. (Jakarta: YAKOMA-PGI, 2006), hlm. 8-15. 2 Tri Ratnawati, Maluku Dalam Catatan Seorang Peneliti, (Yogyakarta-Jakarta: Pustaka Pelajar-P2P.LIPI, 2006), hlm. 73. Lihat juga: Syafuan Rozi, et. al, (ed). Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi konflik di Indonesia, (Jakarta-Yogyakarta: P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3.

2

Salah satu fenomena menarik dalam proses pembangunan masyarakat

Halmahera di era pasca konflik adalah pembangun pusara3 korban. Umumnya pusara

korban dibangun secara permanen di sejumlah lokasi khusus, terutama di halaman

rumah ibadah. Dalam pengamatan penulis, hampir di seluruh halaman gedung gereja

dan beberapa mesjid tempat terjadinya konflik, telah didirikan sejumlah pusara untuk

para korban. Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan melihat fenomena tersebut

adalah: mengapa pusara korban harus dibangun di sejumlah lokasi khusus, terutama di

halaman rumah ibadah? Apa arti realita itu bagi upaya rekonsiliasi? Bukankah dengan

membangun pusara korban seperti itu, dapat menyebabkan masyarakat dan keluarga

korban akan selalu dibayang-bayangi oleh kenangan masa lalunya, sehingga dapat

menimbulkan niat untuk balas dendam?

Berkaitan dengan hal itu, Rene Girard4 seorang kritikus sastra asal Prancis

menegaskan bahwa tradisi membangun dan memelihara pusara korban tindak

kekerasan dapat berakibat pada kontinuitas tindak kekerasan dalam masyarakat.

Mengutip perkataan Yesus dalam Injil Lukas 11:47-48:

”Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi dan kamu membuat makamnya”,

Girard menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dalam teks tersebut pertama-tama ingin

membangun pusara para nabi yang dibunuh oleh leluhur mereka, bertujuan untuk

menghormati dan menghargai para nabi, tetapi pada saat yang sama mereka juga telah

menelanjangi dan membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh leluhur

3 Pusara artinya: kubur atau kuburan. Dalam: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Eds III), (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 926. 4 Dalam: Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-246.

3

mereka. Mereka seolah-olah mau melepas tangannya dari peristiwa pembunuhan,

tetapi justru melalui pembangunan pusara para nabi itu, mereka memperlihatkan diri

bahwa mereka juga terlibat dalam lingkaran peristiwa pembunuhan tersebut. Jadi

melalui pembangunan pusara para nabi, menurut Girard orang Yahudi secara langsung

membenarkan dan mendukung tindak kekerasan dan pembunuhan yang telah dilakukan

oleh leluhur mereka.

Berangkat dari pemikiran seperti itu, dapat dikatakan bahwa fenomena

pembangunan pusara korban memperlihatkan tentang sesuatu yang tidak dapat

disangkal oleh masyarakat, yaitu bahwa pembunuhan yang terjadi pada masa lampau

tidak dapat disembunyikan pada masa kini. Bahkan fenomena itu sekaligus juga

memperlihatkan bahwa para pembangun pusara korban adalah orang-orang yang

mendukung fakta pembunuhan itu. Menurut Girard inilah mental yang ada di sekitar

fenomena pembangunan pusara korban tindak kekerasan. Pembunuhan menghendaki

adanya pembangunan pusara korban, dan pembangunan pusara korban menghendaki

adanya pembunuhan berikutnya.

Berdasarkan pemikiran Girard tersebut, maka keberadaan pusara korban

yang ada di Halmahera tersebut perlu dipertanyakan dampaknya terhadap kehidupan

masyarakat. Jangan sampai dengan adanya sejumlah pusara korban yang dibangun

secara permanen di sejumlah lokasi khusus tersebut, dapat menyebabkan kehidupan

masyarakat berada dalam siklus kekerasan yang tidak dapat diputuskan. Akhirnya

dapat mengganggu juga upaya-upaya dalam rangka membangun perdamaian dan

rekonsiliasi.

4

B. Judul dan Penjelasan.

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka penulis memberi judul

tesis ini adalah ”Rekonsiliasi Halmahera di Sekitar Pusara Korban”, dengan sub judul

”Kajian Teologi Sosial”. Dari judul dan sub judul tersebut, penulis membagi

pengertiannya dalam tiga bagian, yakni: ”Rekonsiliasi Halmahera”, ”di Sekitar Pusara

Korban”, dan ”Kajian Teologi Sosial”.

Pertama, kalimat ”Rekonsiliasi Halmahera”. Kata rekonsiliasi yang terpakai

di sini berarti: upaya memulihkan kembali kerukunan atau persahabatan antara dua

pihak yang sebelumnya pernah renggang atau terganggu karena konflik. Kata

rekonsiliasi dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris

yaitu reconciliation, yang berarti: ’perdamaian atau perukunan kembali.5 Dalam

diskursus teologi, aslinya kata reconciliation berasal dari kata Yunani kattalaso (kata

kerja, yang terdapat dalam Roma 5:10, 1 Korintus 7:11, 2 Korintus 5:18, 19, 20), dan

apokattalaso (kata kerja, yang terdapat dalam Efesus 2:16, Kolose 1:20, 22). Sekalipun

kata dasar kattalaso (mendamaikan, merekonsiliasikan) tersebut dalam kesusasteraan

Yunani dipakai secara sekuler (yang menunjuk pada situasi pemulihan hubungan antara

manusia), namun dalam perbendaharaan teologi (terutama teologi Paulus), kata tersebut

telah dipakai secara khusus untuk memperlihatkan pemulihan hubungan antara Allah

dan manusia.6 Dalam tesis ini, kata rekonsiliasi dipakai juga dengan maksud yang

sama. Selain memperlihatkan adanya proses pemulihan hubungan antara manusia

dengan sesamanya, kata ini (rekonsiliasi) juga dipakai untuk memperlihatkan

5 David Noel Freedman (ed), Eermands Dictionary of the Bible, (Michigan-Chambrigde:Grand Rapids-Wiliam B. Eerdmans Publishing Company, 2000), p. 112. Juga dalam: John M Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 470. 6 Yusak Tridarmanto, ‘Perdamaian dan Rekonsiliasi: Telaah Dari Sisi Perjanjian Baru’, dalam Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (ed), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Praksis, (Yogyakarta: Pusat Studi Feminis UKDW, 2004), hlm. 15-20.

5

pemulihan hubungan antara Allah dengan manusia. Bahkan makna pemulihan

hubungan antara Allah dan manusia itulah yang akan menjadi dasar dan semangat (roh)

bagi pemulihan hubungan antara manusia dengan sesamanya.

Sedangkan Halmahera lebih menunjuk pada daerah yang menjadi objek

penelitian dalam tesis ini. Halmahera adalah pulau yang terbesar di propinsi Maluku

Utara dengan luas 20.585 km², panjang 170 km, dan lebar 80 km.7 Secara etimologis,

kata Halmahera berasal dari bahasa Ternate alu ma eira, yang artinya lunas perahu.8

Secara pemerintahan (sejak 1999) pulau ini terbagi dalam lima (5) wilayah Kabupaten

yakni, Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera

Selatan, dan Halmahera Utara. Jika kata Halmahera ini dihubungan dengan kata

rekonsiliasi, maka yang dimaksudkan dengan Rekonsiliasi Halmahera dalam judul tesis

ini adalah ”proses pemulihan hubungan antara masyarakat yang beragama Kristen dan

yang beragama Islam di pulau Halmahera”.

Kedua, kalimat di Sekitar Pusara Korban. Kalimat ini terdiri dari kata di

sebagai penunjuk kata depan yang menandai tempat,9 Sekitar yang berarti ’sekeliling’,10

Pusara yang artinya ’kubur atau kuburan’,11 dan Korban yang berarti: ’orang yang mati

akibat tertimpa bencana’,12 dalam hal ini peristiwa kerusuhan. Jadi kalimat di Sekitar

Pusara Korban berarti: ’di sekeliling kubur orang-orang yang mati akibat kerusuhan’.

Jika pengertian ini dihubungkan dengan bagian pertama dari judul tesis ini, yakni

Rekonsiliasi Halmahera, maka pengertian judul tesis ini adalah ”proses pemulihan

7 Ruddy Tindage, Damai Yang Sejati; Rekonsiliasi di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi, hlm. 2. 8 Kemungkinan nama itu diberikan berkaitan dengan kisah seorang saudagar Arab yang bernama Ibnu Harta Zaba, yang perahunya terdampar di suatu tempat di pulau Halmahera, yang kemudian disebut alu ma eira. Dalam: M. Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Jakarta: CV Nasional, 1984), hlm. 8. 9 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 290. 10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 1054. 11 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 926. 12 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 615.

6

hubungan antara masyarakat yang beragama Kristen dan Islam di Halmahera, yang

dilakukan di sekeliling kubur orang-orang yang mati akibat peristiwa kerusuhan tahun

1999-2000”.

Ketiga, kalimat Kajian Teologi Sosial. Kata kajian berasal dari kata dasar

’kaji’ yang diberi akhiran ’-an’, dapat berarti ’penyelidikan’.13 Sedangkan Teologi

Sosial berarti suatu pendekatan teologi atau suatu upaya berteologi yang dilakukan

dengan cara berdialog dengan ilmu-ilmu lain (interdisipliner) dalam rangka menjawab

segenap persoalan yang sedang dihadapi oleh gereja di tengah masyarakat. Berdialog

dengan ilmu lain yang dimaksudkan di sini ialah berdialog dengan ilmu sosial.14 Jadi

pengertian sub judul tersebut lebih mengarah kepada suatu proses penyelidikan atau

pendekatan yang akan penulis gunakan dalam rangka pembahasan tesis ini, yaitu dengan

cara membangun suatu dialog secara kritis berdasarkan ilmu sosial dan teologi.

Dengan begitu, maka secara keseluruhan pengertian dari judul dan sub judul

tesis ini dapat dirumuskan sebagai suatu upaya penyelidikan yang dilakukan berdasarkan

ilmu sosial dan teologi, terhadap proses pemulihan hubungan antara masyarakat yang

beragama Kristen dan Islam di Halmahera, yang terjadi di sekeliling kubur orang-orang

yang mati akibat peristiwa kerusuhan tahun 1999-2000.

C. Permasalahan Teologis dan Fokus Penelitian.

Berangkat dari latar belakang permasalahan dan penjelasan judul tesis di

atas, maka secara teologis rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: mungkinkah

tercipta rekonsiliasi yang sejati di antara masyarakat Halmahera yang beragama Islam

13 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 507. 14 J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 23-31.

7

dan Kristen, jika setiap hari selalu menyaksikan sejumlah pusara korban? Berdasarkan

rumusan masalah tersebut, menurut penulis kajian dan analisa terhadap penghayatan

dan pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban, menjadi hal

yang penting. Paling tidak dengan memahami bentuk-bentuk penghayatan dan

pemahaman masyarakat Halmahera tentang realita pusara korban, maka dampak yang

ditimbulkan olehnya dapat dipahami, dimengerti, dan diantisipasi. Atas dasar pemikiran

seperti itu, maka hal-hal yang akan dikaji dalam tulisan ini berorientasi pada tiga (3)

pertanyaan sebagai berikut:

1). Apa tujuan pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah?

2). Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap realita pusara korban di halaman

rumah ibadah?

3). Dapatkah rekonsiliasi dilakukan di sekitar pusara korban?

D. Tujuan Penulisan.

Berdasarkan tiga (3) fokus penelitian tersebut di atas, maka tujuan dari

penulisan tesis ini adalah:

1). Menganalisa dan merumuskan latar belakang dan tujuan pembangunan pusara

korban di halaman rumah ibadah.

2). Menganalisa dan merumuskan pemahaman masyarakat terhadap realita pusara

korban di halaman rumah ibadah.

3). Menganalisa dan merumuskan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk

membangun rekonsiliasi di sekitar pusara korban.

8

E. Metode dan Tempat Penelitian.

Untuk membahas persoalan tersebut penulis akan menggunakan dua metode

penelitian; yakni penelitian lapangan dan penelitian pustaka.

Pertama, dalam rangka melakukan penelitian lapangan, penulis akan

menggunakan metode penelitian kualitatif-fenomenologis, yaitu suatu pendekatan

penelitian lapangan yang mengedepankan pemeriksaan terhadap pengalaman dan

kesadaran (worldview) masyarakat yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu.15

Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan fenomena tertentu itu adalah fenomena

yang berkaitan dengan realita pusara korban yang ada di sejumlah lokasi khusus,

terutama di halaman rumah ibadah di Halmahera. Pertanyaan mendasar di sini adalah:

mengapa ada sejumlah pusara korban di halaman rumah ibadah? Apa tujuan dan

manfaat dari pembangunan itu? Bagaimana hal itu dilakukan? Bagaimana masyarakat

menghayati dan memaknainya?

Selanjutnya, dalam rangka memperoleh data lapangan tersebut, maka

penulis akan melakukan kegiatan wawancara terhadap sejumlah orang (narasumber)

yang dianggap dapat memberi masukan tentang hal tersebut. Narasumber dalam

penelitian ini terdiri dari keterwakilan keluarga korban dan masyarakat, serta

pemerintah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja di

daerah-daerah dimana telah dibangun sejumlah pusara untuk para korban. Narasumber

ini akan dipilih secara sengaja dan berlanjut, untuk kemudian diadakan wawancara

yang mendalam dan pemeriksaan ulang hasil wawancara tersebut. Tujuannya adalah

15 Andreas B. Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif &Kualitatif; Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), hlm. 111-113.

9

untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang, tujuan, fungsi, dan manfaat

pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah.

Kedua, seluruh hasil dari pengumpulan data lapangan tersebut akan penulis

analisa dan refleksikan berdasarkan penelitian pustaka. Penelitian pustaka ini

dilakukan dalam rangka memperoleh dua hal penting. Pertama, memperoleh gambaran

dan pengetahuan tentang akibat yang ditimbulkan oleh pemahaman masyarakat

Halmahera terhadap realita pusara korban dalam hubungannya dengan upaya dan

proses rekonsiliasi. Kedua, dalam rangka memberi sumbangan pemikiran kepada

masyarakat di Halmahera untuk membangun rekonsiliasi di sekitar pusara korban.

Untuk maksud yang pertama, penulis akan membuat analisa secara sosiologis

berdasarkan teori sosial, sedangkan untuk maksud yang kedua penulis akan membuat

suatu refleksi secara etis teologis. Dalam analisa dan refleksi tersebut, penulis akan

memanfaatkan sejumlah pendapat ahli yang berbicara tentang pokok yang relevan.

Sedangkan tempat penelitian akan berlangsung di tiga wilayah Kecamatan,

yaitu Kecamatan Galela Timur, Kecamatan Galela Selatan, dan Kecamatan Galela

Barat, di wilayah Kabupaten Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara. Pemilihan tiga

daerah kecamatan tersebut didorong oleh alasan karena hampir di setiap desa di tiga

wilayah kecamatan tersebut, terdapat lokasi pusara untuk para korban yang dibangun

secara khusus dan permanen di halaman rumah ibadah.

10

F. Landasan Teoretis.

Untuk membahas persoalan yang telah dirumuskan di atas, penulis akan

mendasarkan pemikiran kepada dua (2) orang ahli dengan teorinya masing-masing,

sebagai berikut:

F.1. Tradisi Menghormati Jasad Yang Berjasa Simbol Mekanisme Kambing

Hitam.

Umumnya pembangunan pusara yang dilakukan secara khusus dan permanen

di sejumlah lokasi khusus, dimaksudkan sebagai wujud penghormatan dan penghargaan

dari orang-orang yang masih hidup terhadap orang-orang yang sudah mati. Hal seperti

ini nampaknya merupakan gejala yang berlaku hampir di setiap kebudayaan manusia.

Dalam dunia kekerasan, Rene Girard seorang kritikus sastra asal Perancis,

yang pemikirannya dibahas oleh Sindhunata dalam ”Kambing Hitam Teori Rene

Girard” berpendapat bahwa tradisi membangun dan memelihara pusara orang mati

tersebut, pada dasarnya berhubungan erat dengan konsep ’mekanisme kambing hitam’

yang selalu terjadi dalam masyarakat. Membahas perkataan Yesus dalam Injil Matius

23:34-36 (Terjemahan Baru (TB) Lembaga Alkitab Indonesia (LAI):

”Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah16 orang-orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang yang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!”.

16 Tulisan miring tersebut merupakan buatan penulis untuk lebih memperlihatkan pemikiran Girard tentang prose atau’mekanisme kambing hitam’ yang ada dalam pemikiran Yesus berdasarkan teks itu.

11

Girard menegaskan bahwa kata-kata Yesus tersebut mengandung suatu kebenaran

tentang pembongkaran proses dan ’mekanisme kambing hitam’ yang selalu ada dalam

setiap agama dan kultur masyarakat. Sekalipun kata-kata tersebut ditujukan oleh Yesus

kepada masyarakat Yahudi, tetapi menurut Girard justru masyarakat Yahudi dalam teks

itu merupakan wakil dari seluruh masyarakat, karena dasar dari kata-kata Yesus adalah

Kitab Suci. Menurut Girard, Kitab Suci pada jaman Yesus merupakan dasar untuk

menjelaskan suatu realita kemanusiaan secara umum.17

Hal ke-universal-an itu, menurut Girard akan semakin jelas, jika

membandingkan teks tersebut dengan rumusan lain oleh penginjil Lukas dalam pasal

11:50-51 (TB LAI):

”...... supaya dari angkatan ini dituntut darah semua nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan,18 mulai dari darah Habel sampai kepada darah Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan rumah Allah. Bahkan, Aku berkata kepadamu: Semuanya itu akan dituntut dari angkatan ini.”

Kalimat ’sejak dunia dijadikan’ menurut Girard adalah gambaran dari pandangan Yesus

tentang konteks universal yang menjadi sasaran ungkapanNya. Oleh karena kalimat

’sejak dunia dijadikan’ merupakan terjemahan dari kata Yunani apokataboles kosmou,

maka yang dimakudkan dengan proses penjadian dunia dalam teks itu adalah suatu

proses penjadian dunia yang terjadi sebagai akibat dari suatu krisis kekerasan. Kata

kataboles dalam teks tersebut, menurut Girard mengandung pengertian tentang tata tertib

dan ketenteraman masyarakat, sejauh berasal dari kekacauan sebelumnya.19

17 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-243. 18 Tulisan miring tersebut merupakan buatan penulis untuk lebih memperlihatkan pemikiran Girard tentang konsep universal dari proses dan mekanisme kambing hitam dalam pemikiran Yesus berdasarkan teks itu. 19 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 240.

12

Realita ’mekanisme kambing hitam’ yang dimaksudkan oleh Girard dalam

kedua teks tersebut terlihat jelas pada nama dua (2) orang yang secara eksplisit tertulis

dalam teks itu, yakni Habel sebagai orang pertama dan Zakharia sebagai orang terakhir,

yang telah dibunuh tanpa kesalahan oleh orang-orang Yahudi. Kedua orang tersebut

menurut Girard, adalah dua (2) nama yang sempat tertulis dalam Kitab Suci sebagai yang

mewakili sejumlah orang yang tidak disebutkan namanya, yang mati dibunuh sebagai

akibat dari proses dan ’mekanisme kambing hitam’ dalam masyarakat.20 Melalui

pembunuhan orang-orang itu (termasuk Habel dan Zakharia), menurut Girard

masyarakat mengharapkan akan tercipta ketenteraman dan ketertiban, sambil menuduh

orang-orang itu sebagai penyebab dari ketidak-tenteraman dan ketidak-tertiban. Orang-

orang itu harus menjadi ’kabing hitam’ dari seluruh realita ketidak-tenteraman dan

ketidak-tertiban agar tercipta ketenteraman dan ketertiban. Dalam kata yang singkat:

mereka (orang-orang itu) perlu dikorbankan (dikambing-hitamkan) demi ketenteraman

dan ketertiban itu. Itulah yang telah terjadi dengan masyarakat Yahudi dalam kedua teks

tersebut, bahkan seluruh realita masyarakat secara universal. Ketenteraman dan

ketertiban selalu menuntut adanya proses dan ’mekanisme kambing hitam’, bahkan

ketenteraman dan ketertiban masyarakat hanya dapat dibangun atas dasar ’mekanisme

kambing hitam’. Menurut Girard itulah kultur dan mental dimana manusia dan

masyarakat dapat eksis dan membangun kebudayaannya. Suatu eksistensi yang hanya

dapat dibangun atas dasar melakukan kekerasan semua melawan satu.21

20 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-243. 21 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-243. Lihat dalam: Rene Girard, Ayub Korban Masyarakat, terj.Daniel. K. Listijabudi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 3-10, 25-39. dan Daniel K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan: Menelusuri Akar dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), hlm. 77-79.

13

Jika ketenteraman dan ketertiban dibangun atas dasar proses ’mekanisme

kambing hitam’ (kekerasan semua melawan satu), maka menurut Girard budaya

membangun pusara korban yang bertujuan untuk menghormati orang-orang yang

dibunuh sebagai akibat dari proses ’mekanisme kambing hitam’ itu, justru akan menjadi

bukti dari proses ’mekanisme kambing hitam’ itu sendiri. Pembangunan pusara untuk

para korban yang menjadi akibat dari proses ’mekanisme kambing hitam’ sebenarnya

adalah suatu proses dari upaya penelanjangan dan pembongkaran tentang realita

’mekanisme kambing hitam’ yang telah terjadi pada masa lampau. Realita pusara

korban sekaligus memperlihatkan bahwa proses ’mekanisme kambing hitam’ yang telah

terjadi pada masa lampau, tidak dapat disembunyikan pada kini, melainkan telah dibuka

kembali secara lebih tegas dan gamblang melalui realita itu. Singkat kata: realita pusara

korban adalah wujud dari upaya pembukaan, pembongkaran, serta penelanjangan

’mekanisme kambing hitam’ yang telah terjadi pada masa lampau dan tidak dapat

disembunyikan pada masa kini.22 Jika realita pusara korban merupakan proses

pembukaan, pembongkaran, serta penelanjangan ’mekanisme kambing hitam’ yang ada

dalam suatu konteks masyarakat, maka menurut Girard realita pusara korban juga

memperlihatkan bahwa orang-orang yang membangun pusara korban adalah orang-

orang yang turut terlibat dan mendukung terjadinya ’mekanisme kambing hitam’. 23

Mengutip perkataan Yesus dalam Injil Lukas 11:47-48:

”Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi dan kamu membuat makamnya”,

22 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 243-246. 23 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 243-246.

14

Girard menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dalam teks tersebut, pertama-tama

ingin membangun pusara para nabi yang dibunuh oleh leluhur mereka, bertujuan untuk

menghormati dan menghargai para nabi, tetapi pada saat yang sama mereka juga telah

menelanjangi dan membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh leluhur

mereka. Mereka seolah-olah mau melepas tangannya dari peristiwa pembunuhan itu,

tetapi justru melalui pembangunan pusara itu mereka memperlihatkan diri bahwa

mereka juga terlibat dalam lingkaran peristiwa pembunuhan yang sama. Jadi melalui

pembangunan pusara para nabi tersebut, menurut Girard orang Yahudi secara langsung

membenarkan dan mendukung tindak kekerasan dan pembunuhan yang telah dilakukan

oleh leluhur mereka. Fenomena pembangunan pusara korban telah memperlihatkan

bahwa pembunuhan yang terjadi pada masa lampau tidak dapat disembunyikan pada

masa kini, dan para pembangun pusara korban adalah orang-orang yang mendukung

fakta pembunuhan itu. Girard menyebut kenyataan itu sebagai suatu fenomena

paradoksal dari budaya kekerasan dalam masyarakat. Pada satu pihak, melalui pusara

korban, kekerasan hendak disembunyikan, tetapi pada saat yang sama kekerasan itu

telah terungkap dan ditelanjangi. Malah proses penelanjangan kekerasan melalui realita

pusara korban, justru memperlihatkan juga tentang keterlibatan secara langsung dari

orang-orang yang membangun pusara korban terhadap kekerasan yang telah terjadi atas

para korban. Inilah mental yang ada di sekitar fenomena pembangunan pusara korban

tindak kekerasan. Pembunuhan menghendaki adanya pembangunan pusara korban, dan

pembangunan pusara korban menghendaki adanya pembunuhan berikutnya.24

Menurut penulis, jika masyarakat di Halmahera membangun pusara korban

dengan maksud untuk menghormati dan menghargai para korban sebagai orang-orang

24 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 243-246.

15

yang layak untuk itu, maka masyarakat di Halmahera akan sama persis dengan orang-

orang Yahudi yang dikecam oleh Yesus dalam teks yang ditulis oleh penginjil Lukas di

atas. Satu pihak, melalui realita pusara korban masyarakat di Halmahera hendak

menyembunyikan kekerasan yang telah terjadi, tetapi pada pihak yang lain kekerasan

itu telah terbuka dan ditelanjangi. Satu pihak masyarakat hendak melepas tangannya

dari peristiwa kekerasan yang telah terjadi, tetapi pada pihak yang lain justru melalui

pembangunan pusara itu masyarakat juga hendak memperlihatkan diri sebagai orang-

orang yang terlibat dan mendukung kekerasan yang sama. Masyarakat di Halmahera,

berdasarkan kecaman Yesus dalam teks Lukas itu akan menjadi masyarakat yang

mendukung kekerasan dari generasi ke generasi, melalui fakta pembangunan pusara

korban. Dalam kata yang singkat, jika masyarakat di Halmahera bertujuan membangun

pusara korban, hanya untuk menghormati dan menghargai para korban, maka

pemahaman seperti itu akan menjadi unsur yang dapat menghambat terjadinya proses

rekonsiliasi yang sejati di antara sesama yang berbeda agama.

F.2. Membangun Rekonsiliasi di Sekitar Pusara Korban.

Jika kenyataan sebagaimana yang dijelaskan pada bagian akhir di atas yang

ada dan terjadi dalam realita masyarakat di Halmahera ketika membangun pusara

korban, maka pertanyaan crucial yang ketiga dalam tesis ini menjadi sesuatu yang

crucial pula bagi masyarakat di Halmahera. Bagaimana dapat membangun rekonsiliasi

yang sejati di sekitar pusara korban? Bagaimana dapat membangun rekonsiliasi yang

sejati di antara masyarakat yang beragama Kristen dan Islam di sekitar pusara orang-

orang yang dihormati dan dihargai atas nama agama?

16

Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan sekaligus membuat

refleksi etis teologis terhadap pemahaman masyarakat Halmahera tentang realita pusara

korban, penulis akan menggunakan pemikiran Robert J. Schreiter dalam ”Rekonsiliasi

Membangun Tatanan Masyarakat Baru”.25 Persoalan utama yang dibahas oleh

Schreiter dalam tulisannya adalah bagaimana dapat membangun rekonsiliasi yang sejati

di tengah-tengah pengalaman kekerasan yang dialami oleh masyarakat korban pada era

pasca kekerasan? Mungkinkah rekonsiliasi yang sejati dapat diwujudkan? Bagaimana

masyarakat korban dapat melupakan kenangan masa lalunya yang sadis dan kejam itu,

lalu mengulurkan tangannya untuk memberi maaf dan pengampunan kepada orang-

orang yang telah menyebabkan penderitaan dan beban traumatik bagi mereka?

Bagaimana hubungan antara orang-orang yang telah menyebabkan kematian para

korban dengan keluarga korban dapat didamaikan? Mungkinkah mereka dapat

membangun sikap saling mengampuni?26 Atas dasar persoalan-persoalan itu, Schreiter

menegaskan dua (2) hal yang perlu diperhatikan dalam rangka membangun

rekonsiliasi, antara lain sebagai berikut:

a). Berhati-hati dengan beberapa konsep yang hampir sama pengertiannya dengan

rekonsiliasi. Menurut Schreiter dalam upaya rekonsiliasi terdapat beberapa

pendekatan yang hampir sama nilainya dengan rekonsiliasi, tetapi sesungguhnya

hal itu bukan arti rekonsiliasi yang sesungguhnya. Antara lain: rekonsiliasi

25 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, terj. Biro penerbitan Propinsi SVD Ende, (Flores NTT: Nusa Indah, 2000), hlm. 6-85. 26 Pertanyaan-pertanyaan itu dihubungkan oleh Schreiter dengan konteks perubahan tatanan sosial masyarakat dunia dalam masa peralihan abad 20 ke abad 21. Dalam pandangannya ia berpendapat bahwa warna kehidupan manusia di abad 20 adalah warna kehidupan yang penuh dengan kekerasan. Menjelang peralihan ke abad 21 (ketika ia menulis bukunya ini) menurut Schreiter pertanyaan-pertanyaan di atas adalah hal yang mendesak untuk dijawab. Hal itu juga dimaksudkan sebgai suatu jalan keluar bagi umat manusia untuk mengisi kehidupannya yang berbeda di abad 21. Jalan keluar yang dimaksudnya adalah dengan proses rekonsiliasi. Dalam: Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 6-23.

17

sebagai perdamaian yang tergesa-gesa, rekonsiliasi tidak sama dengan

pembebasan dari kekerasan fisik, dan rekonsiliasi sebagai proses yang terkendali.27

Rekonsiliasi yang tergesa-gesa adalah suatu proses rekonsiliasi yang dilakukan

dengan cara menuntut agar para korban kekerasan segera melupakan dan

menguburkan masa lalunya. Masa lalu dalam proses rekonsiliasi seperti ini

dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat orang untuk membuat

pemulihan hubungan yang baru pada masa kini. Tetapi menurut Schreiter,

pemulihan hubungan yang baru pada masa kini, dengan cara melupakan kenangan

kekerasan pada masa lalu, adalah suatu proses rekonsiliasi yang tidak menghargai

martabat para korban sebagai manusia. Selain itu, proses rekonsiliasi seperti ini

sama dengan proses menyembunyikan fakta kekerasan yang telah terjadi.

Akibatnya kekerasan tetap berputar dan eksis di tengah masyarakat. Menurut

Schreiter, rekonsiliasi bukan sekedar upaya untuk menghentikan kekerasan,

melainkan lebih dari itu, yakni upaya menghilangkannya (kekerasan) dari struktur

dan tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu, maka rekonsiliasi bukan suatu

proses yang tergesa-gesa, melainkan membutuhkan suatu proses yang lama dan

dilakukan untuk memperbaharui martabat dan derajat manusia.28

Rekonsiliasi juga tidak bisa disamakan begitu saja dengan pembebasan dari

kekerasan fisik semata (-mata), melainkan juga dan terutama terhadap kekerasan

struktural. Rekonsiliasi yang tidak memperhatikan kekerasan secara struktural dan

hanya menekankan pada pembebasan kekerasan fisik, menurut Schreiter adalah

rekonsiliasi yang sering dilakukan oleh para pelaku kekerasan. Bahkan lebih jauh

27 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 23-33. 28 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 23-27.

18

dari itu, menurut Schreiter, rekonsiliasi bukan pertama-tama dimaksudkan untuk

sebuah karya pembebasan demi keharmonisan atau keselarasan, melainkan

rekonsiliasi dilakukan untuk menangani eksistensi konflik sebagai suatu realitas

dalam kehidupan manusia. Konflik menurut Schreiter adalah lahan dimana

rekonsiliasi harus diejawantahkan oleh manusia, dan lahan itu adalah suatu realita

yang konfliktif. Persolannya bukan terletak pada bagaimana dapat membebaskan

diri dari suatu konflik, melainkan bagaimana konflik itu dapat dan harus ditangani

oleh manusia, yakni melalui proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang bermakna

pembebasan; baik pembebasan dari kekerasan secara fisik dan pembebasan dari

masalah konflik, menurut Schreiter adalah seperti gencatan senjata, tidak lebih dari

itu.29

Rekonsiliasi juga bukan suatu proses yang terkendali. Menurut Schreiter

rekonsiliasi bukan semata (-mata) masalah teknis atau ketrampilan manusia,

melainkan adalah persoalan yang berhubungan dengan spiritualitas. Kalau

rekonsiliasi itu identik dengan masalah teknis dan ketrampilan, maka rekonsiliasi

itu dapat dikendalikan oleh orang-orang tertentu saja. Kalau rekonsiliasi itu hanya

dikendalikan oleh orang-orang tertentu saja, maka ia (rekonsiliasi) tidak menjadi

suatu spirit dalam diri setiap manusia. Rekonsiliasi menurut Schreiter, sebaiknya

dipahami sebagai suatu sikap dan bukan ketrampilan, ia lebih merupakan suatu

mental dari pada hanya sekedar alat, ia juga lebih dari sesuatu yang bersifat

strategis, ia adalah sebuah spiritualitas yang harus ada dalam diri setiap manusia.30

29 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 27-31. 30 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 31-33.

19

b). Memahami rasionalitas kekerasan dan akibat penderitaan yang ditimbulkannya.

Rasionalitas kekerasan menurut Schreiter adalah suatu kondisi dimana seseorang

atau masyarakat berada dalam suatu konteks yang rawan dan rapuh terhadap

unsur-unsur yang dapat mengganggu keutuhan dan keamanan dirinya. Itulah yang

dimaksudkan dengan rasionalitas kekerasan, yakni sesuatu yang menggambarkan

kerapuhan dan ketidak-utuhan serta ketidak-amanan diri manusia dalam

kehidupannya. Jika hal ini bisa disadari dan menjadi bagian dari kesadaran diri

manusia, maka menurut Schreiter ia (rasonalitas kekerasan) akan menjadi motivasi

bagi manusia dan masyarakat untuk membangun kembali keutuhan dan keamanan

diri secara terus menerus, ketika diganggu oleh kekerasan. Menurut Schreiter,

inilah jalan keluar bagi setiap orang atau masyarakat agar terbebas dari

cengkeraman kekerasan.

Secara fisik kekerasan dapat berakibat pada rasa sakit, tetapi secara psikis

kekerasan dapat mendatangkan penderitaan. Sedangkan penderitaan adalah

perjuangan manusia untuk keluar dari rasa sakit karena kekerasan. Penderitaan

adalah pengalaman manusia dalam menata ulang keutuhan dan keamanan dirinya.

Penderitaan dapat menjadi sesuatu yang luhur, jika ada upaya menata ulang

keutuhan dan keamanan diri walau terasa sakit, dan tidak menjadi luhur karena hal

itu hanya merupakan erosi dari keutuhan dan keamanan diri manusia dan

masyarakat.31

Menurut Schreiter, untuk dapat menata ulang keutuhan dan keamanan diri tersebut

atau untuk menjadikan penderitaan itu luhur, maka ada dua hal yang perlu

dilakukan oleh manusia dan masyarakat. Pertama, seseorang atau kelompok

31 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 34-39.

20

masyarakat perlu menyadari bahwa dalam struktur kehidupan sosial, ekonomi,

politik, dan budaya seringkali terdapat nilai-nilai kekerasan yang dapat dipakai

untuk melegitimasi suatu kebijakan publik (suatu cerita bohong dalam istilah

Schreiter). Misalnya perang agama, pembelaan tanah air,dll. Kedua, setelah

menyadari bahwa dalam suatu struktur sosial terdapat kemungkinan penggunaan

nilai-nilai kekerasan dalam suatu kebijakan publik, maka langkah berikutnya

adalah seseorang atau masyarakat perlu membangun atau mencari suatu cerita

baru, cerita yang menyelamatkan; cerita yang bertentangan dengan cerita bohong

tersebut.32 Sedangkan cerita baru yang menyelamatkan itu, menurut Schreiter

hanya dapat ditemukan jika seseorang atau masyarakat dapat membangun suatu

kenangan masa lalunya sebagai sarana untuk menyingkapkan betapa dasyatnya

nilai-nilai kekerasan itu. Tetapi karena kenangan masa lalu itu telah dipenuhi

dengan ’luka-luka’ akibat kekerasan, maka kenangan masa lalu itu harus

dilepaskan dan dibebaskan dari nilai-nilai kekerasan. Upaya melepaskan nilai-nilai

kekerasan itu hanya dapat dilakukan dengan cara menemukan cerita-cerita lain

sebagai sarana yang dapat meneguhkan psike masyarakat sebagai suatu narasi

tandingan terhadap narasi kenangan luka masa lalu tersebut.33

Nampaknya yang dimaksudkan oleh Schreiter dengan cerita baru atau cerita yang

lain itu adalah bahwa rekonsiliasi harus dipahami dalam alur penderitaan,

kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Melalui penderitaan Yesus, tergambar

bagaimana manusia harus selalu berusaha untuk memulihkan keutuhan dan

keamanan diri ketika diganggu oleh kekerasan. Melalui kematian Yesus,

32 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 39-41. 33 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 41-44.

21

tergambar betapa sadisnya gangguan kekerasan itu sehingga mendorong manusia

untuk menghindarkan diri dan keluar dari padanya. Sedangkan melalui

kebangkitan Yesus, tergambar bahwa upaya memulihkan keutuhan diri dengan

memperhatikan akibat serius dari kekerasan itu, maka ada hidup baru yang

kepadanya semua orang yang terlibat dalam rekonsiliasi akan sampai.34

Dalam bahasanya sendiri Schreiter merumuskan bahwa kedua hal tersebut di

atas merupakan langkah awal menuju rekonsiliasi, yaitu bagaimana dapat mengatasi

penderitaan sebagai akibat dari peristiwa kekerasan masa lalu. Kekerasan yang

dimaksudkan oleh Schreiter adalah bukan sesuatu yang anti-nalar, melainkan adalah

nalar tandingan yang dapat menghancurkan keamanan dan keutuhan diri seseorang atau

masyarakat. Nalar tandingan itu dapat menciptakan cerita-cerita bohong yang dapat

menghancurkan cerita-cerita kebenaran yang selalu menjaga keutuhan dan keamanan

diri seseorang atau masyarakat. Untuk mengatasi penderitaan akibat nalar tandingan

(kekerasan) itu, menurut Schreiter manusia dan masyarakat perlu membangun cerita-

cerita baru yang membebaskan dan memulihkan cerita-cerita kebenaran, yaitu hal

keamanan dan keutuhan diri individu dan masyarakat.35

Selanjutnya berdasarkan pemikiran seperti itu, Schreiter kemudian

merumuskan beberapa pandangan etis-teologis tentang rekonsiliasi berdasarkan surat

Paulus dan surat-surat pasca Paulus agar menjadi dasar bagi gereja dan orang Kristen

dalam membangun pelayanan rekonsiliasi. Mengikuti pemikiran Jose Comblin,

Schreiter membagi level rekonsiliasi dalam teologi Kristen menjadi tiga bagian, yakni:

level kristologis; yang di dalamnya Kristus adalah pengantara melalui mana Allah

34 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 45-66. 35 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 45

22

mendamaikan dunia dengan diri-Nya, level eklesiologis; yang di dalamnya Kristus

mendamaikan orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain, dan level kosmis; yang di

dalamnya Kristus mendamaikan semua kekuatan di sorga dan di bumi.36

Schreiter mendasarkan level kristologis pada Roma 5:10-11:

”Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidupNya. Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu”.

dan 2 Korintus 5:18-19:

”Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya, dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami”. Berdasarkan kedua teks tersebut, Schreiter menegaskan bahwa rekonsiliasi

yang ditawarkan oleh orang Kristen adalah rekonsiliasi yang berasal dari Allah yang

telah terlaksana di dalam diri Yesus Kristus. Pertanyaan mendasar dalam rekonsiliasi

menurut Schreiter adalah bukan saya sanggup atau tidak untuk melakukan rekonsiliasi,

melainkan bagaimana saya dapat menemukan karya Allah itu untuk melakukan

rekonsiliasi. Inilah sumber kekuatan dan keberanian dari warga gereja dan orang Kristen

untuk masuk dalam proses rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi sebenarnya bukan hasil yang

dicapai oleh manusia, melainkan adalah anugerah Allah yang dengannya mendorong

manusia untuk selalu membuat pemulihan hubungan dengan sesamanya. Anugerah yang

dimaksudkan di sini bukan suatu anugerah yang ’netral’, melainkan suatu anugerah yang

36 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 46

23

diberikan setelah timbul ’amarah’ dan ’murka’ terhadap dosa dan pelanggaran; suatu

anugerah pengampunan.37

Hal itu dibicarakan oleh Schreiter secara menarik dengan memberi makna

kepada apa yang ia sebut sebagai sarana rekonsiliasi di dalam Kristus, yakni kematian,

salib, dan darah. Ketiga simbol itu, menurut Schreiter pada satu pihak telah

menggambarkan betapa dasyatnya kekerasan itu, tetapi sekaligus melaluinya terlihat

betapa indahnya kehidupan yang keluar dari perjuangan untuk mengatasi penderitaan

akibat kekerasan; betapa bermaknanya proses rekonsiliasi. Melalui tiga simbol itu,

Schreiter memperlihatkan bahwa upaya mengatasi kekerasan harus diwujudkan pula

dengan pemahaman yang jelas terhadap apa itu kekerasan. Melalui tiga simbol tersebut,

menurut Schreiter secara terus terang kesadisan dan kekejaman dari suatu tindak

kekerasan telah terungkap dan ditelanjangi, tetapi sekaligus melaluinya (ketiga simbol

itu) ada kehidupan baru yang muncul. Tiga simbol tersebut menurut Schreiter, tidak

berbicara tentang siapa yang menjadi korban dan siapa yang telah menjadi pelaku dari

suatu tindak kekerasan, melainkan baik korban maupun pelaku tindak kekerasan akan

sama-sama digiring masuk pada suatu kondisi yang baru, yaitu suatu kondisi pertobatan

yang sungguh-sungguh, sebagai langkah awal untuk menuju rekonsiliasi.

Berdasarkan pemikiran seperti itu, Schreiter menegaskan bahwa rekonsiliasi

sebenarnya adalah sebuah proses pertemuan bersama Allah dan harus berada dalam

semangat pemulihan dan anugerah Allah. Oleh karena rekonsiliasi adalah sebuah proses

pertemuan bersama dan di dalam semangat pemulihan Allah, maka rekonsiliasi sekaligus

adalah sebuah proses spiritualitas, rekonsiliasi melebihi suatu masalah teknis atau suatu

strategi belaka. Rekonsiliasi adalah gaya hidup, bukan sekedar suatu tugas yang dapat

37 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 46-54.

24

dikerjakan dan selesai, ia adalah bentuk dari kehidupan yang dituntut hingga akhir

hayat.38

Dalam level eklesiologis, Schreiter mendasarkan pada Efesus 2:12-16

”....... bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Yesus Kristus kamu, yang dahulu ”jauh” sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseturuan, sebab dengan matinya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseturuan pada salib itu”.

dan Kolose 1:21-22;

”Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus yang tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya”.

Berdasarkan dua teks tersebut, Schreiter menegaskan upaya membangun

rekonsiliasi membutuhkan suatu pandangan yang komprehensif tentang ’yang lain’ (the

other). Hal ini dimaksudkan sebagai suatu upaya dalam rangka melenyapkan masalah

alienasi (keterasingan). Pada satu pihak, pandangan tentang the other juga bisa

menjerumuskan orang pada anggapan bahwa mereka adalah bukan ’manusia’ dan karena

itu ’wajar’ ditindaki, tetapi pada pihak lain the other juga perlu dihargai dan diakui

karena mereka adalah manusia yang tidak layak untuk ditindaki.39 Selanjutnya

berdasarkan pemikiran seperti itu, Schreiter menegaskan bahwa rekonsiliasi yang

sesungguhnya tidak pernah akan membawa kembali masyarakat pada kondisi awal

38 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 46-54. 39 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 54-60.

25

sebelum terjadi konflik, melainkan akan membawah masyarakat kepada suatu kondisi

yang baru, suatu kondisi yang dibaharui. Rekonsiliasi bukan sekedar usaha menghapus

penderitaan para korban dan menuntut pertobatan sang pelaku kekerasan, melainkan

lebih dari itu, yakni usaha menciptakaan suatu kondisi hidup yang baru. Baik korban dan

pelaku tindak kekerasan sama-sama digiring ke kondisi yang baru tersebut. Hal itu

dipertegas lagi dengan mengutip 2 Korintus 5:17: ”Jadi siapa yang ada di dalam Kristus,

dia adalah ciptaan baru: yang lama telah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah

datang”.40

Selanjutnya pada level kosmis, Schreiter mengutip Kolose 1:19-20:

”Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”.

dan Efesus1:9-10 ”Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik di sorga maupun yang di bumi”. Berdasarkan dua teks itu, Schreiter menegaskan (berdasarkan konteks

pemaknaan dalam pandangan Yahudi dan Helenis) bahwa rekonsiliasi sesungguhnya

adalah karya Allah yang ke dalamnya semua orang diundang untuk menemukan sesuatu

yang baru secara misteri. Dikatakan misteri karena rekonsiliasi tidak dapat dipandang

sebagai suatu persoalan teknis semata-mata, melainkan adalah suatu proses dimana

manusia harus masuk ke dalam pengalaman kasih dan pengampunan Allah tersebut.

Kasih dan pengampunan Allah adalah dasar dari suatu upaya rekonsiliasi yang dilakukan

40 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 54-60.

26

oleh manusia dan masyarakat dalam menangani masalah-masalah kekerasan yang telah

terjadi. Tanpa kasih dan pengampunan Allah, maka upaya rekonsilaisi adalah sesuatu

yang tanpa dasar dan tidak terwujud secara maksimal.41

Menurut penulis, dengan mengkaji sejumlah ayat Alkitab di atas, Schreiter

hendak menekankan bahwa rekonsiliasi adalah wujud panggilan hidup yang harus

diejawantahkan oleh umat manusia di dalam dunia ini. Rekonsiliasi pada dasarnya

adalah sesuatu yang inherent bagi perealisasian diri manusia dalam keberadaannya.

Terutama, hal seperti itu harus menjadi wujud panggilan dan pengabdian diri dari gereja

dan warga gereja kepada Allah yang dipercayai dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Tanpa

melakukan prose rekonsiliasi sebagai perwujudan hidup, panggilan, dan pengabdian diri

yang merupakan hal utama yang selalu ditekankan dalam dunia kepercayaan dan

keagamaan, maka menurut Schreiter, semua itu (hidup, panggilan, dan pengabdian diri)

belum sepenuhnya menggambarkan hidup, pangggilan, dan pengabdian diri kepada

Allah.

Berdasarkan pemikiran itu, maka dapat dikatakan bahwa menurut Schreiter,

rekonsiliasi bukanlah sekedar alat untuk mencari solusi dalam dunia kekerasan,

melainkan dalam solusi itu sekaligus terwujud dan terkandung sebuah perealisasian diri

manusia yang beragama atau yang percaya kepada Allah di dalam dunia, terutama di

dalam dunia kekerasan. Dunia kekerasan dalam pandangan Schreiter bukanlah sesuatu

yang dapat menghalangi pelaksanaan proses rekonsiliasi, melainkan di dalam dunia

kekerasan itulah terdapat undangan istimewa yang menghadirkan segenap upaya

manusia untuk mewujudkan rekonsiliasi yang sejati. Menurut Schreiter, hal undangan

seperti itulah yang telah dikerjakan oleh Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai yang

41 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 60-63.

27

sulung, yang telah mengambil langkah untuk diteruskan oleh orang-orang yang percaya

kepadaNya. Dapat dikatakan bahwa karya Allah di dalam diri Yesus Kristus adalah

dasar bagi umat manusia, terutama bagi gereja dan warga gereja untuk berkarya dalam

dunia kekerasan melalui rekonsiliasi.

Oleh karena itu, gereja dan warga gereja yang mengklaim diri sebagai

pengikut Kristus, adalah gereja dan warga gereja yang harus hidup dalam rekonsiliasi

yang sejati. Dimana hal itu harus dilakukan secara terus-menerus di dalam dunia, dan

terutama di dalam dunia kekerasan. Gereja dan warga gereja yang tidak hidup dalam

proses rekonsiliasi secara terus-menerus, adalah gereja dan warga gereja yang tidak

hidup atau tidak berada dalam karya Allah di dalam Yesus Kristus. Inilah mental dari

gereja dan warga gereja yang percaya dan mengklaim diri sebagai pengikut Kristus, dan

inilah wujud konkrit dari iman geraja dan warga gereja yang percaya kepada Allah di

dalam Yesus Kristus. Rekonsiliasi adalah sebuah proses perwujudan iman dari setiap

orang Kristen, karena rekonsiliasi adalah hakekat dalam karya Allah di dalam diri Yesus

Kristus. Dapat dikatakan bahwa iman tanpa rekonsiliasi adalah iman yang kosong,

sebaliknya rekonsiliasi tanpa iman adalah rekonsiliasi yang berpura-pura saja.

Dalam konteks masyarakat di Halmahera, menurut penulis, orang Kristen dan

warga gereja adalah orang Kristen dan warga yang harus melakukan rekonsiliasi dengan

sesamanya yang beragama Islam. Proses rekonsiliasi ini bukan semata-semata diarahkan

untuk sebuah solusi terhadap peristiwa kekerasan yang telah terjadi, melainkan dalam

solusi itu sekaligus terkandung sebuah perwujudan iman kepada Yesus Kristus.

Pengalaman konflik di tahun 1999-2000 bukanlah dasar untuk bermusuhan, melainkan

dasar untuk beriman yang sungguh-sungguh kepada Yesus Kristus, mulai hari ini dan

sampai nanti.

28

Berkaitan dengan semua hal di atas, maka yang menarik dalam pemikiran

Schreiter adalah terletak pada bagaimana ia memanfaatkan realita dan budaya

membangun pusara korban tindak kekerasan sebagai salah satu ‘sumber daya’ (istilah

Schreiter) untuk membentuk dan membangun cerita-cerita baru yang membebaskan.

Menurut Schreiter Gereja atau siapapun tidak bisa meremehkan ‘apa-apa’ yang

berhubungan dengan tradisi atau budaya membangun pusara, terutama pusara para

korban tindak kekerasan. Misalnya proses pemakaman jenasah, proses pembangunan

pusara, bahkan sejumlah simbol yang menyertainya. Hal-hal tersebut menurut Schreiter

adalah unsur-unsur yang dapat membantu keluarga korban dan masyarakat untuk eksis

di tengah-tengah akibat tindak kekerasan. Kepedulian Gereja terhadap peradaban

pusara (istilah Girard) pada dasarnya dapat menjadi satu langkah peralihaan bagi

masyarakat, terutama masyarakat korban untuk masuk pada proses rekonsiliasi.

Menurut Schreiter, untuk menolong masyarakat korban maka tidak ada cara lain yang

dapat dipakai untuk menanggulangi penderitaan mereka, selain dengan melayani jasad-

jasad korban melalui segenap tradisi yang berlaku.42

Oleh karena itu menurut Schreiter gereja harus menghargai hal-hal yang

berhubungan dengan budaya membangun pusara korban tindak kekerasan. Bukti yang

ditunjukkan Schreiter untuk mendukung pemikiran itu adalah menghubungkan realita

dan budaya membangun pusara korban dengan persoalan di sekitar pertanyaan “apakah

perlu mengingat atau melupakan, ketika membangun proses rekonsiliasi? Oleh karena

hal mengingat menurut Schreiter adalah unsur yang sangat penting dalam rangka

membangun proses rekonsiliasi, maka menurutnya realita pusara korban yang muncul

akibat dari adanya budaya membangun pusara, dapat dipakai sebagai sarana penunjang

42 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 77-80.

29

(sumber daya) bagi proses mengingat untuk rekonsiliasi. Melalui pembangunan dan

realita pusara korban, kenangan masyarakat akan masa lalunya akan tetap terbentuk dan

terbangun.43

Berangkat dari pemikiran seperti itu, maka menurut penulis realita pusara

korban yang ada di Halmahera juga dapat menjadi sarana penunjang atau sumber daya

(istilah Schreiter) bagi masyarakat untuk membangun proses rekonsiliasi. Tetapi

bagaimana dengan pemikiran yang telah dikemukakan oleh Rene Girard di atas (F.1)?

Bukankah realita dan budaya membangun pusara korban juga mengandung nalar

kekerasan yang terdapat dalam masyarakat? Bagaimana cara dapat menemukan

sesuatu yang baru, yang dapat dipakai untuk membebaskan masyarakat dari nalar

kekerasan, sementara hal yang mau dimanfaatkan itu juga mengandung nalar

kekerasan? Bagaimana realita pusara korban dapat bermanfaat untuk membangun

rekonsilaisi?

Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka Schreiter berbicara

tentang unsur kemarahan dan ‘teriakan’. Menurut Schreiter kemarahan dan ‘teriakan’

adalah unsur yang dapat membantu masyarakat untuk mengungkapkan kejujuran

tentang penderitaan yang sedang melingkupi mereka. Di samping itu, unsur kemarahan

dan ‘teriakan’ juga bertujuan membongkar segala kemunafikan dan kekejian dalam

budaya kekerasan. Unsur kemarahan dan teriakan menurut Schreiter bukan dipakai

sebagai sarana pengosongan kekerasan. Kalau unsur kemarahan dan teriakan dipakai

sebagai sarana pengosongan kekerasan, maka yang akan terjadi adalah manusia sedang

melakukan kekerasan terhadap sesamanya, yaitu menjadikan sesamanya sebagai objek

43 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 77-80.

30

dan sasaran (musuh) dari kemarahan dan teriakan itu.44 Menurut Schreiter, unsur

kemarahan dan teriakan jangan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan,

melainkan sebagai sarana penelanjangan penderitaan yang sedang dialami oleh

masyarakat sebagai akibat kekerasan itu sendiri. Inilah cara yang dapat dilakukan oleh

masyarakat korban agar dapat keluar dari nalar kekerasan yang terdapat dalam

realitasnya. Kemarahan dan ‘teriakan’ menurut Schreiter adalah sarana yang tepat

untuk menelanjangi betapa jahat dan sadisnya akibat kekerasan yang dialami oleh

masyarakat. Hal seperti ini menurut Schreiter merupakan proses dasariah bagi upaya

membentuk cerita baru yang akan menjadi nalar tandingan terhadap nalar kekerasan

yang telah terjadi pada masa lalu.45

Dengan begitu, maka menurut penulis realita pusara korban yang ada di

Halmahera dapat pula berfungsi sebagai ‘suara’ kemarahan dan teriakan masyarakat

tentang penderiataan yang sedang dialami dalam rangka menelanjangi dan

membongkar betapa sadis, jahat, kejam, dan brutalnya akibat dari tindak kekerasan

dalam masyarakat. Kalau realita pusara korban dipakai sebagai sarana penelanjangan

penderiataan dan pembongkaran betapa jahat dan kejamnya akibat dari tindak

kekerasan, maka realita pusara korban dapat pula membawa manfaat bagi masyarakat

untuk membangun rekonsiliasi dan perdamaian. Ia (pusara korban) jangan dipakai

sebagai sarana pengosongan kekerasan, melainkan sebagai sarana penelanjangan

penderitaan sebagai akibat dari kekerasan itu sendiri. Kalau ia (pusara korban) dapat

dipakai sebagai sarana penelanjangan penderitaan sebagai akibat dari kekerasan, maka

44 Kalau kemarahan dan teriakan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan, maka yang terjadi adalah manusia sedang melakukan kekerasan terhadap sesamanya, yaitu menjadikan sesama sebagai objek dan sasaran (musuh) dari kemarahan dan teriakan. Bandingkan pemikiran Girard, dalam: Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, hlm. 107-123. 45 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 41-44.

31

ia (pusara korban) dapat pula menjadi sarana untuk membentuk suatu cerita baru yang

membebaskan masyarakat dari penderiataan dan nalar kekerasan yang selama ini telah

membentuk dan mempengaruhi mereka. Kalau ia (pusara korban) dapat menjadi suatu

sarana untuk membetuk suatu cerita baru, maka ia (pusara korban) juga bisa

bermanfaat untuk membangun rekonsiliasi.

Tetapi bagaimana hal itu dapat dilakukan? Menurut penulis, hal itu dapat

dilakukan jika nilai-nilai kekerasan yang terdapat dalam realita pusara korban itu

ditransformasikan. Tanpa upaya mentransformasikan nilai-nilai itu, maka ia (pusara

korban) adalah sesuatu yang menakutkan bagi upaya dan proses rekonsiliasi.

Demikianlah, maka melalui tesis ini, penulis hendak menampilkan bagaimana dan

dalam unsur-unsur apa realita pusara korban di Halmahera itu, dapat dimanfaatkan

untuk mendukung proses rekonsiliasi.

G. Hipotesa.

Berdasarkan landasan teoretis di atas, maka dalam pembahasan tesis ini

penulis mempunyai tiga (3) hipotesa sebagai berikut:

1). Pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah dilatari oleh tradisi

masyarakat yang berkaitan dengan sikap memberi penghormatan terhadap jasad dari

orang-orang yang dianggap berjasa.

2). Pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban dapat menjadi

unsur yang menghambat proses rekonsiliasi.

3). Rekonsiliasi Halmahera di sekitar pusara korban hanya dapat dilakukan, jika ada

upaya transformasi pemahaman dalam diri masyarakat Halmahera terhadap realita

pusara korban.

32

H. Desain Penelitian.

Berdasarkan seluruh uraian tentang landasan teoretis di atas, maka

pertanyaan-pertanyaan yang akan membimbing penulis dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut: mengapa pusara korban harus dibangun di halaman

rumah ibadah? Bukankah di setiap masyarakat (di Halmahera) selalu terdapat lokasi

pekuburan massal yang disiapkan untuk orang-orang yang meninggal dunia? Mengapa

jasad korban tidak dimakamkan di lokasi pekuburan umum/massal, melainkan di

lokasi tempat ibadah? Tradisi apa yang telah melatari fenomena ini? Apa tujuan dan

sasarannya? Bagaimana pembangunan itu dilaksanakan? Siapakah yang

melakukannya? Kapan penempatan jasad korban di halaman rumah ibadah itu

dilaksanakan? Pada masa konflik atau pasca konflik? Dengan daya dan dana dari

manakah pusara korban dibangun? Apa yang terjadi setelah pusara korban dibangun?

Bagaimana perasaan keluarga korban dan masyarakat? Apa yang mereka pikirkan

atau harapkan dari realita itu? Hal apa saja yang dilakukan di sekitar pusara korban?

Bagaimana bentuk penghayatan masyarakat terhadap realita pusara korban? Adakah

unsur-unsur yang terdapat di pusara korban yang memperlihatkan tentang pemahaman

masyarakat? Jika ada, apakah unsur-unsur itu? Bagaimana unsur itu dihayati, dimaknai

dan dimanfaatkan? Apakah penghayatan terhadap unsur-unsur itu dapat menunjang

proses rekonsiliasi? Ataukah justru dapat menghambat? Jika menghambat adakah hal

yang harus dilakukan? Mungkinkah pemahaman masyarakat terhadap realita pusara

korban dapat ditransformasikan? Jika dapat, unsur-unsur apakah dan yang manakah

yang perlu ditransformasikan? Atas dasar apa melakukan transformasi itu? Bagaimana

hal itu dilakukan, dijelaskan dan diterapkan? Demikianlah sejumlah pertanyaan yang

akan membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan pembahasan tesis ini.

33

I. Komposisi Bab-bab.

Tesis ini terdiri atas lima bab, yang masing-masing bab menguraikan pokok-

pokok sebagai berikut:

Bab I menguraikan tentang Pendahuluan tesis, yang terdiri dari: Latar

belakang masalah, Judul dan Penjelasannya, Perumusan masalah teologis dan fokus

pembahasan, Tujuan penelitian, Metode dan tempat penelitian, Kerangka teoretis,

Hipotesa, Desain penelitian, dan Komposisi bab-bab.

Bab II menguraikan tentang realita permasalahan yang dibahas dalam tesis

ini, diberi judul ”Wilayah Galela: Konflik, Rekonsiliasi, dan Pembangunan Pusara

Korban.” Pembahasan terdiri dari: Mengenal wilayah Galela, Akar dan dinamika

konflik, Upaya rekonsiliasi, Pembangunan pusara korban, diakhiri dengan kesimpulan.

Bab III menguraikan tentang analisa secara sosiologis terhadap

permasalahan yang terdapat dalam Bab II, diberi judul ”Pusara Korban: Antara Tradisi,

Konflik, dan Rekonsiliasi.” Pembahasan terdiri dari: Konflik Halmahera (Galela);

Realita Konflik Agama, Rekonsiliasi Halmahera (Galela) dalam Pandangan Schreiter,

Pusara Korban; Realita Tradisi Masyarakat, Pemahaman Masyarakat Tentang Pusara

Korban dan Nilai-nilai Kekerasan. diakhiri dengan kesimpulan.

Bab IV menguraikan refleksi etis teologis terhadap hasil analisa dalam bab

III, diberi judul ”Rekonsiliasi di Sekitar Pusara Korban”. Pembahasan terdiri dari:

Rekonsiliasi sebagai Kritik Diri, Girard dan Schreiter Dalam Kritik Diri Masyarakat

Halmahera, Pusara Korban Sebagai Cerita Baru Yang Membebaskan, Rekonsiliasi

Sebagai Pengampunan; Mengingat Untuk Melupakan, Rekonsiliasi Halmahera di

Sekitar Pusara Korban, dan diakhiri dengan kesimpulan.

Bab V menguraikan Penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis.