BAB I PENDAHULUAN -...

28
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara morfologi perairan Indonesia Timur terdiri atas pulau-pulau dengan bentuk busur lengkung, palung dengan kedalaman lebih dari 5000 meter, gunung api bawah laut (sub-marine volcano) dan dipisahkan oleh laut dalam (Anonim, 2010). Kondisi yang sangat bervariatif disebabkan salah satunya oleh adanya pertemuan antara 3 lempeng tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak relatif kearah utara menyusup kedalam lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik bergerak dari arah timur laut menuju kearah barat dan menyusup ke Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia (Anonim, 2013). Kondisi ini dapat mempengaruhi arus dan gelombang pasang surut yang memasuki wilayah ini menjadi sangat kompleks dan memiliki karakteristik yang unik. Kondisi perairan Indonesia Timur yang kompleks belum diimbangi dengan adanya informasi dan penelitian terkait perairan Indonesia Timur. Salah satunya adalah penelitian tentang titik amphidromik diperairan Indonesia Timur. Titik amphidromik adalah titik-titik di permukaan laut yang tidak mengalami pergerakkan secara vertikal dalam sistem penjalaran gelombang, dengan kata lain amplitudo nya sama dengan nol (0) (NOAA, 2000). Garis-garis putih pada Gambar I.1 menunjukkan garis-garis co-phase yang terletak pada wilayah perairan sedangkan garis yang membatasi antar warna pada wilayah perairan disebut garis co-range. Perbedaan warna pada wilayah perairan menunjukkan perbedaan nilai amplitudo. Garis co-phase memusat pada suatu titik yang mengindikasikan adanya titik amphidromik sedangkan garis co-range akan memutar disekitar titik amphidromik. Salah satu cara untuk mengidentifikasi titik-titik amphidromik pada wilayah perairan adalah dengan melakukan analisis peta co-range dan co-phase pada wilayah perairan tersebut.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Secara morfologi perairan Indonesia Timur terdiri atas pulau-pulau dengan

bentuk busur lengkung, palung dengan kedalaman lebih dari 5000 meter, gunung api

bawah laut (sub-marine volcano) dan dipisahkan oleh laut dalam (Anonim, 2010).

Kondisi yang sangat bervariatif disebabkan salah satunya oleh adanya pertemuan

antara 3 lempeng tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan

lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak relatif kearah utara menyusup

kedalam lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik bergerak dari arah timur laut menuju

kearah barat dan menyusup ke Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia

(Anonim, 2013). Kondisi ini dapat mempengaruhi arus dan gelombang pasang surut

yang memasuki wilayah ini menjadi sangat kompleks dan memiliki karakteristik

yang unik.

Kondisi perairan Indonesia Timur yang kompleks belum diimbangi dengan

adanya informasi dan penelitian terkait perairan Indonesia Timur. Salah satunya

adalah penelitian tentang titik amphidromik diperairan Indonesia Timur. Titik

amphidromik adalah titik-titik di permukaan laut yang tidak mengalami pergerakkan

secara vertikal dalam sistem penjalaran gelombang, dengan kata lain amplitudo nya

sama dengan nol (0) (NOAA, 2000). Garis-garis putih pada Gambar I.1

menunjukkan garis-garis co-phase yang terletak pada wilayah perairan sedangkan

garis yang membatasi antar warna pada wilayah perairan disebut garis co-range.

Perbedaan warna pada wilayah perairan menunjukkan perbedaan nilai amplitudo.

Garis co-phase memusat pada suatu titik yang mengindikasikan adanya titik

amphidromik sedangkan garis co-range akan memutar disekitar titik amphidromik.

Salah satu cara untuk mengidentifikasi titik-titik amphidromik pada wilayah perairan

adalah dengan melakukan analisis peta co-range dan co-phase pada wilayah perairan

tersebut.

2

Gambar I. 1. Peta co-range dan co-phase perairan global

(sumber : http://sealevel.jpl.nasa.gov)

Dalam proses penggambaran peta co-range dan co-phase diperlukan

ekstraksi data komponen pasang surut. Data komponen pasang surut dapat diperoleh

salah satunya dari data model pasang surut global. Model pasang surut global TPXO

7.1 merupakan salah satu model pasut global yang dibentuk dari kombinasi data

pasang surut konvensional dan satelit altimetri. Resolusi spasial dari model pasang

surut global TPXO 7.1 sebesar 0,25o x 0,25

o (Fok, 2012). Data pasang surut dari

satelit altimetri dan stasiun pasut diasimilasikan dengan menggunakan OTIS (Oregon

state university Tidal Inversion Software) kedalam persamaan hidrodinamika (Fok,

2012). Model pasang surut TPXO 7.1 memiliki tingkat akurasi yang baik untuk

melakukan analisis pasang surut di sekitar wilayah pesisir pantai. Hal ini dikarenakan

model pasang surut TPXO 7.1 menggunakan data pengamatan stasiun pasut yang

diasimilasikan dengan data satelit altimetri dan persamaan hidrodinamika.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Robertson dan Field (2008)

tentang pemodelan pasang baroklinik dan barotropik perairan Indonesia pada ke-4

komponen harmonik pasang surut (M2, S2, K1, O1) dinyatakan bahwa adanya aliran

gelombang pasang surut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia

mengindikasikan adanya formasi yang memusat di Selat Makasar dan Laut Seram.

3

Pemusatan gelombang pasang surut pada suatu wilayah perairan dapat menyebabkan

terbentuknya titik amphidromik.

Berdasarkan uraian di atas bahwa kondisi perairan Indonesia Timur yang

kompleks perlu diimbangi dengan adanya informasi dan penelitian salah satunya

tentang titik amphidromik di perairan Indonesia Timur. Model pasang surut global

dapat digunakan untuk memperoleh data amplitudo dan fase komponen pasang surut

pada seluruh perairan Indonesia Timur. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi keberadaan titik amphidromik di perairan Indonesia Timur

menggunakan model pasang surut global TPXO 7.1.

I.2. Rumusan Masalah

Pemusatan gelombang pasang surut yang terjadi di Selat Makassar dan Laut

Seram merupakan indikasi adanya suatu sistem amphidromik pada wilayah tersebut

yang akan mengakibatkan terbentuknya titik amphidromik. Untuk mengidentifikasi

keberadaan titik amphidromik maka diperlukan adanya peta co-range dan co-phase

pada ke-4 komponen pasang surut (M2, S2, K1, O1) . Sejauh ini fenomena tersebut

belum dipastikan secara lebih lanjut sehingga perlu adanya suatu penelitian yang

membuktikan kebenaran indikasi tersebut menggunakan metode dan model pasang

surut yang berbeda. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun pertanyaan

penelitian yaitu dimanakah terbentuk titik amphidromik di perairan Indonesia Timur

berdasarkan peta co-range dan co-phase dari ekstraksi data 4 komponen utama pasut

(M2, S2, K1, O1) menggunakan model pasang surut global TPXO 7.1.

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka tujuan

dari penelitian ini adalah teridentifikasinya keberadaan titik amphidromik di perairan

Indonesia Timur berdasarkan peta co-range dan co-phase pada ke-4 komponen

utama pasut (M2, S2, K1, O1) dari ekstraksi data model pasang surut global TPXO

7.1.

4

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat mengenai identifikasi titik amphidromik pada perairan Indonesia

Timur yaitu sebagai berikut :

1. Untuk keperluan ilmiah, penelitian ini dapat digunakan dalam penentuan

kerapatan stasiun pasang surut berdasarkan peta co-range dan co-phase pada

ke-4 komponen pasang surut berdasarkan data model pasang surut global TPXO

7.1

2. Dalam kegiatan mitigasi bencana yang berhubungan dengan pergerakkan arus

pasang surut, titik amphidromik dapat digunakan untuk menganalisis pola

pergerakkan arus pasang surut karena titik amphidromik merupakan pusat

pergerakkan arus pasang surut.

I.5. Cakupan Penelitian

Penelitian ini memiliki cakupan yang menjelaskan aspek spasial dan metode

yang digunakan, sehingga penelitian ini dapat lebih terarah dan fokus. Cakupan

penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini dibatasi hanya pada perairan Indonesia Timur yang berada pada

1,5666 LU - 8,3555 LS dan 112,9898 BT – 132,2393 BT. Perairan Indonesia

Timur meliputi wilayah perairan Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut

Seram dan Laut Maluku.

2. Model pasang surut yang akan digunakan adalah model pasang surut global

TPXO 7.1 yang terdiri dari 4 file yaitu Model_tpxo7.1, grid_tpxo7.1, u_tpxo7.1,

h_tpxo7.1.

3. Proses ekstraksi data komponen pasang surut menggunakan Tidal Model Driver

yang dijalankan pada perangkat lunak Matlab untuk mendapatkan nilai

amplitudo dan fase.

4. Interval titik-titik pengamatan yang digunakan sebesar ± 3,5 km ( 0o

1‟ 52,5”.

Hal ini bertujuan untuk memperapat data amplitudo dan fase titik pengamatan

agar dihasilkan garis co-phase dan co-range yang baik.

5. Proses penggambaran peta co-range menggunakan metode interpolasi

triangulated irregular network yang memperhitungkan nilai jarak antar titik

dalam menentukan nilai titik interpolasi dan peta co-phase menggunakan metode

5

interpolasi natural neighbour yang memperhitungkan nilai bobot dari luas

diagram voronoi dalam menentukan nilai titik interpolasi melalui perangkat

lunak ArcGIS.

6. Data masukkan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah data amplitudo

dan fase hasil ekstraksi pada 4 komponen pasut (M2, S2, K1, O1) dari model

pasang surut global TPXO 7.1.

7. Data keluaran yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah peta co-phase, peta

co-range dan koordinat titik amphidromik perairan Indonesia Timur.

I.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang sejenis diantaranya penelitian tentang pembuatan peta co-

range dan co-phase di perairan Pulau Jawa untuk analisis kerapatan stasiun pasut

menggunakan model pasut global TPXO 7.1 oleh Paradipta (2013). Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa kontur peta co-phase di bagian Utara Pulau Jawa lebih rapat

bila dibandingkan dengan di bagian Selatan Jawa dengan terdapat titik amphidromik

di Utara Jakarta. Nilai co-range di bagian Utara Pulau Jawa berkisar 0,1 meter

sampai 0,6 meter sedangkan di bagian Selatan Pulau Jawa berkisar 0,2 meter sampai

0,7 meter. Penelitian yang dilakukan oleh Aviantoni (2014) menjelaskan tentang

pembuatan peta co-range dan co-phase diperairan Pulau Sumatera untuk analisis

kerapatan stasiun pasut menggunakan model pasut global TPXO 7.1. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa kontur peta co-phase di bagian Utara, Timur dan Selatan

Pulau Sumatera lebih rapat bila dibandingkan dengan bagian Barat. Nilai amplitudo

di perairan Pulau Sumatera berkisar antara 0,1 meter hingga 1,5 meter dengan nilai

tertinggi terdapat pada bagian Timur Pulau Sumatera.

Menurut Robertson dan Field (2008), gelombang pasang surut memasuki

wilayah perairan indonesia dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Hal ini

didasarkan pada model pasang baroklinik dan barotropik menggunakan persamaan

sederhana dan regional ocean model system pada ke 4 komponen pasang surut (M2,

S2, K1, O1). Gelombang pasang surut membentuk suatu formasi gelombang yang

berputar pada wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Seram.

Menurut Aziz (2006), gelombang air laut mengalami proses refraksi, difraksi

dan refleksi. Dalam proses refraksi, difraksi dan refleksi sangat dipengaruhi oleh

6

kedalaman dari perairan dan juga kondisi dari pulau-pulau disekitar perairan.

Refraksi diakibatkan oleh adanya perubahan kecepatan gelombang arus laut.

Perubahan kecepatan terjadi saat gelombang arus laut yang memasuki perairan

dangkal akan mengalami pembelokan. Difraksi diakibatkan oleh gelombang arus laut

yang membentur suatu penghalang yang berupa karang atau bangunan dilaut

sehingga tinggi gelombang akan berkurang dan semakin lama gelombang akan

hilang seiring dengan tinggi gelombang yang semakin rendah. Refleksi diakibatkan

oleh suatu gelombang arus laut yang memasuki perairan semi tertutup (teluk)

sehingga gelombang datang akan dipantulkan kembali ke laut kemudian akan

terbentuk gelombang berdiri (standing waves). Bentuk perairan Indonesia Timur

yang semi tertutup menyebabkan gelombang air laut ini akan dibelokkan (refraksi)

kemudian gelombang menabrak suatu pulau dan dipantulkan kembali kelaut

(refleksi).

Umam (2013) menjelaskan tentang keakuratan data yang dihasilkan oleh

model pasang surut global TPXO 7.1 untuk pemodelan pasang surut diperairan laut

jawa. Data yang dibandingkan adalah data elevasi dan komponen pasang surut

perairan laut jawa hasil pemodelan model pasut TPXO 7.1 dengan data elevasi

pasang surut dari International Oceanography Comission (IOC) dan data komponen

pasang surut dari Dinas Hidro-Oseanografi (DISHIDROS). Untuk pembandingan

elevasi pasang surut antara hasil pemodelan dengan IOC menghasilkan nilai

simpangan baku sebesar 0,105 m (10,5 cm) dan pembandingan komponen pasang

surut antara hasil pemodelan dengan data DISHIDROS menghasilkan nilai

simpangan baku sebesar 4,067 cm.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi, jarak

antar titik pengamatan, komponen pasang surut dan model pasang surut yang

digunakan. Lokasi penelitian adalah wilayah perairan Indonesia Timur yang berada

pada 1,5666 LU - 8,3555 LS dan 112,9898 BT – 132,2393 BT. Jarak antar titik

pengamatan pada penelitian ini sejauh 0o

1‟ 52,5” atau 3,5 km. Penelitian ini

menggunakan data amplitudo dan fase komponen pasang surut M2, S2, K1, O1 hasil

ekstraksi dari model pasang surut global TPXO 7.1. Data amplitudo dan fase hasil

ekstraksi diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS untuk menghasilkan peta co-

range dan co-phase.

7

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Kondisi Umum Perairan Indonesia Timur

Perairan Indonesia Timur merupakan perairan jeluk (deep water) yang

memiliki satu arus utama yaitu Arus Lintas Indonesia. Arus Lintas Indonesia

(Arlindo) mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melewati perairan

Indonesia Timur. Penyebab terjadinya aliran ini adalah perpindahan sejumlah massa

air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia karena adanya perbedaan ketinggian

permukaan air laut. Permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari

pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien ketinggian yang

mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin,

1998). Arus yang mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melewati

perairan Indonesia Timur akan mengalami proses refleksi yang disebabkan oleh

bentuk perairan Indonesia Timur.

Gambar I. 2. Fisiografi perairan Indonesia Timur akibat proses tektonik

(sumber : http:// www.Inatews.bmkg.go.id)

8

Tatanan geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik

dalam tatanan kelautan dunia karena berada pada pertemuan 3 lempeng besar yaitu

Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Ausralia-Lempeng Samudera Hindia

dan Lempeng Benua Asia (Lubis, dkk., 2009). Ketiga lempeng ini memiliki kekuatan

pergeseran yang cukup besar sehingga pada wilayah pertemuan ini akan

terakumulasi energi yang cukup besar. Akumulasi energi ini suatu saat akan

menimbulkan gempa bumi apabila lapisan batuan pada lempeng tersebut tidak kuat

menahan energi tersebut.

Bentuk dari perairan Indonesia Timur adalah perairan semi tertutup dengan

memiliki topografi dasar laut yang bervariasi dan kedalaman perairan yang dalam

(Anonim, 2010). Berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi

regional, wilayah laut indonesia dibagi menjadi 2 zona yaitu zona dalam dan zona

luar. Zona dalam dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu bagian barat, tengah dan timur.

Bagian barat zona dalam ditempati oleh paparan sunda dengan kedalaman dasar laut

maksimum 200 meter disekitar Laut Jawa. Bagian tengah zona dalam merupakan

zona transisi dari sistem laut dalam bagian barat dan bagian timur dengan kedalaman

lebih dari 3000 meter disekitar Laut Bali, Laut Flores dan Selat Makassar. Bagian

timur zona dalam adalah zona sistem laut banda yang merupakan cekungan tepian

dengan ciri-ciri memiliki kedalaman laut mencapai lebih dari 6000 meter disekitar

Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku. Zona luar ditempati oleh Samudera

Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor, Laut Arafuru Laut filipina Barat, Laut Sulawesi

dan Laut Cina Selatan (Lubis, dkk., 2009). Pada perairan Indonesia Timur terdapat 5

wilayah perairan besar yaitu Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku

dan Laut Seram. Jika diklasifikasikan kedalam sistem zona berdasarkan karakteristik

geologi dan kedudukan fisiografi regional maka perairan Indonesia Timur termasuk

kedalam zona dalam bagian tengah (Laut Flores dan Selat Makassar) dan zona dalam

bagian barat (Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku).

I.7.2. Pasang Surut Laut

I.7.2.1. Pasang surut laut. Pasang surut laut adalah pergerakkan naik dan turun

permukaan air laut secara periodik yang disebabkan karena adanya gaya tarik benda-

benda luar angkasa (De jong, dkk., 2010). Posisi air laut yang naik disebut air

9

pasang sedangkan posisi air laut yang turun disebut air surut, kedua fenomena ini

terjadi secara bergantian sesuai dengan periode waktu tertentu. Suatu wilayah

mengalami pasang dan surut dalam waktu yang berbeda, periode rata-rata fenomena

pasang dan surut sekitar 12,5 jam tergantung dari posisi geografis suatu wilayah

dipermukaan bumi (Wright, dkk., 1999).

I.7.2.2. Gaya pembangkit pasang surut. Fenomena pasang surut terjadi dikarenakan

adanya interaksi antara bumi dengan benda-benda langit seperti bulan dan matahari.

Pada abad ke-17 Sir Isaac Newton mengemukakan teori tentang pasang surut

setimbang yang menyatakan bahwa pada sistem benda dengan massa m1 dan m2 akan

terjadi interaksi gaya tarik menarik sebesar F diantara keduanya yang besarnya

sebanding dengan perkalian massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat

jaraknya :

.......................................................................................................... (I.1)

dalam hal ini,

F : gaya gravitasi

G : konstanta gravitasi ( 6.6725985 . 10-10

m3kg

-1s

-2)

m1 : massa benda pertama

m2 : massa benda kedua

r : jarak antara titik pusat massa benda pertama dengan titik pusat

massa benda kedua

Teori ini juga menjelaskan bahwa gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar

jika dibandingkan dengan gaya tarik matahari terhadap bumi, hal ini disebabkan

karena jarak antara titik pusat massa bulan ke titik pusat massa bumi lebih pendek

jika dibandingkan dengan jarak titik pusat massa matahari ke titik pusat massa bumi.

Pasang surut yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi

dapat terjadi karena adanya gaya pembangkit pasang surut. Gaya pembangkit pasang

surut ini dibagi menjadi 2 yaitu gaya gravitasi dan gaya sentrifugal. Gaya gravitasi

akan menyebabkan benda akan terus berada disekitar pusat gravitasi dan arahnya

menuju ke dalam (arah pusat gravitasi) sedangkan gaya sentrifugal akan membuat

benda saling menjauhi dan arahnya keluar (berlawanan gaya gravitasi).

10

Gambar I. 3. Arah gaya sentrifugal dan gaya gravitasi bulan yang bekerja di

permukaan bumi (sumber : Wright, dkk., 1999)

Pada Gambar I.3 arah panah berwarna biru menunjukkan gaya gravitasional

yang disebabkan oleh gaya tarik bulan, arah panah merah menunjukkan gaya

sentrifugal dan arah panah berwarna ungu menunjukkan gaya pembangkit pasang

surut. Pada permukaan bumi terdapat 2 sisi permukaan bumi yaitu satu sisi yang

menghadap ke bulan (titik G) dan satu sisi tidak menghadap ke bulan (titik A). Pada

titik G gaya gravitasi yang disebabkan oleh gaya tarik bulan akan lebih besar jika

dibandingkan dengan gaya sentrifugal nya (FgG > FsG) sehingga benda yang ada

pada titik G akan cenderung menjauhi bumi ke arah bulan. Sedangkan pada titik A

gaya gravitasi yang disebabkan bulan lebih kecil jika dibandingkan dengan gaya

sentrifugal nya (FgA < FsA) sehingga benda yang berada pada titik A cenderung akan

menjauhi bumi pada arah menjauhi bulan. Gaya gravitasi dan gaya sentrifugal pada

titik yang sama di permukaan bumi akan saling berlawanan sehingga kedua gaya ini

akan membentuk suatu resultan gaya yang disebut dengan gaya pembangkit pasang

surut (Wright, dkk., 1999). Gaya sentrifugal yang bekerja pada semua titik yang

berada di permukaan bumi sama dengan gaya sentrifugal yang bekerja di pusat

massa bumi sedangkan gaya gravitasi nya berbeda tergantung posisi nya terhadap

11

bulan sehingga untuk menghitung gaya pembangkit pasang surut pada suatu titik

maka dapat dilakukan dengan mengurangi gaya gravitasi dengan gaya sentrifugal

nya (Wright, dkk., 1999).

...............................................................................................(I.2)

Persamaan I.2 dapat diuraikan menjadi :

...................................................................................(I.3)

persamaan I.3 dapat disederhanakan menjadi :

.........................................................................................(I.4)

apabila dibandingkan antara nilai r dan a maka nilai a akan jauh lebih kecil daripada

nilai r sehingga tidak akan berpengaruh secara signifikan pada persamaan I.4. Oleh

karena itu nilai a dapat dihilangkan dan persamaan I.4 menjadi :

.............................................................................................(I.5)

Persamaan 1.5 dapat disederhanakan menjadi :

.................................................................................................(I.6)

dalam hal ini,

: gaya gravitasi yang bekerja pada titik G

: gaya sentrifugal yang bekerja pada titik G

: gaya pembangkit pasang surut yang bekerja pada titik G

: konstanta gravitasi ( 6.6725985 . 10-10

m3kg

-1s

-2)

m1 : massa benda bumi

m2 : massa benda bulan

r : jarak antara titik pusat massa bumi dengan titik pusat

massa bulan

a : setengah sumbu panjang ellipsoid

12

Berdasarkan geometrik posisi bulan-bumi-matahari menyebabkan 2

fenomena pasang surut yaitu pasang purnama (spring tide) dan pasang perbani (neap

tide) (De Jong, dkk., 2010). Pasang purnama adalah fenomena pasang surut yang

terjadi ketika bulan, bumi dan matahari berada pada satu garis lurus yang

menyebabkan adanya akumulasi gaya tarik matahari dan bulan terhadap bumi. Pada

kondisi ini ketinggian permukaan air yang menghadap bulan dan matahari akan

mengalami pasang maksimum.

Gambar I. 4. Geometrik sistem bumi-bulan-matahari pada fenomena pasang purnama

(dimodifikasi dari De Jong, dkk., 2010)

Pasang perbani adalah fenomena pasang surut yang terjadi saat kedudukan

matahari tegak lurus dengan sumbu bumi dan bulan. Pada kondisi ini permukaan air

laut yang mengahadap ke bulan akan mengalami pasang maksimum sedangkan

permukaan air laut yang menghadap ke matahari akan mengalami pasang minimum.

Matahari

Bulan baru

Bulan purnama

Pasang maksimum

Pasang minimum

Bumi

13

Gambar I. 5. Geometrik sistem bumi-bulan-matahari pada fenomena pasang perbani

(dimodifikasi dari De Jong, dkk., 2010)

I.7.2.3. Komponen pasang surut. Pasang surut merupakan penjumlahan dari

komponen-komponen pasang surut yang diakibatkan oleh adanya gaya tarik dari

bulan, matahari dan benda langit lainnya terhadap bumi. Bulan, matahari dan benda

langit lainya memiliki periode masing-masing dalam melakukan pergerakan disistem

tata surya. Karena pergerakkan benda langit yang paling dominan adalah bulan dan

matahari maka komponen pasang surut banyak dipengaruhi oleh pergerakkan bulan

dan matahari. Dibawah ini adalah komponen pasang surut yang dibagi menjadi

komponen pasang surut semi-diurnal, diurnal, dan periode panjang.

Matahari

Kuarter pertama Kuater ketiga

Pasang maksimum

Pasang minimum

Bumi

14

Tabel I. 1. Tabel Komponen Pasang Surut

(sumber : Wright, dkk., 1999)

I.7.2.4. Jenis pasang surut. Di suatu wilayah perairan dapat terjadi pasang surut

sebanyak satu kali atau dua kali tergantung dari bentukan garis pantai dan

karateristik dari wilayah perairan. Menurut De Jong dkk (2010) jenis pasang surut

disuatu wilayah perairan dapat dikategorikan kedalam 4 jenis antara lain:

1. Semi Diurnal Tide (pasang surut harian ganda)

Pada tipe pasang surut ini terjadi peristiwa dua kali air pasang dan dua kali air

surut dengan ketinggian muka air yang hampir sama dengan periode pasang

surut terjadi selama 24 jam 50 menit. Di perairan indonesia tipe pasang ini

terjadi di wilayah perairan selat Malaka sampai ke Laut Andaman.

2. Diurnal Tide (pasang surut harian tunggal)

Pada tipe pasang surut ini terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut

dengan periode pasang surut selama 12 jam 24 menit. Di perairan Indonesia

tipe pasang ini terjadi di wilayah perairan selat Karimata.

3. Mixed mainly Semi-Diurnal Tide (pasang surut campuran condong ke harian

ganda)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut. Pada pasang

tipe ini ketinggian permukaan air saat pasang dan periode yang berbeda. Di

perairan indonesia tipe pasang ini terjadi di perairan Indonesia Timur.

Komponen pasang surut Simbol Periode (jam)

Semi-diurnal

Principal lunar M2 12.42

Principal solar S2 12.00

Larger lunar ecliptic N2 12.66

Luni-solar K2 11.97

Diurnal

Luni-solar K1 23.93

Principal lunar O1 25.82

Principal solar P1 24.07

Longer periode

Lunar fortnightly Mf 327.86

Lunar monthly Mm 661.30

15

4. Mixed mainly Diurnal Tide (pasang surut campuran condong ke harian

tunggal)

Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan

ketinggian permukaan air dan periode yang sangat berbeda. Tipe pasang surut

ini terjadi di wilayah pantai selatan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat.

Menurut De Jong dkk (2010), penentuan jenis pasang surut dapat dilakukan

dengan menggunakan rumus Formzahl seperti pada persamaan di bawah ini.

............................................................................................................ (I.7)

dalam hal ini,

: bilangan Formzahl

K1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang

disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari.

O1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang

disebabkan oleh gaya tarik bulan

M2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang

disebabkan oleh gaya tarik bulan

S2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang

disebabkan oleh gaya tarik matahari

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Formzahl dapat diketahui

tipe pasang surut yang terjadi pada perairan tersebut. Di bawah ini merupakan tipe

pasang surut yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan angka bilangan

Formzahl yang dihasilkan dari proses perhitungan :

0 < Nf < 0,25 : Harian Ganda

0,25 < Nf < 1,5 : Campuran condong ke harian ganda

1,5 < Nf < 3 : Campuran condong ke harian tungal

Nf > 3 : Harian tunggal

16

I.7.2.5. Analisis harmonik komponen pasang surut. Menurut Syathari (2014),

analisis harmonik pasang surut adalah salah satu metode yang digunakan untuk

mengetahui sifat dan karateristik dari gelombang pasang surut pada suatu lokasi

tertentu melalui hasil pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu. Menurut

De Jong (2010), proses analisis harmonik komponen pasang surut akan

menghasilkan ketinggian permukaan pasang surut akibat adanya gaya pembangkit

pasang surut. Proses analisis harmonik pasang surut membutuhkan nilai amplitudo,

fase dan kecepatan sudut untuk masing-masing komponen pasang surut. Untuk

menghitung ketinggian permukaan air laut pada periode waktu (t) tertentu digunakan

persamaan berikut ini (Soeprapto, 1993) :

∑ ....................................................(I.8)

dalam hal ini,

: tinggi muka air fungsi dari waktu

Ai : amplitudo komponen ke-i

: kecepatan sudut komponen ke-i

: fase komponen ke-i

: tinggi muka air rerata

t : waktu

k : jumlah komponen

: residu

persamaan I.8 dapat diuraikan menjadi :

∑ ∑

...............(I.9)

Jika dimisalkan :

= Ar dan = Br

Maka persamaan I.9 menjadi :

∑ ∑

...............................(I.10)

dalam hal ini,

dan : konstanta harmonik ke-i

17

k : jumlah komponen pasang surut

t : waktu pengamatan tiap jam

I.7.3. Arus dan Gelombang

I.7.3.1. Arus laut. Menurut Azis (2006), arus laut adalah gerakan massa air dari suatu

tempat (posisi) ke tempat yang lain. Pergerakkan massa ini disebabkan oleh

perbedaan energi yang diterima oleh permukaan bumi. Matahari merupakan sumber

energi panas yang dapat menimbulkan terjadinya penguapan air laut sehingga

belahan bumi yang terkena matahari akan mengalami penguapan sedangkan belahan

bumi yang lain tidak. Penguapan ini akan mengurangi ketinggian dari permukaan air

laut sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan ketinggian permukaan air laut.

Perbedaan ketinggian permukaan air laut ini akan menyebabkan pergerakkan massa

air laut dari suatu tempat ke tempat lain. Sirkulasi arus laut terbagi menjadi 2 yaitu,

sirkulasi dipermukaan air laut dan didalam laut yang masing-masing disebabkan oleh

2 hal yaitu, angin dan perbedaan densitas air laut. Angin akan menimbulkan

pergerakkan di permukaan air laut sedangkan perbedaan densitas akan menimbulkan

pergerakkan di bawah air laut.

Kecepatan arus permukaan diindonesia yang kuat rata rata berada pada posisi

lintang 0.250 LU atau sekitar garis khatulistiwa sedangkan arus permukaan yang

lemah rata rata berada di perairan yang jauh dari garis khatulistiwa. Hal ini

disebabkan karena tekanan udara pada daerah disekitar garis khatulistiwa lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu semakin tinggi tekanan udara

wilayah perairan maka akan membuat kecepatan arus permukaan semakin cepat

begitu juga sebaliknya semakin menjauhi garis khatulistiwa maka kecepatan arus

permukaan akan semakin lemah (Widyastuti, dkk., 2010).

I.7.3.2. Arus lintas Indonesia (ARLINDO). Menurut Hasanuddin (2009), dalam

penelitian tentang arus lintas Indonesia menyatakan bahwa arus lintas Indonesia

merupakan aliran sejumlah massa air yang melewati wilayah perairan Indonesia

Timur yang berasal dari Samudera Hindia dan Pasifik. Aliran massa air ini

merupakan akibat adanya perbedaan ketinggian antara kedua samudera tersebut.

Menurut Wyrtki (1987), perbedaan ketinggian yang terjadi pada waktu

monsun timur adalah setinggi 28 cm (tinggi maksimum) dan pada waktu monsun

18

barat adalah setinggi kurang dari 10 cm (tinggi minimum). Perbedaan ketinggian

tersebut didasarkan pada pengukuran yang dilakukan antara di Davao, Filipina

(Pasifik) dan di Darwin, Australia (Hindia). Perbedaan inilah yang menyebabkan

terjadi nya gradien tekanan yang menimbulkan perpindahan sejumlah massa air dari

Samudera Pasifik ke Samudera Hindia.

Menurut Hasanuddin (2009), ada 2 jenis massa air yang menjadi komponen

arus lintas Indonesia yaitu massa air yang berasal dari Pasifik Utara dan massa air

Pasifik Selatan. Ada 3 pintu masuk utama massa air dari Samudera Pasifik menuju

ke Samudera Hindia melewati perairan Indonesia yaitu :

1. Pintu pertama (Selat Makassar). Massa air dari Samudera Pasifik memasuki Laut

Sulawesi kemudian masuk ke perairan indonesia lewat Selat Makassar. Di Selat

Makassar massa air ini dibagi menjadi 2 jalur yaitu menuju kearah timur dan

menuju kearah selatan. Massa air yang menuju kearah selatan akan menuju

Samudera Hindia dengan melewati Selat Lombok sedangkan massa air yang

menuju ke timur akan menuju Laut Banda dengan melewati Laut Flores

(Hasanuddin, 2009).

2. Pintu kedua (Laut Maluku). Massa air dari Samudera Pasifik memasuki Laut

Seram yang berada diantara Pulau Lifamatola dan Pulau Obi kemudian dari Laut

Seram massa air ini akan menuju Laut Banda melalui Selat Manipa (Ilahude dan

Gordon 1994).

3. Pintu ketiga (Laut Halmahera). Massa air dari Samudera Pasifik memasuki Laut

Halmahera kemudian menuju Laut Seram dan Cekungan Aru dan bertemu di

Laut Banda (Fieux, dkk., 1995).

Massa air dari ketiga pintu ini akan bertemu dilaut Banda yang kemudian

akan dialirkan ke Samudera Hindia melewati 2 jalur yaitu Jalur pertama adalah Selat

Ombai – Laut Sawu – Selat Sumba, Selat Sawu, Selat Roti dan Jalur kedua adalah

melewati selatan Pulau Timor – melewati celah antara Pulau Roti dengan Benua

Australia.

Dengan adanya ARLINDO di Indonesia dan bentuk dari topografi dasar laut

yang beragam sehingga akan mempengaruhi aliran massa air dari Samudera Pasifik

ke Samudera Hindia. Menurut Hasanuddin (2009), kondisi tersebut akan

menyebabkan terjadinya proses upwelling seperti yang terjadi di bagian barat Laut

19

Flores yang disebabkan oleh adanya “sill” yang berada di ujung akhir Selat Makassar

dengan kedalaman 550 meter. Kondisi ini akan menyebabkan terhalangnya aliran

massa air pada kedalaman lebih dari 550 meter sedangkan aliran massa air pada

kedalaman kurang dari 550 meter akan tetap mengalir ke Laut Flores. Aliran massa

air pada kedalam kurang dari 550 meter ini seolah-olah akan menyeret massa air

pada kedalam lebih dari 550 meter kearah timur (Laut Flores) sehingga akan terjadi

kekosongan massa air pada kedalaman kurang dari 550 meter. Kekosongan ini yang

kemudian akan diisi oleh massa air bagian bawah yang naik ke atas.

I.7.3.3. Transformasi gelombang. Gelombang diperairan dalam yang memasuki

perairan dangkal atau pantai akan mengalami perubahan kecepatan. Perubahan

kecepatan ini akan berakibat pada perubahan gelombang yang akan menimbulkan

terjadinya transformasi gelombang (Wright, dkk., 1999). Transformasi gelombang

dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

a. Refraksi.

Refraksi dapat terjadi ketika gelombang mengalami pembelokan dari arah

penjalaran gelombang sehingga membuat „muka gelombang‟ sejajar garis pantai.

Semakin mendekati pantai atau perairan dangkal maka muka gelombang akan

semakin sejajar dengan garis pantai.

Gambar I. 6. Refraksi gelombang air laut (sumber : Wright, dkk., 1999)

20

Pada Gambar I.6 S1 dan S2 adalah garis puncak gelombang (muka

gelombang). d1 dan d2 adalah garis kontur dasar laut yang memiliki perbedaan

ketinggian. Pada Gambar diatas d2 lebih tinggi dari d1 dikarenakan d2 lebih dekat

dengan garis pantai (shoreline). Wave ray adalah arah penjalaran gelombang

dimana wave ray ini akan berpotongan dengan garis puncak gelombang sehingga

akan menimbulkan adanya wave crest (titik A dan B).

Gelombang bergerak dari perairan menuju ke pantai dengan kecepatan

tertentu karena semakin mendekati pantai kemudian gelombang akan memasuki

perairan yang dangkal (garis d1). Pada titik A bagian gelombang yang memasuki

perairan dangkal akan mengalami penjalaran dengan kecepatan yang lebih lambat

dari pada bagian gelombang yang masih berada diperairan dalam (titik B).

Perubahan kecepatan akan membuat garis puncak gelombang (S1 dan S2) akan

membelok dan berusaha sejajar dengan garis pantai. Ketika bagian gelombang

pada titik A dan B sudah memasuki perairan dengkal (garis d1) maka garis S1

perlahan-lahan akan membelok menjadi garis S2. Kemudian gelombang akan

memasuki perairan yang lebih dangkal (garis d2) maka garis S2 perlahan-lahan

akan membelok sehingga semakin mendekati garis pantai garis S2 akan semakin

sejajar dengan garis pantai (Dauhan, dkk., 2013).

b. Difraksi.

Gambar I. 7. Difraksi gelombang air laut (sumber : Triadmodjo, 1999)

21

Difraksi dapat terjadi ketika gelombang yang membentur suatu obyek

sehingga menyebabkan tinggi gelombang menjadi berkurang. Hal ini akan

menyebabkan terjadi nya perpindahan energi sepanjang puncak gelombang ke

arah tinggi gelombang yang lebih kecil. Perpindahan energi ini menyebabkan

pada bagian gelombang ini akan memiliki energi yang cukup besar sehingga akan

mendorong gelombang untuk berbelok. Pembelokan gelombang ini terjadi

disekitar ujung rintangan dan membelokkan gelombang kearah bagian perairan

yang terlindungi dibelakang rintangan (Triatmodjo, 1999) .

c. Refleksi.

Gelombang mengalami refleksi karena gelombang memasuki perairan yang

sempit sehingga gelombang yang datang akan dipantulkan kembali kearah laut

sehingga menghasilkan gelombang pantul yang disebut gelombang berdiri

(standing waves).

Gambar I. 8. Refleksi gelombang air laut

(sumber : http://www.clemson.edu/ces/phoenix/labs/224/standwave/)

Pada Gambar I.8 terdapat gelombang pancar (incident wave), gelombang

pantul (reflected wave), dan titik simpul (node). Pada perambatannya gelombang

pancar dan gelombang pantul melewati titik yang sama. Titik ini merupakan titik

persilangan antara dua gelombang yang disebut titik amphidromik. Hal ini terjadi

karena titik simpul tidak mengalami pergerakkan secara vertikal dalam sistem

penjalaran gelombang.

22

I.7.4. Titik Amphidromik

Kombinasi bentuk geometri basin didasar laut dan efek yang ditimbulkan oleh

gaya coriolis menyebabkan terbentuk gelombang pasang surut yang bergerak

memutar pada suatu wilayah perairan yang disebut sistem amphidromik (Wright,

dkk., 1999). Gelombang pasang surut memasuki suatu wilayah perairan semi

tertutup kemudian akan dibelokkan oleh gaya coriolis sehingga menyebabkan

gelombang akan bergerak memutar pada wilayah tersebut (De Jong, dkk., 2010).

Gelombang pasang surut bergerak memutari suatu titik dipermukaan air laut yang

disebut titik amphidromik. Titik amphidromik adalah titik-titik dipermukaan laut

yang tidak mengalami pergerakkan secara vertikal dalam sistem penjalaran

gelombang. Pada titik amphidromik nilai amplitudo gelombang pasang surut adalah

nol dan akan semakin bertambah jika semakin menjauh dari titik amphidromik

(NOAA, 2000).

Gambar I. 9. Sistem amphidromik perairan global pada konstanta pasang surut M2

(sumber : Wright, dkk., 1999)

Pada Gambar I.9 garis yang berwarna merah adalah garis co-phase dan garis

yang berwarna biru adalah garis co-range. Garis co-range adalah garis yang

menghubungkan titik-titik yang memiliki nilai amplitudo yang sama dan akan

berpotongan dengan garis co-phase (NOAA, 2000). Garis co-phase adalah garis

yang menghubungkan titik-titik yang memiliki fase yang sama dan seolah-olah akan

23

memancar keluar dari titik amphidromik (NOAA, 2000). Nilai amplitudo dituliskan

dengan satuan meter sedangkan nilai fase dituliskan dalam satuan derajat. Pada garis

co-phase terdapat angka 1 sampai 11 yang menujukkan jam dari garis co-phase

sedangkan pada garis co-range terdapat angka yang menunjukkan nilai dari

amplitudo.

Pada perairan global didunia sistem amphidromik memiliki 2 arah rotasi

gelombang pasang surut yaitu rotasi yang searah dengan jarum jam dan berlawanan

dengan jarum jam yang disebabkan oleh adanya gaya coriolis. Perbedaan arah rotasi

gelombang pasang surut ini didasarkan pada letak wilayah dipermukaan bumi, rotasi

gelombang pasang surut yang searah jarum jam terjadi dibelahan bumi bagian selatan

sedangkan rotasi yang berlawanan dengan arah jarum jam terjadi dibelahan bumi

bagian utara (Wright, dkk., 1999). Untuk dapat mengetahui bagaimana arah dari

rotasi gelombang pasang surut maka dapat dilihat pada urutan garis co-phase yang

menunjukkan urutan jam terjadi nya gelombang. Gelombang pasang surut akan

bergerak dari angka urutan yang kecil ke angka yang lebih besar.

I.7.5. Model Pasang Surut Global TPXO 7.1

Model Pasut Global TPXO 7.1 adalah model pasang surut yang

menggunakan teknik asimilasi dalam melakukan penggabungan informasi data

pasang surut. Teknik asimilasi pada model pasang surut merupakan penggabungan

antara data hasil pengamatan permukaan air laut menggunakan satelit altimetri

(TOPEX/Poseidon) dan pengukuran pasang surut langsung pada stasiun pengamatan

pasut. Resolusi spasial dari model pasang surut global TPXO 7.1 sebesar 0,25o x

0,25o

(Fok, 2012). TOPEX/Poseidon dapat melakukan pengukuran ketinggian

permukaan air laut secara periodik dengan interval waktu 10 hari dan tingkat akurasi

hingga 2-3 cm dengan mengabaikan kecepatan cahaya. Pengukuran satelit altimetri

dengan jarak antar ground track di ekuator bumi sejauh 315 km atau lebar bujur 3o

.Pengukuran ketinggian permukaan air laut yang dilakukan oleh satelit altimetri

dilakukan dengan interval waktu 10 hari sedangkan perubahan ketinggian permukaan

air laut terjadi setiap saat sehingga pengukuran dengan satelit ini tidak

menggambarkan ketinggian permukaan air laut secara teliti. (Rosmorduc, dkk.,

2011). Oleh karena itu diperlukan adanya data hasil pengukuran di stasiun pasut yang

24

diukur setiap saat, hal ini bertujuan untuk mengisi kekurangan data pengukuran

satelit altimetri yang diukur selama 10 hari sekali. Data pasang surut dari satelit

altimetri dan stasiun pasut diasimilasikan dengan menggunakan OTIS (Oregon state

university Tidal Inversion Software) kedalam persamaan hidrodinamika (Fok, 2012).

Model Pasut Global TPXO 7.1 ini dikembangkan pada tahun 2003 oleh

Oregon State University (OSU), Amerika Serikat. Model pasut ini dapat dijalankan

dengan menggunakan perangkat lunak tidal model driver sehingga dapat digunakan

untuk mengekstrak komponen harmonik pasang surut dan juga memprediksi pasang

surutu di permukaan laut dari model pasut. Model pasang surut global TPXO 7.1

memiliki 4 files yaitu model_tpxo7.1, h_tpxo7.1, u_tpxo7.1 dan grid_tpxo7.1. File

model_tpxo7.1 merupakan file dalam bentuk ASCII sedangkan h_tpxo7.1, u_tpxo7.1

dan grid_tpxo7.1 merupakan file dalam bentuk biner. Pada file h_tpxo7.1 berisikan

tentang koefisien grid untuk data tinggi gelombang, file u_tpxo7.1 berisikan data

kecepatan pada gelombang dan file grid_tpxo7.1 berisikan tentang data grid

batimetry (Padman, 2005).

Tidal Model Driver (TMD) adalah perangkat lunak yang dapat digunakan

untuk melakukan pemodelan pasang surut laut dengan melakukan ekstraksi data

komponen harmonik dan ramalan ketinggian pasang surut dengan menggunakan

model pasang surut (Padman, 2005). TMD merupakan perangkat lunak yang terdiri

dari 2 komponen yaitu:

1. tampilan grafis yang berisi tampilan untuk menjelajah serta menentukan medan

pasang surut.

Gambar I. 10. Tampilan grafis model pasut global TPXO 7.1

25

Gambar I.10 merupakan tampilan dari Tidal Model Driver setelah

dijalankan di program Matlab. Komponen pasang surut yang dapat diekstrak

adalah M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, Q1, M1, Mm, dan M4. Untuk melakukan

proses ekstraksi data komponen pasang surut dapat dilakukan menginputkan

satu per satu titik-titik pengamatan atau memasukkan sejumlah koordinat titik-

titik pengamatan kedalam notepad lalu menginputkan nya kedalam TMD. Nilai

variable yang dapat diekstrak antara lain “u” (east velocity/kecepatan arah x),

“v” (north velocity/kecepatan arah y), “z” (elevation), “Ell”(tidal ellipse/ellipse

pasang surut), “U”(east transport), “V”(north transport).

2. tampilan script untuk mengakses daerah pasang surut dan memprediksi pasang

surut. Dalam prediksi pasang surut diperlukan script untuk menjalankan

program prediksi pasang surut. Beberapa script memiliki fungsi sebagai berikut

:

a. tmd_exerciser.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk mendemonstasikan

bagaimana caranya untuk menampilkan tampilan utama TMD sehingga

dapat digunakan fungsi operasi lainnya.

b. get_bathy.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk memanggil kembali

nilai lintang, bujur dan kedalaman perairan pada model yang sedang

dijalankan.

c. extract_hc.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk mengekstraks

komponen harmonik pasang surut pada suatu lokasi yang telah ditentukan.

d. tide_pred.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk membuat prediksi dari

variabel pasang surut pada lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Pada

fungsi ini juga dimungkinkan untuk memilih komponen harmonik pasang

surut yang akan diekstrak dan prediksi ini dibuat berdasarkan koreksi nodal.

e. ellipse.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk menghitung parameter

ellipse pasang surut (setengah sumbu panjang, setengah sumbu pendek dan

fase ellipse)

26

I.7.6. Interpolasi

Interpolasi adalah suatu metode yang digunakan untuk membuat titik-titik

baru berdasarkan sejumlah data titik-titik yang telah diketahui nilai elevasi nya.

Tujuan pembuatan titik-titik baru adalah untuk mengetahui nilai pada suatu lokasi

yang memiliki kekurangan sampel data titik-titik. Titik-titik baru dan titik-titik yang

telah diketahui nilai elevasinya dikombinasikan untuk membuat suatu model

permukaan. Model permukaan yang dihasilkan dapat bermacam-macam model

permukaan tergantung nilai apa yang digunakan untuk menginterpolasi. Apabila nilai

ketinggian permukaan tanah maka model yang dihasilkan adalah model permukaan

bumi tetapi apabila nilai ketinggian air laut maka model yang dihasilkan adalah

model permukaan laut.

I.7.7.1. Interpolasi triangulated irregular network. Triangulated irregular network

merupakan suatu permukaan terain yang terdiri dari banyak segitiga (Lee, 1991).

Interpolasi triangulated irregular network merupakan salah satu metode interpolasi

yang menggunakan jaringan segitiga untuk menghubungkan antara titik satu dengan

yang lainnya. Titik-titik yang dihubungkan adalah titik-titik yang memiliki nilai

elevasi serta koordinat x dan y. Hasil dari proses interpolasi ini adalah terbentuknya

model permukaan berdasarkan data titik-titik yang memiliki nilai elevasi. Pada

umumnya model TIN (Triangulated Irregular Network) untuk membuat garis kontur.

Algoritma dalam membangun jaring segitiga adalah (Ma, dkk., 2011) :

1. Menentukan satu titik yang yang akan digunakan sebagai titik awal.

2. Menentukan titik kedua yang posisinya terdekat dengan titik awal. Membuat

garis yang menghubungkan kedua titik tersebut. Garis ini disebut sebagai

garis baseline segitiga.

3. Menentukan titik ketiga yang posisinya terdekat dengan garis baseline.

Membuat garis yang menghubungkan antara titik awal dan titik kedua

dengan titik ketiga sehingga terbentuk 3 garis baseline.

4. Ketiga garis baseline digunakan sebagai acuan untuk membuat garis-garis

baseline lain sehingga membentuk jaring segitiga.

27

I.7.7.2. Interpolasi natural neighbor. Interpolasi natural neighbor merupakan

metode interpolasi yang bersifat lokal dimana dalam proses menentukan nilai suatu

titik menggunakan nilai titik-titik sampel yang berada disekitar titik yang ingin

diinterpolasi. Hasil interpolasi ini menghasilkan nilai yang mirip dengan nilai titik-

titik sampel yang digunakan sebagai nilai masukkan. Setiap titik pada metode ini

adalah titik yang dihubungkan dengan diagram voronoi (Thiessen Polygon). Metode

ini menghubungkan titik-titik masukkan satu dengan yang lainnya dan membentuk

segitiga (triangulation). Setelah titik-titik masukkan dihubungkan kemudian

membangun diagram voronoi (thiessen polygon) untuk semua titik-titik masukkan

yang digunakan dalam proses interpolasi (Pasaribu dan Haryani, 2012).

a b

Gambar I. 11. Gambar diagram voronoi (Thiessen Polygon) (a) sebelum

ditambahkan titik sampel x (b) setelah ditambahkan titik sample x

(sumber : dimodifikasi dari Ledoux. dan Gold, 2005).

Pada Gambar I.11 (a) titik p1, p2, p3, p4, p5, p6 adalah titik-titik masukkan

yang akan digunakan dalam proses interpolasi. Titik x pada Gambar I.11 (b) adalah

titik sampel yang akan dihitung nilai elevasi nya. Garis yang berwarna merah adalah

diagram voronoi (Thiessen Polygon). Bentuk dari diagram voronoi pada Gambar I.11

(a) berubah menjadi seperti Gambar I.11 (b) dikarenakan adanya penambahan titik x.

Konsep perhitungan elevasi titik sampel pada metode ini adalah dengan mengkalikan

nilai bobot masing-masing wilayah diagram voronoi dengan nilai elevasi titik

28

masukkan nya (p1, p2, p3, p4, p5, p6). Rumus untuk menghitung nilai bobot ( ) pada

wilayah diagram voronoi sebagai berikut ( Ledoux dan Gold, 2005):

.................................................................................................(I.11)

Dalam hal ini, adalah nilai bobot pada area diagram voronoi titik titik p i,

adalah luas area diagram voronoi dari titik p ke-i sebelum titik sample x

ditambahkan, adalah luas area diagram voronoi dari titik p ke-i setelah titik

sample x ditambahkan. Setelah nilai bobot didapatkan kemudian untuk menghitung

nilai elevasi dari titik sampel (x) menggunakan rumus sebagai berikut ( Ledoux dan

Gold, 2005):

∑ ....................................................................................................(I.12)

Dalam hal ini, adalah nilai elevasi pada titik i yang akan digunakan untuk

interpolasi.

I.8. Hipotesis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson dan Field (2008)

tentang pasang baroklinik dan barotropik diperairan Indonesia pada ke-4 komponen

pasut (M2, S2, K1, O1) diindikasikan adanya pemusatan arus di Selat Makassar dan

Laut Seram. Oleh karena itu hipotesis awal (Ho) pada penelitian ini adalah terdapat

titik amphidromik yang terbentuk diperairan Selat Makassar dan Laut Seram

berdasarkan gambaran peta co-range dan co-phase pada ke-4 komponen pasang

surut.