BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasawarsa 90-an ditandai dengan liberalisasi perekonomian dan perdagangan
bebas. Liberalisasi perdagangan sebenarnya merupakan dilema bagi banyak Negara
termasuk Indonesia sendiri yang belum memiliki kesiapan dalam menghadapi
persaingan bisnis berbasis Internasional. Namun liberalisasi tidak mungkin dapat
ditolak karena dapat menghambat tumbuh dan berkembang prakarsa dan kreatifitas
masyarakat yang merupakan modal penting pertumbuhan ekonomi.
Indonesia adalah negara hukum yang menggunakan hukum selaku pengarah
dan pengayom kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun sasaran pembangunan
bidang hukum itu sendiri adalah terbentuk dan berfungsinya hukum nasional yang
mantap dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang
mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran.
Sehubungan dengan perkembangan ekonomi nasional dan global, hukum
berfungsi sebagai landasan kegiatan ekonomi. Bila kepastian hukum tidak dimiliki
maka ekonomi negara Indonesia akan tertinggal dari negara lain dalam menarik
investasi.1 Dengan demikian peranan hukum nasional khususnya hukum ekonomi
harus mampu membangun kerangka kerja pengaturan hukum yang melandasi
kegiatan ekonomi pada dunia usaha. Pengaturan hukum ekonomi berkaitan erat
dengan upaya pembinaan landasan hukum atas kegiatan ekonomi oleh para pelaku
ekonomi sehingga kinerja para pelaku ekonomi menjadi lebih efisien.
1Normin S.Pakpahan,”Kepastian Hukum, Sebuah Daya Tarik Era Perdagangan Bebas”, Harian
Kompas, 5 Januari 1997.
2
Peranan hukum dalam menghadapi perdagangan bebas tampak dari lahirnya
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)2 yang
merupakan usaha pemerintah meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dalam
dunia usaha dengan memperbaharui secara terus menerus hukum yang mengatur
pendirian suatu badan usaha berbentuk perseroan terbatas.
Didalam penjelasan umum disebutkan bahwa lahirnya UUPT adalah dalam
rangka lebih meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan sekaligus
memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi
perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
dalam era globalisasi pada masa mendatang, sehingga perlu didukung oleh undang-
undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin
terselenggaranya iklim usaha yang kondusif.3
Didalam era globalisasi yang serba cepat, UUPT kemudian mengefisienkan
tatacara mendirikan perseroan terbatas dan mempersingkat waktu pendiriannya. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan masuknya perusahaan baru dalam
perekonomian serta memudahkan kesempatan bagi perusahaan yang ingin
memperluas usahanya.
Sekarang ini perekonomian yang sedemikian maju telah membawa dampak
pada meningkatnya kegiatan antar pelaku usaha dengan kewarganegaraan yang
berbeda yang telah menyingkirkan keberadaan batas-batas negara. Hal ini
ditunjukkan oleh keberadaan perusahaan multinasional (multinational companies)
yang melakukan investasi diberbagai negara, memiliki anak perusahaan yang tersebar
di negara-negara lain seperti bisnis waralaba yang telah merambah ke berbagai
2Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang
digantikan oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, ketentuan Undang-undang perseroan terbatas
diatur dalam Buku I Bab III Bagian III Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23), sebagaimana telah dirubah, terakhir dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971; (per tanggal 7 Maret 1996) dan dalam Ordonansi Maskapai
Andil Indonesia (Ordonantie op de Indonesische Maatschaappij op Aandelen (Stb. 1939-569 ji.717))
(per tanggal 7 Maret 1999).
3Lihat Bagian Umum Penjelasan atas Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
3
pelosok negara untuk mengekspoitasi pasar dunia.
Berbicara dalam konteks melampaui batas negara yang disebabkan
sedemikian tingginya mobilitas bisnis maka karakteristik norma hukum dari
perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi tersebut sedikit banyak akan saling
memperlihatkan diri karena diantara perusahaan-perusahaan yang berbisnis sedikit
banyak membawa aturan-aturan yang berlaku di negara masing-masing. Dalam hal
ini perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan-perusahaan dengan bentuk
perseroan terbatas atau yang biasa dikenal dengan istilah limited company by shares.
Perkembangan globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar
pada bidang hukum. Globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi
hukum.4 Globalisasi hukum dalam bidang ekonomi ditunjukkan oleh berbagai
Undang-undang dan perjanjian yang menyebar melewati batas negara yang
mengakibatkan terjadinya peleburan prinsip-prinsip hukum pada suatu negara kepada
negara lainnya.5 UUPT sendiri dalam perkembangan dan pembaharuannya selain
mempersingkat waktu pendirian juga kemudian mengadopsi prinsip-prinsip Negara
lainnya seperti Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR)6, Pembelian Kembali Saham oleh Perusahaan (Buy Back)
7,
4Pendapat Erman Rajagukguk, seperti di kutip dalam buku Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam
Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001),
h.2. 5Richard C. Breeden, The Globalization of Law and Business in the 1990’s, Wake Forest Law Review.
Vol . 28 Bi.3 (1993), h.511-517. 6Corporate Social Responsibility/CSR yang biasa disebut Business Social Responsibility atau
Corporate Citizenship pada prinsipnya merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan, tidak hanya
yang berbentuk perseroan terbatas, dengan segala sesuatu atau segala hal (stake holders) yang secara
langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan tersebut untuk tetap menjamin
keberadaan dan kelangsungan usaha perusahaan tersebut. Pengertian ini memiliki konsep yang sama
dengan definisi mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang didefinisikan sebagai
komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. CSR ini diatur dalam Pasal 74 Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 7Buy Back atau pembelian kembali saham oleh perusahaan adalah suatu bentuk pemindahan saham
berupa pembelian kembali sahamnya sendiri oleh perseroan yang bersangkutan, pembelian
tersebut dibenarnya sampai jumlah tertentu dan tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi
lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah dengan dana cadangan wajib. Diatur dalam
Pasal 37 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
4
Pemisahan Perusahaan Tidak Murni (Spin Off)8. Disamping itu juga terdapat
Larangan Kepemilikan Silang (Cross Holding).
Didalam penelitian tesis berjudul “Kajian Hukum Tentang Kepemilikan
Silang Saham Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”
berfokus utama seputar masalah kepemilikan silang menurut UUPT. Kepemilikan
silang yang lebih dikenal dengan istilah cross holding dalam UUPT adalah suatu
keadaan dimana perseroan terbatas memiliki saham yang dikeluarkanoleh perseroan
terbatas lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh
perseroan. Kepemilikan secara langsung adalah apabila perseroan A memiliki saham
pada perseroan B secara langsung tanpa melalui pemilikan pada suatu perseroan
antara dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A9.
Sedangkan kepemilikan silang secara tidak langsung adalah kepemilikan
saham perseroan A pada perseroan B melalui satu atau lebih perseroan antara dan
sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A. Didalam UUPT yang lahir
sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yakni Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1995 tidak ada pengaturan mengenai larangan kepemilikan silang.
Larangan yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 adalah
larangan kepada perseroan terbatas untuk mengeluarkan saham dengan tujuan untuk
dimiliki sendiri. Dan larangan kepemilikan saham tersebut juga berlaku bagi anak
perusahaan terhadap saham yang dikeluarkan oleh induk perusahaan. Alasan larangan
tersebut berpegang pada prinsip bahwa pengeluaran saham bertujuan untuk
mengumpulkan modal, karenanya kewajiban penyetoran saham seharusnya
dibebankan kepada pihak lain.10
Dan alasan mengapa anak perusahaan dilarang
memiliki saham yang dikeluarkan oleh induk perusahaan adalah karena anak dan
induk perusahaan dianggap merupakan satu kesatuan bisnis yang tidak dapat
8Spin Off atau pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan
usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum
kepada 2 (dua) perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum
kepada 1 (satu) perseroan atau lebih. Ketentuan Spin Off diatur dalam Pasal 135 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 9Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
10Penjelasan Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
5
dipisahkan kepemilikan diantara mereka, baik oleh induk perusahaan maupun anak
perusahaan.11
Kepemilikan silang cukup populer di Asia. Alasan kepopulerannya dapat
dipahami jika dilihat dari sisi dunia bisnis yang bertujuan meraup keuntungan
sehingga para pelaku usaha mengupayakan hal-hal yang kadang dilarang oleh
undang-undang untuk memperoleh keuntungan.
Menurut Johannes Ibrahim perusahaan adalah semacam organisasi didalam
dunia bisnis, dan karena bergerak dalam lingkup dunia bisnis yang harus diperhatikan
untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan adalah bagaimana
langkah-langkah suatu perusahaan dalam berintegrasi, baik vertikal atau horizontal.
Tujuannya adalah bagaimana memberi manfaat bagi perusahaan-perusahaan untuk
menata bisnisnya, struktur organisasinya, visi dan misi perusahaandalam menciptakan
efisiensi dan berkompetisi dengan para pesaingnya.12
Karenanya kepemilikan silang dilakukan sebagai salah satu bentuk dari upaya
perusahaan dalam berintegrasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas
perusahaan sendiri dan untuk meningkatkan daya saing terhadap perusahaan lainnya.
Didalam kepemilikan silang 2 (dua) atau lebih perusahaan yang berintegrasi akan
berada dibawah satu kepemilikan yang sama. Karenanya walaupun terdapat beberapa
perusahaan, namun kebijakan yang dijalankan sebenarnya adalah kebijakan satu
perusahaan saja. Dan struktur seperti ini menyebabkan perubahan daya saing
perusahaan dimana perusahaan yang melakukan kepemilikan silang akan menjadi
lebih kuat, karena berkurangnya perusahaan pesaing dalam pasar.
Contoh perusahaan yang melakukan kepemilikan silang adalah : kelompok
usaha Temasek yang melakukan kepemilikan silang pada Telkomsel (35%) dan
11
“Anak perusahaan” adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroanlain yang
terjadi karena :
a. Lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya;
b. Lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya; dan atau
c. Kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat
dipengaruhi oleh induk perusahaannya 12
Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, (Bandung :
Refika Aditama, 2006), h.2.
6
Indosat (41,9%). Charoen Pokphand Group (CP) yang ada di Thailand, CP memiliki
secara langsung 33% saham CP Feedmill (agribisnis dan real estate, perusahaan ritel,
pabrik, dan telekomunikasi), 2% saham CP Northeastern (agribisnis), dan 9% saham
Bangkok Agro-Industrial (agribisnis). Selanjutnya CP Feedmill memiliki 57% saham
Northeastern. CP Feedmill juga memiliki 60% saham Bangkok Agro-Industrial, dan
CP Northeastern memiliki 3% saham Bangkok Agro-Industrial. Bangkok Agro-
Industrial memiliki 5% saham CP Feedmill. Saham-saham CP Feedmill, CP
Northeastern, dan Bangkok Agro-Industrial tercatat di Bangkok Stock Exchange.
Contoh lainnya adalah Lippo Group. Lippo mengendalikan konglomerasi di bidang
keuangan yang terdiri dari tiga perusahaan utama yang saling berhubungan dengan
struktur kepemilikan silang, yaitu: Bank Lippo, Lippo Life, dan Lippo Securities.
Meskipun keluarga Mochtar Riady telah mendivestasikan hampir seluruh sahamnya
di Bank Lippo dan Lippo Life pada tahun 1996, mereka tetap terus mengendalikan
perusahaan-perusahaan tersebut melalui saham minoritas di Lippo Securities, yang
memegang 27% saham Lippo Life. Lippo Life selanjutnya memegang 40% saham
Lippo Bank. Selanjutnya, TELKOM dan INDOSAT dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi memiliki kepemilikan silang saham dibeberapa perusahaan, yaitu : 1.
PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel), sahamnya dimiliki oleh TELKOM
(42,72%), INDOSAT (35%), KPN (17,28%) dan Setdco (5%). 2. PT. Satelit Palapa
Indonesia (Satelindo), sahamnya dimiliki oleh TELKOM (22,50%), INDOSAT
(7.5%), DeTe Asia (25%) dan Bimagraha (45%). 3. PT. Aplikasi Nusantara
(Lintasarta), sahamnya dimiliki oleh TELKOM (37,66%), INDOSAT (32,64%) dan
Lain-lain (29,70%).13
Dengan adanya kepemilikan silang (cross holding) itu sendiri dilihat dari segi
permodalan, khusus dalam konteks pengeluaran saham baru, maka jelas tidak ada
setoran modal secara riil yang masuk kedalam perseroan dan dari sisi manajemen,
kepemilikan silang cenderung menyebabkan terjadinya percampuran antara pemilikan
dan pengurusan perseroan yang satu dengan yang lain, sehingga dalam hal ini
13
Ibid., Admin, 2008, Kepemilikan Silang ( Cross Ownership / Cross Holding ) , (online),
(http://pihilawyers.com), diakses terakhir tanggal 15 Januari 2009.
7
manajemen menjadi tidak lagi independen satu terhadap lainnya.14
Disamping itu
kepemilikan silang adalah bentuk persaingan usaha yang tidak sehat dan cenderung
merugikan banyak pihak, baik pelaku usaha pesaing, konsumen dan negara sendiri.
Oleh karena itu UUPT sebagai salah satu elemen utama dari regulasi di
bidang ekonomi di amandemen untuk mengadopsi berbagai perkembangan yang
muncul di dalam dunia bisnis internasional yang juga merupakan salah satu alasan
utama diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
Dalam perkembangan usaha yang begitu pesat, pemerintah memiliki peranan
yang besar dalam membuat regulasi yang bertujuan mengatur pihak masyarakat
dalam melakukan kegiatan usahanya dalam skala nasional maupun internasional.
Menurut Leonard J.Theberge dalam tulisannya “Law and Economic Development”,
bahwa faktor utama untuk dapat berperannya hukum dalam pembangunan ekonomi
adalah apakah hukum mampu menciptakan “Stability”, “Predictability”, dan
“Fairnes”.15
Yang merupakan fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum untuk
menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling
bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari
suatu langkah-langkah yang diambil khususnya bagi negeri yang sebagian besar
rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui
lingkungan sosial tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang
samadan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga
mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.16
Berkaitan dengan apa yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa
14
Gunawan Widjaja, I, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, (Jakarta: Forum Sahabat,
2008), h.50. 15
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008), h.5. 16Ibid
8
peranan hukum dalam pembangunan ekonomi itu adalah untuk melindungi, mengatur
dan merencanakan kehidupan ekonomi, sehingga dinamika kegiatan ekonomi itu
dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.17
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang permasalahan tersebut diatas
maka timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tentang kepemilikan silang saham dalam perseroan
terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007?
2. Bagaimana proses terjadinya kepemilikan silang saham?
3. Bagaimana dampak kepemilikan silang dalam perseroan terbatas terhadap
kegiatan usaha?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang kepemilikan silang saham
dalam perseroan terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kepemilikan silang saham.
3. Untuk mengetahui dampak kepemilikan silang dalam perseroan terbatas
terhadap kegiatan usaha.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Secara Teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya bidang hukum
perusahaan serta menambah khasanah kepustakaan.
17Ibid
9
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran Bagi
ilmu pengetahuan hukum mengenai kepemilikan silang (cross holding) bagi
para praktisi hukum maupun akademisi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap
hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada belum ada penelitian dengan judul
“Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham Menurut Undang-undang
Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”.
Akan tetapi terdapat satu penelitian tesis yang dilakukan oleh Anton Deven
Varma, mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara pada tahun 2006 dengan judul penelitian “ Transaksi Cross
Ownership antara PT. Indonesia Sattelite Corporation, Tbk dengan PT.
Telekomunikasi Indonesia, Tbk.” Dalam penelitian tersebut permasalahan yang
diajukan adalah :
1. Apakah yang menjadi latar belakang Transaksi Kepemilikan Silang (cross
ownership) yang dilakukan antara TELKOM dan INDOSAT?
2. Bagaimanakah cara penyelesaian Transaksi Kepemilikan Silang (cross
ownership) antara TELKOM dan INDOSAT?
3. Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian Transaksi Kepemilikan Silang
(cross ownership) antara TELKOM dan INDOSAT? Dilihat dari titik
permasalahan dari masing-masing penelitian diatas terdapat perbedaan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian
penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari segi
permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan
kegiatanpengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.18
Fungsi teori dalam
penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati.19
Karena penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya,
penelitian ini berusaha memahami aspek-aspek hukum dari kepemilikan silang saham
dalam perseroan terbatas secara yuridis. Maka teori yang dipergunakan sebagai pisau
analisis dalam penelitian ini adalah :
a. The Rule of Law
Hukum lahir dari kekuasaan pemerintah. Karena itu politik merupakan
conditio sine qua non dari lahirnya hukum. Hukum berasal dari negara. Pemerintah
mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya. Karena itu pemerintah melalui
politiknya menjadi sumber hukum. Dalam menyelenggarakan politik hukum,
pemerintah negara tidak bertolak dari norma-norma keadilan yang abstrak melainkan
dari kepentingan-kepentingan yang ada hubungannya dengan situasi konkret
masyarakat yang bersangkutan.
Max Weber mengatakan bahwa pertumbuhan sistem hukum modern tidak
dapat dilepaskan dari kemunculan industrilisasi dan kapitalis.20
Sistem hukum
modern yang kita lihat sekarang ini adalah tuntutan industrialisasi yang kapitalis.
Artinya, hukum itu mengabdi dan melayani masyarakat industri-kapitalis dan system
hukum harus dapat memberikan alasan rasional dan prediktabilitas dalam kehidupan
ekonomi.
18
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-Press, 1986), h.122. 19
Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), h.35. 20
Bandingkan David Trubek dalam O.C Kaligis, Ontologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 2, (Bandung:
Alumni, 2007), h.22.
11
Hukum modern adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk
kepentingan-kepentingan tertentu (purposeful). Konstruksi tersebut meliputi juga
pengadaan doktrin, asas dan sebagainya. Konstruksi hukum yang dipakai dalam
konsep Rule of Law dalam tesis ini adalah konstruksi hukum menurut aliran mixed
economy yang menekankan pada studi norma preskriptif mengenai hubungan antara
hukum dan ekonomi dengan tujuan akhir Welfare Economy yang menekankan usaha
lebih luas untuk mencapai/meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara
maksimum.21
Karenanya diperlukan regulasi dua sasaran. Pertama : perumusan kaidah
hukum demi tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan menjamin
kinerja individu dalam perekonomian secara seimbang. Kedua : desentralisasi otoritas
(administrative agencies) dan instansi pengatur (regulatory agencies).22
Institusi tersebut diberi wewenang terbatas dan peraturan perundang-
undangan untuk melakukan intervensi seperlunya terhadap praktik bisnis terutama
yang merugikan masyarakat secara keseluruhan. Wewenang tersebut antara lain
dengan diberikan hak kepada pemerintah untuk melakukan investigasi, memberikan
petunjuk pelaksanaan, membuat pengaturan pelaksana yang sesuai dengan kebutuhan
dunia bisnis dan bila perlu mengambil tindakan represif dengan menjatuhkan sanksi
dalam batas-batas tertentu.23
Dengan demikian UUPT adalah hukum yang lahir dari politik pemerintah,
sebagaimana setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik24
, yang jika
dikaitkan dengan masa modern sekarang ini maka hukum yang diciptakan merupakan
tuntutan dari industrialisasi dan kapitalis yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang berujung pada kesejahteraan sosial masyarakat. Karenanya segala
peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik,
21
Nindiyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006) h.6 22
Ibid., h.7. 23
Ibid 24
Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2006), h.65.
12
pertumbuhan ekonomi diubah dan dihapuskan.25
Sehubungan dengan hukum yang diciptakan tersebut terdapat pula otoritas
pihak tertentu yang diberi wewenang sebagai pengawasnya oleh peraturan
perundang-undangan. Karenanya terhadap UUPT yang diciptakan oleh pemerintah
tersebut dalam hal pelaksanaannya UUPT harus memperhatikan rambu-rambu hukum
lain dan mematuhinya. Peraturan yang menjadi rambu-rambu tersebut adalah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dalam hal ini instansi yang merupakan
perpanjangan otoritas pemerintah adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal apabila
perseroan terbatas menjadi perseroan terbuka dan dalam melaksanakan kegiatannya
dibidang pasar modal tersebut selanjutnya diawasi oleh Bapepam-LK.
b. Dokrin Piercing The Corporate Veil26
Perusahaan adalah kesatuan hukum (legal entity) yang berbeda dan terpisah
dari pemegang saham perseroan. Sebagai suatu kesatuan hukum (legal entity) yang
terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya
bukan bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham tetapi bertindak untuk dan atas
nama dirinya sendiri. Ciri utama suatu badan hukum adalah adanya pemisahan antara
harta kekayaan badan hukum dan pribadi pemegang sahamnya. Dengan demikian,
para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian badan
hukum melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya.
Akan tetapi dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya
tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
25
Todung Mulya Lubis, ”Perkembangan Hukum Dalam Perspektif Hak Azasi manusia”,makalah untuk
Raker Peradilan November 1983 sebagaimana dikutip dalam Moh. Mahfud MD., Op.Cit., h.66. 26
Munir Fuady, II, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2002), h.61.
13
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan
pribadi;
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.27
Prinsip penerapan terbatas tanggung jawab dari pemegang saham dikenal
dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip ini dalam bahasa Indonesia
diartikan“menyikap tabir atau cadar perseroan”28
. Tabir atau cadar yang disingkap
yang dimaksud adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang
saham seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT. Dalam Black’s
Law Dictionary, doktrin piercing the corporate veil dijelaskan sebagai berikut :
Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual
immunity of corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g.
when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine
which holds that the corporate structure with its attended limited liability of
stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however,
may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or
the remedying of injustice.
Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan
biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak
tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktivitas perusahaan, misalnya ketika dalam
perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat
bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham
dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan
27
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
28
Ningrum N. Sirait, Modul Hukum Perusahaan, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum USU,
2006) h.68.
14
direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang
perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan
atau pemberian sanksi hukuman.29
”
Secara harfiah istilah piercing the corporate veil diartikan “mengoyak
menyingkapi tirai/kerudung perusahaan”.30
Sedangkan dalam ilmu hukum
perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan suatu doktrin atau teori
yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak
orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu
perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan
tersebut sebenarnya dilakukan oleh perusahaan pelaku tersebut.31
Dengan keberadaan
doktrin ini penegak hukum akan mengabaikan status badan hukum dari perusahaan,
dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “organizers” dan “managers” dari
perseroan dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan
sebagai badan hukum yang kerap dinikmati oleh mereka. Dalam melakukan hal
tersebut biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkapi
tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil). “Biasanya teori piercing the
corporate veil ini muncul dan diterapkan ketika ada kerugian atau tuntutan hukum
dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut”.32
Doktrin piercing the corporate veil
ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar
perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama
perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga maupun yang
timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.
29
Henry Campbell Black, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition, St Paul, Minn WestPublising Co.,
(1990), h.1033., lihat juga Ningrum N. Sirait, Ibid., lihat juga Chatamarrasjid Ais,
Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 8., lihat juga Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan)
Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h.31. 30
Munir Fuady, II, Op.Cit., h.8. 31
Ibid 32
Ibid
15
Beberapa contoh fakta yang secara universal teori piercing the corporate veil ini dapat
diterapkan antara lain sebagai berikut:
1. Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil);
2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi;
3. Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan;
4. Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan badan
hukum perseroan;
5. Terjadi transfer modal/aset kepada pemegang saham;
6. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak
dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS;
7. Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan perseroan;
8. Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan
permodalan dan asuransi;
9. Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan record keeping.
Misalnya terjadi pencampuradukan antara dana milik perseroan dengan dana
milik pribadi pemegang saham;
10. Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawab yang
lebih besar karena kemungkinan gugatan dari pihak korban kebakaran,
pengusaha taxi membuat perusahaan sendiri-sendiri yang terpisah-pisah untuk
setiap taxi yang dimilikinya;
11. Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-olah
perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan aset yang banyak,
mengingat pemegang sahamnya memang memiliki aset yang besar;
12. Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar, kecenderungannya
untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahaannya
ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan tunggal;
13. Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang disebut sebagai
instrumentally, dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan.
14. Piercing the corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum
(openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan hal-
16
hal yang tidak pantas (improper conduct);
15. Piercing the corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi kriminal
(quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai sarana untuk
menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.33
Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara
hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya penipuan;
2. Didapatkan suatu ketidakadilan;
3. Terjadinya suatu penindasan (oppression);
4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality);
5. Dominasi pemegang saham yang berlebihan;
6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.34
Di negara-negara Common Law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat,
banyak pengadilan yang menerapkan teori Piercing the Corporate Veil untuk
perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan
“agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 (satu) kelompok usaha. Demikian
juga sering kali (tetapi tidak selamanya) suatu perusahaan dianggap sebagai “agen”
perusahaan holding-nya.35
Kasus Smith, Stone & Knight v. Birmingham yang diputuskan dalam tahun
1939 di Inggris, memberikan beberapa kriteria yuridis agar secara hukum dapat
dianggap bahwa anak perusahaan merupakan agen dari perusahaan holding, sehingga
teori piercing the corporate veil dapat diterapkan kepada perusahaan holding.
Kriteria-kriteria tersebut adalah :
a. Apakah keuntungan diberlakukan sebagai keuntungan dari perusahaan
holding;
33
Ibid., h.9-10. 34
Ibid. 35
Munir Fuady, I, Op.Cit., h.16.
17
b. Apakah proses pelaksanaan dikendalikan oleh perusahaan holding;
c. Apakah perusahaan holding merupakan ”kepala dan otak” (head and brain)
dari bisnis anak perusahaan;
d. Apakah perusahaan holding mengatur ”the adventure”;
e. Apakah keuntungan dibuat dengan keahlian dan pengarahan dari perusahaan
holding;
f. Apakah perusahaan holding selalu mengontrol dan mempengaruhi anak
perusahaan.36
c. Perusahaan Kelompok
Perusahaan kelompok dikenal dengan berbagai macam istilah, ada yang
menyebutnya holding company/ parent company/ controlling company atau dikenal
pula dengan istilah concern/group company.
Perusahaan kelompok adalah perusahaan yang bertujuan untuk memiliki
saham satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan
lain tersebut.37
Yang lain menyebutnya sebagai satuan ekonomi dimana badan-badan
hukum / perseroan secara organisasi terikat sedemikian rupa sehingga mereka berada
dibawah satu pimpinan. 3838
Didalam kedua pengertian tersebut diatas pada
prinsipnya memiliki poin yang sama dalam aspek ekonomi, dimana adanya
perusahaan sentral yang memimpin anak-anak perusahaan. Perusahaan sentral
tersebut disebut juga dengan induk perusahaan (parent company/controlling
company) yang kegiatan utamanya adalah melaksanakan investasi pada anak-anak
perusahaan dan selanjutnya mengontrol dan mengawasi kegiatan manajemen anak
perusahaan (daughter company) dan juga mengawasi kegiatan antar anak perusahaan
(sister company).
Sebagai suatu perusahaan, perusahaan kelompok dapat merupakan perusahaan
dengan berbagai macam bentuk persekutuan perdata, firma, persekutuan komanditer
36
Ibid 37
Munir Fuady, II, Op.Cit., h.83-84. 38
Ningrum N. Sirait, Op.Cit., h.30.
18
sampai dengan perseroan terbatas. Bentuk-bentuk tersebut bukanlah suatu keharusan,
namun dalam praktek bisnis sehari-hari ditemukan bahwa perusahaan kelompok
selalu dibentuk dalam suatu perseroan terbatas. Dengan status hukum perseroan
terbatas maka perusahaan kelompok di Indonesia tunduk kepada UUPT.
Istilah perusahaan kelompok biasanya terdengar dalam kegiatan
restrukturisasi perusahaan, baik itu melalui penggabungan (merger), peleburan
(konsolidasi), pengambilalihan (akuisisi) dan pemisahan (spin off). Walaupun
demikian tidak tertutup kemungkinan perusahaan kelompok terbentuk karena adanya
perjanjian seperti joint venture.39
Didalam perusahaan kelompok, hubungan antara induk dan anak perusahaan
terjadi karena berbagai sebab antara lain karena penguasaan saham, karena perjanjian
dan dapat juga terjadi karena fakta unipersonal/personnya dimana anggota direksi
perusahaan anak adalah juga anggota direksi pada perusahaan induk, sehingga
kebijakan dalam menjalankan perseroan ada pada perusahaan induk.40
Beberapa ketentuan UUPT yang seharusnya diperhatikan baik oleh induk dan
anak perusahaan :
1. Ketentuan mengenai batas-batas kewenangan dan tanggung jawab direksi,
komisaris dan pemegang saham;
2. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, akuisisi dan spin off;
3. Ketentuan mengenai kepemilikan saham;
4. Ketentuan mengenai treasury stock;41
5. Ketentuan mengenai penjaminan saham dan jual beli saham.42
39
Perusahaan Joint Venture terbentuk ketika dua pihak atau lebih, baik secara pribadi maupun
perusahaan bermaksud menjadi patner satu sama lainnya untuk suatu kegiatan dan mengatur
secara bersama suatu perusahaan baru yang saham-sahamnya dimiliki secara bersama pula. Lihat
Erman Rajagukguk, Hukum Tentang Investasi Swasta dan Pembangunan, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1992), h.357. 40
Ningrum N. Sirait, Op.Cit., h.32. 41
Treasury stock adalah saham-saham yang dibeli kembali oleh perusahaan. Mengenai pengaturan dan
tata cara pelaksanaannya di Indonesia tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal
37 sampai dengan Pasal 40 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. 42
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., h.154.
19
d. Prinsip Good Corporate Governance
Konsep Good Corporate Governance (GCG) mulai banyak di perbincangkan
di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi melanda Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Dampak dari krisis tersebut, banyak perusahaan
berjatuhan karena tidak mampu bertahan, salah satu penyebabnya adalah karena
pertumbuhan yang dicapai selama ini tidak dibangun di atas landasan yang kokoh
sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Akibat dari kondisi yang demikian, pemerintah melalui Kementerian Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai memperkenalkan konsep GCG di
lingkungan BUMN, sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kinerja BUMN
yang memiliki nilai aset yang demikian besar untuk mendukung pencapaian
penerimaan/pendapatan negara, sekaligus menghapuskan berbagai bentuk praktek
inefisiensi, korupsi, kolusi, nepotisme dan penyimpangan lainnya untuk memperkuat
daya saing BUMN menghadapi pasar global.43
Dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-117/M-Mbu/2002 tentang
Penerapan Praktek GCG pada BUMN dijelaskan bahwa corporate governance adalah
suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.44
Jadi GCG dapat diartikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan
untuk meningkatkan keberhasilan usaha, dan akuntabilitas perusahaan yang bertujuan
untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang dengan memperhatikan
kepentingan stakeholders serta berlandaskan peraturan perundang-undangan, moral
dan nilai etika.
Penerapan GCG itu sendiri dalam perseroan terbatas telah diperkuat dengan
kepastian hukum, dengan lahirnya Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan
43
http://www.pusri.co.id/gcg/latar.php.diakses terakhir tanggal 07 April 2009. 44
Ibid.
20
Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No.Kep-
23/PMPBUMN/2000 tanggal 31 Mei 2000 tentang Pengembangan Praktek Good
Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Perseroan.45
Pengertian GCG menurut beberapa ahli antara lain :
Menurut Ernst and Young :
Corporate governance terdiri atas sekumpulan mekanisme yang saling
berkaitan yang terdiri atas pemegang saham institusional, dewan direksi dan
komisaris, para manajer yang dibayar berdasarkan kinerjanya, pasar sebagai
pengendali perseroan, struktur kepemilikan, struktur keuangan, investor terkait,
persaingan produk.46
Menurut Hessel Nogi S. Tangkilisan :
Corporate governance adalah sistem yang mengatur, mengelola, dan
mengawasi proses pengendalian usaha menaikan nilai saham, sekaligus sebagai
bentuk perhatian kepada stakeholders, karyawan, kreditor, dan masyarakat sekitar.
Good Corporate Governance berusaha menjaga keseimbangan di antara pencapaian
tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat.47
Berdasarkan pengertian diatas, corporate governance berarti seperangkat
aturan yang dijadikan acuan manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan
secara baik, benar, dan penuh integritas, serta membina hubungan dengan para
stakeholders, guna mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah
ditetapkan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam GCG
merupakan esensi yang mendasar. Melalui pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip
dasar tersebut diharapkan GCG dapat tercapai, baik oleh pemerintah selaku pembuat
kebijakan maupun oleh para pelaku usaha sebagai pihak yang melaksanakan
45
Ibid. 46
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, (Yogyakarta:
Balairung, 2003), h. 12. 47
Ibid., h.12-13.
21
kebijakan tersebut.
Secara umum, prinsip-prinsip dasar dalam GCG adalah :
1. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan pembagian tugas, wewenang
dan tanggung jawab masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat
setelah melalui fit and proper test, sehingga pengelolaan perusahaan dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien;
2. Kemandirian (independency), yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola
secaraprofesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari
pihakmanapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasiyang sehat;
3. Transparansi (transparancy), yaitu keterbukaan terhadap proses
pengambilankeputusan, dan penyampaian informasi mengenai segala aspek
perusahaanterutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan
publik secarabenar dan tepat waktu;
4. Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu perwujudan kewajiban
organperusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan perusahaan
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku dan keberhasilan maupun
kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan
yang telah ditetapkan; dan
5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-
hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.48
Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit antara
lain dengan melakukan pemisahan tanggung jawab dan kewenangan yang disertai
dengan mekanisme kerjasama antara organ-organ perusahaan, melakukan
pengawasan ketika organ-organ tersebut melaksanakan tugasnya untuk menghindari
adanya benturan kepentingan atau tekanan, melakukan sistem pengendalian internal
48
Johannes Ibrahim, Op.Cit., h. 72.
22
dan eksternal yang kuat dan pengungkapan informasi material mengenai perusahaan
melalui media yang dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, serta menetapkan visi, misi, tujuan dan strategi secara jelas sehingga
kinerja perusahaan maupun kontribusi masing-masing individu dapat dinilai secara
objektif.
Penerapan prinsip-prinsip GCG diharapkan dapat mencapai 4 (empat) situasi
ideal, yakni :49
a. Existence of fair business : efficient market, efficient regulation and efficient
contract;
b. Information regrading the (fair) price and specification of goods and services
being exchange is available to all parties;
c. Each party is able wiling to comply to the rules and regulations, and term and
condition in contract;
d. Judicial processes exist and are able to emplement the rules and to execute
punishment to the non compliant of the contract.
Diterjemahkan secara bebas sebagai berikut :
a. Keberadaan bisnis yang dikelola secara fair, mencakup efisiensi pasar,
efisiensi regulasi dan efisiensi kontrak;
b. Adanya informasi tentang harga dan spesifikasi dari barang dan jasa yang
menjadi objek pertukaran para pihak;
c. Kemauan dan kemampuan para pihak untuk mengikuti aturan dan regulasi,
syarat-syarat dan kondisi dalam kontrak; dan
d. Adanya proses peradilan, kepastian hukum dan pelaksanaan hukum bagi
pihak yang tidak melaksanakan kontrak.
49
Pendapat Ainum Na’im seperti dikutip dalam makalah Hasnati, “Analisis Hukum Komite Audit
dalam Organ Perseroan Terbatas Menuju Good Corporate Governance”, (Jakarta: Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 22, Nomor 6, 2003), h.20
23
2. Konsepsi
Penelitian ini berjudul “ Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham
Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”. Pengertian dari
judul penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Saham adalah bukti penyertaan pemegang saham dalam perseroan terbatas
yang disertai hak-hak yang melekat pada saham dan juga merupakan bukti
kepemilikan harta bersama melalui penyetoran penuh modal yang diambil
bagian oleh para pemegang saham perseroan terbatas yang keberadaannya
telah melalui mekanisme pendaftaran di Menteri Hukum dan HAM.50
b. Kepemilikan Silang didalam perseroan terbatas yang dikenal dengan istilah
cross holding adalah suatu keadaan dimana perseroan terbatas memiliki saham
yang dikeluarkan oleh perseroan terbatas lain yang sahamnya secara langsung
atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan, demikian pula sebaliknya.
Kepemilikan secara langsung adalah apabila perseroan A memiliki saham
pada perseroan B secara langsung tanpa melalui pemilikan pada suatu
perseroan antara dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan
A. Sedangkan kepemilikan silang secara tidak langsung adalah kepemilikan
saham perseroan A pada perseroan B melalui satu atau lebih perseroan antara
dan sebaliknya perseroan B memiliki saham pada perseroan A.51
c. Kepemilikan Silang yang dikenal dengan istilah cross ownership adalah
kepemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang
melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan
yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan
tersebut mengakibatkan :
1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu barang atau jasa tertentu.
50
Gunawan Widjaja, I, Op.Cit., h.33 51
Lihat Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
24
2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.52
d. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.
e. Perusahaan Kelompok adalah perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang
secara organisasi terikat dalam satu pimpinan sentral yang kegiatan utamanya
adalah melakukan investasi pada anak-anak perusahaan dan selanjutnya
melakukan pengawasan atas kegiatan manajemen anak perusahaan.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini
adalah penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dengan tema
sentral penelitan.
Dalam judul tesis “Kajian Hukum Tentang Kepemilikan Silang Saham
Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007”, penelitian
hukum dipergunakan untuk mengkaji pengaturan tentang kepemilikan silang saham
dalam perseroan terbatas dan mengkaji bagaimana proses terjadinya kepemilikan
silang saham serta dampak dari kepemilikan silang tersebut.
52
Pasal 27 Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5
Tahun 1999.
25
2. Bahan Penelitian
Lazimnya didalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung
dari masyarakat (data primer) dan dari bahan pustaka (data sekunder).53
Sehubungan dengan penelitian ini, maka data-data yang dipergunakan adalah
berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tesier.
a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, buku-buku, hasil-hasil penelitian, karya
ilmiah, ulasan hukum, dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu
kamus (hukum), majalah, jurnal ilmiah, surat kabar.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan
(library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan
kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.
4. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan melalui studi
dokumen dengan mengumpulkan data sekunder guna dipelajari kaitannya dengan
permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil
penelitian, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek telaahan
penelitian ini.
53
Soerjono Soekanto, Op.Cit., h.12.
26
5. Analisis Data
Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dilakukan setelah
diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi,
lalu dianalisis secara kualitatif dan kemudian diolah dengan menggunakan metode
deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menjawab permasalahan yang
ada.