BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan akan jasa penerbangan di kalangan masyarakat
Indonesia saat ini sudah tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan yang
tergolong dalam kebutuhan mewah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
maskapai penerbangan yang bermunculan serta menawarkan jasa
penerbangan dengan tarif yang rendah. Adanya pilihan maskapai
penerbangan murah di Indonesia seperti Lion Air, Citilink dan Air Asia
(http://news.detik.com/read/2015/02/23/195617/2840776/103/2/maskapai-
lcc-di-indonesia-tarif-murah-vs-pelayanan-dan-keamanan) membuat
masyarakat sebagai pemakai jasa dapat memilih jasa maskapai penerbangan
yang akan mereka gunakan untuk berpergian dengan biaya yang minim.
Kualitas pelayanan yang diberikan oleh tiap maskapai juga menjadi
ladang persaingan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan, hal ini
dikarenakan tarif jasa penerbangan murah yang relatif sama antar maskapai.
Dengan hal tersebut, kini terlihat setiap maskapai penerbangan saling
berlomba untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada para
konsumennya. Persaingan antar maskapai tersebut terlihat dari kemudahan
konsumen dalam pembelian tiket, kemudahan konsumen untuk melakukan
check-in, banyaknya armada yang tersedia untuk mengangkut konsumen,
banyaknya rute penerbangan ke berbagai tempat tujuan, ketepatan waktu
sesuai dengan jadwal, rapor kecelakaan tiap-tiap maskapai dan lainnya.
PT Indonesia Air Asia (IAA) adalah salah satu perusahaan
penerbangan yang ada di Indonesia. PT IAA merupakan kerjasama bisnis
antar 2 negara yakni Indonesia dengan Malaysia. Di Indonesia, Air Asia
terkenal sebagai maskapai penerbangan yang menerapan sistem LCC (Low
2
Cost Carrier) yakni maskapai penerbangan dengan konsep biaya rendah.
Rendahnya biaya yang ditawarkan dengan banyaknya rute penerbangan
yang di operasikan oleh armada Air Asia menjadikan Air Asia menguasai
pangsa pasar masyarakat Indonesia yang menginginkan untuk berpergian
dengan menggunakan pesawat namun dengan harga yang rendah. Maskapai
penerbangan yang menerapkan sistem LCC juga dikenal sebagai maskapai
dengan penerbangan layanan minimum. Maksudnya adalah maskapai
penerbangan yang memberikan tarif rendah dengan menghapus beberapa
layanan penumpang biasa agar dapat mengurangi biaya operasinya.
Meskipun menawarkan konsep biaya rendah, keselamatan, keamanan serta
kenyamanan konsumen tetap harus menjadi prioritas tiap maskapai
penerbangan, pelayanan yang diberikan kepada konsumen harus tetap
diberikan semaksimal mungkin.
Pada hari Minggu, 28 Desember 2014, pesawat Air Asia dengan
nomor penerbangan QZ8501 resmi dinyatakan hilang pada pukul 07:55
WIB dalam penerbangan menuju Singapura dari Surabaya. Berita ini tentu
mengejutkan banyak pihak karena sebelumnya tidak pernah ada
pemberitaan kecelakaan fatal yang melibatkan maskapai penerbangan
murah asal Malaysia tersebut. Setelah QZ 8501 dinyatakan hilang 2 hari
kemudian tepatnya tanggal 30 Desember 2014, Tim BASARNAS yang
betugas untuk mencari pesawat tersebut akhirnya menemukan puing-puing
pesawat yang membawa 155 penumpang yang mayoritas
bewargakenegaraan Indonesia tersebut. Selain puing-puing, Tim
BASARNAS juga menemukan jenazah yang diduga adalah penumpang dari
Air Asia yang hilang tersebut.
Kecelakaan ini kemudian memunculkan banyak spekulasi atas
kejadian tersebut. Banyak rumor yang beredar bahwa kecelakaan tersebut
terjadi karena pilot mengonsumsi narkoba sebelum menerbangkan pesawat
sehingga kecelakaan tersebut murni atas kesalahan pilot, selain itu adapula
rumor yang beredar bahwa pesawat tersebut terbang secara ilegal karena
3
semestinya tidak ada jadwal terbang di hari dan jam pesawat tersebut lepas
landas. Rumor-rumor yang beredar tersebut tentu saja mendapatkan respon
dari masyarakat bahkan pemerintah. Kepercayaan masyarakat pada
maskapai penerbangan yang menerapkan sistem LCC tersebut menurun, hal
ini bisa dilihat dari banyaknya pembatalan tiket dilakukan oleh penumpang
karena mereka merasa trauma atas kecelakaan yang menimpa QZ 8501.
Pembatalan tiket terjadi misalnya di kota Malang, pembatalan tidak saja
dilakukan secara perorangan tapi bahkan dilakukan oleh grup-grup wisata
yang akan terbang dengan rute yang sama seperti QZ 8501
(http://m.suarasurabaya.net/jaringradio/detail.php?id=2rq04d2304p2dg8hg
37kbh30122014145399). Selain di Malang, pembatalan tiket juga banyak
terjadi di Surabaya. Bahkan pembatalan tiket tidak hanya dilakukan oleh
penumpang dengan rute Surabaya-Singapura, penumpang dengan rute
terbang ke Hong Kong juga ikut membatalkan tiket setelah adanya insiden
QZ 8501
(http://regional.kompas.com/read/2014/12/28/18322651/Serbu.Gerai.Calo
n.Penumpang.AirAsia.Minta.Uang.Tiket.Dikembalikan).
Respon pemerintah mengenai rumor penerbangan ilegal Surabaya-
Singapura tersebut adalah dengan memberlakukan pembekuan sementara
rute Surabaya-Singapura. Pembekuan rute tersebut tentu turut menambah
jumlah pembatalan tiket yang dilakukan oleh penumpang. Selain itu, rumor
ilegalnya penerbangan QZ 8501 membuat Kementrian Perhubungan
mengaudit seluruh penerbangan di Indonesia. Dari hasil audit tersebut
ditemukan bahwa Air Asia rute Palembang-Medan untuk jadwal 6-7 Januari
juga ikut dibekukan karena tidak berizin
(http://www.sriwijayatv.com/detBerita.php?ref=isi&ix=9623).
Presiden Direktur Air Asia Indonesia, Sunu Widyatmoko,
mengatakan bahwa penurunan jumlah penumpang juga dialami oleh Air
Asia. Penurunan jumlah penumpang adalah sekitar 10-15 %
(http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/01/27/presdir-airasia-akui-
4
jumlah-penumpang-turun-akibat-tragedi-qz8501). Penurunan jumlah
penumpang tersebut dihitung dari turunnnya jumlah pembeli tiket pasca
kecelakaan terjadi. Bahkan di beberapa kota di Indonesia misalnya Cirebon,
Indramayu dan Malang, penurunan penjualan tiket terjadi hampir sebesar
90%.
Adanya kecelakaan yang terjadi serta banyaknya spekulasi yang
muncul tentu disinilah peran Humas sangat dibutuhkan. Pasca kecelakaan,
Humas harus bekerja secara cepat untuk mencari data aktual dan terkini atas
kecelakaan tersebut. Ditambah lagi dengan catatan keselamatan yang baik
yang dimiliki oleh Air Asia tentu hal ini menciptakan sebuah tantangan bagi
Humas Air Asia untuk bergerak secara cepat dan tepat. Kecelakaan tersebut
tidak hanya memunculkan rumor-rumor tidak sedap, tidak lama setelah
kecelakaan tersebut saham Air Asia anjlok. Hal tersebut sebenarnya lumrah
terjadi ketika ada sebuah maskapai yang mengalami kecelakaan. Akan
tetapi, anjloknya saham Air Asia ini adalah penurunan saham terbesar sejak
2011. Padahal sebelum pesawat Air Asia tersebut hilang, sepanjang bulan
Desember 2014 saham Air Asia mengalami peningkatan yang cukup
signifikan sebagai imbas dari turunnya harga minyak dunia. Peningkatan
saham tersebut yakni sebesar 17,6 % menyentuh RM 2,94. Namun setelah
insiden hilangnya QZ 8501, saham Air Asia turun drastis sebesar 7,82 %
menjadi RM 2,72 per saham
(http://www.bareksa.com/id/text/2014/12/29/sebelum-kecelakaan-saham-
airasia-dalam-tren-kenaikan-imbas-turunnya-harga-minyak/8872/news).
Selain penurunan saham yang drastis, efek lain yang dialami Air Asia atas
jatuhnya QZ 8501 adalah perencanaan untuk mengurangi penerbangan,
adanya reorganisasi staf serta penundaan pembeliaan armada baru sebagai
upaya untuk mengurangi kerugian yang dialami
(http://m.galamedianews.com/dunia/11292/pasca-musibah-qz8501-
penumpang-airasia-terus-alami-penurunan-.html).
5
Beberapa efek domino yang ditimbulkan oleh hilangnya QZ 8501
tersebut jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik dan tepat maka bukan
tidak mungkin akan memicu efek lain yang lebih besar sehingga potensi
krisis akan semakin besar juga. Tentu hal tersebut menjadikan peran Humas
sangat diperlukan. Peran Humas yang bertugas sebagai penasehat
manajemen yang diberi wewenang untuk mengatasi krisis dengan
menentukan komunikasi krisis yang akan ditempuh menjadi sangat penting
dalam hal ini karena kecepatan krisis berubah bergantung bagaimana
penganangannya. Kecepatan dalam penanganan krisis sangat perlu untuk
dilakukan karena media serta publik telah mengetahui adanya permasalahan
pada perusahaan.
Kecelakaan atas hilangnya pesawat tujuan Surabaya-Singapura ini
ternyata langsung mendapat respon dari pihak Air Asia, dengan segera Air
Asia memberikan update terkini seputar pencarian Air Asia yang hilang
pada halaman akun twitter milik Air Asia Indonesia (@AirAsiaId). Upaya
yang dilakukan Air Asia ini adalah upaya untuk memberikan keterangan
yang valid bagi masyarakat mengingat banyaknya berita-berita simpang siur
mengenai keberadaan pesawat yang hilang tersebut. Berita yang diberikan
di akun twitter official Air Asia tersebut diintregasikan dengan
menggunakan link menuju laman Facebook Air Asia. Selain itu Air Asia
juga menciptakan hashtag dalam akun twitter mereka yakni
“#togetherwestand”, hal ini diciptakan untuk mempermudah khalayak
untuk mencari konten tentang pemberitaan kecelakaan Air Asia serta
memperluas postingan mereka tentang berita terkini dari kecelakaan
tersebut.
Facebook dan Twitter sebagai media sosial yang digunakan oleh Air
Asia dalam menyampaikan informasi seputar kecelakaan tersebut memang
media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Data
statistik yang mengacu kepada data yang dikeluarkan Nielsen menyebutkan
bahwa pada tahun 2014 bulan Januari jumlah pengguna internet atau
6
internet user di Indonesia diperkirakan mencapai 71 juta users. Dari jumlah
itu, 70 juta diantaranya mengakses media sosial seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Path, LinkedIn dan Google+. Diantara media sosial tersebut,
media sosial yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia
adalah Facebook dan Twitter, dengan presentase yakni sebanyak 93% dan
80%. Besarnya jumlah pengguna media sosial tersebut tentu merupakan
peluang bagi praktisi Humas untuk menyebarkan informasi kepada
masyarakat secara tepat dan cepat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah, “Bagaimana penggunaan media sosial dalam
komunikasi krisis yang dilakukan oleh PT Indonesia Air Asia untuk
mengatasi krisis akibat kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian sesuai dengan permasalahan yang ada yakni:
- Mengetahui penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis yang
digunakan oleh PT Indonesia Air Asia dalam menangani krisis yang
terjadi akibat kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501.
- Menganalisis penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis yang
digunakan oleh PT Indonesia Air Asia dalam menangani krisis yang
terjadi akibat kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman mengenai penggunaan media sosial dalam komunikasi
krisis sebuah perusahaan.
7
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pihak maskapai Air Asia mengenai komunikasi krisis yang dilakukan
oleh PT IAA untuk menangani krisis atas kecelakaan pesawat yang
terjadi di penghujung tahun tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
1. Krisis
1.1. Konsep Krisis
Pada umumnya, krisis dilihat sebagai sebuah situasi atau kejadian
di-mana kejadian tersebut lebih banyak implikasi negatif pada perusahaan
daripada sebaliknya. Krisis didefinisikan sebagai: “crisis a major
occurance with a potentially negative outcome affecting organization,
company, industry, as well as it publics, products, services or good name”
(Fearn-Banks, 2010, hal 6)
Krisis dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta pada siapa saja.
Krisis bisa datang tanpa menunggu kesiapan dari perusahaan dan ketika
krisis yang tidak pernah diperhitungkan terjadi, seluruh aktivitas perusahaan
bisa menjadi lumpuh terutama jika krisis yang terjadi adalah krisis dalam
skala yang cukup besar. Semua komponen dalam perusahaan akan
merasakan dampaknya. Krisis jika dikelola secara baik akan mampu
meningkatkan reputasi perusahaan, namun juga berlaku sebaliknya. Ini
semua bergantung pada bagaimana cara pandang manajemen terhadap suatu
krisis. Cara pandang yang positif dengan serangkaian perencanaan strategis
yang matang akan membuahkan hasil yang baik bagi perusahaan.
Sebaliknya, cara pandang yang menganggap krisis hanya perlu ditanggapi
sejauh proses ganti rugi atas dampak negatif yang ditimbulkan akan
menyebabkan buruknya reputasi perusahaan.
8
Dilihat melalui proses atau waktu kejadian sebuah krisis, Linke
(1989) membagi krisis ke dalam 4 tahapan utama yakni: (dalam Coombs &
Holladay, 2012)
1. The Exploding Crisis
Krisis yang terjadi karena sesuatu yang diluar kebiasaan. Misalnya
kebakaran, kecelakaan kerja tau peristiwa yang dengan mudah dapat
dikategorikan memiliki dampak langsung.
2. The Immediate Crisis
Sebuah kejadian yang membuat manajemen terkejut, namun masih ada
waktu untuk mempersiapkan respon terhadap krisis tersebut. Misalnya
laporan media massa tentang sebuah perusahaan atau peraturan
pemerintah.
3. The A Building Crisis
Sebuah krisis yang sedang berproses dan dapat diantisipasi. Misalnya
negosiasi dengan buruh.
4. The Continuing Crisis
Masalah kronis yang memerlukan waktu panjang untuk muncul,
biasanya sangat kompleks dan kemunculannya tidak mudah bahkan
tidak dikenali sama sekali.
Mengenali tahapan krisis yang terjadi merupakan salah satu langkah
untuk menentukan strategi apa yang harus dilakukan perusahaan dalam
menangani krisis. Sen & Egelhoff serta Coombs menjelaskan bahwa
mengenali jenis ataupun tipe krisis dirasa cukup penting karena hal tersebut
berkaitan dengan masalah penentuan siapa yang bersalah dan respon apa
yang harus dibuat perusahaan yang sedang mengalami krisis (dalam Putra,
1999, hal 90). Secara umum terdapat 2 tindakan khas yang menjadi tuntutan
yang harus dilakukan perusahaan dalam penanganan krisis, hal tersebut
antara lain:
9
1. Tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen langsung dalam
merespon krisis, yakni segi apa yang harus dilakukan perusahaan saat
krisis terjadi.
2. Tindakan komunikasi, apa yang harus dikatakan oleh perusahaan ketika
sedang menghadapi krisis. Saat merespon krisis, prioritas utama adalah
pemenuhan akan informasi serta kecepatan penyebaran informasi.
1.2. Manajemen Krisis
Krisis yang menimpa sebuah perusahaan bisa juga dianggap sebagai
“turning point of history life” yakni suatu titik balik dalam kehidupan yang
dampaknya memberikan pengaruh signifikan baik ke arah negatif maupun
positif, tergantung pada reaksi yang diperlihatkan. Krisis tidak selalu
bersifat negatif tetapi juga dapat berkembang ke arah yang positif. Oleh
karena itu yang harus dikelola adalah faktor resiko dan faktor
ketidakpastiannya agar kelangsungan perusahaan dapat diperkirakan,
pengelolaan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan strategi
manajemen krisis.
Definisi lain manajemen krisis adalah sebuah seni dari
menghilangkan banyak resiko dan ketidakpastian untuk membuat kita dapat
mengontrol takdir kita sendiri (Fink, 1986), Dapat dikatakan bahwa
manajemen krisis merupakan sebuah proses di-mana terjadi tindakan-
tindakan didalamnya seperti perencanaan, pengorganisasian, penggiatan
serta pengawasan yang dilakukan oleh seorang praktisi Humas untuk
mengatasi krisis yang sedang menimpa perusahaan. Kemampuan seorang
praktisi Humas juga dapat dilihat dari bagaimana Ia mampu memimpin,
melakukan peranan komunikasi dan mengatur atau mengelola arus
informasi untuk menciptakan pemahaman dari permasalahan, mengatasi
krisis, kepentingan publikasi dan menciptakan citra positif bagi lembaga
atau perusahaan yang diwakilinya ketika perusahaan tersebut sedang
terkena krisis.
10
Dalam melaksanakan manajemen krisis, tentu Humas memiliki
peranan tidak terlepas dari fungsi dasar manajemen antara lain:
(http://www.prsa.org/AboutPRSA/PublicRelationsDefined/#.VTeltCGqqE
0)
- Mengantisipasi, menganalisis serta menafsirkan opini publik, sikap dan
isu-isu yang mungkin akan membawa dampak baik ataupun buruk bagi
operasionalisasi dan rencana-rencana perusahaan.
- Konseling manajemen di semua tingkatan dalam perusahaan berkaitan
dengan keputusan kebijakan, program aksi dan komunikasi, dengan
mempertimbangkan konsekuensi publik dan tanggung jawab sosial.
- Meneliti, memimpin dan mengevaluasi secara berkelanjutan, program
aksi dan komunikasi untuk mencapai pemahaman publik yang
dibutuhkan untuk keberhasilan tujuan perusahaan.
- Merencanakan dan melaksanakan upaya perusahaan untuk
memengaruhi atau mengubah kebijakan publik.
Gonzales-Herrero dan Pratt (dalam Prayudi, 1998, hal 37)
mengemukakan konsep strategi manajemen krisis dengan mengacu pada
tahapan krisis. Konsep tersebut adalah:
1. Manajemen Isu
Pada tahapan ini perusahaan mengambil langkah-langkah agar bisa
mengadakan rencana pencegahan agar isu-isu tidak menjadi krisis yang
sesungguhnya. Langkah yang dilakukan adalah:
a. Memonitor lingkungan, mencermati tren/isu baru di masyarakat
yang mungkin memengaruhi perusahaan di masa datang.
b. Mengumpulkam data atas isu-isu yang berpotensi menjadi krisis dan
mengevaluasinya.
c. Mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi pada
usaha mencegah terjadinya krisis.
11
2. Perencanan Pencegahan
Perencanaan merupakan landasan dari manajemen krisi. Ketika isu
dipandang telah melewati batas-batas manajemen isu, ketika krisis
dianggap mengancam atau ketika isu berubah dengan cepat, perusahaan
harus menggunakan kumpulan informasi dan sistem peringatannya
untuk memonitor krisis dengan hati-hati. Ada beberapa langkah yang
perlu dilakukan dalam tahap ini antara lain:
a. Menyusun kebijakan proaktif mengenai isu tersebut.
b. Menganalisa hubungan perusahaan dengan stakeholders.
c. Mempersiapkan rencana kontingensi.
d. Merancang anggota tim manajemen krisis yang potensial.
e. Menunjuk dan melatih wakil organisasi (juru bicara)
f. Menentukan pesan, sasaran dan media yang akan digunakan dalam
menerapka rencana komunikasi krisis.
3. Krisis Terjadi
Bila rencana pencegahan yang disusun tidak berhasil seperti yang
diharapkan, sehingga krisis tidak lagi terhindarkan. Langkah yang
diambil adalah:
a. Memperbaiki atau mengimplementasikan rencana krisis.
b. Mengomunikasikan tindakan yang diambil untuk mengatasi krisis
pada publik perusahaan.
c. Menangani publik yang terkena dampak krisis.
d. Mencari dukungan pihak ketiga dari para ahli.
e. Menerapkan program komunikasi internal dan menjalankan
program sehari-hari dengan normal.
4. Pasca Krisis
Organisasi biasanya mengambil langkah-langkah demi perbaikan dalam
menghadapi krisis di masa datang, seperti:
a. Tetap menjalin hubungan dengan publlik perusahaan.
b. Memantau isu atau krisis yang mengancam.
12
c. Menginformasikan melalui media atau tindakan yang diambil, jika
dianggap perlu.
d. Evaluasi atau rencana krisis yang ada dan kemudian menyertakan
feedback atas rencana krisis yang ada.
e. Mengembangkan strategi komunikasi jangka panjang untuk
mengurangi kerusakan yang diakibatkan krisis.
Penanganan krisis yang dilakukan oleh Humas dalam manajemen krisis
tentu menentukan cepat atau lambatnya krisis tersebut teratasi. Semakin
cepat krisis tersebut teratasi maka sama artinya dengan menyelamatkan
perusahaan dari rusaknya reputasi dari krisis yang terjadi. Oleh karena itu,
manajemen krisis yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan krisis yang
terjadi dengan menyasar publik yang tepat serta menggunakan media yang
dianggap efektif.
1.3. Komunikasi Krisis
Komunikasi krisis dapat dijelaskan sebagai berikut “when an
individual or organization communicates a message to the public, usually
trough the media, during a threatening, tragic or fatal accident that is
unplanned or unexpected” (Woodyard, 1998, hal 11). Definisi lain
mengenai komunikasi krisis adalah sebagai berikut “crisis communication
is the dialog between the organization and its publics prior to, during, and
after the negatice occurrence. The dialog details strategies and tactics to
minimize damage to the image of the organization” (Fearn-Banks, 2010, hal
9). Dari kedua pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
komunikasi krisis adalah sebuah komunikasi yang dilakukan oleh
perusahaan kepada publiknya yang didalamnya berisikan strategi dan taktik
yang digunakan untuk meminimalisasi krisis yang terjadi secara tiba-tiba.
Perusahaan yang sedang berhadapan dengan situasi krisis harus
memiliki pedoman yakni sebuah strategi komunikasi krisis, elemen yang
13
harus menjadi perhatian dalam strategi komunikasi krisis adalah:
(Anthonissen, 2008, hal 28)
- The right message (pesan yang tepat)
- To whom that message should be told (kepada siapa pesan itu harus
disampaikan)
- Who should tell it (siapa yang harus mengatakannya)
- To right time to tell it (waktu yang tepat untuk menceritakannya)
Elemen lain yang perlu diketahui sebelum merancang sebuah startegi
komunikasi krisis adalah mengenali publik atau stakeholder perusahaan.
Fearn-Banks kemudian mengategorikan sebagai berikut: (Putra, 2008)
a. Enabling Public
Publik yang punya kekuasaan untuk memutuskan suatu persoalan.
Termasuk didalamnya antara lain: Dewan Direktur, Pemegang Saham,
Komisaris Perusahaan serta Pemerintah.
b. Functional Public
Kelompok orang yang menjadikan sebuah perusahaan dapat berjalan.
Termasuk didalamnya antara lain: para karyawan, konsumen, dan
lainnya.
c. Normative Public
Kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama dengan
perusahaan. Termasuk didalamnya adalah para anggota asosiasi atau
perkumpulan perusahaan sejenis.
d. Diffused Public
Kelompok orang yang secara tidak langsung berhubungan dengan
perusahaan dalam suatu krisis. Termasuk didalamnya adalah media dan
kelompok komunitas.
Identifikasi publik tersebut akan memudahkan dalam proses
perancangan strategi komunikasi krisis yang akan digunakan untuk
14
menyampaikan pesan kepada publik. Pilihan strategi komunikasi krisis
yang dapat dilakukan antara lain: (Coombs, 1999, hal 122-123)
1. Nonexistence Strategies
Strategi yang dilakukan oleh perusahaan ketika menghadapi rumor
bahwa perusahaan tersebut mengalami krisis namun sebenarnya krisis
tidak terjadi. Dalam strategi ini, bentuk pesan bisa berupa:
a. Denial, yakni perusahaan menyangkal adanya sesuatu yang
tidak benar.
b. Clarification, yakni perusahaan memberikan argumen kepada
publik.
c. Attack, yakni perusahaan menyerang pihak yang menyebarkan
rumor.
d. Intimidation, yakni perusahaan membuat ancaman terhadap
penyebar rumor.
2. Distance Strategies
Perusahaan mengakui adanya krisis dan mencoba untuk memperlemah
hubungan antara perusahaan dengan krisis yang sedang terjadi. Strategi
yang dapat dilakukan perusahaan dalam hal ini antara lain:
a. Excuse, yakni perusahaan berusaha untuk mengurangi tanggung
jawab perusahaan karena perusahaan tidak mampu mengontrol
situasi.
b. Justification, yakni perusahaan melakukan klaim bahwa
kerusakan yang terjadi tidak serius, mengatakan korban wajar
menanggung akibat itu serta mengemukakan bahwa krisis telah
salah interpretasi.
3. Ingratiation Strategies
Perusahaan berusaha untuk mencari dukungan publik dengan cara
berikut:
a. Bolstering, yakni perusahaan perlu mengingatkan publik akan
hal positif yang telah dilakukan perusahaan.
15
b. Transedence, yakni perusahaan berusaha menempatkan krisis
dalam konteks yang lebih luas.
c. Praising Others, yakni mengatakan hal baik yang telah
dilakukan publik.
4. Mortification Strategies
Perusahaan mencoba untuk meminta maaf dan menerima kenyataan
bahwa krisis memang benar-benar terjadi. Hal-hal yang dapat dilakukan
dalam strategi ini adalah:
a. Remediation, yakni perusahaan bersedia untuk memberi
sejumlah kompensasi kepada korban sebagai dampak dari krisis.
b. Regret, yakni perusahaan menyatakan penyesalan dan
permintaan maaf kepada publik.
c. Rectification, yakni perusahaan melakukan tindakan yang dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya krisis.
5. Suffering Strategy
Perusahaan menunjukan bahwa perusahaan tersebut menderita seperti
halnya pihak korban dan berusaha untuk memeroleh simpati publik.
2. Media Sosial
2.1. Media Sosial dalam Praktik Kehumasan
Media sosial didefinisikan Solis (2011) sebagai “any tool or
service that uses the Internet to facilitate conversations” (dalam
DiStaso & McCorkindale, 2012). Sejak tahun 2005, Wright dan
Hinson (2012) menemukan bahwa telah terlihat penggunaan baru
media sosial dalam dunia Humas. Mereka juga menemukan bahwa
terjadi perubahan dalam praktik Humas dimana media sosial dianggap
sebagai salah satu sarana yang strategis untuk berkomunikasi antara
internal perusahaan dan publik.
Dalam dunia digital seperti sekarang ini, media sosial telah
menjadi saluran komunikasi yang penting untuk membangun
16
hubungan antara perusahaan dengan publik. Temuan Wright dan
Hinson mengungkap bahwa penggunaan media sosial dalam praktek
kehumasan terus meningkat setiap tahunnya. Media sosial juga
ternyata mampu meningkatkan kredibilitas perusahaan karena publik
merasa apa yang disampaikan dalam media sosial akan lebih
terpercaya kebenarannya dan lebih akurat. Namun walaupun demikan,
kemudahan yang diberikan oleh media sosial bukan berarti tidak
memberikan tantangan bagi praktisi Humas. Tantangan praktisi
Humas dalam kegiatan di media sosial adalah kurangnya kontrol
karena Humas tidak mengetahui apa yang orang mungkin akan katakan
atau lakukan.
Media sosial yang bisa menjadi sarana penghubung antara
internal perusahaan dengan publiknya, memiliki karakteristik sebagai
berikut: (Chan-Olmsted, Cho, & Kyunghee, 2013)
a. Participation, mendorong kontribusi serta umpan balik dari setiap
individu yang menggunakannya, sehingga mengaburkan batas
antara media dengan audiens.
b. Conversationality, memungkinkan terjadinya perbincangan secara
dua (2) arah.
c. Connectedness, media sosial dapat tumbuh dan berkembang karena
kemampuan melayani keterhubungan antar pengguna, melalui
fasilitas tautan (links) ke website, sumber informasi ataupun
pengguna yang lain.
d. Openness, media sosial terbuka bagi umpan balik dan partisipasi
melalui sarana-sarana seperti voting, komentar dan berbagi
informasi.
e. Community, media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas-
komunitas secara cepat dan berkomunikasi secara efektif tentang
beragamnya isu/kepentingan.
17
Jenis media sosial dapat dibedakan berdasarkan kegunaan saat
digunakan untuk menghadapi krisis. Jenis media tersebut antara lain:
(Wendling, Radisch, & Jacobzone, 2013)
Tabel 1.1 Klasifikasi Jenis Media Sosial
Tipe Media Sosial Contoh Media Kegunaan dalam Komunikasi Krisis
Social networking Facebook
MySpace
Friendster
Meningkatkan koordinasi antar relawan dan
layanan darurat, memungkinkan untuk berbagi
informasi dalam komunitas, memberikan
update pada situasi darurat, dll.
Content sharing YouTube
Flickr
Vimeo
Meningkatkan kesadaran situasional melalui
gambar dan video, memudahkan kampanye
viral dalam keadaan darurat, mampu membantu
mengidentifikasi individu atau korban yang
hilang, dll.
Collaborating knowledge
sharing social media
Wikis
Forums
Message boards
Podcasts
Meningkatkan dialog antara korban dan
layanan darurat.
Blogging and microblogging Blogger
Worldpress
Tumblr
Menyampaikan rekomendasi, peringatan dan
berbagi fakta.
Twitter memungkinkan untuk menyebarkan
informasi dengan cepat dengan jangkauan yang
luas serta memungkinkan adanya umpan balik.
Specialized crisis management
platform managed by Volunteer
Technology Communities
(VTCs)
-Mapping
Collaboration
Open street map
Crisis mappers
Google map maker
-Online and Onsite
Contribution
Ushahidi
Crisis commons
Sahana foundation
Geeks without
bounds
-Public-Private-
People Partnership
Random hacks of
kindness (with
Google, Microsoft,
Yahoo, NASA,
World Bank)
Pemetaan keadaan darurat, tim fasilitator
tanggap darurat.
18
Di Indonesia sendiri, tren penggunaan media sosial di kalangan
masyarakat juga terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu,
Perhumas Indonesia memandang bahwa sudah saatnya praktisi Humas
Indonesia mengetahui tren dalam media sosial sehingga dapat diolah
menjadi strategi komunikasi yang efektif (http://www.koran-
jakarta.com/?29733media%20sosial%20ubah%20perspektif%20kehu
masan%20indonesia). Media sosial ternyata juga dapat menjadi aset
berharga bagi praktisi Humas, karena media sosial dapat dikatakan
sebagai salah satu media komunikasi terbesar dan paling efektif di
Indonesia. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan dalam dunia
pekerjaan, khususnya bidang komunikasi, memiliki keterkaitan
dengan media sosial. Maka penting bagi praktisi Humas untuk
mengetahui secara mendalam apa saja yang sedang terjadi di dalam
lingkup media sosial di Indonesia.
Selain itu, banyak praktisi Humas di Indonesia yang melihat
bagaimana sebuah hal kecil kemudian menjadi besar hanya dengan
melalui posting dari akun media sosial
(http://www.bestlife.co.id/portfolio/best.event/sosial.media.menguba
h.perspektif.kehumasan.indonesia/005/001/315). Hal tersebut
kemudian menjadi problematika yang cukup serius dan perlu
penanganan yang tepat dengan strategi dalam permasalahan serupa di
media sosial. Oleh karena itu komunikasi krisis melalui manajemen
krisis sangat dibutuhkan untuk setidaknya memberikan pemaparan dan
klarifikasi agar informasi tidak disalahartikan yang kemudian dapat
berujung pada rusaknya citra perusahaan.
Komunikasi krisis merupakan kegiatan yang tergabung dalam
fungsi manajemen krisis yang dilakukan oleh praktisi Humas. Melalui
komunikasi yang dilakukan selama masa krisis, diharapkan Humas
dapat menyampaikan informasi-informasi yang bertujuan untuk
mengurangi ketidakpastian informasi yang dirasakan oleh pihak-pihak
19
terutama yang terkena dampak krisis. Menurut riset yang telah
dilakukan oleh Wigley dan Zhang (dalam Kriyantono, 2012) kesadaran
praktisi Humas akan pentingnya penggunaan media sosial di zaman
dengan teknologi yang berkembang dalam penanganan krisis sudah
cukup besar, bahkan mereka berpendapat bahwa media sosial telah
menjadi faktor penting bagaimana krisis diberitakan oleh media
maupun publik sehingga bisa dengan segera ditangani oleh Humas.
Oleh karena hal tersebut, maka penting bagi perusahaan untuk
memiliki akun resmi dalam media online dengan tujuan agar pihak
perusahaan mampu mengontrol informasi yang mereka rilis dan publik
memiliki tempat untuk mencari informasi yang relevan (Graham &
Avery, 2013).
2.2. Konsep PR 2.0
Kemajuan teknologi yang berkembang pesat khususnya dalam
teknologi internet membuat daya jangkau semakin luas seolah tanpa
batas. Dalam era ini, kemajuan teknologi juga memberikan dampak
pada perushaan di-mana mereka dituntut untuk merubah pola
komunikasi yang awalnya memiliki model komunikasi satu (1) atau
dua (2) arah menjadi komunikasi banyak arah. Kini, banyak
perusahaan yang mulai menggunakan e-mail atau web sebagai akibat
dari kemajuan teknologi yang mau tak mau memengaruhi pola kerja
perusahaan. Kemajuan teknologi melahirkan teknologi web 2.0 yang
merupakan revolusi di bidang internet. Era web 2.0 adalah era dimana
para konsumen dapat melakukan komunikasi secara langsung melalui
dunia maya. Hal tersebut kemudian berdampak pada perubahan
pekerjaan praktisi Humas yang kini disebut sebagai PR 2.0.
Menurut Solis & Breakenridge (2009), konsep PR 2.0
merupakan sebuah konsep dimana praktisi Humas mampu terlibat
dalam perbincangan secara langsung dengan publiknya melalui
jaringan sosial (dalam Sancar, 2013). Komunikasi secara online juga
20
dianggap sebagai sarana unik yang memungkinkan perusahaan untuk
terlibat dalam komunikasi dua (2) arah (interaktivitas). Titik kunci dari
konsep PR 2.0 adalah interaktivitas, interaktivitas tersebut
memungkinkan pengguna (users) bukan hanya untuk menjadi
pengamat namun juga menjadi peserta sehingga tercipta hubungan
timbal balik.
PR 2.0 seringkali dikaitkan dengan pekerjaan praktisi Humas
di-mana mereka berhubungan dengan publiknya melalui media online,
media elektronik atau media sosial. Dapat dikatakan pula bahwa PR
2.0 merupakan revolusi dari kegiatan Humas yang tidak lagi
menggunakan jurnalis sebagai penyampai pesan melainkan kegiatan
Humas yang berbasis pada teknologi dan web 2.0. Posisi konsumen
kini tidak lagi hanya sekedar konsumen, tetapi juga sebagai publisher
dan influencer. Adanya teknologi web 2.0 memungkinkan praktisi
Humas untuk dapat langsung menyampaikan pesan kepada publik
tanpa dibatasi oleh batasan fisik, selain itu Humas juga dapat
membangun brand image serta menjalin hubungan yang baik dengan
publik melalui media center online. Konsep PR 2.0 yang menggunakan
dunia maya sebagai media untuk menyampaikan informasi kemudian
memunculkan pula istilah cyber PR atau electronic PR (E-PR). Onggo
(2004) mengungkapkan bahwa E-PR adalah penerapan dari peranglat
ICT (Information and Communication Technologies) untuk keperluan
Humas. Lebih jauh lagi, teknologi komunikasi digunakan untuk
mencakup publik secara luas dalam rangka membangun brand derta
memelihara trust.
Selain hal tersebut, dijelaskan pula bahwa E-PR mampu
dengan mudah melewati bahkan menghilangkan batasan-batasan yang
menghalangi setiap kegiatan Humas dan langsung dapat
menyampaikan pesan-pesan kepada publik sasarannya serta
memanfaatkan potensi-potensi besar yang dimiliki oleh media sosial
seperti (Onggo, 2004):
21
a. Komunikasi yang konstan
Internet mampu membuat kita terhubung dengan dunia 24 jam
dalam sehari tanpa putus, kecuali disebabkan oleh gangguan
sinyal.
b. Respon yang cepat
Sifat internet yang realtime memungkinkan praktisi Humas
untuk memberikan respon yang cepat dan tepat dalam
menanggapi setiap keluhan, permasalahan, pertanyaan ataupun
saran dari publik.
c. Pasar Global
Internet dengan koneksi ke seluruh dunia tanpa batas telah
menghilangkan hambatan dari segi geografis dalam pertukarna
informasi.
d. Interaktif
Salah satu keunggulan internet dibandingkan media lainnya
adalah kemampuannya untuk melakukan komunikasi 2 arah
sehingga mampu mewujudkan komunikasi interaktif antara
publik dengan perusahaan melalui praktisi Humasnya.
e. Komunikasi 2 Arah
Terjalinnya komunikasi antara perusahaan dengan publik
merupakan salah satu tujuan aktivitas E-PR karena aktivitas ini
akan membatu praktisi Humas dalam membangun hubungan
yang kuat dan saling menguntungkan.
f. Hemat
Internet membantu meringankan kegiatan Humas dari segi biaya
pengeluaran jika dibandingkan dengan menggunakan media
konvensional.
22
F. Kerangka Konsep
Fokus pada penelitian ini adalah komunikasi krisis yang dilakukan
oleh Humas dengan menggunakan media sosial. Humas memiliki peranan
yang besar dalam mengambil keputusan untuk merancang serta
mengimplementasikan strategi yang akan digunakan untuk mengatasi krisis.
Peranan Humas tersebut tidak terlepas dari fungsi manajemen sebuah
perusahaan. Kredibilitas praktisi Humas bisa dilihat juga dari
kemampuannya dalam merancang dan mengimpelentasikan strategi
komunikasi krisis yang dilakukan menyelamatkan perusahaan dari krisis
yang lebih parah karena peran Humas sangat memengaruhi implementasi
strategi yang akan digunakan.
Penelitian ini akan dimulai dengan melihat strategi komunikasi
krisis digunakan oleh PT Air Asia Indonesia saat mengalami krisis. Ada
beberapa strategi yang dapat digunakan perusahaan saat terjadi krisis.
Strategi tersebut antara lain adalah nonexistence strategies yakni strategi
yang dilakukan ketika menghadapi rumor terkena krisis padahal tidak,
didalamnya adalah denial (penyangkalan), clarification (pemberian
argument), attack (menyerang pihak lain), intimidation (membuat
ancaman). Kedua adalah distance strategies yakni dilakukan untuk
memerlemah krisis, didalamnya adalah excuse (mengurangi tanggung
jawab) dan justification (melakukan klaim). Ketiga adalah ingratiation
strategies yakni mencari dukungan publik, didalamnya adalah bolstering
(mengingatkan publik akan hal positif), transedence (menempatkan krisi
dalam hal yang lebih luas), praising others (mengatakan hal baik). Keempat
adalah mortification strategies yakni meminta maaf dan menerima
kenyataan, didalamnya adalah remeditation (memberi kompensasi), regret
(meminta maaf) dan retrification (tindakan yang mengurangi krisis).
Terakhir adalah suffering strategy yakni menunjukan bahwa perusahaan
menderita.
23
Pemilihan media merupakan hal pokok lain yang harus diperhatikan
dalam implentasi strategi komunikasi krisis. Dalam era digital seperti
sekarang ini, media sosial merupakan medium yang bisa digunakan sebagai
pilihan untuk menerapkan strategi penanganan krisis karena media sosial
memiliki karakteristik seperti berikut: participation, conversationality,
connectedness, openness dan community. Walaupun hampir seluruh media
sosial memiliki 5 karakteristik tersebut, perusahaan tetap harus menentukan
dengan lebih spesifik media sosial seperti apa yang akan digunakan.
Penentuan tersebut dapat dilakukan dengan melihat jenis dan kegunaan
yang berbeda-beda dari masing-masing media sosial yang ada. Media sosial
yang akan digunakan tentu harus dilihat berdasarkan kegunaan yang dirasa
paling tepat untuk menyasar publik. Masing-masing media sosial memiliki
karakteristik kegunaan yang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Jenis
media sosial tersebut terbagi menjadi lima (5) yakni, social media
networking, content sharing, collaborating knowledge sharing social
media, blogging and microblogging dan specialized crisis management
platform managed by VTCs. Dengan menggunakan sarana yang tepat, tentu
strategi yang dipilih diharapkan dapat berjalan dengan efektif sehingga
krisis mampu teratasi dengan cepat.
Kedua elemen tersebut, yakni strategi komunikasi krisis dan media
sosial yang digunakan, merupakan elemen utama yang digunakan oleh
peneliti untuk mengetahui penggunaan media sosial sebagai salah satu
sarana untuk menjalankan strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh
perusahaan saat krisis terjadi maupun pasca krisis.
G. Metodologi
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus. Penelitian dengan pendekatan kualitatif mecoba menjelaskan
24
fenomena-fenomena dengan mengumpulkan data selengkap-lengkapnya.
Pendekatan kualitatif dilakukan berdasarkan kondisi alami di lapangan
untuk menggali informasi tanpa berusaha mempengaruhi informan.
Menurut Moloeng (Moleong, 2005), melalui pendekatan kualitatif maka
akan diperoleh data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian studi kasus.
Metode studi kasus bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta
ataupun karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat.
Manajemen krisis merupakan kajian yang menarik, studi kasus merupakan
strategi yang paling cocok dalam menjawab pertanyaan how dan why (Yin,
2013).
Menggunakaan metode studi kasus untuk penelitian berarti
penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan variabel, tidak menguji
hipotesus ataupun membuat prediksi sendiri. Didefinisikan pula bahwa
metode ini merupakan suatu ikuiri empiris yang digunakan untuk
menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan nyata bilamana batas
antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan multi sumber
bukti dimanfaatkan (Yin, 2013). Dengan menggunakan metode studi kasus,
meneliti mencoba melukiskan bagaimana penggunaan media sosial sebagai
strategi manajemen krisis yang dilakukan oleh perusahaan yakni Air Asia
untuk menangani krisis yang terjadi akibat hilangnya pesawat QZ 8501
tujuan Surabaya – Singapura.
2. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dengan metode studi kasus. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan suatu gejala, fakta atau realita secara lengkap mengenai
setting sosial atau hubungan antara fenomena yang diuji. Dalam penelitian
ini, peneliti akan menggali informasi secara mendalam mengenai strategi
25
manajemen krisis yang dilakukan oleh perusahaan Air Asia untuk
menangani krisis.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di kantor pusat Air Asia Indonesia
tepatnya berada di jalan Marsekal Surya Darma, Tangerang.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wawancara Mendalam
Peneliti akan menggunakan wawancara mendalam (in-depth
interview) untuk memperoleh data primer. Wawancara adalah
proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksi mengenai
orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan serta
sebagainya yang dilakukan 2 pihak yakni pewawancara dan orang
yang diwawancarai (Bungin, 2005). Sedangkan menurut Sugiyono
(2007), dengan wawancara peneliti akan mengetahui suatu hal yang
lebih mendalam tentang fenomena yang terjadi, di-mana hal tersebut
tidak bisa ditemukan dalam observasi. Informan yang dianggap
mampu menjawab pertanyaan penelitian adalah divisi Public
Relations perusahaan maskapai Air Asia.
Agar informan yang dipilih sesuai dengan permasalahan dan
tujuan penelitian, maka penentuan subjek yang akan menjadi
informan penelitian ditentukan berdasar kriteria berikut:
a. Subjek memiliki pengetahuan tentang strategi manajemen krisis
perusahan maskapai Air Asia.
b. Subjek merupakan pihak yang terkait dalam pembuatan atau
pelaksanaan strategi manajemen krisis perusahaan maskapai Air
Asia.
26
Pemilihan dengan menggunakan kriteria tersebut bertujuan
agar informan mampu memberikan banyak informasi mendalam
sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. Pihak yang dianggap
memiliki kriteria tersebut yakni divisi Public Relations Air Asia.
Divisi tersebut dipilih sebagai narasumber karena memiliki
pengetahuan luas tentang strategi manajemen krisis serta turut
melaksanakan strategi tersebut.
2. Observasi
Selain menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth
interview), peneliti juga akan menggunakan observasi sebagai
teknik untuk mengumpulkan data. Observasi merupakan tindakan
memperhatikan secara akurat dan mencatat fenomena yang muncul
dalam bentuk uraian deskriptif mengenai data konkret dan tidak
berupa kesimpulan dengan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2007).
3. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan sebuah landasan disiplin ilmu yang
digunakan untuk memberi arahan yang tepat serta pedoman dalam
hubungan pembahasan masalah penelitian yang memfokuskan pada
bahan tertulis yang relevan yang dapat dijakan sebagai sumber bukti.
Adapun sumber tersebut antara lain buku, website, media sosial serta
informasi sebagai penunjang penelitian seperti hasil penelitian,
dokumen perusahaan dan bahan-bahan tertulis lainnya.
5. Teknik Analisis Data
Sumber yang akan digunakan peneliti untuk menganalisa data pada
penelitian ini adalah transkrip rekaman hasil wawancara mendalam dengan
informan. Data yang didapat pada saat pengumpulan data di lapangan
maupun setelahnya akan diolah dengan menggunakan teknik analisis
27
interactive model Miles dan Huberman (1994) yang terdiri dari reduksi data,
penyajian data serta penarikan kesimpulan. Tahapan analisis dalam
penelitian ini adalah:
a. Pengumpulan Data
Peneliti akan mengumpulkan data yang didapatkan melalui
wawancara, dokumentasi dan observasi.
b. Reduksi Data
Setelah melakukan pengumpulan data, peneliti akan melakukan
reduksi data yakni pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyederhanaan dan membuang hal-hal yang tidak diperlukan.
c. Penyajian Data
Peneliti akan menyajikan data mengenai penggunaan media
sosial dalam komunikasi krisis dalam bentuk yang sistematis.
d. Penarikan Kesimpulan
Peneliti akan melakukan penarikan kesimpulan dari hasil
analisis yang telah dilakukan.
6. Keabsahan Data Peneliti
Peneliti akan melakukan penilaian keabsahan data yang didapatkan
untuk mengetahui keabsahan data pada penelitian. Penilaian akan dilakukan
baik kepada data primer maupun sekunder. Dalam melakukan penilaian
keabsahan data tersebut, peneliti akan menggunakan analisa triangulasi.
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan di-mana peneliti
menganalisa jawab subjek dengan meneliti kebenarannya dengan data
empiris (sumber data lain) yang tersedia. Menurut Dwidjowinoto (2001)
macam-macam triangulasi antara lain:
a. Triangulasi Sumber (data), yakni membandingan atau mengecek
ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari
sumber yang berbeda. Misalnya, membandingkan hasil
pengamatan dengan hasil wawancara.
28
b. Triangulasi Waktu, berkaitan dengan perubahan suatu proses
dan perilaku manusia karena manusia dapat berubah setiap
waktu.
c. Triangulasi Teori, yakni dengan memanfaatkan dua (2) atau
lebih teori untuk dipadu atau diadu, maka diperlukan rancangan
riset, pengumpulan data dan analisis data supaya hasilnya
komprehensif.
d. Triangulasi Periset, yakni dengan menggunakan lebih dari satu
(1) periset dalam mengadakan observasi atau wawancara.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan triangulasi data.
Triangulasi data atau sumber dilakukan dengan membandingkan apa yang
didapat dari hasil wawancara dengan apa yang ada dalam data sekunder
(dalam hal ini adalah media sosial milik Air Asia).