BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64743/potongan/S1... ·...
-
Upload
duongkhanh -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64743/potongan/S1... ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inflamasi merupakan respon yang normal akibat pertahanan tubuh untuk
mengeliminasi patogen, mencegah penyebaran kerusakan jaringan dan
memperbaiki jaringan yang rusak akibat gejala patologi suatu penyakit. Apabila
inflamasi tidak terkontrol dan terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat,
akan mengganggu keseimbangan homeostasis tubuh, berkembang menjadi
inflamasi kronis maupun menimbulkan kerusakan jaringan (Muller, 2002).
Penyakit-penyakit yang timbul akibat respon inflamasi yang berlebih seperti
osteoartritis, asma, rhinitis alergi sering menimbulkan masalah yang mengganggu
aktivitas sehari-hari. Untuk itu digunakan obat yang berefek farmakologis sebagai
agen antiinflamasi. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antiinflamasi terbagi
menjadi golongan steroid dan golongan antiinflamasi non-steroid (AINS). Namun,
penggunaan obat AINS sering menimbulkan masalah iritasi saluran pencernaan
sedangkan penggunaan steroid sering menimbulkan efek samping gangguan
pertumbuhan, dan penurunan sistem imun (Neal, 2005).
Kurkumin merupakan senyawa fenolik yang terkandung dalam Curcuma
longa L. (Goel et al., 2008). Penggunaan kurkumin secara klinik telah banyak
dilakukan. Salah satu penggunaan klinik yang banyak diaplikasikan adalah
kurkumin sebagai agen terapi antiinflamasi (Jurenka, 2009). Mekanisme
kurkumin sebagai antiinflamasi adalah dengan penghambatan metabolisme asam
2
arakidonat, sitokin dan NF-ƙB (Kohli et al, 2005). Kelebihan kurkumin apabila
dibandingkan dengan AINS adalah kurkumin tidak menimbulkan efek samping
iritasi pada saluran cerna (Hsu dan Cheng, 2007). Beberapa uji klinik terhadap
manusia menunjukan bahwa penggunaan kurkumin untuk terapi antiinflamasi
aman digunakan pada manusia (Wu, 2003).
Kurkumin memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan memiliki
bioavailabilitas yang rendah sehingga untuk menimbulkan efek farmakologis
diperlukan pemejanan dalam dosis yang besar (Bisht et al., 2007). Keterbatasan
bioavailabilitas kurkumin dapat diatasi dengan memformulasikan kurkumin
dengan polimer kitosan menggunakan metode ion gelasi. Kitosan merupakan
merupakan biopolimer alami yang diperoleh dari deasetilasi alkali dari kitin
(Hejazi dan Amiji, 2003). Keunggulan dari kitosan adalah mudah mengalami
degradasi secara biologis, tidak beracun, flokulan dan koagulan yang baik, mudah
membentuk membran atau film serta gel dengan anion bervalensi ganda, juga
sebagai polielektrolit kationik yang kuat (Siregar, 2009). Kitosan tersedia dalam
berbagai bobot molekul yaitu kitosan rantai pendek, rantai sedang, dan rantai
panjang. Ukuran rantai ini mempengaruhi kelarutan dan viskositas. Kitosan rantai
pendek lebih mudah larut dalam pelarut asam organik, seperti asam asetat, asam
sitrat dan asam tartrat apabila dibandingkan dengan kitosan rantai penjang dan
rantai sedang.
Kitosan banyak digunakan bersama polianion tripolifosfat (TPP) dalam
berbagai penelitian formulasi nanopartikel dengan menggunakan metode ion
gelasi. Metode ini berkaitan dengan terjadinya pembentukan kompleks oleh
3
muatan yang saling berlawanan yang kemudian membentuk gel dalam ukuran
nanopartikel. Metode ionik gelasi sangat sederhana dan mudah (Racovita et al.,
2008). Muatan yang berlawanan berasal dari muatan positif gugus amina kitosan
yang terprotonasi dalam suasana asam dengan atom oksigen pada kurkumin yang
bermuatan parsial negatif. Dengan demikian, partikel kurkumin terselubungi oleh
polimer kitosan menghasilkan gel dalam ukuran nanopartikel. Formulasi
nanopartikel kurkumin dengan menggunakan polimer kitosan rantai pendek secara
ion gelasi menghasilkan nanopartikel kurkumin yang berbentuk sferik, stabil
dalam cairan lambung dan usus buatan, tidak bersifat toksik terhadap sel Vero
(Chabib, 2011). Kurkumin yang telah diformulasi dalam bentuk nanopartikel
dengan kitosan memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan kurkumin saja (Kar et al., 2011).
Uji aktivitas antiinflamasi nanopartikel kurkumin dengan kitosan rantai
pendek belum pernah dilakaukan. Dengan adanya penelitian ini akan diperoleh
data kuantitatif pengaruh formulasi nanopartikel kurkumin menggunakan polimer
kitosan rantai pendek terhadap aktivitas antiinflamasi yang diuji dengan metode
udem kaki tikus diinduksi karagenin dibandingkan dengan kurkumin dan kalium
diklofenak. Diharapkan aktivitas antiinflamasi nanopartikel kurkumin dengan
kitosan rantai pendek lebih baik daripada aktivitas antiinflamasi dua senyawa
pembandingnya.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah kurkumin yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel dengan
kitosan rantai pendek memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan kurkumin ?
2. Berapa nilai %DAI kurkumin yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel
dengan kitosan rantai pendek ?
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui apakah kurkumin yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel
dengan kitosan rantai pendek memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik
apabila diandingkan dengan kurkumin
2. Mengetahui nilai %DAI kurkumin yang diformulasi dalam bentuk
nanopartikel dengan kitosan rantai pendek pada udem kaki tikus betina galur
wistar yang diinduksi karagenin.
D. Tinjauan Pustaka
1. Inflamasi
a. Tinjauan umum
Inflamasi didefinisikan sebagai respon lokal jaringan terhadap
perlukaan akibat berbagai macam agen penyebab inflamasi. Inflamasi
ditandai dengan perubahan tempat inflamasi menjadi merah, panas, nyeri,
bengkak dan kehilangan fungsi. Inflamasi dibagi menjadi 3 tipe, yaitu
5
inflamasi akut, subkronis dan inflamasi kronis. Proses inflamasi diawali
dengan terjadinya perlukaan jaringan yang menyebabkan masuknya
senyawa eksogen yang dapat memacu pelepasan mediator inflamasi.
Mediator yang memegang peranan penting dalam terjadinya respon
inflamasi adalah histamin, kinin, prostaglandin, komplemen dan
limfokin.
Mediator inflamasi akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
di sekitar area yang mengalami luka. Hal ini akan menyebabkan daerah
yang mengalami inflamasi menjadi merah dan panas. Mediator inflamasi
juga akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah lokal, sehingga
eksudat yang mengandung protein dan antibodi akan merembes dari
pembuluh darah ke jaringan. Eksudat tadi akan menyebabkan udema atau
pembengkakan, menekan syaraf dan menyebabkan sensasi nyeri. Nyeri
juga merupakan hasil dari pelepasan toksin dari bakteri, kurangnya
nutrisi pada jaringan yang mengalami inflamasi dan sensasi yang timbul
akibat pelepasan mediator nyeri seperti prostaglandin dan kinin
(Wassung, 2013).
b. Inflamasi akut
Inflamasi akut merupakan reaksi segera jaringan terhadap
berbagai macam agen penyebab yang merugikan dan dapat berakhir
dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Penyebab utama inflamasi
akut adalah infeksi mikrobial, reaksi hipersensitivitas, agen fisik, agen
kimia dan nekrosis jaringan. Inflamasi akut dikarakterisasi dengan
6
perubahan diameter pembuluh darah, kenaikan permeabilitas vaskuler
dan pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi neutrofil polimorf ke
dalam rongga ekstravaskuler (Underwood, 1999).
Perubahan diameter pembuluh darah diawali dengan fase awal
konstriksi arteriol lalu dilanjutkan dengan fase vasodilatasi, keadaan ini
merupakan awal dari kenaikan permeabilitas vaskuler. Peningkaatn
permeabilitas vaskuler memungkinkan leukosit menempel pada epitel
sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang
ekstravaskuler. Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai dengan
keluarnya protein plasma dan sel darah putih ke jaringan merupakan
gambaran utama reaksi radang akut yang dikenal sebagai proses eksudasi
(Robbins dan Kumar, 1995). Pada radang akut, saluran limfe akan
melebar. Cairan udema dari eksudat radang akan disalurkan dan dibuang.
Penyaluran ini akan mengurangi terjadinya udema jaringan (Underwood,
1999).
Pada awalnya inflamasi merupakan suatu respon pertahanan
tubuh untuk mengeliminasi patogen, mencegah penyebaran kerusakan
jaringan dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat gejala patologi
suatu penyakit. Akan tetapi apabila inflamasi tidak terkontrol dan terjadi
pada tempat dan waktu yang tidak tepat, maka akan menyebabkan
masalah yang dapat mengganggu keseimbangan homeostasis tubuh
(Muller, 2002). Untuk mengatasi gangguan keseimbangan yang
diakibatkan karena terjadinya inflamasi maka digunakan obat-obatan
7
yang dapat menghambat pelepasan mediator inflamasi dan mengurangi
efek negatif dari inflamasi.
c. Obat antiinflamasi
Pengobatan dengan agen antiinflamasi mempunyai tujuan utama
untuk mengurangi rasa nyeri yang sering kali muncul sebagai gejala awal
saat terjadi respon inflamasi dan menjadi keluhan utama pasien serta
menghambat dan membatasi kerusakan jaringan yang timbul akibat
terjadinya respon inflamasi (Katzung, 2004). Berdasarkan mekanisme
kerjanya, obat antiinflamasi terbagi menjadi golongan steroid dan
golongan antiinflamasi non-steroid (AINS). Obat antiinflamasi steroid
(AIS) merupakan golongan glukokortikoid atau disebut juga obat-obat
golongan kortikosteroid. Obat golongan steroid bekerja sebagai agen
antiinflamasi dengan cara menghambat kerja Fosfolipase A2 (Neal,
2005). Fosfolipase A2 bekerja mengkatalisis pembentukan asam
arakidonat yang dikenal sebagai prekusor prostaglandin, mediator
inflamasi. Penghambatan ini disebabakan karena steroid meningkatkan
sintesis lipokortin-1 dan lipomodulin, suatu inhibitor fosfolipase A2
(Ikawati, 2006). Penggunanaan steroid dalam jangka waktu yang lama
akan menyebabkan efek samping seperti : moon face, penurunan densitas
tulang dan penurunan sistem imun tubuh.
Obat golongan AINS bekerja dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase (COX) yang mensintesis prostaglandin. AINS
merupakan golongan obat yang memiliki efek analgesik, antipiretik dan
8
pada dosis yang tinggi memiliki efek antiinflamasi. Jalur COX yang
terlibat dalam mekanisme inflamasi meliputi COX-1 dan COX-2. COX-1
terdapat kebanyakan di jaringan, antara lain di pelat-pelat darah, ginjal
dan saluran cerna. Zat ini berperan dalam berperan dalam pemeliharaan
perfusi ginjal, homeostasis vaskuler, dan menghambat produksi asam.
Penghambatan COX-1 bertanggung jawab atas efek sampingnya terhadap
mukosa lambung, usus dan ginjal. COX-2 dalam keadaan normal tidak
terdapat di jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-
sel radang. Atas dasar ini dikembangkan obat-obatan yang selektif
terutama menghambat COX-2 dan kurang mempengaruhi COX-1 (Tjay
dan Rahardja, 2001). Pada perkembangannnya, penghambatan selektif
terhadap COX-2 memunculkan masalah lain. Prostasiklin yang
merupakan vasodilator dan inhibitor agregasi platelet yang
pembentukannya dikatalisis oleh COX-2 ikut dihambat oleh obat yang
selektif COX-2. Sementara itu pembentukan Tromboxan A2 yang
dikatalisis oleh COX-1 terus berlangsung. Hal ini menyebabkan agregasi
platelet, sehingga meningkatkan risiko penjedalan darah pada pasien
yang memiliki riwayat penyakit gangguan kardiovaskuler (Ikawati,
2006).
2. Kalium diklofenak
Kalium diklofenak adalah salah satu AINS yaitu senyawa
aromatik bisiklik turunan fenilasetat yang mempunyai efek antiinflamasi
dan analgetik yang kuat seperti obat-obat penghambat siklooksigenase
9
(Tjay dan Rahardja, 2001). Evaluasi farmakologi menunjukan diklofenak
sebagai inhibitor poten model udem kaki tikus dan analgetik poten, juga
merupakan inhibitor siklooksigenase yang kuat dengan efek
antiinflamasi. Mekanisme aksinya adalah menghambat pembentukan
prostaglandin dari asam arakhidonat melalui aksinya pada enzim
siklooksigenase (Katzung, 2004). Efek samping utama kalium diklofenak
adalah iritasi, perdarahan, dan peningkatan resiko terjadinya ulkus pada
dinding saluran cerna (Mutschler, 1991).
Gambar 1. Stuktur kimia kalium diklofenak, (Anonim, 2013)
3. Kurkumin
Kurkumin merupakan senyawa fenolik yang terkandung dalam
Curcuma longa L. (Goel et al., 2008). Kurkumin pertama kali diisolasi
tahun 1815 dan diperoleh dalam bentuk kristal tahun 1870 (Vogel dan
Pelletier, 2006). Dalam ekstrak dari rimpang Curcuma longa L. terkandung
70-76 % kurkumin, 16 % demetoksikurkumin dan 8 % bismetoksikurkumin.
Gambar 2. Stuktur kimia kurkumin (Limtrakul et al., 2004)
10
Kurkumin banyak digunakan sebagai pewarna, perasa makanan dan
digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional India (Kohli et al.,
2005). Pada perkembangannya banyak riset ilmiah yang membuktikan
kurkumin memiliki efek farmakologi terhadap berbagai penyakit. Kurkumin
mempunyai aktivitas antiinflamasi (Arora et al., 1971), antibakteri (Negi et
al., 1999), antiviral (Bourne et al., 1999), antifungal (Apisariyakul et al.,
1995), antitumor (Kawamori et al., 1999), antispasmodik (Itthipanichpong,
2003) dan hepatoprotektor (Park et al., 2000). Bahkan penelitian
menunjukan bahwa kurkumin memiliki potensi sebagai terapi dalam
pengobatan AIDS (Mazumder et al., 1996).
Penggunaan kurkumin secara klinik telah banyak diaplikasikan.
Salah satu penggunaan klinik yang banyak diaplikasikan adalah kurkumin
sebagai agen terapi antiinflamasi. Mekanisme kurkumin sebagai agen
antiinflamasi adalah dengan penghambatan metabolisme asam arakidonat,
sitokin dan NF-ƙB (Kohli et al., 2005). Beberapa uji klinik terhadap
manusia menunjukan bahwa penggunaan kurkumin sebagai agen terapi
antiinflamasi aman digunakan pada manusia (Wu, 2003). Uji klinik fase 1
menunjukan bahwa kurkumin aman digunakan dalam dosis besar (12 g/hari)
pada manusia. Penggunaan kurkumin sebagai agen antiinflamasi memiliki
keterbatasan yaitu rendahnya bioavailabititas kurkumin. Alasan utama dari
rendahnya bioavailabilitas kurkumin adalah absorbsi kurkumin yang rendah,
metabolisme yang cepat dan eliminasi sistemik yang cepat (Anand et al.,
2007). Oleh karena itu untuk menimbulkan efek farmakologis, diperlukan
11
pemejanan dalam dosis yang besar. Pada tikus, diperlukan dosis kurkumin
antara 20-80 mg/kgBB untuk menimbulkan efek antiinflamasi (Jurenka,
2009).
Kurkumin lebih stabil dalam pH asam, sedangkan pada pH basa
mudah mengalami dekomposisi. Produk utama dekomposisinya adalah
asam ferulat dan 4-fenil-3-butena-2-on, yang secara cepat mengalami
kondensasi retro-aldol menjadi vanilin dan aseton. Di samping itu, cahaya
juga dapat mendekomposisi kurkumin menjadi ferulat aldehid, asam ferulat,
adihidroksinaftalen, vinilguaiakol, vanilin dan asam vanilat. Faktor
penyebab dekomposisi kurkumin ini disebabkan oleh gugus metilen
aktifnya, sehingga modifikasi gugus ini menjadi gugus lain diharapkan
mampu memperbaiki kelemahan kurkumin (Tonnesen dan Karlsen, 1985).
Kurkumin merupakan senyawa yang sulit larut dalam air, sehingga dengan
sifat tersebut mengakibatkan ketersediaan hayatinya juga kurang bagus.
Untuk mengatasi berbagai hambatan di atas diperlukan sistem penghantaran
yang murah dan mempunyai kemampuan yang diinginkan, seperti
mukoadesif, protektif, meningkatkan solubilitas, meningkatkan penyerapan
dan dapat mengontrol pelepasan obat. Salah satu strategi yang dapat
dilakukan yaitu dengan memformulasikan kurkumin dengan polimer
tertentu menjadi sediaan nanopartikel yang akan meningkatkan ketersediaan
hayati kurkumin dengan cara memperbaiki absorbsi kurkumin. Kurkumin
yang telah diformulasi dalam bentuk nanopartikel kitosan memiliki
12
bioavailabilitas yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kurkumin
saja (Kar et al., 2011).
4. Nanopartikel
Nanopartikel adalah struktur koloidal dengan rentang ukuran 10-
1000 nm. Nanopartikel dibagi menjadi dua kategori yaitu, nanocapsules dan
nanospheres. Nanocapsules merupakan sistem reservoir terdiri atas suatu
selaput polimer yang melingkupi suatu inti. Nanospheres dibuat dalam
bentuk sistem matriks dan seluruh partikel obat terdispersi di dalam polimer
(Rieux et al., 2006). Partikel dengan ukuran nano dapat melewati membran
dengan mudah karena ukuran kapiler lebih besar. Mudah masuknya partikel
akan meningkatkan efisiensi obat. Kelebihan nanopartikel yang lain adalah
permukaan nanopartikel yang dapat dimodifikasi sehingga dapat spesifik
terikat pada ligan tertentu. Nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai
metode, salah satunya dengan polimer. Polimer yang digunakan bersifat
biodegradabel, mudah didegradasi oleh tubuh dan salah satu contohnya
adalah kitosan (Bisht et al., 2007).
Dalam bidang farmasi, nanopartikel telah banyak dipelajari dan
diharapkan mampu memperbaiki penghantaran senyawa dengan
permeabilitas mukosa rendah, absorbsi terbatas, kelarutan rendah, tidak
stabil di saluran cerna serta mengalami first past effect (Bhardwaj dan
Kumar, 2006). Kelebihan nanopartikel untuk penghantaran per oral adalah
meningkatkan bioavailabilitas, meningkatkan transpor obat melalui sirkulasi
limfatik sehingga menghindari pre systemic metabolism di hepar, controlled
13
release, dan mereduksi iritasi gastrointestinal oleh obat (Sakuma et al.,
2001). Penghantaran koloidal dalam ukuran partikel kecil juga mampu
meningkatkan stabilitas obat terhadap denaturasi di lumen gastrointestinal
serta memperpanjang kontak dengan membran mukosa (Ponchel et al.,
1997). Pelepasan obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Ukuran partikel
yang kecil mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga dapat
mempercepat pelepasan obat. Sebaliknya partikel dengan ukuran yang besar
memiliki inti yang besar, memungkinkan obat dilepaskan dengan lambat.
Sehingga kontrol ukuran pertikel memberikan kecepatan pelepasan obat
yang berarti (Singh dan Lilard, 2009).
Pembuatan nanopartikel dapat menggunakan polimer. Polimer
yang digunakan dapat berasal dari polimer alami dan polimer sintetik.
Kriteria polimer yang ideal adalah : mudah disintesis dan dikarakterisasi,
biokompatible, biodegradabel, memiliki respon imun yang minimal, sifat
toksisitasnya rendah, larut air dan tidak mahal. Salah satu polimer alami
yang banyak digunakan adalah kitosan yang memiliki berbagai macam
kelebihan seperti biokompatibel, biodegradabel, toksisistas rendah, mudah
disintesis dan udah dikarakterisasi.
Dalam formulasi sediaan nanopartikel, diharapkan menghasilkan
sediaan nanopartikel yang ideal.
Syarat-syarat nanopartikel yang ideal adalah :
a. Metode pembuatannya sederhana dan murah
b. Tidak melibatkan panas dan solven organik selama proses pembuatan
14
c. Hasil yang diperoleh reprodusibel dan stabil
d. Stabil setelah pemberian
e. Non toksik
f. Memiliki penetrasi yang baik
g. Dapat diaplikasikan untuk berbagai macam obat, protein, dan
polinukleotida (Tiyabounchai, 2003).
Tidak ada diantara sistem-sistem nanopartikel yang memenuhi
semua persyaratan di atas. Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk
formulasi nanopartikel. Metode yang paling banyak digunakan dalam
formulasi nanopartikel adalah dispersi polimer, polimerisasi monomer dan
ionik gelasi.
a. Dispersi polimer
Dispersi polimer merupakan teknik umum yang digunakan
untuk mempersiapkan nanopartikel yang bersifat biodegradabel dari
poly lactic acid (PLA); poly D,L-glycolide (PLG); poly D,L-lactide-co-
glycolide (PLGA), dan poly cyanoacrylate (PCA) (Kompella et al.,
2001). Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode
evaporasi pelarut dan emulsifikasi spontan. Prinsip evaporasi pelarut
adalah melarutkan polimer dalam pelarut organik yang juga digunakan
untuk melarutkan obat. Campuran polimer dan obat kemudian
diemulsifikasikan dalam larutan yang mengandung surfaktan untuk
membentuk emulsi minyak dalam air. Setelah terbentuk emulsi yang
stabil, pelarut diuapkan dengan pengurangan tekanan dan pengadukan
15
kontinyu. Untuk mendapatkan ukuran partikel yang kecil terkadang
digunakan ultrasonikasi (Kwon et al., 2001). Sedangkan emulsi spontan
atau difusi pelarut prinsipnya adalah penggunaan pelarut yang dapat
bercampur dengan air bersama dengan sedikit pelarut yang tidak dapat
bercampur dengan air (sebagai fase minyaknya). Berkaitan dengan
adanya difusi spontan dari pelarut, terjadi turbulensi antar muka antara
dua fase cairan dan mendorong terbentuknya partikel kecil.
Bertambahnya konsentrasi dalam pelarut yang dapat bercampur dengan
air menyebabkan ukuran partikel yang dapat bercampur dengan air
menyebabkan ukuran partikel yang didapatkan semakin kecil. Kedua
teknik diatas dapat digunakan untuk obat hidrofilik maupun hidrofobik
(Mohanraj dan Chen, 2006).
b. Polimerisasi monomer
Polimerisasi polimer prinsipnya adalam monomer-monomer
dipolimerisasikan untuk membentuk nanopartikel dalam suatu larutan.
Obat dapat digabungkan dengan cara diadsorbsikan ke nanopartikel
setelah polimerisasi selesai. Suspensi nanopartikel kemudian
dimurnikan dengan menghilangkan stabilisator dan surfaktan yang
digunakan dengan cara sentrifugasi dan mensuspensikan kembali
partikel dalam media isotonik yang bebas surfaktan. Teknik ini telah
digunakan dalam pembuatan nanopartikel polibutilsianoakrilat. Bentuk
dan ukuran partikel tergantung dari konsentrasi surfaktan dan
stabilisator yang digunakan (Niwa et al., 1993; Zhang et al., 2001).
16
c. Ionik gelasi
Metode ionik gelasi merupakan metode yang umum digunakan
untuk formulasi nanopartikel menggunakan polimer polisakarida. Pada
metode ini, polisakarida (alginat, gelatin dan pektin ) dilarutkan dalam
air atau medium asam lemah (untuk kitosan). Larutan ini kemudian
ditambahkan dengan cara diteteskan pada larutan lain yang
mengandung counterion dalam pengadukan konstan, menyebabkan
terjadinya kompleksasi akibat muatan yang berbeda antara polisakarida
dan counterion sehingga mengalami gelasi ionik dan presipitasi
membentuk partikel sferis. Metode ionik gelasi sering digunakan untuk
preparasi nanopartikel menggunakan kitosan. Pada larutan asam, gugus
–NH2 dari kitosan akan terprotonasi dan berinteraksi dengan agen gelasi
dengan muatan yang berbeda. Agen gelasi yang sering digunakan
adalah tripolifosfat (TPP) yang menghasilkan interaksi antara muatan
positif dari gugus amina yang terprotonasi pada kitosan dengan muatan
negatif TPP untuk membentuk kompleks dengan ukuran dalam
rentang nanopartikel (Racovita et al., 2005).
5. Kitosan
Kitosan adalah polisakarida turunan kitin yang terdiri dari ikatan
D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin yang berikatan (1,4)-β-glikosidik
(Wiyarsi, 2010). Kitosan mempunyai rantai tidak linier dan mempunyai
rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai [poli (2-amina-2-deoksi-β-
(1,4)-D-glukopiranosa] (Fernandez, 2004). Derajat deasetilasi merupakan
17
suatu parameter mutu kitosan yang menunjukan persentasi gugus asetil yang
dapat dihilangkan dari rendamen kitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi
kitosan, maka gugus asetil kitosan semakin sedikit sehingga interaksi antar
ion dan ikatan hidrogennya semakin kuat. Sebagai polimer yang banyak
ditemukan di alam, kitosan mempunyai derajat N-deasetilasi 40-98% (Hejazi
dan Amiji, 2003).
Kitosan termasuk basa lemah, tidak larut dalam air dan pelarut
organik, dan larut dalam larutan asam berair (pH < 6,5). Unit glukosamin
kitosan pada pH tersebut dikonversikan ke dalam bentuk amina terprotonasi
(R-NH3+) atau disebut amonium kuartener sehingga dapat terlarut. Kitosan
terendapkan dalam larutan alkali atau dengan polianion dan membentuk gel
pada pH yang lebih rendah (Kunjachan et al., 2010). Dalam pelarut asam,
umumya pada pH 4-6, gugus bebas diprotonasi dan membuat molekul kitosan
menjadi mudah larut. Pasangan bebas pada gugus amina primer bersifat
nukleofilik yang dapat menjadi akseptor proton sehingga gugus amin ini
dapat terprotonasi (Aranaz et al., 2009). Berdasarkan ikatan polimer linier
yang dimilikinya, kitosan tersedia dalam berbagai bobot molekul yaitu
kitosan rantai pendek, rantai sedang dan rantai panjang. Ukuran rantai ini
mempengaruhi kelarutan dan viskositas. Kitosan rantai pendek lebih mudah
larut dalam pelarut asam organik seperti asam asetat, asam sitrat dan asam
tartrat (Mao, 2009).
18
Gambar 3. Struktur kitosan (Tiyabounchai, 2003)
Kitosan akan terprotonasi dalam suasana asam sehingga dapat
bereaksi secara mikroseluler dengan gugus bermuatan negatif yang terdapat
pada kurkumin maupun cross linker yang digunakan. Formulasi nanopartikel
dengan menggunakan kurkumin dan kitosan rantai pendek dengan metode ion
gelasi telah dibuat, menghasilkan nanopartikel kurkumin yang optimum
dengan perbandingan konsentrasi kurkumin dan kitosan 0,1% dan 0,06%.
Profil pelepasan kurkumin dari nanopartikel secara in vitro menunjukkan
pelepasan lambat setelah 30 menit disolusi dan pelepasannnya lebih cepat
pada formula dengan kitosan yang lebih besar. Nilai entrapment efficiency
yang dihasilkan cukup baik yaitu 94,13% untuk formula menggunakan
konsentrasi kurkumin 0,1%, kitosan 0,06% dan natrium tripolifosfat 0,03%
(Jayanti, 2011).
6. Uji penentuan aktivitas antiinflamasi secara in-vivo
Penentuan aktifitas antiinflamasi bertujuan untuk menyelidiki
proses terjadinya inflamasi dan mengevaluasi daya inflamsi suatu senyawa
kimia. Banyak metode yang digunakan untuk mengevaluasi daya inflamasi
suatu senyawa baik in vitro maupun in vivo. Untuk menentukan aktifitas
antiinflamasi secara in vivo telah dikembangkan beberapa model hewan
percobaan. Untuk inflamasi akut dan sub akut, model yang dapat digunakan
19
untuk menentukan aktifitas antiinflamasi adalah : UV-eritema pada hewan
marmut, permeabilitas vaskuler, induksi udem pada telinga mencit dengan
oxazolone, Croton-oil ear edema pada tikus dan mencit, udem terinduksi
pada telapak kaki pada tikus, pleurisy test dan granuloma pouch technique
(Patel et al., 2012).
Dari sekian banyak model hewan percobaan untuk menentukan
aktifitas antiinflamasi secara in vivo yang ada, metode udem terinduksi pada
telapak kaki tikus merupakan metode yang paling populer. Prosedur untuk
melakukan metode ini diawali dengan mengelompokan tikus yang memiliki
rentang bobot tertentu kemudian tikus tersebut tidak diberi makan selama
semalam tetapi masih diberi minum secukupnya. Kemudian kaki ditandai dan
diukur volume awalnya. Selanjutnya dipejankan senyawa yang akan diuji,
setelah setengah jam disuntikkan 0,05 mL larutan karagenin 1% dalam NaCl
0,9% dan diukur perubahan udem kaki tikus selama 6 jam tiap 30 menit.
Kemudian dihitung Area Under Curve (AUC) tiap perlakuan selama 6 jam
dan AUC tiap perlakuan dibandingkan dengan kontrol untuk mengetaui %
Daya Antiinflamasi (DAI) setiap senyawa (Patel et al., 2012; Winyard dan
Wiloughby, 2013 ).
Metode udem terinduksi pada telapak kaki tikus mempunyai
keuntungan apabila dibandingkan dengan metode lain yaitu dalam
pelaksanaan uji lebih mudah dan hasil yang diperoleh reprodusibel. Selain itu,
dengan menggunakan satu kelompok tikus maka waktu terbentuknya udem
dapat diselidiki dan membutuhkan biaya yang relatif murah (Sedgwick dan
20
Willoughby, 1993). Bahan penginduksi udem yang digunakan adalah
karagenin. Karagenin berasal dari alga merah Chondrus cripus, yang
merupakan polisakarida yang disusun dari monomer unit galaktosa sulfat.
Karagenin mampu menginduksi reaksi inflamasi yang bersifat akut, non
imun, dapat diamati dengan baik dan mempunyai reprodusibilitas yang tinggi
(Vogel, 2008; Winyard dan Wiloughby, 2013).
Karagenin dapat menginduksi terjadinya inflamsi dengan memacu
pelepasan agen proinflamasi seperti bradikinin, histamin, takikinin,
komplemen dan Nitrit Oksida ( NO ). Respon inflamasi diukur berdasarkan
peningkatan udem pada telapak kaki tikus. Ketika kaki tikus diinduksi dengan
karagenin secara intraplantar, akan terjadi udem yang terbentuk akibat
pelepasan mediator inflamasi. Setelah pelepasan mediator inflamasi
maksimal, akan terjadi penyembuhan secara alami oleh tubuh yang ditandai
dengan terjadinya penurunan volume udem kaki tikus. Udem kaki tikus yang
diinduksi karagenin akan meningkat sampai sekitar 5 jam pasca injeksi
karagenin, kemudian akan mengalami penyembuhan secara alami (Winyard
dan Wiloughby, 2013). Selain karagenin, agen penginduksi inflamasi yang
dapat digunakan antara lain: Brewer’s Yeast, formaldehid, dextran, albumin,
kaolin, aerosil dan naftoilheparamin (Patel et al., 2012).
E. Landasan Teori
Kurkumin merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antiinflamasi.
Kurkumin memiliki keterbatasan yaitu bioavailabilitas yang rendah. Strategi
21
untuk meningkatkan bioavailabilitas kurkumin adalah dengan memformulasikan
kurkumin dalam bentuk nanopartikel dengan menggunakan suatu polimer.
Polimer yang banyak digunakan untuk formulasi nanopartikel adalah kitosan.
Kitosan memiliki beberapa jenis berdasarkan berat molekulnya yaitu kitosan
rantai pendek, kitosan rantai sedang dan kitosan rantai panjang. Kitosan rantai
pendek memiliki kelarutan yang lebih baik apabila dibandingkan kitosan rantai
sedang dan rantai panjang. Salah satu metode pembuatan nanopartikel adalah
dengan metode ion gelasi. Metode ini berkaitan dengan terjadinya pembentukan
kompleks oleh muatan yang saling berlawanan yang kemudian membentuk gel
dalam ukuran nanopartikel. Muatan yang berlawanan berasal dari muatan positif
gugus amina kitosan yang terprotonasi dalam suasana asam dengan atom oksigen
pada stuktur kurkumin yang bermuatan parsial negatif. Dengan demikian, partikel
kurkumin terselubungi oleh polimer kitosan menghasilkan gel dalam ukuran
nanopartikel. Formulasi nanopartikel kurkumin dengan menggunakan polimer
kitosan rantai pendek secara ion gelasi menghasilkan nanopartikel kurkumin yang
berbentuk sferik, stabil dalam cairan lambung dan usus buatan, tidak bersifat
toksik terhadap sel Vero.
Formulasi nanopartikel kurkumin dengan kitosan rantai pendek dengan
metode ion gelasi meningkatkan lama kontak dengan mukosa saluran cerna
sehingga akan meningkatkan bioavailabilitas kurkumin. Obat yang memiliki
bioavailabilitas yang meningkat akan meningkatkan efek farmakologi. Sehingga
kurkumin yang diformulasikan dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan rantai
22
pendek menggunakan metode ion gelasi akan meningkatkan efek antiinflamasi
dari kurkumin.
F. Hipotesis
Kurkumin yang dimodifikasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan
rantai pendek memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan kurkumin.