BAB I PENGANTAR A. Latar...

36
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Historiografi nasional Indonesia, khususnya periode awal abad ke-20 tidak dapat dipisahkan dari perkotaan. Selain karena narasinya dibangun di dalam batasan spasial perkotaan, kota adalah wujud dari kemodernan yang darinya narasi sejarah (pergerakan) nasional dirangkai dengan alur logika yang khas. 1 Dimulai dan digerakkan oleh kelas-kelas menengah pribumi di perkotaan yang tumbuh sebagai bagian dari dinamika sosial dan ekonomi kota pada permulaan abad ke- 20, gagasan-gagasan modern berkembang dan meluas hingga menimbulkan kesadaran serta pergerakan nasional yang dilandasi semangat nasionalisme. 2 Tentu saja nasionalismenya adalah nasionalisme yang berdasarkan etnisitas, dibatasi pada orang-orang pribumi terdidik di perkotaan (yang kemudian menyandang predikat nasionalis Indonesia) serta bertujuan untuk lepas dari kekuasaan bangsa asing atau dalam hal ini adalah Belanda, begitulah kira-kira alur berpikirnya. 3 1 Contoh dari historiografi nasional ini misalnya adalah : Marwati Djouned dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka dan juga terbitan resmi bentuk berikutnya : Taufik Abdullah, dkk (Ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah. (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2009). 2 Lihat Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011). 3 Ke-pribumi-an dalam konsep nasionalisme Indonesia turut ditentukan oleh tiga kelompok cendekiawan di Belanda maupun Hindia, yaitu Perhimpunan Indonesia, Indonesische Studieclub dan Algemeene Studieclub. Lihat Frank Dhont, Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920an. (Yogyakarta : UGM Press, 2005).

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar...

Page 1: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Historiografi nasional Indonesia, khususnya periode awal abad ke-20 tidak

dapat dipisahkan dari perkotaan. Selain karena narasinya dibangun di dalam

batasan spasial perkotaan, kota adalah wujud dari kemodernan yang darinya narasi

sejarah (pergerakan) nasional dirangkai dengan alur logika yang khas.1 Dimulai

dan digerakkan oleh kelas-kelas menengah pribumi di perkotaan yang tumbuh

sebagai bagian dari dinamika sosial dan ekonomi kota pada permulaan abad ke-

20, gagasan-gagasan modern berkembang dan meluas hingga menimbulkan

kesadaran serta pergerakan nasional yang dilandasi semangat nasionalisme.2

Tentu saja nasionalismenya adalah nasionalisme yang berdasarkan etnisitas,

dibatasi pada orang-orang pribumi terdidik di perkotaan (yang kemudian

menyandang predikat nasionalis Indonesia) serta bertujuan untuk lepas dari

kekuasaan bangsa asing atau dalam hal ini adalah Belanda, begitulah kira-kira alur

berpikirnya.3

1 Contoh dari historiografi nasional ini misalnya adalah : Marwati Djouned

dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka dan juga terbitan resmi bentuk berikutnya : Taufik Abdullah, dkk (Ed.),

Indonesia dalam Arus Sejarah. (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2009).

2 Lihat Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the

Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian

Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011).

3 Ke-pribumi-an dalam konsep nasionalisme Indonesia turut ditentukan

oleh tiga kelompok cendekiawan di Belanda maupun Hindia, yaitu Perhimpunan

Indonesia, Indonesische Studieclub dan Algemeene Studieclub. Lihat Frank

Dhont, Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920an. (Yogyakarta :

UGM Press, 2005).

Page 2: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

2

Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah resiko terpinggirkannya atau

bahkan hilangnya bagian-bagian lain dari sejarah Indonesia yang tidak menjadi

bagian dari alur logika itu.4 Bagian-bagian yang terpinggirkan atau hilang tersebut

mencakup beragam aspek di dalam sejarah, baik subjek sejarah seperti individu

ataupun kelompok masyarakat, spasial atau unit geografis sejarah, pemikiran

bahkan ideologi dalam narasi sejarah itu sendiri. Sebagai contoh, tereksklusinya

golongan masyarakat minoritas di perkotaan dalam sejarah nasional resmi, baik

karena faktor rasial, etnis, kepercayaan, kelas sosial maupun relasi sosial di dalam

masyarakat adalah salah satu bukti bahwa pemahaman atas sejarah nasional

mengandung persoalan. Persoalannya bukan semata-mata menentukan siapa atau

kelompok mana yang berhak di atas panggung sejarah nasional Indonesia, tetapi

bagaimana seharusnya narasi sejarah nasional itu dipahami.

Tradisi sejarah nasional, khususnya periode dekade-dekade awal abad ke-

20 dibangun dengan upaya-upaya perlawanan, baik yang moderat maupun radikal,

terhadap segala bentuk ketidakadilan oleh penguasa kolonial termasuk berbagai

bentuk diskriminasi ras oleh bangsa kulit putih terhadap pribumi.5 Diskriminasi

dalam berbagai aspek kehidupan yang diterapkan pemerintah kolonial adalah

suatu titik tolak bahwa kolonialisme harus segera diakhiri. Segala yang bersifat

asing ataupun yang terkait dengannya lantas diasosiasikan dengan penjajah yang

4 Henk Schulte Nordholt, “De-colonizing Indonesian Historiography”,

Working Paper No. 6, (Centre for East and South-East Asian Studies Lund

University, 2004), p.1.

5 Tradisi ini mengacu pada sejarah Indonesiasentris sebagai perlawanan

terhadap tradisi sebelumnya dimana sejarah Indonesia ditulis dari perspektif

pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography.

(Yogyakarta : Kanisius, 2001), hlm.30.

Page 3: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

3

harus diwaspadai dan ditentang.6 Namun waktu telah berlalu, sementara bangunan

sejarah nasional masih terus memproduksi penolakan-penolakan terhadap

berbagai hal yang dianggap “non-pribumi” seolah-olah sebagai representasi dari

penjajahan. Akibat pelabelan tersebut, diskriminasi ras, etnis, ataupun

kepercayaan justru terus terulang terjadi hingga kini di dalam kehidupan

masyarakat maupun bangsa yang konon dibangun berlandaskan asas kemanusiaan

dan keadilan.7 Diskriminasi secara terang-terangan telah mendorong polarisasi di

dalam masyarakat, termasuk gesekan antar golongan masyarakat mayoritas dan

minoritas yang mengemuka dewasa ini. Kemajemukan atau pluralitas hanya

disadari secara faktual semata dan pada implementasinya “bangsa” tetap

dibayangkan sebagai suatu substansi yang homogen.8 Hal ini menunjukkan bahwa

seakan-akan telah terjadi kegagalan dalam memahami kemajemukan itu sendiri

dan oleh karenanya sejarah nasional sebagai pembentuk kesadaran masyarakat

tentu turut andil atas terjadinya berbagai ketidakharmonisan ini.

Bertolak dari hal di atas penting kiranya dilakukan upaya untuk

memperluas kajian sejarah yang harus keluar dari dominasi narasi sejarah

nasional. Itu bisa dilakukan dengan mengangkat aspek-aspek sejarah yang

6 Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris menurut Bambang

Purwanto memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika

dibandingkan dengan historiografi kolonial. Mengenai kritik terhadap

historiografi Indonesiasentris selengkapnya lihat Bambang Purwanto, Gagalnya

Historiografi Indonesiasentris?!. (Yogyakarta : Ombak, 2006).

7 Berbagai peristiwa kerusuhan antar etnis maupun agama di berbagai

daerah, termasuk yang baru-baru ini mengemuka di ibukota mencuatnya kasus

diskriminasi agama, bahwa yang berhak atas jabatan kepala daerah haruslah

seorang muslim.

8 Budi Hardiman, “Belajar dari Politik Multikulturalisme”, dalam Will

Kymlicka, Kewargaan Multikultural (judul asli : Multicultural Citizenship).

(Jakarta : Pustaka LP3ES), hlm. xiv.

Page 4: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

4

tereksklusi akibat narasi sejarah nasional. Konteks perkotaan pada awal abad ke-

20, yang dalam narasi sejarah nasional diletakkan sebagai sumber dari

“pergerakan nasional” itu sendiri dapat digunakan untuk membuktikan bahwa

generalisasi terhadapnya merupakan suatu langkah yang kurang tepat. Hal ini

tentu masuk akal, karena kota sebagai entitas yang majemuk tentu juga memiliki

logika sejarah yang beraneka ragam.

Pembicaraan mengenai kota pada awal abad ke-20 tentu tidak terlepas dari

dinamika kolonial Hindia Belanda yang mengalami babak baru dengan adanya

kebijakan pembaruan politik pemerintahan. Sementara itu dinamika kolonial

Hindia Belanda itu sendiri juga dipengaruhi oleh kelompok-kelompok politik di

Belanda pada masa itu yang menganggap pemerintahan Hindia Belanda seolah-

olah adalah suatu perwalian (Guardianship)9 yang diperlukan guna membimbing

bangsa pribumi oleh orang-orang kulit putih untuk mencapai kemajuan serta pada

akhirnya kemandirian dengan pengajaran moral (The White Man’s Burden).10

Kelompok-kelompok politik yang berbeda itu adalah kelompok agama, sosialis

dan etis. Meski berbeda secara ideologi, mereka memiliki ide dasar yang

bersamaan mengenai politik kolonial, yakni “menyisihkan sistem eksploitasi dan

menitikberatkan pada usaha untuk kesejahteraan rakyat”.11

Ide dari kelompok

partai-partai agama (Partai Roma Katolik, Partai Antirevolusioner, Partai Kristen

9 Bernard H.M. Vlekke menyatakan bahwa pada dasarnya pada dekade-

dekade pertama dan kedua abad ke-20 orang-orang di Belanda setuju bahwa

peerintahan kolonial harus dianggap suatu trusteeship (perwalian). Lihat Bernard

H.M. Vlekke, Nusantara : Sejarah Indonesia (judul asli : Nusantara : A History of

Indonesia). (Jakarta : KPG, 2016), hlm.340.

10

Lihat J.S.Furnivall, op.cit., hlm. 243.

11

Lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah

Pergerakan Nasional (Jilid 2). (Yogyakarta : Ombak, 2014), hlm. 36.

Page 5: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

5

Historis) adalah perlunya asimilasi penduduk pribumi ke dalam peradaban Barat

sebagai bagian dari upaya misi pengadaban (civilizing mission). Guna mencapai

hal tersebut maka misi pengadaban ini tidak menekankan pada ide keunggulan

ras, melainkan perlunya toleransi antar ras yang berbeda-beda serta kesatuan

kemanusiaan.12

Sementara itu, kelompok sosialis menyerukan bahwa politik

kolonial seharusnya meningkatkan kesejahteraan dan moral penduduk pribumi,

bukan eksploitasi kolonial namun pertanggungjawaban moral yang seharusnya

ditekankan.13

Sedangkan kelompok etis mendesak kepada pemerintah kolonial

untuk menjalankan suatu sistem yang bertujuan untuk memberadabkan penduduk

melalui berbagai program etis seperti edukasi, irigasi, kredit rakyat dan

emigrasi.14

Berbagai desakan dan pemikiran baru tersebut pada akhirnya bermuara

pada Politik Etis, Politik Balas Budi, Politik Kemakmuran atau pun Asosiasi.15

Furnivall juga menyatakan bahwa pada awal abad ke-20, seluruh kelompok

politik di Belanda mendukung kebijakan aktivitas negara ke arah perluasan,

12

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah

Pergerakan Nasional (Jilid 2), ibid., hlm. 37.

13

Ibid., hlm. 38.

14

Orang-orang seperti Van Kol, C.Th. van Deventer, dan Brooshooft

adalah para penganjur dan pemikir gagasan-gagasan etis. Van Kol adalah sosialis

lulusan Delft yang dalam pidato-pidato kritik politiknya menyita perhatian

Parlemen Belanda. Van Deventer seorang liberal aliran Multatuli menulis artikel

yang berjudul Een Ereschuld (Hutang Budi) yang menekankan pada pentingnya

kesejahteraan penduduk pribumi/asli di atas segala-galanya. Ia dikenal sebagai

Bapak Pergerakan Etis dan ialah yang mendesak perluasan pengajaran di Hindia

hingga akhirnya berdampak pada kemunculkan elite-elite modern Indonesia. Lihat

Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. (judul asli : The Emergence

of the Modern Indonesian Elite). (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm.54-58.

15

Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 43.

Page 6: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

6

efisiensi dan kesejahteraan Hindia sebagai yang utama dalam kebijakan

kolonial.16

Ide-ide serta implementasi dari kebijakan pembaruan, baik itu etis maupun

desentralis/otonomi yang merupakan pendelegasian pemerintahan secara bertahap

rupanya tidak dapat memenuhi harapan kelompok nasionalis yang menginginkan

penentuan nasib sendiri.17

Terinspirasi dari ide-ide sosialis18

, muncullah gerakan-

gerakan non-kooperasi yang radikal pada dekade-dekade kedua abad ke-20 seperti

aksi-aksi pemogokan dan gerakan yang lebih revolusioner tahun 1926.19

Gerakan-

gerakan yang ditanggapi dengan kebijakan represif tersebut untuk sementara

mereda hingga kemudian mencuat kembali pasca Perang Dunia II. Demikianlah

kekuasaan kolonial Belanda terlikuidasi dari Indonesia akibat nasionalisme.

Jika arus utama narasi historiografi nasional berupa penolakan atas

kebijakan pembaruan dan menganggapnya hanya sebagai bagian dari upaya

16

J.S.Furnivall, Hindia Belanda : Studi tentang Ekonomi Majemuk (judul

asli : Netherlands India : A Study of Plural Economy). (Jakarta : Freedom

Institute, 2009), hlm. 243.

17

Secara lebih khusus, kelompok-kelompok politik nasionalis seperti

Perhimpunan Indonesia (PI) menolak desentralisasi karena dianggap tidak cukup

kuat untuk tujuan kemerdekaan, begitupula dengan Algemeene Studieclub di

Bandung dan Indonesische Studieclub di Surabaya. Lihat Frank Dhont,

“Pandangan Kaum Intelektual Nasionalis Indonesia Muda Akhir 1920an Terhadap

Demokrasi, Politik Lokal dan Otonomi”, dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko

Yunanto, Anton Birowo & Bambang Purwanto, Desentralisasi, Globalisasi dan

Demokrasi Lokal. (Jakarta : LP3ES, 2005).

18

Tokoh sosialis garis keras, Henk Sneevliet dan Asser Baars, menyatakan

bahwa Politik Etis adalah mirip “mutiara palsu dan berlian tiruan yang dipakai

pria renta yang lusuh untuk menyia-nyiakan anaknya”. Lihat Frances Gouda,

Dutch Culture Overseas Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. (Jakarta

: Serambi, 2007), hlm. 56.

19

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

1926 (judul asli : An Age in Motion :Popular Radicalismm in Java 1912-1926).

(Jakarta : Pustaka Utama, 1997).

Page 7: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

7

melanggengkan eksploitasi kolonial, maka di dalam tataran lokal perlu dilihat

kembali secara lebih seksama. Pada kenyataannya, dinamika di tataran lokal

mampu memperlihatkan bagaimana masyarakat sipil, termasuk pribumi dapat

“bertemu” dengan orang-orang kulit putih, berbeda dengan di tataran nasional

yang keduanya cenderung dibenturkan guna mencapai narasi nasionalis. Di

tataran lokal dapat pula dilihat masyarakat sipil dapat menjalin dialog maupun

negosiasi dengan penguasa atau negara. Itu terjadi di dalam lingkup lokal

perkotaan, khususnya pasca desentralisasi.20

Desentralisasi adalah kebijakan penting yang turut menggerakkan berbagai

aspek pranata-pranata perkotaan baik itu pemerintahan maupun sosial

kemasyarakatan ke arah kemandirian dari kekuasaan pusat.21

Secara kelembagaan

pemerintahan, penerapan kebijakan tersebut dimulai dengan pembentukan

Kotapraja (Gemeente) secara bertahap baik di Jawa maupun di luar Jawa.22

Pada

perkembangannya, desentralisasi telah merangsang naiknya beragam partisipasi

masyarakat sipil perkotaan baik politik, sosial, ekonomi, budaya, dll.23

20

Mengenai pembicaraan tentang tahapan kebijakan desentralisasi lihat

Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial

Hindia-Belanda Kebijakan dan Upaya Akhir Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan

Kolonial di Indonesia 1900-1940. (Malang : Bayumedia, 2008).

21

Penjelasan mengenai perkembangan implementasi desentralisasi lihat

.W.M.Kerchman, 25 Jaren Decentralisatie in Ned.Indie 1905-1930. (Semarang :

Vereeniging voor Locale Belangen).

22

Mengenai hal ini lihat P.J.M.Nas, “The Origin and Development of the

Urban Municipality in Indonesia”, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast

Asia, Vol. 5, No. 1 February 1990, pp. 101.

23

Akira Nagazumi menyatakan bahwa desentralisasi perlu segera

diterapkan karena diasumsikan bahwa pemerintah lokal-lah yang semestinya

bertanggungjawab atas kesejahteraan penduduk pribumi. Akira Nagazumi,

Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. (Jakarta : Pustaka

Utama Grafiti, 1989), hlm. 28.

Page 8: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

8

Mengingat pentingnya desentralisasi bagi perkembangan masyarakat sipil

kota, maka studi ini akan menitikberatkan pada aspek kemasyarakatan di salah

satu kota yang menjadi bagian dari desentralisasi, yakni Kotapraja Magelang pada

awal abad ke-20. Kota Magelang cenderung lebih terabaikan dibanding dengan

kota lain akibat perannya dalam pergerakan nasional yang tidak menonjol,

berbeda dengan di Surakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta, dsb.

Terdapat dinamika masyarakat sipil di kota ini yang merefleksikan suatu bentuk

kewarganegaraan yang orientasinya tidak berkaitan dengan pembentukan negara

baru. Masyarakat sipil di kota Magelang tersebut direpresentasikan oleh beberapa

perkumpulan yang bergerak dalam bidang penyediaan layanan sosial (social

goods) maupun filantropi bagi penduduk kota pada umumnya, seperti pengentasan

kemiskinan (Rumah Miskin “Blondo”), pengasuhan anak terlantar (panti asuhan

Van der Steur), layanan kesehatan (Boedi-Rahajoe) serta asuransi dan simpan

pinjam (Boemi-Poetera). Semua layanan sosial tersebut digagas oleh orang-orang

yang berbeda secara ras, sebagian orang Eropa (Johannes van der Steur,

A.Merkelijn), sebagian orang Eurasia/setengah Eropa setengah Asia (L.H.Berg)

dan orang Asia, tepatnya Jawa (K.H.Soebroto, Dwijosewodjo, Adimidjojo).

Selain latar belakang identitas rasial yang berbeda, mereka juga memiliki

perbedaan dalam orientasi atau sasaran layanan sosialnya. Namun secara temporal

mereka hidup bersamaaan dan pertumbuhannya pun beriringan dengan

perkembangan kota-kota kolonial dan dalam hal ini adalah Kotapraja Magelang

yang berdiri sejak tahun 1906.24

24

Daftar yayasan-yayasan sosial atau filantropi di Jawa dapat dilihat pada

laporan pemerintah kolonial (Kolonial Verslag) dari tahun ke tahun yang

jumlahnya semakin banyak. Untuk Boemi-Poetera dapat dilihat dalam buku

Page 9: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

9

Keberadaan perkumpulan sosial masyarakat tersebut menjadi penting

mengingat kota-kota kolonial pada awal abad ke-20 memiliki kecenderungan

untuk mengembangkan infrastruktur fisiknya yang dalam beberapa hal

mengabaikan infrastruktur sosial, seperti rumah sakit maupun pendidikan,

khususnya bagi orang-orang miskin. Suatu laporan desentralisasi menunjukkan

bahwa pos anggaran untuk pekerjaan umum kota selalu menempati urutan

tertinggi dibanding pos yang lain.25

Dengan demikian partisipasi sosial oleh

perkumpulan-perkumpulan masyarakat berperan sebagai pengisi ruang-ruang

kosong yang ditinggalkan atau diabaikan oleh negara.

Corak perkumpulan-perkumpulan sosial maupun filantropi seperti di atas

juga banyak terdapat di kota-kota yang lain. Keberadaan mereka dapat dilacak dan

diketahui tersebar di berbagai wilayah di Jawa maupun luar Jawa. Sebagai contoh

pada tahun 1929, terdapat 20an lebih organisasi sosial-amal di Jawa dan Sumatera

yang mengusahakan panti-panti sosial yang tercatat di dalam laporan pemerintah

kolonial.26

Mereka beragam, ada yang berupa panti asuhan, panti orang-orang

buta, panti orang-orang terlantar, panti kesehatan,dll.27

Itu belum termasuk

misalnya Bumiputera 1912 Menyongsong Abad 21. Jakarta : 1992 serta berbagai

terbitan surat kabar maupun majalah seperti Medan Goroe Hindia yang terbit

dekade-dekade awal abad ke-20.

25

Suatu data statistik tentang pengeluaran keuangan kepegawaian di

beberapa kotapraja (Batavia, Soerabia, Semarang, Bandoeng, Medan,

Mr.Cornelis, Buitenzorg, Palembang dan Makassar) pada tahun 1929

menunjukkan anggaran untuk mengatasi kemiskinan secara langsung dalam

bentuk armenhuis adalah kosong alias nihil. W.M.Kerchman, op.cit., hlm. 58-59.

26

Lihat “Opgaven, voor zooveel ontvangen, betreffende de in

Nederlandsch-lndië bestaande weeshuizen en andere instellingen van

liefdadigheid, zoomede uitkeeringsfondsen, meerendeels over 1929”. Koloniaal

Verslag 1930.

27

Ibid.

Page 10: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

10

perkumpulan-perkumpulan amal lain yang berbasis penggalangan dana untuk

sekolah, pemakaman dan pensiun yang jika dihitung jumlahnya akan sangat

banyak. Di antara mereka dikelola oleh organisasi filantropi gereja, filantropi

Islam seperti Muhammadiyah28

maupun organisasi non keagamaan (sekuler).

Kecuali perkumpulan-perkumpulan yang menerapkan pembatasan ras dalam

keanggotaannya, beberapa perkumpulan-perkumpulan amal tersebut terdapat yang

terbuka untuk berbagai golongan atau tidak berdasar pada pembatasan ras

tertentu.29

Berbagai gambaran perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan

tersebut menarik untuk dikaji karena berkaitan dengan dinamika masyarakat sipil

yang pada akhirnya juga berpengaruh pada dinamika kota itu sendiri.30

B. Permasalahan dan Batasan Penelitian

Bertolak dari latar belakang di atas, penelitian ini berusaha untuk

menangkap fenomena citizenship (kewarganegaraan) kolonial pada paruh pertama

abad ke-20 di Kota Magelang. Ini dilakukan dengan menangkap ekspresi-ekspresi

dari „moda-urban‟, dalam hal ini perkumpulan-perkumpulan yang berkepentingan

dalam bidang sosial kemanusiaan seperti penanganan kemiskinan, pendidikan dan

28

Kajian filantropi Islam, terutama Muhammadiyah telah disoroti oleh

Hilman Latief. Lihat Hilman Latief, Melayani Umat Filantropi Islam dan Ideologi

Kesejahteraan Kaum Modernis. (Jakarta : Gramedia, 2010).

29

Salah satu penjelasan mengenai lembaga-lembaga penanganan

kemiskinan dimuat di dalam terbitan pemerintah. Lihat De Staatsarmenzorg voor

Europeanen in Nederlandsch-Indie, Hoofdstuk I-IV. Batavia Landsdrukkerij,

1901.

30

Amelia Fauzia menyatakan bahwa kebijakan sekuler dan tidak campur

tangan pemerintah kolonial dalam filantropi telah menjadi dasar yang baik bagi

pertumbuhan masyarakat sipil muslim. Amelia Fauzia, Filantropi Islam Sejarah

dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia. (judul asli : Faith and

the State A History of Islamic Philanthropy in Indonesia). Yogyakarta : Gading,

2016, hlm.146

Page 11: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

11

kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat sipil lintas ras ataupun etnis di kota ini.

Adapun pertanyaan utamanya adalah bagaimana kewarganegaraan dalam lingkup

lokal, khususnya di Kotapraja Magelang pada awal abad ke-20 dapat dipahami

melalui ekspansi partisipasi masyarakat sipil dalam penyediaan layanan sosial-

kemanusiaan? Di dalamnya juga akan ditanyakan siapa sajakah yang dimaksud

masyarakat sipil di dalam partisipasi sosial itu? Bagaimanakah bentuk partisipasi

sosial itu? bagaimanakah keterpautannya dengan instansi Kotapraja baik pada

tahap sebelum tahun 1930 maupun pasca tahun 1930? serta bagaimanakah corak

dari partisipasi masyarakat sipil yang dimaksud di situ?

Batasan dalam penelitian ini secara temporal dimulai pada tahun 1900an,

di mana kota-kota pada umumnya mulai mengalami perkembangan dari aspek

partisipasi masyarakat dengan diterapkannya desentralisasi yang kemudian diikuti

dengan terbentuknya institusi kotapraja.31

Kotapraja Magelang itu sendiri

terbentuk pada tahun 1906. Batasan akhir dari penelitian ini adalah tahun 1940an

dimana gejolak politik yang terjadi saat itu telah menghambat ataupun menutup

kemungkinan bagi keberlangsungan beberapa partisipasi sosial masyarakat sipil di

Kotapraja Magelang, termasuk juga penghapusan institusi Kotapraja itu sendiri.32

31

Perkembangan tentu saja juga dari segi populasi penduduk. Pada tahun

1920an, 6,63% penduduk Jawa tinggal di perkotaan dan tahun 1930an penduduk

Jawa yang tinggal di perkotaan meningkat menjadi 8,7%. Hal itu menunjukkan

bahwa pertumbuhan penduduk di kota lebih cepat dibandingkan di pedesaan,

alhasil kota menjadi bagian paling dinamis dalam perkembangan masyarakat di

Hindia. W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, a Study of Social

Change (terjm.). (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999), hlm. 143-144.

32

Menurut Kuntowijoyo, cakupan waktu dalam studi sejarah tidaklah

secara langsung menunjuk pada suatu periodisasi, sebab dalam perkembangan

sejarah dan sosial tidak ada permulaan maupun akhir. Kuntowijoyo, Perubahan

Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. (Yogyakarta: PAU

UGM), hlm. 1.

Page 12: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

12

Aspek spasial dari penelitian ini adalah di Kotapraja Magelang. Namun

demikian studi kasus yang diamati bisa melebar ke wilayah-wilayah geografis di

sekitarnya, yaitu di Kabupaten (Regentschap) Magelang. Hal ini jelas sangat

wajar karena Kotapraja Magelang sendiri letaknya dikelilingi oleh wilayah

Kabupaten Magelang, baik sejak awal abad ke-20 maupun hingga saat ini.33

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan mengamati kasus penyediaan layanan sosial di Kotapraja

Magelang, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa dinamika kota pada

awal abad ke-20 seiring dengan desentralisasi memperlihatkan terciptanya

persehubungan institusional yang dilakukan oleh berbagai pihak kelompok

masyarakat sipil dengan institusi kotapraja. Melalui dinamika tersebut diharapkan

dapat digambarkan suatu bentuk kewarganegaraan dalam konteks lokal di

Magelang.34

Di samping itu, aspek pelayanan sosial dari pihak-pihak tersebut

akan dapat menggambaran fungsi strategis maupun politis lembaga pemerintah

maupun swasta dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat sebagai warga kota.

Untuk mendukung hal ini maka pertama-tama harus dilihat dulu dalam koridor

kelembagaan formal institusi Kotapraja Magelang.

33

Hal ini bisa dil ihat didalam peta yang dikeluarkan pada masa itu. Lihat

Wegenkaart Gemeente Magelang 1935.

34

Dinamika di lingkup lokal tentu menyimpan banyak realitas yang belum

muncul di permukaan. Kuntowijoyo menyatakan: “..dalam kapasitas kita masing-

masing, marilah kita menyumbangkan usaha-usha kesejarahan untuk mengungkap

sebanyak mungkin sejarah lokal di tempat kita masing-masing bekerja, sehingga -

sejarah dari bawah- ini akan menumpuk menjadi sejarah nasional yang lengkap.”

Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana,

2003), hlm. 21.

Page 13: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

13

Manfaat dari penelitian ini adalah menambah ragam penelitian sejarah

perkotaan.35

Narasi sejarah pada tataran lokal memiliki asumsi yang berbeda

dengan narasi nasional dan seringkali narasi nasional menutup berbagai realitas-

realitas lokal. Itu perlu dimunculkan guna menunjukkan bahwa kota adalah ruang

yang seharusnya inklusif terhadap berbagai perbedaan, baik ras, etnis maupun

kepercayaan. Di samping itu sejarah perkotaan khususnya mengenai Kota

Magelang masih banyak yang hanya menempatkan Magelang sebagai aspek

spasialnya saja, bukan digunakan secara spesifik untuk mengkaji kekotaan. Perlu

dibedakan antara kota hanya sebagai aspek spasial dan kota sebagai aspek utama

dan spesifik dalam kajian sejarah. Penelitian ini juga diharapkan memberikan

sumbangan pengetahuan mengenai sejarah pelayanan sosial di perkotaan yang

dapat berjalan apabila terjadi kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak

pemangku kekuasaan dengan masyarakat sipil yang beragam sebagai penyedia

layanan tersebut.

D. Kerangka Konseptual

Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin, pars yang berarti

bagian dan capere yang berarti mengambil, sehingga partisipasi dapat diartikan

“mengambil bagian”. Sementara itu dalam bahasa Inggris, participation dapat

dimaknai sebagai “mengambil peranan”. Dengan demikian partisipasi dalam studi

35

Keragaman sejarah tentu saja merupakan napas dari “sejarah” itu

sendiri. Tanpa keragaman maka sejarah sebagai ilmu tidak akan berkembang. Jadi

tugas penting sejarawan pada saat ini adalah membuat narasi sejarah menjadi

beragam, sehingga realitas tentang masa lalu dapat terungkap dengan beragam

pula. Sartono Kartodirdjo telah menyarankan agar sejarawan memberi penekanan

pada mikro-histori, tentu saja dengan maksud agar realitas yang beragam semakin

terungkap. Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi

Indonesia Suatu Alternatif. (Jakarta : Gramedia, 1982), hlm. 20.

Page 14: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

14

ini dapat dipahami sebagai masyarakat yang mengambil peranan dengan

menyediakan berbagai pelayanan sosial di Magelang. Partisipasi masyarakat

tersebut menjadi penting mengingat konteks periode kolonial yang mana segala

kemungkinan bagi partisipasi masyarakat cenderung tertutup dan melalui

partisipasi non-politiklah hal tersebut masih memungkinkan.

Partisipasi masyarakat lantas akan membawa pada diskusi pentingnya

aspek kewarganegaraan (yang bersumber dari konsep citizenship) di dalam suatu

kehidupan perkotaan kolonial. Konsep citizenship yang sejatinya menuntut

perlunya pengakuan atas hak-hak warga oleh penguasa, termasuk hak-hak politik

secara luas, tentulah tidak dimungkinkan pada masa kolonial, khususnya pada

dekade ke-tiga abad ke-20 hak-hak warga dalam aktifitas pergerakan politik

dianggap mengganggu “ketertiban”.36

Dengan kata lain sebaiknya

kewarganegaraan pada masa kolonial tidak dipahami dalam artian politik semata

mengingat sangat terbatasnya hak-hak sipil masyarakat kolonial. Untuk itulah

kajian-kajian yang berkaitan dengan kewarganegaraan pada masa kolonial

memerlukan perspektif lain karena atmosfer sosio-politik yang tidak

memungkinkan. Henk Schulte Nordholt menawarkan konsep cultural citizenship

yang menitikberatkan pada aktifitas kelas menengah sebagai subjek yang

berorientasi pada gaya hidup yang berkembang di perkotaan.37

Tawaran Schulte

36

Elsbeth Locher-Scholten, “The Colonial Heritage of Human Rights in

Indonesia: The Case of the Vote for Women, 1916-4”, Journal of Southeast Asian

Studies, Vol. 30, No. 1 (Mar., 1999), pp. 54-73. Cambridge University Press.

37Lihat Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the

Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian

Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011).

Page 15: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

15

Nordholt ini sebenarnya untuk memecah kebuntuan kajian berkait dengan

kewarganegaraan di suatu negara kolonial.

Konsep citizenship sebelumnya juga telah diteorisasikan oleh T.H.

Marshall. Marshall menyatakan bahwa citizenship itu sendiri terbagai menjadi tiga

kategori, yakni civil citizenship, political citizenship, dan social citizenship.38

Konseptualisasi ini digunakan oleh Marshall untuk menjelaskan perkembangan

kelas sosial masyarakat Inggris selama kurun waktu tiga abad sejak abad ke-18

hingga ke-20 yang pada akhirnya berujung pada perwujudan social citizenship itu

sendiri. Pada periode social citizenship itulah tuntutan hak-hak warga tidak hanya

berorientasi pada partisipasi pemerintahan semata, namun juga tuntutan atas hak-

hak sosial seperti pendidikan, kesehatan, dll. Selain itu social citizenship ini juga

akan membawa pada arah atau suatu bentuk welfare state. Itu semua diwujudkan

oleh perjuangan warga dalam keduduannya sebagai citizen (warga).

Konsep citizenship berkembang pesat di Indonesia setelah runtuhnya

rezim Orde Baru. Muhammad AS. Hikam adalah salah satu yang menawarkan

konsep “politik kewarganegaraan” sebagai alternatif bagi landasan politik

Indonesia pasca reformasi 1998. Menurutnya keturutsertaan warga dalam bidang

politik sangat diperlukan untuk mereformasi sistem yang telah ada. Dinamika

politik sudah seharusnya dipandang dari perspektif warga bukan dari visi

38

T.H.Marshall, “Citizenship and Social Class” dikutip Kathleen Knight

Abowitz and Jason Harnish, “Contemporary Discourses of Citizenship”, Review

of Educational Research, Vol. 76, No. 4 (Winter, 2006), pp. 653-690. American

Educational Research Association.

Page 16: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

16

penguasa (the people point of view).39

Dengan demikian perspektif top-down

semestinya bergeser menjadi bottom-up.

Meskipun memiliki makna luas, citizenship memiliki elemen dasar yang

menekankan pada aspek yang berhubungan dengan hak-hak warga, partisipasi

serta keanggotaan baik sebagai warga dalam negara/kota maupun warga dalam

masyarakat itu sendiri. Kewaragaan dalam konteks kota (urban citizenship) akan

sangat berkaitan apabila dipandang dalam arus bottom-up citizenship dan

citizenship sebagai praktek serta partisipasi.40

Urbanisasi membawa bentuk-

bentuk baru warga kota dalam wadah “publik” dalam aspek politik, ekonomi

maupun sosial dan karena kompleksnya kehidupan di perkotaan membuat

berbagai kebutuhan pun muncul. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan itu tidak serta

merta disediakan oleh pemerintah kota sehingga memunculkan gerakan dari

bawah yang mendorong adanya ekspansi partisipasi dari masyarakat.

Kewarganegaraan menekankan partisipasi dan tanggung jawab publik dari setiap

warga.41

Aktivitas kewarganegaraan ini dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa

39

Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan : Landasan

Redemokratisasi di Indonesia. (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1999), hlm. 149.

40 Lihat Joe Painter, Urban Citizenship and Rights to the City.

International Centre For Regional Regeneration And Development Studies

(ICRRDS), (Durham University, 2005), hlm. 7.

41 A.S.Hikam telah mengelaborasikan berbagai penjelasan tentang

citizenship ini dan menyebut dalam enam pengertian. Pertama, kewarganegaraan

sebagai konstruksi legal, sebagaimana dikembangkan oleh Dahrendorf dan Smith;

kedua, kewarganegaraan diartikan sebagai posisi netralitas sebagaimana

digunakan oleh Rawls dan Rorty; ketiga, kewarganegaraan sebagai keterlibatan

dalam kehidupan komunal yang dikembangkan oleh Tocqueville, Barber dan

Walzer; keempat, kewarganegaraan dikaitkan dengan upaya pencegahaan

terhadap terjadinya konflik-konflik berdasarkan perbedaan kelas yang dikenalkan

oleh TH.Marshall; kelima, kewarganegaraan sebagai upaya pemenuhan diri (self

sufficiency) dikenalkan oleh Mead dan Fullinwider dan keenam, kewarganegaran

sebagai proses “hermeunitik” yang berupa dialog dengan tradisi, hukum dan

Page 17: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

17

memandang latar belakang sosial maupun ekonomi, seperti ras, etnis,

kepercayaan, pencaharian, dll. Meskipun demikian dalam konteks kolonial yang

tampak mendominasi hal ini adalah dari kalangan kelas menengah dan elit di

perkotaan.

Penjelasan dari konsep yang berkaitan dengan kewarganegaraan

dimaksudkan untuk membingkai penelitian ini. Penekanan pada warga Kota

Magelang dalam berbagai aktifitas pelayanan sosial akan menunjukkan betapa

pentingnya peran warga dalam suatu kota kolonial. Maksud dari kewarganegaraan

pada masa kolonial di dalam studi ini bukanlah bentuk kewarganegaraan yang

diperoleh sebagai hasil dari aktivitas-aktivitas “pergerakan nasionalis”, bukan

pula ingin memperlihatkan suatu “kewarganegaraan Hindia” mengingat konteks

kolonialisme yang membatasi elemen-elemen kewarganegaraan itu sendiri untuk

berkembang. Untuk menghindari hal itu maka kewarganegaraan di sini sebaiknya

tidak ditempatkan pada konteks nasional, melainkan konteks lokal. Di sinilah kota

sebagai suatu lokalitas dapat dijadikan konteksnya.

Di samping itu, prinsip kewarganegaraan ini juga berkaitan dengan tatanan

civil society, karena civil society itu akan kokoh bersamaan dengan kuatnya pula

prinsip-prinsip kewarganegaraan. Jika merujuk pada peraturan pemerintah

kolonial yang menyatakan bahwa urusan sokongan kemiskinan adalah sebesar-

besarnya tanggung jawab masyarakat42

, maka ini bisa menjadi titik tolak bagi

institusi seperti pemahaman Gadamer, Arendt dan Alejandro. A.S.Hikam, op.cit.,

hlm. 163-164.

42Staatsblad van Nederlandsch Indie 1934 no.26 tentang Armenzorg

(sokongan/dukungan bagi orang-orang miskin).

Page 18: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

18

naiknya gerakan masyarakat sipil43

pada ranah kepedulian sosial atau gerakan non

politik.44

Untuk melihat ini maka orientasinya harus dilepaskan dari pandangan

nasionalistik yang cenderung menempatkan persoalan kemerdekaan sebagai

klimaksnya. Mengutip pernyataan Abdul Wahid, bahwa dinamisme kota dan

partisipasi warganya tersebut hanya bisa dipotret secara berbeda jika ia tidak lagi

dipandang melalui lensa dan pendekatan nasionalistik yang menempatkannya

sebagai kepanjangan dinamika politik pusat atau bagian dari dinamisme politik di

kalangan elit pribumi yang menginginkan tercapainya kemerdekaan Indonesia.45

Dengan demikian tentu saja civil society di dalam studi ini harus dimaknai secara

terbatas, di mana ciri keswadayaan dan kemandirian masyarakat sipil yang

direfleksikan oleh perkumpulan sosial-kemanusiaan di Magelang ini tidak mutlak

independen dari hubungan yang lebih kooperatif dengan negara.46

43

Perlu diketahui bahwa berbagai gerakan kemasyarakatan adalah bagian

yang esensial dan merupakan pertanda kehadiran civil society. Lihat Dawam

Rahardjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial.

(Jakarta : LP3ES, 1999), hlm.136.

44

Pada prinsipnya diskursus civil society senantiasa menempatkan aktor-

aktor dalam suatu ruang dengan tujuan untuk memperluas batas-batas ruang

tersebut vis-a-vis negara. Lihat Nico Schulte Nordholt, “Pelembagaan Civil

Society dalam Proses Desentralisasi di Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt

& Gusti Asnan (Ed), Indonesia in Transition Work in Progress. (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2003), hlm.30

45

Abdul Wahid, “Kota, Pranata Perkotaan dan Colonial Governance :

Beberapa Catatan tentang Administrasi Perkotaan di Indonesia Pada Masa

Kolonial Akhir”, disampaikan dalam The Second National Graduate Seminar on

Urban History of Indonesia 2014. Yogyakarta, 18-19 Juni 2014, Jurusan Sejarah,

FIB, UGM, hlm. 10.

46

Menurut Muhammad AS Hikam, civil society dapat didefinisikan

sebagai “wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan,

antara lain : kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan

keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan

keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh

Page 19: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

19

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan dengan menelaah berbagai kajian yang relevan

dengan penelitian yang akan dilakukan, yakni sejarah kota/urban history dan juga

kajian sejarah Kota Magelang.

Kajian perkotaan sebenarnya telah dimulai semenjak awal abad ke-20.

Karya-karya tersebut muncul di beberapa kota dan ditulis dengan tujuan untuk

memperlihatkan identitas beserta gambaran kotanya oleh orang-orang yang

biasanya merupakan bagian dari kotapraja. Beberapa di antaranya adalah Oud

Soerabaia & Nieuw Soerabaia oleh G.H. von Faber47

, Wetenswaardigheden van

Magelang oleh H.J.Sjouke48

, 25 Jaren Decentralisatie in Ned.Indie 1905-1930

yang disunting oleh J.W.M.Kerchman49

, Malang de bergstad van Oost-Java oleh

Kotapraja Malang50

dan sebagainya. Disertai dengan gambar dan foto-foto yang

menarik, di dalam karya-karya tersebut diceritakan berbagai hal seperti penduduk,

bangunan-bangunan, tempat wisata, kondisi perkotaan, sarana-sarana publik

termasuk berbagai halaman iklan. Beberapa di antaranya juga menampilkan

cerita-cerita sejarah kemunculan daerah atau asal nama kota itu sendiri. Ini

sengaja dibuat sebagai bagian dari upaya menunjukkan keberadaan kota serta

promosi kota, khususnya keberhasilan semenjak desentralisasi diterapkan. Kesan

yang muncul adalah potret kemajuan kota itu sendiri dari beragam aspek.

warganya. Lihat Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society. (Jakarta :

Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm.3.

47

G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia. (Soerabaia : N.V. van Ingen, 1935).

48

H.J. Sjouke, Wetenswaardigheden van Magelang. (Magelang : 1935).

49

J.W.M.Kerchman, 25 Jaren Decentralisatie in Ned.Indie 1905-1930.

(Semarang : Vereeniging voor Locale Belangen).

50

Gemeenteraad Malang, Malang de bergstad van Oost-Java. (Malang :

Gemeenteraad Malang, 1927).

Page 20: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

20

Meskipun karya-karya tersebut tidak berfokus pada satu hal, namun dari karya-

karya itulah kajian perkotaan pada masa kini biasanya dirujuk. Karya-karya

perkotaan selanjutnya terus bermunculan hingga masa-masa pasca kemerdekaan

dan menjadi bagian dari berbagai disiplin ilmu yang menjadikan tema perkotaan

menjadi kajian secara khusus seperti arsitektur, antropologi, arkeologi maupun

sejarah. Hal itu menandai perubahan objek perkotaan itu sendiri dari sekedar

realitas perkotaan menjadi realitas pengetahuan.51

Dewasa ini kajian sejarah kota Indonesia, khususnya periode kolonial

akhir (akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20) barangkali dapat

dimaknai ke dalam tiga garis besar. Pertama, kajian yang menempatkan perkotaan

sebagai pangkal yang berimplikasi pada meningkatnya kelas menengah yang

kemudian membangkitkan nasionalisme. Ini dilakukan oleh W.F.Wertheim dalam

studinya mengenai transisi masyarakat Indonesia dimana orang-orang baru

pribumi sebagai warga perkotaan dan terpelajar akan memiliki peran penting

dalam perkembangan kesadaran kebangsaan ataupun nasionalisme serta berbagai

perkembangan sosial dan politik di masa yang akan datang.52

Sejarawan Sartono

Kartodirdjo menggambarkan kondisi kota-kota sekitar awal abad ke-20 sebagai

suatu ruang sosial dimana di dalamnya memicu terbangunnya “integrasi

nasional”, suatu konsep yang juga mengarah pada kebangkitan pergerakan

51

Purnawan Basundoro, “Dari Realitas Kota Menjadi Realitas

Pengetahuan : Sebuah Catatan Historiografis”, disampaikan dalam Seminar

Sejarah Kota Indonesia : Kota dan Permasalahan Sosial : Dari Kota Kolonial

hingga Pascakolonial. Diselenggarakan oleh Mahasiswa Pascasarjana Sejarah

FIB UGM (Yogyakarta, 18-19 Juni 2014).

52

W.F.Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan

Sosial (judul asli : Indonesian Society in Transition a Study of Social Change).

(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999).

Page 21: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

21

nasional.53

Sementara itu Adrian Vickers dengan penekanan pada “rasa modern”

yang tumbuh di ruang kota juga menyatakan bahwa kota berperan penting dalam

“menciptakan rasa ke-Indonesiaan bagi orang-orang yang oleh Belanda disebut

pribumi”. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa rasa modern itu penting dalam

menempa nasionalisme orang-orang Indonesia.54

Begitu pula dengan buku berseri

Indonesia dalam Arus Sejarah yang merupakan sejarah Indonesia resmi versi

pemerintah, sub bab atau bagian yang menyoroti sejarah perkotaan diikuti dengan

bab “kemunculan kebangsaan” atau yang mengarah pada nasionalisme.55

Kajian

perkotaan bercorak historis-sosiologis oleh Akhmad Ramdhon yang baru-baru ini

terbit pun menyatakan hal yang sama, bahwa suatu kota membingkai upaya dan

kerja keras kekuatan awal nasionalisme.56

Sementara itu, ruang kota sebagai

pendorong nasionalisme yang lebih radikal digambarkan oleh W. H. Frederick.

Kota digambarkan sebagai arena kontestasi antara pihak penduduk pribumi yang

didorong oleh kelompok priyayi baru dan pemerintah kota sebagai representasi

dari pemerintah kolonial (studi kasus Surabaya). Pertentangan keduanya sampai

pada taraf yang radikal hingga berujung pada suatu gerakan revolusi Indonesia.57

Sejarah kota yang bercorak demikian juga ditemui di dalam historiografi yang

mengambil fokus pada periode revolusi (pasca 1945). Revolusi di berbagai kota

53

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah

Pergerakan Nasional (Jilid 2). (Yogyakarta : Ombak, 2014), hlm 80-113.

54

Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern (judul asli : A History of

Modern Indonesia). (Yogyakarta : Insan Madani, 2011), hlm.92.

55

Taufik Abdullah, dkk (Eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah 5. (Jakarta :

PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2009).

56

Akhmad Ramdhon, Merayakan Negara Mematrikan Tradisi Narasi

Perubahan Kampung-Kota di Surakarta. (Yogyakarta, 2016).

57

W.Frederick, “Indonesian Urban Society in Transition : Surabaya 1926-

1946”, Tesis Ph.D., (University of Hawaii, 1978).

Page 22: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

22

menunjukkan perlawan terhadap kekuatan asing sebagai akibat dari kesadaran dan

kesepakatan orang-orang pribumi atas proklamasi kemerdekaan di Jakarta.

Meskipun dengan eksplanasi yang berbeda-beda, historiografi masa revolusi di

berbagai kota mengikuti alur pemahaman bahwa kota adalah ruang yang

menstimulus berbagai gerakan yang bersifat nasionalis atau untuk tujuan nasional

yang harus bertentangan dengan kekuasaan kolonial Belanda itu sendiri.58

Karya-

karya tersebut adalah studi sejarah lokal kota seperti di Surabaya, Bandung59

,

Jakarta60

dll. Pembedaan antara kelompok-kelompok nasionalis (pribumi) dan

orang-orang kolonial (pemerintah) ini kemudian diikuti oleh historiografi-

historiografi sesudahnya, seperti misalnya perebutan ruang kota oleh Purnawan

Basundoro yang juga bercorak demikian.61

Dengan demikian historiografi seperti

ini cenderung menekankan pada aspek konflik politik ataupun sosial-politik

perkotaan di dalam kajiannya.

Kedua, kajian perkotaan yang dimaknai sebagai pangkal dari modernisasi

kota kolonial. Berkaitan dengan kajian kota semacam itu perlu dikemukakan

program penelitian Indonesia Across Orders : The Reorganisation of Indonesian

58

Dewasa ini telah ada upaya untuk menggali berbagai realitas konflik-

konflik peperangan Indonesia-Belanda yang bebas dari narasi baku ketatnya

batasan “pejuang” dan “musuh” dengan terbitnya historiografi masa revolusi atau

historiografi “perang” yang memanfaatkan sumber-sumber baru, yaitu ego-

dokumen yang dianggap mewakili suara-suara pelaku pertempuran di lapangan.

Lihat Gert Oostindie, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (judul asli :

Soldaat in Indonesie 1945-1950 : Getuigenissen van een oorlog aan de verkeerde

kant van de geschiedenis). (Jakarta : KITLV-Yayasan Obor, 2016).

59

John R.W. Smail, Bandung Awal Revolusi 1945-1946. (Jakarta :

Komunitas Bambu, 2011).

60

Robert B. Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta Pergulatan Antara

Otonomi dan Hegemoni. (Jakarta : Grafiti, 1990).

61Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota, Aksi Rakyat Miskin Kota

Surabaya 1900-1960an. (Tangerang : Marjin Kiri, 2013).

Page 23: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

23

Society 1930-1960 yang diselenggarakan oleh NIOD (Nederlands Instituut voor

Ooorlogsdocumentatie). Program penelitian yang bekerjasama dengan berbagai

lembaga ini (LIPI, PSSAT dan Jurusan Sejarah UGM, Jurusan Sejarah Universitas

Airlangga) menghasilkan berbagai publikasi sejarah kota yang menarik dan

memberikan kerangka baru dalam memahami perkotaan. Dekolonisasi dipahami

sebagai suatu proses kesinambungan serta perubahan ruang dan waktu. Berbagai

kajian dalam program ini penting dalam menghasilkan peluang untuk memahami

kota tidak hanya sebagai arena dominasi dan perlawanan melainkan juga sebagai

suatu arena modernitas.62

Contoh mutakhir kajian ini adalah buku yang dieditori

oleh Freek Colombijn dan Joost Cote, yang berisi kumpulan tulisan para ahli

perkotaan baik dari kalangan sejarawan maupun ilmu sosial lain dengan beragam

tema, seperti pemukiman, kesehatan, transportasi, perairan serta isu-isu sosial lain

yang terjadi dalam suatu kota sejak dekade kedua hingga pertengahan abad ke-

20.63

Ini adalah suatu hal yang menarik bagi perkembangan historiografi

perkotaan pada khususnya dan historiografi Indonesia pada umumnya dimana

narasi yang dibangun telah membuktikan bahwa kota tidak hanya semata-mata

dan tiba-tiba memberikan ruang bagi orang-orang Indonesia (nasionalis) untuk

62

Banyak penelitian yang telah dihasilkan dan dipublikasikan berkaitan

dengan program penelitian dari NIOD ini, seperti Freek Colombijn, dkk, Kota

Lama Kota Baru Sejarah Kota-kota di Indonesia. Yogyakarta : NIOD, Ombak

dan Jurusan Sejarah Universitas Airlangga, 2005; Abdullah dan Sukri

Abdurrachman (ed), Indonesia Across Orders : Arus Bawah Sejarah Bangsa

(1930-1960). (Jakarta : LIPI Press dan NIOD, 2010); serta berbagai buku tentang

simbolisme urban seperti Dedi Irwanto Santun, Venesia dari Timur : Memaknai

Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai

Pascakolonial. (Yogyakarta : Ombak, 2011); Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu

Gereja Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado.

(Yogyakarta : Ombak, 2010); dan lain-lain.

63

Lihat Freek Colombijn & Joost Cote, Cars, Conduits, and Kampongs,

The Modernization of the Indonesian City, 1920–1960. KITLV, (Vol 295, 2014).

Page 24: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

24

muncul dan menolak segala aspek yang dianggap sebagai hasil dari rezim

kolonial. Bahwasanya modernitas menciptakan situasi yang tidak dapat dihindari

yang menuntut perilaku baru oleh semua orang, menyadarkan suatu realitas

bahwa suatu kota adalah hasil dari proses yang berkesinambungan antara

urbanisasi, modernisasi dan dekolonisasi. Ini artinya ada satu hal, yakni

modernitas yang tidak luput dari proses tersebut dan tidak dapat ditolak oleh

orang-orang Indonesia. Dengan demikian dekolonisasi di Indonesia yang terjadi

dalam bentuk revolusi itu, di dalamnya tidak dapat dipungkiri adalah orang-orang

yang secara kultural menerima gagasan-gagasan yang dibawa oleh Barat

(kolonial) yang diadopsi seiring dengan gelombang modernisasi.

Ketiga, urbanisasi sebagai pangkal yang merangsang peningkatan

kelompok kelas menengah namun tidak berujung pada nasionalisme politik,

melainkan cultural citizens (warga kebudayaan) sebagai hasil akhirnya. Henk

Schulte Nordholt, seorang Indonesianis berkewarganegaraan Belanda

menawarkan gagasan sejarah perkotaan Indonesia semacam ini. Bahwasanya

pandangan historiografi konvensional selama ini yang menempatkan kota sebagai

ruang yang menumbuhkan kelas-kelas menengah sebagai penggerak nasionalisme

hingga revolusi, diperlukan penafsiran ulang. Tidak seluruhnya kelas menengah

yang tinggal di perkotaan menyetujui dan turut serta dalam pergerakan nasional

secara terbuka dan radikal. Nasionalisme terlalu beresiko dan berpotensi

mengancam standar hidup mereka.64

Mereka lantas berpartisipasi dalam bingkai

64

Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the

Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian

Studies, 42 (3), pp. 435-457, (October 2011).

Page 25: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

25

cultural citizenship yang terlihat dari gaya hidup mereka sehari-hari, bukannya

kemerdekaan ataupun revolusi sebagai tujuannya.65

Tanpa bermaksud menegasikan arti pentingnya, garis besar ke dua dan ke

tiga dari historiografi kota menurut kategori di atas dapat dinyatakan sebagai

upaya revisi atau pemahaman baru terhadap historiografi kota garis besar yang

pertama. Historiografi kota yang tergabung dalam garis besar pertama menurut

kategori di atas adalah hasil dari pemahaman sejarah yang berpusat pada narasi

sejarah nasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa sejarah nasional yang mula-

mula dicanangkan pada tahun 1957, tepatnya pada Seminar Sejarah I di

Yogyakarta adalah sejarah yang menekankan pentingnya penjiwaan nasional,

unsur-unsur kemerdekaan serta perjuangan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, Muh.

Yamin menyatakan bahwa filosofi sejarah Indonesia adalah bangsa Indonesia

dengan semangat nasionalisme Indonesia, yaitu rasa patriotisme terhadap

persatuan bangsa, tanah air dan kebulatan kebudayaan pada waktu membina

pembentukan bangsa (nation bulding) Indonesia.66

Semangat zaman tidak dapat

dipungkiri telah turut memengaruhi corak historiografi nasional, termasuk

historiografi kota itu sendiri.

65

Berkaitan dengan gaya hidup (perkotaan) pada masa-masa kota Indies

(sebelum abad ke-20) secara lebih detil telah dibahas oleh Djoko Soekiman, yakni

gaya hidup Indies yang berkembang sebagai akibat bercampurnya orang-orang

Eropa dengan Pribumi. Gaya hidup perkotaan yang dipaparkan oleh Djoko

Soekiman lebih cenderung terhadap kelompok-kelompok elit, baik itu

pemerintahan maupun pengusaha kaya Eropa, bukan kelas-kelas menengah

perkotaan apalagi yang merujuk pada orang-orang pribumi. Djoko Soekiman,

Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. (Jakarta : Komunitas

Bambu, 2011), hlm.99-132.

66

Pembicaraan mengenai Seminar Sejarah I dapat disimak di dalam

Laporan Acara I dan II tentang Konsepsi Filsafat Sedjarah Nasional dan

Periodisasi Sedjarah Indonesia. (Jogjakarta : Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

1958), hlm. 1-91.

Page 26: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

26

Seiring dengan perkembangannya, historiografi nasional kemudian tidak

terlepas dari berbagai macam kritik. Penulisan sejarah Indonesia yang diilhami

semangat nasionalisme telah dipahami semata-mata sebagai reaksi terhadap

kolonialisme ataupun pemerintahan kolonial Belanda. Pendekatan

Indonesiasentris67

dalam penulisan sejarah diartikan sekedar sebagai

menempatkan orang-orang Belanda sebagai musuh dan orang-orang pribumi

sebagai aktor utama.68

Penulisan sejarah yang bersifat demikian telah

meminggirkan berbagai realitas yang sebenarnya merupakan bagian dari sejarah

Indonesia, hanya karena aktor-aktor dari realitas tersebut dianggap “bukan

Indonesia”. Golongan-golongan yang merupakan bagian atau yang berhubungan

dengan kekuasaan kolonial atau juga yang diuntungkan secara sosial-ekonomi

oleh hubungan kekuasaan kolonial itu, seperti golongan Indo, Tionghoa maupun

birokrat atau bangsawan pro-Belanda tidak mendapat tempat di dalam sejarah

Indonesia.69

Begitu pula dengan berbagai penulisan sejarah lokal, yang semula

bertujuan untuk mengungkap berbagai realitas yang lebih beragam di lokalitas

tertentu, justru banyak yang dipaksa untuk terpaku pada arus utama sejarah

nasional, sehingga yang tampak adalah sejarah nasional versi lokal, studi sejarah

67

Istilah “Indonesiasentris” dan “Eropasentris” diperkenalkan oleh G.W.

Locher, seorang guru besar antropologi yang kemudian dipakai oleh G.J. Resink

dalam tinjauannya mengenai historiografi Indonesia. Lihat A.B. Lapian,

“Pengantar”, dalam G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah (judul asli: Indonesian

History Between the myths : Essay in Legal History and Historical Theory).

(Jakarta : Kounitas Bambu, 2013), hlm. xxi.

68

Historiografi Indonesiasentris menurut Bambang Purwanto pada

prinsipnya memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika

dibandingkan dengan historiografi kolonial. Mengenai kritik terhadap

historiografi Indonesiasentris selengkapnya lihat Bambang Purwanto, Gagalnya

Historiografi Indonesiasentris?!. (Yogyakarta : Ombak, 2006).

69

Lihat Pradipto Niwandhono, Yang Ter(di)lupakan Kaum Indo dan Benih

Nasionalisme Indonesia. (Yogyakarta : Djaman Baroe, 2011), hlm.103.

Page 27: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

27

lokal hanya menjadi penyumbang bagi sejarah nasional.70

Dengan demikian perlu

dipertimbangkan untuk mencari alternatif lain dalam penulisan sejarah Indonesia

dengan cara memperluas interpretasi berkaitan dengan berbagai realitas masa lalu

itu sendiri.71

Beberapa kajian yang telah dilakukan adalah menunjukkan

keragaman interpretasi atas identifikasi nasionalisme itu sendiri dalam suatu studi

kasus, seperti misalnya nasionalisme Jawa72

, aristokrat Jawa73

dan nasionalisme

Hindia.74

Berkaitan dengan hal tersebut, studi sejarah perkotaan sebaiknya

dilepaskan dari kerangka sejarah nasional yang telah ada. Jika Schulte Nordholt

menawarkan gagasan dalam bentuk modernitas gaya hidup sebagai fokusnya75

,

70

Kritik atas studi sejarah lokal telah dilakukan oleh Taufik Abdullah

dengan menjelaskan metodologi sejarah lokal yang berbeda dengan sejarah

nasional. Lihat Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Lokal di Indonesia. (Yogyakarta :

UGM Press, 2010), hlm. 1-46.

71

Di sini harus dilepaskan terlebih dahulu anggapan-anggapan yang

terpaku pada historiografi nasional resmi yang menutup celah berbagai realitas

kolonial untuk muncul karena adanya dikotomi yang dianggap nasionalis dan

yang kolonialis, dimana yang terakhir harus ditolak tanpa perlu memperhatikan

keragaman dan kompleksnya keadaan di dalamnya. Suatu kalimat menarik dari

Nicholas B. Dirks yang menyatakan “Eropa maupun Dunia Ketiga dan bangsa

penjajah maupun bangsa terjajah tidak akan terwujud tanpa sejarah kolonialisme”.

Nicholas B. Dirks, “Kolonialisme dan Kebudayaan (judul asli : Introduction :

Colonialism and Culture)”, dalam Budi Susanto, Indonesia di Mata (mata-i) Post

Kolonialitas. (Yogyakarta : Kanisius, 2014), hlm. 67.

72

Lihat Takashi Shiraisi, “Satria vs Pandita Sebuah Debat dalam mencari

Identitas”, dalam Akira Nagazumi (Ed), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang

Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme

Indonesia. (Jakarta : YOI, 1986), hlm. 158.

73

Studi ini dilakukan Farabi Fakih dengan menelaah perbedaan pemikiran

dua tokoh aristokrat Jawa, yaitu Noto Soeroto dan Soetatmo. Lihat Farabi Fakih,

“Conservative Corporatist: Nationalist Thoughts of Aristocrats : The Ideas of

Soetatmo Soeriokoesoeo and Noto Soeroto”, (BKI Vol.168 No.4, 2012), pp. 420-

444.

74

Lihat Pradipto Niwandhono, op.cit. hlm.100.

75

Henk Schulte Nordholt, loc.cit.

Page 28: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

28

maka Bambang Purwanto menyarankan agar studi sejarah perkotaan mengangkat

“masyarakat kebanyakan” dalam bingkai konstruksi sejarah kehidupan sehari-

hari.76

Alternatif tersebut mulai dikembangkan, meski tidak selalu di dalam kajian

berlabel sejarah kota, seperti misalnya kajian sejarah oleh Apriani Harahap yang

mengangkat sejarah kehidupan sehari-hari orang-orang India di Medan dan juga

Yelda Syafrina yang melihat kehidupan sehari-hari di Minangkabau sejak awal

hingga pertengahan abad ke-20.77

Studi tersebut mengangkat “orang kebanyakan”

sebagai alternatif untuk menampilkan sejarah Indonesia yang dianggap bisa lebih

Indonesiasentris. Namun demikian itu tawaran alternatif yang tidak lantas mutlak

harus dipatuhi bagi setiap sejarawan yang akan menulis sejarah Indonesia atau

bagian dari sejarah Indonesia. Tentu saja terbuka peluang-peluang lain untuk

menggapai sejarah sebagaimana dimaksud di atas.

Adanya tawaran alternatif tersebut bukan berarti menafikan arti penting

studi sejarah kota yang telah ada sebelumnya. Meskipun memiliki perbedaan

dalam sudut penafsiran atas realitas perkotaan, ketiga garis besar historiografi

kota yang telah disebut di atas tersebut jika ditinjau secara umum dapat ditarik

satu benang merah. Ketiganya, disamping merupakan implikasi-implikasi dari

urbanisasi, juga merupakan suatu wujud peningkatan partisipasi (tentu saja bukan

76

Bambang Purwanto bahkan menawarkan subjek kajian terhadap

kelompok masyarakat yang terabaikan yang selama ini tidak dominan seperti

gelandangan, pemulung, pengemis, tukang ojek, penjual gorengan, penjual bakso,

dan lain-lain yang tidak sekedar membicarakan mereka secara eksklusif namun

aspek yang menyertainya secara lebih luas Bambang Purwanto, “Menulis

Kehidupan Sehari-hari Jakarta”, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk, (Ed).,

Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. (Jakarta : 2013), hlm. 245.

77

Yelda Syafrina, “Minangkabau dalam Kemoderenan: Kehidupan Sehari-

hari di Sumatera Barat 1900-1940-an”, Tesis. (Yogyakarta : Departemen Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2015).

Page 29: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

29

hanya partisipasi politik) masyarakat kota. Hasil akhir dari ketiga garis besar

historiografi di atas, yakni nasionalisme-kemerdekaan, modernisasi dan

kewarganegaraan-budaya adalah bagian dari ekspansi partisipasi masyarakat

dalam konteks perkotaan yang terjadi pada beragam aspek (politik, sosial,

budaya,dsb). Jadi dinamika perkotaan itu dapat diasumsikan bergerak karena

adanya partisipasi yang sifatnya luas dan beragam yang terjadi dalam berbagai

tingkatan di berbagai kelompok masyarakat ras, etnis maupun kelas.78

Kajian

perkotaan yang telah dilakukan seperti disebutkan di atas dengan demikian telah

memberikan gambaran yang penting sebagai pemahaman atas perkembangan

sejarah kota di Indonesia.

Jika aspek penting dari perkembangan ruang kota adalah “partisipasi”

maka dengan demikian perlu kiranya untuk meninjau seberapa jauh masyarakat

kota turut serta atau berpartisipasi di dalam ranah kekotaan. Ini berarti konteks

diskusi yang sebaiknnya dilakukan adalah pada kenaikan masyarakat sipil kota

yang mampu menentukan dinamika perkotaan itu sendiri ke berbagai arah.

Meskipun demikian, masyarakat sipil itu terbentuk oleh berbagai situasi dan

kondisi yang tengah terjadi pada kota sehingga kota pun memberikan pengaruh

pada dinamika masyarakatnya. Jadi, keduanya baik itu kota sebagai ruang dan

masyarakat sebagai unsur yang aktif saling terjalin dan memengaruhi.

78

“Gerak” menjadi kata yang khas untuk menggambarkan dinamika

sejarah Indonesia dalam kurun pertengahan pertama abad ke-20. Takashi Shiraishi

dalam kajiannya sendiri telah menyatakan bahwa “pergerakan mempunyai makna

yang lebih besar dan kompleks daripada sekedar bangkitnya nasionalisme

Indonesia”. lihat Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di

Jawa 1912-1926 (judul asli : An Age in Motion :Popular Radicalismm in Java

1912-1926). (Jakarta : Pustaka Utama, 1997), hlm. 469.

Page 30: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

30

Selain pustaka-pustaka yang mengkaji kota-kota selain Magelang seperti

di atas, tulisan-tulisan tentang Magelang sendiri telah ditulis dari perspektif

arkeologis dan arsitektur. Tesis yang berjudul Pengelolaan Kawasan Arkeologis

Kota Magelang oleh Irna Saptaningrum dari Jurusan Arkeologi UGM mencoba

mengidentifikasi bangunan-bangunan peninggalan kolonial di Magelang.79

Peninggalan-peninggalan kolonial itu kemudian dicoba untuk dikaji bagaimana

upaya untuk melestarikannya. Tulisan Irna Saptaningrum ini memang menarik

dan tentu saja perlu dikaji dengan perspektif sejarah. Wahyu Utami dari Jurusan

Arsitektur UGM telah menulis disertasi yang berjudul Konsep Saujana Kota

Magelang.80

Disertasi ini berpendapat bahwa tata letak elemen fisik di Kota

Magelang sejak pemerintahan kolonial telah memperhatikan nilai-nilai estetik,

alam ataupun lingkungan, bukan hanya faktor ekonomis semata. Kondisi alam di

Magelang turut mempengaruhi penduduk Magelang merencanakan ruang-

ruangnya, seperti ruang untuk pemerintahan, untuk perumahan, untuk kawasan

pertanian maupun kawasan peristirahatan. Wahyu Utami kemudian berkesimpulan

bahwa konsep saujana Kota Magelang terdiri dari empat hal, yaitu : Suci

(kesucian gunung-gunung yang merupakan tempat tinggal para dewa), Subur

(kesuburan lembah Magelang karena dialiri oleh banyak sungai), Indah (dengan

dikelilingi oleh tujuh gunung dan diapit dua sungai besar) dan Strategis

(persimpangan antara jalur jalur Jogja-Semarang-Purworejo). Karya Irna

Saptaningrum dan Wahyu Utami di atas cenderung menitikberatkan pada elemen

79

Irna Saptaningrum, “Pengelolaan Kawasan Arkeologis Kota Magelang”,

Tesis, Jurusan Arkeologi, FIB, UGM.

80 Wahyu Utami, “Konsep Saujana Kota Magelang”, Disertasi. (Fakultas

Teknik, UGM. 2013).

Page 31: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

31

fisik di Kota Magelang. Penekanan pada aspek fisik ini tentu belum dapat melihat

secara lebih dekat yang berkait dengan kondisi masyarakat kotanya sehingga

perlulah kiranya dilakukan penelitian yang lebih mengarah pada aspek tersebut.

Ada skripsi menarik yang melihat perkembangan masyarakat kota Magelang,

khususnya orang-orang Indo, yang ditulis oleh Tedy Harnawan. Skripsi berjudul

Di Bawah Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang

1906-194281

ini melihat lebih jelas masyarakat Magelang (orang-orang Indo)

dengan gaya hidupnya yang modern. Karya ini cukup relevan dengan penelitian

karena orang-orang Indo adalah bagian dari masyarakat kota di Hindia yang dari

keberadaannya menyimpan realitas yang masih perlu diungkapkan.

Karya yang lain berkaitan dengan Kota Magelang ditulis oleh kalangan

militer atau yang bersimpati kepada militer sehingga menghadirkan sejarah

perjuangan pada masa revolusi yang seolah-olah sangat heroik. Penulisan

mengenai masa revolusi ini sudah sangat banyak dan memang semuanya tidak

terlepas dari elit-elit militer dan sejarah diangkat untuk mendukung militerisme,

perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karya Moehkardi berjudul Magelang

Berjuang, mengkisahkan perjuangan revolusi fisik di Kota Magelang. Tulisannya

bahkan dijadikan sebagai buku pegangan bagi taruna AKABRI untuk

membangkitkan semangat keprajuritan.82

Begitu pula dengan karya-karya

Soekimin Adiwiratsmoko, Magelang Kota Harapan, yang berkaitan dengan

81

Tedy Harnawan, “Di Bawah Bayang-bayang Modernitas : Orang-orang

Indo di Kota Magelang 1906-1942”, Skripsi. (Fakultas Ilmu Budaya, UGM,

2013).

82

Lihat Moehkardi, Magelang Berjuang. (Magelang : Akabri Darat,

1983).

Page 32: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

32

tulisan versi pemerintah dan digunakan untuk menunjukkan program-program

pemerintah daerah khususnya periode pasca kemerdekaan.83

F. Metode Penelitian dan Sumber Penelitian

Metode historis mensyaratkan pencarian sumber (heuristik) sebagai

tahapan yang pertama. Penelitian ini menggali berbagai sumber baik arsip

maupun dokumen-dokumen sezaman yang didapatkan di perpustakaan lokal

(Yogyakarta, Magelang, Semarang) maupun perpustakaan nasional di Jakarta.

Arsip juga diperoleh di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) karena koleksi

arsip di Magelang tidak memadai dalam konteks penelitian yang sedang

dilakukan. Harus diakui bahwa studi ini masih mengandalkan dokumen tertulis

dalam pengerjaannya.84

Berbagai dokumen yang dicari dan telah didapatkan

antara lain arsip-arsip laporan tahunan lembaga sosial masyarakat sipil yang akan

dilihat, seperti Jaarverslag Oranje Nassau dan Jaarverslag O.L.M.Boemi-

Poetera. Ditemukan juga catatan-catatan rapat institusi Kotapraja Magelang yaitu

Notulen Gemeenteraad Magelang dari tahun ke tahun, majalah berseri seperti

Locale Belangen, Locale Tekniek, Magelang Vooruit, serta berbagai buku atau

literatur lain yang mendukung.85

Sumber penting di dalam penelitian ini adalah

83

Soekimin Adiwiratmoko, Magelang Kota Harapan. Magelang (tanpa

penerbit).

84

Kalangan postmodernis menekankan sumber-sumber alternatif di dalam

studi sejarah, seperti film, foto, seni pertunjukan atau teater, monumen bahkan

museum. Alun Munslow menyatakan bahwa berbagi sumber-sumber tersebut

merupakan bagian dari ekspresi sejarah. Lihat Alun Munslow, Narrative and

History. (New York : Pilgrave Macmillan, 2007), hlm. 67.

85

Metode historis menurut Kuntowijoyo merupakan suatu metode dalam

menyelidiki masa lampau yang meliputi teknik pencarian sumber atau heuristik,

pengujian validitas atau keaslian sumber/kritik yang meliputi kritik intern dan

ekstern, interpretasi atas data yang sudah didapat meliputi analisis dan sintesis,

serta terakhir adalah historiografi atau penulisan atas data yang sudah dianalisis

Page 33: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

33

catatan rapat Kotapraja (Notulen Gemeenteraad), dimana pengamatan terhadap

sumber tersebut seharusnya dapat menggambarkan berbagai hal, utamanya cara

kerja Kotapraja pada masa kolonial. Namun sayangnya penguasaan penulis

terhadap bahasa Belanda sangat kurang sehingga sangat terbatas yang dapat

ditangkap.

Sumber atau data di atas menurut Sartono Kartodirdjo86

termasuk dalam

data (dokumen) dalam artian sempit, yang biasanya berupa data tertulis.

Sementara dokumen dalam arti luas biasanya berupa audio-visual. Sumber visual

seperti foto atau lukisan juga digunakan. Foto dapat digunakan sebagai sumber

alternatif. Arsip foto dapat diperoleh dari website KITLV, Tropenmuseum,

Colonialarsitecture, dsb. yang menyimpan banyak sekali arsip-arsip foto.

Setelah sumber-sumber didapatkan, kemudian dilakukan analisis pada isi

sumber-sumber tersebut. Melakukan analisis juga tentu tidak akan terlepas dari

melakukan kritik. Kritik terhadap sumber yang digunakan penting untuk lebih

memahami bagaimana memanfaatkan sumber-sumber agar lebih bijak. Analisis

juga dilakukan dengan cara mengkomparasikan fakta-fakta yang ditemukan dari

berbagai sumber itu. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menemukan

pandangan-pandangan baru dari perbandingan sumber-sumber yang telah ada. Ini

dan disintesis. Hampir sama juga dengan Gottchalk, penelitian dengan

menggunakan metode sejarah meliputi pengumpulan informasi yang diperlukan

dari berbagai sumber, pengujian otensitas dan kredibilitas/kritik sumber, analisis

dan sintesis mengenai interpretasi fakta sejarah dan penulisan serta historiografi.

Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana,

2003; Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj.Nugroho Notosutanto. (Jakarta : UI

Press, 1986).

86

Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta : Gramedia, 1997),

hlm.46.

Page 34: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

34

penting untuk memperluas pandangan atau pengetahuan mengenai sejarah yang

akan ditulis, sehingga nanti juga dapat diketahui perbedaan-perbedaan isi dari

sumber yang satu dan yang lain serta tentunya dengan penelitian sejarah Kota

Magelang yang akan ditulis ini.

G. Rencana Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa bagian guna menjawab

rumusan masalah yang telah ditentukan, yakni sebagai berikut.

Bab 1 akan berisi latar belakang dengan rumusan masalahnya serta point-

point lain yang sesuai dengan kaidah penelitian seperti tujuan penelitian, kerangka

konseptual, tinjauan pustaka dan metode penelitian.

Bab 2 menceritakan berbagai macam bentuk partisipasi masyarakat

perkotaan dan juga meninjau historiografi perkotaan dewasa ini. Ini bertujuan

untuk membuka pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan perkotaan

didorong oleh adanya ekspansi partisipasi dari berbagai pihak (baik oleh

kelompok semi pemerintahan maupun masyarakat sipil) yang sifatnya lintas ras,

etnis dan golongan dalam beragam aspek (partisipasi ekonomi, politik, sosial,

budaya, kesehatan dsb). Itu tidak hanya berlaku di Kota Magelang sebagai objek

kajian namun di berbagai kota pada umumnya pada masa awal abad ke-20 atau

sering disebut dengan masa-masa kolonial akhir. Ekspansi partisipasi yang

digalakkan oleh masyarakat sipil itu dengan demikian telah menunjukkan

sekaligus memperkuat kedudukan masyarakat sipil itu sendiri. Berhubung

partisipasi tidak hanya dilakukan dalam aspek politik-kekuasaan maka dengan

demikian penguatan masyarakat sipil pada masa kolonial tidak selalu hanya

Page 35: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

35

mengarah pada timbulnya “pergerakan nasional Indonesia” sebagaimana yang

selama ini dipahami.

Bab 3 berisi uraian perkumpulan-perkumpulan layanan sosial sebagai

representasi dari ekspansi partisipasi sosial-kemanusiaan masyarakat sipil di kota

ini. Ini berisi fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan fokus pengamatan seperti

pendirian Panti asuhan Van der Steur, Rumah/Koloni Miskin Blondo, Boemi-

Poetera serta tinjauan mengenai kondisi spasial Kota Magelang yang mendorong

partisipasi sosial itu muncul. Ini sudah merupakan bagian dari penggambaran

kewargakotaan (citizenship) dimana mereka turut aktif dalam berbagai layanan

yang bermanfaat bagi masyarakat kota pada umumnya. Namun demikian ini

belum cukup untuk dapat memahami secara lebih mendalam gambaran

kewarganegaraan itu, maka perlu dilakukan pembahasan ke arah yang lebih luas

sehingga gambaran tersebut semakin jelas.

Bab 4 berisi gambaran mengenai keterhubungan partisipasi sosial

masyarakat sipil dengan institusi Kotapraja dalam kaitannya dengan dukungan

finansial. Keterhubungan ini dibagi menjadi dua tahap, sebelum depresi ekonomi

tahun 1930 dan pasca 1930. Sebelum depresi ekonomi, Kotapraja turut berperan

dalam hal sokongan kepada partisipasi sosial masyarakat dalam bentuk subsidi

bulanan ataupun tahunan. Namun tidak mudah bagi perkumpulan-perkumpulan

sosial itu agar mendapat bantuan dari Kotapraja karena sikap orang-orang di

dalam Kotapraja yang terkesan cenderung tebang pilih dalam dukungan terhadap

mereka, meski pada akhirnya subsidi tetap diberikan. Pasca tahun 1930, ketika

depresi ekonomi berdampak pada keuangan Kotapraja, terlihat bahwa Kotapraja

turut aktif dalam penggalangan dana untuk perkumpulan sosial tersebut melalui

Page 36: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108184/potongan/S2-2017... · pemerintah kolonial Belanda. Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography. (Yogyakarta

36

beberapa acara publik, seperti pasar malam dan pertunjukan amal. Termasuk

bagaimana perkumpulan sosial juga berusaha dalam mencari dana untuk

keberlanjutan aksi sosial mereka. Ini lebih merupakan uraian fakta-fakta yang

merupakan penguat dari asumsi pada bab-bab sebelumnya, tetapi justru di sinilah

bentuk kewargakotaan itu terlihat karena masyarakat sipil dengan pemerintah

tergambar dalam hubungan-hubungan yang berada pada tingkat kota/lokal.

Bab 5 berisi kesimpulan