PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran sangat
pesat, baik dalam ilmu dasar kedokteran, pencegahan, diagnosis maupun
terapi. Sejalan dengan hal tersebut, masalah kesehatan yang timbul pun terus
berkembang. Keadaan yang dahulu dianggap sebagai hal yang tidak penting,
saat ini menjadi penting, atau sebaliknya. Seorang dokter mempunyai
kewajiban untuk dapat mengimbangi hal tersebut, sehingga dibutuhkan dokter
yang dapat merespon perubahan keilmuan yang tidak terduga dan berkecepatan
tinggi ini. Oleh sebab itu, dokter perlu mempunyai kemampuan untuk terus
belajar sepanjang hayatnya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
optimal demi menjaga keamanan dan keselamatan pasien.
Kemampuan belajar sepanjang hayat merupakan salah satu
kompetensi yang harus dipunyai oleh seorang dokter (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2012). Syarat penting kemampuan belajar sepanjang hayat adalah
kemampuan untuk dapat mengarahkan belajarnya secara mandiri (self-directed
learning/SDL). Penerjemahan sederhana SDL ke dalam bahasa Indonesia
adalah mengendalikan belajarnya sendiri dan tanggung jawab belajar ada pada
pembelajar. Untuk memudahkan, selanjutnya akan digunakan singkatan SDL.
Kemampuan SDL sangat penting agar dokter dapat bertahan dalam
menghadapi perubahan keilmuan yang terus menerus dan kemampuan SDL ini
2
dapat mendukung serta menghasilkan kemampuan belajar sepanjang hayat
(Bidokht dan Assareh, 2011).
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah secara implisit telah mengemukakan makna SDL. Kemandirian dan
proses belajar yang menuntut keaktifan peserta didik identik dengan SDL. Hal
tersebut termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Tinggi (Pasal 3, 4), Undang-Undang Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 5, 6, dan 13),
dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 mengenai
Standar Nasional Pendidikan (Pasal 26). Kebijakan-kebijakan tersebut
mengarahkan proses pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kompetensi
lulusan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu kompetensi
yang diharapkan adalah kemampuan SDL yang dinyatakan dalam bentuk suatu
kemandirian.
Kurikulum yang diterapkan pada pendidikan kedokteran tidak
memungkinkan untuk dapat memuat keseluruhan masalah kesehatan, terutama
masalah kesehatan yang akan datang. Proses pembelajaran yang diberlakukan
sudah semestinya juga menyampaikan serta menjadikan mahasiswa dapat
belajar mengenai cara belajar atau cara mempelajari ilmu, bukan hanya
mempelajari materi keilmuan saja. Sebagai salah satu bagian dari
profesionalisme, kemampuan SDL perlu dibentuk dan dievaluasi selama
pendidikan serta selama pengembangan profesi berkelanjutan. Kurikulum dan
metode intruksional seharusnya memastikan bahwa mahasiswa mempunyai
3
tanggung jawab selama proses pembelajaran dan menyiapkan mereka untuk
menjadi pembelajar sepanjang hayat melalui SDL. Penyelenggara pendidikan
bertanggung jawab dalam menyusun kurikulum yang dapat mengembangkan
kemampuan SDL dan dalam melakukan evaluasi pencapaian hal tersebut.
Peserta didik harus mempunyai kesempatan untuk mengembangkan dan
mempraktikkan keterampilan yang secara langsung akan meningkatkan
efektivitas SDL (World Federation for Medical Education (WFME), 2007).
Program pendidikan mempunyai peran yang penting dalam
menyiapkan lulusannya untuk mempunyai kemampuan SDL melalui
pendekatan SPICES (student centred, problem based, integrated, community
based, elective dan systematic) (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Fakultas
kedokteran di Indonesia sudah mengalami perubahan pendekatan belajar.
Pendekatan disiplin ilmu yang semula digunakan, saat ini diubah dengan
pendekatan metode problem based learning (PBL). Hal tersebut merupakan
respon terhadap kebutuhan akan perlunya proses belajar yang terus berlanjut
selama menjalankan profesinya sebagai dokter. Metode PBL diharapkan dapat
membangun kemampuan SDL (Ozuah et al., 2001; Hmelo-Silver, 2004;
Hamidy, 2007; Yalcin et al., 2006; Koh et al., 2008; Chakravarthi dan Vijayan,
2010).
SDL merupakan inti dari pendidikan dewasa yang bercirikan
pembelajaran berpusat pada peserta didik. Kendali belajar terdapat pada peserta
didik dan peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan mereka (Fisher et al., 2001). Seseorang yang mempunyai
4
kemampuan SDL akan memberikan makna pada kegiatan belajar itu sendiri.
Belajar tidak bertujuan hanya sekedar untuk lulus ujian saja. Ia mempunyai
tanggung jawab atas kegiatan belajar yang dilakukannya.
Penjelasan mengenai konsep SDL telah berkembang sejak awal
diperkenalkan oleh Knowles pada tahun 1975 sampai dengan saat ini. Hal ini
kemungkinan disesuaikan dengan perkembangan pendidikan, penguatan
budaya serta kebutuhan dari lapangan pekerjaan. Knowles (1975) dalam
Jennings (2007) menyatakan pengertian SDL adalah:
Suatu proses ketika individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpapertolongan dari orang lain, dalam mendiagnosis kebutuhan belajar,memformulasikan tujuan belajar, mengindentifikasi orang dan materisebagai sumber belajar, memilih dan mengimplementasikan strategipembelajaran yang tepat, dan mengevaluasi hasil belajar.
Knowles (1975) memandang SDL sebagai suatu proses belajar, belum
mengenai karakteristik personal, maupun menyinggung peran lingkungan
dalam membentuk atau melaksanakan SDL. Selanjutnya, Brockett dan
Hiemstra (1991) dalam Stockdale dan Brockett (2011) merekomendasikan
SDL sebagai proses instruksional dan karakteristik personal. Mereka
membedakan kedua ranah SDL dengan menggunakan istilah self-directed
learning untuk proses intruksional, dan learner self-direction sebagai
karakteristik personal. Self-directed learning didefinisikan sebagai proses
ketika pembelajar mempunyai kendali tanggung jawab primer untuk
merencanakan, mengimplementasi, dan mengevaluasi proses belajar,
sedangkan learner self-direction menekankan keinginan pembelajar atau
pilihannya untuk mengendalikan tanggung jawab untuk belajar. Pada tahun
5
yang sama, Grow (1991) mengajukan model interaksi antara pendidik dan
peseta didik dalam tahapan seorang self-directed learner (SDLr). Model ini
memberikan arahan bagi pendidik mengenai cara untuk mengaktifkan peserta
didik agar dapat melakukan SDL. Kajian teoritis dari Garrison (1997)
mendefinisikan SDL sebagai pendekatan yang mengintegrasikan antara
manajemen eksternal (kendali kontekstual), monitoring internal (tanggung
jawab kognitif), dan motivasi (pengorganisasian dan kerja). Peneliti
sebelumnya menekankan pada manajemen pelaksanaan belajar, sedangkan
Garrison (1997) mengajukan gambaran proses belajar yang terjadi melalui
dimensi kognitif dan motivasi. Merriam dan Caffarella (1999) selanjutnya
mendefinisikan SDL sebagai karakter personal seorang self-directed learner
(SDLr) (Merriam, 2001). Secara keseluruhan, dalam pemahaman SDL terdapat
beberapa sudut pandang, yaitu: karakteristik personal, proses pembelajaran,
dan yang memandang dari kedua hal tersebut.
Menurut Wiley (1983), kesiapan SDL merupakan derajat individu
yang meliputi perilaku, kemampuan dan karakteristik personal yang diperlukan
untuk SDL (Fisher et al., 2001). Beberapa penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi mahasiswa kedokteran yang siap SDL berkisar
antara 50-60% (Darsono, 2007; Hamidy, 2007; Supantini, 2007; Zulharman,
2008; Yasmina, 2008; Abrori, 2008; Lestari dan Widjajakusumah, 2009;
Hartono, 2011; Salim, 2011; Saraswati, 2012; dan Tjakradidjaja, 2012a),
sedangkan di Texas dapat mencapai 80% (Shokar, 2002) dan di Nepal
mencapai 70% (Gyawali, 2011). Kesiapan SDL mahasiswa semester satu
6
(Rahmadhani, 2013), tahap klinik (Aruan, 2013) dan lulusan (Afandi, 2013)
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (PSPD FKIK UIN SH) Jakarta
didapati dalam kategori sedang.
Kendala yang dihadapi selama pelaksanaan proses pendidikan adalah
masih tingginya ketergantungan mahasiswa. Ketergantungan ini terutama pada
materi perkuliahan yang diberikan oleh narasumber dan tutor sebagai sumber
pengetahuan. Kondisi mahasiswa pada tahap paling awal adalah kondisi yang
paling terlihat ketergantungannya. Mahasiswa juga belum terbangun
motivasinya untuk berusaha belajar mandiri. Kegiatan mandiri dalam modul
merupakan salah satu kegiatan belajar yang semestinya sarat dengan kegiatan
SDL. Kenyataannya didapatkan bahwa pelaksanaan belajar mandiri tersebut
belum banyak dimaksimalkan oleh mahasiswa. Mahasiswa masih cenderung
pasif dan terjadi penyalahgunaan waktu mandiri dengan mengisinya untuk
kegiatan organisasi atau libur. Sumber informasi sebagai bahan belajar yang
digunakan oleh mahasiswa kadang-kadang dari sumber yang tidak dapat diakui
secara akademik, seperti sumber Wikipedia atau blog dari internet (PSPD
FKIK UIN SH Jakarta, 2013; Tjakradidjaja, 2013). Hasil survei pada
mahasiswa PSDP FKIK UIN SH menunjukkan bahwa hampir 90% mahasiswa
lebih memilih kuliah sebagai model belajar, dan menggunakan bahan kuliah
sebagai sumber belajar saat ujian (PSPD FKIK UIN SH, 2012a). Perilaku
belajar masih berorientasi pada ujian atau nilai. Belajar belum menjadi suatu
kebutuhan. Hasil analisis pada catatan kegiatan harian mahasiswa didapati
7
bahwa di luar jadwal perkuliahan mereka belajar selama satu jam dalam sehari
(Tjakradidjaja, 2013).
Belum optimalnya kesiapan SDL pada mahasiswa berhubungan
dengan beberapa faktor yang terkait dengan faktor staf pengajar, faktor
mahasiswa, pelaksanaan program pembelajaran, dan sarana prasarana
(Saraswati, 2012). Selanjutnya akan dijelaskan mengenai faktor-faktor tersebut.
Faktor staf pengajar meliputi pemahaman mengenai SDL,
pemahaman mengenai peran pengajar dalam menumbuhkan SDL, dan
keterbatasan waktu. Pemahaman staf pengajar mengenai SDL terbatas pada
keharusan seorang mahasiswa untuk memperbaharui keilmuannya dengan
mencari referensi yang tepat dalam menjawab tuntutan kemajuan ilmu
pengetahuan dan profesi. Proses rinci pelaksanaan SDL belum sepenuhnya
dipahami oleh para staf pengajar. Staf pengajar yang perannya semula hanya
sebagai sumber ilmu pengetahuan yang kemudian berubah menjadi mitra
pembelajaran, belum sepenuhnya dipahami oleh semua staf pengajar
(Tjakradidjaja, 2013).
Faktor mahasiswa meliputi usia, asal sekolah menengah, motivasi, dan
pemahaman mengenai SDL serta keterampilan yang diperlukan dalam
menjalani SDL (Saraswati, 2012, Tjakradidjaja, 2013). Berkaitan dengan usia,
akan dijelaskan lebih lanjut mengenai periode emerging adulthood.
Faktor sarana prasarana meliputi jaringan internet, sumber rujukan di
perpustakaan. Jaringan internet dan ketersediaan sumber rujukan dibutuhkan
mahasiswa dalam mencari sumber belajar untuk dapat memenuhi tujuan
8
belajar. Kemampuan untuk menggunakan sumber bacaan yang sahih juga
diperlukan.
Faktor program pembelajaran meliputi pelaksanaan proses tutorial dan
jadwal pembelajaran yang padat. Pada proses tutorial didapati bahwa langkah-
langkah perumusan tujuan belajar belum optimal (Saraswati, 2012). Metode
belajar utama yang diterapkan di PSPD FKIK UIN SH Jakarta yang
mendukung kemampuan SDL pada tahap praklinik adalah diskusi kelompok.
Diskusi kelompok merupakan bentuk dari problem based learning (PBL).
Masalah kesehatan menjadi pemicu dalam bentuk skenario kasus di setiap
modul. Modul dibagi berdasarkan sistem tubuh dan berlangsung sekitar enam
minggu. Jumlah pemicu dalam modul adalah tiga atau empat pemicu. Setiap
minggu disajikan satu pemicu. Masalah yang ditemukan dalam pemicu
diselesaikan melalui diskusi kelompok. Diskusi kelompok dalam modul
dilakukan selama lima jam per minggu dan kegiatan jam mandiri selama 15-
20 jam per minggu. Diskusi kelompok terdiri dari sekitar sepuluh mahasiswa
yang didampingi oleh seorang fasilitator. Diskusi belangsung dua kali dengan
diselingi oleh kegiatan belajar mandiri. Diskusi pertama dipicu oleh suatu
masalah berbasis klinis, kemudian mahasiswa akan mendikusikan aspek-aspek
yang terkait dengan kasus. Setelah melewati proses kegiatan mandiri,
mahasiswa berkumpul kembali pada diskusi kedua untuk membahas kasus
berdasarkan pengetahuan yang telah dicari selama kegiatan mandiri. Hal-hal
yang belum dipahami selama diskusi dapat dikomunikasikan pada narasumber
pada kegiatan temu pakar. Masalah yang disajikan dalam kasus di setiap
9
modul meliputi masalah kedokteran dan masalah dalam sudut pandang
keislaman. Hal ini merupakan salah satu ciri khas untuk mendukung
terbentuknya kompetensi dokter muslim. Proporsi kegiatan perkuliahan dalam
satu modul sekitar 10% (PSPD FKIK UIN Jakarta, 2012). Kegiatan lain dalam
modul praklinik yang merupakan sarana bagi mahasiswa untuk
mengembangkan kemampuan SDL adalah kegiatan belajar mandiri,
keterampilan klinik dasar dan praktikum.
Pemahaman kegiatan mandiri belum optimal bagi mahasiswa maupun
pengelola modul. Waktu mandiri dianggap sebagai waktu kosong untuk
beristirahat, dan pada pengaturan jadwal kadang-kadang antara diskusi pertama
dan kedua tidak diselingi oleh kegiatan mandiri, sehingga mahasiswa tidak
mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan SDL. Penilaian
kemampuan SDL mahasiswa juga belum dilakukan secara langsung, hanya
melalui penilaian proses diskusi dan penilaian catatan kegiatan belajar mandiri
yang lebih menonjolkan materi belajar, tidak secara langsung menggambarkan
proses belajar mahasiswa (Tjakradidjaja, 2013).
Mahasiswa perlu beradaptasi dalam menjalani pendidikan di fakultas
kedokteran, karena adanya perubahan pendekatan belajar yang digunakan.
Metode yang digunakan dalam pendidikan dasar dan menengah cenderung
berpusat pada guru. Kemandirian belajar pada siswa sekolah menengah
kebanyakan dalam kategori sedang (Tarmidi dan Rambe, 2010; Fidiana et al.,
2012; Gunawan, 2012; Maulana, 2012; Arora et al., 2013; Seli et al., 2013).
Ciri-cirinya adalah mereka belum sepenuhnya bertanggung jawab terhadap
10
proses belajarnya. Dalam membuat perencanaan belajar, mereka masih
melibatkan peran dari lingkungan lain seperti guru ataupun teman. Selain itu,
masih terdapat ketidaksadaran diri untuk melaksanakan tugas dan dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah. Mereka hanya menyalin dari teman atau sama
sekali tidak mengerjakannya. Banyak dari mereka yang belum berani
mengemukakan pendapatnya, sehingga mengikuti proses belajar mengajar
bersikap pasif dan tidak berani bertanya bila menghadapi kesulitan. Kondisi
lain yang menggambarkan siswa kurang memiliki kemandirian dalam belajar
adalah adanya perilaku yang malas belajar dan dalam ulangan masih
menyontek pekerjaan teman atau menyontek dari lembaran-lembaran yang
telah dipersiapkan dari rumah (Tarmidi dan Rambe, 2010; Fidiana et al., 2012;
Maulana, 2012). Bila peserta didik memasuki jenjang pendidikan tinggi yang
menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa, maka mereka akan
menghadapi tantangan untuk beradaptasi secara tepat dan cepat. Proses
pembentukan SDL dapat terjadi melalui periode penyesuaian dengan arahan
dari senior atau dosen (Frambach et al., 2012). Proses transisi tersebut perlu
diketahui agar proses adaptasi menjadi lebih mudah, sehingga program
pendidikan akan berjalan baik.
Karakteristik mahasiswa di PSPD UIN SH Jakarta yang hampir 40%
berasal dari pesantren tidak berhubungan dengan kesiapan SDL mahasiswa
(Tjakradidjaja, 2012; Aruan, 2013; Rahmadhani, 2013), walaupun pendidikan
di pesantren secara implisit bermakna SDL. Hal tersebut didapati pada metode
yang digunakan untuk mempelajari kitab Kuning di pesantren, yaitu metode
11
hafalan dan metode sorogan. Pada metode hafalan, santri diwajibkan untuk
menghafalkan kitab-kitab atau teks-teks bahasa Arab secara individual,
sedangkan pada metode sorogan, santri menghadap kiai untuk mengkaji suatu
kitab. Keaktifan santri pada kedua metode tersebut sangat dibutuhkan. Bila
santri sudah merasa siap, maka ia akan menghadap kiai untuk dilakukan tes
atas hafalan atau pemahamannya. Bila dianggap kurang, maka kiai akan
mengoreksi dan memberikan penjelasan tambahan. Metode lain yang juga
mengandung makna SDL adalah mudzakarah/musyawarah, yang diinisiasi dan
dilakukan oleh beberapa santri untuk mendiskusikan masalah tertentu untuk
dipecahkan dengan merujuk pada kitab-kitab Kuning. Bila pada mudzakarah
pertama belum diperoleh jawaban yang jelas, maka akan dilanjutkan dengan
mudzakarah kedua yang dipimpin oleh kiai (Suharto, 2011). Hal yang
kemungkinan dapat menghambat kemampuan SDL di pesantren adalah rasa
penghormatan yang kuat terhadap guru atau kiai, sehingga kebebasan diri tidak
sepenuhnya dapat diekspresikan.
Pada saat memasuki fakultas kedokteran, rata-rata mahasiswa berusia
sekitar 18 tahun dan lulus menjadi dokter sekitar usia 24 tahun. Menurut Arnett
(2000), masa ini termasuk dalam emerging adulthood dan merupakan masa
peralihan dari masa remaja ke masa dewasa. Karakteristik pada masa ini adalah
eksplorasi indentitas, ketidakstabilan, dan fokus pada diri sendiri. Pada masa
ini tanggung jawab diri sepenuhnya belum terbentuk. SDL merupakan salah
satu prinsip pendidikan dewasa yang memfokuskan pada tanggung jawab diri.
Bila SDL diterapkan pada mahasiswa yang belum sepenuhnya merupakan
12
orang dewasa, maka kemungkinan dapat membuat pelaksanaan SDL menjadi
tidak efektif. Dampak dari kondisi tersebut dapat merugikan, misalnya
timbulnya stres akademik dan pencapaian hasil belajar yang tidak optimal.
SDL merupakan proses alami dari perkembangan kematangan psikologis
dalam hal mengembangkan kemampuan untuk bertanggung jawab atas dirinya
sendiri. Bila kondisi proses yang terjadi pada masa ini dipahami dan dipadukan
dengan hal-hal yang diperlukan dalam SDL diharapkan akan lebih dapat
mendukung tercapainya kemampuan SDL mahasiswa. Pada usia ini mahasiswa
seharusnya sudah masuk dalam tahap formal operasional dari Piaget
(Santrock, 2012). Menurut Russefendi (1988, dalam Rahim dan Hasnawati,
2007), peserta didik yang telah lulus di jenjang sekolah menengah dan
mahasiswa masih ada yang tidak pernah mencapai tahap formal operasional.
SDL adalah kemampuan yang berkembang dan mengalami
progresivitas selama masa pendidikan (Candy, 1991 dalam Jennings, 2007;
Williams, 2004; Kocaman et al., 2009; Chakravarthi dan Vijayan, 2010).
Proses menjadi SDLr merefleksikan proses kematangan psikologis dari
seseorang yang semula tergantung menjadi mandiri dan mempunyai tanggung
jawab penuh atas dirinya sendiri. Proses ini serupa dengan perkembangan
kognitif yang diajukan oleh Vigotsky yang dikenal sebagai zone of proximal
development (ZPD). ZPD menggambarkan keterampilan kognitif anak dalam
proses pematangan dan dapat dipenuhi dengan pendampingan orang yang lebih
ahli (Santrock, 2012). SDL merupakan bagian natural dari perkembangan
sosial dan psikologis yang menggambarkan kedewasaan (Grow, 1991; Loyens
13
et al., 2008; Kocaman et al., 2009). Terdapat kontroversi mengenai
kemampuan SDL mahasiswa selama masa pendidikan. Mahasiswa yang
menjalani PBL dilaporkan mengalami perkembangan kemampuan SDL selama
proses pendidikan (Williams, 2004; Hmelo-Silver, 2004; Kocaman et al.,
2009; Chakravarthi dan Vijayan, 2010), tetapi hal tersebut tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Williams (2004), yang menemukan
bahwa tidak terdapat perbedaan skor kesiapan SDL setelah satu tahun
menjalani PBL, walaupun studi kualitatifnya menunjukkan adanya
perkembangan kemampuan SDL. Penelitian lain menunjukkan bahwa
mahasiswa pada tahapan klinik tidak didapati perubahan kesiapan SDL
(Pamungkasari dan Probandari, 2012). Harvey et al. (2003) dalam
penelitiannya menemukan bahwa tidak ada perbedaan kesiapan SDL antara
tahun pertama sampai tahun ke empat mahasiswa kedokteran, bahkan terdapat
kecenderungan penurunan kesiapan SDL. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa terdapat penurunan kesiapan SDL pada mahasiswa kedokteran tahun
keempat dibandingkan dengan tahun pertama (Sylvia dan Dina, 2011). Pada
penelitian di PSPD FKIK UIN SH Jakarta ditemukan bahwa rata-rata skor
kesiapan SDL mahasiswa semester dua, empat dan enam tidak berbeda
bermakna (Tjakradidjaja, 2012). Persepsi dosen mengenai kemampuan SDL
mahasiswa menyatakan adanya kontroversi, yaitu: adanya peningkatan dan
adanya penurunan (Tjakradidjaja, 2013). Penelitian mengenai kemampuan
SDL kebanyakan berupa studi potong lintang dan studi longitudital (Williams,
2004; Kocaman et al., 2009; Chakravarthi dan Vijayan, 2010) secara
14
kuantitatif. Penelitian mengenai pemahaman tahapan proses menjadi SDLr
masih terbatas (Grow, 1991; Patterson et al., 2002).
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berangkat dari suatu
kebutuhan untuk memahami proses SDL mahasiswa terutama dalam konteks
pendidikan kedokteran.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini mempunyai signifikansi untuk mencari informasi terkait
dengan permasalahan utama sebagai berikut:
Bagaimanakah proses SDL mahasiswa kedokteran, lulusan dari
sekolah menengah atas, berusia 18-25 tahun?
Secara operasional, permasalahan penelitian ini dapat diumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah proses SDL mahasiswa PSPD FKIK UIN SH Jakarta?
2. Apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan proses SDL mahasiswa
PSPD FKIK UIN SH Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah merumuskan model
mengenai proses SDL pada mahasiswa kedokteran.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengeksplorasi proses SDL mahasiswa PSPD FKIK UIN Jakarta dan
faktor-faktor yang berhubungan dalam proses SDL.
15
2. Mengeksplorasi peran staf pengajar PSPD FKIK UIN Jakarta dalam proses
SDL mahasiswa.
3. Mengeksplorasi peran pengelolaan pendidikan PSPD FKIK UIN Jakarta
dalam proses SDL mahasiswa.
4. Mengeksplorasi peran pendidikan pesantren yang berhubungan dengan
proses SDL mahasiswa.
5. Menyusun model proses SDL mahasiwa yang sesuai dengan kebutuhan
dan potensi sumber daya PSPD FKIK UIN Jakarta.
D. Manfaat dan Keluaran Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi keilmuan dalam perumusan model proses SDL mahasiswa,
sehingga semakin memperkuat argumentasi konsep SDL terutama di
bidang kedokteran.
2. Secara praktis, hasil penelitian akan dapat dijadikan sebagai acuan untuk :
a. Mengarahkan mahasiswa menjadi SDLr dan pembelajar sepanjang
hayat.
b. Mengembangkan potensi mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk
memiliki serta menggunakan kemampuan SDL, sehingga dapat
menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui SDL dengan lebih
efektif dalam menghadapi perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Merancang metode pengajaran dan penilaian kesiapan SDL secara
komprehensif.
16
d. Bahan evaluasi dalam melakukan perbaikan kurikulum.
Keluaran dari penelitian ini adalah penemuan rumusan model proses SDL
mahasiswa yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumber daya PSPD
FKIK UIN Jakarta.
E. Keaslian Penelitian
Model proses SDL yang ada sampai saat ini masih dapat
memungkinkan untuk dilakukan perluasan pemikiran, sehingga akan
didapatkan pemahaman yang lebih mengenai proses SDL. Terdapat kebutuhan
dalam hal cara pandang baru tentang proses SDL, khususnya dalam bidang
pendidikan kedokteran. Perbedaan dan persamaan penelitian yang dilakukan
ini dengan penelitian lain yang telah dilakukan dapat terlihat pada uraian di
bawah ini, yaitu:
1. Grow (1991)
Artikelnya berjudul Teaching learner to be self-directed, diterbitkan di
Adult Education Quarterly, tahun 1991, volume 41, nomor 3, hal. 125-
149. Grow melakukan kajian pemikiran mengenai tahapan mahasiswa
menjadi SDLr. Menurut Grow, terdapat empat tahapan mahasiswa menjadi
SDLr. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah bertujuan
untuk mengetahui tahapan menjadi SDLr. Perbedaannya adalah penelitian
Grow tidak didasari oleh penelitian langsung di lapangan, menggunakan
sudut pandang seorang pengajar, dan hanya melihat hubungan antara
17
mahasiswa dan pengajar, sedangkan penelitian yang dilakukan didasari
oleh fenomena yang terjadi di lapangan dan terutama didasari oleh sudut
pandang mahasiswa.
2. Lunyk-Child et al. (2001)
Artikelnya berjudul Self-directed learning: faculty and student
perceptions, diterbitkan di Journal of Nursing Education, tahun 2001,
volume 40, nomor 3, hal. 116-123. Lunyk-Child et al. melakukan
penelitian pada 47 anggota fakultas dan 17 mahasiswa keperawatan
melalui studi kualitatif untuk mengetahu persepsi subjek mengenai SDL
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data dikumpulkan dengan
menggunakan metode focus group dicussion (FGD). Tema yang muncul
dari penelitian tersebut adalah: (1) Perlu pemahaman yang sama dari
anggota fakultas dan mahasiswa untuk dapat mendukung kemampuan
SDL, (2) Mahasiswa mengalami proses transformasi dari perasaan negatif
menjadi percaya diri dalam menjalani SDL, dan (3) Perlu kemampuan
anggota fakultas dalam memfasilitasi SDL. Persamaan dengan penelitian
yang dilakukan adalah metode penelitian yang digunakan adalah sama-
sama metode kualitatif, tetapi pada penelitian yang dilakukan metode
yang digunakan adalah wawancara dan observasi dari informan penelitian.
Perbedaan lain adalah pada penelitian ini dilakukan eksplorasi mengenai
SDL secara luas, sedangkan pada penelitian yang dilakukan, eksplorasi
difokuskan pada proses SDL pada mahasiswa kedokteran.
3. Patterson et al. (2002)
18
Artikelnya berjudul A new perspective on competencies for self-directed
learning diterbitkan di Journal of Nursing Education, tahun 2002, volume
41, nomor 1, hal. 25-31. Patterson et al. mempublikasikan artikel
mengenai cara pandang baru SDL dengan menyampaikan enam
kompetensi yang dibutuhkan oleh mahasiswa keperawatan untuk menjadi
SDLr dan perubahan yang terjadi selama pendidikan. Masing-masing
kompetensi tersebut dikelompokkan menjadi empat tingkat kemampuan
SDL. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah bertujuan untuk
mengetahui tahapan menjadi SDLr. Perbedaannya adalah hal yang
disampaikan oleh Patterson et al. hanya berdasarkan kajian literatur dan
merupakan bahasan pada mahasiswa keperawatan, sedangkan penelitian
yang dilakukan didasari oleh fenomena yang terjadi di lapangan dan
dilakukan pada mahasiswa kedokteran.
4. Harvey et al. (2003)
Artikelnya berjudul Effect of an Undergraduate Medical Curriculum on
Students’ Self-Directed Learning yang dipublikasikan di Acad Med. Tahun
2003; volume 78, hal. 1259 –1265. Penelitian potong lintang ini
mengukur kesiapan SDL 70 mahasiswa kedokteran pada masing-masing
tahun pendidikan. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada keempat
tahun ajaran walaupun didapatkan kecenderungan penurunan skor
kesiapan SDL. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang
dilakukan adalah kesamaan tujuan untuk mengetahui gambaran tentang
SDL mahasiswa kedokteran. Perbedaannya adalah pada disain penelitian.
19
Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat
lebih secara detail mengamati proses tersebut.
5. Williams (2004)
Artikelnya berjudul Self-direction in a problem based learning program
diterbitkan di Nurse Education Today, tahun 2004, volume 24, hal. 277-
285. Penelitian ini menggunakan metode quasi-experimental untuk
menilai kesiapan SDL mahasiswa keperawatan di awal dan di akhir tahun
pertama pada pendidikan keperawatan yang menggunakan metode PBL.
Kuesioner yang digunakan adalah instrumen SDLR dari Guglielmino
(1977/1978). Penelitian dilanjutkan dengan metode kualitatif
menggunakan focus group dicussion (FGD) pada akhir tahun. Hasilnya
menunjukkan bahwa walaupun tidak ada kenaikan skor skala kesiapan
SDL, tetapi dari hasil FGD didapatkan bahwa mahasiswa merasa
mempunyai peningkatan kemampuan SDL. Persamaan dengan penelitian
yang dilakukan adalah bertujuan untuk melihat gambaran tentang
kemampuan SDL. Perbedaannya adalah pada penelitian yang akan datang,
metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Ukuran kemampuan
yang ingin diketahui bukan berupa skor skala, tetapi merupakan gambaran
tentang proses SDL yang terjadi selama menjalani pendidikan, dan
dilakukan pengamatan bukan hanya pada tahun pertama pendidikan.
Perbedaan lain adalah subjek penelitian adalah mahasiswa kedokteran.
6. Dornan et al. (2005)
20
Artikelnya berjudul How can medical student learn in a self-directed way
in the clinical environment? Design-based research, diterbitkan di
Medical Education, tahun 2005, volume 39, hal. 356-364. Penelitian
tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi yang memungkinkan untuk
mahasiswa kedokteran belajar melalui SDL dalam lingkungan klinik.
Penelitian tersebut mengeksplorasi juga pengalaman mahasiswa dalam
menjalani SDL, tetapi tidak dieksplorasi lebih lanjut secara detail tahapan
yang dialami. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah
menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya adalah pada metode
pengambilan data yang tidak hanya berupa pengisian pendapat tertulis dan
FGD. Pada penelitian tersebut dilakukan eksplorasi mengenai SDL secara
luas dalam lingkungan klinik, sedangkan pada penelitian yang dilakukan,
eksplorasi difokuskan pada proses SDL mahasiswa kedokteran sejak tahap
praklinik sampai tahap klinik.
7. Kocaman et al. (2009)
Artikelnya berjudul A Longitudinal Analysis of the Self-Directed Learning
Readiness Level of Nursing Students Enrolled in A Problem-Based
Curriculum, diterbitkan di Journal of Nursing Education, tahun 2009,
volume 48, nomor 5, hal. 286-290. Kocaman et al. melakukan penelitian
longitudinal selama empat tahun untuk menilai kesiapan SDL mahasiswa
keperawatan yang menjalani kurikulum PBL di Turki Barat. Kesiapan
SDL diukur dengan menggunakan skala kesiapan SDL dari Fisher et al.
(2001) di awal pendidikan dan setiap akhir tahun ajaran. Hasilnya
21
menunjukkan bahwa skor tahun pertama lebih rendah dibandingkan
dengan tahun-tahun selanjutnya dan terdapat kenaikan setiap tahunnya.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah mengetahui proses
SDL pada tiap tahapan pendidikan. Perbedaannya adalah pada penelitian
yang dilakukan ini menggunakan metode kualitatif untuk mengeksplorasi
pengalaman mahasiswa pada tiap tahapan pendidikan dan dilakukan pada
mahasiswa kedokteran. Proses SDL diketahui melalui pengamatan
langsung pada informan, sedangkan pada penelitian tersebut berdasarkan
nilai skoring kuesioner.
8. Chakravarthi dan Vijayan (2010)
Artikelnya berjudul Analysis of the Psychological Impact of Problem
Based Learning (PBL) towards Self Directed Learning among Students in
Undergraduate Medical Education, diterbitkan di International Journal of
Psychological Studies, tahun 2010, volume 2, No. 1, hal 38-43. Studi
longitudinal dilakukan pada mahasiswa kedokteran fase pertama selama
lima semester yang menjalani metode PBL. Pengukuran menggunakan
instrumen kesiapan SDL dari Fisher et al. (2001). Hasilnya, terdapat
peningkatan skor SDLR selama lima semester. Skor terendah didapati
pada semester pertama dan skor tertinggi pada semester kelima. Persamaan
penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan adalah dalam hal
mengetahui proses SDL mahasiswa kedokteran. Perbedaannya adalah
penelitian tersebut dilakukan hanya pada tahap satu pendidikan dokter dan
pengukuran kesiapan dilakukan secara kuantitatif. Berbeda dengan
22
penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan ini melibatkan juga
mahasiswa tahapan klinik dan pengukuran dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian
ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan. Perbedaan meliputi dua
hal, yaitu: metodologi penelitian yang digunakan dan ruang lingkup penelitian.
Metodologi penelitian mengenai proses SDL kebanyakan berupa studi potong
lintang dan studi longitudital dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian
kualitatif mengenai eksplorasi proses SDL pada mahasiswa kedokteran belum
dilakukan. Ruang lingkup penelitian ini juga menambahkan peran faktor staf
pengajar, pengelolaan pendidikan, dan nilai keislaman pada konsep proses
SDL khususnya dalam konteks pendidikan kedokteran. Nilai keislaman yang
dikaji adalah nilai keislaman dalam kemandirian belajar dan latar belakang
mahasiswa yang berasal dari pesantren.