BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan menjadi sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari manusia
karena apa yang dilakukan oleh manusia adalah bagian dari kebudayaan itu
sendiri, sehingga kebudayaan dibentuk dan berasal dari manusia. Geertz
mendefenisikan kebudayaan sebagai sistem simbol yang memiliki tiga elemen
yaitu isi, bentuk dan fungsi. Isi dalam budaya adalah sesuatu yang berhubungan
dengan objek material budaya, bentuk adalah pola yang mengatur isi tersebut,
dan fungsi adalah kegunaan dari isi dan bentuk dalam hidup manusia yang akan
dikomunikasikan dari generasi satu ke generasi yang lain (Keuning, 2005 : 59 –
61). Sehingga ―sesuatu‖ disebut sebagai budaya adalah ―sesuatu‖ yang memiliki
makna, struktur dan diteruskan dari generasi satu ke generasi yang lain.
Tahun 1999 ketika konflik Ambon terjadi, banyak media yang memberi
informasi tentang agama sebagai pertentangan dasar konflik Ambon. Seketika itu
fungsi agama sebagai bagian dari budaya yang memiliki sisi damai tidak lagi
dipertanyakan. Disinilah adat mendapatkan kebangkitannya, fungsi adat sebagai
pemersatu kemudian mulai bermunculan dalam berbagai tulisan atau pemikiran –
pemikiran, menjadi objek kajian faktual dalam konflik Ambon 1999. Struktur –
struktur tua adat kembali digaungkan dalam rangka rekonsiliasi dan perdamaian,
Pela-Gandong adalah salah satu bentuk adat yang dinilai memiliki fungsi sebagai
2
salah satu elemen budaya untuk mendamaikan atau sebagai alat perdamaian di
Maluku. Beranjak dari fenomena tersebut, pertanyaang yang muncul adalah : apa
yang dimengerti tentang adat bagi orang Ambon?
Frank Cooley dalam Ambonese Adat : A General Description
menyebutkan pentingnya adat dalam kehidupan bermasyarakat di Ambon, antara
lain ; Adat adalah pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus di patuhi, adat
juga merupakan representasi dari perintah leluhur sebagai pendiri komunitas. Adat
adalah sebuah hukum dalam mengatur kehidupan bermasyarakat didalam
komunitas (1962: 2-4). Kedua dimensi ini saling berhubungan satu dengan yang
lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa Leluhur yang adalah
pendiri dari komunitas, mendirikan desa (baca: negri) dan menetapkan adat
sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun
mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Cooley menambahkan bahwa
mereka yang menjalankan adat mendapatkan berkat dari leluhur (baca: Tete Nene
Moyang), sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan,
seperti dalam penulisannya berikut ini :
―….., it becomes clear that adat is obligatory upon all members of
the community precisely because it is believed to have been
established and handed down to them by the ancestors. It
represents the will of the ancestors. Observance of it is an
expression of respect for the ancestors. To ignore or neglect it is to
flout the will of the ancestors, and this is exceeedingly hazardous
because of the power which they continue to hold.The sanctions of
adat are thus rooted primarily in this power attributed to the
ancestors‖ (5).
Kekuatan pemahaman ini masih ada sampai sekarang sehingga adat tetap
menjadi fenomena pertama dalam kehidupan masyarakat Ambon, walaupun
3
masyarakat pulau Ambon rata – rata memiliki identitas yang pada umumnya
beragama Kristen dan Islam. Praktek – praktek percampuran antara adat dan
agama terasa sangat nyata, sehingga terkadang praktek – praktek yang dilakukan
oleh orang Ambon terasa sangat kental dengan agama, tetapi itu hanya menjadi
sebuah bungkusan luar, isi dari semangat tersebut berasal dari spiritualisme
manusia adat Maluku atau Ambon pada khususnya untuk melaksanakan adat.1
Dikalangan masyarakat Maluku Tengah pada umumnya dan pulau Ambon
pada khususnya adat selalu berhubungan dengan konsep orang Maluku Tengah
tentang Patasiwa/Ulisiwa dan Patalima/Ulilima,2 atau persekutuan sembilan dan
persekutuan lima. Persekutuan lima dan sembilan, yang biasa di sebut Patasiwa
dan Patalima, merupakan kelompok persekutuan yang diakui berasal dari Pulau
Seram, mereka termaksud dari kelompok penduduk Seram yang keberadaannya
tersebar diseluruh wilayah, dari Maluku Tengah sampai Maluku Tenggara.
Kelompok persekutuan ini diakui dikenal diseluruh pulau-pulau Maluku Tengah,
kelompok persekutuan inilah yang memiliki erat hubungan dengan masyarakat di
pulau Ambon menurut pengakuan pada umumnya, dan dilihat dari persamaan
budaya yang dimiliki. Kehadiran kelompok Patasiwa dan Patalima ini, menurut
pengakuan umum adalah kelompok persekutuan yang merupakan kelompok dasar
orang Maluku Tengah, disebabkan keberadaan kelompok ini yang terpecah-pecah
1 Hasil wawancara dengan salah seorang pendeta sekaligus seorang pengajar disebuah universitas
swasta di Yogyakarta yang berasal dari pulau Ambon. 2 Penyebutan kelompok lima dan sembilam ini biasa disebut dengan Patasiwa dan Patalima,
sedangkan di pulau-pulau Lease atau pulau Saparua di kenal dengan sebutan Uli Siwa dan Uli
Lima, didaerah Maluku Tenggara kelompok ini biasa disebut Ur Siwa dan Ur Lima. Bandingkan
dengan apa yang ditulis oleh Ziwar Effendi dalam Hukum Adat Ambon Lease tentang istilah
hanya terdapat di Pulau Lease atau Ulieser (Pulau Saparua, pulau Haruku dan pulau Nusa Laut)
(1987 : 35).
4
menjadi kelompok-kelompok kecil yang menempati wilayah Maluku Tengah
sampai wilayah Maluku Tenggara, dan dalam setiap kelompok ini memiliki
pemimpin-pemimpin tertinggi atau raja (Melayu Ambon : latu / upu).
Kelompok persekutuan Patasiwa dan Patalima menurut Keuning yang
diambil dari Holleman, yaitu sebuah kelompok suku bangsa yang mengakui
berasal dari satu keturunan berdasarkan garis turunan laki-laki atau ayah
(1973.11). Penyebaran kelompok ini di pulau Ambon gampang di lacak, pada
dasarnya kelompok persekutuan Patalima merupakan kelompok persekutuan yang
terdapat di desa-desa Muslim, di daerah bagian Utara pulau Ambon, Leihitu, yang
pada jaman kedatangan bangsa Eropa desa-desa ini masuk dalam daerah
kekuasaan kesultanan Ternate. Sementara, kelompok persekutuan Patasiwa atau
kelompok persekutuan sembilan tersebar di desa-desa yang berada di daerah
bagian selatan pulau Ambon, Leitimor.
Perbedaan kedua kelompok ini diperlihatkan dari beberapa unsur menonjol
seperti jumlah mas kawin3 maupun denda yang selalu berhubungan dengan nama
kelompok ini, Siwa berarti sembilan dan Lima berarti lima. Penempatan sebuah
batu (Batu Pamali) didekat rumah adat (Baileo) pada kedua kelompok ini pun
berbeda. Pada kelompok Patalima batu ini menghadap kearah pantai sebagai
penanda kelompok Patalima, sedangkan pada kelompok Patasiwa batu ini
menghadap kearah gunung atau darat. Bentuk rumah adat atau Baileo pun berbeda
antara dua kelompok ini, bentuk rumah adat (Baileo) kelompok Patalima
3 Syarat pembayaran mas kawin dan denda menurut beberapa penelitian di pengaruhi oleh budaya
masyarakat Maluku Utara, Tidore dan Ternate yang pada waktu itu merupakan para penakluk di
pulau Seram.
5
merupakan bentuk rumah gantung berbeda dengan bentuk baileo kelompok Pata
Siwa.4
Kelompok Patasiwa dan Patalima dalam sejarah penuturannya berasal dari
penduduk pulau Seram yang dahulunya merupakan satu kesatuan dalam sebuah
kerajaan bernama Nunusaku, lalu karena terjadi peperangan menyebabkan
perpecahan dalam kerajaan tersebut sehingga terbagilah kelompok – kelompok
masyarakat itu dalam kelompok Patasiwa dan Patalima. Versi lainnya tentang
Patalima dan Patasiwa, menuturkan bahwa sebenarnya kelompok ini merupakan
pembagian wilayah kekuasaan antara kesultanan Tidore dan Ternate. Kelompok
Patalima merupakan kelompok persekutuan yang masuk dalam wilayah
kekuasaan Tidore, sedangkan Patasiwa masuk dibawah kekuasaan kesultanan
Ternate (Frank Cooley. 1962:17). Hal yang senada dikatakan oleh Bartels
tentang pembagian Pata Siwa - Pata Lima yang merupakan sebuah pembagian
daerah kekuasaan antara kerajaan Ternate dan Tidore (1977 : 27). Beberapa
penuturan yang lain memiliki versi yang berbeda juga, hal ini disebabkan karena
tradisi lisan yang menjadi ciri utama di wilayah Maluku. Pendapat – pendapat ini
dibantah oleh Ziwar Effendi yang melakukan penelusuran sampai di Ternate
untuk menemukan asal muasal kelompok ini, Ziwar Effendi berpendapat bahwa
kelompok – kelompok ini adalah kelompok asli Maluku Tengah yang dipakai
kerajaan Ternate dan Tidore untuk kepentingan politik mereka (1987 : 36).
Konsep Pata Siwa dan Pata Lima paling terkenal dengan pengertian yang
dilakukan oleh Boulan dengan istilah Manusia Uru atau Manusia Matahari, lewat
4 Lihat Lampiran 1
6
bukunya Boulan memecahkan konsep Pata Siwa dan pata Lima dengan
perhitungan matematikanya dan menggabungkan dengan konsep filsafat Yunani,
sehingga terkadang ketika orang awam membaca hasil tulisan Boulan yang
diterjemahkan oleh Siauta menjadi sangat sulit dimengerti. Konsep pengertian lain
yang ditawarkan adalah konsep Pata Siwa dan Pata Lima dari Jansen dalam
artikelnya yang berjudul Indigenous Classification Systems In The Ambonese
Moluccas, yang menguraikan bahwa konsep ini merupakan tatanan dasar tertua di
Maluku Tengah yang tersebar diseluruh daerah di pulau Ambon dan Lease.
Sistem ini sebenarnya sebuah sistem penggambaran hubungan sosial kekerabatan
(Uli, Aman, Soa dan Ruma) dan hubungan sosial politik masyarakat adat tua
Maluku yang didasarkan pada kombinasi angka, oposisi dan tubuh manusia.
(Jansen, 1977 : 101).
Pattiselano, J dalam tulisannya berjudul ―Tradisi Uli, Pela dan Gandong
pada Masyarakat Seram, Ambon dan Uliase‖ menyebutkan berdasarkan
penelusuran kepustakaan dan penelusuran data lisan menyebutkan bahwa Uli
Siwa adalah persekutuan Sembilan Aman (9 Negri) yang terdiri dari Luma Tau
(extended family), dan Luma Tau terdiri dari Mata Ruma (Nucleus Family). Uli
Siwa dikepalai oleh Ama Latu, sedangkan pemimpin masing –masing Sembilan
Aman adalah Amanupui. Uli Lima yang memiliki gelar pemimpin Upu Latu
terdiri dari Lima Hena (5 Negri), yang masing-masing Hena dipimpin oleh Hena
Upui. Hena terdiri dari Luma Inai (extended fam) yang dipimpin oleh Upui Elak,
dan bagian dari Luma Inai adalah Mata Ruma yang dipimpin oleh Upu (1999 :
62).
7
Kelompok Pata Siwa dan Pata Lima di pulau Seram disebut oleh Odo
Deodatus Taurn dalam Pata Siwa dan Pata Lima terjemahan DRA.Ny.Hermelin T
adalah orang kelima dan orang kesembilan, dan oleh masyarakat Seram kedua
angka tersebut dianggap keramat ( 2001 :50). Oleh Odo deodatus Taurn konsep
kelompok ini pun berhubungan budaya politik masyarakat pulau Seram.
Penduduk pulau Ambon pada umumnya mengakui bahwa nenek moyang
mereka berasal dari berbagai pulau disekitar Ambon, antara lain yang utama
adalah pulau Seram atau dikenal dengan pulau Ibu. Ziwar Efendi dalam Hukum
Adat Ambon Lease menyebut setidaknya ada empat kelompok pendatang jika di
kelompokkan menurut asal, yaitu; kelompok yang pertama adalah ―Tuni‖ yang
berasal dari pulau Seram dan sekitarnya, kelompok yang kedua bernama ―Wakan‖
yang berasal dari kepulauan Banda. Kelompok yang ketiga adalah kelompok
―Moni‖ yang datang dari daerah bagian Utara, seperti Halmahera, Ternate, dan
Tidore. Dan kelompok yang keempat adalah kelompok ―Mahu‖ yang datang dari
daerah bagian Barat, terutama menurut Ziwar dari pulau Jawa diantaranya Tuban
yang pada waktu itu menjadi pusat dari perdagangan dan pengembangan agama
Islam di bagian timur pulau Jawa. (1987:11–12) Pendatang – pendatang ini
kemudian berserak keberbagai arah di Pulau Ambon, sehingga jika bertanya
kepada satu masyarakat di salah satu desa atau negeri di Ambon tentang asal usul
leluhur mereka maka satu marga atau satu fam akan berbeda dengan yang lain.
Penelusuran asal leluhur di setiap negeri di pulau Ambon akan sangat berbeda
antara negeri satu dengan negeri yang lain, bahkan akan berbeda antara kelompok
marga tertentu dengan kelompok marga yang lain, tetapi pada umumnya
8
masyarakat pulau Ambon selalu merujuk pulau Seram sebagai asal leluhur
mereka.
Leluhur masyarakat pulau Ambon datang menempati daerah-daerah di
Pulau Ambon, membangun negeri dan menghadirkan adat sebagai sebuah sistem
pengaturan kehidupan. Pernyataan ini adalah pengakuan pokok setiap masyarakat
pulau Ambon sehingga adat, negeri, dan leluhur adalah suatu keterikatan yang
tidak bisa diputuskan atau berkaitan satu dengan yang lain. Hal inilah yang
menjadi dasar alasan adat menjadi fenomena penting dalam kehidup
bermasyarakat di Ambon.5 Adat sebagai warisan nenek moyang adalah hal
pertama yang menjadi patokan dalam membangun kehidupan sosial di Ambon
(Frank Cooley,1962 : 2). Tipe-tipe kekerabatan, pola-pola interaksi, bentuk-
bentuk struktur pemerintahan, ritual-ritul penting yang masih diselenggara,
persekutuan kelompok berdasarkan asal di masyarakat urban,6 dan ideologi-
ideologi dasar yang masih dipegang menjadi penanda dari pentingnya adat bagi
masyarakat Ambon.
Penjelasan diatas menggambarkan bagaimana leluhur menjadi tokoh
penting dalam kepercayaan orang Ambon sekaligus berkaitan dengan pemahaman
tentang kehidupan sesudah mati dari masyarakat Ambon. Masyarakat Ambon
percaya bahwa leluhur mereka yang telah mati tidak mati melainkan hidup dan
masih ada bersama – sama dengan mereka, sehingga apa yang dilakukan oleh
5 Kata Ambon ditujukan pada umumnya untuk masyarakat yang hidup di daerah pulau Ambon,
Pulau Saparua, Haruku, dan Pulau Nusa Laut. Walaupun akhirnya kata Ambon dilekatkan pada
semua orang yang berasal dari Maluku, walaupun tidak berasal dari pulau Ambon. 6 Beberapa persekutuan berdasarkan marga atau asal desa dari Ambon, hadir sebagai salahsatu
bentuk komunitas di beberapa masyarakat urban, contohnya di Jakarta, begitu banyak kelompok
persekutuan berdasarkan marga atau asal-usul desa. Kelompok – kelompok ini memiliki rutinitas
tetap, terutama dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Bandingkan Cooley, 1987 : 274
9
mereka diperhatikan oleh leluhur. Leluhur menjadi tokoh sentral hadirnya adat
dan komunitas negeri, karena itulah pelaksanaan adat menjadi penting. Hubungan
leluhur selalu dikaitkan dengan semua keberadaan adat dan Negeri, sehingga
ketiga elemen ini berhubungan erat satu dengan yang lain. Ketiga elemen ini
kemudian menjadi penentu tertentu dalam pengelompokan sebuah negeri yaitu
Pata Lima dan Pata Siwa, tetapi apa yang menjadi sebuah dasar atau korelasi dari
ketiga elemen tersebut dengan pengelompokan angka Siwa dan Lima. Dalam Odo
Deodatus Taurn kelompok Lima dan Siwa hanya disebut dengan sebutan angka
keramat ( 2001:50), sedangkan oleh Jansen diuraikan bahwa hal tersebut
berhubungan dengan pemahaman sistem angka yang berhubungan dengan sistem
sosial kekerabatan yang berhubungan langsung dengan bentuk tubuh manusia.
Didalam penguraian Jansen sistem angka, hubungan sosial kekerabatan (leluhur,
negeri, masyarakat adat) tergambar sebagai bagian dari tubuh manusia ( 1977 :
101-110). Pemahaman inilah yang berusaha dibuktikan lewat penulisan tesis ini,
apakah betul sistem kombinasi angka 5 dan 9 berhubungan langsung dengan
pemahaman dasar tentang leluhur, adat dan negri?
Penelusuran pemahaman ini berusaha ditemukan lewat satu objek material
budaya yang dapat menggambarkan dengan jelas ketiga pemahaman ini karena
itulah dipilih mitos. Dengan pemahaman bahwa mitos menyimpan pemahaman
dasar sebuah kelompok seperti yang dikemukakan oleh Andaya, tentang konsep –
konsep dasar yang selalu berhubungan dengan masalah konsep kesatuan yang
didasarkan pada kepercayaan lokal orang Maluku pada umumnya yang tertuang
dalam mitos, hikayat, dan dongeng ;
10
The foundation of Malukan ideas about the world can be found in the
myth, tales, and fragments of the past still retained in the collective memory.
These traditions indicate an indigenous belief in a mythic unity known as
Maluku. (23)
Semua sejarah tentang leluhur dan cerita tentang asal-usul Negeri di
Maluku Tengah dan Pulau Ambon merupakan bentuk umum yang hadir di daerah-
daerah di Maluku, juga di pulau Ambon, yang sering tertuang didalam nyanyian-
nyanyian tradisional dan sering dinyanyikan pada saat pelaksanaan ritual-ritual
(Frank Cooley, 1962 : 97-98). Di pulau Ambon (Maluku pada umumnya) bentuk
ini disebut sebagai Kapata, yang artinya nyanyian suci. Kapata dalam bahasa asli,
berasal dari kata Kapa Pata Tita, yg artinya ucapan suci yang mengarah keatas,
sehingga Kapata merupakan sebuah nyanyian suci. Kapata dinyanyikan dengan
cara setengah bernyanyi setengah berbicara sambil diiringi oleh alat musik. Tidak
semua desa di pulau Ambon menyebut nyanyian suci ini sebagai Kapata, negeri –
negeri yang mayoritas beragama Islam menyebutkan Kapata dengan Sawat,
sementara salah satu negeri yang mayoritas Kristen menyebutkan dengan sebutan
Suhat7. Walaupun berbeda – beda sebutan tetapi arti dari Kapata, Sawat, dan
Suhat adalah Nyanyian Tanah atau Nyanyian Suci. Desa Soya adalah sebuah desa
yang sampai sekarang masih memiliki struktur adat dan ritual-ritual adat di Pulau
Ambon, khususnya di bagian Selatan pulau Ambon, Leitimor, yang pada
umumnya mayoritas penduduk beragamakan Kristen Protestan. Ritual Cuci Desa
atau yang dikenal dengan nama Cuci Negeri, adalah sebuah ritual yang
7 Penyebutan ini mungkin karena pengaruh dari budaya Islam yang akan dibahas pada bab
selanjutnya.
11
dilaksanakan setiap tahun pada bulan Desember, dan pada saat ini biasanya Suhat
dinyanyikan.
Suhat menurut penuturan para kepala adat berisikan sebuah mitos dari
leluhur desa Soya tentang bersatunya kedua kelompok penduduk, dan membentuk
desa Soya. Dalam setiap narasi yang dinyanyikan dalam Suhat disebutkan nama-
nama leluhur yang ikut membentuk desa Soya dan sebuah perjanjian yang leluhur
mereka buat untuk membentuk desa Soya. Suhat juga berisikan perintah –
perintah dari nenek moyang serta penegasan tentang perintah yang harus atau
wajib dilaksanakan. Sehingga Suhat tidak hanya didengar sebagai sebuah dongeng
biasa, tetapi Suhat merupakan penuturan sejarah asal-mula desa Soya dan bersifat
suci dan sakral. Dalam Suhat ditemukan juga sebuah struktur sosial masyarakat
awal yang menjadi bentuk desa Soya sampai sekarang, juga sebuah ketaatan
terhadap perintah leluhur yang menjadi ideologi dasar bagi komunitas adat desa
Soya, sekaligus mengetahui pemahaman masyarakat Soya tentang kedudukan
leluhur dalam kehidupan mereka. Hal ini sejajar dengan apa yang ditulis oleh Van
Wouden, yang menyatakan bahwa suku-suku di Indonesia Timur memiliki sebuah
sistem sosial antar kelompok yang unik yang tergambar dalam mitos dan ritus-
ritus yang mereka miliki. (1985 : 9)
Mitos bukan sebuah kumpulan takhayul biasa, walaupun sepertinya mitos
nampak seperti kumpulan cerita yang kacau, tetapi mitos juga memiliki bentuk
yang konseptual dan sistematis. Mitos hadir dalam kehidupan manusia dan
menjadi salah satu bentuk aktifitas budaya, karena merupakan bagian dari ciri
manusia sebagai makhluk simbol (Cassirer, 1987 :40). Mitos memberi tempat
12
bagi manusia untuk berekspresi dengan bebas, tetapi bukan sebuah kebebasan
tanpa makna, melainkan sebuah kebebasan yang dikendalikan oleh sebuah
ketidaksadaran yang mewakili keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan
manusia untuk penjelasan akan sesuatu hal. Kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-
keinginan manusia untuk penjelasan akan sesuatu hal, merupakan perwakilan dari
nalar atau logika manusia sebagai makhluk simbol dan yang mendorong
munculnya mitos.
Logika atau nalar manusia ini memiliki struktur-struktur dasar yang
mengikat, hal ini tentunya terwujud dalam berbagai aktifitas budaya manusia.
Sehingga ketika membedah aktifitas-aktifitas budaya manusia akan ditemukan
struktur-struktur tersebut, tetapi tidak semua aktifitas-aktifitas budaya tersebut
dapat diteliti dengan mudah, karena beberapa dari aktifitas-aktifitas budaya
tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur lain sehingga tidak murni, karena itulah
mitos mendapat tempat paling pantas dalam penelitian ini untuk menunjukkan
bahwa bahkan dalam aktivitas budaya manusia yang spontan pun terikat oleh
sebuah struktur (Ahimsa, 2009: 76).
Meneliti mitos dalam Suhat pada Cuci Negri masyarakat Soya akan ditemukan
dasar-dasar kerangka pemahaman masyarakat Soya tentang leluhur mereka dan
bagaimana dasar-dasar ini berinteraksi dengan pemahaman - pemahaman yang
lain tentang keberadaan adat dan negeri mereka, serta pemahaman tentang
kosmologi mereka. Pemilihan masyarakat Soya sendiri merupakan pertimbangan
yang matang, karena negeri Soya adalah satu – satunya negeri adat di sebelah
Leitimor pulau Ambon yang sampai sekarang masih melakukan adat Cuci Negeri
13
dibandingkan negeri – negeri adat yang lain, serta memiliki struktur adat yang
lengkap dan juga yang menjadi alasan terutama yaitu mitos dalam Suhat.
B. Perumusan Masalah
Mitos didalam Suhat tidak hanya merupakan pemaparan narasi sejarah
tentang penyatuan dua kelompok yang membentuk desa Soya, tetapi terdapat
ideologi-ideologi dasar tentang realitas adat, leluhur, dan negeri dalam
pemahaman mereka yang berhubungan erat dengan sistem pengelompokan Pata
Siwa dan Pata Lima. Berdasarkan latarbelakang yang dipaparkan, maka
dirumuskanlah pertanyaan sebagai acuan penelitian ini :
1. Bagaimana mitos dalam Suhat hidup pada masyarakat Soya ?
2. Bagaimana bentuk mitos di dalam Suhat pada upacara Cuci Negri?
3. Apakah Mitos dalam Suhat berhubungan dengan sistem pengelompokan Pata
Siwa dan Pata Lima?
4. Bagaimana kedudukan pemahaman tentang leluhur, adat dan negeri dengan
konsep Pata Siwa atau Pata Lima?
Berdasarkan pertanyaan - pertanyaan diatas , maka penelitian ini akan berfokus
pada mitos yang terdapat pada narasi dalam syair-syair Suhat pada ritual Cuci
Negeri masyarakat Soya. Sehingga Tesis ini akan berjudul “Pemahaman Tete
Nene Moyang, Adat dan Negeri Pata Lima Dalam Suhat Masyarakat Soya :
Suatu Kajian Strukturalisme Levi-Strauss”.
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian tesis ini, adalah :
Mengali budaya masyarakat adat Soya yang merupakan representatif dari
masyarakat Ambon tentang dasar – dasar pemahaman mereka tentang adat.
Mitos terkesan adalah sebuah dongeng biasa saja tetapi jika digali lebih dalam
mitos berisikan pesan-pesan atau berisikan refleksi dan pemahaman
masyarakat dimaan mitos ini hadir, dengan meneliti mitos kita menemukan
pemahaman dasar suatu masyarakat. Hal ini yang menjadi tujuan khusus
penelitian thesis ini untuk mendapatkan sebuah pemahaman dasar suatu
masyarakat lewat mitos.
Keterikatan mitos dengan sebuah batasan wilayah membuat penelitian yang
dilakukan sebelum memulai mengali mitos yaitu penelitian budaya, sehingga
dengan meneliti tentang mitos maka secara tidak langsung telah melakukan
penelitian budaya.
Manfaat yang di dapat dari penelitian thesis ini, adalah :
Masyarakat Soya merupakan representasi dari masyarakat pulau Ambon,
sehingga dengan melakukan penelitian tentang mitos dalam Suhat pada ritual
Cuci Negri diharapkan mendapatkan sebuah pemahaman tentang komunitas
adat pada masyarakat Soya khususnya dan masyarakat pulau Ambon pada
umumnya.
Penelitian ini juga dapat memberikan sebuah kontribusi yang berharga dalam
mengenal perspektif masyarakat Ambon lewat material budayanya dan
menambah pengetahuan tentang budaya Ambon pada khususnya. Dan yang
15
terakhir suatu kontribusi yang berharga bagi studi Mitologi di Indonesia pada
umumnya dan Indonesia Timur pada khususnya .
D. Kajian kepustakaan
Penelitian ini merupakan penelitian mitos yang menggunakan metode
analisis strukturalisme Levi-Strauss karena itu sejumlah kepustakaan yang
mengali tentang penawaran pendekatan ini menjadi sebuah kepustakaan wajib
bagi penulis, antara lain penulisan – penulisan makalah, artikel maupun buku –
buku yang memperkenalkan pendekatan strukturalisme Levi-Strauss dan
menggali tentang mitos – mitos dengan pendekatan ini. Karya Heidi Shri Ahimsa-
Putra dalam Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra (2009) adalah
sebuah karya pegangan wajib penulis dari awal sampai akhir penulisan yang
sangat membantu penulis untuk mengenal pendekatan ini. Dalam penulisan ini
Ahimsa-Putra memperkenalkan secara sistematis dan sederhana pemahaman
strukturalisme Levi-Strauss dimulai dengan pemahaman – pemahaman dasar
paradigma strukturalisme Levi-Strauss, analisis Levi-Strauss pada kisah Oedipus
dan Asdiwal, juga kritik dari sudut pandang Ahimsa-Putra pada penerapan
Strukturalime Levi-Strauss, sampai dengan menerapkan struturalisme ini dalam
mitos – mitos dan karya sastra yang ada di Indonesia, walaupun strategi analisa
yang ditawarkan oleh Ahimsa-Putra tidak selalu sama dengan strategi yang
dilakukan oleh Levi-Strauss.
Karya Ahimsa-Putra dalam Nilai-Nilai Budaya Politik Dalam Mitos To-
Manurung Di Sulawesi Selatan (2009), sebuah artikel ilmiah Antropologi Budaya,
16
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, adalah artikel yang juga sangat
bermanfaat bagi penulis dalam menelusuri lebih jauh tentang cara – cara
penerapan Strukturalisme Levi-Strauss yang digabungkan dengan analisis
hermenutik oleh Ahimsa-Putra. Strategi penerapan yang dilakukan adalah dengan
berusaha menemukan miteme yang menunjukkan sebuah relasi tertentu dan
ceriteme yang menunjukkan sebuah ide atau gagasan tertentu. Oleh Ahimsa-Putra
kemudian miteme dan ceriteme ini ditafsir untuk mengetahui pemaknaan dan nilai
– nilai yang terkandung didalam kisah To-Manurung tersebut.
Beberapa penulisan – penulisan tesis yang menggunakan pendekatan
strukturalisme, yang tidak hanya menerapkan dalam karya sastra juga menjadi
bahan kajian pustaka yang sangat membantu penulis. Numbery, Gerdha K.i
dalam penulisan tesis berjudul Struktur Budaya Orang Dani di Desa Jiwika
Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya : Suatu Kajian Strukturalisme Levi-Strauss
(2007), penulisan Tesis pada Program Studi s2 Antropologi, Universitas Gadjah
Mada. Merupakan sebuah pendekatan strukturalisme yang mengkaji sejumlah
objek material (Slimo adat, Pola pemukiman, Sistem Berladang, Kelompok klen,
kepemimpinan, adat perang dan religi) budaya suku Dani dan menemukan bahwa
didalam semua objek material tersebut telah tertransformasi slimo adat ke
fenomena budaya tersebut. Penulisan tesis yang lain yaitu Nasrullah dalam Ngaju,
Ngawa, Ngambu, Liwa : Analisis Strukturalisme Levi-strauss terhadap konsep
ruang dalam pemikiran orang Dayak Bakumpai di sungai Barito (2008),
penulisan tesis pada program studi s2 Antropologi, Universitas Gadjah Mada.
Pendekatan strukturalisme yang dipakai adalah untuk menemukan transformasi
17
atau alih ruang konsep orang Bakumpai ke berbagai fenomena budaya lainnya.
Kedua penulisan tesis ini sangatlah membantu, tetapi yang menjadi perbedaannya
adalah kedua tesis ini memakai semua objek material budaya didalam budaya
yang diteliti untuk menemukan makna dan nilai, sehingga objek material menjadi
satu dengan konsep – konsep yang hendak dinilai. Kajian objek material (struktur
pemerintahan adat, bentuk religi, hubungan sosial masyarakat adat )dalam
penulisan tesis ini hanya untuk mendukung kedudukan – kedudukan dan
hubungan – hubungan antara ceriteme dan miteme yang akan ditemukan dalam
mitos yang dikaji lewat Suhat masyarakat Soya.
Sebuah buku sebagai perbandingan dari Zebua, Victor dalam Jejak Cerita
Rakyat Nias (2010) mengkaji mitos – mitos dari pulau Nias dengan memadukan
data-data lapangan serta data pustaka tentang kehidupan masyarakat Nias juga
teori-teori difusi (persebaran). Zebua dengan membandingkan penulisan tentang
mitos Nias dari karya peneliti-peneliti lain, menguraikan banyak hal serta
mengemukakan bahwa mitos – mitos tersebut berkaitan dengan pemahaman
masyarakat Nias tentang pengenalan waktu satu hari (pengaturan waktu hidup
sehari-hari), sistem kalender bintang masyarakat Nias, pemahaman tentang
kematian, asal-usul clan-clan di Nias, pemahaman tentang gempa, dan pendapat
tentang leluhur Bugis adalah orang Nias. Penulisan ini lebih banyak
membandingkan dan mengkritik hasil karya tulisan penulis lain terhadap mitos
masyarakat Nias dengan membandingkan data-data lapangan.
Tulisan dari Fox, James (Editor) dalam To Speak in Pairs, An Essays On
The Ritual Langguages of Eastern Indonesia juga menggambarkan bentuk tradisi
18
oral diberbagai daerah berbeda di Indonesia Timur. Kesepuluh esai yang
menggambarkan tradisi oral yang terjadi dari berbagai daerah di Indonesia Timur,
antara lain Sumba Barat, Sumba Timur, Timor, Flores dan Toraja ini,
menguraikan tentang bentuk bahasa tradisi oral dalam ritual-ritual adat didaerah-
daerah tersebut. Bentuk bahasa yang menggunakankan gaya paralelisme
mendominasi tradisi oral ini. Lewat uraian ini disimpulkan bahwa Paralelisme
yang merupakan bagian dari canon ini merupakan hal yang menonjol dalam suku
yang memakai bahasa Austronesia. Dengan memakai bentuk analisa linguistik
kesepuluh esai ini mengemukakan bahwa Paralelisme dalam tradisi oral ini
diyakini sebagai bahasa roh atau bahasa nenek moyang. Penulisan ini
menggambarkan bentuk tradisi lisan dalam berbagai acara ritual di Indonesia
Timur, bentuk penyajian tradisi lisan yang disampaikan dengan berpantun dan
bersyair secara berirama atau chanting (setengah bernyanyi dan setengah
berbicara) seperti dalam penyajian Mitos di Suhat menjadi sebuah tambahan
informasi bagi penulis dalam mengguraikan bentuk tradisi lisan atau mitos ini.
Sejumlah tulisan – tulisan yang mengumpulkan sejumlah mitos di
Maluku kemudian menggunakan bentuk analisis komperatif untuk menganalisa
mitos-mitos tersebut tetapi banyak disajikan dalam bahasa Belanda. konflik yang
terjadi pada tahun 1999 di Ambon menghadirkan sejumlah tulisan-tulisan tentang
Ambon, tetapi tulisan-tulisan ini lebih mengarah kepada keberadaan Ambon dan
budaya Ambon dalam konflik. Data-data sejarah dan budaya disajikan dalam
tulisan-tulisan ini hanya untuk membuktikan relasi sejarah dan budaya dalam
konflik yang terjadi, seperti dalam tulisan Dieter Bartels yang berjudul Tuhanmu
19
bukan Tuhanku lagi (2000), yang mengeksplor sejarah panjang pertikaian
masyarakat di Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, tentunya
penempatan data sejarah dan budaya dalam karya ini memainkan peranan penting
dalam memberi dukung bahwa sejarah membuktikan dan ikut membentuk budaya
konflik.
Penulusuran-penulusuran kepustakaan lain tentang Ambon tidak pernah
bisa lepas dari catatan-catatan bangsa Eropa, khususnya bangsa Portugis dan
Belanda tentang Maluku secara keseluruhan, sehingga penyajian data-data pustaka
tentang pulau Ambon sangat terbatas dan kalau pun ada lebih banyak tersaji
dalam bahasa Portugis maupun bahasa Belanda. Beberapa penulisan berfokus
pada budaya Maluku Tengah dengan mengambil Ambon menjadi bagiannya,
tetapi jarang sekali yang meneliti dan mengkhususkan penelitian pada Pulau
Ambon saja.
Boulan, dalam karyanya dibawah judul Uru, Bahasa, dan Kapata menyajikan
kerangka - kerangka dasar pemikiran manusia Siwa Lima yang fundamental,
walaupun pendekatan yang dilakukan Boulan menggunakan latar belakang
pemikiran kosmologi Yunani. Tetapi pada karyanya ini, Boulan, mengeksplor
dengan dalam pemahaman dasar Siwa lima tentang realitas alam semesta yang
terwujud dalam wujud anak manusia dan bagaimana konsep ini menyatu sebagai
totalitas pemahaman masyarakat Maluku. Buku lain yang membahas tentang
Patasiwa dan Patalima adalah tulisan dari Odo Deodatus Taurn dengan judul asli
Patasiwa und Patalima Vom Mollukeneiland Seran und Seinen Bewoners yang
diterjemahkan oleh DRA.Ny.Hermelin T dan diterbitkan oleh Departemen
20
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah Dan
Nilai Tradisional Ambon pada tahun 2001. Kajian ini lebih bersifat kajian
Etnografi dengan mencatat perjalanan Odo Deodatus Taurn selama 1911 di
pedalaman pulau Seram dan bertemu dengan penduduk – penduduk asli di
pedalaman pulau Seram.
Beberapa artikel menjadi bahan acuan tentang konsep Pata Siwa dan Pata
Lima, seperti Jansen, H.J dengan judul Indigenous Classification Systems In The
Ambonese Moluccas dalam Structural Anthropology In The Netherlands yang
diterbitkan oleh The Haque pada tahun 1977. Jansen dalam tulisan 9 halaman
berusaha menguraikan sistem angka kelompok 9 dan 5 yang dihubungkan dengan
sistem kombinasi angka dan hubungan oposisi yang dihubungkan dengan bagian
tubuh manusia. J.Th.F. Pattiselanno dengan judul Tradisi Uli, Pela dan Gandong
Pada masyarakat Seram, Ambon dan Uliase pada Antropologi Indonesia nomor
58 tahun 1999, menggambarkan hubungan ini sebagai pembentuk adat Pela-
Gandong yang pada awalnya memakai nama Uli. Kedua tulisan ini sangat
membantu dalam mengkaji secara dalam pengertian kelompok Siwa dan
kelompok Lima apalagi dalam penguraiannya kedua tulisan ini menerangkan
secara singkat tentang konsep dasar pembentuk kelompok Siwa dan Lima,
walaupun masih perlu pembuktian yang kuat.
F.A.E. van Wouden dalam Klen, Mitos, dan Kekuasaan (1985) melakukan
penelitian terhadap bentuk-bentuk sosial di Maluku karena karyanya mengurai
tentang struktur sosial di Indonesia bagian Timur. Penulisan ini lebih mengarah
21
pada penjelasan van Wouden tentang kekacauan terminologi pada keluarga, klan,
dan famili yang dituangkan dalam istilah-istilah asli.
Frank L Cooley seorang Teolog, dalam Mimbar dan Takhta (1987) Cooley
menggambarkan bentuk sosial masyarakat di Maluku Tengah dan Ambon, karya
penulisan Cooley lebih mengarah pada bagaimana interaksi adat dan Agama
Kristen. Cooley juga pernah menerbitkan sebuah buku tentang gambaran umum
adat Ambon yang tertuang dalam Ambonese Adat : A General Description, tahun
1962. Dalam penulisannya Cooley memberi sebuah gambaran umum tentang Adat
dalam pemahaman orang Ambon yang diuraikan melalui materi-materi budaya
yang dimiliki, mulai dari adat perkawinan, baileo sebagai rumah adat dan
beberapa ritual yang kemudian dikaitkan dengan agama Kristen. Sedangkan Ziwar
Effendi SH dalam Hukum Adat Ambon Lease mengkaji adat masyarakat Ambon
Lease dalam perspektif hukum. Ziwar Effendi memberikan gambaran dan
menjelaskan tentang susunan masyarakat dan pemerintahan adat masyarakat
Ambon Lease dan kemudian mengkaji lebih banyak perspektif hukum dalam
sistem adat kekerabatan, perkawinan, tanah, dati, dan waris. Seluruh kajian
perspektif hukum dalam sistem adat ini difokuskan Ziwar Effendi pada
pemahaman hukum waris secara Islam, walaupun demikian ziwar mengeksplor
banyak secara tersturktur sistem adat di Ambon Lease.
Pada tahun 1973, dengan kerjasama LIPI dan lembaga dari Belanda, karya
J Keuning diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Sejarah Ambon Sampai
Pada Akhir Abad Ke-17. Melalui karya J keuning didapatkan gambaran umum
bentuk budaya Ambon dan keadaan Ambon ketika kedatangan bangsa Eropa pada
22
abad 15 dan abad 16. Leonard Andaya, seorang ahli Sejarah, memiliki banyak
tulisan-tulisan tentang Maluku, dalam bukunya tentang The World of Maluku
(1993), Andaya merangkai Sejarah Maluku pada awal abad moderen ketika
kedatangan bangsa Eropa, tetapi Maluku dalam karyanya ini adalah Maluku yang
temasuk dalam wilayah Maluku Utara dan Maluku tengah yang berada dibawah
kekuasaan kesultanan Ternate, sehingga informasi yang didapat tentang pulau
Ambon hanya sedikit.
Karya-karya tulisan ini memberi banyak informasi tentang budaya Ambon
tetapi kajian-kajian ini tidak cukup karena tidak ada kajian yang secara spesifik
melihat budaya Ambon lewat tradisi tuturnya secara khusus, terutama meneliti
tradisi tutur di masyarakat pulau Ambon dalam bingkai penelitian tentang mitos.
Padahal jika melihat dan membaca seluruh karya – karya tentang adat Ambon,
banyak ditemukan pernyataan – pernyataan para penulis bahwa masyarakat
Ambon memiliki mitos – mitos yang banyak termuat lewat nyanyian, puisi dan
doa sebagai akibat masyarakat yang memiliki kebudayaan oral. Sehingga inilah
yang membedakan penulisan thesis Mitos dalam Suhat ini dengan tulisan-tulisan
sebelumnya.
E. Kerangka Teori
Kebudayaan hadir sebagai refleksi manusia akan kehidupan mereka. Setiap
kelompok manusia (masyarakat) memiliki budayanya sendiri yang ditunjukkan
lewat objek materi yang dimiliki budaya tersebut serta nilai-nilai yang hendak
dimaknai. Refleksi masing–masing masyarakat yang membuat setiap kebudayaan
23
itu berbeda satu dengan yang lain, tetapi pada dasarnya setiap kebudayaan
berangkat dari kerangka yang sama sehingga tidak ada yang berbeda dengan
masyarakat moderen dan masyarakat primitif, yang berbeda hanyalah hasil dari
sebuah refleksi yang dilakukan. Masyarakat primitif memiliki cara pandang yang
berbeda dengan masyarakat moderen karena bentuk kehidupan yang berlainan
satu dengan yang lain. Manusia moderen berpikir dengan cara mereka sendiri
demikian juga dengan masyarakat primitif. Sebuah mitos dalam kerangka berpikir
moderen mungkin akan tampak seperti bentuk pemikiran yang kacau tetapi tidak
bagi masyarakat primitif, karena mitos dihasilkan oleh mereka (masyarakat
primitif). Mitos dalam penyajiannya akan tampak sangat kacau tetapi jika diteliti
mitos memiliki bentuk kerangka pemikiran tersendiri yang bertujuan menjelaskan
sesuatu hal. Karena itu mitos memiliki penjelasan yang bersifat keilmuan tetapi
dengan penyajian yang mengikuti pola masyarakat primitif sehingga mitos tidak
perlu dipisahkan dengan sains. Dengan kata lain mitos dapat dijelaskan secara
sains karena dia memiliki elemen-elemen yang mendukung hadirnya mitos
tersebut, walaupun elemen-elemen tersebut terbatas dan harus ditafsir ulang
kembali (Levi-Strauss, 2001 : 5-9).
Hal yang paling mendasar sebelum menemukan elemen-elemen dalam mitos
yaitu dengan mengakui keberadaan mitos sebagai salah satu aktivitas budaya
manusia yang merupakan sebuah perangkat atau sistem nilai yang mengandung
pesan – pesan tertentu. Mitos sebagai perangkat nilai yang mengandung pesan
tentunya memiliki tata bahasa, yang memiliki struktur tersendiri. Struktur–struktur
ini dibagi didalam dua bagian, yaitu; struktur permukaan (surface structure) dan
24
struktur dalam (deep structure). Struktur permukaan adalah sebuah struktur dalam
mitos yang dapat dilihat secara langsung, misalnya sebuah sistem kekerabatan,
busana, bentuk ritual, tempat berlangsungnya ritual dan sebagainya. Struktur
dalam yaitu struktur yang ada didalam struktur luar. Struktur luar bekerja dalam
kesadaran para pelaku, sementara struktur dalam bekerja dalam ketidaksadaran
(unconsciouness). Struktur dalam didapat dengan membandingkan dan
menganalisas keseluruhan temuan lewat struktur luar. Ahimsa memberi contoh
gejala ini pada seorang ahli bahasa yang memiliki sejumlah pengetahuan tentang
struktur bahasa Indonesia tetapi ketika berbicara dalam menggunakan bahasa
Indonesia, struktur – struktur ini tidak dipikirkan lagi atau secara reflek sudah
dilakukan (2009 : 67).
Struktur Dalam kemudian disederhanakan lagi dengan membentuk Oposisi
Berpasangan atau binary opposition yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu;
eksklusif dan tidak eksklusif. Contoh dari Oposisi berpasangan yang eksklusif ada
pada bentuk kata mandi dan tidak mandi, sedangkan oposisi berpasangan yang
tidak eksklusif ditemukan dalam bentuk kata air-api, matahari-bulan, naik-turun,
asli-pendatang dan sebagainya (69). Oposisi – oposisi berpasangan ini banyak
ditemukan dalam mitos pada Suhat masyarakat Soya, contoh Oposisi
berpasangan jika dicari didalam mitos pada Suhat masyarakat Soya, misalnya
pada kata hormat pada leluhur. Kata hormat pada leluhur tertentu, misalnya
leluhur Koma Mara Nusa, kemudian hormat pada leluhur Pesi Mara Eli, bagi
masyarakat Soya ini adalah bentuk yang berlawanan. Karena leluhur Koma Mara
25
Nusa adalah leluhur yang ada di atas gunung Sirimau sedangkan leluhur Pesi
Mara Eli adalah leluhur yang berada di kaki gunung Sirimau.
Berdasarkan pemikirian dasar inilah maka analisis yang dilakukan atas sebuah
mitos tidak hanya akan menggali makna tertentu tetapi juga mengungkapkan
sebuah logika dalam tata bahasa pada mitos tersebut seperti yang dilakukan oleh
Levi-Strauss (70). Dengan oposisi berpasangan inilah kita kemudian membentuk
sebuah miteme, yang akan kita susun untuk menemukan relasi – relasi tertentu,
yang membawa kita pada sebuah pemahaman yang dalam tentang mitos yang
sedang digali.
Mite yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, harus dianalisis seperti analisis
yang dilakukan pada bahasa. Mite tidak memiliki makna jika berdiri sendiri,
karena itu mite harus disusun, karena mite mengandung semacam kode – kode
tertentu yang merupakan sebuah struktur formal dari sebuah mitos (Kaplan 2002 :
239 – 240). Penemuan mite dalam Suhat masyarakat Soya dibentuk dengan
terlebih dahulu membentuk sebuah episode – episode yang dinamakan ceritem.
Mitos dalam Suhat dinarasikan lewat syair – syair Suhat, karena itu sebelum
memakai strategi analisa yang dilakukan Levi-Strauss maka syair-syair tersebut
akan dibuat menjadi sebuah episode yang membantu analisa yang dilakukan
dalam mitos ini. Hal ini juga dilakukan oleh Ahimsa-Putra ketika menganalisa
tokoh Pitoto Si Muhamma dalam dongeng masyarakat Bajo. Pembentukan –
pembentukan episode ini disebut sebagai Ceriteme, yang diartikan oleh Ahimsa-
Putra sebagai pembentukan atau penemuan relasi – relasi tertentu lewat episode
yang terbentuk pada serangkaian kalimat (2001 : 208).
26
Hal lain yang mendasar dalam analisis struktural adalah transformasi.
Transformasi seperti yang ditegaskan oleh Ahimsa bukanlah sebuah proses
perubahan atau change. Transformasi yang digambarkan oleh Ahimsa memiliki
tiga bentuk, yaitu transformasi yang terjadi di tingkat permukaan, yang kedua
transformasi yang terjadi dengan perubahan susunan elemen – elemen dan yang
ketiga transformasi yang terjadi meliputi kedua bentuk transformasi yang telah
dikemukakan bahkan pada tingkat transformasi ini ada elemen – elemen yang
hilang. Ketiga transformasi yang dikemukakan oleh Ahimsa ini menegaskan
bahwa keseluruhan permukaan boleh berubah tetapi inti pesan atau makna yang
merupakan struktu dalam dari pesan tidak berubah (2001 : 61 – 63).
F. Metode Pengumpulan Data
Mitos hadir dalam level konsep sebuah kelompok dan memiliki batasan-
batasan wilayah tersendiri, sehingga penelitian budaya suatu kelompok dan daerah
dimana mitos itu berada menjadi penting. Dengan meneliti budaya dimana mitos
itu berada, berarti pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan serangkaian
penelitian etnografi. Etnografi adalah sebuah penelitian yang akan
menggambarkan jelas tentang sebuah budaya yang sedang diteliti. (Spardley,
2007 : 12). Dengan penelitian etnografi yang dilakukan maka konteks budaya
yang melatarbelakangi mitos tersebut akan muncul, sebagai sebuah pendukung
dalam menganalisa mitos yang diteliti. Beberapa tahapan etnografi dilakukan
untuk mendapatkan data budaya dari mitos sehingga gambaran umum budaya
tersebut dapat disajikan pada penulisan thesis ini, juga untuk mendapatkan materi
27
dari teks-teks mitos tersebut, tahapan-tahapan tersebut memakai beberapa tahapan
etnografi yang ditawarkan oleh Spardley dengan penelitian maju bertahap.
Penelitian lapangan yang dilakukan pada Bulan November – Desember - Januari
2010 di desa Soya, kecamatan Sirimua Kotamadya Ambon. Penelitian ini
dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi langsung dan wawancara;
Observasi langsung dilakukan pada keseluruhan ritual Cuci Negeri di
Soya dan kehidupan adat masyarakat negeri Soya. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kehidupan budaya masyarakat Soya
yang berkaitan dengan mitos dalam Suhat pada Ritual Cuci Negeri, sekaligus
menilai secara langsung bagaimana kehidupan sehari – hari masyarakat dengan
semangat adat dalam pelaksanaan adat Cuci Negeri, karena itu pengamatan –
pengamatan dalam kehidupan sehari – hari sosial masyarakat juga dilakukan oleh
penulis.
Wawancara dilakukan setelah observasi dilaksanakan, dengan
mewawancarai para Tokoh Adat (Bapa Raja, Kepala Soa, Kewang dan Staf Saniri
Negeri), Para pendukung acara Ritual Cuci Negeri, Pendeta, dan Musisi asal
Maluku. Bapa Raja, kepala Soa, dan Kewang adalah mereka-mereka yang
memiliki pengetahuan luas tentang sejarah tradisi yang diteliti serta penguasaan
bahasa asli dalam mitos yang diteliti. Staf saniri negeri adalah mereka yang
mengatur jalannya seluruh rangkaian ritual adat Cuci Negri, disamping
pengetahuan yang luas tentang adat yang dijalani. Para pendukung acara ritual
Cuci Negeri diwawancarai untuk mendapat keterangan tambahan tentang ritual
yang diobservasi. Sementara itu Pendeta sebagai tokoh agama di tempat
28
pelaksanaan penelitian diwawancarai demi mendapatkan sebuah data tentang
bentuk kehidupan antara agama dan adat. Musisi asal Maluku adalah para ahli
musik yang mengenal bentuk dan syair asli Maluku diwawancarai agar mendapat
pengetahuan tentang keaslian syair dan irama serta bentuk musik yang disajikan
dalam ritual tersebut.
G. Metode Analisa Data
Metodo analisa data yang digunakan adalah metode analisis struktural
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada kerangka teori. Pada kerangka
teori, analisis struktural dilakukan untuk menemukan miteme dan ceriteme. Tetapi
sebelum sampai pada penemuan miteme dan ceriteme pada mitos, beberapa data
pendukung pada pengumpulan data dilapangan harus diklasifikasikan terlebih
dahulu, antara lain ; sistem adat dan sistem kepercayaan.
Pemahaman sistem adat dalam masyarakat Soya adalah sebuah
pemahaman yang bersifat holistik, mulai dari kehadiran adat itu sendiri, bentuk
pemerintahan negeri adat, hubungan kekerabatan, pelaksanaan ritual – ritual adat
sampai pada sistem kepercayaan adalah suatu kesatuan bagi masyarakat Soya,
karena itu perlu sebuah perhatian yang ekstra ketika melakukan pembedahan atau
pengelompokan.
Dengan pertimbangan tertentu, adat Cuci Negri akan dipisah sendiri
bersama dengan keseluruhan penyampaian mitos dalam Suhat pada ritual Cuci
Negeri. Data – data pendukung seperti pemahaman adat, struktur pemerintahan
adat, bentuk kekerabatan sampai pada sistem kepercayaan akan dipisah untuk
29
mendukung pemahaman dalam menganalisis mitos pada Suhat. Sedangkan mitos
dalam Suhat yang masih berbentuk syair akan ditekskan dan diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia, dan kemudian membentuk episode – episode untuk
menemukan ceriteme dan miteme seperti yang telah ditawarkan dalam kerangka
teori. Strategi pendekatan ini dilakukan karena mitos terdiri dari unit – unit yang
terkecil yang dapat mencerminkan nilai budaya tertentu. Masing – masing unit
masih dapat berelasi satu dengan yang lain untuk membentuk nilai - nilai yang
lain sehingga pendekatan strukturalisme adalah pendekatan yang tepat. Karena
pendekatan strukturalisme memandang budaya sebagai sebuah perangkat simbol,
yang mana unsur – unsur dalam budaya tersebut seperti sebuah teks. (Ahimsa-
Putra, 2009: 6)
H. Kerangka Penulisan
Penulisan Thesis ini memiliki kerangka penulisan sebagai berikut ; Bab
Pertama adalah bab Pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian kepustakaan,
Kerangka Teori, Metode Pengumpulan Data, Metode Analisis Data dan kerangka
penulisan keseluruhan thesis ini.
Bab Kedua merupakan bab yang akan memberi penggambaran umum
tentang Negri Soya, dimana akan memuat tentang Negri Soya, mulai dari
gambaran geografi negri Soya, demografi dan monografi, tingkat ekonomi
masyarakat, kondisi kesehatan dan kondisi sosial budaya.
30
Pada bab ketiga dengan judul Negri Soya Sebagai Komunitas Adat, akan
dipaparkan bagaimana sistem adat negri Soya, dimulai dengan penulisan sejarah
negri Soya, menggambarkan struktur pemerintahan dan masyarakat adat di Soya,
sistem kepercayaan adat, bentuk kekristena di Soya agar dapat melihat sinkretisme
yang terjadi antara pemahaman Kristen dan sistem kepercayaan adat. Bab
Keempat akan diantar pada pemahaman mitos dalam Suhat, dengan terlebih
dahulu mengeksplorasi tentang keberadaan ritul Cuci Negri, kemudian masuk
pada pengertian Suhat dan tipe-tipe Suhat, yang menguraikan musik dan syair
Suhat untuk mendapatkan informasi bahwa Suhat adalah bentuk musik asli dari
masyarakat Ambon.
Bab kelima merupakan bab analisa yang terdiri dari beberapa bagian,
yang disusun secara sistematik untuk menyajikan hasil yang baik. Bab Penutup
adalah bab keenam yang berisikan kesimpulan tentang seluruh penulisan thesis
yang tersaji dalam kesimpulan tiap bab. Dan yang menjadi bagian akhir adalah
sebuah saran bagi perkembangan studi – studi selanjutnya tentang budaya dan
mitos-mitos dari masyarakat pulau Ambon.