BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...

34
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam cerita-cerita Melayu, tema-tema seperti penghormatan terhadap orang tua, cinta sejati, harga sumpah, kekuatan akal, karma, kepentingan masyarakat, dan toleransi tampil sangat menonjol. Di dalam cerita dengan tema penghormatan terhadap orang tua, terutama ibu, digambarkan tokoh ini memiliki kekuatan yang luar biasa, baik kekuatan cinta, maupun murkanya (Sutarto, melalui Djamaris, 2004:209). Cerita dengan tema kemurkaan tokoh ibu inilah yang tampaknya kemudian berkembang menjadi cerita yang lebih dikenal dengan cerita anak durhaka. Cerita mengenai anak durhaka ini banyak ditemukan di Indonesia. Di Provinsi Riau saja, ditemui cerita “Si Lancang” dari Kabupaten Kampar, “Batang Tuake” dari Kabupaten Indragiri Hilir, “Rawang Tekuluk” dari Kabupaten Kuantan Singingi, “Si Alang” atau “Legenda Pulau Halang Besar dan Pulau Halang Kecil” dari Kabupaten Rokan Hilir, “Manggis Keramat” dari Rokan Hulu, “Si Umbut Muda” dari Kabupaten Siak, dan ”Si Bujang: Asal Mula Burung Punai” dari Kabupaten Pelalawan. Di Sumatera Barat, dikenal cerita “Malin Kundang”. Menurut Djamaris (2004: 206), cerita anak durhaka menjadi topik yang mewarnai legenda-legenda pewarisnya yang memiliki latar belakang keagamaan yang kuat.

Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...

1

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dalam cerita-cerita Melayu, tema-tema seperti penghormatan terhadap orang

tua, cinta sejati, harga sumpah, kekuatan akal, karma, kepentingan masyarakat, dan

toleransi tampil sangat menonjol. Di dalam cerita dengan tema penghormatan terhadap

orang tua, terutama ibu, digambarkan tokoh ini memiliki kekuatan yang luar biasa, baik

kekuatan cinta, maupun murkanya (Sutarto, melalui Djamaris, 2004:209). Cerita dengan

tema kemurkaan tokoh ibu inilah yang tampaknya kemudian berkembang menjadi cerita

yang lebih dikenal dengan cerita anak durhaka.

Cerita mengenai anak durhaka ini banyak ditemukan di Indonesia. Di Provinsi

Riau saja, ditemui cerita “Si Lancang” dari Kabupaten Kampar, “Batang Tuake” dari

Kabupaten Indragiri Hilir, “Rawang Tekuluk” dari Kabupaten Kuantan Singingi, “Si

Alang” atau “Legenda Pulau Halang Besar dan Pulau Halang Kecil” dari Kabupaten

Rokan Hilir, “Manggis Keramat” dari Rokan Hulu, “Si Umbut Muda” dari Kabupaten

Siak, dan ”Si Bujang: Asal Mula Burung Punai” dari Kabupaten Pelalawan. Di Sumatera

Barat, dikenal cerita “Malin Kundang”. Menurut Djamaris (2004: 206), cerita anak

durhaka menjadi topik yang mewarnai legenda-legenda pewarisnya yang memiliki latar

belakang keagamaan yang kuat.

2

Salah satu cerita yang berkaitan dengan tema ini adalah cerita “Batu Belah”1.

Cerita ”Batu Belah” ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri.

Selain terdapat di Provinsi Riau, cerita ini juga ada di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi

Aceh, Sumatera Selatan, Sambas (Kalimantan Barat), dan Ambon. Di luar negeri, cerita

ini dapat ditemui di Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Di Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Brunei, dan

Malaysia, cerita ini dikenal dengan beberapa istilah, seperti cerita “Batu Belah”, cerita

“Batu Batangkup”, atau cerita “Batu Belah Batu Bertangkup”. Sementara di Gayo,

Aceh, cerita ini disebut “Atu Belah”, sedangkan menurut Danandjaja (1984), di Ambon

cerita ini dikenal dengan nama “Batu Badaung”.

Cerita “Batu Belah” (selanjutnya ”BB”) yang dikategorikan sebagai legenda

(Djamaris, 2004:198; Fitra: 2007) ini dianggap oleh masyarakat pemilik cerita tersebut,

benar-benar pernah terjadi pada masa lalu. Seperti yang dikatakan oleh Danandjaja

(1984:66), legenda adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar pernah terjadi.

Sebagai upaya untuk memperkuat argumen kebenaran cerita tersebut, masyarakat

pemilik cerita menunjukkan sebuah batu yang dipercaya sebagai batu belah yang ada di

daerah mereka. Selain itu, di daerah Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Malaysia,

Batu Belah dijadikan nama desa.

“Kepercayaan” bahwa cerita ini benar-benar terjadi terlihat pula dari penyebutan

cerita ini sebagai sejarah. Di dalam kuesioner penelitian berjudul Apresiasi Sastra Murid

SMTA Kabupaten Aceh Tengah Daerah Istimewa Aceh (1992:46), Surya Noleh dkk.

1 Istilah “Batu Belah” merujuk kepada cerita “Batu Belah” secara umum, sedangkan secara khusus, di

setiap daerah, cerita ini dapat dikenal dengan istilah “Batu Belah Batu Bertangkup”, “Batu Batangkup”,

“Atu Belah”, atau “Atu Badaung”.

3

mengategorikan cerita ini sebagai cerita bertema sejarah. Hal senada disebutkan pula

oleh penulis cerita “BB” versi Gayo yang mengawali ceritanya dengan perkataan

sebagai berikut.

Menurut sejarah, cerita Batu Belah benar-benar terjadi karena sampai saat ini

masih ada buktinya. Batu Belah tempatnya di Isaq, Kecamatan Linge,

Kabupaten Aceh Tengah (1981:113).

Cerita ”BB” yang terdapat di berbagai tempat ini merupakan sebuah cerita

rakyat yang menarik untuk dikaji. Sebagai cerita yang dikategorikan bertema anak

durhaka, cerita ini berbeda dengan sebagian besar cerita bertema sama, seperti Malin

Kundang (Sumatera Barat), Si Lancang, dan Batang Tuake (Riau). Seperti yang

disampaikan Djamaris, tokoh-tokoh anak di dalam cerita-cerita bertema anak durhaka

tersebut dapat berubah menjadi batu, air, tumbuhan, atau binatang (2004: 206). Hal

tersebut dapat dilihat pada cerita ”Malin Kundang” dan ”Si Lancang” yang berubah

menjadi batu dan tokoh anak durhaka pada ”Batang Tuake” menjadi elang. Sementara

itu, pada sebagian besar cerita ”BB”, hukuman terhadap si anak, seperti yang pada

cerita-cerita di atas, tidak ditemukan. Bahkan, pada sebagian besar cerita ”BB” yang

dijumpai, anak-anak yang dianggap durhaka tersebut hidup berbahagia di akhir cerita

walaupun sebelumnya mereka juga mengalami kesusahan dan penderitaan.

Di Indonesia, setelah cerita ”Malin Kundang”, cerita rakyat yang bertema anak

durhaka yang terkenal adalah cerita ”BB”. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya

resepsi terhadap cerita ini ke dalam berbagai genre. Setakat ini, bentuk transformasi

awal cerita rakyat “BB” yang diketahui adalah dalam bentuk naskah berbahasa Gayo,

Aceh. Tidak banyak informasi yang diketahui mengenai naskah ini karena seperti yang

disebutkan di dalam buku Direktori Edisi Naskah Nusantara (2000:6) yang dieditori

4

Edi S. Ekadjati, dinyatakan bahwa penyalin, waktu penyalinan, dan tempat penyimpanan

naskah ini tidak diketahui. Hal tersebut menyebabkan upaya pelacakan terhadap naskah

tersebut menjadi lebih sulit. Setelah itu, cerita ”BB” ini ditransformasikan pula ke dalam

bentuk syair dengan judul Shaer Batu Belah Batu Bertangkup oleh Alias Rasulun pada

tahun 1962.

Selain bentuk sastra lama di atas, cerita ”BB” ini juga ditransformasikan ke

dalam genre sastra modern, yaitu berbentuk puisi, prosa, dan drama. Karya berbentuk

puisi yang didasari cerita ”BB” adalah sajak “Batu Belah” (1937) yang ditulis oleh Amir

Hamzah. Cerita rakyat ini juga bertransformasi ke dalam bentuk prosa, yaitu cerita Batu

Belah Batu Bertangkup (Abd. Samad Ahmad, 1971), cerita ”Batu Belah” (Proyek

Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1981), cerita anak Batu Belah Batu

Bertangkup: Cerita Rakyat di Kepulauan Siantan (Syamsuddin, 1983), “Batu Belah

Batu Bertangkup” (Tim Penulis, 1991), Batu Belah Batu Bertangkup (Rejab F.I., 1994),

Batu Belah Batu Bertangkup: Cerita Rakyat Indonesia (Suparlan, 1998), “Batu Belah

Batu Bertangkup” (Burhanuddin dkk.:1998), “Batu Belah Batu Bertangkup” dalam

Berguru kepada Anak dan Sejumlah cerita Rakyat yang Lain (Muda dan Merie, 2003),

dan “Batu Batangkup” (Alwi, 2006). Sebuah cerpen yang berjudul ”Ibu, Anaknya, dan

Sebongkah Batu” (Fitra, 2007) diakui pengarangnya juga merupakan resepsi terhadap

cerita ”BB”. Sementara cerita “Batu Belah Batu Bertangkup” dalam Riau Negeri

Tercinta (Ali, 2005) merupakan cerita “BB” yang ditulis dengan menggunakan huruf

Arab-Melayu yang digunakan sebagai materi pelajaran muatan lokal Arab-Melayu di

Provinsi Riau.

5

Cerita ini ditemui pula dalam genre drama televisi, yaitu legenda “Cinta Batu

Belah” (2008). Cerita ‘BB” ini pernah pula menjadi cerita dalam salah satu episode

cerita Unyil yang ditayangkan di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) (Wenni, 2005).

Tahun 2008, cerita “Batu Belah” ini menjadi sebuah sinetron yang juga ditayangkan di

TPI (2008). Sebuah film animasi “Batu Belah Batu Bertangkup” (2008) dan sebuah

pementasan drama juga dibuat berdasarkan cerita “BB” ini. Jauh sebelumnya, pada

tahun 1959 cerita ini pernah pula ditransformasikan ke dalam film “Batu Belah Batu

Bertangkup”.

Di berbagai daerah, cerita “BB” ini tidak muncul dengan bentuk yang sama

persis. Padahal, dengan nama yang sama atau mirip di daerah satu dengan daerah lain,

ada kemungkinan cerita “BB” berasal dari satu daerah dan kemudian menyebar (difusi)

ke daerah lain. Walaupun penelitian mengenai hal ini belum ditemukan, penyebaran ini

memungkinkan terjadi karena secara geografis letak daerah-daerah tersebut tidak

berjauhan. Perhubungan antara daerah Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan,

Kalimantan Barat, Ambon, Malaysia, Singapura, dan Brunei pun sudah lama terjadi.

Daerah-daerah tersebut mempunyai hubungan historis dan kultural yang sudah berabad-

abad terjalin.

Secara umum, cerita “BB” ini berkenaan dengan anak yang tidak patuh kepada

ibunya atau membuat susah ibunya. Karena sedih dan kecewa, si ibu memutuskan untuk

masuk ke dalam sebuah batu yang berbelah. Akan tetapi, pada kenyataannya, cerita

”BB” muncul dalam bentuk yang bervariasi pada setiap daerahnya. Setiap tempat,

mempunyai versi atau varian tersendiri. Cerita “BB” di Aceh dan Sumatera Selatan

6

sangat berbeda dengan cerita “BB” yang ada di Provinsi Riau, Kepulauan Riau,

Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Di dalam cerita “BB” yang terdapat di Aceh, tidak terdapat motif memakan

telur tembakul, seperti yang ada di dalam cerita “BB” di Provinsi Riau (Kabupaten

Indragiri Hilir), Kepulauan Riau, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Kemarahan orang

tua si anak, dalam hal ini ayah, terjadi karena si anak atau pada varian lain, si istri,

secara tidak sengaja melepaskan belalang yang disimpan di kandang. Sementara itu, di

dalam cerita “BB” yang berasal dari Sumatera Selatan, motif memakan telur tembakul

juga tidak dijumpai. Perbedaan lain, tokoh yang masuk ke dalam batu belah adalah si

anak perempuan, bukan ibunya, seperti pada sebagian besar cerita “BB”. Pada cerita ini,

anak yang masuk ke dalam batu tersebut dapat kembali dengan selamat kepada

keluarganya.

Adapun, cerita “BB” yang terdapat pada kelima tempat yang disebutkan

terakhir, mempunyai persamaan yang cukup besar. Walaupun demikian, tidak berarti

cerita “BB” pada daerah-daerah tersebut benar-benar sama. Asumsi tersebut perlu

dibuktikan melalui sebuah penelitian. Pada penelitian ini, dilihat cerita ”BB” yang

berasal dari Provinsi Kepulauan Riau yang dibandingkan dengan cerita ”BB” yang ada

di Malaysia.

Walaupun berbeda negara, secara geografis Provinsi Kepulauan Riau dan

Malaysia terletak pada daerah yang berdekatan. Dahulunya, kedua daerah ini termasuk

ke dalam satu Kerajaan Melayu2 yang kemudian terpecah akibat Perjanjian London

2 Perjanjian London tahun 1824 yang disepakati pemerintah kolonial Inggris dan Belanda secara politik

telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam dua wilayah politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek)

7

tahun 1824. Dengan demikian, masyarakat kedua daerah ini secara sosial budaya

mempunyai kaitan erat, bahkan setelah perjanjian London tersebut dibuat (Mahayana,

2007:1).

Situasi yang demikian, membuat cerita “BB” menjadi semakin menarik untuk

diteliti. Bagaimana bentuk cerita ”BB” yang hidup di dalam masyarakat Melayu di

Provinsi Kepulauan Riau dan Malaysia setelah keduanya berada pada dua negara yang

berbeda.

Pada penelitian ini, untuk cerita “BB” yang ada di Indonesia, dipilih cerita “BB”

yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, yang dibandingkan dengan cerita “BB” yang ada

di Malaysia. Kedua cerita itulah yang dijadikan sampel di dalam penelitian ini.

Penelitian dengan ruang lingkup sastra banding dimungkinkan pada kedua cerita

tersebut. Hal itu disebabkan oleh kedua cerita tersebut berada pada dua negara yang

berbeda, yaitu Indonesia dan Malaysia. Selain itu, bahasa yang dipergunakan pada kedua

cerita itu berbeda. Cerita Batu Belah Batu Bertangkup Bertangkup (1983) karya BM

Syamsuddin (selanjutnya BBBB BMSy) menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan

cerita Batu Belah Batu Bertangkup (1971) yang ditulis oleh Abd. Samad Ahmad

(selanjutnya BBBB ASA) menggunakan bahasa Melayu Malaysia.

Penelitian terhadap kedua cerita “BB” penting dilakukan karena beragamnya

versi dan varian di setiap daerah dan juga berbagai transformasi terhadap cerita ini

belum diimbangi dengan penelitian terhadap karya-karya tersebut. Sampai saat ini,

hanya sedikit pembicaraan mengenai cerita “BB” (lihat daftar pustaka), apalagi

dan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris, sedangkan Riau dan Lingga berada di bawah kekuasaan

Belanda (Maman S. Mahayana. 2007. ”Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-Malaysia”,

Makara, Sosial Humaniora, Vol. 11, No. 2, Desember 2007: 48-57)

8

pembicaraan yang berkenaan dengan kajian sastra banding. Setakat ini, satu-satunya

tulisan yang berkenaan dengan penelitian sastra banding terhadap cerita “BB” adalah

tulisan Ismail Nasution (2008), yaitu “”Batu Belah” dan Puisi “Batu Belah” Amir

Hamzah: Kajian Perbandingan“. Di dalam tulisan tersebut diperbandingkan cerita Batu

yang Belah yang berasal dari Kayu Agung, Sumatra Selatan dengan puisi “Batu Belah”

yang ditulis oleh Amir Hamzah. Sementara itu, penelitian yang secara khusus membahas

cerita-cerita “BB” di berbagai daerah di Indonesia belum ditemukan, demikian pula

dengan penelitian mengenai cerita “BB” di Indonesia yang dibandingkan dengan cerita

“BB” di luar Indonesia. Oleh karena itu, penelitian “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup

di Indonesia dan Malaysia: Kajian Perbandingan Sastra” perlu dilakukan. Penelitian ini

tidak hanya sekadar mengetahui persamaan dan perbedaan pada kedua cerita yang

berasal dari dua negara yang berbeda tersebut, tetapi juga dapat mengetahui mengapa

perbedaan tersebut terjadi.

1.2 Perumusan Masalah

Seperti yang dijelaskan pada latar belakang masalah, masyarakat Melayu di Provinsi

Kepulauan Riau, Indonesia, dan Malaysia mempunyai kedekatan secara historis dan

kultural. Setelah terpisah dan berada pada dua negara berbeda, yaitu Indonesia dan

Malaysia, perlu diketahui bagaimana bentuk cerita BBBB yang ada dan berkembang

pada kedua masyarakat tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut, pada penelitian ini

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

9

1. sejarah berdiri dan runtuhnya Kesultanan Melaka dan berbagai versi cerita

”BB” di Indonesia, sinopsis cerita BBBB yang dijadikan objek, serta

penulisnya;

2. struktur cerita, yaitu: tema, alur (plot); tokoh dan penokohan (character);

latar (setting) cerita BBBB (1983) yang ditulis oleh BM Syamsuddin sebagai

sampel cerita ”BB” yang terdapat di Indonesia dan cerita BBBB (1971) Abd.

Samad Ahmad sebagai sampel dari cerita ”BB” di Malaysia;

3. persamaan dan perbedaan yang muncul pada cerita BBBB yang ditulis oleh

BM Syamsuddin dan cerita BBBB Abd. Samad Ahmad dan penyebabnya.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) sejarah berdiri dan runtuhnya Kesultanan

Malaka dan berbagai versi cerita ”BB” di Indonesia, sinopsis cerita BBBB yang

dijadikan objek, serta penulisnya, (2) struktur cerita BBBB BM Syamsuddin dan cerita

BBBB Abd. Samad Ahmad, yang terdiri atas tema, alur (plot); tokoh dan penokohan

(character); latar (setting), dan (3) persamaan dan perbedaan yang muncul pada cerita

BBBB yang ditulis oleh BM Syamsuddin dan cerita BBBB Abd. Samad Ahmad dan

penyebabnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi atas tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis,

penelitian ini bertujuan untuk ikut mengembangkan teori sastra banding. Pengembangan

10

tersebut didapat melalui pengetahuan mengenai bentuk-bentuk yang sama dan berbeda

yang terdapat pada karya-karya sastra yang dibandingkan, yang ada di beberapa negara

yang mempunyai hubungan historis dan kultural yang erat.

Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah (1) memberikan alternatif penafsiran

kepada masyarakat dalam memahami dan mengapresiasi berbagai cerita ”BB”, (2)

memperlihatkan berbagai macam versi cerita ”BB”, dan (3) membantu

menginventarisasi cerita-cerita “BB” dari beberapa daerah di Indonesia dan Malaysia.

1.5 Tinjauan Pustaka

Beberapa pembicaraan mengenai cerita rakyat “BB” sudah dilakukan oleh para

peneliti atau pengamat sastra. Beberapa penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut.

Di dalam tulisan “”Batu Belah” dan Puisi “Batu Belah” Amir Hamzah: Kajian

Perbandingan“, Nasution (2008) memperbandingkan cerita Batu Belah yang berasal

dari Kayu Agung, Sumatra Selatan dengan puisi “Batu Belah” yang ditulis oleh Amir

Hamzah. Pembicaraan difokuskan pada aspek latar dan penokohan, serta motif si ibu

melakukan bunuh diri dengan cara masuk ke dalam batu belah. Dari penelitian tersebut,

diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pada kedua bentuk karya tersebut.

Berdasarkan konsep Jost, persamaan-persamaan yang ditemukan menunjukkan bahwa

antara cerita Batu Belah dari Kayu Agung dengan puisi Amir Hamzah terdapat organic

affinities, yaitu adanya relevansi pada bagian-bagian tertentu dari sastra lisan dengan

puisi Amir Hamzah. Berdasarkan konsep giver-receiver (pemberi-penerima) Jost, puisi

Amir Hamzah yang terbit pertamakali 1937 dianggap sebagai receiver cerita lisan “Batu

11

Belah” yang sudah ada terlebih dahulu di dalam masyarakat. Walaupun demikian,

Nasution tidak dapat memastikan bahwa cerita “Batu Belah” yang berasal dari Kayu

Agunglah yang menjadi rujukan Amir Hamzah menulis sajaknya. Hal tersebut

mengingat cerita ini ada dan berkembang di berbagai daerah dengan versi yang beragam.

Dari tulisan di atas, diketahui bahwa penelitian terhadap cerita “BB” sudah pernah

dilakukan dengan kajian sastra banding, yaitu antara cerita “BB” versi Kayu Agung,

Sumatera Selatan, dengan sajak “Batu Belah” oleh Amir Hamzah. Hal tersebut

memperlihatkan bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak sama dengan yang dilakukan

Nasution. Namun, melalui penelitian Nasution ini diketahui beberapa hal, yaitu (1) ada

cerita “BB” versi Kayu Agung, Sumatera Selatan dan (2) sajak “Batu Belah” Amir

Hamzah yang merupakan penerima (receiver, istilah Jost) cerita “BB” adalah salah satu

bentuk karya transformasi dari cerita “BB” .

Di dalam tulisan “Iktibar Batu Belah Batu Bertangkup: Ibu Tidak Boleh

Merajuk” (©Fitrah Sdn. Bhd), penulis menitikberatkan pembicaraannya mengenai cerita

rakyat “BB” pada dua hal, yaitu subjek pendidikan dan subjek komunikasi.

Menurutnya, dalam masalah pendidikan terdapat kepincangan yang besar pada karakter

ibu dalam kisah ini. Sebagai ibu, perbuatan merajuk atas perbuatan anak (dalam kasus

ini sampai sanggup membunuh diri) adalah salah. Penulis mengaitkan ketidaksabaran

tokoh ibu dengan kesabaran para nabi dalam menghadapi umatnya. Dia menyatakan

bahwa tidak ada komunikasi berdasarkan simpati dan empati antara kedua belah pihak,

yaitu pihak si ibu dengan pihak si anak. Dalam komunikasi yang baik, sikap ‘seek to

understand then to be understood’ –sikap memahami orang lain terlebih dahulu, barulah

12

orang memahami diri sendiri, sangat perlu-. Dalam cerita ini, si ibu dianggap gagal

menyelami perasaan si kakak yang bersimpati pada adiknya yang lapar. Ibu juga

dianggap gagal memahami perasaan si adik yang sangat menyukai telur ikan. Dengan

demikian, di dalam tulisan ini, penulis mengkritik tokoh si ibu dalam cerita “BB” ini;

“kebaikan” tokoh ibu tersebut digugat.

Dalam tulisan “Muara Seluruh Arus Budaya Ibu, Kasih, dan Strategi Budaya...”,

Putra (2007) mengaitkan sosok ibu di dalam cerita “BB” dan juga dalam sajak “Batu

Belah” Amir Hamzah dengan sebuah pergulatan pemikiran dalam budaya lisan. Dia

membandingkan sosok ibu di dalam cerita “BB” dengan cerita “Malin Kundang”. Di

dalam cerita “Malin Kundang”, ibu tidak dapat sama sekali menerima perubahan sikap

anak sehingga dia meminta anaknya dihukum. “Malin Kundang” dianggap sebagai

sebuah produk dari sebuah moralitas budaya yang mengharamkan kedurhakaan sebagai

landasan perubahan. Di dalam moralitas budaya yang demikian, perubahan hanya

mungkin melalui negosiasi. Sementara di dalam cerita “BB”, sosok ibu merupakan

martir. Ibu lebih memilih berkorban ditelan batu bertangkup daripada mengutuk anaknya

yang sudah berbuat salah pada dirinya. Namun, penulis mengakui sikap ibu dapat saja

dianggap tidak dapat menjalankan perannya sebagai negosiator terhadap perubahan.

Dalam banyak hal, seorang ibu kerap merupakan subjek yang paling dikorbankan dari

setiap transisi kebudayaan. Tulisan ini bermanfaat karena mengungkapkan adanya

perubahan pemikiran dan budaya yang terkandung dalam cerita “BB”.

Di dalam buku Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya Sastra Nusantara di

Sumatera Selatan yang ditulis Zainul Arifin Aliana dkk. (1994) ditemukan bahwa tema

13

cerita ini adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pikir panjang akan mengakibatkan

kerugian. Sementara amanat yang ingin disampaikan di dalam cerita tersebut adalah

hendaknya orang berhati-hati dalam bertindak agar tidak menimbulkan penyesalan di

kemudian hari. Sementara nilai budaya yang terdapat di dalam cerita “Batu Belah Batu

Bertangkup” adalah nilai (1) kepatuhan terhadap ibu dan (2) cinta kasih. Dengan

demikian, terlihat bahwa penelitian ini lebih mengarah pada upaya untuk melihat nilai-

nilai moral yang ada di dalam cerita ”BB”.

Dalam pembicaraannya mengenai legenda pada buku Folklor Indonesia: Ilmu

Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Danandjaja mengemukakan cerita “Atu Belah” yang

berasal dari Gayo, Aceh. Menurutnya, cerita ini merupakan salah satu contoh yang

memperkuat bahwa mite atau legenda (cerita rakyat) berasal dari mimpi seseorang,

seperti yang dikemukakan dalam teori poligenesis psikonalisisnya Sigmund Freud.

Berdasarkan teori ini, cerita “Atu Belah” merupakan proyeksi seorang perempuan yang

mengalami kesukaran dan kekecewaan hidup sehingga berangan-angan untuk kembali

ke rahim ibunya, tempat yang dianggap aman. Berdasarkan pendapat aliran Freudian ini,

cerita “Atu Belah” menjadi terkenal di Gayo karena perempuan di daerah itu banyak

mengalami kesukaran dan kekecewaan (Danandjaja, 1984:64—66). Tulisan Danandjaja

ini menganalisis cerita “Atu Belah” dengan teori poligenesis psikonalisis Sigmund Freud

yang berbeda dengan teori perbandingan yang digunakan di dalam penelitian ini. Akan

tetapi, tulisan Danandjaja ini memberikan pengetahuan mengenai cerita “BB” versi

Gayo, Aceh, yang berbeda dengan cerita “BB” yang ada di daerah-daerah lain.

14

Penelitian Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo yang ditulis Kadir dkk. (1982)

berisi transliterasi dan ringkasan isi dari 12 naskah berbahasa Gayo. Salah satu naskah

tersebut berisi cerita “Atu Belah” yang terdapat di dalam masyarakat Gayo (Ekadjati

(ed.), 2000). Kadir dkk. menggubah cerita tersebut dari pantun yang terdiri atas 47 bait.

Tiap-tiap bait terdiri atas empat bait dengan berbagai variasi persajakan, yaitu abab,

aaab, dan sebait bersajak abcd (Kadir dkk. 1982). Tulisan Kadir dkk. ini sangat

bermanfaat karena mengandung informasi mengenai cerita “BB” yang berbentuk

pantun. Setakat ini, bentuk ini merupakan bentuk tertulis yang tertua dari cerita “BB”.

Selain pembicaraan mengenai cerita ”BB” di atas, ditemukan pula tulisan

mengenai cerpen ”Ibu, Anak, dan Sebongkah Batu” yang merupakan transformasi dari

cerita ”BB” yang berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Esai itu berjudul

“Jenazah “Keranda Jenazah …” (Telaah Buku Kumpulan Cerpen “Keranda Jenazah

Ayah”) yang ditulis Gde Agung Lontar dan diterbitkan di Riau Pos, Ahad, 27 Januari

2008. Esai ini memuat pembicaraan mengenai kumpulan cerpen pilihan Riau Pos tahun

2007, yaitu Keranda Jenazah Ayah: Cerpen Pilihan Riau Pos 2007. Pada esai tersebut,

dibahas juga cerpen “Ibu, Anaknya, dan Sebongkah Batu” yang ditulis oleh Iggoy el

Fitra. Lontar memuji teknik penceritaan yang ada di dalam cerpen ini. Selain itu, dia

menyebut cerpen ini merupakan perkawinan dari dua mitos, yaitu ”Batu Belah Batu

Bertangkup” dan ”Malin Kundang”.

Selain tulisan-tulisan di atas, beberapa penelitian di bawah ini dianggap dapat

memberi konstribusi terhadap penelitian yang dilakukan karena meneliti beberapa cerita

rakyat dengan menggunakan teori sastra banding.

15

Di dalam buku Antologi Esai Sastra Banding dalam Sastra Indonesia Modern

(2003), Suripan Sadi Hutomo menulis “Cerita Kentrung Djaka Tarub dan Teori

Astronout”. Di dalam tulisan tersebut diperbandingkan cerita-cerita yang bermotif

“pemuda beristrikan bidadari setelah baju bidadari tersebut diambil oleh si pemuda

ketika pemiliknya sedang mandi di telaga” yang terdapat pada cerita Jaka Tarub (Jawa),

Malem Diwa (Aceh), Lahilote (Gorontalo), Cerita Telaga Bidadari atau Datu Unjun

(Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan), Fefo Kakar Ritu atau Tujuh Orang Puri

Bersaudara (Tetun, Nusa Tenggara Timur). Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa

cerita Fefo Kakar Ritu memiliki lebih banyak persamaan dengan cerita Lahilote

dibandingkan dengan cerita Jaka Tarub. Hal itu disebabkan (1) Laku Lekik menyusul

istrinya ke langit dan (2) Laku Lekik diuji di kerajaan langit. Hutomo sampai pada

kesimpulan bahwa di masa lampau terdapat hubungan yang erat antarsuku di Indonesia

sehingga terdapat persamaan pada cerita-cerita tersebut. Akan tetapi, dia menemukan

bahwa detil cerita berbeda pada setiap daerah. Selain memperbandingkan cerita-cerita

bermotif astronout yang ada di Indonesia, Hutomo juga membandingkannya dengan

cerita sejenis yang ada di Mindanao, Filipina Selatan, yaitu cerita Dato Umar dan cerita

Ha-Goromo di Jepang. Dia menyimpulkan bahwa cerita yang terdapat di Mindanao

tersebut mempunyai keterkaitan dengan cerita-cerita yang ada di Indonesia. Hutomo

menduga cerita tersebut masuk ke Mindanao melalui Sulawesi Utara (sekarang

Gorontalo) atau Halmahera. Akan tetapi, seperti yang disebutkan oleh Roosman

(Hutomo, 2003:29), di Mindanao cerita itu sudah diganti dengan nama-nama Islam.

Dengan merujuk pada kesamaan rumpun bahasa yang dipergunakan, yaitu bahasa

Austronesia yang mempunyai kaitan erat dengan bahasa Jepang, seperti yang

16

disampaikan Matsumoto Nobuhiro (melalui Hutomo, 2003: 30), cerita-cerita seperti ini

diperkirakan terdapat di daratan Asia yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara. Lebih

lanjut, Hutomo menemukan cerita yang mirip di Thailand Lambantulang. Hutomo

tidak hanya membandingkan cerita-cerita tersebut, tetapi juga mengaitkannya dengan

teori astronout yang diajukan Eric von Daniken dalam bukunya Erinnerungen und die

Zukunft (1968) dan Zuruck zu den Sterken (1969). Teori ini menganggap sastra lisan

sebagai ”saksi zaman” atau ”pencatat sejarah”. Dengan demikian, cerita-cerita semotif

dengan Jaka Tarub dianggap sebagai sistem proyeksi perkawinan campuran antara

manusia bumi dengan wanita dari planet lain yang lebih tinggi kebudayaan dan

peradabannya. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa cerita-cerita rakyat dengan motif

tertentu pada masing-masing daerah memiliki persamaan secara garis besar, tetapi detil

dari cerita tersebut berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan pengaruh geografis dan juga

budaya yang masuk pada daerah tersebut.

Di dalam tulisan “Cerita Ciung Wanara dalam Perbandingan”3 Titik Pudjiastuti

memperbandingkan tiga versi cerita Ciung Wanara, yaitu cerita versi Pleyte (1910),

Sajarah Banten (tt), dan Kiai Djaka Mangoe (tt). Untuk melihat persamaan dan

perbedaan yang terdapat pada ketiga cerita tersebut, Pudjiastuti menggunakan teori

strukturalisme. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa secara garis besar ketiga cerita

tersebut mempunyai kesamaan. Akan tetapi, detil cerita tersebut berbeda, seperti terlihat

pada penamaan tokoh-tokoh, cara Ciung Wanara membalas dendam, dan akhir cerita.

3 http://staff.ui.ac.id/internal/131635535/publikasi/CeritaCiungWanaradalamPerbandingan.pdf

17

”Analisis Perbandingan Struktur dan Nilai Budaya Dongeng Issunbooshi

dengan Dongeng Jaka Kendil” (2007) ditulis oleh Ni Luh Putu Sulastri. Pada skripsinya,

Sulastri membandingkan dongeng Issunbooshi yang ada di Jepang dengan dongeng Jaka

Kendil yang ada di Jawa. Dia mendapati bahwa kedua dongeng ini mempunyai

perbedaan pada latar, tetapi sama dari segi tema, yaitu mengenai kegigihan yang

membawa keberhasilan. Adapun nilai budaya yang terdapat pada kedua dongeng

tersebut adalah kepercayaan dan rasa bersyukur terhadap Tuhan, nilai kebijaksanaan,

kasih sayang orang tua terhadap anak, rasa hormat pada orang tua, suka menolong, dan

balas budi. Adapun nilai budaya berani meminta maaf terdapat pada dongeng Jaka

Kendil, tetapi tidak ada pada dongeng Issunbooshi.

Suharyanto meneliti ”Perbandingan Cerita Rakyat Indonesia-Korea Jaka Tarub

dan Bidadari dengan Seonyeo Wa Namukaun” (2010). Dia menyimpulkan bahwa kedua

cerita ini mempunyai kesamaan karena tokohnya memperistri bidadari. Tidak hanya itu,

persamaan lainnya adalah pesan moral kedua cerita tersebut, yaitu ”sesuatu yang diawali

dengan kebohongan tidak akan berakhir dengan baik”. Akan tetapi, terdapat pula

perbedaan pada kedua cerita ini, yaitu penokohannya, alur, dan juga latarnya.

Pemaparan beberapa penelitian di atas menunjukkan dua hal. Pertama,

menunjukkan orisinalitas penelitian yang dilakukan. Artinya, setakat ini belum ada yang

meneliti “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia: Kajian

Perbandingan”. Kedua, penelitian-penelitian yang disebutkan di atas dapat dijadikan

masukan (input) bagi penelitian ini. Penelitian mengenai cerita rakyat dari beberapa

daerah atau negara di atas, misalnya, bermanfaat untuk melihat cara memperbandingkan

struktur cerita yang dilakukan antara satu cerita dengan cerita lainnya.

18

1.6 Kerangka Teori

Penelitian ini berada dalam ruang lingkup perbandingan sastra yang dibantu teori

struktural semiotik.

Perbandingan sastra dipergunakan karena ingin mengetahui persamaan dan

perbedaan yang ada pada cerita “BB” yang ada di Indonesia dan Malaysia. Hal tersebut

dilakukan karena kedua karya sastra ini berasal dari dua negara yang berbeda, yaitu

Indonesia dan Malaysia serta menggunakan bahasa yang berbeda pula, yaitu bahasa

Indonesia dan bahasa Melayu Malaysia. Sementara itu, teori strukturalisme semiotik

dipergunakan untuk meneliti struktur dan makna tanda-tanda yang terdapat pada kedua

karya sastra. Dengan teori ini, dapat diungkapkan struktur dan tanda-tanda yang terdapat

di dalam cerita BBBB di Indonesia dan Malaysia. Melalui penganalisisan dengan

penggunaan teori struktural semiotik, unsur-unsur pada kedua cerita dapat diketahui

untuk kemudian dibandingkan.

1.6.1 Sastra Banding

Istilah sastra banding muncul pertama kali di Perancis pada tahun 1816. Istilah

ini berasal dari sebuah antologi pengajaran sastra yang berjudul Cours de Litterature

Comparee. Di Jerman, sastra banding disebut dengan istilah vergleichende

literaturgesichte yang muncul di dalam buku Moriz Carriere (1854). Sementara di

Inggris istilah comparative literature diperkenalkan oleh Matthew Arnold pada tahun

1848 (Bassnett, 1995:12).

Berbagai pendapat dikemukakan para ahli berkenaan dengan ruang lingkup

penelitian yang disebut sastra banding ini. Remak (1990:1) menyatakan bahwa sastra

19

banding merupakan kajian yang membahas karya sastra dengan karya sastra lain di luar

batas negara. Dia juga memperbolehkan penelitian sastra yang dikaitkan dengan ilmu di

luar sastra, seperti seni, filsafat, sejarah, politik, ekonomi, dan agama. Sementara itu,

Nada (1999:9 melalui Damono, 2005: 4) menganggap penelitian sastra banding hanya

diperbolehkan antarkarya sastra saja dengan penekanan adanya unsur kesejarahan dan

perbedaan bahasa yang ada di antara karya-karya yang dibandingkan.

Dalam perkembangannya, terdapat dua mazhab sastra banding yang terkenal,

yaitu mazhab Eropa dan Amerika. Mazhab Eropa menekankan pada penelitian

antarkarya sastra saja. Adapun mazhab Amerika berpendapat bahwa di dalam sastra

banding diperbolehkan memperbandingkan sastra dengan disiplin bidang lain, seperti

seni, filsafat, dan bidang-bidang lain (Damono, 2005: 10).

Berkaitan dengan ruang lingkup penelitian sastra banding ini, berdasarkan

pendapat François Guyard4, Owen Aldrige5, lebih rinci, Clements (melalui Damono,

2005: 8), mengajukan lima pendekatan yang dapat dipergunakan dalam sastra banding,

yaitu (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) gerakan/zaman, (4) hubungan-hubungan

sastra dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan (5) pelibatan sastra sebagai bahan

perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.

Sementara, Francois Jost (1974: viii—ix) mengajukan empat bidang dalam

kajian sastra banding, yaitu (1) relasi analogi dan pengaruh, (2) gerakan dan trend (3)

4 Francois Guyard menyatakan bahwa pendekatan dalam sastra banding adalah sejarah hubungan-

hubungan sastra antarbangsa. Di dalamnya, terdapat survei mengenai pertukaran gagasan, tema, buku,

atau perasaan di antara bangsa-bangsa, di antara dua atau beberapa sastra (melalui Damono, 2005:7) 5 Owen Aldridge beranggapan bahwa sastra sebagai studi mengenai gejala sastra dari perspektif lebih dari

satu sastra suatu bangsa atau hubungannya dengan satu atau lebih disiplin intelektual (melalui Damono,

2005:7)

20

genre dan bentuk, dan (4) motif, tipe, dan tema. Kategori yang pertama, relasi analogi

dan pengaruh, merujuk pada penunjukan adanya pertalian atau jalinan organik satu

karya dengan karya lain. Penelitian diarahkan pada pengaruh satu karya terhadap karya

yang lain, yang berkaitan dengan analogi antara beberapa karya, baik sebagai penerima-

pemberi (giver-receiver) atau pertalian hubungan sebab-akibat. Pada kategori ini,

termasuk pula aspek sastra interdisipliner, yaitu sejumlah koneksi antara sastra dengan

domain budaya lain, seperti filsafat, psikologi, sosiologi, linguistik, musik, dan seni

lukis. Pada kategori kedua, yaitu gerakan dan trend, meneliti studi mengenai gerakan

dan trend -seperti Renaissans, Baroque, Klasisme, Romantisme, Realisme- yang

mencirikan peradaban Barat dalam frase perkembangan. Gerakan dan trend ini terutama

akan terlacak pada karya-karya penulis yang dominan (andal) yang karya-karyanya

selalu mencerminkan semangat zaman (Zeitgeist). Kategori ketiga adalah genre dan

bentuk. Pada kategori ini analisis karya sastra dilihat dari sudut pandang bentuk (form)

lahir dan batin, genre karya. Kategori terakhir ini menggabungkan studi tentang tema

dan motif. Akan tetapi, tema dan motif juga bisa berbentuk abstrak dan konseptual

murni. Tema dan motif dapat terkait dengan topik seperti patriotisme, pemberontakan,

persahabatan, dan kematian.

Sastra banding muncul disebabkan kekhawatiran adanya pandangan sempit

mengenai sastra nasional. Oleh karena itu, sastra bandingan bertujuan untuk menghapus

pandangan sempit sastra nasional dan untuk menghilangkan anggapan bahwa satu sastra

nasional lebih baik dari satu sastra nasional lainnya (Wellek dan Warren, 1990: 51). Di

sisi lain, sebelumnya, penelitian sastra bersifat monodisipliner, yaitu terpusat pada karya

sastra saja. Penelitian yang seperti ini cenderung sebatas meningkatkan keterampilan

21

berbahasa, mengembangkan kosakata, atau mencari tema-tema kemanusiaan yang

universal. Hal tersebut dapat mengalienasi karya sastra terhadap ilmu-ilmu lain. Sastra

banding dianggap sebagai solusi terhadap kelemahan tersebut. Melalui penelitian sastra

banding diharapkan sastra akan lebih dekat dengan disiplin ilmu sosial lainnya dan dapat

mengembangkan cara pandang yang utuh dan luas terhadap realitas (Rokhman, 2003: 4-

-6).

1.6.2 Teori Struktural Semiotik

Seperti yang sudah disampaikan di atas, penelitian teori sastra banding ini

didukung teori lain, yaitu teori struktural-semiotik. Seperti yang disampaikan Damono

(2005:2) bahwa teori sastra banding tidak menghasilkan teori sendiri. Oleh karena itu,

teori apa pun dapat dipergunakan sesuai dengan objek dan tujuan penelitian. Di dalam

penelitian ini, teori pendukung tersebut adalah teori struktural semiotik.

Teori strukturalisme menganggap sebuah karya sastra terdiri atas unsur-unsur

yang terjalin erat yang membentuk sebuah struktur (Pradopo, 2001:97). Makna sebuah

karya sastra didapat melalui totalitas unsur-unsurnya tersebut (Hawkes, 1978: 17—18).

Senada dengan pendapat di atas, Teeuw (1988:135) menyatakan bahwa pendekatan

strukturalisme berupaya memahami karya sastra dengan memperhitungkan struktur-

struktur atau unsur-unsur pembentuk karya sastra sebagai suatu jalinan yang utuh.

Menurutnya, penggunaan pendekatan struktural dalam analisis dimaksudkan untuk

membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterjalinan dan keterkaitan semua

unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.

22

Stanton (1965:12-34) mengemukakan bahwa yang disebut struktur cerita itu

terdiri atas unsur-unsur tema (theme), fakta cerita (fact of story), yang mencakup alur

(plot); tokoh dan penokohan (character); latar (setting), dan sarana-sarana sastra

(literary devices) yang terdiri atas pusat pengisahan (point of view), gaya bahasa dan

nada (style and tone), simbol (symbol), ironi (irony), dan sebagainya. Untuk keperluan

penelitian ini, unsur yang dibahas adalah tema, alur, tokoh dan penokohan, serta latar.

Stanton (1965:4) menyebut tema sebagai arti pusat, ide pusat, atau ide pokok.

Lebih lanjut, dia mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus

menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana.

Alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa dan tiap peristiwa itu

dihubungkan berdasarkan hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau

menyebabkan terjadinya peristiwa lain dan apabila dihilangkan dapat merusak jalan

cerita (Stanton, 1965: 14). Hal senada diungkapkan Forster (1970: 93) yang menyatakan

alur sebagai peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya

hubungan kausalitas. Untuk melihat alur, Stanton (1965:14) melakukannya melalui

pembabakan peristiwa yang disebut episode.

Abrams (1981:20) menyatakan bahwa tokoh cerita dimaksudkan untuk orang

yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan

memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Adapun latar (1981:175) adalah landas

tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

23

Seperti yang dinyatakan oleh Teeuw (1991:61), pendekatan struktural ini

memang bukan tugas utama atau tujuan akhir sebuah penelitian karya sastra, tetapi

analisis ini merupakan prioritas pekerjaan pendahuluan (Teeuw, 1983:61) apabila

hendak menganalisis sebuah karya sastra dari sudut apapun. Oleh karena itu, penelitian

terhadap struktur ini dilanjutkan dengan penelitian semiotik yang sebenarnya merupakan

kelanjutan dari teori struktural. Hal tersebut disebabkan, karya sastra dianggap sebagai

struktur tanda yang memiliki makna (Junus, 1981:17).

Semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti ‘tanda’. Semiotik

adalah ilmu yang mempelajari tanda, sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi yang

memungkinkan tanda itu mempunyai arti (Pradopo, 1995:119). Menurut Saussure

(melalui Nöth, 1990: 60) tanda memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifié; signifier)

dan petanda (signifiant; signified). Penanda (signifier, expression) adalah apa yang

digunakan untuk merepresentasikan tanda, sedangkan petanda (signified/concept,

content) adalah makna yang direpresentasikan oleh tanda itu.

Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ini, dikenal istilah ikon,

indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mempunyai hubungan yang alamiah berupa

persamaan antara penanda dan petandanya. Indeks merupakan tanda yang hubungannya

bersifat kausalitas antara penanda dan petandanya, sedangkan pada simbol, hubungan

antara penanda dan petandanya bersifat arbitrer (Pradopo, 1995:120).

Pemberian makna pada tanda tersebut, tergantung pada sistem, aturan, dan

konvensi yang berlaku pada masyarakat. Oleh karena itu, pemberian makna pada tanda

yang ada di dalam karya sastra hendaknya memperhatikan konvensi bahasa, konvensi

24

sastra, kerangka kesejarahan, dan relevansinya dengan sosial budaya masyarakat

(Pradopo, 2000: 47).

(a) Konvensi Bahasa

Karya sastra bermedium bahasa. Sebelum menjadi bagian dari karya sastra,

bahasa ini sudah memiliki arti (meaning) yang ditentukan oleh konvensi masyarakatnya

(Teeuw, 1988: 96). Pada tataran ini, bahasa berada pada sistem semiotik tingkat pertama

(ein primäres modellbildendes system; primary order semiotics) (Lotman melalui

Teeuw, 1988: 99).

Bahasa yang sudah mempunyai arti inilah yang dieksplorasi oleh sastrawan di

dalam karyanya. Walaupun kemudian dijumpai penggunaan bahasa yang menyimpang

dari arti yang umum, pemaknaan terhadap kata tersebut masih dapat dirunut ke dalam

konvensi bahasa yang disepakati masyarakatnya. Seperti yang dikemukakan Teeuw

(1988: 97) bahwa sistem kemaknaan bahasa itu bersifat lincah, luwes, dan penuh

dinamika sehingga memberi peluang bagi pemanfaatannya secara kreatif. Namun,

diingatkan oleh Pradopo (2000: 47) bahwa penggunaan kata yang terlalu jauh dari arti

yang diketahui oleh masyarakat membuat karya tersebut menjadi kurang komunikatif.

(b) Konvensi Sastra

Ketika berada dalam sebuah karya sastra, arti bahasa (meaning) tersebut akan

memperoleh makna tambahan yang disesuaikan dengan sistem dan konvensi sastra

sebagai sistem semiotika tingkat kedua (ein sekundäres modellbildendes system;

secondary order semiotics) (Lotman melalui Teeuw, 1988: 99). Pada tataran ini, yang

dicari adalah makna (significance) bahasa yang didapatkan melalui tempat dan fungsi

bahasa tersebut di dalam struktur karya sastra (Pradopo, 2000: 48). Makna tambahan ini,

25

seperti istilah yang diajukan Preminger (1974; 980--981), biasanya juga bersumber dari

arti kata tersebut (Pradopo, 1995:121).

Dalam perwujudannya di dalam karya sastra, terlihat penyimpangan penggunaan

bahasa dari konvensinya yang dikenal dengan istilah defamiliarisasi atau deotomatisasi

(Teeuw, 1983: 4). Pembaca, termasuk peneliti, bertugas untuk mengungkapkan makna

yang tersembunyi di dalam karya sastra tersebut sehingga dapat dipahami dengan baik.

Selain konvensi sastra yang diungkapkan di atas, perlu pula diperhatikan genre

karya sastra yang diteliti. Secara garis besar, karya sastra dibagi atas beberapa jenis-jenis

sastra (genre), seperti puisi, prosa, dan drama. Genre puisi terdiri atas ragam puisi lirik,

pantun, syair, soneta, balada, dan sebagainya. Sementara genre prosa terdiri atas cerpen,

novel, dan roman sebagai ragam utama (Pradopo, 2001: 73).

Untuk puisi, konvensi yang harus diperhatikan adalah yang berkenaan dengan

bahasa kiasan, sarana retorika, gaya bahasa, ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.

Konvensi lain yang terdapat pada puisi adalah konvensi visual yang terdiri atas bait,

baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipografi, dan homologue. Sementara pada prosa,

yang kerap disebut juga dengan cerita rekaan, konvensi yang harus diperhatikan adalah

plot, penokohan, latar, dan pusat pengisahan (Pradopo, 2001, 74). Adapun untuk drama

konvensinya adalah plot, karakter, dan tema yang disebut sebagai struktur dan dialog,

suasana hati (mood), dan spektakel (spactacle) yang merupakan bagian dari tekstur

drama (Kernodles melalui Soemanto, 2002:15).

(c) Kerangka Sejarah; Hubungan Intertekstual

Sebuah karya sastra haruslah dipandang sebagai respon atau jawaban terhadap

karya sastra sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983: 65). Oleh karena itu, sebuah karya

26

sastra dapat dipahami secara lebih baik apabila dihubungkan atau dibandingkan dengan

karya sastra lain yang ditanggapi tersebut.

Pernyataan ini sesuai pula dengan pendapat Julia Kristeva, (melalui Teeuw,

1988:145) yang menyatakan bahwa setiap teks sastra harus dibaca dengan latar belakang

teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri. Kristeva (melalui Culler,

1977:139) mengemukakan bahwa setiap karya sastra merupakan mosaik kutipan-

kutipan, penyerapan, dan transformasi dari teks lain.

Memahami sebuah karya sastra dengan menghubungkannya dengan karya

sastra lain, seperti yang diterangkan di atas, menggunakan prinsip intertekstual. Sebuah

karya dipahami sebagai bagian dari konteks rangkaian sejarah sastra (Pradopo, 1995:

167). Pada intertekstual, karya yang lebih awal ada atau yang menjadi latar karya lain

disebut sebagai hipogram (Riffaterre, 1978: 11), sedangkan karya yang lahir sesudahnya

disebut karya transformasi.

Sebuah karya sastra yang dianggap mempunyai hubungan intertekstual tidak

selalu harus mempunyai kesamaan karena seperti yang disampaikan Julia Kristeva via

Teeuw (1988:145—146) hubungan ini dapat pula dalam arti penyimpangan dan

transformasi model teks; pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya

sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi.

Lotman menyatakan bahwa ada kecenderungan pengarang tradisional

mengikuti konvensi dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Sementara pengarang

modern berusaha menyimpanginya. Sistem artistik yang dilakukan oleh pengarang

tradisional disebut estetika identitas dan estetika yang diikuti pengarang modern disebut

estetika pertentangan (dalam Teeuw, 1988:26—27; Abdullah, 1991:100). Oleh karena

27

itu, sebuah hubungan intertekstual dapat berupa afirmasi, negasi, atau inovasi (Abdullah,

1991:105) terhadap apa yang direspon pengarang. Dengan menyandingkan karya-karya

yang berhipogram, makna dari karya-karya tersebut dapat diketahui secara lebih baik

(Pradopo, 2000: 55).

Menurut Pradopo (1983:32) dalam perbandingan secara intertekstual ini, dapat

diperbandingkan baik masalah yang ditampilkan struktur penceritaan maupun gaya

ataupun teknik pengekspresiannya.

(d) Relevansi Sosial Budaya

Untuk memahami sebuah karya sastra, perlu diperhatikan latar sosial budaya

ketika karya tersebut muncul. Hal tersebut disebabkan, seperti yang diungkapkan Teeuw

(1983: 4, 8), karya sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya. Dengan demikian,

diperlukan pengetahuan mengenai latar sosial budaya dari karya tersebut yang secara

tidak langsung terungkap dalam sistem bahasanya (1988: 100).

Pradopo (2000: 59) menyatakan bahwa latar sosial budaya tersebut dapat dilihat

di dalam karya sastra tersebut. Latar tersebut akan tercermin dari tokoh, sistem

kemasyarakatan, kebiasaan, adat-istiadat, pergaulan, kesenian, dan benda-benda budaya

yang ada di dalam karya tersebut.

Pengetahuan mengenai latar sosial budaya ini sangat membantu pembaca untuk

memahami karya sastra. Karya yang mempunyai latar sosial budaya yang berbeda akan

memperlihatkan tindakan-tindakan yang berbeda dari tokoh-tokohnya. Pemahaman

terhadap latar inilah yang memungkinkan pembaca “mengerti” tindakan tokoh Pariyem

seperti yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Selain itu,

28

latar sosial yang berbeda ini akan memunculkan cerita yang yang dianggap mempunyai

kesamaan, tetapi tetap mempunyai perbedaan. Hal tersebut terlihat pada contoh cerita

bertema inces, Oedipus yang berasal dari Yunani dan Sangkuriang dari Sunda yang

dibahas oleh Damono (2005: 54--60) ketika menulis mengenai “Membandingkan

Dongeng”. Pada cerita Oedipus, tokoh tersebut berhasil menikahi ibunya sendiri, tetapi

di dalam cerita Sangkuriang hal itu tidak terjadi. Hal tersebut tidak terlepas dari latar

sosial budaya yang berbeda dari kedua cerita tersebut.

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

Secara umum, metode penelitian yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif. Dengan demikian, penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati (Moleong, 1998:3). Penelitian

dengan metode ini bertujuan menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data yang

sedalam-dalamnya. Penelitian dengan metode ini tidak mengutamakan besarnya

populasi sehingga dengan data yang sedikit atau terbatas pun, penelitian ini dapat

dilakukan (Denzin dan Lincoln melalui Hariwijaya, 2007:71).

Secara khusus, penelitian ini akan menggunakan metode perbandingan sastra

yang dibantu oleh teori struktural- semiotik. Hal tersebut disebabkan sastra merupakan

fenomena yang universal, sekaligus individual (Chamamah-Soeratno, 2001:10). Sebagai

fenomena yang universal, sastra dapat diteliti dengan menggunakan metode umum.

Akan tetapi, sebagai fenomena individual, sastra juga harus diperlakukan secara khusus.

Oleh karena itu, penelitian sastra membutuhkan sebuah metode yang khusus pula.

29

Chamamah-Soeratno (1994:14--16) mengemukakan bahwa karya sastra memiliki sifat

khusus dilihat dari sisi bahannya, yaitu bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa

sehari-hari. Pemakaian bahasa yang berbeda tersebut pada hakikatnya dalam rangka

fungsi sastra sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi yang

bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula.

Penelitian “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia:

Kajian Perbandingan Sastra” ini menggunakan metode perbandingan. Seperti yang

dikemukakan Damono (2005:2), dalam penelitian yang menggunakan sastra banding,

metode ini merupakan langkah utama. Azas yang dipergunakan adalah banding-

membandingkan. Hal yang dibandingkan tersebut adalah struktur dari dua karya sastra

yang dipilih, yaitu cerita BBBB BMSy dengan BBBB ASA. Adapun unsur yang

dibandingkan tersebut adalah plot, tokoh, latar, dan tema.

Unsur yang dibandingkan disesuaikan dengan teori pendukung yang

dipergunakan. Di dalam penelitian ini, teori pendukung yang dipergunakan adalah teori

struktural-semiotik. Berdasarkan teori ini, karya sastra adalah sebuah struktur yang

bermakna (Pradopo, 1995: 141). Makna didapat melalui totalitas unsur-unsur karya

tersebut (Hawkes, 1978: 17--18).

Berkenaan dengan hal tersebut, langkah-langkah yang dilakukan di dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, mendeskripsikan sejarah berdiri dan runtuhnya Kesultanan Malaka

dan berbagai versi cerita ”BB” di Indonesia, sinopsis cerita BBBB yang dijadikan objek,

serta penulisnya. Sejarah Melaka diungkap untuk mengetahui sejarah pemisahan daerah

Melayu yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya kedua cerita BBBB. Penyebutan

30

beberapa versi cerita BBBB dimaksudkan untuk menempatkan kedua cerita ini sebagai

bagian dari berbagai cerita BBBB yang ada.

Kedua, menganalisis struktur cerita-cerita BBBB, baik ditulis BM Syamsuddin

maupun yang ditulis oleh Abd. Samad Ahmad. Analisis difokuskan untuk menemukan

plot, tokoh, latar, dan tema yang membentuk cerita-cerita tersebut. Langkah ini perlu

dilakukan untuk mengetahui struktur kedua cerita BBBB sehingga kemudian dapat

dibandingkan.

Metode yang dipergunakan untuk menemukan hal di atas adalah pembacaan

heuristik dan hermeneutik yang diajukan Riffaterre (1978: 5—6). Pada pembacaan

heuristik karya dibaca berdasarkan struktur bahasanya. Sementara pada pembacaan

hermeneutik, karya dibaca berdasarkan konvensi sastranya (Pradopo, 1995:135).

Pada cerita rekaan (cerkan), seperti yang menjadi objek kajian pada penelitian

ini, pembacaan heuristik yang dilakukan adalah pembacaan ”tatabahasa” ceritanya,

yaitu pembacaan cerita dari awal sampai akhir cerita. Pembacaan dengan cara ini dapat

dipermudah dengan membuat sinopsis cerita. Dalam hal ini, cerita yang berplot sorot

balik dapat dibaca berplot lurus. Dengan demikian, bagian-bagian yang berurutan dari

cerita tersebut dapat diterangkan (Pradopo, 2001: 84).

Setelah pembacaan secara heuristik, pembacaan dilanjutkan dengan pembacaan

hermeneutik atau disebut juga retroaktif. Pada pembacaan ini, karya dibaca kembali

secara bolak-balik (retroaktif) dan kemudian diberi penafsiran (hermeneutik). Pada tahap

ini, karya sastra dibaca sebagai bagian dari sistem semiotik tingkat kedua sehingga yang

didapatkan adalah makna (significance) dari karya tersebut.

31

Ketiga, menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan unsur-

unsur yang terdapat pada cerita-cerita tersebut. Setelah struktur kedua karya sastra itu

dapat diungkap, persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada

cerita BBBB BM Syam dan BBBB ASA dideskripsikan satu per satu, terutama yang

berkaitan dengan struktur plot, tokoh, latar, dan tema. Pada bagian ini, dijelaskan pula

penyebab terjadinya persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada

cerita-cerita BBBB tersebut.

Keempat, membuat kesimpulan dari penelitian ini. Setelah mengetahui beberapa

persamaan dan perbedaan pada cerita BBBB yang berasal dari Indonesia dan Malaysia di

atas, dibuat simpulan terhadap makna yang didapat melalui analisis kedua cerita

tersebut.

1.7.2 Populasi dan Sampel

Di dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh cerita rakyat

“BB” dalam berbagai genre dan versi yang ada selama ini, baik yang terjangkau oleh

penulis ataupun tidak. Populasi cerita rakyat “BB” dikumpulkan sebanyak mungkin

melalui studi kepustakaan dan internet.

Dari populasi tersebut, teridentifikasi beberapa cerita ”BB” dari berbagai genre

dan versi sebagai berikut.

a. satu puisi, yaitu sajak ”Batu Belah” yang ditulis Amir Hamzah dalam kumpulan

sajaknya Nyanyi Sunyi;

b. sebelas teks cerita ”BB” bergenre prosa. Dua dari cerita tersebut menggunakan

tulisan Arab-Melayu;

32

c. satu cerita drama “Bangsawan Batu Belah Batu Bertangkup” ditulis oleh Lenny

Erwan;

d. dua lagu yang berkisah tentang cerita “BB”, yaitu lagu ciptaan Mohd. Syed bin

Ahmad dan lagu yang dinyanyikan oleh grup band Malaysia Poetical Kingdom

dari Malaysia;

e. satu film “Batu Belah Batu Bertangkup” yang disutradarai oleh Jamil Sulong dari

Malaysia;

f. sinetron dengan judul “Batu Belah”. Sinetron ini ditayangkan di Televisi

Pendidikan Indonesia (TPI); dan

g. sebuah cerita animasi “Batu Belah Batu Bertangkup” versi (tokoh) burung

berasal dari Malaysia yang dibuat oleh Adi Lukman bin Saad.

Dari cerita-cerita ”BB” dan transformasinya tersebut di atas, dipilih dua cerita

sebagai sampel, yaitu:

1. Cerita Batu Belah Batu Bertangkup: Cerita Rakyat di Kepulauan Siantan Karya

BM Syamsuddin (1983)

Cerita BBBB yang ditulis BM Syamsuddin ini diperuntukkan bagi anak-anak.

Hal tersebut terlihat dari tulisan “bacaan anak” yang tertera di bagian sudut

kanan atas pada lembar halaman judul buku (cover). Buku ini diterbitkan oleh

Balai Pustaka pada tahun 1983.

2. Cerita Batu Belah Batu Bertangkup Karya Abd. Samad Ahmad (1971)

Cerita BBBB karya Abd. Samad Ahmad ini pertama kali dicetak pada tahun 1963

oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Setelah itu, dengan penerbit yang

sama, pada tahun 1969, terbit cetakan kedua, disusul cetakan ketiga pada tahun

33

1971. Terakhir diketahui bahwa cerita ini kembali dicetak oleh Dewan Bahasa

dan Pustaka Malaysia pada tahun 1999. Akan tetapi, pada penelitian ini, cerita

BBBB yang digunakan sebagai sampel adalah cerita BBBB yang terbit pada tahun

1971. Di dalam sekapur sirih (Se-kapor Sireh) dan pendahuluan yang terdapat

pada buku tersebut, tidak disebutkan kalau terdapat perubahan pada buku-buku

terbitan 1963, 1969, dan 1971 tersebut.

Kedua sampel ini yang menjadi sumber data bagi penelitian ini. Kedua karya ini

dipilih sebagai sampel disebabkan hal-hal sebagai berikut.

1. Kedua cerita BBBB ini dianggap memiliki unsur cerita yang lebih lengkap

dibandingkan dengan cerita-cerita ”BB” lainnya. Cerita dimulai ketika keluarga ini

masih memiliki ayah sampai kedua tokoh anak ini mulai memperoleh kesenangan

hidup.

2. Cerita-cerita BBBB yang dipilih sebagai sampel ini termasuk cerita ”BB” yang sudah

lama dicetak, yaitu tahun 1983 untuk cerita BBBB BMSy dan 1971 untuk cerita

BBBB ASA.

3. Cerita-cerita BBBB ini ditulis oleh pengarang-pengarang yang diakui

kepengarangannya di negara masing-masing. Oleh karena itu, karya-karya mereka

dianggap bermutu dan dapat mewakili cerita-cerita ”BB” lainnya.

1.8 Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi atas lima bab. Bab I Pengantar berisi latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan.

34

Di dalam bab II dideskripsikan latar belakang sejarah Kesultanan Melaka, cerita-

cerita Batu Belah Batu Bertangkup yang ada di Nusantara, dan pengarang BBBB.

Pada bab III dikemukakan struktur cerita BBBB karya BM Syamsuddin

(Indonesia) dan Abd. Samad Ahmad (Malaysia).

Bab IV berisi penjelasan mengenai persamaan-persamaan dan perbedaan-

perbedaan yang terdapat pada cerita-cerita BBBB yang berasal dari negara yang berbeda

tersebut.

Di dalam bab V ini, dimuat simpulan terhadap penelitian berjudul “Cerita Batu

Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia: Kajian Perbandingan Sastra”. Pada

bagian ini disampaikan pula saran-saran yang dirasa perlu untuk penelitian selanjutnya.