BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Modernisasi,1 disadari atau tidak ternyata telah merambah dan
menanamkan pengaruh kuat di seluruh penjuru dunia. Modernisasi ini ditandai
dengan adanya penghargaan yang tinggi terhadap kemampuan rasio yang
kemudian melahirkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kemajuan tersebut diaplikasikan dalam “industrialisasi”, yaitu
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan secara besar-besaran
dengan menggunakan tenaga permesinan. Fenomena yang lahir di Barat
tersebut kemudian mendunia, sehingga menuntut semua negara untuk mampu
mengejar ketinggalannya dengan mengubah alur dari negara agraris menuju
negara industri, tak terkecuali Indonesia yang kini sedang dalam masa transisi.
Proses modernisasi bagi negara berkembang seperti Indonesia mengandung
unsur perjuangan mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Apalagi adanya
kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa kemakmuran material mempunyai
akibat pada bidang-bidang seperti sosial politik, pertahanan, dan lain-lain.
1 Istilah “Modern” berasal dari Barat yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan terbaru
atau mutakhir. Zaman modern secara historis berawal dari lemahnya pengaruh filsafat skolastik (abad pertengahan). Kira-kira abad 14, pada masa itu pengaruh gereja sangat kuat dalam segala hal. Kemudian pada abad 15-16 muncul renaissance (kelahiran kembali), yaitu suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dirinya telah lahir kembali dalam keadaban. Pada masa ini kajian filsafat diarahkan pada dunia dan diri sendiri (hal-hal yang konkrit). Sehingga manusia merasa bebas terhadap segala kuasa dan tradisi. Dan dari sinilah filsafat jauh dari agama. Kemudian yang muncul adalah zaman yang mengedepankan rasionalitas (IPTEK). Lihat, Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Jakarta: Kanisius, 1980, hlm. 1-5
2
Sebaliknya kemunduran ekonomi selalu berdampak pada lemahnya bidang-
bidang tersebut.2
Kondisi demikian memunculkan masyarakat yang sering
dikonotasikan sebagai masyarakat yang telah memiliki kesadaran pragmatis-
materialistik dan rasional serta diidentifikasikan sebagai masyarakat yang
telah mencapai kemajuan IPTEK.3 Mereka lebih mempercayai kemampuan
rasio dan kebenaran teori ilmiah daripada pengetahuan religius. Banyak orang
menyangka dengan modernisasi itu akan memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran. Mereka lupa bahwa dibalik modernisasi yang serba gemerlap
materi yang menggiurkan itu terdapat gejala yang dinamakan “the agony of
modenization”, yaitu azab sengsara modernisasi.4 Suasana hidup yang
demikian dalam konteks Indonesia dapat dilihat di kota-kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Suasana hidup hobbesian
(penindasan yang kuat terhadap yang lemah) sangat dirasakan dalam
kehidupan kota, sehingga terbuktilah pernyataan Thomas Hobbes bahwa
manusia yang satu terhadap manusia yang lain bertindak seperti srigala (homo
homini lopus).5
Masyarakat modern ini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang berdasarkan wahyu
2 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm.
458 3 Komaruddin Hidayat dan Muh. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat
Perenial, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 3 4 Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1999, hlm. 3 5 Amien Rais, Tauhid Sosial Formulasi Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,
1998, hlm.101
3
ditinggalkan dan hidup dalam keadaan sekular. Mereka cenderung mengejar
kebutuhan materi dan bergaya hidup hedonis daripada memikirkan agama
yang dianggap tidak memberikan peran apapun.
Masyarakat demikian telah kehilangan visi keilahian yang tumpul
penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan
yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial,
ekonomi, budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti.
Padahal dalam kenyataannya, tidak semua individu mampu melakukannya,
sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan
banyak problem.
Simbol-simbol zaman modern yang ditampakkan oleh peradaban kota
dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan perubahan lingkungan yang cepat
menimbulkan kesenjangan antara manusia dan lingkungan sosialnya. Realitas
ini kemudian memunculkan penggambaran yang variatif atas kondisi manusia
modern yang sarat dengan problem psikis. Tokoh psikologi humanis, Rollo
May6 mengistilahkan manusia modern sebagai “manusia dalam kerangkeng”,
yaitu manusia yang sudah kehilangan makna hidup. Ia selalu dilanda
keresahan dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkan. Para
6 Rollo May adalah salah seorang tokoh Konseling Psikoterapi Eropa. Menurutnya,
psikoterapi dan konseling diarahkan pada menolong orang agar bisa menemukan makna hidup dan menyelesaikan problem. Terapis perlu menolong pribadi untuk mencari jalan keluar agar mencapai hidup lebih baik, mengarahkan perhatiannya dalam diri umat manusia, termasuk dalam nilai-nilai yang membuat hidup itu bermakna. Apabila pribadi kandas dalam memahami nilai-nilai ini, maka terapis dianggap gagal menjalankan misinya. Lihat, Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 247
4
sosiolog menyebut keadaan manusia modern ini sebagai gejala keterasingan
(alienasi).7
Manusia modern juga dianggap telah keluar dari eksistensinya.
Akibatnya, yang muncul adalah manusia-manusia yang frustasi, stress,
powerlessness, cemas, ketakutan, putus asa, bahkan sampai pada taraf psikosis
atau neurosis. Zaman modern ini juga ditandai dengan perilaku-perilaku
menyimpang, seperti bunuh diri, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan
berbagai tindakan kriminal lainnya yang menyebabkan dehumanisasi.
Perilaku buruk manusia modern tidak cukup dipuaskan dengan menindas dan
menghancurkan sesamanya, namun juga dilampiaskan terhadap alam.
Manusia berusaha menaklukkan dunia secara tanpa batas. Alam dipandang tak
lebih dari objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan diekploitasi
semaksimal mungkin. Manusia modern memperlakukan alam sama dengan
pelacur, mereka menikmati dan mengeksploitasi untuk kepentingan dirinya
tanpa mempunyai rasa kewajiban dan tanggung jawab apapun.8 Semua yang
terjadi merupakan konsekuensi dari modernisasi yang menyebabkan
perubahan-perubahan sosial dan interaksi sosial budaya yang serba cepat, di
mana individu dan masyarakat cenderung melakukan pengingkaran terhadap
Tuhannya. Hal ini sesuai Firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 20 sebagai
berikut:
7 Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf
Positif, Jakarta: Hikmah, 2002, hlm. 168 8 Budi Munawar Rachman, Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi Laporan
Seminar Sayyed Husain Nasr, Jurnal Ulumul Qur’an, No. V/4/1993, hlm.107
5
لهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في األموال واألوالد كمثل غيث اعلموا أنما الحياة الدنيا لعب و
أعجب الكفار نباته ثم يهيج فتراه مصفرا ثم يكون حطاما وفي اآلخرة عذاب شديد ومغفرة من الله
)٢٠: احلديد(.وان وما الحياة الدنيا إال متاع الغرورورض
Artinya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak seperti air hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akherat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Q.S. al-Hadid : 20)9
Ayat diatas menunjukkan bahwa adanya kecenderungan sifat manusia
cinta berlebihan terhadap dunia (harta benda), sehingga tidak mengherankan
dalam kehidupan modern ini mereka sulit menemukan kehidupan bermakna
yang penuh dengan nilai-nilai agama. Lantas dimanakah peran agama dalam
mencegah dan mengobati problem manusia?.
Banyak tawaran yang kemudian muncul seperti melalui perdukunan,
aliran-aliran kebatinan, kelompok-kelompok ahli yoga yang memperoleh
pasaran di Barat, yang lebih terarah pada pencarian spiritualitas tanpa
agama.10 Sementara agama sendiri selama ini cenderung ditinggalkan
masyarakat karena sudah tidak menjanjikan kemajuan. Sigmund Freud11
9 Soenarjo dkk., Al-Qur’an ..., op. cit., hlm. 903 10 Perdukunan dalam psikologi agama termasuk aliran klenik yang artinya segala sesuatu
yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan menyimpang dan tidak masuk akal. Ini termasuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Biasanya orang-orang yang masuk ke dalam aliran ini, karena kekosongan spiritual dan penderitaan rendah akan kesadaran agamanya serta cenderung kehilangan pegangan hidup. Lihat, Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 253
11 Menurut Freud, libido sexuil (naluri sek) merupakan sumber jiwa keagamaan yang muncul pada diri seseorang. Agama muncul setelah peristiwa Oedipus Complex Mitos Yunani kuno yang menceritakan karena kecintaan berlebihan kepada ibunya, akhirnya Oedipus membunuh
6
menganggap agama sebagai gejala “neurosis obsesi” yang universal, atau
bagi Karl Max agama adalah candu masyarakat.12
Segudang permasalahan yang dihadapi manusia modern, menuntut
untuk dicari jalan keluar. Kebiasaan yang terjadi, mereka lari ke sebuah
kegiatan bimbingan konseling, dan sekarang pun telah muncul tasawuf
sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman tradisional yang mencoba
menawarkan solusi terhadap permasalahan manusia.
Pendukung tasawuf sebagai solusi terhadap problem manusia, salah
satunya adalah Sayyed Husein Nasr. Menurut Nasr krisis dunia modern
bersumber dari Barat sejak zaman renaisans dan menyebar ke bagian lain
muka bumi, di mana sejak saat itu manusia adalah makhluk bebas yang
independen dari Tuhan dan alam. Manusia membebaskan diri dari tatanan
illahiyah (divine order) untuk selanjutnya membangun tatanan antrophomorfis
tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia yang mengakibatkan putus
dari spiritualitas.13 Selama ini manusia dilanda kehampaan spiritual karena
kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat – yang ternyata
keduanya - tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia akan nilai-nilai
transenden. Selain Nasr, kita juga mengenal tokoh lain yang menggagas
ayahnya. Peristiwa tersebut menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt ) dilanjutkan dengan image father (citra Ayah). Rasa bersalah ini menumbuhkan ide untuk menembus kesalahan dengan melakukan upacara pemujaan. Berbagai tahapan ini yang kemudian membawa Freud berkesimpulan bahwa agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia. Lihat, Ibid., hlm. 55-56
12 Karl Marx (1818-1883), pencetus gerakan sosialis internasional. Sosiologi Marx didasarkan pada dua asumsi utama, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama kegiatan masyarakat, (2) Ia melihat masyarakat manusia terutama dari sudut konflik sepanjang sejarah. Berdasarkan asumsi tersebut dunia hanya merupakan ladang eksploitasi dan penindasan, tidak ada konsensus / kerja sama. Sehingga agama dianggap sebagai sesuatu yang didakwahkan oleh para penindas untuk menciptakan tujuan mereka sendiri. Lihat, Ilyas Ba-Yunus-Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Bandung: Mizan, t.th., hlm. 22-23
13 Budi Munawar Rachman, loc. cit.
7
tasawuf modern, seperti Fazlur Rahman14 dan Iqbal.15 Sedangkan di Indonesia
kita mengenal Hamka,16 Simuh17 dan Amin Syukur.
Amin Syukur berpendapat bahwa pada mulanya tasawuf bersifat pasif
dan lebih menekankan pada dimensi filosofis. Tetapi, tambahnya, tanggung
jawab tasawuf pada masa sekarang dituntut aktif dalam memecahkan semua
problem kehidupan modern, seperti kehampaan spiritual, dekantasi moral,
persoalan politik, pluralisme agama dan intelektual.18 Tanggung jawab
tersebut menuntut kontekstualisasi ajaran tasawuf yang lebih humanis, empiris
dan fungsional yang lebih menekankan pada penghayatan ajaran Islam, bukan
fokus pada kajian tentang Tuhan.
Menurutnya, tasawuf bagi manusia sekarang ini sebaiknya lebih
ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral
yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh
kebahagiaan optimal. Tasawuf ini bertujuan membentuk watak manusia yang
14 Menampilkan neo-sufisme, yaitu sufisme yang cenderung menimbulkan aktivisme
ortodok dan menanamkan kembali pada sikap positif pada dunia. Lihat, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1984, hlm. 132
15 Cendekiawan muslim Pakistan ini bependapat bahwa Islam menolak konsep lama bahwa alam bersifat statis ia mempertahankan konsep dinamisme yang mengakui perubahan dalam kehidupan sosial manusia, sehingga tasawuf yang diartikan mengasingkan diri dari dunia tidak berlaku baginya. Lihat, Harun Nasution, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th., hlm. 192
16 Menurut Hamka, bahwa zuhud bersifat dinamis, bekerja keras untuk memperoleh kenikmatan dunia dengan tidak melupakan Tuhan dan bukan mencari harta untuk kesempurnaan harta itu sendiri, namun untuk kesempurnaan jiwa. Lihat, Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987, hlm. 48 dan dalam Muhammad Damami, Tasawuf Positif; Telaah Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
17 Dengan modern yang didominasi oleh sikap kritis, sekuler dan pragmatis harus diimbangi dengan pembinaan rasa etis. Tasawuf Islam yang menekankan pada sikap ihsan dapat menjadi sarana bagi pembinaan alam pikir manusia yang dicemari oleh paham sekuleris dan paham legalistik. Lihat, Simuh, Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. 35-36
18 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme; Tanggung Jawab Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 112
8
memiliki sikap mental dan perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhan.19 Amin Syukur
berpendapat bahwa tasawuf akhlaqi dapat diwujudkan dalam bentuk redefinisi
terhadap zuhud yang tidak hanya sebatas maqam, namun juga sebagai
moralitas Islam. Mengubah alur ajaran sosial tasawuf al-Futuwwah (sikap
kepahlawanan), dan al-Itsar (sikap mementingkan orang lain) yang selama ini
terbatas pada sikap kesalehan pribadi, kepada tingkatan kesalehan sosial.20
Selain tasawuf sebagai jalan untuk mencari pemecahan masalah,
manusia juga berusaha mencari penyelesaian melalui bimbingan konseling.
Istilah bimbingan dan konseling sering dipandang sama, tidak memiliki
perbedaan fundamental, namun ada pendapat yang menyatakan keduanya
berbeda, baik dasar-dasarnya maupun cara kerjanya. Pandangan ini
menganggap konseling lebih identik dengan psikoterapi, sedang bimbingan
identik dengan pendidikan.21
Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
seorang ahli kepada individu dengan menggunakan sarana yang ada,
berdasarkan norma-norma yang berlaku, sedangkan konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang
ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien)
yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Bimbingan
konseling memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum
19 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:
Pustaka, 2003, hlm. 1-2 20 Amin Syukur, Menggugat ..., op. cit., hal. 88 21 M. Surya, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Kota
Kembang, 1988, hlm. 23
9
adalah untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai
dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimiliki, berbagai latar
belakang dan tuntutan positif lingkungannya, sedangkan tujuan khusus
disesuaikan dengan kondisi individu masing-masing yang satu dengan lainnya
berbeda.22
Dalam perkembangannya bimbingan dan konseling tidak bisa lepas
dari nilai-nilai spiritual. Karena hanya dengan mengandalkan psikologi
sebagai ilmu yang mempelajari psikis manusia belum mampu mencapai hasil
yang maksimal. Spiritualitas dalam bimbingan dan konseling merupakan
suatu keharusan, sebab manusia tidak hanya sebagai makhluk bio-psikososial,
namun juga sebagai makhluk yang bertuhan. Bimbingan dan konseling
religius telah disadari sebagai hal penting oleh banyak pakar konseling, baik
Barat maupun Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa
dalam memasuki kehidupan yang bertujuan akhir memperoleh kebahagiaan
dunia akherat, individu cenderung untuk menata kehidupan berlandaskan
nilai-nilai spiritual.23
Berkaitan dengan bimbingan konseling religius pada dasarnya semua
agama memiliki pola-pola bimbingan dan konseling yang berbeda-beda dalam
usaha mengatur pemeluknya tentang bagaimana menghadapi kehidupan di
dunia dan akherat. Hal ini didasarkan pada nilai atau norma yang bersumber
dari Tuhan (kitab suci). Demikian juga dalam bimbingan konseling Islam
22 Priyatno dan Ermananti, Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta,
1999, hlm. 99-105 23 Ali Murtadlo, Bimbingan & Konseling Islam Perspektif Sejarah, Jurnal Ilmu Dakwah,
vol. 22 No. 1 Januari-Juni, 2002, hlm. 88
10
yang merupakan proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu
hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai
kebahagiaan hidup dunia dan akherat.24
Upaya manusia dalam mencari pemecahan masalah melalui tasawuf
dan konseling merupakan hal yang sangat menarik dan memungkinkan
dilakukan sintesa antara keduanya. Apalagi menurut Iqbal yang dibutuhkan
masyarakat modern adalah etika yang mampu menyiapkan manusia untuk
memikul tanggung jawab akan kemajuan IPTEK modern, memuliakan sikap
keimanan dan menciptakan kepribadian untuk masa sekarang dan
selanjutnya.25
Dari latar belakang pemikiran di atas, peneliti terdorong untuk
mengkaji lebih mendalam terhadap pemikiran guru besar tasawuf IAIN
Walisongo, yaitu Amin Syukur serta mengangkatnya menjadi judul skripsi:
SOLUSI TASAWUF AMIN SYUKUR ATAS PROBLEM MANUSIA MODERN
( ANALISIS BIMBINGAN KONSELING ISLAM ).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan maka muncul permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep tasawuf M. Amin Syukur dalam memberikan solusi
atas problem manusia modern?
24 Ainur Rahim Faqih, Bimbingan Konseling dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001,
hlm. 5 25 Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm.
36
11
2. Bagaimana analisis solusi tasawuf M. Amin Syukur problem manusia
modern dalam perspektif bimbingan konseling Islam (BKI)?.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan konsep tasawuf M Amin Syukur dalam
memberikan solusi tentang problem manusia modern.
2. Untuk mendeskripsikan analisis solusi tasawuf M. Amin Syukur problem
manusia modern dalam perspektif bimbingan konseling Islam (BKI).
D. Signifikansi Penelitian
1. Secara teoritis
a. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu yang
berkaitan dengan bimbingan konseling Islam di Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo.
b. Memperluas cakrawala pengetahuan tentang konseling bagi peneliti
khususnya dan mahasiswa Fakultas Dakwah pada umumnya.
2. Secara Praktis
Menambah wawasan tentang tasawuf sebagai salah satu disiplin keilmuan
Islam tradisional yang mampu menawarkan solusi bagi permasalahan
hidup manusia.
E. Tinjauan Pustaka
12
Dari hasil survey kepustakaan di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang, penelitian yang bertema konsep tasawuf M. Amin Syukur sudah
dilakukan oleh tiga orang peneliti.
Penelitian pertama dilakukan oleh Joko Tri Haryanto (KPI/2001) yang
berjudul Aspek Sosial Pemikiran Tasawuf Prof. Dr. Amin Syukur, MA. dalam
Kajian Dakwah. Penelitian ini mencoba mencari nilai-nilai sosial tasawuf
Amin Syukur yang berguna bagi pelaksanaan dakwah serta aplikasinya dalam
dakwah. Penelitian kedua oleh Dimiyati (KPI/2003) dengan judul Study
Analisis Terhadap Dakwah Prof. Amin Syukur, MA. dalam Rubrik Tasawuf
Interaktif di Suara Merdeka Edisi Januari-Desember 2001. Dalam penelitian
ini lebih dicurahkan pada sejauhmana aspek dakwah yang ada pada setiap
rubrik tasawuf interaktif yang dibina langsung oleh Amin Syukur. Kemudian
penelitian selanjutnya berjudul Pemikiran Prof. Amin Syukur, MA. tentang
Tasawuf Sosial dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental oleh M.
Sholahudin (BPI/2003). Penelitian ini menjabarkan tentang konsep-konsep
tasawuf sosial Amin Syukur serta peran dan pengaruhnya dalam membentuk
kesehatan mental.
Sementara dalam penelitian ini penulis berangkat dari sebuah
fenomena sosial masyarakat yang kini sedang menjalani kehidupan di era
modern, dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa
batas; dimana kehidupan berorientasi pada materialistik sekularistik,
rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata
13
tidak selamanya memberikan kesejahteraan, tetapi justru menjadi abad
kecemasan (The Age of Anxienty).
Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-
daerah perkotaan. Kondisi tersebut memaksa tiap individu untuk beradaptasi
dengan cepat, padahal banyak orang yang tidak mampu untuk itu. Akibatnya
yang muncul adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem
psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.
Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti
ajaran Islam muncul dengan memberi solusi bagi problem manusia dengan
cara mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Selain itu, berkembang pula
kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang
menyelesaikan masalah.
Peluang yang diberikan tasawuf dan konseling dalam memberikan
solusi atas problem manusia memungkinkan peneliti untuk melakukan
analisisterhadap solusi tasawuf atas problem manusia dalam perspektif
konseling islam, terfokus pada pemikiran Amin Syukur seorang guru besar
tasawuf IAIN Walisongo sendiri. Argumen-argumen tersebut menunjukan
perbedaan yang mendasar antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
14
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis kualitatif, karena data-data yang
disajikan berupa pernyataan-pernyataan.
b. Pendekatan Penelitian
Berkaitan dengan judul yang diangkat, maka diperlukan
pendekatan-pendekatan yang diharapkan mampu memberikan
pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Untuk itu beberapa
pendekatan yang digunakan adalah :
1. Pendekatan Filosofis
Pendekatan ini digunakan dalam konteks filsafat yang
mengacu pada hakekat manusia. Dengan landasan bahwa manusia
diciptakan dalam kondisi fitrah, memiliki naluri keagamaan
(memiliki nilai Ilahiyah), di samping naluri manusia sebagai
makhluk itu sendiri. Sehingga atas dasar inilah manusia dipandang
sebagai manusia secara utuh, yaitu manusia yang memiliki bio-
psikososio-religious.
2. Pendekatan Sosiologis
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup pada suatu
masyarakat tertentu. Untuk memahami manusia seutuhnya
diperlukan pendekatan sosiologis ini, sehingga permasalahan
sosial individu dapat diketahui secara rinci, baik penyebab dan
kemungkinan solusinya.
3. Pendekatan Psikologis
15
Berkaitan dengan pembahasan solusi tasawuf atas problem
manusia modern dan analisisnya dalam perspektif BKI,
pengetahuan tentang jiwa manusia mutlak diperlukan. Dengan
pendekatan ini kita dapat mengetahui kondisi psikologis manusia
dan upaya penjernihan jiwa untuk dapat hidup sebagaimana
mestinya.
2. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman, maka dirasa perlu
menguraikan definisi variable judul sebagai penegasan istilah dari judul
penelitian. Ada tiga kata kata kunci yang perlu adanya kesepahaman dalam
penelitian ini, yaitu:
a. Tasawuf
Tasawuf dalam pengertian ini tidak lagi sebatas ajaran tentang
dimensi theofilosofis, akan tetapi tasawuf akhlaqi, yaitu ajaran
mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari guna mendapatkan kebahagiaan optimal.
Tasawuf ini bertujuan membentuk etika dan sopan santun, baik
terhadap diri sendiri, lingkungan dan Tuhan.26
b. Manusia Modern
Manusia modern merupakan bagian dari masyarakat modern
yang memiliki beberapa ciri. Pertama, berkembangnya mass cultere
karena pengaruh mass media, sehingga kultur tidak lagi bersifat lokal,
26 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual ..., loc. cit.
16
melainkan nasional bukan global. Kedua, tumbuhnya sikap hidup yang
lebih mengakui kebebasan bertindak menuju perubahan masa depan.
Ketiga, tumbuhnya berfikir rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup
materialistik. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.27 Secara lebih
rinci penggambaran manusia modern dikemukakan sebagai berikut:
1) Kemajuan di bidang teknologi tinggi canggih.
2) Kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan.
3) Kebebasan berfikir dan bertindak.
4) Kehidupan yang lebih individualistik-materialistik.
5) Kecepatan komunikasi transformasi.
6) Keluasaan jaringan informasi.
7) Pelecehan-pelecehan nilai-nilai dan pendangkalan (penyempitan
peran agama yang bermuara pada doktrin agama adalah urusan
pribadi masing-masing)28
Manusia modern dengan ciri-ciri demikian akan lebih mudah
kita temui di kota-kota besar dibandingkan di desa.
c. Analisis Bimbingan Konseling Islam
Kegiatan bimbingan konseling pada dasarnya merupakan
bantuan yang berikan seseorang ahli kepada klien agar ia mampu
mengatasi problem yang dialaminya.29 Berkaitan dengan ini, maka
dilakukan penelitian ini adalah melihat sejauh mana urgesi tasawuf
27 Amin Syukur, zuhud ..., op. cit., hlm. 177 28 Alie Yafie, Teologi Sosial; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,
Yogyakarta: LPKSM, 1997, hlm. 65 29 Prayitno dan Erman Anti, Dasar Dasar......., Op.cit.hlm 22
17
Amin Syukur dalam mengatasi masalah manusia modern. Selain itu
dilakukan upaya menjadikan tasawuf sebagai materi dalam bimbingan
konseling Islam, yang bertujuan membantu klien agar dapat hidup
sesuai petunjuk Allah dan mencapai kebahagiaan dunia akherat.
3. Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terbagi dalam sumber
primer dan sekunder.
a. Sumber Primer
Yaitu data utama penelitian yang berisi pendapat dari Amin
Syukur tentang tasawufnya yang diperoleh melalui buku-buku
karyanya. Buku-buku tersebut adalah Menggugat Tasawuf dan Sufisme
Abad 21, Zuhud di Abad Modern, Intelektualisme Tasawuf; Telaah
Kritis Tsawuf al-Ghazali, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem
Manusia Modern, Pengantar Studi Islam serta Tasawuf dan Krisis
merupakan kumpulan makalahyang bertemakan tasawuf yang ditulis
oleh beberapa tokoh termasuk Amien Syukur dalam tulisan yang
berjudul Masa Depan Tasawuf.
b. Sumber Sekunder
Merupakan data pendukung penelitian yang bisa menambah
penjelasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, misalnya
al-Qur’an dan buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang
dibahas.
4. Teknik Pengumpulan Data
18
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan teknik:
a. Library Research, yaitu penelusuran buku-buku yang berkaitan
dengan judul penelitian.
b. Field Research (penelitian lapangan), meliputi:
1. Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data dengan tanya jawab
sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada
tujuan penelitian.30 Metode ini digunakan untuk menggali data
yang tidak ada dalam buku-buku karya Amin Syukur, yang
menyangkut biografi, dan pemikiran-pemikiran lainnya yang
belum termuat dalam buku.
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkip buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.31 Sebagai
dokumentasi ini digunakan untuk mengetahui data-data yang
berupa catatan atau tulisan, atau surat kabar yang penulis peroleh
dari harian Suara Merdeka dalam rubrik “Tasawuf Interaktif” yang
terbit setiap Senin yang secara langsung di bawah bimbingan
Amin Syukur.
5. Analisis Data
30 Sutrisno Hadi, Metode Research II, Yogyakarta : Andi Offset, 1993, hlm. 193 31 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 236
19
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah
analisis data dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode
deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang
sementara berjalan pada saat penelitian ini dilakukan dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.32 Untuk selanjutnya dianalisis
dengan melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas suatu
pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti yang terkandung
dalam pernyataan tersebut.33 Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
Hadari Nawawi, bahwa:
Metode deskriptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta yang nampak, dalam hal ini tidak hanya
penyajian data secara deskriptif, tetapi data yang terkumpul diolah dan
ditafsirkan.34
Langkah-langkah yang peneliti gunakan untuk menganalisis data
yang telah terkumpul adalah sebagai berikut:
a. Peneliti mendeskripsikan data yang telah diperoleh, baik menyangkut
pemikiran Amin Syukur yang terdapat dalam buku-buku karangannya
dan juga hasil wawancara menyangkut biografi serta pemikiran beliau
yang belum dibukukan.
32 Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993, hal. 71 33 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 60 34 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996, hlm. 73
20
b. Setelah dideskripsikan, tahap selanjutnya adalah menganalisis data
deskriptif tersebut guna mencari dan menemukan solusi tasawuf yang
ditawarkan oleh Amin Syukur dalam mengatasi problem manusia
modern, serta bagaimana analisanya dalam bimbingan konseling
Islam, yang fokusnya adalah konselor dan klien.
C. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam rangka menguraikan pembahasan masalah di atas, maka
peneliti berusaha menyusun kerangka penelitian secara sistematis, agar
pembahasan lebih terarah dan mudah dipahami serta yang tak kalah penting
adalah uraian-uraian yang disajikan nantinya mampu menjawab permasalahan
yang telah disebutkan, sehingga tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Sebelum menginjak pada bab pertama dan bab-bab berikutnya yang
merupakan satu pokok pikiran yang utuh, maka penulisan skripi ini diawali
dengan bagian muka yang memuat halaman judul, nota pembimbing,
pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi.
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, dan Metode Penelitian yang meliputi:
Jenis Pendekatan, Penegasan Istilah, Sumber Data, Pengumpulan Data, dan
Analisa Data.
Bab kedua adalah landasan teoritis yang menjelaskan tentang Manusia
Menurut Pandangan Tasawuf Dan Konseling. Bab dua ini dibagi menjadi tiga
21
sub bab. Sub bab pertama menjelaskan Manusia menurut Ajaran Tasawuf,
yang meliputi dua sub anak bab, yaitu: Potensi Dasar Manusia dan
Karakteristik Perkembangan Jiwa Manusia. Sub bab kedua tentang Manusia
dalam Perspektif Konseling, yang meliputi dua sub anak bab, yaitu Dimensi-
Dimensi Kemanusiaan, dan Manusia menurut Teori-Teori Konseling. Sub bab
ketiga adalah Manusia Modern dan Problematikanya, yang meliputi dua anak
sub bab, yaitu karakteristik manusia modern dan problematika manusia
modern.
Bab ketiga berisi tentang Solusi Tasawuf Amin Syukur Atas Problema
Manusia Modern. Bab ketiga dibagi menjadi dua sub bab. Sub bab pertama
memuat tentang Profil Amin Syukur yang meliputi Biografi, dan Karya-karya.
Sub bab kedua berisi tentang Pemikiran Tasawuf Amin Syukur yang meliputi:
Dzikir, Zuhud, Tasawuf Akhlaki dan Insan Kamil. Bab keempat adalah
analisis.
Bab empat adalah Analisa solusi tasawuf Amin Syukur dalam BKI,
yang terdiri dari dua sub bab yaitu Urgensi tasawuf Amin Syukur dalam
mengatasi problem manusia modern dan Implementasi tasawuf Amin syukur
dalam Bimbingan konseling islam.
Bab kelima adalah penutup. Bab ini memuat kesimpulan yang
merupakan hasil dari pengkajian dan analisis terhadap Solusi tasawuf Amin
Syukur atas problem manusia modern dan implementasinya dalam BKI,
saran-saran serta diikuti dengan uraian kata penutup. Setelah penutup,
dilampirkan pula daftar pustaka, biodata dan lampiran-lampiran.
22
BAB II MANUSIA MENURUT TASAWUF DAN KONSELING
A. Manusia dalam Perspektif Tasawuf
1. Potensi Dasar Manusia
Kajian tentang manusia dalam berbagai lapangan ilmu
pengetahuan, selalu menghasilkan berbagai persepsi dan konsepsi yang
berbeda. Dalam kajian tasawuf, “manusia” juga dipandang sebagai objek
yang khas sesuai sudut pandang yang digunakan. Penciptaan manusia
dalam tasawuf diyakini terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruhani. Al
Hallaj tokoh tasawuf falsafi berpendapat manusia memiliki sifat
kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut), karena dua unsur yang
membentuk manusia itu sendiri. Unsur materi menjadikan manusia
memiliki kecenderungan berbuat buruk dan unsur ruhani menjadikan
manusia berkecenderungan ingin selalu dekat dengan Tuhannya.35
Penciptaan manusia yang terdiri dari unsur materi dan ruhani
tersebut,ditegaskan dalam al-Qur’an (23:12 dan 15:29).
Senada dengan Al Hallaj, manusia menurut IbnArabi terdiri dari aspek batin
(al-haqq) dan aspek lahir (al-Kalq) yang merupakan manifestasi dari al haqq.
Citra manusia yang terpenting dan disepakati oleh para tokoh
tasawuf adalah seluruh manusia dilahirkan dalam kondisi suci (fitrah)
yaitu manusia terlahir dalam kondisi tidak memiliki dosa sama sekali dan
35 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973,
hlm. 89
23
memiliki potensi dasar taat kepada Allah.36 Kondisi fitrah ini, kemudian
mendapat pengaruh secara terus menerus dari lingkungan yang tentunya
mempengaruhi perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang.
Selain itu manusia juga dengan memiliki kebebasan (free will), sehingga
manusia berhak menentukan jalannya sendiri. Allah SWT berfirman dalam
surat at-Tin ayat 4-5 :
)٤ -٥: التين). (٥(ثم رددناه أسفل سافلين) ٤(ن في أحسن تقويملقد خلقنا اإلنسا Artinya : “Sesungguhnya kami telah menciptakan munusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian kami mengembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka )”. (QS. At-Tin: 4-5)37
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa meskipun manusia diciptakan
paling sempurna, namun ia bisa mencapai derajat terendah jika tidak
mampu memilih kebaikan. Selain itu dalam diri manusia juga dilengkapi
dimensi ruhaniah seperti qalb, ruh, nafs dan akal.38
a. Qalb
Hati menurut para sufi bukan dalam pengertian sebagai
segumpal daging yang berada di dada yang berfungsi mengatur
peredaran darah tubuh atau bisa kita sebut jantung, tetapi lebih
dimaknai sebagai substansi yang halus. Hati adalah tempat antara
wilayah kesatuan (ruh) dan daerah keanekaragaman (nafs). Jika hati
mampu melepas nafs yang melekat padanya ,dia akan berada di bawah
36 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Psikologi dan Tasawuf; Telaah Kritis Psikologi
Humanistik Abraham Moslow, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 27 37 Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 1109 38 Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, terj. Arief Rahmat, Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000,
hlm. 135-136
24
pengaruh ruh hati yang bersih. Sebaliknya jika hati dikuasai nafs, dia
akan menjadi keruh.39
Menurut Abdul Mujib , kalbu ruhani merupakan bagian esensi
dari fitrah nafsani yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan
pengendali tingkah laku, sehingga bila ia mampu berfungsi normal
maka kehidupan manusia akan sesuai fitrahnya. Dengan hati yang
bersih (memiliki uluhiat dan rabbaniat) inilah manusia tidak hanya
mengenal lingkungan fisik dan sosial tetapi juga mengenal lingkungan
spiritual keagamaan dan ketuhanan.40
b. Ruh
Ruh merupakan dimensi esensial yang membuat manusia
berbeda dengan makhluk yang lain. Ruh mempunyai eksistensi sendiri
yang berbeda demgan jasad. Jasad berasal dari elemen materi,
sedangkan ruh berasal dari alam arwah yang merupakan esensi
ketuhanan dalam diri manusia.41 Ruh yang ada dalam diri manusia
juga merupakan presensi (kehadiran) getaran uluhiah, namun
kekhususan pemberian ruh kepada manusia bukan berarti secara
otomatis manusia menjadi makhluk serba baik. Ruh adalah konsep
39 Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:
Darul Falah, 1999, hlm. 60 40 Fuad Anshori (ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta: SIPRESS,
1994, hlm. 68 41 Sukanto, MM., Nafsiologi Pendekatan Alternatif Atas Psikologi, Jakarta: Integrita
Press,, hlm. 50
25
dasar, semua bergantung pada bagaimana manusia hendak
memanfaatkannya.42
Manusia dapat menghidupkan sentuhan daya ruhaniah, apabila
ia dapat secara bersama-sama menempatkan nafs tetap dalam etika,
memusatkan pembersihan hati dan menghias ruh. Dalam tradisi sufi
dilakukan dalam kegiatan thariqat.
c. Nafs
Nafs biasa dimaknai sebagai jiwa.43 Mayoritas kaum sufi
mengatakan bahwa jiwa merupakan sumber-sumber penyebab
timbulnya akhlak tercela dan perilaku-perilaku rendah.44 Nafs juga
bisa dikatakan sebagai substansi yang terbentuk dari hasil perkawinan
ruh-ruh jasad yang memiliki sifat dapat dipengaruhi oleh kondisi tubuh
dan kondisi eksternal yang ada dalam diri manusia. Jika sesuatu yang
ada dalam jiwa manusia bertemu dengan dunia eksternal positif maka
ia akan berkembang secara optimal, namun sebaliknya jika bertemu
dengan dunia eksternal yang negatif, maka yang muncul adalah hawa
nafsu (syahwat yang melahirkan perbuatan destruktif).
Sikap nafs yang paling menyolok adalah nafsunya, yang
tersebar di seluruh tubuh manusia dan semua indera dapat terpengaruh.
42 Abdul Mujib dan Yusuf M., Fitrah dan Kepribadian Islam; Suatu Pendekatan
Psikologis, Jakarta: Darul Falah, 1999, hlm. 65 43 Istilah-istilah seperti nafsu, akal, ruh dan qalbu sebenarnya merujuk pada satu substansi
yang sama yaitu dimensi “jiwa” atau ruhani secara umum. Hanya saja karena keadaan dan fungsi jiwa itu berubah-berubah, maka kita memerlukan banyak istilah yang berbeda untuk menandai perubahan keadaan dan fungsinya itu. Lihat, Fuad Anshori, Potensi-Potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 108
44 Amir an-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf; Study Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, terj. Hasan Abrori, Jakarta: Pustaka Azzan, t.th., hlm. 40
26
Berkaitan dengan daya tarik, nafsu memiliki bentuk beraneka ragam
seperti nafsu seksual dan nafsu akan kemewahan. Nafsu merupakan
komponen dalam diri manusia yang memiliki kekuatan untuk
mendorong melakukan sesuatu (al-syahwat) dan menghindari diri
untuk melakukan sesuatu (al-Ghadhab).45 Nafs yang cenderung
memiliki sifat buruk ini harus dirubah menuju perilaku-perilaku yang
baik.
d. Akal
Secara etimologi, akal bisa diartikan menahan, ikatan,
melarang, dan mencegah sehingga orang dikatakan berakal
jika orang tersebut mampu menahan dan mengikat hawa
nafsunya.46 Akal dalam al-Qur’an disebutkan sebagai
bentuk aktifitas seperti daya untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu dorongan moral dan daya untuk
mengambil pelajaran (Al-An’am:151), kesimpulan dan
hikmah (al-Baqarah: 44). Dalam al-Qur’an surat al-
Ankabut ayat 43:
)٤٣: األنكبوت. (لا العالمونوتلك الأمثال نضربها للناس وما يعقلها إ
Artinya: “Demikianlah perumpamaan-perumpamaan yang kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang alim (berpengetahuan)”.(QS. al-Ankabut: 43)47
45 Fuad Anshori, op. cit., hlm. 61
46 47 Soenarjo, dkk., op. cit.,hlm. 425
27
Akal yang merupakan komponen fitrah nafsiah
manusia memiliki dua makna yaitu sebagai salah satu organ
di kepala atau disebut otak yang mempunyai kemampuan
memperoleh pengetahuan secara nalar dan akal ruhani yaitu
cahaya ruhani dan daya nafsiah yang disiapkan dan mampu
memperoleh pengetahuan (al-Ma’rifah) dan kognisi.
Pengertian ini sering ditafsirkan berakal merupakan
aktivitas kalbu karena hatilah yang mampu menerima
pengetahuan supra rasional dengan kekuatan cita rasa (al-
Zawq). Akal sebagaimana dalam al-Qur’an tidak hanya
dimaknai sebagai daya pikir dan daya rasa saja, tetapi ia
adalah dorongan moral untuk berfikir, melakukan kebaikan
dan menghindar dari kesalahan karena usaha berfikir untuk
memahami persoalan.48
2. Karakter Perkembangan Jiwa Manusia
Manusia pada dasarnya adalah ciptaan belum selesai, karena di
satu sisi manusia diciptakan dalam keadaan sempurna, tetapi di sisi lain
bisa menjadi makhluk yang rendah. Manusia diberi kebebasan (free will)
oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri dengan dibekali dimensi
ruhaniyah (ruh, aql, qalb dan nafs) yang harus diolah secara seimbang
untuk mendapatkan ridha Allah. Ruh Ilahi pada manusia berarti terdapat
adanya daya cipta dan kepemimpinan, suatu vital principle dan contrutive
48 M. Thoyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam, Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Suarakara, 2000, hlm. 48
28
abilitiyyang karenanya dia memiliki kemungkinaan untuk berkembang dan
menciptakan sesuatu yang baru yaitu ego batin ( inner self ).49 Hal ini tidak
akan mucul begitu saja tetapi manusia harus berusaha lepas dari
kungkungan nafsu-nafsu yang merugikan.
Potensi kebaikan sebagai fitrah manusia, erat kaitannya dengan
tugas besar yang diemban sebagai khalifah di bumi. Tugas tersebut
menuntut manusia memiliki struktur watak yang baik seperti keadilan,
persatuan, rendah hati, dinamis kreatif dan percaya diri.50 Dalam
mencapai itu semua, manusia perlu melakukan pembinaan nafsu rendah
yang diyakini para sufi sebagai sumber perbuatan buruk dengan melalui
riyadhah dan mujahadah.51 Dalam tradisi tasawuf, pembinaan tersebut
dilalui melalui tiga tahapan yaitu takhalli melepaskan diri dari sifat-sifat
buruk, tahalli menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik dan tajalli
terintegrasinya sifat sifat baik sehingga seseorang mudah merasakan
kehadiran Tuhan.
3. Insan Kamil
Dalam ajaran tasawuf kita mengenal konsep insan kamil, manusia
sempurna yang merupakan citra Tuhan. Ajaran ini terlihat sangat ekstrim
bagi beberapa kalangan, dimana konsep ini diawali dengan ajaran al hulul
dari al Hallaj, ittihad dari al Bustamy dan dikembangkan oleh Ibn Arabi
dengan konsep wahdatul wujud.
49 ibid hlm. 65 50 Hasyim Muhammad,Dialog tasawuf………,opcit. 115 51 Amin Syukur, Mengugat tasawuf Sufisme abad 21, Yogyakarta :Pustaka
Pelajar,1998.hlm.52
29
Secara garis besar ada dua corak pemikiran insan kamil yaitu
Transendentalisme dan Unionisme. Transendentalism, diwakili oleh Al
Ghazali yang beranggapan bahwa antara manusia dan tuhan tetap berbeda
sehingga manusia hanya bisa sampai taraf ma’rifatullah. Bagi golongan
ini, insan kamil adalah wali allah yaitu orang-orang yang mendapat ilmu
laduni yang berfungsi sebagai mediator doa bagi oarang-orang awam dan
power cosmis (penguasa alam). Sedangakan Unionisme meemgang ajaran
bahwa manusia adalah pancaran Tuhan yang memiliki sifat-sifat
ketuhanan sehingga memungkinkan persatuan antara sang khalik dengan
hambaNya.52
Ibn Arabi sebagai tokoh unionisme perpendapat bahwa insan
kamil adalah manusia yang sempurna dari pengetahuan dan wjudnya.
Kesempurnaan wujud, karena dari segi ini manusia merupakan
manifestasi sempurna citra illahi yang pada dirinya tercermin nama-nama
dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Semetara kesempurnaan pengetahuan
karena ia telah sampai tingkat kesadaran tinggi yakni menyadari kesatuan
dengan Tuhan.53
Konsep insan kamil diatas, tentunya berbeda dengan konteks insan
kamil sekarang karena pemikiran yang dihasilkan tersebut lebih
merupakan pengalaman pribadi tokoh. Dalam konteks sekarang insan
kamil dipahami secara lebih sederhana, tidak lagi pada penyatuan tuhan
dengan hambanya. Murtadha Muthahari misalnya mengatakan bahwa
52 Danusiri, epistimologi ……, Opci.>hlm.53 53 Yanasril Ali, Manusia Citra Illahi , jakarta : Paramadina, 1998.hlm. 59-60
30
manusia sempurna adalah manusia yang beribadah kepada Allah dan
memberi pelayanan kepada mahluk lain secara optimal dan harmonis. Bila
tugas beribadah (dengan Allah dan sesama) dilakukan dengan sebaik-
baiknya dan seimbang, maka jadilah orang tersebut manusia sempurna.54
Senada dengan ungkapan Komaruddin Hidayat bahwa insan kamil adalah
manusia yang mengabdi kepada Allah dan pada akhirnya melayani juga
manusia. Sebab pada dasarnya bentuk-bentuk ibadah dalam Islam seperti
shalat maknanya ada pada aktulisasinya, yaitu korelasi fungsional bahwa
ibadah vertikal kepada Allah itu harus mempunyai kemampuan
membangun relasi sosial.55
Hamdani Bakran medefinisikan Insan kamil sebagai manusia yang
telah mencapai nafsu kamilah (potensi ilahiah). Indikasinya akan
terimplementasi dalam etos kerja dan kinerja sebagai seorang khalifah dan
hamba Allah seperti sikap sempurna melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan.56 Dari definisi insan
kamil diatas dapat diambil kesimpulan bahwa manusia sempurna bukan
saja memiliki ketaatan kepada Allah tetapi juga mampu membangaun
relasi yang baik dengan sesama dan lingkunganya.
54 Dikutip dari Fuad Anshari Potensi-petensi ………Opcit. Hlm. 37 55 komaruddin Hidayat, Insan Kamil mahluk Multi dimensional.dalam manusia Modern
Mendamba Allah renungan tasawuf Positif,jakarta :Hikmah.2001. hlm.221 56 Hamdani Bakran, Konseling dan……….opcit.hlm.46
31
B. MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KONSELING
Berbicara manusia dalam perspektif konseling secara langsung kita
akan membicarakan manusia menurut konsep Barat. Karena bagaimanapun
gagasan muncul dan berkembangnya konseling dimulai di sana. Manusia
dalam kaca mata barat lebih dipandang sebagai mahluk yang independen,
berhak melakukan apa saja dengan rasio dan inderanya. Hal inilah yang
mendasari kajian fisafat manusia di barat merujuk pada paham antroposentris
yaitu pandangan yang menempatkan manusia pusat segala pengalaman dan
relasi-relasinya dan penentu utama masalah-masalah yang menyangkut
manusia dan kemanusiaan.57 Berbeda dengan kajian manusia menurut tasawuf
yang bercorak Antrhopo-Relgio-sentris. Meskipun manusia diakui memilki
kehendak bebas namun manusia tetap mahluk yang memiliki dimensi
ruhaniah dari Tuhan.
1. Dimensi- Dimensi kemanusiaan
Sebelum membicarakan manusia menurut teori-teori konseling, maka penting
bagi kita mengetahui secara singkat dimensi-dimensi kemanusiaan yang
memegang peran penting dalam kegiatan konseling. Dimensi-dimensi
kemanusiaan tersebut adalah :
a.Dimensi individual
Manusia diciptakan oleh tuhan memiliki kepribadian yang
berbeda-beda. Kepribadian adalah suatu organisasi yaaang dinamis dari
57 Hanna Djuana Bastamaan, Dari Antrhoposentris menuju Anthopo-religiosentis telaah
kritis Psikologi Humanistik, dalam fuad Anshori, Membangun Paradigma Psikologi islam yogyakarta : SIIPRES,1994.hlm.83
32
sistem psikopisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran yang
unik terhadap lingkungan.58 Para sosiolog membagi tipe kepribadian
manusia berdasarkan konstitusi psikis, fisik bahkan sampai berdasarkan
kebudayaan. Pengetahuan yang baik tentang kepribadiaan penting artinya
dalam kegiatan konseling karena hal inilah yang harus dipahami lebih
dahulu oleh konselor sebagai langkah awal pemberian bantuan.
Teori konseling Trait and Factor memberikan tempat istimewa bagi
dimensi individulitas ini. Kepribadian seseorang merupakan suatu sistem
sifat dan faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainya
seperti kecakapan, minat dan sikap. Tugas Konseling ini adalah membantu
individu dalam memperoleh kemajuaan memahami dan mengelola diri
dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam
kegiatan untuk mencapai kemajuan tujuan hidup dan karir.59
2. Dimensi Sosial
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam hidupnya senantiasa
menjalin interaksi dengan orang lain. Dimensi sosial ini akan nampak
terlihat jelas dalam teori konseling Behavioritik yang menganggap
perilaku manusia sebagai hasi belajar dari lingkungan dimana ia tinggal.60
Konseling individual Adler juga memperlihatkan dimensi ini dengan
berasumsi bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh inferiority
58 Sumadi Suyabrata, Psikologi kepribadiaan, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2001.hlm.9 59 Muh. Surya, Teori-Teori Konseling , bandung : pustaka Bani Quraisy. Hlm.6 60 Ibid.hlm.51
33
complex sehingga ia selalu berkompetisi dalam melakukan interaksi sosial
untuk mencapai keunggulan.61
3. Dimensi Kesusilaan
Manusia dalam mengembangkan dimensi individual dan dimensi
sosial memerlukan norma dan etika yang mengatur bagaimana agar kedua
dimensi berjalan seimbang. Dimensi kesusilaan ini merupakan
pemersatu,sehiongga dimensi individual dan sosial dapat bertemu dalam
satu kesatuan yang penuh makna. Apabila ketiga dimensi ini berkembang
secara optimal manusia dapat mencapai taraf kebudayaan tinggi dan
menguasai tehnologi tercanggih sekalipun.62
Selain itu, dimensi keagamaan, baik secara langsung atau tidak
langsung juga mendapat perhatian dari beberapa teori konseling. Teori
individual misalnya mengakui bahwa kecemasan yang melanda seseorang
terjadi apabila dalam konsentrasi mencapai superioritas pribadi tidak
memperhatikan kebutuhan orang lain. Atau dalam psikoanalisa Freud,
manusia dapat mengalami kecemasan neorotik yaitu kecemasan karena
tidak terkendalinya naluri yang menyebabkan ia melakukan tindakan yang
melanggar hukum.63
4. Dimensi Keagamaan
Selain sebagai mahluk individu dan sosial, manusia juga makhluk
religius. Pengembangan tiga dimensi di atas belum menyentuh kebutuhan
61 Sumadi surya Brata, Psikologi Kepribadian , Opcit,hlm.183 62 Priyatno dan Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Jakata : Renika
Cipta.1998.hlm.17 63 Gerald Corey, Teori-Teori…., Opcit.hlm. 143
34
manusia akan nilai-nilai agama yang dibutuhkan bagi kehidupan di akhirat
kelak. Kehidupan manusia yang lengkap adalah kehidupan yang mampu
menjangkau dua bentuk kehidupan, yaitu sekarang dan mendatang. Kajian
konseling barat pada mulanya belum mampu menjangkau dimensi
terdalam mausia yaitu spiritualitas atau keagamaan. Meskipun Victor
Frankl pencetus logoterapi berhasil mengungkap dimensi ini, namun tidak
mengandung konotasi ketuhanan, tetapi lebih pada kualitas khas insani. 64
Dalam perkembanganya, dimensi keberagamaan mendapat tempat
penting bagi konselor dengan munculnya Spiritual Wellness in
Counseling.65
Dengan memperhatikan keempat dimensi di atas munusia
diharapkan mampu mencapai derajat keutuhan sesuai dengan penciptaan
sebagai mahluk yang indah, tidak saja mengusai tehnologi tetapi juga
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Manusia seutuhnya
digambarkan oleh Priyatno dan Erman Anti seperti limas (lihat gambar 2
dan 3) yang akan semakin tinggi dan mulia bila memiliki derajat
keagamaan yang tinggi pula, sementara manusia yang hanya
mengembangkan ketiga dimensi digambarkan hanya seperti bidang datar
(lihat gambar 1) yang tak akan pernah memiliki ketinggian.
Dimensi Individul Dimensi Sosial
64 Lihat Hanna Djana Bastman, Dari Antrhoposentris………Opcit.hlm.82 65 Muh. Surya Psikologi Konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy,2003.hlm.125
Bidang Kehidupan Mendatar (di dunia saja)
35
Gambar 1
Dimensi Keberagamaan
Gambar 2
Gambar 3
2. Manusa Menurut Teori Teori Konseling
a. Konseling Eksistensialisme
Teori konseling ini berangkat dari psikologi humanistik
sebagai madhab ketiga dalam dunia psikologi. Manusia menurut aliran
ini dipandang sebagai mahluk yang sadar, mandiri, berperilaku aktif
dan mampu melakukan segalanya. Ia mendapat julukan the self
determining being yang mampu menentukan tujuan-tujuan yang
Dimensi Kesosialan
Dimensi Kesusilaan
Dimensi Keindividualan
Dimensi Keagamaan
Dimensi Individualan Dimensi Kesosialan
Dimensi Kesusilaan
Semakin Tinggi
36
diinginkan dan cara-cara untuk mencapaai tujuan itu yang dianggap
paling tepat.66
Tokoh konseling ini adalah Roll May dan Victor Frankl.
Manusia dipandang sebagai mahluk yang selalu dalam keadaan
transisi, berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu.
Berdasarkan pada asumsi ini, maka dimensi dasar kondisi manusia
adalah: 1). kapasitas kesadaran diri, 2 ). kebebasan dan tanggung
jawab, 3). menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan
yang bermakna dengan orang lain, 4). usaha untuk mencari makna,
tujuan, nilai dan sasaran,5). kecemasan sebagai kondisi hidup dan 6).
kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan.67
b. Client Centre Teraphi
Teori ini berpusat pada pribadi yang berorientasi konseling
pada filosofis humanistik yang memandang manusia sebagi mahluk
yang dilahirkan dengan pembawaan dasar baik, berkeinginan untuk
maju, memiliki kapasitas untuk menilai diri, bertingkah laku sehat dan
berusaha mengaktualisasikan diri. Hal ini didasarkan pada kenyataan
manusia mahluk rasional dan sadar, Rogers berkeyakinan manusia
mampu dan bertanggung jawab mengembangkan kepribadiannya. Ia
percaya bahwa individu diarahkan oleh presepsi diri yang disadari
66 Hanna Djuana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1998.hlm.52 67 Gerald Corey, Teori-Teori Konseling dan Psikoterapi, terj.Mulyarto, Semarang : IKIP
Press, 1995hlm.255-256
37
serta lingkungan sekelilingnya bukan oleh kekuatan bawah sadar yang
tidak terkontrol.68
c. Konseling Analisis Transaksional
Konseling ini dikenalkan oleh Eric Berne yang berangkat dari
sebuah asumsi setiap perilaku individu mempunyai dasar
menyenangkan dan mempunyai potensi serta keinginan untuk
berkembang dan mengaktualisasikan diri. Sumber-sumber tingkah
laku, sikap dan perasaan sebagaimana individu melihat kenyataan,
mengolah informasi dan melihat diluar dirinya disebut status ego.
Status ego menurut menurut Eric Berne berbeda dengan ego Freud
karena bukan konstruct, akan tetapi status ego di sini dapat diamati dan
merupakan suatu kenyataan fenomenologis yang dapat diamati dengan
indera. Status ego terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang
membekas pada dirinya sejak kecil.69
Dalam tiap individu terdapat tiga status ego, yaitu status ego
anak, status ego ego dewasa dan status ego tua. Status ego anak dapat
berisi perasaan, tingkah laku dan bagaimana berfikir ketika masih
kanak-kanak. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku manja, ingin
menang sendiri, ingin diperhatikan, takut, pemberani, sembrono, bebas
dan acuh. Perilaku tersebut tampak jelas jika berinteraksi dengan status
ego orang tua. Status ego orang dewasa dapat dilihat dari tingkah laku
68A.Nuryanti Atamimi R, Pendekatan humanistik Carl Rogers, dalam
Subandi,Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan. Kontemporer, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2003.hlm40-41
69 M. Noor Rachman Hadjam, Transaksional Analisis dalam Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan kontemporer, Subandi (ed.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 68
38
yang bertanggung jawab, tindakan yang rasional dan mandiri. Sifat
status ego ini penuh dengan perhitungan dan menggunakan akal.
Dalam status ego orang tua, kita mengalami ulang apa yang kita
bayangkan sebagai perasaan orang tua kita sendiri dalam situasi atau
kita merasa berbuat sesuatu kepada orang lain seperti yang dirasakan
orang tua kita terhadap kita.
Batas antara ketiga status ego tersebut merupakan membran
permiabel, sehingga dimungkinkan terjadinya aliran dari status ego
yang satu ke ego yang lain dalam menanggapi rangsangan dari luar.
Batas ego dapat sangat kaku, sehingga individu tidak mampu
melakukan perpindahan ke status ego yang lain. Statu ego seseorang
dapat menjadi kaku yang menyebabkan orang tersebut terkurung
dalam status ego tertentu dan menghambat fungsi status ego yang lain.
Gejala ini disebut “eklusi”, yaitu situasi konstan pada status ego
tertentu, Dalam kondisi seperti itu kepribadian individu agak
terganggu (tidak terintegrasi), karena kepribadian yang terintegrasi
dengan baik dapat terjadi jika status ego dewasa dapat menjadi
manajer dari ketiga status ego secara efektif dan sehat.70
d. Konseling Gestalt
Pendiri konseling Gestalt adalah Fedrick Perls. Gestalt berasal
dari kata Jerman yang diterjemahkan dengan bentuk, wujud atau
organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau
70 Ibid., hlm. 75
39
keparipurnaan. Terapi Gestalt Perls ini tidak langsung berasal dari
psikologi Gestalt. Gestalt Perls menerangkan satu-satunya hukum
tentang fungsi manusia yang tetap dan universal, yaitu setiap
organisme cenderung mengarah kepada kebulatan dan
keparipurnaan.71
Asumsi dasar terapi Gestalt adalah setiap individu dapat
menangani sendiri problem hidup mereka secara efektif, terutama
apabila mereka memanfaatkan secara tuntas kesadaran mereka
terhadap apa yang terjadi dalam diri dan sekitarnya. Untuk
mewujudkan kesempurnaan, manusia harus mamapu menjelaskan
sesuatu yang menghambat pencapaian Gestalt, yaitu yang disebut
Perls, yaitu situasi yang belum selesai.72
Kerja yang belum selesai atau perasaan yang tak terungkap
seperti rasa jengkel, amarah, kebencian, kepedihan, keresahan, rasa
bersalah dan duka cita yang menyiksa batin harus diterima dan
merupakan tanggung jawab sendiri bukan orang lain. Dengan
demikian seseorang akan memiliki jalan baru untuk mengambil peran
lebih efektif dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan usaha-
usaha yang lebih konstruktif.73
e. Konseling Behaviouristik
71 Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan …, op. cit, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm.
172 72 Ibid. 73 W.S. Winkel, Bimbingan …, op. cit., hlm. 382
40
Konseling ini pertama kali dikenalkan oleh John D.
Krumbolz, untuk melanjutkan kajian bahwa konseling diharapkan
dapat mengubah perilaku konseli agar mampu mengatasi masalah yang
dihadapi. Konseling Behavioristik berpangkal pada beberapa
keyakinan tentang martabat manusia yang sebagian bersifat falsafah
dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu:
1) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus
atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku
baik atau buruk, tepat atau salah berdasarkan bekal keturunan
atau pembawaan dan bakat interaksi antara keturunan dan
lingkungan, inilah yang nantinya membentuk pola-pola
betingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
2) Manusia mampu untuk merefleksikan tingkah lakunya sendiri,
menangkap apa yang dilakukannya dan mengatur serta
mengontrol perilakunya sendiri.
3) Manusia mampu memperoleh dan membentuk sendiri pola-
pola tingkah laku yang baru melalui proses belajar.
4) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya
pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.74
f. Konseling Rational Emotif
Promotor utama konseling ini adalah Albert Ellis. Corak
konseling ini menekankan kebersamaan dan interaksi antara berfikir
74 Ibid., hlm. 356
41
dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting) dan
berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan suatu perubahan
yang dalam cara berfikir dan menghasilkan perubahan yang berarti
dalam cara berperasaan dan berperilaku.
Konseling Rational Emotif berpangkal dari keyakinan tentang
martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri,
yaitu:
1) Manusia mempunyai keterbatasan yang dapat mereka atasi sampai
taraf tertentu.
2) Perilaku manusia sangat dipengaruhi keturunan, tetapi tergantung
juga dengan pilihan-pilihan yang dibuat sendiri.
3) Hidup secara rasional berarti berfikir, berperasaan dan berperilaku
sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup bisa dicapai secara
efesien dan efektif.
4) Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara
rasional dan tidak rasional. Jika berfikir salah, maka akan
menimbulkan kesukaran yang menggejala dalam alam perasaan
dan cara bertindak.
5) Orang kerap berpegang pada keyakinan-keyakinan yang
sebenarnya kurang masuk akal yang ditanamkan sejak kecil dalam
lingkungan dan kebudayaan atau diciptakannya sendiri.
6) Bila seseorang merasa tidak bahagia dan membunuh semangat
hidup, pada dasarnya bukan bersumber pada kejadian atau
42
pengalaman yang telah berlangsung, tetapi karena tanggapan yang
tidak rasional atas pengalaman tersebut.75
g. Konseling Psikologi Indiviual
Psikologi individual dikembangkan oleh Alfred Adler sebagai
sistem yang komparatif dalam memahami individu dalam kaitannya
dengan lingkungan sosial. Konstruk utama psikologi individual adalah
bahwa perilaku manusia dipandang sebagai suatu kompensasi terhadap
perasaan inferioritas (harga diri kurang). Perasaan inferioritas bukan
suatu pertanda abnormalitas, melainkan justru penyebab segala bentuk
penyempurnaan dalam kehidupan manusia.76 Perasaan ini akan
memotivasi kita untuk mencapai superioritas. Dorongan superioritas
bukanlah berarti lebih tinggi dari orang lain, akan tetapi perjuangan
dan derajat rendah menuju derajat lebih tinggi dari potensi yang
dimiliki.77
Konstruk utama Adler lainnya adalah bahwa manusia pada
dasarnya makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan
orang lain. Ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial, menempatkan
kesejahteraan orang lain di atas kepentingan diri dan mengembangkan
gaya hidup. Manusia merupakan suatu organisme yang berorientasi
pada tujuan. Untuk mencapai itu manusia mengembangkan gaya hidup
yang unik agar hidup lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk sosial
75 Ibid., hlm. 365-367 76 Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta:
Kanisius, 1993, hlm. 247 77 Gerald Corey, Teori …, op. cit., hlm. 198
43
akan menjalani kecemasan apabila konsentrasi mencapai superioritas
pribadi tidak mempertimbangkan kebutuhan orang lain.78
h. Terapi Realitas
Tokoh konseling ini adalah William Glasser. Ide sentral terapi
ini adalah manusia memilih perilakunya sendiri dan harus bertanggung
jawab tidak hanya atas apa yang ia lakukan, tetapi bagaimana berfikir
dan merasakan. Glasser menyebutnya sebagai teori Kontrol perilaku
manusia guna memenuhi kebutuhan psikologis (keluasan, kebebasan
serta kesenangan) dan kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk
bertahan hidup. Teori kontrol ini menjelaskan bahwa pemenuhan
kebutuhan tersebut didorong dari dalam diri; dan sebagai
pengontrolnya adalah otak yang berfugsi untuk menolong kita agar
mendapat apa yang kita inginkan. Manakala kebutuhan kita terhalangi,
maka perilaku yang kita pilih terasa menyakitkan dan kita tidak puas
dengan kehidupan ini. Namun, manakala kita mampu memenuhi
kebutuhan dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kita
mengembangkan suatu identitas yang bercirikan sukses dan
menghargai diri dan perilaku yang kita jalani yang untuk
memenuhinya terasa menyenangkan.79
i. Konseling Psikoanalisa
Tokoh psikoanalisa ini adalah Sigmund Freud. Aliran ini
memandang manusia sebagai makhluk yang deterministik. Freud
78 M. Surya, Teori-Teori …, op. cit., hlm. 53 79 Gerald Corey, Teori …, op. cit., hlm. 523
44
berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan-
kekuatan irrasional, motivasi yang tidak disadari, dorongan biologis
serta dorongan naluri dan peristiwa psiko-seksual tertentu pada masa
enam tahun pertama kehidupan.80 Psikoanalis Freud menganggap
kekuatan terbesar yang menggerakkan manusia adalah libido, yaitu
energi psikis yang paling mendasar yang mencakup eros (dorongan
untuk hidup) dan thanatos sebagai dorongan untuk mati. Freud
memasukkan semua kegiatan yang menimbulkan kesenagan ke dalam
insting hidup. Insting maut (dorongan agresif) yang mendorong
seseorang berperilaku yang tidak disadari untuk mencederai diri
sendiri dan orang lain. Freud menambahkan rasa resah dan cemas
seseorang ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka
(manusia) bisa punah.
Kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu id adalah
komponen biologis, ego adalah komponen psikologis dan superego
adalah komponen sosial.
1) Id
Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil (sumber
utama energi psikis dan tempat kedudukan insting). Id
dikendalikan oleh prinsip kesenangan yang tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan, menghindari penderitaan dan
mendapatkan kesenangan. Id tidak rasional, tidak bermoral dan
80 Ibid., hlm. 139
45
didorong oleh suatu pertimbangan demi terpenuhinya kepuasan
kebutuhan.
2) Ego
Ego adalah aspek psikologis yang timbul karena kebutuhan
organisme untuk berhubungan dengan dunia luar atau kenyataan.
Ego berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan jalan-jalan
yang ditempuh id dalan memenuhi kebutuhan. Ego berfungsi pula
sebagai penengah antara insting dan lingkungan sekelilingnya,
mempersatukan pertentangan antara id dan superego dengan dunia
objektif.
3) Superego
Superego merupakan aspek sosiologis yang mencerminkan
nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat yang ada di dalam
kepribadian individu. Superego mengutamakan kesempurnaan
daripada kesenangan, melihat tindakan itu baik atau buruk, serta
benar atau salah. Fungsinya menghimbau ego agar mengalihkan
tujuan yang realistik menjadi moralistik, merintangi impuls-impuls
id terutama impuls seksual dan agresif.
j. Konseling Trait and factor
Tokoh konseling ini adalah Williamson (Amerika Serikat). Ia
adalah pembantu rektor di bidang akademik universitas Minnesota AS.
Trait and Factor Counseling merupakan corak konseling yang
menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan
46
pemahaman itu dalam memecahkan problem-problem yang dihadapi
terutama yang menyangkut pilihan program studi atau pekerjaan.81 Hal
yang medasar bagi konseling sifat dan faktor adalah individu berusaha
untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan
dirinya sebagai dasar pengembangan potensinya, sehingga tugas
konseling ini adalah membantu individu memperbaiki kekurangan,
ketidakmampuan dan keterbatasan diri dan membantu pertumbuhan
dan integritas kepribadian.
C. Karakteristik dan Problematika Manusia Modern
1. Karakteristik Manusia Modern
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin ‘modo” yang berarti
“just now” atau yang kini. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan
kehidupan yang ditemukan dalam masyarakat barat yang sudah mengalami
industrialisasi dan tingkat tehnologi maju.82 Soerjono Sukanto
berpendapat bahwa modernisasi merupakan proses yang sangat luas dan
kadang-kadang batasanya tak dapat ditetapkan secara mutlak.83 Pendapat
ini mengesahkan adanya gambaran yang variatif mengenai karakteristik
kehidupan dan manusia modern. Berikut beberapa pendapat tokoh
mengenai kehidupan dan modern :
81 WS. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia,
1991, hlm. 347 82 Arfan Gaffar , Modern dan Islam: Dua kutub yang Bertentangan dalam Al qur’an dan
Tantangan Modernitas, Ahmad Syafi’i Ma’arif (ed), Yogyakarta : SIPRESS, 1993.hlm. 83 Soerjono sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,hlm
47
a. Ali Yafie
Peradaban modern ditandai oleh :
1) Kemajuan dibidang tehnologi tinggi dan canggih
2) Kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan
3) Kebebasan berpikir dan bertindak
4) Kehidupan yang lebih individualistik dan materialistik
5) Kecepatan komunikasi dan transformasi
6) Keluasan jaringan informasi
7) Pelecehan nilai-nilai dan pendangkalan peran agama yang
bermuara pada “ Agama adalah urusan pribadi masing-masing”.84
b. Amin Rais
Istilah modern sering ditandai dengan :
1) Ledakan informasi tanpa batas, hal ini terjadi karenaa tehnologi
canggih, komunikasi di bagian dunia manapaun dapat kita ketahui
dengan mudah.
2) Semakin longgarnya nilai-nilai moral bagi mayarakat modern .
3) Nilai-nilai moral dalam arti akhlak makin longgar, sehingga batas
antara baik dan buruk semakin kabur.
4) Semakin tumpulnya perikemanusian
5) Mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
6) Kecenderungan hidup yang semakin materialis.85
84 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Agama Kemanusiaan, Yogyakarta
:LKPSM, 1997. hlm.65 85 Amin Rais, Tauhid Sosial Mengempur Kesenjangan, Bandung : Mizan, 1998. hlm. 99-
100
48
c. Affan Gaffar yang dikutip dari Alex Inkeles dan David Smith,
mengemukakan ciri-ciri individu modern sebagai berikut :
1) Oppenes to new experience. Keterbukaan untuk menerima hal-hal
baru.
2) The Readiness for social change. seseorang yang modern selalu
siap menerima perubahan sosial.
3) The realsm of growth of opinion. seseorang yang modern harus
memiliki kemampuan untuk membentuk dan menyatakan
pendapatnya menyangkut masalah yang ada disekitarnya
4) The need of information.. Manusian modern selalu berkeinginan
untuk mengikuti perkembangan lingkungan sehingga selalu
membutuhkan informasi.
5) Oriented toword future and punctuality. Manusia modern
berorientasi pada masa depan.
6) Efficacy. Artinya manusia modern percya bahwa ia mampu
mengontrol lingkungan bukaaan sebaliknya.
7) Planning. Manusia modern memiliki perencanaan yang jelas baik
masalah pribadi atau kemasyarakatan.
8) The Valving of tecnical skill kemampuan dan tehnik
merupakamsesuatu yang sangat bernilai bagi manusia modern.
9) Aspirations, educational dan acuational manusia modern memilki
aspirasi yang tinggi dan percaya bahwa pendidikan merupakan
kebutuhan mutlak dalam kehidupan.
49
10) Awareness and respect for the dignity of other Dia harus
menghargai orang lain karena setiap orang memilki kemulian dan
kebajikan seperti yang ia miliki.
11) Understanding production. Manusia modern memahami hal-hal
yang berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk menggunkan
barang dan jasa yang dibutuhkan.
12) Optimism. Manusia modern selalu bersikap optimisme terhadap
tantangan yang dihadapi.86
d. Zakiah Daradjat, menyatakan indikasi modern adalah :
1) Meningkatnya kebutuhan hidup manusia.
Kebutuhan manusia semakin meningkat tidak hanya sebatas
kebutuhan primer tetapi juga kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan
akan prestise.
2) Individualisme dan egoisme
Meningkatnya kebutuhan hidup mempengaruhi jalan hidup yang
ditempuh manusia, maka berkembanglah rasa asing dan terbebas
dari ikatan sosial. Hubungan dalam masyarakat modern tidak lagi
atas rasa persaudaraan tetapi kepentingan, akibatnya akan
merasakan kesepian meskipun ditengah-tengah keramaian.
3) Persaingan dalam hidup
Kebutuhan-kebutuhan yang meningkat dan mementingkan diri
sendiri membawa akibat persaingan hidup yang tidak sehat dan
86 Afan Gaffar, Modernitas dan Islam……….,Opcit .hlm.107
50
merugikan orang lain. Persaingan ini justru melahirkan
permusuhan dan perpecahan.
4) Keadaan yang tidak stabil
Akibat lebih lanjut dari persaingan hidup adalah kondisi yang tidak
stabil karena tiap orang cenderung mengejar kepentingan pribadi
tanpa mempedulikan kepentingan orang lain.87
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kehidupan
modern ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi,
masyarakatnya cenderung indidualistik,materialistik dan menurunya minat
manusianya terhadap agama.
2. Problematika Manusia Modern
Manusia modern yang lebih maju dari masyarakat tradisional idealnya mampu
berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai tehnologi untuk
meningkatkan kualitas kehidupanya. Dengan Kecerdasannya manusia modern
semestinya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia
yang kualitas kemanusiannya lebih rendah dari pada kemajuan berpikir dan
tehnologi yang dicapai. Akibat dari ketidakseimbangan ini, mereka sangat
mudah terserang gangguan –gangguan kejiwaan seperti:
87 Zakiah Daradjat, Peranan agama dalam kesehatan mental.Jakrta: Haji Mmasagung
,1993. hlm.10-13
51
a. Keterasingan ( Alienasi )
Manusia modern tidak jarang mengalami keterasingan terhadap dirinya
sendiri. Mereka sering kali tidak mampu memahami pribadi dan
keinginan hidupnya sendiri. Hal ini disebabkan karena 1). Perubahan
sosial yang berlangsung cepat, 2) Hubungan antar manusia sudah
menjadi gersang, 3) Lembaga tradisional sudah berubah menjadi
lembaga rasional, 4) Masyarakat yang homogen sudah berubah
menjadi heterogen dan 5) Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas
sosial.88
b. Stress
Stress adalah reaksi atau tanggapan tubuh terhadap berbagai tuntutan
atau beban atasnya yang bersifat non spesifik. Manakala tuntutan
terhadap tubuh itu berlebihan (melampaui kemampuan seseorang)
disebut distres. Stess dalam kehidupan merupakan sesuatu yang tak
bisa dihindari. Masalahnya adalah bagaimana manusia hidup dengan
stess tanpa distres. Setiap keadaan atau peristiwa yang menimbulkan
perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa
harus mengadakan adaptasi, maka inilah yang biasa disebut stresor
psikososial ( sumber stres ). Pada umumnya jenis stresor psikososial
adalah :
1) Perkawinan
88 Ahmad Mubarok, Relevansi Tasawuf dengan Problem Kejiwan Manusia Modern,
dalam Manusia Modern mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif, (ed) Jakarta :Hikmah.hlm. 169
52
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber yang
dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perceraian dan
sebagainya. Stresor ini dapat menyebabkan seseorang mengalami
depresi dan kecemasan.
2) Problem orang tua
Problem yang dihadapi orang tua seperti tidak memiliki anak,
kenakalan anak dan masalah keluarga yang lain dapat menjadi
sumber stres bagi seseorang.
3) Hubungan interpersonal
Hubungan ini bisa menjadi stresor jika terjadi konlik antar pihak.
4) Pekerjaan
Pekerjaan yang terlalu banyak sampai kehilangan pekerjaan dapat
membuat seseorang terkena stres.
5) Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan yang buruk dapat berpengaruh besar bagi
kesehatan dan kepribadian seseorang. Lingkungan hidup bisa
menjadi stesor berat bagi masyarakat desa yang berurbanisasi,
karena belum memiliki kesiapan mental untuk menghadapi
53
godaan-godaan dan kesulitan-kesulitan hidup di kota, sehingga
mereka mudah mengalami ketegangan jiwa.89
6) Keuangan
Kondisi ekonomi yang tidak sehat seperti banyak hutang dan
kebangkrutan usaha dapat menjadi pemicu seseorang terkena stres.
7) Hukum
Stres dapat disebabkan karena terbentur pada standar-standar dan
norma-norma sosial tertentu, sehingga orang bisa merasa tertekan
dengan keadaan tersebut.
8) Perkembangan
Perkembangan fisik maupun mental seseorang pada masa remaja,
dewasa dan usia lanjut dapat menyebabkan depresi dan kecemasan
seseorang, terutama bagi mereka yang memasuki usia lanjut.
9) Penyakit fisik
Stres juga timbul akibat penyakit fisik seperti kanker, jantung dan
cacat akibat kecelakaan.
10) Faktor keluarga
89 Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung:
Mandar Maju, 1989, hlm. 34
54
Keluarga memberikan pengaruh besar pada kepribadian dan
kesehatan seseorang, sehingga apabila kondisi keluarga tidak
harmonis, maka dapat menyebabkan stres bagi individu.
e. Depresi
Depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (
afektif) yang ditandai dengan :
1) Perasaan murung, sedih , gairah hidup menurun dan tidak
semangat.
2) Perasaan berdosa, bersalah dan penyesalan.
3) Konsentrasi daaan daya ingat menurun
4) Nafsu makan dan berat badan menurun
5) Gangguan tidur (insomania atau hipersomania) dam mimpi-mimpi
buruk.
6) Hilangnya minat semangat , kreativitas dan produktivitas menurun.
7) Pikiran -pikiran kematian dan bunuh diri.90
Salah satu jenis depresi yang sering dialami
seseorang adalah Post Power Syndrome (Sindrom Purna
Kuasa ). Dunia modern yang penuh persaingan hidup
menuntut manusia untuk bekerja keras, karena selain
mendapatkan ganjaran materiil berupa uang dan fasilitas
lainnya bekerja juga memberikan penghargaan, status
sosial dan prestise yang sangat berarti bagi kehidupan
90 Dadang Hawari, Al-Qur’an dan Ilmu…, op. cit., hlm. 54-55
55
seseorang. Kebiasaan menikmati kesenangan
tersebutmenyebabkan orang mudah terkena depresi bila
kehilangan sesuatu yang dimiliki dan menyebabkan
ketidakseimbangan mental emosional. 91
c. Frustasi
Kehidupan modern yang demikian kompetitif
menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran,
tenaga dan kemampuannya. Mereka terus bekerja dan
bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang
dicapai tidak pernah disyukurinya dan apabila mereka
gagal, mudah putus asa dan kehilangan pegangan.92 Salah
satu keadaan di mana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi
dan tujuan tidak bisa tercapai sehingga orang kecewa dan
mengalami halangan dalam usahanya untuk mencapai
tujuan, maka frustasi dapat mengakibatkan berbagai bentuk
tingkah laku aktif. Misalnya, seseorang dapat mengamuk
dan menghancurkan orang lain, merusak barang atau
menyebabkan diorganisasi pada struktur kepribadian
sendiri. Namun sebaliknya frustasi dapat memunculkan
satu perjuangan dan usaha baru yang menguntungkan
kehidupan batin seseorang.93
91 Kartini Kartono,Higiene Mental….,Opcit.74 92 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th., hlm. 292 93 Kartini Kartono, Hygiene Mental …, op. cit., hlm. 50
56
Manusia modern yang telah kehilangan makna
hidup dan pegangan hidupnya, akan cenderung
melampiaskan kekecewaan dalam reaksi negatif. Reaksi-
reaksi frustasi negatif yang merupakan upaya pembelaan
diri yang negatif antara lain:
1) Agresi adalah kemarahan yang meluap-luap dan melakukan
serangan secara kasar dengan jalan tidak wajar. Kemarahan-
kemarahan semacam ini pasti menganggu fungsi intelegensi,
sehingga harga diri orang tersebut bisa merosot akibat tingkah laku
agresif berlebihan tadi.
2) Rasionalisasi adalah proses pembenaran kelakuan sendiri dengan
mengemukakan alasan yang masuk akal atau yang bisa diterima
secara sosial untuk menggantikan alasan yang sesungguhnya. Dia
menganggap dirinya paling benar dan menganggap orang lain
biang keladi kegagalan yang dialami.
3) Narsism adalah cinta diri yang ekstrim, paham menganggap diri
sangat superior dan penting, sehingga ia tidak perlu mengetahui
dan memikirkan orang lain.
4) Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total dan tidak
mau berhubungan lagi dengan dunia luar. Keasyikan ekstrim
dengan pikiran dan fantasiya sendiri. Individu yang bersangkutan
merasa dirinya makhluk paling baik dan menganggap orang lain
buruk, munafik, palsu dan patut dicurigai.
57
d. Kecemasan
Stres, kecemasan dan depresi mempunyai hubungan serta.
Seseorang yang mengalami sters dapat diartikan orang itu
memperlihatkan keluhan-keluhan fisik, depresi dan kecemasan.
Sementara depresi murni jarang terjadi, tetapi selalu diikuti dengan
komponen kecemasan yang menyertainya.94 Gejala kecemasan adalah
sebagai berikut:
1) Takut khawatir
2) Firasat buruk
3) Takut akan pikiranya sendiri
4) Mudah tersinggung
5) Tegang, tidak bisa istirahat dengan tenang
6) Gelisah, mudah terkejut
7) Gangguan tidur dengan mimpi-mimpi yang menegangkan
8) Ganguan konsentrasi dan daya ingat
9) Jantung berdaear-debar, dada sesak, nafas pendek
10) Ganguan pencernaan
11) Nyeri otot, pegal linu, kaku, perasaan seperti ditusuk-tusuk, dan
badan panas dingin
12) Gangguan seksual95
Perasaan cemas yang diderita manusia modern, bersumber dari
hilangnya makna hidup (the meaning of life) yang merupakan motivasi
94 op. cit., hlm. 55 95 Dadang Hawari, op. cit., hlm. 55
58
utama dalam menjalani hidup ini. Kecenderungan kehidupan yang
dijalani berdasarkan tuntutan orang lain (trend), bukan dari diri sendiri.
Kehidupan yang demikian menjadikan seseorang dilanda kecemasan
karena ada konflik dalam diri. Kecemasan menurut Freud berkembang
dari konflik antara Id, Ego dan Super Ego yang memaksa seseorang
melakukan sesuatu. Freud membagi kecemasan dalam tiga bentuk,
yaitu kecemasan realita, kecemasan neurotik dan kecemasan moral.
Kecemasan realitas adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari
dunia luar. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jika insting akan ke
luar dari jalur dan menyebabkan perbuatan yang melanggar hukum.
Sementara kecemasan moral adalah perasaan takut terhadap hati
nuraninya sendiri yang menyebabkan seseorang merasa bersalah jika
bertentangan dengan kode moral.96
Menurut el Taftazani Kecemasan yang melanda seseorang
disebabkan karena tiga faktor yaitu: a). Hilangnya keimanan, b).
Menyembah Tuhan selain allah dan c). Penyimpangan dari nilai-nilai
moral.97
e. Neurosis
Kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan dalam
bidang transportasi komunikasi juga arus urbanisasi
mengakibatkan disintegrasi personal yang lebih parah dari
96 Gerald Corey, op. cit., hlm. 143 97 Abu el-wafa el taftazani , Peranan Sufisme dalam masyarakat modern, dalam
Agama dalam pergumulan masyarakat kontemporer, Mukti ali dkk, Yogyakarta : Tiara Wacana,1998. hlm.293
59
sekedar stres, depresi, tetapi neurosis. Neurosis adalah
bentuk gangguan fungsional pada sistem syaraf, mencakup
pula disintegrasi sebagian kepribadian. Berkurangnya
berkurangnya kontak antara pribadi dan lingkungan
sekitarnya. Gangguan ini ditandai dengan:
1) Penglihatan diri yang tidak lengkap terhadap kesulitan pribadi.
2) Memendam banyak konflik.
3) Reaksi-reaksi kecemasan.
4) Lemahnya sebagian dari struktur kepribadian.
5) Sering dihinggapi fobia, gangguan pencernaan dan tingkah laku
obsesif-kompulsif.
Sebab-sebab neurosis selain dari faktor internal adalah pribadi
yang sangat labil, tidak imbang dan kemauannya sangat lemah. Serta
frustasi dan konflik-konflik emosional. Gangguan-gangguan ini juga
disebabkan karena tekanan-tekanan sosial yang berat dan tekanan
kultural yang sangat kuat yang menimbulkan kecemasan dan
ketegangan dalam batin yang kronis.
f. Psikosis
Cultural lag yaitu kegagalan lembaga-lembaga sosial mengejar
perkembangan budaya ilmu dan budaya materiil, sehingga ada
ketidakcocokan antara budaya materiil dengan budaya spiritual, sosial
dan ekonomi pada hidup manusia di era modern ini. Bukanlah hal
mustahil jika seseorang mengalami gangguan mental yang lebih parah.
60
Psikosis merupakan gangguan mental parah yang ditandai dengan
disintegrasi kepribadian, maladjusment sosial yang berat, orangnya
tidak mampu mengadakan relasi sosial dengan dunia luar dan terdapat
gangguan pada karakter dan fungsi intelektual. Seseorang yang
menderita psikosis sering mengalami ketakutan hebat, mengamuk dan
juga melakukan usaha-usaha bunuh diri. Dalam kehidupan sehari-hari
kita sering menyebut penderita psikosis ini sebagai orang gila.
61
BAB III SOLUSI TASAWUF AMIN SYUKUR ATAS PROBLEM
MANUSIA MODERN
A. Profil Amin Syukur
1. Biografi
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. lahir di Gresik pada tanggal
17 Juni 1952. Ia bertempat tinggal di BPI Blok S.18 Ngaliyan Semarang.
Sehari-harinya sejak tahun 1980 beraktivitas sebagai tenaga pengajar di
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Pria yang pernah
menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III (1993-1997) dan menjadi
Dekan Fakultas Ushuluddin ini telah mempersunting wanita dari Kediri,
Dra. Fatimah Utsman, M.Si. dan dikarunia dua orang putri, Ratih Rizki
Nirwana dan Nugraheni Itsnal Muna.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh ialah madrasah
ibtidaiyah Pondok Pesantren Ihyaul Ulum di Dukun Gresik. Sedangkan
SMP dan SMA ditempuh di Pondok Pesantren Darul Ulum dan Sarjana
Muda Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum Jombang. S-1
ditempuh di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Sedangkan
S-2 dan S-3 nya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang ia menjadi
Guru Besar Tasawuf di IAIN Walisongo yang dikukuhkan pada tanggal
16 Agustus 1996.
Selepas dari jabatan Dekan Ushuluddin tahun 2001, ia aktif di
LEMBKOTA (Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf) yang
62
dirintisnya bersama beberapa kawan di IAIN Walisongo pada bulan Juli
tahun 2000. Menurut Amin, lembaga tersebut dibentuk berawal dari
kepedulian terhadap kondisi bangsa Indonesia yang tidak karuan, porak
poranda dan penuh dengan permainan elit politik,98 sehingga tidak
mengherankan jika kegiatan LEMBKOTA yang sering dilakukan selama
ini lebih banyak diikuti oleh kalangan elit masyarakat.
Ketertarikan Amin untuk menggeluti dunia tasawuf berawal dari
kecintaannya terhadap “thariqat” yang cenderung menganut ajaran-ajaran
yang aneh. Karena ia berfikir bahwa thariqat sama dengan tasawuf.
Sebuah pengalaman pribadi yang kemudian menjadi motivasi utama dalam
keseriusannya menggeluti dunia tasawuf adalah operasi otak dan kanker,
sakit yang diderita sekaligus pengalaman amat berharga dalam hidupnya.
Karena sebuah mu’jizat Allah kini penyakit itu telah sembuh. Selain itu
keinginan untuk mencari hidup lebih bermakna dari sekedar mencari
makan dan mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya telah
membuat ia semakin eksis dan produktif menekuni dunia tasawuf modern
ini.99
2. Karya-karya.
a. Karya yang telah diterbitkan
1) Pengantar Ilmu Tauhid, Bangun Desa Semarang, 1987
2) Pengantar Studi Akhlak, Duta Grafika Semarang, 1988
3) Pengantar Studi Islam, Pustaka Pelajar Yoyakarta, 1996
98 Syahruddin el-Fikri, Mengubah Krisis dengan Bertasawuf, Kalam Aneka Republika, 3 Desember 2003, kolom 3, hlm. 4
99 Wawancara, tanggal 25 Pebruari 2003
63
4) Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1996
5) Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Abad 21,
Pustaka Pelajar, 1998
6) Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka
Pelajar, 2003
7) Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf al-
Ghazali, ditulis bersama Masyharuddin, Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2001
8) Masa Depan Tasawuf dalam Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2001
b. Penelitian
1) Pemikiran dan Penguasaan Tanah, penelitian individual 1998
2) Sumbangan al-Hallaj terhadap Perkembangan Pemikiran
Tasawuf, tesis 1990
3) Corak Pemikiran Tafsir al-Qur’an pada Abad XX; Suatu Kajian
Metodologis, (penelitian kolektif) 1992
4) Pemikiran Ulama Sufi Abad XX tentang Zuhud, penelitian kolektif
1993
5) Rasionalisme dalam Tasawuf, penelitian individual 1996
6) Tanggung Jawab Sosial Tasawuf Abad XX, penelitian individual
1996
7) Aplikasi Zuhud dalam Sorotan al-Qur’an, Desertasi Individual
1996
64
c. Organisasi
1) Dewan Pertimbangan DPD I Tarbiyah Islamiyah Jateng (1995-
2000)
2) Pemimpin redaksi jurnal Theologia Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang (1990 - )
3) Sekretaris Walisongo Press (1993)
4) Wakil DPD I MD I Jateng 1994
5) Wakil Ketua ICMI Orwil Jateng 1995
6) Ketua Komisi Pendidikan MUI Jateng 1995
B. Solusi Amin Syukur Atas Problem Manusia Modern
1. Dzikir
a. Pengertian Dzikir
Secara etimologi, dzikir berasal dari kata dzakara artinya
mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran,
mengerti atau mengenal dan ingatan.100 Dalam psikologi, ingatan
sebagai salah satu fungsi intelektual manusia mempunyai arti penting
yaitu suatu daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan
memproduksi kembali tanggapan-tanggapan atau pengertian-
pengartian kita.101
Secara terminologi, dzikir yang dimaksud adalah sebagaimana
yang dilakukan para sufi dalam bentuk renungan sambil duduk
100 M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa; Solusi Tasawuf Atas Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 16
101 Agus Suyanto, Psikologi Umum, Jakarta: Aksara Baru, 1979, hlm. 49
65
mengucap lafadh-lafadh Allah.102 Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa
dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingat yang ditampilkan dengan
komat kamit lidah sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu dzikir
bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan kreatif.
Al-Qur’an menjelaskan dzikir berarti membangkitkan daya
ingat (al Ra’du: 28), dzikir berarti mengambil pelajaran (an-Nahl: 90)
dan meneliti proses alam (Ali Imran: 190-191). Dari pengertian dzikir
yang terdapat dalam al-Qur’an, maka dzikir membentuk akselerasi
mulai dari renungan, sikap, aktualisasi sampai pada kegiatan meneliti
alam. Semua itu menghendaki terlibatnya dzikir tanpa boleh alpa
sedikitpun dan merupakan jaminan ketenangan dalam diri.103
b. Cara Dzikir
Sukamto MM., membagi dzikir dalam empat jenis yaitu dzikir
membangkitkan daya ingat, dzikir kepada hukum-hukum Allah, dzikir
mengambil pelajaran atau peringatan dan dzikir meneliti proses alam.
c. hjgjh
2. Tanggung jawab tasawuf atas problem sosial
Peranan agama dalam zaman apapun adalah penting, karena sudah
menjadi fitrah bagi manusia untuk selalu membutuhkan agama. Dalam
konteks kehidupan modern, peranan agama tidak sebatas pada formalisme
102 M. Afif Anshori, op. cit., hlm. 17 103 Amin Syukur, Dzikir dan Penguatan Hati, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata
Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 31-32
66
dan legalisme, tetapi transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.
Peranan agama dalam konteks ini adalah sebagai : 1) penyeimbang ruhani
sebagai akibat dari kemajuan hidup disegala bidang di zaman modern. 2)
Salah satu peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh
setiap orang. Agama memiliki potensi esensial kapan saja dan di mana saja
yaitu menciptakan rasa keterhubungan dengan yang diyakini (Tuhan)
dalam bentuk pengalaman ruhaniah yang mencerahkan batin.104
Senada dengan peranan agama di atas, Zakiah Daradjat
menyebutkan fungsi agama ada tiga, yaitu:
a. Memberikan bimbingan hidup
b. Menolong dalam menghadapi kesukaran
c. Menentramkan batin105
Sekarang ini, peranan agama dituntut untuk dapat memecahkan
krisis kemanusiaan. Apakah agama masih relevan sebagai kompas
kehidupan sangat tergantung dari bagaimana agama mampu memberikan
jawaban yang cukup efektif, tentunya hal ini akan memperkokoh
keberadaan agama di muka bumi.106 Islam dengan ajaran tasawufnya,
selalu berupaya untuk menjawab permasalahan tantangan zaman. Pada
awalnya tasawuf pada awal perkembangannya lebih menekankan pada
dimensi Theo-Filosofis membicarakan masalah ketuhanan dan bagaimana
104 Moh. Damami, Tasawuf Positif; Telaah Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Pustaka Baru,
2000, hlm. 218-219 105 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Masagung,
1993, hlm. 56 106 Amin Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,
1998, hl. 102
67
hubungan, penghayatan dan menyatu dengan Tuhan. Kajian tasawuf
kurang sekali membicarakan bagaimana membina moral umat, menarik
diri dari keramaian dunia dan menjauhi kekuasaan, maka pada abad XXI
ini, tasawuf dituntut berbeda. Tasawuf dituntut lebih humanis, empiris dan
fungsional (penghayatan terhadap ajaran Islam, buka pada Tuhan), bukan
reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah dan sikap hidup menusia di
dunia ini, baik berupa moral, spiritual, ekonomi dan sosial.107
Ajaran tasawuf (zuhud) dalam Islam sering dianggap menjadi
penyebab kemunduran umat Islam. Karena ajarannya mementingkan
perhatian harus terpusat kepada Tuhan dan apa yang ada dibalik alam
materi. Hal ini pada akhirnya membawa keadaan umat yang kurang
mementingkan masalah kemasyarakatan.108 Pernyataan tersebut diperkuat
dengan kenyataan sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena
ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang
cenderung formal dan legal. Di samping juga ketimpangan politik, moral
dan ekonomi umat Islam, khususnya karena penguasa pada saat itu.
Dalam kondisi yang demikian, tasawuf tampil memberi solusi terhadap
formalise dan legalisme dengan spiritualitas pembenahan dan transformasi
tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap
politik penguasa dan ekonomi yang menimbulkan kefoya-foyaan materiil
dengan menampakkan sikap isolasi dari kehidupan dunia.109
107 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Abad 21,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 109 108 Harun Nasution, op. cit., hlm. 191 109 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 110
68
Para pelaku tasawuf seperti di atas terkesan egois, hanya
mementingkan spiritual saja. Padahal penekanan salah satu aspek dapat
menimbulkan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium (tawazun)
dalam Islam.110 Menurut Amin, pada manusia sekarang tanggung jawab
sosial lebih berat dari pada masa lalu, karena situasi dan kondisinya lebih
kompleks, sehingga refleksinya berbeda. Masyarakat modern sekarang
ternyata menyimpang problem hidup yang sulit dipecahkan.
Rasionalisme, sekulerisme dan materialisme ternyata tidak menambah
kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi justru menimbulkan
kegelisahan hidup.111 Tanggung jawab tasawuf dalam era modern ini
dapat diwujudkan dalam bidang-bidang berikut:
a. Tanggung jawab spiritual
Kecenderungan manusia modern untuk mengagung-agungkan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan mereka tidak
mempercayai dan memunafikkan ajaran yang bersumber dari kitab
suci maupun tradisi mistik yang menyatakan manusia itu memiliki
unsur spiritual. Ditambah lagi dengan kehidupan yang selama ini
dijalani tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia akan nilai-
nilai transendental satu kebutuhan pokok yang hanya bisa digali dari
sumber ilahi. Pada pola hidup demikian melahirkan manusia yang
pincang, hanya berorientasi pada masalah kekinian dan segala
perubahan yang dilakukan tanpa dilandasi pegangan hidup serta tujuan
110 H. Msyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf dalam tasawuf dan Krisis, Amin Syukur dkk., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 97
111 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 112
69
hidup yang kuat justru melahirkan krisis.112 Sehingga wajar jika pada
akhirnya manusia modern dilanda krisis spiritual yang melahirkan
gangguan psikologis, seperti merasa tidak aman dan terancam oleh
kemajuan yang dicapai.
Dalam pandangan tasawuf menyelesaikan dan perbaikan
keadaan tersebut, tidak dapat dicapai secara optimal jika hanya dicari
dalam kehidupan modern, namun dengan penghayatan terhadap ajaran
agamanya, sehingga manusia mampu mengenal diri sendiri dan
akhirnya mengenal Tuhan. Hal ini, tasawuf (spiritual Islam) dituntut
untuk dapat mengugah aktualisasi diri dalam menghadapi hidup
duniawi yang meski dijalani dan mampu mengembalikan jati diri
manusia sebagai umat pilihan Allah SWT.113
b. Tanggung jawab etik
Kehidupan modern juga diwarnai dengan dekadensi moral,
apalagi banyak manusia modern yang mengikuti moralitas relatif, etika
situasional. Mereka berpendirian bahwa ukuran baik buruk tidak bisa
dibakukan, karena ukuran tersebut harus mengikuti irama perjalanan
manusia modern, cita rasa serta persepsi maupun keinginan-keinginan
manusia modern.114 Akibat kaburnya tatana sosial etika adalah
tumbuhnya perilaku-perilaku menyimpang, seperti karupsi, kolusi dan
pembunuhan. Selain manusia sering menampakan sifat-sifat kurang
112 Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam
Tasawuf dan Krisis, Amin Sukur dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 22 113 Moh. Damami, Tasawuf Positif …, op. cit., hlm. 222-223 114 Amin Rais, Tauhid Sosial ..., op. cit., hlm. 99-100
70
terpuji dalam menghadapi materi yang gemerlap, seperti al-hirsh, yaitu
keinginan berlebihan terhadap materi, riya sifat suka memamerkan
harta/kebaikan diri dan berbagai penyakit hati lainnya.
Tasawuf yang merupakan moralitas Islam, memiliki tanggung
jawab dalam memperbaiki moral manusia. Menurut Nurcholis Madjid,
etika (moral) tidak hanya masalah kesopanan semata, melainkan
konsep yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup
baik dan buruk. Ajaran etis mencakup pandangan dunia dan pandangan
hidup.115 Dasar pandangan etis kaum beriman adalah rabbaniyyah atau
bertakwa yang merupakan fondasi dari sudut pandang sistem
keagamaan. Implikasi ke-Tuhanan Yang Maha Esa itu dapat
didefinisikan dan menghasilkan 19 nilai-nilai yang akan terintegrasi
dalam kehidupan seseorang.116
Dalam tradisi tasawuf, menghilangkan sifat-sifat buruk
manusia dilakukan dengan mengadaklan penghayatan atas keimanan
dan ibadahya, latihan sungguh-sungguh dan senantiasa melakukan
muhasabah (instropeksi diri). Riyadhah dan mujahadah ini sebagai
sarana melawan hawa nafsunya. Cara pembinaan nafsu melalui tiga
tahapan, yaitu: pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat
tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat
terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar ilahi (tajalli) dalam tahap
115 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 466 116 Implikasi etika yang berlandaskan rabbaniyyah menghasilkan 19 nilai-nilai. Lihat,
Ibid., hlm. 476-480
71
ini hati seseorang mencapai ketenangan dan mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang tidak.117
c. Tanggung jawab politik
Tanggung jawab tasawuf juga telah memasuki ranah politik.
Hal ini bisa disaksikan dalam sejarah, yaitui aktivitas thariqat Sanusiah
yang mampu memukul mundur penjajah Prancis di Aljazair dan
penjajah Inggris di Libia. Fazlur Rahman mengatakan bahwa thariqat
ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan perjuangan
hidup, baik sosial, politik maupun ekonomi. Corak geraknnya lebih
purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral
sosial dan keagamaan. Fazlur Rahman menamakannya Neo-Sufisme.118
Dalam konteks Indonesia yang sekarang sedang mengalami
krisis multidimensional, maka menurut Amin bahwa tasawuf bisa
dijadikan alat introspeksi diri bagai para elit politik, karena krisis-krisis
bangsa ini lebih banyak dikarenakan kelompok-kelompok elit,
kalangan eksekutif dan legislatif (pelaksana pemerintahan). Kalangan
ini mempunyai posisi yang strategis dalam menyakinkan negara dan
melakukan sebuah perubahan di dalamnya. Dengan tasawuf, seseorang
akan lebih memahami dan menghayati ajaran agama dan memberikan
nilai dalam ibadah. Hal ini akan terefleksi dalam perilaku dan aktivitas
atau peran sosial yang dimiliki, sehingga apapun pekerjaan dan
profesinya, maka seseorang akan tetap berpegang pada ajaran agama.
117 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 115-116 118 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhamad, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 197
72
d. Tanggung jawab pluralisme agama
Pluralisme dalam masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang
wajar (sunnatullah), kemajemukan akan melahirkan keunikan. Kiranya
diperlukan perilaku yang unik pula. Pluralisme dalam berbagai bidang
apapun, baik ras, suku, watak dan sebagainya sangat diperlukan sikap
toleran, jujur, terbuka, wajar dan adil.119 Kebutuhan mengedepankan
pluralisme sangat dibutuhkan, ternasuk di Indonesia, yaitu kesiapan
untuk menerima dan menghargai kenyataan pluralitas merupakan satu-
satunya jalan untuk mengubah aspek negatif heterogenitas menjadi
aset positif. Apalagi orang Islam pada abad modern, seharusnya mudah
menemukan sikap demokratis untuk menerima pluralisme, karena
Islam menurut doktrinnya telah mendorong hal ini, bahkan sejak
kelahirannya pada masa Nabi.120
Al-Qur’an menyebutkan bahwa kebenaran universal yang
tunggal bagi semua ajaran agama adalah prinsip tauhid, yaitu
pengesaan Tuhan dan kesatuan umat (QS. al-Anbiya: 92), dan
perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat kebanggaan dan sikap
menolak (QS. Ali Imran: 83-85). Konsep tauhid ini mempunyai
implikasi praktis dalam bermuamalah, perbedaan-perbedaan bukan
sesuatu yang harus dipertentangkan, namun harus diambil makna
positif dan di dalam al-Qur’an agar dijadikan alat pembeda dan justru
119 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 2-3, hlm. 4 120 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 118
73
akan mudah mengenal satu dengan yang lain (QS. Al-Hujarat: 13).121
Hal ini menunjukkan bahwa Islam (melalui tasawuf) menyediakan dan
mengembangkan basis etika yang relevan bagi masalah-masalah
modern.
e. Tanggung jawab intelektual
Modernisasi telah melahirkan IPTEK yang menuntut
pengembangan agar mampu berdialog dengan kemajuan yang ada.
pengetahuan yang kita miliki harus diimbangi dengan jiwa keagamaan
yang kuat, karena jika tidak, masyarakat yang telah menciptakan
tingkat kemakmuran materi dengan perangkat teknologi yang serba
mekanis dan otomat akan dihinggapi rasa cemas akibat kemewahan
hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan
teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiannya tereduksi
dan terjebak pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat
tidak humanis.
Secara epistemologi, tasawuf yang mengembangkan metode
intuisi dijadikan alternatif metode rasional dan empirik yang
berkembang. Intuisi mempunyai arah yang berbeda dengan akal dan
indera yang lebih berkompeten dalam menghadapi objek materi dan
kuantitatif. Sementara intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran
121 Ibid., hlm. 119
74
diri manusia dan menuntut kita kepada kehidupan dalam batin. Jika
intuisi dapat meluas, maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal
yang vital. Jadi dengan intuisi kita dapat menemukan elan vital atau
dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung
bukan dengan intelek.122
Akal dan intuisi (tasawuf) memiliki hubungan erat, sehingga
menurut al-Ghazali akal mempunyai dua fungsi yang dibutuhkan
tasawuf. Pertama akal sebagai prasarana bagi tasawuf yang berfungsi
untuk:
1. Memperoleh pengetahuan yang benar dan dibutuhkan tasawuf.
2. Mengarahkan latihan-latihan batin (riyadhah) yang benar bagi
tasawuf.
3. Berfikir benar dan lurus sebagai persiapan memperoleh
pengalaman dan pengetahuan sufistik pada tasawuf.
Kedua, akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi
untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-
pengalaman sufistik serta perluasannya.123 Melalui tasawuf seseorang
disadarkan bahwa sumber segala yang ada adalah Tuhan, sehingga ia
mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan
moral atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan, sehingga tidak terjadi
122 Harold H Titot dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasydi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984, hlm. 205 123 Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 84
75
dengan apa yang diistilahkan Zakiah Daradjat, yaitu “Pengetahuan
tanpa agama membahayakan”.
Berdasarkan tanggung jawab tasawuf di era sekarang, maka
langkah-langkah yang dilakukan Amin Syukur dalam membantu
menyelesaikan masalah seseorang adalah sebagai berikut:
a. Hal pertama yang dilakukan adalah mengetahui penyebab masalah
seseorang. Sebagian besar manusia mengalami kecemasan,
menghadapi masa depan (masa tuanya), keinginan untuk mencapai
jabatan tertentu dan takut mati.
b. Setelah mengetahui penyebabnya, langkah terapi yang diambil adalah
penanaman aqidah (tauhid, yaitu membangun iman seseorang sebagai
fondasi utama, sehingga ia mempunyai kesadaran untuk senantiasa
berdialog dan berkomunikasi dengan Tuhan).
c. Kesadaran yang dibangun ini dilanjutkan dengan mengaplikasikannya
dalam tindakan lahir / ibadah, seperti zikir, shalat, puasa dan zakat.
d. Pelaksanaan ibadah yang terpenting adalah bagaimana penghayatan
terhadap ibadah-ibadah yang dilakukan, karena pada dasarnya setiap
ibadah mempunyai pesan moral. Berpuasa misalnya mengandung nilai
moral berupa tolong menolong, menghormati sesama, memupuk rasa
persaudaraan dan menghargai orang lain. Demikian pula dengan shalat
dan zakat juga memiliki pesan moral. Inilah menurut Amin yang
sering dilupakan banyak orang, pengalaman tidak dibarengi dengan
penghayatan sepenuh hati, sehingga muncul istilah “STMJ” (shalat
76
terus maksiat jalan), padahal shalat bertujuan untuk mencapai derajat
muttaqin dan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan
mungkar.124
e. Jika iman dan Islam telah dibangun, maka perpaduan keduannya
membentuk akhlakul karimah. Seseorang yang berakhlak karimah
akan terlihat melakukan kesalehan secara individu maupun sosial.
Langkah-langkah tersebut di atas merupakan inti tasawuf,
sehingga setelah melalui proses tersebut seseorang akan lebih memahami
posisinya sebagai hamba Allah dan mampu menemukan makna hidup dan
akhirnya ia selalu bersifat positif dalam menghadapi kenyataan hidup.125
3.
4. Zuhud
Pemikiran Amin Syukur yang terkait dengan pembentuka akhlakul
karimah yang penting artinya dalam kehidupan dunia modern yang
materialistik adalah zuhud. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam
surat Ali Imran ayat 14 sebagai berikut:
Òõíøöäó áöáäøóÇÓö ÍõÈøõ ÇáÔøóåóæóÇÊö ãöäó
ÇáäøöÓóÇÁö æóÇáúÈóäöíäó æóÇáúÞóäóÇØöíÑö
ÇáúãõÞóäúØóÑóÉö ãöäó ÇáÐøóåóÈö æóÇáúÝöÖøóÉö
æóÇáúÎóíúáö ÇáúãõÓóæøóãóÉö æóÇáúÃóäúÚóÇãö
124 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 5, hlm. 4 125 Wawancara tanggal 25 Pebrauri 2004
77
æóÇáúÍóÑúËö Ðóáößó ãóÊóÇÚõ ÇáúÍóíóÇÉö ÇáÏøõäúíóÇ
æóÇááøóåõ ÚöäúÏóåõ ÍõÓúäõ ÇáúãóÂÈö. (Ãá- ÚãÑÇä:14)
Artinya: “Dan jadikanlah indah pada (pandangan) manusia kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dansawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14)126
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia mempunyai watak
selalu tertarik dan cinta kepada wanita, anak dan harta yang banyak,
sehingga sikap zuhud bisa dijadikan salah satu alternatif mengatasi
masalah manusia modern.
a. Pengertian zuhud
Secara etimologi, zuhud berarti raghaba an syaiin wa
tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu da meninggalkannya.
Zahada fi dunnya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia
untuk beribadah.127 Sedangkan zuhud secara terminologis tidak
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam
dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan
komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan. Sebagai
126 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 143 127 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Masagung,
1993, hlm. 20-28
78
perwujudan Ihsan, maka zuhud merupakan suatu maqam menuju
tercapainya perjumpaan dengan-Nya.
Zuhud dalam pengertian pertama merupakan salah satu
maqam tasawuf. Dunia dipandang sebagai hijab (penghalang) antara
sufi dan Tuhan. Itulah sebabnya Harun Nasution mengatakan bahwa
zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Zuhud
dalam pengertian Barat sering dialihbahasakan dengan istilah
ascetisisme dan diberi pengertian sikap mematikan terhadap
kesenangan dunia. Pengertian ini diambil dari pengalaman sejarah di
mana para zahid memiliki gaya hidup menolak segala sesuatu untuk
kemewahan dalam rangka melenyapkan keteriktan hati terhadap dunia
dan isinya. Kenyataan ini yang kemudian memunculkan pandangan
bahwa tasawuf adalah sumber fatalis / kemandegan bagi Islam.
Pengertian kedua lebih diarahkan pada aktualisasi ajaran-
ajaran tasawuf dalam konteks kekinian disertai dengan sikap yang
elastis menyangkut ajaran-ajarannya. Zuhud sebagai moral (akhlak
Islam) dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap kehidupan dunia fana
ini. Dunia di pandang sebagai sarana ibadah dan meraih keridhaan
Allah.128
Perbedaan antara zuhud sebagai mawam dengan zuhud sebagai
moral Islam dan gerakan protes ialah:
128 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 2
79
1) Yang pertama melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah
SWT dan ma’rifat kepada-Nya. Dunia dipandang sebagai hijab
antara dia dan Tuhan, sedangkan yang kedua hanya sikap
mengambil jarak dengan dunia dalam rangka menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari bahwa cinta dunia
merupakan pangkal kejelekan.
2) Yang pertama bersifat individual, sedangkan yang kedua bersifat
individual dan sosial dan sering dipergunakan sebagai gerakan
protes terhadap ketimpangan sosial.
3) Yang pertama formulasinya bersifat normatif, doktrinal dan
ahistoris, sedangkan yang kedua formulasinya bisa diberi makna
kontekstual dan historis.129
b. Urgensi zuhud di abad modern
Kondisi masyarakat di era kapanpun pada dasarnya sangat
memerlukan berbagai nilai moral seperti kejujuran, kedisiplinan,
kedamaian, kesederhanaan dan ketidakserakahan. Nilai-nilai moral
seperti ini adalah sebuah spirit yang sangat diperlukan oleh seluruh
komponen masyarakat modern, meskipun model masyarakat modern
lebih mengutamakan dimensi rasionalitas, individualistik dan reaktif
positifistik.130 Ditambah lagi dengan sifat hidup materialistik dan
129 Ibid., hlm. 3 130 Komaruddin Hidayat, Nilai-Nilai Tasawuf ..., op. cit., hlm. 76
80
hedonis. Bila diteliti secara lebih mendalam, nilai-nilai moral seperti
di atas merupakan bentuk hakiki ajaran tasawuf.
Ajaran tasawuf sebagai dimensi esoteris Islam harus dapat
dipahami sesuai dengan konteksnya, sehingga teraktualisasikan dalam
kehidupan dan menunjukkan kemampuan Islam menjawab tantangan
zaman. Rumusan ajaran tasawuf klasik khususnya yang menyangkut
konsep zuhud sebagai mawam yang diartikan sebagai sikap menjauhi
dunia dan isolasi terhadap keramaian duniawi, karena semata-mata
ingin bertemu dan ma’rifat kepada Allah sebagaimana dirumuskan
ulama yang dulu seperti Hasan al-Basri sebagai protes atas sistem
sosial politik dan ekonomi kala itu.131
Bagaimana zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap
dunia di masa modern seperti ini. Konsep zuhud sekarang ini
ditekankan pada zuhud sebagai moral Islam. Dalam posisi ini, ia tidak
berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata ini, akan
tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai
rohaniah yang baru yang dapat menegakkannya saat menghadapi
problem hidup dan kehidupan yang serba materialistik dan berusaha
mereaksasikan keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan
menghadapinya dengan sikap jantan.132
Zuhud bukan berarti suatu usaha pemiskinan, akan tetapi dunia
dan materi yang dimiliki disiasati agar mampu bernilai akherat,
131 Amin Syukur, Zuhud …, op. cit., hlm. 176 132 Ibid., hlm. 179-180
81
dijadikan sarana beribadah kepada Allah, sebagaimana Firman Allah
dalam surat al-Qashash ayat 77 sebagai berikut:
æóÇÈúÊóÛö ÝöíãóÇ ÁóÇÊóÇßó Çááøóåõ ÇáÏøóÇÑó
ÇáúÂÎöÑóÉó æóáóÇ ÊóäúÓó äóÕöíÈóßó ãöäó ÇáÏøõäúíóÇ
æóÃóÍúÓöäú ßóãóÇ ÃóÍúÓóäó Çááøóåõ Åöáóíúßó æóáóÇ
ÊóÈúÛö ÇáúÝóÓóÇÏó Ýöí ÇáúÃóÑúÖö Åöäøó Çááøóåó
áóÇ íõÍöÈøõ ÇáúãõÝúÓöÏöíäó. (ÇáÞÕÇÕ: 77)
Artinya: “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)133
Zuhud dalam kehidupan modern pada intinya merupakan sikap
hidup yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh
dunia yang sementara itu. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak
akan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Cara yang
ditempuh adalah cara-cara yang diridhai Tuhan. Uzlah (mengasingkan
diri) yang merupakan bagian pemaknaan zuhud bukan berarti
menjauhkan diri dari dunia, tetapi membebaskan manusia dari
kungkuman materi dan tetap mengendalikan diri dari dunia, tetapi
133 Soenarjo dkk., Al-Qur’an …, op. cit., hlm. 453
82
membebaskan manusia dari kumkungan materi dan tetap
mengendalikan aktivitasnya sesuai nilai-nilai Tuhan.134
Akibat modernisasi dan industrialisasi, manusia sering
mengalami degradasi moral yang menjatuhkan martabatnya, karena
memang dalam hidup manusia selalu berkompetisi dengan kekuatan
baik dan buruk yang ada pada dirinya. Usaha untuk membimbing
hidupnya diperlukan prinsip-prinsip positif yang mampu sikap hidup
yang lebih moderat, selalu mengadakan intropeksi, mengendalikan
nafsu, sehingga tidak lupa terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Dalam
tasawuf, upaya mencapai kesempurnaan rohani dikenal dengan
tahapan takhalli, tahalli dan tajalli. Dalam takhalli terdapat ciri
moralitas Islam, yakni menghindari sifat-sifat tercela, baik secara
vertikal dan horisontal. Tahalli merupakan pengungkapan secara
progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam, misalnya zuhud, yang
oleh sebagian ulama sufi merupakan awal kehidupan tasawuf.135
Tahapan zuhud, sebagaimana disadur oleh Amin dari pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal adalah pertama zuhud dalam arti
meninggalkan hal-hal yang haram adalah zuhudnya orang-orang
awam. Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang berlebih-
lebihan dalam perkara yang halal. Ini adalah zuhudnya orang khawas
(istimewa) dan ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang
memalingkan dirinya dari Allah SWT. Ini adalah zuhudnya orang arif.
134 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 298 135 Amin Syukur, Zuhud …, op. cit., hlm. 181
83
Berdasarkan definsi di atas, dapat dijabarkan nilai-nilai yang
berguna bagi usaha menghilangkan dekadensi moral yang berkaitan
dengan sikap hidup materialistik. Meninggalkan yang haram menuntut
orang mencari kekayaan serta tulus lewat kerja keras profesional,
meninggalkan suap, manipulasi, korupsi, menindas dan lain
sebagainya, meinggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan walaupun
halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, pemilihan harta
yang lebih bernilai produktif, yaitu mendorong untuk mengubah harta
bukan saja aset illahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi aset
sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap
pemanfaatan harta dalam masyarakat.136
Dengan demikian, menurut Amin bahwa zuhud dapat
dijadikan sebagai benteng untuk membangun diri dari dalam diri
sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan
zuhud akan tampil sifat-sifat positif lainnya seperti:
1. Qana’ah
Kepuasan jiwa terhadap apa yang telah diberikan Allah
kepadanya. Sikap qana’ah penting artinya dalam mengarungi hidup
sekarang (kehidupan modern) yang semakin meningkatkan
kebutuhan-kebutuhan dalam hidup. Dengan sifat ini, manusia tidak
mudah terbawa arus buruk untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
hidupnya.
136 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986, hlm. 100
84
2. Tawakal
Tawakal pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari
mawam shabr. Oleh karenanya orang yang sabar pasti telah
mencapai derajat tawakal.137 Tawakal sering dipahami dalam
pengertian eksklusif, yaitu kepasrahan total kepada Allah.
Pengertian ini sangat berbau fatalistis, padahal manusia memiliki
kebebasan untuk melakukan sesuatu. Tawakal mengandung unsur
berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu.
Seseroang yang tawakal akan memiliki pegangan kokoh karena
telah menyerahkan semua kepada Tuhan.138 Ia senantiasa
merasakan mantap dan optimis dengan apa yang dilakukan.
3. Wara’
Wara’ merupakan perilaku menjaga diri dari segala sesuatu
yang belum jelas hukumya yang mencakup segala aktivitas
manusia dalam kehidupan modern yang sarat dengan kompetisi,
membutuhkan sikap lebih hati-hati agar tidak terjebak dalam
perbuatan dosa.
4. Sabar
Sabar diartikan tabah menerima keadaan dirinya, baik susah
maupun senang. Sabar merupakan dasar utama pembangunan
akhlak dan mental, karena dengan sabar dapat menanamkan
ketenangan dalam jiwa dan memberikan kegembiraan pada orang
137 Hasyim Muhammad, Dialog …, op. cit. , hlm. 45 138 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf …, op. cit., hlm. 297
85
yang menderita sakit atau gangguan kejiwaan. Kesabaran dalam
menatap kehidupan sekarang adalah sabar yang merupakan wujud
dari konsekuensi diri seseorang untuk memegang prinsip yang
telah dianut dari gangguan dari dalam diri dan dari luar.139
5. Syukur
Syukur adalah menerima nikmat dengan hati lapang dada
dan mempergunakan sesuai fungsi dan proporsinya.140 Syukur
penting artinya dalam kehidupan masyarakat, apalagi kesenjangan
sosial antara si kaya dan si miskin akibat disparitas income
semakin tajam. Bersyukur dengan berbagai nikmat kepada orang
lain dapat memperkecil kesenjangan tersebut.
Sifat-sifat di atas merupakan bekal untuk menghadapi
kehidupan bukan menjadikan seseorang pasif, tetapi sebaliknya sebab
seorang muslim mempunyai amanah dari Allah untuk mengelola dan
memakmurkan bumi ini. Tugas tersebut menuntut manusia memiliki
sifat-sifat terpuji yang akan memancarkan kejernihan dan ketentraman
hati. Dalam keadaan demikian, maka seseorang dapat mencapai
tingkat tajalli, yaitu kristalisasi nilai-nilai religio moral dalam diri
yang berarti melembaganya nilai-nilai illahiyah yang akan
direfleksikan dalam segala aktivitasnya.141 Manusia-manusia seperti
inilah yang mampu menyesuaikan diri di tengah-tengah kehidupan
modern dan industri.
139 Hasyim Muhammad, Dialog Tasawuf …, op. cit., hlm. 44 140 Amin Syukur, Zuhud …, op. cit., hlm. 183 141 Ibid.
86
3. Tasawuf Akhlaki
a) Pengertian Tasawuf Akhlaki
Tasawuf adalah jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui
ibadah, yang secara hakiki ia mengusahakan penyucian diri yang
diharapkan menghasilkan kedamaian, kebahagiaan dan kesejukan hati.
Selain itu tasawuf dapat diartikan ke dalam empat hal pokok: 1)
Akhlak al-Karimah, 2) penghayatan ibadah formal, 3) merasa dekat
dengan Tuhan dan 4) kesadaran adanya dialog dan komunikasi
langsung antara seorang hamba dengan Tuhan.142
Secara umum tasawf dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu tasawuf
akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki adalah
ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian
jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan dan tingkah laku yang ketat. Tasawuf amali yaitu
tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam pengertian ini tasawuf amali sering
dikonotasikan dengan thariqat. Sedangkan tasawuf falsafi yaitu
tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
penggagasnya.143
Dari ketiga kategori tersebut, fokus kajian Amin Syukur adalah
tasawuf akhlaki. Menurutnya, tasawuf akhlaki merupakan ajaran
mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan sehari-hari
guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.144
b) Ajaran-Ajaran Tasawuf Akhlaki
Ajaran tasawuf akhlaki terdiri dari takhalli, tahalli dan tajalli.
1) Takhalli
142 Amin Syukur, Mengenal Tasawuf Akhlaki, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata
Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 3 143 Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2003, hlm. 154 144 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 1
87
Tahalli adalah membebaskan diri dari sifat-sifat tercela dan
kotoran-kotoran hati seperti hasud (iri atau dengki), al-hirshu
(keinginan berlebihan terhadap masalah dunia), takabur, al-ghadab
(marah), riya’ dan ujub (bangga terhadap kelebihan yang dimiliki).
Langkah pertama yang dilakukan untuk menghilangkan sifat-sifat
tersebut dengan menyadari bahwa manusia memiliki sifat-sifat
tersebut, kemudian menghayati segala bentuk ibadah yang
dilaksanakan. Sujud misalnya melambangkan penyerahan diri
kepada Allah SWT yang dapat membentuk sifat tawaddu’ yang
berarti hilangnya sifat takabur dan ujub, membebaskan diri dari
kekangan hawa nafsu dan muhasabah atau koreksi diri.
2) Tahalli
Maksudnya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sifat dan sikap yang baik. Langkah-langkah yang diperlukan dalam
tahalli adalah membina pribadi, agar memiliki akhlak karimah dan
pada gilirannya menghasilkan pribadi yang sempurna atau insan
kamil.
Sifat-sifat terpuji yang perlu ditanamkan antara lain tauhid,
taubat, zuhud, hubb (cinta Allah), wara’, sabar, fakr, muraqabah,
muhasabah, ridla, tawakal dan syukur.
3) Tajalli
Setelah melewati takhalli dan tahalli, seseorang dapat mencapai
tahap tajalli yaitu hilangnya hijab antara hamba dan Allah serta
internalisasi nilai-nilai moral dalam dirinya. Bagi orang awam
tajalli berarti mengetahui kebenaran, sementara bagi khawas dan
88
khawas al-khawas berarti mencapai ma’rifatullah dengan nur
bashirah (mata hati)
4. Insan Kamil
Sedangkan Amin Syukur memandang insan kamil adalah sebuah
proses. Insan kamil menurutnya adalah manusia yang telah memasuki
puncak perolehan tasawuf (setelah melalui takhalli, tahalli dan tajalli)
yang akan selalu bisa dan mampu menguasai dan menyesuaikan diri di
tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi. Orang yang demikian
itu benar-benar telah melaksanakan fungsi kekhalifahan dan telah
mencapai ma’rifatullah, ma’rifatunnafs, ma’riaftunnas dan ma’rifat al-
kaun (mengertia Allah, mengerti diri sendiri, mengerti sesama manusia
dan mengerti alam).145
1) Ma’rifatullah
Ma’rifatullah sebagai landasan ma’rifat-ma’rifat sesudahnya. Dengan
mengenal Allah manusia akan terdorong untuk memahami kebesaran-
Nya, kemudian ia mau memperhatikan dan mengembangkan
lingkungan hidup sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah.
2) Ma’rifatunnafs
Sebagai manusia ia harus menyadari diri sendiri yang memiliki indera sosial,
indera intelektual dan indera rohani. Manusia akan dapat meningkatkan
derajatnya atas dasar iman dan akal sehingga ia dapat hidup sesuai dengan
perintah-perintah Allah dan akhirnya semakin dekat kesempurnaan.
3) Ma’riaftunnas
145 Amin Syukur, Insan Kamil Sebuah Proses, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 47
89
Manusia sebagai makhluk sosial sudah merupakan keharusan untuk
saling mengenal dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat
manusia memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan kearah
kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran. Sebagaimana
perintah Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang
berbunyi:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran : 104)
4) Ma’rifat Al-Kaun
Alam pada dasarnya merupakan anugerah dari Allah yang harus
dikembangkan dan dikelola oleh manusia sesuai dengan hukum-
hukum Allah. Jadi, manusia dan alam memiliki hubungan
kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah, bukan hubungan antara
penakluk dengan yang ditaklukkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa insan kamil menurut
Amin Syukur adalah manusia yang sempurna, bukan saja memiliki
ketaatan kepada Allah tetapi juga mampu mengenal diri senidri dan
membangun relasi yang baik antar sesamanya dan lingkungannya. Dia
mengerti antara hak dan batil sehingga perbuatannya selalu terarah untuk
mencapai keridlaan Allah meskipun dalam kondisi kehidupan seperti
apapun.
90
BAB IV
IMPLEMENTASI TASAWUF AMIN SYUKUR DALAM
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
Dalam bab kita akan mencoba melihat bagaimana urgensi tasawuf Amin
Syukur dalam mengatasi problem manusia modern dan bagaimana
mengimplementasikan tasawuf Amin Syukur dalam Bimbingan Konseling Islam.
Dalam bab-bab sebelumnya, penulis telah menguraikan dan membahas
beberapa pilar pemikiran tasawuf Amin Syukur yang penulis anggap memiliki
relevansi dengan kajian ini, yaitu peranan tasawuf dalam memberikan solusi
terhadap problem manusia modern. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah dzikir,
zuhud, tasawuf akhlaki dan insane kamil dan selanjutnya dalam bab IV ini penulis
akan mencona melihat bagaimana urgensi tasawuf Amin Syukur dalam mengatasi
problem manusia modern dan dilanjutkan dengan implementasi tasawuf Amin
Syukur dalam Bimbingan Konseling Islam.
A. Urgensi Tasawuf Amin Syukur dalam Mengatasi Problem Manusia
Modern
5. Tanggung jawab tasawuf atas problem sosial
Peranan agama dalam zaman apapun adalah penting, karena sudah
menjadi fitrah bagi manusia untuk selalu membutuhkan agama. Dalam
konteks kehidupan modern, peranan agama tidak sebatas pada formalisme
dan legalisme, tetapi transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.
91
Peranan agama dalam konteks ini adalah sebagai : 1) penyeimbang ruhani
sebagai akibat dari kemajuan hidup disegala bidang di zaman modern. 2)
Salah satu peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh
setiap orang. Agama memiliki potensi esensial kapan saja dan di mana saja
yaitu menciptakan rasa keterhubungan dengan yang diyakini (Tuhan)
dalam bentuk pengalaman ruhaniah yang mencerahkan batin.146
Senada dengan peranan agama di atas, Zakiah Daradjat
menyebutkan fungsi agama ada tiga, yaitu:
a. Memberikan bimbingan hidup
b. Menolong dalam menghadapi kesukaran
c. Menentramkan batin147
Sekarang ini, peranan agama dituntut untuk dapat memecahkan
krisis kemanusiaan. Apakah agama masih relevan sebagai kompas
kehidupan sangat tergantung dari bagaimana agama mampu memberikan
jawaban yang cukup efektif, tentunya hal ini akan memperkokoh
keberadaan agama di muka bumi.148 Islam dengan ajaran tasawufnya,
selalu berupaya untuk menjawab permasalahan tantangan zaman. Pada
awalnya tasawuf pada awal perkembangannya lebih menekankan pada
dimensi Theo-Filosofis membicarakan masalah ketuhanan dan bagaimana
hubungan, penghayatan dan menyatu dengan Tuhan. Kajian tasawuf
146 Moh. Damami, Tasawuf Positif; Telaah Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Pustaka Baru,
2000, hlm. 218-219 147 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Masagung,
1993, hlm. 56 148 Amin Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,
1998, hl. 102
92
kurang sekali membicarakan bagaimana membina moral umat, menarik
diri dari keramaian dunia dan menjauhi kekuasaan, maka pada abad XXI
ini, tasawuf dituntut berbeda. Tasawuf dituntut lebih humanis, empiris dan
fungsional (penghayatan terhadap ajaran Islam, buka pada Tuhan), bukan
reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah dan sikap hidup menusia di
dunia ini, baik berupa moral, spiritual, ekonomi dan sosial.149
Ajaran tasawuf (zuhud) dalam Islam sering dianggap menjadi
penyebab kemunduran umat Islam. Karena ajarannya mementingkan
perhatian harus terpusat kepada Tuhan dan apa yang ada dibalik alam
materi. Hal ini pada akhirnya membawa keadaan umat yang kurang
mementingkan masalah kemasyarakatan.150 Pernyataan tersebut diperkuat
dengan kenyataan sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena
ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang
cenderung formal dan legal. Di samping juga ketimpangan politik, moral
dan ekonomi umat Islam, khususnya karena penguasa pada saat itu.
Dalam kondisi yang demikian, tasawuf tampil memberi solusi terhadap
formalise dan legalisme dengan spiritualitas pembenahan dan transformasi
tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap
politik penguasa dan ekonomi yang menimbulkan kefoya-foyaan materiil
dengan menampakkan sikap isolasi dari kehidupan dunia.151
149 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Abad 21,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 109 150 Harun Nasution, op. cit., hlm. 191 151 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 110
93
Para pelaku tasawuf seperti di atas terkesan egois, hanya
mementingkan spiritual saja. Padahal penekanan salah satu aspek dapat
menimbulkan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium (tawazun)
dalam Islam.152 Menurut Amin, pada manusia sekarang tanggung jawab
sosial lebih berat dari pada masa lalu, karena situasi dan kondisinya lebih
kompleks, sehingga refleksinya berbeda. Masyarakat modern sekarang
ternyata menyimpang problem hidup yang sulit dipecahkan.
Rasionalisme, sekulerisme dan materialisme ternyata tidak menambah
kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi justru menimbulkan
kegelisahan hidup.153 Tanggung jawab tasawuf dalam era modern ini
dapat diwujudkan dalam bidang-bidang berikut:
f. Tanggung jawab spiritual
Kecenderungan manusia modern untuk mengagung-agungkan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan mereka tidak
mempercayai dan memunafikkan ajaran yang bersumber dari kitab
suci maupun tradisi mistik yang menyatakan manusia itu memiliki
unsur spiritual. Ditambah lagi dengan kehidupan yang selama ini
dijalani tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia akan nilai-
nilai transendental satu kebutuhan pokok yang hanya bisa digali dari
sumber ilahi. Pada pola hidup demikian melahirkan manusia yang
pincang, hanya berorientasi pada masalah kekinian dan segala
perubahan yang dilakukan tanpa dilandasi pegangan hidup serta tujuan
152 H. Msyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf dalam tasawuf dan Krisis, Amin Syukur dkk., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 97
153 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 112
94
hidup yang kuat justru melahirkan krisis.154 Sehingga wajar jika pada
akhirnya manusia modern dilanda krisis spiritual yang melahirkan
gangguan psikologis, seperti merasa tidak aman dan terancam oleh
kemajuan yang dicapai.
Dalam pandangan tasawuf menyelesaikan dan perbaikan
keadaan tersebut, tidak dapat dicapai secara optimal jika hanya dicari
dalam kehidupan modern, namun dengan penghayatan terhadap ajaran
agamanya, sehingga manusia mampu mengenal diri sendiri dan
akhirnya mengenal Tuhan. Hal ini, tasawuf (spiritual Islam) dituntut
untuk dapat mengugah aktualisasi diri dalam menghadapi hidup
duniawi yang meski dijalani dan mampu mengembalikan jati diri
manusia sebagai umat pilihan Allah SWT.155
g. Tanggung jawab etik
Kehidupan modern juga diwarnai dengan dekadensi moral,
apalagi banyak manusia modern yang mengikuti moralitas relatif, etika
situasional. Mereka berpendirian bahwa ukuran baik buruk tidak bisa
dibakukan, karena ukuran tersebut harus mengikuti irama perjalanan
manusia modern, cita rasa serta persepsi maupun keinginan-keinginan
manusia modern.156 Akibat kaburnya tatana sosial etika adalah
tumbuhnya perilaku-perilaku menyimpang, seperti karupsi, kolusi dan
pembunuhan. Selain manusia sering menampakan sifat-sifat kurang
154 Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam
Tasawuf dan Krisis, Amin Sukur dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 22 155 Moh. Damami, Tasawuf Positif …, op. cit., hlm. 222-223 156 Amin Rais, Tauhid Sosial ..., op. cit., hlm. 99-100
95
terpuji dalam menghadapi materi yang gemerlap, seperti al-hirsh, yaitu
keinginan berlebihan terhadap materi, riya sifat suka memamerkan
harta/kebaikan diri dan berbagai penyakit hati lainnya.
Tasawuf yang merupakan moralitas Islam, memiliki tanggung
jawab dalam memperbaiki moral manusia. Menurut Nurcholis Madjid,
etika (moral) tidak hanya masalah kesopanan semata, melainkan
konsep yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup
baik dan buruk. Ajaran etis mencakup pandangan dunia dan pandangan
hidup.157 Dasar pandangan etis kaum beriman adalah rabbaniyyah atau
bertakwa yang merupakan fondasi dari sudut pandang sistem
keagamaan. Implikasi ke-Tuhanan Yang Maha Esa itu dapat
didefinisikan dan menghasilkan 19 nilai-nilai yang akan terintegrasi
dalam kehidupan seseorang.158
Dalam tradisi tasawuf, menghilangkan sifat-sifat buruk
manusia dilakukan dengan mengadaklan penghayatan atas keimanan
dan ibadahya, latihan sungguh-sungguh dan senantiasa melakukan
muhasabah (instropeksi diri). Riyadhah dan mujahadah ini sebagai
sarana melawan hawa nafsunya. Cara pembinaan nafsu melalui tiga
tahapan, yaitu: pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat
tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat
terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar ilahi (tajalli) dalam tahap
157 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 466 158 Implikasi etika yang berlandaskan rabbaniyyah menghasilkan 19 nilai-nilai. Lihat,
Ibid., hlm. 476-480
96
ini hati seseorang mencapai ketenangan dan mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang tidak.159
h. Tanggung jawab politik
Tanggung jawab tasawuf juga telah memasuki ranah politik.
Hal ini bisa disaksikan dalam sejarah, yaitui aktivitas thariqat Sanusiah
yang mampu memukul mundur penjajah Prancis di Aljazair dan
penjajah Inggris di Libia. Fazlur Rahman mengatakan bahwa thariqat
ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan perjuangan
hidup, baik sosial, politik maupun ekonomi. Corak geraknnya lebih
purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral
sosial dan keagamaan. Fazlur Rahman menamakannya Neo-Sufisme.160
Dalam konteks Indonesia yang sekarang sedang mengalami
krisis multidimensional, maka menurut Amin bahwa tasawuf bisa
dijadikan alat introspeksi diri bagai para elit politik, karena krisis-krisis
bangsa ini lebih banyak dikarenakan kelompok-kelompok elit,
kalangan eksekutif dan legislatif (pelaksana pemerintahan). Kalangan
ini mempunyai posisi yang strategis dalam menyakinkan negara dan
melakukan sebuah perubahan di dalamnya. Dengan tasawuf, seseorang
akan lebih memahami dan menghayati ajaran agama dan memberikan
nilai dalam ibadah. Hal ini akan terefleksi dalam perilaku dan aktivitas
atau peran sosial yang dimiliki, sehingga apapun pekerjaan dan
profesinya, maka seseorang akan tetap berpegang pada ajaran agama.
159 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 115-116 160 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhamad, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 197
97
i. Tanggung jawab pluralisme agama
Pluralisme dalam masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang
wajar (sunnatullah), kemajemukan akan melahirkan keunikan. Kiranya
diperlukan perilaku yang unik pula. Pluralisme dalam berbagai bidang
apapun, baik ras, suku, watak dan sebagainya sangat diperlukan sikap
toleran, jujur, terbuka, wajar dan adil.161 Kebutuhan mengedepankan
pluralisme sangat dibutuhkan, ternasuk di Indonesia, yaitu kesiapan
untuk menerima dan menghargai kenyataan pluralitas merupakan satu-
satunya jalan untuk mengubah aspek negatif heterogenitas menjadi
aset positif. Apalagi orang Islam pada abad modern, seharusnya mudah
menemukan sikap demokratis untuk menerima pluralisme, karena
Islam menurut doktrinnya telah mendorong hal ini, bahkan sejak
kelahirannya pada masa Nabi.162
Al-Qur’an menyebutkan bahwa kebenaran universal yang
tunggal bagi semua ajaran agama adalah prinsip tauhid, yaitu
pengesaan Tuhan dan kesatuan umat (QS. al-Anbiya: 92), dan
perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat kebanggaan dan sikap
menolak (QS. Ali Imran: 83-85). Konsep tauhid ini mempunyai
implikasi praktis dalam bermuamalah, perbedaan-perbedaan bukan
sesuatu yang harus dipertentangkan, namun harus diambil makna
positif dan di dalam al-Qur’an agar dijadikan alat pembeda dan justru
161 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 2-3, hlm. 4 162 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 118
98
akan mudah mengenal satu dengan yang lain (QS. Al-Hujarat: 13).163
Hal ini menunjukkan bahwa Islam (melalui tasawuf) menyediakan dan
mengembangkan basis etika yang relevan bagi masalah-masalah
modern.
j. Tanggung jawab intelektual
Modernisasi telah melahirkan IPTEK yang menuntut
pengembangan agar mampu berdialog dengan kemajuan yang ada.
pengetahuan yang kita miliki harus diimbangi dengan jiwa keagamaan
yang kuat, karena jika tidak, masyarakat yang telah menciptakan
tingkat kemakmuran materi dengan perangkat teknologi yang serba
mekanis dan otomat akan dihinggapi rasa cemas akibat kemewahan
hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan
teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiannya tereduksi
dan terjebak pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat
tidak humanis.
Secara epistemologi, tasawuf yang mengembangkan metode
intuisi dijadikan alternatif metode rasional dan empirik yang
berkembang. Intuisi mempunyai arah yang berbeda dengan akal dan
indera yang lebih berkompeten dalam menghadapi objek materi dan
kuantitatif. Sementara intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran
diri manusia dan menuntut kita kepada kehidupan dalam batin. Jika
intuisi dapat meluas, maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal
163 Ibid., hlm. 119
99
yang vital. Jadi dengan intuisi kita dapat menemukan elan vital atau
dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung
bukan dengan intelek.164
Akal dan intuisi (tasawuf) memiliki hubungan erat, sehingga
menurut al-Ghazali akal mempunyai dua fungsi yang dibutuhkan
tasawuf. Pertama akal sebagai prasarana bagi tasawuf yang berfungsi
untuk:
4. Memperoleh pengetahuan yang benar dan dibutuhkan tasawuf.
5. Mengarahkan latihan-latihan batin (riyadhah) yang benar bagi
tasawuf.
6. Berfikir benar dan lurus sebagai persiapan memperoleh
pengalaman dan pengetahuan sufistik pada tasawuf.
Kedua, akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi
untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-
pengalaman sufistik serta perluasannya.165 Melalui tasawuf seseorang
disadarkan bahwa sumber segala yang ada adalah Tuhan, sehingga ia
mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan
moral atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan, sehingga tidak terjadi
dengan apa yang diistilahkan Zakiah Daradjat, yaitu “Pengetahuan
tanpa agama membahayakan”.
164 Harold H Titot dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasydi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984, hlm. 205 165 Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 84
100
Berdasarkan tanggung jawab tasawuf di era sekarang, maka
langkah-langkah yang dilakukan Amin Syukur dalam membantu
menyelesaikan masalah seseorang adalah sebagai berikut:
f. Hal pertama yang dilakukan adalah mengetahui penyebab masalah
seseorang. Sebagian besar manusia mengalami kecemasan,
menghadapi masa depan (masa tuanya), keinginan untuk mencapai
jabatan tertentu dan takut mati.
g. Setelah mengetahui penyebabnya, langkah terapi yang diambil adalah
penanaman aqidah (tauhid, yaitu membangun iman seseorang sebagai
fondasi utama, sehingga ia mempunyai kesadaran untuk senantiasa
berdialog dan berkomunikasi dengan Tuhan).
h. Kesadaran yang dibangun ini dilanjutkan dengan mengaplikasikannya
dalam tindakan lahir / ibadah, seperti zikir, shalat, puasa dan zakat.
i. Pelaksanaan ibadah yang terpenting adalah bagaimana penghayatan
terhadap ibadah-ibadah yang dilakukan, karena pada dasarnya setiap
ibadah mempunyai pesan moral. Berpuasa misalnya mengandung nilai
moral berupa tolong menolong, menghormati sesama, memupuk rasa
persaudaraan dan menghargai orang lain. Demikian pula dengan shalat
dan zakat juga memiliki pesan moral. Inilah menurut Amin yang
sering dilupakan banyak orang, pengalaman tidak dibarengi dengan
penghayatan sepenuh hati, sehingga muncul istilah “STMJ” (shalat
terus maksiat jalan), padahal shalat bertujuan untuk mencapai derajat
101
muttaqin dan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan
mungkar.166
j. Jika iman dan Islam telah dibangun, maka perpaduan keduannya
membentuk akhlakul karimah. Seseorang yang berakhlak karimah
akan terlihat melakukan kesalehan secara individu maupun sosial.
Langkah-langkah tersebut di atas merupakan inti tasawuf,
sehingga setelah melalui proses tersebut seseorang akan lebih memahami
posisinya sebagai hamba Allah dan mampu menemukan makna hidup dan
akhirnya ia selalu bersifat positif dalam menghadapi kenyataan hidup.167
B. Implementasi Tasawuf Amin Syukur dalam Mengatasi Problem Manusia
Modern
Upaya implementasi tasawuf sebagai dimensi spiritual Islam dalam
Bimbingan dan Konseling Islam dapat dikatakan tidak hanya memungkinkan,
tetapi juga keharusan. Pernyataan ini dapat diperkuat dengan pendapat Carl
Gustav Jung (tokoh psikologi analitik) yang menyatakan bahwa ganguan-
gangguan psikis pada dasarnya bersumber dari masalah religius. Hal ini juga
dapat dilihat dari ungkapannya bahwa “psikoneurisis harus dipahami sebagai
penderitaan yang belum menemukan artinya, penyebab dari penderitaan ini
adalah stagnasi (penghentian) spiritual atau sterisas psikis”.168 Bahkan
166 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 5, hlm. 4 167 Wawancara tanggal 25 Pebrauri 2004 168 Brian J. Zinnbaver dan Kenneth I, Pargament Working with the sacred; Four
Approaches to Religious and Spiritual Issue in Counseling, Journal of Counseling and Development vol. 78 Num. 2., 2000, p. 3
102
ditetapkan asas normative dan pentingnya moral etik dalam proses
konseling.169
1. Konselor
Dalam bab III, kita sudah mengetahui tentang konsep insan kamil
yang menjadi bagian dari ajaran tasawuf. Insan kamil menurut Amin
Syukur adalah manusia yang telah memasuki puncak perolehan tasawuf
yang akan selalu dan mampu menguasai diri dan mampu menyesuaikan
diri di tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi. Orang yang
demikian itu telah melaksanakan fungsi kekhalifahan dan telah mencapai
ma’rifatullah, ma’rifatunnas dan ma’rifatulkaun.170 Umat Islam mengakui
bahwa pribadi saempurna semacam itu adalah nabi Muhammad saw.,
sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 32:
“Sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah itu suri tauladan yang
baik”. Nabi Muhammad adalah Rasul yang datang untuk mengobati
degradasi moral dan iman masyarakat Mekah khususnya dan rahmat bagi
seluruh manusia di dunia. Figur seperti ini (dalam dunia Bimbingan dan
Konseling) bisa disebut sebagai konselor yang sempurna bagisetiap klien
dengan berbagai kondisi apapun.
Konselor dalam proses konseling mempunyai peran sangat
penting, yaitu membantu klien memecahkan masalahnya. Karena memang
169 Prayitno dan Erman Anti, dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta,
1999, hlm. 119 170 Amin Syukur, Insan kamil; Suatu Proses, Makalah pelatihan seni menata hati menuju
Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 47
103
dalam konseling memegang prinsip kemandirian.171 Sesuai dengan prinsip
ini klien mempunyai kebebasan untuk menentukan keputusan yang
diambil dalam usaha menyelesaikan problem yang dihadapi. Meskipun
demikian, konselor sebagai orang yang memberikan pertimbangan
terhadap keputusan klien harus memiliki pribadi yang sempurna, sehingga
ia dapat seefektif mungkin mengarahkan kliennya. Pribadi yang sempurna
hanya ada pada mereka yang telah mencapai dderajat insan kamil dengan
melalui proses takhalli, tahalli dan tajalli.
Konselor sebagai pembimbing perlu untuk menjalani ajaran
tasawuf akhlaki tersebut sehingga ia mempunyai kepribadian prefect
(berakhlakul karimah). Tahap pertama adalah membebaskan diri dari sifat-
sifat tercela antara lain seperti ujub, riya, takabur dan lain sebagainya.
Sekap-sikap inilah yang justru akan menyebabkan gagalnya dakwah
(konseling) karena sifat itu menjadikan konselor tidak mampu memahai
klien dengan baik. Untuk itu tahap tahalli (menghiasi diri dengan sifat-
sifat terpuji) zuhud dan dzikir adalah keharusan dan pada akhirnya ia
mampu mencapai tingkat tajalli, yaitu mengetahui kebnenaran. Dengan
melalui tahap-tahap tersebut, seseorang dapat dengan baik mengerti allah,
diri sendiri, sesamanya dan alam.
Konselor yang benar-benar menjalankan agamnya apalagi konselor
Islam dengan baik secara otomatis ia mampu memenuhi kualifikasi-
kualifikasi konselor efektif yang dikemukakan banyak tokoh seperti
171 Priyatno dan Erman Anti, Dasar-Dasar ..., op. cit., hlm. 117
104
Hamdani Bakran adz-Dzaky yang menetapkan tiga aspek pokok yang
harus dimiliki konselor aspek spiritualitas, aspek moral, dan aspek
keilmuan dan skill.172 Sedangkan Muh. Surya menyatakan karakteristik
konselor efektif antara lain pengetahuan mengenai diri sendiri, kesehatan
psikologi, kejujuran, kesabaran, kehangatan, dapat dipercaya dan
kesadaran holistik,173 atau menurut W.S. Winkel, konselor mempunyai
tiga kualitas, yaitu mengenal diri sendiri, memahami orang lain dan
kemampuan berkomunikasi.174
Konselor yang memahami diri sendiri berarti ia mampu
mengekang hawa nafsunya, mampu berdakwah untuk diri sendiri (dakwah
bi an-nafs), sehingga mempunyai ahlakul karimaah yang dibutuhkan
daaalam konseling islam yang bisa dikategorikan sebagai dakwah
fardiyah. Dakwah fardi yakni antonim dari dakwah’ammanah atau
jamaiyyah yaitu ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan seorang
dai kepada orang lain secara perorangan dan tujuan memindahkan al
mad’uw pada keadaan yang lebihbaik dan diridhoi Allah.175 Sementara
kemampuan memahami oarang lain diarahkan pada sifat empati yang
besar terhadap klien. Kerja konselor dalam konseling berdasarkan atas
simpati, dimana baik konselor dan klain dibawa keluar dari dalam dirinya
dan bersambung dalam kesatuan psikis yang baru ini. Sebagai
172 Hamdzani Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Jakarta: Pustaka Fajar
Baru, 2992, hlm. 299 173 Muh. Surya, Psikologi Konseling, Bandung: Pustaka banu Quraysi, 2003, hlm. 57-75 174 W.S. Winkel, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1991,
hlm. 174 175 Ali Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995, hlm. 29
105
konsekuensinya masalah-masalah klien akan ditimpakan sebagian kepada
konselor. Stabilitas psikologis, keberanian dan kekuatan yang dimiliki
konselor akan menyusup ke dalam diri klien dan memberikan bantuan
besar dalam perjuangan kepribadiannya.176
Demikian implementasi tasawuf amin Syukur dalam bimbingan
konseling yang berguna bagi konselor, yang mana membuat Abdul Mujib
dan Yusuf Mudzakir bahwa ajaran-ajaran tasawuf akhlaki mampu
menciptakan kecerdasan qalbiyah, kecerdasan ini meliputi kecerdasan-
kecerdasan yang lain, yaitu:
Kecerdasan-kecerdasan di atas penting artinya bagi tugas konselor
dan manusia secara umum sebagai khalifah fil ardh.
2. Klien
a. Kasus 1
Seorang alumni Fakultas farmasi UGM yang kini sudah
berusia 63 tahun merasakan kesedihan yang mendalam karena
kematian anak bungsunya yang paling disayangi. Ia juga memiliki
perasaan dendam kepada suami yang dianggap menjadi penyebab
kematian anak bungsunya itu. Perasaan duka dan benci yang telah
tertanam di hati tersebut ditambah lagi akibat perceraiannya dengan
suami yang ternyata memiliki WIL (wanita idaman lain). Keadaan ibu
Eko berangsur-angsur mulai membaik dan ia dapat menerima
176 Rolloy May, Seni Konseling, terj. Darmina Ahmad dan Afifah Inayati, Yogyakarta:
pustaka Pelajar, 2003, hlm. 79
106
kenyataan hidup setelah bergabung dan mengikuti berbagai kegiatan
LEMBKOTA (Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf) yang
dipimpin oleh Amin Syukur.177
Ibu Eko mengakui kecintaannya terhadap dunia yang
berlebihan sudah tidak lagi ia rasakan, semakin dapat menghayati
ibdah yang dilakukan di mana sebelumnya ia rasakan sangat kering
kendati ia rajin melaksanakan dan hanya ada harapan suci di hari
tuanya kini, yaitu bisa berakhlakul karimah dan mati khusnul
khatimah, baik diri maupun anak-anaknya, serta keadaan yang lebih
baik untuk bangsa ini.
b. Kasus 2
Umi, seorang mahasiswa Akademi Statistika Muhammadiyah
Semarang mengakui dirinya sebagai pribadi yang sombong, egois,
selalu ingin menang sendiri, pemarah, jarang menyapa orang lain dan
terlalu ambisius dalam hal apapun. Hal ini terjadi karena didukung
oleh prestasi akademik dan organisasi yang dimiliki Umi bisa dibilang
bintang angkatannya dengan Indeks Prestasi (IP) yang selalu di atas
3,5. nilai yang sangat tinggi di sebuah akademi eksakta. Prestai ini
didukung dengan beberapa jabatan strategis di lembaga mahasiswa
dikampusnya.
Menurut pengakuannya setelah mengikuti pelatihan Seni
Menata hati LEMBKOTA ia merasakan perubahan yang besar. Ia
177 Wawancara dengan Ibu Eko tanggal 10 Maret 2003
107
sudah mulai bersikap ramah kepada orang lain, sabar dan lebih
memahami serta menghayati ibadah yang dilakukan.178
Contoh dua kasus di atas menunjukkan bahwa tasawuf Amin Syukur yang
diterapkan dalam lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf-nya dapat
secara efektif membantu problem manusia sekarang ini. Bila dengan
menggunakan analisis konseling Islam dalam membantu masalah mereka,
maka hal ini dapat ditunjukkan dengan mengimplementasikan konsep
tasawuf Amin Syukur sebagai materi (metode) Bimbingan Konseling
Islam.
Kasus 1 sebagaimana di atas dapat dikategorikan ke dalam
konseling krisis situasi dikaitkan dengan kehilangan anak dan suami yang
disayangi. Dengan landasan ini, maka terapi yang dilakukan bertujuan
untuk membangkitkan kembali makna hidup yang telah hilang dan
mengunah perilaku Ibu Eko (klien) ke arah yang lebih baik agar mampu
menghadapi kenyataan hidup yang dihadapi.
Untuk mencapai tujuan terapi dalam rangka membantu klien
memecahkan masalah, maka terapi-terapi yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Logotherapi
Logoteraphi Victor Frankl ini dirancang untuk menolong
seseorang menemukan makna hidup yang merupakan motivasi uta ma
untuk menjalani hidup di dunia. Mereka yang menghayati makna
178 Wawancara dengan Umi tanggal 12 Maret 2003
108
hidup bermakna akan menunjukkan kehidupan penuh gairah dan
optimisme untuk mencapai tujuan hidup yang telah mereka tentukan.
Makna hidup bisa ditemukan melalui nilai-nilai penghayatan
(experiental values), nilai-nilai kreatif (creative values) dan nilai-nilai
bersikap (attitudional values).179
1. Nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu menyakini dan
menghayati kebenaran, kebijakan, keindahan, keimanan dan nilai-
nilai lain yang berharga. Sebagai seorang muslim fondasi utama
yang harus dimiliki adalah iman kepada Allah. Keimanan ini
bukan formalisme semata, tetapi lebih ditekankan pada
penghayatan ibadah yang langsung kepada Allah. Di sini tasawuf
mencoba membangun kesadaran adanya dialog dan komunikasi
langsung tersebut dan membangun kedekatan hamba dengan
Tuhan.180 Dengan kesadaran ini, maka seseorang dapat merasakan
kebesaran dan kekuasaan Tuhan, sehingga apapun yang terjadi
adalah atas kehendak-Nya.
2. Creative Values (nilai-nilai kreatif) yaitu makna hidup dapat digali
melalui bekerja, berkarya dan melakukan tugas dengan penuh
tanggung jawab. Pencarian makna hidup di sini dapat dilakukan
dengan mengajak klien untuk lebih mengisi hari-harinya dengan
kegiatan yang bermanfaat, seperti memperbanyak ibadah serta
179 Hanna Djuana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000, hlm. 194 180 Amin Syukur, Mengenal Tasawuf Akhlaki, Kumpulan makalah pelatihan seni menata
hati menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 2
109
aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang
merupakan perwujudan dzikir fi’li menurut Amin Syukur.
Kesibukan-kesibukan tersebut dapat membantu klien untuk
melupakan kesedihan dan menerima kenyataan hidup yang
dihadapi.
3. Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap) yaitu menerima dengan
tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang
tak dapat dihindari lagi. Penanaman konsep zuhud Amin Syukur
sebagai moral Islam, di mana zuhud diartikan keseimbangan antara
dunia dan akherat. Dengan sifat zuhud ini klien dapat mengurangi
kecintaan berlebihan terhadap dunia (anak dan suami) yang
mengakibatkan kehampaan hidup. Sifat zuhud ini akan dapat
melahirkan sabar, syukur dan tawakal, bahkan penerapan ajaran al-
futuwwah (sikap kesatria) yang dalam kehidupan modern ini
diwujudkan dengan sikap tegar dalam emnghadapi cobaan ataupun
nikmat dari Allah.181
b. Terapi Rational Emotif
Dalam menyelesaikan kasus Bu Eko ini konselor dapat
menggunakan landasan teori rational emotif untuk mengubah cara berfikir,
keyakinan dan pandangan klien yang tidak rasional menjadi rasional agar
dapat mengembangkan diri dan meningkatkan aktualisasi diri melalui
perilaku yang positif. Selain itu teknik terapi dalam teori ini juga bertujuan
181 Wawancara dengan Amin Syukur tanggal 25 Februari 2004
110
untuk menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri
seperti sedih, cemas, marah dan lain sebagainya.182
Teknik assertive training dapat digunakan sebagai alternatif teknik
di mana training ini disusun untuk melatih, mendorong klien untuk secara
terus menerus menyesuaikan diri dengan perilaku tertentu yang lebih
baik.183 Langkah penyesuaian diri dengan perilaku yang baik dapat
dilakukan dengan menerapkan konsep dzikir Amin Syukur secara
menyeluruh baik dzikir qauli, dzikir qalbi, dzikir ruh, dan dzikir fi’li.
Dzikir qauli dengan mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) akan
memantulkan sifat lemah lembut sebab hanya Allah Yang Maha Kuasa
sedang manusia lemah dan dengan membaca al-Ghafar (Maha
Pengampun) untuk menumbuhkan sifat pemaaf dan penyabar.184 Dzikir
qauli ini selanjutnya akan berkembang menjadi dzikir hati, dzikir ruh dan
dzikir fi’li. Hal ini akan memberi dampak menghilangkan sifat marah dan
pendendam klien dan akhirnya ia dapat melakukan perbuatan-perbuatan
yang bermanfaat dalam keadaan suka maupun duka.
c. Teknik Analisis Suratan
Teknik ini merupakan salah satu teknik terapi konseling analisis
transaksional. Teknik analisis suratan merupakan bagian dari proses terapi
yang dapat mengidentifikasi pola hidup yang diikuti klien, menanamkan
182 Muhammad Surya, Teori-Teori Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003,
hlm. 21 183 Ibid., hlm. 22 184 Amin Syukur, Dzikir Penguat Hati, Kumpulam Makalah Seni Menata Hati Menuju
Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 34
111
kesadaran akan suratan hidup klien sehingga ia melakukan perubahan
sikap.185
Penggunaan terapi ini dalam menangani kasus pertama dimulai
dengan melihat pola hidup yang dikembangkan Bu Eko yaitu sikap hidup
yang mencurahkan kasih sayang secara berlebihan terhadap anak
bungsunya dan menganggap anaknya adalah milik mutlak dirinya. Anak
tidak dianggap sebagai amanah Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil
sehingga membuat ia sedih yang mendalam ketika anaknya meninggal.
Langkah terapi dimulai dengan membangun kesadaran tentang
siapa dirinya akan membuat ia menyadari keberadaan Allah, mengerti
keberadaan orang lain dan lingkungan. Sikap yang harus ditanamkan
adalah sikap mampu mengenal diri sendiri dan mampu beradaptasi dengan
lingkungan apapun.186 Berangkat dari kesadaran ini akan mampu
memahami bahwa apa yang dialami sudah merupakan takdir atau suratan
nasib yang harus diterima dengan ikhlas.
Bila pada kasus pertama kegiatan bimbingan konseling Islam
diarahkan pada optimalisasi fungsi pengentasan, maka pada kasus kedua
ini konseling diarahkan pada fungsi pemahaman terhadap sikap dan
kebiasaan hidup klien dan fungsi pengembangan yaitu mengembangkan
potensi-potensi yang baik pada klien.187
185 Gerald Corey, Teori-TeoriKonseling dan Psikoterapi, terj. Mulyarto, Semarang: IKIP
Semarang Press, 1995, hlm. 393 186 Lihat, Amin Syukur, Insan Kamil Sebuah Proses, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni
Menata Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 47 187 Prayitno dan Erman Anti, Dasar-Dasar …., op. cit., hlm. 197
112
Dari narasi kasus kedua menunjukkan bahwa Umi (klien)
mempunyai kelemahan yang ditunjukkan dengan sifatnya yang sombong,
egois, pemarah dan kurang ramah. Sementara kelebihannya adalah prestasi
akademik dan organisasi yang diraihnya. Berdasarkan optimalisasi fungsi
yang dikembangkan dalam kasus ini, maka tujuan daari konseling ini
adalah mengubah perilaku klien yang diarahkan untuk menepis kelemahan
dan mengembangkan kekuatan yang dimiliki.
Teknik terapi yang dapat digunakan dalam membantu klien pada
kasus kedua ini adalah:
1) Teknik Memperbaiki Pemahaman Diri
Teknik terapi konseling trait and factor ini bertujuan membantu
klien memahami kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan dibantu
untuk menggunakan kekuatannya dalam upaya mengatasi
kelemahannya.188 Konselor berusaha membantu klien untuk menyadari
sifat-sifat buruk yang dimiliki dan dampak yang akan ditimbulkannya.
Ketika kesadaran telah tumbuh terapi dzikir qauli dengan membaca
Allahu Akbar dan ar-Rahman ar-Rahim akan mampu menampilkan
sifat lemah lembut sebab hanya Allah Yang Maha Kuasa sedang
dirinya sangat lemah dan mampu menanamkan sifat kasih sayang
terhadap orang lain. Jika langkah ini berhasil maka klien akan
bersyukur atas kelebihan yang ia miliki dan dapat berbagi prestasi
dengan orang lain.
188 Muhammad Suirya, Teori-Teori Konseling, op. cit., hlm. 2
113
2) Teknik Komparatif
Teknik terapi konseling psikologi individual Albert Adler ini
dikembangkan untuk mengubah gaya hidup yang dikembangkan klien.
Dari kasus kedua dapat dilihat bahwa klien mengembangkan sifat
sombong, takabur dan egois terhadap prestasi yang dimiliki, akibatnya
ia tidak menghargai dan menghormati orang lain. Penerapan ajaran
tasawuf akhlaki yaitu takhalli (membebaskan diri dari sifat-sifat
tercela) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji) merupakan
terapi efektif bagi penyakit yang bersarang di hati sehingga ia dapat
mengubah virus hati menjadi aset diri.189
3) Client Centre Teraphy
Konseling ini menekankan peranan aktif klien dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Carl Rogers berpandangan
optimis terhadap daya kemampuan yang terkandung dalam batin
manusia. Kalau manusia bertindak dengan cara yang tidak baik,
disebabkan karena membela diri, yang menjauhkan seseorang dari
naluri yang paling mendasar. Bila seseorang dapat menemukan
kembali nalurinya yang asli, maka usaha membela diri akan semakin
berkurang dan tindakan-tindakannya akan lebih konstruktif.190
Tasawuf Amin Syukur dapat diterapkan dalam teknik ini
adalah dengan mengajak klien untuk berfikir (tafakur), sebab dengan
berfikir dapat menjadikan sesuatu yang dibenci menjadi sesuatu yang
189 Baca Amin Syukur, Mengubah Virus Hati Menjadi Aset Diri, Makalah Pelatihan Seni Menata Hati Menuju Insan Kamil, Semarang, 2003, hlm. 16-21
190 W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling …, op. cit., hlm. 339-340
114
sangat dicintai dan menyebabkan pula ilmu pengetahuan menjadi lebih
berkembang serta menambah pengetahuan yang belum diketahui.191
Selain itu muhasabah yaitu mengoreksi diri sendiri sejauh mana telah
menunaikan kewajiban dan pelanggaran yang kita lakukan. Terkait
dengan kasus ini tafakur dan muhasabah klien diarahkan agar klien
menyadari ada siapa dibalik kesuksesan yang dimiliki dan apa yang
telah ia berikan kepada semua yang berada dibalik kesuksesan itu.
Dengan tumbuhnya kesadaran ini maka klien akan dapat mengambil
keputusan secara bijak dalam rangka mengubah perilakunya selama
ini.
Beberapa teknik yang digunakan dalam menangani dua kasus
di atas dan penerapan tasawuf Amin Syukur di dalamnya telah mampu
menunjukkan bahwa ajaran tasawuf bisa dijadikan alternatif materi
dalam proses bimbingan konseling Islam. Apalagi tuntutan yang harus
dipenuhi sekarang ini adalah proses konseling harus menggunakan
pendekatan holistik yaitu pendekatan dengan memperhatikan berbagai
dimensi kemanusiaan (bio-psiko sosio religius). Hal ini menuntut
peningkatan mutu pelayanan konseling, dengan memberikan perhatian
yang lebih terhadap masalah religius, proses konseling dapat semakin
efektif dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi klien dan
terwujudlah manusia sepenuhnya yang dapat mencapai derajat
kemuliaan dan ketinggian yang semakin bertambah.
191 Amin Syukur, Tsawuf Kontekstual …, op. cit., hlm. 127
115
Esensi dakwah Islamiah adalah proses transformasi, implementasi
dan membahasakan suara Tuhan (kalam Allah) kepada makhluknya
agar dimengerti dan dilaksanakan, baik mengenai segala sesuatu yang
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
sesamanya maupun manusia dengan alam.192 Mentransfer dan membahasakan
kalam Allah bukan hanya sebatas menyampaikan semata, tetapi harus
menyentuh pembinaan dan pembentukan pribadi, pembentukan keluarga dan
pembentukan masyarakat Islam secara menyeluruh.
192 M. Luthfi Jamal, Bimbingan dan Konseling; Metode Dakwah Alternatif, Jurnal kajian
dakwak, komunikasi dan keislaman, Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta vol. 4 no. 1 Agustus 2002, hlm. 36
116
Bimbingan dan konseling sebagaimana disebut oleh Sukriadi Sambas
sebagai ilmu dakwah terapan (tabligh Islam),193 bertanggungjawab secara
praktis terhadap pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat. Karena
bimbingan konseling merupakan dakwah yang lebih bersifat makro dalam
membina masyarakat yang sistematis, terus menerus sesuai dengan potensi,
bakat dan minat yang dimiliki mad’u (klien).
Berkaitan dengan ruang lingkup dan luasnya tanggung jawab dakwah,
apalagi ditengah keanekaragaman masyarakat dan perkembangan zaman
menuntut adanya upaya untuk menciptakan konsep dakwah yang relevan
dengan keanekaragaman mad’u, baik dalam penyajian materi dan tujuan
dakwah. Bimbingan konseling sebagai salah satu disiplin ilmu yang
bersentuhan langsung dengan dakwah juga menuntut perubahan yang sama.
Dalam era globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan perubahan yang
berlangsung capat terutama didorong oleh kemajuan teknologi dan
penyempitan ruang dan waktu, maka kondisi ini mendorong perkembangan
konseling dengan trend tertentu dalam konsep, operasi dan potensi. Hal inilah
yang pada akhirnya melahirkan kecenderungan corak-corak konseling, antara
lain cyber counseling, multicultural counseling, spiritual counseling dan
pendekatan holistik.194
Bimbingan dan konseling spiritual sebagai salah satu trend konseling
di lingkungan yang berubah, disadari oleh bangsa Barat karena kehidupan
193 Muhammad Sulthon, Kapita Selekta Dakwah Islam, Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang, hlm. 95 194 M. Surya, Peluang dan Tantangan Global Profesi Bimbingan dan Konseling;
Implikasi bagi Strategis Organisasi dan Standarisi Bimbingan dan Konseling, Kumpulan makalah konvensi Nasional XIII ABKIN, Bandung, 2003, hlm. 8
117
modern dan kemajuan IPTEK yang selama ini telah memisahkan kehidupan
yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual. Suasana keluarga yang penuh
nilai-nilai spiritual merupakan situasi yang kondusif untuk menciptakan
manusia yang memiliki ketahanan-ketahanan keberdayaan yang mantap.
Charlene E. Westgate memperkenalkan spiritual wellness yang diartikan
sebagai suatu kondisi keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang mungkin
keterpaduan spiritual dirinya dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga
mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan perwujudan diri.
“Spiritual wellness represents the openess to the spirituality dimension
that pemits the integration of one’s spirituality with the other
dimensions of life, thus maximazing the potensial for growth and self
actualization”195
Selanjutnya Charlene E. Wetsgate juga mengemukakan empat dimensi
spiritual wellness ini, yaitu: “meaning of life, intrinsic value, trancendence
dan community values support.196
Berkaitan dengan dimensi makna hidup, Victor Frankl berpendapat
bahwa makna hidup merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Jika seseorang kehilangan arti hidup, hidup tanpa makna, maka ia
akan mengalami noogenic neurisis yang menurut Farnkl hal yang lumrah
dalam zaman modern.197
195 Charlene E. Westgate, Spiritual Wellness and Depression, Journal of Counseling and
Development, vol. 75 No. 2, 1996, hlm. 22 196 Ibid., hlm. 22-23 197 Duane Schulz, Psikologi Pertumbuhan, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 53
118
Kecenderungan berkembangnya konseling spiritual (keagamaan)
selain karena tuntutan lingkungan yang berubah juga dikarenakan
penyelenggaraan bimbingan konseling selama ini. Menurut M. Djawad
Dahlan bahwa teori bimbingan konseling selama ini dipergunakan belum
sepenuhnya memperhatikan keseimbangan antara berbagai issue dalam
konseling berikut ini:
1. Kualifiksi konselor dipandang segalanya, dan kurang memperhatikan
teknik yang digunakan oleh konselor.
2. Materi dan isi konseling dipandang sangat esensial dan kurang
memperhatikan proses yang berlangsung dalam konseling.
3. Pendekatan individual dipandang segalanya dan kurang
memperhatikan pendekatan kelompok.
4. Keutuhan pribadi dipandang lebih utama (menurut kaum Gestaltist)
daripada memperhatikan aspek-aspek unsuriyah (behaviorisme).
5. Mengutamakan pengembangan nalar daripada penyembuhan perasaan
klien.
6. Mengutamakan perluasan pengetahuan dan mengabaikan kemampuan
penyesuaian diri.
7. Mengabaikan tuntutan normatif dalam menentukan kriteria manusia
sehat.198
198 M. Djawad Dahlan, Perspektif Profesi Bimbingan Konseling Berbasis Value dalam
Pengembangan Fitrah Manusia, Kumpulan makalah konvensi Nasional XIII Assosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) Bandung 2003, hlm. 87-88
119
Didasarkan pada berbagai permasalahan bimbingan konseling tersebut
di atas, maka perlu dicari aspek sentral pengembangan fitrah manusia.
Pengembabgan aspek value ini dapat ditelusuri melalui berbagai upaya
bimbingan religius.199
Perkembangan bimbingan konseling keagamaan merupakan suatu
kebutuhan bagi manusia itu sendiri, pada akhirnya tiap agama memiliki corak
bimbingan dan konseling yang khas. Dalam agama Kristen kita mengenal
konseling pastoral. Konseling ini memandang manusia sebagai makhluk yang
dikasihi Tuhan. Kegiatan bimbingan konseling dilakukan dalam pengakuan
dosa agar umat tidak jatuh dalam dosa lagi dan dapat hidup suci dari dosa.200
Sedangkan pendekatan konseling Budha diturunkan langsung dari ajaran-
ajaran Budhis (Sidharta Gautama) yang memandang manusia mempunyai
kebebasan untuk menjadi tercemar atau menciptakan kesempurnaan
(kebudhaan).201
Sementara kajian bimbingan konseling Islam sebagai salah satu
disiplin ilmu dakwah yang lahir dari pengembangan metode istinbath dan
iqtibas202 secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan ilmu-ilmu
keislaman dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu keislaman yang dapat
bersinggungan langsung dengan bimbingan konseling Islam adalah tasawuf,
199 Ibid. 200 Martin Handoko, Bimbingan Konseling di Lingkungan Masyarakat Kristiani, Makalah
seminar regional konseling lintas agama Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang 2003, hlm. 2
201 Partono Nyanasuryanadi Thera, Pendekatan Konseling Budha, Makalah seminar regional bimbingan konseling Lintas agama Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang 2003, hlm. 2
202 Muhammad Sulthon, Kapita Selekta …, op. cit., hlm. 102
120
karena tasawuf adalah unsur spiritualitas (dimensi esoteris) dalam Islam.
Persentuhan inilah yang kemudian memungkinkannya implementasi tasawuf
dalam bimbingan konseling Islam, yang berpeluang besar memberi warna
tersendiri bagi trend konseling di era modern. Sekaligus mengubah pandangan
Islam yang serba legalitas formal, tidak memiliki dimensi esoteris, maka kini
saatnya dimensi batiniah Islam diperkenalkan sebagai alternatif kekeringan
spiritual masyarakat modern. Menurut Nasr hal ini bertujuan untuk:
Turut berperan serta dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi
kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
Memperkenalkan pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap
masyarakat Islam – yang mulai melupakannya maupun non Islam
khususnya Barat.
Untuk memberi penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris
Islam, yakni sufisme adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila
wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-
aspek lain ajaran Islam.203
Impelementasi tasawuf dalam bimbingan konseling Islam yang terutama
merujuk pada pemikiran Amin Syukur sebagaimana diuraikan dalam bab III
adalah berkaitan dengan solusi atas problem manusia modern, dapat
difokuskan pada konselor dan klien yang terlibat dalam prosesi konseling.
203 Komaruddin Hidayat, Sufisme dan Pembebasan Manusia Pandangan S.H. Nasr dalam Ahmad Gaus AF (ed.), Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 278-279
121
Konseling
Dalam proses konseling, konselor mempunyai peran sangat
penting, yaitu membantu klien memecahkan masalahnya. Karena memang
dalam konseling memegang prinsip kemandirian. Sesuai dengan prinsip
ini klien mempunyai kebebasan untuk menentukan keputusan yang
diambil dalam usaha menyelesaikan masalah yang dihadapi. Meskipun
demikian, konselor sebagai orang yang mengarahkan dan memberikan
pertimbangan terhadap keputusan klien harus memiliki kualifikasi tertentu,
sehingga ia dapat seefektif mungkin mengarahkan kliennya. Kualifikasi
(kepribadian yang efektif) konselor merupakan hal sangat penting,
sehingga banyak tokoh yang mengemukakan ciri-ciri konselor yang
efektif.204
Meminjam pendapat Hamdan Bakran adz-Dzaky yang menetapkan
tiga aspek pokok yang harus dimiliki konselor, yaitu aspek spiritualitas,
aspek moralitas dan aspek keilmuan dan skill.205 Aspek spiritualitas, bisa
dimaknai sebagai ketaatan seorang kepada Tuhan, melaksanakan
perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Kesadaran bahwa dia makhluk
Tuhan yang memiliki keterbatasan kelebihan tertentu membawa pada
sikap berikut: mereka menghargai dan menaruh rasa hormat pada diri
sendiri, mereka memiliki gairah dan orientasi hidup, selain itu merasa
aman dengan diri sendiri dan memiliki keteguhan hati.
204 Muhammad Sulthon, Kapita Selekta …, op. cit., hlm. 205 Hamdan Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Jakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2002, hlm. 299
122
Aspek kedua adalah moralitas. Konselor yang memiliki kualifikasi
ini adalah mereka yang mengerti nilai-nilai baik buruk bagi diri sendiri
dan dalam menjalin hubungan dengan orang lain (klien). Moralitas diri
berarti ia seorang yang otentik, bersungguh-ungguh, jujur dan sabar.
Sedangkan moralitas diri berarti dalam menjalin hubungan dengan orang
lain adalah percaya pada orang lain, terbuka pada perubahan, mengahargai
adanya pengaruh budaya, memiliki kemampuan berempati, toleran
terhadap klien yang sedang bingung, tidak agresif dan memiliki kontrol.
Aspek keilmuan dan skill. Tidak semua orang dapat disebut
sebagai konselor karena seorang konselor adalah mereka yang secara
formal mengeyam pendidikan konseling dan pendidikan profesi konseling.
Namun tidak jarang kita menyebut seorang yang membantu
menyelesaikan masalah kita dengan konselor. Dalam tradisi Islam kiai
atau mursyid (dalam tasawuf), pastur (kristen), dan Biksu (agama Budha)
bisa saja disebut konselor religius.
Dari semua kualifikasi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya
untuk menjadi konselor yang efektif, seseorang harus berakhlaqul
karimah, karena bagaimana mungkin ia dapat membantu orang lain,
mengarahkan kepada kebaikan, sementara dirinya belum melakukan.
Berkaitan dengan hal ini, maka tasawuf yang pada intinya membentuk
akhlak yang baik merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh bagi
seorang konselor untuk meningkatkan kecerdasan qalbiyah.
123
Seperti yang telah disebutkan pada bab II, bahwa manusia
mempunyai empat dimensi kejiwaan, yaitu akal, qalbu, nafs dan ruh. Jika
struktur ini tetap dalam kendali qalbu, maka masing-masing komponen
akan memiliki potensi yang positif dan jika dikembangkan secara
maksimal akan mendatangkan kecerdasan. Dalam tradisi tasawuf untuk
mencapai qalbun salim perlu melakukan beberapa tahapan. Pertama
takhali, yaitu melepaskan diri dari sifat-sifat tercela. Kedua, tahalli, yaitu
menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga tajalli, yaitu
terintegrasinya nilai-nilai illahiyah yang akan terpancar dalam aktivitas
hidupnya. Dalam kondisi seperti inilah, maka seseorang telah mencapai
kecerdasan qalbiyah, kecerdasan qalbiah ini meliputi kecerdasan-
kecerdasan yang lain, yaitu:
1. Kecerdasan intelektual dan pembenaran pengetahuan kalbu
yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang
bersifat intuitif ilahiyah.
2. Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan
dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini
mengarahkan seseorang untuk berhati-hati, waspada, tenang, sabar dan
tabah ketika mendapat musibah dan berterima kasih ketika mendapat
kenikmatan.
3. Kecerdasan moral, yaitu kecerdasan kalbi yang berkaitan
dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta.
124
4. Kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan kalbu yang berhubungan
dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan
seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau
nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran
manusia.
5. Kecerdasan beragama adalah kecerdasan kalbu yang
berhubungan dengan kualitas beragama dan berketuhanan. Kecerdasan
ini mengarahkan seseorang untuk berperilaku benar dilandasi dengan
keimanan, keislaman dan keikhlasan.206
Klien
Implementsi tasawuf Amin Syukur dalam bimbingan konseling Islam juga
akan terlihat dalam terapi atau taknik yang digunakan yang tentunya disini
sangat memerlukan kerja sama dan komunikasi yang baik antara klien dan
konselor. Implementsi tersebut akan nampak dengan melalui contoh kasus
dan terapi yang digunakan dibawah ini.
Seorang ibu berusia 45 tahun dari keluarga berada maratapi nasibnya, Ia
merasa sedih, gelisah, bingung dan kehilangan akal dalam menghadapi
kenyataan-kenyataan yang pahit dan mengecewakan dalam hidupnya. Ia
merasa hidupnya tidak berarti lagi. Ia terbayang kecantikan wajahnya di waktu
muda. Ibu itu bercerita bahwa dulu ia merasa sangat bahagia. Suami sangat
mencintainya, mereka saling pergi ke tempat-tempat rekreasi (peristirahatan)
206 Abdul Mujib dab Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001, hlm. 329-330
125
dan tiap malam minggu menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang di
luar rumah.
Tetapi sekarang suami telah sibuk dengan urusannya sendiri, walaupun
ia mengerti bahwa urusannya itu untuk kepentingan keluarga. Kesedihan
tersebut ditambah lagi dengan perasaan yang tidak lagi dibutuhkan oleh anak-
anaknya yang sudah meningkat remaja. Yang paling kecil sudah duduk di
SLTP, mereka tidak lagi membutuhkan pemeliharaan, sering pergi jauh dari
rumah dan sibuk dengan teman-teman seusia mereka. Si ibu merasa
ditinggalkan sekaligus oleh suami dan anak-anaknya. Rumah mewah tidak
lagi menyejukkan hati, piano tidak lagi menolongnya dari kesepian, TV dan
radio hanya menyebabkan ia bertambah pusing. Sepanjang hari ia hanya
mengeluh dan menangis di dalam hati, sambil mengharap kesepian jiwa yang
mencekam itu hilang.
Demikian kosong dan hampanya jiwa si ibu tersebut. Sewaktu ditanya
apakah dia menganut suatu agama atau tidak dengan sangat ragu-ragu ia
menjawab bahwa ia beragama Islam, akan tetapi ia tidak pernah mengerti
ajaran agamanya apalagi menjalankannya.207
Sebagai seorang konselor, pemahaman kondisi psikis klien dan masalah
yang dihadapi klien adalah hal sangat penting untuk membantu klien
memecahkan masalahnya. Dari ilustrasi di atas dapat digali permasalahan
yang dihadapi si Ibu dari empat dimensi kemanusiaan (individualitas,
sosialitas, moralitas dan religiusitas) sebagai berikut:
207 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta, Haji Masagung,
1993, hlm. 17
126
Dimensi individualitas
Seorang Ibu berusia 45 tahun memasuki usia meningkatnya perasaan
putus asa, sedih, gelisah, tidak punya makna hidup.
Dimensi sosialitas
Hubungan yang kurang erat dengan suami dan anak-anaknya.
Dimensi moralitas
Pola hidup yang cenderung hedonis.
Dimensi religiusitas
Tidak mengerti ajaran agama, apalagi menjalankannya.
Kasus di atas bisa dikategorikan sebagai konseling krisis
perkembangan, yaitu memasuki usia 45 tahun, yaitu usia
meningkatnya putus asa dan krisis situasi karena si Ibu (klien)
mengalami stress akibat kondisi faktor keluarga, yaitu merasa
kehilangan kasih sayang dan perhatian dari suami dan anak-anak
mereka. Proses konseling yang dijalankan bertujuan:
a. Untuk membentuk motivasi kepada si Ibu agar menemukan
kembali makna hidup, sehingga kecemasan dan kegelisahan
hati dapat diatasi.
b. Mengubah perilaku pasif menjadi aktif dalam menghadapi hari-
hari tuanya.
Berdasarkan masalah-masalah yang dilihat dari empat
dimensi di atas, maka langkah-langkah terapi yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
127
a. Logotherapi
Logotherapi Victor Frankl ini dirancang untuk
menolong seseorang menemukan makna hidup dalam hidup
yang merupakan motivasi utama untuk menjalani hidup di
dunia. Mereka yang menghayati hidup bermakna akan
menunjukkan kehidupan penuh gairah dan optimisme untuk
mencapai tujuan hidup yang mereka tentukan. Makna hidup
bisa ditemukan melalui:
1. Nilai-nilai penghayatan (exeperiental values), yaitu
menyakini dan menghayati kebenaran kebijakan,
keindahan, keadilan, keimanan dan nilai-nilai lain yang
berharga. Sebagai seorang muslim fondasi utama yang
harus dimiliki adalah iman kepada Allah yang akan
membawa ketentraman batin. Keimanan ini bukan
formalisme semata, tetapi harus diaplikasikan dengan
ibadah langsung dengan Allah, sesama dan lingkungan. Di
sini tasawuf sebagaimana diungkapkan Amin Syukur
tampil untuk menghilangkan formalisme dengan
pengahayatan terhadap iman dan amal.208 Shalat misalnya
merupakan sarana untuk taqarrub dengan Allah dan
hubungan baik dengan Allah tersebut harus juga kita
208 Wawancara tanggal 3 Pebruari 2003
128
buktikan dengan menjalin hubungan baik dengan sesama
manusia.209
2. Creative values (nilai-nilai kreatif) bekerja dan berkarya
serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung
jawab penuh. Ilustrasi kasus di atas menunjukkan bahwa si ibu
lebih senang berdiam diri di rumah, tidak melakukan aktivitas
di luar, sehingga mudah merasa bosan dan tersiksa kala
ditinggalkan suami dan anaknya. Tidak ada salahnya konselor
menganjurkan si Ibu untuk mengisi hari-harinya dengan
pengajian mempelajari pengetahuan agama yang lain, di
samping tanggung jawab penuh sebagai seorang istri dan ibu.
2. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap). Menerima dengan
tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan
yang tak dapat dihindari lagi setelah upaya yang dilakukan
secara optimal tetapi tak berhasil mengatasi tua merupakan
perjalanan hidup yang tak dapat dihindari setiap orang,
sikap putus asa tidaklah perlu, tetapi harus bersikap tegar
dalam keadaan apapun. Sikap tegar ini dalam tasawuf
disebut al-Futuwah (sikap kesatria). Menurut Amin, sikap
kesatria ini dalam kehidupan modern dapat diwujudkan
209 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 149
129
dengan sikap tegar dalam menghadapi cobaan ataupun
mendapat nikmat dari Allah.210
b. Teori Rational Emotif
Dalam konteks di atas, kita melihat adanya pola pikir
yang tidak tepat, sehingga berpengaruh kepada perasaan dan
berperilaku si Ibu. Ibu mengembangkan pemikiran masa tua
yang menyedihkan dibandingkan masa muda, menanamkan
anggapan dalam diri bahwa ia tidak dibutuhkan lagi. Pola
berpikir inilah yang melahirkan perasaan kesepian, gelisah dan
berperilaku meratapi nasib. Teori rational emotif dapat
diterapkan karena sesuai tujuannya untuk persepsi, cara
berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang
irrasional menjadi logis / rasional agar klien dapat
mengembangkan diri dan meningkatkan aktualisasi seoptimal
mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.
Kedua menghilangkan gangguan-gangguan emosional
yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, bersalah, cemas
dan was-was dengan melatih dan membangkitkan klien untuk
menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan
membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri
sendiri.211
210 Wawancara tanggal 25 Pebruari 2003 211 M. Surya, Teori-Teori Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003, hlm. 21
130
Dengan menggunakan teknik assertive training yitu
training yang disusun untuk melatih, mendorong dan
membiasakan klien untuk secara terus menerus menyesuaikan
dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan. Latihan-
latihan yang diberikan bersifat pendisiplinan diri klien.212 Klien
ingin merubah perasan cemas dan gelisah yang dialaminya
menjadi tenang untuk mencapai itu semua diperlukan riyadhah
(latihan yang sungguh-sungguh), yaitu dengan tahalli
menghindari diri dari sifat tercela dan tahalli merupakan
pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam
Islam yang menjadi bekal untuk menghadapi kenyataan hidup.
c. Teori Client Centre Therapy
Konseling berpusat pada pribadi yang dikenalkan Carl
Rongers ini menekankan peranan konseling sendiri dalam
proses konseling. Rogers berpandangan optimis terhadap daya
kemampuan yang terkandung dalam batin manusia. Kalau
manusia bertindak dengan cara yang tidak baik, disebabkan
karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang
dari nalurinya yang paling mendasar. Bilamana orang dapat
menemukan kembali nalurinya yang asli usaha membela diri
212 Ibid., hlm. 23
131
akan berkurang dan tindakan-tindakannya akan lebih
konstruktif.213
Penggunaan teori dalam membantu klien
menyelesaikan masalahnya menuntut seorang konselor untuk
dapat memberikan penyadaran kepada klien akan dirinya yang
pada akhirnya ia mampu mengambil keputusan sendiri.
Seorang konselor Islam bisa kliennya untuk bertafakkur
(berfikir) dan muhasabah (instropeksi diri). Ia harus mampu
mengenali diri sendiri dari mana dan akan ke mana. Setelah
bisa mengetahui tentang siapa diri yang sebenarnya, besar
kemungkinannya bagi dia menghidupkan potensi yang ada
pada dirinya guna mengatasi kesepian dan kecemasan yang
dihadapi.
Beberapa alternatif terapi tersebut, setidaknya mampu
mengurangi kesepian dan kekosongan jiwa yang dialami, sebab
kasus di atas terlihat bahwa sumber gangguan jiwa si Ibu
adalah karena keringnya spiritualitas. Setelah melalui proses
konseling si Ibu berkata: “saya sekarang dapat menerima
kenyataan, bahwa saya tidak lagi muda dan saya harus
mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kemudian. Saya
mulai belajar dan memahami agama serta mengisi hari-hari
saya dengan ibadah. Hati saya mulai lega dan tentram, dan saya
213 W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia,
1991, hal. 339-340
132
dapat menerima sikap suami dan anak-anaknya yang tadinya
saya anggap sebagai siksaan”.
d. Konseling Psikologi Individual
Dalam kasus di atas, bantuan yang diberikan konselor
bisa memanfatkan teori Alfred Adler tentang psikologi
individual. Manusia berperilaku dianggap sebagai kompensasi
inferioritasnya, kemudian ia mengembangkan gaya hidup
tertentu untuk mendukung perasaan inferiornya itu. Kasus di
atas bila dilihat dengan seksama seorang ibu tersebut memiliki
perasaan inferior yang sangat akibat memasuki usia tua.
Perasaan ini melahirkan gaya hidup ingin selalu diperhatikan
oleh suami dan anak-anaknya yang kini sudah mulai sibuk
dengan urusan masing-masing. Akibat lebih jauh itu selalu
membayangkan masa muda yang penuh kebahagiaan
menghabiskan waktu di luar dan membanggakan kecantikan
yang dimiliki. Inilah yang kemudian seorang Ibu tersebut
dilanda gelisah dan cemas. Dari sini konselor dapat
mengembangkan teknik komparatif, artinya berempati untuk
memahami gaya hidup klien untuk kemudian membantu klien
mengubah gaya hidup dan memecahkan masalahnya.
Sesuai dengan konsep tasawuf Amin Syukur, maak
dalam diri klien perlu ditumbuhkan sikap zuhud yaitu
mempersenjataidiri dengan sikaf-sifat baru yang mampu
133
menumbuhkan sikap jantan dalam menghadapi gemerlap
duniawi, sehingga tumbuh sikap syukur, sabar, wara’ dan
qanaah yang sangat dibutuhkan si ibu dalam menghadapi masa
tua dan bersikap arif terhadap segala yang dimiliki.214
Langkah yang bisa diambil konselor adalah
menyadarkan klien tentang perubahan usia yang menuntut gaya
hidup berbeda dengan masa muda. Konselor dapat
menyarankan klien untuk lebih mengisi kegiatan hidupnya
dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti memperbanyak ibadah
(shalat, dzikir, mengikuti pengajian atau kegiatan keagamaan
lainnya). Karena hal itu akan lebih bermanfaat bagi dirinya
daripada harus merenungi nasib dan membayangkan masa-
masa mudanya dulu yang justru menambah ia gelisah.
Jadi implementasi tasawuf dalam bimbingan konseling Islam, baik
bagi konselor maupun klien pada dasarnya adalah agar dapat
meningkatkan mutu pelayanan konseling Islam. Dengan menambah
perhatian konselor dalam memperbaiki diri untuk menjadi konselor yang
efektif dan memberi perhatian lebih pada penghayatan keagamaan klien
saat terapi berlangsung. Hal ini akan dapat mewujudkan manusia
sepenuhnya, yaitu manusia yang tidak hanya sebagai makhluk bio-psiko-
sosial yang berorientasi pada kekinian saja, namun manusia sebagai
makhluk bio-psiko-sosio-religius yang berorientasi untuk kehidupan
214 Amin Syukur,Zuhud diabad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.hlm.179-180.
134
mendatang. Dengan demikian manusia sepenuhnya dapat terwujud dan ia
akan mampu mencapai derajat kemuliaan dan ketinggian yang selalu
bertambah.
135
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Modernisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan taknologi. Berkembangnya sikap hidup
egoisme dan materialisme ternyata membawa perubahan
yang cukup besar dalam perkembangan manusia. Dalam
konteks ke-Indonesian modernisasi akan sangat terlihat
dengan peradaban yang tumbuh di kota-kota besar terutama
mereka yang tingal di perumahan. Masyarakat modern yang
biasa hidup dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK
tersebut ternyata tidak selamanya menikmati kesejahteraan,
namun dibalik itu terdapat ekses negatif dari budaya
modern itu sendiri. Ekses negatif tersebut adalah
berkembangnya pola hidup sekuler yang pada akhirnya
mereka meningalkan agama dan keringlah kebutuhan
spiritual mereka.
Keringnya kebutuhan spiritual ini mengakibatkan manusia
modern mudah terkena gangguan-gangguan psikis seperti
stress, depresi dan neurosis. Kondisi ini mengharuskan
mereka mencari sebuah cara yang efektif untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan akan nilai transenden tersebut.
136
Berbagai tawaran muncul seperti melalui aliran-aliran
kebatinan sampai tasawuf sebagai disiplin ilmu ke-Islaman
mencoba tampil memberikan solusi. Tasawuf belakangan
ini dengan ajaran yang lebih humanis, fungsional dan
kontekstual, tidak cenderung theosofis seperti awal
perkembangannya.
Tasawuf sebagai solusi atas problem manusia modern mendapat
dukungan dari banyak tokoh seperti Iqbal, seorang modernis Pakistan ini
nencoba merekonstruksi kembali ajaran Islam sesuai pengalaman pendidikan
di Barat yang diperolehnya. Baginya, Islam mengajarkan kedinamisan, bukan
pasrah terhadap dunia. Hal inilah yang menurutnya menjadi penyebab
kemunduran Islam. Selain Iqbal, seorang ulama Iran Sayyed Husain Nasr
secara terang-terangan menyatakan bahwa jika manusia modern ingin terbebas
dari beban psikologis, mereka harus kembali kepada agama melalui tasawuf.
Di Indonesia perkembangan tasawuf modern telah dirintis oleh
Hamka dengan menerbitkan karya-karya seperti Tasawuf Modern dan
Lembaga Budi yang intinya manusia harus dapat menjaga keseimbangan
antara dunia dan akherat.
Perkembangan selanjutnya, tasawuf mulai banyak dikaji oleh para
akademisi yang memunculkan beberapa guru besar tasawuf. Prof. Amin
Syukur adalah salah seorang di antaranya. Dia adalah guru besar tasawuf
IAIN Walisongo Semarang yang secara produktif melahirkan pemikiran-
pemikiran rekonstruksi terhadap ajaran tasawuf
137
Menurut Amin, tasawuf di zaman sekarang dituntut aktif dalam
membantu menyelesaikan masalah hidup manusia. Karenanya di era ini
tasawuf memiliki tanggung jawab spiritual, etik, politik, intelektual dan
pluralisme. Tasawuf ini lebih ditekankan pada ajaran moral (akhlak) yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan membentuk watak manusia yang
baik. Pemikiran penting lainnya adalah zuhud yang bukan lagi maqam,
namun juga moral Islam yang sangat penting artinya dalam kehidupan modern
yang materialis. Zuhud bukan lagi mengisolasikan diri dari kehidupan dunia,
namun merupakan sikap usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah
baru yang akan menegakkan kita dalam menghadapi kenyataan hidup ini.
Dengan zuhud akan tampil sikap positif lainnya, seperti qana’ah, sabar, wara’
dan syukur.
Salain tasawuf mencoba menawarkan solusi atas problem manusia
juga berkembang konseling sebagai kegiatan yang notabene membantu klien
memecahkan masalah. Tuntutan lingkungan yang berubah menuntut
berkembangnya trend dalam dunia konseling, baik cyber counseling, yaitu
konseling yang memanfaatkan teknologi canggih. Multicultural counseling,
yaitu konseling yang memperhatikan pluralisme budaya dan spirituality
counseling.
Konseling spiritual semakin berkembang dengan
munculnya kesadaran dari para praktisi konseling tentang
kebutuhan spiritual manusia. Charlene E. Westgate,
misalnya memperkenalkan spiritual wellness, yaitu suatu
138
kondisi keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang
memungkinkan keterpaduan spiritualitas dengan dimensi
kehidupan lainnya, sehinga mengoptimalkan potensi untuk
pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Trend tersebut membuka kesempatan lebar bagi konseling yang
memang di dalamnya mengandung unsur spiritualitas, tak terkecuali
Bimbingan Konseling Islam. Tasawuf sebagai dimensi spiritual Islam
dijadikan alternatif pengembangan metode / teknik dalam konseling, karena
tasawuf dapat meningkatkan kesadaran manusia akan Tuhan, menghayati
amal ibadah yang dilaksanakan sampai pada terbentuknya akhlakul karimah.
Nilai-nilai ini tidak saja dikonsumsi oleh klien dengan menerapkan ajaran
tasawuf dalam teknik konseling seperti logoterapi, assertive training, rational
emotif dan client centre therapi, tetapi juga dapat diamalkan lebih dahulu oleh
konselor sebagai orang yang akan mengarahkan dan membantu orang lain
dalam menyelesaikan masalah.
Penerapan ajaran tasawuf ini diharapkan mampu melengkapi layanan
bimbingan konseling Islam yang memandang manusia dari empat dimensi,
yaitu individual, sosial, moral dan religi. Peningkatan dimensi religi ini akan
dapat membuat manusia hidupa secara lebih sempurna tidak hanya
berorientasi pada dunia, tetapi juga akherat. Sehingga semakin tinggi dimensi
religi seseorang, maka akan semakin tinggi dan mulia manusia itu dihadapan
Tuhan.
139
Implemantasi ajaran tasawuf dalam konseling bisa dilihat dalam
terapi yang diberikan konselor kepada klien. Penggunaan logoteraphy sebagai
salah satu teknik pemberian bantuan untuk menyadarkan kembali klien
terhadap dirinya sendiri dan menemukan makna hidup yang merupakan
motivasi utama hidup. Dalam terapi ini klien diajak untuk mengingat kembali
siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana. Bagi Muslim, eksistensi
manusia adalah sebagai makhluk yang diciptakan Allah dari tanah sehingga
membuat manusia lemah, tetapi kelemahan manusia ini ditutupi dengan
kemuliaan yang dimilikinya, karena akan membawa klien menyadari bahwa
dirinya adalah hamba Allah yang diberi tugas sebagai khalifah di bumi.
Sehingga ia mempunyai kewajiban untuk selalu berbuat baik. Makna dan
tujuan hidup untuk mencapai ridha Allah SWT. Inilah yang membuat klien
akan tegar dan mampu mengatasi segala masalah yang dihadapi.
Penerapan zikir dan ibadah lain, seperti shalat tahajjud dan shalat
sunnah yang lain untuk mengubah perilaku buruk selama ini menjadi perilaku
yang lebih baik dan membantu disiplin diri dapat diterapkan dalam assertive
training salah satu teknik konseling rational emotif. Atau menggunakan teknik
komparatif sebagai teknik dalam konseling individual yang bertujuan untuk
menunjukkan pola hidup klien yang salah dan mengubah perilaku hidup yang
lebih baik. Berkaitan dengan hal ini konselor bisa mengajak klien untuk
mengubah yang tidak hanya untuk kepentingan sesaat saja, tetapi kepentingan
selamanya sampai akherat.
140
Penerapan tasawuf dalam Bimbingan Konseling Islam melalui
teknik-teknik yang dilakukan seperti di atas telah menunjukkan bahwa
konseling Islam dapat berkembang dan diperkaya sesuai dengan kemampuan
konselor sendiri. Dalam konteks ini bisa dengan jelas dilihat dalam aktivitas
Amin Syukur disebuah lembaga Konsultasi dan bimbingan tasawuf atau
lebih akrab dengan sebutan LEMBKOTA Satu yang perlu diingat adalah
konseling merupakan seni untuk membantu klien dan masing-masing konselor
mampu memiliki ciri khas tersendiri dalam mengembangkan kemampuan
tergantung ketrampilan dan kemampuan untuk menggali berbagai aspek yang
dapat bermanfaat bagi proses konseling.
Saran-Saran
Manusia modern cenderung merindukan nilai-nilai spiritual
yang selama ini kering, sehingga mereka berusaha
memenuhi kebutuhan itu dengan mengikuti kegiatan
spiritual seperti tasawuf (spiritual dalam Islam) yang
memang bisa dijadikan sebagai alternatif pemenuhan
kebutuhan tersebut.
Beberapa saran yang dapat penulis kemukakan di sini adalah sebagai
berikut:
1. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekuarangannya dan
masih bersifat teoritis kendati di satu sisi tasawuf Amin Syukur telah
diterapkan pada anggota Lembkota-nya, namun penulis menganggap perlu
bagi mahasiswa dakwah, khususnya jurusan BPI untuk menggali nilai-
141
nilai lain yang bisa diperkaya dan mengembangkan keilmuan konseling
Islam.
2. Tugas dan lapangan pekerjaan bagi mahasiswa bimbingan dan konseling
Islam sebenarnya sangat luas dengan mengembangkan kemampuan secara
keilmuan dan skill akan menjadi nilai tersendiri, sehingga mampu
bersaing.
3. Penulis menganggap penting implementasi tasawuf dalam bimbingan dan
konseling Islam, karena hal ini merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat
modern yang semakin kering kebutuhan spiritual, sehingga mengharuskan
konseling memberikan porsi lebih terhadap penghayatan agama dalam
proses konseling yang berlangsung.
4. Konseling merupakan proses pemberian bantuan kepada klien agar mampu
mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini berarti bahwa konselor harus
mampu membaca kebutuhan konseli yang semakin berkembang dalam
kehidupan modern. Penghayatan keagamaan sering menjadi faktor bagi
timbulnya problem kehidupan. Konseling yang memberikan perhatian
lebih terhadap masalah keagamaan sesuai dengan kebutuhan klien,
sehingga akan dapat mengefektifkan peran konselor.
Penutup
Puji syukur alhamdulillah, dengan rahmat dan hidayah Allah, maka
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini masih banyak kekurangan, baik
142
dari segi bahasa, sistematika maupun analisisnya. Hal tersebut semata-mata
bukan kesengajaan penulis, namun karena keterbatasan kemampuan yang
penulis miliki. Karenanya penulis memohon kritik dan saran.
Akhirnya penulis memanjatkan do’a kepada Allah semoga skripsi ini
bermanfaat bagi siapa saja yang berkesempatan membacanya serta dapat
mesmberikan sumbangan yang positif bagi khazanah ilmu pengetahuan.
Amin.