BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan, kata ini telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh
berbagai kalangan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh pandangan dunia
(weltanschauung) masing-masing. Pada dasarnya, pendidikan berbeda dengan
pengajaran. Jika pendidikan berorientasi pada transformasi nilai (value) dan
pembentukan kepribadian, pengajaran hanya mempunyai orientasi pada
transformasi ilmu saja.1
Secara lebih filosofis, menurut Noeng Muhajir, pendidikan
diartikan sebagai upaya terprogram mengantisipasi perubahan sosial oleh
pendidik dalam membantu subyek didik dan satuan sosial untuk berkembang
ke tingkat normatif yang lebih baik. Bukan hanya tujuannya, tetapi juga cara
dan jalannya.2
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bab I, pasal I ayat (1)
menyatakan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.3
Pendidikan yang dihubungkan dengan kata “Islam” sebagai suatu
sistem keagamaan, kemudian menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang
secara eksplisit menjelaskan beberapa karakteristik yang dimilikinya.
Dalam kontek Islam, pengertian pendidikan merujuk pada istilah
tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang harus difahami secara bersama-sama.
Rekomendasi konferensi dunia tentang pendidikan Islam pertama di makkah
1Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 3. 2Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial ; Teori Pendidikan Pelaku
Sosial Kreatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), cet. V, hlm. 7-8.
2
tahun 1977 yang menyebutkan bahwa : “The meaning of education in its
totality in the context of Islam is inherent in the connotations of the terms
tarbiyah, taklim and ta’dib taken together” .4
Dalam rangka merumuskan pendidikan Islam yang lebih spesifik
lagi, para tokoh pendidikan Islam kemudian memberikan konstribusi
pemikirannya bagi dunia pendidikan Islam. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika banyak dijumpai horizon pemikiran tentang pendidikan
Islam diberbagai literatur.5
Secara lebih umum, pendidikan Islam merupakan suatu sistem
pendidikan untuk membentuk manusia Muslim sesuai dengan cita-cita Islam.
Pendidikan Islam memiliki komponan-komponen yang secara keseluruhan
mendukung terwujudnya pembentukan Muslim yang diidealkan. Oleh karena
itu, kepribadian Muslim merupakan esensi sosok manusia yang hendak
dicapai.6
Sedangkan secara lebih khusus, sebagaimana dikutip Ismail SM,
Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan bahwa pendidikan Islam
merupakan upaya peresapan dan penanaman adab pada diri manusia (peserta
didik) dalam proses pendidikan sebagai suatu pengenalan atau penyadaran
terhadap manusia akan posisinya dalam tatanan kosmik. Al-Attas
berpendapat:
3Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 2. 4Tim Dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-Dasar Kependidikan Islam : Suatu Pengantar
Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Karya Abdiyatama, 1996), hlm. 13. Lihat pula Ahmad Ludjito, “Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama Pada Sekolah di Indonesia” dalam Chabib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 21. Untuk memperjelas pengertian, analisa maupun perbedaan ke-tiga term tersebut, lihat Mustofa Rahman, “Pendidikan Dalam Pespektif Al-Qur’an” dalam Ismail SM (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 56-65. Lihat pula Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 113-122.
5Beberapa pemikiran para tokoh tersebut, bisa dibaca dalam Darmu’in (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam ; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Bisa juga dibaca dalam Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
6Ibnu Hadjar, “Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam” dalam Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Kerjasama Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 3.
3
Pendidikan merupakan pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat dari segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga dapat membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan secara tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaaannya.7
Muhammad ‘Atiyah Al-Abrashy menerangkan bahwa pendidikan
Islam bukanlah sekedar pemenuhan otak saja, tetapi lebih mengarah kepada
penanaman akhlak, fadhilah (keutamaan), kesopanan, keikhlasan serta
kejujuran bagi peserta didik.8
Sementara itu, pendidikan Islam oleh Hassan Langgulung
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra merupakan suatu proses penyiapan
generasi muda, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia sebagai khalifah fil ardl untuk beramal di
dunia dan memetik hasilnya di akherat.9
Dengan demikian, pada hakekatnya pendidikan adalah suatu proses
“humanisasi” (memanusiakan manusia) yang mengandung implikasi bahwa
tanpa pendidikan, manusia tidak akan menjadi manusia dalam arti yang
sebenarnya.10
Dalam pendidikan Islam, muara pembentukan manusia mencakup
dimensi imanesi (horizontal) dan dimensi transendensi (vertikal).11 Oleh
karena itu, aspek mendasar dari pendidikan Islam adalah upaya melahirkan
Insan Kamil.
Dunia pendidikan Islam terkejut, ketika asumsi bahwa setiap usaha
pendidikan Islam sebagai suatu kegiatan yang mulia, sakral, mengandung
7Ismail SM, “Konsep Pendidikan Islam ; Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad
Naquib Al-Attas”, Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm. 52-69, t.d.
8Muhammad ‘Atiyah Al-Abrashy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 15.
9Azyumardi Azra, Pendidikan Islam….., op.cit., hlm. 5. Lihat juga dalam Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 5.
10Ahmad Ludjito, “Filsafat Nilai Dalam Islam” dalam Chabib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat…, op.cit., hlm. 21.
11M. Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 31.
4
kebijakan, dalam kenyataanya masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Akibatnya, dunia pendidikan Islam belum mampu melahirkan sosok manusia
yang mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan (humanisme) nya.
Humanisme dimaknai sebagai potensi (kekuatan) individu untuk
mengukur dan mencapai ranah ketuhanan (transendensi) serta mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Humanisme dalam pendidikan
Islam adalah proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi
manusia sebagai makhluk berketuhanan dan makhluk berkemanusiaan serta
individu yang diberi kesempatan oleh Allah untuk mengembangkan potensi-
potensinya.12 Disinilah urgensi pendidikan Islam sebagai proyeksi
kemanusiaan (humanisasi).
Betapa pentingnya humanisme harus dikembangkan dalam dunia
pendidikan Islam, tergambar dalam surat al-Baqarah (2) ayat 197.13 Allah
SWT berfirman :
الحج اشهر معلومت فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى
احلج وما تفعلوا من خير يعلمه اهللا وتزودوا فان خير الزد التقوى واتقون
12Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ;Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 135. 13Ibid., hlm. 141-142.
5
⎯ ياولى االلباب
Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu. Barang siapa mengerjakan perlu haji, maka tak boleh ia bersetubuh (dengan perempuannya), tak boleh memperbuat kejahatan dan tak boleh pula berbantah-bantah waktu haji. Apa-apa kebaikan yang kamu perbuat niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu dengan sesungguhnya sebaik-baik perbekalan, ialah taqwa (memelihara dari meminta-minta). Takutlah kepada-Ku, hai orang-orang yang mempunyai akal.14
Titik tekan dalam ayat ini adalah ajaran الو قوال فسفث وال ر
ال فى احلججد, yakni suatu ajaran misbehavior ; ajaran dasar tentang kedamaian
pada semua makhluk. Jadi, Islam adalah universal religion of peace ; Agama
yang sangat menekankan kedamaian pada seluruh alam (rahmatan lil
‘alamin).15
Namun, humanisme dalam dunia pendidikan Islam kurang
dikembangkan. Tendensinya adalah, pendidikan Islam lebih berorientasi pada
konsep ‘abdullah daripada khalifatullah dan hablum minallah daripada
hablum minannas. Orientasi yang timpang ini kemudian melahirkan persoalan
filosofis bahkan sampai metodologis.16 Dunia pendidikan Islam kini
sebagaimana dikemukakan oleh Bassam Tibi yang dikutip Abdul Wahid,
sedang mengalami masalah-masalah besar seperti dikotomi (Dichotomic),
ilmu pengetahuannya yang masih bersifat umum (Too General Knowled),
maupun rendahnya semangat penelitian (Lack of Spirit of Inquiry).17
14Mahmud Yunus, Terjemah Qur’an Karim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. V, hlm.
29. 15Abdurrahman Mas’ud, loc.cit. Islam adalah universal religion of peace, agama
kedamaian pada seluruh alam. Salah satu lambang kedamaian tersebut, bisa dilihat dalam ibadah haji sebagai ritual dan juga merupakan universalisme Islam seperti yang ditulis oleh Malcom X dalam a letter for Mecca. Mengenai ayat tersebut, ada dalam Q.S (2) : 197. Lihat Pula Abdurrahman Mas’ud, “Agama dan Perilaku Politisi Dalam Proses Pilkada : Dari Kesalihan Pribadi Ke Kesalihan Sosial” dalam Satoto, et.al., Pilkada di Era Otonomi ; Berlayar Sambil Menambal Lubang di Kapal, (Semarang: Kerjasama KP2G Jateng , DRD Jateng, dan CV Aneka Ilmu, 2003), hlm. 54.
16Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format…, op.cit., hlm. 15. 17Lihat Abdul Wahid, “Pendidikan Islam Kontemporer : Problem Utama, Tantangan dan
Prospek” , dalam Ismail SM (eds.), Paradigma Pendidikan Islam…, loc.cit., hlm. 275-292.
6
Akibatnya, pendidikan Islam jauh dari penelitian empiris dan
disiplin filsafat. Sistem hafalan (memorization) lebih dominan daripada dialog
dan rasa ingin tahu. Ide segar, orisinilitas, inovasi dan kreativitas individu
menjadi hilang. Bahkan, makna (meaning) menjadi tidak jelas.18
Konsekuensi logis dari perbagai masalah ini adalah dunia
pendidikan Islam belum mampu menyentuh ranah kemanusiaan. Bahkan,
realitas sosial menjadi terabaikan. Kreatifitas individu sebagai manusia unik
menjadi terpasung. Dalam bahasa Freire, manusia menjadi tertindas. Selain
itu, ajaran Islam menjadi jauh dari penghayatan serta pelaksanaan.
Dengan demikian, pendidikan Islam tidak bisa lagi dikatakan
bertujuan “memanusiakan manusia”, tapi justru menjadi proses
“dehumanisasi”, sehingga manusia tercabut dari akar kemanusiannya. Produk
dunia pendidikan Islam kini bukan Insan Kamil, melainkan “manusia yang
tidak manusiawi” ; manusia yang terpecah kepribadiannya (split personality),
dan lebih berorientasi pada “formalitas” sertifikat (certificate oriented)
maupun sejenisnya.19
Melihat realitas tersebut, para tokoh pendidikan kemudian
mengemukakan gagasannya tentang pendidikan bagi harkat kemanusiaan.
Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud adalah tokoh yang menyuarakan dan
memperjuangkan semangat tersebut dalam dunia pendidikan.
Freire mengkritik praktek dalam dunia pendidikan yang tidak lebih
dari sebuah bank dimana guru merupakan “sumber” dan murid hanya
“membeo” saja. Peserta didik ibarat sebuah botol kosong yang diperlakukan
hanya sebagai obyek dengan semena-mena.20
Dalam rangka mengembalikan pendidikan sebagai proses
memanusiakan manusia, bagi Freire tiada kata selain usaha memanusiakan
18Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format …, op.cit., hlm. 9. 19Lihat Abdul Wahid, loc.cit. 20Lihat pengantar dalam buku Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan,
dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. III, hlm. xi-xii. Lihat pula Denis Collins, Paulo Freire; Kehidupan, Karya & Pemikirannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 96-101. Atau Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire; Islam dan Pembebasan, (Jakarta:
7
manusia (humanisasi) dengan kesejatian fitrah manusia sebagai “pelaku”
bukan sebagai “penderita”, sehingga manusia bisa merdeka, dan bebas dengan
menggunakan sikap kritis dan daya cipta serta sikap orientatif yang
mengembangkan bahasa pikiran (thought of language).
Pendidikan bagi Freire haruslah berorientasi pada pengenalan
realitas diri manusia dan dirinya sendiri baik secara subyektif maupun
obyektif dalam fungsi yang dialektis. Freire menamakan pendidikannya
sebagai “pendidikan kaum tertindas” ; pendidikan untuk pembebasan bukan
untuk penguasaan (dominasi). Langkah awal dalam pendidikan ini adalah
suatu proses yang terus-menerus, suatu commencement yang “selalu mulai dan
mulai lagi”, sedangkan penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari
proses pendidikan.21
Berbeda dengan Freire, Abdurrahman Mas’ud melihat bahwa
upaya humanisasi dalam dunia pendidikan (Islam) dilatar belakangi oleh
ketimpangan-ketimpangan paradigmatik dalam dunia pendidikan Islam.
Pertama, kurang berkembangnya humanisme religius dalam dunia
pendidikan Islam dengan tendensi pendidikan Islam lebih berorientasi pada
konsep ‘abdullah daripada khalifatullah dan hablum minallah daripada
hablum minannas. Kedua, orientasi yang timpang ini telah melahirkan
masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan Islam, dari filosofis,
metodologis, bahkan sampai ke the tradition of learning. Ketiga, masih
dominannya gerakan skolastik dalam sejarah Islam, sementara gerakan
humanisme melemah.22
Selain itu, dengan pendekatan sosiologisnya terhadap dunia
pendidikan Islam di Indonesia, Rahman mengungkapkan kelemahan-
kelemahan paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan. Beberapa
kelemahan itu adalah : keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan
Djambatan, 2000), hlm. 47-48. Lihat juga, dalam Saiful Arif (ed.), Pemikiran-Pemikiran Revolusioner, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. II, hlm.148-157.
21Kesadaran oleh Freire dibagi menjadi tiga tingkat, magis, naif dan kritis. Lihat William A. Smith, Conscientizacao; Tujuan Pendidikan Paulo Freire, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 60-90.
22Abdurrahman Mas’ud, op.cit., hlm. 15.
8
vertikal dan kesemarakan ritual, sehingga orientasi menuju kesalehan sosial
menjadi jauh, potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional,
serta kemandirian anak didik dan tanggungjawab masih jauh dalam capaian
dunia pendidikan.23
Dalam kondisi ini, bagi Rahman yang terpenting adalah
mengapresiasi potensi individu melalui pendidikan yang berorientasi pada
hubungan manusia (hablum minannas) yang dijadikannya sebagai titik awal
dalam pengembangan humanisme dalam dunia pendidikan Islam.24
Meskipun gagasan pemikiran humanis sudah ada, namun
pemikiran tersebut perlu ditegakkan, dikembangkan dan diaktualisasikan lagi,
terutama dalam dunia pendidikan Islam yang nampaknya masih jauh dari nilai
kemanusiaan. Jadi, aktualisasi humanisme dalam pendidikan Islam merupakan
suatu keharusan. Aktualisasi merupakan sebuah upaya perwujudan dari proses
pengejawantahan diri dalam dunia pendidikan Islam. Dengan
mengaktualkannya, sisi-sisi kemanusiaan diharapkan akan menjadi real dalam
dunia pendidikan Islam untuk kebutuhan hidup sekarang.
Pada dasarnya, pemikiran humanisme yang berdasarkan atas
agama (humanisme Islam) menghendaki agar kaum agama mempunyai
perhatian dalam menciptakan tata sosial moral yang adil dan egaliter, dalam
rangka menghilangkan apa yang dalam agama disebut sebagai “fasad fil
ardl”. Selain itu, pelaksanaan gagasan humanistik tersebut jelas berbeda
dengan masa lalu. Dalam pelaksanaan di era sekarang, perlu
mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis dan ilmu-ilmu sosial lainnya.25
Inilah yang membuat penulis menjadi tertarik untuk lebih lanjut
mengadakan suatu penelitian tentang aktualisasi humanisme dalam pendidikan
Islam. Disamping itu, nampaknya belum ada suatu usaha untuk menganalisis
lebih lanjut mengenai pemikiran tentang humanisme khususnya dalam dunia
23Ibid., hlm. 143-154.
24Ibid., hlm. 129-213. Humanisme dalam pendidikan Islam bagi Rahman adalah humanisme religius. Lihat pula Abdurrahman Mas’ud, “Diskursus Pendidikan Islam Liberal”, dalam Jurnal Edukasi, Volume I, Th. X, 2002, hlm. 14-32.
25Mamad Sa’bani S, Memahami Agama Post Dogmatik, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 60.
9
pendidikan Islam. Dalam pandangan penulis, cukup menarik kiranya
persoalan ini untuk diteliti. Ketertarikan itu terletak pada semangat
penempatan manusia menjadi manusia dalam dunia pendidikan Islam yang
masih jauh dari kemanusiaan.
Berdasar alasan inilah kajian ini dibuat. Agar terfokus, maka perlu
pembatasan. Pertama, kajian ini hanya terbatas pada masalah humanisme
dalam dunia pendidikan Islam. Kedua, kajian ini hanya terbatas pada
pemikiran Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud tentang humanisme dalam
dunia pendidikan dengan menggunakan studi komparatif. Studi ini berguna
dalam mencari relevansi serta aktualisasi pemikiran humanisme bagi dunia
pendidikan Islam dalam masa sekarang.
Latar belakang pengambilan tokoh tersebut, didasarkan atas
orisinilitas pemikiran tentang humanisme dalam dunia pendidikan. Disamping
itu, backgraund keduanya sangat berbeda. Ini berguna dalam telaah pemikiran
humanisme antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud. Inilah yang
membuat penulis tertarik untuk lebih lanjut mengadakan penelitian.
Secara lugas judul dalam penelitian ini adalah “AKTUALISASI
HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM” (Studi Komparatif
Pemikiraan Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud).
B. Rumusan Masalah
Atas dasar pemikiran tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
menjawab pertanyaan : “Bagaimanakah Aktualisasi Humanisme dalam
Pendidikan Islam” ?
Dari hal itu, maka secara sederhana rumusan tersebut mengandung
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian humanisme dalam pendidikan Islam ?
2. Bagaimana pemikiran Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud tentang
humanisme dalam dunia pendidikan ?
3. Bagaimana relevansi dan aktualisasi pemikiran humanisme Paulo Freire
dan Abdurrahman Mas’ud bagi dunia pendidikan Islam masa kini ?
10
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Pengertian humanisme dalam pendidikan Islam.
2. Pemikiran Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud tentang humanisme
dalam dunia pendidikan.
3. Relevansi dan aktualisasi pemikiran humanisme Paulo Freire dan
Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan Islam masa kini.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu :
1. Memberikan wacana pemikiran bagi dunia pendidikan, khususnya bagi
dunia pendidikan Islam.
2. Memberikan konstribusi pemikiran positif sebagai upaya membantu
memecahkan masalah bagi dunia pendidikan Islam.
3. Sebagai media sosialisasi pemikiran Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud
tentang perlunya pendidikan yang humanis dan aplikatif.
E. Kajian Pustaka.
Diakui atau tidak, literatur tentang humanisme di tanah air memang
sedikit, apalagi terkait dengan dunia pendidikan. Bahkan, lebih khusus lagi
dalam dunia pendidikan Islam, literatur semacam ini nampaknya jarang
dijumpai. Namun, hal itu tidak menyurutkan jihad penulis untuk selalu
berikhtiyar dalam keharusan universal.
Dalam buku “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ;
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Rahman
secara baik menguraikan tentang humanisme dalam pendidikan Islam. Karya
ini, merupakan hasil postdock riset di Amerika selama tiga bulan.26
Humanisme yang dimaksud adalah humanisme religius sebagai
sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia serta
upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggungjawab
hablum minallah dan hablum minannas.
11
Pemikirannya berangkat dari masalah keterbelakangan umat Islam
atau yang disebutnya sebagai the backwardness of the ummah yang tidak lain
di akibatkan oleh berkembangnya cara berfikir yang dikotomis seperti Barat-
Timur, atau Ilmu agama versus Ilmu Sekuler. Sedangkan pemikirannya
tentang humanisme dalam dunia pendidikan Islam dilatar belakangi oleh
ketimpangan-ketimpangan paradigmatik dalam dunia pendidikan Islam.
Selain itu, dengan pendekatan sosiologisnya terhadap dunia
pendidikan Islam di Indonesia, Rahman juga mengungkapkan kelemahan-
kelemahan paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan. Beberapa
kelemahan itu adalah : keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan
vertikal dan kesemarakan ritual, sehingga orientasi menuju kesalehan sosial
menjadi jauh, potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional,
serta kemandirian anak didik dan tanggungjawab masih jauh dalam capaian
dunia pendidikan.
Lebih lanjut, konsep humanisme religius terfokus pada : akal sehat
(common sense), individualisme menuju kemandirian dan tanggungjawab,
ketulusan mencari ilmu (thirst for knowledge), pendidikan pluralisme,
kontektualisme yang lebih mementingkan fungsi daripada simbol serta
keseimbangan antara reward and punishment. Sedangkan implikasi konsep
tersebut dalam dunia pendidikan Islam, mengarah pada aspek guru, metode,
murid, materi serta evaluasi.
Melalui tulisan “Refleksi Pendidikan Islam : Menuju Pendidikan
Humanis Multi Kultural”, Mamad Sa’bani. S, juga mengungkap tentang
humanisme dalam dunia pendidikan Islam.27
Tulisan ini dibagi dalam empat bahasan. Bahasan pertama
menggambarkan secara umum tentang dunia pendidikan yang ternyata
mengandung penindasan. Bahasan dalam dunia pendidikan Islam, dimulai
dari tradisi pendidikan Islam dan pesantren lewat pendekatan sejarah.
Sorotannya kemudian mengarah pada pesantren sebagai salah lembaga tradisi
26Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ……, loc.cit. 27Mamad Sa’bani. S, op.cit., hlm. 59-71.
12
Islam. Ada beberapa kelemahan dunia pesantren yang menjadi sorotannya,
yaitu bersifat dogmatis, berkutat pada pendekatan pedagogy, serta sudah
terjebak dalam kepentingan politik praktis.
Sementara itu, kepentingan Kapitalisme dengan agenda liberalnya
tidak memungkinkan bagi pendidikan (termasuk Islam) untuk menciptakan
ruang bagi sebuah sistem untuk secara kritis mempertanyakan tentang struktur
ekonomi, politik, ideologi, gender, lingkungan, serta hak-hak asasi manusia.
Untuk itu, maka pendidikan Islam hendaknya tidak terperangkap dalam
dataran epistemologi dan metodologi. Sudah saatnya pendidikan Islam syarat
akan aksi. Dibagian akhir tulisannya, penulis menyebut pendidikan “humanis
multi kulural”.
Titik berat pendidikan humanis multi cultural yang dilandasi
dengan pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama
dan budaya, baik secara individual maupun kelompok yang tidak terjebak
pada budaya primordialisme dan eksklusivisme. Titik selanjutnya adalah
pemahaman akan nilai-nilai kebersamaan (common values) dan upaya
kolaboratif dalam mengatasi setiap masalah serta tidak mengabaikan
humanisme.
Masih dalam dunia pendidikan Islam, lewat buku “Nalar Spiritual
Pendidikan : Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam”, DR. Abdul Munir
Mulhan SU, juga membahas tentang humanisme dalam pendidikan Islam.28
Menurutnya, buku ini merupakan langkah awal dari sebuah langkah besar
yang diperlukan bagi penyelesaian permasalahan pendidikan Islam dan
kemanusiaan.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang semula disusun untuk
berbagai kegiatan seminar, ceramah dan pelatihan. Bahan-bahan yang ada
dalam buku ini, setidaknya dikumpulkan dalam empat masa pemerintahan
Indonesia (dari Soeharto-Megawati) yang sangat perlu dijadikan bahan bagi
kajian pendidikan Islam.
28Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).
13
Tema utama buku ini adalah terletak pada konsep kebenaran ilmu
yang tak pernah selesai sebagai proses pencarian, penemuan, dan perumusan
kebenaran yang terus berlangsung sepanjang sejarah peradaban.
Kecenderungan seperti ini sering disebut sebagai hanief, yakni selalu
cenderung mencari kebenaran.
Al-Qur’an dan Sunnah diyakini oleh umat Islam sebagai sumber
informasi tentang kebenaran final bersumber dari wahyu Tuhan. Namun,
“kebenaran” atas pemahaman dari manusia yang meyakininya tidak akan
pernah sama dengan kebenaran wahyu itu. Dalam hubungan inilah, ilmu-ilmu
ke-Islaman atau Islamic Studies termasuk pendidikan Islam haruslah diletakan
dengan jelas dan tegas dalam posisi yang tak pernah kunjung selesai.
Untuk itu, “daya kritis” merupakan sebuah keharusan bagi umat
manusia. Daya kritis merupakan sebuah pertanda keberadaan dan aktualitas
manusia. Dari daya kritis itu, manusia memiliki kemampuan menyadari
dirinya dan kemudian mampu menerobos atau bahkan melampaui batas-batas
eksistensinya.
Pendidikan Islam yang humanistik juga disinggung oleh DR.
Hasim Amir dalam “Reorientasi Pendidikan Islam” karya A. Malik Fadjar.29
Dalam mengkaji hakekat pendidikan Islam yang ideal, Amir mengemukakan
pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yaitu pendidikan yang
integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar budaya kuat.
Pertama, pendidikan integralistik mengandung komponen-
komponen yang meliputi : Allah, manusia dan alam pada umumnya sebagai
suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik.
Kedua, pendidikan yang humanistik memandang manusia sebagai
manusia, makhluk ciptaan Allah dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai
makhluk hidup, manusia harus melangsungkan, mempertahankan, serta
mengembangkan hidup. Sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan dan
malaikat, manusia harus menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk
29A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 37-
39.
14
berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk
berbuat kasih sayang dan lain sebagainya.
Pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembalikan hati
manusia di tempatnya yang semula, dengan mengembalikan manusia kepada
firahnya sebagai sebaik-baik makhluk (khairu ummah). Manusia yang
“manusiawi” diharapkan bisa berfikir, berasa dan berkemauan, dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Bisa mengganti sifat
individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama
manusia, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin
mencari kesamaan dan lain sebagainya.
Ketiga, pendidikan pragmatik yang memandang manusia sebagai
makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan,
mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani
maupun rokhani.
Terakhir, pendidikan yang berakar budaya kuat, yaitu pendidikan
yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah kemanusiaan maupun sejarah
kebudayaan. Pendidikan yang berakar budaya kuat diharapkan dapat
membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada
diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri yang
merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya.
DR. A. Qodry Azyzy lewat tulisan “Penegasan Kembali Arah
Pendidikan Islam” mengungkapkan tentang orientasi pendidikan Islam yang
masih jauh dari nilai kemanusiaan (humanisasi).30
Menurutnya, dunia pendidikan agama (Islam) di Indonesia dalam
menghadapi abad 21 mengalami situasi yang serba dilematis. Disatu sisi
pendidikan Islam dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang
mengalami krisis multidimensional. Disisi lain, era globalisasi menuntut
individu yang berkualitas. Sementara itu, individu produk pendidikan Islam
30A.Qodry Azyzy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial; Mendidik Anak
Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 60-79.
15
yang dituntut bisa cerdas, terampil, berakhlak mulia ternyata rapuh fondasi
morality-nya.
Masalah pokok pendidikan Islam terletak pada hubungan
horisontal (hablun minannas) dan lemahnya apresiasi terhadap ajaran akhlak
yang sangat kecil dalam pelaksanaannya. Padahal menurutnya, Islam adalah
agama yang penuh dengan nuansa kemanusiaan dan ajaran akhlak.
Kemudian, kajiannya mulai menelusuri kelemahan-kelemahan
dunia pendidikan Islam. Menurutnya, ajaran Islam tentang kemanusiaan,
maupun ajaran akhlak yang kurang dipraktekkan, disebabkan oleh praktek
pendidikan yang lebih bersifat verbalistik, sehingga yang terjadi adalah
hafalan, diktat, dikte, tanya jawab, dan sejenisnya dan ujung-ujungnya murid
ditagih melalui evaluasi tertulis. Dengan demikian, murid hanya menjadi
penerima informasi, belum menunjukan bukti telah menghayati nilai-nilai
Islam.
Selain itu, pendidikan Islam juga diberikan melalui cara doktriner,
sehingga menyebabkan nilai-nilai yang ada dalam agama Islam tidak dihayati
dan tidak difahami. Lebih parah lagi, proses pendidikan menjadi tidak
dialogis, tidak komunikatif, tidak mengajak berfikir serta tidak memberikan
alternatif pilihan-pilihan kepada individu.
Berbeda dengan beberapa kajian tersebut, kajian pada penelitian ini
lebih menonjolkan telaah komparatif antara dua tokoh yaitu Paulo Freire dan
Abdurrahman Mas’ud yang berkonsentrasi pada masalah humanisme dalam
dunia pendidikan. Tujuannya adalah adanya Eksplorasi (pembuktian atau
pencarian).31
Disamping itu, nampaknya belum ada pembahasan secara lebih
mendetail tentang aktualisasi humanisme dalam pendidikan Islam di Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo dengan studi komparatif. Mengapa harus humanis
?, penulis memilih pemikiran humanisme disebabkan oleh berbagai faktor.
31Dilihat dari tujuan penelitian, maka ada tiga macam tujuan yaitu : Eksplorasi
(pembuktian atau pencarian), Verifikasi (pembuktian dari suatu teori) dan development (pengembangan lebih lanjut ). Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm. 3.
16
Pertama, pemikiran tersebut mengulas tentang penempatan manusia sebagai
manusia. Sementara itu, pendidikan Islam nampaknya masih jauh dari sisi
kemanusiaan. Disinilah pentingnya kajian ini. Kedua, ada tokoh yang berada
dalam garis ini yaitu Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud, sehingga secara
langsung memudahkan penulis untuk mengkajinya lebih lanjut.
F. Landasan Teori
Untuk kejelasan penelitian, perlu diberikan batasan pengertian
mengenai beberapa hal berikut :
1. Aktualisasi
Dalam bahasa Inggris Actual berarti sebenarnya atau
sesungguhnya; dan actualize yang berarti mewujudkan dan melaksanakan.
17
Kata aktualisasi lebih tepat diambil dari kata actualize yang
kemudian menjadi actualization (kata benda) atau Ihya dalam bahasa Arab
yang berarti menghidupkan, mewujudkan dan membangun.32
Aktualisasi yang dimaksud disini adalah proses pengejawantahan
diri (self realization) karena merupakan hasil rentangan antara sumber
daya insani (potensi) dengan proses aktualisasi diri (becoming). Jadi,
aktualisasi dalam penelitian ini adalah upaya perwujudan atau
manifestasi.33
2. Humanisme
Humanisme berasal dari kata latin humanus yang berarti
kemanusiaan, dan dalam bahasa Yunani disebut paideia.34 Menurut Ali
Syariati, humanisme diartikan sebagai filsafat yang menyatakan tujuan
pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan
manusia.35 Selain itu, humanisme adalah keyakinan bahwa manusia
mempunyai martabat yang sama sebagai prinsip sikap prima facie positif,
beradab dan adil, dan sebagai kesediaan untuk solider ; senasib
sepenanggungan tanpa perbedaan.36
Humanisme dalam penelitian ini dimaknai sebagai potensi
(kekuatan) individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan
(transendensi) serta mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.37
3. Pendidikan Islam
32A.H Ridwan, Reformasi Intelektual Islam;Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 25. 33Lift Anis Ma’sumah, “Aktualisasi Potensi Wanita Dalam Pendidikan Islam ;Analisis
Terhadap Pemikiran Ratna Megawati, Ph.D”, Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 9-10. t.d. Lihat pula Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 50.
34Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku II, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), hlm. 325. Lihat Pula Zainal Abidin, Filsafat Manusia ; Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 27.
35Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 39.
36Mamad Sa’bani, S., op.cit., hlm. 52-53. 37Abdurrahman Mas’ud, op.cit., hlm. 135.
18
Ahmad Tafsir memberi penjelasan bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap seseorang agar menjadi Muslim semaksimal
mungkin.38
M. Arifin mengartikan pendidikan Islam adalah terwujudnya
keseimbangan dan keserasian perkembangan hidup manusia. Bukan hanya
pada proses yang sedang berlangsung, tapi juga proses ke arah sasaran
yaitu citra Tuhan.39
Pengertian pendidikan Islam oleh Muhaimin M.A dibagi menjadi
tiga : Pertama, Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yaitu
pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari nilai yang terkandung
dalam al-Qur’an dan As Sunnah. Kedua, Pendidikan ke-Islam-an atau
pendidikan Agama Islam, yaitu upaya mendidikan agama, ajaran dan nilai
Islam agar menjadi pandangan hidup (way of life) seseorang.
Ketiga, Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam
sejarah umat Islam, yaitu proses pembudayaan dan pewarisan ajaran
agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi
sepanjang sejarahnya.40
Pendidikan Islam yang dibahas disini adalah segala usaha dalam
rangka pengembangan potensi individu dalam dimensi ketuhanan
(transendensi) dan kemanusiaan.
4. Studi
Studi berarti penelitian ilmiah : kajian; telaahan.41
5. Komparatif
Komparatif mempunyai arti berkenaan atau berdasarkan
perbandingan.42
38Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 32. 39M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. V, hlm. 14-18. 40Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 23-24. Lihat pula Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 29-30.
19
Jadi, maksud akhir yang diinginkan dalam penelitian ini adalah
upaya perwujudan ataupun manifestasi dari potensi (kekuatan) individu
dalam proses pengejawantahan diri dalam dunia pendidikan Islam yang
didasarkan atas kajian pemikiran antara Paulo Freire dengan
Abdurrahmman Mas’ud.
G. Metodologi Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
a. Library Research
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
pendekatan kepustakaan (Library Research),43 yaitu dengan cara
mengadakan studi secara teliti literatur-literatur yang berkaitan dengan
pokok permasalahan yang dibahas.
Adapun data tersebut meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi bahan-bahan yang langsung berhubungan dengan pokok
permasalahan. Sedangkan data sekunder meliputi berbagai bahan yang
tidak secara langsung berkaitan dengan pokok permasalahan. Data ini
diharapkan dapat melengkapi dan memperjelas data-data primer.
Teknik ini berguna bagi penulis dalam mengkaji bahan-bahan yang
langsung maupun berbagai bahan yang tidak secara langsung
berhubungan dengan pemikiran humanisme Paulo Freire dan
Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan.
b. Wawancara (intervew)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, dilakukan
oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) serta yang
diwawancarai (interviewee).44
41Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 965. 42Ibid., hlm. 516. 43Ibid., hlm. 9. 44Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999), cet. X, hlm. 135.
20
Metode ini, berguna bagi penulis dalam menggali informasi secara
langsung dari sumber penelitian yang masih hidup. Jadi, wawancara
disini hanya terbatas dengan Abdurrahman Mas’ud.
2. Pendekatan
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah
hermeneutika. Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan. Hermeneia merupakan kata
bendanya. Secara harfiyah, hermeneia dapat diartikan penafsiran atau
interpretasi, sedangkan penafsir di sebut hermeneut. 45
Pendekatan ini tidak sekedar berupa “penafsiran”, tapi juga
“penyelusuran” pemikiran tokoh baik dari sisi historis maupun dalam
dimensi kontek. Jadi, secara sederhana pendekatan ini melibatkan tiga
unsur besar : pengarang, teks dan pembaca. Siapa yang menulis,
bagaimana situasi sosio-historis yang mewarnai teks tersebut, serta
bagaimana pandangan pembaca terhadap teks tersebut.
Dengan demikian, pendekatan ini bersifat ganda. Disamping
berguna bagi penulis dalam menyelusuri pemikiran Paulo Freire dan
Abdurrahman Mas’ud tentang humanisme dalam dunia pendidikan,
pendekatan ini juga berguna dalam mencari relevansi dan aktualisasi
pemikiran bagi dunia pendidikan Islam sesuai dengan kontek sekarang.
3. Teknik Analisis Data
a. Analisis Isi (content analysis)
Holsti mengemukakan bahwa analisis ini berguna dalam menarik
kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan. Metode ini
menampilkan tiga syarat, yaitu: obyektifitas, pendekatan sistematis dan
generalisasi. 46
Analisa ini dikembangkan sebagai upaya penggalian lebih lanjut
mengenai gagasan Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud tentang
humanisme dalam dunia pendidikan.
45Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Edisi I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 84.
21
b. Komparasi (perbandingan)
Dengan analisis ini, perbandingan terhadap pemikiran Paulo Freire
dan Abdurrahman Mas’ud masih dapat dikerjakan daripada semata-mata
untuk menjatuhkan pemikiran salah satu tokoh. Peran dari studi
komparatif adalah untuk ketepatan kenyataan, generalisasi empiris serta
penetapan konsep.47
Analisa ini berguna bagi penulis dalam mencari persamaan dan
perbedaan pemikiran humanisme antara Paulo Freire dengan
Abdurrahman Mas’ud.
c. Interpretasi
Anton Bakker menjelaskan bahwa interpretasi merupakan usaha
menyelami isi buku untuk dengan setepat mungkin mampu mengungkap
arti dan makna uraian yang disajikan.48
Dengan demikian, analisa ini berguna bagi penulis dalam mencari
relevansi dan aktualisasi pemikiran humanisme Paulo Freire dan
Abdurrahman Mas’ud bagi dunia pendidikan Islam sesuai dengan kontek
sekarang.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis menyusun sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab pertama adalah Pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Kajian Pustaka, Landasan Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab kedua adalah Humanisme Dalam Pendidikan Islam. Garis
besar bab ini adalah gambaran idealitas pendidikan Islam yang merupakan
suatu proses humanisasi. Namun dalam realitasnya, pendidikan Islam
46Lexy J. Moleong, op.cit., hlm. 163. 47Ibid., hlm. 207-213. 48Anton Bakker, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 69.
22
justru masih jauh dari nilai kemanusiaan. Akibatnya pun, produk
pendidikan Islam adalah manusia yang tidak manusiawi.
Penulis membagi dua tema besar dalam bab ini. Tema pertama
adalah Humanisme yang terdiri dari : 1) Pengertian Humanisme, 2)
Humanisme Dalam Tinjauan Sejarah, dan 3) Humanisme Dalam Islam.
Tema besar selanjutnya adalah Pendidikan Islam yang terdiri dari : 1)
Pengertian Pendidikan Islam, 2) Tujuan Pendidikan Islam, 3) Ranah atau
Aspek Dalam Pendidikan Islam, dan 4) Humanisme dan Pendidikan Islam.
Dalam bab tiga, penulis menyajikan Gagasan Paulo Freire dan
Abdurrahman Mas’ud Tentang Humanisme Dalam Dunia Pendidikan.
Bagian pertama adalah Paulo Freire yang terdiri dari : 1) Riwayat Singkat
Kehidupan, 2) Karya Paulo Freire, 3) Gagasan Pemikiran Humanisme
Dalam Pendidikan, dan 4) Corak Pemikiran Humanisme Paulo Freire.
Bagian selanjutnya menampilkan Abdurrahman Mas’ud yang
terdiri dari : 1) Riwayat Singkat Kehidupan, 2) Karya Abdurrahman
Mas’ud, 3) Gagasan Pemikiran Humanisme Dalam Pendidikan, dan 4)
Corak Pemikiran Humanisme Abdurrahman Mas’ud.
Gagasan humanisme Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud
memberikan konstribusi pemikiran bagi dunia pendidikan. Karena itu,
dalam bab empat, penulis menyajikan Aktualisasi Humanisme Dalam
Pendidikan Islam. Secara garis besar, bab ini merupakan analisa yang
berisi tentang : 1) Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Humanisme Paulo
Freire dan Abdurrahman Mas’ud, 2) Relevansi dan Implikasi Pemikiran
Humanisme Paulo Freire Dan Abdurrahman Mas’ud Bagi Dunia
Pendidikan Islam Masa Kini, dan 3) Aktualisasi Pemikiran Humanisme
Paulo Freire Dan Abdurrahman Mas’ud Bagi Dunia Pendidikan Islam
Masa Kini.
Bab terakhir adalah Penutup yang terdiri dari : 1) Kesimpulan, 2)
Saran-Saran, dan 3) Penutup.